Yohanes 10:40-42 - GRII Kelapa Gading

advertisement
Khotbah Minggu (09 Maret 2014)
Ringkasan Khotbah
GRII Kelapa Gading
Pengkhotbah : Pdt. Billy Kristanto, Th.D Tema : …....….…..……………...….........
Nas Alkitab
: .............................................................................................................
716/755
02 Maret 2014
Tahun ke-15
Keterhilangan dari Hadirat Tuhan
Pdt. Billy Kristanto, Th.D.
Lukas 15:20-32
Khotbah minggu lalu diakhiri dengan
kalimat, tergerak hatinya oleh belas kasihan,
ciri khas atau karakteristik kekristenan salah
satunya yang tidak bisa tidak ada adalah
agama belas kasihan. Ethics of mercy itu
relevan untuk orang-orang yang ada di dalam
kegagalan, orang-orang yang ada di dalam
dosa, lalu kita berbelas kasihan. Nah ini sangat
berbenturan dengan ethics of achievement,
seperti yang seringkali diajarkan di dalam
dunia kita, yang kita percaya kekristenan
sendiri atau gereja juga tidak kebal di
dalamnya. Ini dua tradisi besar either kita ikut
ethics of mercy atau ethics of olympics,
olimpiade, orang-orang pertandingan, orangorang yang kompetitif, orang-orang yang
bersaing satu dengan yang lain, kalau perlu
menjegal dst. Ethics olympics itu sangat di
celebrate di dalam dunia kita, mereka
menekankan bagaimana setiap pribadi itu
boleh menjadi orang-orang yang mempunyai
achievement, pencapaian-pencapaian luar
biasa, orang-orang seperti Steve Jobs, Bill
Gate dsb., mereka di celebrate habis-habisan
karena mereka great achiever.
Ketika Steve Jobs mati, the whole world
lament, lalu ketika ada satu juta orang menuju
kematian di Afrika, tidak ada satu orang pun
yang meratap, kenapa? Ya karena orangorang di Afrika itu, yang melarat dan miskin,
menurut pandangan dunia, ini beban untuk
kita, Steve Jobs berkat, memudahkan
kehidupan kita, kalau orang-orang di Afrika,
mereka tahunya adalah mengeruk keuangan
kita, kita harus donate ke mereka. Dan
akhirnya, walaupun mereka mati satu juta
orang, tidak ada yang meratapi mereka, tidak
ada yang peduli. Tetapi begitu ada orang yang
great achiever mati, semua orang langsung
sedih, sedih karena apa? Sedih karena
manusia itu egois, orang yang sudah menjadi
berkat bagi kehidupan saya, waktu dia mati
menangis,
intinya
saya
menangisi
keterhilangan
saya
sendiri,
mungkin
menangisi keegoisan kita sendiri.
Sekali lagi, di dalam gambaran dua
macam tradisi, either ethics of mercy atau
ethics of olympics, termasuk di dalam parable
yang kita baca di sini, ayahnya tergerak oleh
belas kasihan. Di sini tidak ada pencapaian,
yang ada adalah kebangkrutan total, di sini
GRII KG 716/755 (hal 4)
kita justru diuji betul, kita ada belas kasihan
atau tidak. Kita tidak bicara belas kasihan
untuk orang yang menjadi great achiever,
yang perlu tepuk tangan dan ciuman
kekaguman, tidak, di sini kita bicara mengenai
ciuman belas kasihan, ciuman ke bawah,
ciuman
pengorbanan.
Penerimaan
pengorbanan, ayahnya merangkul, mencium
dia, penerimaan yang sejati kalau kita melihat
di dalam bagian ini, ada kuasa transformasi,
ada
kuasa
perubahan
dengan
satu
penerimaan yang sederhana, merangkul,
mencium dia. Dan ini menghancurkan hati
dari pada anak bungsu ini, sampai dia betulbetul menyatakan kalimat pertobatan yang
dia mengulang lagi seperti yang sudah dia
rencanakan. Kita berpikir bahwa dia sudah
merencanakan, bapaknya mau terima atau
tidak terima, dia memang sudah rencana mau
bicara kalimat ini kan? Jadi tidak ada
transformasi apa-apa yang terjadi di sini,
melalui ciuman atau rangkulan itu.
Saya percaya, sebelum dia kembali,
waktu dia memutuskan dia mengatakan
kalimat itu sebelumnya, sebelum bahkan
berjumpa bapaknya, kenapa dia bisa
mengatakan kalimat seperti itu? Karena dia
tahu bapaknya itu adalah bapak yang penuh
dengan kemurahan dan belas kasihan. Dia
sudah pernah hidup dengan bapaknya,
meskipun dia seperti tidak mau ada relasi,
tetapi bagaimanapun dia tahu bapaknya itu
adalah seperti apa? Keputusan untuk kembali,
keputusan untuk mengaku dosa, itu di dahului
dengan satu keyakinan bahwa yang
kepadanya saya mengaku dosa itu, menerima
saya.
