BAB II TINJAUAN TEORETIS A. Definisi dan Aspek Tae Kwon Do Tae kwon do adalah olahraga bela diri asal Korea yang juga populer di Indonesia, olahraga ini juga merupakan olahraga nasional Korea. Ini adalah seni bela diri yang paling banyak dimainkan di dunia. Dalam bahasa Korea, Tae kwon do memiliki arti yakni: untuk Tae berarti "menendang atau menghancurkan dengan kaki". Kwon berarti "tinju". Dan Do berarti "jalan" atau "seni". Jadi, Taekwondo dapat diterjemahkan dengan bebas sebagai "seni tangan dan kaki" atau "jalan" atau "cara kaki dan kepalan". Menurut Ady Putra (2009) tae kwon do yang dikenal sebagai seni beladiri yang berarti “cara menendang dan memukul. Dalam Korea hanja untuk Tae berarti menendang dengan kaki, Kwon berarti pukulan dengan tangan, dan Do berarti sifat. Jadi tae kwon do dapat diartikan sebagai kaki, tangan, dan sifat. Maksudnya kaki lebih sering digunakan dari pada tangan saat latihan dan itu akan menunjukkan sifat seseorang”. Popularitas tae kwon do telah menyebabkan seni ini berkembang dalam berbagai bentuk. Seperti banyak seni bela diri lainnya, tae kwon do adalah gabungan dari teknik perkelahian, seni, bela diri, olahraga, olah tubuh, hiburan dan filsafat. 19 BAB II TINJAUAN TEORETIS B. Definisi dan Aspek Tae Kwon Do Tae kwon do adalah olahraga bela diri asal Korea yang juga populer di Indonesia, olahraga ini juga merupakan olahraga nasional Korea. Ini adalah seni bela diri yang paling banyak dimainkan di dunia. Dalam bahasa Korea, Tae kwon do memiliki arti yakni: untuk Tae berarti "menendang atau menghancurkan dengan kaki". Kwon berarti "tinju". Dan Do berarti "jalan" atau "seni". Jadi, Taekwondo dapat diterjemahkan dengan bebas sebagai "seni tangan dan kaki" atau "jalan" atau "cara kaki dan kepalan". Menurut Ady Putra (2009) tae kwon do yang dikenal sebagai seni beladiri yang berarti “cara menendang dan memukul. Dalam Korea hanja untuk Tae berarti menendang dengan kaki, Kwon berarti pukulan dengan tangan, dan Do berarti sifat. Jadi tae kwon do dapat diartikan sebagai kaki, tangan, dan sifat. Maksudnya kaki lebih sering digunakan dari pada tangan saat latihan dan itu akan menunjukkan sifat seseorang”. Popularitas tae kwon do telah menyebabkan seni ini berkembang dalam berbagai bentuk. Seperti banyak seni bela diri lainnya, tae kwon do adalah gabungan dari teknik perkelahian, seni, bela diri, olahraga, olah tubuh, hiburan dan filsafat. 20 Meskipun ada banyak perbedaan doktrin dan teknik di antara berbagai organisasi tae kwon do, seni ini pada umumnya menekankan tendangan yang dilakukan dari suatu sikap bergerak, dengan menggunakan daya jangkau dan kekuatan kaki yang lebih besar untuk melumpuhkan lawan dari kejauhan. Dalam suatu pertandingan, tendangan berputar, 45 derajat, depan, kapak dan samping adalah yang paling banyak dipergunakan; tendangan yang dilakukan mencakup tendangan melompat, berputar, skip dan menjatuhkan, seringkali dalam bentuk kombinasi beberapa tendangan. Latihan taekwondo juga mencakup suatu sistem yang menyeluruh dari pukulan dan pertahanan dengan tangan, tetapi pada umumnya tidak menekankan grappling (pergulatan) (Wikipedia Indonesia). Olahraga ini merupakan olahraga perorangan. Dalam suatu pertandingan seperti halnya olahraga Karate, lamanya permainan Tae Kwon Do ditentukan oleh waktu pada tiap babaknya, satu menit tiap babak pada penyisihan dan tiga menit tiap babak untuk semifinal dan final. Atlet yang mendapat skor lebih banyak sebelum bel dibunyikan di babak akhir itulah yang memenangkan pertandingan. Pertandingan Tae Kwon Do biasanya dilangsungkan di suatu ruangan yang cukup luas, di atas matras berukuran 10x10 meter menurut ketentuan WTF (Word Federation Taekwondo). Terdiri dari 2 pemain yang saling berlawanan dan 1 wasit pemimpin pertandingan. Seorang pemain akan keluar sebagai pemenang jika berhasil mendapatkan skor terbanyak hingga bel babak terakhir dibunyikan. Pertandingan dimulai saat bel berbunyi. Dalam olahraga Tae Kwon Do yang lebih dominan 21 digunakan adalah kaki, atlet Tae Kwon Do akan berusaha menjangkau lawan untuk mendapatkan poin. Terdapat tiga aspek pokok yang dilatihkan dalam cabang olahraga bela diri Tae Kwon Do, yakni 1) pomsae atau rangkaian jurus, 2) kyukpa atau teknik pemecahan benda keras, dan 3) kyoruki atau pertarungan (Ady putra hutabarat). 