“Tentang Penggunaan Istilah Keagamaan”

advertisement
Bab I
Bulan Maret 2007
1.1. Gebrakan Universitas Islam Sultan Agung” ( Senin, 12 Maret 2007 )
Di saat banyak perguruan tinggi Islam banyak kemasukan virus liberalisme, Unissula berusaha
mengaplikasikan budaya Islami. Baca Catatan Akhir Pekan Adian ke1-185
Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang melakukan gebrakan penting dalam dunia
pendidikan Islam di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir ini, Unissula gencar mengkaji dan
mengaplikasikan budaya akademik Islami. Berbagai seminar, kajian, dan pelatihan dilakukan.
Tidak hanya itu. Unissula juga mencoba mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari di
kampus. Shalat jamaah diwajibkan untuk dosen dan mahasiswa. Merokok di kampus dilarang.
Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Apalagi untuk kalangan dosen. Memaksa semua dosen untuk
melakukan shalat jamaah saat berada di kampus juga bukan hal yang ringan. Unissula juga harus
rela kehilangan dana-dana sponsor ratusan juta rupiah yang berasal dari pabrik-pabrik rokok.
Belum lagi tindakan protes dari mahasiswa yang merasa dirugikan dengan peraturan itu.
Mulai Maret 2007 hingga beberapa bulan ke depan, bekerja sama dengan Insitute for the Study of
Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Unissula juga menggelar serangkaian acara Studi
Pengembangan Peradaban Islam. Acara ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam seputar
masalah keilmuan Islam yang bisa diaplikasikan di perguruan tinggi Islam.
Pada acara pembukaan, Rektor Unissula Dr. dr. Moh. Rofiq memaparkan visi dan misi kampus
Unissula. Universitas Islam ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1962 M (16 Dzulhijah 1369 H) oleh
Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung. Jadi, termasuk kampus yang cukup tua di Indonesia. Rektor
pertamanya adalah Mr. Bustanul Arifin (Prof. DR. H Bustanul Arifin, SH), seorang pakar dan
pejuang syariah Islam terkenal di Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah
Agung bidang Peradilan Agama.
Visi Unissula, sebagaimana disebutkan dalam website-nya, www.unissula.ac.id, sangat jelas, yaitu
membangun generasi khaira ummah (ummat terbaik), melalui upaya pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi atas dasar nilai-nilai Islam dan membangun peradaban Islam menuju
masyarakat sejahtera yang dirahmati Allah SWT dalam kerangka rahmatan lil a’lamin. Sedangkan
misi Unissula adalah menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam dalam rangka dakwah Islamiyah
yang berorientasi pada kualitas dan kesetaraan universal.
Geliat kampus Unissula Semarang dalam upaya membangun peradaban Islam ini perlu menjadi
renungan kita semua. Sebab, bukan rahasia lagi, bahwa saat ini begitu banyak kampus yang
membawa label Islam yang terkadang justru tidak mengembangkan tradisi keilmuan Islam. Di
kampus-kampus ini, ilmu-ilmu Barat dikaji dengan serius; fakultas-fakultas umum berkembang
dan dijejali mahasiswa; tetapi sebaliknya, fakultas agama Islam justru sepi peminat. Bahkan, ada
yang sudah gulung tikar. Lebih menyedihkan lagi, begitu banyak kampus Islam yang dosen dan
mahasiswanya justru aktif mengembangkan pemikiran yang merusak Islam. Namanyakampus
Islam, tetapi isinya bukan Islam lagi.
Untuk mempertahankan eksistensi Fakultas Agama Islam, Unissula bahkan rela mengucurkan
beasiswa bagi sejumlah mahasiswanya. Para mahasiswa dipilih dari kalangan santri yang
berkualitas, terutama yang hafidz Al-Quran. Bukan rahasia lagi, Fakultas Agama Islam sepi
peminat, karena dipandang tidak menjanjikan hari depan, atau susah cari kerja yang layak. Para
mahasiswa rela bayar ratusan juta rupiah untuk memasuki Fakultas Kedokteran, tetapi enggan
memasuki bidang studi Islam, meskipun gratis kuliahnya.
Di sinilah para dosen agama saat ini ditantang untuk mengubah citra Fakultas Agama Islam agar
tidak kalah dengan Fakultas Umum. Dosen-dosen agama haruslah orang yang cerdas, sangat
mencintai ilmu, memiliki semangat dakwah dan akhlak yang tinggi, sehingga mereka bisa menjadi
teladan bagi dosen-dosen bidang studi lain. Studi Islam di satu kampus Islam haruslah menjadi
induk dari bidang studi yang lain. Sebenarnya sangat aneh, jika satu kampus membawa label Islam,
tetapi justru studi Islamnya tidak dikembangkan. Padahal, kaum Yahudi dan Kristen saat ini sangat
getol mengambangkan studi Islam.
Salah satu ciri tradisi keilmuan Islam adalah menyatukan antara ilmu dan amal, antara ilmu dan
akhlak. Maka di dalam Islam, jika ada ilmuwan/ulama yang fasik atau rusak amalnya, dia tidak
diterima sebagai bagian dari ulama Islam. Para imam mazhab adalah orang-orang yang berilmu dan
berakhlak tinggi. Seorang yang berilmu Islam wajib mengamalkan ilmunya.
Dalam salah satu syair populer di kalangan santri yang tercantum dalam Kitab Zubad ialah: ”Wa
’aalimun bi ’ilmihi lam ya’malan, mu’adzdzabun min qabli ’ubbadil watsan.” (Dan orang yang
berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, maka dia akan diazab oleh Allah sebelum penyembah
berhala).
Sudahkah kampus-kampus Islam mendidik mahasiswanya agar menjadi orang yang berilmu tinggi
dan beramal shalih? Jika belum, maka cita-cita Unissula perlu diperhatikan. Kampus-kampus Islam
didirikan oleh para pendirinya dengan niat yang mulia, untuk mencetak ilmuwan atau ulama Islam
yang baik; bukan untuk melahirkan ilmuwan jahat; bukan ulama as-su’ (ulama jahat). Sebab,
lahirnya ulama jahat merupakan pertanda kerusakan besar di dalam Islam. Abu Darda’, seorang
sahabat Nabi Muhammad saw, menyatakan, bahwa yang paling beliau takutkan adalah jika nanti di
Hari Akhirat, Allah memanggilnya dan menanyakan: ”Apa yang telah kamu lakukan dengan apa
yang telah kamu ketahui?” (HR Baihaqi).
Rasulullah saw juga bersabda: ”Hendaklah kalian saling menasehati dalam hal ilmu. Sesungguhnya
pengkhianatan seseorang terhadap ilmunya lebih berbahaya daripada pengkhianatannya terhadap
hartanya. Dan sesungguhnya Allah akan menanyai kalian semua pada hari kiamat nanti.” (HR athThabrani).
Kecenderungan memisahkan ilmu dari amal dalam studi Islam model orientalis sangat perlu
menjadi perhatian kaum Muslim dewasa ini. Dari hari ke hari di kampus-kampus Islam semakin
berjubel alumni studi Islam di Barat yang terkadang membawa tradisi pemisahan ilmu dan amal.
Banyak guru dari para dosen itu adalah para orientalis yang pandai tentang ilmu-ilmu keislaman
tetapi tetap tidak beriman kepada Islam. Mereka pandai tentang Al-Quran tetapi tetap
tidak mengimani Al-Quran sebagai wahyu Allah. Mereka pandai tentang sejarah Nabi Muhammad
saw, tetapi tetap tidak mengimani kenabian Muhammad saw. Karena itu, para orientalis juga
mendidik para sarjana Muslim agar menjadi pengamat agama yang baik, tanpa harus menjadi orang
yang beragama yang sungguh-sungguh.
Karena mengikuti ’framework’ orientalis itu, tidak heran, jika banyak alumni studi Islam di Barat
yang begitu rajin mengkritik para ulama Islam, dengan bungkus ”studi kritis”. Mereka rajin
mengkritik Al-Quran, hadits, Imam Syafii, dan sebagainya, tetapi sangat hormat dan sama sekali
tidak kritis pada para pemikir Barat. Banyak juga yang melakukan spionase intelektual dengan
membongkar-bongkar kondisi umat dan lembaga-lembaga Islam, atas nama penelitian ilmiah.
Dan itu sangat wajar, karena beasiswa yang diberikan bukannya gratis begitu saja. Ada misi yang
dititipkan, meskipun tidak mesti dipatuhi oleh tiap mahasiswa. Maka, bagi mahasiswa yang merasa
berhutang budi atau melihat Barat sebagai kiblat hidup dan pemikirannya, sudah barang tentu akan
mengabdikan hidup dan pemikirannya kepada tuannya.
Tentu saja itu bukan salah negara-negara dan lembaga-lembaga Barat semata. Sangat bisa
dipahami jika mereka ingin menghegemoni pemikiran umat Islam dengan cara menyiapkan pusatpusat studi Islam yang canggih sekaligus beasiswa bagi para mahasiswa dari negara-negara
Muslim. Wajar, kalau pemberi beasiswa mengharapkan imbalan. Para kader didikan mereka akan
menjadi corong efektif untuk melestarikan hegemoni mereka dalam berbagai bidang. Tidak perlu
mereka yang turun sendiri mengajarkan liberalisme kepada umat Islam. Akan jauh lebih efektif jika
yang mengajarkan liberalisme adalah hasil didikan mereka. Apalagi, segala sesuatunya sudah
disiapkan - uang, kedudukan, fasilitas, kehormatan – baik ketika belajar maupun setelah tamat
belajar.
Karena itu sudah saatnya kita peduli dan mengoreksi sikap kurang peduli umat Islam pada
umumnya terhadap sektor studi Islam itu sendiri. Saat ini, Barat sedang gencar-gencarnya melatih
para sarjana dari kalangan Muslim untuk dididik dalam studi Islam, untuk nantinya diterjunkan ke
tengah-tengah umat Islam. Adalah aneh bin ajaib jika umat Islam masih terus bersikap tidak peduli
dan membiarkan mengalirnya ribuan sarjana Muslim untuk belajar Islam kepada kaum Yahudi dan
Kristen. Jika ini tidak dibenahi, maka akan terjadi kehancuran pemikiran dan peradaban Islam yang
sangat besar. Fitnah besar akan muncul dan mustahil peradaban Islam akan bisa dibangun.
Dalam pidato pembukaannya saat acara Studi Pengembangan Peradaban Islam di Unissula
tersebut, Direktur INSISTS, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, menguraikan karakter dan sejarah
pertumbuhan peradaban Islam, proses bangun-jatuhnya, serta bagaimana strategi untuk
membangunnya kembali dalam situasi saat ini. Upaya membangun peradaban Islam mesti dimulai
dari membangun ilmu pengetahuan Islam ; dan kampus Islam adalah lembaga yang strategis untuk
membangun peradaban Islam.
Dijelaskan oleh Dr. Hamid Zarkasyi, peradaban Islam dalam sejarahnya tumbuh dan berkembang
berlandaskan ilmu pengetahuan. Maka membangun kembali peradaban Islam yang sudah nyaris
roboh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan yang menjadi pondasi
peradaban Islam tersebut. Menegakkan bangunan ilmu pengetahuan maksudnya tidak lain adalah
dengan membangun kembali pola pikir manusia sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan
dalam Islam.
Jadi membangun peradaban Islam pada dasarnya bukan membangun sarana dan prasarana fisik
yang diberi label Islam, akan tetapi dengan mereorientasikan kerangka kerja (framework)
pemikiran umat Islam.
Karena posisi pemikiran dan peradaban Islam saat ini sedang terhegemoni oleh peradaban Barat,
maka dalam rangka merumuskan ilmu pengetahuan Islam, para ilmuwan Muslim perlu memahami
apa sebenarnya peradaban Barat. Karena itulah, dalam studi pengembangan peradaban Islam di
Unissula kali ini, dibahas beberapa tema tentang peradaban Barat, seperti sejarah peradaban Barat,
ekonomi Barat, sumber dan metode keilmuan Barat, serta karakter sains Barat. Materi-materi itu
akan dibawakan oleh sejumlah pakar dari Indonesia dan Malaysia.
Di hadapan sekitar 200 pimpinan kampus dan dosen-dosen Unissula, Hamid Zarkasyi, yang juga
wakil Rektor III Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor ini juga meyakinkan, bahwa Islam
adalah satu peradaban yang khas yang memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda
dengan peredaban mana pun. Tetapi, Islam tidak pernah apriori untuk menolak unsur-unsur dari
peradaban asing yang tidak merusak pandangan hidup Islam.
Karena itulah, Hamid mengajak segenap akademisi Muslim untuk tidak silau dan anti-pati terhadap
Barat. “Banyak yang dapat kita ambil dari peradaban Barat. Tetapi bukan pandangan hidupnya,”
ujarnya. Usai ceramah umum oleh Direktur INSISTS tersebut, acara dilanjutkan dengan studi
intensif yang diikuti sekitar 75 orang pimpinan Unissula. Tampak hadir dalam acara ini Rektor
Unissula dan para wakil rektor, para dekan, pembantu dekan I, dan dosen-dosen agama
Unissula. Ini menunjukkan, bahwa pimpinan Unissula sangat serius untuk melakukan
pengembangan peradaban Islam. Sehingga para pimpinan kampus itu sendiri terjun langsung dan
memberi contoh. [Depok, 8 Maret 2007/www.hidayatullah.com]
1.2. “Tentang Penggunaan Istilah Keagamaan” ( Senin, 05 Maret 2007 )
Diantara penyebab kekacauan berfikir kaum Muslim adalah masuknya istilah dan kosep asing.
Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-184
Belum lama ini, di deretan kios buku-buku bekas di sekitar perempatan Senen Jakarta, saya
menemukan sebuah buku berjudul “Beriman dengan Taqwa” terbitan satu penerbit Katolik di
Yogyakarta. Buku ini merupakan buku serial Pustaka Teologi dalam agama Katolik. Bagi orang
Muslim, judul buku semacam ini tentulah tidak asing, karena kata-kata iman dan taqwa memang
merupakan kosa kata resmi dalam agama Islam. Kata ’iman’ memiliki makna khusus, tidak bisa
diganti dengan istilah lain. Orang yang beriman kepada hal-hal yang wajib diimani, dalam istilah
Islam disebut sebagai orang ’mukmin’.
Karena itu, kata ’iman’ sebagai istilah khusus, tidak sama dengan kata ’percaya’. Kalimat ”Saya
percaya kepada Presiden” tidak bisa kita ganti dengan kalimat ”Saya beriman kepada Presiden”.
Begitu juga kata ’taqwa’ dalam agama Islam, memiliki makna khusus, yang bukan sekedar makna
bahasa (lughawi). Secara umum, orang-orang Islam yang taat kepada Allah, yang melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, disebut sebagai orang-orang yang
bertaqwa (muttaqun).
Tentulah, istilah Islam itu akan sangat aneh andaikan kita terapkan untuk orang di luar Islam.
Misalnya, karena dipandang memiliki kepercayaan yang kuat dan taat kepada agama Kristen, maka
George W. Bush, Billy Graham, dan sebagainya, lalu diberi julukan sebagai orang-orang Kristen
yang mukminun dan muttaqun. Atau, mereka disebut sebagai orang-orang Kristen yang shalihun
dan muhtadun (yang mendapat hidayah). Tentu sebutan itu akan sangat ganjil dalam pandangan
Islam.
Dengan membaca judul buku ”Beriman dengan Taqwa” dalam perspektif Katolik tersebut, kita
bertanya, bagaimana jika suatu ketika nanti di Indonesia berdiri sebuah gereja bernama ”Gereja atTaqwa” atau ”Gereja Shirathal Mustaqim”? Apakah hal itu bisa dibenarkan?
Saat ini, memang banyak istilah-istilah khas dalam Islam yang sudah diambil sebagai istilah-istilah
keagamaan dalam agama Kristen di Indonesia. Misalnya, istilah ’syahadat’, sudah digunakan baik
oleh Protestan maupun Katolik. Mereka menerjemahkan istilah ’Nicene Creed’ sebagai ”syahadat
Nicea”. Dalam sebuah buku berjudul ”Tanya Jawab Syahadat
Iman Katolik” (1992), disebutkan teks syahadat versi Katolik ini: “Kami percaya akan satu Allah,
Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu Tuhan
Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang
Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “
Dalam istilah Islam, syahadat memang merupakan rukun Islam yang pertama, yaitu ikrar bahwa
”Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan Allah.” Mungkin tidak terbayang di
benak banyak kaum Muslim, bahwa ada syahadat lain selain syahadat yang diajarkan oleh
Rasulullah, Muhammad saw.
Dalam istilah Islam, kata ’syahadat’, sudah memiliki makna khusus, yang tidak bisa begitu saja
digantikan dengan istilah’pernyataan’, ’kesaksian’, atau ’testimoni’. Karena itu, orang yang masuk
agama Islam, diminta membaca dua kalimah ’syahadat’; bukan diminta membaca dua kalimat
’testimoni’. Apakah bisa dibenarkan, jika orang yang masuk Islam lalu dikatakan, dia telah
’dibaptis’ secara Islam? Dalam tradisi Katolik ada istilah ’Konsili’ yang berarti pertemuan para
petinggi Katolik untuk merumuskan doktrin-doktrin penting dalam agama Katolik. Jika ulama
Islam melakukan pertemuan atau musyawarah, maka musyawarah itu tidak bisa disebut sebagai
’Konsili ulama Islam’, karena substansi acaranya memang berbeda.
Istilah-istilah Islam disebut oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai ’Islamic vocabulary’ (Kamus
Islam). Kata-kata atau istilah-istilah Islam ini bukanlah seluruh daftar kata dalam kamus bahasa
Arab, tetapi merupakan kata-kata tertentu yang memiliki pola makna saling berkaitan dan
membentuk satu ’pandangan hidup’ (worldview) yang khas Al-Quran. (Lebih jauh, lihat Syed
Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur; ISTAC, 1999).
Dari penjelasan itu, kita bisa memahami, bahwa istilah-istilah baku dalam Islam dipahami dengan
makna yang sama oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, meskipun mereka berbeda suku dan
bahasa. Kata Allah, iman, taqwa, shalih, shalat, haji, shaum, dan sebagainya, dipahami dengan
makna yang sama oleh umat Islam. Melalui penggunaan istilah-istilah kunci dalam Islam itulah,
menurut al-Attas, maka dalam sejarahnya, Islam melakukan Islamisasi bahasa-bahasa non-Arab,
seperti bahasa Melayu, Persi, Turki, Urdu, dan sebagainya. Bahkan, bahasa Arab sendiri juga
mengalami proses Islamisasi dengan turunnya Al-Quran. Sejumlah kata Arab diberi makna baru
yang sesuai dengan pandangan hidup Islam. Kata ’karam’ (mulia) yang sebelumnya dikaitkan
dengan unsur keturunan dan harta, diberi makna baru oleh Al-Quran dengan makna yang berkaitan
dengan ketaqwaan. (QS 49:13).
Karena Islam adalah agama yang bersifat benar dan final (QS 5:3), maka istilah-istilah kunci dalam
Islam juga memiliki makna standar yang tetap. Itu disebabkan sifat Al-Quran yang terjaga teks dan
maknanya. Sifat Al-Quran ini tentu berbeda dengan Bibel kaum Yahudi dan Kristen yang
mengalami perkembangan dan perubahan teks dari zaman ke zaman. Karena itulah, ada perbedaan
yang sangat besar antara tradisi Islam dengan tradisi Kristen dalam masalah penggunaan istilahistilah keagamaan.
Sebagai contoh, dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam sangat berdisiplin dalam menyebut
nama Tuhan dengan sebutan ’Allah’, dengan bacaan tertentu. Umat Islam seluruh dunia, dari
generasi ke generasi, dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, tidak berbeda dalam
mengucapkan lafaz ’Allah’, sebab teks Al-Quran dan cara membacanya juga tidak berubah dari
waktu ke waktu.
Tradisi ini sangat berbeda dengan kaum Kristen yang sangat beragam dalam menyebut dan
mengucapkan nama Tuhan. Di Arab, kaum Kristen ada yang menyebut Tuhan mereka dengan
sebutan 'Alloh', sama dengan orang Islam. Di Indonesia menyebut 'Allah'. Di Barat menyebut God
atau Lord. Di Indonesia, kini muncul aliran Kristen yang menolak penggunaan nama ’Allah’ dan
menggantinya dengan Yahweh.
Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya kelompok ’Iman Taqwa Kepada
Shirathal Mustaqim’ (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan
penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah
(BYH). Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang
pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000.
Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti
menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi
"Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan
Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab
Suci Umat Perjanjian Tuhan ini".
Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." Problem
penyebutan nama Tuhan atau nama nabi seperti dalam agama Kristen tersebut, tidak dijumpai
dalam Islam. Sebab, Islam memiliki Al-Quran yang teksnya, cara membacanya, dan maknanya
terjaga sepanjang zaman. Di sinilah terjadi perbedaan dalam soal penggunaan istilah-istilah
keagamaan antara Islam dan Kristen. Para ulama Islam selama berabad-abad dikenal memiliki
tradisi yang kuat dalam penggunaan istilah-istilah keagamaan. Banyak ulama yang secara khusus
menulis kamus dan kitab tentang definisi-definisi (ta’rifat).
Sebagian kalangan Kristen bahkan sengaja menggunakan istilah-istilah yang khas dalam Islam.
Sebagai contoh adalah penerbitan sejumlah buku dan brosur Kristen yang menggunakan juduljudul Islam. Misalnya, buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad Nurdin yang berjudul:
”Kebenaran Yang Benar (Asshodiqul Mashduq)”, ”Keselamatan
Didalam Islam”, ”Selamat Natal Menurut Al-Qur’an”, ”Rahasia Allah Yang Paling Besar”, ”Ya
Allah Ya Ruhul Qudus, Aku Selamat Dunia dan Akhirat”. Juga buku ”Upacara Ibadah Haji” karya
H. Amos, dan buku-buku karya Pendeta A. Poernama Winangun yang berjudul seperti ”Riwayat
Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, dan buku ”Ayat-ayat Al-Qur’an Yang
Menyelamatkan”.
Dalam buku ”Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, disebutkan, bahwa
yang dimaksud dengan hadits Nabi Muhammad saw, bahwa beliau meninggalkan dua perkara yang
harus dipegang teguh oleh umat Islam, adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan AlQuran dan Sunnah. ”Ada juga yang menggunakan brosur-brosur yang menggunakan nama-nama
Islam, seperti Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Yang dikeluarkan oleh
Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012). Ada juga sebuah buku Kristen berjudul
”al-Haqiqah al-Makhfiyah Dakhilul Quranil Karim” (Kebenaran Tersembunyi dalam Al-Quran alKarim). Buku ini berisi kumpulan ayat-ayat Al-Quran yang dihimpun dan disusun oleh Pendeta
Markus Agung.
Dalam masalah penggunaan istilah keagamaan ini, kiranya lembaga-lembaga keagamaan perlu
bertemu untuk merumuskan kode etik dalam penggunaan istilah. Yang menjadi masalah memang
lebih banyak bagi umat Islam, sebab penggunaan istilah dalam Islam sangat ketat. Idealnya, setiap
pemeluk agama memiliki displin dalam penggunaan istilah agamanya masing-masing dan tidak
mencampur aduk penggunaan istilah masing-masing agama.
Tetapi, tantangan yang lebih besar bagi umat Islam sekarang dalam soal penggunaan istilah justru
datang dari kalangan umat Islam sendiri, khususnya yang sudah terasuki oleh pemikiran Barat
sekular-liberal. Mereka-mereka inilah yang sekarang rajin memasukkan istilah-istilah dari tradisi
Yahudi dan Kristen ke dalam khazanah Islam kontemporer, seperti penggunaan istilah Islam
Liberal, Islam fundamentalis, Islam skripturalis, Islam pluralis, Islam inklusif, Islam Ortodoks, dan
sebagainya.
Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, misalnya, menulis satu naskah pengantar buku
berjudul ”Muhammadiyah: Islam Protestan.” Buku itu sendiri oleh penulisnya diberi judul:
”Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam”.
Dalam buku ini penulisnya menggunakan istilah yang campur aduk antara istilah Islam dan Kristen
yang sebenarnya memiliki akar sejarah dan konsep yang berbeda. Misalnya, ditulis dalam buku ini:
“Etika protestan puritan (protestan calvinis) atau reformasi protestan sepenuhnya bersandar kepada
pembacaan perjanjian lama dan perjanjian baru sebagaimana Muslim puritan Muhammadiyah
(Muhammadiyah calvinis) atau reformasi Muhammadiyah bersandar pada sumber asli Qur’an dan
Sunnah. Ia (Protestan Dahlanis) sebagai pedagang-pedagang yang jujur dalam bertransaksi… Ia
dikenal sebagai Muslim reformis-puritan yang asketis…
Seorang pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu 1913 menilai bahwa Ahmad Dahlan
adalah sebagai “prototipe warga Indonesia yang memiliki etika calvinis: tekun, militan, dan
cerdas.” (hal. Vi-vii).
Masuknya istilah-istilah asing yang mengacaukan konsep-konsep pokok dalam pandangan hidup
Islam disebut oleh Prof. Al-Attas sebagai ”de-Islamization of language”.
Masuknya istilah-istilah dan konsep-konsep asing yang merusak ’Islamic worldview’ inilah,
menurut al-Attas, yang menyebabkan kekacauan dalam pemikiran kaum Muslim. Dan saat ini,
tantangan ’de-Islamisasi bahasa’ yang dihadapi oleh umat Islam, jauh lebih berat dan lebih
kompleks daripada yang dihadapi oleh umat Islam di zaman Imam Ghazali, ketika beliau
menerbitkan bukunya, Tahafut al-Falasifah. Dalam kerusakan istilah dan konsep Islam ini, al-Attas
menyebut contoh masuknya penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran,
menggantikan Ilmu Tafsir, yang di Indonesia telah menjadi kurikulum wajib di berbagai Perguruan
Tinggi Islam.
Semoga kita termasuk yang berhati-hati dan selamat dalam menggunakan istilah-istilah keagamaan
kita, sehingga kita tidak terperosok dalam kekeliruan berpikir, apalagi kemudian membanggakan
dan aktif menyebarkan kekeliruan, sadar atau tidak! Amin. [Depok, 1 Maret
2007/www.hidayatullah.com]
Bab II
Bulan Februari 2007
2.1. “Penjajahan IMF di Indonesia” Minggu, 25 Pebruari 2007
“Penjajahan ekonomi” ala IMF kepada bansa Indonesia mirip dengan VOC seperti catatan
sejarah kita 400 tahun lalu. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-183
Beberapa waktu lalu, saya menerima kiriman tulisan dari Muhaimin Iqbal, seorang praktisi dan
pakar ekonomi syariah di Indonesia. Tulisan itu cukup menarik, karena mengupas secara teknis,
aspek-aspek penjajahan ekonomi Indonesia oleh sebuah lembaga internasional bernama
International Monetary Fund (IMF). Pada catatan kali ini, kita akan menyimak sebagian dari isi
tulisan Iqbal tentang penjajahan IMF di Indonesia tersebut.
Apa itu IMF? IMF bersama Bank Dunia (World Bank) dilahirkan melalui pasal-pasal perjanjian
(Articles of Agreement) yang dirumuskan dalam koferensi internasional di bidang moneter dan
keuangan di Bretton Woods, New Hampshire, USA, 1-22 Juli 1944. Perjanjian yang melahirkan
apa yang kemudian dikenal dengan Bretton Woods Sistem ini intinya mewajibkan seluruh egara
penanda tangan perjanjian tersebut (awalnya 44 negara) untuk mengkaitkan nilai tukar mata
uangnya (pegged rate) terhadap emas dengan kelonggaran hanya plus minus 1 %.
IMF yang secara resmi berdiri tanggal 27 Desember 1945 setelah 29 negara menanda tangani
Articles of Agreement, memiliki tugas utama untuk mengawasi agar negara-negara penanda tangan
tersebut mematuhi apa yang telah disepakatinya, bahkan apabila ada penyimpangan diatas plus
minus 1% maka perlu persetujuan khusus dari IMF. Sesuai kesepakatan ini pula Dollar Amerika
di-peg-kan ke emas dengan rate US$ 35 per troy ounce emas.
Ironinya adalah Amerika Serikat yang menjadi promotor Bretton Woods dan juga IMF, ternyata
juga menjadi negara pertama yang secara diam-diam melanggar kesepakatan bersama tersebut.
Bahkan kecurangan ini mulai mendapatkan protes oleh sekutu Amerikat Sendiri yaitu Generale De
Gaulle dari Perancis yang pada tahun 1968 menyebut kesewenang-wenangan Amerika sebagai
mengambil hak istimewa yang berlebihan (exorbitant privilege).
Keingkaran Amerika Serikat mencapai puncaknya ketika secara sepihak Amerika Serikat
memutuskan untuk tidak lagi mem-peg-kan (mengkaitkan) dollar-nya dengan cadangan emas yang
mereka miliki – karena memang mereka tidak mampu lagi! Kejadian yang disebut Nixon Shock
tanggal 15 Agustus 1971 ini tentu mengguncang dunia karena sejak saat itu sebenarnya Dollar
Amerika tidak bisa lagi dipercayai nilainya sampai sekarang.
Yang menarik adalah, dari keingkaran Amerika Serikat ini seharusnya masyarakat dunia sudah
menyadari bahwa IMF telah gagal menjalankan fungsinya untuk mengawasi para anggota agar
mem-peg-kan mata uangnya terhadap emas dan tidak lebih dari plus minus 1 %. Kegagalan IMF
menjalankan fungsi utama ini-pun seharusnya otomatis membuat IMF bubar karena tidak ada lagi
alasan untuk menjustifikasi keberadaannya.
Namun apa yang terjadi kemudian adalah hal yang justru dapat membongkar siapa sebenarnya
IMF. Hanya sekitar empat bulan setelah tanggal yang seharusnya menjadi tanggal kematian IMF,
yaitu 15 Agustus 1971, pada tanggal 18 Desember 1971, IMF justru dihidupkan kembali dalam
bentuknya yang baru melalui perjanjian yang disebut sebagai Smithsonian Agreement dan ditanda
tangani di Smithsonian Institute. Dari dua nama yang terakhir ini tentu tidak terlalu sulit bagi kita
untuk memahami, minimal ‘keeratan hubungan’ antara IMF dan Yahudi.
Bagaimana dengan Indonesia, sebagai salah satu anggota IMF? Iqbal mengajak kita untuk melihat
kembali peristiwa tanggal 15 Januari 1998, dimana Presiden Republik Indonesia (Soeharto) harus
mengikuti kemauan IMF dengan menanda tangani 50 butir kesepakatan. Upaya Soeharto untuk
membuat solusi alternatif dengan sistem CBS ditentang oleh IMF dan pemimpin Negara-negara
besar. Di dalam negeri, para ekonom dan media massa juga berteriak menolak solusi CBS yang
dibawa oleh Prof. Steve Henke.
Akhirnya, Soeharto tunduk kepada kemauan IMF dan menandatangani Letter of Intent. Di butirbutir tersebut-lah Indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya sejak 15 Januari 1998. Berikut
adalah sebagian kecil dari butir-butir kesepakatan dengan IMF yang menunjukkan bahwa
kedaulatan ekonomi dan moneter itu lepas dari tangan kita:
1. Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya
pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud. Maka lahirlah Undang-undang
no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Pertanyaannya adalah, seandainya Indonesia masih
berdaulat, mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus dipaksakan
oleh pihak asing?. Kalau Undang-Undangnya dipaksakan oleh pihak asing – yang diwakili oleh
IMF waktu itu, terus untuk kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat? Dalam salah satu
pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF
hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang
no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Lantas hal ini menyisakan pertanyaan besar
– siapa yang mengendalikan uang di negeri ini? Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia
memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa
mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia. Tetapi ironisnya justru
Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of
Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal
berikut :
o Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau
institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota.
o Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti
aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan
emas sebagai patokan nilai tukar.
o Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan
moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota
terhadap aturan IMF.
o Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF
untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, expor impor emas, neraca
perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya.
Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak
yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia
dikendalikan oleh Bank Indonesia. Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi
tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari
pengaruh kendali IMF. Butir-butir sesudah ini hanya menambah panjang daftar bukti yang
menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin negeri ini.
2. Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan
asing pada bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah
pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang.
3. Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara,
minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik
maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari
lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat
vital yaitu Indosat.
Hal-hal tersebut diatas, baru sebagian dari 50 butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF.
Namun dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan
korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing (yang oleh John Perkins disebut sebagai
korporatokrasi yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah,
yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita.
Sama dengan Penjajahan VOC
Penjajahan ekonomi ala IMF ini mirip dengan catatan sejarah kita 400 tahun lalu, berikut
petikannya:
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda
namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda:
Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap
perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602.
Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah
di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di
kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang
mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan
Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau
mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan
pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala.
VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa itu, dan bertempur dalam beberapa
peperangan
yang
melibatkan
pemimpin
Mataram
dan
Banten.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia).
Jadi kehilangan kedaulatan dibidang ekonomi yang kita alami sekarang sebenarnya hanya
pengulangan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia empat abad silam, secara visual kehilangan
kedaulatan ini seolah tercermin dari foto yang menghiasi halaman media masa setelah kesepakatan
tersebut ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia didepan petinggi IMF saat itu - Michel
Camdessus.
Demikian petikan ringkas dari fenomena penjajahan terhadap Indonesia dari VOC ke IMF
sebagaimana dipaparkan oleh Muhaimin Iqbal. Menurut Iqbal, saat dijajah oleh VOC, masih
banyak pemimpin dan rakyat yang sadar, bahwa mereka dijajah. Tetapi, saat ini, tidak banyak yang
sadar akan realitas penjajahan oleh IMF. Yang lebih mengerikan, banyak cendekiawan yang
menjadi pendukung IMF dan mendukung tindakan serta kebijakan IMF di Indonesia. Disamping
masalah moralitas, ada masalah pendidikan ekonomi liberal yang diajarkan pada berbagai jenjang
pendidikan di Indonesia.
Seorang kandidat doktor bidang ekonomi di Universitas Airlangga Surabaya menceritakan bahwa
sejauh penelitiannya, semua kurikulum di fakultas ekonomi memang bermuatan ekonomi liberal.
Karena itu, jika ingin merdeka dari penjajahan ekonomi, maka yang pertama kali harus
dimerdekakan adalah ”pikiran” dan ”mental” terlebih dahulu. Dan itu harus dilakukan melalui
lebaga pendidikan. Adalah mustahil bisa merdeka, jika para ilmuwan ekonomi masih melihat
bahwa penjajahan IMF adalah rahmat bagi Indonesia. Wallahu a’lam. (Depok, 23 Februari
2007/www.hidayatullah.com]
2.2. ”Diskusi Sabtuan INSISTS: Relativisme Beragama” Jumat, 16 Pebruari 2007
Mengerikan, virus relativisme dalam penafsiran Al-Quran telah menyebar di kalangan intelektual
Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-182
Pada hari Sabtu, 17 Februari 2007, besok, diskusi sabtuan di INSISTS (Institute for the Study of
Islamic Thought and Civilization) akan membahas masalah paham ‘Relativisme Beragama’.
Pemakalahnya adalah Henri Shalahuddin MA, peneliti INSISTS yang juga dosen Sekolah Tinggi
Ilmu Dakwah Mohammad Natsir.
Tema ini adalah tema yang sangat penting dan mendasar dalam diskusi tentang pemikiran
keagamaan dewasa ini. Hampir tidak ada satu pun kalangan pemikir liberal yang menolak
keabsahan paham relativisme dalam beragama. Mereka biasanya berargumen bahwa manusia
adalah makhluk relatif, dan karena itu tidak mungkin memahami kebenaran sejati. Yang tahu
kebenaran itu hanyalah Allah. Karena itu, sebagai konsekuensinya, mereka mencegah manusia
untuk melakukan tindakan penghakiman pemikiran dan pemutlakan pendapat.
Seperti yang disebutkan dalam hasil penelitian Litbang Departemen Agama tahun 2006 lalu
tentang paham Islam Liberal di Yogyakarta, bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran
agama, bagi penganut paham Islam Liberal, adalah tidak adanya tafsir dan pemahaman absolut
terhadap agama. ”Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau
salah,” begitu salah satu hasil penelitian Departemen Agama.
Inilah salah satu contoh bentuk aplikasi paham relativisme beragama, yakni tidak memiliki sikap
dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, menurut mereka, tidak ada
pemahaman absolut dalam agama; yang ada adalah kebenaran relatif. Karena itulah, mereka tidak
bersikap dalam hal kebenaran dan kesalahan.
Kita bisa bayangkan, bagaimana dampak paham seperti ini terhadap orang yang beragama. Mereka
akan bersikap individual, tidak peduli terhadap kemunkaran yang berlaku di tengah masyarakat,
karena mereka menganggap agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan.
Padahal, dalam Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah ajaran yang sangat penting, yang
berkaitan dengan keimanan seseorang. Rasulullah saw menggambarkan orang yang hanya sanggup
melawan kemunkaran dengan hatinya, tanpa tindakan apa pun, sebagai ’selemah-lemah iman’
(adh’aful iman).
Jadi, orang yang mengetahui kemunkaran, tetapi tidak berbuat apa-apa, kecuali benci dengan hati,
sudah dikategorikan sebagai ’selemah-lemah iman’. Kita bertanya, bagaimana dengan orang yang
sudah tidak tahu lagi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar? Bahkan, bagaimana dengan orang
yang mengajarkan dan menyebarkan paham bahwa yang ma’ruf sama saja dengan yang munkar,
karena manusia tidak berhak mengklaim dirinya benar dan yang lain salah? Tentulah paham seperti
ini sangat keliru dan ’keblinger’.
Mungkin tanpa disadari oleh penyebar paham relatvisme beragama, bahwa mereka sudah
meruntuhkan satu pilar Islam yang sangat kokoh, yakni keyakinan akan kebenaran Islam dan
kewajiban mendakwahkannya. Mungkin ada yang bermaksud, agar kaum Muslim jangan
memutlakkan pendapatnya dalam hal-hal furu’iyyah, sehingga tercipta keharmonisan kehidupan
umat Islam. Sedangkan dalam hal-hal yang ushul (aqidah), maka tidak ada perbedaan diantara
umat Islam.
Jika yang mereka maksudkan adalah semacam ini, yakni kerelativan dalam masalah furu’iyyah,
maka tidak menjadi masalah. Tetapi, faktanya, para pendukung paham relativisme beragama, tidak
membatasinya hanya dalam hal furu’iyyah. Dalam semua aspek keagamaan, kata mereka,
pemahaman manusia adalah relatif. Mereka senantiasa membedakan antara ’agama’ yang bersifat
mutlak dengan ’pemahaman’ atau ’pemikiran terhadap agama’ yang bersifat relatif.
Inilah pemikiran yang salah. Sebab, pembedaan semacam ini pada akhirnya menempatkan agama
sebagai hal yang tidak pernah bisa dipahami oleh manusia, karena agama bersifat mutlak,
sedangkan manusia bersifat relatif. Prof. Naquib al-Attas pernah mengkritik pemahaman semacam
ini, dengan menyatakan, bahwa pemahaman relativisme seperti itu sama saja dengan melecehkan
Allah SWT. Sebab, itu sama saja dengan menuduh Allah SWT telah menurunkan Kitab (wahyuNya) yang tidak pernah bisa dipahami oleh manusia. Padahal, Kitab itu diturunkan untuk manusia.
Tetapi, ironisnya, pemahaman relativisme beragama semacam itu, justru menggejala dan menjadi
tren di kalangan pemikir-pemikir modern serta banyak dosen di perguruan tinggi Islam. Sebagai
contoh, dalam bukunya "Pintu-pintu Menuju Tuhan", Nurcholish memandang bahwa relativisme
adalah suatu keniscayaan fenomenal yang muncul dari setiap orang yang berusaha memahami
suatu agama. Pemahaman ini, kata Nurcholish, tidak bisa serta merta disebut sebagai agama, sebab
pemahaman keagamaan setiap individu pasti berbeda dengan individu lainnya. Berkenaan dengan
hal ini, dia berkata, "Pemahaman orang atau kelompok terhadap agama tidak sebanding dengan
nilai agama itu sendiri".
Dalam kolom opini Republika, (29/12/2006), Syafii Maarif berpendapat bahwa kebenaran AlQuran adalah mutlak, karena berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi kemutlakan tersebut menjadi
nisbi saat memasuki otak dan hati manusia. Maka segala penafsiran tentang Al-Quran tidak pernah
mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya.
Dalam kolom Resonansi Harian Republika (7/11/2006), ia juga menyatakan: "Bagi seorang
beriman, yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi."
Kemudian Syafii memandang orang yang memutlakkan penafsirannya, berarti ia telah mengambil
alih otoritas Tuhan, yang artinya sejajar dengan syirik.
Tokoh liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, dalam bukunya Naqd al-Khithab al-Dini (1992)
juga berpikiran, bahwa dalam memahami makna Al-Quran, maka harus diserahkan secara mutlak
kepada pembaca teks (manusia) -- dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya.
Manusialah sebagai hakim yang menentukan penafsiran. Menurutnya, teks bukan lagi milik Tuhan,
tapi sudah menjadi milik pembacanya. Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini
mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia)
dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia.
Virus relativisme dalam penafsiran Al-Quran ini sudah menyebar begitu luas. Yang paling
mengerikan, virus sejenis ini pun sudah menjangkiti banyak dosen perguruan tinggi Islam,
sehingga dengan mudah akan menularkannya kepada para mahasiswa. Lima atau sepuluh tahun
lagi, mahasiswa pengidap virus ini pun akan terjun ke masyarakat, sebagai guru agama, birokrat di
departemen agama, menjadi hakim agama, khatib Jumat, mubaligh, dan sebagainya, yang pada
akhirnya juga ikut menyebarkan virus pemahaman semacam ini ke tengah masyarakat. Barangkali
mereka tidak sadar sedang mengidap virus yang sangat berbahaya, yang dapat meruntuhkan
bangunan pemahaman Islam. Bahkan, banyak yang bangga dengan penyakit yang dibawanya.
Sebab, dengan menyebarkan virus relativisme semacam itu, mereka bisa berkiprah di dunia
akademis dan disanjung-sanjung sebagai cendekiawan Muslim yang berkualitas tinggi, yang
berpikir ilmiah-objektif, dan telah meninggalkan pola pikir subjektif-dogmatis.
Beberapa waktu lalu, di sebuah toko buku di Jakarta, saya menemukan satu buku berjudul
”Dinamika Baru Studi Islam” karya dua orang dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya. Keduanya
sedang menempuh program doktor dalam studi Islam di Australia. Buku yang terbit tahun 2005 ini
diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Virginia Matheson Hooker dari Australian National University.
Dalam pengantarnya, Prof. Virginia Hooker memuji buku ini sebagai penerus studi Islam yang
telah dirintis oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Menurutnya, Harun Nasution (1919-1998) saat ini
diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di
Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenalkan pendekatan pemahaman
Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik
dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977).
Buku ini, kata Virginia Hooker, merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat
metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya.
Jika ditelaah, isi buku ”Dinamika Baru Studi Islam” ini pun tak luput dari jangkitan virus
relativisme. Disamping itu, buku ini juga mendukung model studi Islam yang dikembangkan para
orientalis, yang memisahkan antara aspek pemahaman dengan aspek keyakinan dan amal. Sebagai
contoh, ditulis dalam buku ini:
”bahwa agama, yang merupakan refleksi dari kemauan Tuhan secara konseptual ilmiah, bersifat
mutlak, namun ketika turun kepada manusia, telah menjadi relatif, tergantung pada latar belakang
dan kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman atau penangkapan terhadap pesan-pesan
agama akan berbeda dari satu orang ke orang lain. Perbedaan itu harus diakui keberadaannya, dan
tidak boleh terjadi pemaksaan pemahaman. Dalam kaitannya dengan penemuan otentisitas Islam,
maka otentisitas itu ada pada tataran individual. Yakni, Islam otentik adalah Islam yang merupakan
hasil pemahaman atau keyakinan seseorang terhadap wacana-wacana keislaman yang dia terima,
dan hasil tersebut tidak boleh diintervensi oleh kekuatan sosial di luar dirinya.” (hal. 87-88).
Cobalah kita renungkan ungkapan para dosen IAIN Surabaya itu. Betapa aneh dan rancunya cara
berpikir mereka. Dengan cara berpikir seperti itu, maka sama saja mereka menafikan otoritas Nabi
Muhammad saw, para sahabat nabi, para ulama Islam, sebagai penafsir Al-Quran yang otoritatif
dan perlu diikuti. Sebab, semua pemahaman orang – siapa pun dia – dianggap memiliki derajat
yang sama. Ini berimbas pada persoalan otentisitas Islam itu sendiri.
