Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam - AIFIS

advertisement
Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
Hamruni∗
Abstrak
Paradigma pembelajaran tradisional memandang tidak ada hubungan antara
otak (pikiran) dan tubuh. Belajar dianggap sebagai kerja otak semata, belajar adalah
suatu proses rasional dan verbal yang nyaris tidak ada hubungannya dengan seluruh
perasaan dan indra. Padahal, antara otak dan tubuh ada kaitan yang sangat erat
dan tak terpisahkan satu sama lain. Gerakan tubuh dapat meningkatkan fungsi
otak dan kondisi otak tertentu dapat berpengaruh besar pada tubuh seseorang.
Berpikir, belajar, dan mengingat, tidak terbatas di kepala saja, tetapi tersebar ke
seluruh tubuh. Banyak berpikir, belajar, dan membuat keputusan. Perubahan
paradigma dalam pembelajaran merupakan sebuah keniscayaan guna meraih manfaat
dan hasil belajar yang maksimal, dan salah satu caranya adalah dengan melakukan
optimalisasi fungsi otak dan indra dalam pembelajaran.
Kata kunci: optimalisasi, fungsi otak dan indera, paradigma pembelajaran,
tradisional, konsep SAVI.
A. Pendahuluan
Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi
terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak, baik bagi pendidik,
sekolah, maupun masyarakat (stakeholder). Hal tersebut setidak-tidaknya
disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas
berbagai bidang kehidupan selalu meninggalkan proses dan hasil kerja
lembaga pendidikan atau melaju lebih cepat daripada proses pengajaran
dan pembelajaran, sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak
relevan dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua,
pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian baru dari berbagai
bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma,
falsafah, strategi dan metodologi pembelajaran yang ada sekarang tidak
memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai permasalahan dan
kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut
diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, strategi dan metodologi
pengajaran dan pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan
hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.
Berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran senantiasa
dimutakhirkan, diperbaharui, dan dikembangkan oleh berbagai kalangan
∗
Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
816
khususnya kalangan pendidikan-pengajaran-pembelajaran. Beberapa di
antaranya yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif,
pembelajaran terpadu, pembelajaran kontekstual, pembelajaran berbasis
projek, pembelajaran berbasis masalah, pembelajaran interaksi dinamis,
pembelajaran kuantum, dan pembelajaran aktif (active learning). Locke
mengatakan bahwa pikiran seorang anak seperti kertas kosong yang putih
bersih dan siap menunggu coretan-coretan gurunya. Otak seorang anak
ibarat botol kosong yang siap diisi dengan segala ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan dari guru.1 Sebenarnya, tuntutan dalam dunia pendidikan
sudah banyak berubah. Paradigma lama (tradisional) di atas tidak bisa lagi
dipertahankan. Teori, penelitian, dan pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar membuktikan bahwa para guru sudah harus mengubah
paradigma pengajaran.
B. Indera (Tubuh) dan Pembelajaran
Belajar yang adalah semua perubahan pada kapabilitas dan prilaku
organisme, baik secara mental maupun fisik, yang diakibatkan oleh
pengalaman. Definisi ini meliputi banyak ragam pembelajaran; asosiatif,
spasial, laten, induksi, imitasi, kemampuan (skill) dan lainnya. Luasnya
definisi belajar memberikan implikasi mengenai pentingnya memahami
berbagai mekanisme individu dalam melakukan pembelajaran, baik yang
tersurat maupun yang tersirat seperti yang terjadi pada bentuk
pembelajaran laten (latent learning).
Kemajuan teknologi informasi, komputer dan internet dewasa ini
telah menyebabkan informasi dapat segera tersedia dalam jumlah yang
tidak terbatas, cepat dan dengan akses yang mudah. Kemampuan belajar
merupakan alat penting dalam mempertahankan kehidupan. Ironisnya,
kenyataan di lapangan tidak menunjukkan demikian. Bagi sebagian
individu, belajar merupakan suatu beban. Banyak ditemui siswa yang
kelelahan hanya untuk sekedar mendapatkan prestasi rendah. Semakin
banyak ditemui berbagai hambatan psikologis yang berkaitan dengan
belajar, sebut saja salah satunya didaskalenophobia (phobia terhadap sekolah).
