PENGARUH LATIHAN FISIK AEROBIK DAN DETRAIN TERHADAP JUMLAH SEL SARAF NORMAL NUKLEUS SENTRAL AMIGDALA TIKUS Ratna Kencana dan Ahmad Aulia Jusuf 1.Program Studi Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 2.Departemen Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Latihan fisik aerobik banyak direkomendasikan oleh praktisi kesehatan karena banyaknya manfaat yang diberikan kepada manusia, termasuk dugaan pengaruh latihan fisik aerobik terhadap peningkatan jumlah neuron, fungsi kognitif dan memori. Berangkat dari dugaan tersebut, dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap gambaran histologis nukleus sentral amigdala. Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan menggunakan tikus jantan (Rattus sp. Strain Wistar) sebagai hewan percobaan yang dibagi menjadi tiga kelompok (masing masing n=9), yaitu kelompok kontrol, training dan detraining. Pengamatan dilakukan pada jaringan otak dengan menghitung jumlah sel normal pada nukleus sentral amigdala menggunakan optilab viewer yang dilengkapi dengan image raster. Data kemudian dianalisis dengan uji one-way ANOVA. Hasil menunjukkan bahwa rerata presentase sel normal tertinggi adalah kelompok kontrol (58,11%), diikuti dengan kelompok perlakuan training dan detraining. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan latihan aerobik dan detrain pada nukleus sentral amigdala. Kata kunci: Detraining; Nukleus sentral amigdala; Training Aerobic Exercise and Detraining Effect on the Number of Normal Neuron of Rat’s Central Nucleus Amygdala Abstract Aerobic exercise recommended by many health practitioners because it has a lot of benefit including the assumption about aerobic exercise effect that increases the number of neurons, cognitive function and memory. Departing from this assumption, a study to determine the effect of aerobic exercise and detrain to the histological features of central nucleus of amygdale was conducted. This experimental study used male rats (Rattus sp. Wistar strain) as experimental animal, which divided into three groups (each n = 9), control group, training and detraining. Observation was done on brain tissue by counting the number of normal cells in the central nucleus of the amygdala using optilab viewer which equipped with image raster. Data were analyzed by one-way ANOVA test. Results showed that control group has the highest mean percentage of normal cells (58.11%), followed by training and detraining group. There was no significant effect of aerobic exercise and detrain at the central nucleus of amygdala. Keynote: Detraining;Nucleus central of amygdala;Training Pendahuluan Latihan fisik, khususnya latihan fisik kronik, memiliki banyak manfaat seperti pada proses belajar dan memori, proteksi dari neurodegenerasi, dan mengurangi depresi khususnya pada populasi usia lanjut.1 Latihan fisik aerobik, seperti latihan treadmill, bermanfaat meningkatkan performa dalam belajar menghindari pasif, mengurangi kadar serotonin dalam hippocampus yang dapat menyebabkan gangguan proses belajar dan memori.2 Sudah banyak dilakukan penelitian mengenai pengaruh dan manfaat latihan fisik aerobik namun sebagian besar hanya terfokus meneliti area otak seperti hippocampus dan gyrus dentatus. Sehingga, masih meninggalkan banyak area abu-abu terutama pada area otak lain. Hal itu menimbulkan rasa keingintahuan mengenai efek latihan fisik aerobik serta apabila latihan fisik dihentikan atau detraining terhadap jumlah sel saraf normal di nukleus sentral amigdala, suatu struktur otak yang berperan dalam kondisi ketakutan, pembentukan memori, proses belajar, proses sosial, dan pengaturan emosi3. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap jumlah sel saraf normal di nukleus sentral amigdala. Penelitian difokuskan pada nukleus sentral amigdala karena nukleus sentral amigdala terutama bagian medialnya (CeM) merupakan pemancar utama dalam merespon kondisi ketakutan, yang diterima oleh neuron bagian lateral dan aktivitas neuronal bagian lateralnya, yaitu CEL (Central Lateral Amygdala). 4 Tinjauan Teoritis 1.1 Latihan Fisik Latihan fisik menurut WHO didefinisikan sebagai pergerakan tubuh dengan menggunakan otot rangka yang menyebabkan pengeluaran energi. Terdapat dua klasifikasi latihan fisik, yaitu 1). berdasarkan efek atau manfaat terhadap tubuh, dikelompokkan menjadi latihan fisik aerobik, anaerobik, dan latihan fleksibilitas, 2). klasifikasi latihan fisik berdasarkan ketersediaan energi dan durasi aktivitas, terdiri dari latihan fisik aerobik, dan anaerobik.5,6 1.2 Latihan Fisik Aerobik Latihan fisik aerobik terkait dengan ketersediaan energi atau kemampuan untuk menyediakan energi untuk kegiatan yang menguras oksigen. Ciri khas latihan fisik aerobik adalah durasi panjang, intensitas rendah, repetitif serta melibatkan kelompok otot besar seperti berlari, dan berenang. Keterlibatan kelompok otot besar dan durasi yang panjang menyebabkan latihan fisik aerobik sangat membutuhkan banyak oksigen;7 sehingga, memacu tubuh untuk memperkuat pompa jantung, memperbanyak pembuluh darah di dalam otot, dan meningkatkan VO2 max. 1.3 Detrain Latihan fisik yang dilakukan secara teratur, tentunya telah menginisiasi terjadinya berbagai adaptasi dan perubahan di dalam tubuh. Namun, apabila latihan fisik teratur dihentikan, kesehatan dan kebugaran pun akan berkurang. Hal ini dikenal dengan istilah detraining. Hal ini biasa terjadi pada dua minggu atau satu bulan dari penghentian latihan fisik teratur.8 2.4 Struktur otak, dan klasifikasi Neuron adalah sel yang mendominasi otak karena jumlahnya yang sangat banyak pada otak.9 Neuron lebih dikenal dengan sel saraf mempunyai fungsi sebagai konverter berbagai stimulus menjadi sinyal elektrik atau potensial aksi. Neuron mampu melakukan ini karena sifatnya yang sensitif terhadap berbagai macam stimulus. Potensial aksi yang di hasilkan oleh neuron, akan di konduksikan ke sel saraf lain, menuju ke jaringan target. Neuron memiliki tiga bagian yaitu badan sel, dendrit dan akson. Otak dewasa terbagi menjadi empat bagian utama yaitu batang otak, serebrum, serebelum, dan diensefalon. Batang otak berhubungan dengan medula spinalis dan dibagi menjadi medulla oblongata, pons dan midbrain. Dibagian posterior dari batang otak terdapat serebelum. Diensefalon terdiri dari thalamus, hipotalamus, epitalamus dan amigdala yang terletak di superior batang otak. Bagian terakhir yaitu bagian terbesar dari otak adalah serebrum yang terdiri dari hemisfer kanan dan kiri.10 Terdapat beberapa faktor internal dan eksternal tubuh seperti faktor genetik, umur, gender, asupan gizi, stres, lingkungan dan aktivitas fisik yang berperan dalam fungsi dan struktur otak.11 2.5 Amigdala dan Nukleus sentral amigdala Amigdala adalah salah satu bagian dari sistem limbik yang terletak di lobus temporal pada ventral dari kortreks temporal. Amigdala terdiri dari beberapa nukleus yang berbeda dan berbentuk seperti kacang almond. Amigdala dapat dibagi berdasarkan kelompok nukleusnya menjadi amigdala lateral, basal, medial, anterior, sentral dan kortikal. Selain itu, amigdala juga dapat diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan fungsinya, yaitu 1) kelompok kortikomedial dan kelompok basolateral. Amigdala memiliki peran penting dalam mengatur motivasi, memori, visual, emosi dan rasa takut. Penelitian lain menyatakan bahwa setiap bagian dari amigdala mengeluarkan