Menurut para dosen IAIN Surabaya ini, ’Islam otentik’ itu sendiri sudah tidak bisa ditemukan lagi,
sebab Islam otentik sangat tergantung kepada pemahaman manusia yang berubah-ubah setiap
waktu dan tempat. Maka mereka menulis: ”Islam yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda dengan di
Timur Tengah. Hal ini dikarenakan perbedaan pemahaman masyarakatnya akibat setting ruang
yang tidak sama. Begitu pula Islam yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang
dipahami gerenasi abad pertengahan maupun abad modern ini.” (hal. 84).
Buku yang ditulis oleh dua dosen IAIN Surabaya ini adalah contoh, bagaimana dampak serius dari
virus relativisme beragama. Kita sangat kasihan kepada mereka. Jauh-jauh sekolah ke luar negeri
akhirnya mengimpor pemahaman yang aneh bagi umat Islam. Kita kasihan dengan mahasiswa
yang diajar oleh mereka. Apakah para dosen IAIN Surabaya ini tidak mampu melihat bahwa
sepanjang sejarahnya, Islam adalah agama yang satu dan memiliki kitab suci yang satu dan
maknanya pun terjaga dengan baik. Karena teks Al-Quran adalah wahyu – lafaz dan maknanya dari
Allah – maka sepanjang sejarah Islam, para mufassir Al-Quran tidak tergantung pada masalah
waktu, tempat, gender, dan sebagainya.
Karena itu, para mufassir Al-Quran dan umat Islam tidak pernah berbeda dalam hal-hal yang
pokok dalam Islam. Cobalah kita renungkan, hanya umat Islam yang mengucap nama Tuhannya
dengan lafaz yang sama di seluruh dunia, yaitu ”Allah”, tidak berbeda karena faktor waktu dan
tempat. Padahal, hingga kini, kaum Yahudi dan Kristen masih berdebat tentang siapa nama Tuhan
mereka. Umat Islam tidak pernah mengangkat Muhammad saw sebagai Tuhan atau anak Tuhan,
betapa pun umat Islam sangat mencintai Rasulullah Muhammad saw, dan selama 24 jam menyebut
namanya dalam shalat. Umat Islam shalat menghadap kiblat yang satu; takbir, ruku’, sujud, salam,
dengan cara yang satu. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja dengan tenang, karena cara
ibadahnya sama. Semua umat Islam berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Umat Islam berhari Raya
Idul Fithri pada 1 Syawal dan ber-Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Umat Islam sepanjang sejarah
mengakui kewajiban zakat. Umat Islam sepanjang sejarah melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci,
bukan di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Itulah Islam yang otentik. Islam yang satu. Islam yang sama sepanjang sejarahnya, dari generasi ke
generasi, dari satu tempat ke tempat lain. Tidak ada yang namanya Islam Arab, Islam Jawa, Islam
Cina, Islam Amerika, Islam Hongkong, dan sebagainya. Juga tidak ada yang namanya ”Islam abad
ke-7”, ”Islam abad ke-10”, atau ”Islam abad ke-21”. dan sebagainya. Islam adalah Islam, yang
sama antara satu generasi dengan generasi yang lain. Sama antara satu tempat dengan tempat
lainnya. Tidak ada perbedaan dalam hal-hal yang pokok seperti ini. Islam adalah agama yang satu.
Tentu saja, ada perbedaan dalam hal aplikasi ajaran Islam pada satu tempat dengan tempat lain atau
satu kurun waktu dengan kurun waktu lainnya. Dulu, tidak ada keran air untuk berwudhu, sekarang
sudah ada. Tapi, cara berwudhu tidak berubah. Dulu tidak ada buldozer untuk menggali kuburan.
Tetapi, cara menguburkan jenazah tidak berubah dari zaman ke zaman. Dulu tidak ada loudspeaker
untuk mengumandangkan azan, sekarang sudah ada. Tetapi, lafazh azan tidak berubah dari waktu
ke waktu, sampai kiamat.
Adalah tidak sepatutnya, para dosen IAIN Surabaya itu menyamakan Islam dengan agama Yahudi
dan Kristen yang sudah menjadi agama yang banyak, dengan nama Tuhan dan cara ritual yang
berbeda-beda pula. Sebagai agama sejarah, agama Yahudi dan Kristen, mengalami perubahan
dalam konsep teologis dan ritual, sejalan dengan proses sejarah. Begitu juga dengan agama-agama
lain. Karena itu, bisa ditemukan konsep teologis dan cara ritual yang berbeda dari waktu ke waktu,
dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebab, teks Kitab Suci mereka pun berubah dari waktu ke
waktu, dan dari satu tempat ke tempat lain. Disamping itu, mereka juga tidak memiliki ’model’
(uswah hasanah) yang satu dalam melaksanakan ajaran agamanya, sebagaimana umat Islam
memiliki ’model’ yang sempurna untuk dicontoh, yaitu Nabi Muhammad saw.
Demikianlah contoh kasus bahaya virus relativisme beragama yang banyak menjangkiti kaum
intelektual dan akademisi di perguruan tinggi Islam saat ini. Kita menyayangkan, banyaknya
akademisi Muslim yang tidak siap mental dan ilmu ketika belajar Islam ke Barat, sehingga mudah
terjebak pada metodologi studi agama yang berlatarbelakang problema agama Yahudi dan Kristen.
Kemudian, tanpa pikir panjang, mereka menjiplak begitu saja metodologi ilmu-ilmu sosial
humaniora itu ke dalam studi Islam. Sebab, metode itulah yang kini sedang ’laku’.
Mudah-mudahan kita memiliki kekebalan iman dan ilmu yang memadai untuk menangkal virus
pemikiran relativisme beragama yang semakin mengganas ini. Amin. [Depok, 16 Februari
2007/www.hidayatullah.com]
2.3. "Museum HAMKA" Senin, 05 Pebruari 2007
Di Sumatera ada Museum Hamka. Tapi tak ada museum Imam Syafii atau Museum Imam Ghazali
Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-181
Pada tanggal 23 Januari 2007, bersama Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, saya berkesempatan
mengunjungi Museum Hamka di Maninjau, Sumatera Barat. Kami diantar oleh Bapak Mustamir,
ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Sumatera Barat. Museum ini memuat banyak koleksi
Hamka, mulai buku, jubah, topi, sampai alat pancing yang digunakan Hamka masa kecil. Bagi
saya, kunjungan ke Museum Hamka ini sangatlah berkesan. Untuk pertama kali, saya sempat
menginjakkan kaki di tanah kelahiran seorang tokoh dan ulama yang sudah saya baca berbagai
karya dan tulisannya, sejak duduk di bangku SMP Negeri 1 Padangan Bojonegoro, Jawa Timur,
tahun 1977.
Tulisan Hamka di rubrik “Dari Hati ke Hati” dalam majalah Panji Masyarakat (Panjimas) hampir
tidak pernah saya lewatkan. Melalui berbagai tulisan Hamka, saya sudah mengenal bahaya paham
sekularisme, termasuk para tokohnya, seperti Kemal Attaturk, yang dalam buku sejarah SMP dipuji
sebagai pahlawan besar. Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sudah habis saya baca ketika
SMP. Ketika duduk di bangku SMA, buku Tasauf Modern karya Hamka, sering saya bawa ke
sekolah, karena buku ini memberikan semangat yang tinggi untuk berprestasi. Saya menitikkan air
mata ketika membaca tulisan Hamka di Majalah Panjimas yang mempertahankan fatwa haramnya
merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beliau memilih mundur sebagai Ketua MUI,
ketimbang harus mencabut fatwa Natal tersebut, karena didesak pemerintah. Tak lama kemudian,
beliau meninggal dunia.
Maka, adalah satu karunia besar, ketika tahun 2007 ini saya diberi kesempatan Allah untuk
menyaksikan museum Hamka di Maninjau. Bangunannya cukup indah, berlokasi tepat di depan
Danau Maninjau yang juga amat sangat indah. Bagi setiap penulis, pemandangan yang sangat
indah itu tentu dapat memberikan inspirasi besar. Tidak diragukan lagi, Hamka adalah seorang
tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Kabarnya, ada lebih dari 300 judul
buku yang sudah diterbitkan. Tetapi, sayangnya, yang ada di Museum Hamka itu hanya beberapa
puluh judul buku saja.
Hamka lahir 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Beliau
meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah,
disingkat menjadi HAMKA. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal
sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya
dari Makkah pada tahun 1906. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal,
seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya
sendiri.
Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan
ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan
sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah.
Pada 1977, Menteri Agama Indonesia, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majlis
Ulama Indonesia, dan tahun 1981 ia meletakkan jabatan karena soal fatwa Natal tersebut. Hamka
juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante
Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955.
Di dunia pers, kiprah Hamka juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan
beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan
Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada
tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang
sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya,
seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor
Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974.
Membaca kisah hidup dan perjuangan Hamka, kita akan terkenang pada seorang tokoh yang sangat
gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Hamka sangat gigih dalam
mengembangkan keilmuan Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi
yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya
berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta
memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan
Islam.
Tulisan-tulisan Hamka jauh dari penanaman semangat paham relativisme atau skeptisisme.
Seharusnya, ruh ilmu, perjuangan, dan dakwah itulah yang diteruskan oleh gerenasi pelanjut
Hamka, khususnya para ilmuwan muslim di Sumatera Barat. Hasil karya Hamka perlu dikaji,
diteliti, dan dikembangkan lebih jauh. Harusnya, saat ini di Sumatera Barat sudah berdiri --bukan
hanya museum Hamka-- tetapi juga Pusat Studi Hamka yang menghimpun seluruh karya Hamka,
termasuk dokumen-dokumen pribadi yang mungkin belum pernah diterbitkan, juga buku-buku,
tesis, disertasi tentang Hamka yang kini tersimpan di berbagai universitas di Barat. Di Pusat Studi
Hamka itulah para peneliti dari berbagai dunia bisa datang dan melakukan penelitian.
Keberadaan Museum Hamka bisa dijadikan sebagai langkah awal untuk membangun Pusat Studi
Hamka semacam itu. Sebab, sungguh tidak sepatutnya jika Hamka “dimuseumkan”. Tidak ada
tradisi ulama kita untuk dimuseumkan. Kita tidak pernah mengenal ada Museum Imam Syafii,
Museum Imam Ghazali, Museum Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Yang perlu kita warisi dan kita
kembangkan dari para ulama dan tokoh-tokoh kita adalah ilmu dan perjuangannya. Maka, bukubuku dan seluruh karya mereka harus kita letakkan di tempat yang terhormat. Kaum Muslim
Indonesia tidak akan mengenal tokoh-tokoh kita sendiri, jika para cendekiawan, ulama, dan tokohtokoh umat Islam tidak mengembangkan warisan tradisi ilmu dari para pendahulu kita.
Krisis seperti ini sudah begitu tampak. Banyak aktivis Islam yang mengenal nama-nama Hasan alBanna, Taqiyyudin al-Nabhani, Yusuf al-Qaradhawi, dan sebagainya. Tetapi, mereka mungkin
sama sekali tidak mengenal Hamka, Natsir, AR Sutan Mansur, Agus Salim, Nuruddin al-Raniri,
Yusuf Maqassari, dan sebagainya. Disamping mengenal tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan
dunia, sudah seharusnya generasi muda Muslim juga mengenal para pejuang Islam di wilayah
Nusantara ini. Sebab, merekalah yang telah berjasa besar dalam menyebarkan, menjaga, dan
mengembangkan Islam di wilayah Nusantara.
Penyebaran Islam di wilayah Nusantara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Brunei)
merupakan suatu proses perjuangan yang sangat hebat. Bagaimana satub kawasan yang selama
ratusan tahun didominasi oleh kepercayaan animis, Hindu, Budha, kemudian berubah menjadi
kawasan Islam melalui proses dakwah. Jika kita telaah sejarah masuk dan penyebaran Islam di
wilayah Nusantara ini, kita akan menemui banyak tokoh dan figur yang sangat hebat kualitasnya.
Sebutlah contoh kasus para wali yang menyebarkan Islam di Indonesia. Dalam bukunya, Sejarah
Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia, (1981), KH Saefuddin Zuhri mencatat,
Maulana Malik Ibrahim memulai dakwahnya di wilayah Gresik pada tahun 1399. Berdasarkan batu
nisan makamnya, Maulana Malik Ibrahim meninggal tahn 1419. Berarti, dalam waktu sekitar 20
tahun, wali ini telah berhasil mencetak kader-kader dakwah unggulan di tanah Jawa, mengingat
para wali di Jawa adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim.
Dari hasil perkawinannya dengan salah satu putri Kerajaan Cempa, lahirlah Raden Rahmat, yang
kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Saifuddin Zuhri mencatat bahwa perkawinan Maulana
Malik Ibrahim dengan Putri Kerajaam Cempa itu menunjukkan adanya hal yang luar biasa pada
diri sang wali. Dua putri Cempa lainnya dikawinkan dengan Raja Majapahit. Jadi, kedudukan
Maulana Malik Ibrahim setara dengan Raja Majapahit. “Kalau tidak karena pribadi Maulana Malik
Ibrahim yang hebat sekali, tidak mungkinlah rasanya akan disejajarkan dengan seorang raja
kerajaan Majapahit, “ tulis Saifuddin Zuhri.
Para wali yang menyebarkan Islam di Jawa adalah para ulama yang sangat gigih dalam
memperjuangkan Islam. Saudara Maulana Malik Ibrahim, yakni Maulana Ishaq, mempunyai putra
Raden Paku (Sunan Giri) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Maulana Malik Ibrahim
berhasil mendidik santri-santrinya menjadi mubaligh-mubaligh Islam yang sangat gemilang.
Anaknya sendiri, Sunan Ampel, kemudian diserahi oleh para santri Maulana Malik Ibrahim untuk
memimpin pesantren ayahnya. Kepemimpinan dan ilmunya diakui oleh masyarakat luas. Dia
kemudian diambil menantu oleh Raden Ario Tejo, seorang Adipati Kerajaan Majapahit yang
sangat berpengaruh. Salah satu santri Sunan Ampel adalah Raden Patah, putra Raja Majapahit, Sri
Kertabhumi. Sunan Ampel memiliki enam orang anak, diantaranya ialah Sunan Bonang dan Sunan
Drajat.
Kisah-kisah gemilang para pejuang Islam di wilayah Nusantara ini harus terus digelorakan kepada
generasi muda Islam, agar mereka tidak buta sejarah dan tidak tertipu oleh sejarah. Banyak orang
Muslim yang tidak bangga menjadi Muslim dan tidak menjadikan tokoh-tokoh Islam sebagai idola
mereka, karena tidak mengenal sejarah Islam dengan benar. Mereka lebih membanggakan
Napoleon, George Washington, Thomas Jafferson, dan sebagainya, ketimbang Umar bin Khatab,
Ali bin Abi Thalib, atau Umar bin Abdul Aziz. Para orientalis cukup berhasil menampilkan sejarah
Islam dalam wajah yang sangat buruk. Jika membaca sejarah tentang Umar bin Khatab, misalnya,
yang disorot adalah kisah pembunuhan terhadap Umar bin Khatab, bukan kehebatan, kecerdasan,
dan kenegarawanan Umar r.a.
Masih banyak aspek sejarah Islam di Indonesia yang perlu diteliti dan ditulis oleh para sejarawan
Muslim saat ini. Hamka termasuk seorang ulama yang sangat peduli dengan sejarah Islam di
Indonesia. Dalam acara Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret
1963, Hamka membawakan makalah yang berjudul �Masuk dan Berkembangnya Agama Islam
di daerah Pesisir Sumatera Utara�. Dalam forum tersebut, Hamka menegaskan kembali
pendapatnya sejak tahun 1958, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia diterima langsung dari
Mekkah. Hamka menolak pendapat Snouck Hurgronje bahwa Islam yang di bawa ke Indonesia
adalah tidak asli dari Mekkah, melainkan Islam yang dari Gujarat atau Malabar. Hamka
membantah pandangan yang mengecilkan peran orang-orang Arab dalam penyebaran Islam di
Indonesia, dan juga kesan bahwa Islam di Indonesia tidak asli lagi, melainkan Islam yang lebih
dekat kepada syiah atau tradisi mistik India.
Hamka juga menyimpulkan Islam telah berangsur masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi.
Juga, simpul Hamka, orang-orang Indonesia sejak abad pertama Hijriah telah menggali ajaran
Islam yang berintikan mazhab Syafii. KH Abdullah bin Nuh, dalam bukunya, “Ringkasan Sejarah
Wali Songo” juga mengemukakan bukti bahwa ajaran Wali Songo juga berintikan tauhid dengan
rujukan-rujukan kitab ulama-ulama bermazhab Syafii, seperti Kitab “Ihya’ Ulumuddin,“ karya
Imam al-Ghazali dan kitab ‘Talkhis al-Minhaj’ karya Imam Nawawi.
Sekarang memang banyak sarjana yang dalam hal sejarah mungkin lebih mampu menulis dengan
labih baik dari Hamka. Tetapi, sekali lagi, para ulama dan tokoh Islam dulu bukan sekedar belajar
untuk belajar semata. Bukan sekedar meneliti untuk penelitian semata. Mereka menekuni keilmuan
Islam adalah semata-mata untuk meningkatkan keimanan dan memperjuangkan Islam. Semangat
ilmiah dan perjuangan dalam dakwah Islam semacam inilah yang perlu kita warisi dari para ulama
dan tokoh seperti Buya Hamka. [Depok, 2 Februari 2007, www.hidayatullah.com].
Bab III
Bulan Januari 2007
3.1 ”Upaya Menetapi Shirathal Mustaqim” Senin, 29 Januari 2007
Sudah sangat jelas haq dan yang bathil. Ini berbeda dengan kaum pembaru Islam
menggunakan logika asal-asalan. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-180
yang
Sebagai Muslim, kita diwajibkan membaca doa dalam shalat, minimal 17 kali sehari: ”Ihdinash
shirathal mustaqim” (Ya Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Shirathal Mustaqim adalah
jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah atas mereka (para nabi, para syuhada, dan
shalihin), dan bukannya jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) dan bukan pula
jalan orang-orang yang tersesat (al-dhalliin).
Orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) adalah mereka yang sudah tahu kebenaran, tetapi
enggan menerima kebenaran. Bahkan, mereka kemudian menyembunyikan kebenaran, atau
berusaha mengaburkan kebenaran, dengan berbagai cara, sehingga yang haq dilihat sebagai bathil
dan yang bathil dilihat sebagai haq. Kaum al-maghdhub ini juga bukannya tidak tahu tentang AlQuran. Bahkan, bisa jadi mereka sangat pandai berhujjah dengan Al-Quran.
Sayyidina Umar bin Khathab pernah menyatakan, bahwa yang paling beliau khawatirkan akan
menimpa umat Islam adalah’tergelincirnya’ orang-orang yang ’alim dan ketika orang-orang
munafik sudah berhujjah dengan Al-Quran. Rasulullah saw juga pernah menyampaikan, bahwa
yang paling beliau khawatirkan menimpa umat Islam adalah munculnya orang-orang munafik
yang pandai berhujjah (kullu munaafiqin ’alimil lisan).
Jadi, golongan al-maghdhub adalah siapa saja yang sudah mengetahui kebenaran, tetapi enggan
mengikuti kebenaran dan bahkan mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Karena itulah,
kita diperintahkan untuk berdoa, agar jangan sekali-kali kita termasuk ke dalam golongan seperti
ini.
Begitu juga kita berdoa semoga tidak termasuk ke dalam golongan ’al-dhalliin’, golongan yang
tersesat. Mereka tersesat karena tidak tahu dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana
yang salah. Karena ketidaktahuan atau kebodohan inilah, golongan ini akan menyangka yang benar
sebagai bathil dan yang bathil mereka sangka benar.
Mereka adalah korban-korban dari tindakan golongan al-maghdhub yang telah terlebih dahulu
mengubah-ubah kebenaran. Bacalah berulang-ulang QS al-Baqarah mulai ayat 40-120.
Kita akan memahami, bagaimana besarnya kemurkaan Allah SWT terhadap kaum Yahudi yang
telah menolak dan mengubah-ubah kebenaran yang disampaikan kepada mereka oleh para nabi.
Merekalah yang menceritakan akan datangnya Nabi terakhir, tetapi ketika Nabi terakhir itu datang,
dan ternyata bukan dari golongan mereka, maka kaum Yahudi pun menjadi kaum yang pertama
ingkar kepada kenabian Muhammad saw.
Karena itu, kita juga diperintahkan senantiasa berdoa, agar jangan sampai termasuk ke dalam
golongan yang tersesat ini. Salah satu doa yang biasanya dibaca oleh kaum Muslimin adalah ”Ya
Allah tunjukkanlah yang benar itu benar, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk
mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil dan berikanlah kemampuan kepada kami
untuk menjauhinya.”
Suatu ketika, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah saw menggambar
sebuah garis lurus. Lalu, beliau menggambar sejumlah garis yang mengarah ke kanan dan ke kiri
dari garis lurus tersebut. Rasul saw mengatakan: ”Ini adalah garis-garis yang bermacam-macam.
Pada setiap garis ini ada setan yang menyeru kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat AlQuran: “wa anna hadza shirathiy mustaqiiman fattabi’uuhu wa laa tattabi’u
as-subula fatafarraqa bikum ‘an sabiilihi.” (Katakanlah, ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka
ikutilah jalan yang lurus itu, dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang bermacam-macam itu,
sehingga kalian akan tercarai-berai dari jalan yang lurus.”
Allah SWT dalam QS Ali Imran: 101 juga mengingatkan kita semua agar bersungguh-sungguh
dalam bertaqwa kepada-Nya dan jangan sekali-kali mati kecuali dalam keadaan Islam.
Karena itu, kita juga senantiasa berdoa, agar pada ujung kehidupan kita nanti, kita tetap dalam
kondisi iman dan Islam, tidak syirik, tidak murtad, dan tidak kafir. Itulah yang disebut sebagai
‘husnul khatimah’, akhir kehidupan yang baik. Diantara manusia, hanya diri kita sendiri yang tahu
persis isi hati kita, apakah kita masih dalam iman yang benar atau tidak.
Tetapi, tentu saja, untuk mengetahui mana yang iman dan mana yang kufur, mana yang haq dan
mana yang bathil, tidak cukup dengan berdoa saja. Hal itu harus disertai dengan ilmu. Karena itu,
kita diwajibkan untuk senantiasa mencari ilmu, sepanjang hidup. Dan ilmu yang terpenting adalah
ilmu untuk memahami mana yang haq dan mana yang bathil.
llmu untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil itu sudah diturunkan oleh Allah
SWT melalui Rasul-Nya. Di zaman modern saat ini, dimana berbagai gagasan yang merusak Islam
sudah begitu menyebar bagai virus ganas, umat Islam justru dihadapkan pada tantangan yang
sangat berat dalam masalah keilmuan. Khususnya, ilmu untuk membedakan yang haq dan yang
bathil. Sebab, pada zaman seperti ini, yang memperjuangkan kebathilan pun tidak jarang berhujjah
dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi. Tetapi, cara pemahaman mereka terhadap Al-Quran
sudah tidak sesuai dengan yang dirumuskan oleh Rasulullah dan pewaris beliau, para ulama yang
shalih.
Bagi kita, umat Islam, Al-Quran yang merupakan wahyu Allah SWT adalah pedoman hidup yang
utama. Cara memahami Al-Quran (metodologi tafsir) pun sudah diajarkan oleh Rasulullah saw dan
para sahabat Nabi yang mulia. Para ulama pewaris nabi kemudian merumuskan metodologi tafsir
dengan sangat cermat dan teliti. Karena Al-Quran adalah kitab yang terjaga lafaz dan maknanya,
maka menurut Prof. Naquib al-Attas, ilmu tafsir adalah ilmu pasti. Tafsir, bukan ilmu spekulasi.
Termasuk ketika menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran yang memungkinkan terjadinya
perbedaan pandangan (zhanniy). Perbedaan pendapat itu pun ada landasannya. Tidak asal beda.
Berangkat dari kepastian sumber, kepastian metodologi, dan kepastian makna itulah, selama
ratusan tahun umat Islam berjaya mengarungi kehidupan di dunia untuk menjadi khalifah di muka
bumi. Umat Islam memiliki pedoman yang pasti, yaitu teks Al-Quran dan Sunnah Nabi. Ini
berbeda dengan peradaban Barat yang tidak memiliki teks wahyu sebagai pedoman hidup mereka.
Karena itu, mereka tidak membangun peradaban di atas dasar Bibel. Mereka membuat sistem
politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya, bukan berdasarkan pada Bibel, tetapi kepada
spekulasi akal semata.
Peradaban Barat tidak mempercayai Bibel sebagai teks dasar untuk mengatur seluruh aspek
kehidupan mereka. Karena kondisi teks Bibel itu sendiri, dan karena pengalaman sejarah mereka,
maka mereka memandang agama adalah urusan pribadi; agama adalah pengalaman rohani dan
terkait dengan proses sejarah. Sehingga, bagi mereka, tidak ada yang tetap dalam agama. Apa saja
bisa diubah. Yang dulunya dipandang salah dan sesat, beberapa abad kemudian diterima sebagai
kebenaran. Yang dulunya haram bisa jadi halal, atau sebaliknya. Itu semua bisa terjadi karena tidak
ada otentisitas dan finalitas teks dan makna Kitab Suci.
Orang Yahudi, misalnya, mengakui, bahwa Kitabnya sudah tidak bisa lagi dikenali, mana bagian
yang asli dan mana yang tambahan. Th.C. Vriezen dalam bukunya, Agama Israel Kuno (2001),
menulis: ”Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah
Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada
banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses
penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumbersumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu
adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah,
sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang
orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.”
Kitab ini kemudian dipakai oleh kaum Kristen sebagai Bibel mereka, ditambahkan dengan
Perjanjian Baru. Karena teks dan maknanya tidak terjaga, maka agama Yahudi dan Kristen selalu
mengalami perubahan dari waktu ke waktu, mengikuti perkembangan zaman. Ketika menghadapi
hegemoni Barat modern, mereka pun tidak segan-segan mengubah ajaran-ajaran yang sangat
mendasar pada agama mereka.
Perilaku kaum Yahudi dan Kristen dalam mengubah-ubah agama mereka inilah yang kemudian
diikuti oleh sebagian kalangan umat Islam dengan berbagai nama. Ada yang menamakan
pembaruan Islam, ada yang menamakan liberalisasi Islam, ada yang namanya sekularisasi Islam,
dan sebagainya. Jika kita cermati, perilaku para pembaru Islam akhir-akhir ini, sangat
memprihatinkan. Mereka bukan sedang melakukan upaya ’tajdid’ yang sungguh-sungguh untuk
mencari kebenaran (shirathal mustaqim) dalam Islam. Banyak yang menggunakan logika asalasalan dan kurang bertanggung jawab.
Jika ditunjukkan kekeliruan berfikir dan hujjah mereka, mereka juga tidak mau tahu, dan tidak mau
mengkoreksi pendapatnya. Tetapi, mereka selalu menyatakan,”Kami menginginkan perbaikan”.
Sangatlah berbeda sikap, pandangan, dan perilaku mereka dengan mujaddid Islam sejati, seperti
Imam Syafii.
Betapa prihatinnya kita masih saja menemukan adanya kampanye terbuka di media massa tentang
paham Pluralisme Agama, yang dalam pandangan Islam, jelas-jelas merupakan paham syirik,
karena membenarkan semua agama, yang beberapa diantaranya sudah dikoreksi oleh Al-Quran.
Para ulama Islam pun sepanjang sejarah, tidak pernah mengembangkan paham ”kebenaran semua
agama” ini. Karena memang paham ini adalah paham yang aneh, sangat fatal, dan merusak. Begitu
juga dalam implementasi fiqih, misalnya.
Sebagai contoh, hasil Keputusan Bahtsul Masail Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo Kediri, tahun
1999, dengan tegas menyatakan, bahwa doa bersama antar umat beragama adalah tidak boleh,
kecuali cara dan isinya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam keputusan ini dikutip isi
”Hasyiyah Jamal ’ala Fathil Wahab II:119”, yang melarang mengaminkan doa orang kafir. Dalam
Muktamar NU itu juga ditegaskan, bahwa ”Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan
kenegaraan kepada orang non-Muslim kecuali dalam keadaan darurat.”
Hasil keputusan Muktamar NU ke-30 itu jelas sangat berbeda dengan isi buku ”Fiqih Lintas
Agama”, misalnya, yang menghapus sekat-sekat perbedaan agama dalam fiqih, sehingga
perkawinan antar agama pun sudah dihalalkan.
Bahkan, sejumlah pendukung paham relarivisme dan pluralisme agama kemudian menjadi
penghulu swasta untuk perkawinan antar-agama di berbagai tempat. Sudah banyak muslimah yang
menjadi korban kekeliruan kelompok ini, sehingga rela dikawini oleh laki-laki non-Muslim.
Karena ketidaktahuan atau hawa nafsu, banyak yang memandang penghulu-penghulu swasta itu
juga orang yang alim, karena bergelar doktor dan juga dosen di universitas-universitas Islam
terkemuka. Di kampusnya, para penghulu swasta ini juga sangat berkuasa terhadap mahasiswanya,
dan leluasa melampiaskan pikirannya, dengan mengarahkan isi skripsi, tesis, atau disertasi
mahasiswa, sesuai dengan pikiran dan selera mereka.
Padahal, buku ”Fiqih Lintas Agama” dan sejenisnya ini jelas-jelas sangat merusak agama, dan para
penulisnya sangat tidak pantas diberi gelar ’mujaddid’ atau ’pembaru Islam’. Sejatinya, mereka
telah dengan sangat jelas merusak ilmu-ilmu Islam. Anehnya, tindakan mereka itu dibiarkan saja
oleh para penguasa kampus, dan ada yang kemudian dianugerahi gelar ”guru besar dalam
pemikiran Islam”.
Ketika merombak hukum-hukum Islam tentang hubungan antar-agama, orang-orang yang mengaku
melakukan pembaruan Islam ini sama sekali tidak merumuskan metodologi ushul fiqihnya. Tetapi,
bahkan memulainya dengan mencerca Imam Syafii. Kita sudah beberapa kali menunjukkan
kekeliruan pandangan Pluralisme Agama dan paham relativisme agama.
Tetapi, anehnya, ada saja yang menulis di media massa, bahwa apa yang dilakukan oleh
pendukung paham syirik adalah mulia dan dalam rangka memperbaiki Islam, sebagaimana
dilakukan oleh para ulama Islam sebelumnya. Tentu saja, pandangan seperti ini sangat keliru dan
fitnah besar terhadap para ulama Islam terdahulu.
Tugas kita tentu saja, hanya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun kita sadar benar,
banyak yang tidak rela jika kemunkaran dalam ilmu ini kita coba untuk diluruskan.
Itu bukan urusan kita lagi. Siapa pun juga yang ikhlas dan sungguh-sungguh dalam mencari
kebenaran, pasti akan ditunjukkan kebenaran itu oleh Allah SWT. Sekali lagi, di tengah kemelut
pemikiran yang tidak menentu saat ini, kita hanya berdoa kepada Allah, semoga kita tetap berada
di jalan yang lurus (ash-shirat al-mustaqim). Di zaman ini, menetapi jalan lurus bukanlah hal yang
mudah, karena sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, di kiri kanan kita senantiasa
terbentang jalan-jalan yang menyimpang yang seringkali dipoles dengan sangat indah dan
menawan. Pada tiap jalan yang menyimpang itu, kata Rasul saw, ada setan yang mengajak manusia
untuk mengikuti jalannya. Jadi, pilihan bagi orang-orang yang berilmu sudah sangat jelas: ikut
shirath al-mustaqim, ikut jalan oran-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub), atau ikut jalannya
orang-orang yang sesat (al-dhaalliin).
Sungguh telah jelas, mana yang haq dan mana yang bathil, tentu bagi yang mau memahami.
[Jakarta, 26 Januari 2007/www.hidayatullah.com].
3.2. “37 Tahun Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia” Senin, 22 Januari 2007
Nurcholish Madjid telah tiada. Tetapi, oleh pendukungnya tetap menjadikannya sebagai tempat
“bergayut” Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-179
Pada 3 Februari 2007 mendatang, Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir, bertempat di
Jalan Kramat Raya 45 Jakarta, akan menggelar satu acara seminar nasional bertema “Evaluasi 37
tahun Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia.” Tampil sebagai pembicara adalah Dr. Daud Rasyid,
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr. Mukhlis Hanafi, dan Adnin Armas MA. Seminar ini memiliki
makna yang penting bagi umat Islam Indonesia, mengingat, setelah 37 tahun berlalu, gerakan
pembaruan Islam bukannya telah berhenti, tetapi semakin menjadi-jadi dan melebar ke manamana.
Masa 37 tahun Gerakan Pembaruan Islam dimulai ketika Nurcholish Madjid memulai pidatonya
pada 3 Januari 1970 di Jakarta dengan judul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat.” Dalam disertasinya di Monash University Australia yang diterbitkan oleh
Paramadina dengan judul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia”, Dr. Greg Barton menyebutkan,
bahwa melalui makalahnya tersebut, Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat.
Di satu sisi, masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di sisi lain, arah baru tersebut
berarti mengorbankan keutuhan umat.
Muslim Indonesia, kata Nurcholish, secara intelektual telah cukup tertinggal dan membutuhkan
gairah baru serta gagasan-gagasan segar; meskipun gairah intelektual tersebut akan membawa
perpecahan di tubuh umat, seperti yang diperlihatkan oleh berbagai rangkaian sejarah. Untuk
mendukung gagasannya, Nurcholish Madjid mengutip pemikiran yang dikembangkan Lenin;
“Betapa pun dinamika lebih menentukan daripada statisme, sekalipun yang terakhir ini meliputi
jumlah besar manusia.”
Nurcholish juga meminjam pikiran Andrea Beufre: “Garis-garis pemikiran tradisional kita sudah
seharusnya dipersilakan pergi ke laut, lantaran yang paling utama sekarang adalah kemampuan
menatap ke muka ketimbang memiliki tingkat kekuatan yang besar namun hasil-gunanya masih
penuh persoalan.”
Marilah kita renungkan kembali lagi kata-kata Nurcholish Madjid 37 tahun lalu berikut ini:
“Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan
dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan
mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada
masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu
diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandanganpandangan Islam” yang ada sekarang ini...”
Jadi, untuk menatap masa depan dan meninggalkan nilai-nilai tradisional, menurut Nurcholish
Madjid, maka harus dilakukan liberalisasi terhadap ajaran-ajaran dan pandangan Islam. Ada tiga
proses yang saling kait-mengait dalam masalah ini, yaitu (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual,
dan (3) “Gagasan mengenai kemajuan” dan “Sikap Terbuka”.Tidak bisa dipungkiri, Nurcholish
Madjid menjadi faktor penentu bagi perkembangan gerakan pembaruan Islam di Indonesia.
Pertama, karena kepiawaian komunikasi Nurcholish baik lisan maupun tulisan. Dan kedua, karena
Nurcholish berlatar belakang pendidikan studi Islam dan memulainya dari dalam tubuh organisasi
Islam. Ini berbeda misalnya, dengan gagasan sekularisasi yang dilakukan Soekarno. Meskipun
sangat piawai dalam komunikasi, Soekarno bukanlah berkatar belakang pendidikan Islam, dan
bukan tokoh organisasi Islam.
Dengan kepiawaiannya berkomunikasi, Nurcholish dan ide-idenya masih terus dikembangkan, dan
telah disucikan oleh sebagian kalangan. Majalah Media Dakwah edisi Januari 2007 menurunkan
laporan utama tentang barisan cendekiawan Gontor yang mengkritik pemikiran Nurcholish Madjid,
yang juga alumni pesantren Gontor. Barisan ini dimotori oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr.
Syamsuddin Arif, Adnin Armas MA, Fathurrahmkan Kamal MA dan Henry Shalahuddin MA. Para
cendekiawan ini secara sistematis dan akademis menguraikan kekeliruan gagasan pembaruan Islam
Nurcholish Madjid.
Sebelumnya, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, telah menulis artikel di Harian Republika, 28 Desember
2006, dengan judul “Menyoal Pembaruan Islam”. Hamid menguraikan dengan jelas, bagaimana
pengaruh modernisme terhadap gagasan pembaruan Islam, dan merancukannya dengan pengertian
tajdid. Pembaruan sering diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi.
Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara etimologis maupun
konseptual. Malangnya, perbedaan ini tidak dicermati, dan konsep-konsep di dalamnya buru-buru
diadopsi tanpa proses epistemologi yang jelas. Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori
Nurcholish Madjid dan kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia adalah contoh
yang paling jelas. Pembaruan dimaksud ternyata secara eksplisit mengusung, memodifikasi, atau
menjustifikasi konsep modernisme, sekularisme, dan rasionalisme.
Menurut Hamid, pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika
ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi
menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan
melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide
liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap
tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert
N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ.
Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam.
Dalam laporannya, Majalah Media Dakwah edisi Januari 2007 menurunkan sejumlah artikel dari
para cendekiawan alumni pesantren Gontor yang membuktikan, bahwa ide-ide pembaruan Islam
Nurcholish Madjid adalah gagasan yang dikembangkan oleh para pemikir Kristen-Barat yang
berangkat dari pengalaman sejarah dan keagamaan Kristen di Barat. Adnin Armas membuktikan
adopsi gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid dari pemikir Kristen Harvey Cox. Fathurrahman
Kamal, dalam tesis masternya di UIN Yogyakarta, membuktikan pengaruh pemikiran pendeta
Wilfred Cantwell Smith terhadap teori “Islam” versi Nurcholish Madjid. Henry Shalahudin yang
kini menjadi dosen di STID Moh. Natsir, mengupas kekeliruan ide “relativisme” Nurcholish
Madjid. Sementara, Dr. Syamsuddin Arif --yang sedang menulis disertasi untuk doktor keduanya
di Frankfurt Jerman -- menulis satu artikel bernas yang mengupas kekeliruan gagasan sekularisasi.
Banyak kritik ilmiah telah ditulis terhadap gagasan pembaruan Islam. Tetapi, memang, harus
diakui, selama puluhan tahun, Nurcholish mampu mamukau bahkan nyaris “menyihir” banyak
orang dan kalangan, sehingga pemikirannya dikultuskan, sosoknya dimitoskan, dan dibela habishabisan. Dan itu diakui, misalnya, oleh Henry Shalahuddin, yang selama sembilan tahun belajar di
lingkungan Gontor, mulai dari tingkat pesantren sampai sarjana ushuluddin.
Henry menulis di Media Dakwah, bahwa selama berada di Gontor, sosok Prof. Dr. Nurcholish
Madjid merupakan idola yang menakjubkan. Bahkan, menurut Henri, ketakjuban itu selama ini
juga terjadi pada banyak santri, mahasiswa, guru dan alumni Pondok Modern Gontor lainnya.
Nurcholish merupakan sosok yang mumpuni dalam ilmu keagamaan, terbuka dalam berdiskusi,
berwawasan luas yang didukung dengan kemampuan beretorika dan mengolah kata ketika
menyampaikan ceramah, sehingga para hadirin pun kerap terpukau dibuatnya. “Sejujurnya, inilah
mitos yang terbangun pada diri saya,”kata Henri Shalahuddin, mengawali tulisannya yang
mengkritik paham relativisme keagamaan Nurcholish.
Namun, setelah semakin banyak menyelami bidang pemikiran Islam, khususnya setelah
menyelesaikan kuliahnya di program S-2 International Islamic University Malaysia (IIUM), Henri
tersadar, bahwa pendangannya selama ini terhadap Nurcholish Madjid adalah keliru. Nurcholish
tidak lagi tokoh yang dianggapnya sebagai sosok yang sakral dan selalu benar. Bahkan, seperti
umumnya manusia, ia kerap lalai dan khilaf termasuk dalam pemikirannya yang selama ini ia
kagumi. “Bahkan akhirnya saya memahami bahwa pemikiran Nurcholish acapkali membawa
konsekwensi yang serius bagi bangunan Islam,” kata Henri.
Kasus Henri adalah salah satu contoh nyata bagaimana sosok Nurcholish Madjid memang telah
menjadi mitos pada sebagian orang. Nurcholish memang telah meninggal dunia pada hari Senin, 29
Agustus 2005, lalu. Jasadnya telah dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Secara fisik,
Nurcholish Madjid telah tiada. Tetapi, tampaknya, pemikirannya tidak mati bersamanya. Gagasangagasannya terus dijadikan rujukan dan dihidup-hidupkan oleh para pendukung dan pengikutnya.
Pada Hari Jumat, 22 Desember 2006, Dawam Rahardjo, seorang pendukung setia Nurcholish
Madjid, menulis satu ulasan di Harian Kompas berjudul: “Pembaruan Islam: Ensiklopedia
Nucrholish Madjid.”Di sini, Dawam menilai, para pengkritik Nurcholish Madjid selama ini,
termasuk Prof. HM Rasjidi, telah salah memahami gagasan Nurcholish Madjid, khususnya dalam
soal sekularisme dan sekularisasi. Penjelasan Dawam tentang sekularisasi masih mengulang
argumentasi Nurcholish Madjid, bahwa sekularisasi adalah proses yang terus berlanjut dan bukan
merupakan paham yang statis. Atau, sekularisasi adalah sekularisme yang terbatas.
Ensiklopedia Nurcholish Madjid ini disebut oleh Dawam Rahardjo sebagai suatu upaya
sistematisasi tentang “Nurcholisisme”. Dawam tetap menyimpulkan: “Nurcholish tidak sekedar
menjadi tokoh pembaru pemikiran Islam, tetapi juga seorang guru bangsa.”
Jadi, Nurcholish memang telah tiada. Tetapi, oleh pendukung gerakan pembaruan Islam --yang
kemudian dilanjutkan oleh gerakan liberalisasi Islam -- dia tetap dijadikan sebagai tempat
bergayut. Namanya diabadikan. Gagasan-gagasannya terus diapresiasi, dipuji, dan disebarluaskan
ke tengah masyarakat luas. Bahkan, sepertinya, peristiwa meninggalnya Nurcholish terus dijadikan
momentum untuk melestarikan dan menghidupkan gagasan-gagasannya.
Masa 37 tahun Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia sudah memadai untuk melakukan penilaian
ulang secara mendasar dan menyeluruh. Gagasan dan akibat-akibat lebih jauh dari gagasan
sekularisasi dan liberalisasi Islam --baik di masyarakat maupun di perguruan tinggi Islam-- sudah
dapat dilihat dengan jelas. Proses ini tidak akan berhenti, sebab sebagai bagian dari umat manusia
yang mendiami dunia ini, umat Islam juga sedang berhadapan dengan arus dan gelombang
modernisme. Semua manusia dan agama menghadapi masalah yang sama.
Modernitas adalah kenyataan dan adalah mustahil untuk melarikan diri dari modernitas tersebut.
Lawrence E. Cahoone, dalam bukunya The Dilemma of Modernity (1988), menggambarkan
hegemoni modernitas tersebut bagi umat manusia. Sejak masa renaissance, manusia yang hidup di
Barat sudah harus hidup dalam alam modernitas, laksana ikan yang hidup di air. Tapi, bagi
masyarakat non-Barat, kata Cahoone, mereka juga dipengaruhi oleh budaya modernitas dengan
kuat.
“Through colonialism, trade, and the export of ideology, the modern West has injected components
of its own civilization into the indigenous cultures of non-Western societies,” tulis Cahoone.
Karena itu, ujarnya, semua manusia dipengaruhi paham modernitas ini, baik secara langsung
maupun tidak.
Inti modernitas, menurut pakar sosiologi Max Weber, adalah rasionalisasi, yang mensyaratkan
adanya sekularisasi. Di Barat, kata David West, dalam bukunya “An Introduction to Continental
Philosophy”, (1996), rasionalisasi selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi yang oleh Weber
disebut “dis-enchantment.”Masyarakat modern memang menempatkan akal manusia sebagai
penentu kebenaran, bukan lagi agama, dan menjadikan agama sebagai urusan pribadi. Alain
Touraine, dalam bukunya “Critique of Modernity” (1995), menulis, “The idea of modernity makes
science, rather than God, central to society and at best relegates religious beliefs to the inner realm
of private life.”
Gagasan-gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid bisa dengan mudah dilacak pada gagasan
sekularisasi yang sudah dikembangkan oleh para pemikir di Barat. Tetapi, harusnya kaum pembaru
Islam sadar, bahwa Islam tidak sama dengan agama Kristen, Yahudi, atau agama lain yang
merupakan agama budaya dan sejarah (historical and cultural religion). Islam adalah agama final
dan sempurna dari awal. Umat Islam memiliki teks kitab suci yang final, yang terjaga otentisitas
teks dan maknanya, sepanjang sejarah. Umat Islam juga tidak mengalami problem sejarah
keagamaan seperti yang dialami oleh kaum Kristen di Eropa.
Inilah kesalahan fatal dari gerakan pembaruan Islam: menyamakan karakter ajaran Islam dan
sejarah Islam dengan karakter ajaran Kristen dan sejarahnya di Barat. Karena itu, gagasan
sekularisasi --juga liberalisasi Islam-- sebenarnya paham yang asing, tetapi dipaksakan kepada
umat Islam dengan berbagai cara.