Banyak faktor yang berkontribusi pada kurang optimalnya
pembelajaran seperti ketidakmampuan menggunakan semua potensi yang
dimiliki atau praktik pembelajaran yang kurang optimal. Banyak orang
menganggap sekolah adalah salah satu arena persaingan. Mulai dari awal
masa pendidikan formal, seorang anak belajar dalam suasana kompetisi
1
Sebagian ahli lebih suka menganggapnya sebagai asumsi, bukan teori. Anita Lie,
Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas, cet. III,
(Jakarta: Grasindo, 2004), p. 2.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
817
dan harus berjuang keras memenangkan kompetisi untuk bisa naik kelas
atau lulus. Sebenarnya, kompetisi bukanlah satu-satunya model
pembelajaran yang bisa dan harus dipakai, ada model individual dan model
kerjasama. Tiga model pembelajaran ini, yaitu model kompetisi, individual,
dan kerjasama, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing.2
Pilihan tunggal, yakni hanya memilih salah satu saja dari ketiganya, tidak
akan membawa kepada hasil belajar yang memuaskan.
Mel Silberman memadukan ketiga model pembelajaran itu ke dalam
satu model pembelajaran yang mengaktifkan pikiran (otak) dan tubuh
(indera) siswa, yang disebut Pembelajaran Aktif. Ada banyak alasan kenapa
pembelajaran harus mengaktifkan pikiran dan indera siswa. Antara lain,
menurut Silberman, karena dalam kegiatan belajar aktif, siswa melakukan
hampir semua kegiatan belajar, seperti mempelajari gagasan, memecahkan
masalah dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari.3 Guru yang
menggunakan model pembelajaran aktif berarti dia membuka dan
memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada siswa untuk terlibat, baik
dengan cara mendengar, melihat, mengajukan pertanyaan, dan berdiskusi
dengan siswa lain. Mereka didorong untuk belajar memecahkan masalah
sendiri, menemukan contoh-contoh, mencoba keterampilan-keterampilan,
dan melakukan tugas-tugas yang disesuaikan dengan pengetahuan yang
telah mereka miliki atau yang harus mereka capai. Belajar aktif membuat
pembelajaran berjalan dengan penuh gairah, menyenangkan, dan menarik.
Lebih dari 2400 tahun yang lalu, Confucius menyatakan: “What I
hear, I forget; what I see, I remember; and what I do, I understand”.4 Mel Siberman
telah memodifikasi dan memperluas pernyataan Confucius tersebut
menjadi: “What I hear, I forget; what I hear and see, I remember a little; what I
hear, see, and ask questions about or discuss with someone else, I begin to understand;
what I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill; and what I teach to
another, I master”.5 Sebagian besar orang (siswa) cenderung melupakan apa
yang telah mereka dengar. Hal itu terjadi adalah karena adanya perbedaan
tingkat kecepatan bicara guru dengan tingkat kecepatan pendengaran
siswa.
McKeachie menyatakan bahwa dalam pengajaran bergaya ceramah,
perhatian siswa hanya bertahan sekitar 40 persen dari seluruh waktu
belajar. Dalam sepuluh menit pertama, siswa dapat mengingat sampai 70
2 Anita Lie, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas, (Jakarta: Grasindo, 2004), p. 23.
3 Mel Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject, (Massachusetts:
A Simon & Schuster Company, Needham Heights, 1996), p. xvii.
4 Ibid., p. 1.
5 Ibid., p. 2.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
818
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
persen materi yang diterima, tetapi dalam sepuluh menit terakhir mereka
hanya dapat mengingat hanya sekitar 20 persen materi pembelajaran
tersebut.6
Dalam perkembangan berikutnya muncul pendekatan pengajaran
yang diperkenalkan oleh Dave Meir yaitu pendekatan SAVI kepanjangan
dari Somatis (belajar dengan bergerak dan berbuat), Auditori (belajar dengan
berbicara dan mendengar), Visual (belajar dengan mengamati dan
menggambarkan), dan Intelektual (belajar dengan memecahkan masalah
dan merenung).7 Pendekatan ini didasarkan pada sebuah konsep belajar
yang disebut Belajar Berdasar Aktivitas (BBA). Belajar Berdasar Aktivitas
(BBA) berarti bergerak aktif secara fisik ketika belajar, dengan
memanfaatkan indra sebanyak mungkin, dan membuat seluruh tubuh dan
pikiran terlibat dalam poses belajar. Pelatihan konvensional cenderung
membuat orang tidak aktif secara fisik dalam jangka waktu lama.
