I. PENDAHULUAN

advertisement
I.
PENDAHULUAN
Dewasa ini, dikenal dua sistem pertanian yaitu pertanian intensif dan
pertanian organik. Pertanian organik baru berkembang pada awal tahun 1990-an.
Menurut Salikin dalam Kusumawardani (2009) pertanian organik merupakan salah
satu solusi atas kegagalan sistem pertanian intensif. Pertanian organik secara teknis
merupakan suatu sistem produksi pertanian dimana bahan organik, baik makhluk
hidup maupun yang sudah mati, merupakan faktor penting dalam proses produksi.
Penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati serta pemberantasan hama dan gulma
secara biologis, merupakan contoh penerapan sistem pertanian organik. Pertanian
organik di Desa Melung terletak di lereng Gunung Slamet bagian selatan, tepatnya di
Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Banyumas. Berada pada ketinggian ratarata 400-700 m dpl dengan curah hujan yang cukup tinggi antara 3000-4000 mm per
tahun. Cara pengolahan tanah di lahan pertanian organik yaitu dilakukan tanpa
penyemprotan herbisida atau pembasmi hama lainnya dan budidaya tanaman hanya
menggunakan pupuk kandang.
Selain itu, pada pertanian intensif dikenal dengan sistem pertanian revolusi
hijau, secara teknis merupakan sistem pertanian yang menggunakan pestisida sebagai
kunci utama dalam memberantas hama (Suhartini, 2004). Keberhasilan pertanian
intensif diukur dari berapa banyak hasil panen yang dihasikan. Sama halnya dengan
pertanian organik, pertanian intensif juga terdapat di lereng Gunung Slamet bagian
selatan dengan ketinggian dan curah hujan yang sama. Sedangkan untuk pengolahan
tanahnya yaitu sebelum ditanami, dilakukan penyemprotan herbisida kemudian
setelah penanaman tanaman, langsung diberikan pupuk anorganik. Menurut Alteri
(1999) penerapan intensifikasi pertanian memiliki dampak negatif terhadap
keragaman organisme tanah.
2
Organisme tanah dapat dijadikan sebagai indikator kualitas tanah karena
organisme ini bersifat sensitif terhadap perubahan dan ditemukan melimpah di dalam
tanah. Salah satu organisme tanah yaitu fauna tanah, baik mikro, meso maupun
makrofauna. Fauna tanah merupakan salah satu komponen biotik yang berperan
terhadap kesuburan tanah dan merupakan bagian dari ekosistem tanah yang
kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain di dalam
lingkungan. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaan, penyebaran
dan kepadatan fauna tanah (Suin, 1997). Keberadaan fauna tanah di ekosistem
pertanian, memiliki arti dalam memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah,
terutama sebagai dekomposer dan ‘soil engineer’ sehingga dapat meningkatkan
produktivitas tanaman budidaya. Fauna tanah berperan dalam penghancuran atau
perombakan bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman serta binatang
menjadi bahan-bahan yang lebih sederhana sehingga menjadi unsur hara yang
terlarut serta dapat diserap oleh tanaman. Pengelompokan terhadap fauna tanah
sangat beragam, mulai dari Protozoa, Porifera, Nematoda, Anelida, Mollusca,
Arthropoda hingga Vertebrata. Di Indonesia tercatat lebih dari 111 spesies
Arthropoda merupakan hama, 61 spesies merupakan predator dan 41 spesies
merupakan parasitoid (Okada et al., 1988).
Menurut Settle et al. (1996) perbedaan habitat pada ekosistem pertanian dapat
mendukung keberadaan fauna tanah termasuk Coleoptera. Coleoptera berperan
penting dalam ekosistem yakni sebagai predator, herbivor dan sebagai pengurai
(Susilo et al., 2009). Selain itu, secara keseluruhan peranan Coleoptera dilahan
pertanian sebanyak 40% dapat mencegah kerusakan tanaman (Borror et al., 1998).
Coleoptera termasuk kelas serangga dengan jumlah sebaran yang paling luas, serta
3
beranggotakan lebih dari 750.000 spesies, dan terdiri dari kurang lebih 40% dari
jumlah keseluruhan serangga di dunia (Borror et al., 1992).
Coleoptera berasal dari kata coleo artinya selubung dan ptera artinya sayap
(termasuk pada elytra). Coleoptera dapat ditemukan hampir di semua habitat. Selain
itu, faktor ketinggian tempat juga mempengaruhi keberadaan Coleoptera, dalam
kawasan persawahan maupun hutan. Semakin tinggi tempat dari permukaan laut,
maka jumlah dan spesies serangga yang ditemukan akan semakin sedikit dan
sebaliknya semakin rendah dari permukaan laut, maka jumlah dan spesies serangga
yang ditemukan semakin banyak (Borror et al., 1992). Salah satu kelompok
Coleoptera yang berperan penting dalam mempertahankan keseimbangan suatu
ekosistem adalah kumbang tinja (scarabaeids dungbeetles) atau kumbang
koprofagus yang termasuk dalam familia Scarabaeidae. Sebagian besar Scarabaeidae
terutama sub famili Scarabaeinae berasosiasi dengan kotoran mamalia (sapi, kerbau,
gajah, rusa dan lain-lain.), unggas (ayam, burung) dan manusia (Hanski dan Krikken,
1991).
