BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Diri A.1. Pengertian Konsep Diri Manusia tidak hanya menanggapi atau membuat persepsi tentang orang lain, tetapi juga mempersepsi dirinya sendiri. Setiap manusia menjadi objek dan subjek sekaligus. Hal itu dapat terjadi karena kita membayangkan diri kita sebagai orang lain (didalam benak kita). Menurut Charles H. Cooley dalam Suranto (2011 : 68) gejala ini disebut sebagai looking glass self. Disini kita seolah-olah menaruh cermin di depan kita. Melalui cermin itu kita mengamati diri kita, kemudian kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain dan kitapun membayangkan bagaimana orang menilai kita. Dalam mengamati diri sendiri, sampai pada gambaran dan penilaian akan diri yang disebut dengan konsep diri dalam Rakhmat (2012 : 98). Walaupun konsep diri merupakan tema utama psikologi humanistik, pembicaraan tentang konsep diri menurut William James adalah pandangan dan perasaan tentang diri. Persepsi tentang diri boleh bersifat psikologi, sosial dan fisik. William D. Brooks dalam Rakhmat (2012 : 98) mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi tentang diri kita yang bersifat fisik, psikologi, maupun sosial yang datang dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain. Persepsi diri yang bersifat fisik meliputi penampilan, bentuk atau potongan tubuh. Bersifat psikologis meliputi karakter kita, keadaan hati kita dan hal-hal yang disenangi atau di benci, yang terakhir yaitu persepsi diri yang bersifat sosial menyangkut hubungan atau interaksi kita dengan individu lain. Konsep diri merupakan bagian penting dalam perkembangan kepribadian. Seperti yang dikemukakan oleh Rogers (Hall & Lindzey,1985) dalam Thalib (2010 : 121) bahwa konsep kepribadian yang paling utama adalah diri. Diri (self) berisi ide-ide, persepsi-persepsi dan nilai-nilai yang mencakup kesadaran tentang diri sendiri. Konsep diri merupakan representasi diri yang mencakup identitas diri yakni karakteristik personal, pengalaman, peran, dan status sosial. Konsep diri mengandung makna penerimaan diri dan identitas diri yang merupakan konsepsi inti yang relatif stabil dalam Thalib (2010 : 121) (Sullivan, dalam Leonard et al., 1995), namun dalam situasi interaksi sosial konsep diri bersifat dinamis (Capon & Owens 2000), persepsi terhadap diri sendiri yang didasarkan pada pengalaman dan interpretasi terhadap diri dan lingkungannya dan struktur yang bersifat multidimensional berkaitan dengan konsepsi atau penilaian individu tentang diri sendiri. Menurut Rakhmat (1996 : 101) ada beberapa aspek-aspek yang mempengaruhi perkembangan konsep diri. Aspek-aspek tersebut terdiri dari teori perkembangan, Significant Other (orang yang terpenting atau yang terdekat) dan Self Perception (persepsi diri sendiri). Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi konsep diri seseorang adalah reference group (kelompok acuan). Berdasarkan teori perkembangan, bahwa konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman, atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merekalisasi potensi yang nyata. Menurut George Herbert mead dalam Rakhmat (1996:102), significant other (orang yang terpenting atau yang terdekat), konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar dari diri sendiri melalui cermin terhadap orang lain atau pandangan orang lain terhadap diri yang merupakan interpretasi diri. Manusia khususnya wanita di pengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosialiasi. Self perception (persepsi diri sendiri) yaitu persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap situasi tertentu. Konsep diri dapat di bentuk melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif, sehingga kosep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif yang dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual, dan penguasaan lingkungan. Konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu. Reference Group (kelompok acuan) yaitu kelompok yang di jadikan acuan oleh seseorang yang dapat berpengaruh pada pembentukan konsep dirinya, karena setiap orang dalam kehidupannya selalu menjadi bagian dari sebuah kelompok dalam masyarakat. Dengan melihat kelompok, orang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan dirinya dengan ciri-ciri kelompoknya Rakhmat (2012 :102) Konsep diri terbagi menjadi beberapa bagian. Pembagian konsep diri tersebut dikemukakan oleh Stuart dan Sundeen (1991) dalam Keliat (1994: 25) yang terdiri dari: Pertama, gambaran diri (body image) yaitu sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi, penampilan dan potensi tubuh saat ini dan masa lalu. Gambaran diri berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya. Pandangan yang realistik terhadap diri, menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa aman sehingga terhindar dari rasa cemas dan meningkatkan harga diri. Individu yang stabil, realistik dan konsisten terhadap gambaran dirinya akan memperlihatkan kemampuan mantap terhadap realisasi yang akan memacu sukses di dalam kehidupannya. Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipuasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan Keliat (1994:41). Hal ini berkaitan dengan tumbuh kembang dimana seseorang akan merasakan perubahan pada dirinya seiring dengan bertambahnya usia. Tidak jarang seseorang menanggapinya dengan respon negatif dan positif. Ketidakpuasan juga dirasakan seseorang jika di dapati perubahan tubuh yang tidak ideal. Kedua, ideal diri yaitu persepsi individu tentang bagaimana harus berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau penilaian personal tertentu. Standar dapat berhubungan dengan tipe orang diinginkan atau sejumlah aspirasi, cita-cita, nilai-nilai yang ingin di capai. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang ingin di capai dan harapan pribadi berdasarkan norma sosial dan kepada siapa ingin dilakukan. Ideal diri mulai berkembang pada masa kanak-kanak yang di pengaruhi orang yang penting pada dirinya yang memberikan keuntungan dan harapan pada masa remaja. Ideal diri akan dibentuk melalui proses identifikasi pada orang tua, guru dan teman. Ideal diri ini hendaknya ditetapkan tidak terlalu tinggi, tetapi masih lebih tinggi dari kemampuan agar tetap menjadi pendorong dan masih dapat dicapai, sehingga individu mampu berfungsi dan mendemonstrasikan kecocokan antara persepsi dan ideal diri. Ketiga, harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka cenderung harga diri rendah. