BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.1.1 Tekanan Darah Lansia Lansia Lansia merupakan tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap individu. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009). Menurut WHO, batasan umur lanjut usia dibedakan menjadi empat antara lain usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very old), di atas 90 tahun. Sedangkan menurut Undang-undang nomor 13 tahun 1998, lanjut usia merupakan seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Pada tahap lanjut usia akan mengalami perubahan-perubahan terutama pada perubahan fisiologis karena dengan semakin bertambahnya usia, fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit. Salah satu gangguan kesehatan yang paling banyak dialami oleh lansia adalah pada sistem kardiovaskuler yaitu terjadi penurunan elastisitas dinding aorta, katup 10 11 jantung menebal dan menjadi kaku, serta penurunan kemampuan jantung untuk memompa darah. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume darah, kehilangan elastisitas pembuluh darah, kurangnya efektivitas pembuluh darah perifer untuk oksigenisasi, serta terjadinya hipertensi akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer (Ismayadi, 2004). 2.1.2 Tekanan Darah Tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan ini bervariasi sesuai dengan pembuluh darah terkait dan denyut jantung. Tekanan darah paling tinggi terdapat pada arteri-arteri besar yang meninggalkan jantung dan secara bertahap menurun sampai ke arteriol. Akhirnya setelah mencapai kapiler, tekanan ini sedemikian rendah sehingga tekanan ringan dari luar akan menutup pembuluh darah ini dan mendorong darah keluar. Tekanan darah hampir selalu dinyatakan dalam millimeter air raksa (mmHg) karena manometer air raksa telah dipakai sejak lama sebagai rujukan baku untuk pengukuran tekanan. Sebenarnya tekanan darah berarti daya yang dihasilkan oleh darah terhadap setiap satuan luas dinding pembuluh. Terkadang tekanan dinyatakan dalam sentimeter air (cm H2O) (Guyton & Hall, 2008:172). Pengukuran tekanan darah dapat dilakukan dengan cara langsung maupun tidak langsung. Cara langsung pengukuran tekanan darah dilakukan dengan memasukkan kateter arteri ke dalam arteri kemudian diukur tekanannya. Sedangkan cara tidak langsung dilakukan dengan menggunakan 12 sphygmomanometer dan stetoskop (Smeltzer & Bare, 2002:731). Cara pengukuran tekanan darah secara tidak langsung dapat dibedakan menjadi tiga yaitu: A. Cara Palpasi (metode Riva Rocci) Pada metode ini semua pakaian harus dibebaskan dari lengan atas dan manset dipasang pada lengan. Saluran karet dari manset kemudian dihubungkan dengan manometer. Kemudian raba arteri radialis pada pergelangan tangan dan tekanan dalam manset kemudian diturunkan memutar tombol pada pompa perlahan-lahan yaitu dengan kecepatan sekitar 3 mm/detik. Ketika denyut arteri radialis teraba kembali, itu menunjukkan tekanan darah sistolik. Metode palpasi harus dilakukan sebelum melakukan auskultasi untuk menentukan tinggi tekanan sistolik yang diharapkan. Palpasi dilakukan bila tekanan darah sulit didengarkan tetapi dengan palpasi tekanan diastolik tidak dapat ditentukan dengan akurat (Smeltzer & Bare, 2002:732). B. Cara Auskultasi Metode standar dalam pengukuran tekanan darah seseorang dengan metode auskultasi pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Korotkov pada tahun 1905. Metode auskultasi dapat mengukur tekanan sistolik dan diastolik dengan lebih akurat. Untuk mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik dimana arteri brakialis muncul di antara kedua kaput otot biseps. Dalam cara auskultasi ini harus diperhatikan bahwa 13 terdapat suatu jarak paling sedikit 5 cm antara manset dan tempat meletakkan stetoskop. Manset dikempiskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per detik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi berdetak yang menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut yang dikenal sebagai bunyi Korotkoff, terjadi bersamaan dengan detak jantung dan akan terus terdengar dari arteri brakialis sampai tekanan dalam manset turun di bawah tekanan diastolik. Pada titik tersebut bunyi akan menghilang. Dalam praktik sebenarnya bunyi menjadi lebih sember (karakternya berubah) saat distolik tercapai dan kemudian menghilang sekitar 10 mmHg di bawah tekanan diastolik. Hilangnya bunyi sangat dekat dengan tekanan diastolik yang sebenarnya (Smeltzer & Bare, 2002:732). C. Cara Osilasi Metode ini dilakukan dengan cara melihat osilasi air raksa pada manometer. Manset dipompa sampai tekanannya 10-20 mmHg melebihi tekanan sistolik yang ditentukan dengan metode Riva Rocci. Tekanan manset diturunkan perlahan-lahan sambil memperhatikan air raksa manometer. Saat timbulnya osilasi pada manometer menunjukkan tekanan sistolik. Tekanan manset terus diturunkan sampai osilasi menghilang yang menunjukkan tekanan diastole (Smeltzer & Bare, 2002:732). 