Khotbah Minggu (09 Maret 2014) Ringkasan Khotbah GRII Kelapa Gading Pengkhotbah : Pdt. Billy Kristanto, Th.D Tema : …....….…..……………...…......... Nas Alkitab : ............................................................................................................. 716/755 02 Maret 2014 Tahun ke-15 Keterhilangan dari Hadirat Tuhan Pdt. Billy Kristanto, Th.D. Lukas 15:20-32 Khotbah minggu lalu diakhiri dengan kalimat, tergerak hatinya oleh belas kasihan, ciri khas atau karakteristik kekristenan salah satunya yang tidak bisa tidak ada adalah agama belas kasihan. Ethics of mercy itu relevan untuk orang-orang yang ada di dalam kegagalan, orang-orang yang ada di dalam dosa, lalu kita berbelas kasihan. Nah ini sangat berbenturan dengan ethics of achievement, seperti yang seringkali diajarkan di dalam dunia kita, yang kita percaya kekristenan sendiri atau gereja juga tidak kebal di dalamnya. Ini dua tradisi besar either kita ikut ethics of mercy atau ethics of olympics, olimpiade, orang-orang pertandingan, orangorang yang kompetitif, orang-orang yang bersaing satu dengan yang lain, kalau perlu menjegal dst. Ethics olympics itu sangat di celebrate di dalam dunia kita, mereka menekankan bagaimana setiap pribadi itu boleh menjadi orang-orang yang mempunyai achievement, pencapaian-pencapaian luar biasa, orang-orang seperti Steve Jobs, Bill Gate dsb., mereka di celebrate habis-habisan karena mereka great achiever. Ketika Steve Jobs mati, the whole world lament, lalu ketika ada satu juta orang menuju kematian di Afrika, tidak ada satu orang pun yang meratap, kenapa? Ya karena orangorang di Afrika itu, yang melarat dan miskin, menurut pandangan dunia, ini beban untuk kita, Steve Jobs berkat, memudahkan kehidupan kita, kalau orang-orang di Afrika, mereka tahunya adalah mengeruk keuangan kita, kita harus donate ke mereka. Dan akhirnya, walaupun mereka mati satu juta orang, tidak ada yang meratapi mereka, tidak ada yang peduli. Tetapi begitu ada orang yang great achiever mati, semua orang langsung sedih, sedih karena apa? Sedih karena manusia itu egois, orang yang sudah menjadi berkat bagi kehidupan saya, waktu dia mati menangis, intinya saya menangisi keterhilangan saya sendiri, mungkin menangisi keegoisan kita sendiri. Sekali lagi, di dalam gambaran dua macam tradisi, either ethics of mercy atau ethics of olympics, termasuk di dalam parable yang kita baca di sini, ayahnya tergerak oleh belas kasihan. Di sini tidak ada pencapaian, yang ada adalah kebangkrutan total, di sini GRII KG 716/755 (hal 4) kita justru diuji betul, kita ada belas kasihan atau tidak. Kita tidak bicara belas kasihan untuk orang yang menjadi great achiever, yang perlu tepuk tangan dan ciuman kekaguman, tidak, di sini kita bicara mengenai ciuman belas kasihan, ciuman ke bawah, ciuman pengorbanan. Penerimaan pengorbanan, ayahnya merangkul, mencium dia, penerimaan yang sejati kalau kita melihat di dalam bagian ini, ada kuasa transformasi, ada kuasa perubahan dengan satu penerimaan yang sederhana, merangkul, mencium dia. Dan ini menghancurkan hati dari pada anak bungsu ini, sampai dia betulbetul menyatakan kalimat pertobatan yang dia mengulang lagi seperti yang sudah dia rencanakan. Kita berpikir bahwa dia sudah merencanakan, bapaknya mau terima atau tidak terima, dia memang sudah rencana mau bicara kalimat ini kan? Jadi tidak ada transformasi apa-apa yang terjadi di sini, melalui ciuman atau rangkulan itu. Saya percaya, sebelum dia kembali, waktu dia memutuskan dia mengatakan kalimat itu sebelumnya, sebelum bahkan berjumpa bapaknya, kenapa dia bisa mengatakan kalimat seperti itu? Karena dia tahu bapaknya itu adalah bapak yang penuh dengan kemurahan dan belas kasihan. Dia sudah pernah hidup dengan bapaknya, meskipun dia seperti tidak mau ada relasi, tetapi bagaimanapun dia tahu bapaknya itu adalah seperti apa? Keputusan untuk kembali, keputusan untuk mengaku dosa, itu di dahului dengan satu keyakinan bahwa yang kepadanya saya mengaku dosa itu, menerima saya. Dunia kita dipenuhi dengan orang-orang yang gengsi, yang pride, yang tidak mau mengaku salah, kalau salah dia memasang cerita lain yang bagaimanapun akhirnya dia tidak