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Aspek utama adalah dicintai dan menerima penghargaan dari orang lain. Biasanya harga diri sangat rentan terganggu pada saat remaja dan usia lanjut. Dari hasil riset ditemukan bahwa masalah kesehatan fisik mengakibatkan harga diri rendah. Harga diri tinggi terkait dengan ansietas yang rendah, efektif dalam kelompok dan diterima oleh orang lain. Sedangkan harga diri rendah terkait dengan hubungan interpersonal yang buruk dan resiko terjadi depresi dan skizofrenia. Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga diri rendah dapat terjadi secara situasional (trauma) atau kronis (negatif self evaluation yang telah berlangsung lama) yang dapat di ekspresikan secara langsung atau tidak langsung (nyata atau tidak nyata). Keempat, Peran adalah pola sikap, perilaku, nilai dan tujuan yang diharapkan dari seseorang berdasarkan posisinya dimasyarakat. Posisi dibutuhkan oleh individu sebagai aktualisasi diri. Harga diri yang tinggi merupakan hasil dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri. Posisi dimasyarakat dapat merupakan stresor terhadap peran karena struktur sosial yang menimbulkan kesukaran, atau tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam menyesuaikan diri dengan peran yang harus dilakukan : 1. Kejelasan perilaku dan pengetahuan yang sesuai dengan peran. 2. Konsistensi respon orang yang berarti terhadap peran yang dilakukan. 3. Kesesuaian dan keseimbantgan antar peran yang diemban 4. Keselarasan budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran 5. Pemisahan situasi yang akan menciptakan ketidaksesuaian perilaku peran. Kelima, Identitas adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian, yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh. Seseorang yang mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya berbeda dengan orang lain, unik dan tidak ada duanya. Kemandirian timbul dari perasaan berharga (respek pada diri sendiri), kemampuan dan penguasaan diri. Kesimpulannya konsep diri yang berupa totalitas persepsi, pengharapan, dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri terbentuk berdasarkan proses belajar tentang nilai, sikap, peran dan identitas yang berlangsung seiring tugas perkembangan yang diemban. A.2. Kualitas Konsep Diri Menurut Calhoun dan Accocella melalui Adi (dalam situsnya www.dorogoblog.blogspot.com) menyatakan bahwa dalam perkembangannya konsep diri terbagi menjadi dua yaitu: konsep diri positif dan konsep diri negatif. Setiap individu memiliki kualitas konsep diri yang berbeda-beda. Kualitas konsep diri berada dalam kontinum dari konsep diri yang negatif/rendah hingga konsep diri yang positif/tinggi. Secara ekstrim, konsep diri seseorang dapat dikategorikan kedalam kelompok konsep diri negatif atau kelmpok konsep diri positif. Namun, dalam kenyataannya tidak ada individu yang konsep dirinya sepenuhnya negatif atau sebaliknya. Konsep diri positif dapat disamakan dengan evaluasi diri positif, penghargaan diri yang positif, perasaan harga diri yang positif dan penerimaan diri yang positif. Konsep diri yang positif bersifat stabil dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu yang tahu betul tentang dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, evaluasi terhadap dirinya sendiri menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang memiliki konsep diri positif akan merancang tujuan-tujuan yang sesuai dengan realitas, yaitu tujuan yang kemungkinan besar tercapai. Hamachek dalam Rakhmat (2012:104) menjelaskan beberapa ciriciri konsep diri positif, ciri-ciri tersebut antara lain : 1. Ia meyakini dengan betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Tetapi, dia juga merasa dirinya cukup tangguh untuk mengubah prinsip-prinsip itu bila pengalaman dan bukti-bukti baru menunjukkan bahwa ia salah. 2. Ia mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebih-lebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. 3. Ia tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang terjadi di waktu lalu dan apa yang terjadi di waktu sekarang. 4. Ia memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia mengahadapi kegagalan atau kemuduran. 5. Ia merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi dan atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. 6. Ia sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya. 7. Ia dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati dan menerima penghargaan tanpa rasa bersalah. 8. Ia sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. 9. Ia peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. Konsep diri negatif sama dengan evaluasi diri yang negatif. Orang yang memiliki konsep diri negatif tidak akan mampu merumuskan dan mengemas hal-hal yang hendak ia komunikasikan dengan orang lain, sehingga komunikasinya menjadi lambat. Pesan yang tidak disampaikan dengan baik akan menimbulkan tanggapan yang juga tidak baik, akhirnya sebuah proses komunikasi yang diharapkan tidak dapat terlaksana secara efektif. Dengan konsep diri yang negatif, seseorang akan merasa minder, rendah, penakut, membenci diri dan tidak adanya perasaan menghargai pribadi dan penerimaan diri. Orang yang tidak menerima dirinya sendiri cenderung tidak menerima orang lain. Berikut ciri-ciri orang yang memiliki konsep diri negatif antara lain, yaitu: 1. Peka atau tidak tahan terhadap kritik dan mudah marah jika dikritik karena dianggap menjatuhkan harga dirinya, 2. Sangat responsif terhadap pujian, senang dipuji meskipun dia sering berpura-berpura menghindari pujian 3. Bersikap hiperkritis terhadap orang lain, selalu mengeluh, mencela atau meremehkan terhadap apa dan siapapun, juga tidak pandai mengungkapkan penghargaan dan pengakuan terhadap orang lain. 4. Cenderung merasa tidak disenangi dan tidak diperhatikan oleh orang lain, menganggap orang lain sebagai musuh, 5. Pesismis dan enggan berkompetisi dengan orang lain dalam berperestasi. Kualitas konsep diri seseorang berdasarkan tiga dimensi: melalui Adi (dalam situsnya www.dorogoblog.blogspot.com) pengetahuan, evaluasi dan pengaharapan seseorang atas dirinya. Atas dasar itu, mereka mendiskripsikan beberapa karakter seseorang sesuai kualitas konsep dirinya, yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada dimensi pengetahuan, jika seseorang memiliki konsep diri negatif maka ia tidak mempunyai pandangan yang teratur tentang dirinya sendiri, sehingga ia tidak mempunyai kestabilan dan keutuhan diri. Seseorang dengan konsep diri negatif, ia tidak mengetahui siapa dirinya, apa kelebihan / kekurangannya serta apa yang dia hargai dalam hidupnya. Sebaliknya, orang dengan konsep diri positif ia akan dapat mengenal dengan baik siapa dirinya. Selain itu ia akan dapat memahami dan menerima berbagai fakta dan keadaan yang ada pada dirinya secara apa adanya. Pada dimensi evaluasi, konsep diri yang negatif merupakan penilaian yang