Dunia kita dipenuhi dengan orang-orang
yang gengsi, yang pride, yang tidak mau
mengaku salah, kalau salah dia memasang
cerita lain yang bagaimanapun akhirnya dia
tidak salah, kenapa? Karena dunia kita takut
sekali terhadap penolakan. Orang yang waktu
salah, dia bisa say sorry, itu great personality,
tetapi dunia kita tidak bilang seperti itu, dunia
bilang, jangan, nanti kehilangan muka, kita
harus jaga muka dong, apalagi kita senior, kita
bicara sama bawahan kita dll., kita tidak boleh
bilang sorry, bagaimanapun kita harus create
cerita supaya saya tetap adalah orang yang
tidak bersalah, itu penting untuk mukanya
orang Timur. Kenapa banyak orang takut
mengaku salah? Karena takut ditolak, nanti
GRII KG 716/755 (hal 1)
Ekspositori Injil Lukas (30)
Ekspositori Injil Lukas (30)
kalau minta maaf lalu ditolak bagaimana?
Wah sakit luar biasa, lalu defense mechanism,
supaya tidak ditolak, jadi lebih baik saya tidak
mengaku salah dan tidak minta maaf.
Basically orang yang normal, kalau dia
tahu sekali ada orang yang sangat mengasihi
dia, dia tidak ada persoalan untuk minta maaf
dsb., tetapi dunia kita membelokkan ke dalam
culture yang lain dengan mengatakan, hatihati, semua orang itu individualis, semua
orang itu egois, untuk apa kamu minta maaf,
akhirnya yang rugi juga kamu sendiri,
mukamu nanti rusak, kamu tidak usah minta
maaf, kita tahu-sama tahulah, memang orang
juga tahu kalau saya salah, tidak usah minta
maaf. Akhirnya budaya meminta maaf itu jadi
budaya yang pelan-pelan ditinggalkan,
khususnya di dalam culture Timur, bukan
berarti culture Barat memiliki kebaikan yang
lebih banyak, tidak juga.
Dalam bagian ini, saya percaya di dalam
kerusakan yang terjadi pada anak bungsu ini,
dia masih punya satu pikiran yang benar,
partially bapaknya akan menerima dia, dia
mengenal cukup baik bapaknya, bapaknya
adalah bapak yang penuh belas kasihan. Kita
rindu boleh menghadirkan komunitas yang
saling
berbelas
kasihan,
sehingga
memungkinkan orang juga untuk minta maaf
satu dengan sang lain. Komunitas yang dingin,
yang tidak ada belas kasihan, yang terus
membangun cerita great achievement, orang
bukan hanya takut minta maaf, orang juga
takut cerita kegagalan, karena dia akan
langsung dikucilkan, kalau semua cerita yang
dibangun adalah cerita great achievement, itu
terus yang diceritakan. Gereja juga kalau terus
membangun cerita seperti ini, cerita great
achievement, maka orang lama-lama tidak
akan ada yang mau tampil dengan
kelemahannya, bukan karena dia tidak ada
kelemahan lagi, tetapi dia menyembunyikan
kelemahannya dengan secara munafik,
kenapa? Karena komunitas tersebut dibangun
dengan story bukan dengan ethics of mercy
tapi ethics of olympics, ethics orang-orang
hebat, great achiever. Saya katakan dalam PW,
seperti nasi tumpeng, yang menghidupi itu
hanya secuil orang saja, hanya bagian atas
saja, yang bagian bawah itu semuanya loser,
dalam berbagai perlombaan, finalis boleh
banyak pasti juaranya hanya satu, lalu yang
lain itu loser.
Kekristenan tidak mengajarkan seperti di
atas, tetapi bukan sinis kepada great achiever,
bukan, jangan kita salah mengerti dan bukan
juga merayakan kegagalan, semakin bangkrut,
makin sakit semakin dekat Tuhan, ya tidak
tentu. Bukan mengajarkan arah sebaliknya
juga, bukan, tetapi yang dikatakan di sini
adalah bagaimana kita berespon terhadap
orang-orang yang gagal, lalu mempunyai
gerakan hati dan belas kasihan, kuasa
penerimaan yang tidak bersyarat, yang
mengubah.
Seringkali,
memang
tidak
semuanya, kita harus peka, minta dari Tuhan
untuk mengerti kairos itu, kalimat-kalimat
yang diucapkan, spirit penerimaan memiliki
kuasa yang jauh lebih powerful dari pada
kalimat-kalimat teguran yang salah momennya. Kalimat rangkulan, kita tidak bicara apaapa, sekedarnya saja, itu bisa so powerful
melebihi kalimat-kalimat yang judgemental,
kalimat-kalimat rebuke kadang sama anak kita,
make sure bahwa dia harus tertusuk hatinya
supaya dia bertobat, akhirnya tertusuk bukan
bertobat, tertusuk terus pahit, lalu disimpan
seumur hidup, wah bahaya sekali, kita
memiliki kelemahan sebagai orang tua seperti
itu. Ada saat dimana kita tidak perlu pakai
rebuke, ada saat dimana kita hanya perlu
rangkul, cium, setelah itu terjadi kuasa
transfomasi.