1. Pomsae adalah rangkaian teknik gerakan dasar serangan dan pertahanan diri, yang dilakukan melawan lawan yang imajiner, dengan mengikuti diagram tertentu. Setiap diagram rangkaian gerakan poomse didasari oleh filosofi timur yang menggambarkan semangat dan cara pandang bangsa Korea. 2. Kyukpa adalah latihan teknik dengan memakai sasaran/obyek benda mati, untuk mengukur kemampuan dan ketepatan tekniknya. Obyek sasaran yang biasanya dipakai antara lain papan kayu, batu bata, genting, dan lainlain. Teknik tersebut dilakukan dengan tendangan, pukulan, sabetan, bahkan tusukan jari tangan. 3. Kyoruki adalah latihan yang mengaplikasikan teknik gerakan dasar atau poomsae, dimana dua orang yang bertarung saling mempraktekkan teknik serangan dan teknik pertahanan diri. Ketiga komponen materi tersebut merupakan materi yang saling berkesinambungan, maka dalam pelatihannya harus dilakukan secara bersama-sama. Pomsae yang merupakan sebuah teknik dari gerakan dasar menyerang (attack) 22 maupun bertahan (hold out atau yang lebih dikenal dengan defend) ini terbagi dalam beberapa klasifikasi yang dilihat dari “geup” atau grup/kategori tingkatan sabuk tae kwon do mulai dari sabuk putih sampai dengan sabuk hitam (Dan I). Filosofi tae kwon do dalam Blog Moners Khasoes Taekwondo Club Kodya Bekasi (29 November 2009) yakni sebagai salah satu tindakan yang dapat kita pelajari dari tindakan lain dalam kegiatan sehari-hari. Filosofi taekwondo mewakili prinsip-prinsip dan perubahan dalam pergerakan manusia. Taekwondo dapat membantu member pengertian yang lebih baik dan peningkatan kehidupan kita. B. Hakikat self-talk Self-talk merupakan salah satu teknik pelatihan mental yang muncul dari dalam diri masing-masing atlet. Self-talk atau secara sederahana dapat diartikan berbicara kepada diri sendiri. Dengan self-talk yang atlet lakukan, diharapkan ia mampu memiliki mental yang kuat guna mengahdapi tugas-tugasnya dari segala kemungkinan. Pada umumnya pelatihan mental menekankan pengembangan keterampilan dan teknik psikologis, seperti: mengelola kecemasan, imajinasi, penetapan target/tujuan, konsentrasi, berbicara kepada diri sendiri atau self-talk, menghentikan pemikiran yang keliru, mengatur kegiatan rutinitas dan kepercayaan diri (Williams, Jean, et el (dikutip dari psikologi kepelatihan 2007: 148)). Pelatihan mental dalam tiap program latihan sangat dibutuhkan agar atlet dapat mempertahankan prestasi 23 dalam keadaan bagaimanapun, juga dalam menghadapi situasi-situasi pertandingan yang penuh ketegangan. Aspek psikologis atlet sering kali diabaikan oleh para pembina dan atlet dalam menjalankan latihan. Padahal aspek psikologis ini sangat berpengaruh terhadap penampilan atlet, Harsono dalam (psikologi olahraga, 2010: 37) mengemukakan bahwa: Perkembangan mental atlet tidak kurang pentingnya dari perkembangan kemampuan lainnya, sebab betapa sempurnapun perkembangan fisik, teknik dan taktik atlet, apabila mentalnya tidak turut berkembang, prestasi tidak akan mungkin akan dapat dicapai. Latihan mental (Psychological Training) adalah latihan yang dilakukan untuk meningkatkan daya tahan dan kekuatan mental atlet terutama menjelang pertandingan dan ketika bertanding. Kondisi pada saat pertandingan serta tekanan yang diakibatkan oleh jumlah penonton, kondisi pertandingan, kemampuan lawan, dan situasi pertandingan. “Latihan mental terutama menjelang pertandingan,sudah seyogyanya wajib diberikan