negatif terhadap diri. Orang dengan konsep diri negatif, tidak pernah menilai baik diri sendiri. Baginya, apapun yang dicapainya dianggap tidak berharga dibandingkan dengan yang dicapai orang lain. Orang semacam ini sangat mungkin mengalami kecemasan karena menghadapi informasi dirinya sendiri yang tidak dapat diterimanya dengan baik. Keadaan sebaliknya akan terjadi pada orang yang memiliki konsep diri positif. Dari dimensi pengharapan, seseorang dengan konsep diri negatif terlalu banyak atau bisa juga terlalu sedikit harapan dalam hidupnya, yang sebenarnya tidak sesuai dengan keadaan dirinya. Oleh karena tidak punya harapan maka dia tidak mengharapkan suatu kesusksesan apapun, sehingga dia tidak akan pernah merasa sukses. Bisa juga sebaliknya, karena harapannya terlalu tinggi, maka apa yang telah dicapainya dianggap masih jauh dari harapannya. Dengan kata lain, orang dengan konsep diri negatif mempunyai pengharapan yang tidak realistis. Sedangkan orang dengan konsep diri positif akan mempunyai pengharapan dan cita-cita yang realistis sesuai dengan keadaan dirinya. Orang dengan konsep diri positif akan dapat bertindak dengan berani dan spontan serta memperlakukan orang lain dengan hangat dan hormat. Jadi, pada dasarnya konsep diri yang negatif adalah pemahaman yang tidak tepat tentang dirinya sendiri, pengharapan diri yang tidak realistis dan penilaian yang rendah pada diri sendiri (harga diri yang rendah). Sedangkan konsep diri yang positif adalah pengetahuan yang luas dan bermacam-macam tentang dirinya sesuai dengan keadaan sebenarnya, pengharapan diri yang realistis dan harga diri yang tinggi. Jika seseorang memiliki konsep diri yang positif berarti ia akan menilai, menghargai, merasa dan menerima keadaan dirinya secara positif. Sebaliknya, seseorang yang memiliki konsep diri yang negatif berarti ia memiliki evaluasi diri yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri serta tiadanya penghargaan dan penerimaan terhadap diri sendiri. Dijelaskan lebih lanjut bahwa orang-orang dengan penilaian diri yang tinggi dan perasaan harga diri yang tinggi umunya mereka menerima keadaan dirinya. Sebaliknya mereka yang menilai dirinya secara negatif, akan mempunyai perasaan harga diri yang kecil, penghargaan diri yang kecil ataupun penerimaan diri yang kecil. Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah pemahaman, perasaan, dan pengharapan seseorang terhadap dirinya sendiri, baik secara fisik, psikis, maupun sosialnya. Kualitas konsep diri seseorang dapat bersifat negatif atau positif tergantung bagaimana pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri. Konsep diri negatif merupakan pemahaman, penilaian/perasaan dan pengharapan diri yang negatif atas diri sendiri. Begitu pula sebaliknya untuk konsep diri yang positif. Ciri-ciri seseorang yang memiliki konsep diri positif antara lain : memahami dan menerima keadaan dirinya, perasaan harga diri yang tinggi, mempunyai kepercayaan diri, menghargai orang lain dan mempunyai harapan yang realistis dalam hidupnya. Demikian pula jika yang terjadi sebaliknya, menunjukkan adanya indikasi seseorang memiliki kualitas konsep diri yang negatif. A.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep Diri 1. Orang Lain Kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Konsep diri terbentuk dari bagaimana penilaian orang lain tentang kita. Harry Stack Sullivan (1953) dalam Rakhmat (2012:100) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersifat menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya jika orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak akan menyenangi diri kita. Namun tidak semua orang lain mempunyai pengaruh yang sama tentang diri kita. Yang paling berpengaruh adalah orang-orang yang paling dekat dengan diri kita. George Herbert Mead (1934) dalam Rakhmat (2012:10) menyebut mereka sebagai significant others (orang lain yang sangat penting). Ketika masih kecil, significant others adalah orang tua kita, saudara-saudara kita dan orang yang tinggal satu rumah dengan kita. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Richard Dewey dan W.J Humber (1966:105) menamainya affective others (orang lain yang membuat kita mempunyai ikatan emosional). Dari mereka secara perlahan-lahan kita membentuk konsep diri kita. Kita akan menilai diri kita positif jika mendapat senyuman, pujian, penghargaan dan pelukan mereka. Sebaliknya ejekan dan cemoohan membuat kita memandang diri kita secara negatif. Dalam perkembangan, significant others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan perasaan kita. Mereka mengarahkan tindakan kita, membentuk pikiran kita dan menyentuh kita secara emosional. Ketika kita tumbuh dewasa, kita mencoba menghimpun penilaian semua orang yang pernah berhubungan dengan kita. Kita akan menilai diri kita sesuai dengan persepsi orang lain. Mead (1934) dalam Budyatna (2011:190) menyebutnya dengan generalized others, yakni pandangan diri kita tentang seluruh pandangan orang lain terhadap kita. Kita memandang diri kita sendiri dari sudut pandang orang lain berarti kita berusaha menempatkan diri kita sebagai orang lain. Hal itu juga di sebut Med sebagai Role Taking yaitu kemampuan dari diri individu untuk bertindak secara sosial terhadap dirinya seperti terhadap orang lain. 2. Kelompok Rujukan (Reference Group) Dalam pergaulan masyarakat, setiap orang sebagai anggota masyarakat menjadi anggota berbagai kelompok. Setiap kelompok mempunyai norma-norma sendiri. Ada kelompok secara emosional mengikat kita dan berpengaruh kepada pembentukan konsep diri kita. Kelompok inilah yang disebut dengan kelompok rujukan, dimana dengan melihat kelompok ini orang-orang akan mengarahkan perilakunya dan menyesuaikan diri dengan ciri-ciri kelompoknya. A.4. Aspek-aspek Konsep Diri Secara garis besar ada lima aspek yang mempengaruhi perkembangan konsep diri, yaitu citra fisik, merupakan evaluasi terhadap diri secara fisik, bahasa, yaitu kemampuan melakukan konseptualisasi dan verbalisasi, umpan balik dari lingkungan, identifikasi dengan model dan peran jenis yang tepat, dan pola asuh orang tua. Konsep diri individu akan terbentuk baik dan menjadi positif jika aspek-aspek yang mempengaruhi tersebut berfungsi secara positif juga. Hurlock (1999: 237) mengemukakan bahwa konsep diri memiliki dua aspek, yaitu: 1. Fisik. Aspek ini meliputi sejumlah konsep yang dimiliki individu mengenai penampilan, kesesuaian dengan jenis kelamin, arti penting tubuh dan perasaan gengsi di hadapan orang lain yang disebabkan oleh keadaan fisiknya. Hal penting yang berkaitan dengan keadaan fisik adalah daya tarik dan penampilan tubuh dihadapan orang lain individu dengan penampilan yang menarik