Terjadilah kelumpuhan otak dan belajar pun melambat layaknya merayap
atau bahkan berhenti sama sekali. Mengajak orang untuk bangkit dan
bergerak secara berkala akan menyegarkan tubuh, meningkatkan
peredaran darah ke otak, dan dapat berpengaruh positif pada belajar.8
Belajar berdasar aktivitas secara umum jauh lebih efektif daripada
yang didasarkan presentasi, materi, dan media. Alasannya sederhana: cara
belajar itu mengajak orang terlibat sepenuhnya. Telah terbukti berkali-kali bahwa
biasanya orang belajar lebih banyak dari berbagai aktivitas dan pengalaman
yang dipilih dengan tepat daripada jika mereka belajar dengan duduk di
depan penceramah, buku panduan, televisi, ataupun komputer.9 Memang,
pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh orang berdiri
dan bergerak ke sana kemari. Akan tetapi, menggabungkan gerakan fisik
dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat
berpengaruh besar pada pembelajaran.
BBA menyatukan keempat unsur belajar model SAVI agar belajar
bisa berlangsung secara optimal. Tanpa keterpaduan unsur-unsur ini, maka
belajar tidak akan bisa berlangsung efektif. Semua unsur itu harus
digunakan secara simultan. Para pendidik (guru dan dosen) hendaknya
memahami hal ini, dan kemudian menyesuaikan diri dengan paradigma
pembelajaran yang berkembang saat ini. Paradigma baru dalam
pembelajaran ini menghendaki adanya pemahaman bahwa dalam
6 W. McKeachie, Teaching Tips: A Guidebook for the Beginning College Teacher, (Boston:
D.C. Health, 1986), p. 63.
7 Dave Meir, The Accelerated Learning Handbook, (New York: McGraw Hill, 2000),
p. 92.
8 Ibid., p. 90.
9 Ibid., p. 91.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
819
pembelajaran siswalah yang menemukan dan mengembangkan
pengetahuan. Guru hanya menciptakan kondisi dan situasi yang
memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran
melalui suatu proses belajar, dan menyimpannya dalam ingatan yang
sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.10
Siswa harus diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan
secara aktif. Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan
sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa seharusnya tidak menerima
pengetahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Teori semata
menjelaskan bahwa siswa mengaktifkan struktur kognitif mereka dan
membangun struktur-struktur baru untuk mengakomodasi masukanmasukan pengetahuan yang baru. Penyusunan pengetahuan yang terusmenerus menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif.11 Selain itu, guru
perlu mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan
belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil.
Setiap orang pasti mempunyai potensi. Tujuan pendidikan adalah
meningkatkan kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.12
Interaksi pribadi terjadi di antara para siswa dan antara guru dengan
siswa. Belajar bukan hanya proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang
terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan
membangun pengertian dan pengetahuan bersama.13 Suasana kelas perlu
direncanakan dan dibangun sedemikian rupa, sehingga siswa mendapatkan
kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Siswa akan membentuk
komunitas yang memungkinkan mereka untuk menikmati proses belajar
dan saling mendukung satu sama lain. Guru perlu menciptakan suasana
belajar yang kondusif, di mana hubungan dan kerjasama antar siswa
terjalin dengan baik, sehingga aktivitas belajar menjadi menarik dan
menyenangkan.
10 Jean Piaget, The Origins of Intelligence in Children, (New York: International
University Press, 1952), p. 153. Lihat juga Jean Piaget, The Child's Conception of the World
(Atlantic Highlands, N.J.: Humanities Press, Inc., 1960), p. 232; R. Freire, Pedagogy of the
Oppressed, (New York: Seabury Press., 1970), p. 147.
11 T. Anderson & B. Armbruster, Reader and Text Studying Strategies, W. Otto & S.
White (eds.), Reading Expository Material, (New York: Academic Press., 1982), p. 215.
12 Carl Rogers, Freedom to Learn for the Eighties, (Columbus: E. Merrill, 1982), p.
78.
13 D.W. Johnson & R. Johnson, Leading the Cooperative School, (Edina, MN:
Interaction Book Company, 1994), p. 112.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
820
C. Otak (Pikiran) dan Pembelajaran
Otak merupakan bagian dari Sistem Saraf Pusat (Central Nervous
System). Sistem ini sangat erat kaitannya dengan pembelajaran. Bahkan
lebih dari pada itu, Sistem Saraf Pusat (SSP) berkenaan dengan pengaturan
terkait bagaimana satu makhluk merespon stimulus dari lingkungan
sekitar.14Panca indra dan seluruh otot di tubuh terhubung dengan saraf,
sekelompok neuron yang menghantarkan sinyal. Neuron dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, namun pada dasarnya semua neuron memiliki
fungsi yang sama di mana pun letaknya di tubuh, yaitu membawa aliran
listrik dan bertindak sebagai penghubung (relay), melanjutkan informasi
dari satu neuron ke neuron lain. Mekanisme pengantaran informasi yang
dibawa dari pemukaan di kulit, sebagai sinyal elektrik, dan juga bagaimana
otot diberitahu untuk bergerak, menggunakan informasi.