salah, kenapa? Karena dunia kita takut sekali terhadap penolakan. Orang yang waktu salah, dia bisa say sorry, itu great personality, tetapi dunia kita tidak bilang seperti itu, dunia bilang, jangan, nanti kehilangan muka, kita harus jaga muka dong, apalagi kita senior, kita bicara sama bawahan kita dll., kita tidak boleh bilang sorry, bagaimanapun kita harus create cerita supaya saya tetap adalah orang yang tidak bersalah, itu penting untuk mukanya orang Timur. Kenapa banyak orang takut mengaku salah? Karena takut ditolak, nanti GRII KG 716/755 (hal 1) Ekspositori Injil Lukas (30) Ekspositori Injil Lukas (30) kalau minta maaf lalu ditolak bagaimana? Wah sakit luar biasa, lalu defense mechanism, supaya tidak ditolak, jadi lebih baik saya tidak mengaku salah dan tidak minta maaf. Basically orang yang normal, kalau dia tahu sekali ada orang yang sangat mengasihi dia, dia tidak ada persoalan untuk minta maaf dsb., tetapi dunia kita membelokkan ke dalam culture yang lain dengan mengatakan, hatihati, semua orang itu individualis, semua orang itu egois, untuk apa kamu minta maaf, akhirnya yang rugi juga kamu sendiri, mukamu nanti rusak, kamu tidak usah minta maaf, kita tahu-sama tahulah, memang orang juga tahu kalau saya salah, tidak usah minta maaf. Akhirnya budaya meminta maaf itu jadi budaya yang pelan-pelan ditinggalkan, khususnya di dalam culture Timur, bukan berarti culture Barat memiliki kebaikan yang lebih banyak, tidak juga. Dalam bagian ini, saya percaya di dalam kerusakan yang terjadi pada anak bungsu ini, dia masih punya satu pikiran yang benar, partially bapaknya akan menerima dia, dia mengenal cukup baik bapaknya, bapaknya adalah bapak yang penuh belas kasihan. Kita rindu boleh menghadirkan komunitas yang saling berbelas kasihan, sehingga memungkinkan orang juga untuk minta maaf satu dengan sang lain. Komunitas yang dingin, yang tidak ada belas kasihan, yang terus membangun cerita great achievement, orang bukan hanya takut minta maaf, orang juga takut cerita kegagalan, karena dia akan langsung dikucilkan, kalau semua cerita yang dibangun adalah cerita great achievement, itu terus yang diceritakan. Gereja juga kalau terus membangun cerita seperti ini, cerita great achievement, maka orang lama-lama tidak akan ada yang mau tampil dengan kelemahannya, bukan karena dia tidak ada kelemahan lagi, tetapi dia menyembunyikan kelemahannya dengan secara munafik, kenapa? Karena komunitas tersebut dibangun dengan story bukan dengan ethics of mercy tapi ethics of olympics, ethics orang-orang hebat, great achiever. Saya katakan dalam PW, seperti nasi tumpeng, yang menghidupi itu hanya secuil orang saja, hanya bagian atas saja, yang bagian bawah itu semuanya loser, dalam berbagai perlombaan, finalis boleh banyak pasti juaranya hanya satu, lalu yang lain itu loser. Kekristenan tidak mengajarkan seperti di atas, tetapi bukan sinis kepada great achiever, bukan, jangan kita salah mengerti dan bukan juga merayakan kegagalan, semakin bangkrut, makin sakit semakin dekat Tuhan, ya tidak tentu. Bukan mengajarkan arah sebaliknya juga, bukan, tetapi yang dikatakan di sini adalah bagaimana kita berespon terhadap orang-orang yang gagal, lalu mempunyai gerakan hati dan belas kasihan, kuasa penerimaan yang tidak bersyarat, yang mengubah. Seringkali, memang tidak semuanya, kita harus peka, minta dari Tuhan untuk mengerti kairos itu, kalimat-kalimat yang diucapkan, spirit penerimaan memiliki kuasa yang jauh lebih powerful dari pada kalimat-kalimat teguran yang salah momennya. Kalimat rangkulan, kita tidak bicara apaapa, sekedarnya saja, itu bisa so powerful melebihi kalimat-kalimat yang judgemental, kalimat-kalimat rebuke kadang sama anak kita, make sure bahwa dia harus tertusuk hatinya supaya dia bertobat, akhirnya tertusuk bukan bertobat, tertusuk terus pahit, lalu disimpan seumur hidup, wah bahaya sekali, kita memiliki kelemahan sebagai orang tua seperti itu. Ada saat dimana kita tidak perlu pakai rebuke, ada saat dimana kita hanya perlu rangkul, cium, setelah itu terjadi kuasa transfomasi. Kita melihat di sini, setelah anak itu diterima, bapaknya bukan berhenti di situ, setelah anaknya mengaku dosa, karena dia