cenderung mendapatkan sikap sosial yang menyenangkan dan penerimaan sosial dari lingkungan sekitar yang akan menimbulkan konsep yang positif bagi individu. Aspek fisik dalam konsep diri merupakan sesuatu yang memiliki arti penting didalam memahami keberadaan dari hal-hal yang menentukan seseorang berkomunikasi. Aspek fisik yang ditekankan berkaitan dengan adanya perubahan bentuk tubuh dalam hal ini terjadinya suatu sifat-sifat yang menonjol dalam perubahan morfologi secara fisik dari seseorang seperti struktur tubuh dari anak-anak menjadi remaja terlihat dari pertumbuhan payudara, perubahan hormon dan masuknya masa pubertas. Dari aspek penampilan, seorang perempuan yang mulai dewasa cenderung ingin tampil cantik, menarik, dan mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Setiap diri manusia memiliki konsep diri untuk senantiasa tampil menjadi populer atau terkenal, dengan tindakan-tindakan yang dianggapnya memainkan peranan penting untuk mengaktualisasikan dirinya menjadi suatu akses diri yang dapat diterima menurut kondisi lingkungannya dalam memainkan peranannya. Popularitas, pembangkangan dan pencarian sensai diri biasanya menjadi sesuatu yang bermakna bagi setiap manusia yang mengembangkan konsep diri melalui pengenalan bentuk tubuh secara fisik dan penampilan fisik dalam diri. Termasuk dalam hal ini kawula muda senantiasa mencari popularitas diri melalui caracara atau tindakan yang dianggap mengalami perubahan sesuai dengan bentuk perubahan tubuh secara fisik dan penamplan secara fisik. Perubahan ini yang kemudian menjadi pantas untuk dikenal, sehingga terdapat teori popularitas yang dikenal oleh Dofivat Emil dalam Rakhmat (2007:147) yang menyatakan bahwa popularitas, pembangkangan dan pencarian sensasi diri merupakan bagian dari peran yang ingin ditunjukkan oleh kaum muda dalam mencari makna keberadaannya dalam taraf pemantapan dalam bertindak menurut apresiasinya terlihat dari adanya perubahan secara fisik pada bentuk tubuh seseorang dan penampilannya. Menurut Rakhmat (2007:32) yakni Memahami bentuk fisik menurut perubahan bentuk tubuh yang dimiliki oleh seseorang dalam berbagai tindakan-tindakan peran yang dimainkan, maka beberapa dalil-dalil yang menyatakan bahwa secara fisik berdasarkan bentuk tubuh dan penampilan merupakan salah satu bentuk pencarian sensasi diri sebagai bagian daripada tindakan peran yang dimainkan oleh kaum muda untuk menunjukkan apresiasi konsep dirinya. Hal ini disesuaikan dengan perubahan konsep diri dengan lingkungannya, sehingga dianggap benar peran yang dimainkannya secara fisik dalam memperkenalkan bentuk perubahan tubuh dan penampilan diri secara fisik sebagai wujud dari apresiasi tentang konsep diri yang terdapat dalam keberadaan seseorang. Memahami konsep diri secara fisik, maka diambil suatu kesimpulan bahwa setiap diri atau orang mempunyai keinginan secara fisik untuk mengalami perubahan baik perubahan bentuk tubuh dan penampilan dalam mengapresiasikan peran yang dimainkan. Kaitannya dengan konsep diri dari wanita pengemudi bentor pada prinsipnya mengembangkan konsep diri yang berkaitan dengan akses komunikasi yang secara fisik melakukan tindakantindakan diri untuk mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan bentuk tubuh secara fisik sesuai dengan bentukbentuk perlakuan peran yang dimainkan dalam hal ini peran sebagai pengemudi bentor. 2. Psikologis. Aspek ini meliputi penilaian individu terhadap keadaan psikis dirinya, seperti rasa percaya diri, harga diri, serta kemampuan dan ketidakmampuannya. Penilaian individu terhadap keadaan psikis dirinya, seperti perasaan mengenai kemampuan atau ketidakmampuannya akan berpengaruh terhadap rasa percaya diri dan harga dirinya. individu yang merasa mampu akan mengalami peningkatan rasa percaya diri dan harga diri, sedangkan individu dengan perasaan tidak mampu akan merasa rendah diri sehingga cenderung terjadi penurunan harga diri. Konsep diri yang berkaitan dengan aspek psikologis meliputi kepribadian atas permasalahan kejiwaan yang dimiliki oleh seseorang. Psikologis seseorang memiliki relevansi dengan perkembangan diri yang sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul, adanya berbagai konflik-konflik diri yang dihadapi dan situasi emosional yang menyebabkan diri seseorang melakukan suatu peran dalam mengatasi permasalahannya. Teori kejiwaan yang dikemukakan oleh Burns (1979:85) menyatakan bahwa adanya pikiran, perasaan dan tindakan terjadi dari perubahanperubahan penjiwaan yang diperankan oleh seseorang dalam menghadapi kehidupannya yang tidak terlepas dari watak, perasaan dan sikap yang ditunjukkan. Suatu kesimpulan yang dapat diambil dalam memahami konsep diri yaitu bagaimana melihat pentingnya suatu perwatakan atas karakter seseorang, perasaan dan sikap yang ditunjukkan dalam menjalankan profesinya. Kaitannya memahami konsep dengan eksistensi sebagai wanita yang diri dalam menyikapi profesinya sebagai pengemudi bentor, maka psikologi berdasakan watak, perasaan, dan sikap yang terarah menjadi suatu barometer bahwa peran-peran yang dimainkan tersebut dapat dikomunikasikan dengan baik dalam menghadapi hidup. Aspek fisik tersebut berhubungan dengan keadaan tubuh dan penampilan individu, sedangkan aspek psikologis berhubungan dengan harga diri, rasa percaya diri, kemampuan dan ketidakmampuan. Menurut Lerner dan Spanier dalam Nuryoto (1996:45), perkembangan seseorang selain ditentukan oleh kondisi dirinya, juga dikaitkan dengan kehidupan kelompok dalam lingkungan masyarakatnya pada setiap tahap perkembangan yang dilaluinya. Selain kedua aspek konsep diri di atas ada juga aspek sosial yang mempengaruhi konsep diri manusia. Konsep diri dilihat dari aspek sosial merupakan suatu penilaian terjadinya kegiatan komunikasi dalam menjelaskan diri setiap orang dalam memainkan peranannya pada aspek sosial. Aspek sosial mengkomunikasikan berbagai hal yang berkaitan dengan hubungan setiap diri orang dengan kondisi keluarganya, hubungannya dengan lingkungan sekitarnya dan komunikasi yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dalam berbagai interaksinya dalam konteks status sosialnya. Teori konsep diri yang berkaitan dengan aspek sosial, yang digunakan adalah teori “rekayasa sosial”. Menurut Rakhmat (1999:47), teori ini pada prinsipnya adalah teori yang mengantarkan pada perubahan sosial yang diiliki oleh seseorang dalam menghadapi kondisi sosialnya agar seseorang tersebut mendapatkan penilaian dan penghargaan diri. Hal yang mendasar dalam membicarakan tentang konsep diri terkait dengan penilaian diri dan penghargaan diri yaitu ada beberapa nilai yang perlu dipertimbangkan. Nilai itu sangat terkait dengan eksistensi sosial antara lain keberadaan