Otak (pikiran) merupakan suatu konsep yang abstrak, sehingga guna
memahaminya perlu terlebih dahulu dibuatkan suatu model. Dalam
mengumpulkan, memproses dan menyimpan informasi, pikiran manusia
bekerja dalam dua modus, modus sadar dan modus luar sadar.
Sederhananya kedua modus ini dapat dianggap sebagai pikiran sadar
(conscious mind) dan pikiran bawah luar sadar (non-conscious mind). Pikiran
sadar merupakan pikiran yang dialokasikan hanya untuk menangani
aktifitas yang tengah terjadi saat ini sehingga proses yang terjadi dapat
dilakukan secara lebih efisien. Dengan kata lain, pikiran sadar
mempermudah individu saat menangani suatu aktifitas. Misalnya pada saat
membaca buku ini, maka pikiran sadar anda bekerja mengambil informasi
dari buku ini, memprosesnya (berupa membuat representasi mental) dan
kemudian menyimpannya. Berkenaan dengan proporsinya, pikiran sadar
memiliki proporsi yang tidak besar dari keseluruhan pikiran (kurang lebih
hanya 10 persen). Angka tersebut bukanlah suatu representasi yang presisi,
melainkan hanya untuk memberikan gambaran sekilas berkenaan dengan
minimnya proporsi pikiran sadar dibandingkan keseluruhan pikiran
manusia. Pikiran sadar dapat dianalogikan seperti bagian gunung es yang
terlihat di atas permukaan laut. Sementara segala sesuatu yang berada di
luar jangkauan pikiran sadar, itu disebut sebagai pikiran bawah sadar.
Kapasitas pikiran luar sadar lebih besar dibandingkan kapasitas pikiran
sadar. Pikiran luar sadar menyimpan berbagai pengalaman dan
pemahaman yang telah anda kumpulkan dari masa lalu. Hal ini dapat
dipahami melalui fenomena mimpi saat tidur di malam hari. Berbekal
14
Yovan P. Putera, Memori dan Pembelajaran Efektif, Total Mind Learning (TML)
series, (Jakarta: Yrama Widya, 2008), p. 27.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
821
berbagai pemahaman dari masa lalu inilah anda memahami dunia sekitar,
menentukan apa dan bagaimana cara anda belajar.
Banyak pandangan mengenai otak sekarang ini, dan tak satu pun
yang memberi gambaran menyeluruh. Marian Diamond, menyatakan
bahwa pada umur berapa pun sejak lahir hingga mati, sangat mungkin
untuk meningkatkan kemampuan mental seseorang melalui rangsangan
lingkungan. Semakin terangsang otak dengan aktivitas intelektual dan
interaksi lingkungan, semakin banyak jalinan yang dibuat antara sel-sel. Ini
berarti potensi manusia adalah tak terbatas.
Tiga bagian otak juga dibagi menjadi belahan kanan dan belahan
kiri. Kini dua belahan ini lebih dikenal sebagai "otak kanan" dan "otak
kiri". Eksperimen terhadap dua belahan ini telah menunjukkan bahwa
masing-masing belahan bertanggungjawab terhadap cara berpikir, dan
masing-masing mempunyai spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan
tertentu, walaupun ada beberapa persilangan dan interaksi antara kedua
sisi.
Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan
rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun berdasarkan realitas, ia mampu
melakukan penafsiran abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk
tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial,
menempatkan detail dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Cara berpikir
otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik. Cara
berpikirnya sesuai dengan cara-cara untuk mengetahui yang bersifat
nonverbal, seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan dengan
perasaan, kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni,
kepekaan warna, kreativitas dan visualisasi.