Kita melihat di sini, setelah anak itu
diterima, bapaknya bukan berhenti di situ,
setelah anaknya mengaku dosa, karena dia
percaya bapaknya adalah bapak yang
mengasihi, menerima dan mengampuni,
ayahnya kemudian berkata kepada hambanya,
lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik,
kenakan cincin, sepatu. Penerimaan yang
sejati bukan, ada beda orang yang menerima
dengan orang yang sekedar bare kesalahan,
kekurangan orang lain atau toleransi, ada
orang yang menerima, memang dia
menerima, tetapi orang yang diterima itu
dicuekin juga. Ya kamu boleh tinggal, saya
tidak marah sama kamu, tapi saya juga tidak
bicara sama kamu, bapaknya bukan seperti ini,
bapaknya bukan ok-lah, kamu sudah rusak
lalu balik lagi, ya ok, lalu setelah itu dicuekin,
bapaknya tidak bicara lagi, ya tidak seperti itu.
Justru bapaknya memberikan kepada dia
pakaian, sepatu, cincin artinya ini benar-benar
satu gerakan merangkul, mencium yang
direalisasikan,
bukan
hanya
sekedar
penerimaan atau penerimaan sentimental, lalu
setelah itu marah-marah lagi, tidak, tetapi
pengampunan yang sejati.
Penerimaan divine, yang Ilahi diikuti
dengan pemulihan, di sini ada restorasi,
diberikan pakaian, diberikan cincin, diberikan
sepatu, ada story of restoration, bukan hanya
sekedar acceptance, darimana kita tahu bahwa
ini acceptance dalam? Ya itu, disertai dengan
restorasi,
disertai
dengan
pemberian
pengorbanan,
ada
orang-orang
yang
sepertinya menerima, tetapi sebetulnya bukan
menerima, just indifferent, tidak peduli,
maksudnya, kamu datang juga tidak ap-apa,
saya tidak terganggu, tapi tidak ada yang
lebih jauh dari pada itu, dibiarin saja.
Penerimaan adalah satu tindakan yang
sangat-sangat aktif, bukan tindakan pasif,
tetapi untuk orang yang biasa hidup di dalam
culture great achievement story, ini dianggap
sebagai hal yang tidak jelas, lebih baik kamu
do something yang menghasilkan sesuatu
yang besar, lalu setelah itu kita bisa
GRII KG 716/755 (hal 2)
merayakan bersama-sama dan bisa melihat
penerimaan itu apa?
Kalau kita menerima orang lain kan tidak
mungkin di dokumentasikan, ini loh, banyak
ya yang datang? Kita menerima orang lain itu
apa adanya, mau difoto apanya? Apakah kita
bisa memfoto hati orang lain? Kalau kita
menerima orang lain apa adanya, apa yang
mau didokumentasikan? Itu sesuatu yang
tidak bisa di show off, tapi Kerajaan Allah
justru ada di dalam urusan-urusan yang
seperti ini, mungkin lebih dari koor yang
bernyanyi banyak atau orang yang datang
banyak, karena itu juga tidak jelas, sebetulnya
mana yang betul-betul mendengarkan firman
Tuhan, tidak ada yang tahu, hanya Tuhan yang
tahu.
Tetapi
penerimaan
tidak
bisa
didokumentasi, mungkin tidak terlalu menarik
juga untuk diceritakan, bagaimana Tuhan
mengubah saya dari seorang yang penuh
dengan kejengkelan, sekarang bisa menerima
orang lain, tidak terlalu menarik kan cerita
seperti ini?
Sekali lagi, ini adalah cerita yang kita
dapati di dalam Lukas 15, cerita Kerajaan
Allah, Yesus menerima manusia yang berdosa,
Pdt. Stephen Tong seringkali mengatakan,
Tuhan Yesus itu di dalam kehidupannya
kelihatan seperti orang gagal, untuk mata
dunia Yesus itu total gagal, tidak ada yang
pernah di achieve oleh Tuhan Yesus di atas
kayu salib, apa? Tindakan penerimaan,
rangkulan, ciuman, pengampunan orangorang berdosa, tidak ada yang bisa melakukan
ini, kecuali Yesus Kristus. Terlalu mudah
menciptakan ini dan itu, untuk melakukan hal
seperti itu tidak perlu jadi kristen, kalau kita
mau jadi great achiever, tidak harus jadi
kristen, kalau kita mau lebih lancar tidak harus
jadi kristen, kalau berhasil kan tinggal kerja
keras saja, ya kan? Kalau Yesus serendah itu,
Dia bukan Yesus yang dicatat di dalam alkitab,
kalau Yesus hanya sekedar sanggup
memberikan
kekayaan,
terlalu
rendah
gambaran Yesus yang seperti itu. Tapi yang
tidak bisa dilakukan oleh yang bukan Yesus
adalah mati di atas kayu salib, menerima,
mengampuni, mencium, merangkul orangorang yang berdosa, ini yang tidak ada di
dunia, yang tidak ada di dalam diri orangorang yang dianggap great achiever oleh
dunia ini.