Memang, sekularisasi, westernisasi, atau liberalisasi Islam, saat ini merupakan masalah dan
tantangan terberat yang dihadapi oleh umat Islam. Para ulama dan cendekiawan Muslim tidak
boleh lengah dan “cuek”. Mereka harus memberikan respon yang cerdas dan serius tentang
masalah ini. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Depok, 19 Januari 2007/ www.hidayatullah.com)
3.3. "Hati-Hati dengan Dosa Syirik!" Senin, 08 Januari 2007
Umat Islam diperintahkan bermuamalah, termasuk agama lain. Tetapi, diperintahkan menjauhi
dosa syirik. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-177
Beberapa hari lalu, melalui dua orang menteri kabinetnya, saya mengirim pesan singkat kepada
Presiden SBY: “Ada dua dosa yang cepat mendatangkan azab Allah SWT, yaitu dosa syirik dan
meninggalkan amar makruf nahi munkar.”
Semoga pesan itu sampai kepada Presiden SBY. Masalah tauhid dan dosa syirik, seperti kita
sebutkan pada catatan yang lalu, merupakan masalah yang paling serius dalam kehidupan manusia.
Syirik adalah kezaliman yang sangat besar, karena manusia yang diciptakan Allah, diberi rizki oleh
Allah, diberi kehidupan oleh Allah, kemudian justru tidak tahu berterimakasih dan membuat sekutu
yang lain bagi Allah.
Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa untuk terhindar dari dosa syirik: “Ya Allah,
aku meminta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan Engkau dengan sesuatu,
sedangkan aku mengetahui hal itu. Dan aku meminta perlindungan kepada Engkau dari tindakan
menyekutukan-Mu dengan sesuatu dan aku tidak tahu.” (Allahumma inni a’udzubika min an
usyrika bika syaian wa ana a’lamu; wa a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana laa a’lamu).
Dalam buku berjudul Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafii karya Dr. Muhammad Abdurrahman
al-Khumais (diterjemahkan oleh Prof. Ali Musthafa Ya’qub) disebutkan sejumlah definisi syirik
menurut sejumlah ulama mazhab Syafii.
Menurut al-Raghib al-Asfahani, “Syirik yang dilakukan manusia dalam agama itu ada dua macam.
Pertama, syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah, dan ini merupakan kekafiran
yang terbesar. Kedua, adalah syirik yang samar (tidak jelas) dan kemunafikan.”
Al-allamah Ali as-Suwaidi al-Syafii berkata: “Ketahuilah, bahwa syirik itu adalah terjadi di
Rububiyah, dan adakalanya terjadi di Uluhiyyah. Yang kedua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad
(keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat khusus dengan Allah.”
Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami al-Syafii mengingatkan bahwa iman itu bercabang-cabang,
demikian juga dengan kekafiran dan kemusyrikan. Apabila orang menjalankan cabang-cabang
iman tetapi juga menjalankan cabang-cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Iman
seseorang tidak akan diterima oleh Allah apabila hanya separuh-separuh; separuh iman, separuh
kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Quran dan dibawa
oleh Rasulullah saw, serta mengamalkannya. Orang yang beriman kepada sebagian ajaran AlQuran dan tidak beriman kepadasebagian yang lain, maka dia termasuk kafir. Allah
memperingatkan tentang orang-orang seperti ini:
“Orang-orang kafir itu mengatakan: “Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap
sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara
yang demikian (iman dan kafir). (QS An-Nisa : 150).
Menurut Imam Ahmad bin Hajar, mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak akan ada gunanya
bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan isi maksud dari dua kalimah syahadat, yaitu
melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja. Namun,
beliau mengingatkan, agar tidak terburu-buru menuduh seseorang yang melakukan tindakan syirik
sebagai kafir atau musyrik, sebelum menjelaskan kepada mereka tentang kekeliruan mereka
tersebut. Barangkali mereka tidak memahami masalah tersebut karena kebodohannya. Apabila
sudah dijelaskan tentang masalah syirik, tetapi tetap menjalankannya, maka barulah diperbolehkan
menyebut mereka sebagai musyrik.
Peringatan Rasulullah saw dan para ulama tentang kemusyrikan ini sangat perlu kita camkan
benar-benar, demi keselamatan keimanan kita masing-masing. Jangan sampai kita terjebak ke
dalam dosa syirik, baik yang kita ketahui atau yang tidak ketahui, sebagaimana doa yang diajarkan
Rasulullah saw. Sebab, syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah, kecuali orang itu benarbenar meninggalkan dosa syirik tersebut. Allah memperingatkan kita semua: “Sesungguhnya orang
yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS
al-Maidah: 72).
QS al-Maidah ayat 72 ini diawali dengan penegasan Allah SWT: “Sungguh telah kafirlah orangorang yang menyatakan bahwa Allah ialah al-Masih Ibnu Maryam, padahal al-Masih sendiri
berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.”
Pandangan Tauhid Islam ini sangat jelas, yakni tidak menjadikan manusia mana pun – termasuk
Adam atau Isa a.s.– sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah SWT
untuk meluruskan pandangan dan kepercayaan kaum Nasrani tersebut. Doktrin trinitas yang
mengakui Ketuhanan Yesus secara resmi diformulasikan dalam Konsili Nicea tahun 325 M.
Bahkan, dalam konsili ini, pandangan Arius yang menyatakan bahwa Tuhan anak tidak sehakekat
dengan Tuhan Bapak, ditolak oleh mayoritas peserta Konsili. Bahkan, dalam dekrit Nicea tersebut,
Arius secara resmi dikutuk oleh Gereja. Konsili menerima pandangan Athanasius yang menyatakan
bahwa Tuhan anak sehakekat (homoousios) dengan Tuhan Bapak.
Posisi Al-Quran memang sangat berbeda dengan Bibel. Sebagai kitab yang diturunkan Allah
kepada Nabi terakhir, Al-Quran memberikan kritik-kritik yang tegas dan jelas terhadap
kepercayaan Yahudi dan Kristen. Posisi ini tentu tidak bisa sebaliknya. Karena Bible ditulis dan
dirumuskan sebelum kedatangan Islam. Ibnu Taymiyah menyebut kaum Yahudi dan Kristen (Ahlul
Kitab) sebagai kaum musyrik bil-fi’li, tetapi bukan musyrik bil-ismi. Dalam pandangan Islam,
mereka disebut kafir ahlul kitab.
Jadi, dalam masalah keimanan, memang terdapat pandangan dan keyakinan yang sangat berbeda
antara Islam dan Kristen. Sejak lahirnya Islam, masalah ini sudah sering diperdebatkan. Bahkan
Nabi Muhammad saw sendiri beberapa kali melakukan perdebatan dengan kaum Nasrani. Karena
tidak mencapai titik temu, maka Nabi Muhammad saw diperintahkan agar mengajak kaum Nasrani
untuk melakukan mubahalah (sumpah laknat), sebagaimana diceritakan dalam Surat Ali Imran ayat
61:
"Barangsiapa membantah engkau tentang (kisah Isa a.s.) itu, sesudah datang kepada mereka ilmu
(yang meyakinkan), maka katakanlah (kepada mereka): Marilah kita memanggil anak-anak kami
dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian
marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah dijatuhkan kepada
orang-orang yang dusta."
Soal perbebadaan keyakinan antara Islam dan Kristen ini haruslah diakui. Bahkan diantara kaum
Nasrani sendiri terjadi perbedaan yang sangat tajam sehingga mereka membentuk sejumlah agama,
seperti Katolik, Protestan, Anglikan, atau Ortodoks. Tiap-tiap agama ada keyakinan masingmasing, yang tidak sama satu dengan lainnya, bahkan saling bertentangan. Seperti keyakinan umat
Islam dan umat Kristen tentang posisi Nabi Isa a.s.
Dalam pernyataan Natal bersama antara Konferensi Wali-wali Gereja Indonesia (KWI) dan
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), tahun 2006, dinyatakan: “Kelahiran Yesus
mendatangkan sukacita besar. Sukacita itu melekat dalam diri setiap orang beriman yang mampu
menghayati hakikat dan makna kelahiran Yesus. Ia lahir sebagai manusia, menjadi senasib dengan
manusia, dan terbuka menyambut semua orang yang datang kepada-Nya. Ia hadir di dunia untuk
mewujudkan kasih Allah kepada manusia (1Yoh. 4:9).
Kasih Allah itu berpuncak pada kayu salib ketika Yesus menyerahkan nyawa untuk menanggung
dosa seluruh umat manusia.” Selanjutnya dinyatakan: “Dalam hubungan dengan sesama baiklah
kita memandang setiap orang dalam iman kepada Kristus. Dengan menyadari bahwa darah Kristus
juga tercurah untuk mereka, maka setiap orang yang mengaku diri sebagai pengikut dan murid
Kristus akan mengasihi orang itu, walaupun dalam kenyataannyaorang itu bersikap seperti musuh.”
Umat Islam tidak pernah menerima kepercayaan bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang salib, karena AlQuran sudah menegaskan, “Mereka tidak membunuh Nabi Isa dan mereka tidak menyalibnya,
melainkan seseorang yang diserupakan kepada mereka.” (QS an-Nisa: 157).
Perbedaan yang mendasar ini harus diakui. Dan Konsili Vatikan II (1962-1965) juga menyatakan
penghormatannya terhadap keyakinan umat Islam terhadap Nabi Isa a.s.
Dikatakan, meskipun umat Islam tidak mengakui ketuhanan Yesus, tetapi menghormatinya sebagai
Nabi. Umat Islam juga menghormati keyakinan kaum Kristen tersebut, meskipun tentunya sangat
berbeda secara mendasar dengan keyakinan umat Islam sendiri. Karena itu, tidaklah masuk akal
ada yang menyatakan, bahwa semua agama adalah benar.
Pernyataan semacam ini jelas-jelas membenarkan pandangan yang oleh Al-Quran sudah
dinyatakan sebagai pandangan kufur atau syirik.
Banyak yang sekarang ini mencoba mengecilkan masalah iman dan kemusyrikan. Ada yang
menulis dalam bukunya, bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk sorga karena sudah berjasa bagi
umat manusia dengan menemukan lampu. Padahal, urusan sorga atau neraka adalah urusan Allah.
Islam tidak berbicara kepada perorangan Yahudi atau Kristen, tetapi memberikan kritik-kritik dan
koreksi terhadap kepercayaan mereka. Kita tidak tahu, apakah Edison benar-benar orang baik. Kita
tidak tahu persis perbuatan dia yang lain sepanjang hidupnya, selain penemuan lampu. Kita juga
tidak tahu, apakah Edison pernah menerima risalah Nabi Muhammad saw secara benar, atau tidak
pernah. Jika kriteria masuk sorga adalah karena menemukan lampu, maka kriteria itu adalah
bikinan si penulis buku tersebut. Mungkin maksudnya sorga milik kakeknya sendiri.
Umat Islam diperintahkan untuk menghormati dan bermuamalah dengan baik terhadap sesama
manusia, termasuk dengan pemeluk agama lain, selama mereka tidak menyerang umat Islam.
Tetapi, umat Islam juga diperintahkan agar menjauhi dosa-dosa syirik. Karena itulah, kita perlu
pandai-pandai meniti buih, agar selamat sampai ke seberang. Jangan sampai karena ingin dipuji
sebagai orang yang toleran, akhirnya justru mengorbankan prinsip-prinsip keimanan.
Mencampuradukkan keimanan atau ritual antar agama adalah tindakan yang berbahaya dari segi
keimanan.
Tidak semestinya, hal ini dilakukan oleh umat Islam. Dalam perspektif inilah, mestinya fatwa MUI
tahun 1981 yang mengharamkan perayaan Natal Bersama perlu diapresiasi. Fatwa ini bukan untuk
merusak toleransi beragama, tetapi merupakan satu upaya para ulama untuk melindungi aqidah
Islam dari kekufuran dan kemusyrikan, dalam pandangan Islam.
Fatwa ini sama sekali tidak mengharamkan umat Islam untuk bergaul atau bermasyarakat dengan
kaum non-Muslim. Dan hal semacam itu tidak ada dalam kamus Islam. Islam adalah agama yang
sejak awal sudah mengakui dan menghargai perbedaan. Seorang anak yang Muslim tetap
diperintahkan berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun berbeda agama. Tetapi, jangan sekalikali bermain-main dalam masalah keimanan dan kemusyrikan.
Sebab, pertaruhannya sangatlah mahal. Karena itu, sekali lagi, kita patut berhati-hati jangan
sampai terjatuh ke dalam kemusyrikan. Peringatan Allah sangatlah jelas: bahwa Allah sangat
murka jika diserikatkan dengan yang lain. Dalam suasana bencana dan musibah yang tiada henti
sekarang ini, kaum Muslim, khususnya para pemimpin negara ini, patut merenungkan dengan
mendalam masalah kemusyrikan ini. Jangan hanya sibuk mengandalkan ilmu geologi, meteorologi
dan geofisika. Semuanya tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin dan kekuasaan Allah SWT.
Allah berkuasa menghentikan gempa, menghentikan lumpur panas, menenangkan gelombang
lautan, dan memindahkan turunnya hujan.
Sekali lagi, kita mengimbau para pemimpin kita: Jangan bermain-main dengan dosa syirik! Tugas
dan kewajiban kita hanyalah menyampaikan nasehat. Selanjutnya, terserah kepada mereka.
[Depok, 5 Januari 2006/www.hidayatullah.com]
Bab IV
Desember 2006
4.1. "Keyakinan dan Kegigihan Nabi Ibrahim a.s." Sabtu, 30 Desember 2006
Prof. Syafii Maarif menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi. Namun, ia masih
mengecam orang yang berbeda denganya. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke176
Setiap merayakan hari Raya Idul Adha, umat Islam senantiasa diingatkan akan keteladanan seorang
Nabi Allah yang sangat agung dan mulia, yaitu Nabiyullah Ibrahim a.s. Beliau adalah teladan umat
manusia, yang memiliki pribadi yang agung, mulia, yang memberikan keteladanan dalam
menegakkan kalimah tauhid dalam situasi yang sangat sulit. Beliau hidup di tengah masyarakat
penyembah berhala, penyembah dan pengagung batu.
Sebagai seorang yang cerdas, jujur, berani, dan telah menemukan kebenaran Tauhid, Ibrahim a.s.,
tidak dapat berdiam diri dengan tradisi dan kebobrokan masyarakatnya seperti itu. Sebab, memang
tugas para Nabi yang utama, adalah menegakkan kalimah tauhid, dan menjauhi thaghut. “Dan
sungguh telah kami utus Rasul kepada tiap-tiap kaum, (untuk menyeru umatnya), agar mereka
menyembah Allah dan menjauhi thaghut.” (QS al-Nahl:36).
Oleh karena itu, semua utusan Allah mendapatkan tugas untuk menegakkan kalimah tauhid, bahwa
hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Tidak ada Tuhan selain
Allah. Karena itu, kisah-kisah para Nabi Allah senantiasa merupakan kisah pemberantasan
kemuysrikan. Sebab, dalam pandangan Allah SWT, syirik adalah dosa besar, dan merupakan
kezaliman yang besar. Lukman menitipkan pesan kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah
kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik (itu) (mempersekutukan Allah) adalah kezaliman
yang besar.” (QS. Lukman: 13)
Jadi, kezaliman bukan hanya kezaliman terhadap manusia. Tetapi, ada jenis kezaliman yang sangat
besar, yaitu kezaliman terhadap Allah, dengan menyekutukan Allah dengan yang lain. Nabi Musa
a.s. begitu murka dikhianati kaumnya yang menyembah patung sapi. Karena menyekutukan Allah
dengan menyembah patung sapi itulah, maka orang-orang itu dihukum dengan cara membunuh diri
mereka sendiri. Nabi Musa a.s. diturunkan Allah untuk melawan Fir’aun yang sudah menjadikan
dirinya sebagai Tuhan. Itulah tindakan syirik yang mebawa kehancuran kepada Fir’aun.
Setiap Nabi dibebani misi untuk mengingatkan manusia, agar jangan menyembah dan beribadah
kepada selain Allah. Jangan menyembah batu, jangan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan,
jangan menjadikan harta, jabatan, dan manusia lain, sebagai tuhan, yang lebih dicintai, dihormati,
diagungkan, dan ditaati, selain dari Allah SWT.
Dengan membawa misi seperti itu, maka dengan tegas, lembut, dan tulus, Nabi Ibrahim menasehati
ayah dan kaumnya, agar mereka meninggalkan sesembahan batunya, meninggalkan tuhannya yang
lama, dan beralih menyembah Tuhan yang sejati, Allah SWT.
Dikisahkan dalam Al-Quran: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar,
pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat
engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (Al-An’am: 74).
Cobalah kita refleksikan ungkapan Nabi Ibrahim itu dalam kondisi masyarakat saat ini, dimana
berbagai tindakan syirik dan menyepelekan Allah sedang merajalela dalam berbagai bentuknya.
Suatu tradisi yang dianggap sudah mapan dan dianggap sebagai kebenaran oleh mayoritas
masyarakatnya, digugat dengan satu perkataan yang tajam dan berani. Ibrahim tidak gentar dengan
resiko yang dihadapinya. Ia sangat serius dalam menggugat tradisi penyembahan berhala. Nabi
Ibrahim juga berdoa kepada Allah, agar anak keturunannya dijauhkan dari menyembah berhala.
(QS Ibrahim: 35-36)
Al-Quran menggambarkan sosok Ibrahim dengan gambaran yang berbeda dengan konsep Yahudi,
yang menekankan pada aspek “darah” atau “garis keturunan”. Ibrahim diklaim kaum Yahudi
sebagai nenek moyang bangsa Yahudi. Klaim Yahudi adalah klaim rasialis, karena Yahudi
memang bangsa yang sangat rasialis. Tuhan mereka, yang sebagian Yahudi menyebutnya dengan
nama ‘Yahweh’ adalah Tuhan yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi (henoteisme).
Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih menekankan sosok Ibrahim sebagai tokoh pembela dan
penegak Tauhid, dan menekankan aspek “keimanan” dan “kesalehan” kepada Allah sebagai jalan
menuju keselamatan, tanpa pandang bulu, apakah ia bangsa Yahudi atau Arab. Bahkan, untuk
orang-orang yang sudah secara formal mengaku beragama Islam pun tidak dijamin keselamatannya
jika tidak benar-benar beriman kepada Allah, Hari akhir, dan melakukan amal shalih. Kriteria iman
yang sejati, bukanlah sekedar ‘ngaku-ngaku’, tetapi harus benar-benar diyakini dan diamalkan. (QS
2:62). Karena itulah, dalam Al-Quran disebutkan, ada orang-orang yang mengaku-aku beriman
tetapi sejatinya mereka tidak beriman. (QS 2:8).
Al-Quran melawan paham rasialis Yahudi dengan mendasarkan keselamatan seseorang hanya
semata-mata karena faktor iman dan amal shaleh. Islam adalah agama yang menghapus tuntas
problema rasialisme yang hingga kini masih bercokol di belahan dunia Barat. Jika Yahudi
mengklaim bahwa Ibrahim adalah Bapak bangsa Yahudi, maka
Al-Quran menegaskan, bahwa: “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang
yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67).
Al-Quran begitu jelas menempatkan posisi dan sosok Ibrahim sebagai sosok pembela Tauhid dan
penentang keras kemusyrikan. Kata Nabi Ibrahim, seperti disebutkan dalam Al-Quran:
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi,
dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang
musyrik.” (Al-An’am:79).
Menyongsong Idul Adha 1427 Hijriah ini, satu makna penting yang perlu kita ambil adalah
meneladani kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan agama Tauhid dan melawan kemusyrikan.
Nabiyullah Ibrahim tidak gentar menghadapi hegemoni paganisme di tengah masyarakatnya. Ia
tampil sebagai manusia merdeka yang bertauhid, yang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah
SWT, meskipun harus berhadapan dengan tradisi pagan. Bahkan, karena perbuatannya melawan
kemusyrikan, beliau akhirnya harus menghadapi ujian yang sangat berat, terutama yang datang dari
tengah keluarganya sendiri. Ia harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya sendiri yang bertahan
dalam kemusyrikan dan menentang ketauhidan.
Membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam menegakkan kalimah Tauhid itu, kita tentu memahami,
bahwa Nabiyulllah Ibrahim sangat yakin dengan kebenaran Tauhid yang diyakininya. Tauhid
memang mensyaratkan keyakinan, dan menolak keraguan atau relativisme nilai. Dalam Tauhid
yang ada adalah haq dan bathil, salah dan benar. Yang benar harus ditegakkan dan yang salah harus
diruntuhkan, sebagimana dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim a.s.
Umat Islam adalah umat yang menerima dan meyakini semua Nabi yang diutus oleh Allah SWT.
Kita tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Kita menerima dan mengimani
kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Kaum Yahudi menolak kenabian Isa dan
Muhammad. Kaum Nasrani menolak untuk mengimani kenabian Muhammad saw. Umat Islam
adalah umat yang paling konsisten dalam mengikuti sunnah Ibrahim a.s. dan paling banyak
menyebut namanya serta mendoakannya. Bukan hanya mereka yang sedang menunaikan ibadah
haji di Tanah Suci, tetapi setiap hari dalam shalat lima waktu, kita senantiasa membaca shalawat
(doa) untuk Nabiyullah Ibrahim a.s. bersama dengan shalawat untuk Nabi Muhammad saw.
Adakah umat lain yang begitu besar kecintaannya kepada Nabi Ibrahim selain umat Islam, yang
setiap hari berulang kali menyebut namanya dalam ibadah wajibnya?
Tidak berbeda dengan tugas Nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah
SWT untuk menjelaskan tentang konsep Tauhid dalam Islam dan mengajak kaum Yahudi dan
Kristen untuk bersama-sama menganut Tauhid dan meninggalkan tindak kemusyrikan yang sangat
dimurkai oleh Allah SWT. Rasululullah saw diperintahkan oleh Allah SWT:
“Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimah (ketetapan) yang tidak ada perselisihan
antara kami dengan kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak
menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang
lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:
Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang Muslim.” (QS 3:64).
Dalam urusan tauhid inilah kita wajib meneladani apa yang telah dilakukan oleh para Nabi. Tauhid
tentu tidak mungkin bersatu dengan syirik, sebab tauhid berlandaskan kepada keyakinan. Para Nabi
begitu gigih dalam memberantas kemuysrikan. Para Nabi itu tentu berangkat dari keyakinan dan
kepastian iman, bukan dari keraguan atau kenisbian iman. Keimanan mereka kokoh, bahwa Tauhid
adalah benar, dan syirik adalah salah. Tentu saja, mereka memiliki keyakinan itu berdasarkan
kepada pemahaman yang yakin pula. Mereka sama sekali bukan penganut paham relativisme akal,
relativisme iman, atau relativisme kebenaran.
Keyakinan dalam iman inilah yang seyogyanya ditanamkan oleh para cendekiawan dan ulama.
Kita tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada pikiran pada sebagian cendekiawan yang
menyebarkan paham relativisme akal dan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Syafii Maarif
melalui artikelnya di Republika (Jumat, 29 Desember 2006) yang berjudul “Mutlak dalam
Kenisbian”.
Dia menulis: “Iman saya mengatakan bahwa Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena
ia berhulu dari yang Mahamutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba
nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun
manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan
itu manusia-manusia seperti saya… Jika ada orang yang mengatakan bahwa penafsirannya
mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah mengambil alih otoritas Tuhan.”
Terhadap pernyataan Syafii itu kita perlu lakukan klarifikasi dan koreksi. Banyak sekali kalangan
cendekiawan yang terjebak oleh logika dikotomis semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah
bahwa Al-Quran memang Kalamullah, tetapi Al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah tidak
menuntut manusia menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami Al-Quran sama dengan
Allah memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan. Karena itu, jika seorang mufassir
atau seorang Muslim memahami dan meyakini pemahamannya bahwa Allah itu satu, bahwa Nabi
Isa tidak disalib, bahwa babi itu haram, tidak bisa dikatakan, bahwa sang mufassir itu sedang
menggantikan posisi Tuhan karena telah memutlakkan pendapatnya. Sebab, memang, di luar
pemahaman (kebenaran) yang satu itu, tidak ada kebenaran lain. Dalam hal-hal yang pasti
(qath’iy), memang hanya ada satu penafsiran yang benar. Tidak mungkin ada dua pemahaman
yang berlawanan. Misalnya, tidak mungkin dipahami, bahwa Nabi Isa tidak disalib sekaligus juga
disalib. Tidak mungkin ada pemahaman bahwa Allah itu satu, tetapi sekaligus juga banyak. Tidak
mungkin kita memahami bahwa babi itu haram sekaligus juga halal. Jika kita memahami bahwa
Muhammad saw adalah seorang nabi, maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga
menisbikan pendapat kita bahwa ada kemungkinan beliau saw juga bukan nabi. Na’udzubillah.
Dalam hal ini, keyakinan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi memang bersifat mutlak,
tidak ada keraguan sedikit pun dan tidak ada kenisbian sedikit pun. Tentu, ‘kemutlakan’ di sini
adalah dalam batas-batas manusia, karena kita memang tidak mungkin menggantikan posisi Tuhan.
Dalam hal sederhana, kita bisa bertanya, apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan:
“Karena pemikiran saya bersifat nisbi, maka kelelakian saya adalah nisbi dan tidak mutlak.” Begitu
juga, apakah beliau berani membuat pernyataan: “Karena pemahaman akal saya terhadap Allah
adalah nisbi, maka keimanan saya kepada Allah juga bersifat nisbi dan tidak mutlak.” Apakah Pak
Syafii Maarif berani membuat pernyataan seperti itu? Jika berani, maka kita tidak bisa berbuat apaapa. Cukup mengelus dada dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Kita tunggu saja apa yang
terjadi kemudian.
Kenyataannya, Syafii Maarif juga tidak konsisten. Jika ia menyatakan semua pemikiran manusia
adalah nisbi, maka pemikiran dia pun nisbi. Sebab itu, dia tidak perlu menyalahkan atau mengecam
orang yang berpendapat lain dengan pendapatnya, serta memaksa manusia lain untuk menisbikan
pendapatnya, seperti dia. Ketika dia menyalahkan orang lain, maka dia sendiri pun sudah
memutlakkan pendapatnya.
Yang jelas, keberanian Nabi Ibrahim a.s. dalam meruntuhkan berhala-berhala kaumnya tidak
mungkin muncul dari sebuah keimanan yang nisbi dan relatif; tetapi muncul dari pemikiran dan
keyakinan yang mutlak, bahwa menyembah berhala adalah tindakan syirik dan salah sampai kapan
pun! Wallahu a’lam bis-shawab. [Depok, 29 Desember 2006 www.hidayatullah.com]
4.2.“Meruntuhkan Mitos Nurcholish Madjid” Senin, 25 Desember 2006
Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “menggugurkan” mitos bahwa pemikiran Nurcholish Madjid adalah
hebat. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-175
Pada 16 Desember 2006 lalu, sebuah peristiwa yang sangat bersejarah terjadi di Indonesia. Ketika
itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, cendekiawan Muslim asal Gontor Ponorogo, menyampaikan orasi
ilmiah dalam rangka tasyakkuran gelar doktornya dari International Institute of Islamic Thought
and Civilization—International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia. Secara
terbuka dan sistematis, Hamid memberikan kritik-kritik tajam terhadap gagasan pembaruan Islam
yang pernah digulirkan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan di awal tahun 1970-an.
Hamid F. Zarkasyi yang juga Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institute for the
Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), lulus program Ph.D. pada 6 Ramadhan 1427
H/29 September 2006, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Al-Ghazali’s
Concept of Causality’, di hadapan para penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Osman Bakar, Prof. Dr.
Ibrahim Zein, dan Prof. Dr. Torlah. Prof. Dr. Alparslan Acikgence, penguji eksternal dari Turki,
memuji kajian Hamid terhadap teori kausalitas al-Ghazali pada kajian sejarah pemikiran Islam.
Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazali telah menjelaskan sesuatu yang
selama ini telah dilewatkan oleh kebanyakan pengkaji al-Ghazali.
Acara tasyakkur Hamid F. Zarkasyi diselenggarakan INSISTS di Gedung Gema Insani, Depok, dan
dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai kalangan, tokoh dan pimpinan Ormas Islam, profesional,
dosen, mahasiswa, dan aktivis dakwah. Selama hampir dua jam, hadirin dibuat tidak bergerak,
khusyu’ menyimak paparan Hamid yang bertema ‘Membangun Peradaban Islam yang
Bermartabat’. Pidato peradaban Hamid ini diakui sejumlah peserta sangat luar biasa, karena
dipersiapkan dengan sangat serius dan berisi hal-hal yang mendasar dalam upaya membangun
peradaban Islam yang dimulai dari upaya perumusan konsep-konsep mendasar dalam pemikiran
Islam.
Melalui orasi ilmiahnya tersebut, Hamid Zarkasyi seperti layaknya pendekar yang baru turun
gunung, setelah bertapa selama puluhan tahun. Sejak kecil sampai sarjana S-1, Hamid dibesarkan
dan dididik ayahnya sendiri di lingkungan Pesantren Gontor. Barulah kemudian dia melanjutkan
program masternya di Pakistan. Setelah mengabdi beberapa tahun di Gontor, Hamid kembali
melanjutkan kuliah S-2 nya di Birmingham Inggris. Dari Inggris, dia langsung melanjutkan studi
S-3 nya ke ISTAC. Barulah, pada tahun 2006, pada usia 48 tahun, Hamid baru menyelesaikan studi
doktornya.
Bagi pembaca majalah ISLAMIA, sebenarnya sejak empat tahun ini, sosok Hamid sudah dikenal
luas melalui berbagai artikelnya. Pemikirannya sudah tersebar luas dan memberikan dampak
signifikan pada berbagai kalangan peminat studi Islam.
Tetapi, orasi ilmiahnya pada 16 Desember 2006, merupakan momentum penting. Secara substansi,
orasi ilmiah Hamid Zarkasyi ini seperti proklamasi jati diri dan pemikirannya. Orasi itu bagai
upaya untuk menyapu – setidaknya membendung – opini dan mitos yang terus dikembangkan oleh
para pengikut Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid adalah hebat dan ilmiah,
sehingga tidak bisa dijangkau oleh para pengkritiknya.
Ada yang menulis, bahwa para pengkritik Nurcholish salah paham terhadap gagasan Nurcholish.
Sedangkan yang mendukung Nurcholish paham terhadap Nurcholish. Padahal, baik yang
mendukung maupun yang mengkritik Nurcholish memang ada kemungkinan salah paham, jika
tidak memahami benar dasar dan anatomi pemikiran Nurcholish Madjid.
Mengembangkan prasangka semacam itu tidaklah bermanfaat untuk melihat persoalan secara
jernih. Gagasan sekularisasi dan pembaruan Islam Nurcholish bukanlah gagasan yang rumit dan
hanya dapat dipahami oleh pendukung Nurcholish. Gagasan itu dia tulis dalam bahasan Indonesia –
bukan bahasa Ibrani atau bahasa Mesir kuno.
Ide Sekularisasi Islam juga mudah dirunut akarnya dari pemikiran Harvey Cox atau Robert N.
Bellah. Corak pemikiran neo-modernis Nurcholish, bisa ditelusuri dari pemikiran gurunya di
Chicago University, Prof. Fazlur Rahman. Gagasan-gagasan keislamannya juga bisa dirunut pada
pemikiran Wilfred Cantwell Smith. Nurcholish sendiri tidak mengeluarkan satu buku ilmiah yang
utuh untuk menggambarkan pemikirannya sehingga bisa jadi ada aspek-aspek yang bertentangan
dalam satu bagian tulisannya dengan bagian lainnya. Apalagi, setelah dia terjun ke dunia politik
praktis, karena berminat menjadi presiden RI.
Memang, kemunculan Nurcholish Madjid sebagai tokoh besar dalam pemikiran Islam, tidak bisa
dilepaskan dari setting media massa tertentu. Karena itu, kritik-kritik terhadap Nurcholish,
meskipun dilakukan oleh ilmuwan kaliber internasional seperti Prof. HM Rasjidi, tetap saja
dikecilkan oleh media. Ketika menggulirkan pemikiran sekularisasinya, Nurcholish baru lulus S-1
dan Prof. Rasjidi adalah doktor lulusan Universitas Sorbone, Paris dan sempat menjadi professor di
McGill University Kanada.
Tanpa menafikan kemungkinan adanya niat baik dari gagasan pembaruan Islam, gagasan ini harus
dilihat dari akarnya, yakni pengaruh peradaban Barat. Dewasa ini, tantangan ekternal terberat yang
dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan
Barat. Dalam pidato ilmiahnya itu, Hamid Zarkasyi mampu menyuguhkan gambaran peradaban
Islam yang sangat luar biasa dan memaparkan perbedaan yang fundamental antara peradaban Islam
dengan peradaban Barat.
Sebelum memberikan kritiknya terhadap gagasan pembaruan Islam, Hamid F. Zarkasyi, telah
membongkar hakekat peradaban Barat yang menurutnya dapat dilihat dari dua periode penting
yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang
kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad
ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang
diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis,
desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama).
Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme,
kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya. John Lock, salah seorang filosof
Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan
(pluralisme) adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme
adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim. Sedangkan postmodernisme adalah gerakan
pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya.
Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru
seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan (equality), dan umumnya anti-worldview.
Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham
liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya.
Fazlur Rahman mengakui, bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami
agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam
pemikiran modernis. Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada banyak cendekiawan Indonesia
seperti
Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish
berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah
keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada
pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Istilah-istilah yang digunakan dalam pembaruan Islam adalah murni Barat, sehingga pengaruh
pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran
Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk
memahami agama.
Sekularisasi menurutnya adalah "menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat
duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan
idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam" dengan memandang negatif
tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N.
Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia
hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam.
Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan
diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan.
Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam
Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka,
karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah
properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan
pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan
menjadi sekularisasionisme (secularizationism).
Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi
adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun
Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong
menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality
(persamaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena
bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di
perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan
opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran. Lebih-lebih trend
pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan para orientalis di Barat.
Hamid memandang, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, termasuk di Indonesia,
ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh
komunitas yang memang bertekun khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan
pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya
oleh media.
Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadai untuk suatu proyek
pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan
pembaharuan itu ternyata lebih cenderung meng-copy konsep-konsep Barat modern dan
postmodern.
Untuk itu, simpul Hamid, apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali
kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing,
terutama Barat, khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan
teknologinya agar ummat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang
dan dalam konteks kekinian.
Demikian, paparan dan kritik Hamid F. Zarkasyi terhadap gagasan pembaruan Islam. Meskipun
selama ini banyak yang sudah mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholish madjid, tetapi kritik
Hamid Zarkasyi ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi.
Pertama, karena kualitas kritik Hamid yang sangat ilmiah dalam membongkar akar-akar pemikiran
Nurcholish Madjid dan kedua, karena Hamid Zarkasyi adalah putra KH Imam Zarkasyi, pendiri
pesantren Gontor, dimana Nurcholish pernah nyantri. Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang,
sosok Nurcholish Nurcholish identik dengan pesantren Gontor.
Padahal, kata Hamid, ayahnya sendiri pernah menyatakan, bahwa Nurcholish memang dari Gontor,
tetapi Gontor bukanlah Nurcholish. Memang, jika dicermati, Nurcholish memang sempat nyantri di
Gontor, tetapi pemikiran sekularisasi – apalagi pluralismenya – bukanlah berasal dari Gontor.
Setelah nyantri, Nurcholish melanjutkan studi S-1 nya di IAIN Jakarta dan kemudian ke University
of Chicago.
KH Khalil Ridwan, alumnus Gontor yang berpuluh-puluh tahun merasa gusar dengan penyebaran
pemikiran Nurcholish Madjid, termasuk di kalangan alumni Gontor, mengaku sangat bersyukur
dengan kelulusan doktor Hamid Zarkasyi. Dia pun mengaku bersyukur karena Hamid berani dan
mampu mengupas pemikiran Nurcholish Madjid dengan baik dan menunjukkan kekeliruannya.
Karena itu, dalam sambutannya dalam acara tasyakkuran tersebut, KH Khalil Ridwan berharap
Hamid berusaha keras untuk memberikan penjelasan kepada para alumni Gontor yang lain dan
juga kepada umat Islam pada umumnya. Dia pun tak lupa berpesan, agar Hamid senantiasa
mengamalkan doa yang diajarkan KH Imam Zarkasyi tentang keselamatan dalam agama. “Gelar
doktor tidak menjamin orang tidak tersesat,” pesan Kyai Khalil yang juga pemimpin pesantren
Husnayain.
Bagaimana pun canggihnya, orasi ilmiah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi ini hanya akan bermanfaat
bagi orang yang hati dan akalnya masih mau mengkaji dan menerima kebenaran. Bagi para sofis
yang keras kepala (‘inad), yg sudah a-priori dan menutup hati dan pikirannya untuk kebenaran,
maka tidak ada lagi hujjah yg bermanfaat. Meskipun sudah terbukti bisa terbang, seekor burung
gagak tetap dia katakan ‘kambing hitam’. Wallahu a’lam. [Yogyakarta, 22 Desember
2006/www.hidayatullah.com]
4.3. Debat Poligami Menjelang Kemerdekaan RI Senin, 18 Desember 2006
Jika Al-Quran dipahami dari perspektif gender equality yang bersemangat ‘dendam’, maka
munculah penafsiran ayat sesuai ‘anggapan’ sendiri.' Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
Husaini ke-174
Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis
sebuah buku berjudul “Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa”. Aslinya, buku ini
ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri
Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf
Wibisono ini diterbitkan.
Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh ekonomi,
keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur
sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar
Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor Universitas
Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya
meninggal, dia tidak memiliki rumah pribadi.
Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini
tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif
tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat
pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap
sebagian ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami.
Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis,
dan Jerman.
Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo, menulis
satu artikel tentang poligami di Koran ‘Suluh Indonesia Muda’ yang memberikan kritikan keras
terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan
bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai
lembaga poligami.
Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang
membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan ‘jalan tengah’ dari
sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang menutup
pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf
Wibisono menulis bahwa, “Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan
yang tidak bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih
poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum
pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia,
di mana dia sungguh-sungguh diperlukan.’’
Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah
Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul “La
maitresse legimitime” .
Anquetil menulis dalam bukunya:
“Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan, yakni,
mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara
kritis oleh seorang pengaran dari buku Inggris : ‘’History and philosophy of marriege.’’ Bahkan,
mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak
pula mau taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat ; baik mereka itu filsuf, seperti
Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau
Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau
Catulie Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau
atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ?
Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta,
baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu
menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya merupakan
maitressenya… Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hokum
alam telah dilakukan pada setiap zaman karena hokum alam itu tetap saja, tetapi pikiran manusia
dibuat demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-belit, sehingga bukannya ia memilih
sistem yang semata-mata menguntungkan, akan tetapi justru memilih sistem yang penuh dengan
dusta dan penipuan, yang membuat berputus asanya berjuta-juta wanita dan yang memaksanya
hidup dalam kesedihan, kekacauan, atau dosa-dosa sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus
hidupnya dalam kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan turunanturunan yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan penuh kebencian, yang jumlahnya
setiap harinya bertambah-tambah saja.”
Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: “Poligami akan
memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau
tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem monogami.”
Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis: “In a
great measure polygamy is much more a theoretical than a practical institution. Not one on twenty
Moslems has even two wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of polygamy,
but in the abuse of it that the evil lies.” (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis
daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang.
Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam
penyelahgunaan poligami).
Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai negara
Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di
Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan
Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih
dari dua orang istri. Di Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam
tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih dari
dua orang istri.
Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi kata
pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di
dunia internasional.
Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut:
“Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan luas di
lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan,
akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda – baik yang terpengaruh oleh sikap
anti-Islam, maupun yang tidak – yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan
agar kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapananggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat.
Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana yang
penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini terutama sekali
merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen
Barat, yang ‘’dus beradab’’ masih selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati
nurani dan nalar yang wajar (logika).
Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab berdasarkan
fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha
menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut
oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundangundangan perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya.
Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini terlalu banyak
dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan “persetujuan” pihak Islam terhadap
moral dan etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan bernada “Kristen”, seperti
yang lazim dianut di kalangan masyarakat Barat. Terlalu sering pula orang berusaha
menyembunyikan ajaran-ajaran Islam yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan jalan
“Umdeutung”, dengan menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, bahkan menghukum ajaranajaran itu sebagai bid’ah dan kufur. Itulah caranya mereka mencoba supaya Islam bisa diterima
kaum muda yang meskipun berasal dari keluarga Islam, tapi karena pendidikan Barat dan simpatisimpati serta kecenderungannya yang ke-Barat-baratan menjadi terasing dari agama Islam. Selain
dari pada itu, propaganda itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam.
Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan
cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan ‘’menyesuaikan’’ agama Islam dengan anggapananggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil anti Islam,
yaitu dunia Barat yang mendasarkan ‘’keunggulannya’’ kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam
– antara lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami – maka hilanglah pula
tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, untuk
membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan
demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan
tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa
dari sudut anggapan-anggapan itu.’’
Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini, begitu
banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayatayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah soal ‘anggapananggapan’ atau cara pandang serta metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami
dari perspektif Marxisme dan gender equality yang bersemangat ‘dendam’ terhadap laki-laki, maka
yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki,
dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai
dengan ‘anggapan’ nya sendiri.
Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman menariknya
dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat
duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang
lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka
dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk
pelecehan dan penghinaan.
Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat
adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan
Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami.
Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam
konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan kaum
feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner
dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya.
Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum
poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan dan
tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat.
Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat
tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara materi, juga
dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih
berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak.
Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah sesuatu
yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan
mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam adalah agama
wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang poligami sama sekali, dan tidak
membebaskannya sama sekali.
Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi korban. Sepanjang
zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya?
Andaikan suatu ketika, pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah
perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja,
ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar.
Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk
berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini,
ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. Wallahu a’lam. (Depok,
15 Desember 2006/www.hidayatullah.com).
Bab V
September 2206
5.1. “Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an” Sabtu, 23 September 2006
Dr.Quraish Shihab tetap berpendapat jilbab adalah masalah khilafiah, pendapat ganjil menurut
pandangan ulama Salaf. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-163
Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang
berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan
Kontemporer”.
Tempatnya di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, lembaga yang dipimpin oleh
Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai pembicara adalah Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr.
Jalaluddin Rakhmat, dan saya sendiri.
Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia tidak mampu
menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri, karena kehabisan tempat duduk.
Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Mukhlis Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas al-Azhar
Kairo, yang baru beberapa bulan kembali ke Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis Hanafi
sendiri sudah menulis satu makalah yang mengkritik pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Dr.
Eli Maliki, doktor bidang fiqih -- yang juga lulusan Al-Azhar – mendadak menggantikan Dr.
Anwar Ibrahim, anggota Komisi Fatwa MUI yang berhalangan hadir.
Prof. Quraish Shihab – seperti biasanya – dengan tenang mengawali paparannya yang
‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah
khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka.
Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara
tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa ketetapan
hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”
Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapatpendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan
masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah
yang jelas, pasti dan tegas.
Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu
masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
(hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000),
hal. 179), Quraish juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para
ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.”
Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki. Membahas QS 24:31
dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas
aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para
ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah
wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian
lain menyatakan, wajah boleh dibuka.
Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab adalah masalah
khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah adalah masalah muka dan telapak tangan,
telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan, jika ada hajat yang mendesak.
Kesimpulan Quraish Shihab – bahwa jilbab adalah masalah khilafiah -- seyogyanya diklarifikasi,
bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara para ulama tidak jauh-jauh dari masalah
“sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki”; tidak ada perbedaan diantara para ulama tentang
wajibnya menutup dada, perut, punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya.
Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara pembaca, bahwa ‘batas
aurat wanita’ memang begitu fleksibel, tergantung situasi dan kondisi.
Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat
wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para
ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”.
Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya
kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak
kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali
wajahnya saja.
Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup
wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan -- bahwa aurat
wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan – adalah pendapat Jamaah sahabat
dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa
tampak daripadanya.” (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As’ad
Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436).
Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada
kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah ‘’wajah dan telapak tangan’’ dan
perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “…
dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita,
bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua
telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas
dari wanita.” (Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib Musthafa),
(Jakarta: Lentera Basritama, 2002).
Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa
para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh
dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176).
Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan pengertian, bahwa
konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “lokal” dan temporal”. Kesimpulan ini
“cukup riskan” karena bisa membuka pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam
lainnya, sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah orang
dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim, dengan alasan,
QS 60:10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab didominasi oleh
laki-laki.
Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah tangga – sesuai
dengan prinsip gender equality – maka hukum itu sudah tidak relevan lagi. Bahkan, berdasarkan
penelitian, lebih baik jika istrinya yang muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim tetapi
istrinya non-Muslim. Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama ibunya.
Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat al-Quran yang
berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua wanita,
sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli,
pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk orang Arab. Makanya
yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga
bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika,
wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama.
Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah koran nasional pernah
memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS melarang wanitanya mengenakan pakaian yang
memperlihatkan belahan dadanya, karena dapat mengganggu konsentrasi para pelajar laki-laki,
yang lebih suka melihat belahan dada wanita ketimbang pelajaran di kelas.
Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi di jalan raya dengan
bertelanjang bulat.
Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan – di daerah mana pun – wanita
betelanjang dada – dengan alasan sudah menjadi “kebiasaan” sukunya. Pakaian koteka tetap salah,
dan mereka yang berkoteka diupayakan secara bertahap supaya menutup auratnya.
Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan “final” maka hukumhukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan “universal” – tentu dengan memperhatikan
faktor ‘illah.
Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa melontarkan pendapat
seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang bijak. Di tengah arus budaya pornografi dan
pornoaksi dan melanda masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita
muslimah, penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah tindakan
yang bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang terhormat seperti Pusat Studi AlQuran.
Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan keluar dari seorang
Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan keluar dari seorang mufassir Al-Quran yang paling
terkenal saat ini di Indonesia.
Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang putrinya yang tidak
mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu Majalah untuk melegitimasi tentang tidak
perlunya wanita mengenakan jilbab. Majalah ini pada 22 Maret 2005, menulis judul
cover: “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB.”
Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak mentarjih satu pendapat di
antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat luas untuk memilih pendapatpendapat yang bermacam-macam. Padahal, kata Dr. Eli, tugas ulama adalah membimbing
masyarakat, dengan menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat, dibandingkan dengan yang lain.
Seorang mahasiswi yang hadir mengaku bingung membaca buku Quraish dan takut membawa
buku itu ke tempat asalnya, karena buku itu ia nilai bisa membingungkan.
Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan pendapatnya. Ia tetap
menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Padahal, dalam bukunya, Quraish hanya
merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi.
Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis terhadap Asymawi.
Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa mengenakan jilbab yang menutup seluruh
tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah ‘sebuah anjuran’, bukan kewajiban.
Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa mengenakan jilbab
adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan dalam Al-Quran. Quraish Shihab, meskipun
bertahan dengan pendapatnya, bahwa jilbab adalah sebuah anjuran, namun dia mengaku telah
mengajurkan keluarganya untuk memakai jilbab.
Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas jilbabnya, karena membaca
pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa ‘daerah-daerah rawan wanita’ tetap wajib untuk
ditutup.
Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya pendapat para sahabat Nabi,
para tabiin, tabi’ut tabi’in, dan para ulama sesudahnya, tentang kewajiban mengenakan jilbab, lebih
aman jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban yang jelas.
Jika ada yang belum mampu mengenakan jilbab – karena berbagai alasan – sebaiknya tidak
mengubah hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa ada kekurangan dalam menjalankan perintah
Allah SWT.
Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan pendapatnya semula.
Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan pendapat-pendapat untuk Quraish Shihab secara
langsung. Kewajiban kita sudah selesai. Sekarang kita serahkan kepada Allah SWT.
Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Lebih
aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama yang sejak zaman Sahabat Nabi hingga kini
telah bersepakat tentang kewajiban wanita menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak
tangannya. Bagaimana pun, harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang jilbab, adalah pendapat
yang ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin. Meskipun dia dikenal sebagai pakar tafsir, namun
dalam hal ini, menurut saya, pendapatnya jelas keliru. Mudah-mudahan di masa mendatang,
Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya. Wallahu a’lam.
(Jakarta, 23 September
2006/www.hidayatullah.com ).
5.2. "Tuhan Kita: Allah!" Senin, 18 September 2006
Kaum Pluralis mengatakan, semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok-kelompok
Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
Husaini ke-162
Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam 'mengelirukan'
pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua agama adalah jalan yang berbeda-beda
menuju Tuhan yang satu".
Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting. Yang Satu itu dapat dinamai
Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan
tidak penting. Ada yang menulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang
Maha Penyayang, Tuhan Segala agama."
Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: "Tidak ada
tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar).
Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita telusuri dari tradisi Yahudi.
Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan mereka.
Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum
Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise
Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the
‘tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s
name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy."
Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak
dapat membaca dengan pasti empat huruf "YHWH". Mereka hanya dapat menduga-duga, empat
huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau
membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka
membacanya dengan Adonai (Tuhan).
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang
"nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan
kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz
"Alloh", sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi
"Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord".
Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka,
"Allah" adalah sebutan untuk "Tuhan itu" (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah
Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada "Tuhan
itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam.
Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak
penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun
1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal
Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan
lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH).
Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah
adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.''
Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada
halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah"
menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan
"Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah".
Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja
Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat
Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat
dipertahankan lagi." (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat
dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004);
Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah
Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3).
Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya, oleh sebagian kaum
Muslim atau orientalis Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam.
Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang tidak
tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi "God". Dalam konsep
Islam, Allah adalah nama diri (ismul 'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa.
Maka, seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik
diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord".
Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God.
Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In
the name of God".
Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad"
diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only". Kasus yang sama – penerjemahan
nama Allah menjadi God – juga bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang
dilakukan oleh J.M.
Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh
Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena "Allah"
adalah nama. Seperti halnya kita tidak boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan
"Presiden semak", atau nama Menlu AS "Rice" dengan "Menteri Nasi".
Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam
(Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga
bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan
wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final.
Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan
dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak
sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan
Timur. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1995).
Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan
disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii
tawqiidillaahi mu'taqidiina – bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab
Aqidatul Awam – yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah – ditulis bait pertama
kitab ini: "Abda'u bismillaahi wa-arrahmaani—wa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama
dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang
tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang
dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran.
Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw –
maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga
tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah.
Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan
sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak
melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan
langsung oleh Allah SWT – melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh
Nabi Muhammad saw.
Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang
memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan
dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam
masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak
diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang
serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah,
Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah".
Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan "Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang
Terpuji adalah utusan Allah".
Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga
menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis
tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong
menulis dalam bukunya:
"Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu
menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin
Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak
mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." (Karen
Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal. 199-200).
Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka
memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu,
tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka
juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun
nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa:
"... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat
roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku
Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal. xix).
Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, "Semua agama itu kembali
kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah."
Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah,
adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan
Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan.
Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara
khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz
"Allah" sebagai nama Tuhan mereka.
Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama
dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran. (Al-Quran memang
menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi,
maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87).
Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang
berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan
Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah'
dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit,
hal. 190).
Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama
dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan
mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw – sesuai dengan
ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan
kepada Tuhan masing-masing secara bergantian.
Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir
Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi
ajakan kafir Quraisy.
"Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu
bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.
Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109).
QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda – meskipun namanya
sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa
kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan,
bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara
(jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang mengikuti ajakan
kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masing-masing.
Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya
diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari
spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah
dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama.
Wallahu a'lam. (Bojonegoro, 15 September 2006/www.hidayatullah.com ).
5.3. "Mengenal Yahudi Liberal" Sabtu, 09 September 2006
Paham liberali telah menggeser agama Yahudi membolehkan perkawinan homoseks. Ini pula yang
pernah diusulkan kalangan mahasiswa IAIN Semarang. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
Husaini ke-161
Di tengah arus liberalisasi Islam di Indonesia, ada baiknya jika sekali waktu, kita menengok
berbagai berita tentang pemikiran dan aktivitas Yahudi Liberal (Liberal Judaism). Simaklah,
misalnya, sebuah berita di http://www.pinknews.co.uk, yang berjudul ”Liberal Judaism launches
gay marriage ceremonies in Britain.” (25-11-2005). Dalam berita yang ditulis oleh Benjamin
Cohen ini, disebutkan, bahwa Yahudi Liberal merupakan kelompok agama Yahudi pertama yang
memberikan pelayanan jasa perkawinan homoseks. Di kalangan Yahudi Liberal, memang sudah
banyak pemuka-pemuka agama (rabbi) yang gay maupun lesbian. Dengan diadakannya seremoni
perkawinan sejenis tersebut, maka perkawinan sejenis (homoseksual) bagi kaum Yahudi sudah
diakui sama statusnya dengan perkawinan lain jenis (heteroseksual) di kalangan otoritas Rabbi
Liberal (Liberal Rabbinic authorities).
Kita, umat Islam, perlu mencermati perkembangan kaum Yahudi liberal tersebut. Sebab, apa yang
sudah terjadi pada kaum dan agama Yahudi, kini sedang diterapkan untuk Islam. Di sejumlah situs
internet, kita bisa menyaksikan, kaum Yahudi liberal sudah melakukan perombakan besar-besaran
terhadap agama mereka, agar agama mereka bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai Barat modern.
Pengesahan perkawinan homoseksual adalah salah satu contohnya. Di Inggris, misalnya, kaum
Yahudi liberal juga sudah memiliki sinagog sendiri, terpisah dengan aliran-aliran Yahudi lainnya.
Kaum Yahudi Ortodoks yang dipimpin oleh Rabbi Sir Jonathan Sacks, menyatakan, bahwa
kelompoknya tidak akan mengikuti tindakan kaum Yahudi liberal tersebut. Seorang jurbicaranya
menyatakan, “Tidak ada harapan arus utama Yahudi Ortodoks akan mengizinkan perkawinan
sesama jenis.” Dari 31 pemuka agama Yahudi (rabbi) yang menjadi anggota penuh “Konferensi
Rabbi Yahudi Liberal” (Liberal Judaism’s Rabbinic Conference), empat diantaranya adalah lesbian
dan dua orang gay. Kaum Yahudi Liberal memiliki lebih dari 30 kongegrasi dan 10.000 anggota.
Melalui apa yang disebut sebagai “The Civil Partnership Law” maka kaum Yahudi memiliki
sejarah baru yang memberikan jaminan pengesahan perkawinan homoseksual dan lesbian.
Begitulah tindakan kaum Yahudi Liberal yang sekarang sudah secara resmi menjadi bagian dari
agama Yahudi.
Sama dengan Yahudi Ortodoks, Yahudi konservatif, dan sebagainya. Agama Yahudi tidak lagi
menjadi satu. Tapi sudah terpecah-pecah menjadi agama yang banyak. Mereka juga dengan
‘kreasinya’ sendiri, mengubah-ubah hukum perkawinan sejenis yang sudah ditegaskan di dalam
Bibel mereka sendiri, bahwa tindakan homoseksual adalah tindakan jahat yang harus dijatuhi
hukuman berat. Dalam Kitab Imamat: 13, dikatakan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki
secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah
mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Tetapi, karena kaum Yahudi Liberal ini ingin agamanya menyesuaikan dengan perkembangan
zaman, mereka memandang, tidak ada yang tetap dalam agama mereka. Hukum-hukum agama
yang sudah jelas pun mereka ubah-ubah, sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, mereka buat
sinagog sendiri, yang akhirnya juga menjadi tempat upacara perkawinan sejenis. Selain sinagog
sendiri, kaum Yahudi liberal juga sudah memiliki media massa dan penerbitan buku sendiri.
Apakah Yahudi Liberal itu? Dalam situsnya, www.ulps.org, mereka menjelaskan, bahwa Yahdudi
Liberal (Liberal Judaism) mulai muncul pada abad ke-19, sebagai satu upaya untuk menyesuaikan
dasar-dasar ajaran agama Yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (Enlightenment)
tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Kaum Yahudi liberal berharap mereka dapat
menyesuaikan agama mereka dengan masyarakat modern. Kaum Yahudi liberal juga percaya
bahwa Kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scriptures) –termasuk Taurat – adalah upaya manusia untuk
memahami Kehendak Tuhan, dan karena itu, mereka menggunakan Kitab-kitab itu sebagai titik
awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan Kitab mereka
dan menghargai nilai-nilai pengetahuan diluar Kitab agama mereka.
(Liberal Judaism believes that the Hebrew Scriptures including the Torah are a human attempt to
understand the Divine Will, and therefore uses Scripture as the starting point for Jewish decision
making, conscious of the fallibility of scripture and of the value of knowledge outside of
Scripture).
Organisasi Yahudi Liberal didirikan tahun 1902 oleh orang-orang Yahudi yang memiliki komitmen
terhadap filsafat liberal, dengan tujuan memelihara kepercayaan, tradisi, praktik ritual, dan etika
Yahudi dalam dunia kontemporer. Kaum Yahudi liberal bertekad bahwa mereka adalah bagian
dari sejarah perjalanan dan dinamika agama Yahudi. Mereka mengaku siap berdialog dengan
aliran-aliran lain dalam agama Yahudi, atau dengan agama lain, atau dengan sekularisme. Dan,
yang penting, mereka juga selalu siap untuk senantiasa meninjau kembali, memodifikasi dan
melakukan inovasi dalam agama Yahudi. Kata mereka: “Ini adalah agama Yahudi yang dulu yang
sedang dalam proses menjadi agama Yahudi masa depan.” (It is the Judaism of the past in process
of becoming the Judaism of the future).
Itulah sekilas tentang Yahudi Liberal. Serupa dengan Yahudi Liberal adalah gerakan Kristen
Liberal. Dalam agama Kristen, sudah lama dikenal juga para teolog Kristen liberal. Sebuah
gagasan Kristen Liberal di Amerika Serikat, misalnya, mendasarkan gagasannya pada
‘progresivitas politik’, ‘kepercayaan pada akal, sains, dan demokrasi’ serta ’rekonstruksi iman
Kristen’. Kata kunci pada upaya rekonstruksi agama Kristen dilakukan dengan menggunakan
metode sosio-historis. Teologi liberal ini juga memandang agama Kristen sebagai gerakan sosiohistoris. Charles A. Briggs, seorang Kristen Liberal, menyatakan: “It is sufficient that Bibel gives
us the material for all ages, and leaves to an the noble task of shaping the material so as to suit the
wants of his own time.” (Lihat, Alister E. McGrath, The Blackwell Encyclopedia of Modern
Christian Thought, (Oxford: Blackwell, 1993).
Jika kita cermati pemikiran dan praktik kaum Yahudi dan Kristen Liberal, mereka sama-sama
memandang agama mereka sebagai ‘agama sejarah’, agama yang ‘evolutif’, agama yang senantisa
berkembang mengikuti zaman dan tempat. Tidak ada yang tetap dalam agama mereka, sehingga
boleh saja diubah-ubah.
Maka, seperti telah kita ketahui, mereka tidak segan-segan mengubah konsep teologi dan hukumhukum yang sebelumnya sudah begitu jelas ditetapkan dalam Bibel. Jika sebelumnya mereka
menegaskan, di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus), maka kemudian
mereka mengubah ‘semua agama adalah jalan keselamatan’ (pluralisme). Jika dalam Bibel begitu
banyak terdapat perintah menerapkan hukuman mati bagi berbagai jenis kejahatan, maka kemudian
mereka juga menghapuskan hukuman mati. Itulah yang disebut sebagai agama sejarah atau
‘historical religion’.
Jika kita cermati ide-ide kaum liberal di Indonesia dari kalangan Muslim, kita bisa melihat adanya
’penjiplakan’ gagasan dari kaum Yahudi Liberal tersebut. Konsep historisitas dalam studi Islam
yang diperkenalkan oleh banyak cendekiawan dan dosen saat ini -- yang mengadopsi gagasan
Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain-lain -- sama persis dengan gagasan kaum
Yahudi Liberal dalam memandang agama dan Kitab agama mereka. Upaya menampatkan al-Quran
sebagai ‘teks bahasa’, ‘teks manusia’ dan ‘teks budaya’, atau ‘teks sejarah’ sama persis dengan
cara pandang kaum Yahudi Liberal terhadap Kitab-kitab Yahudi.
Karena itu, kita bisa melihat upaya kaum liberal dari kalangan Muslim untuk menyama-nyamakan
Islam dengan agama lain. Kaum liberal ini juga sedang bergerak untuk mencontoh kaum Yahudi
Liberal dengan mengubah (merusak) konsep-konsep pokok dalam Islam. Mereka sudah mengubah
aqidah Islam dengan enyebarkan paham Pluralisme Agama. Mereka merusak syariat Islam, bahkan
menyatakan bahwa tidak ada yang disebut sebagai hukum Tuhan, yang ada – kata mereka – adalah
hukum karangan manusia. Karena itu, mereka tidak segan-segan menghalalkan perkawinan
homoseksual. Pada sampul belakang buku “Indahnya kawin Sesama Jenis” yang ditulis sejumlah
mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang dikatakan:
“Dan sebagai warga negara yang hak-haknya dilindungi UUD, sudah semestinya kaum
homoseksual diberi hak dan perlindungan untuk bisa menikah secara absah dengan mendapat
payung hukum tetap dari negara. Karena itu, kami memandang sangat penting untuk dilakukan
revisi UU Perkawinan No 1 Th. 1974 dengan memasukkan poin perlindungan dan pengabsahan
kawin sesama jenis. Orang yang tidak mendukung perkawinan sesama jenis adalah orang-orang
egois, keras kepala dan serakah, yang tidak layak hidup di bumi ini.”
Para mahasiswa itu juga menutup bukunya tersebut dengan catatan penutup berjudul
“HOMOSEKSUALITAS DAN PERNIKAHAN GAY: SUARA DARI IAIN”. Jadi, anak-anak
itulah yang mengaku dan mengklaim bahwa suara mereka adalah suara dari IAIN, dimana mereka
menyatakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang
abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi iapapun dengan dalih apapun, untuk
melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan
manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Pemikiran-pemikiran yang jelas-jelas menghancurkan syariat dan aqidah Islam itulah yang
dikatakan para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN itu sebagai “suara dari IAIN”. Tetapi, kampus
yang bersangkutan, kemudian memberi anugerah kepada para mahasiswa yang anti-syariah Islam
itu dengan gelar yang mulia sebagai “sarjana hukum Islam”. Biarlah itu menjadi tanggung jawab
dunia dan akhirat pimpinan dan para dosen di kampus tersebut.
Ketika memberikan pemaparan tentang gerakan liberalisasi Islam di Indonesia di hadapan sekitar
150 mubalig di Kota Dumai Riau, 2-3 September lalu, ada seorang mubalig alumnis Fakultas
Syariah salah salah satu kampus Islam di Yogyakarta yang membenarkan terjadinya proses
liberalisasi besar-besaran di kampusnya. Yang tidak mau liberal, katanya, akan terpinggirkan,
karena arus utama sudah dikuasai kaum liberal. Dalam satu pengajian di salah satu Masjid di
Bekasi seorang Ibu kemudian mengaku resah, bagaimana nasib anaknya yang dikuliahkan di
fakultas syariah di kampus tersebut. Saya selalu menyampaikan kepada para orang tua, agar
jangan menyerahkan anaknya begitu saja kepada satu institusi kampus yang menggunakan label
Islam.
Sebab, di situ sudah campur aduk antara dosen yang menyebarkan pemikiran yang haq dan yang
menyebarkan pemikiran yang batil. Meskipun dari 100 orang dosen, hanya 5 saja yang batil, itu
sudah sangat merepotkan. Apalagi, jika yang berpikiran batil adalah yang berkuasa di kampus.
Merekalah yang menentukan kurikulum, menentukan dosen, dan mengarahkan judul atau tema
skripsi atau disertasi mahasiswa. Repotnya lagi, banyak yang merasa benar dalam kebatilan dan
berjuang menyebarkan kebatilan, seperti paham relativisme iman.
Dalam kondisi kekacauan pemikiran seperti sekarang, para orang tua wajib memahami pemikiran
Islam, wajib mengaji lagi dengan baik, agar bisa mengetahui jenis pemikiran dan buku-buku yang
dibaca anak-anaknya. Para orang tua juga perlu mengenal mana dosen yang masih baik dan mana
yang sudah kena virus liberal, sehingga bisa menitipkan anaknya di bawah bimbingan dosen-dosen
yang baik. Untuk apa belajar gama Islam, jika hasilnya malah menjadi ragu dan menentang Islam?
Dengan berkaca pada fenomena Yahudi Liberal, kita bisa menduga, mungkin dalam jangka waktu
tidak lama lagi, kaum liberal akan mendirikan masjid khusus untuk kaum liberal, dengan ustadustad atau kyai liberal, dan dengan pengajian-pengajian liberal. Bukan tidak mungkin, di masjid itu
nanti akan ada imam wanita tanpa jilbab dengan makmum campur aduk laki-laki dan wanita,
seperti sudah dilakukan oleh Amina Wadud di Amerika. Bukan tidak mungkin pula, ’masjid
liberal’ itu akan menjadi tempat berlangsungnya perkawinan antar-agama dan perkawinan kaum
homoseksual dan lesbian. Secara ide, semua pemikiran itu sudah mereka sebarluaskan ke tengah
masyarakat.
Semua itu sudah terjadi pada Yahudi dan Kristen. Kaum Yahudi liberal sudah punya sinagog
sendiri. Kaum Kristen liberal juga punya gereja sendiri. Kita tinggal menunggu kaum liberal di
kalangan Muslim akan mengikuti jejak Yahudi dan Kristen yang menjadi idola dan kiblat mereka.
Tapi, kita berharap, mudah-mudahan kelompok liberal dari kalangan kaum Muslim itu segera sadar
dan bertobat, menyadari kekeliruannya, sehingga tidak semakin jauh dalam merusak Islam. Tetapi,
kita tidak perlu risau dengan tindakan mereka, sebab masing-masing manusia hanya bertanggung
jawab terhadap amalnya sendiri. Lanaa a’maaluna wa lahum a’maaluhum. (Depok, 8 September
2006/www.hidayatullah.com)
5.4. “Hindu Pun Tolak Pluralisme Agama” Minggu, 03 September 2006
Penganut agama Hindu ternyata juga menolak paham ‘Pluralisme Agama’. Paham ini,
katanya, sebagai ‘Universalisme Radikal’. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke160
Beberapa hari lalu saya menerima kiriman sebuah buku menarik dari seorang teman di Bali
berjudul ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu tahun 2006. Buku yang berisi
kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu ini secara tajam mengupas dan
mengritisi paham Pluralisme Agama yang biasanya dengan sederhana diungkapkan dengan
ungkapan ‘’semua agama adalah sama’’. Buku ini diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma
Indonesia (PHDI), yang merupakan induk umat Hindu di Indonesia.
Memang, kaum Pluralis Agama dari berbagai penganut agama sering mengutip ucapan sebagian
tokoh agama Hindu untuk mendukung pendapat mereka. Sukidi, misalnya, seorang propagandis
Pluralisme Agama yang sedang kuliah di Harvard, menulis dalam satu artikel di media massa,
bahwa “Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama – entah
Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan,
konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan,
dalam nalar pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal
dari satu akar (the One).
Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama.’’ (Jawa Pos, 11 Januari
2004). Dalam paparannya tentang Hinduism dari bukunya, The World’s Religions (New York:
Harper CollinsPubliser, 1991), Prof. Huston Smith juga menulis satu sub-bab berjudul “Many
Paths to the Same Summit” (Banyak jalan menuju puncak yang sama). Huston Smith menulis,
bahwa Sejak dulu, kitab-kitab Veda menyatakan pandangan Hindu klasik, bahwa agama-agama
yang berbeda hanyalah merupakan bahasa yang berbeda-beda yang digunakan Tuhan untuk
berbicara kepada hati manusia. Kebenaran memang satu; orang-orang bijak menyebutnya dengan
nama ang berbeda-beda).
Untuk memperkuat penjelasannya tentang sikap ‘Pluralistik’ agama Hindu, Huston Smith juga
mengutip ungkapan ‘orang suci Hindu’ abad ke-19, yaitu Ramakrishna, yang mencari Tuhan
melalui berbagai agama: Kristen, Islam, dan Hindu. Hasilnya, menurut Ramakrishna, adalah sama
saja. Maka ia menyatakan: “Tuhan telah membuat agama-agama yang berbeda-beda untuk
memenuhi berbagai aspirasi, waktu, dan negara. Semua doktrin hanyalah merupakan banyak jalan;
tetapi satu jalan tidak berarti Tuhan itu sendiri. Sesungguhnya, seseorang dapat mencapai Tuhan
jika ia mengikuti jalan mana saja dengan sepenuh hati).
Penjelasan-penjelasan tentang agama Hindu yang dilakukan oleh berbagai kalangan Pluralis
Agama, tampaknya membuat kaum Hindu merasa ‘gerah’ dan tidak tenang. Maka, mereka pun
melakukan perlawanan, dengan membantah pendapat-pendapat kaum Pluralis Agama.
Salah satu buku yang secara keras membantah paham Pluralisme Agama, adalah buku Semua
Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006. Dalam buku ini paham Pluralisme Agama
disebut sebagai paham ‘Universalisme Radikal’ yang intinya menyatakan, bahwa “semua agama
adalah sama”. Buku ini diberi kata pengantar oleh Parisada Hindu Dharma, induk umat Hindu di
Indonesia.
Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa
Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk
yang dipromosikan oleh sebagian orang Hindu Pluralis yang suka mengutip Bagawad Gita IV:11:
“Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.”
Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga,
Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada
dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya,
sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.”
Bagian pertama buku ini memuat tulisan Giridhar Mamidi yang diberi judul “Semua Agama
Sederajat? Semuanya Mengajarkan Hal Yang Sama?”. Di sini, penulis berusaha membuktikan
bahwa semua agama tidaklah sama. Hanyalah orang-orang Hindu yang suka menyatakan, bahwa
semua agama adalah mengajarkan hal-hal yang sama.
Bahkan, Bharat Ratna Bhagavandas menulis satu buku berjudul “The Essential Unity of Religions”
(Kesatuan Esensial dari Semua Agama). Mahatma Gandhi pun mendukung gagasan ini.
Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu, mengecam keras orang-orang Hindu
yang menyama-nyamakan agamanya dengan agama lain. Biasanya kaum Hindu Pluralis
menggunakan “metafora gunung” (mountain metaphor), yang menyatakan: “Kebenaran (atau
Tuhan atau Brahman) berada di puncak dari sebuah gunung yang sangat tinggi. Ada berbagai jalan
untuk mencapai puncak gunung, dan dengan itu mencapai tujuan tertinggi. Beberapa jalan lebih
pendek, yang lain lebih panjang. Jalan itu sendiri bagaimana pun tidak penting. Satu-satunya yang
sungguh penting, adalah para pencari semua mencapai puncak gunung itu.”
Morales menjelaskan, bahwa tidak setiap agama membagi tujuan yang sama, konsepsi yang sama
mengenai ‘Yang Absolut’, atau alat yang sama untuk mencapai tujuan mereka masing-masing.
Tapi, ada banyak ‘gunung’ filosofis yang berbeda-beda, masing-masing dengan klaim mereka yang
sangat unik untuk menjadi tujuan tertinggi upaya spiritual seluruh manusia.
Universalisme Radikal – yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama – adalah doktrin yang
sama sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional.
Menurut Morales, gagasan persamaan agama dalam Hindu menjadi populer saat disebarkan oleh
sejumlah tokoh Hindu sendiri. Ia menyebut nama Ram Mohan Roy (1772-1833) yang dikenal
dengan ajaran-ajarannya yang sinkretik. Roy yang juga pendiri Brahmo Samaj, dipengaruhi ajaranajaran Gereja Unitarian, sebuah sekte atau denominasi agama Kristen heterodoks.
Sebagai tambahan mempelajari agama Kristen, Islam, dan Sansekerta, dia belajar bahasa Ibrani dan
Yunani dengan impian untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Bengali. Ia mengaku sebagai
‘pembaru Hindu’ dan memandang agama Hindu melalui kaca mata kolonial Kristen yang telah
dibengkokkan. Lebih jauh Morales menulis:
“Kaum misionaris Kristen memberi tahu Roy bahwa agama Hindu tradisional adalah satu agama
barbar yang telah menimbulkan penindasan, ketahyulan, dan kebodohan kepada rakyat India. Dia
mempercayai mereka… Dalam semangat misionaris untuk mengkristenkan agama Hindu, kaum
‘pembaru’ Hindu ini bahkan menulis satu traktat anti-Hindu dikenal sebagai The Precepts of Jesus:
The Guide to Peace and Happiness (Ajaran-ajaran Yesus: Penuntun kepada Kedamaian dan
Kebahagiaan). Dari kaum misionaris Kristen ini secara langsung Roy mendapat bagian terbesar
dari ide-idenya, termasuk ide anti-Hindu mengenai kesamaan radikal dari semua agama.”
Pengganti Roy berikutnya adalah Debendranath Tagore dan Kashub Chandra Sen, yang mencoba
menggabungkan lebih banyak lagi ide-ide Kristen ke dalam neo-Hinduisme. Sen bahkan lebih jauh
lagi meramu kitab suci Brahmo Samaj yang berisi ayat-ayat dari berbagai tradisi agama yang
berbeda, termasuk Yahudi, Kristen, Islam, Hindu dan Budhis. “Dengan kejatuhan Sen ke dalam
kemurtadan anti-Hindu dan megalomania, gerakan ini menurun secara drastis dalam pengaruh
pengikutnya,” tulis Morales. Pada abad ke-19, muncul dua tokoh Universalis Radikal dari Hindu,
yaitu Ramakrisna (1836-1886) dan Vivekananda (1863-1902).
Disamping dipengaruhi oleh akar-akar tradisi Hindu, Ramakrishna juga meramu ide dan praktik
ritualnya dari agama-agama non-Vedic, seperti Islam dan Kristen Liberal. Sekalipun tetap melihat
dirinya sebagai seorang Hindu, Ramakrishna juga sembahyang di masjid-masjid dan gereja-gereja
dan percaya bahwa semua agama ditujukan pada tujuan tertinggi yang sama.
Gagasan Ramakrishna dilanjutkan oleh muridnya yang sangat terkenal, yaitu Swami Vivekananda.
Tokoh ini dikenal besar sekali jasanya dalam mengkampanyekan agama Hindu di dunia
internasional. Tetapi, untuk menyesuaikan dengan unsur-unsur modernitas, Vivekananda juga
melakukan usaha yang melemahkan agama Hindu otentik dari leluhur mereka dan mengadopsi ideide asing seperti Universalisme Radikal, dengan harapan memperoleh persetujuan dari tuan-tuan
Eropa yang memerintah mereka ketika itu.
Vivekananda mengadopsi gagasan semacam Universalisme Radikal yang bersifat hirarkis yang
mendukung kesederajatan semua agama, sementara pada saat yang bersamaan mengklaim bahwa
semua agama sesungguhnya sedang berkembang dari gagasan religiositas yang lebih rendah
menuju satu mode puncak tertinggi, yang bagi Vivekananda ditempati oleh Hindu. Morales
mencatat : ‘’Sekalipun Vivekananda memberi kontribusi besar untuk membantu orang Eropa dan
Amerika nin-Hindu untuk memahami kebesaran agama Hindu, Universalisme Radikal dan
ketidakakuratan neo-Hindu yang ia kembangkan juga telah mengakibatkan kerusakan besar.’’
Pada akhirnya Morales menyimpulkan, bahwa gagasan Universalisme Radikal yang dikembangkan
oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat merugikan agama Hindu itu sendiri. Ia menulis :
“Ketika kita membuat klaim yang secara sentimental menenangkan, namun tanpa pemikiran bahwa
“semua agama adalah sama”, kita sedang tanpa sadar mengkhianati kemuliaan dan integritas dari
warisan kuno ini, dan membantu memperlemah matrix filosofis/kultural agama Hindu sampai pada
intinya yang paling dalam. Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara
bombastik memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas
kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai.”
Dengan terbitnya buku ‘’Semua Agama Tidak Sama’’ dari kalangan Hindu ini, maka kita melihat,
sudah empat agama yang secara tegas menolak paham Pluralisme Agama, yaitu Katolik, Protestan,
Hindu, dan Islam.
Tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II sudah menolak paham Pluralisme Agama dengan
mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’. Dari kalangan Protestan di Indonesia juga muncul
penolakan keras terhadap paham ini, dengan keluarnya buku Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul
‘’Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa
Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).
Dari umat Islam, Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah
menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam
memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk
agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme
Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut
dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif
terhadap Islam dan agama-agama lain.
Dengan keluarnya buku ‘’Semua Agama Tidak Sama’’ dari kalangan Hindu, maka sudah semakin
jelas, bahwa paham Pluralisme Agama memang merupakan racun, virus, atau parasit bagi agamaagama yang ada. Sebab, paham ini memang tidak mengakui kebebaran mutlak satu agama.
Kaum Pluralis ingin menciptakan satu teologi global atau universal (global theologi),
menggantikan keyakinan khas dari masing-masing pemeluk agama. Jadi, Pluralisme Agama adalah
musuh bersama agama-agama. Maka, aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai pemeluk agama
tertentu, tetapi pada saat yang sama dia mengaku pluralis agama. Jika ada yang mengaku seperti
itu, maka ada dua kemungkinan, pertama : tidak tahu atau tertipu, dan yang kedua : sengaja ingin
merusak agama. Wallahu a’lam. (Jakarta, 1 September 2006/www.hidayatullah.com).
Bab VI
Agustus
6.1. “Ketika Kampus Islam Dibajak Orientalis” Senin, 28 Agustus 2006
Lebih dari 30 tahun benih orientalisme mencengkram studi Islam dan semakin merambah ke
berbagai bidang, termasuk studi Al-Qur'an. baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian husaini ke159
Saat mengisi acara workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya
mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, bernama TSAQAFAH. Jurnal ini
diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor
Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat berbagai artikel menarik tentang
keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan adalah sebuah artikel berjudul “Framework
Kajian Filsafat Islam” tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID.
Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di
Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy
membuktikan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh kajian para
orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih mendasar
lagi, sampai pada framework (kerangka) dan cara pandangnya
terhadap filsafat Islam.
Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa
filsafat Islam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran
rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap
disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah.
Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi
filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir
dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan
Sunnah.
Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan
adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam.
Sejumlah ilmuwan seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan
berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam. AlGhazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan
menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam.
Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga menerima jenis
filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah alhaqiqiyah (filsafat yang sebenarnya).
Hamid Fahmy – yang telah menyelesaikan disertasi doktornya tentang ‘Teori Kausalitas alGhazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, menerima
secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsepkonsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam.
Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep
asing itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat
prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani.
Jadi, sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang
berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang asli dan riil dari para pemikir
Muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur asing yang kemudian
diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim
memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani.
Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama,
Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal”
dalam kurikulum ini adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam
Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani.
Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model
kajian seperti ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk mengembangkan
filsafat sains dalam Islam.
“Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework
yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre
for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor.
Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi tentang metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam.
Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah menunjukkan kuatnya pengaruh metode
orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian memberikan kritik-kritik
yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam.
Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai rujukan dalam studi
Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun
Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”.
Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan
mendasar tentang Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis
masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria,
Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn
Ishaq al-Kindi.”
Dalam pemaparannya, Harun mengungkap berbagai perdebatan seputar isu-isu dalam kajian
filsafat, tetapi tidak melakukan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas
pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, Harun tidak
memberikan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan tentang filosof Abu Bakr Muhammad
Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agamaagama, al-Razi bukanlah seorang ateis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.”
Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan
tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui
adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini.
Oleh karena itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa menimbulkan
kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama dia kritik. Al-Quran baik dalam bahasa
maupun isinya bukanlah mu’jizat.”
Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa
pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) adalah keliru dan
bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam
uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali.
Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat
Ibn Rusyd yang memberikan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali.
Kajian Harun tentang aspek filsafat dalam Islam, menurut Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang
sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama.
Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan
Ibnu Sina.
Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, adalah suatu usaha untuk mempertahankan aqidah Islam dengan
mengambil bahan dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan
Ibnu Sina tentang emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Allah
menciptakan alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran. Meskipun mengakui kebaikan
niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk menunjukkan bahwa Islam tidak
bertentangan dengan akal – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd tentang kekekalan alam sudah
usang untuk abad ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti
perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd
yang sudah usang itu,” tulis Prof. Rasjidi.
Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa
dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan
oleh Prof. Rasjidi, karena Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang.
Bahkan, Hamid menawarkan perspektif baru dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan
oleh Prof. Rasjidi sebelumnya.
Kajian-kajian ilmiah dan serius tentang berbagai bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) saat ini
merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun setelah benih
orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam
sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama
maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negaranegara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata
kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng.
Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework
studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam.
Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang peserta
menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan
dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam berbagai buku
dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik adalah
dalam soal teknik penulisan. Misalnya, karena banyak catatan kakinya, maka suatu tulisan disebut
ilmiah dan bagus.
Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu memberikan apresiasi terhadap ketekunan
dankesungguhan para orientalis dalam melakukan penelitian dan penulisan tentang Islam.
Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam.
Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework
kajian agama, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dengan para orientalis pada umumnya.
Bagi seorang Muslim, belajar agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang
dapat meningkatkan iman dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah manusia diciptakan kecuali
hanya untuk beribadah kepada Allah. (QS
51:56).
Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri adalah kewajiban dan merupakan ibadah.
Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang
tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan,
dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari
ibadah kepada Allah.
Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’
yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model
studi seperti ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu
skripsi atau tesis tetap diluluskan jika dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah,
tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam.
Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan,
bahwa manusia tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini
sangat keliru, sebab Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Nabi dan Rasul
dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Kita berharap para dosen di perguruan tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar
akan amanah berat yang mereka pikul saat ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau
bermain-main dalam hal ilmu agama.
Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis adalah dengan
cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang sejak berabad-abad lalu dilakukan oleh
para orientalis.
Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan
pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan
mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama
Islam.”
Jadi, sesuai dengan niat mulia sejak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi
pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam
Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu
tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala
macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti,
untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’.
Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa
membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu
yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan masalah ini, bisa jadi, kampus yang
semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para
orientalis. Wallahu a’lam. (Depok, 25 Agustus 2006/www.hidayatullah.com]
6.2. "Penghianatan Yahudi" Minggu, 13 Agustus 2006
Bom-bom Zionis menganghancurkan wanita dan anak-anak Libanon. Di Indonesia “bom
pemikiran Yahudi” tak kalah dasyatnya mencabik otak. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
Husaini ke-157
Menyimak keberingasan, kebengisan, dan kepongahan Israel di Lebanon dan Palestina saat ini, ada
baiknya kita mengkaji kembali pemahaman kita tentang bangsa Yahudi, sebagaimana digambarkan
dalam Al-Quran dan buku-buku sejarah. Ayat-ayat yang menggambarkan karakter dan bangsa
Yahudi begitu banyak bertebaran.
Di dalam sejarah kita memahami, bahwa kaum Yahudi adalah kelompok manusia yang begitu
banyak dan hobi melakukan pengkhianatan terhadap kebenaran yang disampaikan kepada mereka.
Di Madinah (Yathrib), kaum Yahudi telah mengabarkan kepada penduduk setempat akan
edatangan seorang Nabi terakhir. Dan ini telah diberitakan oleh Nabiyullah Isa a.s. kepada mereka,
jauh-jauh sebelumnya. Tetapi, ketika Rasul itu (Nabi Muhammad saw) benar-benar tiba,
maka justru mereka menjadi orang pertama yang mengingkarinya.
“Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan
Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira
dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad
(Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang
nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (QS as-Shaf:6).
Itulah karakter Yahudi. Sebuah karakter yang dengan begitu mudah menolak kebenaran, meskipun
mereka tahu tentang kebenaran. Karena itu, Rasulullah saw menjelaskan, bahwa makna kata ‘almaghdhub’ (yang dimurkai Allah SWT) dalam surat al-Fatihah adalah ‘al-Yahud’. Jadi kaum
Yahudi adalah prototipe orang yang tahu tentang kebenaran tetapi tidak mau mengikuti kebenaran,
bahkan sebaliknya, merekalah yang menyembunyikan dan mengubah-ubah kebenaran.
Al-Quran menjelaskan bagaimana kaum Yahudi hobi mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga
tidak diketahui lagi mana wahyu yang asli dan mana yang merupakan tambahan mereka. “Maka
kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri,
lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit
dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka
kerjakan.” (QS al-Baqarah:79).
Akibat pengkhianatan mereka terhadap kebenaran ini, maka mereka juga menyesatkan kaum
lainnya yang mengikuti mereka. Hingga kini diakui oleh para pengkaji agama Yahudi, bahwa
masalah besar dalam mengkaji Kitab Yahudi (Bibel Yahudi – yang oleh orang Kristen disebut
sebagai ‘Perjanjian Lama’) adalah masalah otentisitas teks-teks Bibel tersebut. Yakni
membedakan, mana yang asli dan mana yang sisipan.
Th.C. Vriezen, dalam bukunya, Agama Israel Kuno (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001),
menulis: “Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah
Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada
banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur).
Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa
sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya
yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam
naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu
yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.”
Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library,
1989), juga menulis: “It is a strange fact that we have never known with certainty who produced
the book that has played a central role in our civilization.”
Jadi, menurut Friedman, adalah hal yang ajaib bahwa kaum Yahudi-Kristen sebenarnya tidak
pernah tahu dengan pasti, siapa yang menulis kitab mereka. Padahal, kitab itu sudah begitu
memainkan peran sentral dalam peradaban mereka.
Bahkan, Kitab Torah (Five Book of Moses, yakni Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan,
dan Ulangan) dikatakan Friedman sebagai salah satu teka-teki paling kuno di dunia (It is one
of the oldest puzzles in the world).
Gara-gara ulah Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka itu, maka kebenaran menjadi kabur,
karena dicampur aduk dengan kebatilan. Dalam surat al-Baqarah:41-42 sudah disebutkan
peringatan Allah agar kaum Yahudi jangan menjadi orang yang pertama kafir dan jangan
mencampuradukkan antara yang haq dan bathil dan menyembunyikan kebenaran.
“Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa
yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan
janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah
kamu harus bertakwa. Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui.”
Tentu saja kaum Yahudi sangat tertohok dengan ayat-ayat Aal-Quran yang menelanjangi habishabisan kecurangan mereka. Karena itu bisa dipahami jika mereka tidak pernah ridho kepada kaum
Muslim, sampai kaum Muslim mengikuti millah mereka (QS al-Baqarah 2:120). Mereka kemudian
menyimpan dendam yang terus terpendam dan berusaha keras untuk merusak Islam.
Jika kita cermati, saat ini, betapa banyak orang diantara kaum Muslim yang – sadar atau tidak –
mengikuti jejak kaum Yahudi dalam mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Kita tidak
habis pikir, bagaimana ada orang yang mengaku Islam tetapi mendukung upaya penyerangan
terhadap Al-Quran, melecehkan Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi.
Ada juga yang secara terang-terangan dengan berbagai dalil yang dibuat-buat menghalalkan
perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Ada yang
membuat-buat tafsir Al-Quran ala Yahudi dengan membuang makna teks dan menekankan aspek
konteks secara serampangan.
Itulah yang dilakukan misalnya oleh Prof. Musdah Mulia dan para penulis buku Fiqih Lintas
Agama yang membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul, sehingga
keluar keputusan hukum bahwa muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim. (Lihat
buku Muslimah Reformis karya Musdah Mulia terbitan Mizan dan buku Fiqih Lintas Agama
terbitan Paramadina dan The Asia Foundation).
Padahal, cara penafsiran seperti itu benar-benar mengikuti metodologi penafsiran Bibel Yahudi.
Dalam bab berjudul ‘Hebrew Scriptures’ dari buku Path Through Catholicism karya Mark Link SJ
(Texas:Tabor Publishing, 1991), dijelaskan metode penafsiran Bibel Yahudi yang memisahkan
antara metode tekstual dan metode kontekstual.
Orang yang menafsirkan secara tekstual/literal dijuluki sebagai kaum literalis atau fundamentalis.
Paus sendiri menolak penafsiran Bibel secara tekstualis atau literalis. Menurut buku karya Mark
Link itu, penafsir Bibel dibagi menjadi dua model, yakni model literalis dan kontekstualis.
Dia menulis: “Literalists interpret the Bible rigidly, saying, “It means exactly what it says”. In
other words, literalists (also called fundamentalists) concern themselves with only the text of the
Bible. Contextualists interpret the Bible more broadly, saying “We must consider not only the text
but also the context of the Bible. In other words, we must also consider such a things as historical
and cultural situation in which the Bible was written.” (hal. 22)
Model tafsir Bibel Kristen-Yahudi seperti ini, yang menajamkan aspek tekstual dan kontekstual
dan menekankan aspek historisitas teks, saat ini banyak mencengkeram sebagian akademisi
Muslim. Itu bisa kita lihat dalam buku-buku tentang studi Islam yang bermunculan dewasa ini.
Seorang dosen UIN Yogya yang menerbitkan disertasinya dengan judul “Muslim-Christian
Relations in The New Order Indonesia:The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspectives,
(Bandung: Mizan, 2005)” membagi kaum Muslim Indonesia ke dalam dua golongan, yakni
kaum ‘Inclusivist Muslims’ dan exclusivist Muslim’.