percaya bapaknya adalah bapak yang mengasihi, menerima dan mengampuni, ayahnya kemudian berkata kepada hambanya, lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, kenakan cincin, sepatu. Penerimaan yang sejati bukan, ada beda orang yang menerima dengan orang yang sekedar bare kesalahan, kekurangan orang lain atau toleransi, ada orang yang menerima, memang dia menerima, tetapi orang yang diterima itu dicuekin juga. Ya kamu boleh tinggal, saya tidak marah sama kamu, tapi saya juga tidak bicara sama kamu, bapaknya bukan seperti ini, bapaknya bukan ok-lah, kamu sudah rusak lalu balik lagi, ya ok, lalu setelah itu dicuekin, bapaknya tidak bicara lagi, ya tidak seperti itu. Justru bapaknya memberikan kepada dia pakaian, sepatu, cincin artinya ini benar-benar satu gerakan merangkul, mencium yang direalisasikan, bukan hanya sekedar penerimaan atau penerimaan sentimental, lalu setelah itu marah-marah lagi, tidak, tetapi pengampunan yang sejati. Penerimaan divine, yang Ilahi diikuti dengan pemulihan, di sini ada restorasi, diberikan pakaian, diberikan cincin, diberikan sepatu, ada story of restoration, bukan hanya sekedar acceptance, darimana kita tahu bahwa ini acceptance dalam? Ya itu, disertai dengan restorasi, disertai dengan pemberian pengorbanan, ada orang-orang yang sepertinya menerima, tetapi sebetulnya bukan menerima, just indifferent, tidak peduli, maksudnya, kamu datang juga tidak ap-apa, saya tidak terganggu, tapi tidak ada yang lebih jauh dari pada itu, dibiarin saja. Penerimaan adalah satu tindakan yang sangat-sangat aktif, bukan tindakan pasif, tetapi untuk orang yang biasa hidup di dalam culture great achievement story, ini dianggap sebagai hal yang tidak jelas, lebih baik kamu do something yang menghasilkan sesuatu yang besar, lalu setelah itu kita bisa GRII KG 716/755 (hal 2) merayakan bersama-sama dan bisa melihat penerimaan itu apa? Kalau kita menerima orang lain kan tidak mungkin di dokumentasikan, ini loh, banyak ya yang datang? Kita menerima orang lain itu apa adanya, mau difoto apanya? Apakah kita bisa memfoto hati orang lain? Kalau kita menerima orang lain apa adanya, apa yang mau didokumentasikan? Itu sesuatu yang tidak bisa di show off, tapi Kerajaan Allah justru ada di dalam urusan-urusan yang seperti ini, mungkin lebih dari koor yang bernyanyi banyak atau orang yang datang banyak, karena itu juga tidak jelas, sebetulnya mana yang betul-betul mendengarkan firman Tuhan, tidak ada yang tahu, hanya Tuhan yang tahu. Tetapi penerimaan tidak bisa didokumentasi, mungkin tidak terlalu menarik juga untuk diceritakan, bagaimana Tuhan mengubah saya dari seorang yang penuh dengan kejengkelan, sekarang bisa menerima orang lain, tidak terlalu menarik kan cerita seperti ini? Sekali lagi, ini adalah cerita yang kita dapati di dalam Lukas 15, cerita Kerajaan Allah, Yesus menerima manusia yang berdosa, Pdt. Stephen Tong seringkali mengatakan, Tuhan Yesus itu di dalam kehidupannya kelihatan seperti orang gagal, untuk mata dunia Yesus itu total gagal, tidak ada yang pernah di achieve oleh Tuhan Yesus di atas kayu salib, apa? Tindakan penerimaan, rangkulan, ciuman, pengampunan orangorang berdosa, tidak ada yang bisa melakukan ini, kecuali Yesus Kristus. Terlalu mudah menciptakan ini dan itu, untuk melakukan hal seperti itu tidak perlu jadi kristen, kalau kita mau jadi great achiever, tidak harus jadi kristen, kalau kita mau lebih lancar tidak harus jadi kristen, kalau berhasil kan tinggal kerja keras saja, ya kan? Kalau Yesus serendah itu, Dia bukan Yesus yang dicatat di dalam alkitab, kalau Yesus hanya sekedar sanggup memberikan kekayaan, terlalu rendah gambaran Yesus yang seperti itu. Tapi yang tidak bisa dilakukan oleh yang bukan Yesus adalah mati di atas kayu salib, menerima, mengampuni, mencium, merangkul orangorang yang berdosa, ini yang tidak ada di dunia, yang tidak ada di dalam diri orangorang yang dianggap great achiever oleh dunia ini. Sangat berbahagia kalau kita memiliki mata rohani bisa melihat bagian ini, ada orang yang tetap tidak perduli, mereka tetap tidak melihat, buat saya tidak menarik dan tidak mulia sama sekali, bagi saya tetap lebih mulia cerita orang-orang sukses