Flora Asing Invasif Ditemukan di TNGP Sabtu, 23 Mei 2009 Beberapa jenis tumbuhan asing invasif ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP), Jawa Barat, yang dapat mengancam kelestarian ekosistem dan kekayaan flora asli di kawasan konservasi tersebut. Jenis-jenis tumbuhan asing tersebut adalah Eupatorium sordidum, Eupatorium riperium, Austroeupatorium inulifolium, Cestrum aurantiacum, Brugmansia suaveolens, Passiflora suberosa, Clidemia hirta dan Cobaeae scandens, kata peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sunaryo di Cibinong, Bogor, Jumat. "Jenis paling mengancam adalah Eupatorium sordidum yang berasal dari Meksiko. Jenis ini merupakan tanaman hias yang berkembang dengan cepat sehingga menyingkirkan tanaman endemik," katanya. Flora atau tumbuhan invasif merupakan jenis tumbuhan asing yang berkembang dan menyebar di luar habitat aslinya sehingga mengancam ekosistem, habitat, atau spesies yang lain. Perpindahan jenis-jenis asing tersebut dari habitat aslinya disebabkan antara lain oleh transportasi global, perdagangan bebas dan wisata. Sunaryo mengatakan, jenis atau spesies asing harus dibedakan dengan spesies asing invasif. "Spesies asing belum tentu invasif jika dikendalikan dengan baik. Malahan bisa menguntungkan seperti kelapa sawit, karet, coklat." Saat ini di TNGP terdapat 75 jenis asing, sementara di seluruh kawasan di Indonesia terdapat kurang lebih 2.000 jenis asing. Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Siti Nuramaliati Prijono mengatakan, masuknya spesies tumbuhan maupun hewan asing yang bersifat invasif menjadi ancaman bagi keanekaragaman hayati Indonesia karena spesies-spesies tersebut akan mengganggu keseimbangan ekosistem. Oleh karena itulah, Pemerintah dan masyarakat diminta untuk berhati-hati dalam memasukkan spesies asing, baik itu dari luar negeri maupun dari daerah lain di dalam wilayah Indonesia, katanya. "Jenis asing tersebut bisa berasal dari luar teritorial Indonesia, bisa juga dari dalam teritorial Indonesia tetapi berlainan kondisi ekosistemnya," katanya. Spesies asing invasif, jelasnya, adalah jenis-jenis flora dan fauna, termasuk mikroorganisme yang hidup di luar habitat alaminya, tumbuh dengan pesat karena tidak mempunyai musuh alami sehingga menjadi gulma, hama dan penyakit pada jenis asli. Sebagai kompetitor, predator, patogen dan parasit, jenis-jenis asing invasif ini mampu merambah semua bagian ekosistem alam dan menyebabkan punahnya jenis-jenis asli. "Dalam skala besar, jenis asing invasif ini mampu merusak ekosistem alam atau asli," katanya. Untuk mengantisipasi masuknya jenis asing yang invasif ini, lanjut dia, Pemerintah perlu membentuk satu lembaga khusus yang menanganinya disamping lembaga karantina yang saat ini sudah ada. Peneliti lain pada Puslit Biologi LIPI, Rosichon Ubaidilah mengatakan, masuknya jenis asing ke Indonesia juga disertai oleh masuknya hama dan penyakit yang kemudian menyerang tanaman lokal. Kasus terbaru adalah mewabahnya penyakit pada pepaya di kawasan Bogor yang disebut dengan "Papaya mealybug". Penyakit yang disebabkan oleh sejenis kutu putih ini berasal dari Meksiko dan diketahui baru masuk ke Indonesia pada tahun 2008 sebagai hama baru. 60 Persen Terumbu Karang Jakarta Rusak Sabtu, 23 Mei 2009 Sekitar 60 persen terumbu karang di perairan DKI Jakarta rusak parah akibat praktik pemboman ikan dan proses sedimentasi (pengendapan lumpur) dari sampah dan pemanfaatan lahan. "Hanya 40 persen terumbu karang di Jakarta yang bagus sedangkan berkategori sangat bagus Cuma 15 persen," kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Dr Ono Kurnaen Sumadiharga di Jakarta, Jumat. Menurut dia, saat belum banyak praktik pemboman ikan dan sampah, 60 persen lebih terumbu karang di perairan Jakarta masih bagus. Namun setelah praktik pemboman ikan marak dilakukan pada tahun 1970-an, tempat bermain dan berkumpulnya komunitas laut tersebut banyak yang rusak. Apalagi setelah penduduk Jakarta dan daerah sekitarnya semakin banyak, jumlah sampah yang dibuang ke sungai lalu berakhir di laut pun meningkat. Kerusakan juga diperparah oleh banyaknya pemanfaatan lahan untuk dijadikan perumahan, kantor, atau bangunan lain yang tanahnya terbuang ke laut. Tanah-tanah yang terbuang ke laut tersebut berubah menjadi lumpur dan menutupi atau mengendap di terumbu karang. "Terumbu karang akan mati jika tertutup Lumpur dan sampah," kata guru besar bidang oseanografi Universitas Indonesia (UI) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) itu. Untuk mengurangi kegiatan yang merusak terumbu karang itu, ia menyarankan agar pemerintah melarang pembuangan tanah ke laut atau kegiatan di pinggiran yang yang dapat mengabrasi tanah. Selain itu, pemerintah jangan membiarkan pulau-pulau yang berada jauh dari pinggiran pantai menjadi pulau kosong. Karena praktik pemboman ikan dapat berlangsung bebas di sekitar pulaupulau yang tidak berpenghuni. Menurut dia, jika perlu, pulau-pulau kosong itu dijadikan tempat wisata sehingga ada kegiatan di tempat tersebut. "Otomatis, pengelola kegiatan di tempat itu akan segera bertindak jika mengetahui ada praktik pemboman ikan," katanya. 