efek yang berbeda pada stimulus yang berbeda pula. Seperti contoh apabila stimulasi pada amigdala kortikomedial dilakukan, maka akan terjadi efek kuat yang memfasilitasi terjadinya kemarahan untuk mempertahankan diri. Sebaliknya, stimulasi pada bagian basolateral, akan menimbulkan efek kebalikannya. Selain itu, telah diketahui pula bahwa potensi amigdala medial terhadap kemarahan defensif diperantarai oleh serat saraf dari striae terminal yang mengeksitasi neuron hipotalamus medial. Sedangkan amigdala sentral dan lateral mensupresi reaksi tersebut. Nukleus sentral amigdala berperan penting dalam mengekspresikan rasa takut kondisional. Nukleus ini memiliki subnuklei, yaitu nukleus sentral medial CeM dan sentral lateral atau CeL. Mekanisme yang telah diketahui, adalah CeM merupakan output station utama dari amigdala untuk respon rasa takut. CeM merupakan satu-satunya sumber proyeksi amigdala ke PeriAqueductal Gray (PAG), struktur yang telah lama dipakai untuk mengukur rasa takut.12,13 2.6 Proses Pembentukan Memori Memori merupakan penyimpanan segala informasi yang didapat setiap harinya. Memori memiliki peran penting dalam proses belajar. Pembentukan memori terdiri dari dua tahap berbeda, yaitu memori jangka pendek dan jangka panjang. Memori jangka pendek disebut juga working memory yang hanya memiliki kapasitas untuk menampung delapan bagian informasi saja, seperti mengingat nomor telepon. Memori jangka pendek yang telah di konsolidasi, akan disimpan sebagai memori jangka panjang yang memiliki kapasitas tidak terhingga yang akan tersimpan lebih lama bila dibandingkan dengan memori jangka pendek. Proses konsolidasi, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu 1). Keadaan emosional. 2). Repetisi 3). Asosiasi 4). Memori otomatis.14 2.7 Hubungan Latihan Fisik Aerobik terhadap Otak Latihan fisik selain bermanfaat untuk kebugaran tubuh dan kesehatan jantung, ternyata juga memiliki efek khusus pada otak yaitu pada pembuluh darah otak dan dendrit. Secara garis besar dapat meningkatkan fungsi dari sistem saraf pusat.15 Sebuah penelitian menyebutkan bahwa aktifitas fisik yang efektif meningkatkan kemampuan otak dalam membentuk memori. Hal ini dibuktikan dengan kadar BDNF dan katekolamin yang meningkat setelah dilakukan latihan fisik yang intens. Kadar BDNF yang meningkat serta katekolamin berkaitan dengan meningkatnya kemampuan otak dalam membentuk memori jangka pendek dan panjang. Sehingga BDNF dan katekolamin diduga sebagai mediator yang membuktikan bahwa latihan fisik berkaitan dengan otak.16 2.8 Hubungan Detrain terhadap Otak Berlawanan dengan aktifitas fisik yang dapat meningkatkan fungsi otak dengan meningkatkan kadar BDNF, detraining akan menimbulkan efek penurunan kadar BDNF sampai dengan di bawah kadar kontrol yang disebabkan oleh penurunan regulasi kadar neurotropin dan memori.15 Sehingga, proses pembentukan memori yang lebih efisien dapat terfasilitasi oleh latihan fisik, sedangkan detrain akan menurunkan efisiensi tersebut.15 Studi lain menyatakan bahwa detrain lebih berpengaruh pada memori jangka panjang.16 Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, selama 6 bulan, yaitu Agustus 2012 hingga Januari 2013. Data penelitian merupakan data primer dari sediaan otak tikus yang diberi perlakuan latihan fisik aerobik dan detraining. Sediaan otak tikus adalah milik Ibu Leli Ribawati dari hasil penelitian yang berjudul Pengaruh Latihan Fisik Aerobik dan Detrain Terhadap Struktur Otak dan Memori Pada Tikus. Pada penelitian ini hewan coba dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol, aerobik, dan detraining dengan besar sampel tiap kelompok sembilan buah. Tikus dalam kelompok aerobik