14 2.2 Hipertensi 2.2.1 Definisi Hipertensi Hipertensi adalah desakan darah yang berlebihan dan hampir konstan pada arteri. Hipertensi juga disebut dengan tekanan darah tinggi, di mana tekanan tersebut dihasilkan oleh kekuatan jantung ketika memompa darah sehingga hipertensi ini berkaitan dengan kenaikan tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan darah orang dewasa normal yaitu 120 mmHg ketika jantung berdetak (sistolik) dan 80 mmHg pada saat jantung berelaksasi (diastolik). Ketika tekanan darah sistolik sama dengan atau di atas 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik sama dengan/atau di atas 90 mm Hg, maka tekanan darah dianggap tinggi. Semakin tinggi tekanan darah, semakin tinggi risiko kerusakan pada jantung dan pembuluh darah pada organ utama seperti otak dan ginjal (WHO, 2013). Hipertensi menjadi masalah pada usia lanjut karena sering ditemukan menjadi faktor utama payah jantung dan penyakit koroner. Lebih dari separuh kematian di atas usia 60 tahun disebabkan oleh penyakit jantung dan serebrovaskuler. Hipertensi pada usia lanjut dibedakan atas menjadi dua yaitu: 1. Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg dan atau tekanan distolik sama atau lebih dari 90 mmHg. Hipertensi ini biasanya dijumpai pada usia pertengahan. 15 2. Hipertensi sistolik terisolasi tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg. Hipertensi ini biasanya dijumpai pada usia di atas 65 tahun (Nugroho, 2008). 2.2.2 Manifestasi Klinis Hipertensi Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa di antaranya sudah mempunyai faktor risiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik. Menurut Elizabeth J. Corwin (2005), manifestasi klinis yang timbul setelah mengetahui hipertensi bertahun-tahun antara lain: A. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah akibat tekanan darah intrakranium. B. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi. C. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan saraf. D. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus. E. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler. 2.2.3 Klasifikasi Hipertensi Klasifikasi tekanan darah didasarkan pada The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Chobaniam AV et al, 2003). Klasifikasi tekanan darah mencakup empat kategori, dengan nilai 16 normal pada tekanan darah sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi di masa yang akan datang. Tabel 1. Klasifikasi Tekanan darah pada orang dewasa (≥18 tahun) berdasarkan JNC 7 (The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure) Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik (mmHg) <120 Normal 120-139 Prehipertensi 140-159 Hipertensi derajat 1 ≥160 Hipertensi derajat 2 Sumber: Chobaniam AV et al, 2003 dan atau atau atau Tekanan darah diastolik (mmHg) <80 80-89 90-99 ≥100 Menurut WHO, tekanan sistolik dan diastolik bervariasi pada berbagai individu. Tetapi umumnya disepakati bahwa hasil pengukuran tekanan darah yang sama atau lebih besar dari 140/90 mmHg adalah khas untuk hipertensi. Tabel 2. Klasifikasi Pengukuran Tekanan Darah dari International Society of Hypertension (ISH) For Recently Updated WHO tahun 2003 Kategori Sistolik (mmHg) Optimal Normal Normal Tinggi/ Pra Hipertensi Hipertensi Derajat I < 120 <130 130 – 139 Dan Dan atau < 80 < 85 85 – 89 140 – 159 atau 90 – 99 Hipertensi Derajat II 160 – 179 atau 100 – 109 Hipertensi Derajat III ≥ 180 atau ≥ 110 Sumber: Linda Brookes, 2004 Diastolik (mmHg) 17 2.2.4 Faktor Risiko Hipertensi Faktor risiko yang dapat mempengaruhi hipertensi dibedakan menjadi dua yaitu: A. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol 1. Umur Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar risiko terserang hipertensi. Umur lebih dari 40 tahun mempunyai risiko terkena hipertensi (Yundini, 2006). Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi lebih besar sehingga prevalensi hipertensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40% dengan kematian sekitar 50% di atas umur 60 tahun (Nurkhalida, 2003). Tekanan darah sedikit meningkat dengan bertambahnya umur merupakan hal yang wajar. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya hipertensi (Staessen A Jan et al, 2003). 2. Jenis kelamin Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang cukup bervariasi. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita (Yundini, 2006). Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk 18 peningkatan darah sistolik (Nurkhalida, 2003). Sedangkan menurut Arif Mansjoer, dkk, pria dan wanita menapouse mempunyai pengaruh yang sama untuk terjadinya hipertensi. 3. Riwayat Keluarga Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat (Chunfang Qiu et al, 2003). 4. Genetik Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Chunfang Qiu et al, 2003). B. Faktor yang dapat diubah/dikontrol 1. Merokok Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Selain dari lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap per hari. 19 Merokok lebih dari satu pak rokok sehari berisiko 2 kali lebih rentan mengalami hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok (Price & Wilson, 2006). Nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui rokok, masuk ke dalam aliran darah dan merusak lapisan endotel pembuluh darah arteri serta mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi (Nurkhalida, 2003). 2. Konsumsi garam Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya hipertensi. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan darah. Seseorang yang mengkonsumsi garam 3 gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari (Nurkhalida, 2003). 3. Konsumsi lemak jenuh Konsumsi lemak jenuh meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah (Sheps, 2005). 20 4. Konsumsi alkohol Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Konsumsi alkohol harus diwaspadai karena survei menunjukkan bahwa 10% kasus hipertensi berkaitan dengan konsumsi alkohol (Khomsan, 2003). Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan dalam menaikkan tekanan darah (Nurkhalida, 2003). 5. Kurang Olahraga Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah. Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri (Sheps, 2005). 6. Stres Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis, yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres dapat merangsang kelenjar adrenal 21 melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat. Jika stres berlangsung cukup lama, tubuh berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahan patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit maag (Gunawan, 2005). 7. Obesitas Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Pada obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air (Sheps, 2005; Yundini, 2006). Menurut Darmojo (2006), faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lanjut usia adalah : 1. Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua. 22 2. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan bertambahnya usia semakin sensitif terhadap peningkatan atau penurunan kadar natrium. 3. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer sehingga resistensi pembuluh darah perifer meningkat yang mengakibatkan hipertensi sistolik. 4. Perubahan ateromatous yang menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi kimiawi lain yang kemudian menyebabkan reabsopsi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses sklerosis pembuluh darah perifer, dan keadaan lain berhubungan dengan kenaikan tekanan darah. 2.2.5 Patofisiologi Hipertensi Beberapa faktor dapat mempengaruhi konstriksi dan relakasi pembuluh darah yang berhubungan dengan tekanan darah. Bila seseorang emosi, maka sebagai respon korteks adrenal mengekskresikan epinefrin yang menyebabkan vasokonstriksi. Selain itu, korteks adrenal mengekskresi kortisol dan steroid lainnya yang bersifat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal sehingga terjadi pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah oleh enzim ACE (Angiotensin Converting Enzyme) menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Rohaendi, 2008). 