Kaum Muslim Inklusif, kata dia, adalah mereka yang mempersepsikan Islam sebagai agama
evolutif dan menerapkan metode tafsir kontekstual terhadap Al-Quran dan Sunnah. (… they
perceive Islam as an evolving religion they apply a contextual reading to the Quran and sunna).
Sedangkan Muslim eksklusif adalah yang menerapkan metode penafsiran al-Quran dan Sunnah
secara literal. (They apply a literal approach in understanding the foundation texts of Islam, namely
the Quran and the sunna of the Prophet).
Cara pandang disertasi di Melbourne University seperti itu adalah pola dan metode panafsiran
Bibel Kristen-Yahudi, yang dipaksakan kepada Aal-Quran. Si dosen itu harusnya mengkaji dengan
serius, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara sifat teks Al-Quran dan teks Bibel. Dalam
konsep Islam, teks Al-Quran adalah ‘tanzil’ yang lafaz dan maknanya dari Allah.
Teks Al-Quran bukan bikinan Nabi Muhammad saw atau bikinan manusia mana pun. Karena itu,
Al-Quran adalah wahyu, Kalamullah. Ini beda dengan Bibel, yang dalam konsep Kristen sendiri
dikatakan sebagai ‘teks manusiawi’, yakni teks yang ditulis oleh para penulis Bibel yang
mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus.
Karena problem teks Bibel itulah, maka kaum Yahudi-Kristen tidak bisa menafsirkan secara
tekstual, sebab memang tidak ada teks yang bisa dipegang. Teks Bibel selalu berubah dari waktu
ke waktu.
Salah satu Bibel edisi bahasa Inggris yang biasanya dianggap otoritatif adalah King James Version.
Tapi, sekarang pun sudah muncul New King James Version. Kita bisa bandingkan teks Bibel
terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) edisi 1971 dan 2004, misalnya, maka kita akan bertemu
dengan begitu banyak ayat yang bukan hanya berubah teksnya, tetapi juga maknanya. Sebagai
contoh, bandingkan ayat Bibel Yahudi tentang larangan keluar pada hari Sabat:
Edisi LAI tahun 1971 menyatakan: “tetapi hari yang ketudjuh itulah sabat Tuhan, Allahmu, pada
hari itu djangan kamu bekerja, baik kamu, atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau
hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau binatangmu, atau orang dagang jang ada
didalam pintu gerbangmu.”
Sedangkan dalam edisi tahun 2004 ditulis: “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu,
maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan,
atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu, atau orang asing yang ditempat
kediamanmu.”.
Kekeliruan pola pikir terhadap Al-Quran yang menjiplak pola pikir Yahudi-Kristen itu bukan khas
dosen UIN Yogya itu saja. Kita bisa menyimak bagaimana membanjirnya istilah-istilah asing ke
dalam kosa kata studi Islam dewasa ini, seperti istilah ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam literalis’, dan
sebagainya, yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen.
Banyak yang latah membeo saja dalam menggunakan istilah-istilah yang lahir dalam tradisi
Yahudi-Kristen tersebut, tanpa sikap kritis. Padahal, kita tidak bisa begitu saja mengambil istilahistilah itu tanpa disesuaikan dengan makna dalam Islam.
Sebagai contoh, dalam istilah Kristen, George W. Bush biasa disebut sebagai penganut Kristen
fundamentalis yang konservatif dan taat. Tetapi, tentu kita tidak bisa menyebut Bush adalah
seorang Kristen salafi yang muttaqin. Masing-masing tradisi dan agama memiliki sistem
pemikiran dan istilah yang khas, yang tidak seyogyanya dijiplak begitu saja.
Masalah teks Bibel itu sangat berbeda dengan Al-Quran, sehingga cara penafsirannya pun sangat
berbeda dengan Bibel. Sebagai teks manusiawi unsur historisitas sangat ditekankan dalam
penafsiran. Tetapi, sebagai teks wahyu, makna kata-kata dalam teks Al-Quran adalah
terjaga dari zaman ke zaman. Karena itu, hukum-hukum Al-Quran bersifat universal, melintasi
zaman dan budaya, meskipun ayat-ayat itu diturunkan di wilayah Arab pada waktu tertentu dan
dengan kondisi kultural tertentu.
Ketika Al-Quran melarang minuman keras, itu bukan hanya untuk orang Arab saja, tetapi berlaku
untuk semua manusia. Kewajiban jilbab bukan hanya berlaku untuk wanita Arab abad ke-7, tetapi
tetap berlaku sampai sekarang. Dan sebagainya. Salah satu buku yang sangat menekankan aspek
historisitas dalam studi Islam bisa dilihat buku ‘Islamic Studies’ karya Prof. Amin Abdullah, rektor
UIN Yogya, yang banyak merujuk kepada para pemikir sekular-liberal seperti Nasr Hamid Abu
Zayd dan Mohammed Arkoun.
Kini, dalam situasi dimana saudara-saudara kita di Lebanon dan Palestina dihujani bom-bom
Yahudi yang mencabik-cabik tubuh wanita dan anak-anak tanpa belas kasihan sedikit pun, ada
baiknya kita juga merenung sejenak, bahwa kaum Muslim di Indonesia saat ini, juga sedang
dihujani dengan “bom-bom pemikiran Yahudi yang sangat dahsyat dampaknya dalam mencabikcabik otak sebagian sarjana agama dari kalangan umat Islam, sehingga banyak yang tanpa sadar
sudah mengikuti “pola pikir Yahudi” dalam mencabik-cabik Islam dan Al-Quran.
Gara-gara otaknya keliru, memandang bahwa Al-Quran adalah produk budaya, maka seorang
dosen IAIN Surabaya dengan bangga, sengaja, dan sadar menginjak lafaz Allah di hadapan para
mahasiswanya. Mudah-mudahan kita senantiasa diselamatkan Allah, agar tidak terjebak dalam pola
pikir dan jalan orang-orang yang dimurkai Allah. Amin. (Depok, 11 Agustus
2006/www.hidayatullah.com).
6.3. “Menyikapi Kebrutalan Zionis Israel” Sabtu, 05 Agustus 2006
Muslimin Indonesia harus menyusun langkah melawan hegemoni Yahudi. Syaratnya ukhuwah
Islamyah tak hanya di lisan. Apalagi masih bangga kelompoknya sendiri. Baca Catatan Akhir
Pekan Adian Husaini ke-156
Hari-hari ini, kaum Muslim seluruh dunia menyaksikan kebrutalan yang membabi buta kaum
Zionis terhadap kaum Muslim di Palestina dan Lebanon. Setiap hari, jet-jet tempur beserta tanktank Israel membunuhi warga Muslim. Dunia mengutuk serangan Israel itu. Tetapi, semuanya tidak
berdaya, tidak mampu mencegah kebrutalan Israel. Padahal, dari segi hukum internasional, aksi
sepihak Israel yang menyerbu Lebanon jelas-jelas tidak dibenarkan.
Tetapi, kaum Zionis Israel tidak mempedulikan hal itu. Mereka merasa lebih kuat, dan
menganggap remeh protes dunia Islam terhadap kebrutalan mereka. Pada akhir Juli 2006, Israel
bahkan menyerang tempat pengungsian penduduk sipil di Desa Qana, sehingga membunuh lebih
dari 60 warga Lebanon –37 diantaranya adalah anak-anak. Seketika itu kemudian dunia
mengecam Israel. Tetapi, tetap saja, hal itu tidak mampu menghentikan kebiadaban kaum Zionis
Israel.
Umat Islam dan dunia Islam, sejauh ini, hanya mampu melakukan protes, menangis, mengeluarkan
resolusi dan kutukan demi kutukan. Tetapi, tidak ada yang digubris oleh Israel. Sepertinya, Israel
sudah hafal langgamkaum Muslim. Jika dibantai atau dipecundani, kaum Muslim akan marah dan
melakukan aksi demontrasi. Setelah itu, lama-lama lupa pada masalahnya, lalu diam. Megapa umat
Islam begitu mudah untuk diperdaya dan dipecundangi ? Tidak adakah kemuliaan bagi kaum
Muslimin? Padahal, dalam Al-Quran, Allah SWT menjamin :
“Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orangorang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 139).
Jadi, umat Islam harusnya menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang terbaik yang
menjadi saksi atas umat manusia lainnya. Tetapi, semua itu tidak akan terjadi, jika umat Islam
meninggalkan syarat-syarat untuk dapat menjadi umat yang mulia.
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kamu) menyuruh kepada yang makruf
dan mencegah kemunkaran, serta beriman kepada Allah." (QS Ali Imran:110). Jika kaum Muslim
meninggalkan syarat untuk menjadi mulia, maka mereka akan menjadi umat yang hina.
Kondisi umat Islam yang tidak berdaya menghadapi kebiadaban kaum Zionis Israel seperti
mencerminkan apa yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw:
“Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni
kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Maka salah seorang
sahabat bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?” Nabi SAW
menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu
banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan
Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al wahnu.” Seorang sahabat bertanya:
“Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?” Rasulullah SAW menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.”
(HR Abu Daud)
Tanpa perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa kondisi umat Islam
saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan Rasulullah saw tersebut. Di berbagai belahan
dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang berat. Umat Islam diperlakukan dengan sangat
hina. Tidak disegani dan ditindas dimana-mana. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir,
Thailand Selatan, dan di berbagai belahan dunia lainnya, umat Islam menghadapi penindasan
dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar 1,3 milyar jiwa,
bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri, diombang-ambingkan situasi dan kondisi.
Untuk menyelesaikan masalah Palestina saja masih belum mampu. Bandingkan dengan kaum
Yahudi yang jumlahnya hanya sekitar 15 juta jiwa, yang berani menolak puluhan resolusi PBB,
dan tidak gentar sedikit pun menghadapi protes dari seluruh penjuru dunia.
Sebagai Muslim kita tidak boleh berdiam diri terhadap perkembangan di Palestina dan Lebanon
saat ini. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bangun pagi dan tidak peduli dengan masalah
umat Islam, maka dia tidak termasuk bagian dari umat Islam.”
Secara umum, ada dua tanggung jawab muslim terhadap dunia Islam, yaitu (1) tanggung jawab
risalah, dan (2) tanggung jawab ukhuwah. Tanggung jawab risalah wajib dilaksanakan oleh umat
muslim berdasarkan perintah Allah SWT yang terdapat dalam sejumlah ayat Al Quran:
"Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang makruf dan mencegah kemunkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS
Ali Imran:104).
Ayat-ayat Al Quran tersebut memberikan penjelasan yang tegas tentang kewajiban umat Islam
untuk melaksanakan dakwah, dalam arti melanjutkan risalah Rasulullah saw.
Ad-Dinul Islam diturunkan Allah SWT melalui Rasul-Nya, Muhammad saw., kepada seluruh
manusia (QS 34:28). Islam diturunkan bukan hanya untuk umat Islam semata. Islam diturunkan
untuk menyelamatkan umat manusia, untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam (QS 21:107).
Penegasan agar ajaran Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam juga tampak dari seruan Rasulullah
saw dalam Khutbatul Wada’, dimana Rasul saw senantiasa menggunakan seruan “Ya ayyuhan
naas…”. Ketika itu beliau berpesan, agar orang-orang yang hadir di Arafah, menyampaikan pesanpesan kepada yang tidak hadir.
Karena mengemban misi yang sangat mulia -- yaitu untuk menyebarkan rahmat kepada seluruh
alam, yang dapat juga diartikan sebagai tugas untuk menyelamatkan umat manusia dari
kehancuran -- maka umat Islam diberi julukan dengan berbagai predikat yang agung, seperti
“khairu ummah”, “ummatan wasatha”, dan sebagainya.
Pada sisi lain, sebutan-sebutan indah itu juga mengindikasikan adanya perintah Allah SWT, agar
umat Islam menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang kuat, dan umat yang agung;
bukan umat yang hina dan lemah. Hal itu dapat dilihat, misalnya, pada perintah Allah SWT, agar
umat Islam menghimpun segala macam kekuatan, agar mereka menjadi umat yang kuat.
Seperti firman Allah SWT:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kudakuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu), kamu menggentarkan musuh
Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah
mengatahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan
cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya.” (QS al-Anfal:60).
Mudah dipahami, dengan kondisi sebagai “umat yang mulia”, “umat yang kuat”, dan sebagainya,
maka umat Islam akan dapat menjalankan fungsi dakwah dan amanah risalah kepada seluruh
manusia, dengan lancar. Jika kondisi umat Islam sebaliknya, yakni umat yang lemah dan hina,
maka umat Islam bukanlah menjadi “subjek”, tetapi akan menjadi “objek”. Bukan menjadi da’i,
tetapi malah menjadi “mad’u”, bukan menjadi “penentu arah” perjalanan dunia, tetapi malah
menjadi “yang diarahkan”.
Tanggung jawab yang kedua, yakni tanggung jawab ukhuwah, juga jelas-jelas merupakan perintah
Allah SWT.
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan
salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS 9:71).
Umat muslim diibaratkan oleh Rasulullah SAW sebagai satu tubuh (kal jasadil wahid) atau satu
bangunan yang saling menguatkan (kal bunyan yasyuddu ba’dhuhum ba’dha). Dalam hadits lain,
Rasulullah SAW jugamengibaratkan kaum Muslimin seperti penumpang yang bersama-sama
berlayar ke tengah lautan. Di dalam kapal itu, ada satu penumpang yang bermaksud melobangi
kapalnya untuk mengambil air. Jika seluruh penumpang membiarkan orang itu melobangi
perahunya, maka binasalah dia dan juga seluruh penumpang.
Hanya di antara orang-orang beriman dapat menjalin ukhuwah Islamiyah, sebab ukhuwan
Islamiyah adalahmanivestasi dari iman. Ukhuwah Islamiyah membutuhkan pengorbanan, lebih
mementingkan kepentingan saudaranya sesama mukmin, ketimbang kepentingan dirinya.
Ditegaskan Rasulullah SAW: “Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhihi maa yuhibbu
linafsihi.” (Tidak/belum sempurna iman salah seorang kamu, sehingga ia mencintai untuk
saudaranya apa-apa yang dicintai oleh dirinya sendiri.).
Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan tertinggi antar sesama muslim. Nilai persaudaraan ini
lebih tinggi daripada persaudaraan yang dibangun di atas landasan kesukuan, kebangsaan, atau
hubungan darah sekali pun.
Allah SWT berfirman:
"Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan dan Hari Akhir berkasih
sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu orang tua
sendiri, anak, saudara kandung atau keluarga. Mereka itulah yang Allah telah tuliskan keimanan di
hatinya dan menguatkannya dengan pertolongan dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam
sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap
mereka dan mereka pun ridha terhadap (limpahan rahmat) Allah. Mereka itulah "hizbullah".
Ketahuilah, bahwa sesunggguhnya "hizbullah" itulah yang pasti menang." (QS Al Mujadalah:22).
Ironinya, justru sekarang, persaudaraan muslim itu sudah ditinggalkan oleh umat Muslim, yang
kiniterkoyak-koyak dan terpecah belah dalam berbagai paham nasionalisme sempit, bahkan
terkadang sudah bersikap fanatis buta terhadap kelompoknya sendiri. Dalam situasi dimana
saudara-saudara kita kaum Muslim Palestina dan Lebanon menjadi mangsa keganasan dan
kebiadaban Yahudi Israel saat ini seyogyanya kaum Muslimin kini mampu menyatukan hati dan
pikiran untuk melakukan gerakan perlawanan yang efektif dan serius.
Kaum Muslim di Indonesia, sudah harus mulai berpikir serius dalam merumuskan srategi
perjuangan melawan Yahudi. Sebelum melakukan perlawanan, umat Islam harus tahu persis, di
mana posisi-posisi Yahudi di Indonesia. Perusahaan mana saja yang dibiayai Yahudi. iapa saja
pendukung-pendukungnya di Indonesia. Bagaimana cara mereka menguasai umat Islam. Semua
itu harus dipelajari dan dikaji dengan serius oleh umat Islam, agar tidak salah dalam melangkah
dan menyusun program perjuangan; agar tidak sporadis dalam melawan kekuatan Yahudi yang
sudah menggurita di berbagai sektor kehidupan: informasi, studi dan pemikiran Islam, keuangan,
sampai barang-barang konsumsi rumah tangga.
Perjuangan melawan hegemoni Yahudi dan para kroninya adalah perjuangan yang panjang dan
membutuhkan keseriusan, ilmu dan kesabaran. Maka, sudah saatnya umat Islam berusaha keras
pembangun posisi kemandiriannya, terutama dalam pemikiran, budaya, dan ekonomi. Sangatlah
sulit dibayangkan, bagaimana kaum Muslim mau melawan Yahudi, sedangkan untuk air minum
saja, umat Islam masih merasa nyaman mereguk air kemasan produk Yahudi.
Dan sangatlah mustahil untuk mengalahkan Yahudi dan kroninya, jika untuk pemikiran Islam saja,
kampus-kampus berlabel Islam bangga menjiplak pemikiran Yahudi, dan bahkan sejumlah
kampus sudah memasukkan metode penafsiran Bibel Yahudi untuk menafsirkan Al-Quran sebagai
mata kuliah wajib di jurusan Tafsir-Hadits. Wallahu a’lam. (Depok, 4 Agustus
2006/hidayatullah.com).
Bab VII
Juli
7.1. "Menunggu Gempa?" Senin, 31 Juli 2006
Di zaman sekarang, ulama yang berpegang pada ajaran Islam tidak didengar. Fatwa mereka
dilawan. Sebaliknya, lahir ulama jahat (ulama su’). Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian
Husaini ke-155
Sekitar satu setengah tahun lalu, pada 29 Desember 2004, Harian Pikiran Rakyat yang terbit di
Bandung menyiarkan sebuah berita berjudul “Gelombang Besar Hantam Pangandaran dan Laut
Jawa. Yusuf: "Jabar Selatan Bisa Habis". Ada baiknya berita itu kita simak kembali, setelah kita
menyaksikan terjadinya gempa bumi dan tsunami yang menerjang sejumlah daerah di pesisir Jawa
Barat Selatan dan beberapa daerah di Jawa Tengah Selatan, pada Selasa, 18 Juli 2006 lalu.
Gempa dan tsunami itu menelan korban meninggal lebih dari 500 jiwa. Padahal, ternyata, jauh-jauh
sebelumnya, hal itu sudah diperingatkan oleh sejumlah pakar geologi.
Dalam berita itu diceritakan, bahwa masyarakat Jawa Barat, khususnya yang berada di jalur Pantai
Selatan diminta lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi yang bisa
menyebabkan gelombang tsunami. Kewaspadaan ini perlu dilakukan mengingat Jawa Barat
termasuk daerah yang rawan gempa, sehingga potensi terjadinya tsunami juga sangat besar.
Peringatan tersebut disampaikan Kasi Gerakan Tanah Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Ir. H. Gatot Moch. Soedrajat, M.Sc., dan Kepala Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (P3TISDA) BPPT, Dr. Yusuf Surachman
Djajadihardja.
Menurut Gatot, potensi terjadinya gempa di Jawa Barat karena terdapatnya lempengan tektonik
yang memanjang di Samudera Hindia mulai dari Pulau Sumatra, Pulau Jawa, hingga ke Irian Jaya.
"Makanya pulau yang terlewati oleh lempengan itu berpotensi terhadap terjadinya gempa tsunami
termasuk Pulau Jawa, ya termasuk Jawa Barat bagian selatan ini," katanya di Bandung, Senin
(27/12/2004).
Namun menurut Gatot, kalaupun terjadi gempa dan tsunami di Jabar Selatan ini tidak terlalu
mengkhawatirkan mengingat pantainya terjal dan tidak padat penduduk seperti di pantura. "Mulai
dari Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasik, Ciamis berpotensi namun tidak erlalu mengkhawatirkan
mengingat di wilayah itu pantainya terjal," katanya.
Sementara itu, saat jumpa pers tentang penyebab gempa Aceh di BPPT Jakarta, Senin (27/12),
Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (P3TISDA)
BPPT, Dr. Yusuf Surachman Djajadihardja mengemukakan, saat dirinya melakukan pemetaan
dasar laut (batimetri) pada 2002, ditemukan adanya indikasi atahan Sumatra yang memanjang
hingga Laut Hindia sepanjang 300 kilometer.
Patahan itu masuk wilayah selatan Jabar, seperti Sukabumi, Ujung Genteng, dan Panaitan
(Banten). "Ujung patahan ini belum memotong palung, tapi masih aktif. Jaraknya sekitar 30
kilometer. Topografi dasar laut di sana, terdapat gunung dan lembah. Perbedaan antara gunung dan
lembah (palung) sekira 2500 meter. Seandainya ujung patahan itu memotong palung, bisa
dibayangkan gunung yang setinggi 2500 meter runtuh. Yang terjadi adalah tsunami yang sangat
dahsyat. Jabar selatan bisa habis," kata Yusuf.
Untuk mengantisipasinya, ujar sarjana Geofisika dan Meteorologi ITB ini, bisa dipasang radar
berfrekuensi tinggi (HF Radar). Radar ini bisa memberikan peringatan dini bila terjadi gempa atau
gerakan di bawah tanah dengan radius 400 kilometer. "Jabar harus dilengkapi HF Radar mengingat
daerahnya rawan terjadi gempa. Daerah sepanjang Jawa dan Sumatera adalah tempat pertemuan
Lempeng Indo-Australia dan Eurasia sehingga potensial terjadi gempa. Sebab pergeseran lempeng
itu antara 7,5 - 8,2 sentimeter pertahun," ujar Yusuf.
Demikian berita penting dari Harian Pikiran Rakyat sekitar dua tahun lalu, yang perlu kita catat.
Bahwa, ternyata sudah ada peringatan dini yang sudah diperkirakan oleh para pakar gempa di
Indonesia. Entah mengapa peringatan itu tidak ditindaklanjuti dengan baik oleh Pemda Jabar. Lalu,
terjadilah bencana dahsyat berupa gempa dan tsunami yang memakan korban lebih dari 500 jiwa.
Dibandingkan dengan gempa Yogya, tentu saja, dampak sosial dari gempa dan tsunami di wilayah
Jabar dan Jateng ini masih jauh lebih kecil.
Namun, yang menjadi peringatan penting adalah bahwa gempa dan tsunami sudah mulai
merambah Pulau Jawa. Meskipun kekuatan tsunami kali ini masih jauh dibandingkan dengan
tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, secara psikologis, tsunami ini sudah mulai
menghentakkan kawasan padat penduduk di Pulau Jawa. Pada Rabu, 19 Juli 2006, penduduk
Jakarta juga sudah merasakan gempa yang terjadi di Selat Sunda.
Sebagian kalangan kini mempersoalkan, mengapa peringatan dini tentang terjadinya gempa dan
stunami tidak diindahkan. Ini baru peringatan manusia. Inilah sikap kebanyakan manusia. Mudah
lupa dan tidak peduli dengan masa depannya, karena terjebak hal-hal yang melenakan. Tontonan
sepak bola Piala Dunia selama sebulan telah melenakan begitu banyak manusia. Banyak media
massa yang lebih asyik menyiarkan hal-hal yang ‘menghibur’ ketimbang mendidik. Tayangantayangan infotainmen dan hiburan di televisi sudah begitu mendominasi aktivitas manusia.
Tapi, ini baru pelajaran kecil di dunia. Sebagai Muslim, kita perlu mengambil hikmah tentang
semua peristiwa ini. Melalui Al-Quranul Karim, Allah sudah memperingatkan akan datangnya Hari
Akhir; akan tibanya satu hari pembalasan; dimana seluruh amal manusia diperhitungkan,
ditimbang, dan dimintai pertanggungjawaban. Namun, manusia banyak yang bersikap aneh.
Bukannya memperhatikan sungguh-sungguh signal dan peringatan dini dari Allah itu, dan
kemudian sibuk menyiapkan masa depannya di akhirat, tetapi justru asyik membangun istana dan
mengumpulkan kekayaan di dunia, seolah-olah harta bendanya akan mengekalkan dia di dunia.
Banyak yang malas beribadah dan beramal untuk akhirat, padahal itulah tempat tinggal manusia
yang abadi.
Kita berdoa semoga bencana demi bencana di negeri kita, mampu menyadarkan manusia Indonesia
untuk melakukan introspeksi, dan segera bertobat, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Secara akal, manusia harus berusaha keras untuk mencegah atau melakukan upayaupaya untuk meminimalkan jumlah korban yang mungkin ditimbulkan dari satu bencana. Sistem
peringatan dini terhadap gempa seyogyanya sudah mulai dipasang untuk daerah-daerah yang rawan
tsunami. Inilah kewajiban manusia untuk berikhtiar sesuai dengan ilmu yang mereka miliki.
Akan tetapi, disamping itu, manusia, khususnya kaum Muslim, pun diwajibkan untuk melakukan
ikhtiar yang lebih. Setiap muslim yakin bahwa apapun yang musibah atau bencana menimpa
mereka, tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah SWT. Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa
(yang artinya):
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan upaya kamu jangan terlalu gembira terhadap
apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan
Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Hadid:22-24)
Hidup di dunia ini adalah semata-mata menjalani ujian demi ujian, baik berupa kesenangan
maupun berupa kesedihan. Senang dan susah datang silih berganti. Tidak ada manusia yang selama
hidupnya senang terus, atau susah terus-menerus sepanjang hayat. Sesekali tersenyum, tertawa,
sesekali juga sedih dan menangis. Saudara-saudara kita yang tertimpa musibah tsunami di Pantai
Selatan Jawa kali ini pun menanggung beragam uka, mulai kehilangan sanak saudara sampai
dengan harta benda. Setiap datang bencana kita hanya dapat berucap, pasti ini datang dari Allah
SWT. Tidak mungkin bencana ini terjadi di luar izin Allah SWT. Kita hanya berusaha mengambil
hikmah dari ujian, teguran, atau mungkin hukuman (azab) yang diberikan Allah kepada kita.
Manusia seyogyanya sadar bahwa di mana pun dia berada, kematian akan selalu mengintai.
Sungguh menyedihkan jika berbagai peringatan tentang akan datangnya sunami di Pantai Selatan
Jawa itu sudah disampaikan jauh sebelumnya, masih ada manusia-manusia yang mengumbar
maksiat di lokasi-lokasi tersebut. Kita sungguh tidak habis pikir, bagaimana manusia bisa begitu
berani melawan Allah yang menciptakan mereka dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Setelah mendapatkan peringatan dini tentang tsunami tersebut, penduduk Pulau Jawa – termasuk
Jakarta – harusnya semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak lagi bermain-main dengan
dosa dan maksiat.
Baru-baru ini kita dibuat tercengang, bagaimana media massa di Indonesia dengan gegap gempita
menyiarkan satu acara Kontes Waria di Jakarta Timur, yang dihadiri seorang mantan Presiden RI
yang biasa dipanggil kyai haji. Untuk apa kontes semacam itu diadakan?
Lihatlah di berbagai stasiun TV saat ini, betapa banyak perilaku-perilaku yang mempermainkan
batas-batas larangan Allah. Wanita-wanita begitu banyak yang berlagak seperti laki-laki,
sedangkan laki-laki juga bergaya dan berpakaian seperti wanita. Padahal perilaku seperti itu jelasjelas dilarang Rasulullah saw. Allah melarang manusia mendekati zina, tetapi promosi pergaulan
bebas dan pengumbaran aurat wanita menjadi semakin liar.
Di masa lalu, masih banyak yang protes terhadap pengiriman wakil Indonesia ke Kontes Miss
Universe. Tahun ini, pengiriman putri Indonesia ke ajang ratu sejagad itu seperti sudah dianggap
hal biasa. Yang protes terhadap masalah itu akan dipojokkan habis-habisan oleh banyak media
massa di sini.
Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah
menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim).
Dalam soal homoseksual, Allah sudah memperingatkan: “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata
pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang Amat keji yang
belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". (QS al-Ankabut:28).
Rasulullah saw juga memperingatkan:
“Barangsiapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka
bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Ahmad).
Di zaman seperti ini, para ulama yang masih berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam, akan
menghadapi tugas yang makin berat. Ucapan mereka tidak didengar. Fatwa mereka dikecam, dicap
sebagai fatwa kuno, ketinggalan zaman, dan sebagainya. Yang lebih berat, diantara yang
mengecam para ulama itu juga dari kalangan ulama jahat (ulama su’), yang sudah
memperjualbelikan agama dengan harta benda dunia. Atau ulama-ulama ulama yang keliru
ilmunya, tetapi sudah terlanjur diberi gelar ulama atau cendekiawan, dan tak jarang juga berposisi
sebagai pemimpin atau tokoh satu organisasi atau lembaga pendidikan tinggi, sehingga mereka
bukannya mengajarkan ilmu yang benar, tetapi justru menyebarkan ilmu-ilmu yang salah untuk
menyesatkan manusia. Yang baik dikatakan buruk; yang buruk dipromosikan sebagai kebaikan.
Para ulama yang baik, para ulama pewaris Nabi, tentu saja tidak boleh menyerah dan melemah
dalam semangat dakwah dan beramar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka harus tetap giat
mengingatkan masyarakat agar tetap berpegang kepada ajaran-ajaran Allah, bagaimana pun
beratnya. Mereka tidak boleh berputus asa. Sebab, adanya aktivitas amar makruf nahi munkar itu
dapat menjauhkan masyarakat dari bencana. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bab Amar Ma’ruf
Nahi Munkar, Imam Ghazali mengutip satu hadits Rasulullah saw: “Tidaklah dari suatu kaum
yang berbuat maksiat dan di kalangan mereka da orang yang mampu mencegah atas mereka, lalu
dia tidak melakukannya, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisiNya.” (HR Abu awud, Tirmidzi, dan Ibn Majah).
Selain melakukan berbagai ikhtiar ilmiah, untuk menghindarkan diri dari bencana, kita juga
diajarkan untuk berdoa kepada Allah SWT dan banyak-banyak bershadaqah. Kita harus berusaha
keras memberantas kemusyrikan dan kezaliman. Sudah saatnya kita berdoa dengan sungguhsungguh, pagi, siang dan malam, agar kita terhindar dari bencana dan dimasukkan ke dalam
golongan orang-orang yang shalih. Amin. (Depok, 28 Juli 2006).
7.2. Ada Apa dengan Syafii Maarif ? Senin, 17 Juli 2006
Dalam berbagai tulisannya, ia memposisikan sebagai ‘Bapak Bangsa’. Namun, sebagaian justru
banyak dianggap menyakiti kelompok Islam yang lain . Baca Catatan Akhir Pekan Adian ke-154
Dalam rapat pimpinan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Rabu (12/7/2006) lalu, Ketua
Umum DDII Hussein Umar tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap tulisan Syafii
Maarif di Harian Republika sehari sebelumnya. Tulisan Syafii dalam kolom Resonansi itu berjudul
‘Demi Keutuhan Bangsa’. Seperti biasa, Syafii Maarif memposisikan sebagai ‘Bapak Bangsa’ yang
sangat peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia. Ia menempatkan dirinya sebagai ‘penyelamat
bangsa’.
Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya, pada saat itulah, Syafii lupa, bahwa pada berbagai
bagian tulisannya, dia justru telah menyinggung banyak kalangan, yang ironisnya adalah sahabatsahabat dekatnya sendiri, dari kalangan kaum Muslim. Bahasa yang digunakan Syafii pun bukan
bahasa yang arif, yang menunjukkan kedewasaan seorang Profesor yang usianya sudah mencapai
70 tahun lebih, tetapi justru bahasa yang bernada pelecehan dan kasar. Banyak kalangan belum
lupa, bagaimana Syafii Maarif meluncurkan istilah ‘preman berjubah’ untuk menunjuk kelompok
yang tidak disukainya.
Dalam tulisannya di Republika kali ini, dia pun menggunakan istilah-istilah ‘peyoratif’ yang kasar
yang bernada memperhinakan kalangan-kalangan yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam.
Misalnya, dia gunakan istilah-istilah ‘’otak-otak sederhana’’, ‘’kedunguan’’, ‘’kebahlulan’’, dan
sebagainya. Istilah-istilah seperti itu harusnya dihindari oleh seorang Profesor yang sudah begitu
kenyang makan asam garam dalam dunia pergerakan di Muhammadiyah. Apalagi, logika dan
argumentasi Syafii Maarif dalam tulisannya itu juga banyak yang tidak tepat dan keliru. Marilah
kita simak cara berpikir Syafii Maarif.
Secara umum, tulisan Syafii Maarif itu mencoba membenturkan antara upaya penerapan syariat
Islam secara legal formal dengan keutuhan bangsa Indonesia. Syafii menulis, bahwa “Keinginan
untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam
perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi
masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali.”
Cobalah kita simak baik-baik ungkapan Syafii Maarif tersebut. Betapa keliru dan berbahayanya
logika berpikir semacam itu. Logika ini juga aneh, ahistoris, dan sama dengan logika kaum
misionaris Kristen yang aktif di Partai Damai Sejahtera (PDS) yang menggugat peberlakuan perdaperda yang bernuansa syariah. Orang seperti Syafii, aktivis PDS, dan sejenisnya telah terjebak ke
dalam logika yang keliru, bahwa syariat Islam adalah hukum-hukum yang sifatnya lokal, temporal,
dan hanya berlaku untuk satu golongan tertentu.
Sebaliknya, mereka berpikir, bahwa hukum-hukum kolonial Belanda dan hukum-hukum Barat lain
adalah berlaku universal untuk seluruh umat manusia. Karena itulah, Syafii Maarif tidak menyoal
pemberlakuan hukum kolonial, dan tidak menyatakannya bertentangan dengan integrasi bangsa
Indonesia. Sebaliknya, perda Syariat Islam dikatakannya dapat melemahkan pilar-pilar integrasi
masyarakat dan bangsa, dan ini sangat berbahaya. Bukanlah logika semacam ini sangat keliru.
Bukankah Rasulullah saw diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Apakah bukan sesuatu yang paradoks, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi justru
menyatakan syariat Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa?
Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus
tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1628, Nuruddin ar-Raniri
menulis Kitab Shirathal Mustaqim, yang merupakan kitab hukum pertama yang disebarkan ke
seluruh Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. Oleh Syekh Arsyad Banjar, kitab itu
diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah Kitab berjudul Sabilul Muhtadin, serta
dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa di daerah Kesultanan Banjar. Di daerah
Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan
pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan mereka. Hukum
Islam diikuti pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara,
Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang
hidup pada masa itu, seperti Sajinatul Hukum.
Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali, guru besar hukum Islam di Universitas
Indonesia, menyimpulkan, bahwa “sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia,
hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri
sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang
disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini.” (Lihat, Muhammad Daud
Ali, ‘Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya’, dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam
di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal. 69-70.
Sebagai orang yang dihormati di berbagai kalangan, Syafii Maarif harusnya menjelaskan faktafakta sejarah tentang hukum Islam itu kepada kalangan non-Muslim dan orang-orang yang
ketakutan terhadap syariah Islam; agar mereka paham dan tidak salah paham terhadap syariah
Islam; bukannya malah menambah-nambah rasa ‘syariah-fobia’ di kalangan non-Muslim. Sebab,
syariah Islam memang bukan untuk menakut-nakuti.
Selain itu, harusnya Syafii Maarif mempertegas pemikirannya, pada bagian mana dari syariat Islam
yang dia tidak setujui. Dia tidak perlu menyatakan, bahwa perda syariat bertentangan denan
integrasi bangsa. Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa hinggap pada benak seorang
Profesor, sedangkan di Indonesia sudah begitu banyak hukum yang secara tegas merupakan
pelaksanaan syariat Islam, seperti Bank Syariat, Asuransi Syariat, Reksadana Syariat, hukum
perkawinan syariat, dan sebagainya. Jika meninggal dunia pun, tentu Syafii Maarif maunya
dimakamkan secara syariat Islam, bukan secara hukum Amerika. Dan perda yang mengatur cara
pemakaman dan perkawinan secara syariat Islam pasti tidak membahayakan integrasi bangsa,
bukan?
Syafii memang ingin, agar perda anti maksiat diperjuangkan di bawah payung Pancasila,
khususnya sila pertama. Syafii boleh saja berpendapat seperti itu. Tetapi, dia harusnya
menghormati aspirasi kaum Muslim yang ingin pelaksanaan perda itu ditegaskan dalam format
yang tegas. Jika mengaku demokrat, Syafii pun harus menghormati aspirasi semacam itu, dan
jangan mencemooh dengan kata-kata ‘dungu’, ‘bahlul’, dan sebagainya. Dia harus berbesar hati
menerima realitas bangsa yang plural dan bermacam-macam aspirasinya. Jika ingin diakui sebagai
negarawan besar, harusnya Syafii mampu membaca realitas itu. Jangan aspirasi kaum PDS Kristen
dia telan, sedangkan aspirasi kaum Muslim dia lecehkan dan dia perhinakan. Sayang, melalui
kolomnya di Republika itu, Syafii Maarif justru memperhinakan dan mengecilkan dirinya sendiri.
Meskipun dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, dan pernah memimpin Muhammadiyah, Syafii
Maarif bukanlah seorang pakar di bidang syariat Islam. Dia belum pernah menulis buku yang
serius tentang itu. Dia memang guru besar sejarah, khususnya sejarah perpolitikan Islam di
Indonesia. Karena itu, pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam seringkali tidak sepenuhnya
benar. Di dalam tulisannya itu pun Syafii membuat pernyataan yang sangat lemah argumentasinya.
Sebagai contoh, dia tulis, ‘’Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian
besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu ?’’
Pernyataan Syafii Maarif ini terlalu gegabah bagi seorang bergelar professor. Hukum-hukum
tentang zina, judi, jilbab, haji, shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, sudah diberlakukan sejak
zaman Nabi Muhammad saw. Para ulama berikutnya hanyalah melakukan sistematisasi dan
melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat, dan bukan
membuat syariah baru, yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah.
Jika yang dimaksud Syafii adalah kitab-kitab fiqih karya para ulama, maka itu pun sangat keliru.
Sebab, kegemilangan ilmu fiqih telah dicapai di masa imam-imam Mazhab.
Para Imam mazahab itu hidup di awal-awal sejarah Islam. Imam Abu Hanifah lahir tahun 699 M;
Imam Maliki tahun 712 M; Imam Syafii tahun 767 M; dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun
780 M. Jika Newton merumuskan teori gravitasi bukan berarti Newton yang menciptakan hukum
gravitasi. Jika para ulama mazhab menggali dan merumuskan syariah Islam dalam kitabnya,
dengan merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bukan berarti ulama-ulama itu yang menciptakan
hukum. Hukum itu tetap hukum Allah, sebagaimana hukum gravitasi.
Para Imam itulah yang kemudian menjadi rujukan umat Islam di berbagai dunia, tidak pandang
waktu dan tempat. Karena sifatnya yang universal untuk manusia, hukum Islam tidak memandang
waktu, tempat, dan budaya.
Khamr adalah haram untuk seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun. Zina adalah haram,
apakah untuk orang Yogya atau orang Arab. Zakat diwajibkan untuk seluruh Muslim di tempat
mana pun dan kapan pun. Judi diharamkan untuk semua manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa
babi adalah haram, tidak pandang waktu dan tempat; tidak pandang, apakah di tempatnya banyak
ternak babi atau ternak kambing. Riba diharamkan untuk semua manusia dan semua tempat.
Menutup aurat diwajibkan untuk semua wanita Muslimah, tidak peduli, dimana pun dia berada;
apakah di Yogya tempat tinggal Syafii Maarif atau di Amerika tempat tinggal Madonna.
Jadi, sangatlah sembarangan, jika Syafii Maarif menyatakan, bahwa syariah senantiasa terikat
dengan ruang dan waktu. Tentu saja dalam pelaksanaan hukum ada perbedaan model dan gaya.
Bisa saja model jilbab di Arab Saudi berbeda dengan di Bandung. Tetapi, semuanya wajib menutup
seluruh aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Bisa saja merk khamr berbeda, antara
vodka di Rusia dengan minuman Arak cap anjing di Indonesia. Tapi, semuanya adalah khamr dan
hukumnya haram. Semuanya adalah syariah Islam, syariah yang satu. Umat Islam tidak pernah
mengenal istilah syariah Arab, syariah Iran, syariah Pakistan, syariah Jawa, syariah Batak, syariah
Padang, syariah India, syariah Papua, dan sebagainya.
Juga, sejarah Islam sebenarnya tidak mengenal istilah “abad pertengahan” sebagaimana dalam
sejarah Barat. Bagi Barat, abad pertengahan adalah identik dengan “zaman kemunduran” dan
“zaman kegelapan” (the dark ages). Jika Syafii Maarif menelaah dengan jeli sejarah Islam dan
membandingkannya dengan sejarah Barat, maka tidak seharusnya dia mengikuti periodisasi sejarah
sebagaimana yang dialami peradaban Barat. Ketika Barat berada dalam zaman kegelapannya, di
abad pertengahan, justru kaum Muslim sedang berada dalam puncak-puncak ketinggian prestasi
peradabannya. Ketika itulah, kaum Muslim memegang kendali dunia. Maka, istilah “abad
pertengahan” dengan konotasi kemunduran seperti yang dialami peradaban Barat, tidak sepatutnya
digunakan untuk sejarah umat Islam. Sebagai professor sejarah, Syafii Maarif harusnya memahami
masalah ini.
Akan tetapi, di tengah berbagai kekeliruan dalam pola pikir Syafii Maarif, kita perlu memberikan
apresiasi terhadap niatnya untuk membela Islam. Syafii tampak berbeda dengan orang seperti
Dawam Rahardjo yang sudah tegas-tegas memposisikan dirinya sendiri di mana berada. Syafii
dikenal sebagai orang yang hidup sederhana dan cukup tegas dalam masalah moralitas.
Sayangnya, dia banyak keliru dalam masalah pemikiran Islam. Satu hal yang perlu kita perhatikan
dari kritik positif Syafii Maarif adalah seruannya agar orang-orang yang memperjuangkan syariah
Islam benar-benar serius, bukan semata-mata untuk kepentingan isu politik sesaat. Dalam hal ini,
kita tentu setuju, bahwa para penyeru syariah Islam seyogyanya menerapkannya untuk diri sendiri
dan kelompoknya terlebih dahulu. Selain itu, Syafii juga benar, bahwa penerapan syariah
memanglah sesuatu yang panjang dan komplek. Aspek legalitas syariah dalam bentuk hukum
positif adalah salah satu aspek saja dari suksesnya penegakan syariah. Masih diperlukan unsurunsur lain yang mendukungnya, seperti aparat hukum yang baik, sistem peradilan yang baik, dan
juga kesiapan masyarakat dalam menerima hukum Islam. Semua aspek itu harus dikerjakan secara
simultan.
Kita memang heran, mengapa Syafii Maarif begitu sinis terhadap penerapan Syariah? Ada apa
sebenarnya dengan Syafii Maarif? Tapi, kita doakan saja, semoga Professor Doktor Syafii Maarif –
meskipun di usianya yang senja – bersedia ngaji lagi dengan baik kepada orang yang benar-benar
ulama, agar tidak keliru cara berpikirnya dalam memandang Islam. Wallahu a’lam. (Depok, 13 Juli
2006/hidayatullah.com).
7.3. "Harapan Dari Garut" Rabu, 12 Juli 2006
Pesantren harus menjadi benteng keilmuan Islam yang tangguh, yang melahirkan orang-orang
yang alim dan beramal shalih. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-153
Pada tanggal 3-5 Juli 2006 saya berada di Kota Garut, sebuah kota yang indah di Propinsi Jawa
Barat. Kota yang terkenal dengan ‘dodolnya’ ini terbilang kaya dengan potensi alam. Sumber daya
alam berupa gas, emas, dan air panas banyak ditemukan. Keindahan alamnya juga sangat luar
biasa. Akhir-akhir ini kota Garut tercoreng namanya gara-gara skandal Ujian Akhir Nasional yang
direkayasa oleh pejabat pemerintah setempat. Kota ini juga dikenal sebagai ‘kota santri’, dengan
banyaknya pesantren dan sekolah Islam.
Sayangnya, di tengah kekayaan sumber daya alamnya, Kota Garut dikenal sebagai salah satu dari
tiga kota termiskin di Jawa Barat.
Salah satu Ormas Islam yang memiliki basis kuat di kota ini adalah Persatuan Islam (Persis), yang
memiliki puluhan pondok pesantren di Garut. Dalam satu acara pelepasan santri Muallimin di
Pesantren Bentar, satu pesantren Persis yang tertua di Garut, pada 4 Juli 2006, sang kyai dari
pesantren itu menekankan pentingnya para santri untuk tetap memegang teguh ilmu yang sudah
dipelajarinya, tetap menghormati para ustad, dan aktif dalam berdakwah Islam.
Ia menceritakan berbagai kondisi sulit yang dihadapi pesantren di tengah tantangan zaman saat ini.
Pada satu sisi, pesantren berkeinginan mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga perkaderan
ulama yang menekankan kegiatan ‘tafaqquh fid din”. Tetapi, pada sisi lain, tekanan-tekanan situasi
dan birokrasi menyebabkan pesantren harus berkompromi dengan sistem pendidikan yang tidak
mengarahkan pada tafaqquh fid-din.