Sangat berbahagia kalau kita memiliki
mata rohani bisa melihat bagian ini, ada orang
yang tetap tidak perduli, mereka tetap tidak
melihat, buat saya tidak menarik dan tidak
mulia sama sekali, bagi saya tetap lebih mulia
cerita orang-orang sukses di sana sini. Ya
silahkan kalau kita tetap mau menghidupi
cerita seperti itu, tetapi itu bukan kekristenan
yang ada di dalam alkitab. Selalu terselubung
bagian ini, bapak menerima, lalu kemudian
memulihkan, memberikan pakaian, kita boleh
assume pakaian anak ini sudah sobek-sobek,
kotor sekali, lusuh, lalu diganti dengan
pakaian yang baru, dikenakan cincin, sepatu,
semuanya diganti, diberikan yang baru, lalu
disembelih anak lembu tambun untuk makan
dan bersukacita.
Kita tidak mungkin berpikir bagian ini
makan yang hedonisme, tidak mungkin kan
ya? Apa bedanya dengan banyak orang yang
hedonis? Ini adalah satu sukacita yang tidak
mungkin kita stempel sebagai hedonisme,
tidak kan? Kenapa? Karena ini satu perayaan
pertobatan, perayaan penerimaan, bukan
enjoy himself, narsisistik, bukan, ini bapaknya
bukan sedang mengumbar kenikmatan lidah,
bukan.
Tetapi
dia
melakukan
pesta
bersukacita, karena memang betul-betul ada
alasan yang sangat legitimate untuk
bersukacita yaitu pertobatan anak yang
kembali, yang dipulihkan, yang diterima
kembali, yang mendapati dirinya yang came to
himself, maka dia makan dan bersukacita.
Ada pararel kita membaca dalam ayat 24
“mati, hidup dengan hilang dan didapat
kembali”, ini perkataan sederhana, hilang dan
didapat kembali, lost and found, mungkin
tidak semenakutkan mati dan hidup, tapi
alkitab di sini mensejajarkan orang yang
hilang dengan orang yang mati. Yang hilang
itu sama dengan yang mati, as good as dead
sebetulnya, orang yang menjauhi kehadiran
Tuhan, yang mau hidup atheistic, sepertinya
Tuhan itu tidak ada, kita berpura-pura bahwa
Tuhan itu tidak ada, itu as good as dead
menurut alkitab. Hilang itu sebetulnya adalah
kematian, apa sih definisi kematian? Kita tahu
ada definisi biologis, nafas berhenti, dll., tetapi
alkitab waktu mendefinisikan kematian
terutama adalah definisi kematian spiritual,
kematian relasional. Orang yang hidup
menjauhi hadirat Tuhan, itu sebetulnya mati,
meskipun detak jantungnya masih ada, bisa
berbicara, waras, menurut alkitab, itu as good
as dead, karena relasinya sudah terputus
dengan Allah, dia memutuskan relasi dengan
Tuhan.
Kematian itu adalah ketidakhadiran
relasi, ya relasi dengan Tuhan, relasi dengan
sesama, makanya orang-orang kusta pada
zaman itu, saya percaya as goos as dead,
karena mereka itu harus hidup di satu tempat
sendiri, mereka tidak ada relasi, mereka tidak
bisa ke bait suci, terputus relasinya dengan
kehadiran Tuhan dan bukan hanya itu, mereka
juga tidak biasa bergaul dengan orang biasa,
terputus hubungannya dengan sesama
manusia. Maka waktu mereka berjalan,
mereka harus berteriak najis, najis, supaya
semua kehadiran itu menjauhi mereka,
sehingga
mereka
berada
di
dalam
ketidakhadiran siapapun, menurut alkitab itu
as good as dead. Kalau kita boleh bandingkan
dengan dunia modern, kita masih bisa merasa
very much a live dengan achievement kita
yang luar biasa and yet kita tidak punya relasi
dengan siapapun, kalau kita masih rasa hidup,
itu kekonyolannya manusia modern. Sekali
GRII KG 716/755 (hal 3)
lagi, orang yang berhasil di dalam
kehidupannya memiliki achievement ini dan
itu, tetapi sebenarnya dia miskin sekali di
dalam relasi dan dia merasa bahwa dia masih
very much a live, ini konyol sekali, sangat jauh
dengan apa yang dibicarakan di dalam alkitab,
dia tidak sadar bahwa dia sudah dalam
keadaan mati sebetulnya.
Alkitab memberikan definisi kematian di
dalam pengertian keterhilangan, terutama
keterhilangan dari hadirat Tuhan. Orang yang
menjauhi hadirat Tuhan, dia tidak kerasan
hidup di dalam hadirat Allah, hadirat Bapanya,
lalu dia mau independent, hidup sendiri dsb.,
mati menurut alkitab. Lalu kemudian dia
didapatkan kembali, apa artinya didapatkan
kembali? Apa artinya hidup? Kembali ke
dalam hadirat Allah, kembali masuk bisa
menikmati kehadiran Allah, bukan sebagai
kehadiran yang disturbing, yang mengganggu,
bukan, tapi kehadiran yang memberkati, yang
merangkul, yang mencium, bukan yang
melukai dia, bukan. Setan itu selalu menipu,
Tuhan itu teror, Tuhan itu tiran, mengontrol
semuanya, membuat kamu tidak bisa bahagia,
setan memberikan kepada kamu kebahagiaan
yang sejati, kebebasan yang sejati. Coba lihat
saya tidak kontrol kamu, kalau Tuhan kontrol,
Tuhan itu jahat, Tuhan mau memperlakukan
manusia sebagai robot, kalau saya (setan)
memperlakukan manusia sebagai manusia,
begitukan ya, pembalikan dari setan? Persis
dibalik, padahal yang betul adalah kehadiran
Tuhan selalu memberkati, setan selalu
menghacurkan, itu adalah kenyataan yang
sesungguhnya. Anak bungsu ini hidup,
didapatkan kembali, itu menjadi alasan
mereka bersukaria.
