Bab I Bulan Maret 2007 1.1. Gebrakan Universitas Islam Sultan Agung” ( Senin, 12 Maret 2007 ) Di saat banyak perguruan tinggi Islam banyak kemasukan virus liberalisme, Unissula berusaha mengaplikasikan budaya Islami. Baca Catatan Akhir Pekan Adian ke1-185 Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang melakukan gebrakan penting dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir ini, Unissula gencar mengkaji dan mengaplikasikan budaya akademik Islami. Berbagai seminar, kajian, dan pelatihan dilakukan. Tidak hanya itu. Unissula juga mencoba mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari di kampus. Shalat jamaah diwajibkan untuk dosen dan mahasiswa. Merokok di kampus dilarang. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Apalagi untuk kalangan dosen. Memaksa semua dosen untuk melakukan shalat jamaah saat berada di kampus juga bukan hal yang ringan. Unissula juga harus rela kehilangan dana-dana sponsor ratusan juta rupiah yang berasal dari pabrik-pabrik rokok. Belum lagi tindakan protes dari mahasiswa yang merasa dirugikan dengan peraturan itu. Mulai Maret 2007 hingga beberapa bulan ke depan, bekerja sama dengan Insitute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), Unissula juga menggelar serangkaian acara Studi Pengembangan Peradaban Islam. Acara ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam seputar masalah keilmuan Islam yang bisa diaplikasikan di perguruan tinggi Islam. Pada acara pembukaan, Rektor Unissula Dr. dr. Moh. Rofiq memaparkan visi dan misi kampus Unissula. Universitas Islam ini didirikan pada tanggal 20 Mei 1962 M (16 Dzulhijah 1369 H) oleh Yayasan Badan Wakaf Sultan Agung. Jadi, termasuk kampus yang cukup tua di Indonesia. Rektor pertamanya adalah Mr. Bustanul Arifin (Prof. DR. H Bustanul Arifin, SH), seorang pakar dan pejuang syariah Islam terkenal di Indonesia. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung bidang Peradilan Agama. Visi Unissula, sebagaimana disebutkan dalam website-nya, www.unissula.ac.id, sangat jelas, yaitu membangun generasi khaira ummah (ummat terbaik), melalui upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi atas dasar nilai-nilai Islam dan membangun peradaban Islam menuju masyarakat sejahtera yang dirahmati Allah SWT dalam kerangka rahmatan lil a’lamin. Sedangkan misi Unissula adalah menyelenggarakan pendidikan tinggi Islam dalam rangka dakwah Islamiyah yang berorientasi pada kualitas dan kesetaraan universal. Geliat kampus Unissula Semarang dalam upaya membangun peradaban Islam ini perlu menjadi renungan kita semua. Sebab, bukan rahasia lagi, bahwa saat ini begitu banyak kampus yang membawa label Islam yang terkadang justru tidak mengembangkan tradisi keilmuan Islam. Di kampus-kampus ini, ilmu-ilmu Barat dikaji dengan serius; fakultas-fakultas umum berkembang dan dijejali mahasiswa; tetapi sebaliknya, fakultas agama Islam justru sepi peminat. Bahkan, ada yang sudah gulung tikar. Lebih menyedihkan lagi, begitu banyak kampus Islam yang dosen dan mahasiswanya justru aktif mengembangkan pemikiran yang merusak Islam. Namanyakampus Islam, tetapi isinya bukan Islam lagi. Untuk mempertahankan eksistensi Fakultas Agama Islam, Unissula bahkan rela mengucurkan beasiswa bagi sejumlah mahasiswanya. Para mahasiswa dipilih dari kalangan santri yang berkualitas, terutama yang hafidz Al-Quran. Bukan rahasia lagi, Fakultas Agama Islam sepi peminat, karena dipandang tidak menjanjikan hari depan, atau susah cari kerja yang layak. Para mahasiswa rela bayar ratusan juta rupiah untuk memasuki Fakultas Kedokteran, tetapi enggan memasuki bidang studi Islam, meskipun gratis kuliahnya. Di sinilah para dosen agama saat ini ditantang untuk mengubah citra Fakultas Agama Islam agar tidak kalah dengan Fakultas Umum. Dosen-dosen agama haruslah orang yang cerdas, sangat mencintai ilmu, memiliki semangat dakwah dan akhlak yang tinggi, sehingga mereka bisa menjadi teladan bagi dosen-dosen bidang studi lain. Studi Islam di satu kampus Islam haruslah menjadi induk dari bidang studi yang lain. Sebenarnya sangat aneh, jika satu kampus membawa label Islam, tetapi justru studi Islamnya tidak dikembangkan. Padahal, kaum Yahudi dan Kristen saat ini sangat getol mengambangkan studi Islam. Salah satu ciri tradisi keilmuan Islam adalah menyatukan antara ilmu dan amal, antara ilmu dan akhlak. Maka di dalam Islam, jika ada ilmuwan/ulama yang fasik atau rusak amalnya, dia tidak diterima sebagai bagian dari ulama Islam. Para imam mazhab adalah orang-orang yang berilmu dan berakhlak tinggi. Seorang yang berilmu Islam wajib mengamalkan ilmunya. Dalam salah satu syair populer di kalangan santri yang tercantum dalam Kitab Zubad ialah: ”Wa ’aalimun bi ’ilmihi lam ya’malan, mu’adzdzabun min qabli ’ubbadil watsan.” (Dan orang yang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya, maka dia akan diazab oleh Allah sebelum penyembah berhala). Sudahkah kampus-kampus Islam mendidik mahasiswanya agar menjadi orang yang berilmu tinggi dan beramal shalih? Jika belum, maka cita-cita Unissula perlu diperhatikan. Kampus-kampus Islam didirikan oleh para pendirinya dengan niat yang mulia, untuk mencetak ilmuwan atau ulama Islam yang baik; bukan untuk melahirkan ilmuwan jahat; bukan ulama as-su’ (ulama jahat). Sebab, lahirnya ulama jahat merupakan pertanda kerusakan besar di dalam Islam. Abu Darda’, seorang sahabat Nabi Muhammad saw, menyatakan, bahwa yang paling beliau takutkan adalah jika nanti di Hari Akhirat, Allah memanggilnya dan menanyakan: ”Apa yang telah kamu lakukan dengan apa yang telah kamu ketahui?” (HR Baihaqi). Rasulullah saw juga bersabda: ”Hendaklah kalian saling menasehati dalam hal ilmu. Sesungguhnya pengkhianatan seseorang terhadap ilmunya lebih berbahaya daripada pengkhianatannya terhadap hartanya. Dan sesungguhnya Allah akan menanyai kalian semua pada hari kiamat nanti.” (HR athThabrani). Kecenderungan memisahkan ilmu dari amal dalam studi Islam model orientalis sangat perlu menjadi perhatian kaum Muslim dewasa ini. Dari hari ke hari di kampus-kampus Islam semakin berjubel alumni studi Islam di Barat yang terkadang membawa tradisi pemisahan ilmu dan amal. Banyak guru dari para dosen itu adalah para orientalis yang pandai tentang ilmu-ilmu keislaman tetapi tetap tidak beriman kepada Islam. Mereka pandai tentang Al-Quran tetapi tetap tidak mengimani Al-Quran sebagai wahyu Allah. Mereka pandai tentang sejarah Nabi Muhammad saw, tetapi tetap tidak mengimani kenabian Muhammad saw. Karena itu, para orientalis juga mendidik para sarjana Muslim agar menjadi pengamat agama yang baik, tanpa harus menjadi orang yang beragama yang sungguh-sungguh. Karena mengikuti ’framework’ orientalis itu, tidak heran, jika banyak alumni studi Islam di Barat yang begitu rajin mengkritik para ulama Islam, dengan bungkus ”studi kritis”. Mereka rajin mengkritik Al-Quran, hadits, Imam Syafii, dan sebagainya, tetapi sangat hormat dan sama sekali tidak kritis pada para pemikir Barat. Banyak juga yang melakukan spionase intelektual dengan membongkar-bongkar kondisi umat dan lembaga-lembaga Islam, atas nama penelitian ilmiah. Dan itu sangat wajar, karena beasiswa yang diberikan bukannya gratis begitu saja. Ada misi yang dititipkan, meskipun tidak mesti dipatuhi oleh tiap mahasiswa. Maka, bagi mahasiswa yang merasa berhutang budi atau melihat Barat sebagai kiblat hidup dan pemikirannya, sudah barang tentu akan mengabdikan hidup dan pemikirannya kepada tuannya. Tentu saja itu bukan salah negara-negara dan lembaga-lembaga Barat semata. Sangat bisa dipahami jika mereka ingin menghegemoni pemikiran umat Islam dengan cara menyiapkan pusatpusat studi Islam yang canggih sekaligus beasiswa bagi para mahasiswa dari negara-negara Muslim. Wajar, kalau pemberi beasiswa mengharapkan imbalan. Para kader didikan mereka akan menjadi corong efektif untuk melestarikan hegemoni mereka dalam berbagai bidang. Tidak perlu mereka yang turun sendiri mengajarkan liberalisme kepada umat Islam. Akan jauh lebih efektif jika yang mengajarkan liberalisme adalah hasil didikan mereka. Apalagi, segala sesuatunya sudah disiapkan - uang, kedudukan, fasilitas, kehormatan – baik ketika belajar maupun setelah tamat belajar. Karena itu sudah saatnya kita peduli dan mengoreksi sikap kurang peduli umat Islam pada umumnya terhadap sektor studi Islam itu sendiri. Saat ini, Barat sedang gencar-gencarnya melatih para sarjana dari kalangan Muslim untuk dididik dalam studi Islam, untuk nantinya diterjunkan ke tengah-tengah umat Islam. Adalah aneh bin ajaib jika umat Islam masih terus bersikap tidak peduli dan membiarkan mengalirnya ribuan sarjana Muslim untuk belajar Islam kepada kaum Yahudi dan Kristen. Jika ini tidak dibenahi, maka akan terjadi kehancuran pemikiran dan peradaban Islam yang sangat besar. Fitnah besar akan muncul dan mustahil peradaban Islam akan bisa dibangun. Dalam pidato pembukaannya saat acara Studi Pengembangan Peradaban Islam di Unissula tersebut, Direktur INSISTS, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, menguraikan karakter dan sejarah pertumbuhan peradaban Islam, proses bangun-jatuhnya, serta bagaimana strategi untuk membangunnya kembali dalam situasi saat ini. Upaya membangun peradaban Islam mesti dimulai dari membangun ilmu pengetahuan Islam ; dan kampus Islam adalah lembaga yang strategis untuk membangun peradaban Islam. Dijelaskan oleh Dr. Hamid Zarkasyi, peradaban Islam dalam sejarahnya tumbuh dan berkembang berlandaskan ilmu pengetahuan. Maka membangun kembali peradaban Islam yang sudah nyaris roboh adalah dengan menegakkan kembali bangunan ilmu pengetahuan yang menjadi pondasi peradaban Islam tersebut. Menegakkan bangunan ilmu pengetahuan maksudnya tidak lain adalah dengan membangun kembali pola pikir manusia sejalan dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam. Jadi membangun peradaban Islam pada dasarnya bukan membangun sarana dan prasarana fisik yang diberi label Islam, akan tetapi dengan mereorientasikan kerangka kerja (framework) pemikiran umat Islam. Karena posisi pemikiran dan peradaban Islam saat ini sedang terhegemoni oleh peradaban Barat, maka dalam rangka merumuskan ilmu pengetahuan Islam, para ilmuwan Muslim perlu memahami apa sebenarnya peradaban Barat. Karena itulah, dalam studi pengembangan peradaban Islam di Unissula kali ini, dibahas beberapa tema tentang peradaban Barat, seperti sejarah peradaban Barat, ekonomi Barat, sumber dan metode keilmuan Barat, serta karakter sains Barat. Materi-materi itu akan dibawakan oleh sejumlah pakar dari Indonesia dan Malaysia. Di hadapan sekitar 200 pimpinan kampus dan dosen-dosen Unissula, Hamid Zarkasyi, yang juga wakil Rektor III Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor ini juga meyakinkan, bahwa Islam adalah satu peradaban yang khas yang memiliki pandangan hidup (worldview) yang berbeda dengan peredaban mana pun. Tetapi, Islam tidak pernah apriori untuk menolak unsur-unsur dari peradaban asing yang tidak merusak pandangan hidup Islam. Karena itulah, Hamid mengajak segenap akademisi Muslim untuk tidak silau dan anti-pati terhadap Barat. “Banyak yang dapat kita ambil dari peradaban Barat. Tetapi bukan pandangan hidupnya,” ujarnya. Usai ceramah umum oleh Direktur INSISTS tersebut, acara dilanjutkan dengan studi intensif yang diikuti sekitar 75 orang pimpinan Unissula. Tampak hadir dalam acara ini Rektor Unissula dan para wakil rektor, para dekan, pembantu dekan I, dan dosen-dosen agama Unissula. Ini menunjukkan, bahwa pimpinan Unissula sangat serius untuk melakukan pengembangan peradaban Islam. Sehingga para pimpinan kampus itu sendiri terjun langsung dan memberi contoh. [Depok, 8 Maret 2007/www.hidayatullah.com] 1.2. “Tentang Penggunaan Istilah Keagamaan” ( Senin, 05 Maret 2007 ) Diantara penyebab kekacauan berfikir kaum Muslim adalah masuknya istilah dan kosep asing. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-184 Belum lama ini, di deretan kios buku-buku bekas di sekitar perempatan Senen Jakarta, saya menemukan sebuah buku berjudul “Beriman dengan Taqwa” terbitan satu penerbit Katolik di Yogyakarta. Buku ini merupakan buku serial Pustaka Teologi dalam agama Katolik. Bagi orang Muslim, judul buku semacam ini tentulah tidak asing, karena kata-kata iman dan taqwa memang merupakan kosa kata resmi dalam agama Islam. Kata ’iman’ memiliki makna khusus, tidak bisa diganti dengan istilah lain. Orang yang beriman kepada hal-hal yang wajib diimani, dalam istilah Islam disebut sebagai orang ’mukmin’. Karena itu, kata ’iman’ sebagai istilah khusus, tidak sama dengan kata ’percaya’. Kalimat ”Saya percaya kepada Presiden” tidak bisa kita ganti dengan kalimat ”Saya beriman kepada Presiden”. Begitu juga kata ’taqwa’ dalam agama Islam, memiliki makna khusus, yang bukan sekedar makna bahasa (lughawi). Secara umum, orang-orang Islam yang taat kepada Allah, yang melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, disebut sebagai orang-orang yang bertaqwa (muttaqun). Tentulah, istilah Islam itu akan sangat aneh andaikan kita terapkan untuk orang di luar Islam. Misalnya, karena dipandang memiliki kepercayaan yang kuat dan taat kepada agama Kristen, maka George W. Bush, Billy Graham, dan sebagainya, lalu diberi julukan sebagai orang-orang Kristen yang mukminun dan muttaqun. Atau, mereka disebut sebagai orang-orang Kristen yang shalihun dan muhtadun (yang mendapat hidayah). Tentu sebutan itu akan sangat ganjil dalam pandangan Islam. Dengan membaca judul buku ”Beriman dengan Taqwa” dalam perspektif Katolik tersebut, kita bertanya, bagaimana jika suatu ketika nanti di Indonesia berdiri sebuah gereja bernama ”Gereja atTaqwa” atau ”Gereja Shirathal Mustaqim”? Apakah hal itu bisa dibenarkan? Saat ini, memang banyak istilah-istilah khas dalam Islam yang sudah diambil sebagai istilah-istilah keagamaan dalam agama Kristen di Indonesia. Misalnya, istilah ’syahadat’, sudah digunakan baik oleh Protestan maupun Katolik. Mereka menerjemahkan istilah ’Nicene Creed’ sebagai ”syahadat Nicea”. Dalam sebuah buku berjudul ”Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik” (1992), disebutkan teks syahadat versi Katolik ini: “Kami percaya akan satu Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu Tuhan Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “ Dalam istilah Islam, syahadat memang merupakan rukun Islam yang pertama, yaitu ikrar bahwa ”Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Utusan Allah.” Mungkin tidak terbayang di benak banyak kaum Muslim, bahwa ada syahadat lain selain syahadat yang diajarkan oleh Rasulullah, Muhammad saw. Dalam istilah Islam, kata ’syahadat’, sudah memiliki makna khusus, yang tidak bisa begitu saja digantikan dengan istilah’pernyataan’, ’kesaksian’, atau ’testimoni’. Karena itu, orang yang masuk agama Islam, diminta membaca dua kalimah ’syahadat’; bukan diminta membaca dua kalimat ’testimoni’. Apakah bisa dibenarkan, jika orang yang masuk Islam lalu dikatakan, dia telah ’dibaptis’ secara Islam? Dalam tradisi Katolik ada istilah ’Konsili’ yang berarti pertemuan para petinggi Katolik untuk merumuskan doktrin-doktrin penting dalam agama Katolik. Jika ulama Islam melakukan pertemuan atau musyawarah, maka musyawarah itu tidak bisa disebut sebagai ’Konsili ulama Islam’, karena substansi acaranya memang berbeda. Istilah-istilah Islam disebut oleh Prof. Naquib al-Attas sebagai ’Islamic vocabulary’ (Kamus Islam). Kata-kata atau istilah-istilah Islam ini bukanlah seluruh daftar kata dalam kamus bahasa Arab, tetapi merupakan kata-kata tertentu yang memiliki pola makna saling berkaitan dan membentuk satu ’pandangan hidup’ (worldview) yang khas Al-Quran. (Lebih jauh, lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Concept of Education in Islam, (Kuala Lumpur; ISTAC, 1999). Dari penjelasan itu, kita bisa memahami, bahwa istilah-istilah baku dalam Islam dipahami dengan makna yang sama oleh kaum Muslimin di seluruh dunia, meskipun mereka berbeda suku dan bahasa. Kata Allah, iman, taqwa, shalih, shalat, haji, shaum, dan sebagainya, dipahami dengan makna yang sama oleh umat Islam. Melalui penggunaan istilah-istilah kunci dalam Islam itulah, menurut al-Attas, maka dalam sejarahnya, Islam melakukan Islamisasi bahasa-bahasa non-Arab, seperti bahasa Melayu, Persi, Turki, Urdu, dan sebagainya. Bahkan, bahasa Arab sendiri juga mengalami proses Islamisasi dengan turunnya Al-Quran. Sejumlah kata Arab diberi makna baru yang sesuai dengan pandangan hidup Islam. Kata ’karam’ (mulia) yang sebelumnya dikaitkan dengan unsur keturunan dan harta, diberi makna baru oleh Al-Quran dengan makna yang berkaitan dengan ketaqwaan. (QS 49:13). Karena Islam adalah agama yang bersifat benar dan final (QS 5:3), maka istilah-istilah kunci dalam Islam juga memiliki makna standar yang tetap. Itu disebabkan sifat Al-Quran yang terjaga teks dan maknanya. Sifat Al-Quran ini tentu berbeda dengan Bibel kaum Yahudi dan Kristen yang mengalami perkembangan dan perubahan teks dari zaman ke zaman. Karena itulah, ada perbedaan yang sangat besar antara tradisi Islam dengan tradisi Kristen dalam masalah penggunaan istilahistilah keagamaan. Sebagai contoh, dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam sangat berdisiplin dalam menyebut nama Tuhan dengan sebutan ’Allah’, dengan bacaan tertentu. Umat Islam seluruh dunia, dari generasi ke generasi, dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, tidak berbeda dalam mengucapkan lafaz ’Allah’, sebab teks Al-Quran dan cara membacanya juga tidak berubah dari waktu ke waktu. Tradisi ini sangat berbeda dengan kaum Kristen yang sangat beragam dalam menyebut dan mengucapkan nama Tuhan. Di Arab, kaum Kristen ada yang menyebut Tuhan mereka dengan sebutan 'Alloh', sama dengan orang Islam. Di Indonesia menyebut 'Allah'. Di Barat menyebut God atau Lord. Di Indonesia, kini muncul aliran Kristen yang menolak penggunaan nama ’Allah’ dan menggantinya dengan Yahweh. Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya kelompok ’Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim’ (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." Problem penyebutan nama Tuhan atau nama nabi seperti dalam agama Kristen tersebut, tidak dijumpai dalam Islam. Sebab, Islam memiliki Al-Quran yang teksnya, cara membacanya, dan maknanya terjaga sepanjang zaman. Di sinilah terjadi perbedaan dalam soal penggunaan istilah-istilah keagamaan antara Islam dan Kristen. Para ulama Islam selama berabad-abad dikenal memiliki tradisi yang kuat dalam penggunaan istilah-istilah keagamaan. Banyak ulama yang secara khusus menulis kamus dan kitab tentang definisi-definisi (ta’rifat). Sebagian kalangan Kristen bahkan sengaja menggunakan istilah-istilah yang khas dalam Islam. Sebagai contoh adalah penerbitan sejumlah buku dan brosur Kristen yang menggunakan juduljudul Islam. Misalnya, buku-buku karangan Pendeta R. Mohammad Nurdin yang berjudul: ”Kebenaran Yang Benar (Asshodiqul Mashduq)”, ”Keselamatan Didalam Islam”, ”Selamat Natal Menurut Al-Qur’an”, ”Rahasia Allah Yang Paling Besar”, ”Ya Allah Ya Ruhul Qudus, Aku Selamat Dunia dan Akhirat”. Juga buku ”Upacara Ibadah Haji” karya H. Amos, dan buku-buku karya Pendeta A. Poernama Winangun yang berjudul seperti ”Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, dan buku ”Ayat-ayat Al-Qur’an Yang Menyelamatkan”. Dalam buku ”Riwayat Singkat Dan Pusaka Peninggalan Nabi Muhammad”, disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan hadits Nabi Muhammad saw, bahwa beliau meninggalkan dua perkara yang harus dipegang teguh oleh umat Islam, adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, bukan AlQuran dan Sunnah. ”Ada juga yang menggunakan brosur-brosur yang menggunakan nama-nama Islam, seperti Brosur: Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama, Yang dikeluarkan oleh Dakwah Ukhuwah (P.O. BOX 1272/JAT Jakarta 13012). Ada juga sebuah buku Kristen berjudul ”al-Haqiqah al-Makhfiyah Dakhilul Quranil Karim” (Kebenaran Tersembunyi dalam Al-Quran alKarim). Buku ini berisi kumpulan ayat-ayat Al-Quran yang dihimpun dan disusun oleh Pendeta Markus Agung. Dalam masalah penggunaan istilah keagamaan ini, kiranya lembaga-lembaga keagamaan perlu bertemu untuk merumuskan kode etik dalam penggunaan istilah. Yang menjadi masalah memang lebih banyak bagi umat Islam, sebab penggunaan istilah dalam Islam sangat ketat. Idealnya, setiap pemeluk agama memiliki displin dalam penggunaan istilah agamanya masing-masing dan tidak mencampur aduk penggunaan istilah masing-masing agama. Tetapi, tantangan yang lebih besar bagi umat Islam sekarang dalam soal penggunaan istilah justru datang dari kalangan umat Islam sendiri, khususnya yang sudah terasuki oleh pemikiran Barat sekular-liberal. Mereka-mereka inilah yang sekarang rajin memasukkan istilah-istilah dari tradisi Yahudi dan Kristen ke dalam khazanah Islam kontemporer, seperti penggunaan istilah Islam Liberal, Islam fundamentalis, Islam skripturalis, Islam pluralis, Islam inklusif, Islam Ortodoks, dan sebagainya. Rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, misalnya, menulis satu naskah pengantar buku berjudul ”Muhammadiyah: Islam Protestan.” Buku itu sendiri oleh penulisnya diberi judul: ”Muhammadiyah Pintu Gerbang Protestanisme Islam”. Dalam buku ini penulisnya menggunakan istilah yang campur aduk antara istilah Islam dan Kristen yang sebenarnya memiliki akar sejarah dan konsep yang berbeda. Misalnya, ditulis dalam buku ini: “Etika protestan puritan (protestan calvinis) atau reformasi protestan sepenuhnya bersandar kepada pembacaan perjanjian lama dan perjanjian baru sebagaimana Muslim puritan Muhammadiyah (Muhammadiyah calvinis) atau reformasi Muhammadiyah bersandar pada sumber asli Qur’an dan Sunnah. Ia (Protestan Dahlanis) sebagai pedagang-pedagang yang jujur dalam bertransaksi… Ia dikenal sebagai Muslim reformis-puritan yang asketis… Seorang pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia waktu itu 1913 menilai bahwa Ahmad Dahlan adalah sebagai “prototipe warga Indonesia yang memiliki etika calvinis: tekun, militan, dan cerdas.” (hal. Vi-vii). Masuknya istilah-istilah asing yang mengacaukan konsep-konsep pokok dalam pandangan hidup Islam disebut oleh Prof. Al-Attas sebagai ”de-Islamization of language”. Masuknya istilah-istilah dan konsep-konsep asing yang merusak ’Islamic worldview’ inilah, menurut al-Attas, yang menyebabkan kekacauan dalam pemikiran kaum Muslim. Dan saat ini, tantangan ’de-Islamisasi bahasa’ yang dihadapi oleh umat Islam, jauh lebih berat dan lebih kompleks daripada yang dihadapi oleh umat Islam di zaman Imam Ghazali, ketika beliau menerbitkan bukunya, Tahafut al-Falasifah. Dalam kerusakan istilah dan konsep Islam ini, al-Attas menyebut contoh masuknya penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan Al-Quran, menggantikan Ilmu Tafsir, yang di Indonesia telah menjadi kurikulum wajib di berbagai Perguruan Tinggi Islam. Semoga kita termasuk yang berhati-hati dan selamat dalam menggunakan istilah-istilah keagamaan kita, sehingga kita tidak terperosok dalam kekeliruan berpikir, apalagi kemudian membanggakan dan aktif menyebarkan kekeliruan, sadar atau tidak! Amin. [Depok, 1 Maret 2007/www.hidayatullah.com] Bab II Bulan Februari 2007 2.1. “Penjajahan IMF di Indonesia” Minggu, 25 Pebruari 2007 “Penjajahan ekonomi” ala IMF kepada bansa Indonesia mirip dengan VOC seperti catatan sejarah kita 400 tahun lalu. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-183 Beberapa waktu lalu, saya menerima kiriman tulisan dari Muhaimin Iqbal, seorang praktisi dan pakar ekonomi syariah di Indonesia. Tulisan itu cukup menarik, karena mengupas secara teknis, aspek-aspek penjajahan ekonomi Indonesia oleh sebuah lembaga internasional bernama International Monetary Fund (IMF). Pada catatan kali ini, kita akan menyimak sebagian dari isi tulisan Iqbal tentang penjajahan IMF di Indonesia tersebut. Apa itu IMF? IMF bersama Bank Dunia (World Bank) dilahirkan melalui pasal-pasal perjanjian (Articles of Agreement) yang dirumuskan dalam koferensi internasional di bidang moneter dan keuangan di Bretton Woods, New Hampshire, USA, 1-22 Juli 1944. Perjanjian yang melahirkan apa yang kemudian dikenal dengan Bretton Woods Sistem ini intinya mewajibkan seluruh egara penanda tangan perjanjian tersebut (awalnya 44 negara) untuk mengkaitkan nilai tukar mata uangnya (pegged rate) terhadap emas dengan kelonggaran hanya plus minus 1 %. IMF yang secara resmi berdiri tanggal 27 Desember 1945 setelah 29 negara menanda tangani Articles of Agreement, memiliki tugas utama untuk mengawasi agar negara-negara penanda tangan tersebut mematuhi apa yang telah disepakatinya, bahkan apabila ada penyimpangan diatas plus minus 1% maka perlu persetujuan khusus dari IMF. Sesuai kesepakatan ini pula Dollar Amerika di-peg-kan ke emas dengan rate US$ 35 per troy ounce emas. Ironinya adalah Amerika Serikat yang menjadi promotor Bretton Woods dan juga IMF, ternyata juga menjadi negara pertama yang secara diam-diam melanggar kesepakatan bersama tersebut. Bahkan kecurangan ini mulai mendapatkan protes oleh sekutu Amerikat Sendiri yaitu Generale De Gaulle dari Perancis yang pada tahun 1968 menyebut kesewenang-wenangan Amerika sebagai mengambil hak istimewa yang berlebihan (exorbitant privilege). Keingkaran Amerika Serikat mencapai puncaknya ketika secara sepihak Amerika Serikat memutuskan untuk tidak lagi mem-peg-kan (mengkaitkan) dollar-nya dengan cadangan emas yang mereka miliki – karena memang mereka tidak mampu lagi! Kejadian yang disebut Nixon Shock tanggal 15 Agustus 1971 ini tentu mengguncang dunia karena sejak saat itu sebenarnya Dollar Amerika tidak bisa lagi dipercayai nilainya sampai sekarang. Yang menarik adalah, dari keingkaran Amerika Serikat ini seharusnya masyarakat dunia sudah menyadari bahwa IMF telah gagal menjalankan fungsinya untuk mengawasi para anggota agar mem-peg-kan mata uangnya terhadap emas dan tidak lebih dari plus minus 1 %. Kegagalan IMF menjalankan fungsi utama ini-pun seharusnya otomatis membuat IMF bubar karena tidak ada lagi alasan untuk menjustifikasi keberadaannya. Namun apa yang terjadi kemudian adalah hal yang justru dapat membongkar siapa sebenarnya IMF. Hanya sekitar empat bulan setelah tanggal yang seharusnya menjadi tanggal kematian IMF, yaitu 15 Agustus 1971, pada tanggal 18 Desember 1971, IMF justru dihidupkan kembali dalam bentuknya yang baru melalui perjanjian yang disebut sebagai Smithsonian Agreement dan ditanda tangani di Smithsonian Institute. Dari dua nama yang terakhir ini tentu tidak terlalu sulit bagi kita untuk memahami, minimal ‘keeratan hubungan’ antara IMF dan Yahudi. Bagaimana dengan Indonesia, sebagai salah satu anggota IMF? Iqbal mengajak kita untuk melihat kembali peristiwa tanggal 15 Januari 1998, dimana Presiden Republik Indonesia (Soeharto) harus mengikuti kemauan IMF dengan menanda tangani 50 butir kesepakatan. Upaya Soeharto untuk membuat solusi alternatif dengan sistem CBS ditentang oleh IMF dan pemimpin Negara-negara besar. Di dalam negeri, para ekonom dan media massa juga berteriak menolak solusi CBS yang dibawa oleh Prof. Steve Henke. Akhirnya, Soeharto tunduk kepada kemauan IMF dan menandatangani Letter of Intent. Di butirbutir tersebut-lah Indonesia kehilangan kedaulatan ekonominya sejak 15 Januari 1998. Berikut adalah sebagian kecil dari butir-butir kesepakatan dengan IMF yang menunjukkan bahwa kedaulatan ekonomi dan moneter itu lepas dari tangan kita: 1. Pemerintah diharuskan membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan akhirnya pemerintah memang membuat undang-undang yang dimaksud. Maka lahirlah Undang-undang no 23 tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. Pertanyaannya adalah, seandainya Indonesia masih berdaulat, mengapa untuk membuat Undang-Undang yang begitu penting harus dipaksakan oleh pihak asing?. Kalau Undang-Undangnya dipaksakan oleh pihak asing – yang diwakili oleh IMF waktu itu, terus untuk kepentingan siapa Undang-Undang ini dibuat? Dalam salah satu pasal Articles of Agreement of the IMF (Arcticle V section 1) memang diatur bahwa IMF hanya mau berhubungan dengan bank sentral dari negara anggota. Lahirnya Undang-Undang no 23 tersebut tentu sejalan dengan kemauan IMF. Lantas hal ini menyisakan pertanyaan besar – siapa yang mengendalikan uang di negeri ini? Dengan Undang-undang ini Bank Indonesia memang akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhinya (Pasal 4 ayat 2) termasuk Pemerintah Indonesia. Tetapi ironisnya justru Bank Indonesia tidak bisa lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF seperti yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut : o Article V Section 1, menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral (atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah) dari negara anggota. o Article IV Section 2, menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indonesia harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukar uangnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar. o Article IV Section 3.a., menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF. o Article VIII Section 5, menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, expor impor emas, neraca perdagangan internasional dan hal-hal detil lainnya. Pengaruh IMF terhadap kebijakan-kebijakan Bank Indonesia tersebut tentu memiliki dampak yang sangat luas terhadap Perbankan Indonesia karena seluruh perbankan di Indonesia dikendalikan oleh Bank Indonesia. Dampak lebih jauh lagi karena perbankan juga menjadi tulang punggung perekonomian, maka perekonomian Indonesiapun tidak bisa lepas dari pengaruh kendali IMF. Butir-butir sesudah ini hanya menambah panjang daftar bukti yang menunjukkan lepasnya kedaulatan ekononomi itu dari pemimpin negeri ini. 2. Pemerintah harus membuat perubahan Undang-Undang yang mencabut batasan kepemilikan asing pada bank-bank yang sudah go public. Inipun sudah dilaksanakan, maka ramai-ramailah pihak asing menguasai perbankan di Indonesia satu demi satu sampai sekarang. 3. Pemerintah harus menambah saham yang dilepas ke publik dari Badan Usaha Milik Negara, minimal hal ini harus dilakukan untuk perusahaan yang bergerak di telekomunikasi domestik maupun internasional. Diawali kesepakatan dengan IMF inilah dalam waktu yang kurang dari lima tahun akhirnya kita benar-benar kehilangan perusahaan telekomunikasi kita yang sangat vital yaitu Indosat. Hal-hal tersebut diatas, baru sebagian dari 50 butir kesepakatan pemerintah Indonesia dengan IMF. Namun dari contoh-contoh ini, dengan gamblang kita bisa membaca begitu kentalnya kepentingan korporasi asing besar, pemerintah asing dan institusi asing (yang oleh John Perkins disebut sebagai korporatokrasi yang mendiktekan kepentingan mereka ketika kita dalam posisi yang sangat lemah, yang diawali oleh kehancuran atau penghancuran nilai mata uang Rupiah kita. Sama dengan Penjajahan VOC Penjajahan ekonomi ala IMF ini mirip dengan catatan sejarah kita 400 tahun lalu, berikut petikannya: Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta. Tujuan utama VOC adalah mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala. VOC menjadi terlibat dalam politik internal Jawa pada masa itu, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia). Jadi kehilangan kedaulatan dibidang ekonomi yang kita alami sekarang sebenarnya hanya pengulangan sejarah yang pernah terjadi di Indonesia empat abad silam, secara visual kehilangan kedaulatan ini seolah tercermin dari foto yang menghiasi halaman media masa setelah kesepakatan tersebut ditanda tangani oleh Presiden Republik Indonesia didepan petinggi IMF saat itu - Michel Camdessus. Demikian petikan ringkas dari fenomena penjajahan terhadap Indonesia dari VOC ke IMF sebagaimana dipaparkan oleh Muhaimin Iqbal. Menurut Iqbal, saat dijajah oleh VOC, masih banyak pemimpin dan rakyat yang sadar, bahwa mereka dijajah. Tetapi, saat ini, tidak banyak yang sadar akan realitas penjajahan oleh IMF. Yang lebih mengerikan, banyak cendekiawan yang menjadi pendukung IMF dan mendukung tindakan serta kebijakan IMF di Indonesia. Disamping masalah moralitas, ada masalah pendidikan ekonomi liberal yang diajarkan pada berbagai jenjang pendidikan di Indonesia. Seorang kandidat doktor bidang ekonomi di Universitas Airlangga Surabaya menceritakan bahwa sejauh penelitiannya, semua kurikulum di fakultas ekonomi memang bermuatan ekonomi liberal. Karena itu, jika ingin merdeka dari penjajahan ekonomi, maka yang pertama kali harus dimerdekakan adalah ”pikiran” dan ”mental” terlebih dahulu. Dan itu harus dilakukan melalui lebaga pendidikan. Adalah mustahil bisa merdeka, jika para ilmuwan ekonomi masih melihat bahwa penjajahan IMF adalah rahmat bagi Indonesia. Wallahu a’lam. (Depok, 23 Februari 2007/www.hidayatullah.com] 2.2. ”Diskusi Sabtuan INSISTS: Relativisme Beragama” Jumat, 16 Pebruari 2007 Mengerikan, virus relativisme dalam penafsiran Al-Quran telah menyebar di kalangan intelektual Islam. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-182 Pada hari Sabtu, 17 Februari 2007, besok, diskusi sabtuan di INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization) akan membahas masalah paham ‘Relativisme Beragama’. Pemakalahnya adalah Henri Shalahuddin MA, peneliti INSISTS yang juga dosen Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Mohammad Natsir. Tema ini adalah tema yang sangat penting dan mendasar dalam diskusi tentang pemikiran keagamaan dewasa ini. Hampir tidak ada satu pun kalangan pemikir liberal yang menolak keabsahan paham relativisme dalam beragama. Mereka biasanya berargumen bahwa manusia adalah makhluk relatif, dan karena itu tidak mungkin memahami kebenaran sejati. Yang tahu kebenaran itu hanyalah Allah. Karena itu, sebagai konsekuensinya, mereka mencegah manusia untuk melakukan tindakan penghakiman pemikiran dan pemutlakan pendapat. Seperti yang disebutkan dalam hasil penelitian Litbang Departemen Agama tahun 2006 lalu tentang paham Islam Liberal di Yogyakarta, bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama, bagi penganut paham Islam Liberal, adalah tidak adanya tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama. ”Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah,” begitu salah satu hasil penelitian Departemen Agama. Inilah salah satu contoh bentuk aplikasi paham relativisme beragama, yakni tidak memiliki sikap dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Sebab, menurut mereka, tidak ada pemahaman absolut dalam agama; yang ada adalah kebenaran relatif. Karena itulah, mereka tidak bersikap dalam hal kebenaran dan kesalahan. Kita bisa bayangkan, bagaimana dampak paham seperti ini terhadap orang yang beragama. Mereka akan bersikap individual, tidak peduli terhadap kemunkaran yang berlaku di tengah masyarakat, karena mereka menganggap agama adalah urusan pribadi dengan Tuhan. Padahal, dalam Islam, amar ma’ruf dan nahi munkar adalah ajaran yang sangat penting, yang berkaitan dengan keimanan seseorang. Rasulullah saw menggambarkan orang yang hanya sanggup melawan kemunkaran dengan hatinya, tanpa tindakan apa pun, sebagai ’selemah-lemah iman’ (adh’aful iman). Jadi, orang yang mengetahui kemunkaran, tetapi tidak berbuat apa-apa, kecuali benci dengan hati, sudah dikategorikan sebagai ’selemah-lemah iman’. Kita bertanya, bagaimana dengan orang yang sudah tidak tahu lagi mana yang ma’ruf dan mana yang munkar? Bahkan, bagaimana dengan orang yang mengajarkan dan menyebarkan paham bahwa yang ma’ruf sama saja dengan yang munkar, karena manusia tidak berhak mengklaim dirinya benar dan yang lain salah? Tentulah paham seperti ini sangat keliru dan ’keblinger’. Mungkin tanpa disadari oleh penyebar paham relatvisme beragama, bahwa mereka sudah meruntuhkan satu pilar Islam yang sangat kokoh, yakni keyakinan akan kebenaran Islam dan kewajiban mendakwahkannya. Mungkin ada yang bermaksud, agar kaum Muslim jangan memutlakkan pendapatnya dalam hal-hal furu’iyyah, sehingga tercipta keharmonisan kehidupan umat Islam. Sedangkan dalam hal-hal yang ushul (aqidah), maka tidak ada perbedaan diantara umat Islam. Jika yang mereka maksudkan adalah semacam ini, yakni kerelativan dalam masalah furu’iyyah, maka tidak menjadi masalah. Tetapi, faktanya, para pendukung paham relativisme beragama, tidak membatasinya hanya dalam hal furu’iyyah. Dalam semua aspek keagamaan, kata mereka, pemahaman manusia adalah relatif. Mereka senantiasa membedakan antara ’agama’ yang bersifat mutlak dengan ’pemahaman’ atau ’pemikiran terhadap agama’ yang bersifat relatif. Inilah pemikiran yang salah. Sebab, pembedaan semacam ini pada akhirnya menempatkan agama sebagai hal yang tidak pernah bisa dipahami oleh manusia, karena agama bersifat mutlak, sedangkan manusia bersifat relatif. Prof. Naquib al-Attas pernah mengkritik pemahaman semacam ini, dengan menyatakan, bahwa pemahaman relativisme seperti itu sama saja dengan melecehkan Allah SWT. Sebab, itu sama saja dengan menuduh Allah SWT telah menurunkan Kitab (wahyuNya) yang tidak pernah bisa dipahami oleh manusia. Padahal, Kitab itu diturunkan untuk manusia. Tetapi, ironisnya, pemahaman relativisme beragama semacam itu, justru menggejala dan menjadi tren di kalangan pemikir-pemikir modern serta banyak dosen di perguruan tinggi Islam. Sebagai contoh, dalam bukunya "Pintu-pintu Menuju Tuhan", Nurcholish memandang bahwa relativisme adalah suatu keniscayaan fenomenal yang muncul dari setiap orang yang berusaha memahami suatu agama. Pemahaman ini, kata Nurcholish, tidak bisa serta merta disebut sebagai agama, sebab pemahaman keagamaan setiap individu pasti berbeda dengan individu lainnya. Berkenaan dengan hal ini, dia berkata, "Pemahaman orang atau kelompok terhadap agama tidak sebanding dengan nilai agama itu sendiri". Dalam kolom opini Republika, (29/12/2006), Syafii Maarif berpendapat bahwa kebenaran AlQuran adalah mutlak, karena berasal dari yang Maha Mutlak. Tetapi kemutlakan tersebut menjadi nisbi saat memasuki otak dan hati manusia. Maka segala penafsiran tentang Al-Quran tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya. Dalam kolom Resonansi Harian Republika (7/11/2006), ia juga menyatakan: "Bagi seorang beriman, yang final adalah kebenaran wahyu, tetapi tafsiran terhadap wahyu itu selamanya nisbi." Kemudian Syafii memandang orang yang memutlakkan penafsirannya, berarti ia telah mengambil alih otoritas Tuhan, yang artinya sejajar dengan syirik. Tokoh liberal asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, dalam bukunya Naqd al-Khithab al-Dini (1992) juga berpikiran, bahwa dalam memahami makna Al-Quran, maka harus diserahkan secara mutlak kepada pembaca teks (manusia) -- dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Manusialah sebagai hakim yang menentukan penafsiran. Menurutnya, teks bukan lagi milik Tuhan, tapi sudah menjadi milik pembacanya. Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia. Virus relativisme dalam penafsiran Al-Quran ini sudah menyebar begitu luas. Yang paling mengerikan, virus sejenis ini pun sudah menjangkiti banyak dosen perguruan tinggi Islam, sehingga dengan mudah akan menularkannya kepada para mahasiswa. Lima atau sepuluh tahun lagi, mahasiswa pengidap virus ini pun akan terjun ke masyarakat, sebagai guru agama, birokrat di departemen agama, menjadi hakim agama, khatib Jumat, mubaligh, dan sebagainya, yang pada akhirnya juga ikut menyebarkan virus pemahaman semacam ini ke tengah masyarakat. Barangkali mereka tidak sadar sedang mengidap virus yang sangat berbahaya, yang dapat meruntuhkan bangunan pemahaman Islam. Bahkan, banyak yang bangga dengan penyakit yang dibawanya. Sebab, dengan menyebarkan virus relativisme semacam itu, mereka bisa berkiprah di dunia akademis dan disanjung-sanjung sebagai cendekiawan Muslim yang berkualitas tinggi, yang berpikir ilmiah-objektif, dan telah meninggalkan pola pikir subjektif-dogmatis. Beberapa waktu lalu, di sebuah toko buku di Jakarta, saya menemukan satu buku berjudul ”Dinamika Baru Studi Islam” karya dua orang dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya. Keduanya sedang menempuh program doktor dalam studi Islam di Australia. Buku yang terbit tahun 2005 ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Virginia Matheson Hooker dari Australian National University. Dalam pengantarnya, Prof. Virginia Hooker memuji buku ini sebagai penerus studi Islam yang telah dirintis oleh Prof. Dr. Harun Nasution. Menurutnya, Harun Nasution (1919-1998) saat ini diakui dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di bidang penelitian Islam di Indonesia. Beliau diberi kredit sebagai sarjana yang ‘memperkenalkan pendekatan pemahaman Islam secara utuh dan universal’. Pemikiran Nasution tentang Islam sebagai agama yang dinamik dikandung dalam buku yang bersangkutan berjudul Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (1977). Buku ini, kata Virginia Hooker, merintis jalan untuk penelitian Islam secara ‘akademik’ lewat metode yang dipakai oleh penelitian ilmu sosial pada umumnya. Jika ditelaah, isi buku ”Dinamika Baru Studi Islam” ini pun tak luput dari jangkitan virus relativisme. Disamping itu, buku ini juga mendukung model studi Islam yang dikembangkan para orientalis, yang memisahkan antara aspek pemahaman dengan aspek keyakinan dan amal. Sebagai contoh, ditulis dalam buku ini: ”bahwa agama, yang merupakan refleksi dari kemauan Tuhan secara konseptual ilmiah, bersifat mutlak, namun ketika turun kepada manusia, telah menjadi relatif, tergantung pada latar belakang dan kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman atau penangkapan terhadap pesan-pesan agama akan berbeda dari satu orang ke orang lain. Perbedaan itu harus diakui keberadaannya, dan tidak boleh terjadi pemaksaan pemahaman. Dalam kaitannya dengan penemuan otentisitas Islam, maka otentisitas itu ada pada tataran individual. Yakni, Islam otentik adalah Islam yang merupakan hasil pemahaman atau keyakinan seseorang terhadap wacana-wacana keislaman yang dia terima, dan hasil tersebut tidak boleh diintervensi oleh kekuatan sosial di luar dirinya.” (hal. 87-88). Cobalah kita renungkan ungkapan para dosen IAIN Surabaya itu. Betapa aneh dan rancunya cara berpikir mereka. Dengan cara berpikir seperti itu, maka sama saja mereka menafikan otoritas Nabi Muhammad saw, para sahabat nabi, para ulama Islam, sebagai penafsir Al-Quran yang otoritatif dan perlu diikuti. Sebab, semua pemahaman orang – siapa pun dia – dianggap memiliki derajat yang sama. Ini berimbas pada persoalan otentisitas Islam itu sendiri. Menurut para dosen IAIN Surabaya ini, ’Islam otentik’ itu sendiri sudah tidak bisa ditemukan lagi, sebab Islam otentik sangat tergantung kepada pemahaman manusia yang berubah-ubah setiap waktu dan tempat. Maka mereka menulis: ”Islam yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda dengan di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan perbedaan pemahaman masyarakatnya akibat setting ruang yang tidak sama. Begitu pula Islam yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami gerenasi abad pertengahan maupun abad modern ini.” (hal. 84). Buku yang ditulis oleh dua dosen IAIN Surabaya ini adalah contoh, bagaimana dampak serius dari virus relativisme beragama. Kita sangat kasihan kepada mereka. Jauh-jauh sekolah ke luar negeri akhirnya mengimpor pemahaman yang aneh bagi umat Islam. Kita kasihan dengan mahasiswa yang diajar oleh mereka. Apakah para dosen IAIN Surabaya ini tidak mampu melihat bahwa sepanjang sejarahnya, Islam adalah agama yang satu dan memiliki kitab suci yang satu dan maknanya pun terjaga dengan baik. Karena teks Al-Quran adalah wahyu – lafaz dan maknanya dari Allah – maka sepanjang sejarah Islam, para mufassir Al-Quran tidak tergantung pada masalah waktu, tempat, gender, dan sebagainya. Karena itu, para mufassir Al-Quran dan umat Islam tidak pernah berbeda dalam hal-hal yang pokok dalam Islam. Cobalah kita renungkan, hanya umat Islam yang mengucap nama Tuhannya dengan lafaz yang sama di seluruh dunia, yaitu ”Allah”, tidak berbeda karena faktor waktu dan tempat. Padahal, hingga kini, kaum Yahudi dan Kristen masih berdebat tentang siapa nama Tuhan mereka. Umat Islam tidak pernah mengangkat Muhammad saw sebagai Tuhan atau anak Tuhan, betapa pun umat Islam sangat mencintai Rasulullah Muhammad saw, dan selama 24 jam menyebut namanya dalam shalat. Umat Islam shalat menghadap kiblat yang satu; takbir, ruku’, sujud, salam, dengan cara yang satu. Umat Islam bisa shalat di masjid mana saja dengan tenang, karena cara ibadahnya sama. Semua umat Islam berpuasa wajib di bulan Ramadhan. Umat Islam berhari Raya Idul Fithri pada 1 Syawal dan ber-Idul Adha pada 10 Dzulhijjah. Umat Islam sepanjang sejarah mengakui kewajiban zakat. Umat Islam sepanjang sejarah melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci, bukan di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya. Itulah Islam yang otentik. Islam yang satu. Islam yang sama sepanjang sejarahnya, dari generasi ke generasi, dari satu tempat ke tempat lain. Tidak ada yang namanya Islam Arab, Islam Jawa, Islam Cina, Islam Amerika, Islam Hongkong, dan sebagainya. Juga tidak ada yang namanya ”Islam abad ke-7”, ”Islam abad ke-10”, atau ”Islam abad ke-21”. dan sebagainya. Islam adalah Islam, yang sama antara satu generasi dengan generasi yang lain. Sama antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak ada perbedaan dalam hal-hal yang pokok seperti ini. Islam adalah agama yang satu. Tentu saja, ada perbedaan dalam hal aplikasi ajaran Islam pada satu tempat dengan tempat lain atau satu kurun waktu dengan kurun waktu lainnya. Dulu, tidak ada keran air untuk berwudhu, sekarang sudah ada. Tapi, cara berwudhu tidak berubah. Dulu tidak ada buldozer untuk menggali kuburan. Tetapi, cara menguburkan jenazah tidak berubah dari zaman ke zaman. Dulu tidak ada loudspeaker untuk mengumandangkan azan, sekarang sudah ada. Tetapi, lafazh azan tidak berubah dari waktu ke waktu, sampai kiamat. Adalah tidak sepatutnya, para dosen IAIN Surabaya itu menyamakan Islam dengan agama Yahudi dan Kristen yang sudah menjadi agama yang banyak, dengan nama Tuhan dan cara ritual yang berbeda-beda pula. Sebagai agama sejarah, agama Yahudi dan Kristen, mengalami perubahan dalam konsep teologis dan ritual, sejalan dengan proses sejarah. Begitu juga dengan agama-agama lain. Karena itu, bisa ditemukan konsep teologis dan cara ritual yang berbeda dari waktu ke waktu, dan dari satu tempat ke tempat lain. Sebab, teks Kitab Suci mereka pun berubah dari waktu ke waktu, dan dari satu tempat ke tempat lain. Disamping itu, mereka juga tidak memiliki ’model’ (uswah hasanah) yang satu dalam melaksanakan ajaran agamanya, sebagaimana umat Islam memiliki ’model’ yang sempurna untuk dicontoh, yaitu Nabi Muhammad saw. Demikianlah contoh kasus bahaya virus relativisme beragama yang banyak menjangkiti kaum intelektual dan akademisi di perguruan tinggi Islam saat ini. Kita menyayangkan, banyaknya akademisi Muslim yang tidak siap mental dan ilmu ketika belajar Islam ke Barat, sehingga mudah terjebak pada metodologi studi agama yang berlatarbelakang problema agama Yahudi dan Kristen. Kemudian, tanpa pikir panjang, mereka menjiplak begitu saja metodologi ilmu-ilmu sosial humaniora itu ke dalam studi Islam. Sebab, metode itulah yang kini sedang ’laku’. Mudah-mudahan kita memiliki kekebalan iman dan ilmu yang memadai untuk menangkal virus pemikiran relativisme beragama yang semakin mengganas ini. Amin. [Depok, 16 Februari 2007/www.hidayatullah.com] 2.3. "Museum HAMKA" Senin, 05 Pebruari 2007 Di Sumatera ada Museum Hamka. Tapi tak ada museum Imam Syafii atau Museum Imam Ghazali Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-181 Pada tanggal 23 Januari 2007, bersama Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, saya berkesempatan mengunjungi Museum Hamka di Maninjau, Sumatera Barat. Kami diantar oleh Bapak Mustamir, ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Sumatera Barat. Museum ini memuat banyak koleksi Hamka, mulai buku, jubah, topi, sampai alat pancing yang digunakan Hamka masa kecil. Bagi saya, kunjungan ke Museum Hamka ini sangatlah berkesan. Untuk pertama kali, saya sempat menginjakkan kaki di tanah kelahiran seorang tokoh dan ulama yang sudah saya baca berbagai karya dan tulisannya, sejak duduk di bangku SMP Negeri 1 Padangan Bojonegoro, Jawa Timur, tahun 1977. Tulisan Hamka di rubrik “Dari Hati ke Hati” dalam majalah Panji Masyarakat (Panjimas) hampir tidak pernah saya lewatkan. Melalui berbagai tulisan Hamka, saya sudah mengenal bahaya paham sekularisme, termasuk para tokohnya, seperti Kemal Attaturk, yang dalam buku sejarah SMP dipuji sebagai pahlawan besar. Buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, sudah habis saya baca ketika SMP. Ketika duduk di bangku SMA, buku Tasauf Modern karya Hamka, sering saya bawa ke sekolah, karena buku ini memberikan semangat yang tinggi untuk berprestasi. Saya menitikkan air mata ketika membaca tulisan Hamka di Majalah Panjimas yang mempertahankan fatwa haramnya merayakan Natal Bersama bagi umat Islam. Beliau memilih mundur sebagai Ketua MUI, ketimbang harus mencabut fatwa Natal tersebut, karena didesak pemerintah. Tak lama kemudian, beliau meninggal dunia. Maka, adalah satu karunia besar, ketika tahun 2007 ini saya diberi kesempatan Allah untuk menyaksikan museum Hamka di Maninjau. Bangunannya cukup indah, berlokasi tepat di depan Danau Maninjau yang juga amat sangat indah. Bagi setiap penulis, pemandangan yang sangat indah itu tentu dapat memberikan inspirasi besar. Tidak diragukan lagi, Hamka adalah seorang tokoh dan ulama yang sangat dihormati di berbagai dunia Islam. Kabarnya, ada lebih dari 300 judul buku yang sudah diterbitkan. Tetapi, sayangnya, yang ada di Museum Hamka itu hanya beberapa puluh judul buku saja. Hamka lahir 17 Februari 1908, di desa kampung Molek, Meninjau, Sumatera Barat. Beliau meninggal di Jakarta 24 Juli 1981. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, disingkat menjadi HAMKA. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Semasa kecil, Hamka belajar agama pada ulama-ulama terkenal, seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, AR Sutan Mansur, dan tentu saja, ayahnya sendiri. Dari para gurunya itulah, Hamka mampu menimba, mengamalkan, dan bahkan mengembangkan ilmunya. Ia menulis buku dalam berbagai bidang: aqidah, filsafat, sastra, sejarah, politik, dan sebagainya. Pada tahun 1953, Hamka terpilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 1977, Menteri Agama Indonesia, Hamka memenuhi permintaan untuk memimpin Majlis Ulama Indonesia, dan tahun 1981 ia meletakkan jabatan karena soal fatwa Natal tersebut. Hamka juga aktif dalam kegiatan politik melalui Masyumi. Hamka pernah menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi jurkam dalam Pemilu 1955. Di dunia pers, kiprah Hamka juga cukup banyak. Tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Terakhir, majalah yang sangat monumental yang dipimpinnya Panji Masyarakat. Berbagai penghargaan telah diterimanya, seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958 dan Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974. Membaca kisah hidup dan perjuangan Hamka, kita akan terkenang pada seorang tokoh yang sangat gigih dalam mengembangkan ilmu dan perjuangan dakwah Islam. Hamka sangat gigih dalam mengembangkan keilmuan Islam. Ratusan karya telah dihasilkannya. Tetapi, sebagaimana tradisi yang berkembang dalam keilmuan Islam selama ratusan tahun, tulisan-tulisan Hamka bukan hanya berisi data-data sejarah tanpa makna, melainkan sarat dengan ruh keimanan dan perjuangan serta memompakan semangat tinggi untuk mempertahankan keyakinan Islam dan memperjuangkan Islam. Tulisan-tulisan Hamka jauh dari penanaman semangat paham relativisme atau skeptisisme. Seharusnya, ruh ilmu, perjuangan, dan dakwah itulah yang diteruskan oleh gerenasi pelanjut Hamka, khususnya para ilmuwan muslim di Sumatera Barat. Hasil karya Hamka perlu dikaji, diteliti, dan dikembangkan lebih jauh. Harusnya, saat ini di Sumatera Barat sudah berdiri --bukan hanya museum Hamka-- tetapi juga Pusat Studi Hamka yang menghimpun seluruh karya Hamka, termasuk dokumen-dokumen pribadi yang mungkin belum pernah diterbitkan, juga buku-buku, tesis, disertasi tentang Hamka yang kini tersimpan di berbagai universitas di Barat. Di Pusat Studi Hamka itulah para peneliti dari berbagai dunia bisa datang dan melakukan penelitian. Keberadaan Museum Hamka bisa dijadikan sebagai langkah awal untuk membangun Pusat Studi Hamka semacam itu. Sebab, sungguh tidak sepatutnya jika Hamka “dimuseumkan”. Tidak ada tradisi ulama kita untuk dimuseumkan. Kita tidak pernah mengenal ada Museum Imam Syafii, Museum Imam Ghazali, Museum Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Yang perlu kita warisi dan kita kembangkan dari para ulama dan tokoh-tokoh kita adalah ilmu dan perjuangannya. Maka, bukubuku dan seluruh karya mereka harus kita letakkan di tempat yang terhormat. Kaum Muslim Indonesia tidak akan mengenal tokoh-tokoh kita sendiri, jika para cendekiawan, ulama, dan tokohtokoh umat Islam tidak mengembangkan warisan tradisi ilmu dari para pendahulu kita. Krisis seperti ini sudah begitu tampak. Banyak aktivis Islam yang mengenal nama-nama Hasan alBanna, Taqiyyudin al-Nabhani, Yusuf al-Qaradhawi, dan sebagainya. Tetapi, mereka mungkin sama sekali tidak mengenal Hamka, Natsir, AR Sutan Mansur, Agus Salim, Nuruddin al-Raniri, Yusuf Maqassari, dan sebagainya. Disamping mengenal tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan dunia, sudah seharusnya generasi muda Muslim juga mengenal para pejuang Islam di wilayah Nusantara ini. Sebab, merekalah yang telah berjasa besar dalam menyebarkan, menjaga, dan mengembangkan Islam di wilayah Nusantara. Penyebaran Islam di wilayah Nusantara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Brunei) merupakan suatu proses perjuangan yang sangat hebat. Bagaimana satub kawasan yang selama ratusan tahun didominasi oleh kepercayaan animis, Hindu, Budha, kemudian berubah menjadi kawasan Islam melalui proses dakwah. Jika kita telaah sejarah masuk dan penyebaran Islam di wilayah Nusantara ini, kita akan menemui banyak tokoh dan figur yang sangat hebat kualitasnya. Sebutlah contoh kasus para wali yang menyebarkan Islam di Indonesia. Dalam bukunya, Sejarah Kebangkitan dan Perkembangan Islam di Indonesia, (1981), KH Saefuddin Zuhri mencatat, Maulana Malik Ibrahim memulai dakwahnya di wilayah Gresik pada tahun 1399. Berdasarkan batu nisan makamnya, Maulana Malik Ibrahim meninggal tahn 1419. Berarti, dalam waktu sekitar 20 tahun, wali ini telah berhasil mencetak kader-kader dakwah unggulan di tanah Jawa, mengingat para wali di Jawa adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim. Dari hasil perkawinannya dengan salah satu putri Kerajaan Cempa, lahirlah Raden Rahmat, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Ampel. Saifuddin Zuhri mencatat bahwa perkawinan Maulana Malik Ibrahim dengan Putri Kerajaam Cempa itu menunjukkan adanya hal yang luar biasa pada diri sang wali. Dua putri Cempa lainnya dikawinkan dengan Raja Majapahit. Jadi, kedudukan Maulana Malik Ibrahim setara dengan Raja Majapahit. “Kalau tidak karena pribadi Maulana Malik Ibrahim yang hebat sekali, tidak mungkinlah rasanya akan disejajarkan dengan seorang raja kerajaan Majapahit, “ tulis Saifuddin Zuhri. Para wali yang menyebarkan Islam di Jawa adalah para ulama yang sangat gigih dalam memperjuangkan Islam. Saudara Maulana Malik Ibrahim, yakni Maulana Ishaq, mempunyai putra Raden Paku (Sunan Giri) dan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Maulana Malik Ibrahim berhasil mendidik santri-santrinya menjadi mubaligh-mubaligh Islam yang sangat gemilang. Anaknya sendiri, Sunan Ampel, kemudian diserahi oleh para santri Maulana Malik Ibrahim untuk memimpin pesantren ayahnya. Kepemimpinan dan ilmunya diakui oleh masyarakat luas. Dia kemudian diambil menantu oleh Raden Ario Tejo, seorang Adipati Kerajaan Majapahit yang sangat berpengaruh. Salah satu santri Sunan Ampel adalah Raden Patah, putra Raja Majapahit, Sri Kertabhumi. Sunan Ampel memiliki enam orang anak, diantaranya ialah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Kisah-kisah gemilang para pejuang Islam di wilayah Nusantara ini harus terus digelorakan kepada generasi muda Islam, agar mereka tidak buta sejarah dan tidak tertipu oleh sejarah. Banyak orang Muslim yang tidak bangga menjadi Muslim dan tidak menjadikan tokoh-tokoh Islam sebagai idola mereka, karena tidak mengenal sejarah Islam dengan benar. Mereka lebih membanggakan Napoleon, George Washington, Thomas Jafferson, dan sebagainya, ketimbang Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, atau Umar bin Abdul Aziz. Para orientalis cukup berhasil menampilkan sejarah Islam dalam wajah yang sangat buruk. Jika membaca sejarah tentang Umar bin Khatab, misalnya, yang disorot adalah kisah pembunuhan terhadap Umar bin Khatab, bukan kehebatan, kecerdasan, dan kenegarawanan Umar r.a. Masih banyak aspek sejarah Islam di Indonesia yang perlu diteliti dan ditulis oleh para sejarawan Muslim saat ini. Hamka termasuk seorang ulama yang sangat peduli dengan sejarah Islam di Indonesia. Dalam acara Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963, Hamka membawakan makalah yang berjudul â€�Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di daerah Pesisir Sumatera Utaraâ€�. Dalam forum tersebut, Hamka menegaskan kembali pendapatnya sejak tahun 1958, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia diterima langsung dari Mekkah. Hamka menolak pendapat Snouck Hurgronje bahwa Islam yang di bawa ke Indonesia adalah tidak asli dari Mekkah, melainkan Islam yang dari Gujarat atau Malabar. Hamka membantah pandangan yang mengecilkan peran orang-orang Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia, dan juga kesan bahwa Islam di Indonesia tidak asli lagi, melainkan Islam yang lebih dekat kepada syiah atau tradisi mistik India. Hamka juga menyimpulkan Islam telah berangsur masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi. Juga, simpul Hamka, orang-orang Indonesia sejak abad pertama Hijriah telah menggali ajaran Islam yang berintikan mazhab Syafii. KH Abdullah bin Nuh, dalam bukunya, “Ringkasan Sejarah Wali Songo” juga mengemukakan bukti bahwa ajaran Wali Songo juga berintikan tauhid dengan rujukan-rujukan kitab ulama-ulama bermazhab Syafii, seperti Kitab “Ihya’ Ulumuddin,“ karya Imam al-Ghazali dan kitab ‘Talkhis al-Minhaj’ karya Imam Nawawi. Sekarang memang banyak sarjana yang dalam hal sejarah mungkin lebih mampu menulis dengan labih baik dari Hamka. Tetapi, sekali lagi, para ulama dan tokoh Islam dulu bukan sekedar belajar untuk belajar semata. Bukan sekedar meneliti untuk penelitian semata. Mereka menekuni keilmuan Islam adalah semata-mata untuk meningkatkan keimanan dan memperjuangkan Islam. Semangat ilmiah dan perjuangan dalam dakwah Islam semacam inilah yang perlu kita warisi dari para ulama dan tokoh seperti Buya Hamka. [Depok, 2 Februari 2007, www.hidayatullah.com]. Bab III Bulan Januari 2007 3.1 ”Upaya Menetapi Shirathal Mustaqim” Senin, 29 Januari 2007 Sudah sangat jelas haq dan yang bathil. Ini berbeda dengan kaum pembaru Islam menggunakan logika asal-asalan. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-180 yang Sebagai Muslim, kita diwajibkan membaca doa dalam shalat, minimal 17 kali sehari: ”Ihdinash shirathal mustaqim” (Ya Allah, Tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Shirathal Mustaqim adalah jalannya orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah atas mereka (para nabi, para syuhada, dan shalihin), dan bukannya jalan orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat (al-dhalliin). Orang-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub) adalah mereka yang sudah tahu kebenaran, tetapi enggan menerima kebenaran. Bahkan, mereka kemudian menyembunyikan kebenaran, atau berusaha mengaburkan kebenaran, dengan berbagai cara, sehingga yang haq dilihat sebagai bathil dan yang bathil dilihat sebagai haq. Kaum al-maghdhub ini juga bukannya tidak tahu tentang AlQuran. Bahkan, bisa jadi mereka sangat pandai berhujjah dengan Al-Quran. Sayyidina Umar bin Khathab pernah menyatakan, bahwa yang paling beliau khawatirkan akan menimpa umat Islam adalah’tergelincirnya’ orang-orang yang ’alim dan ketika orang-orang munafik sudah berhujjah dengan Al-Quran. Rasulullah saw juga pernah menyampaikan, bahwa yang paling beliau khawatirkan menimpa umat Islam adalah munculnya orang-orang munafik yang pandai berhujjah (kullu munaafiqin ’alimil lisan). Jadi, golongan al-maghdhub adalah siapa saja yang sudah mengetahui kebenaran, tetapi enggan mengikuti kebenaran dan bahkan mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Karena itulah, kita diperintahkan untuk berdoa, agar jangan sekali-kali kita termasuk ke dalam golongan seperti ini. Begitu juga kita berdoa semoga tidak termasuk ke dalam golongan ’al-dhalliin’, golongan yang tersesat. Mereka tersesat karena tidak tahu dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Karena ketidaktahuan atau kebodohan inilah, golongan ini akan menyangka yang benar sebagai bathil dan yang bathil mereka sangka benar. Mereka adalah korban-korban dari tindakan golongan al-maghdhub yang telah terlebih dahulu mengubah-ubah kebenaran. Bacalah berulang-ulang QS al-Baqarah mulai ayat 40-120. Kita akan memahami, bagaimana besarnya kemurkaan Allah SWT terhadap kaum Yahudi yang telah menolak dan mengubah-ubah kebenaran yang disampaikan kepada mereka oleh para nabi. Merekalah yang menceritakan akan datangnya Nabi terakhir, tetapi ketika Nabi terakhir itu datang, dan ternyata bukan dari golongan mereka, maka kaum Yahudi pun menjadi kaum yang pertama ingkar kepada kenabian Muhammad saw. Karena itu, kita juga diperintahkan senantiasa berdoa, agar jangan sampai termasuk ke dalam golongan yang tersesat ini. Salah satu doa yang biasanya dibaca oleh kaum Muslimin adalah ”Ya Allah tunjukkanlah yang benar itu benar, dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah yang bathil itu bathil dan berikanlah kemampuan kepada kami untuk menjauhinya.” Suatu ketika, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah saw menggambar sebuah garis lurus. Lalu, beliau menggambar sejumlah garis yang mengarah ke kanan dan ke kiri dari garis lurus tersebut. Rasul saw mengatakan: ”Ini adalah garis-garis yang bermacam-macam. Pada setiap garis ini ada setan yang menyeru kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat AlQuran: “wa anna hadza shirathiy mustaqiiman fattabi’uuhu wa laa tattabi’u as-subula fatafarraqa bikum ‘an sabiilihi.” (Katakanlah, ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan yang lurus itu, dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan yang bermacam-macam itu, sehingga kalian akan tercarai-berai dari jalan yang lurus.” Allah SWT dalam QS Ali Imran: 101 juga mengingatkan kita semua agar bersungguh-sungguh dalam bertaqwa kepada-Nya dan jangan sekali-kali mati kecuali dalam keadaan Islam. Karena itu, kita juga senantiasa berdoa, agar pada ujung kehidupan kita nanti, kita tetap dalam kondisi iman dan Islam, tidak syirik, tidak murtad, dan tidak kafir. Itulah yang disebut sebagai ‘husnul khatimah’, akhir kehidupan yang baik. Diantara manusia, hanya diri kita sendiri yang tahu persis isi hati kita, apakah kita masih dalam iman yang benar atau tidak. Tetapi, tentu saja, untuk mengetahui mana yang iman dan mana yang kufur, mana yang haq dan mana yang bathil, tidak cukup dengan berdoa saja. Hal itu harus disertai dengan ilmu. Karena itu, kita diwajibkan untuk senantiasa mencari ilmu, sepanjang hidup. Dan ilmu yang terpenting adalah ilmu untuk memahami mana yang haq dan mana yang bathil. llmu untuk membedakan mana yang haq dan mana yang bathil itu sudah diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasul-Nya. Di zaman modern saat ini, dimana berbagai gagasan yang merusak Islam sudah begitu menyebar bagai virus ganas, umat Islam justru dihadapkan pada tantangan yang sangat berat dalam masalah keilmuan. Khususnya, ilmu untuk membedakan yang haq dan yang bathil. Sebab, pada zaman seperti ini, yang memperjuangkan kebathilan pun tidak jarang berhujjah dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadits nabi. Tetapi, cara pemahaman mereka terhadap Al-Quran sudah tidak sesuai dengan yang dirumuskan oleh Rasulullah dan pewaris beliau, para ulama yang shalih. Bagi kita, umat Islam, Al-Quran yang merupakan wahyu Allah SWT adalah pedoman hidup yang utama. Cara memahami Al-Quran (metodologi tafsir) pun sudah diajarkan oleh Rasulullah saw dan para sahabat Nabi yang mulia. Para ulama pewaris nabi kemudian merumuskan metodologi tafsir dengan sangat cermat dan teliti. Karena Al-Quran adalah kitab yang terjaga lafaz dan maknanya, maka menurut Prof. Naquib al-Attas, ilmu tafsir adalah ilmu pasti. Tafsir, bukan ilmu spekulasi. Termasuk ketika menafsirkan ayat-ayat tertentu dalam Al-Quran yang memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan (zhanniy). Perbedaan pendapat itu pun ada landasannya. Tidak asal beda. Berangkat dari kepastian sumber, kepastian metodologi, dan kepastian makna itulah, selama ratusan tahun umat Islam berjaya mengarungi kehidupan di dunia untuk menjadi khalifah di muka bumi. Umat Islam memiliki pedoman yang pasti, yaitu teks Al-Quran dan Sunnah Nabi. Ini berbeda dengan peradaban Barat yang tidak memiliki teks wahyu sebagai pedoman hidup mereka. Karena itu, mereka tidak membangun peradaban di atas dasar Bibel. Mereka membuat sistem politik, ekonomi, sosial, hukum dan sebagainya, bukan berdasarkan pada Bibel, tetapi kepada spekulasi akal semata. Peradaban Barat tidak mempercayai Bibel sebagai teks dasar untuk mengatur seluruh aspek kehidupan mereka. Karena kondisi teks Bibel itu sendiri, dan karena pengalaman sejarah mereka, maka mereka memandang agama adalah urusan pribadi; agama adalah pengalaman rohani dan terkait dengan proses sejarah. Sehingga, bagi mereka, tidak ada yang tetap dalam agama. Apa saja bisa diubah. Yang dulunya dipandang salah dan sesat, beberapa abad kemudian diterima sebagai kebenaran. Yang dulunya haram bisa jadi halal, atau sebaliknya. Itu semua bisa terjadi karena tidak ada otentisitas dan finalitas teks dan makna Kitab Suci. Orang Yahudi, misalnya, mengakui, bahwa Kitabnya sudah tidak bisa lagi dikenali, mana bagian yang asli dan mana yang tambahan. Th.C. Vriezen dalam bukunya, Agama Israel Kuno (2001), menulis: ”Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumbersumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.” Kitab ini kemudian dipakai oleh kaum Kristen sebagai Bibel mereka, ditambahkan dengan Perjanjian Baru. Karena teks dan maknanya tidak terjaga, maka agama Yahudi dan Kristen selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, mengikuti perkembangan zaman. Ketika menghadapi hegemoni Barat modern, mereka pun tidak segan-segan mengubah ajaran-ajaran yang sangat mendasar pada agama mereka. Perilaku kaum Yahudi dan Kristen dalam mengubah-ubah agama mereka inilah yang