Untuk menjembatani hal itu, Pimpinan Daerah Persis Garut telah membangun satu Ma’had ‘Aly,
yang mengkader calon-calon dai dan ustad yang benar-benar bersedia mendalami ilmu-ilmu agama
(Ulumuddin).
Dalam acara dialog dengan para ustad dan pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya
menyampaikan pentingnya kalangan pesantren mempertahankan dan meningkatkan tradisi
keilmuan, dengan cara menghargai ilmu dan ulama. Jangan harapkan ulama bisa dihargai jika
mereka sendiri tidak menghargai ilmu dan tidak menghormati dirinya sendiri.
“Ketua Persis Garut tidak boleh merasa lebih rendah derajatnya dari pada Bupati Garut. Jangan
sampai ada pikiran bahwa jika ketua Persis Garut menjadi Bupati Garut, berarti dia naik derajat.’’
Ketua Persis Garut, Ustad Mamat Abdurrahman, memang dikenal gigih dalam
mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam di kotanya.
Posisi ulama ini sangat penting untuk ditekankan, sebab tidak sedikit yang berpendapat, bahwa
menjadi umara adalah prestasi tertinggi dalam perjuangan dakwah Islam. Ada pendapat bahwa
menjadi ketua NU atau Ketua Muhammadiyah lebih rendah derajatnya dibanding menjadi Presiden
Indonesia. Menjadi Menteri Agama dipandang lebih tinggi derajatnya ketimbang menjadi ketua
Pondok Pesantren.
Tentu saja, pikiran itu tidak benar. Menjadi pemimpin organisasi Islam bukanlah hal yang ringan
dan lebih rendah martabatnya ketimbang menjadi menteri atau Presiden sekalipun. Menjadi
seorang guru ngaji di TK tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan martabat anggota DPR atau
DPRD.
Martabat ulama inilah yang seharusnya dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Menjadi umara
yang baik adalah satu kewajiban. Tetapi menjadi ulama yang baik juga satu keharusan. Umara
haruslah seorang yang berilmu dan beramal shalih. Tetapi, menjadi ulama lebih-lebih lagi dituntut
berilmu dan beramal shalih.
Ulama adalah pewaris nabi. Di tangan merekalah kita berharap agama Islam dapat dijaga dan
dipertahankan. Di pundak para ulama itulah, terletak amanat perjuangan Islam yang tertinggi.
Dengan dukungan umara yang baik, maka perjuangan Islam akan lebih efektif.
Karena itu, pengkhianatan terhadap ilmu dipandang sebagai pengkhianatan yang terbesar dalam
pandangan Islam. Dalam bukunya, Ar-Rasul wal-‘Ilm, (Di-Indonesiakan oleh Amir Hamzah
Fachrudin dkk., 1994) -- Dr. Yusuf Qaradhawi mengutip satu hadits Rasulullah saw : ‘’Hendaklah
kalian saling menasehati dalam ilmu. Sesungguhnya pengkhianatan seseorang terhadap ilmunya
lebih berbahaya daripada pengkhianatannya terhadap hartanya. Dan sesungguhnya Allah akan
menanyai kalian semua pada hari kiamatnanti.’’ (HR ath-Thabrani).
Menurut Qaradhawi, hadits itu memberi makna, bahwa pengkhianatan terhadap harta – walaupun
dalam jumlah yang besar– akibat buruknya terbatas. Lain dengan pengkhianatan terhadap ilmu
yang akibatnya akan menghancurkan semua lapisan masyarakat. Istilah Prof. Naquib al-Attas,
kerusakan ilmu disebut juga sebagai ‘’corruption of knowledge’’. Korupsi ilmu adalah jauh lebih
dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta.
Kita tahu, bagaimana kerasnya Rasulullah saw dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku korupsi
harta. Beliau saw pernah tidak mau menyalatkan jenazah seorang yang meninggal di medan jihad,
gara-gara orang itu berlaku curang dalam soal harta rampasan perang.
Dalam soal ilmu, Islam menerapkan hal yang lebih keras lagi. Pelakunya bisa terkana kategori
‘riddah’ (murtad) dan akan mendapatkan ‘dosa jariyah’ akibat mengajarkan ilmu yang salah atau
ilmu yang sesat.
Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang di dalam Islam mengerjakan amal yang baik maka dia
akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang beramal dengannya sesudahnya, tanpa dikurangi
pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang beramal buruk, maka dia akan mendapatkan dosa dan
dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa dikurangi dosanya sedikitpun.” (HR
Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad).
Demikianlah peringatan Rasulullah saw. Jadi, kita perlu sangat berhati-hati dalam masalah ilmu.
Jika ilmu itu benar, diamalkan, dan diajarkan, maka di pemilik ilmu akan mendapatkan pahala
yang ‘jariyah’ (mengalir), meskipun dia sudah meninggal. Sebaliknya, jika ilmunya salah, dan
diajarkan kepada banyak orang, maka dia akan mendapatkan dosa yang terus-menerus dari orang
yang menerima ilmunya. Karena itulah, kita bisa memahami, bahwa pengkhianatan dalam masalah
ilmu adalah lebih besar nilai kejahatannya dibandingkan
dengan pengkhianatan masalah harta.
Lembaga Islam, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi Islam –apalagi yang
jelas-jelas membawa label Islam dan mengaku lembaga Islam– harusnya memperhatikan
peringatan Rasulullah saw dalam masalah ilmu. Lembaga-lembaga itu harus menjadikan masalah
ilmu sebagai hal yang mendasar dan mendapatkan prioritas pertama. Tidak boleh bermain-main
dan memandang enteng masalah ini.
Ormas-ormas Islam dan partai-partai Islam pun sudah seyogyanya menjadikan masalah ilmu ini
sebagai hal yang utama dan pertama. Jangan sampai partai-partai Islam atau Ormas Islamjustru
menjadi ujung tombak penyebar ilmu yang salah.
Kepada para pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya menyampaikan harapan itu ;
agar pondok pesantren mereka benar-benar menjadi benteng keilmuan Islam yang tangguh, yang
melahirkan orang-orang yang alim dan beramal shalih.
Harapan ini sangatlah penting, mengingat saat ini, ada fenomena umum yang menganggap enteng
masalah kerusakan ilmu di lingkungan perguruan tinggi Islam. Ilmu perbandingan agama dirusak
dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman.
Metode studi Islam dirusak dengan mengadopsi metode orientalis Barat yang tidak menjadikan
asas kebenaran dan keimanan Islam sebagai pijakan dan tujuan dalam studi agama.
Kaum orientalis non-Muslim memang mempelajari Islam bukan untuk beriman kepada Islam,
bukan untuk meyakini kebenaran Islam, dan bukan untuk mengamalkan ajaran Islam. Ini harusnya
berbeda dengan tujuan dan fungsi ilmu dalam Islam, yang harus membawa kepada ketaqwaan dan
kedekatan kepada Allah.
Dalam satu diskusi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat, Juni lalu, saya katakan, bahwa
saat ini sedang dikembangkan satu metode studi agama yang berpijak pada epistemologi keraguan
dan kebingungan, sehingga akan melahirkan para sarjana agama yang
bingung alias golongan bingung (golbin).
Akibatnya, banyak yang belajar agama, justru hasilnya tidak meyakini kebenaran agamanya.
Sebaliknya, dia malah ragu dengan agamanya sendiri. Tidak heran, jika banyak yang belajar
ushuluddin, tetapi malah tidak yakin dengan dasar-dasar agamanya. Banyak yang belajar syariat,
tetapi justru bersikap menentang atau tidak bersemangat menerapkan syariat Islam. Banyak yang
belajar ilmu dakwah di Fakultas Dakwah, tetapi justru tidak menjalankan aktivitas dakwah.
Tidak sedikit mahasiswa kampus Islam yang secara terus terang menyatakan keraguannya akan
kebenaran Islam. Banyak juga yang mengaku tidak bersemangat lagi mengerjakan
shalat lima waktu.
Mengapa? Karena semua itu berawal dari niat yang salah dan metode belajar Islam yang salah.
Ironisnya, banyak yang kini bangga dalam kesalahan, dan aktif menyebarkan kesalahan.
Salah satu fenomena yang mencolok mata adalah diwajibkannya mata kuliah hermeneutika bagi
mahasiswa Tafsir Hadits di berbagai Perguruan Tinggi Islam. Banyak dosen dan ulama yang cuek
dan tidak peduli dengan masalah ini. Mungkin karena tidak paham sama sekali tentang masalah
hermeneutika ; atau mungkin juga karena setuju dengan gagasan hermeneutika sebagai pengganti
ilmu tafsir.
Banyak orang tidak memandang penting kasus dosen IAIN Surabaya yang menginjak lafaz Allah
dengan sengaja. Padahal, cara pandang seperti itu – bahwa Al-Quran adalah produk budaya -sudah dianut oleh banyak dosen UIN/IAIN dan sudah diajarkan kepada ribuan mahasiswa.
Petinggi-petinggi Departemen Agama dan kampus-kampus berlabel Islam masih banyak yang
merasa nyaman dan tenang-tenang saja dengan fenomena kerusakan ilmu yang meluas dan
berlangsung terus-menerus. Kasus buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” karya
Prof.Harun Nasution bisa dilihat sebagai satu contoh.
Buku yang mengandung begitu banyak kekeliruan ini sudah dijadikan bacaan wajib bagi studi
Islam di Perguruan Tinggi Islam selama 33 tahun. Bayangkan, selama 33 tahun, ratusan ribu
mahasiswa dicekoki dengan ilmu yang keliru tentang Islam. Mereka sekarang ada yang
menjadi pejabat pemerintah, profesor, rektor, dekan, guru agama, hakim-hakim agama, dan
sebagainya.
Kemungkaran dan pengkhianatan dalam ilmu-ilmu agama inilah yang seyogyanya menjadi
prioritas penting dalam program dakwah lembaga-lembaga Islam. Ormas Islam, seperti NU,
Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan sebagainya, seyogyanya
menjadikan masalah ini sebagai program pokok.
Ormas-ormas Islam jangan sampai hanya menyibukkan diri dalam soal-soal pilkada atau merespon
isu-isu kontemporer, tanpa menyadari bahaya besar akibat pengkhianatan ilmu.
Kepada para alumni Pesantren Bentar di Garut, saya tunjukkan sejumlah contoh buku-buku yang
ditulis akademisi di berbagai kampus berlabel Islam, yang isinya merusak keilmuan Islam. Kita
berharap, para alumni pesantren yang akan melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi, dapat
membentengi dirinya dari perusakan ilmu yang dilakukan sejumlah dosen, yang
sudah tercemar dan rusak pemikirannya. Kita berharap, para alumni pesantren itu tidak mudah
tergoda dengan ‘iming-iming duniawi’ yang mungkin ditawarkan jika nanti mereka bersedia
menjadi agen penyebar virus ‘sipilis’ (sekularisme, pluralisme agama, dan
liberalisme) di Indonesia.
Hingga kini, kita belum bisa berbuat banyak. Kita belum punya kampus Islam yang benar-benar
ideal, yang mengaplikasikan konsep ilmu dalam Islam secara total.
Kita terpaksa masih melepaskan santri-santri dan anak didik kita ke kampus-kampus yang di sana
masih bercokol sejumlah dosen yang mengajarkan pikiran dan amal yang buruk. Ada dosen
ushuluddin yang sudah berpuluh tahun menyebarkan paham yang keliru tentang
perkawinan antar-agama, dan bahkan menjadi penghulu swasta untuk perkawinan bathil semacam
itu.
Ironisnya, selama puluhan tahun itu, pimpinan Departemen Agama dan para petinggi kampus
tersebut tetap tenang-tenang saja, membiarkan semua kebejatan itu berlangsung. Kita perlu
mengingatkan kepada para dosen dan pejabat yang berwenang itu, bahwa mereka akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah SWT, tentang apa yang sudah menjadi amanah dan tanggung
jawabnya.
Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan bergerak kaki manusia pada Hari Kiamat,
sampai mereka ditanyai tentang empat perkara: (1) Tentang umurnya, untuk apa ia gunakan, (2)
tentang masa mudanya, untuk apa dia habiskan, (3) tentang hartanya, darimana dia dapatkan dan
untuk apa ia gunakan, (4) tentang ilmunya, apa yang ia amalkan.” (HR Al-Bazzar dan athThabrani). Waallahu a’lam. (Jakarta, 7 Juli 2006/hidayatullah.co,).
Bab VIII
April 2006
8.1. “Sikap Kaum Hindu terhadap Islam” Minggu, 16 April 2006
Sebuah majalah Hindu Bali mencurigai Islam lewat RUU APP. Sebelum Bali menolak RUU itu,
'para provokator' sudah datang ke pulau itu. Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke144
Beberapa hari lalu, saya mendapatkan kiriman sebuah majalah bernama “Majalah Hindu
RADITYA”. Pada edisi April 2006, majalah Hindu ini menurunkan tulisan-tulisan yang sangat
keras dan tajam dalam menentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Sampul depan
RADITYA dihiasi dengan tulisan-tulisan yang menusuk: “AWAS TALIBAN DATANG LEWAT
RUU PORNO”.
Majalah ini dibuka dengan tulisan Editorial berjudul “Tolak RUU Porno” yang ditulis oleh Putu
Setia, seorang wartawan Hindu. Putu menguraikan, bahwa porno itu ada dalam pikiran, dan bukan
pada objeknya. Porno juga tidak sama dengan telanjang.
Putu Setia menulis:
“Seorang wanita mendandani tubuhnya dengan mulus, dia tidak pernah bermaksud porno, tetapi
pikiran lelaki yang melihatnya itu yang porno. Kenapa harus wanita yang dipersalahkan?... Turis
berbusana amat minim berjemur di Pantai Kuta. Kenapa harus dilarang memperlihatkan bagianbagian tubuhnya? Orang Bali di pedesaan juga masih mandi di pancuran umum, atau di kali dengan
telanjang. Konsentrasinya pada mandi, bukan untuk menarik perhatian orang. Salah para lelaki
kalau mau melirik dan lebih salah lagi kalau melontarkan tuduhan: porno. Ketelanjangan ini yang
disamakan dengan pornografi oleh penyusun RUU APP. Jelas salah besar, karena porno dan
tidaknya tergantung bagaimana posisi pikiran pada saat itu. Kalau pikiran sudah diset ke porno,
wanita dibungkus bak pocong pun akan membangkitkan birahi. Kalau busana yang tertutup itu
dilepaskan dan wanita itu ternyata kurus, kudisan, panuan, apa itu masih merangsang birahi?”
Pola pikir Putu Setia itu memang khas cara pandang sekular-liberal, dan jelas sangat keliru dan
fatal. Sebab, dengan begitu, maka tidak perlu ada regulasi atau aturan apa pun terhadap objek seni
atau tontonan.
Lalu, untuk apa ada aturan-aturan tertentu terhadap objek seni? Untuk apa ada larangan adegan
telanjang di TV? Untuk apa para artis diwajibkan pakai baju jika tampil di TV ? Bukankah
menurut Putu Setia, porno itu ada pada pikiran penonton, dan bukan pada objek ? Jika ada anak
Hindu bermain-main dengan turis-turis telanjang di Kuta dan terangsang birahinya, maka yang
salah bukanlah ketelanjangan si turis, tetapi pikiran si anak itu yang porno. Jadi anaknya yang salah
karena berpikiran porno, bukan turis yang telanjang itu yang salah. Apakah logika Putu Setia
semacam itu masuk akal ? Jelas tidak !Jelas salah !Tetapi, sayangnya, Majalah Hindu RADITYA
memang sedang tidak berlogika sehat, melainkan membangun semangat kebencian dan kecurigaan
berlebihan terhadap Islam.
Putu Setia menulis : “Saya tetap menolak RUU APP ini meskipun sudah direvisi.” Sikapnya hanya
satu: TOLAK ! Tidak ada tawar menawar. Bahkan, sekali pun, Bali dikecualikan dalam RUU APP
ini, Putu tetap menolak. Jadi, katanya, “Penolakan saya dan seluruh masyarakat Bali sudah harga
mati. Kembalikan saja draf RUU APP ini kepada anggota Komisi VIII DPR untuk disimpan
dengan ucapan terimakasih.Jangan dibahas lagi.”
Pendapat seperti ini sudah banyak dikemukakan di media massa. Tetapi, majalah RADITYA
mengangkatnya menjadi pendapat dan sikap resmi kaum Hindu di Indonesia.Mereka tidak peduli
sama sekali dengan keresahan umat Islam tentang bahaya merebaknya pornografi bagi anak-anak
Muslim, yang mayoritas di negara ini. Sikap mereka tegas, tanpa kompromi. Tidak ada tawarmenawar. Pokoknya, Tolak! Titik.
Sebuah tulisan lain dalam Majalah ini berjudul “WASPADAI REZIM TALIBAN DI BALIK RUU
ANTI PORNOGRAFI’’. Di sini dikutip ungkapan Anand Krishna yang menyatakan adanya
konspirasi asing yang tengah menghimpun kekuatan untuk menghancurkan Indonesia.
Termasuk di dalamnya adalah RUU APP, yang kata Anand Krishna, hanyalah kekuatan pemecah
belah bangsa. Menurut Anand, RUU APP mewakili satu kepentingan budaya luar, budaya
fundamentalis Taliban. “Awalnya memang lunak, tidak boleh ini-tidak boleh itu, terus ada denda,
tapi lama kelamaan akan berakhir seperti di Afghanistan. Perempuan tidak boleh sekolah, bekerja
dan keluar rumah. Hasilnya apa? Afghanistan hancur dalam sekejap,” kata Anand disambut tepuk
tangan gemuruh ratusan peserta yang hadir di Universitas Udayana waktu itu.
Membaca Majalah Hindu RADITYA ini, kita tahu, bahwa para provokator sudah datang terlebih
dahulu ke Bali untuk memanas-manasi masyarakat Bali agar bersikap keras dan tanpa kompromi
terhadap RUU APP.
Ungkapan Anand Krishna itu tentulah sangat berlebihan dan sangat keterlaluan, sekaligus sangat
berbahaya, karena telah memasukkan unsur-unsur provokasi kebencian dan kecurigaan terhadap
umat Islam.
Ke depan, ini akan dimanfaatkan, untuk semakin menyuburkan kecurigaan dan ketidakpuasan
terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, sehingga selama perdebatan tentang RUU APP
ini, pun sejumlah media liberal bersemangat mengekspose ancaman kaum Hindu Bali untuk
memisahkan diri dari NKRI.
Anand Krishna mengancam, bahwa jika RUU APP disahkan, maka itu sama dengan Taliban sudah
lahir di Indonesia.
Di majalah Hindu ini juga dimuat kembali artikel Goenawam Mohamad yang berjudul: ‘RUU
Porno: Arab atau Indonesia?’ yang pernah dimuat di Koran Tempo, 8 Maret 2006. Goenawan
menuduh, nilai-nilai di balik RUU APP yang dia sebut “RUU Porno” datang dari nilai-nilai yang
diilhami paham Wahabi, dan tidak semua orang Muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan
sebuah varian Arab Saudi.
Dengan tuduhan-tuduhan dan provokasi dari Goenawan, Anand Krishna, Putu Setia, seperti itu,
tentu saja, masyarakat Hindu Bali kemudian mendapatkan tambahan suntikan untuk melawan RUU
APP. Dan senjata yang digunakan untuk menolak pun adalah sikap resmi keagamaan. Ada satu
tulisan dalam majalah ini berjudul: “Porno Menurut Pandangan Hindu; Porno itu ada pada pikiran”.
Ada juga tulisan berjudul: “Budaya Hindu Akrab dengan Penis dan Vagina”. Juga, judul tulisan,
“Hindu Menghormati Gairah Seksual.” Tentu saja, umat Islam tidak seyogyanya memaksakan
konsep agamanya kepada kaum Hindu yang minoritas di Indonesia. Umat Islam sangat bersedia
bertoleransi, dan siap memberikan kebebasan kaum Hindu untuk mengekspresikan dan
melaksanakan ritual agamanya.
Tetapi, seyogyanya, kaum Hindu yang minoritas juga menghormati umat Islam yang mayoritas
untuk menjalankan ajaran agamanya, termasuk dalam soal aurat. Karena jelas, konsep aurat dalam
Islam berbeda dengan kaum Hindu. Maka, logikanya, adalah sangat masuk akal, jika dengan
pertimbangan keagamaan, maka umat Hindu Bali dikecualikan. Itu logis, dan sangat logis. Tetapi,
anehnya, kaum Hindu Bali, seperti ditulis Putu Setia, bersikap tidak mau kompromi terhadap RUU
APP. Pokoknya, harus ditolak, TITIK! Tidak perlu dibahas.
Di sinilah, sayangnya, kaum Hindu Bali terprovokasi oleh kaum liberal seperti Goenawan
Moehammad, yang menakut-nakuti kaum Hindu Bali dengan isu Wahabisme dan isu Taliban.
Tapi, terlepas dari itu semua, kaum Muslim Indonesia, perlu melakukan perenungan yang
mendalam. Mengapa kaum minoritas Hindu bersikap begitu berani terhadap umat Islam.
Dalam acara Tabligh Akbar dalam rangka Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw di Madjid AlBarkah, pekan lalu, seorang ulama mengingatkan kaum Muslim, agar menyadari kondisi dirinya.
Bahwa, mereka saat ini dianggap laksana bangkai, laksana mayat-mayat, yang suaranya tidak perlu
diperhatikan. Kelompok-kelompok minoritas, bahwa beberapa individu saja, bisa bertindak
semaunya sendiri di Indonesia, tanpa mengindahkan suara umat Islam. Majalah Playboy, yang
dikelola hanya beberapa ‘biji’ manusia, pun berani diterbitkan di Indonesia; tidak peduli dengan
keberatan umat Islam.
Kita perlu menyadari bahwa negeri Muslim terbesar ini sedang dikeroyok dan dikerjai habishabisan melalui proses liberalisasi yang sangat liar, dalam berbagai bidang.
Di bidang moral, penerbitan media-media informasi porno sudah begitu merajalela. Playboy
hanyalah salah satu dari sekian banyak majalah dan tabloid porno di Indonesia. Dengan liberalisasi
di bidang informasi, maka pemerintah pun sudah dikebiri dan tidak memiliki wewenang untuk
bertindak. Semua keputusan benar atau salah, porno atau tidak, diserahkan kepada masyarakat.
Jika mayoritas masyarakat suka pornografi, maka pornografi menjadi benar. Jika mayoritas setuju
dengan perzinahan, maka perzinahan pun menjadi halal. Itulah cara pandang sekular-liberal, yang
tidak mengakui adanya nilai-nilai yang tetap dalam moral.
Menghadapi serbuan liberalisasi moral itu, sebagian tokoh umat Islam kemudian melakukan
tindakan nahi munkar dengan ‘tangan’, dengan cara melakukan tindakan fisik dengan merusak
simbol-simbol pornografi, seperti majalah Playboy. Tapi, mereka kemudian justru diopinikan oleh
media-media liberal sebagai orang-orang barbar, anarkis, dan pantas dijebloskan ke penjara.
Kekuatan media massa begitu besar untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Playboy seolah-olah menjadi tidak salah, karena sudah taat hukum, sedangkan para ulama dan
aktivis umat yang menentangnya dipersepsikan sebagai orang-orang yang picik dan biadab. Inilah
ujian dan fitnah besar yang sedang dihadapi oleh umat Islam Indonesia.
Liberalisasi bidang pendidikan di Indonesia telah melahirkan fenomena yang sangat mengerikan.
Kezaliman begitu nyata. Untuk masuk masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebuah
perguruan tinggi negeri di Jakarta, seorang mahasiswa harus membayar Rp 10 juta.
Untuk masuk sebuah fakultas kedokteran – melalui jalur khusus – di sebuah universitas negeri di
Jawa Barat, seorang mahasiswa bisa menghabiskan dana Rp 300 juta.
Mau jadi apa pendidikan kita ke depan? Pemerintah harusnya sadar, bahwa komersialisasi
pendidikan seperti itu akan membawa dampak yang sangat fatal bagi masa depan bangsa. Harus
ada penyelamatan yang serius dan revolusironer terhadap kondisi pendidikan Indonesia. Alasan
kemiskinan sangatlah tidak masuk akal.
Negara-negara miskin atau yang ekonominya tidak berbeda jauh dengan kita, seperti Sudan,
Maroko, Syria, Mesir, Filipina, India, dan sebagainya, bisa menyediakan pendidikan dan bukubuku murah untuk rakyatnya. Pemerintah harus berani mengambil tindakan yang revolusioner dan
berpikir untuk menyelamatkan
bangsa dalam jangka panjang, bukan sekedar menjaga popularitasnya untuk kepentingan
kekuasaan jangka pendek. Liberalisasi dalam dunia perguruan tinggi harus segera dihentikan.
Tentu saja yang lebih mengerikan adalah liberalisasi dalam bidang agama, terutama dalam aqidah
Islam melalui penyebaran paham Pluralisme Agama. Paham ini pelan tapi pasti melucuti keimanan
dan keyakinan setiap pemeluk agama terhadap kebenaran agamanya sendiri.
Kini, di Indonesia, bertebaran ratusan LSM yang menyebarkan paham ini dengan biaya LSM-LSM
dan negara-negara asing. Jika peredaran paham ini tidak ditangani serius, jangan terkejut jika 10
tahun lagi, akan banyak guru agama yang mengajarkan paham ‘penyamaan agama’ ini kepada anak
didik kita. Na’udzubillah min dzalika.
Kita perlu sadar akan potensi dan posisi kita sekarang. Siapa kita sebenarnya, dan siapa yang
sebenarnya sedang kita hadapi. Jika kita ‘kancil’, janganlah kita merasa sebagai ‘singa’. Kita
memang banyak jumlahnya. Tetapi, negara sekecil Singapura pun bisa mempermainkan kita.
Jumlah kita sekarang 1,3 milyar jiwa, tapi dipermainkan kaum Zionis Yahudi yang jumlahnya
tidak lebih dari 10 juta jiwa. Wallahu a’lam. (Jakarta, 14 April 2006/hidayatullah.com).
8.2. “Seminar Tentang Islam Liberal di Malaysia” Sabtu, 08 April 2006
Banyak tokoh Islam Malaysia terbengong-bengong karena para penyebar paham Liberal di
Indonesia adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang studi Islam. Baca Catatan Akhir
Pekan Adian Husaini ke-143
Islam Liberal sudah sangat populer di Malaysia. Berbagai forum keislaman, baik seminar, khutbah,
majslis ta’lim, acara televisi, dan sebagainya sering mendiskusikan masalah ini. Terutama melihat
perkembangan paham ini di Indonesia. Rata-rata tokoh Islam di Malaysia memahami secara global
masalah ini, dan melihat Islam Liberal sebagai ancaman terhadap Islam dan keselamatan agama
dan bangsa. Tetapi, berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia sudah mengambil sikap yang
tegas terhadap faham ini.
Padahal, perkembangan paham ini di Malaysia, bisa dikatakan masih dalam peringkat embrional.
Ibarat penyakit, masih dalam stadium awal. Belum parah dan belum menyebar luas, seperti di
Indonesia. Penyakit ini pun masih berkisar para beberapa kelompok LSM saja. Meskipun
demikian, organisasi-organisasi Islam dan pemerintah Malaysia, sudah mulai menganggap masalah
ini sebagai masalah serius.
Maka, pada 1-2 April 2006 lalu, di Kerajaan Negeri Terengganu, diselenggarakan sebuah seminar
tingkat kebangsaan (nasional) yang bertema: Liberalisma Agama.
Saya diminta untuk menyampaikan satu makalah dengan tema “Konspirasi Luar dalam
Penyelewengan Agama: Suatu Andaian atau Realiti.” Seminar diselenggarakan oleh Yayasan
Dakwah Islamiah (YADIM) Malaysia, bekerjasama dengan Kerajaan Negeri Terengganu dan
Majlis Agama Islam dan Adat Melayu Terengganu (MAIDAM).
Peserta seminar adalah para tokoh, cendekiawan, serta sejumlah Mufti Kerajaan dari seluruh
Malaysia.
Sikap pemerintah Malaysia terhadap paham (isme) Islam Liberal bisa dilihat dari pernyataan
Menteri Besar
(Kepala pemerintahan Negara Bagian) Terengganu, Dato’ Seri Haji Idris bin Jusoh, yang membuka
acara seminar, dan juga pernyataan Menteri di Jabatan Perdana Menteri (bidang agama) Dato’ Dr.
Abdullah bin Muhammad Zin, yang menutup acara seminar.
Dalam pemilihan umum tahun 2004 lalu, partai berkuasa, UMNO, mengalahkan partai PAS di
wilayah Terengganu. Dato’ Idris Jusoh menjadi Menteri Besar Terengganu menggantikan Presiden
PAS, Hadi Awang. Dalam ucapan pembukaan seminar tentang Islam Liberal tersebut, Dato’ Idris
Jusoh menyatakan:
“Cabaran (tantangan. Pen) dakwah sejak akhir-akhir ini semakin kompleks dan berbagai ragam.
Dahulu orientasi ajaran sesat atau penyelewengan agama ini berlaku di kawasan luar bandar dan
bergerak dengan
sembunyi-sembunyi. Tetapi pada hari ini kumpulan yang menyebarkan fahaman Islam Liberal,
pluralisme agama dan lain-lain, bergerak dengan cara terang-terangan dan berani sekali melalui
saluran media komunikasi yang sangat canggih. Buku-buku mengenai fahaman Islam Liberal dan
lain-lain dapat dibeli dengan mudah di pasaran terbuka. Saya cukup bimbang apa yang sudah
berlaku kepada beberapa orang cerdik pandai di negara serumpun seperti Indonesia akan merebak
dan berjangkit kepada para sarjana kita yang silau akalnya oleh pandangan-pandangan golongan
Islam Liberal ini.
Saya berharap seminar ini dapat menjadi medan percambahan pemikiran di kalangan para peserta
terutama para alim ulama, pegawai-pegawai agama, kehakiman dan para peneliti perkembangan
dakwah di negara ini. Saya menyeru kepada semua yang terlibat dalam seminar ini agar sama-sama
memainkan peranan masing-masing di dalam mengekang fahaman ini daripada terus
berkembang.’’
Demikianlah sikap Menteri Besar Terengganu terhadap paham baru bernama ‘Islam Liberal’.
Sikapnya tegas dan jelas, bahwa paham Islam Liberal, termasuk paham Pluralisma Agama, adalah
paham yang sesat dan menyeleweng dari agama Islam. Beliau juga berharap, agar apa yang telah
terjadi di Indonesia tidak terjadi
di Malaysia.
Memang, ide-ide yang disebarkan oleh paham Islam Liberal sudah banyak tersebar di Malaysia,
khususnya melalui media internet. Banyak tokoh Islam di Malaysia sudah paham tentang ide-ide
yang disebarkan berbagai kelompok liberal, khususnya ide-ide yang menyerang Al-Quran,
menyerang syariat Islam, dan juga merusak aqidah Islam. Biasanya mereka terbengong-bengong
menyimak begitu beraninya para penyebar paham liberal di Indonesia ini merusak ajaran-ajaran
yang mendasar dalam Islam, dengan mengatasnamakan ‘pembaruan Islam’ atau ‘liberalisasi
Islam’.
Mereka lebih terbengong-bengong lagi, karena yang menjadi penyebar paham ini adalah orangorang yang mempunyai basis atau latar belakang studi Islam. Aneh dan ajaib.
Di mata mereka, Indonesia bukan hanya dikenal dengan korupsi, pornografi, atau ekstasi, tetapi
juga mulai mengekspor paham Islam Liberal. Karena sejumlah pengasong paham Islam liberal juga
cukup rajin datang ke Malaysia.
Menteri bidang agama di Malaysia, Dato’ DR. Abdullah Md Zin, juga sudah mencium dan melihat
gelagat ini.
Maka, dalam sambutan penutupan seminar di Terengganu tersebut, beliau dengan tegas
mengingatkan bahaya faham Islam Liberal ini. Berikut ini kita kutipkan agak panjang sambutan
Menteri Agama Malaysia tersebut:
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Arus globalisasi dalam dunia tanpa sempadan
(batas. Pen.)
yang terpaksa kita tempuhi sekarang ini mengingatkan kita akan keperluan untuk kita semua
mempersiapkan
diri perisai jatidiri sebagai benteng pertahanan dari ancaman anasir-anasir jahat terutama yang
mampu menyerang dan menyesatkan akidah umat Islam.
Sememangnya musuh-musuh Islam akan terus mencari ruang dan peluang untuk memesong
(menyelewengkan. Pen.) serta menggugat kepercayaan dan keimanan kita semua.
Anasir-anasir jahat ini datang kepada kita sama ada secara sadar atau tanpa disedari oleh kita
semua.
Gejala-gejala atau anasir-anasir jahat ini bukan sahaja menjadikan golongan awam yang tidak
berpendidikan tinggi sebagai mangsa, malahan ianya juga mendekati golongan-golongan terpelajar
atau profesional. Oleh yang demikian, umat Islam harus berhati-hati apabila bersama golongan ini,
agar tidak terpesong dari ajaran Islam yang sebenar berlandaskan Al-Quran dan al-Sunnah.
Selain kebimbangan terhadap ancaman musuh-musuh Islam dari luar yang secara jelas
penampilannya, kita juga bimbang terhadap musuh dari dalam yang bertopengkan Islam yang
mendakwa bahawa mereka-merekalah penyelamat dan pendokong Islam yang sebenar. Dengan
wujudnya golongan-golongan yang sesat dan anasir-anasir yang jahat ini, ianya bukan sahaja
memesong keimanan malah ia juga akan menggugat kestabilan masyarakat dan keselamatan
negara.
Oleh yang demikian, saya merasakan seminar ini adalah amat penting untuk kita fahami dakyahdakyah musuh Islam yang cuba menyeleweng dan menghancurkan Islam, sama ada secara
langsung atau tidak langsung. Yang paling merbahaya adalah menghancurkan Islam dari dalam
melalui orang Islam itu sendiri.”
--o0o-Itulah pernyataan Dr. Abdullah Md. Zin, menteri di Jabatan Perdana Menteri Malaysia, yang
mengurusi masalah keagamaan. Sikap pejabat pemerintah Malaysia tersebut sangat penting untuk
kita telaah, sebab sikap semacam itu dulu tidak terjadi pada pejabat pemerintah Indonesia.
Di awal-awal tahun 1970-an, pemerintah Indonesia tidak mendengarkan nasehat para cendekiawan
dan tokoh Muslim untuk menghentikan arus sekularisasi. Bahkan, Menteri Agama, Mukti Ali,
secara terbuka memberikan dukungan terhadap liberalisasi Islam di perguruan tinggi Islam. Lalu,
dengan alasan untuk meningkatkan kualitas intelektual, kiblat pemikiran Islam mulai digeser dari
Timur Tengah ke Barat. Di tengah masyarakat, liberalisasi Islam berlangsung dengan sangat masif,
dengan dukungan dana dari LSM dan negara-negara Barat. Ujung tombaknya adalah media massa
dan cendekiawan-cendekiawan dari kalangan organisasi Islam sendiri.
Ambillah kasus (alm) Nurcholish Madjid. Banyak cendekiawan yang silau dengan gagasan
sekularisasinya, dan senantiasa memberikan pujian-pujian yang berlebihan. Dikatakan silau, sebab
mereka memberikan pujian-pujian yang melampaui batas proporsinya, karena tidak paham atau
karena memiliki kepentingan tertentu mengangkat ikon liberalisasi di Indonesia. Prof. Dr.
Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, misalnya, termasuk yang silau atau
menyilaukan diri dengan gagasan pembaruan Islamnya Nurcholish Madjid.
Dalam sebuah tulisannya untuk pengantar buku Dr. Abd A’la yang diterbitkan Paramadina,
Azyumardi menulis bahwa: “gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki
komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang
kritis dan sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk
melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu
penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan
konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.”
(Lihat, Pengantar A. Azra untuk Buku Dr. Abd A’la, Dari Neoodernisme ke Islam Liberal
(Paramadina, 2003), hal. xi.
Masih kata Azra, bahwa:
“Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan
eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar berpijak pada aspek itu, namun ia
juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka,
hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan
kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman.” (Ibid, hal.xii).
Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh
Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali
tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap
beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikutin jejak gurunya, Fazlur
Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. Misalnya, saat
pidato di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, Nurcholish mempromosikan pendapat yang
lemah tentang Ahlul Kitab:
“Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana
dikutip ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak terbatas hanya kepada
kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam Al- Quran serta kaum Majusi
(pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama
lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.”
Pendapat ini sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya, misalnya, oleh Dr. Muhammad
Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr.
Azizan Sabjan, dalam disertasinya di ISTAC, Malaysia. Namun, Nurcholish Madjid tidak peduli
dengan koreksi dan kritik, dan tidak pernah merevisi pendapatnya. Prestasi kaum pembaru di
Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas
Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat.
Bahkan, merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku
Fiqih Lintas Agama menulis:
“Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan
terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana
jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu
yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan lakilaki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama
dan aliran kepercayaannya.” (Fiqih Lintas Agama, (Paramadina&The Asia Foundation),
2004:164).
Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya pemikiran kaum pembaru Islam yang dimotori
Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang
sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi
berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang telah terbukti sangat destruktif terhadap khazanah
pemikiran Islam. Azyumardi Azra adalah pakar yang otoritatif di bidang sejarah Islam Asia
Tenggara. Tetapi, dalam soal pemikiran Islam, sayang sekali ia mengecilkan dirinya sendiri,
dengan menempatkan dirinya sebagai pengikut dan pemuja
Nurcholish Madjid. Wallahu a’lam. (KL, 6 April 2006/hidayatullah.com).
8.3. “Peringatan KH Khalil Ridwan” Senin, 03 April 2006
KH Khalil Ridwan, pimpinan pesantren Husnayain mengklarifikasi tentang upaya infiltrasi paham
sekularisme-liberalisme (SIPILIS) ke pondok pesantren. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini
ke 142
Pada tanggal 27 Maret 2006, Harian Republika memuat sebuah surat pembaca yang dikirim oleh
KH A. Khalil Ridwan, seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia. Surat ini sangat penting untuk
diperhatikan, karena memberikan klarifikasi dan peringatan tentang upaya infiltrasi paham
sekularisme-liberalisme ke pondok-pondok pesantren. Surat itu juga menyebutkan adanya sikap
tegas dari pimpinan Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) yang memutus
segala bentuk kerjasama dengan lembaga pengasong ide liberal ICIP (International Center for
Islam and Pluralism) yang dipimpin Dr. M. Syafii Anwar.
Tampaknya, selama ini, kerjasama itu hanya dilakukan oleh ‘oknum’ BKSPPI saja.
Sebagai salah satu anggota Majlis Pimpinan BKSPPI, Kyai Khalil mengaku tidak tahu menahu
tentang kerjasama tersebut, dan menyebut kerjasama itu sebagai “sebuah kecelakaan dan bencana
yang sedang menimpa organisasi BKSPPI.” Ia juga menyatakan, kerjasama tersebut, “sangat
berbahaya bagi ketahanan aqidah umat.”
Alhamdulillah, kata Kyai Khalil, KH.Didin Hafiduddin sebagai ketua Presidium MP BKSPPI telah
mengadakan rapat yang dihadiri oleh pengurus BKSPPI, pada Hari Rabu 22 Shafar 1427. Hasilnya:
Memutuskan semua kerjasama antara BKSPPI dengan ICIP dan membatalkan kerjasama
menerbitkan majalah AL-WASATHIYAH. Selanjutnya BKSPPI, tidak bertanggung jawab apabila
majalah tersebut masih terbit.
Kyai Khalil Ridwan mengimbau agar umat umat Islam dengan serius merapatkan barisan dan
jangan mudah terbius oleh zukhrufalqoul (ucapan yang menipu) dari kalangan munafiqin yang
mengasong-asongkan dagangan berupa syirik modern dalam bentuk faham atau aliran yang sudah
diharamkan oleh MUI pada MUNAS 2005. Juga, khususnya kepada kalangan pondok Pesantren
dan organisasi pondok pesantren, Kyai Betawi itu juga mengingatkan, agar mereka mewaspadai
kemungkinan adanya infiltran yang sengaja disusupkan di lingkungan masing-masing.
Demikian surat KH Khalil Ridwan di Harian Republika.
Peringatan KH Khalil, yang juga pimpinan pesantren Husnayain, sebenarnya menyiratkan satu
beban kepedihan yang sangat mendalam. Betapa tidak, di tengah-tengah tekanan dan beban
ekonomi yang sedang dililit oleh kalangan pondok pesantren, datanglah agen-agen LSM asing
yang menawarkan program-program dan dana yang menggiurkan.
Tidak mudah untuk menolak hal semacam itu. Saat ini, “dagangan” yang laku dijual kepada Barat
adalah menjual isu atau ide yang “mengobok-obok Islam”, seperti paham Pluralisme Agama,
dekonstruksi konsep wahyu, kesetaraan gender, dekonstruksi syariah, dan sejenisnya. Isu-isu
semisal “pemberantasan kemiskinan” dan “advokasi hukum” tidak begitu laku lagi dijual, sehingga
LSM-LSM sejenis YLBHI pun tidak semakmur dulu, sebelum Perang Dingin berakhir. Simaklah
sederetan nama LSM yang mendapat kucuran dana dari The Asia Foundation berikut ini:
Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit Majalah Syir’ah)
Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (Elsad) – (Pluralisme Agama dan Demokrasi)
Fahmina Institute - (Pluralisme Gender equality)
Indonesia Center for Civic Education - Demokrasi
International Center for Islam and Pluralism (ICIP) - (Pluralisme agama)
Indonesia Conference on Religion and Peace – (Pluralisme agama)
Institut Arus Informasi (ISAI) – (Pluralisme dan Jurnalisme)
Jaringan Islam Liberal (JIL) – (Liberalisasi Pemikiran)
Paramadina – (Pluralisme agama)
Pusat Studi Wanita –UIN - (Gender equality)
Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) - (Gender equality)
Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) – (Penerbitan buku-buku pluralisme)
Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama (Pluralisme Agama,
dekontsruksi syariah)
o Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme Agama)
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
o
Daftar lembaga itu bisa diperpanjang lagi sampai tiga halaman. Isu-isu yang ditebarkan oleh
lembaga-lembaga tersebut juga tidak jauh-jauh seputar liberalisasi Islam. Seolah-olah, itulah isu
utama yang sedang dihadapi umat Islam. Seolah-olah, umat Islam akan bangkit dan maju jika
mengikuti agenda-agenda Barat tersebut.
Padahal, masalahnya sebenarnya tidak demikian. Memang tidak dapat dipungkiri terdapat banyak
kelemahan internal di kalangan pondok pesantren sendiri. Tetapi, jika cara untuk memperbaikinya
adalah dengan menyebarkan paham multikulturalisme dan pluralisme agama, adalah salah sama
sekali.
Jika yang dipersoalkan adalah soal toleransi, maka kita dapat bertenya dengan sungguh-sungguh,
sebenarnya, siapa yang selama ini tidak toleran? Apa yang salah dengan pandangan keagamaan
pesantren terhadap kaum non-Muslim? Selama ratusan tahun, pondok pesantren dan umat Islam di
Indonesia sudah bersikap sangat toleran dan menghargai umat dan agama lain, tanpa meninggalkan
keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar.
Workshop-workshop, pelatihan, dan sejenisnya tentang pluralisme dan multikulturalisme ala ICIP
itu harusnya justru diberikan kepada pihak Barat, seperti George W. Bush dan kawan-kawannya,
yang hingga kini jelas-jelas bersikap sangat tidak toleran terhadap Islam dan umat manusia, dengan
memaksakan paham sekular-liberalnya untuk dipeluk umat manusia.
Mereka jelas-jelas tidak menghargai perbedaan, tidak bersikap ‘multikultural’, sebagaimana yang
mereka gembar-gemborkan. Dengan pemaksaan ide “sekularisasi-liberalisasi” ala Barat kepada
kaum Muslimin, Barat dan agen-agen liberalnya di Indonesia sebenarnya telah bersikap monolitik
dan sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk meyakini dan
menjalankan ajaran-ajaran agamanya sendiri.
Mereka memaksakan – dengan segala kekuatan dana, politik, informasi – paham mereka kepada
umat Islam. Mereka juga tidak menghargai aspirasi keagamaan umat Islam. Hingga kini, AS dan
Inggris tidak berani mengangkat seorang menteri Muslim-pun. Juga, mereka tidak mau memberi
hari libur Idul Fithri dan Idul Adha kepada umat Islam. Padahal, Inggris mempunyai hari libur
‘Boxing Day’ dan libur Paskah dua hari.
Kita bisa membuktikan dalam sejarah, siapa yang sebenarnya lebih bersikap menghargai perbedaan
dan keragaman: Islam atau Barat? Sayangnya, ada saja sebagian dari kalangan kaum Muslim yang
lebih suka menjadi corong paham-paham destruktif – semisal Pluralisme Agama.