92 Pulau di Indonesia Terancam Hilang Senin, 25 Mei 2009 Sebanyak 92 pulau terluar di Indonesia saat ini perlu diamankan karena sangat berpeluang diambil alih pihak asing. "Kalau tidak (diamankan), nasib 92 pulau itu akan sama dengan (Pulau) Sipadan dan Ligitan," kata peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Prof Dr Ono Kurnaen Sumadiharga, di Jakarta, Minggu (24/5). Menurut dia, 92 pulau yang perlu diamankan itu lokasinya tersebar dari Aceh hingga Papua serta berada cukup jauh dari garis pantai wilayah yang berpenduduk dan sebagian belum memiliki nama. Ia mencontohkan beberapa pulau yang berada di sekitar Pulau Biak, Papua, yang sangat jarang dikunjungi pejabat pemerintahan. Demikian juga beberapa pulau kecil yang berada di sekitar Kepulauan Natuna, Kepri, yang juga jarang ditempati. Akibat jauhnya lokasi dan jarang dikunjungi tersebut, 92 pulau itu sangat berpeluang diduduki dan direbut pihak asing. "Awalnya mungkin hanya nelayan asing yang menyandarkan kapal, lalu menetap sekian lama. Setelah itu, menancap bendera negaranya dan mengklaim jadi milik mereka," katanya. Guru besar bidang oseanografi Universitas Indonesia dan Institut Pertanian Bogor itu menambahkan, ada juga pulau yang berpenduduk memiliki peluang diklaim pihak asing menjadi milik negara mereka. Ia mencontohkan beberapa pulau di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, yang penduduknya banyak berbahasa Tagalog, bahasa resmi Filipina dan menggunakan mata uang negara tetangga itu, peso. Jika tidak disikapi dengan bijaksana, tidak tertutup kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di pulau tersebut.Untuk mengantisipasi hal-hal itu, pemerintah perlu melakukan penjagaan, seperti menempatkan personel Angkatan Laut agar pulau-pulau itu tidak dipergunakan pihak asing. Jika kurang mampu, pemerintah dapat menjalin kerja sama dengan pihak swasta agar pulaupulau itu dimanfaatkan, seperti dijadikan tempat wisata. Apabila sudah ada kegiatan di pulau-pulau terluar itu, pihak mana pun tidak berani untuk melakukan kegiatan ilegal, termasuk mengklaimnya sebagai milik mereka. Pemerintah juga dapat memasukkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau itu. "Namun, harus ada perjanjian dulu yang tidak merugikan Indonesia dalam segala hal," katanya. Mari Selamatkan Keanekaragaman Hayati Sabtu, 23 Mei 2009 Pusat Penelitian Biologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Biologi–LIPI) menyelenggarakan sebuah acara Temu Wicara yang bertemakan "Invasive Alien Species" pada hari Jumat 22 Mei 2009. Tema seperti ini penting untuk diperdengungkan kembali mengingat Indonesia merupakan negara yang memiliki daftar terpanjang jenis-jenis keanekaragaman hayati yang terancam punah. Dr. Siti Nuramaliati Prijono selaku Kepala Puslit Biologi – LIPI menyatakan, Indonesia merupakan salah satu negara mega-biodiversity karena memiliki tingkat keanekaragaman hayati serta tingkat endemisme yang tinggi. "Oleh karena itu dikenalnya Indonesia sebagai negara yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya akan menjadi kebanggaan semu apabila Indonesia tidak memiliki kemampuan dalam mengelola secara arif untuk kepentingan masyarakat Indonesia khususnya, maupun dunia pada umumnya" paparnya. Lebih lanjut Lili mengatakan, salah satu ancaman besar bagi keanekaragaman hayati di Indonesia adalah masuknya jenis 'asing' ke dalam ekosistem yang ada di Indonesia yang kemudian bersifat invasif dan mengganggu jenis-jenis asli dalam eksosistem tersebut. Apa yang dimaksud dengan jenis asing? Asing disini maksudnya adalah sesuatu bisa berasal dari luar teritorial Indonesia, bisa juga dari dalam teritorial Indonesia tetapi berlainan kondisi ekosistemnya, kata Lili melalui keterangan persnya, Jumat (22/05). "Jenis asing invasif menjadi ancaman penting bagi keanekaragaman hayati, oleh karena itu dalam UU No. 5 Tahun 1994 secara khusus pada Pasal 8 (h) disebutkan bahwa Konvensi Keanekaragaman Hayati memberikan amanat agar setiap negara wajib sejauh mungkin menghindari introduksi jenis asing invasif, melakukan pengendalian dan pemusnahan jenis asing invasif tersebut yang akan menimbulkan dampak lingkungan dan kerusakan keanekaragaman hayati asli", tegas Lili. Harapan Lili, dengan temu wicara ini LIPI dapat menyebarluaskan mengenai pentingnya masalah jenis asing invasif yang dapat mengancam kenanekaragaman hayati di Indonesia.