kemudian diikuti oleh sebagian kalangan umat Islam dengan berbagai nama. Ada yang menamakan pembaruan Islam, ada yang menamakan liberalisasi Islam, ada yang namanya sekularisasi Islam, dan sebagainya. Jika kita cermati, perilaku para pembaru Islam akhir-akhir ini, sangat memprihatinkan. Mereka bukan sedang melakukan upaya ’tajdid’ yang sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran (shirathal mustaqim) dalam Islam. Banyak yang menggunakan logika asalasalan dan kurang bertanggung jawab. Jika ditunjukkan kekeliruan berfikir dan hujjah mereka, mereka juga tidak mau tahu, dan tidak mau mengkoreksi pendapatnya. Tetapi, mereka selalu menyatakan,”Kami menginginkan perbaikan”. Sangatlah berbeda sikap, pandangan, dan perilaku mereka dengan mujaddid Islam sejati, seperti Imam Syafii. Betapa prihatinnya kita masih saja menemukan adanya kampanye terbuka di media massa tentang paham Pluralisme Agama, yang dalam pandangan Islam, jelas-jelas merupakan paham syirik, karena membenarkan semua agama, yang beberapa diantaranya sudah dikoreksi oleh Al-Quran. Para ulama Islam pun sepanjang sejarah, tidak pernah mengembangkan paham ”kebenaran semua agama” ini. Karena memang paham ini adalah paham yang aneh, sangat fatal, dan merusak. Begitu juga dalam implementasi fiqih, misalnya. Sebagai contoh, hasil Keputusan Bahtsul Masail Muktamar NU ke-30 di PP Lirboyo Kediri, tahun 1999, dengan tegas menyatakan, bahwa doa bersama antar umat beragama adalah tidak boleh, kecuali cara dan isinya tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam keputusan ini dikutip isi ”Hasyiyah Jamal ’ala Fathil Wahab II:119”, yang melarang mengaminkan doa orang kafir. Dalam Muktamar NU itu juga ditegaskan, bahwa ”Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non-Muslim kecuali dalam keadaan darurat.” Hasil keputusan Muktamar NU ke-30 itu jelas sangat berbeda dengan isi buku ”Fiqih Lintas Agama”, misalnya, yang menghapus sekat-sekat perbedaan agama dalam fiqih, sehingga perkawinan antar agama pun sudah dihalalkan. Bahkan, sejumlah pendukung paham relarivisme dan pluralisme agama kemudian menjadi penghulu swasta untuk perkawinan antar-agama di berbagai tempat. Sudah banyak muslimah yang menjadi korban kekeliruan kelompok ini, sehingga rela dikawini oleh laki-laki non-Muslim. Karena ketidaktahuan atau hawa nafsu, banyak yang memandang penghulu-penghulu swasta itu juga orang yang alim, karena bergelar doktor dan juga dosen di universitas-universitas Islam terkemuka. Di kampusnya, para penghulu swasta ini juga sangat berkuasa terhadap mahasiswanya, dan leluasa melampiaskan pikirannya, dengan mengarahkan isi skripsi, tesis, atau disertasi mahasiswa, sesuai dengan pikiran dan selera mereka. Padahal, buku ”Fiqih Lintas Agama” dan sejenisnya ini jelas-jelas sangat merusak agama, dan para penulisnya sangat tidak pantas diberi gelar ’mujaddid’ atau ’pembaru Islam’. Sejatinya, mereka telah dengan sangat jelas merusak ilmu-ilmu Islam. Anehnya, tindakan mereka itu dibiarkan saja oleh para penguasa kampus, dan ada yang kemudian dianugerahi gelar ”guru besar dalam pemikiran Islam”. Ketika merombak hukum-hukum Islam tentang hubungan antar-agama, orang-orang yang mengaku melakukan pembaruan Islam ini sama sekali tidak merumuskan metodologi ushul fiqihnya. Tetapi, bahkan memulainya dengan mencerca Imam Syafii. Kita sudah beberapa kali menunjukkan kekeliruan pandangan Pluralisme Agama dan paham relativisme agama. Tetapi, anehnya, ada saja yang menulis di media massa, bahwa apa yang dilakukan oleh pendukung paham syirik adalah mulia dan dalam rangka memperbaiki Islam, sebagaimana dilakukan oleh para ulama Islam sebelumnya. Tentu saja, pandangan seperti ini sangat keliru dan fitnah besar terhadap para ulama Islam terdahulu. Tugas kita tentu saja, hanya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, meskipun kita sadar benar, banyak yang tidak rela jika kemunkaran dalam ilmu ini kita coba untuk diluruskan. Itu bukan urusan kita lagi. Siapa pun juga yang ikhlas dan sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran, pasti akan ditunjukkan kebenaran itu oleh Allah SWT. Sekali lagi, di tengah kemelut pemikiran yang tidak menentu saat ini, kita hanya berdoa kepada Allah, semoga kita tetap berada di jalan yang lurus (ash-shirat al-mustaqim). Di zaman ini, menetapi jalan lurus bukanlah hal yang mudah, karena sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, di kiri kanan kita senantiasa terbentang jalan-jalan yang menyimpang yang seringkali dipoles dengan sangat indah dan menawan. Pada tiap jalan yang menyimpang itu, kata Rasul saw, ada setan yang mengajak manusia untuk mengikuti jalannya. Jadi, pilihan bagi orang-orang yang berilmu sudah sangat jelas: ikut shirath al-mustaqim, ikut jalan oran-orang yang dimurkai Allah (al-maghdhub), atau ikut jalannya orang-orang yang sesat (al-dhaalliin). Sungguh telah jelas, mana yang haq dan mana yang bathil, tentu bagi yang mau memahami. [Jakarta, 26 Januari 2007/www.hidayatullah.com]. 3.2. “37 Tahun Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia” Senin, 22 Januari 2007 Nurcholish Madjid telah tiada. Tetapi, oleh pendukungnya tetap menjadikannya sebagai tempat “bergayut” Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-179 Pada 3 Februari 2007 mendatang, Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir, bertempat di Jalan Kramat Raya 45 Jakarta, akan menggelar satu acara seminar nasional bertema “Evaluasi 37 tahun Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia.” Tampil sebagai pembicara adalah Dr. Daud Rasyid, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr. Mukhlis Hanafi, dan Adnin Armas MA. Seminar ini memiliki makna yang penting bagi umat Islam Indonesia, mengingat, setelah 37 tahun berlalu, gerakan pembaruan Islam bukannya telah berhenti, tetapi semakin menjadi-jadi dan melebar ke manamana. Masa 37 tahun Gerakan Pembaruan Islam dimulai ketika Nurcholish Madjid memulai pidatonya pada 3 Januari 1970 di Jakarta dengan judul “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.” Dalam disertasinya di Monash University Australia yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul “Gagasan Islam Liberal di Indonesia”, Dr. Greg Barton menyebutkan, bahwa melalui makalahnya tersebut, Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat. Di satu sisi, masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di sisi lain, arah baru tersebut berarti mengorbankan keutuhan umat. Muslim Indonesia, kata Nurcholish, secara intelektual telah cukup tertinggal dan membutuhkan gairah baru serta gagasan-gagasan segar; meskipun gairah intelektual tersebut akan membawa perpecahan di tubuh umat, seperti yang diperlihatkan oleh berbagai rangkaian sejarah. Untuk mendukung gagasannya, Nurcholish Madjid mengutip pemikiran yang dikembangkan Lenin; “Betapa pun dinamika lebih menentukan daripada statisme, sekalipun yang terakhir ini meliputi jumlah besar manusia.” Nurcholish juga meminjam pikiran Andrea Beufre: “Garis-garis pemikiran tradisional kita sudah seharusnya dipersilakan pergi ke laut, lantaran yang paling utama sekarang adalah kemampuan menatap ke muka ketimbang memiliki tingkat kekuatan yang besar namun hasil-gunanya masih penuh persoalan.” Marilah kita renungkan kembali lagi kata-kata Nurcholish Madjid 37 tahun lalu berikut ini: “Dari ungkapan tersebut kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan pandanganpandangan Islam” yang ada sekarang ini...” Jadi, untuk menatap masa depan dan meninggalkan nilai-nilai tradisional, menurut Nurcholish Madjid, maka harus dilakukan liberalisasi terhadap ajaran-ajaran dan pandangan Islam. Ada tiga proses yang saling kait-mengait dalam masalah ini, yaitu (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) “Gagasan mengenai kemajuan” dan “Sikap Terbuka”.Tidak bisa dipungkiri, Nurcholish Madjid menjadi faktor penentu bagi perkembangan gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Pertama, karena kepiawaian komunikasi Nurcholish baik lisan maupun tulisan. Dan kedua, karena Nurcholish berlatar belakang pendidikan studi Islam dan memulainya dari dalam tubuh organisasi Islam. Ini berbeda misalnya, dengan gagasan sekularisasi yang dilakukan Soekarno. Meskipun sangat piawai dalam komunikasi, Soekarno bukanlah berkatar belakang pendidikan Islam, dan bukan tokoh organisasi Islam. Dengan kepiawaiannya berkomunikasi, Nurcholish dan ide-idenya masih terus dikembangkan, dan telah disucikan oleh sebagian kalangan. Majalah Media Dakwah edisi Januari 2007 menurunkan laporan utama tentang barisan cendekiawan Gontor yang mengkritik pemikiran Nurcholish Madjid, yang juga alumni pesantren Gontor. Barisan ini dimotori oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Dr. Syamsuddin Arif, Adnin Armas MA, Fathurrahmkan Kamal MA dan Henry Shalahuddin MA. Para cendekiawan ini secara sistematis dan akademis menguraikan kekeliruan gagasan pembaruan Islam Nurcholish Madjid. Sebelumnya, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, telah menulis artikel di Harian Republika, 28 Desember 2006, dengan judul “Menyoal Pembaruan Islam”. Hamid menguraikan dengan jelas, bagaimana pengaruh modernisme terhadap gagasan pembaruan Islam, dan merancukannya dengan pengertian tajdid. Pembaruan sering diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara etimologis maupun konseptual. Malangnya, perbedaan ini tidak dicermati, dan konsep-konsep di dalamnya buru-buru diadopsi tanpa proses epistemologi yang jelas. Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori Nurcholish Madjid dan kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia adalah contoh yang paling jelas. Pembaruan dimaksud ternyata secara eksplisit mengusung, memodifikasi, atau menjustifikasi konsep modernisme, sekularisme, dan rasionalisme. Menurut Hamid, pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam. Dalam laporannya, Majalah Media Dakwah edisi Januari 2007 menurunkan sejumlah artikel dari para cendekiawan alumni pesantren Gontor yang membuktikan, bahwa ide-ide pembaruan Islam Nurcholish Madjid adalah gagasan yang dikembangkan oleh para pemikir Kristen-Barat yang berangkat dari pengalaman sejarah dan keagamaan Kristen di Barat. Adnin Armas membuktikan adopsi gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid dari pemikir Kristen Harvey Cox. Fathurrahman Kamal, dalam tesis masternya di UIN Yogyakarta, membuktikan pengaruh pemikiran pendeta Wilfred Cantwell Smith terhadap teori “Islam” versi Nurcholish Madjid. Henry Shalahudin yang kini menjadi dosen di STID Moh. Natsir, mengupas kekeliruan ide “relativisme” Nurcholish Madjid. Sementara, Dr. Syamsuddin Arif --yang sedang menulis disertasi untuk doktor keduanya di Frankfurt Jerman -- menulis satu artikel bernas yang mengupas kekeliruan gagasan sekularisasi. Banyak kritik ilmiah telah ditulis terhadap gagasan pembaruan Islam. Tetapi, memang, harus diakui, selama puluhan tahun, Nurcholish mampu mamukau bahkan nyaris “menyihir” banyak orang dan kalangan, sehingga pemikirannya dikultuskan, sosoknya dimitoskan, dan dibela habishabisan. Dan itu diakui, misalnya, oleh Henry Shalahuddin, yang selama sembilan tahun belajar di lingkungan Gontor, mulai dari tingkat pesantren sampai sarjana ushuluddin. Henry menulis di Media Dakwah, bahwa selama berada di Gontor, sosok Prof. Dr. Nurcholish Madjid merupakan idola yang menakjubkan. Bahkan, menurut Henri, ketakjuban itu selama ini juga terjadi pada banyak santri, mahasiswa, guru dan alumni Pondok Modern Gontor lainnya. Nurcholish merupakan sosok yang mumpuni dalam ilmu keagamaan, terbuka dalam berdiskusi, berwawasan luas yang didukung dengan kemampuan beretorika dan mengolah kata ketika menyampaikan ceramah, sehingga para hadirin pun kerap terpukau dibuatnya. “Sejujurnya, inilah mitos yang terbangun pada diri saya,”kata Henri Shalahuddin, mengawali tulisannya yang mengkritik paham relativisme keagamaan Nurcholish. Namun, setelah semakin banyak menyelami bidang pemikiran Islam, khususnya setelah menyelesaikan kuliahnya di program S-2 International Islamic University Malaysia (IIUM), Henri tersadar, bahwa pendangannya selama ini terhadap Nurcholish Madjid adalah keliru. Nurcholish tidak lagi tokoh yang dianggapnya sebagai sosok yang sakral dan selalu benar. Bahkan, seperti umumnya manusia, ia kerap lalai dan khilaf termasuk dalam pemikirannya yang selama ini ia kagumi. “Bahkan akhirnya saya memahami bahwa pemikiran Nurcholish acapkali membawa konsekwensi yang serius bagi bangunan Islam,” kata Henri. Kasus Henri adalah salah satu contoh nyata bagaimana sosok Nurcholish Madjid memang telah menjadi mitos pada sebagian orang. Nurcholish memang telah meninggal dunia pada hari Senin, 29 Agustus 2005, lalu. Jasadnya telah dikubur di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Secara fisik, Nurcholish Madjid telah tiada. Tetapi, tampaknya, pemikirannya tidak mati bersamanya. Gagasangagasannya terus dijadikan rujukan dan dihidup-hidupkan oleh para pendukung dan pengikutnya. Pada Hari Jumat, 22 Desember 2006, Dawam Rahardjo, seorang pendukung setia Nurcholish Madjid, menulis satu ulasan di Harian Kompas berjudul: “Pembaruan Islam: Ensiklopedia Nucrholish Madjid.”Di sini, Dawam menilai, para pengkritik Nurcholish Madjid selama ini, termasuk Prof. HM Rasjidi, telah salah memahami gagasan Nurcholish Madjid, khususnya dalam soal sekularisme dan sekularisasi. Penjelasan Dawam tentang sekularisasi masih mengulang argumentasi Nurcholish Madjid, bahwa sekularisasi adalah proses yang terus berlanjut dan bukan merupakan paham yang statis. Atau, sekularisasi adalah sekularisme yang terbatas. Ensiklopedia Nurcholish Madjid ini disebut oleh Dawam Rahardjo sebagai suatu upaya sistematisasi tentang “Nurcholisisme”. Dawam tetap menyimpulkan: “Nurcholish tidak sekedar menjadi tokoh pembaru pemikiran Islam, tetapi juga seorang guru bangsa.” Jadi, Nurcholish memang telah tiada. Tetapi, oleh pendukung gerakan pembaruan Islam --yang kemudian dilanjutkan oleh gerakan liberalisasi Islam -- dia tetap dijadikan sebagai tempat bergayut. Namanya diabadikan. Gagasan-gagasannya terus diapresiasi, dipuji, dan disebarluaskan ke tengah masyarakat luas. Bahkan, sepertinya, peristiwa meninggalnya Nurcholish terus dijadikan momentum untuk melestarikan dan menghidupkan gagasan-gagasannya. Masa 37 tahun Gerakan Pembaruan Islam di Indonesia sudah memadai untuk melakukan penilaian ulang secara mendasar dan menyeluruh. Gagasan dan akibat-akibat lebih jauh dari gagasan sekularisasi dan liberalisasi Islam --baik di masyarakat maupun di perguruan tinggi Islam-- sudah dapat dilihat dengan jelas. Proses ini tidak akan berhenti, sebab sebagai bagian dari umat manusia yang mendiami dunia ini, umat Islam juga sedang berhadapan dengan arus dan gelombang modernisme. Semua manusia dan agama menghadapi masalah yang sama. Modernitas adalah kenyataan dan adalah mustahil untuk melarikan diri dari modernitas tersebut. Lawrence E. Cahoone, dalam bukunya The Dilemma of Modernity (1988), menggambarkan hegemoni modernitas tersebut bagi umat manusia. Sejak masa renaissance, manusia yang hidup di Barat sudah harus hidup dalam alam modernitas, laksana ikan yang hidup di air. Tapi, bagi masyarakat non-Barat, kata Cahoone, mereka juga dipengaruhi oleh budaya modernitas dengan kuat. “Through colonialism, trade, and the export of ideology, the modern West has injected components of its own civilization into the indigenous cultures of non-Western societies,” tulis Cahoone. Karena itu, ujarnya, semua manusia dipengaruhi paham modernitas ini, baik secara langsung maupun tidak. Inti modernitas, menurut pakar sosiologi Max Weber, adalah rasionalisasi, yang mensyaratkan adanya sekularisasi. Di Barat, kata David West, dalam bukunya “An Introduction to Continental Philosophy”, (1996), rasionalisasi selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi yang oleh Weber disebut “dis-enchantment.”Masyarakat modern memang menempatkan akal manusia sebagai penentu kebenaran, bukan lagi agama, dan menjadikan agama sebagai urusan pribadi. Alain Touraine, dalam bukunya “Critique of Modernity” (1995), menulis, “The idea of modernity makes science, rather than God, central to society and at best relegates religious beliefs to the inner realm of private life.” Gagasan-gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid bisa dengan mudah dilacak pada gagasan sekularisasi yang sudah dikembangkan oleh para pemikir di Barat. Tetapi, harusnya kaum pembaru Islam sadar, bahwa Islam tidak sama dengan agama Kristen, Yahudi, atau agama lain yang merupakan agama budaya dan sejarah (historical and cultural religion). Islam adalah agama final dan sempurna dari awal. Umat Islam memiliki teks kitab suci yang final, yang terjaga otentisitas teks dan maknanya, sepanjang sejarah. Umat Islam juga tidak mengalami problem sejarah keagamaan seperti yang dialami oleh kaum Kristen di Eropa. Inilah kesalahan fatal dari gerakan pembaruan Islam: menyamakan karakter ajaran Islam dan sejarah Islam dengan karakter ajaran Kristen dan sejarahnya di Barat. Karena itu, gagasan sekularisasi --juga liberalisasi Islam-- sebenarnya paham yang asing, tetapi dipaksakan kepada umat Islam dengan berbagai cara. Memang, sekularisasi, westernisasi, atau liberalisasi Islam, saat ini merupakan masalah dan tantangan terberat yang dihadapi oleh umat Islam. Para ulama dan cendekiawan Muslim tidak boleh lengah dan “cuek”. Mereka harus memberikan respon yang cerdas dan serius tentang masalah ini. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Depok, 19 Januari 2007/ www.hidayatullah.com) 3.3. "Hati-Hati dengan Dosa Syirik!" Senin, 08 Januari 2007 Umat Islam diperintahkan bermuamalah, termasuk agama lain. Tetapi, diperintahkan menjauhi dosa syirik. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-177 Beberapa hari lalu, melalui dua orang menteri kabinetnya, saya mengirim pesan singkat kepada Presiden SBY: “Ada dua dosa yang cepat mendatangkan azab Allah SWT, yaitu dosa syirik dan meninggalkan amar makruf nahi munkar.” Semoga pesan itu sampai kepada Presiden SBY. Masalah tauhid dan dosa syirik, seperti kita sebutkan pada catatan yang lalu, merupakan masalah yang paling serius dalam kehidupan manusia. Syirik adalah kezaliman yang sangat besar, karena manusia yang diciptakan Allah, diberi rizki oleh Allah, diberi kehidupan oleh Allah, kemudian justru tidak tahu berterimakasih dan membuat sekutu yang lain bagi Allah. Karena itu, Rasulullah saw mengajarkan sebuah doa untuk terhindar dari dosa syirik: “Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan Engkau dengan sesuatu, sedangkan aku mengetahui hal itu. Dan aku meminta perlindungan kepada Engkau dari tindakan menyekutukan-Mu dengan sesuatu dan aku tidak tahu.” (Allahumma inni a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana a’lamu; wa a’udzubika min an usyrika bika syaian wa ana laa a’lamu). Dalam buku berjudul Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafii karya Dr. Muhammad Abdurrahman al-Khumais (diterjemahkan oleh Prof. Ali Musthafa Ya’qub) disebutkan sejumlah definisi syirik menurut sejumlah ulama mazhab Syafii. Menurut al-Raghib al-Asfahani, “Syirik yang dilakukan manusia dalam agama itu ada dua macam. Pertama, syirik besar, yaitu menetapkan adanya sekutu bagi Allah, dan ini merupakan kekafiran yang terbesar. Kedua, adalah syirik yang samar (tidak jelas) dan kemunafikan.” Al-allamah Ali as-Suwaidi al-Syafii berkata: “Ketahuilah, bahwa syirik itu adalah terjadi di Rububiyah, dan adakalanya terjadi di Uluhiyyah. Yang kedua ini dapat terjadi di dalam I’tiqad (keyakinan), dan juga dapat terjadi di dalam mu’amalat khusus dengan Allah.” Imam Ahmad bin Hajar Ali Buthami al-Syafii mengingatkan bahwa iman itu bercabang-cabang, demikian juga dengan kekafiran dan kemusyrikan. Apabila orang menjalankan cabang-cabang iman tetapi juga menjalankan cabang-cabang kemusyrikan, maka ia disebut musyrik. Iman seseorang tidak akan diterima oleh Allah apabila hanya separuh-separuh; separuh iman, separuh kafir. Ia wajib tunduk seraya meyakini terhadap apa yang disebutkan oleh Al-Quran dan dibawa oleh Rasulullah saw, serta mengamalkannya. Orang yang beriman kepada sebagian ajaran AlQuran dan tidak beriman kepadasebagian yang lain, maka dia termasuk kafir. Allah memperingatkan tentang orang-orang seperti ini: “Orang-orang kafir itu mengatakan: “Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir terhadap sebagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir). (QS An-Nisa : 150). Menurut Imam Ahmad bin Hajar, mengucapkan dua kalimat syahadat saja tidak akan ada gunanya bagi mereka, sampai mereka mau mengamalkan isi maksud dari dua kalimah syahadat, yaitu melepaskan diri dari menyembah selain Allah dan hanya beribadah kepada Allah saja. Namun, beliau mengingatkan, agar tidak terburu-buru menuduh seseorang yang melakukan tindakan syirik sebagai kafir atau musyrik, sebelum menjelaskan kepada mereka tentang kekeliruan mereka tersebut. Barangkali mereka tidak memahami masalah tersebut karena kebodohannya. Apabila sudah dijelaskan tentang masalah syirik, tetapi tetap menjalankannya, maka barulah diperbolehkan menyebut mereka sebagai musyrik. Peringatan Rasulullah saw dan para ulama tentang kemusyrikan ini sangat perlu kita camkan benar-benar, demi keselamatan keimanan kita masing-masing. Jangan sampai kita terjebak ke dalam dosa syirik, baik yang kita ketahui atau yang tidak ketahui, sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah saw. Sebab, syirik adalah dosa yang tidak diampuni oleh Allah, kecuali orang itu benarbenar meninggalkan dosa syirik tersebut. Allah memperingatkan kita semua: “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (QS al-Maidah: 72). QS al-Maidah ayat 72 ini diawali dengan penegasan Allah SWT: “Sungguh telah kafirlah orangorang yang menyatakan bahwa Allah ialah al-Masih Ibnu Maryam, padahal al-Masih sendiri berkata: Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.” Pandangan Tauhid Islam ini sangat jelas, yakni tidak menjadikan manusia mana pun – termasuk Adam atau Isa a.s.– sebagai Tuhan atau anak Tuhan. Nabi Muhammad saw diutus oleh Allah SWT untuk meluruskan pandangan dan kepercayaan kaum Nasrani tersebut. Doktrin trinitas yang mengakui Ketuhanan Yesus secara resmi diformulasikan dalam Konsili Nicea tahun 325 M. Bahkan, dalam konsili ini, pandangan Arius yang menyatakan bahwa Tuhan anak tidak sehakekat dengan Tuhan Bapak, ditolak oleh mayoritas peserta Konsili. Bahkan, dalam dekrit Nicea tersebut, Arius secara resmi dikutuk oleh Gereja. Konsili menerima pandangan Athanasius yang menyatakan bahwa Tuhan anak sehakekat (homoousios) dengan Tuhan Bapak. Posisi Al-Quran memang sangat berbeda dengan Bibel. Sebagai kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir, Al-Quran memberikan kritik-kritik yang tegas dan jelas terhadap kepercayaan Yahudi dan Kristen. Posisi ini tentu tidak bisa sebaliknya. Karena Bible ditulis dan dirumuskan sebelum kedatangan Islam. Ibnu Taymiyah menyebut kaum Yahudi dan Kristen (Ahlul Kitab) sebagai kaum musyrik bil-fi’li, tetapi bukan musyrik bil-ismi. Dalam pandangan Islam, mereka disebut kafir ahlul kitab. Jadi, dalam masalah keimanan, memang terdapat pandangan dan keyakinan yang sangat berbeda antara Islam dan Kristen. Sejak lahirnya Islam, masalah ini sudah sering diperdebatkan. Bahkan Nabi Muhammad saw sendiri beberapa kali melakukan perdebatan dengan kaum Nasrani. Karena tidak mencapai titik temu, maka Nabi Muhammad saw diperintahkan agar mengajak kaum Nasrani untuk melakukan mubahalah (sumpah laknat), sebagaimana diceritakan dalam Surat Ali Imran ayat 61: "Barangsiapa membantah engkau tentang (kisah Isa a.s.) itu, sesudah datang kepada mereka ilmu (yang meyakinkan), maka katakanlah (kepada mereka): Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah dijatuhkan kepada orang-orang yang dusta." Soal perbebadaan keyakinan antara Islam dan Kristen ini haruslah diakui. Bahkan diantara kaum Nasrani sendiri terjadi perbedaan yang sangat tajam sehingga mereka membentuk sejumlah agama, seperti Katolik, Protestan, Anglikan, atau Ortodoks. Tiap-tiap agama ada keyakinan masingmasing, yang tidak sama satu dengan lainnya, bahkan saling bertentangan. Seperti keyakinan umat Islam dan umat Kristen tentang posisi Nabi Isa a.s. Dalam pernyataan Natal bersama antara Konferensi Wali-wali Gereja Indonesia (KWI) dan Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), tahun 2006, dinyatakan: “Kelahiran Yesus mendatangkan sukacita besar. Sukacita itu melekat dalam diri setiap orang beriman yang mampu menghayati hakikat dan makna kelahiran Yesus. Ia lahir sebagai manusia, menjadi senasib dengan manusia, dan terbuka menyambut semua orang yang datang kepada-Nya. Ia hadir di dunia untuk mewujudkan kasih Allah kepada manusia (1Yoh. 4:9). Kasih Allah itu berpuncak pada kayu salib ketika Yesus menyerahkan nyawa untuk menanggung dosa seluruh umat manusia.” Selanjutnya dinyatakan: “Dalam hubungan dengan sesama baiklah kita memandang setiap orang dalam iman kepada Kristus. Dengan menyadari bahwa darah Kristus juga tercurah untuk mereka, maka setiap orang yang mengaku diri sebagai pengikut dan murid Kristus akan mengasihi orang itu, walaupun dalam kenyataannyaorang itu bersikap seperti musuh.” Umat Islam tidak pernah menerima kepercayaan bahwa Nabi Isa a.s. mati di tiang salib, karena AlQuran sudah menegaskan, “Mereka tidak membunuh Nabi Isa dan mereka tidak menyalibnya, melainkan seseorang yang diserupakan kepada mereka.” (QS an-Nisa: 157). Perbedaan yang mendasar ini harus diakui. Dan Konsili Vatikan II (1962-1965) juga menyatakan penghormatannya terhadap keyakinan umat Islam terhadap Nabi Isa a.s. Dikatakan, meskipun umat Islam tidak mengakui ketuhanan Yesus, tetapi menghormatinya sebagai Nabi. Umat Islam juga menghormati keyakinan kaum Kristen tersebut, meskipun tentunya sangat berbeda secara mendasar dengan keyakinan umat Islam sendiri. Karena itu, tidaklah masuk akal ada yang menyatakan, bahwa semua agama adalah benar. Pernyataan semacam ini jelas-jelas membenarkan pandangan yang oleh Al-Quran sudah dinyatakan sebagai pandangan kufur atau syirik. Banyak yang sekarang ini mencoba mengecilkan masalah iman dan kemusyrikan. Ada yang menulis dalam bukunya, bahwa Thomas Alfa Edison akan masuk sorga karena sudah berjasa bagi umat manusia dengan menemukan lampu. Padahal, urusan sorga atau neraka adalah urusan Allah. Islam tidak berbicara kepada perorangan Yahudi atau Kristen, tetapi memberikan kritik-kritik dan koreksi terhadap kepercayaan mereka. Kita tidak tahu, apakah Edison benar-benar orang baik. Kita tidak tahu persis perbuatan dia yang lain sepanjang hidupnya, selain penemuan lampu. Kita juga tidak tahu, apakah Edison pernah menerima risalah Nabi Muhammad saw secara benar, atau tidak pernah. Jika kriteria masuk sorga adalah karena menemukan lampu, maka kriteria itu adalah bikinan si penulis buku tersebut. Mungkin maksudnya sorga milik kakeknya sendiri. Umat Islam diperintahkan untuk menghormati dan bermuamalah dengan baik terhadap sesama manusia, termasuk dengan pemeluk agama lain, selama mereka tidak menyerang umat Islam. Tetapi, umat Islam juga diperintahkan agar menjauhi dosa-dosa syirik. Karena itulah, kita perlu pandai-pandai meniti buih, agar selamat sampai ke seberang. Jangan sampai karena ingin dipuji sebagai orang yang toleran, akhirnya justru mengorbankan prinsip-prinsip keimanan. Mencampuradukkan keimanan atau ritual antar agama adalah tindakan yang berbahaya dari segi keimanan. Tidak semestinya, hal ini dilakukan oleh umat Islam. Dalam perspektif inilah, mestinya fatwa MUI tahun 1981 yang mengharamkan perayaan Natal Bersama perlu diapresiasi. Fatwa ini bukan untuk merusak toleransi beragama, tetapi merupakan satu upaya para ulama untuk melindungi aqidah Islam dari kekufuran dan kemusyrikan, dalam pandangan Islam. Fatwa ini sama sekali tidak mengharamkan umat Islam untuk bergaul atau bermasyarakat dengan kaum non-Muslim. Dan hal semacam itu tidak ada dalam kamus Islam. Islam adalah agama yang sejak awal sudah mengakui dan menghargai perbedaan. Seorang anak yang Muslim tetap diperintahkan berbuat baik kepada orang tuanya, meskipun berbeda agama. Tetapi, jangan sekalikali bermain-main dalam masalah keimanan dan kemusyrikan. Sebab, pertaruhannya sangatlah mahal. Karena itu, sekali lagi, kita patut berhati-hati jangan sampai terjatuh ke dalam kemusyrikan. Peringatan Allah sangatlah jelas: bahwa Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Dalam suasana bencana dan musibah yang tiada henti sekarang ini, kaum Muslim, khususnya para pemimpin negara ini, patut merenungkan dengan mendalam masalah kemusyrikan ini. Jangan hanya sibuk mengandalkan ilmu geologi, meteorologi dan geofisika. Semuanya tidak mungkin terjadi kecuali dengan izin dan kekuasaan Allah SWT. Allah berkuasa menghentikan gempa, menghentikan lumpur panas, menenangkan gelombang lautan, dan memindahkan turunnya hujan. Sekali lagi, kita mengimbau para pemimpin kita: Jangan bermain-main dengan dosa syirik! Tugas dan kewajiban kita hanyalah menyampaikan nasehat. Selanjutnya, terserah kepada mereka. [Depok, 5 Januari 2006/www.hidayatullah.com] Bab IV Desember 2006 4.1. "Keyakinan dan Kegigihan Nabi Ibrahim a.s." Sabtu, 30 Desember 2006 Prof. Syafii Maarif menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi. Namun, ia masih mengecam orang yang berbeda denganya. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke176 Setiap merayakan hari Raya Idul Adha, umat Islam senantiasa diingatkan akan keteladanan seorang Nabi Allah yang sangat agung dan mulia, yaitu Nabiyullah Ibrahim a.s. Beliau adalah teladan umat manusia, yang memiliki pribadi yang agung, mulia, yang memberikan keteladanan dalam menegakkan kalimah tauhid dalam situasi yang sangat sulit. Beliau hidup di tengah masyarakat penyembah berhala, penyembah dan pengagung batu. Sebagai seorang yang cerdas, jujur, berani, dan telah menemukan kebenaran Tauhid, Ibrahim a.s., tidak dapat berdiam diri dengan tradisi dan kebobrokan masyarakatnya seperti itu. Sebab, memang tugas para Nabi yang utama, adalah menegakkan kalimah tauhid, dan menjauhi thaghut. “Dan sungguh telah kami utus Rasul kepada tiap-tiap kaum, (untuk menyeru umatnya), agar mereka menyembah Allah dan menjauhi thaghut.” (QS al-Nahl:36). Oleh karena itu, semua utusan Allah mendapatkan tugas untuk menegakkan kalimah tauhid, bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang berhak disembah dan ditaati. Tidak ada Tuhan selain Allah. Karena itu, kisah-kisah para Nabi Allah senantiasa merupakan kisah pemberantasan kemuysrikan. Sebab, dalam pandangan Allah SWT, syirik adalah dosa besar, dan merupakan kezaliman yang besar. Lukman menitipkan pesan kepada anaknya: “Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik (itu) (mempersekutukan Allah) adalah kezaliman yang besar.” (QS. Lukman: 13) Jadi, kezaliman bukan hanya kezaliman terhadap manusia. Tetapi, ada jenis kezaliman yang sangat besar, yaitu kezaliman terhadap Allah, dengan menyekutukan Allah dengan yang lain. Nabi Musa a.s. begitu murka dikhianati kaumnya yang menyembah patung sapi. Karena menyekutukan Allah dengan menyembah patung sapi itulah, maka orang-orang itu dihukum dengan cara membunuh diri mereka sendiri. Nabi Musa a.s. diturunkan Allah untuk melawan Fir’aun yang sudah menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Itulah tindakan syirik yang mebawa kehancuran kepada Fir’aun. Setiap Nabi dibebani misi untuk mengingatkan manusia, agar jangan menyembah dan beribadah kepada selain Allah. Jangan menyembah batu, jangan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan, jangan menjadikan harta, jabatan, dan manusia lain, sebagai tuhan, yang lebih dicintai, dihormati, diagungkan, dan ditaati, selain dari Allah SWT. Dengan membawa misi seperti itu, maka dengan tegas, lembut, dan tulus, Nabi Ibrahim menasehati ayah dan kaumnya, agar mereka meninggalkan sesembahan batunya, meninggalkan tuhannya yang lama, dan beralih menyembah Tuhan yang sejati, Allah SWT. Dikisahkan dalam Al-Quran: ”Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (Al-An’am: 74). Cobalah kita refleksikan ungkapan Nabi Ibrahim itu dalam kondisi masyarakat saat ini, dimana berbagai tindakan syirik dan menyepelekan Allah sedang merajalela dalam berbagai bentuknya. Suatu tradisi yang dianggap sudah mapan dan dianggap sebagai kebenaran oleh mayoritas masyarakatnya, digugat dengan satu perkataan yang tajam dan berani. Ibrahim tidak gentar dengan resiko yang dihadapinya. Ia sangat serius dalam menggugat tradisi penyembahan berhala. Nabi Ibrahim juga berdoa kepada Allah, agar anak keturunannya dijauhkan dari menyembah berhala. (QS Ibrahim: 35-36) Al-Quran menggambarkan sosok Ibrahim dengan gambaran yang berbeda dengan konsep Yahudi, yang menekankan pada aspek “darah” atau “garis keturunan”. Ibrahim diklaim kaum Yahudi sebagai nenek moyang bangsa Yahudi. Klaim Yahudi adalah klaim rasialis, karena Yahudi memang bangsa yang sangat rasialis. Tuhan mereka, yang sebagian Yahudi menyebutnya dengan nama ‘Yahweh’ adalah Tuhan yang dikhususkan untuk bangsa Yahudi (henoteisme). Berbeda dengan Yahudi, Al-Quran lebih menekankan sosok Ibrahim sebagai tokoh pembela dan penegak Tauhid, dan menekankan aspek “keimanan” dan “kesalehan” kepada Allah sebagai jalan menuju keselamatan, tanpa pandang bulu, apakah ia bangsa Yahudi atau Arab. Bahkan, untuk orang-orang yang sudah secara formal mengaku beragama Islam pun tidak dijamin keselamatannya jika tidak benar-benar