di sana sini. Ya silahkan kalau kita tetap mau menghidupi cerita seperti itu, tetapi itu bukan kekristenan yang ada di dalam alkitab. Selalu terselubung bagian ini, bapak menerima, lalu kemudian memulihkan, memberikan pakaian, kita boleh assume pakaian anak ini sudah sobek-sobek, kotor sekali, lusuh, lalu diganti dengan pakaian yang baru, dikenakan cincin, sepatu, semuanya diganti, diberikan yang baru, lalu disembelih anak lembu tambun untuk makan dan bersukacita. Kita tidak mungkin berpikir bagian ini makan yang hedonisme, tidak mungkin kan ya? Apa bedanya dengan banyak orang yang hedonis? Ini adalah satu sukacita yang tidak mungkin kita stempel sebagai hedonisme, tidak kan? Kenapa? Karena ini satu perayaan pertobatan, perayaan penerimaan, bukan enjoy himself, narsisistik, bukan, ini bapaknya bukan sedang mengumbar kenikmatan lidah, bukan. Tetapi dia melakukan pesta bersukacita, karena memang betul-betul ada alasan yang sangat legitimate untuk bersukacita yaitu pertobatan anak yang kembali, yang dipulihkan, yang diterima kembali, yang mendapati dirinya yang came to himself, maka dia makan dan bersukacita. Ada pararel kita membaca dalam ayat 24 “mati, hidup dengan hilang dan didapat kembali”, ini perkataan sederhana, hilang dan didapat kembali, lost and found, mungkin tidak semenakutkan mati dan hidup, tapi alkitab di sini mensejajarkan orang yang hilang dengan orang yang mati. Yang hilang itu sama dengan yang mati, as good as dead sebetulnya, orang yang menjauhi kehadiran Tuhan, yang mau hidup atheistic, sepertinya Tuhan itu tidak ada, kita berpura-pura bahwa Tuhan itu tidak ada, itu as good as dead menurut alkitab. Hilang itu sebetulnya adalah kematian, apa sih definisi kematian? Kita tahu ada definisi biologis, nafas berhenti, dll., tetapi alkitab waktu mendefinisikan kematian terutama adalah definisi kematian spiritual, kematian relasional. Orang yang hidup menjauhi hadirat Tuhan, itu sebetulnya mati, meskipun detak jantungnya masih ada, bisa berbicara, waras, menurut alkitab, itu as good as dead, karena relasinya sudah terputus dengan Allah, dia memutuskan relasi dengan Tuhan. Kematian itu adalah ketidakhadiran relasi, ya relasi dengan Tuhan, relasi dengan sesama, makanya orang-orang kusta pada zaman itu, saya percaya as goos as dead, karena mereka itu harus hidup di satu tempat sendiri, mereka tidak ada relasi, mereka tidak bisa ke bait suci, terputus relasinya dengan kehadiran Tuhan dan bukan hanya itu, mereka juga tidak biasa bergaul dengan orang biasa, terputus hubungannya dengan sesama manusia. Maka waktu mereka berjalan, mereka harus berteriak najis, najis, supaya semua kehadiran itu menjauhi mereka, sehingga mereka berada di dalam ketidakhadiran siapapun, menurut alkitab itu as good as dead. Kalau kita boleh bandingkan dengan dunia modern, kita masih bisa merasa very much a live dengan achievement kita yang luar biasa and yet kita tidak punya relasi dengan siapapun, kalau kita masih rasa hidup, itu kekonyolannya manusia modern. Sekali GRII KG 716/755 (hal 3) lagi, orang yang berhasil di dalam kehidupannya memiliki achievement ini dan itu, tetapi sebenarnya dia miskin sekali di dalam relasi dan dia merasa bahwa dia masih very much a live, ini konyol sekali, sangat jauh dengan apa yang dibicarakan di dalam alkitab, dia tidak sadar bahwa dia sudah dalam keadaan mati sebetulnya. Alkitab memberikan definisi kematian di dalam pengertian keterhilangan, terutama keterhilangan dari hadirat Tuhan. Orang yang menjauhi hadirat Tuhan, dia tidak kerasan hidup di dalam hadirat Allah, hadirat Bapanya, lalu dia mau independent, hidup sendiri dsb., mati menurut alkitab. Lalu kemudian dia didapatkan kembali, apa artinya didapatkan kembali? Apa artinya hidup? Kembali ke dalam hadirat Allah, kembali masuk bisa menikmati kehadiran Allah, bukan sebagai kehadiran yang disturbing, yang mengganggu, bukan, tapi kehadiran yang memberkati, yang merangkul, yang mencium, bukan yang melukai dia, bukan. Setan itu selalu menipu, Tuhan itu teror, Tuhan itu tiran, mengontrol semuanya, membuat kamu tidak bisa bahagia, setan memberikan kepada kamu kebahagiaan yang sejati, kebebasan yang sejati. Coba lihat