Adalah musibah besar bagi umat Islam, jika yang menyebarkan paham syirik itu adalah dari
kalangan ulama dan cendekiawan.
Sayyidina Umar bin Khathab pernah menyatakan dalam satu khutbahnya; “Yang paling aku
khawatirkan akan menimpa kalian adalah perubahan zaman, tergelincirnya orang yang berilmu dari
kebenaran, berargumentasinya orang-orang munafik dengan al-Quran, pemimpin yang sesat dan
menyesatkan manusia dalam kondisi ketidaktahuan.” (Ibnul Jauzi, Sirah Umar, hal. 223)
Karena itu, para tokoh Islam, ulama, kyai, ustad, mubaligh, dan sebagainya, seyogyanya menyadari
pentingnya memahami tantangan pemikiran dan aqidah Islam di zaman globalisasi ini. Dalam
Kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menyatakan, wajib hukumnya bagi para ulama untuk
memahami pemikiran-pemikiran yang bathil, agar dapat menjelaskan dan menjaga aqidah umat.
Sebab, para ulama itulah yang diamanahi untuk menjaga Islam. Dan pondok pesantren merupakan
benteng-benteng terakhir pertahanan umat Islam di bidang aqidah.
Di masa lalu, para ulama Islam sangat memahami pemikiran-pemikiran yang berkembang di
zaman itu. Imam al-Ghazali memahami masalah filsafat dengan baik dan memberikan kritik yang
sangat tajam melalui bukunya Tahafut al-Falasifah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan
kritik yang sangat tajam terhadap kepercayaan agama Kristen melalui empat jilid bukunya, alJawab al-Shahih li-Man Baddala Din al-Masih. Dalam bidang Ilmu Kalam, begitu banyak
ditemukan jawaban-jawaban yang sangat argumentatif terhadap pemikiran Mu’tazilah.
Para ulama, kyai, cendekiawan Muslim, khususnya yang saat ini memegang amanah memimpin
pondok pesantren, seyogyanya meneladani jejak para ulama terdahulu. Disamping memiliki
kualitas ketaqwaan yang tinggi, seyogyanya, pada kyai itu juga memahami benar hakekat dan
jatidiri paham-paham yang destruktif terhadap para santrinya.
Di era globalisasi, hampir tidak mungkin membendung paham-paham itu tidak memasuki arena
pondok pesantren, melalui media komunikasi yang ada, baik cetak maupun elektronik. Satusatunya jalan untuk menangkalnya adalah memahami paham-paham destruktif itu dengan
mendalam, sehingga para kyai atau ustad di pesantren dapat menjelaskan kepada para santri dan
muridnya, apa dan bagaimana sebenarnya paham-paham yang bertentangan dengan aqidah Islam
tersebut.
Peringatan KH Khalil Ridwan sangatlah penting untuk direnungkan secara mendalam. Sebab, jika
orang yang berstatus kyai atau ulama justru termakan paham-paham yang bertentangan dengan
aqidah Islam, maka akibatnya sangatlah fatal. Orang yang diamanahi menjaga agama dan mewarisi
risalah kenabian, justru menjadi penghancur risalah itu sendiri.
Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan; “Yang merusak umatku adalah orang alim yang
durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk
dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy).
Juga ada sabda beliau saw:
“Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim
(dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang Al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn
Hibban).
Menyambut imbauan dan peringatan KH Khalil Ridwan, kita berdoa dan berharap, mudahmudahan para kyai dan pimpinan pondok pesantren, khususnya sekitar 2000 pesantren yang ada di
lingkungan BKSPPI, tidak sampai kebobolan dan terinfiltrasi paham-paham syirik modern yang
kini dijajakan dengan kemasan yang sangat menarik. Allahumma Amin. (Jakarta, 30 Maret
2006/hidayatullah.com).
Bab IX
Maret 2006
9.1. Paham Syirik Modern Serbu Pondok Pesantren Senin, 27 Maret 2006
Mengejutkan!. International Center for Islam and Pluralism (ICIP) yang dikenal pengasong
liberalisme bisa bekerjasama BKSPPI yang menolak ide liberal. Baca Catatan Akhir Pekan Adian
Husaini ke-140
Pada Hari Kamis (16/3/2006), seorang Ustad dari Persatuan Islam (Persis) datang ke rumah saya
membawa sejumlah makalah dan majalah yang sangat mengagetkan. Betapa tidak? Makalahmakalah itu merupakan tulisan sejumlah tokoh liberal di Indonesia yang diberikan dalam acara
pelatihan “Penguatan Pemahaman Keagamaan dan Keberagamaan di Kalangan Tokoh Pesantren
BKSPPI di Jawa Barat” yang diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism
(ICIP) di Pesantren Darul Muttaqien, Parung, 1 Maret 2006. Sedangkan Majalah yang dibawa itu
bernama Al-WASATHIYYAH.
Majalah ini cukup mewah. Baru terbit pertama kali. Judul sampulnya adalah ‘BELAJAR
MULTIKULTURALISME DARI PESANTREN’.
Yang membuat mata terbelalak adalah bahwasanya majalah ini diterbitkan atas kerjasama
international Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren
Indonesia (BKSPPI). Tokoh-tokoh dari kedua lembaga itu selama ini dikenal oleh umat
Islamsebagai pihak yang sangat berseberangan dalam pemikiran Islam.
ICIP yang dipimpin oleh Dr. M. Syafii Anwar adalah lembaga yang selama ini dikenal gigih
menentang fatwa MUI tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama (sipilis). Sementara
tokoh-tokoh BKSPPI (seperti KH Kholil Ridwan, KH Didin Hafidudin, dan sebagainya) adalah
pendukung-pendukung gigih fatwa MUI tersebut. Sejak duduk di bangku kuliah di IPB, saya
mengenal tokoh-tokoh BKSPPI, terutama KH Shaleh Iskandar (alm), KH Tubagus Hasan Basri
dan sebagainya, sebagai sosok yang gigih mengawal aqidah umat dan memperjuangkan aspirasi
Islam.
Tetapi, di majalah Al-Wasathiyyah ini Syafii Anwar duduk sebagai penanggung jawab. Jajaran
pimpinan lainnya adalah: Syafiq Hasyim (Pemimpin Umum), A. Eby Hara (Pemimpin Redaksi),
Farinia Fianto (Wakil Pemimpin Redaksi), Ahmad Fuad Fanani (Redaktur Pelaksana). Di jajaran
Redaktur Ahli, duduk KH Husein Muhammad, KH Muhyidin Abdussomad, KH Didi Hilman dan
Alpha Amirrachman.
Dalam jajaran tokoh liberal- pluralis di Indonesia, nama Syafii Anwar sudah sangat masyhur. Dia
termasuk penentang utama fatwa MUI tentang ‘sipilis’ dan kesesatan Ahmadiyah. Sebagai contoh,
pada 29 Juli 2005, Syafii ikut dalam kelompok ‘Aliansi Masyarakat Madani’, yang menyatakan
keprihatinan atas larangan dan tudingan sesat terhadap Ahmadiyah. Selain Syafii Anwar, hadir
dalam forum itu Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Johan Effendi (Indonesian Conference
Religion and Peace-ICRP), Pangeran Jatikusuma (Penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi
(Konferensi Wali Gereja Indonesia-KWI), Pdt Weinata Sairin (Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia-PGI). Hadir juga tokoh agama Kong Hu Cu, Anand Krishna, para aktivis Jaringan Islam
Liberal. Acara itu juga dihadiri wakil dari anggota Ahmadiyah, YH Lamardi yang mengaku tidak
bisa melakukan apa pun kecuali hanya diam.
Bersama para cukong dari LSM-LSM asing seperti The Asia Foundation dan sejenisnya, Syafii
juga rajin menggelar acara diskusi dan seminar tentang Pluralisme Agama. Dalam seminar di
Jakarta Media Center, 29 November 2005, yang mengambil tema “Masa Depan Pluralisme di
Indonesia”, Syafii Anwar, menggunakan istilah Gerakan Salafi Radikal untuk menyebut
kelompok-kelompok Islam seperti MMI, Hizbut Tahrir, Laskar Hizbullah, Laskar Jundullah, Darul
Islam, Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hammas, dan sebagainya. Frase “dan sebagainya”
menunjukkan, bahwa cap Islam radikal bisa dilebarkan kepada organisasi Islam apa saja yang tidak
mau menerima paham Pluralisme Agama.
Dalam makalahnya yang berjudul “The State, Shari’a and The Challenge of Pluralism in Post
Suharto Indonesia”, Syafii menulis empat kriteria gerakan Salafi Radikal, yaitu (1) cenderung
memperjuangkan ‘peradaban Islam tekstual’, (2) memperjuangkan formalisasi syariat Islam pada
semua aspek kehidupan, (3) cenderung memperjuangkan agenda anti-pluralisme, (4) memiliki
persepsi yang keliru tentang jihad, (5) memiliki kepercayaan yang kuat tentang teori konspirasi dan
muslim adalah korban konspirasi Yahudi, Kristen, dan Barat.
Syafii menulis, “Considering the fact that emergence of RSM (Radical Salafi Movement) groups
and heir actions has created serious problem to the Indonesian Society, a group of young muslim
intellectuals established the so-called JIL (Jaringan Islam Liberal).” Syafii mengistilahkan
kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam Liberal di Indonesia sebagai Progressive-Liberal
Islam (PLI), seperti Paramadina, LkiS, P3M, Lakpesdam NU, Jaringan intelektual Muda
Muhammadiyah (JIMM),International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dimana Syafii sebagai
Direkturnya, dan sebagainya.
Ia dengan tegas menulis, bahwa setelah era Soeharto, maka yang terjadi adalah pertarungan antara
RSM dan PLI. Pada akhir makalahnya, ia menulis: ‘’Although I am still optimist with the future of
Islam in Indonesia, it is important to state here that the Indonesian government has to protect the
Indonesian Muslims from the threat of religious conservatism and radicalism.”
Jadi, dalam hal ini, posisi Syafii dan ICIP sudah sangat begitu jelas di mana dia berada dalam
percaturan pemikiran di Indonesia. Dia jelas-jelas agen, aktor, dan pelaku intelektual penyebaran
paham pluralisme agama di Indonesia, dengan dukungan penuh LSM-LSM asing. Dengan menjual
‘isu radikalisme’ Islam, Syafii berhasil meraup dana milyaran dari cukong-cukong asing tersebut,
eskipun hal itu harus disertai dengan meruntuhkan aqidah dan syariat Islam melalui penyebaran
paham Pluralisme Agama, yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menerima
kebenaran semua agama. (Uraian serius tentang paham ini, bisa dilihat, misalnya, buku Dr. Anis
Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta:GIP, 2005).
Pluralisme Agama memang sebuah ‘agama baru’ yang berpotensi sebagai senjata pemusnah massal
agama-agama, sehingga pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II juga mengeluarkan dekrit
‘Dominus Jesus’ yang menentang paham ini. Sebuah buku yang sangat tebal dan serius dalam
memberikan kritik terhadap paham ini juga sudah ditulis oleh seorang pendeta Dr. Stevri Indra
Lumintang berjudul “Theologia Abu-Abu” (Malang: Gandum Mas, 2004). Menurut Stevri,
"Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah
menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan
Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya
Pluralisme sedang menawarkan agama baru...’’ (hal. 18-19).
Dicatat dalam buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena
teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua
agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu
pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu
teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama
yang ada di dunia ini…
Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara
mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Sedangkan MUI dalam fatwanya juga menjelaskan: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang
mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah
relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja
yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk
agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.”
Karena itu, tegas fatwa MUI: “paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama adalah
bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk mengikutinya.”
Entah bagaimana, paham yang jelas-jelas sangat destruktif bagi semua agama ini malah
disebarkanluaskan ke pesantren-pesantren. Ironisnya, BKSPPI yang menaungi ribuan pesantren di
Indonesia dan harusnya menjadi pelindung aqidah umat, justru menjalin kerjasama dengan
lembaga dan tokoh-tokoh yang jelas-jelas selama ini aktif dalam melakukan penghancuran
terhadap aqidah dan syariah Islam.
Lembaga ICIP juga aktif menyebarkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia. Tahun
2004, ICIP menerjemahkan dan menerbitkan buku Nasr Hamid dengan judul “Hermeneutika
Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan”.
Nasr Hamid dikenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).
Dalam pengantar buku terbitan ICIP itu, redaksi ICIP menulis pendapat Nasr Hamid tentang AlQuran, bahwa menurut Nasr Hamid, Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad dan memasuki
ruang sejarah dan ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawanin) dan hukum-hukum sosiologis
dan historis. Di sinilah kemudian Al-Quran menjadi terhumanisasi (muta’annas),
mengejewantahkan elemen-elemen, ideologis, politis, kultural yang partikular dari masyarakat
Arab abad 7 M...
Abu Zayd percaya bahwa Al-Quran itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang kontestasi
ideologis dalam mana subyek-subyek bebas (individu, roup, dan klas), berebut satu sama lainnya
untuk tujuan politik dan ekonomi. Brangkat dari sini, pemahaman yang benar terhadap Al-Quran
menurutnya adalah dengan cara mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi
Quraisy.’’ (hal. viii-ix).
Nasr Hamid Abu Zayd menulis buku Al Imam al-Syafii: wa ta’sis al-Idulujiyah al-Wasithiyah,
yang menyerang habis-habisan Imam al-Syafii. Buku ini banyak dikutip para penyerang al-Quran
dan Imam Syafii di Indonesia.
Karena berbagai pendapatnya yang ‘membongkar’ hal-hal yang mendasar dalam Islam, pada 14
Juni 1995, Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad.
Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun
tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau --kalau yang bersangkutan tidak mau-- ia harus
dikenakan hukuman mati. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan
yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan.
Sebenarnya, secara ilmiah, berbagai kelemahan pendapat Nasr Hamid juga sangat mudah
dibuktikan. Sayangnya, banyak kalangan liberal yang memuja Nasr Hamid tanpa kritis.
Pendapat-pendapatnya dikutip hanya untuk melegitimasi hawa nafsu untuk mendekonstruksi
Al-Quran.
Menyimak kiprah ICIP yang aktif menyebarkan paham-paham destruktif terhadap aqidah Islam,
sebenarnya terlalu jelas untuk melihat, dimana sebenarnya posisinya berada. Sangat aneh jika ICIP
yang berideologi liberal, penyebar paham syirik modern (Pluralisme Agama) justru berambisi
untuk memaksakan pendapatnya ke pondok-pondok pesantren. Namun, semua itu bisa dipahami
dari sisi kepentingan bersama antara lembaga seperti ICIP dengan para cukong yang saat ini
sangat aktif ingin mengubah Islam –bukan hanya umat Islam. Dalam istilah David E. Kaplan:
“Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim
societies but Islam itself.” (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-252005).
Jadi, saat ini, AS dan sekutunya memang sedang berusaha keras untuk –bukan hanya mengubah
umat Islam– tetapi juga mengubah Islam itu sendiri. Jika kita melongok website
www.asiafoundation.org (sampai 24 Maret 2006) masih terpampang judul pembuka website:
REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA.
Jadi, yang ingin diubah oleh mereka adalah Islam. Mereka ingin membentuk ‘Islam yang baru’,
sesuai dengan pandangan hidup (worldview) Barat. Karena pondok pesantren dan insitusi
pendidikan Islam adalah benteng terakhir umat Islam, maka tidak heran, jika kalangan itulah yang
menjadi sasaran utama untuk diobok-obok habis-habisan. Sebagaimana terjadi di era kolonialisme
klasik, ada saja dari kalangan umat Islam yang tergiur untuk menjual agama dengan dunia, rela
menjadi pengasong ide-ide destruktif ke jantung-jantung umat Islam. Na’udzubillahi mindzalika.
(Depok, 24 Maret 2006)
9.2. “Pornografi dan Liberalisme” Selasa, 14 Maret 2006
Wartawan senior Indonesia menuduh RUU APP ‘berbau Arab’. Nabi dan Imam Syafi’i juga
orang Arab, tapi mengapa kita mau mengikutinya? Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 139
Menyusul maraknya aksi penolakan terhadap RUU Anti-pornografi (APP), beberapa hari lalu,
seorang muslim yang tinggal di Bali menelepon saya, dan memberitahukan kondisi kaum Muslim
Bali yang semakin terjepit. Kadangkala, mereka mendapat tuduhan, bahwa RUU APP adalah salah
satu bentuk Islamisasi.
Jika RUU itu nantinya disahkan, maka Bali pun akan diislamkan, dan wanitanya dipaksa memakai
jilbab. Entah dari mana isu itu ditiupkan di Bali, sehingga sampai muncul ancaman, jika RUU APP
diterapkan, maka Bali akan memerdekakan diri dari Indonesia.
Ancaman semacam ini dulu juga nyaring terdengar di kalangan kaum Kristen tertentu, ketika RUU
Pendidikan Nasional akan disahkan. Mereka mengancam, Papua dan Maluku akan memisahkan
diri, jika RUU Pendidikan Nasional disahkan. Tetapi, ketika RUU itu disahkan menjadi UU,
gertakan mereka juga kurang terdengar lagi.
Kaum Muslim Bali dan banyak komponen masyarakat lainnya di sana, jelas sangat mengharapkan
lahirnya satu Undang-undang yang bersikap tegas terhadap tayangan-tayangan pornografi dan
pornoaksi yang semakin meruyak di belantara tanah air Indonesia. Pada tahun 1945, kaum Muslim
juga ditekan untuk mengganti Piagam Jakarta, dengan alasan ancaman separatisme wilayah
tertentu.
Pornografi adalah musuh umat manusia beradab, sehingga selama ini selalu ada upaya agar
manusia yang masih bertelanjang, diberikan pekaian penutup tubuh mereka. Anehnya, sebagian
argumentasi penolakan RUU APP justru berorientasi kepada primitivisme.
Ada yang berpendapat, jika RUU ini diterapkan maka suku-suku tertentu yang selama ini biasa
hidup telanjang akan terkena ancaman pidana. Logika kaum liberal ini sebenarnya carut-marut
dan paradoks.
Pada satu sisi mereka mengagungkan progresivitas (dari bahasa Latin : progredior, artinya, saya
maju ke depan), tetapi pada sisi lain, mereka justru mundur ke belakang, dengan memuja nativitas
dan primitivitas.
Sayangnya, suara-suara masyarakat yang sehat, seakan tersekat. Logika mereka tersumbat oleh
gegap gempitanya gerakan penolakan RUU APP dimotori oleh LSM-LSM dan public figure
tertentu yang berpaham liberal, yang meyakini ‘kebebasan’ sebagai ideology dan agama mereka.
Kebebasan, menurut mereka, adalah keimanan, yang tidak boleh diganggu gugat. Karena itu
mereka menolak berbagai pembatasan, baik dalam hal agama atau pakaian. Kata mereka, itu
wilayah privat, wilayah pribadi yang tidak boleh dicampurtangani oleh negara. Maka mereka pun
berteriak: biarkan kami berperilaku dan berpakaian semau kami, ini urusan kami! Bukan urusan
kalian! Bukan urusan negara! Negara haram mengatur wilayah privat! Itulah logika dan keimanan
kaum liberal, pemuja kebebasan.
Karena RUU APP dianggap melanggar wilayah privat, maka mereka berteriak lantang: tolak RUU
APP! Ketika kasus Inul mencuat, seorang tokoh liberal menulis dalam sebuah buku berjudul
“Mengebor Kemunafikan”: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidangbidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada
masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.”
Logika kaum liberal yang mendikotomikan antara wilayah privat dan wilayah publik itu
sebenarnya logika primitif, yang di negara-negara Barat sendiri sudah kedaluwarsa. Sejak lama
manusia sudah paham, bahwa kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan
publik.
Karena itulah, di negara-negara Barat yang memuja liberalisme, ada peraturan yang membatasi
kebebasan manusia, yang memasuki dan mengatur wilayah privat, baik dalam soal tayangan TV,
pakaian, minuman keras, dan sebagainya.
Ada kode etik dalam setiap jenis aktivitas manusia. Tidak bisa atas nama kebebasan, orang berbuat
semaunya sendiri. Masalahnya, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, maka
peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan
akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat,
tergantung kesepakatan dan kemauan manusia.
Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah)
dan memalukan.
Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM,
seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita
menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama.
Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana
liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia
kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi.
Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa
mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam
kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan
kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum
air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis
ini.
Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat
mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang
jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki.
Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri
sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini:
"Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai
Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia
tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran
dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk
sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS 45:23).
Dalam satu tayangan televisi, seorang pengacara terkenal pembela Anjasmara bersikukuh bahwa
apa yang dilakukan Anjasmara dengan foto bugilnya adalah satu bentuk seni, dan bukan
pornografi. Padahal, foto Anjasmara yang dipamerkan untuk umum di Gedung Bank Indonesia itu
jelas-jelas mempertontonkan seluruh auratnya, kecuali alat vitalnya.
Apakah si pengacara itu tidak berpikir, jika foto Anjasmara itu diganti oleh foto diri atau foto
ayahnya. Apakah itu juga seni? Jika memang masih dianggap satu bentuk seni, mengapa alat vital
Anjasmara masih ditutup dengan lingkaran putih? mbok, sekalian agar dianggap lebih indah dan
‘nyeni’ alat vital itu dibuka dan diberi lukisan tertentu?
Dalam tradisi Yunani, yang menjadi akar liberalisme seni di Barat, patung-patung para dewa pun
ditampilkan telanjang bulat dengan alat vital terbuka. Kenapa si pengacara itu masih tanggung
dalam memuja liberalisme? Apa landasan yang menyatakan alat vital tidak boleh dipertontonkan
di muka umum ? Jika alasannya adalah ‘tidak etis’, maka suatu ketika dan di satu tempat tertentu,
misalnya di klub-klub nudis, alat vital manusia pun wajib dipertontonkan, karena mengikuti
kehendak dan selera umum.
Dalam Islam, nilai etika bersifat permanen dan tidak berubah. Batas aurat wanita dan laki-laki
jelas. Mana dan kapan boleh diperlihatkan juga diatur dengan jelas oleh wahyu, baik melalui ayatayat Al-Quran maupun hadits Rasulullah saw. Karena itu, kaum Muslim sebenarnya tidak perlu
berdepat panjang tentang batasan aurat manusia, karena pedomannya sangat jelas.
Pornografi dan pornoaksi adalah aktivitas yang terkait erat dengan promosi perzinahan yang secara
keras dilarang oleh Al-Quran. Karena itu, seorang dokter yang memeriksa bagian aurat tertentu
dari pasien atau mayat manusia, dengan tujuan medis, tidak masuk dalam kategori pornografi atau
pornoaksi. Ini tentu berbeda dengan Dewi Soekarno yang secara sengaja mempublikasikan fotofoto bugilnya dalam ‘Madame de Syuga’. Berbeda juga dengan tayangan-tayangan erotis dalam
berbagai acara televisi kita sekarang ini.
Paham kebebasan atau liberalisme dalam berbagai bidang, memang sedang gencar-gencarnya
dicekokkan kepada masyarakat Indonesia. Kaum Muslim Indonesia kini dapat melihat, bagaimana
destruktif dan jahatnya paham ini.
Ketika Lia Eden ditangkap, kaum liberal berteriak memprotes. Ketika Ahmadiyah dinyatakan
sebagai paham sesat oleh MUI, maka mereka pun berteriak membela Ahmadiyah. Ketika goyang
ngebor Inul dikecam, mereka pun memaki-maki para ulama sebagai sok-moralis, sok penjaga
moral dan sebagainya.
Ketika film Buruan Cium Gue (BCG) dikritik dan dikecam, mereka juga membela film itu atas
nama kreativitas seni. Sekali lagi, menurut mereka, kebebasan harus dipertahankan. Sekarang,
dalam kasus RUU APP, sikap dan posisi kaum liberal pun tampak jelas, di barisan mana mereka
berdiri; di barisan al-haq atau al-bathil.
Kita sesungguhnya perlu mengasihani pada cara berpikir kaum liberal ini. Apalagi yang sudah tua
dan 'sakit-sakitan', seperti Goenawan Mohammad. Bangga dengan julukannya sebagai budayawan,
dia menulis satu artikel di Koran Tempo berjudul ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia’.
Dia menganggap bahwa RUU APP ini akan merupakan bentuk adopsi nilai-nilai dunia Arab, dan
jika RUU ini disahkan, maka akan berdampak pada kekeringan kreativitas pada dunia seni dan
budaya.
Nama Mohammad yang ditempelkan pada Goenawan itu saja sudah mengadopsi nilai-nilai Arab,
karena kata Mohammad bukan berasal dari bahasa Jawa. Al-Quran dan hadits pun dalam bahasa
Arab. Bahkan, Nabi Muhammad SAW juga orang Arab. Para sahabat Nabi pun orang Arab.
Imam Syafii juga orang Arab. Apakah karena mereka orang Arab, lalu kita tidak boleh
mengikutinya? Kaum Muslim selama ini sudah mafhum, bahwa Islam memang agama yang
diturunkan di Arab, tetapi jelas agama ini adalah untuk memberi rahmat kepada seluruh alam.
Ayat-ayat Al-Quran banyak menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh umat
manusia. Bukan hanya untuk orang Arab. Karena itulah, orang tua Goenawan Mohammad pun
bangga memberi anaknya nama ‘Mohammad’, yang jelas-jelas mengadopsi nilai Arab.
Jika konsisten memperjuangkan nilai lokal, nama Goenawan Mohammad harusnya diganti dengan
‘Goenawan Terpuji’. Bahkan, kata ‘Goenawan’ itu pun bukan asli Jawa, melainkan impor dari
India.
Masalahnya, bukan Arab atau non-Arab. Tetapi, Islam atau bukan. Benar atau salah. Itulah yang
seharusnya menjadi acuan berpikir bagi Goenawan. Setiap Muslim atau yang masih mengaku
Muslim, seharusnya memiliki pandangan hidup (worldview) Islam. Tidaklah sepatutnya jika nilai
kebenaran Islam diletakkan derajatnya di bawah unsur ‘kreativitas seni’.
Jika kreativitas seni dijadikan sebagai standar nilai, maka akan terjadi kekacauan hidup. Siapa yang
menentukan kreativitas seni itu baik atau buruk? Apakah semua kreativitas seni adalah baik? Tentu
saja tidak.
Kreativitas seni Madonna yang mempertontonkan ciuman lesbi di atas panggung dengan Britney
Spears dan Christina Aguilera, dalam pandangan Islam, jelas sangat tidak baik, dan sangat tidak
beradab, alias biadab.
Tetapi, ketika itu, pada 28 Agustus 2003, di panggung terbuka acara penganugerahan MTV Video
Music Awards di Radio City Music Hall New York, para penonton malah melakukan standing
applause. Para penonton menyambut adegan jorok itu dengan berdiri serentak dan bertepuk tangan
cukup panjang.
Sutradara film Guy Ritchie, suami Madonna, malah ikut bertepuk tangan dengan wajah senang. Ia
sama sekali tidak keberatan dengan tingkah polah istrinya. Bagi penonton, tindakan Madonna
dianggap sebagai kreativitas seni. Entah bagaimana sikap pemuja liberalisme dan kreativitas seni
seperti Goenawan Mohammad andaikan dia hadir dalam acara itu.
Kreativitas seni memang penting, tetapi kebenaran nilai-nilai Islam adalah lebih penting lagi.
Sudah saatnya, kaum pemuja liberalisme seperti Goenawan Mohammad bertobat dan mengoreksi
pikirannya, ngaji lagi yang baik dan benar, sehingga tidak bangga dan takabbur dalam kesesatan
pikirannya. Ingatlah, kita semua pasti mati dan akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan
kita kepada Allah SWT. Kekuasaan dan kepopuleran tidak akan bertahan lama. Masih ada waktu
untuk bertobat. Wallahu a’lam. (Jakarta, 10 Maret 2006/hidadayatullah.com).
9.3. "Catatan Dari Jeddah" Senin, 06 Maret 2006
Workshop INSISTS di Kairo dan Jeddah berjalan lancar. Ke depan, workshop akan diperlebar ke
berbagai negara. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-136
Alhamdulillah, pada Hari Selasa (28/2/2006) malam, pesawat Saudia yang membawa kami dari
Kairo mendarat dengan aman di Bandara King Abdul Azziz Jeddah, Arab Saudi. Tujuan utama di
sini adalah untuk menjalankan ibadah umrah dan mengisi diskusi tentang pemikiran Islam dengan
masyarakat Indonesia. Melanjutkan catatan pekan lalu, masih ada beberapa aktivitas di Kairo yang
perlu kita telaah.
Usai acara workshop di Kairo, masih tersisa sejumlah kegiatan penting. Pada Hari Jumat
(24/2/2004), acara diisi penuh dengan silaturrahim, dialog, bedah buku, dan berbelanja buku-buku
yang diperlukan untuk melengkapi koleksi perpustakaan INSISTS. Pagi hari, kami menerima
kunjungan pengurus SINAI (Studi Informasi Alam Islami). Dialog berlangsung dua jam lebih.
SINAI merupakan salah satu kelompok studi mahasiswa yang aktif mengkaji dan menulis
berita-berita seputar dunia Islam dan hendak melebarkan kajiannya ke tema-tema pemikiran Islam
kontemporer. Mereka sudah memiliki tabloid dan website
sendiri.
Ba’da Jumat, saya dan Adnin Armas menjadi pembicara dalam acara bedah buku di Perpustakaan
Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK). Ada tiga buku yang dibedah: dua buku saya (Wajah
Peradaban Barat : dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal dan buku Hegemoni
Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi) dan satu buku karya Adnin Armas
(Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran : Kajian Kritis). Acara ini juga berlangsung sangat
meriah. Ruangan dan waktu yang tersedia tidak cukup untuk menampung minat diskusi para
mahasiswa.
Malam harinya, diadakan acara silaturrahim dan dialog dengan pengurus dan warga
Muhammadiyah Cabang Istimewa Mesir. Saya hadir dalam acara ini bersama Adnin Armas (yang
juga anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah).
Sedangkan Hamid Fahmy memberikan pelatihan penulisan ilmiah kepada beberapa mahasiswa S-2
dan S-3 di Kairo.
Kami sangat terharu melihat antusias para intelektual muda Muhammadiyah yang hadir, sampaisampai ruangan di Griya Jawa Tengah, tempat acara berlangsung, penuh sesak oleh hadirin.
Aktivitas Muhammadiyah di Kairo sungguh luar biasa. Mereka mampu menerbitkan berbagai jenis
penerbitan, mulai jurnal, majalah, buletin, sampai menerbitkan film.
Ada bibit-bibit unggul yang perlu diberikan perhatian khusus oleh pimpinan dan tokoh-tokoh
Muhammadiyah. Melihat kualitas para intelektual muda Muhammadiyah di Kairo, tampak bahwa
isu kelangkaan ulama di Muhammadiyah sebenarnya dapat diatasi dengan memanfaatkan potensi
mereka di masa mendatang.
Menjelang tengah malam, kami menerima undangan dari seorang staf KBRI Kairo untuk
menikmati suasana malam di Tepi Sungai Nil. Yang perlu dipelajari oleh Indonesia adalah cara
Mesir dalam menjaga dan mengeksploitasi Sungai Nil ini. Sungai ini sangat bersih dan terpelihara,
sehingga menjadi sumber air bagi rakyat Kairo dan obyek wisata yang menarik.
Sayangnya, ada saja sisi negatif dari objek wisata Sungai Nil dipertontonkan kepada para
wisatawan. Meskipun bukan termasuk negara ‘petro dolar’, tetapi Mesir mampu eksis sebagai
salah satu negara yang dapat membanggakan berbagai aspek kehidupannya.
Harga buah-buahan sangat murah. BBM juga super murah. Harga solar hanya 0,6 pon Mesir
(sekitar Rp 1000). Harga bensin hanya 0,9 pon Mesir (sekitar Rp 1500). Jadi, Mesir tidak soksokan ikut-ukutan harga internasional, seperti Indonesia.
Di jalan-jalan, jarang terlihat mobil mewah. Hampir semua Taksi adalah mobil Fiat sekitar tahun
1970-an. Meskipun kondisinya demikian, di Mesir ini, ada Universitas al-Azhar yang masih
mampu menyediakan pendidikan gratis bagi ribuan mahasiswa asing. Bahkan, banyak diantara
mahasiswa asing itu yang diberikan beasiswa dan asrama gratis.
Pemerintah Mesir banyak menyeponsori penerbitan dan penerjemahan buku-buku yang dapat
dibeli dengan harga murah. Ada seorang mahasiswa yang dengan geram mempertanyakan
kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia, mengapa biaya pendidikan Indonesia begitu mahal.
Sabtu (25/2/2006) rombongan INSISTS memanfaatkan waktu untuk mengunjungi sejumlah toko
buku di Kairo. Banyak buku-buku khazanah Islam klasik dan kontemporer yang masih perlu dicari.
Bisa dikatakan, mahasiswa Indonesia di Kairo “berenang di lautan turats”, karena begitu
melimpahnya buku-buku khazanah keilmuan Islam, dengan harga murah. Tapi, kata seorang
mahasiswa di sini, “karena tidak bisa berenang, maka saya malah tenggelam.”
Di sinilah diperlukan framework (kerangka berpikir) dalam melihat dan memahami turats Islam
dengan benar. Bagi yang dapat memanfaatkan khazanah Islam dengan baik, terbukti akan muncul
sebagai sosok-sosok yang berperan besar dalam pengembangan khazanah Islam di Indonesia,
seperti Prof. HM Rasjidi.
Kami juga sempat melihat-lihat piramid yang sekarang identik dengan simbol negara Mesir.
Piramid memang karya yang sangat dahsyat. Tetapi, Al-Quran menggambarkan pencetusnya, yakni
Fir’uan, sebagai sosok penguasa zalim, angkuh, dan kafir kepada Allah.
Sayangnya, peringatan Allah itu tidak dicantumkan di dinding-dinding piramid, sehingga yang
mengunjungi piramid ini bisa memiliki persepsi, bahwa Fir’aun adalah penguasa hebat yang perlu
diteladani. Padahal, piramid adalah karya yang hebat tetapi dibangun dengan darah dan nyawa
rakyat Mesir. Harusnya, karya ini menjadi monumen peringatan bagi umat manusia, khususnya
para penguasa yang zalim.
Sabtu malam itu juga saya memenuhi undangan silaturrahim dan dialog dengan pengurus dan
warga NU Cabang Istimewa Mesir, yang berlokasi di Swessy A Nasr City, Cairo. Acara yang
berlangsung sekitar 2 jam itu juga sangat berkesan, dihadiri sekitar 40 warga NU Mesir.
Dialog berlangsung hangat. Ada sejumlah pertanyaan kritis tentang masalah hermeneutika, posisi
turats, dan pengembangan rasionalitas dalam Islam yang sempat mengemuka. Dari sejumlah
penerbitannya juga tampak gairah intelektual pengurus NU Mesir yang sangat tinggi. Pada
kesempatan ini, saya kembali menyampaikan pentingnya kaum Muslim membangun tradisi ilmu
dan menghidupkan tradisi keilmuan yang memiliki akar kuat di pondok-pondok pesantren.
Dari Kairo inilah, mudah-mudahan akan lahir ulama-ulama yang memiliki kapasitas keilmuan dan
amal yang sangat tinggi, sehingga dapat menjadi teladan bagi umat.
Misalnya, saya menjumpai seorang anak muda NU yang baru tamat S-1 dari Al-Azhar. Ia sangat
cerdas dan sudah menghafal Kitab Alfiah (Kitab Nahwu seribu bait syair) sejak di bangku
tsanawiyah. Penguasaannya terhadap khazanah klasik Islam sangat luas. Ia pun
sangat kritis menyikapi perkembangan pemikiran liberalisme yang merusak bangunan struktur
keilmuan Islam.
Meskipun dililit berbagai keterbatasan ekonomi, ia rajin mengunjungi toko-toko buku dan mengaji
rutin kepada sejumlah ulama di Masjid Al-Azhar Mesir.
Potensi seperti ini tentulah sangat berharga untuk dikembangkan di masa mendatang, dan
seyogyanya pemerintah, khususnya Departemen Agama memiliki perhatian khusus dalam
pengembangan SDM intelektual Muslim unggulan. Akibat hegemoni informasi liberal, potensipotensi besar seperti ini tidak muncul.
Sebaliknya, yang dimunculkan justru yang sebaliknya, yang rajin menyerang bangunan pemikiran
Islam. Yang juga sangat mengesankan selama di Mesir adalah bersemangatnya panitia IKPM
(alumni Gontor) dalam membantu segala macam aktivitas INSISTS.
Kecakapan, keikhlasan, dan kesigapan serta profesionalitas mereka sungguh luar biasa. Mereka
bekerja siang malam tanpa kenal lelah. Begitu acara usai, hasil rekaman workshop dan diskusi
telah mereka gandakan dalam bentuk VCD.
Hingga detik terakhir kepulangan kami, berpuluh orang mengantarkan kami sampai ke bandara
Kairo dalam suasana yang mengharukan. Kami juga sangat berterimakasih kepada KBRI Kairo
yang begitu besar bantuannya dalam menyukseskan acara-acara di Mesir.
KBRI di Kairo memang dikenal sangat dekat dengan para mahasiswa Mesir. Mereka banyak
membantu kelancaran aktivitas mahasiswa.
Pada hari Rabu (1/2/2006), dengan izin Allah, saya berkesempatan menunaikan ibadah umrah.
Suasana Masjidil Haram masih lumayan sepi, sehingga bisa menunaikan ibadah dengan lebih
tenang dan khusyu’. Ibadah kali ini memang luar biasa, karena sejak
keberangkatan dari Jakarta, 17 Februari 2006 lalu, tidak direncanakan dari awal. Tetapi, karena
memang ada panggilan untuk datang, maka takdir Allah tidak bisa ditolak. Saya harus datang ke
Baitullah.
Tidak bisa menghindar, meskipun visa baru keluar beberapa jam sebelum keberangkatan ke
Jeddah. Malam itu, atas jasa yang luar biasa dari Ketua dan sekretaris ICMI Jeddah, kami dapat
menunaikan ibadah umrah. Mereka berdua dengan tulus mengantarkan dan menunggui kami umrah
sampai sekitar pukul 02.00 Kamis dini hari. ICMI Jeddah memang diantara perwakilan ICMI di
luar negeri yang masih mampu bertahan dengan baik, pasca era Habibie.
Kamis (2/3/2006) malam dilangsungkan acara diskusi tentang tantangan pemikiran Islam di
Indonesia. Acara berlangsung di satu tempat di Jeddah. Meskipun sejumlah buku dan VCD yang
mengkritik Islam Liberal sudah beredar luas di kalangan masyarakat Indonesia di Jeddah, tetapi
diskusi malam itu berlangsung cukup seru sampai lewat tengah malam, dan dihadiri ratusan warga
Indonesia. Diantara yang hadir, ada juga mahasiswa yang khusus datang dari Madinah.
Berbeda dengan di Kairo yang peserta diskusi-diskusinya adalah para mahasiswa, peserta diskusi
di Jeddah sangat heterogen, mulai doktor bidang fiqih sampai pekerja pabrik. Tetapi, semangat
diskusi mereka rata-rata sangat tinggi. Sebelumnya, pada 28 Februari, tim INSISTS juga sudah
mengadakan diskusi dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Madinah.
Diantara hasil diskusi dengan mahasiswa dan tokoh-tokoh Madinah dan Jeddah, ada beberapa
mahasiswa dan tokoh yang menyatakan akan membantu gerakan wakaf buku untuk perpustakaan
INSISTS.
Jumat (3/3/2006) pagi, kami masih melakukan diskusi terbatas dengan tokoh-tokoh Islam di
Madinah. Siang harinya, kami meninggalkan kota Jeddah menuju Indonesia. Perjalanan ke Mesir
dan Arab Saudi kali ini telah memberikan banyak kesan yang mendalam tentang kondisi faktual
potensi umat Islam di kedua negara tersebut.
Yang jelas, jalinan silaturrahim semakin bertambah, yang di kemudian hari semoga terus berlanjut
dalam bentuk yang lebih nyata dalam rangka menghadapi tantangan pemikiran di Indonesia. Amin.
(Jeddah, 3 Maret 2006/hidayatullah.com)
Bab X
Pebruari 2006
10.1. "Catatan Dari Kairo" Jumat, 24 Pebruari 2006
Workshop INSISTS di Kairo, Mesir, menekankan cita-cita besar untuk membangun peradaban
Islam berdasarkan pada ilmu pengetahuan Islam. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 136
Alhamdulillah, pada 18 Februari 2006 sore, pesawat Gulf Air yang membawa kami tiba dengan
selamat di Kairo, Mesir. Kami, rombongan Institute for the Studi of Islamic Thought and
Civilization (INSISTS), datang ke Kairo atas undangan Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor
Ponorogo Cabang Kairo, untuk mengisi workshop tentang “Tantangan Pemikiran Islam
Kontemporer”.
Rombingan INSISTS ada empat orang: saya sendiri, Direktur Utama INSISTS Hamid Fahmy
Zarkasyi, Direktur Eksekutif INSISTS Adnin Armas, dan anggota Dewan Direktur INSISTS dr.
Abdul Ghofir Sp.PD.
Meskipun sudah puluhan kali mengisi workshop tentang pemikiran Islam di berbagai kampus,
pesantren, dan organisasi Islam, tetapi mengisi workshop di Kairo tentulah sangat mendebarkan.
Terbayang di benak saya, para peserta workshop adalah para mahasiswa S-1 sampai S-3 yang
sehari-hari bergelut dengan khazanah keilmuan Islam di Universitas-universitas terkenal di Mesir,
seperti Universitas Al-Azhar, Darul Ulum, dan sebagainya. Mereka tentu lebih pakar dibandingkan
saya dalam soal keilmuan Islam.
Bagi banyak mahasiswa Kairo, nama INSISTS memang bukan hal yang asing. Selain banyak
diantara mereka yang menjadi anggota milis INSISTS, majalah ISLAMIA yang kami terbitkan
juga sudah beredar di Kairo.
Workshop ini pun sudah direncanakan lebih dari 2 tahun, dan senantiasa mengalami penundaan.
Alhamdulillah, bersamaan dengan keberangkatan pimpinan Gontor ke Kairo untuk menemui dan
mengundang Syaikhul Azhar pada acara peringatan 80 tahun Pesantren Gontor, bulan Mei
mendatang, INSISTS juga diminta mengisi acara workshop, khususnya untuk para alumni Pondok
Gontor, yang di Kairo saja berjumlah lebih dari 300 orang.
Apa yang saya bayangkan tidaklah terlalu meleset. Ketika workshop dimulai, pada 19 Februari
2006, sekitar 200 orang hadir. Mayoritas mahasiswa Universitas al-Azhar, mulai jenjang S-1
sampai S-3.
Acara berlangsung di Aula Dar El-Munasabat Rabiah al-Adawiyah, sebuah tempat yang
berasitektur klasik. Ternyata peserta bukan hanya alumni Pondok Gontor saja. Workshop dibuka
oleh Dubes ad-interim Indonesia di Kairo, Muzammil Basyuni, dan dimulai dengan acara pidato
pembukaan oleh pimpinan PP Gontor Ponorogo, KH Abdullah Syukri Zarkasyi.
Hari pertama, dari pagi sampai sore, kami membahas materi tentang Pandangan Hidup Islam
(Islamic worldview), peradaban Barat dan peradaban Islam, serta sejarah dan konsep sekularisme
di Barat dan pengaruhnya terhadap pemikiran Islam kontemporer.
Malam hari, usai acara workshop, kami melakukan silaturrahim dan dialog khusus dengan para
mahasiswa pasca sarjana Indonesia di Kairo. Hadir juga beberapa mahasiswa dari Aljazair dan
Sudan yang sedang melakukan penelitian di Kairo. Melalui dialog inilah terjadi saling pengertian
dan semangat kebersamaan untuk mewujudkan cita-cita bersama membangun tradisi keilmuan
Islam yang tinggi, berbasis kepada tradisi dan khazanah keilmuan Islam.
Dalam berbagai kesempatan, kami selalu menekankan pentingnya umat Islam, khususnya para
calon cendekiawan dan ulamanya agar menjadikan masalah ilmu sebagai masalah utama dalam
kehidupan umat Islam.
Dan di Kairo inilah gudangnya khazanah tradisi keilmuan Islam berada. Ada ungkapan populer,
bahwa Kairo adalah ‘Ka’batul ‘Ilmi’ (kiblatnya ilmu). Kitab-kitab ‘turats’ (khazanah intelektual
Islam) melimpah ruah. Para ulama dan pakar-pakar tentang keagamaan Islam juga berjubel di sini.
Sayang sekali jika semua itu tidak dimanfaatkan. Dalam dialog ini saya melihat begitu banyak
‘mutiara-mutiara’ yang bernilai tinggi. Tampak jelas, sejumlah mahasiswa yang memiliki wawasan
keilmuan Islam yang tinggi, mendalam, dan mampu menulis dengan baik. Itu tercermin dari
berbagai penerbitan mahasiswa di Kairo. Sungguh sayang, jika semua potensi itu nantinya akan
tersia-siakan, ketika mereka kembali ke tanah air.