Lalu kita masuk ke dalam bagian anak
sulung, secara kuantitas memang tidak terlalu
panjang, tetapi kita juga bisa belajar beberapa
poin di dalamnya tentang anak sulung. Di sini
gambarannya sederhana, bisa kita skip
beberapa ayat karena ini bicara tentang
setting, dia sedang tidak ada di situ, dia di
ladang, waktu pulang ada pesta di sana, dia
tanya apa yang sedang terjadi, lalu dijawab
adikmu kembali, ayahmu menyembelih anak
lembu tambun, dalam ayat 28, maka marahlah
anak sulung itu, ia tidak mau masuk. Menarik,
literally bagian ini begitu kompleks, anaknya
itu kan tinggal satu rumah dengan ayahnya,
tetapi waktu terjadi satu celebration karena
ada orang yang kembali in the presence of
God, dia sendiri tidak mau in the presence of
God, dia mau di luar. Sekali lagi, dia kan
tinggal satu rumah dengan ayahnya, artinya
living in the presence of his father, karena
tinggal satu rumah, tapi waktu ayahnya
menyambut orang yang kembali, yang tadinya
di luar presence of God, menghindari presence
of God, akhirnya kembali, bisa hidup lagi di
dalam kehadiran Allah, justru sekarang dia
tidak mau in the presence of God lagi.
Kenyataannya bukan dia tidak mau in
the presence of God lagi, tetapi sebetulnya dia
tidak pernah ada in the presence of God, tidak
pernah, meskipun dia tinggal satu rumah. Ini
satu keadaan yang menakutkan, kalau kita
krsiten, kita ke gereja tapi kita tidak in the
presence of God, yang paling celaka adalah
Minggu ke gereja but not in the presence of
God, somewhere else, di tempat lain, outsider
in his own house, being in outsider di
rumahnya sendiri, being in outsider di bait
suci, di gereja. Tidak bisa lebih ironi lagi,
jangan-jangan orang kusta itu, yang tidak bisa
masuk bait suci, mereka lebih bisa menikmati
kehadiran Tuhan, jangan-jangan orang yang
di gereja, yang sehat, yang tidak terganggu
relasinya dengan sesama justru yang paling
tidak ada pengalaman presence of God, ini
ironi. Keterhilangan di rumah sendiri, makanya
seringkali dikatakan, ini yang hilang bukan
hanya yang bungsu, tapi juga yang sulung,
anak yang sulung ini juga terhilang.
Jenis keterhilangan yang lain, terhilang di
dalam rumah sendiri, bukan hilang rusak,
bukan melacur, tidak, orang “baik-baik”, orang
yang moralnya tinggi, suka memberi sedekah,
orang yang waktu dagang jujur, tidak tipu
kanan kiri, tidak seperti banyak orang yang
mengaku kristen tetapi tetap menipu kanan
kiri, untuk apa, saya tidak kristen tapi saya
jujur, moral saya tinggi. Orang yang terhilang
di dalam keadaan moral yang tinggi, ada
orang yang terhilang di dalam kebejatan
moral, seperti anak bungsu, tapi ada orang
yang terhilang juga justru di dalam self
righteousness-nya, di dalam merasa dia benar
sendiri, dunia banyak sekali dipenuhi orangorang seperti ini. Mereka selalu tersandung
dengan
orang-orang
kristen,
selalu
tersandung dengan orang-orang percaya,
mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka
sedang terhilang, karena mereka sedang
mempraktekan
satu
spiritualitas
self
righteousness, saya adalah orang suci, atau
tinggal satu tingkat lagi berkata, saya
sebetulnya adalah Tuhan, yang tidak pernah
berdosa.
Kalau dikompetisikan, saya lebih baik
daripada orang itu, saya lebih suci, saya lebih
jujur, saya tidak munafik seperti dia, begitu
kan ya? Kemunafikan juga mejadi satu
kategori untuk membenarkan seseorang, lebih
tidak munafik, di dalam budaya post modern
seperti sekarang, orang tampil apa adanya,
termasuk
juga
dengan
segala
keberdosaannya, menurut mereka itu lebih
tidak munafik. Tapi sebetulnya tidak ada
pertobatan, mereka bisa terang-terangan
hidup berdosa, tidak ada yang disembunyikan,
nothing to hide, silahkan kamu lihat, memang
saya begini, tapi juga tidak ada penyesalan,
pertobatan, just being transparent. Alkitab
jelas lebih dari pada sekedar tuntutan
transparan, memang alkitab sangat membenci
kemunafikan, tapi sekedar transparan seperti
ini tanpa pertobatan, bring us no where, tidak
membawa kita kemana-mana. Anak sulung ini
menghindari pesta, bukan pestanya, tapi di
sini jadi terbukti bahwa selama ini memang
dia tidak bisa menikmati kehadiran bapaknya,
termasuk waktu dia tinggal bersama-sama.