individu dalam suatu keluarga, individu dalam suatu lingkungan dan individu dalam berinteraksi memenuhi kebutuhannya termasuk dalam hal ini kebutuhan untuk dinilai dan dihargai sesuai keberadaannya dalam memainkan peranan sosial. Mengembangkan suatu konsep diri, setiap individu berupaya mengembangkan aspek sosialnya. Aspek sosial memainkan peran dari setiap individu untuk memiliki nuansa yang meliputi adanya hubunganhubungan yang harmonis dalam mengembangkan eksistensi sosialnya secara terpadu melalui hubungan yang harmonis dengan keluarganya, hubungan yang berinteraksi dengan lingkungannya dan akses pemenuhan kebutuhan sosialnya termasuk adanya keinginan dalam diri seseorang untuk dinilai dan dihargai. Penerapan aspek sosial dalam kaitannya dengan konsep diri yaitu bagaimana setiap keluarga berupaya untuk menciptakan hubungan yang harmonis diantara anggota keluarga untuk menghindari adanya keluarga yang tidak harmonis, keluarga yang anaknya nakal, keluarga yang orang tuanya bercerai, selingkuh, bahkan menyebabkan keluarga tersebut berntakan (broken home), sehingga diantara keluarga tersebut eksistensi dari konsep diri yang dimilki mengalami degradasi atau perpecahan. Untuk itu konsep diri dari aspek sosial ditentukan oleh adanya penilaian atas diri dan penghargaan diri. Termasuk pula didalamnya pentingnya konsep diri pada aspek sosial yang berkaitan dengan kebutuhan akan penilaian dan penghargaan diri dalam mengatasi segala bentuk konflik yang dapat menjatuhkan harkat dan martabat diri dan keluarga. Terjadinya perubahan sosial dalam diri seseorang tidak terlepas dari adanya kebutuhan aktualisasi diri termasuk kemampuan dalam mengaktualisasikan diri untuk memenuhi berbagai kekurangan dan berkeinginan untuk memiliki kelebihan. Menurut Asphira (2005:44) dalam Achmad (2010:42) mengemukakan teori kemiskinan struktural merupakan teori yang mendasari bahwa banyaknya terjadi kemiskinan diakibatkan rendahnya kemampuan diri seseorang memenuhi aktualisasi dirinya dalam pengembangan konsep diri dengan melakukan berbagai interaksi sosial sebagai bentuk penilaian dan penghargaan diri. Menguraikan pandangan para ahli diatas, maka dimengerti bahwa konsep diri dalam tinjauan aspek sosial pada intinya merupakan tinjauan pada diri seseorang yang berkaitan dengan hubungan dengan keluarganya, hubungan dengan lingkungan sekitarnya dan hubungan dengan penilaian dan penghargan diri. Konsep makna hidup dalam kajian sosial yang dikemukakan oleh Fuad (2004:39) dalam Achmad (2010:42) menyatakan bahwa setiap orang memiliki konsep diri dalam setiap aktivitas sosialnya termasuk dalam mengatasi hubungannya dengan keluarga, hubungannya dengan lingkungan sekitar dan hubungannya dengan pemenuhan kebutuhannya, termasuk dalam hal ini interaksi dalam memberikan suatu penilaian diri dan pernghargaan pada diri. Dari penjelasan diatas dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan konsep diri pada aspek sosial yaitu mewujudkan eksistensi diri seseorang dalam memperbaiki hubungan diri dan keluarganya, hubungan diri dengan lingkungan sekitarnya dan hubungan diri terhadap pemenuhan kebutuhannya, sehingga setiap orang memainkan peranan sesuai dengan fungsi yang dibutuhkan untuk mendapatkan penilaian diri dan penghargaan diri. Dari uraian mengenai aspek-aspek konsep diri diatas, dapat disimpulkan bahwa semua aspek tersebut tercakup dalam tiga perkembangan khas pada konsep diri manusia yaitu fisik, sosial, dan psikologis. Berdasarkan para ahli ketiga perkembangan itu saling berkait dalam pembentukan konsep diri. Pandangan dari uraian konsep diri yang perlu disikapi dalam kaitannya dengan konsep diri wanita pengemudi bentor tentunya merupakan suatu konsep diri yang diakibatkan oleh adanya aspek-aspek sosial yang tidak berjalan dengan harmonis yang terkait dengan adanya keinginan untuk mendapatkan penilaian diri dan adanya keinginan untuk lebih dihargai. B. Perilaku Komunikasi Analisis perilaku dalam setiap individu memerlukan pengetahuan tentang lingkungan yang menyebabkan tingkah laku, penerapan dan pengembangan strategi utnuk mengubah perilaku dan bagaimana suatu strategi dapat merubah perilaku. Pengertian perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan seseorang, seperti berfikir, marah, berbicara, berjalan dan lain sebagainya. Perilaku pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Dengan kata lain, perilaku pada umumnya dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Tujuan spesifik tidak selamanya diketahui dengan sadar oleh yang bersangkutan. Hersey& Blanch (2004:68) mengatakan dorongan yang memotivasi pola perilaku individu yang nyata dalam kadar tertentu berada dalam alam bawah sadar dalam. Gould dan Kolb dalam Suranto (2011:79), perilaku komunikasi adalah segala aktivitas yang bertujuan untuk mencari dan memperoleh informasi dari berbagai sumber dan untuk menyebarluaskan informasi kepada pihak manapun yang memerlukan. Perilaku komunikasi pada dasarnya berorientasi pada tujuan dalam arti perilaku seseorang pada umumnya dimotivasi dengan keinginan untuk memperoleh tujuan tertentu. Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Penerima menerima pesan, dan setelah mengerti isi pesan itu kemudian menanggapi dan menyampaikan taggapannya kepada pengirim pesan. Dengan menerima tanggapan dari si penerima pesan itu, pengirim pesan dapat menilai efektifitas pesan yang dikirimkannya. Berdasarkan tanggapan itu, pengirim dapat mengetahui apakah pesannya dimengerti dan sejauh mana pesannya dapat diterima dan dimengerti oleh si penerima pesan itu. Pesan yang disampaikan oleh pengirim kepada penerima dapat dikemas secara verbal dengan kata-kata atau dengan non verbal. 1. Komunikasi verbal Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan maupun tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antarmanusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi, pemikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikna fakta, data, dan informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling berdebat dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu, bahasa memegang peranan penting. 2. Komunikasi Nonverbal Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam bentuk nonverbal, tanpa kata-kata. Dalam kenyataan hidup, komunikasi nonverbal ternyata jauh lebih banyak dipakai dari pada komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal digunakan hampir disetiap manusia berkomunikasi. Karena itu, komunikasi nonverbal bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi nonverbal lebih jujur mengungkapkan hal yang mau diungkapkan karena diungkapkan secara spontan. Meskipun lebih umum, terusmenerus dipakai dan lebih jujur, namun komunikasi nonverbal lebih sulit ditafsir karena kabur. Kekaburan ini disebabkan karena struktur komunikasi nonverbal tidak jelas. C. Hubungan Interpersonal Salah satu indikasi bahwa manusia sebagai makhluk sosial, adalah perilaku komunikasi antar manusia. Manusia tidak dapat hidup sendiri, pasti membutuhkan orang lain. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berkeinginan untuk berbicara, tukar-menukar gagasan, mengirim dan menerima informasi, berbagi pengalaman, bekerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan dan sebagainya. Interaksi manusia dengan manusia menunjukkan bahwa setiap orang memerlukan bantuan dari orang lain disekitarnya. Untuk itu ia melakukan komunikasi. Salah satu jenis komunikasi yang frekuensi terjadinya cukup tinggi adalah komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik yang melibatkan hanya dua orang secara tatap-muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal ataupun nonverbal, seperti suami-isteri, dua sejawat, dua sahabat dekat, dan seorang guru dengan seorang muridnya. Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam Deddy Mulyana, (2005:15) mengatakan ciri-ciri komunikasi diadik adalah: Peserta komunikasi berada dalam jarak yang dekat Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan spontan, baik secara verbal maupun nonverbal. Menurut Trenholm dan Jensen (1995:26) dalam Suranto (2011:3) mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai komunikasi antar dua orang yang berlangsung secara tatap muka (komunikasi diadik). Sifat komunikasi diadik yaitu : spontan dan informal, saling menerima feedback secara maksimal, serta partisipan berperan fleksibel. Selain itu menurut Littlejohn (1999) dalam Suranto (2011:3) memberikan definisi komunikasi antar pribadi (Interpersonal Communication) adalah komunikasi antara individu-individu. Sementara itu menurut Deddy Mulyana (2008:81) dalam Suranto (2011:4) menyatakan bahwa komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap, reaksi orang lain secara langsung, baik secra verbal maupun nonvebal. Komunikasi yang efektif ditandai dengan hubungan interpersonal yang baik, yaitu apabila penerima menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana yang dimaksudkan oleh pengirim. Kenyataannya sering sekali terjadi kesalahpahaman dalam mengkomunikasikan hal yang diinginkan karena perbedaan interpretasi antara pengirim dan penerima sehingga pengirim gagal. C.1 Teori-teori Hubungan Interpersonal Berdasarkan teori dari Coleman dan Hammen, Jalaluddin Rakhmat (1998: 120-124) dalam Suranto (2011:37) ada tiga buah teori atau model hubungan interpersonal, yaitu: teori pertukaran sosial, teori peranan dan teori penetrasi sosial. a). Teori Pertukaran Sosial Teori ini memandang bahwa pola hubungan interpersonal menyerupai transaksi dagang. Hubungan antara manusia (interpersonal) itu berlangsung mengikuti kaidah transaksional, yaitu apakah memperoleh keuntungan dalam sebuah transaksi atau justru mengalami kerugian. Jika memperoleh keuntungan maka hubungan interpersonal berjalan mulus, akan tetapi jika merasa rugi maka hubungan itu akan terganggu dan putus bahkan berubah menjadi permusuhan. Dengan demikian, orang berniat untuk menjalin hubungan dengan orang lain karena dilandasi oleh adanya keinginan untuk mendapat keuntungan, yaitu memenuhi kebutuhannya asumsi teori ini, setiap individu secara sadar merasa nyaman menjalin hubungan interpersonal hanya selama hubungan terbut memuaskan ditinjau dari segi ganjaran dan biaya (reward dan cost). Menurut Rahmat (2012:113) menyatakan bahwa ganjaran adalah setiap akibat yang dinilai positif yang diperoleh seseorang dalam suatu hubungan, ganjaran dapat berbentuk uang, penerimaan sosial, dukungan terhadap nilai yang dipegangnya, maupun bentuk penghargaan lainnya. Makna ganjaran bagi setiap individu itu berbeda-beda. Bagi orang yang tidak mampu secara ekonomi, ganjaran berupa uang memiliki nilai yang amat tinggi, Dengan demikian seseorang secara suka rela menjalin hubungan dengan orang lain, sepanjang ganjaran berupa penghasilan atau uang yang diharapkan itu dapat terwujud. Dalam hal ini seorang wanita pengemudi bentor yang tetap setia berhubungan dengan para pelanggannya agar tetap menerima ganjaran (reward) berupa uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dan bagi pelanggannya juga tetap mendapatkan ganjaran (reward) berupa pelayanan yang nyaman, mudah dihubungi untuk diantarkan ketika ingin bepergian ketempat yang dituju. Sedangkan biaya didefinisikan sebagai akibat yang dinilai negatif yang terjadi di dalam suatu hubungan. Biaya bisa berupa uang, waktu, usaha, konflik, pemikiran, kecemasan dan keruntuhan harga diri dan kondisi-kondisi yang lain yang dapat mengakibatkan efek-efek yang tidak menyenangkan. Ganjaran dan biaya berubah-ubah sesuai dengan waktu dan orang yang terlibat didalamnya. Dalam prespektif teori pertukaran sosial ini, ketika seseorang menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, maka akan selalu melakukan perhitungan tentang hasil atau laba dari hubungan itu. Hasil atau laba adalah ganjaran dikurangi biaya. Dalam hal ini seorang pengemudi bentor membutuhkan jaringan entah itu dari mulut kemulut atau melalui telepon (biaya) sehingga dapat dihubungi oleh siapa saja yang membutuhkan jasanya (ganjaran). b). Teori Peranan Menurut Rakhmat (2012:120), teori peranan memandang hubungan interpersonal sebagai panggung sandiwara. Setiap orang harus memainkan peranannya sesuai dengan ”skenario” yang di buat oleh masyarakat. Menurut teori ini, jika kita mematuhi skenario, maka hidup kita akan harmoni, tetapi jika menyalahi skenario, maka kita akan di cemooh oleh penonton dan ditegur oleh sutradara. Peranan merupakan aspek dinamis dari suatu status (kedudukan). Apabila kita melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan status yang kita miliki dalam masyarakat, maka kita telah menjalankan sebuah peranan dengan baik. Peranan adalah tingkah laku yang diharapkan dari orang yang memiliki kedudukan atau status. Antara kedudukan dan peranan tidak dapat dipisahkan. Tidak ada peran tanpa kedudukan. Kedudukan tidak berfungsi tanpa peran. Dalam hal ini yaitu peranan seorang wanita yang mengemudikan bentor dimana dirinya seharusnya menjalankan peranannya sebagai seorang wanita/ibu pada umumnya sehingga mendapatkan perlakuan yang pantas dari lingkungan sekitarnya. Asumsi teori peranan mengatakan bahwa hubungan interpersonal akan berjalan harmonis mencapai kadar hubungan yang baik yang ditandai adanya kebersamaan, apabila setiap invidu bertindak sesuai dengan ekspektasi peranan, tuntutan peranan, dan terhindar dari konflik peranan. Ekspekstasi peranan atau peranan yang