Saya sangat gembira, misalnya, membaca sejumlah penerbitan – baik buku maupun jurnal – yang
diterbitkan oleh Muhammadiyah Mesir. Sangat membanggakan. Disamping kuat dalam rujukan
keilmuan Islam, bahasanya pun cukup enak dibaca dan mudah di mengerti, serta sangat kritis
terhadap pandangan hidup dan konsep-konsep di luar Islam. Dari tulisan-tulisan itu tampak,
semangat ilmiah para mahasiswa Indonesia di Kairo sangat tinggi. Begitu juga yang di Persis dan
NU. Tentunya ini merupakan tanggung jawab para pimpinan dan tokoh Islam di Indonesia, agar
tidak menyia-nyiakan potensi intelektual mereka.
Di sela-sela acara workshop dan berbelanja buku di Kairo, kami juga menerima undangan
bersilaturrahim dan berdialog dengan berbagai organisasi Islam di Kairo, seperti Perwakilan Persis,
Perwakilan Muhammadiyah, perwakilan NU Mesir, dan lain-lain. Semua itu sangat
menggembirakan. Silaturrahim ilmu seperti itu sangat baik untuk terus dikembangkan, agar dapat
terjalin saling pengertian dan pemahaman tentang masalah umat dan keislaman.
Acara workshop pada hari kedua (20/2/2006), dari pagi sampai sore, membahas materi
hermeneutika. Materi ini memang kami pandang sangat penting, karena telah dijadikan sebagai
mata kuliah wajib di beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dan ratusan buku tentang
hermeneutika telah diterbitkan di Indonesia.
Dalam berbagai tulisan dan forum, kami berusaha menjelaskan, apa sebenarnya hermeneutika dan
bagaimana dampaknya jika diterapkan untuk menggantikan ilmu tafsir Al-Quran. Kami juga
menunjukkan contoh-contoh penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran yang dilakukan
oleh sejumlah pemikir di dunia Arab dan Indonesia. Memang, di jurusan tafsir Universitas alAzhar sendiri, masalah hermeneutika belum menjadi isu penting. Tetapi, banyak mahasiswa di
Kairo yang sudah mendengar dan membaca tentang masalah ini.
Pada tanggal 21 Februari 2006, workshop istirahat sehari. Kami menyempatkan diri mengunjungi
kampus Universitas al-Azhar, bidang Dirosah Islamiyah. Kampus ini memang luar biasa besarnya.
Suasana klasik Islam begitu terasa. Mahasiswanya sangat ramai. Puluhan ribu orang.
Tahun ini saja, mahasiswa baru asal Indonesia berjumlah 1000 orang lebih. Jumlah total
mahasiswa Indonesia di Kairo saja ada sekitar 4300 orang.
Sebagian besarnya belajar di Fakultas Ushuluddin, Syariah, Tarbiyah, dan Lughah Arabiyah. Pada
satu sisi, jumlah mahasiswa dan nama besar Al-Azhar memang membanggakan.
Tetapi, pada sisi lain, ini juga titik rawan pada sisi kualitas intelektual. Bimbingan intelektual
kepada mahasiswa kurang. Karena itu, banyak mahasiswa Indonesia yang melakukan berbagai
aktivitas ilmiah di luar kampusnya, untuk membangun kapasitas intelektualnya.
Satu lagi yang terasa pada Al-Azhar adalah suasana lingkungan dan bangunan fisiknya. Bagi yang
pernah belajar di kampus-kampus di Barat atau Malaysia, suasana fisik itu sangat terasa. Tetapi,
semua kekurangan fisik ini seyogyanya tidak mengurangi penghargaan akan potensi besar al-Azhar
dalam membangun tradisi keilmuan Islam. Jangan sampai karena melihat ada setitik noda di wajah
seorang perempuan, maka hilang seluruh respek pada kecantikannya.
Menjelang workshop hari terakhir (22/2/2006), saya dihinggapi keraguan, apakah peserta masih
akan bertahan seperti hari pertama dan kedua, mengingat materi-materi dalam workshop memang
cukup menyita keseriusan pemikiran. Tempat acara workshop berpindah ke Auditorium Shalih A.
Kamil Universitas Al-Azhar Kairo, sebuah tempat yang besar dan terkenal.
Ternyata, saat dimulai, kekhawatiran saya tidak terbukti. Peserta pada hari ketiga justru bertambah
banyak. Materi yang dibahas adalah sejarah peradaban Barat dan dampaknya terhadap pemikiran
keagamaan, Al-Quran dan orientalisme, dan kritik terhadap framework kajian orientalis dalam
studi Filsafat Islam.
Workshop berlangsung sampai waktu maghrib tiba. Diskusi-diskusi hangat berlangsung.
Puncaknya, pada malam terakhir, usai acara workshop, acara dilanjutkan dengan Dialog Umum di
tempat yang sama. Acara juga dibuka oleh Dubes ad interim RI di Kairo, dan diberi pengantar oleh
KH Abdullah Syukri.
Acara dialog ini berlangsung semarak dan sangat ramai, dihadiri oleh sekitar 700 mahasiswa.
Tempat duduk di bawah dan di tingkat atas untuk wanita tidak mencukupi, sehingga banyak yang
berdiri dan duduk di lantai. Acara dipandu oleh Mukhlis Hanafi, Kandidat Doktor bidang tafsir,
yang pada 6 Maret 2006, menyelesaikan ujian akhirnya
di Universitas al-Azhar Kairo.
Dalam dialog ini, kami kembali menekankan cita-cita besar untuk membangun peradaban Islam
berdasarkan pada ilmu pengetahuan Islam. INSISTS juga mengajak kepada para mahasiswa di
Kairo untuk bersama-sama membangun dan meningkatkan tradisi keilmuan Islam, berbasiskan
kepada khazanah keilmuan Islam, dan mampu mengkaji secara kritis konsep-konsep keilmuan
yang berasal dari peradaban asing. Alhamdulillah, sambutan yang kami terima sangat
menggembirakan.
Memang sekarang, sejalan dengan membanjirnya alumni Barat dalam studi Islam di Indonesia,
posisi Kairo dan Timur Tengah pada umumnya, agak tergeser. Dulu, rektor
IAIN Jakarta, Prof. Dr. Harun Nasution memang pernah menyatakan, bahwa ia puas belajar Islam
di McGill dan tidak puas belajar di Al-Azhar, karena Islam di McGill adalah Islam rasional dan
Islam di Al-Azhar adalah Islam irasional. Sejak awal 1980-an, mulailah kiblat studi Islam digeser
dari Timur Tengah ke Barat.
Kami mengajak teman-teman mahasiswa di Kairo untuk menyambut tantangan keilmuan Islam
saat ini dengan sikap positif, yakni dengan bersama-sama meningkatkan kualitas intelektual dan
kualitas amal. Bukan dengan meratapi situasi. Jika kita ingin memindahkan kiblat pemikiran Islam
dari Chicago, Leiden, Melbourne, Edinburg, Oxford, dan sejenisnya, ke Kairo, Madinah, Mekkah,
Kuala Lumpur, atau Jakarta, maka semua itu harus dilakukan dengan kerja keras.
Pada saat terakhir, saya mengingatkan kembali peringatan imam al-Ghazali tentang pentingnya
niat yang ikhlas – semata-mata untuk meraih hidayah dan keridhaan Allah – dalam menimba ilmu.
Dengan itu, semoga kita meraih ilmu yang bermanfaat, ilmu yang menambah ketaqwaan dan
semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu yang mengantarkan kepada kebahagiaan abadi, dan
ketenangan dalam iman.
Pada akhir acara, kami benar-benar sangat terharu dengan sambutan yang sangat baik dari temanteman mahasiswa Kairo. Kebahagiaan itu semakin terasa karena kita berangkat dari semangat dan
serba keterbatasan, tanpa dukungan materi yang melimpah dari negara-negara atau foundation
tertentu.
Kebahagiaan karena diperkenankan oleh Allah untuk memperjuangkan cita-cita yang mulia,
membangun kembali tradisi keilmuan Islam di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai salah
satu pusat penting dalam pemikiran Islam internasional, di masa mendatang. Insyaallah.
Pada hari Kamis (23/2/2006), seharian penuh kami mengunjungi kota Alexandria di Mesir.
Jaraknya sekitar 220 km dari Kairo. Yang paling mengesankan dalam perjalanan ini adalah
kunjungan ke Perpustakaan Alexandria (Bibliotica Alexandria) yang sangat besar, megah, dan
mewah. Untuk masuk ke perpustakaan ini, pengunjung dari luar Mesir ditarik bayaran 10 pon
Mesir (sekitar Rp 17.000). Koleksi buku-buku dalam studi Islam memang tidak selengkap dan
sebanyak di ISTAC Malaysia. Tapi, kami juga belajar banyak dari perpustakaan ini, sejalan dengan
program utama INSISTS saat ini untuk membangun sebuah perpustakaan Islam berkualitas
internasional di Jakarta. Semoga Allah SWT meridhai langkah kita semua.
Workshop di Kairo memang sangat berkesan bagi kami. Insyaallah, pada awal Maret 2006,
INSISTS melanjutkan perjalanan ke Jeddah dan Madinah untuk menyampaikan presentasi tentang
tantangan pemikiran Islam di Indonesia. Rencananya, dilanjutkan dengan acara workshop di
London. Tapi karena masalah teknis dan ekonomis, maka acara di London ditunda. Mudahmudahan, di masa mendatang, INSISTS dapat menyelenggarakan workshop tentang pemikiran
Islam di berbagai negara lain, termasuk di Australia, Eropa, dan Amerika. Amin. (Kairo, 24
Februari 2006).
10.2. "Menteri Agama dan Ahmadiyah" Minggu, 19 Pebruari 2006
Pernyataan Menag tentang Ahmadiyah mendapat kecaman kaum sekular-liberal. Jika konsisten,
kaum liberal seyogyanya menghormati keimanan Menag. Baca CAP Adian Husaini ke-135
Dalam beberapa hari ini, berbagai media massa, cetak maupun elektronik, memuat dan
memberikan komentar seputar pernyataan Menteri Agama RI, Maftuh Basyuni, yang secara tegas
menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar Islam, dan mempersilakah kaum Ahmadiyah
membuat agama baru, di luar Islam.
Secara substansial, pernyataan Menag RI tersebut bukanlah hal baru. Majlis Tarjih
Muhammadiyah, MUI, dan berbagai lembaga Islam internasional sudah menyatakan hal yang
sama. Bahwa, memang Ahmadiyah adalah aliran sesat yang berada di luar Islam. Fatwa
MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, menjadikan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi
Konferensi Islam (OKI), yang diputuskan tahun 1985. Isinya menyatakan, bahwa Aliran
Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan
menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang
qath’iy, dan disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Muhammad saw sebagai nabi dan rasul
terakhir.
Fatwa MUI tahun 2005 itu menegaskan kembali fatwa tahun 1980, bahwa Ahmadiyah adalah
aliran sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. MUI juga
meminta agar pemerintah segera melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh
Indonesia dan membekukan organisasinya.
Jadi, apa yang dikatakan oleh Menag Maftuh Basyuni adalah penegasan dari keputusan berbagai
lembaga Islam internasional yang otoritatif di bidangnya. Yang menjadi nilai lebih adalah bahwa
Maftuh Basyuni mengeluarkan pernyataan itu sebagai Menteri Agama RI.
Maftuh telah melakukan tindakan yang sangat berani mengungkapkan pemikiran dan keyakinannya
sebagai Muslim tentang aliran Ahmadiyah. Tentu saja, pernyataan Maftuh itu sangat melegakan
kaum Muslim Indonesia.
Tapi, bagi sebagian kalangan lain yang berpikiran dan berpandangan hidup sekular-liberal,
pernyataan Maftuh Basyuni itu bagaikan petir di siang bolong. Berbagai kecaman, hujatan, dan
komentar negatif mengalir terhadap Maftuh Basyuni. Seperti diketahui, sebelum fatwa MUI tahun
2005 itu keluar, berbagai pihak sudah mendesak agar MUI mencabut fatwa sebelumnya, tentang
Ahmadiyah.
Misalnya, Aliansi Masyarakat Madani yang menyatakan, “MUI perlu mencabut semua fatwa yang
memandang sesat aliran lain yang berbeda, karena fatwa tersebut seringkali dijadikan landasan
untuk melakukan tindakan kekerasan dan keresahan." Menurut mereka, fatwa MUI ini
bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan di dalam konstitusi.
Selain itu, pemerintah juga didesak untuk mencabut surat-surat keputusan atau surat edaran yang
didasarkan pada fatwa MUI tersebut.
Gerakan untuk melegalkan aliran sesat di Indonesia terus-menerus dilakukan dengan logika
kebebasan dan anti-diskriminasi. Bahkan, DPR RI baru saja meloloskan satu RUU tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. RUU ini sangat aneh, sebab memasukkan agama
sebagai salah satu unsur dalam kategorisasi etnis.
Seorang atau siapa pun yang melakukan diskriminasi ras dan etnis bisa dikenai hukuman paling
lama 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta rupiah. Termasuk dalam bentuk
pelanggaran hak-hak sipil, misalnya, adalah melakukan pelarangan atau pembatasan terhadap
seseorang untuk memilih pasangan hidup dalam perkawinan. Jadi, jika nanti ada orang tua yang
melarang anaknya untuk menikah dengan pemeluk agama lain, merujuk kepada RUU ini, maka si
orang tua itu dapat dikenai hukuman satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta.
Pandangan hidup atau pola pikir kaum sekular-liberal dalam soal agama ini sangat berbeda dengan
cara orang Muslim dalam melihat agamanya. Islam adalah agama wahyu, sehingga Islam memiliki
batasan yang jelas, mana yang Islam dan mana yang di luar Islam. Sejak
awal, Islam sudah didefinisikan dengan jelas oleh Nabi Muhammad saw. Imam al-Nawawi dalam
Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits
kedua: "Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada
Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau
menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah
haji ke Baitullah, jika engkau berkemampuan melaksanakannya." (HR Muslim).
Rukun iman pun sangat jelas: Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah,
kepada para Nabi, kepada Hari Akhir, dan kepada taqdir Allah.
Semua itu jelas dan gamblang. Bahwa, Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir, adalah juga hal
yang pokok dan final dalam Islam. Tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw.
Inilah masalah pokok dari aliran Ahmadiyah, yakni meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi,
meskipun ditambahkan, bahwa dia bukan nabi pembawa syariat. Berarti tingkatannya sama dengan
Nabi Isa a.s., yang tidak membawa Syariat baru.
Padahal, dengan meneliti tulisan-tulisan yang kata mereka merupakan wahyu yang diterima
Ghulam Ahmad, terbukti bahwa dia nabi palsu. Masalah ini sudah berpuluh tahun diteliti dan
dibuktikan oleh para cendekiawan dan ulama Islam seluruh dunia. Akan tetapi, untuk meyakinkan
dan menakut-nakuti orang yang tidak percaya kepadanya, Ghulam Ahmad mengaku menerima
wahyu-wahyu yang mengutuk orang-orang yang mengingkarinya. Misalnya, pengakuannya, : "Dan
dari sejumlah ilham-ilham itu, ada diantaranya yang didalamnya sejumlah ulama yang
menentangku dinamakan Yahudi dan Nasrani." (Mirza Ghulam Ahmad, Hamamat al-Bushra, hal.
19).
Dan katanya lagi, “Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang
dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan
mati dalam kematian jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mirza Ghulam
Ahmad, Mawahib al-Rahman, hal. 38).
Ghulam Ahmad juga mengaku, “dan termasuk diantara tanda-tanda (kebenaran dakwahku) yang
nampak dalam zaman ini ialah matinya orang-orang yang menentangku dan menyakitiku serta
memusuhiku habis-habisan.”
Jadi memang ada persamaan antara Ahmadiyah dengan Islam, tetapi juga ada perbedaan yang
fundamental.
Cendekiawan Muslim Pakistan, Dr. Moh. Iqbal pernah ditanya oleh Jawaharlal Nehru mengapa
kaum Muslimin bersikap keras untuk memisahkan Ahmadiyah dari Islam?
Iqbal menjawab: “Ahmadiyah berkeinginan untuk membentuk dari umat nabi Arabi (Muhammad
saw) satu ummat yang baru bagi nabi Hindi.”
Ketua pemuda Ahmadiyah Abdul Musawir pernah diwawancarai salah satu situs liberal, dan
enyatakan, bahwa Ghulam Ahmad sendiri mengakui, dirinya tidak ada artinya apa-apa
dibandingkan Rasulullah saw. Padahal, Ghulam Ahmad pernah menyatakan, bahwa: “Dalam
wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam
Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatkan manifestasi dari semua nabi, dan
memberiku nama mereka. Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku
Ya’qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi
Muhammad saw, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi". (Haqiqatul Wahyi, h.
72). (Majalah Sinar Islam (terbitan Ahmadiyah) edisi 1 Nopember 1985).
Di era liberalisasi dan kebebasan informasi, Ahmadiyah saat ini menikmati keuntungan, didukung
oleh berbagai kalangan yang menginginkan adanya kebebasan beragama – apa pun bentuknya.
Tidak boleh seorang dilarang untuk mengamalkan atau menyiarkan agama atau kepercayaannya.
Apa pun bentuknya. Di dalam agama-agama lain, fenomena semacam itu sudah tidak dapat
dibendung lagi. Apa pun bentuknya, apa pun jenis ajarannya, selama dia mengaku Kristen,
misalnya, tetap harus diakui sebagai Kristen. Mana Kristen yang benar dan mana Kristen yang
salah, masing-masing sekte tidak dapat saling menghakimi dan menentukan.
Begitu juga di dalam tradisi Hindu, Budha, dan sebagainya. Inilah salah satu cirri dari ‘evolving
religion’ atau ‘historical religion’; yakni agama yang berkembang dan menyejarah.
Islam saat ini juga sedang diperlakukan seperti itu. Berbagai kalangan yang mengimani konsep
HAM sekular-Barat, sebagai pedoman hidup dan berpikir, juga melihat Islam dalam kacamata
mereka.
Mereka terheran-heran kepada kaum Muslim yang masih menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah
sesat dan menyesatkan. Kata mereka, tidak boleh lagi ada yang berhak menyatakan kelompok atau
aliran lain yang berbeda dengan dirinya sebagai aliran sesat atau salah.
Tidak boleh menyatakan murtad, kafir, atau sejenisnya kepada kelompok di luar itu. Inilah asas
pemikiran relativisme dan pluralisme agama, yang memang sedang melanda dunia, sebagaimana
dikatakan oleh Joseph Runzo, dalam bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan
Press Ltd, 1986):: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan:“relativism has become a
dominant element in twentieth century theology”.
Jadi, abad ini memang sedang dihegemoni oleh pemikiran relativisme, dan sebagai dampaknya,
umat Islam juga dipaksa untuk mengikuti paham itu, sehingga tidak boleh melakukan klaim
kebenaran (truth claim) atas agama dan keyakinannya.
Para penganut relativisme dan konsep HAM sekular-Barat itu menginginkan agar orang Islam
jangan ribut-ribut jika ada orang yang menyebarkan paham yang berbeda dengan ajaran pokok
dalam Islam.
Biarkan saja jika ada orang Islam yang menyebarkan pahamnya, bahwa Lia Aminuddin adalah
nabi. Biarkan saja jika ada yang menyebarkan paham bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi,
dan wajib diimani kenabiannya.
Biarkan saja jika ada yang mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa shalat itu tidak wajib.
Biarkan saja – dan tidak usah ribut-ribut – jika ada yang menyebarkan paham bahwa salat dalam
bahasa apa pun adalah diperbolehkan. Bagi mereka, tidak ada lagi konsep murtad (keluar dari
agama Islam).
Di Barat, sesuai konsep kebebasan mereka, maka semua itu diperbolehkan. Tidak boleh dilarang,
selama tidak menganggu secara fisik. Tentu saja hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep Islam
tentang makna kebebasan itu sendiri. Disamping manusia diberi kebebasan tertentu, tetapi mereka
juga berkewajiban mengamalkan ajaran Islam dalam al ‘amar ma’ruf nahi munkar’.
Islam memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memilih iman atau kufur. Silakan saja, dan
tanggung sendiri akibatnya. Tetapi, jika seseorang atau satu kelompok menyiarkan pahamnya,
bahwa ajaran yang menyimpang adalah ajaran yang benar, maka itu sudah merupakan kemunkaran
besar, dan wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegahnya.
Perspektif keimanan dan tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar ini sama sekali tidak ada dalam
konsep kebebasan HAM sekular yang tidak memiliki dimensi keakhiratan. Bagi kaum sekularliberal, tidak ada bedanya antara yang haq dan yang bathil.
Tidak ada bedanya antara iman dan kufur. Tidak ada bedanya antara sunnah dan bid’ah. Tidak ada
bedanya antara Ahmadiyah dengan Ahlu Sunnah wal-Jamaah. Bagi mereka masalah iman bukanlah
hal penting.
Sebagai seorang Muslim, di era hegemoni paham relativisme kebenaran dan keimanan, Menteri
Agama Maftuh Basyuni telah menunjukkan teladan dan keberanian menyatakan pikiran dan
keimanannya dalam menyikapi suatu bentuk kebatilan.
Seyogyanya, jika konsisten dengan pikirannya, kaum sekular-liberal juga harus menghormati
keimanan dan keyakinan Menteri Agama. Wallahu a’lam. (Bahrain, 17 Februari 2006).
10.3. "Jalan Panjang Hamas Menuju Kekuasaan" Selasa, 14 Pebruari 2006
Hamas akhirnya memenangkan Pemilu Palestina tahun 2006. Bisakah Hamas menjaga
intregritasnya untuk tak tunduk AS dan Israel? Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-133
Hamas (Harakan al-Muqawwamah al-Islamiyah/Gerakan Perlawanan Islam) akhirnya
memenangkan Pemilu Palestina tahun 2006. Tampilnya Hamas di panggung kekuasaan Palestina
ini sebenarnya telah banyak diperkirakan jauh sebelumnya. Dalam artikelnya di Jurnal Foreign
Affairs (Agustus 1998), Khalil Shikaki, profesor ilmu politik di Universitas Nasional An Najah,
Nablus, Palestina, memberikan kesimpulan: "Peace Now or Hamas Later." (Berdamai Sekarang,
atau nanti berhadapan dengan Hamas).
Menurut Shikaki, jika proses perdamaian antara Israel-Palestina gagal, maka alternatifnya adalah
jihad oleh rakyat Palestina dan umat Islam internasional. Dan itulah yang dikehendaki oleh Hamas
dan gerakan-gerakan Islam lainnya. Shikaki mencatat: "One of the main reasons that Yitzak Rabin,
known in Israel as "Mr. Security", went to Oslo was his fear that his choice was to deal either with
the PLO today or Hamas tomorrow."
Menurut Shikaki -- artikelnya ditulis saat Benjamin Netanyahu berkuasa -- Netanyahu juga
menghadapi pilihan yang sama. Bisa disimpulkan, Ehud Barak juga menghadapi pilihan yang sama
dengan para pendahulunya.
Berdamai dengan Arafat atau menghadapi kondisi yang lebih buruk -- berhadapan dengan Hamas
dan Jihad Islam. Ketika itu, Israel patut khawatir terhadap perkembangan kelompok Islam garis
keras seperti Hamas, meskipun Arafat pernah menyatakan, bahwa hanya sedikit orang Palestina
yang setuju dengan negara Islam sebagaimana dicitakan oleh Hamas.
Sejak tahun 1990, popularitas Hamas sudah semakin meningkat. Menyusul peristiwa berdarah
"Bukit Sinagog", Oktober 1990, Hamas berhasil membuktikan, bahwa anggota-anggota
perlawanan keagamaan (bukan sekular) rela menyerahkan nyawa mereka dalam mempertahankan
iman, ketika perjuang-pejuang secular tidak berbuat apa-apa.
Insiden Bukit Sinagog diawali ketika aktivis Israel, Gershon Solomon, dan para pengikut Bukit
Sinagog, akan berbaris di Komplek Al Aqsha dan akan meletakkan batu simbol pendirian
Sinagog baru.
Berbagai bentrokan antara Israel dengan Hamas pada akhir 1990 menunjukkan, bahwa Hamas
adalah organisasi pemberani, sehingga menarik banyak pemuda Islam. Dalam dua bulan terakhir
tahun 1990, setidaknya delapan orang Israel dibunuh oleh orang-orang Hamas. Menyusul tiga
pekerja Israel yang tewas di Jaffa, pertengahan Desember 1990, hampir 1.000 orang yang
tergabung dalam Hamas ditangkap. Termasuk diantara mereka Abdul Aziz Rantisi, tangan kanan
pendiri Hamas.
Agresivitas Hamas itu tampaknya menarik banyak simpati, sehingga pada 1991, pendukung Hamas
mulai memenangkan pemilu di Tepi Barat, di samping Gaza. Pada 1991, Syaikh Yassin dipenjara.
Dilemma Hamas
Meskipun telah memenangkan Pemilu, masalah yang dihadapi Hammas tidaklah ringan. Jalur
politik yang ditempuhnya mengharuskannya bersikap lebih pragmatis dan realistis. Harian Kompas
(30/1/2006), memberitakan komitmen Hamas untuk menghormati kesepakatan yang telah dicapai
antara Israel dengan PLO sebelumnya. Hamas juga berusaha membuka dialog dengan Amerika
Serikat dan Israel.
Padahal, jauh sebelumnya, Hamas – bersama kelompok pejuang Islam lainnya, semisal Jihad Islam
– sudah menentang digelarnya perjanjian damai dengan Israel.
Meskipun mengecam keras tindakan Arafat, namun kelompok-kelompok Islam ini tidak pernah
menyerang posisi-posisi Palestina. Mereka tetap menyerang posisi-posisi Israel. Setiap kegagalan
perjanjian damai, semakin meningkatkan pamor dan popularitas kelompok-kelompok ini di mata
rakyat Palestina, karena kalangan ini meyakini bahwa kaum Zionis Yahudi adalah pengkhianat dan
penjajah tanah Palestina.
Seperti yang dilakukan Yitzak Rabin dalam Kesepakatan Oslo, dalam Perjanjian Wye River II, di
Sharm El-Sheikh, 5 September 1999, yang menjadi pijakan penyelesaian status final Palestina,
Ehud Barak juga mensyaratkan penumpasan terorisme terhadap Israel, sebagai imbalan
diserahkannya sebagian wilayah Tepi Barat.
Menyusul perjanjian itu, sejumlah tokoh Hamas dan Jihad Islam ditahan oleh otoritas Palestina.
Dalam lampiran rahasia yang menyertai Kesepakatan Oslo, yang disiarkan oleh Majalah Al
Mujtama dan Al Wathan edisi 7 September 1993, disebutkan, bahwa PLO mengakui eksistensi
negara Israel dan hak bangsa Israel di Palestina, dan pemerintahan Israel mengakui eksistensi PLO
sebagai pemerintahan sementara otonomi.
PLO berjanji akan menghentikan semua aksi publikasi yang bersifat permusuhan terhadap Israel
dan akan melakukan pembersihan terhadap aksi-aksi penentangan politik atau militer Palestina
mana saja yang diarahkan kepada perusakan Israel dan pembunuhan warga negaranya. Menteri
Lingkungan Israel, Yoshi Sharied, menyatakan, bahwa Israel membantu memperkuat PLO demi
melemahkan musuh-musuhnya yang juga menjadi musuh Israel, yang secara terang-terangan
disebutnya Gerakan Hamas.
Di tengah berlangsungnya KTT Camp David II, tahun 2000, pemimpin Hamas Sheikh Ahmad
Yassin, menyatakan, bahwa setiap perjanjian damai yang mengkompromikan status Jerusalem dan
hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah airnya, sama saja dengan politik bunuh diri bagi
Arafat. Yassin jugamenyerukan agar delegasi Palestina yang ke Camp David kembali pulang,
karena apa yang akan dicapai di Camp David II adalah hal yang buruk dan tidak merupakan
refleksi dari kemauan rakyat Palestina.
Karena itu, Hamas berjanji akan menentang setiap bentuk perjanjian yang tidak memenuhi harapan
penuh rakyat Palestina. Yassin juga menegaskan, bahwa gerakan Islam Hamas tetap bebas untuk
melakukan perjuangan bersenjata melawan Israel walaupun Arafat mengumumkan kemerdekaan
negara Palestina. Masalahnya, kata Yassin, negara Palestina tersebut tidak akan menempati seluruh
wilayah Palestina.
Dalam pandangan Hamas, masalah Palestina adalah masalah agama (Islam). Menurut Ahmad
Yassin, Ide gerakan pembebasan sekular Palestina adalah salah, karena "tidak ada negara sekular
dalam Islam".
Pada Agustus 1988, Hamas mempublikasikan "manivesto" 40 halaman, yang mewakili visi
Palestina Islam dan menyatakan, bahwa satu-satunya tindakan yang benar adalah menolak ideologi
sekular dan strategi kompromi PLO. Yang benar adalah "mengobarkan jihad" langsung melawan
Israel.
Dalam Piagam Hamas pasal 13 disebutkan: "Mengurangi sebagian dari Palestina sama dengan
mengurangi sebagian dari agama (Islam). Hamas menempatkan posisi Palestina sesuai dengan
kedudukannya dalam perspektif hukum Islam. Palestina adalah tanah wakaf Islam kepada segenap
generasi Islam sampai hari Kiamat. Tidak boleh
dikurangi sebagian apalagi seluruhnya, atau diserahkan kepada orang lain. (pasal 11).
Dengan logika Hamas, maka pendudukan Israel tidak hanya melanggar hak rakyat Palestina tetapi
juga melanggar hak Islam yang suci. Hamas berkeinginan menghancurkan eksistensi negara Israel
dan mendirikan sebuah tatanan sosial-politik Islam di Palestina. Bangsa Yahudi dipandang sebagai
kolonial dan harus diusir dari Palestina. Eksistensi Israel dianggap sama dengan eksistensi
imperialisme asing di masa silam.
Jika ada sebagian bumi kaum Muslimin dirampas musuh, menurut Hamas, maka wajib hukumnya
melakukan jihad bagi setiap Muslim. Maka, dalam menghadapi pendudukan Yahudi atas Palestina,
tidak boleh tidak harus mengibarkan panji jihad.
Dalam perspektif ideologi Islam seperti yang dianut oleh Hamas, maka setiap bentuk perjanjian
damai dengan Israel -- yang berarti pengakuan atas eksistensi Israel -- akan dianggap sebagai
bentuk pengkhianatan terhadap Islam. Sejak lama, sejumlah ulama Islam telah mengeluarkan fatwa
yang mengharamkan pengakuan terhadap eksistensi negara Zionis Israel. Kasus yang menimpa
Presiden Mesir Anwar Sadat adalah contohnya.
Sadat akhirnya tewas diberondong peluru tentaranya sendiri. Kematiannya dihubungkan dengan
langkah politiknya yang -- waktu itu -- dipandang cukup berani, yaitu meneken perjanjian damai
dengan negara Israel, tahun 1979.
Sadat dipandang telah menjual tanah Palestina kepada Israel
dengan mengakui keberadaan
negara Yahudi tersebut. Padahal, menurut Direktur Majelis Tinggi Islam di Palestina, Al Hajj
Amin Al Husaini, menjual tanah Palestina sama nilainya dengan kemurtadan.
Imam Masjid Aqsha Syekh Bayuth at Tamimi mengecam keras tindakan Sadat. ''Nabi tidak pernah
menyerahkan sebidang tanah pun kepada kaum kafir. Akan tetapi Sadat telah menyerahkan bumi
Islam di Palestina,'' kata Tamimi, yang menolak persamaan Camp David dengan Perjanjian
Hudaibiyah. Dalam perjanjian Hudaibiyah, kaum Quraisylah yang mengakui pertama kali terhadap
keberadaan negara Madinah. Sementara, dalam perjanjian Camp David, Sadatlah, yang justru
pertama kali mengakui keabsahan negara Israel.
Untuk menghadapi gerakan-gerakan Islam, Israel menggunakan tangan otoritas Palestina dan
penguasa-penguasa Arab lainnya. Gerakan Al Ikhwanu al Muslimun (induk Gerakan Hamas)
ditumpas di Mesir, dan pemerintah Jordania beberapa kali mengusir para tokoh Hamas dari
negaranya. Dalam kasus tokoh Hamas, Abu Hannud, yang diburu Israel, pihak otoritas Palestina
menahan Hannud. Atas peristiwa itu, pejabat Israel Amnon Lipkin Shahak, menyatakan, "Jika
Hannud dipenjara, hal itu sudah sesuai dengan kesepakatan kami dengan Palestina."
Jadi, dalam perspektif ideologis, kerjasama antara pemerintahan Ehud Barak, PLO, dan berbagai
pemerintahan Arab, merupakan kerjasama yang wajar, karena mereka sama-sama memandang
"gerakan Islam" seperti Hamas, sebagai musuh bersama.
Kelompok-kelompok Islam ini juga dipandang sebagai "duri dalam daging" bagi rezim-rezim
Arab, karena mereka menghendaki tegaknya negara Islam, dan menolak penguasaan rezim-rezim
Arab tertentu atas tempat-tempat suci umat Islam, seperti Masjidil Haram atau Masjid Al-Aqsha.
Yusuf Qaradhawi memberikan analisis, ada tiga sebab, mengapa Israel bersemangat untuk
mencapai persetujuan damai dengan Palestina.
Yang utama, adalah untuk memukul gerakan Islam di Palestina dan di dunia Arab, bahkan dunia
Islam pada umumnya. Qardhawi mengutip ucapan Shimon Peres: "Kalau kami melambatlambatkan perjanjian ini, maka kekuatan Islam akan muncul tiga sampai empat tahun lagi secara
tiba-tiba dengan memiliki bom atom dan nuklir."
Kini, dalam pemilu 2006, sudah terbukti, rakyat Palestina memilih Hamas sebagai pemimpin
mereka. Bagaimana perjalanan selanjutnya? Kita perlu mencermati kiprah Hamas dari hari ke hari.
Jalan terbaik yang perlu ditempuh oleh Hamas adalah menjaga integritasnya, membuktikan janjijanjinya dalam pemilu, dan menggalang kebersamaan Palestina serta dunia Islam lainnya. Jika
Hamas gagal, maka perjalanan panjang perjuangan Palestina akan semakin panjang lagi. Wallahu
a’lam. (Jakarta, 30 Januari 2006)
Bab XI
Januari 2006
11.1. "Paus dan Al-Quran" Minggu, 29 Januari 2006
Kristen dan Paus menolak paham relativisme iman, aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan
mengadopsi nilai-nilai relativisme dalam Barat. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke- 132
Pada 17 Januari lalu, Surat Kabar ‘New York Sun’, menurunkan tulisan Daniel Pipes, berjudul
“The Pope and the Koran” (Paus dan Al-Quran). Pipes, yang dikenal sebagai ‘ilmuwan garis keras’
dalam memandang Islam, mengungkap pernyataan Paus Benediktus XVI tentang Al-Quran , dalam
sebuah seminar tentang pemikiran Fazlur Rahman, pada September 2005 lalu.
Paus, seperti dikutip Pipes, dari Pastor Joseph D. Fessio, menyatakan, bahwa dalam pandangan
tradisional Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kata-Nya kepada Muhammad, yang merupakan
kata-kata abadi. Al-Quran sama sekali bukan kata-kata Muhammad. Karena itu bersifat abadi,
sehingga tidak ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi atau
menafsirkannya kembali. (There's no possibility ofadapting it or interpreting it).
Menurut Paus, sifat Al-Quran yang semacam itu, memiliki perbedaan utama dengan konsep dalam
Yahudi dan Kristen. Pada kedua agama ini, kata Paus, Tuhan bekerja melalui makhluknya. Maka,
kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah, kata-kata
Markus.
Dalam istilah Paus, “Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk
mengungkapkan kata-katanya kepada manusia. (He's used His human creatures, and inspired them
to speak His word to the world).
Karena itu, menurut Paus, kaum Yahudi dan Kristen, dapat mengambil apa yang baik dalam tradisi
(kitab) mereka dan menghaluskannya. Jadi, kata Paus, dalam Bible itu sendiri ada logika internal
yang memungkinkan untuk disesuaikan dan diaplikasikan sesuain dengan situasi dan kondisi yang
baru. (Thereis, in other words, "an inner logic to the Christian Bible, which permits it and requires
it to be adapted and applied to new situations."). Dalam istilah Paus, Bible adalah “kata-kata Tuhan
yang turun melalui komunitas manusia.”
Konsep itu tentu sangat berbeda dengan Al-Quran, yang hingga kini diyakini oleh kaum Muslimin,
sebagai “lafdhan wa ma’nan minallah” (lafadz dan maknanya dari Allah). Meskipun sama-sama
keluar dari mulut Rasulullah saw, tetapi sejak awal sudah dibedakan antara Al-Quran dengan hadits
Nabi. Menurut Paus, karena sifat Al-Quran yang seperti itu, maka Al-Quran tidak dapat diubah dan
tidak dapat diaplikasikan.(something dropped out of Heaven, which cannot be adapted or applied).
Sifat yang tetap dan tidak berubah dari Al-Quran itu, kata Paus, memiliki dampak besar, yakni
bahwa Islam adalah agama yang tetap (statis), yang terpaku pada satu teks yang tidak dapat
diadaptasikan. (This immutability has vast consequences: it means "Islam is stuck. It's stuck with a
text that cannot be adapted).
Daniel Pipes sendiri dalam artikelnya menyatakan kritiknya terhadap pendapat Paus tentang AlQuran tersebut. Al-Quran, kata Pipes, tetap bisa diinterpretasikan, dan penafsiran itu selalu
berubah. Al-Quran, sebagaimana Bible, juga memiliki sejarah. Jadi, simpul Pipes, Islam bukanlah
statis, fixed, atau beku (stuck), sebagaimana dikatakan Paus, tetapi yang sangat besar diperlukan
untuk membuat Islam terus bergerak atau berubah. (As this suggests, Islam is not stuck. But huge
efforts are needed to get it moving again).
Demikian pandangan Paus dan Pipes tentang Al-Quran dan Islam.
Pandangan Paus tentang Al-Quran itu perlu dicermati, sebab Paus yang sekarang memang dikenal
sangat gigih dalam mempertahankan dogma-dogma keimanan Katolik. Ia dikenal sangat
konservatif dalam menjaga doktrin Katolik.
Pandangannya tentang Al-Quran, pada satu sisi, memberikan pengakuan bahwa ada perbedaan
yang mendasar antara konsep Al-Quran sebagai Kalamullah, dengan konsep Bible sebagai ‘firman
Tuhan’, yang mengandung unsur manusiawi. Ini yang seharusnya juga disadari oleh umat Islam,
khususnya kalangan cendekiawannya, sehingga tidak mudah begitu saja mengadopsi metodologi
penafsiran Bible (hermeneutika) ke dalam metode penafsiran Al-Quran.
Karakteristik Al-Quran yang teks-nya diakui sebagai wahyu oleh umat Islam, sangat berbeda
dengan karakteristik teks Bible yang diakui oleh Paus, mengandung unsur-unsur
manusiawi.
Tetapi, pada sisi lain, gambaran Paus tentang Al-Quran dan Islam, juga terlalu sederhana, bahwa
seolah-olah semua ajaran Islam dan penafsiran terhadap Al-Quran adalah statis dan sama sekali
tidak berubah.
Untuk hal-hal yang pokok (qath’iy) memang ayat-ayat Al-Quran tidak bisa ditafsirkan dengan
multi tafsir.
Semua kaum Muslimin akan bersepakat tentang hal-hal yang pokok dalam ajaran Islam. Semua
umat Islam, misalnya, akan meyakini, bahwa Nabi Isa a.s. adalah nabi utusan Allah, bukan Tuhan
atau anak Tuhan.
Nabi Isa juga tidak mati di tiang salib, sebagaimana diyakini oleh Paus dan pengikutnya. Tetapi,
tidak semua penafsiran Al-Quran bersifat beku dan jumud. Banyak ayat-ayat yang memungkinkan
ada perbedaan pendapat dalam penafsiran.
Dalam ilmu tafsir, ayat-ayat itu dikenal dengan istilah ‘ayat-ayat dzanniy’. Tapi, apa pun
perbedaan penafsiran dalam ayat-ayat dzanniy, umat Islam tetap berpegang pada teks Al-Quran
yang sama. Tidak pernah umat Islam terpikir untuk membuat Al-Quran baru, kecuali dilakukan
oleh sebagian kecil kalangan yang terpengaruh oleh cara berpikir dalam tradisi Kristen tentang
Kitab mereka.
Jadi, gambaran Paus tentang ‘statisitas’ Islam, tidak sepenuhnya benar. Tapi, gambaran kaum
liberal, yang mencoba menggambarkan Islam sebagai agama yang selalu berkembang mengikuti
zaman dan situasi, juga tidak sepenuhnya benar.
Karena Islam masih memiliki teks wahyu yang asli dalam bahasa Arab, yang dijadikan pegangan
umat Islam, sehingga ada doktrin-doktrin pokok dalam Islam yang sudah sempurna sejak zaman
Rasulullah saw, dan tidak pernah berubah sampai akhir zaman. Umat Islam memiliki teks wahyu
yang asli, karena itu tidak ada masalah bagi umat Islam untuk menerapkan penafsiran secara
tekstual terhadap Al-Quran.
Seperti dijelaskan pada catatan sebelumnya, masalah otentisitas teks Bible, hingga kini terus
menjadi
bahan perdebatan hangat di kalangan teolog dan pakar Bible.
Penemuan sejumlah naskah Bible di Nag Hammadi, tahun 1945, juga menambah daftar panjang
perdebatan tentang teks-teks Bible mana yang sebenarnya otoritatif untuk dijadikan sebagai ‘Kitab
Suci’.
Kini, kaum Kristen hanya menjadikan empat Bible (Matius, Markus, Lukas, Yohanes), sebagai
kitab yang disahkan (canon). Sejumlah Bible, seperti Bible Marry, Thomas, atau Bible Philip, tidak
dipandang sebagai kitab canon.
Karena itu, kini buku-buku tentang Gnostik Bible dan Gnostik Christian terus bermunculan, yang
menggugat tradisi Kekristenan yang berlangsung sekitar 2000 tahun. Elaine Pagels, misalnya,
dalam bukunya, The Gnostic Gospels, (London: Penguin Books, 1979), memunculkan berbagai
tantangan pemikiran serius yang membongkar dasar-dasar keimanan kaum Kristen, termasuk
masalah keabsahan Bible.
Sayangnya, sebagian kalangan Muslim sendiri, justru kemudian terjebak dalam keraguan tentang
kebenaran Al-Quran sebagai Kalamullah. Tanpa sadar, bahwa pandangan semacam itu telah
menghancurkan keyakinan agamanya sendiri, tanpa bekal keilmuan yang memadai.
Kadangkala pandangan tentang Al-Quran yang disamakan dengan Bible hanya dijadikan batu
pijakan untuk melakukan liberalisasi di dalam penafsiran al-Quran.
Yang perlu digarisbawahi pada kata-kata Diniel Pipes adalah ungkapannya, bahwa Islam bisa
diubah dan bisa berubah, dan untuk melakukannya dilakukan usaha yang sangat besar. Usaha kaum
orientalis dan Barat untuk mengubah Islam sudah dan sedang terus berjalan.
Mereka berusaha menjadikan Islam sebagai ‘evolving religion’, agam yang selalu berkembang dan
berubah, sehingga Islam menjadi tanpa bentuk lagi, sehingga tidak ada lagi Islam yang satu, tidak
ada Islam yang asli.
Sebab, setiap agama akan selalu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang baru,
sebagaimana yang terjadi dalam Yahudi dan Kristen. Yang ada, kata mereka, adalah Islam yang
banyak, Islam yang warna-warni, dan masing-masing pihak tidak boleh mengklaim diri atau
kelompoknya yang benar sendiri.
Fenomena penyebaran paham ‘Islam relatif’ ini sebenarnya sungguh keterlaluan, sebab Paus saja,
yang mengakui adanya usnur manusiawi dalam Bible, menolak keras paham relativisme iman.
Dalam bukunya yang berjudul, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L.
Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut
Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21
sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang
dari peradaban Barat.
Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan
Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who
comes from the West, who understands the history and the culture of the West).
Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik
adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk
menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the
West”. (hal. 165-166). Dalampengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London:
Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia
katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. (hal. 10)
Jadi, jika kaum Kristen yang kitab sucinya mengandung unsur-unsur manusiawi menolak paham
relativisme iman, maka tentulah sangat aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan mengadopsi
nilai-nilai relativisme dalam peradaban Barat, yang ujung-ujungnya, adalah hilangnya keyakinan
kaum Muslimin terhadap kebenaran agamanya sendiri. Wallahu a’lam. (Jakarta, 27 Januari
2006/hidayatullah.com).
Download