Hukum Perburuhan dan Kewajiban Pengusaha

advertisement
HUKUM KETENAGAKERJAAN
OLEH
DR. DRS. WIDODO SURYANDONO
SH, MH.
SESI II
HUKUM PERBURUHAN DAN KEWAJIBAN
PENGUSAHA DALAM KONTEKS PERBURUHAN
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN
Disampaikan dalam Kursus Intensif Hukum Perburuhan oleh EMLI
Training pada Hari Selasa tanggal 28 April 2014, di Hotel Grand
Mercure Jakarta Harmoni
SEBAGAIMANA DIKETAHUI, DALAM TATA HUKUM INDONESIA,
TERDAPAT 3 (TIGA) KELOMPOK HUKUM YAITU :
1. HUKUM PERDATA.
Menurut MG. LEMAIRE, struktur Hukum Perdata
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Hukum Pribadi
Hukum Pribadi di sini mengatur hak dan kewajiban
subyek
hukum
yang
timbul
setelah
ditandatanganinya suatu perjanjian kerja dan
berakhir setelah suatu hubungan kerja terputus. Di
samping itu juga berkaitan dengan kecakapan subyek
hukum dalam bertindak di depan hukum. Misalnya :
1) Seorang
anak baru bisa dianggap mampu
membuat perjanjian kerja apabila ia telah
mendapatkan kuasa dari walinya atau orang
tuanya.
2) Organisasi Perburuhan (Serikat Buruh) baru
mampu melakukan perbuatan hukum bila ia
sudah terdaftar di Departemen Tenaga Kerja.
b. Hukum Harta Kekayaan , meliputi :
1) Hukum Kebendaan
Dalam Hukum Perburuhan dikenal ada
Benda Bergerak, misalnya : upah, hasil
produksi benda bergerak. Kemudian dikenal
pula Benda tak bergerak, misalnya: Mesin
pabrik,
gedung
pabrik,
tanah,
dsb.
Selanjutnya terdapat pula benda yang ada
nanti, misalnya : uang ganti rugi kecelakaan
kerja, uang pesangon, uang pensiun,
tunjangan kematian, dsb. Demikian pula
terdapat benda yang tak dapat diraba atau
dilihat, misalnya : hasil produksi berupa
jasa, hak cipta, dsb.
2) Hukum Perjanjian
Hukum
Perjanjian
berkaitan
dengan
masalah perjanjian menyangkut sahnya
perjanjian serta macam-macam perjanjian.
Dalam Hukum Perburuhan dikenal ada
perjanjian kerja, peraturan perusahaan,
serta perjanjian
perburuhan yang tidak
dapat lepas dari persyaratan sahnya
perjanjian pada umumnya.
3) Penyelewengan Perdata.
Penyelewengan perdata menimbulkan hak
menuntut ganti rugi kepada pihak yang
dirugikan, akibat pelanggaran hukum oleh
pihak lain. Misalnya : Seorang buruh
merusak milik perusahaan, maka kepadanya
dapat dimintakan ganti rugi.
2. HUKUM TANTRA ATAU HUKUM
NEGARA
Hukum Tantra negara baik dalam keadaan bergerak
maupun dalam keadaan tidak bergerak. Hukum Tata
Negara melihat negara dalam keadaan tidak bergerak
(statis), sedangkan Hukum Administrasi Negara
melihat Negara dalam keadaan bergerak (dinamis).
Fungsi Hukum Tata Negara adalah :
a. Menentukan apa saja yang menjadi masyarakat
hukum atasan dan bawahan dengan segala jenjang
tingkatanya.
b. Merumuskan lingkup peranan terhadap wilayah
negaranya dan warga negaranya.
c. Menunjukan kekuasaan apa saja yang
diserahkan pada aneka lembaga dalam tiap
masyarakat hukum.
Berdasarkan fungsi Hukum Tata Negara tersebut
diatas, maka inti dari Hukum Tata Negara, yaitu :
1.
Berkaitan dengan kedudukan/status yang menjadi
subyek dalam Hukum Negara, yaitu : Siapa yang
menjadi penguasa/pejabat Negara, Lembagalembaga Negara macam apa saja, serta siapa yang
menjadi warga negara dan siapa yang bukan warga
negara.
2.
Berkaitan dengan peranan (role) yang menjadi
subyek dalam Negara.
Ditinjau dari aspek Hukum Tata Negara, lembagalembaga negara yang erat kaitannya dengan
masalah-masalah perburuhan adalah :
1.Departemen Tenaga Kerja yang berfungsi sebagai
lembaga eksekutif.
2.DPR yang berfungsi sebagai Lembaga Legistatif
3.Mahkamah Agung berfungsi sebagai Lembaga
Yudikatif.
PERLINDUNGAN TERHADAP BURUH
1.
Bagi penyandang cacat (pasal 67)
Pengusaha wajib memberikan perlindungan
sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya
2.