Kumbang ini mudah dikenali dengan bentuk tubuhnya yang cembung, bulat
telur atau memanjang dengan tungkai bertarsi 5 ruas dan sungut 8-11 ruas dan
berlembar. Tiga sampai tujuh ruas terakhir antena umumnya meluas menjadi
struktur-struktur seperti lempeng yang dibentangkan sangat lebar atau bersatu
membentuk satu gada ujung yang padat. Tibia tungkai depan membesar dengan tepi
luar bergeligi atau berlekuk. Pada kelompok kumbang pemakan tinja, bentuk kaki ini
khas sebagai kaki penggali (Borror et al., 1989). Semua kumbang koprofagus adalah
scarab tetapi tidak semua scarab merupakan kumbang koprofagus. Kumbang
koprofagus banyak digunakan sebagai bioindikator stabilnya ekosistem karena
tersebar luas pada berbagai tipe ekosistem, spesiesnya beragam, mudah dicuplik dan
4
memiliki peran yang penting secara ekologis. Selain beragam dari segi morfologi,
kumbang koprofagus juga memiliki keragaman dalam strategi pemanfaatann
sumberdaya.
Secara garis besar kumbang koprofagus dapat digolongkan dalam empat
kelompok fungsional (guild) yaitu (i) kelompok telekoprid atau dwellers (penetap),
dan kelompok nester (pembuat sarang), (ii) kelompok parakoprid atau tunnelers
(pembuat terowongan), (iii) kelompok endokoprid atau rollers (penggulung kotoran)
serta (iv) kelompok kleptokoprid (Doube, 1990; Westerwalbeslohl et al., 2004).
Kelompok dwellers yang banyak ditemukan di daerah temperate, memakan langsung
kotoran yang ditemukannya dan umumnya meletakkan telur di kotoran tersebut tanpa
membentuk sarang. Kelompok parakoprid atau tunnelers yang di dominasi oleh
Scarabaeinae dan Geotrupinae, menggali terowongan di bawah kotoran yang
ditemukannya, membawa kotoran ke tempat tersebut dan memanfaatkannya sebagai
makanan dan tempat bereproduksi. Kelompok rollers (penggulung kotoran) memiliki
kemampuan untuk membuat bola tinja sebagai suatu sumber daya yang dapat
dipindahkan, dibawa ketempat lain sebelum dibenamkan ke dalam tanah. Kelompok
kleptoparasit menggunakan kotoran yang telah dimonopoli oleh jenis telekoprid atau
parakoprid (Hanski dan Cambefort, 1991; Westerwalbeslohl et al., 2004).
Aktivitas kumbang koprofagus yang dilakukan di sekitar kotoran hewan,
sangat membantu menyebarkan dan menguraikan kotoran hewan sehingga tidak
menumpuk di suatu tempat. Secara umum berpengaruh terhadap tumbuhan
sekitarnya. Selain itu dapat memperbaiki kesuburan dan aerasi tanah, serta
meningkatkan laju siklus nutrisi (Andresen, 2001 dalam Shahabuddin et al., 2005)
Dengan demikian, kumbang koprofagus merupakan bagian yang penting dalam
5
ekosistem untuk mempertahankan keseimbangan alam dan rantai makanan (Klein
1989; Estrada et al., 1999; Davis et al., 2001; Andresen, 2002).
Sebagian besar familia ini hidup pada kotoran hewan atau tinja dan biasanya
aktif pada siang hari. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor penting bagi
kumbang koprofagus. Pada malam hari, kumbang koprofagus juga menggunakan
sinar bulan untuk menentukan arah, karena untuk mencari makan (Fincher et al.,
1971). Anggota dari famili Scarabaeidae yang lain yaitu sebagai pemakan tumbuhan
(Borror et al., 1992). Beberapa familia lain misalnya: Histeridae, Staphylinidae,
Hydrophilidae dan Silphidae juga hidup pada kotoran hewan namun tidak termasuk
kelompok kumbang tinja, karena mereka tidak mengkonsumsi kotoran hewan tetapi
sebagai predator dari arthropoda yang hidup pada kotoran hewan (Britton, 1970;
Hanskin dan Cambefort, 1991; Hanskin dan Krikken, 1991; Krikken, 1989). Menurut
Hanski dan Cambefort (1991) kumbang koprofagus banyak ditemukan di kotoran
hewan mamalia dari golongan herbivora. Kotoran hewan diuraikan oleh kumbang
menjadi partikel dan senyawa sederhana dalam proses yang dikenal dengan daur
ulang unsur hara atau siklus hara.