pelatih pada setiap sesi latihan. Latihan mental sering diabaikan atau hanya mendapat porsi latihan yang tidak seimbang dibandingkan dengan latihan yang lain” (Harsonno, 2007: 2). Dalam hal lain, Juliantine et.al, (2007: 375) menerangkan bahwa: “Latihan mental adalah latihan yang menekankan pada perkembangan kedewasaan (maturitas) serta perkembangan emosional dan implusif seperti semangat bertanding, percaya diri, motivasi, sikap pantang menyerah dan sikap pantang 24 menyerah”. Latihan mental ditekankan pada kemampuan psikis atlet untuk mengurangi tekanan yang dihadapi terutama menjelang pertandingan.Tekanan dapat menimbulkan stress, rendah diri, cemas, dan menyerah terutama pada atlet muda dan belum berpengalaman. Sementara Sukandar (dikutip dari artikel: penanaman mental untuk Tae kwon do in, 2009), menyebutkan bahwa tiap cabang olahraga kebutuhan mental itu sama besarnya seperti kebutuhan teknik, taktik, maupun strategi yang harus dimiliki setiap atlet dalam suatu pencapaian prestasi terlebih kepada atlet-atlet elit yang setidaknya mempunyai hasil prestasi cukup yang telah diraihnya. Kebutuhan mental pada atlet sebenarnya tidak bisa diklasifikasikan hanya untuk atlet baru yang dominan masih baru berprofesi sebagai atlet saja, atau hanya untuk atlet-atlet elit saja yang sudah lebih berpengalaman. Karena kebutuhan mental merupakan kebutuhan yang sama besarnya bagi tiap individu, sekalipun itu adalah atlet nomor satu dunia. Setiap atlet akan selalu meghadapi situasi psikologis seperti adanya “harapan untuk sukses” dan “ketakutan akan kegagalan”, melalui pelatihan mental “ketakutan akan gagal” yang dihadapi atlet akan segera diperkecil dan akibat-akibat negatif yang timbul juga diharapkan segera teratasi. Prestasi atlet disamping ditentukan oleh kemampuan fisik dan keterampilan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor kejiwaan, terutama aspek mental atlet. Ibrahim dan Komarudin (2007: 154) mengatakan bahwa “prestasi tinggi hanya akan dicapai 25 dengan total mobilization of energy. Pada hakikatnya bukan hanya meliputi aspek fisik saja, tetapi juga menuntut mobilisasi aspek psikhis untuk mencapai prestasi puncak yang setinggi-tingginya”. Terpenuhinya kebutuhan mental tiap atlet, maka atlet secara otomatis akan mendapatkan ritme permainan seperti yang diharapkan dan hasil prestasi terbaik pun akan ia raih secara maksimal. Tingkat kecemasan dalam diri atlet pun dapat diminimalisir. Perasaan penyesalan yang berlebih ketika atlet kalah dalam suatu pertandingan akan segera teratasi karena ia mampu melewati keadaan yang sebenarnya tidak ia harapkan. Program latihan keterampilan psikologis merupakan perpaduan dari berbagai metode latihan keterampilan psikologis seperti latihan rileksasi, imajeri mental, konsentrasi, penetapan tujuan, dan self-talk (Hidayat, 2010: 34). Self-talk merupakan sebuah teknik kognitif yang melibatkan aktivasi proses mental untuk merubah atau mempengaruhi pola-pola berpikir seseorang. Secara sederhana self-talk adalah berbicara kepada dirinya sendiri. Secara sadar ataupun tidak sadar, hampir setiap saat seseorang melakukan metode self-talk baik dalam bentuk positif maupun dalam bentuk negatif. Self-talk dikelompokan menjadi self-talk positif, negatif, dan netral. Self-talk positif yakni merupakan (suatu ucapan-ucapan positif guna membangun kepercayaan diri seseorang), self-talk positif dapat digunakan untuk meningkatkan harga diri, motivasi, dan membantu atlet agar dapat melakukan konsentrasi secara lebih efisien, misalnya seperti “semangat,kamu pasti bisa menghadapi lawan kamu”, “kamu pasti 26 bisa”, “ayo pecahkan rekormu sendiri”, dan sebagainya. Self-talk negatif (ucapanucapan yang mengandung unsur ketidak percayaan diri akan kemampuannya), oleh karena itu self-talk negatif seperti ini dapat meningkatkan kecemasan dan keraguan akan kemampuan dirinya, sehingga