GRII KG 716/755 (hal 4)
Ayahnya waktu kita melihat, dia ke luar
mempraktekkan hal yang sama, baik terhadap
anak bungsu maupun anak sulung, full of
compassion, kepada anak yang bungsu
compassionate, kepada anak yang sulung
waktu marah juga compassionate. Kita
manusia seringkali compassionate kalau orang
menangis, kalau orang marah kita marah,
begitu kan ya? Kalau kamu tegang, ya saya
juga tegang, kalau kamu menangis, mungkin
saya bisa peluk, tapi kalau kamu marah, tidak
mungkin saya peluk, saya akan marah lebih
kencang lagi, supaya kamu tahu, siapa yang
lebih punya power di sini. Ayahnya ini tidak,
ayahnya tidak biasa didikte oleh gelombang di
luar, ooh kalau kamu nangis hati saya jadi
tersentuh, iya ya, kamu merendahkan diri
maka saya peluk, pas marah ditempeleng,
kamu marah, tidak tahu siapa saya? Ooh tidak
seperti itu, ini adalah sosok ayah yang tidak
dikendalikan oleh gelombang yang ada di
luar,
baik
gelombang
tangisan
atau
kemarahan, karena dia di dalam dirinya sendri
full of compassion. Ayahnya ke luar terhadap
anak yang marah ini, berusaha untuk maklum
juga, berusaha untuk mengerti, berusaha
untuk merangkul, berbicara dengan anak
sulung ini.
Sekali lagi, kalau boleh menekankan
bagian ini, juga termasuk di dalam act of
acceptance, tindakan penerimaan, akhirnya
uneg-uneg dari anak sulung ini ke luar. Kalau
pada saat itu ayahnya rebuke, mungkin dia
tidak akan cerita karena dimarahin, malah
akhirnya lebih tertutup lagi, begitu kan ya?
Kadang yang membuat orang lain itu tertutup
adalah kita sendiri, bukan karena orang itu
tertutup, karena simply kita tidak ada
kekuatan
untuk
menerima,
mencium,
merangkul
dia, akhirnya orang tertutup,
mungkin, tidak 100% mutlak. Bisa juga
memang orangnya sangat-sangat tertutup,
terhadap siapapun dia tertutup, tapi kalau kita
bisa introspektif, mungkin sebagian juga
kesalahan dari pada kita, mungkin kita tidak
bisa menerima dia apa adanya, akhirnya dia
tertutup dengan kita. Yesus itu merangkul,
mencium, akhirnya orang bisa mengatakan
apa yang ada di dalam hati mereka. Bapa yang
di sorga, yang digambarkan oleh bapak di sini,
juga melakukan tindakan yang meskipun tidak
literally merangkul, tapi precisely juga
tidakannya ini secara essence merangkul,
mencium, dia ke luar dan berbicara dengan
anak sulung.
Setelah anak sulung ini menjawab, kita
tahu apa yang menjadi persoalannya, ini
mewakili spiritualitasnya selama dia hidup,
“sudah bertahun-tahun aku melayani bapak,
tidak pernah melanggar perintah bapak, tapi
kepadaku belum pernah bapak memberikan
seekor anak kambing untuk bersukacita
dengan sahabat-sahabatku”, wah, satu ayat ini
saja sangat padat sekali, (kita akan membatasi
pembahasannya). Nah ini yang disebut
dengan spiritualitas legalistik, orang yang
legalistik, urusannya kepada hukum, bukan
kepada manusia, dia bukan taat kepada
bapaknya, dia tidak ada relasi kasih dengan
bapaknya, yang ada adalah relasi dengan
hukum. Hukum itu ya hukum, hukum itu
impersonal dan dia mengharapkan di dalam
gambaran seperti ini adalah ayahnya boleh
melihat bahwa dia adalah orang yang taat,
tapi masalahnya adalah dia bukan taat kepada
bapaknya, sekali lagi, ketaatan bukan ketaatan
personal, ini ketaatan impersonal, kepada
hukum.
Orang yang seperti ini duty minded, duty
oriented, pikirnya semua kewajiban, orang
seperti ini bisa sangat excellent, kerjanya bisa
sangat rapih sekali, tetapi sebenarnya kasihan,
kenapa? Karena dia tidak ada relasi kasih, dia
melakukan segala sesuatu itu rapih, mungkin
orang perfeksionis, semua kewajibannya
selesai, tapi sebatas menjalankan kewajiban.