23 Gambar 1. Mekanisme Patofisiologi Hipertensi Sumber: Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes RI, 2006 Mekanisme dasar peningkatan tekanan sistolik sejalan dengan peningkatan usia, terjadinya penurunan elastisitas pembuluh darah, dan kemampuan meregang pada arteri besar. Secara hemodinamik hipertensi sistolik ditandai dengan penurunan kelenturan pembuluh darah arteri besar, resistensi perifer yang tinggi, pengisian diastolik yang abnormal, dan bertambahnya masa ventrikel kiri. Penurunan volume darah dan output jantung disertai kekakuan arteri besar menyebabkan penurunan tekanan diastolik. Lanjut usia dengan hipertensi sistolik dan diastolik memiliki output jantung, volume intravaskuler, aliran darah ke ginjal dan aktivitas plasma renin yang lebih rendah, serta terjadi resistensi perifer. Perubahan aktivitas sistem syaraf simpatik dengan bertambahnya norepinephrin menyebabkan penurunan tingkat kepekaan sistem reseptor beta adrenergik sehingga terjadi penurunan fungsi relaksasi otot pembuluh darah (Temu Ilmiah Geriatri, 2008). Lanjut usia mengalami kerusakan struktural dan fungsional pada 24 arteri besar yang membawa darah dari jantung yang menyebabkan semakin parahnya pengerasan pembuluh darah dan tingginya tekanan darah. 2.2.6 Komplikasi Hipertensi Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2006). Beberapa komplikasi yang bisa terjadi akibat hipertensi antara lain: A. Stroke Stroke dapat terjadi akibat perdarahan di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh darah non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan sehingga aliran darah ke daerahdaerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami ateroskelosis dapat melemah dan kehilangan elastisitas sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma. B. Infark miokardium Penyakit ini dapat terjadi apabila arteri koroner yang aterosklerotik tidak dapat menyuplai darah yang cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui arteri koroner. Karena 25 hipertensi kronik dan hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Hipertrofi ventrikel dapat menimbulkan perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan pembentukan pembekuan darah. C. Gagal ginjal Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan yang tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, yaitu glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit-unit fungsional ginjal terganggu, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia serta kematian. Dengan rusaknya membrane glomerulus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik. D. Enselopati (kerusakan otak) Enselopati dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang interstitium di seluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta kematian mendadak. 26 2.2.7 Penatalaksanaan Hipertensi Penatalaksanaan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dapat dilakukan dengan dua jenis yaitu: A. Penatalaksanaan Farmakologis 1. Diuretik Obat-obatan jenis ini bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh melalui urin. Dengan demikian, volume cairan dalam tubuh berkurang sehingga daya pompa jantung lebih ringan (Dalimartha et al, 2008). Menurut Hayens (2003), diuretik menurunkan tekanan darah dengan cara mengurangi jumlah air dan garam di dalam tubuh serta melonggarkan pembuluh darah. Sehingga tekanan darah secara perlahan-lahan mengalami penurunan. Selain itu, jumlah garam di dinding pembuluh darah menurun sehingga menyebabkan vasodilatasi. Kondisi ini membantu tekanan darah menjadi normal kembali. 2. Penghambat adrenergik (β-bloker) Mekanisme kerja antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis beta bloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial (Lenny, 2008). Pemberian β-bloker tidak dianjurkan pada penderita gangguan pernapasan seperti asma bronkial karena pada pemberian β-bloker dapat menghambat reseptor β 2 di jantung lebih banyak dibandingkan reseptor β 2 di tempat lain. Penghambatan β 2 ini dapat membuka pembuluh darah dan saluran udara (bronki) yang menuju ke paru-paru. Sehingga penghambatan β 2 dari aksi 27 pembukaan ini dengan β-bloker dapat memperburuk penderita asma (Hayens, 2003). 