Anak (Pasal 68)
pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pengecualian (pasal 69) anak berumur 13-15
tahun boleh dipekerjakan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan
fisik, mental, dan sosial. Praktek kerja bagi
anak yang berumur paling sedikit 14 tahun
sesuai dengan kurikulum pendidikan dan
pelatihan
3.
4.
Perempuan (Pasal 76)
Dilarang mempekerjakan perempuan yang
berumur kurang dari 18 tahun pada pukul 23.0007.00, dalam kondisi hamil, harus diberikan
ekstra fooding dan menjaga kesusilaan dan
keamana selama di tempat kerja dan
menyediakan angkutan.
Waktu kerja (Pasal 77)
◦ 7 jam perhari atau 40 jam perminggu untuk 6
hari kerja perminggu.
◦ 8 jam perhari atau 40 jam perminggu untuk 5
hari kerja perminggu.
Upah lembur (Pasal 78) harus memenuhi syarat
persetujuan pekerja dalam jangka waktu 3 jam
perhari atau 14 jam perminggu.
5.
6.
Keselamatan dan kesehatan kerja (Pasal 86)
Setiap buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas keselamatan dan kesehatan
kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta nilai-nilai agama.
Pengupahan (Pasal 88)
a. Setiap
pekerja
berhak
memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.
b. Pengusaha dilarang membayar upah lebih
rendah dari upah minimum yang telah
ditetapkan pemerintah.
c. Upah tidak dibayar jika pekerja tidak
melakukan pekerjaan (Pasal 93)
7.
Kesejahteraan
Setiap pekerja dan keluarganya berhak memperoleh
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Pasal 99). Untuk
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya
pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan (Pasal
100)
HAK PEKERJA DAN PENGUSAHA
1.
Hak Pekerja untuk membentuk dan menjadi
anggota serikat pekerja (Pasal 104)
2.
Setiap Pekerja berhak membentuk dan menjadi
anggota organisasi pengusaha (Pasal 105)
Lembaga Serikat Pekerja/Serikat Buruh di
Perusahaan
 Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
Republik Indonesia No. 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Lembaga Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di Perusahaan adalah
Organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk
pekerja / buruh baik di perusahaan maupun di
luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis dan bertanggung jawab
guna
memperjuangkan,
membela
serta
melindunggi hak dan kepentingan pekerja /
buruh serta meningkatkan kesejahteraan
pekerja / buruh dan keluarganya .
A.
Setelah
terbentuknya
Lembaga
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh di Perusahaan, menurut
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Republik
Indonesia No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, yang berbunyi: “Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Federasi, dan Konfederasi
Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang telah
terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada
Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat”.
B.
1.
Keabsahan Lembaga Serikat Pekerja/Serikat
Buruh di Perusahaan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang dibentuk di suatu
peruhasaan dinyatakan sah apabila telah memenuhi
syarat dan prosedurnya.
a)
b)
c)
Menurut Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 Undang-Undang No.21
Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Syarat
dan Prosedurnya adalah Serikat Buruh/Serikat Pekerja
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 orang buruh/pekerja.
Kemudian memberitahukan secara tertulis kepada instansi
pemerintah
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
ketenagakerjaan
setempat
untuk
dicatat,
dengan
melampirkan: daftar nama anggota pembentuk, anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga, serta susunan dan nama
pengurus.
Dengan demikian, Serikat Pekerja sah sejak dicatat
oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan setempat.
Kewenangan Pengurus Serikat Pekerja/Serikat
Buruh
Menurut Pasal 5 ayat (2) jo Pasal 18 Undang-Undang
No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Buruh/Serikat
Pekerja jo Pasal 111 ayat (4) Undang-Undang No.13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, bahwa setelah
terbentuknya Serikat Pekerja secara sah, apabila
Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan
menghendaki perundingan pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama, maka Pengusaha wajib melayani. Dengan
demikian, sejak terbentuknya Serikat Pekerja secara
sah, Pengurus Serikat Pekerja/Serikat Buruh berhak
mengadakan perjanjian Kerja Bersama dengan mitra
kerjanya (pengusaha).
C.

D. Kantor Serikat Pekerja/ Serikat Buruh
1)
2)
3)
Kantor serikat pekerja atau Sekretariat pekerja dapat berada di dalam
ataupun di luar lingkungan Perusahan, karena dalam ketentuan
undang – Undang tidak mencantumkan secara jelas tentang
keberadaan kantor serikat pekerja/serikat buruh, sehingga tidak harus
kantornya berada di dalam atau di luar lingkungan perusahaan/mitra
kerjanya.
Perusahaan tidak mempunyai kewajiban menyediakan tempat untuk
kantor Serikat Pekerja/Serikat Buruh, namun demikian apabila di
dalam Perjanjian Kerja Bersama terdapat kesepakatan bahwa
perusahaan akan menyediakan kantor serikat pekerja/buruh, maka
”perusahaan wajib menyediakan”. Dalam kasus ini, perusahaan tidak
wajib menyediakan kantor serikat pekerja/buruh .