saya tidak kontrol kamu, kalau Tuhan kontrol, Tuhan itu jahat, Tuhan mau memperlakukan manusia sebagai robot, kalau saya (setan) memperlakukan manusia sebagai manusia, begitukan ya, pembalikan dari setan? Persis dibalik, padahal yang betul adalah kehadiran Tuhan selalu memberkati, setan selalu menghacurkan, itu adalah kenyataan yang sesungguhnya. Anak bungsu ini hidup, didapatkan kembali, itu menjadi alasan mereka bersukaria. Lalu kita masuk ke dalam bagian anak sulung, secara kuantitas memang tidak terlalu panjang, tetapi kita juga bisa belajar beberapa poin di dalamnya tentang anak sulung. Di sini gambarannya sederhana, bisa kita skip beberapa ayat karena ini bicara tentang setting, dia sedang tidak ada di situ, dia di ladang, waktu pulang ada pesta di sana, dia tanya apa yang sedang terjadi, lalu dijawab adikmu kembali, ayahmu menyembelih anak lembu tambun, dalam ayat 28, maka marahlah anak sulung itu, ia tidak mau masuk. Menarik, literally bagian ini begitu kompleks, anaknya itu kan tinggal satu rumah dengan ayahnya, tetapi waktu terjadi satu celebration karena ada orang yang kembali in the presence of God, dia sendiri tidak mau in the presence of God, dia mau di luar. Sekali lagi, dia kan tinggal satu rumah dengan ayahnya, artinya living in the presence of his father, karena tinggal satu rumah, tapi waktu ayahnya menyambut orang yang kembali, yang tadinya di luar presence of God, menghindari presence of God, akhirnya kembali, bisa hidup lagi di dalam kehadiran Allah, justru sekarang dia tidak mau in the presence of God lagi. Kenyataannya bukan dia tidak mau in the presence of God lagi, tetapi sebetulnya dia tidak pernah ada in the presence of God, tidak pernah, meskipun dia tinggal satu rumah. Ini satu keadaan yang menakutkan, kalau kita krsiten, kita ke gereja tapi kita tidak in the presence of God, yang paling celaka adalah Minggu ke gereja but not in the presence of God, somewhere else, di tempat lain, outsider in his own house, being in outsider di rumahnya sendiri, being in outsider di bait suci, di gereja. Tidak bisa lebih ironi lagi, jangan-jangan orang kusta itu, yang tidak bisa masuk bait suci, mereka lebih bisa menikmati kehadiran Tuhan, jangan-jangan orang yang di gereja, yang sehat, yang tidak terganggu relasinya dengan sesama justru yang paling tidak ada pengalaman presence of God, ini ironi. Keterhilangan di rumah sendiri, makanya seringkali dikatakan, ini yang hilang bukan hanya yang bungsu, tapi juga yang sulung, anak yang sulung ini juga terhilang. Jenis keterhilangan yang lain, terhilang di dalam rumah sendiri, bukan hilang rusak, bukan melacur, tidak, orang “baik-baik”, orang yang moralnya tinggi, suka memberi sedekah, orang yang waktu dagang jujur, tidak tipu kanan kiri, tidak seperti banyak orang yang mengaku kristen tetapi tetap menipu kanan kiri, untuk apa, saya tidak kristen tapi saya jujur, moral saya tinggi. Orang yang terhilang di dalam keadaan moral yang tinggi, ada orang yang terhilang di dalam kebejatan moral, seperti anak bungsu, tapi ada orang yang terhilang juga justru di dalam self righteousness-nya, di dalam merasa dia benar sendiri, dunia banyak sekali dipenuhi orangorang seperti ini. Mereka selalu tersandung dengan orang-orang kristen, selalu tersandung dengan orang-orang percaya, mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang terhilang, karena mereka sedang mempraktekan satu spiritualitas self righteousness, saya adalah orang suci, atau tinggal satu tingkat lagi berkata, saya sebetulnya adalah Tuhan, yang tidak pernah berdosa. Kalau dikompetisikan, saya lebih baik daripada orang itu, saya lebih suci, saya lebih jujur, saya tidak munafik seperti dia, begitu kan ya? Kemunafikan juga mejadi satu kategori untuk membenarkan seseorang, lebih tidak munafik, di dalam budaya post modern seperti sekarang, orang tampil apa adanya, termasuk juga dengan segala keberdosaannya, menurut mereka itu lebih tidak munafik. Tapi sebetulnya tidak ada pertobatan, mereka bisa terang-terangan hidup berdosa, tidak ada yang disembunyikan, nothing to hide, silahkan kamu lihat, memang saya begini, tapi juga tidak ada penyesalan, pertobatan, just being