3. Vasodilator Agen vasodilator bekerja langsung pada pembuluh darah dengan merelaksasi otot pembuluh darah. Contoh yang termasuk obat jenis vasodilator adalah prasosin dan hidralasin. Kemungkinan yang akan terjadi akibat pemberian obat ini adalah sakit kepala dan pusing (Dalimartha et al, 2008). 4. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACE inhibitor) Obat ini bekerja melalui penghambatan aksi dari sistem renin-angiotensin. Efek utama ACE inhibitor adalah menurunkan efek ACE. Kondisi ini akan menurunkan perlawanan pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah (Hayens, 2003). 5. Antagonis Kalsium Antagonis kalsium adalah sekelompok obat yang berkerja mempengaruhi jalan masuk kalsium ke sel-sel dan mengendurkan otot-otot di dalam dinding pembuluh darah sehingga menurunkan perlawanan terhadap aliran darah dan tekanan darah. Antagonis kalsium bertindak sebagai vasodilator (Hayens, 2003). Golongan obat ini menurunkan daya pompa jantung dengan cara menghambat kontraksi jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah nifedipin, diltiasem dan verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah sembelit, pusing, sakit kepala dan muntah (Lenny, 2008). 28 B. Penatalaksanaan Non Farmakologis Menurut Dalimartha et al (2008), upaya pengobatan hipertensi dapat dilakukan dengan pengobatan non farmakologis, termasuk mengubah gaya hidup yang tidak sehat. Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi (Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2006). Penatalaksanaan non farmakologis hipertensi antara lain: 1. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis seperti berhenti merokok, pengurangan asupan makanan berlemak, dan mengurangi asupan alkohol (Nurkhalida, 2003). 2. Meningkatkan olahraga dan aktifitas fisik seperti jogging dan berenang. Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun (Nurkhalida, 2003). Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Gunawan, 2005). 3. Perubahan pola makan a. Mengurangi asupan garam dengan memperbanyak makanan segar, mengurangi makan yang diproses, dan memilih produk dengan kandungan natrium rendah (Sheps, 2005). b. Diet rendah lemak jenuh yang dapat dilakukan dengan meningkatkan konsumsi lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan makanan lain yang bersumber dari tanaman. 29 c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat mengatasi hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan darah arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi sayursayuran dan buah-buahan yang mengandung banyak mineral dapat mengatasi hipertensi (Khomsan, 2003; Nurkhalida, 2003). 4. Menghilangkan stres. Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan sudah melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin sehari-hari dapat meringankan beban stres (Sheps, 2005). 2.3 2.3.1 Pengobatan Komplementer Definisi Pengobatan Komplementer Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1109/MENKES/PER/IX/2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer-alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan pasal 1 dijelaskan bahwa yang dimaksud pengobatan komplementer-alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan, dan efektifitas yang 30 tinggi yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional. The National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM) mendefinisikan pengobatan alternatif dan komplementer sebagai sekelompok sistem, praktek dan produk perawatan kesehatan dan medis yang terdiri dari beberapa jenis dan bukan merupakan bagian dari pengobatan konvensional (Snyder, 2006:4) 2.3.2 Jenis-Jenis Pengobatan Komplementer Menurut The National Center for Complementary and Alternative Medicine (NCCAM), pengobatan komplementer dapat diklasifikasikan menjadi lima yaitu: A. Alternatif System of Care Alternatif System of Care merupakan sistem perawatan kesehatan yang telah dikembangkan terpisah dari pendekatan biomedis Barat untuk perawatan. Contoh: Pengobatan Tradisional Cina, Ayurvedic, obat asli Amerika, curanderismo, homeopati, naturopati. B. Mind-Body Terapies Mind-Body Terapies merupakan intervensi yang menggunakan berbagai teknik untuk memfasilitasi pikiran yang berdampak pada gejala fisik dan fungsi tubuh. Contoh: imagery, meditasi, yoga, terapi musik, doa, journaling, biofeedback, humor, tai chi, art therapy. 