Kedua belahan otak penting artinya. Orang yang memanfaatkan
kedua belahan otak ini juga cenderung "seimbang" dalam setiap aspek
kehidupan mereka. Belajar terasa sangat mudah bagi mereka karena
mereka mempunyai pilihan untuk menggunakan bagian otak yang
diperlukan dalam setiap pekerjaan yang sedang dihadapi. Sebagian besar
komunikasi diungkapkan dalam bentuk verbal atau tertulis, yang keduanya
merupakan spesialisasi otak kiri, bidang-bidang pendidikan, bisnis, dan
sains cenderung berat ke otak kiri. Jika seseorang termasuk kategori otak
kiri dan dia tidak melakukan upaya tertentu memasukkan beberapa
aktivitas otak kanan dalam hidupnya, ketidak-seimbangan yang
dihasilkannya dapat mengakibatkan stres, juga gangguan kesehatan mental
dan fisik. Semua yang menimbulkan emosi positif yang membuat otak
lebih efektif. Emosi yang positif mendorong ke arah kekuatan otak, yang
mengarah pada keberhasilan, emosi yang positif, dan siklus aktif.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
822
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
Tidak satupun bagian otak ini yang bekerja secara sempurna tanpa
adanya rangsangan atau dorongan dari bagian yang lain. Inilah yang
disebut sebagai cara belajar global (global learning). Selama masa hidup, kita
semua mempunyai kesimpulan-kesimpulan tentang otak kita dan
kekuatannya. Fisiologi otak seseorang sangat mirip dengan milik orang
lain, bahkan juga dengan pemikir-pemikir cemerlang seperti Einstein. Ini
berarti setiap orang mempunyai peluang yang luar biasa besarnya. Jika ada
seseorang yang menampilkan perilaku yang mengagumkan, atau yang telah
mencapai sesuatu yang ingin dilakukan, maka orang itu bisa digunakan
sebagai model. Siapapun bisa meniru keberhasilan orang itu dengan
mengatur pola berpikir dan tubuhnya seperti model tersebut. Perilaku ini
disebut sebagai pemodelan (modelling).
Ada beberapa fungsi otak, yaitu neokorteks (berpikir), limbik
(merasa), dan reptil (bertahan). Bila dikaitkan dengan pembelajaran, fungsi
reptil diwujudkan dalam bentuk kegiatan menghafal, mengikuti rutinitas
dan contoh yang ditetapkan oleh hierarki, sistem yang digerakkan oleh
semangat mempertahankan diri (takut akan kegagalan), tanpa perhatian
pada perasaan dan pada ikatan sosial di lingkungan pendidikan, tanpa
usaha untuk mengajar murid cara berkreasi, memecahkan masalah, dan
berpikir sendiri.
Pembelajaran harus memanfaatkan kekuatan seluruh pikiran dan
seluruh diri untuk belajar (pikiran, tubuh, emosi, dan semua indra).
Pemanfaatan seluruh otak merupakan kunci untuk membuat belajar lebih
cepat, lebih menarik, dan lebih efektif. Kepatuhan pada contoh dan
kebiasaan itu penting dan positif. Fungsi limbik juga harus dilibatkan.
Emosi, sebagaimana yang dibenarkan oleh penelitian dan akal sehat,
berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar. Perasaan negatif
memperlambat belajar atau bahkan menghentikannya sama sekali, karena
tidak ada apa pun yang dapat mempercepat pembelajaran daripada rasa
gembira..
Salah satu tujuan tahap persiapan siklus Accelerated Learning adalah
menciptakan perasaan positif dalam diri pembelajar. Tujuan lainnya adalah
membangkitkan kecerdasan sosial sistem limbik. Doronglah pembelajar
untuk bekerja sama, bukannya bersaing, kata para peneliti, maka
pembelajaran akan meningkat pesat. Setiap orang harus melatih
sepenuhnya fungsi neokorteks otak jika ingin mengoptimalkan
pembelajaran dan prestasinya. Hal ini dilakukan dengan mengajar cara
berpikir sendiri, mengolah (bukannya menyimpan) informasi, belajar,
berkhayal, dan menciptakan makna serta nilai bagi dirinya sendiri dari
informasi dan pengalaman yang didapat. Pembelajaran semakin cepat dan
mendalam jika seluruh otak terlibat.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
823
Konsep behaviorism15 tentang belajar tidaklah komprehensif dan tidak
mengembangkan psikologi seluruh otak, tetapi hanya psikologi otak reptil
semata. Behaviorism mempunyai wawasan mendalam pada aspek reptil otak.
Memang benar bahwa ada sebagian diri kita yang bersifat mekanis dan
ritualistis, yang secara otomatis merespons berbagai rangsangan luar, yang
dapat belajar cara memasukkan dan mengulang-ulang berbagai perilaku
yang telah diprogram. Masalah behaviorism adalah bahwa paham itu
"berlagak" (sering secara sangat dogmatis) seolah membahas seluruh otak,
padahal sesungguhnya hanya satu aspeknya.
Manusia lebih dari sekadar fungsi mekanistis, reptilian, dan
rangsangan semata. Namun sayangnya, behaviorism tidak menyinggung hal
ini. Sedikit sekali yang dibahasnya tentang kecerdasan sosial dan emosional
(sistem limbik), dan lebih sedikit lagi tentang pikiran kreatif dan inovatif
(neokorteks). Paham ini sama sekali tidak tertarik menyelami kearifan yang
tersembunyi di dalam jiwa. Akibatnya pun, seperti yang sudah diketahui,
banyak hal menimpa pembelajaran dan pelatihan. Orang diajari bereaksi
dengan cara yang sudah baku, bukan cara berpikir di luar kotak. Pelatihan
menjadi instalasi terprogram dari perilaku yang dapat dikontrol, diulangulang, diramalkan, dan mekanis. "Teknologi Prestasi" (cap baru
behaviorism) juga tidak lebih baik meskipun beberapa ahli teknologi prestasi
menunjukkan tanda-tanda bahwa mereka mulai menghargai segi sosial,
spiritual, emosional, kreatif, dan sistemis dari pembelajaran, dan karenanya
menjadi tidak terlalu mendikte.