Tindakan-tindakan yang naturally seharusnya
adalah tindakan kasih, tapi kita anggap
sebagai kewajiban, duty, itu salah. Kalau
seseorang tergerak untuk merangkul orang
lain, anak kecil yang lucu dia peluk, atau istri
suami yang dia mau cium dsb., lalu dia merasa
bahwa ini sudah waktunya, saya berkewajiban
untuk mencium istri saya, hal seperti itu lucu
sekali. Yang lucu adalah karena itu seharusnya
terjadi naturally di dalam love relationship
justru menjadi duty, kewajiban. Orang yang
terus berpikir kewajiban, tapi saya percaya di
dalam kehidupan kita juga ada aspek
kewajiban, kalau tidak ada kewajiban sama
sekali sepertinya tidak realistis juga, karena
kedagingan kita terlalu kuat. Kalau semuanya
harus naturally ke luar dari passion saya, maka
tidak akan jalan, ada saatnya kita harus
memaksa diri, menyangkal diri, tetapi
seharusnya setelah itu terjadi kerelaan dan
dikonfirmasi dengan sukacita.
Tetapi yang ada adalah semuanya
kewajiban, akhirnya dia juga tidak mempunyai
sukacita, no joy, tidak bisa participate in joy
juga, apalagi joy-nya orang lain, joy of his
father, joy dia punya adik yang sudah kembali
dari kerusakannya, tidak punya kekuatan
untuk itu. Karena semuanya duty, duty, yang
ada adalah seperti orang yang di squeeze, di
peras habis-habisan, semuanya duty, duty.
Orang yang sangat restless, gelisah, tidak ada
sukacita, tidak ada kenikmatan, no joy, no love,
totally impersonal, orang seperti ini terhilang,
meskipun dia sibuk, pekerjaannya banyak dan
semuanya beres, a very good guy, tetapi
semuanya terhilang, karena dia tidak ada
hubungan personal.
Orang yang seperti ini, pikirannya
dikuasai oleh paradigma merit and reward, ini
semuanya satu paket, tidak bisa dipisah, duty
minded, no joy, no love, impersonal
relationship, akan diwarnai dengan persis
seperti yang dia bilang, apakah bapak tidak
melihat, coba lihat dong, jasa saya apa? Saya
selalu taat kepadamu, saya tidak pernah
memboroskan, saya tidak pernah melacur,
saya tidak pernah kurang ajar sama bapak,
merit, coba lihat ya, ini jasa saya, now where is
my reward? Jadi paradigmanya dia itu adalah
merit and reward, merit and reward, semua
GRII KG 716/755 (hal 1)
Ekspositori Injil Lukas (30)
Ekspositori Injil Lukas (30)
merit harus di acknowledge, ini orang yang
terhilang, kalau tidak terhilang, dia tidak akan
tertarik bicara tentang merit itu.
Orang yang paradigma merit and reward,
itu sebenarnya orang yang terhilang tanpa dia
sadar, sangat menghitung apa yang sudah dia
capai supaya orang lain mengingatnya dan dia
mengharapkan reward. Di dalam kekristenan
juga bisa masuk spirit seperti ini secara
sederhana, saya sudah pelayanan, banyak
korban, what do I get? Orang lain tidak
acknowledge, orang lain tidak mengerti saya,
orang lain even juga tidak bersyukur, sama,
orang seperti ini terhilang. Kalau dia memiliki
sukacita, love relationship, kalimat itu tidak
perlu sama sekali, itu kalimat totally
redundant, tidak perlu dikatakan, kenapa?
Karena the joy of serving sendiri itu sudah
terlalu limpah, sampai tidak perlu lagi mencari
acknowledgement,
tidak
perlu.
Karena
sukacitanya sudah penuh waktu dia melayani,
kalau dia melayani di dalam love relationship,
tetapi kalau tidak, ya pasti perlu orang lain,
karena tangkinya kosong, dia tidak ada joy,
maka dia perlu pengakuan dari pada orang
lain, perlu tepuk tangan orang lain, dsb. Saya
percaya kita semua, saudara dan saya masih
ada spirit seperti ini, oleh karena itu kita harus
berubah, terus-menerus membiarkan Tuhan
menyempurnakan kita.
Yang tidak kalah menarik adalah jawaban
ayahnya, kita melihat di dalam ayat 31, setelah
anaknya menyampaikan keadaan dirinya
sendiri, lalu ayahnya tetap di dalam belas
kasihan, dia mengatakan, “anakku, engkau
selalu bersama-sama dengan aku, segala
kepunyaanku adalah kepunyaanmu”, dua hal
saja tetapi betul-betul sudah mencakup
semuanya, mencakup keterhilangan dari pada
anak sulung ini:
Pertama, “engkau selalu bersama-sama
dengan aku”, maksudnya apa? Ayahnya mau
mengkoreksi, kamu hidup serumah dengan
aku tapi sebetulnya tidak bersama-sama
dengan aku, kamu menghayati dirimu itu
outsider, buktinya apa? Kamu merasa seperti
budak, kamu tidak merasa seperti anak,
“belum pernah bapak memberikan seekor
kambing”, mungkin bapaknya bingung, loh
kalau kamu mau sembelih ya sembelih saja,
kepunyaanku adalah juga kepunyaanmu kan?