dikondisikan untuk berlari menggunakan treadmill setiap hari selama 6 minggu dengan kecepatan 20m/20menit. Tikus dalam kelompok detrain mendapatkan perlakuan berlari menggunakan treadmill setiap hari selama 6 minggu dengan kecepatan 20 m/20menit kemudian dihentikan selama 6 minggu. Sediaan otak tikus kemudian akan dipulas dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin dan akan diamati dengan mikroskop binokular yang difasilitasi aplikasi optilab dan program image raster. Data didapat dari pengamatan sediaan nukleus sentral amigdala tikus dan penghitungan jumlah sel saraf normal pada nukleus sentral amigdala tikus. Sel saraf yang masuk dalam kategori normal adalah sel saraf dengan ukuran 10 mikrometer, memiliki inti sel dengan anak inti terlihat jelas, kromatin baik (jelas, tidak kondensasi, tidak piknotik), dan sitoplasma utuh. Hasil Hasil observasi jumlah sel saraf normal pada ketiga kelompok perlakuan, memperlihatkan adanya trend penurunan jumlah sel saraf normal dengan jumlah sel saraf normal terbesar terdapat pada kelompok kontrol. K A D Gambar 2. Hasil observasi jumlah sel saraf normal nukleus sentral amigdala tikus. Tanda panah menunjukkan contoh sel saraf normal yang ditandai oleh adanya inti sel dan anak inti jelas, kromatin baik (jelas, tidak kondensasi, tidak piknotik), dan sitoplasma utuh K= Hasil observasi kelompok kontrol A= Hasil observasi kelompok aerobik D=Hasil observasi kelompok detrain. Setelah dilakukan observasi, dilakukan uji statistik dengan terlebih dahulu mengecek distribusi data. Semua data yang didapatkan dari hasil penghitungan terbukti terdistribusi normal berdasarkan uji Shapiro-Wilk (p > 0,05). Selain itu, berdasarkan uji Levene untuk mengetahui homogenitas data, terbukti bahwa semua data bersifat homogen (p > 0,05). Kemudian data dianalisis dengan uji parametrik menggunakan one way Anova. Hasil semua uji yang telah dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada bagian lampiran. Setelah dilakukan penghitungan sel saraf normal pada tiap kelompok, didapatkan persentase sel saraf normal seperti yang tertera pada tabel 4.1 Tabel 4.1. Hasil Analisis One Way Anova Persentase Sel Saraf Normal Perlakuan N Rerata ± s.b P Kontrol 9 58,11± 14,066 P = 0,116 Training 9 54,44 ± 5,294 Detraining 9 48,00± 8,588 Pada tabel 4.1, terlihat rerata presentase sel normal pada nukleus sentral amigdala pada kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok training dan detraining. Kemudian, terlihat pula rerata presentase sel normal pada kelompok detraining lebih rendah dibandingkan kelompok training. Sehingga, jelas sekali terlihat terjadi penurunan jumlah sel saraf normal pada kelompok yang mendapatkan perlakuan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penurunan presentase yang terjadi pada kelompok perlakuan kemudian diuji apakah menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun setelah dilakukan uji ANOVA, hasil menunjukkan tidak adanya perbedaan signifikan yang ditunjukkan dari nilai p (p=0,116 ; p<0,05). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa latihan fisik dan aerobik tidak berpengaruh pada jumlah sel saraf normal di nukleus sentral amigdala. Diskusi Pada penelitian ini, peneliti memakai sediaan otak tikus jantan yang telah dikelompokkan sebelumnya menjadi kelompok kontrol, training dan detraining. Penelitian berjalan dengan memberikan perlakuan yang berbeda kepada masingmasing kelompok. Pada kelompok training, diberikan perlakuan latihan fisik aerobik selama 6 minggu. Pada kelompok detraining, diberikan perlakuan latihan fisik aerobik selama 6 minggu, dan kemudian dihentikan selama 6 minggu. Kelompok terakhir yaitu kelompok kontrol, tidak diberikan