akan berimbas pada penurunan penampilan motoriknya. Kecemasan dan keraguan atlet merupakan aspek mental yang dapat mengganggu prestasi atlet. Hal tersebut diungkapkan Juliantine et. al (2007: 375) bahwa bahwa “ …diantaranya yaitu ketegangan dan kecemasan, motivasi rendah, gangguan emosional, keraguan, atau takut”. Ketegangan dapat diartikan sebagai stress yaitu tekanan yang terjadi pada diri seseorang yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Secara fisik ketegangan dapat dikenali melalui gejala-gejala fisik yang terjadi seperti tekanan darah tinggi, suara berat dan salah tingkah serta denyut nadi cepat”. Kecemasan menurut Straub dalam Juliantine et.al (2007: 386) bahwa “kecemasan adalah reaksi situasional terhadap rangsang stress”. Menurut Juliantine et.al (2007 : 387) bahwa “ kecemasan dapat di interpretasikan dalam dua cara yaitu kecemasan yang dirasakan dalam waktu tertentu misalnya menjelang pertandingan (State anxiety) atau kecemasan yang dirasakan karena atlet tergolong pencemas (trait anxiety). Contoh self-talk negatif seperti “duh, lawannya atlet nasional nih??”, “ah, aku pasti kalah..” dan sebagainya. Self-talk netral, ini berkaitan dalam pembelajaran tugas-tugas motorik dengan menggunakan kata-kata kunci yang sesuai dengan jenis keterampilan yang dipelajari dalam latihan. 27 Self-talk menjadi salah satu metode yang harus dilatihkan kepada atlet guna mencapai prestasi sesuai dengan harapan. Alasan dasarnya adalah karena dengan self-talk dapat mengajari seseorang untuk selalu bersikap waspada dan berpikiran positif terhadap dirinya akan semua kemampuan yang dimilikinya. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa self-talk memberikan pengaruh postif dalam peningkatan kepercayaan diri, menurunkan tingkat kecemasan, dan meningkatkan penampilan motorik dalam beragam cabang olahraga (Hidayat, 2010: 35). Sejalan dengan Zinseser (Hidayat, 2010: 35) yang mengungkapkan bahwa : Self-talk menunjukkan hubungan positif dengan peningkatan kepercayaan diri atlet baik secara langsung maupun tidak langsung, meningkatkan harga diri kearah yang lebih positif, meningkatkan konsentrasi, mengurangi kecemasan, dan pada akhirnya meningkatkan penampilannya. Selain itu self-talk dapat digunakan sebagai sebuah strategi untuk memotivasi atlet (Hardy,dkk,. 2001), meningkatkan kepercayaan diri (Landin & Hebert, 1999), menigkatkan penampilan motorik olahraga (Mahhoney & Avener, 1997). Ketika seorang atlet sudah mulai ragu dengan penampilannya, dan mulai mengatakan hal-hal yang negatif berkaitan dengan diri dan kemampuan dirinya, maka kemampuan potensial atlet tersebut dengan sendirinya akan berkurang. Efeknya, kepercayaan diri, motivasi, akan menurun sehingga keraguan serta kecemasan akan meningkat dan akibatnya atlet tidak mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang diharapkan. 28 C. Hakikat kepercayaan diri Kepercayaan diri merupakan suatu bentuk sikap mental yang mutlak diperlukan dalam proses mencapai prestasi setinggi-tingginya. Manipestasi sebuah kepercayaan diri seorang atlet dapat dilihat dari keinginannya untuk mencapai prestasi maksimal. Dari mulai sikap disiplin diri yang bersedia merespon dan bertindak terhadap nilai-nilai yang berlaku dalam bentuk suatu ketentuan yang berlaku, tata tertib, aturan dan semua kaidah yang berlaku dalam proses latihan dari mulai periodisasi awal hingga akhir. Sebuah disiplin diri yang berarti control penguasaan diri terhadap impuls yang tidak diinginkan atau proses mengarahankan impuls kepada suatu cita-cita atau tujuan tertentu untuk mencapai dampak yang lebih besar. Kedisiplinan diri dalam banyak hal berhubungan dengan kontrol diri (self-control), sikap penuh rasa tanggung jawab (self responsibility), rasa harga diri (self esteem), rasa percaya diri (self confidence), persepsi atau konsep diri (self concept), dan sebagainya (Husdarta, 2010: 92). Salah satu modal utama dan syarat mutlak untuk mencapai prestasi olahraga yang gemilang adalah memiliki rasa percaya diri (self confidence atau confidence in one self). Pengoptimalisasian terhadap kepercayaan diri sendiri merupakan penentu kritis pada tiap penampilan, sehingga dalam hubungan antara percaya diri dengan penampilan ditunjukkan oleh bentuk kurva “U” terbalik. Dengan percaya diri yang optimal akan kemampuannya, seorang atlet pasti akan berusaha dengan kerja keras, dan maksimal agar dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Atlet bisa saja membuat 29 beberapa kesalahan dan keputusan yang salah (tidak tepat dalam mengambil keputusan), hilang konsentrasinya, dan mengakibatkan penurunan mental yang berimbas pada hasil penampilan dilapangan, juga hasil prestasi rendah dari kemampuannya. Tetapi dengan adanya rasa kepercayaan diri yang kuat pada dri sendiri ini akan membantu memperbaiki kesalahan secara efektif, dan atlet akan tetap bekerja keras untuk mencapai keberhasilan. Percaya diri dapat menimbulkan rasa aman, yang tampak pada sikap dan tingkah laku atlet, misalnya atlet akan lebih tenang dan merasa lebih rileks, tidak mudah bimbang/ragu, tidak mudah gugup, tegas dan sebagainya. Adanaya kepercayaan diri dapat ditandai dengan tingginya harapan untuk sukses. Percaya diri dapat membantu atlet dalam beberapa area yakni : 1) Positive emotion 2) Concentration 3) Goals 4) Effort 5) Game strategy dan 6). Momentum. Percaya diri akan menggugah emosi yang positif, ketika atlet merasa percaya diri atlet cenderung rileks dan tenang dibawah tekanan, percaya diri akan memfasilitasi atlet. Ketika atlet merasa percaya diri, mental bebas untuk fokus pada tugas yang dihadapi, dan ketika atlet merasa kurang percaya diri atlet cenderung merasa cemas tentang bagaimana melakukan sesuatu yang baik. Secara sederhana percaya diri berarti adanya rasa percaya terhadap kemampuan atau kesanggupan diri untuk mencapai prestasi tertentu (Homby, 1987). Over confidence atau percaya diri yang berlebihan dapat berakibat kurang menguntungkan terhadap atlet, dari rasa percaya diri yang berlebih ini akan muncul 30 rasa dan pikir “menganggap enteng lawan”. Disisi lain over confidence dapat menyebabkan atlet mudah mengalami frustasi jika ia dikalahkan lawannya. Frustasi biasanya timbul manakala seseorang merasa gagal dan tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Setiap atlet olahraga prestasi pada dasarnya memiliki tujuan yaitu ingin menjadi juara, paling tidak dia memiliki harapan untuk mencapai kepuasan, ingin terpenuhi segala kebutuhannya, dan apabila hal tersebut tidak dapat terwujud, maka ia akan menhadapi kekecewaan dan akhirnya dapat menimbulkan frustasi. Frustasi tidak hanya terjadi apabila menghadapi kegagalan saja, tetapi dapat pula disebabkan karena adanya tekanan dari dalam dirinya atlet itu sendiri yang diliputi perasaan gagal. Pada umumnya frustasi terjadi pada siswa atau atlet yang memiliki sifat pesimis, atlet yang memiliki sifat pesimis biasanya setiap mengalami ketidak berhasilan dalam upayanya mencapai sesuatu yang diinginkan mungkin atlet tersebut sudah merasa gagal terlebih dahulu, atau yang sering dikenal dengan istilah “gagal sebelum berperang”. Atlet yang pesimistis biasanya setiap mengalami kegagalan sianggapnya sebagai kegagalan yang selalu akan dialaminya. Atlet yang memiliki sifat optimis biasanya lebih baik dan tidak mengalami frustasi. Dengan sifat optimisnya ia akan berusaha untuk meningkatkan kemampuannya dan berusaha untuk mencapai tujuannya. Apabila menghadapi ketidak berhasilan biasanya ia akan tetap berusaha untuk mencoba lagi dan berusaha lebih keras, tetapi apabila ia terlalu optimis atas usahanya tersebut, dan manakala 31 tidak berhasil kembali maka ini akan mengakibatkan frustasi pula (Husdarta, 2010: 83) Mengurangi rasa frustasi dalam