Bagi dunia pendidikan, yang penting adalah mencermati apa yang
dapat diambil dari behaviorism dan bergerak melampauinya menuju
psikologi belajar yang memperhitungkan seluruh otak dan seluruh konteks
belajar sosial dan emosional. Ini berarti tidak perlu lagi menentukan
penampilan manusia (perilaku), tetapi lebih memusatkan perhatian pada
hasil, mendorong orang untuk terus-menerus menciptakan cara-cara yang
lebih baik untuk mencapai hasil, dan mencapai hasil yang lebih baik.
Prestasi adalah sarana, bukan tujuan itu sendiri. Prestasi adalah sarana
untuk menciptakan nilai tertentu.
Pada hakikatnya, belajar adalah aktivitas sepanjang hidup, dan ini
berarti belajar adalah sama dengan hidup itu sendiri. Banyak telaah
membuktikan bahwa orang yang terus belajar dan berkembang secara
mental sepanjang hidup mereka jauh lebih kecil kemungkinannya
terserang penyakit Alzheimer. Otak dapat terus menumbuhkan dendrit dan
jaringan saraf hingga usia sangat lanjut jika dirangsang dengan tantangan15
Behaviorism adalah psikologi akademis yang sangat dominan di Amerika Serikat
hampir sepanjang abad ke-20. Oleh karena itu, paham ini berpengaruh besar pada
pembelajaran dan pelatihan, baik di lembaga pendidikan maupun perusahaan.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
824
tantangan belajar yang baru. Otak manusia tidak bekerja seperti media
audio atau video tape recorder, yang mampu merekam seluruh informasi
secara utuh. Ketika menerima informasi, otak tidak langsung merekam,
tapi mempertanyakannya lebih dulu. Dalam menerima informasi, ternyata
otak tidak hanya menerima begitu saja, tapi ia akan memproses dan
mengolahnya. Untuk memproses dan mengolah informasi secara efektif,
otak perlu melaksanakan refleksi internal dan eksternal. Ketika kita
berdiskusi dengan orang lain dan aktif bertanya, otak kita dapat melakukan
hal itu dengan lebih baik dibanding hanya mendengar saja.
Pemahaman seseorang terhadap informasi akan lebih baik, jika dia
melakukan sesuatu dengan informasi itu. Menurut John Holt, belajar
semakin baik jika siswa diminta untuk melakukan hal-hal berikut:
mengungkapkan informasi dengan bahasa dan kata-kata mereka sendiri,
memberikan contoh-contoh, mengenalnya dalam berbagai bentuk dan
kondisi, melihat hubungan antara informasi itu dengan fakta atau
gagasan lain, menggunakannya dengan berbagai cara, memperkirakan
beberapa konsekuensinya, dan mengungkapkan lawan atau kebalikannya.16
Dalam banyak hal, otak seperti komputer dan kita sebagai penggunanya.
Sebuah komputer, tentu saja, perlu “dihidupkan” agar supaya dapat
bekerja. Otak kita perlu “dihidupkan” juga. Ketika belajar secara pasif,
otak kita tidak “hidup”. Sebuah komputer memerlukan perangkat lunak
(software) yang tepat untuk menafsirkan data-data yang dimasukkan. Otak
kita perlu dihubungkan dengan apa yang diajarkan pada kita dengan apa
yang telah kita ketahui dan bagaimana kita berpikir. Ketika belajar secara
pasif, otak kita tidak melakukan hubungan ini pada software. Akhirnya,
sebuah komputer tidak dapat menyimpan informasi yang telah diproses
tanpa “menyimpannya”. Otak kita perlu mempertanyakan informasi,
merumuskan atau menjelaskannya pada orang lain agar dapat
menyimpannya dalam memori. Ketika belajar secara pasif, otak tidak
menyimpan apa yang telah dipresentasikan.
Proses belajar sesungguhnya bukanlah semata kegiatan menghafal.
Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam. Mempelajari
sesuatu bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang telah
diajarkan, siswa harus mengolah atau memahaminya. Seorang guru tidak
bisa dengan serta merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para
siswanya, karena mereka sendirilah yang harus menata apa yang mereka
dengar dan lihat menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa diberi
peluang untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan,
16
John Holt, How Children Learn, (New York: Pitman, 1987), p. 95.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
825
dan barangkali bahkan mengajarkannya kepada siswa yang lain, proses
belajar yang sesungguhnya tidak akan terjadi.
Ketika memulai pelajaran, seorang guru perlu menjadikan siswa
aktif sejak awal. Jika tidak, kemungkinan besar sikap pasif siswa akan terus
melekat, sehingga membutuhkan waktu lama untuk mengaktifkannya.
Susunlah aktivitas pembuka yang menjadikan siswa lebih mengenal satu
sama lain, merasa lebih leluasa, ikut berfikir, dan memperlihatkan minat
terhadap pelajaran. Pengalaman-pengalaman ini bisa dianggap sebagai
“hidangan pembuka” sebelum makanan utama; pengalaman ini membuat
siswa berselera untuk menik-ati hidangan selanjutnya. Memang ada
sebagian guru yang memilih untuk memulai pelajaran hanya dengan
pengenalan singkat, namun menambahkan setidaknya satu latihan
pembuka pada rencana pengajaran anda merupakan langkah pertama yang
memiliki banyak manfaat.
Tiga tujuan penting yang harus dicapai di awal dari kegiatan belajar
aktif. Pertama, pembentukan tim guna membantu siswa untuk lebih
mengenal satu sama lain dan menciptakan semangat kerjasama dan
interdependensi. Kedua, melakukan penilaian sederhana guna mempelajari
sikap, pengetahuan dan pengalaman siswa. Ketiga, mengusahakan
keterlibatan belajar langsung guna menciptakan minat awal terhadap
pelajaran. Ketiga tujuan di atas bila dicapai, akan membantu menciptakan
lingkungan belajar yang melibatkan siswa, meningkatkan kemauan mereka
untuk ambil bagian dalam kegiatan belajar aktif, dan menciptakan norma
kelas yang positif. Dengan hanya memakan waktu sekitar lima menit
(tergantung dari lamanya waktu pelajaran) untuk mengawali pelajaran yang
bisa berlangsung hingga dua jam, alokasi waktu pembuka ini sudah cukup
memadai. Memperkenalkan kembali aktivitas ini dari waktu ke waktu
selama pelajaran juga akan membantu memperbarui pembentukan tim,
memperbaiki penilaian, dan menciptakan kembali minat terhadap mata
pelajaran.
D. Penutup
Catatan akhir tulisan ini yaitu bahwa perubahan paradigma dalam
pembelajaran adalah sebuah keharusan sejarah. Para pendidik hendaknya
memahami mainstream ini, dan kemudian menyesuaikan diri. Esensi dari
perubahan paradigma pembelajaran yang berkembang saat ini antara lain
adalah: Pertama, guru hendaknya memahami bahwa dalam pembelajaran
siswalah yang menjadi pusat belajar, yang mencari, menemukan,
membangun dan mengembangkan pengetahuan. Guru hanya menciptakan
kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari
bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar, dan menyimpannya
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
826
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan
lebih lanjut.
Kedua, siswa harus diberi kesempatan untuk membangun
pengetahuan secara aktif. Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan
siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa tidak menerima
pengetahuan dari guru atau kurikulum secara pasif. Siswa diaktifkan
struktur kognitif mereka dan dibangun struktur-struktur baru untuk
mengakomodasi masukan-masukan pengetahuan yang baru. Penyusunan
pengetahuan yang terus-menerus menempatkan siswa sebagai peserta yang
aktif.
Ketiga, guru perlu mengembangkan kompetensi dan kemampuan
siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses
daripada hasil. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi
siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha pendidikan bisa meningkatkan
kemampuan mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan
kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.
Keempat, pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan
interaksi antara guru dan siswa. Kegiatan pendidikan adalah suatu proses
sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antarpribadi. Belajar bukan
hanya proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masingmasing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian
dan pengetahuan bersama. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk
komunitas yang memungkinkan mereka untuk menikmati proses belajar
dan saling mendukung satu sama lain. Dalam suasana belajar yang penuh
dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang
negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti ini
akan menghambat pembentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena
itu, guru perlu menciptakan suasana belajar yang kondusif, di mana
hubungan dan kerjasama antar siswa terjalin dengan baik, sehingga
aktivitas belajar menjadi menarik dan menyenangkan.