perlakuan apapun. Setelah perlakuan selesai dilakukan, dibuat sediaan dari otak tikus yang dipulas dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin, yang kemudian diamati oleh optilab viewer dan dilakukan penghitungan jumlah sel saraf yang masuk dalam kategori normal. Berdasarkan hasil yang didapat dari penelitian ini, perlakuan yang diberikan kepada tikus percobaan tidak memberikan pengaruh signifikan kepada ketiga kelompok tikus percobaan. Terdapat kecenderungan penurunan jumlah sel saraf pada kelompok yang diberikan perlakuan aerobik dan detrain bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hasil yang didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Holzek BA dan kawan kawan yang menyatakan bahwa pada kondisi stress akan memicu peningkatan jumlah (densitas) sel sel saraf pada amigdala. Namun, hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian yang menyatakan bahwa latihan fisik aerobik dapat memicu neurogenesis pada hipokampus yang disebabkan oleh mekanisme BDNF.17,18 Amigdala merupakan bagian dari sirkuit CRF didalam merespon stres. Penelitian Holzek BA, et al menyatakan bahwa pada saat kondisi stress, kepadatan (densitas) sel saraf pada amigdala akan meningkat dan fungsi amigdala menjadi hiperaktif. Sebaliknya, saat stres dikurangi, kepadatan (densitas) sel saraf amigdala menurun.19 Respon tersebut, akan memediasi neuroendokrin, otonom, dan perubahan perilaku. Selain itu, spesifik pada area nukleus sentral amigdala, memiliki peranan dalam memodulasi proses neuronal dan sistem pembelajaran pada amigdala.20,21 Stimulus stress pada amigdala akan memicu lepasnya hormon stress yang poten yang menginhibisi proliferasi sel di hipokampus dan area otak lain.22 Pada sisi lain hormon stres yang dihasilkan amigdala juga dapat berperan dalam konsolidasi memori pada pengalaman terkait emosional melalui mekanisme interaksi aktivasi noradrenergik didalam amigdala.23 Penelitian yang dilakukan oleh Kumera M dan kawan kawan menyatakan bahwa faktor stress atau stressor akan menginduksi terjadinya perilaku depresi yang ditandai oleh adanya inflamasi, oksidatif, dan mekanisme antineurogenik dan apoptosis pada hipokampus dan area otak lain. Stress kronik yang terjadi akan meningkatkan interleukin-1β, Tumor Necrosis Factor-α, siklooksigenase-2, menurunnya BDNF dan apoptosis. Pada penelitian yang sama juga disebutkan bahwa tatalaksana antidepresan dapat mempengaruhi mekanisme stress diatas.18 Latihan fisik aerobik diketahui memiliki manfaat dalam mengurangi stress dikarenakan memiliki efek anxiolytic dan antidepresan. Hal ini dapat dihubungkan dengan sebuah penelitian yang meneliti keadaan densitas amigdala dalam kondisi stress dan membandingkannya dengan keadaan densitas amigdala disaat kondisi stress dikurangi. Berdasarkan penelitian Holzek BA dan kawan kawan serta hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat trend penurunan jumlah sel saraf normal di nukleus sentral amigdala pada tikus yang diberi perlakuan fisik aerobik dan detrain. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh pengaruh efek anxiolytic dan antidepresan yang diakibatkan oleh latihan fisik aerobik yang akan menurunkan densitas amigdala karena berkurangnya stress. KESIMPULAN 1. Tidak terdapat peningkatan jumlah sel saraf normal pada nukleus sentral amigdala tikus yang mendapat perlakuan latihan fisik aerobik 2. Tidak terdapat peningkatan jumlah sel saraf normal pada nukleus sentral amigdala tikus yang mendapat perlakuan detraining 3. Tidak terdapat peningkatan jumlah sel saraf normal pada nukleus sentral amigdala tikus yang mendapat perlakuan latihan fisik aerobik bila dibandingkan dengan jumlah sel saraf normal tikus yang mengalami perlakuan detraining. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme biomolekuler didalam otak yang dapat meningkatkan konsolidasi memori. Daftar Referensi 1. Cotman C, Berchtold N. Exercise: A Behavioural Intervention to Enhance Brain Health and Plasticity. Trends in Neuroscience. 2002; 25(6): 295-301 2. Chen H, et al. Treadmill exercise enhances passive avoidance learning in rats: The Role Down-Regulated Serotonin System in the Limbic System. Neurobiology of Learning and Memory. 2008; 89(4): 489-496 3. Robinson JL, et al. Metaanalytic Connectivity Modeling:Delineating the Functional Connectivity of the Human Amygdala. Human Brain Mapping. 2010; 31(2): 173-184 4. Ciocchi S, et al. Encoding of conditioned fear in nukleus sentral amigdala inhibitory circuits. Nature. 2010; 468(7321): 277-82 5. The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI). Your Guide to Physical Activity and Your Heart. 2006. p.11 6. Greenberg JS, Dintiman GB, Oakes BM. Physical fitness and wellness: changing the way you look, feel, and perform. 3rd ed.USA: Human Kinetics; 2004.p. 90-109 7. Ayers SF, Sariscsany MJ. Physical education for lifelong fitness: the physical best teacher's guide. 3rd ed. USA: Human Kinetics; 2011.p 72 8. Kohl HW, Murray TD. Foundations of physical activity and public health. USA: Human Kinetics; 2012.p. 35 9. Gartner LP, Hiatt JL. Color textbook of histology. 3rd ed. USA. Saunders. 2007. p. 186-218 10. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology, vol.1. 12th Ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc; 2009.p 496 11. Zubieta JK, Dannal RF, Frost JJ. Gender and age influencs on human brain mu-opioid receptor binding measured by PET. Am J Psychiatry. 1999; 156(6): 842-8 12. Duvarci S, et al. Central Amygdala Activity during Fear Conditioning. The Journal of Neuroscience. 2011; 31(1): 289 –294 13. Siegel A, et al. Essential Neuroscience. Lippincott Williams & Wilkins.Philadelphia.2006.p. 219 14. Marieb EN, Hoehn K. Human Anatomy &Physiology.7th ed.Pearson Benjamin Cummings.San Fransisco.2007.p 445-454 15. Radak Z, Toldy A, Szabo Z, Siamilis S, Nyakas C, Silye G, et al. The effects of training and detraining on memory, neurotrophins, and oxidative stress markers in rat brain. Neurochemistry International. 2006; 49: 387-392 16. Goekint M, Roelands B, De Pauw K, Knaepen K, Bos I, Meeusen R. Does a period of detraining cause a decrease in serum brain-derived neurotrophic factor?. Neurosci Lett. 2010; 486(3): 146-9 17. Van Praag H, Shubert T, Zhao C, Gage FH. Exercise enhances learning and hippocampal neurogenesis in aged mice. The Journal of Neuroscience. 2005; 25(38): 8680-8685 18. Kubera M, Obuchowicz E, Brzeszcz J, Maes M. In Animal Models, Psychososial Stress-Induced (Neuro)Inflamation, Apoptosis, and Reduced Neurogenesis are Associated to the Onset of Depression. Progress in NeuroPsychopharmacology and Biological Psychiatry.2011;35: 744-759 19. Holzel BK, et al. Stress Reduction Correlates With Structural Changes in the Amygdala. Social Cognitive & Affective Neuroscience. 2009;5(1):11-17 20. Sah P, Faber ESL, Lopez De Armentia M, Power J. The Amygdaloid Complex: Anatomy and Physiology. Physiol Rev 2003; 83: 803–834 21. Gray TS, Bingaman EW. The Amygdala: Corticotropin-Releasing Factor, Steroids, and Stress. Critical Reviews in Neurobiology. 1996; 10(2):155-168 22. Mirescu C, Gould E. Stress and adult neurogenesis. Hippocampus Special Issue: Special Issue on Neurogenesi.2006;16(3): 233–238 23. Roozendal B, Barsegyan A, Lee S. Adrenal stress hormone, amygdala activation, and memory for emotionally arousing experiences. Progress in Brain Research. 2007; 167: 79–97 18