31 C. Biologically Based Therapies Terapi ini merupakan terapi yang didasarkan pada praktik biologi dan produk/bahan dari alam. Contoh: terapi herbal, diet khusus seperti Pritikin dan Ornish, obat orthomolecular (suplemen gizi dan makanan), serta produk lain seperti kartilago. D. Manipulative and Body-Based Systems Terapi ini merupakaan terapi yang didasarkan pada manipulasi dan gerakan tubuh. Contoh: chiropractic, massage, body work seperti Rolfing, terapi cahaya dan warna, serta hidroterapi. E. Energy Therapies Terapi ini merupakan terapi yang berfokus pada energi yang berasal dari dalam tubuh (biofields) atau energi yang berasal dari sumber eksternal. Contoh: healing touch, therapeutic touch, Reiki, external Qi Gong, dan magnet (Snyder, 2006:5) 2.4 Mentimun 2.4.1 Taksonomi Mentimun Berikut ini merupakan taksonomi tanaman mentimun yaitu: Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Subdivisio : Angiospermae Class : Magnoliopsida-Dicotyledoneae 32 Ordo : Violales Family : Cucurbitaceae Genus : Cucumis L. Species : Cucumis sativus L. (US National Plant Database, 2004). 2.4.2 Deskripsi Mentimun Mentimun termasuk keluarga besar suku labu-labuan atau Cucurbitaceae. Para ahli menamai mentimun Cucumis sativus L. Mentimun biasanya dipanen sebelum matang benar dan merupakan herbal menjalar atau setengah merambat. Ia termasuk tanaman semusim (Citrosupomo, 2007). Mentimun berasal dari Himalaya di benua Asia Utara, dan meluas ke seluruh daratan baik tropis atau subtropis, kemudian terus meluas hingga ke Indonesia (Direktorat Jendral Hortikultura, 2010). Ada empat jenis mentimun yang bisa ditemukan antara lain mentimun lokal, mentimun Jepang, mentimun Gherkin, dan zucchini. Mentimun lokal yaitu mentimun yang berbentuk bulat panjang dengan kulit berwarna hijau berlariklarik putih kekuningan dan dapat dimakan mentah karena mengandung vitamin dan mineral. Mentimun Jepang (kyuri) yaitu mentimun yang berasal dari negeri sakura, memiliki bentuk yang lebih ramping dan panjang dibandingkan mentimun lokal. Kulitnya berwarna hijau gelap dengan bintik-bintik putih timbul yang membuat permukaannya tidak rata. Rasa dan teksturnya lebih lembut daripada mentimun lokal. Mentimun Gherkin yang disebut juga mentimun acar atau baby kyuri. Ukurannya lebih kecil, dengan kulit berwarna hijau tua dan terdapat bintik- 33 bintik yang timbul seperti kyuri. Rasanya renyah, tidak terlalu berair, dan tidak bergetah. Zucchini merupakan sayuran yang masih bersaudara dengan mentimun dan sering disebut sukini atau timun Italia. Memiliki ukuran lebih besar dan tidak terlalu berair dibandingkan mentimun. Bentuknya tidak bulat sempurna, tapi bersegi-segi. Warna kulitnya hijau lumut tua dan mengkilap. Bagian dalamnya berwarna putih menyerupai oyong dan jarang dimakan mentah (Majalah Nirmala, 2008). 2.4.3 Kandungan Mentimun Kandungan alami yang dimiliki buah mentimun di antaranya vitamin A, B, C, E, saponin, protein, lemak, kalsium, glutation, karoten, terpenoid, belerang, flavonoid dan polifenol. Sumber lain juga menyebutkan bahwa kandungan yang terdapat pada mentimun adalah karbohidrat, vitamin A,C, B1, B2, B6, air, serta mineral (Rohmatussolihat, 2009). Kandungan mineral yang terdapat pada mentimun adalah, magnesium, kalium, zat besi dan fosfor. Kandungan kalium, magnesium, dan fosfor ini menyebabkan mentimun dapat digunakan sebagai obat alami untuk hipertensi. 34 Tabel 3. Kandungan dan Komposisi Gizi Mentimun tiap 100 g bahan Sumber: USDA National Nutrient Data Base, 2004. 2.4.4 Manfaat Mentimun Mentimun mempunyai banyak khasiat. Dalam berbagai uji coba yang dilakukan, ekstrak mentimun berdampak positif jika digunakan untuk mengobati penyakit seperti susah buang air besar, menurunkan kolesterol, meningkatkan kekebalan tubuh, mencegah hepatitis, Ekstrakawan, demam, hipertensi dan beberapa gangguan kesehatan lainnya (Mangonting et al, 2008). Kandungan serat dalam mentimun dapat menurunkan kadar lemak tubuh dan kolesterol serta memberi efek mengenyangkan. Selain itu, mentimun juga mengandung asam malonat yang dapat mencegah gula darah berubah menjadi lemak, sehingga sangat 35 membantu menurunkan berat badan. Pemanfaatan mentimun dalam menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi yaitu dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (Mangonting et al, 2008). Selain itu mentimun juga bersifat diuretik karena mengandung banyak air sehingga menbantu menurunkan tekanan darah (Myrank, 2009). 