diharapkan, artinya hubungan interpersonal berjalan baik apabila masing-masing individu dapat memainkan peranan sebagaimana yang diharapkan. Tuntutan peranan adalah desakan keadaan yang memaksa individu memainkan peranan tertentu yang sebenarnya tidak diharapkan dalam hubungan interpersonal, kadang-kadang seseorang dipaksa memainkan peranan teretntu, meskipun peran itu tidak diharapkan. Apabila tuntutan peran tersebut dapat dilaksanakan, hubungan interpersonal masih terjaga. Konflik peranan terjadi ketika individu tidak sangggup mempertemukan berbagai tututan peranan yang kontradiktif. Misalnya, seorang ibu yang berperan pula sebagai seorang pengemudi bentor di waktu yang bersamaan ia harus memilih mengantar mana yang terlebih dahulu, apakah tetangganya yang minta tolong untuk diantarkan ke rumah sakit atau harus mengemudikan bentor demi mendapat uang harian untuk keluarganya. c). Teori Penetrasi Sosial Teori ini dikemukakan oleh Altman dan Taylor (Liliweri, 1991 : 55) dalam Budyatna (2012:225) bahwa dalam hubungan antara pribadi telah terjadi penyusupan sosial ketika baru berkenalan dengan orang lain, untuk pertama kalinya yang dimulai ketidakakraban kemudian dalam proses yang terus menerus berubah menjadi lebih akrab sehingga pengembangan hubungan mulai terjadi. Dimana mulai menghitung apa yang bisa diterima dan keuntungan apa yang bisa diperoleh. Jadi hubungan antara pribadi melewati suatu proses, terus berjalan, berubah dalam berbagai gejala-gejala perilaku yang ditunjukannya. Hal yang pokok dalam penetral sosial adalah penyikapan diri (self disclosure) timbal balik, dimana setiap orang harus mengungkapkan dirinya pada orang yang disekitarnya sedikit demi sedikit. Pada awal hubungan terdapat suatu norma respon yang kuat yaitu pada saat orang sudah mulai membuka hal-hal mengenai dirinya, lingkunagannya dengan sendirinya akan melakukan hal yang sama. Dengan cara ini kepercayaan akan terbentuk. Menurut Miller dan Steinberg dalam Budyatna (1994:208) dalam konteks penetrasi sosial makin banyak komunikator mengenal satu sama lain, maka komunikasi bersifat antar pribadi (interpersonal). C.2 Efektivitas Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal dapat dikatakan efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagaimana dimaksud oleh pengirim pesan, pesan ditindaklanjuti dengan sebuah pembuatan secara suka rela oleh penerima pesan, dapat meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi, dan tidak ada hambatan untuk hal itu Hardjana (2003) dalam Suranto (2011:72). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa komunikasi interpersonal dikatakan efektif apabila memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu pesan yang dapat diterima dan dipahami oleh komunikan sebagaimana dimaksud oleh komunikator, ditindak-lanjuti dengan perbuatan secara sukarela, dan meningkatkan kualitas hubungan antar pribadi. 1). Pengertian yang sama terhadap makna pesan Salah satu indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran komunikasi dikatakan efektif, adalah apabila makna pesan yang dikirim oleh komunikator sama dengan makna pesan yang diterima oleh komunikan. Makna Pesan yang dikirim oleh Komunikator =1 Makna pesan yang diterima oleh komunikan Pada tataran empiris, seringkali terjadi mis komunikasi yang disebabkan oleh karena komunikan memahami makna pesan tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh komunikator. 2). Melaksanakan pesan secara suka rela Indikator komunikasi interpersonal yang efektif berikutnya adalah bahwa komunikan menindak lanjuti pesan tersebut dengan perbuatan dan dilakukan secara suka rela, tidak karena dipaksa. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam proses komunikasi interpersonal, komunikator dan komunikan memiliki peluang untuk memperoleh keuntungan. Komunikasi interpersonal yang baik dan berlangsung dalam kedudukan yang setara (tidak superior-inferior) sangat diperlukan agar kedua belah pihak menceritakan dan mengungkapkan isi pikirannya secara suka rela, jujur, tanpa merasa takut. Komunikasi interpersonal yang efektif mampu mempengaruhi emosi pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi itu kedalam suasana yang nyaman, harmonis, dan bukan sebagai suasana yang tertekan. Dengan demikian seberapa baik seseorang melakukan komunikasi dan interaksi antarpersona dengan orang lain, dapat dilihat dari bagaian dia mampu mencapai tujuan komunikasi secara sehat dan adil, bagaimana ia memberdayakan orang lain, dan bagaimana ia mampu menjaga perasaan dan harga diri orang lain. 3). Meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi Efektivitas dalam komunikasi interpersonal akan mendorong terjadinya hubungan yang positif terhadap rekan, keluarga, dan kolega. Hal ini disebabkan pihak-pihak yang saling berkomunikasi merasakan memperoleh manfaat dari komunikasi itu, sehingga merasa perlu untuk memelihara hubungan antarpribadi. Seringkali orang tidak menyadari pentingnya masalah interaksi antarmanusia, karena sebagian orang beranggapan bahwa yang terpenting adalah modal kekuasaan dan modal material. Kalau dua modal itu berada ditangan, dikiranya segala urusan menjadi lancar dan berpihak kepadanya. Padahal kecakapan dalam komunikasi interpersonal merupakan aset yang penting dalam hubungan bermasyarakat. Banyak orang yang menjadi sukses karena mereka memiliki hubungan yang sangat baik dengan orang lain. Mereka menanamkan identitas yang positif kepada orang lain sehingga mereka memiliki image yang baik dimata masyarakat. Dengan demikian, mereka memiliki kesempatan lebih untuk mendapatkan kepercayaan dari orang lain dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kemampuan komunikasi interpersonal yang baik. Menurut Suranto (2011:80) Komunikasi interpersonal dianggap efektif, jika komunikan memahami pesan komunikator dengan benar, dan memberikan respon sesuai dengan yang komunikator inginkan. Komunikasi interpersonal yang efektif berfungsi : a. Membentuk dan menjaga hubungan baik antar individu b. Menyampaikan pengetahuan atau informasi c. Mengubah sikap dan perilaku d. Pemecahan masalah hubungan antar manusia e. Citra diri menjadi lebih baik f. Jalan menuju sukses. Dalam semua aktivitas tersebut, esensi komunikasi interpersonal yang berhasil adalah proses saling berbagi (sharing) informasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Keefektifan komunikasi interpersonal dapat juga dijelaskan dari perspektif The 5 Inevitable Laws of Effective Communication (Lima Hukum Komunikasi Efektif) melalui ajimahendra.blogspot.com dalam Suranto (2011:80). Lima hukum tersebut yaitu Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humble disingkat REACH yang berarti meraih. Hal ini relevan dengan prinsip komunikasi interpersonal, yakni sebagai upaya bagaimana meraih perhatian, pengakuan, cinta kasih, simpati, maupun respon positif dari orang lain. 1). Respect Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi interpersonal yang efektif adalah respect, ialah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka kita dapat membangun kerja sama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan kualitas hubungan antar manusia. 