Kelima, belajar melibatkan seluruh pikiran dan tubuh. Belajar tidak
hanya menggunakan otak, tetapi juga melibatkan seluruh tubuh dan
pikiran dengan segala emosi, indra, dan sarafnya. Pembelajaran terjadi
ketika seorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan
baru ke dalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar secara
harfiah adalah menciptakan makna baru, jaringan saraf baru, dan pola
interaksi elektrokimia baru di dalam sistem otak dan tubuh secara
menyeluruh.
Keenam, pada dasarnya makna belajar adalah mengerjakan pekerjaan
itu sendiri (dengan umpan balik), sehingga belajar yang paling baik adalah
belajar dalam konteks. Hal-hal yang dipelajari secara terpisah akan sulit
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
827
diingat dan mudah menguap. Kita belajar berenang dengan berenang, cara
mengelola sesuatu dengan mengelolanya, cara bernyanyi dengan
bernyanyi, cara menjual dengan menjual, dan cara memperhatikan
kebutuhan konsumen dengan memperhatikan kebutuhannya. Pengalaman
yang nyata dan konkret dapat menjadi guru yang jauh lebih baik daripada
sesuatu yang hipotetis dan abstrak, asalkan di dalamnya tersedia peluang
untuk terjun langsung secara total, mendapatkan umpan balik, merenung,
dan menerjunkan diri kembali.
Daftar Pustaka
Agus, Nggermanto, Quantum Qoutient (Kecerdasan Quantum): Cara Praktis
Melejitkan IQ, EQ, dan SQ Yang Harmonis, Bandung: Nuansa, 2005.
Anderson, T. & B. Armbruster, Reader and Text Studying Strategies, New
York: Academic Press., 1982.
Burton, L., The Constructivist Classroom Education in Profile. Perth: Edith
Cowan University, 1993.
Buzan, Tony, Use Both Sides of Your Brain, 3rd ed. New York: Penguin
Books, 1989.
Campbell, Linda, et. al., Multiple Intelligences: Metode Terbaru Melesatkan
Kecerdasan, terj. Tim Inisiasi, Jakarta: Inisiasi Press, 2002.
DePorter, Bobbi, Mark Reardon, & Sarah Singer-Nourie, Quantum
Teaching: Orchestrating Student Success, Boston: Penerbit Allyn and
Bacon, 1999.
DePorter, Bobbi & Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan, terj. Alwiyah Abdurrahman, Bandung:
Kaifa, cet. IV/1999.
Dryden, Gordon & Jeannette Vos, The Learning Revolution: To the Way the
World Learns, Penerbit The Learning Web, Selandia Baru, 1999.
Freire, R., Pedagogy of the Oppressed, New York: Seabury Press, 1970.
Given, Barbara, Teaching to the Brain’s Natural Learning System, Alexandria:
Association for Supervision and Curriculum Development, 2002.
Hamruni, Edutainment Dalam Pendidikan Islam dan Teori-Teori Pembelajaran
Quantum, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2009.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
828
Hamruni: Mengoptimalkan Fungsi Otak dan Indera dalam Pembelajaran
Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif-Menyenangkan,
Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2009.
Holt, John, How Children Learn, New York: Pitman, 1987.
Johnson, David & Roger Johnson, Leading the Cooperative School, Edina,
MN: Interaction Book Company, 1994.
Johnson, D. W., R. T. Johnson, & K. A. Smith, Active Learning: Cooperation
in the College Classroom, Edina, MN: Interaction Book Company,
1991.
Lie, Anita, Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di RuangRuang Kelas, Jakarta: Grasindo, 2004.
MacLean, Paul D., The Triune Brain in Evolution, New York: Plenum, 1990.
McKeachie, W., Teaching Tips: A Guidebook for the Beginning College Teacher,
Boston: D.C. Health, 1986.
Maslow, A., Toward a Psychology of Being, New York: Litton Educational
Publishing, 1978.
Meir, Dave, The Accelerated Learning Handbook, New York: McGraw Hill,
2000.
Piaget, Jean, The Origins of Intelligence in Children, New York: International
University Press, 1972.
Pike, R., Creative Training Techniques Handbook, Minneapolis, MN:
Lakewood Books, 1989.
Putra, Yovan P., Memori dan Pembelajaran Efektif, Total Mind Learning (TML)
Series, Jakarta: Yrama Widya, 2008.
Rakhmat, Jalaluddin, Belajar Cerdas: Belajar Berbasiskan Otak, Bandung:
Mizan Learning Center, 2005.
Rogers, Carl, Freedom to Learn for the Eighties, Columbus: E. Merrill, 1982.
Rose, Colin and Malcolm J. Nicholl, Accelerated Learning: For The 21st
Century, London: Judy Piatkus, 2002.
Silberman, Mel, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject,
Massachusetts: A Simon & Schuster Company, 1996.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Download