Dengan demikian, apabila perusahaan tidak memberikan/menyediakan
kantor untuk sekretariat Serikat Pekerja/ Serikat Buruh tidak secara
otomatis dapat dikatakan melakukan tindakan Menghalang-halangi
dengan melakukan Intimidasi. “sebagaimana dimaksud dalam “ Pasal
43 Jo. Pasal 28 Undang-undang RI No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
4.
Menurut Pasal 23 Undang-undang Republik
Indonesia No. 21 tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, berbunyi: Pengurus Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Federasi, dan Konfederasi
Serikat Pekerja/ Serikat Buruh yang telah
mempunyai nomor bukti pencatatan harus
memberitahukan secara tertulis keberadaannya
kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya.
Maksud diberitahukan kepada mitra kerjanya
setelah mempunyai Tanda Bukti Pencatatan pada
instansi
yang
berwenang
yaitu
untuk
memberitahukan keberadaan serikat pekerja di
perusahaan tersebut yang mempunyai tujuan agar
mudah untuk menyampaikan pemberiahuan
apabila akan melakukan perundingan sesuai
ketentuan Undang – Undang yang tercantum dalam
pasal 25 UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja / Serikat Buruh.
5.
Apabila Serikat Buruh/Serikat Pekerja tidak
memberitahukan secara tertulis keberadaannya
kepada mitra kerjanya setelah mempunyai Tanda
Bukti Pencatatan, maka akan menghambat dan
menyulitkan dalam menjalankan fungsi / hak –
haknya sebagai organisasi / serikat pekerja,
terutama dalam komunikasi dan melakukan
koordinasi dengan mitra kerja, dan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh akan kesulitan untuk
menuntut haknya berupa:
a)
b)
c)
d)
e)
membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha
mewakili
pekerja/buruh
dalam
meyelesaikan
perselisihan industrial
mewakili
pekerja/buruh
dalam
lembaga
ketenagakerjaan\
membetuk lembaga atau melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan
pekerja/buruh
melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan
yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
6.
Perlu dijelaskan bahwa yang berhak membuat
Perjanjian Kerja Bersama adalah Serikat Pekerja
yang memiliki keanggotaan 50 % plus 1. Dengan
adanya Putusan Mahkah Konstitusi Nomor.:
115/PUU-VII/2009, dalam hal di satu perusahaan
terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat
buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh
yang
berhak
mewakili
dalam
melakukan
perundingan dengan pengusaha dalam suatu
perusahaan
adalah
maksimal
tiga
serikat
pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat
pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya
minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh
pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan.
E.
Menghalang-halangi Kebebasan Berserikat
Ketentuan Undang-undang Republik Indonesia No. 21 tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, menyebutkan bahwa menghalang-halangi
kebebasan berserikat adalah pelanggaran terhadap hak azasi manusia yang
merupakan tindakan yang dapat dipidana, sebagaimana disebutkan dalam
pasal-pasal berikut ini:
1.
Pasal 43 ayat (1), “Barang siapa yang mengahalang-halangi atau
memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
100.000.000,- (Seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp.
500.000.000,- (Lima ratus juta Rupiah)”.
2.
Pasal 43 ayat (2) “tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) merupakan
tindak pidana kejahatan”.
3.
Pasal 28 “Siapapun dilarang mengahalang-halangi atau memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi
pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak
menjadi anggota dan atau menjalankan atau tidak menjalankan
kegiatan serikat pekerja/serikat buruh, dengan cara:
a)
melakukan
pemutusan
hubungan
kerja,
memberhentikan
sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b)
tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c)
melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d)
melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat
buruh”
4.
Perbuatan pengusaha (mitra kerja serikat pekerja/buruh)
yang terbukti dengan cara : a. melakukan pemutusan
hubungan
kerja,
memberhentikan
sementara,
menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; b. tidak
membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; c.
melakukan intimidasi dalam bentuk apapun, terhadap
buruh, tidak serta merta disebut sebagai perbuatan
yang
menghalang-halangi
atau
memaksa
pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk,
menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi
anggota atau tidak menjadi anggota dan atau
menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, fakta ini hanya merupakan
indikasi adanya perbuatan yang menghalang-halangi hak
berserikat, karena indikasi ini bisa dimulai dari
perbuatan hukum yang lain misalnya dari adanya
perselisihan kepentingan dan/atau perselisihan hak.
Adapun batasan dan/atau hubungan perbuatan yang
mengindikasikan
adanya
perbuatan
yang
menghalang-halangi hak berserikat harus dilihat
secara cermat dari akar permasalahan yang
muncul sebagai fakta hukum.
Download