diri bukanlah merupakan hal yang mudah, seperti menurut Julliantine et.al (2007: 386) bahwa “kegagalan yang dihadapi atau perasaan prestasi yang timbul akibat seseorang yang merasa gagal, serta adanya tekanan dalam diri atlet yang diliputi perasaan gagal”. Seperti halnya over confidence, lack confidence atau kurang percaya diri terhadap kemampuan diri dapat berakibat tidak baik. Husdarta (2010: 93) menyebutkan, seorang atlet yang memiliki lack confidence tidak akan mencapai tangga juara, karena sasaran atau target yang ditetapkan lebih rendah dari kemampuan yang dimilikinya. Untuk sampai pada tangga juara yang paling tinggi,maka seorang atlet harus full confidence. Karena dengan sikap mental seperti ini akan sangat membantu atlet dalam proses adaptasi menghadapi ketegangan yang berlebihan, memantapkan emotional security-nya, berusaha mencapai target yang ditetapkannya sendiri, dan menghindarkan atlet dari perasaan frustasi karena kegagalan. Menurut para ahli psikologi olahraga berpendapat bahwa : “confidence as the believe that you can successfully perform a desaired behavior..”. bahwa esensi diri adalah kepercayaan terhadap diri anda bisa menampilkan keberhasilan sesuai dengan prilaku yang diinginkan. 32 Sesuai dengan penjelasan diatas, percaya diri yang berhubungan dengan adanya kontrol diri, sikap penuh rasa tanggung jawab, rasa harga diri, juga persepsi atau konsep diri. Persepsi diri erat kaitannya dengan kepercayaan diri. Karena orang yang kurang percaya diri biasanya mempersepsikan dirinya lebih rendah dari kemampuannya. Akibatnya atlet tidak dapat mencapai prestasi maksimal. Konsep diri seperti menurut (Husdarta, dikutip dari Willian D. Brooks (1974)) menyebutkan bahwa : “those physical, sosial, and psychological perception of ourselves that we have derived from experiences and our interaction with others”. Jadi konsep diri adalah pandangan atau perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini dapat bersifat psikologis, sosial dan fisik. Konsep diri merupakan faktor penentu dalam sebuah komunikasi interpersonal, karena setiap orang bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Bila seorang atlet menganggap dirinya sebagai seorang yang rajin, maka ia akan menghadiri latihan secara teratur, mengikuti latihan dengan sungguh-sungguh, sehingga menghasilkan progres latihan yang memuaskan. Bila seorang atlet merasa memiliki kemampuan untuk mengatasi kesulitan, maka kesulitan apapun yang dihadapi ketika bertanding pada akhirnya ia dapat mengatasinya. Maltz (19970) seorang tokoh psikosibernetika menyebutkan bahwa menumbuhkan konsep diri itu perlu guna meningkatkan rasa percaya diri. Selain itu Maltz meluncurkan sebuah nasihat yang amat popular dikalangan psikosibernetika “believe in yourself and you will succed”. 33 D. Hakikat prestasi Tingakah laku seseorang pada hakikatnya ditentukan oleh suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan. Seseorang melakukan perbuatan atau tindakan, selalu didasarkan dan ditentukan oleh faktor-faktor yang datang dari dalam dan dipengaruhi oleh apa yang dipikirkannya. Faktor dari dalam dirinya ikut menentukan perbuatannya, sedangkan faktor dari luar dapat memperkuat atau juga memperkecil motif seseorang. Istilah motivasi mengacu kepada faktor dan proses yang mendorong seseorang untuk bereaksi dalam berbagai situasi. Motif diartikan sebagai sesuatu kekuatan yang terdapat dalam diri organisme, yang menyebabkan organisme itu bertindak, maka kebutuhan dan keinginan itu dikatakan motif. Husdarta, dikutip dari Husaeni & Noor (1981), “motif adalah suatu rangsangan, dorongan atau pembangkit tenaga bagi terjadinya suatu tingkah laku”. “ kemudian Gunarsa (1978), mengemukakan bahwa “motif artinya dorongan atau kehendak yang menyebabkan seseorang bertingkah laku”. Jadi motif merupakan suatu pengertian yang meliputi semua penggerak, alasan-alasan atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motif bagi manusia merupakan dorongan, keinginan hasrat yang menjadi penggerak yang berasal dari dalam diri manusia yang memberi tujuan atau arah kepada tingkah laku manusia. Termotivasinya seseorang yang berbuat tergantung pada besar kecilnya motif seseorang. Motivasi disini diartikan sebagai proses yang menggerakan seseorang hingga berbuat sesuatu. 