transparent. Alkitab jelas lebih dari pada sekedar tuntutan transparan, memang alkitab sangat membenci kemunafikan, tapi sekedar transparan seperti ini tanpa pertobatan, bring us no where, tidak membawa kita kemana-mana. Anak sulung ini menghindari pesta, bukan pestanya, tapi di sini jadi terbukti bahwa selama ini memang dia tidak bisa menikmati kehadiran bapaknya, termasuk waktu dia tinggal bersama-sama. GRII KG 716/755 (hal 4) Ayahnya waktu kita melihat, dia ke luar mempraktekkan hal yang sama, baik terhadap anak bungsu maupun anak sulung, full of compassion, kepada anak yang bungsu compassionate, kepada anak yang sulung waktu marah juga compassionate. Kita manusia seringkali compassionate kalau orang menangis, kalau orang marah kita marah, begitu kan ya? Kalau kamu tegang, ya saya juga tegang, kalau kamu menangis, mungkin saya bisa peluk, tapi kalau kamu marah, tidak mungkin saya peluk, saya akan marah lebih kencang lagi, supaya kamu tahu, siapa yang lebih punya power di sini. Ayahnya ini tidak, ayahnya tidak biasa didikte oleh gelombang di luar, ooh kalau kamu nangis hati saya jadi tersentuh, iya ya, kamu merendahkan diri maka saya peluk, pas marah ditempeleng, kamu marah, tidak tahu siapa saya? Ooh tidak seperti itu, ini adalah sosok ayah yang tidak dikendalikan oleh gelombang yang ada di luar, baik gelombang tangisan atau kemarahan, karena dia di dalam dirinya sendri full of compassion. Ayahnya ke luar terhadap anak yang marah ini, berusaha untuk maklum juga, berusaha untuk mengerti, berusaha untuk merangkul, berbicara dengan anak sulung ini. Sekali lagi, kalau boleh menekankan bagian ini, juga termasuk di dalam act of acceptance, tindakan penerimaan, akhirnya uneg-uneg dari anak sulung ini ke luar. Kalau pada saat itu ayahnya rebuke, mungkin dia tidak akan cerita karena dimarahin, malah akhirnya lebih tertutup lagi, begitu kan ya? Kadang yang membuat orang lain itu tertutup adalah kita sendiri, bukan karena orang itu tertutup, karena simply kita tidak ada kekuatan untuk menerima, mencium, merangkul dia, akhirnya orang tertutup, mungkin, tidak 100% mutlak. Bisa juga memang orangnya sangat-sangat tertutup, terhadap siapapun dia tertutup, tapi kalau kita bisa introspektif, mungkin sebagian juga kesalahan dari pada kita, mungkin kita tidak bisa menerima dia apa adanya, akhirnya dia tertutup dengan kita. Yesus itu merangkul, mencium, akhirnya orang bisa mengatakan apa yang ada di dalam hati mereka. Bapa yang di sorga, yang digambarkan oleh bapak di sini, juga melakukan tindakan yang meskipun tidak literally merangkul, tapi precisely juga tidakannya ini secara essence merangkul, mencium, dia ke luar dan berbicara dengan anak sulung. Setelah anak sulung ini menjawab, kita tahu apa yang menjadi persoalannya, ini mewakili spiritualitasnya selama dia hidup, “sudah bertahun-tahun aku melayani bapak, tidak pernah melanggar perintah bapak, tapi kepadaku belum pernah bapak memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku”, wah, satu ayat ini saja sangat padat sekali, (kita akan membatasi pembahasannya). Nah ini yang disebut dengan spiritualitas legalistik, orang yang legalistik, urusannya kepada hukum, bukan kepada manusia, dia bukan taat kepada bapaknya, dia tidak ada relasi kasih dengan bapaknya, yang ada adalah relasi dengan hukum. Hukum itu ya hukum, hukum itu impersonal dan dia mengharapkan di dalam gambaran seperti ini adalah ayahnya boleh melihat bahwa dia adalah orang yang taat, tapi masalahnya adalah dia bukan taat kepada bapaknya, sekali lagi, ketaatan bukan ketaatan personal, ini ketaatan impersonal, kepada hukum. Orang yang seperti ini duty minded, duty oriented, pikirnya semua kewajiban, orang seperti ini bisa sangat excellent, kerjanya bisa sangat rapih sekali, tetapi sebenarnya kasihan, kenapa? Karena dia tidak ada relasi kasih, dia melakukan segala sesuatu itu rapih, mungkin orang perfeksionis, semua kewajibannya selesai, tapi sebatas menjalankan kewajiban. Tindakan-tindakan yang naturally seharusnya adalah tindakan kasih, tapi kita anggap sebagai kewajiban, duty, itu salah. Kalau seseorang tergerak untuk merangkul orang lain, anak kecil yang lucu dia peluk, atau istri suami