Untuk apa kamu menempatkan diri seperti
orang luar? Kita melihat di sini ada kontras
keterhilangan antara anak bungsu dan anak
sulung, anak bungsu, keterhilangannya
dengan mengklaim hak sebagai ahli waris, lalu
keterhilangan anak sulung, tidak berani
sentuh milik bapaknya, ini keterlaluan, merasa
tidak memiliki apa-apa, terhilang di dalam
rumah sendiri.
Dan kekristenan juga terbelah menjadi
dua seperti ini, ada kekristenan model
keterhilangan anak bungsu, yang terusmenerus merasa dirinya harus diberkati dsb.
Tapi ada jenis keterhilangan yang lain juga,
orang yang melayani baik-baik, banyak
berkorban, tetapi sebenarnya tidak ada joy di
dalam dirinya, dia totally exhausted, sangat
merasa di squeeze habis-habisan, sangat
tergencet, tinggal menunggu saja, kapan ini
selesainya? Nanti pengharapannya di sorga,
bersakit-sakit
dahulu,
bersenang-senang
kemudian di sorga, melampiaskan semunya,
itu bukan teologi pengkhotbah, teologi
pengkhotbah adalah terus-menerus putar,
memang ada saat susah, tapi ada saat senang,
terus-menerus bergantian. Bukan susahnya
semua di pool, lalu nanti suatu saat di sorga
akan senang semuanya, tidak seperti itu, kita
mendapati ajaran yang berbeda. Nah anak
sulung ini terhilang, waktu dia tidak bisa
menikmati, pertama dia tidak bisa menikmati
his father presence, sepertinya dia berada di
luar, meskipun hidup seatap. Yang kedua, dia
juga merasa tidak berhak memiliki apa pun
yang dari bapaknya, ini pikirannya Allah yang
transenden, maha suci, tetapi Dia betul-betul
jauh sekali, tidak ada intimate relationship,
tidak ada, padahal dia tinggal satu rumah
dengan bapaknya.
Kedua, “segala kepunyaanku adalah
kepunyaanmu”, lebih dalam dari ada sekedar
urusan anak kambing tadi, juga sekaligus
ayahnya mau membawa dia kepada
perspektif, “anak bungsu ini kepunyaanku,
juga seharusnya kepunyaanmu, karena
kepunyaanku
adalah
kepunyaanmu”.
Kepunyaan kita yang hilang dan sekarang
kembali, kok kamu tidak sukacita? Berarti
kamu tidak merasa memiliki ada orang-orang
berdosa di sana? Kalau kita tidak punya rasa
kepemilikan, ya sudah kita tidak usah
penginjilan, karena menurut kita itu milik
Tuhan bukan milik saya, yang milik saya
adalah rumah saya, keluarga saya, ini milik
saya, yang itu, orang-orang berdosa adalah
miliknya Tuhan. Kalau begini kita adalah orang
terhilang, karena bapak di sini mengatakan,
kepunyaanku adalah kepunyaanmu, orangorang pilihan itu adalah kepunyaan Tuhan,
sebagian besar ada di luar sana, itu adalah
kepunyaan Tuhan, kalau Tuhan mau share isi
hatiNya, kepunyaanKu, saudara diundang
untuk memiliki bersama, bukan diundang
untuk jadi jongos, bukan.
Memang ini kalimat paradoks, satu sisi
kita memang adalah hamba Allah, tapi sisi
yang lain Yesus juga pernah mengatakan, Aku
tidak lagi menyebut kamu hamba, melainkan
sahabat, rekan kerja Allah, maksudnya apa?
Lebih dari pada sekedar budak, bukan hanya
hamba, tetapi juga ada kepemilikan bersama,
kepemilikan bersama itu apa? Ya ini, apa yang
menjadi “pergumulan” Bapa, juga adalah
pergumulan
saudara.
Apa
bedanya
entrepreneur dengan pegawai? Kalau pegawai
tidak pusing, mau perusahan itu bangkrut
pokoknya gaji bulan ini harus masuk, itu
mental pegawai, tapi kalau kita entrepreneur,
kita yang punya perusahaannya, saudara
GRII KG 716/755 (hal 2)
harus berpikir ini untung atau tidak? Di dalam
Kerajaan Allah saudara bukan diundang
menjadi pegawai, tetapi menjadi orang yang
memiliki bersama. Memiliki bersama itu ada
sukacitanya, anak kambing boleh makan, tapi
jangan hanya kambingnya, pergumulannya
juga, saudara diajak berbagian di dalam
“pergumulan” Tuhan, dukacita dan kesedihan
Tuhan, karena kepunyaanKu, kepunyaanmu.
Ceritanya kan lost lalu found, termasuk
juga diundang untuk berbagian di dalam
sukacita dan kegembiraan Allah, karena
kepunyaan kita bersama. Sekarang ini bapak
lagi sukacita, bapak mau mengundang kamu
untuk ikut di dalam sukacita bapak, karena ini
adalah sukacita kita bersama, bukan hanya
sukacitanya bapak, berbagian di dalam
dukacita, berbagian di dalam sukacita,
berbagian di dalam kepunyaan. Kiranya Tuhan
memberkati kita semua dan menolong kita
untuk terus bertumbuh di dalam anugerah
Tuhan. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa
oleh pengkhotbah (AS)
GRII KG 716/755 (hal 3)
Download