2.4.5 Pengaruh Mentimun terhadap Tekanan Darah Kandungan kalium dalam mentimun dapat menurunkan sekresi renin yang mengakibatkan penghambatan pada Renin-Angiotensin System (penurunan angiotensin I dan II sehingga vasokonstriksi pembuluh darah berkurang). Akibatnya terjadi penurunan reabsorpsi natrium dan air pada ginjal. Penghambatan pada Renin-Angiotensin System juga turut menyebabkan terjadinya penurunan ekskresi aldosteron, sehingga terjadi penurunan reabsorpsi natrium dan air di tubulus ginjal. Akibat dari mekanisme tersebut, maka terjadi peningkatan diuresis yang menyebabkan berkurangnya volume darah, sehingga tekanan darah pun menjadi turun. Kalium juga merupakan ion utama di dalam cairan intraseluler. Kalium mempunyai efek dalam pompa Na-K yaitu kalium dipompa dari cairan ekstra selular ke dalam sel, dan natrium dipompa keluar sel. Ginjal sebagai regulator utama kalium di dalam tubuh menjaga agar kadarnya tetap di dalam darah dengan mengontrol eksresinya. Kadar kalium yang tinggi dapat meningkatkan eksresi natrium, sehingga dapat menurunkan volume darah dan tekanan darah (Guyton and Hall, 2008:55). Mentimun diduga mengandung zat yang berperan sebagai 36 alpha-bloker, yang turut menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer, sehingga tekanan darah menjadi turun. Banyaknya kandungan air pada mentimun pun bertindak sebagai diuretik (Myrank, 2009). 2.5 Jahe 2.5.1 Taksonomi Jahe Berikut ini merupakan taksonomi tanaman jahe yaitu: Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta/Pteridophyyta Subdivisio : Angiospermae Class : Liliopsida-Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Family : Zingiberaceae Genus : Zingiber Mill. Species : Zingiber officinale Rosc. (US National Plant Database, 2004). 2.5.2 Deskripsi Jahe Jahe merupakan akar-akaran segar atau kering dari Zingiber officinale. Ahli botani Inggris William Roscoe (1753-1831) mempopulerkan nama Zingiber officinale pada tahun 1807. Jahe telah lama dikenal dan tumbuh baik di Indonesia. 37 Rimpang jahe dimanfaatkan sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa pada makanan dan minuman. Jahe juga digunakan dalam industri obat, minyak wangi dan jamu tradisional. Keluarga jahe merupakan kelompok tanaman tropis, terutama yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Terdiri atas lebih dari 1200 spesies tanaman dalam 53 genera. Genus Zingiber terdiri dari 85 spesies tanaman obat aromatik yang berasal dari Asia Timur dan Australia tropis (Aminah, 2004). Berdasarkan ukuran dan warna rimpangnya, jahe dapat dibedakan menjadi tiga varietas, yaitu jahe besar (jahe gajah), jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe besar (jahe gajah) mempunyai ukuran rimpang yang besar, berwarna muda atau kuning, berserat halus, beraroma serta berasa kurang tajam. Jahe putih kecil memiliki ukuran rimpang sedang, dengan bentuk agak pipih, berwarna putih, berserat lembut, dan beraroma serta berasa tajam, sedangkan jahe merah memiliki ukuran rimpang yang kecil, berwarna merah jingga, berserat kasar, beraroma serta berasa sangat tajam (pedas). Jahe merah dan jahe kecil banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan karena kandungan minyak atsiri pada jahe merah lebih banyak sedangkan jahe besar dimanfaatkan sebagai bumbu masak (Bermawie, 2003). 2.5.3 Kandungan Jahe Rimpang jahe mengandung dua komponen utama yaitu: A. Komponen volatile Komponen volatile memberi bau yang khas pada jahe. Komponen volatile terdiri dari oleoresin (4,0-7,5%), yang sangat berpotensi 38 sebagai antioksidan (Balachandran et al, 2006). Komponen ini bertanggung jawab terhadap aroma jahe (minyak atsiri) dengan komponen terbanyak adalah zingiberen dan zingiberol. Minyak atsiri atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), minyak esensial, minyak terbang, serta minyak aromatik adalah kelompok besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga memberikan aroma yang khas. Minyak atsiri jahe berwarna bening sampai kuning tua dan memiliki nilai ekonomi tinggi karena banyak digunakan dalam industri parfum, kosmetik, essence, farmasi dan flavoring agent (Bermawie, 2011). B. Komponen non-volatile Komponen non-volatile pada jahe bertanggung jawab terhadap rasa