yang dia mau cium dsb., lalu dia merasa bahwa ini sudah waktunya, saya berkewajiban untuk mencium istri saya, hal seperti itu lucu sekali. Yang lucu adalah karena itu seharusnya terjadi naturally di dalam love relationship justru menjadi duty, kewajiban. Orang yang terus berpikir kewajiban, tapi saya percaya di dalam kehidupan kita juga ada aspek kewajiban, kalau tidak ada kewajiban sama sekali sepertinya tidak realistis juga, karena kedagingan kita terlalu kuat. Kalau semuanya harus naturally ke luar dari passion saya, maka tidak akan jalan, ada saatnya kita harus memaksa diri, menyangkal diri, tetapi seharusnya setelah itu terjadi kerelaan dan dikonfirmasi dengan sukacita. Tetapi yang ada adalah semuanya kewajiban, akhirnya dia juga tidak mempunyai sukacita, no joy, tidak bisa participate in joy juga, apalagi joy-nya orang lain, joy of his father, joy dia punya adik yang sudah kembali dari kerusakannya, tidak punya kekuatan untuk itu. Karena semuanya duty, duty, yang ada adalah seperti orang yang di squeeze, di peras habis-habisan, semuanya duty, duty. Orang yang sangat restless, gelisah, tidak ada sukacita, tidak ada kenikmatan, no joy, no love, totally impersonal, orang seperti ini terhilang, meskipun dia sibuk, pekerjaannya banyak dan semuanya beres, a very good guy, tetapi semuanya terhilang, karena dia tidak ada hubungan personal. Orang yang seperti ini, pikirannya dikuasai oleh paradigma merit and reward, ini semuanya satu paket, tidak bisa dipisah, duty minded, no joy, no love, impersonal relationship, akan diwarnai dengan persis seperti yang dia bilang, apakah bapak tidak melihat, coba lihat dong, jasa saya apa? Saya selalu taat kepadamu, saya tidak pernah memboroskan, saya tidak pernah melacur, saya tidak pernah kurang ajar sama bapak, merit, coba lihat ya, ini jasa saya, now where is my reward? Jadi paradigmanya dia itu adalah merit and reward, merit and reward, semua GRII KG 716/755 (hal 1) Ekspositori Injil Lukas (30) Ekspositori Injil Lukas (30) merit harus di acknowledge, ini orang yang terhilang, kalau tidak terhilang, dia tidak akan tertarik bicara tentang merit itu. Orang yang paradigma merit and reward, itu sebenarnya orang yang terhilang tanpa dia sadar, sangat menghitung apa yang sudah dia capai supaya orang lain mengingatnya dan dia mengharapkan reward. Di dalam kekristenan juga bisa masuk spirit seperti ini secara sederhana, saya sudah pelayanan, banyak korban, what do I get? Orang lain tidak acknowledge, orang lain tidak mengerti saya, orang lain even juga tidak bersyukur, sama, orang seperti ini terhilang. Kalau dia memiliki sukacita, love relationship, kalimat itu tidak perlu sama sekali, itu kalimat totally redundant, tidak perlu dikatakan, kenapa? Karena the joy of serving sendiri itu sudah terlalu limpah, sampai tidak perlu lagi mencari acknowledgement, tidak perlu. Karena sukacitanya sudah penuh waktu dia melayani, kalau dia melayani di dalam love relationship, tetapi kalau tidak, ya pasti perlu orang lain, karena tangkinya kosong, dia tidak ada joy, maka dia perlu pengakuan dari pada orang lain, perlu tepuk tangan orang lain, dsb. Saya percaya kita semua, saudara dan saya masih ada spirit seperti ini, oleh karena itu kita harus berubah, terus-menerus membiarkan Tuhan menyempurnakan kita. Yang tidak kalah menarik adalah jawaban ayahnya, kita melihat di dalam ayat 31, setelah anaknya menyampaikan keadaan dirinya sendiri, lalu ayahnya tetap di dalam belas kasihan, dia mengatakan, “anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu”, dua hal saja tetapi betul-betul sudah mencakup semuanya, mencakup keterhilangan dari pada anak sulung ini: Pertama, “engkau selalu bersama-sama dengan aku”, maksudnya apa? Ayahnya mau mengkoreksi, kamu hidup serumah dengan aku tapi sebetulnya tidak bersama-sama dengan aku, kamu menghayati dirimu itu outsider, buktinya apa? Kamu merasa seperti budak, kamu tidak merasa seperti anak, “belum pernah bapak memberikan seekor kambing”, mungkin bapaknya bingung, loh kalau kamu mau sembelih ya sembelih saja, kepunyaanku adalah juga kepunyaanmu kan? Untuk apa kamu menempatkan diri seperti orang luar? Kita melihat di sini ada kontras