2). Empathy Empathy (empati) adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dahulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Komunikasi empatik dilakukan dengan memahami dan mendengar orang lain terlebih dahulu, kita dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam membangun kerjasama atau sinergi dengan orang lain. Rasa empati akan meningkatkan kemampuan kita untuk dapat menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima atau komunikan menerimanya. Oleh karena itu memahami perilaku komunikan merupakan keharusan. Dengan memahami perilaku komunikan, maka kita dapat empati dengan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan, dan kesenangan dari komunikan. Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima. 3). Audible Makna dari audible antara lain : dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik, maka audible berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. 4). Clarity Selain bahwa pesan harus dapat dimengerti dengan baik, maka hukum keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari pesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi interpersonal kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutuptutupi atau disembunyikan), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan. 5). Humble Hukum kelima dalam membangun komunikasi interpersonal yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendh hati yang kita miliki. Sikap rendah hati pada intinya antara lain : sikap melayani, sikap menghargai, mau mendengar, dan menerima kritik, tidak sombong, dan memandang rendah orang lain, berani mengakui keslalahan, rela memaafkan, lemah lembut, dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima hukum pokok komunikasi yang efektif ini, maka kita dapat menjadi seorang komunikator yang handal, dapat menyampaikan pesan dengan cara yang sesuai dengan keadaan komunikan. Komunikasi interpersonal yang tidak mempertimbangkan keadaan komunikan, akan menghasilkan komunikasi yang arogan, satu arah, dan seringkali menjengkelkan orang lain. Menurut Devito (2011: 285-290), mengemukakan lima sikap positif yang perlu dipertimbangkan ketika seseorang merencanakan komunikasi interpersonal. Lima sikap positif tersebut, meliputi : 1). Keterbukaan (openness) Keterbukaan ialah sikap dapat menerima masukan dari orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, tetapi rela membuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang diketahuinya. Dengan kata lain, keterbukaan ialah kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan informasi ini tidak bertentangan dengan asas kepatutan. Sikap keterbukaan ditandai dengan adanya kejujuran dalam merespon segala stimuli komunikasi. Tidak berkata bohong, dan tidak menyembunyikan informasi yang sebenarnya. Dalam proses komunikasi interpersonal, keterbukaan menjadi salah satu sikap yang positif. Hal ini disebabkan, dengan keterbukaan, maka komunikasi interpersonal akan berlangsung secara adil, transparan, dua arah, dan dapat diterima oleh semua pihak yang berkomunikasi. 2) Empati (empathy) Empati ialah kemampuan seseorang untuk merasakan kalau seandainya menjadi orang lain, dapat memahami sesuatu yang sedang dialami orang lain, dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan dapat memahami sesuatu persoalan dari sudut pandang orang lain, melalui kacamata orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka. Ambil contoh... Dengan demikian empati akan menjadi filter agar kita tidak mudah menyalahkan orang lain. Namun kita biasakan untuk dapat memahami esensi setiap keadaan tidak semata-mata berdasarkan cara pandang kita sendiri, melainkan juga menggunakan sudut pandang orang lain. Hakikat empati adalah: a. Usaha masing-masing pihak untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain; b. Dapat memahami pendapat, sikap dan perilaku orang lain. 3). Sikap mendukung (supportiveness) Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung (supportiveness). Artinya masingmasing pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung terselenggaranya interaksi secara terbuka. Oleh karena itu respon yang relevan adalah respon yang bersifat spontan dan lugas, bukan respon yang bertahan dan berkelit. Pemaparan gagasan bersifat deskriptif naratif, bukan bersifat evaluatif. Sedangkan pola pengambilan keputusan bersifat akomodatif, bukan intervensi yang disebabkan rasa percaya diri yang berlebihan. 4). Sikap positif (positiveness) Sikap positif (positiveness) ditunjukkan dalam bentuk sikap dan perilaku. Dalam bentuk sikap, maksudnya adalah bahwa pihakpihak yang terlibat dalam komunikasi interpersonal harus memiliki perasaan dan pikiran positif, bukan prasangka dan curiga. Dalam bentuk perilaku, artinya bahwa tindakan yang dipilih adalah yang relevan dengan tujuan komunikasi interpersonal, yaitu secara nyata melakukan aktivitas untuk terjalinnya kerjasama. Misalnya secara nyata membantu partner komunikasi untuk memahami pesan komunikasi, yaitu kita memberikan penjelasan yang memadai sesuai dengan karakteristik mereka. Sikap positif dapat ditunjukkan dengan berbagai macam perilaku dan sikap, antara lain : a. Menghargai orang lain b. Berpikiran positif terhadap orang lain c. Tidak menaruh curiga secara berlebihan d. Meyakini pentingnya orang lain e. Memberikan pujian dan penghargaan f. Komitmen menjalin kerjasama 5) Kesetaraan (equality) Kesetaraan (equality) ialah pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua orang berkomunikasi secara interpersonal, tidak pernah tercapai suatu situasi yang menunjukkan kesetraan atau kesamaan secara utuh diantara keduanya. Pastilah yang satu lebih kaya, lebih pintar, lebih muda, lebih berpengalaman, dan sebagainya. Namun kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan atau kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada yang superior atau inferior) dengan partner komunikasi. Dengan demikian dapat dikemukakan indikator kesetaraan, meliputi : a. Menempatkan diri setara dengan orang lain b. Menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda c. Mengakui pentingnya kehadiran orag lain d. Tidak memaksakan kehendak e. Komunikasi dua arah f. Saling memerlukan g. Suasana komunikasi: akrab dan nyaman