Kumbang koprofagus juga dilaporkan membantu penyerbukan tumbuhan
tertentu seperti Orchidantha inouei (Lowiaceae, Zingiberales). Tumbuhan ini
mengeluarkan bau mirip kotoran hewan, sehingga menarik kedatangan kumbang
koprofagus (Sakai dan Inoue, 1999). Kumbnag koprofagus juga memiliki
kemampuan untuk mensintesis senyawa antimikroba, terbukti dari kemampuannya
untuk tetap hidup dan berkembang biak pada kotoran hewan yang dipenuhi berbagai
jenis mikroba (jamur dan bakteri) serta nematoda parasit (Vulinuc, 2002 dalam
Shahabuddin et al., 2005). Oleh karena fungsinya yang sangat penting dalam
ekosistem, maka Primark (1998) menyatakan bahwa kumbang koprofagus
6
merupakan jenis kunci (keystone species) pada suatu ekosistem. Davis dan Sulton
(1998) menyatakan bahwa kumbang koprofagus penting sebagai indikator biologi,
dimana pada lingkungan yang berbeda akan mempunyai struktur dan keragaman
kumbang koprofagus yang berbeda pula.
Shahabuddin et al. (2005) telah mereview perkembangan dan permasalahan
studi kumbang koprofagus dan serangga pada umumnya di Indonesia. Di Indonesia
diperkirakan terdapat lebih dari 1000 spesies kumbang Scarabaeidae (Noerdjito,
2003). Menurut Hanski dan Krikken (1991) keragaman kumbang koprofagus di
Indonesia sangat tinggi dan memiliki endemisme pada setiap pulau. Kekayaan
spesies kumbang koprofagus dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan terutama
oleh tipe vegetasi, tipe tanah, dan jenis kotoran (sebagai sumber pakan) (Doube,
1991; Davis et al., 2001); Faktor lainnya seperti titik lintang (Hanski dan Cambefort,
1991), ketinggian tempat (Lobo dan Halffter, 2000), ukuran kotoran hewan (Erroussi
et al., 2004), dan musim (Hanski dan Krikken 1991) turut menentukan keragaman
spesies kumbang koprofagus.
Studi tentang kumbang tinja atau kumbang koprofagus di Indonesia dan Asia
Tenggara masih sedikit. Salah satu ekspedisi Wallacea tahun 1985 dan baru
dipublikasikan, Hanski dan Krikken (1991) menemukan 50 spesies kumbang
koprofagus dan kumbang bangkai di Taman Nasional Dumoga-Bone, Sulawesi
Utara. Tercatatat sebanyak 39 spesies termasuk dalam familia Scarabaeidae, 77%
diantaranya merupakan genus Orthophagus, dan sisanya termasuk dalam familia
Aphodiidae (4 spesies), Geotrupidae (2 spesies), Hybosoridae (1 spesies), dan
Silphidae (4 spesies). Menurut Noerdjito (2003) bahwa sekitar 50 spesies kumbang
koprofagus dari sub familia Scarabinae berhasil dikoleksi dari Taman Nasional
Gunung Halimun, Jawa Barat. Sih Kahono et al. (2007) juga menjelaskan bahwa
7
keragaman spesies kumbang tinja scarabaeids di hutan tropis basah pegunungan
Taman Nasional Gede Pangrango adalah 28 spesies, kemudian kelimpahan individu
kumbang tinja scarabaeids paling tinggi yaitu pada ketinggian 1001-2000m, namun
pada ketinggian 500-1000m kelimpahan individunya rendah atau sedikit.
Mengingat pentingnya keberadaan dan peranan kumbang koprofagus
(scarabaeids dungbeetles) di alam dalam merombak kotoran hewan, maka penelitian
mengenai
kelimpahan
dan
keragaman
kumbang
koprofagus
(Colepotera:
Scarabaeidae) perlu dilakukan. Namun, sampai saat ini belum pernah ada penelitian
tentang komunitas kumbang koprofagus (Coleoptera: Scarabaeidae) di area pertanian
terutama di lahan pertanian organik dan intensif khususnya di wilayah Banyumas.
Berdasarkan uraian di atas, maka pada penelitian ini akan dikaji beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Berbedakah keragaman kumbang koprofagus (Coleoptera: Scarabaeidae) di lahan
pertanian organik dan intensif.
2. Bagaimanakah perbedaan kelimpahan dan komposisi kumbang koprofagus
(Coleoptera: Scarabaeidae) di lahan pertanian organik dan intensif.
Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini akan dilaksanakan dengan tujuan
untuk:
1. Membedakan keragaman kumbang koprofagus (Coleoptera: Scarabaeidae) di
lahan pertanian organik dan intensif.
2. Mengetahui kelimpahan dan komposisi kumbang koprofagus (Coleoptera:
Scarabaeidae) di lahan pertanian organik dan intensif.
Download