keterhilangan antara anak bungsu dan anak sulung, anak bungsu, keterhilangannya dengan mengklaim hak sebagai ahli waris, lalu keterhilangan anak sulung, tidak berani sentuh milik bapaknya, ini keterlaluan, merasa tidak memiliki apa-apa, terhilang di dalam rumah sendiri. Dan kekristenan juga terbelah menjadi dua seperti ini, ada kekristenan model keterhilangan anak bungsu, yang terusmenerus merasa dirinya harus diberkati dsb. Tapi ada jenis keterhilangan yang lain juga, orang yang melayani baik-baik, banyak berkorban, tetapi sebenarnya tidak ada joy di dalam dirinya, dia totally exhausted, sangat merasa di squeeze habis-habisan, sangat tergencet, tinggal menunggu saja, kapan ini selesainya? Nanti pengharapannya di sorga, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian di sorga, melampiaskan semunya, itu bukan teologi pengkhotbah, teologi pengkhotbah adalah terus-menerus putar, memang ada saat susah, tapi ada saat senang, terus-menerus bergantian. Bukan susahnya semua di pool, lalu nanti suatu saat di sorga akan senang semuanya, tidak seperti itu, kita mendapati ajaran yang berbeda. Nah anak sulung ini terhilang, waktu dia tidak bisa menikmati, pertama dia tidak bisa menikmati his father presence, sepertinya dia berada di luar, meskipun hidup seatap. Yang kedua, dia juga merasa tidak berhak memiliki apa pun yang dari bapaknya, ini pikirannya Allah yang transenden, maha suci, tetapi Dia betul-betul jauh sekali, tidak ada intimate relationship, tidak ada, padahal dia tinggal satu rumah dengan bapaknya. Kedua, “segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu”, lebih dalam dari ada sekedar urusan anak kambing tadi, juga sekaligus ayahnya mau membawa dia kepada perspektif, “anak bungsu ini kepunyaanku, juga seharusnya kepunyaanmu, karena kepunyaanku adalah kepunyaanmu”. Kepunyaan kita yang hilang dan sekarang kembali, kok kamu tidak sukacita? Berarti kamu tidak merasa memiliki ada orang-orang berdosa di sana? Kalau kita tidak punya rasa kepemilikan, ya sudah kita tidak usah penginjilan, karena menurut kita itu milik Tuhan bukan milik saya, yang milik saya adalah rumah saya, keluarga saya, ini milik saya, yang itu, orang-orang berdosa adalah miliknya Tuhan. Kalau begini kita adalah orang terhilang, karena bapak di sini mengatakan, kepunyaanku adalah kepunyaanmu, orangorang pilihan itu adalah kepunyaan Tuhan, sebagian besar ada di luar sana, itu adalah kepunyaan Tuhan, kalau Tuhan mau share isi hatiNya, kepunyaanKu, saudara diundang untuk memiliki bersama, bukan diundang untuk jadi jongos, bukan. Memang ini kalimat paradoks, satu sisi kita memang adalah hamba Allah, tapi sisi yang lain Yesus juga pernah mengatakan, Aku tidak lagi menyebut kamu hamba, melainkan sahabat, rekan kerja Allah, maksudnya apa? Lebih dari pada sekedar budak, bukan hanya hamba, tetapi juga ada kepemilikan bersama, kepemilikan bersama itu apa? Ya ini, apa yang menjadi “pergumulan” Bapa, juga adalah pergumulan saudara. Apa bedanya entrepreneur dengan pegawai? Kalau pegawai tidak pusing, mau perusahan itu bangkrut pokoknya gaji bulan ini harus masuk, itu mental pegawai, tapi kalau kita entrepreneur, kita yang punya perusahaannya, saudara GRII KG 716/755 (hal 2) harus berpikir ini untung atau tidak? Di dalam Kerajaan Allah saudara bukan diundang menjadi pegawai, tetapi menjadi orang yang memiliki bersama. Memiliki bersama itu ada sukacitanya, anak kambing boleh makan, tapi jangan hanya kambingnya, pergumulannya juga, saudara diajak berbagian di dalam “pergumulan” Tuhan, dukacita dan kesedihan Tuhan, karena kepunyaanKu, kepunyaanmu. Ceritanya kan lost lalu found, termasuk juga diundang untuk berbagian di dalam sukacita dan kegembiraan Allah, karena kepunyaan kita bersama. Sekarang ini bapak lagi sukacita, bapak mau mengundang kamu untuk ikut di dalam sukacita bapak, karena ini adalah sukacita kita bersama, bukan hanya sukacitanya bapak, berbagian di dalam dukacita, berbagian di dalam sukacita, berbagian di dalam kepunyaan. Kiranya Tuhan memberkati kita semua dan menolong kita untuk terus bertumbuh di dalam anugerah Tuhan. Amin. Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (AS) GRII KG 716/755 (hal 3)