pedas, salah satu di antaranya adalah gingerol. Gingerol memiliki rumus kimia 1-[4-hidroksi-3- methoksifenil]-5-hidrokasi-alkan-3ol dengan rantai samping yang bervariasi. Gingerol merupakan senyawa identitas untuk tanaman jahe dan berfungsi sebagai senyawa yang berkhasiat obat. Gingerol sangat tidak stabil dengan adanya panas dan pada suhu tinggi akan berubah menjadi shogaol. Shogaol lebih pedas dibandingkan gingerol, merupakan komponen utama jahe kering (Mishra, 2009). Konsentrasi gingerol dari jahe kering akan berkurang dibandingkan dalam jahe segar, sedangkan shogaol akan meningkat. Gingerol sebagai komponen utama jahe dapat terkonversi menjadi shogaol atau zingeron. Senyawa paradol sangat serupa dengan gingerol 39 yang merupakan hasil hidrogenasi dari shogaol. Shogaol terbentuk dari gingerol selama proses pemanasan (Wohlmuth et al, 2005). Gingerol yang terkandung di dalam jahe memiliki efek sebagai antiinflamasi, antipiretik, gastroprotective, cardiotonic dan antihepatoksik (Jolad et al, 2004), antioksidan, antikanker, antiinflamasi, antiangiogenesis dan antiartherosclerotic (Shukla dan Singh, 2007). Selain komponen volatile dan non volatile, pada jahe juga terkandung sejumlah nutrisi, seperti vitamin, mineral, protein, karbohidrat dan lemak yang bermanfaat untuk kesehatan. Tabel 4. Kandungan Nutrisi Jahe dalam 100 g Sumber: USDA National Nutrient Data Base, 2004. 40 2.5.4 Manfaat Jahe Jahe mengandung dua enzim pencernaan yang penting. Pertama, protease yang berfungsi memecah protein. Kedua, lipase yang berfungsi memecah lemak. Kedua enzim ini membantu tubuh mencerna dan menyerap makanan. Jahe dapat menghambat serotonin sebagai senyawa kimia pembawa pesan yang menyebabkan perut berkontraksi dan menimbulkan rasa mual (Amalia, 2004). Jahe sekurang-kurangnya mengandung 19 komponen bioaktif yang berguna bagi tubuh. Komponen yang paling utama adalah gingerol yang bersifat antikoagulan, yaitu mencegah penggumpalan darah. Gingerol diperkirakan juga membantu menurunkan kadar kolesterol. Gingerol telah dibuktikan mempunyai aktivitas sebagai antipiretik, antitusif, hipotensif, antiinflamasi dan analgesik (Kim et al, 2005), antitumor, antikanker (Dorai et al, 2004), antioksidan (Masuda et al, 2004), dan antifungal (Ficker et al, 2003). Pada konsentrasi rendah ternyata gingerol and shogaol dapat menurunkan tekanan darah. Secara invitro telah dibuktikan bahwa bahan aktif dalam jahe berpotensi dan prospektif untuk mengobati penyakit kronik seperti diabetes (Sekiya et al, 2004) dan hipertensi (Ghayur dan Gilani, 2005). Menurut Schuler (1990) dalam Aminah (2004), jahe bermanfaat yaitu sebagai antioksidan dan antikanker. Jahe adalah salah satu bahan pangan yang mengandung senyawa fenol yang berperan sebagai antioksidan. Jahe juga termasuk jenis bahan pangan yang berpotensi dalam pencegah kanker karena terbukti memiliki aktivitas antioksidan dan antikanker (antikarsinogenik) yang tinggi. 41 2.5.5 Pengaruh Jahe terhadap Tekanan Darah Jahe sangat populer sebagai tanaman herbal yang akan membantu mengembalikan kesegaran tubuh. Manfaat jahe yang ditemukan antara lain dapat membantu menurunkan tekanan darah. Hal ini disebabkan oleh kandungan bioaktif yang dimiliki jahe. Inti jahe yang disebut gingerol merupakan molekul radikal bebas yang kuat dan dapat beraksi sebagai antioksidan yang bermanfaat menetralkan efek merusak dari radikal bebas di dalam tubuh (Koswara, 2010). Gingerol pada jahe juga bersifat antikoagulan, yaitu mencegah penggumpalan darah. Gingerol dapat memperlebar pembuluh darah sehingga peredaran darah menjadi lancar dan tekanan darah menurun (Elkhishin, 2009). Adanya sejumlah mineral seperti kalium, mangan tembaga, dan magnesium juga sangat membantu. Kalium adalah sebuah komponen penting dari sel dan cairan tubuh yang membantu mengendalikan detak jantung dan tekanan darah (Anon, 2010). Kalium juga merupakan ion utama di dalam cairan intraseluler. Kalium mempunyai efek dalam pompa Na-K yaitu kalium dipompa dari cairan ekstra selular ke dalam sel, dan natrium dipompa keluar sel. Ginjal sebagai regulator utama kalium di dalam tubuh menjaga agar kadarnya tetap di dalam darah dengan mengontrol eksresinya. Kadar kalium yang tinggi dapat meningkatkan eksresi natrium, sehingga dapat menurunkan volume darah dan tekanan darah (Guyton and Hall, 2008:55).