34 Adanya prestasi dari seorang atlet tidak luput akan adanya sebuah motivasi dalam diri untuk dapat berprestasi, istilah ini sering disebut dengan motivasi berprestasi. Banyak para ahli yang mengartikan definisi dari motivasi, seperti menurut (Krech, 1962; Murray, 1964; Atkinson, 1964; Fernald, 1969; Miller, 1978; Singer, 1972, 1984; Barelson & Stainer, 1980; dan Good & Brophy, 1990) dapat dirumuskan sebuah definisi integrative bahwa motivasi adalah “proses aktualisasi generator penggerak internal didalam diri individu untuk menimbulkan aktivitas, menjamin kelangsungannya dan menentukan arah atau haluan aktivitas terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Secara sederhana motivasi sebagai proses psikologis adalah refleksi kekuatan interaksi antara kognisi, pengalaman dan kebutuhan. Dalam pendidikan jasmani dan olahraga, Alderman (1974) menyebutkan bahwa tidak ada prestasi tanpa motivasi. Sedangkan prestasi adalah analgamasi latihan/keterampilan dengan motivasi (Straub, 1978). Atkinson dalam sebuah artikel (1953), mengatakan bahwa “ the term motivation refers to the arousal of tendency to act to produce one or more effects”. Yang berarti motivasi merujuk pada gairah kecenderungan untuk bertindak guna menghasilkan satu atau lebih efek. Sarlito (2006) mengungkapkan bahwa motivasi ialah: 35 Sebuah istilah yang lebih umum, yang menunjukkan kepada seluruh proses gerakan itu, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh situasi tersebut dan tujuan atau akhir dari gerakan atau perbuatan. Sedangkan definisi lain mengenai motivasi menurut Harold (Moekijat, 2004) menjelaskan bahwa “ motivation refers the drive and effort to satisfy a want or goal”. Motivasi menunjukkan dorongan atau usaha untuk memenuhi atau memuaskan suatu kebutuhan atau untuk mencapai suatu tujuan. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa sebuah motivasi tergantung dari besar kecilnya motif sebagai daya penggerak dalam diri seseorang guna menargetkan prestasi yang ingin diraihnya. Motivasi terjadi akibat adanya motif dan dorongan dalam diri untuk diaplikasikan kedalam sebuah bentuk usaha dan kerja kerasnya guna mencapai apa yang menjadi harapannya yakni tercapainya prestasi maksimal. Husdarta (2010: 36) menerangkan bahwa prestasi yang tinggi tidak hanya tegantung pada penguasaan teknik dan taktik saja, tetapi peranan kemantapan jiwa dalam latihan dan pertandingan ternyata juga ikut menentukan. Prestasi maksimal dapat dicapai oleh seorang atlet yang benar-benar telah siap untuk berkompetisi dengan segala kemampuannya. Sejalan dengan ini (Husdarta, dikutip dari muchlas (2006)) mengemukakan pendapatnya mengenai kesiapan fisik dan psikologis atlet dalam rangka mencapai prestasi secara maksimal, yakni “ prestasi olahraga tidak hanya bergantung kepada keterampilan teknis, olahraga dan kesehatan fisik yang 36 dimiliki atlet yang bersangkutan, tetapi juga bergantung pada keadaan psikologis dan kesehatan mentalnya. Dalam olahraga kompetitif, pengaruh faktor psikologis pada atlet secara khusus terlihat ketika atlet itu sedang bertanding. Hal ini dapat dilihat antara lain dari kuat lemahnya motivasi untuk meraih prestasi dan memenangkan pertandingan. Secara umum prestasi olahraga dapat diartikan sebagai sukses besar yang dicapai atlet atau suatu tim, misalnya menjuarai suatu kompetisi, memecahkan rekor, memenangkan pertandingan perebutan gelar atau pertandingan bergengsi lainnya (Husdarta, 2010: 37). 37