beriman kepada Allah, Hari akhir, dan melakukan amal shalih. Kriteria iman yang sejati, bukanlah sekedar ‘ngaku-ngaku’, tetapi harus benar-benar diyakini dan diamalkan. (QS 2:62). Karena itulah, dalam Al-Quran disebutkan, ada orang-orang yang mengaku-aku beriman tetapi sejatinya mereka tidak beriman. (QS 2:8). Al-Quran melawan paham rasialis Yahudi dengan mendasarkan keselamatan seseorang hanya semata-mata karena faktor iman dan amal shaleh. Islam adalah agama yang menghapus tuntas problema rasialisme yang hingga kini masih bercokol di belahan dunia Barat. Jika Yahudi mengklaim bahwa Ibrahim adalah Bapak bangsa Yahudi, maka Al-Quran menegaskan, bahwa: “Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (Ali ‘Imran: 67). Al-Quran begitu jelas menempatkan posisi dan sosok Ibrahim sebagai sosok pembela Tauhid dan penentang keras kemusyrikan. Kata Nabi Ibrahim, seperti disebutkan dalam Al-Quran: “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif), dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Al-An’am:79). Menyongsong Idul Adha 1427 Hijriah ini, satu makna penting yang perlu kita ambil adalah meneladani kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan agama Tauhid dan melawan kemusyrikan. Nabiyullah Ibrahim tidak gentar menghadapi hegemoni paganisme di tengah masyarakatnya. Ia tampil sebagai manusia merdeka yang bertauhid, yang hanya menyandarkan dirinya kepada Allah SWT, meskipun harus berhadapan dengan tradisi pagan. Bahkan, karena perbuatannya melawan kemusyrikan, beliau akhirnya harus menghadapi ujian yang sangat berat, terutama yang datang dari tengah keluarganya sendiri. Ia harus berhadapan dengan ayah dan kaumnya sendiri yang bertahan dalam kemusyrikan dan menentang ketauhidan. Membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam menegakkan kalimah Tauhid itu, kita tentu memahami, bahwa Nabiyulllah Ibrahim sangat yakin dengan kebenaran Tauhid yang diyakininya. Tauhid memang mensyaratkan keyakinan, dan menolak keraguan atau relativisme nilai. Dalam Tauhid yang ada adalah haq dan bathil, salah dan benar. Yang benar harus ditegakkan dan yang salah harus diruntuhkan, sebagimana dicontohkan oleh Nabiyullah Ibrahim a.s. Umat Islam adalah umat yang menerima dan meyakini semua Nabi yang diutus oleh Allah SWT. Kita tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain. Kita menerima dan mengimani kenabian Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw. Kaum Yahudi menolak kenabian Isa dan Muhammad. Kaum Nasrani menolak untuk mengimani kenabian Muhammad saw. Umat Islam adalah umat yang paling konsisten dalam mengikuti sunnah Ibrahim a.s. dan paling banyak menyebut namanya serta mendoakannya. Bukan hanya mereka yang sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, tetapi setiap hari dalam shalat lima waktu, kita senantiasa membaca shalawat (doa) untuk Nabiyullah Ibrahim a.s. bersama dengan shalawat untuk Nabi Muhammad saw. Adakah umat lain yang begitu besar kecintaannya kepada Nabi Ibrahim selain umat Islam, yang setiap hari berulang kali menyebut namanya dalam ibadah wajibnya? Tidak berbeda dengan tugas Nabi-nabi sebelumnya, Nabi Muhammad saw diperintahkan Allah SWT untuk menjelaskan tentang konsep Tauhid dalam Islam dan mengajak kaum Yahudi dan Kristen untuk bersama-sama menganut Tauhid dan meninggalkan tindak kemusyrikan yang sangat dimurkai oleh Allah SWT. Rasululullah saw diperintahkan oleh Allah SWT: “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada satu kalimah (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dengan kalian, bahwa kita tidak menyembah kecuali Allah dan kita tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang Muslim.” (QS 3:64). Dalam urusan tauhid inilah kita wajib meneladani apa yang telah dilakukan oleh para Nabi. Tauhid tentu tidak mungkin bersatu dengan syirik, sebab tauhid berlandaskan kepada keyakinan. Para Nabi begitu gigih dalam memberantas kemuysrikan. Para Nabi itu tentu berangkat dari keyakinan dan kepastian iman, bukan dari keraguan atau kenisbian iman. Keimanan mereka kokoh, bahwa Tauhid adalah benar, dan syirik adalah salah. Tentu saja, mereka memiliki keyakinan itu berdasarkan kepada pemahaman yang yakin pula. Mereka sama sekali bukan penganut paham relativisme akal, relativisme iman, atau relativisme kebenaran. Keyakinan dalam iman inilah yang seyogyanya ditanamkan oleh para cendekiawan dan ulama. Kita tidak habis pikir, bagaimana mungkin ada pikiran pada sebagian cendekiawan yang menyebarkan paham relativisme akal dan kebenaran, seperti yang dilakukan oleh Syafii Maarif melalui artikelnya di Republika (Jumat, 29 Desember 2006) yang berjudul “Mutlak dalam Kenisbian”. Dia menulis: “Iman saya mengatakan bahwa Al-Quran itu mengandung kebenaran mutlak, karena ia berhulu dari yang Mahamutlak. Tetapi sekali ia memasuki otak dan hati manusia yang serba nisbi, maka penafsiran yang keluar tidak pernah mencapai posisi mutlak benar, siapa pun manusianya, termasuk mufassir yang dinilai punya otoritas tinggi, apalagi jika yang menafsirkan itu manusia-manusia seperti saya… Jika ada orang yang mengatakan bahwa penafsirannya mengandung kebenaran mutlak, maka ia telah mengambil alih otoritas Tuhan.” Terhadap pernyataan Syafii itu kita perlu lakukan klarifikasi dan koreksi. Banyak sekali kalangan cendekiawan yang terjebak oleh logika dikotomis semacam ini. Yang perlu ditekankan, adalah bahwa Al-Quran memang Kalamullah, tetapi Al-Quran diturunkan untuk manusia. Allah tidak menuntut manusia menjadi Tuhan dan tidak mungkin manusia memahami Al-Quran sama dengan Allah memahaminya. Tidak mungkin manusia menjadi Tuhan. Karena itu, jika seorang mufassir atau seorang Muslim memahami dan meyakini pemahamannya bahwa Allah itu satu, bahwa Nabi Isa tidak disalib, bahwa babi itu haram, tidak bisa dikatakan, bahwa sang mufassir itu sedang menggantikan posisi Tuhan karena telah memutlakkan pendapatnya. Sebab, memang, di luar pemahaman (kebenaran) yang satu itu, tidak ada kebenaran lain. Dalam hal-hal yang pasti (qath’iy), memang hanya ada satu penafsiran yang benar. Tidak mungkin ada dua pemahaman yang berlawanan. Misalnya, tidak mungkin dipahami, bahwa Nabi Isa tidak disalib sekaligus juga disalib. Tidak mungkin ada pemahaman bahwa Allah itu satu, tetapi sekaligus juga banyak. Tidak mungkin kita memahami bahwa babi itu haram sekaligus juga halal. Jika kita memahami bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi, maka tidak mungkin pada saat yang sama kita juga menisbikan pendapat kita bahwa ada kemungkinan beliau saw juga bukan nabi. Na’udzubillah. Dalam hal ini, keyakinan bahwa Muhammad saw adalah seorang nabi memang bersifat mutlak, tidak ada keraguan sedikit pun dan tidak ada kenisbian sedikit pun. Tentu, ‘kemutlakan’ di sini adalah dalam batas-batas manusia, karena kita memang tidak mungkin menggantikan posisi Tuhan. Dalam hal sederhana, kita bisa bertanya, apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan: “Karena pemikiran saya bersifat nisbi, maka kelelakian saya adalah nisbi dan tidak mutlak.” Begitu juga, apakah beliau berani membuat pernyataan: “Karena pemahaman akal saya terhadap Allah adalah nisbi, maka keimanan saya kepada Allah juga bersifat nisbi dan tidak mutlak.” Apakah Pak Syafii Maarif berani membuat pernyataan seperti itu? Jika berani, maka kita tidak bisa berbuat apaapa. Cukup mengelus dada dan menyerahkan semuanya kepada Allah. Kita tunggu saja apa yang terjadi kemudian. Kenyataannya, Syafii Maarif juga tidak konsisten. Jika ia menyatakan semua pemikiran manusia adalah nisbi, maka pemikiran dia pun nisbi. Sebab itu, dia tidak perlu menyalahkan atau mengecam orang yang berpendapat lain dengan pendapatnya, serta memaksa manusia lain untuk menisbikan pendapatnya, seperti dia. Ketika dia menyalahkan orang lain, maka dia sendiri pun sudah memutlakkan pendapatnya. Yang jelas, keberanian Nabi Ibrahim a.s. dalam meruntuhkan berhala-berhala kaumnya tidak mungkin muncul dari sebuah keimanan yang nisbi dan relatif; tetapi muncul dari pemikiran dan keyakinan yang mutlak, bahwa menyembah berhala adalah tindakan syirik dan salah sampai kapan pun! Wallahu a’lam bis-shawab. [Depok, 29 Desember 2006 www.hidayatullah.com] 4.2.“Meruntuhkan Mitos Nurcholish Madjid” Senin, 25 Desember 2006 Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, “menggugurkan” mitos bahwa pemikiran Nurcholish Madjid adalah hebat. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-175 Pada 16 Desember 2006 lalu, sebuah peristiwa yang sangat bersejarah terjadi di Indonesia. Ketika itu, Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, cendekiawan Muslim asal Gontor Ponorogo, menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka tasyakkuran gelar doktornya dari International Institute of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM) Malaysia. Secara terbuka dan sistematis, Hamid memberikan kritik-kritik tajam terhadap gagasan pembaruan Islam yang pernah digulirkan oleh Nurcholish Madjid dan kawan-kawan di awal tahun 1970-an. Hamid F. Zarkasyi yang juga Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA dan direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), lulus program Ph.D. pada 6 Ramadhan 1427 H/29 September 2006, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul ‘Al-Ghazali’s Concept of Causality’, di hadapan para penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Osman Bakar, Prof. Dr. Ibrahim Zein, dan Prof. Dr. Torlah. Prof. Dr. Alparslan Acikgence, penguji eksternal dari Turki, memuji kajian Hamid terhadap teori kausalitas al-Ghazali pada kajian sejarah pemikiran Islam. Sebab, pendekatan Hamid terhadap konsep kausalitas al-Ghazali telah menjelaskan sesuatu yang selama ini telah dilewatkan oleh kebanyakan pengkaji al-Ghazali. Acara tasyakkur Hamid F. Zarkasyi diselenggarakan INSISTS di Gedung Gema Insani, Depok, dan dihadiri sekitar 100 orang dari berbagai kalangan, tokoh dan pimpinan Ormas Islam, profesional, dosen, mahasiswa, dan aktivis dakwah. Selama hampir dua jam, hadirin dibuat tidak bergerak, khusyu’ menyimak paparan Hamid yang bertema ‘Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat’. Pidato peradaban Hamid ini diakui sejumlah peserta sangat luar biasa, karena dipersiapkan dengan sangat serius dan berisi hal-hal yang mendasar dalam upaya membangun peradaban Islam yang dimulai dari upaya perumusan konsep-konsep mendasar dalam pemikiran Islam. Melalui orasi ilmiahnya tersebut, Hamid Zarkasyi seperti layaknya pendekar yang baru turun gunung, setelah bertapa selama puluhan tahun. Sejak kecil sampai sarjana S-1, Hamid dibesarkan dan dididik ayahnya sendiri di lingkungan Pesantren Gontor. Barulah kemudian dia melanjutkan program masternya di Pakistan. Setelah mengabdi beberapa tahun di Gontor, Hamid kembali melanjutkan kuliah S-2 nya di Birmingham Inggris. Dari Inggris, dia langsung melanjutkan studi S-3 nya ke ISTAC. Barulah, pada tahun 2006, pada usia 48 tahun, Hamid baru menyelesaikan studi doktornya. Bagi pembaca majalah ISLAMIA, sebenarnya sejak empat tahun ini, sosok Hamid sudah dikenal luas melalui berbagai artikelnya. Pemikirannya sudah tersebar luas dan memberikan dampak signifikan pada berbagai kalangan peminat studi Islam. Tetapi, orasi ilmiahnya pada 16 Desember 2006, merupakan momentum penting. Secara substansi, orasi ilmiah Hamid Zarkasyi ini seperti proklamasi jati diri dan pemikirannya. Orasi itu bagai upaya untuk menyapu – setidaknya membendung – opini dan mitos yang terus dikembangkan oleh para pengikut Nurcholish Madjid, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid adalah hebat dan ilmiah, sehingga tidak bisa dijangkau oleh para pengkritiknya. Ada yang menulis, bahwa para pengkritik Nurcholish salah paham terhadap gagasan Nurcholish. Sedangkan yang mendukung Nurcholish paham terhadap Nurcholish. Padahal, baik yang mendukung maupun yang mengkritik Nurcholish memang ada kemungkinan salah paham, jika tidak memahami benar dasar dan anatomi pemikiran Nurcholish Madjid. Mengembangkan prasangka semacam itu tidaklah bermanfaat untuk melihat persoalan secara jernih. Gagasan sekularisasi dan pembaruan Islam Nurcholish bukanlah gagasan yang rumit dan hanya dapat dipahami oleh pendukung Nurcholish. Gagasan itu dia tulis dalam bahasan Indonesia – bukan bahasa Ibrani atau bahasa Mesir kuno. Ide Sekularisasi Islam juga mudah dirunut akarnya dari pemikiran Harvey Cox atau Robert N. Bellah. Corak pemikiran neo-modernis Nurcholish, bisa ditelusuri dari pemikiran gurunya di Chicago University, Prof. Fazlur Rahman. Gagasan-gagasan keislamannya juga bisa dirunut pada pemikiran Wilfred Cantwell Smith. Nurcholish sendiri tidak mengeluarkan satu buku ilmiah yang utuh untuk menggambarkan pemikirannya sehingga bisa jadi ada aspek-aspek yang bertentangan dalam satu bagian tulisannya dengan bagian lainnya. Apalagi, setelah dia terjun ke dunia politik praktis, karena berminat menjadi presiden RI. Memang, kemunculan Nurcholish Madjid sebagai tokoh besar dalam pemikiran Islam, tidak bisa dilepaskan dari setting media massa tertentu. Karena itu, kritik-kritik terhadap Nurcholish, meskipun dilakukan oleh ilmuwan kaliber internasional seperti Prof. HM Rasjidi, tetap saja dikecilkan oleh media. Ketika menggulirkan pemikiran sekularisasinya, Nurcholish baru lulus S-1 dan Prof. Rasjidi adalah doktor lulusan Universitas Sorbone, Paris dan sempat menjadi professor di McGill University Kanada. Tanpa menafikan kemungkinan adanya niat baik dari gagasan pembaruan Islam, gagasan ini harus dilihat dari akarnya, yakni pengaruh peradaban Barat. Dewasa ini, tantangan ekternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni ilmu pengetahuan yang bersumber dari kebudayaan Barat. Dalam pidato ilmiahnya itu, Hamid Zarkasyi mampu menyuguhkan gambaran peradaban Islam yang sangat luar biasa dan memaparkan perbedaan yang fundamental antara peradaban Islam dengan peradaban Barat. Sebelum memberikan kritiknya terhadap gagasan pembaruan Islam, Hamid F. Zarkasyi, telah membongkar hakekat peradaban Barat yang menurutnya dapat dilihat dari dua periode penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme adalah paham yang muncul menjelang kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada abad pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Ciri-ciri zaman modern adalah berkembangnya pandangan hidup saintifik yang diwarnai oleh paham sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikhotomis, desakralisasi, pragamatisme dan penafian kebenaran metafisis (baca: Agama). Selain itu modernisme yang terkadang disebut Westernisme membawa serta paham nasionalisme, kapitalisme, humanisme liberalisme, sekularisme dan sebagainya. John Lock, salah seorang filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, kebebasan, dan persamaan (pluralisme) adalah inti modernisme. Tapi yang dianggap cukup menonjol dalam modernisme adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrim. Sedangkan postmodernisme adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutannya. Postmodernisme berbeda dari modernisme karena ia telah bergeser kepada paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, pluralisme dan persamaan (equality), dan umumnya anti-worldview. Namun ia dapat dikatakan sebagai kelanjutan modernisme karena masih mempertahankan paham liberalisme, rasionalisme dan pluralismenya. Fazlur Rahman mengakui, bahwa kaum modernis menekankan penggunaan akal dalam memahami agama, masalah demokrasi dan masalah wanita; dan mengakui adanya pengaruh Barat dalam pemikiran modernis. Apa yang disinyalir Rahman terjadi pada banyak cendekiawan Indonesia seperti Nurcholish Madjid. Dengan tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan, maka. Maka dari itu modernitas membawa kepada pendekatan (taqarrub) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Istilah-istilah yang digunakan dalam pembaruan Islam adalah murni Barat, sehingga pengaruh pemikiran Barat didalamnya sudah bisa diduga. Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah "menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan ummat Islam untuk mengukhrawikannya" kemudian diperkuat dengan idenya tentang "liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam" dengan memandang negatif tradisi dan kaum tradisionalis. Gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N. Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen, dan tidak ada modifikasi yang berarti. Ia hanya mencarikan justifikasinya dalam ajaran Islam. Nurcholish juga membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Pembatasan diberikan dengan adanya kepercayaan akan adanya Hari Kemudian dan prinsip Ketuhanan. Pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dichotomis. Orang-orang sekuler di dalam Kristen adalah orang-orang yang percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, hanya saja mereka, karena sejarah mereka, tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka, agama adalah properti pribadi dan bukan publik. Dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akherat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism). Gagasan yag lebih vulgar dan bahkan secara eksplisit merupakan kepanjangan dari Westernisasi adalah trend pemikiran yang kini dikenal dengan liberalisasi. Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadapsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Relativisme, pluralisme, equality (persamaan), dekonstruksi dan lain sebagainya adalah terma-terma pemikiran postmodern. Karena bermuatan Westernisasi maka trend pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial. Meski ia di perkotaan dan perguruan tinggi, namun secara perlahan-lahan berpengaruh dalam pembentukan opini dan jika dibiarkan maka akan berkembang menjadi framework pemikiran. Lebih-lebih trend pemikiran ini juga diminati oleh para dosen yang pernah belajar dengan para orientalis di Barat. Hamid memandang, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, termasuk di Indonesia, ternyata masih bersifat seporadis, artinya pemikiran dan gagasannya tidak didukung oleh komunitas yang memang bertekun khusus dalam mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkan pemikiran Islam. Terkadang merupakan gerakan yang dipaksakan dan dipopulerkan, khususnya oleh media. Jika pun ada komunitas itu, kualitas keilmuannya masih belum memadai untuk suatu proyek pembangunan konsep-konsep keislaman. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaharuan itu ternyata lebih cenderung meng-copy konsep-konsep Barat modern dan postmodern. Untuk itu, simpul Hamid, apa yang diperlukan dalam kajian Islam di Indonesia adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam dan menguasai pemikiran dan kebudayaan asing, terutama Barat, khususnya tentang pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, sains dan teknologinya agar ummat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang dan dalam konteks kekinian. Demikian, paparan dan kritik Hamid F. Zarkasyi terhadap gagasan pembaruan Islam. Meskipun selama ini banyak yang sudah mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholish madjid, tetapi kritik Hamid Zarkasyi ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi. Pertama, karena kualitas kritik Hamid yang sangat ilmiah dalam membongkar akar-akar pemikiran Nurcholish Madjid dan kedua, karena Hamid Zarkasyi adalah putra KH Imam Zarkasyi, pendiri pesantren Gontor, dimana Nurcholish pernah nyantri. Tidak bisa dipungkiri, bagi sebagian orang, sosok Nurcholish Nurcholish identik dengan pesantren Gontor. Padahal, kata Hamid, ayahnya sendiri pernah menyatakan, bahwa Nurcholish memang dari Gontor, tetapi Gontor bukanlah Nurcholish. Memang, jika dicermati, Nurcholish memang sempat nyantri di Gontor, tetapi pemikiran sekularisasi – apalagi pluralismenya – bukanlah berasal dari Gontor. Setelah nyantri, Nurcholish melanjutkan studi S-1 nya di IAIN Jakarta dan kemudian ke University of Chicago. KH Khalil Ridwan, alumnus Gontor yang berpuluh-puluh tahun merasa gusar dengan penyebaran pemikiran Nurcholish Madjid, termasuk di kalangan alumni Gontor, mengaku sangat bersyukur dengan kelulusan doktor Hamid Zarkasyi. Dia pun mengaku bersyukur karena Hamid berani dan mampu mengupas pemikiran Nurcholish Madjid dengan baik dan menunjukkan kekeliruannya. Karena itu, dalam sambutannya dalam acara tasyakkuran tersebut, KH Khalil Ridwan berharap Hamid berusaha keras untuk memberikan penjelasan kepada para alumni Gontor yang lain dan juga kepada umat Islam pada umumnya. Dia pun tak lupa berpesan, agar Hamid senantiasa mengamalkan doa yang diajarkan KH Imam Zarkasyi tentang keselamatan dalam agama. “Gelar doktor tidak menjamin orang tidak tersesat,” pesan Kyai Khalil yang juga pemimpin pesantren Husnayain. Bagaimana pun canggihnya, orasi ilmiah Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi ini hanya akan bermanfaat bagi orang yang hati dan akalnya masih mau mengkaji dan menerima kebenaran. Bagi para sofis yang keras kepala (‘inad), yg sudah a-priori dan menutup hati dan pikirannya untuk kebenaran, maka tidak ada lagi hujjah yg bermanfaat. Meskipun sudah terbukti bisa terbang, seekor burung gagak tetap dia katakan ‘kambing hitam’. Wallahu a’lam. [Yogyakarta, 22 Desember 2006/www.hidayatullah.com] 4.3. Debat Poligami Menjelang Kemerdekaan RI Senin, 18 Desember 2006 Jika Al-Quran dipahami dari perspektif gender equality yang bersemangat ‘dendam’, maka munculah penafsiran ayat sesuai ‘anggapan’ sendiri.' Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-174 Pada tahun 1937, seorang cendekiawan Muslim Indonesia bernama Mr. Yusuf Wibisono, menulis sebuah buku berjudul “Monogami atau Poligami: Masalah Sepanjang Masa”. Aslinya, buku ini ditulis dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Soemantri Mertodipuro pada tahun 1954. Karena tidak memiliki biaya, baru pada tahun 1980, buku Mr. Yusuf Wibisono ini diterbitkan. Yusuf Wibisono sendiri tidak berpoligami. Ia adalah seorang tokoh Masyumi, tokoh ekonomi, keuangan dan perbankan. Dia pernah menjadi menteri keuangan pada 1951-1952 dan direktur sejumlah bank di Jakarta dan Yogya. Sebagai tokoh pers, dia adalah pemimpin redaksi Mimbar Indonesia. Jabatan penting lain yang pernah dipegangnya adalah rektor Universitas Muhammadiyah dan Universitas Tjokroaminoto. Tapi, hidupnya sangat bersahaja. Hingga istrinya meninggal, dia tidak memiliki rumah pribadi. Meskipun buku ini ditulis Yusuf Wibisono saat menjadi mahasiswa di zaman penjajahan, buku ini tampak memiliki kualitas ilmiah yang tinggi, dan memberikan penjelasan yang komprehensif tentang masalah poligami, bukan hanya dari sudut pandang hukum Islam, tetapi juga memuat pandangan banyak ilmuwan Barat tentang poligami. Yusuf juga memberikan kritik-kritik terhadap sebagian ilmuwan dari kalangan Muslim, seperti Ameer Ali, yang menolak hukum poligami. Selain buku-buku berbahasa Belanda, Yusuf juga merujuk buku-buku berbahasa Inggris, Perancis, dan Jerman. Beberapa tahun sebelumnya, pada 1932, seorang wanita bernama Soewarni Pringgodigdo, menulis satu artikel tentang poligami di Koran ‘Suluh Indonesia Muda’ yang memberikan kritikan keras terhadap poligami. Menurut Soewarni, poligami adalah hal yang nista bagi wanita, dan bahwasanya Indonesia merdeka tak akan bisa sempurna, selama rakyatnya masih menyukai lembaga poligami. Mr. Yusuf Wibisono memberikan bukti-bukti ilmiah tentang keunggulan pandangan Islam yang membuka pintu poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sistem ini merupakan ‘jalan tengah’ dari sistem perkawinan kuno yang tidak memberi batasan poligami atau sistem Barat yang menutup pintu poligami sama sekali. Dalam pengantarnya untuk edisi Indonesia, tahun 1980, Yusuf Wibisono menulis bahwa, “Saya rasa umat manusia akhirnya akan dihadapkan kepada dua pilihan yang tidak bisa dihindari yakni poligami legal atau poligami tidak legal (gelap). Islam memilih poligami legal, dengan pembatasan-pembatasan yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan kaum pria, sehingga lembaga poligami ini betul-betul merupakan kebahagiaan bagi masyarakat manusia, di mana dia sungguh-sungguh diperlukan.’’ Salah seorang ilmuwan yang dikutip pendapatnya tentang poligami oleh Yusuf Wibisono adalah Georges Anquetil, pakar sosiologi Perancis, yang menulis buku setebal 460 halaman, berjudul “La maitresse legimitime” . Anquetil menulis dalam bukunya: “Suatu pertimbangan yang sudah cukup terlukis harus diingat-ingat dan diperkembangkan, yakni, mengapa semua orang-orang besar adalah penyokong poligami, seperti yang dinyatakan secara kritis oleh seorang pengaran dari buku Inggris : ‘’History and philosophy of marriege.’’ Bahkan, mereka yang hidup di bawah kekuasaan kemunafikan monogami, tidak mau tunduk kepadanya, tak pula mau taat kepada undang-undang yang bersifat melawan kodrat ; baik mereka itu filsuf, seperti Plato, Aristoteles, Bacon, Auguste Comte, atau perajurit seperti Alexander, Cesar, Napoleon, atau Nelson, atau penyair-penyair seperti Goethe, Burns, Byron, Hugo, Verlaine, Chateaubriand atau Catulie Mendes, maupun negarawan-negarawan seperti Pericles, Augustus, Buckingham, Mirabeau atau Gambetta. Apakah hasil daripada sistem yang munafik ini bagi orang-orang besar ini ? Mereka dipaksa untuk selama-lamanya menyembunyikan perasaan-perasaannya, selalu berdusta, baik terhadap istrinya sendiri maupun terhadap dunia yang mewajibkan mereka itu menyembunyikan anak-anaknya dan kurang menghormati mereka yang hanya merupakan maitressenya… Sebenarnya ialah, bahwasanya poligami yang semata-mata sesuai dengan hokum alam telah dilakukan pada setiap zaman karena hokum alam itu tetap saja, tetapi pikiran manusia dibuat demikian rupa, dan sangat suka kepada serba berbelit-belit, sehingga bukannya ia memilih sistem yang semata-mata menguntungkan, akan tetapi justru memilih sistem yang penuh dengan dusta dan penipuan, yang membuat berputus asanya berjuta-juta wanita dan yang memaksanya hidup dalam kesedihan, kekacauan, atau dosa-dosa sebagai akibat dari hidup sengsara, terjerumus hidupnya dalam kemunafikan hewani, dan bahwa semua drama percintaan melahirkan turunanturunan yang diliputi oleh perasaan iri hati yang pandir dan penuh kebencian, yang jumlahnya setiap harinya bertambah-tambah saja.” Salah satu keuntungan poligami yang dijelaskan oleh Anquetil adalah: “Poligami akan memungkinkan berjuta-juta wanita melaksanakan haknya akan kecintaan dan keibuan, yang kalau tidak, akan terpaksa hidup tak bersuami karena sistem monogami.” Yusuf Wibisono juga mengutip tulisan seorang ilmuwan bernama Leonard yang menulis: “In a great measure polygamy is much more a theoretical than a practical institution. Not one on twenty Moslems has even two wives. In any case it is not the proper and legitimate practice of polygamy, but in the abuse of it that the evil lies.” (Pada umumnya poligami lebih merupakan lembaga teoritis daripada praktis. Tidak ada satu dari duapuluh orang Islam beristri bahkan lebih dari seorang. Setidak-tidaknya keburukannya tak terletak dalam berpoligami menurut hukum, akan tetapi dalam penyelahgunaan poligami). Mr. Yusuf Wibisono kemudian menunjukkan bukti-bukti statistik perkawinan di berbagai negara Islam pada tahun-tahun itu. Di India, misalnya, 95 persen kaum Muslim tetap bermonogami. Di Iran, 98 persennya tetap memilih bermonogami. Di Aljazair tahun 1869, dari 18.282 perkawinan Islam, 17.319 adalah monogami, 888 bigami, dan hanya 75 orang Muslim yang mempunyai lebih dari dua orang istri. Di Indonesia -- menurut data statistik Indische Verlag tahun 1935 -- dalam tahun 1930 ada 11.418.297 orang bermonogami dan hanya 75 orang Muslim mempunyai lebih dari dua orang istri. Buku Mr. Yusuf Wibisono ini menjadi lebih menarik karena pada tahun 1937 sudah diberi kata pengantar oleh H. Agus Salim, seorang cendekiawan dan diplomat genius yang sangat dikagumi di dunia internasional. Kiranya ada baiknya kita mengutip agak panjang pengantar H. Agus Salim tersebut: “Tidak bisa disangkal, pokok karangan ini aktuil. Tidak saja karena tindakan-tindakan luas di lapangan ini, yang dipertimbangkan oleh Pemerintah dan sebagian bahkan sudah dilaksanakan, akan tetapi terutama sekali juga karena adanya propaganda – baik yang terpengaruh oleh sikap anti-Islam, maupun yang tidak – yang dilancarkan oleh beberapa fihak. Mereka ini menganjurkan agar kepada perundang-undangan perkawinan bagi bangsa Indonesia dan kepada anggapananggapan tentang perkawinan pada umumnya diberi corak Barat. Namun, bukannya tak diperlukan keberanian untuk memasuki lapangan ini dalam suasana yang penuh dengan anggapan-anggapan tersebut. Anggapan-anggapan Barat ini terutama sekali merajalela di kalangan kaum intelektuil yang nasionalistis. Dan di lapangan ini tradisi dan sentimen Barat, yang ‘’dus beradab’’ masih selalu berhasil mencekik kesaksian fakta-fakta serta suara hati nurani dan nalar yang wajar (logika). Bahkan oleh karena inilah penulis patut mendapat penghargaan dan sokongan, sebab berdasarkan fakta-fakta yang telah ditetapkan oleh ilmu pengatahuan serta teori-teori yang kuat, ia berusaha menunjukkan kepalsuan moral seksuil dan etika perkawinan yang munafik, seperti yang dianut oleh masyarakat Barat, dan membela anggapan-anggapan tentang perkawinan maupun perundangundangan perkawinan menurut agama Islam, tanpa memperindahkannya melebihi kenyataannya. Terutama sekali yang tersebut terakhir inilah yang patut dihargai. Akhir-akhir ini terlalu banyak dilancarka propaganda agama Islam yang bersifat menonjolkan “persetujuan” pihak Islam terhadap moral dan etika Barat, malahan moral dan etika yang terang-terangan bernada “Kristen”, seperti yang lazim dianut di kalangan masyarakat Barat. Terlalu sering pula orang berusaha menyembunyikan ajaran-ajaran Islam yang tak cocok dengan anggapan Barat dengan jalan “Umdeutung”, dengan menggunakan tafsiran yang dicari-cari. Ya, bahkan menghukum ajaranajaran itu sebagai bid’ah dan kufur. Itulah caranya mereka mencoba supaya Islam bisa diterima kaum muda yang meskipun berasal dari keluarga Islam, tapi karena pendidikan Barat dan simpatisimpati serta kecenderungannya yang ke-Barat-baratan menjadi terasing dari agama Islam. Selain dari pada itu, propaganda itu ditujukan pula kepada orang-orang yang tidak beragama Islam. Akan tetapi agama Islam sangat menyangsikan keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara semacam itu. Sebab dengan jalan ‘’menyesuaikan’’ agama Islam dengan anggapananggapan yang lazim dan berlaku dalam dunia Barat yang umumnya bersifat prinsipil anti Islam, yaitu dunia Barat yang mendasarkan ‘’keunggulannya’’ kepada hal-hal yang berbeda dengan Islam – antara lain perundang-undangan perkawinan berdasarkan monogami – maka hilanglah pula tujuan tertinggi agama Islam. Padahal, untuk inilah Nabi terakhir diutus oleh TUHAN, untuk membimbing umat manusia dari kegelapan ke arah cahaya pengetahuan dan kebenaran. Dengan demikian, bukanlah anggapan-anggapan yang ada yang diuji dan disesuaikan dengan Islam, akan tetapi sebaliknya : Anggapan-anggapan itulah yang dipandangnya benar dan agama Islam diperiksa dari sudut anggapan-anggapan itu.’’ Kata-kata Haji Agus Salim tersebut sangat mendasar untuk direnungkan. Apalagi, saat ini, begitu banyak kalangan yang berani menentang dan melecehkan Islam, juga dengan menggunakan ayatayat Al-Quran. Padahal, yang terpenting dalam memahami Al-Quran adalah soal ‘anggapananggapan’ atau cara pandang serta metodologi penafsiran yang digunakan. Jika Al-Quran dipahami dari perspektif Marxisme dan gender equality yang bersemangat ‘dendam’ terhadap laki-laki, maka yang muncul adalah pemikiran-pemikiran yang bersemangat pemberontakan terhadap laki-laki, dalam segala hal. Orang-orang seperti ini akan mencari-cari ayat dan menafsirkannya sesuai dengan ‘anggapan’ nya sendiri. Seorang sarjana satu perguruan tinggi Islam di Jakarta menceritakan pengalaman menariknya dimaki-maki wanita teman kuliahnya, hanya karena ia mempersilakan si wanita menempati tempat duduknya dalam bus kota. Si wanita mengaku terhina karena dianggap sebagai makhluk yang lemah. Bagi seorang wanita yang menolak hak kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga, maka dia bisa menganggap tindakan menyuguhkan minuman bagi suaminya adalah satu bentuk pelecehan dan penghinaan. Amina Wadud misalnya menganggap penempatan shaf wanita di belakang laki-laki saat shalat adalah satu bentuk pelecehan terhadap wanita. Tentu cara pandang ini sangat berbeda dengan Muslimah yang mengakui konsep pengabdian dan ketaatan kepada suami. Dalam soal poligami sama saja. Seorang wanita Muslimah yang memahami posisinya dalam konsep Islam, akan melihat poligami dengan pandangan yang sangat berbeda dengan kaum feminis sekular. Sebagai wanita mandiri, si Muslimah akan melihat suaminya sebagai partner dalam menggapai ridho Allah; bukan sebagai milik pribadinya. Dia secara pribadi bisa keberatan dengan poligami terhadap dirinya, tanpa menolak hukum poligami. Dia bisa mengingatkan suaminya, bahwa poligami memerlukan kemampuan dan tanggung jawab yang tidak ringan, dunia akhirat. Sebaliknya, bagi laki-laki, poligami bukanlah hanya semata-mata hak, tetapi juga melekat tanggung jawab dunia dan akhirat. Selain dituntut kemampuan berlaku adil secara materi, juga dituntut kemampuan menjaga seluruh keluarganya dari api neraka. Tentu saja menjaga 4 istri lebih berat daripada menjaga 1 istri; menjaga 20 anak tentu lebih berat ketimbang 2 anak. Karena itu, bagi seorang yang memiliki pandangan berdimensi akhirat, poligami adalah sesuatu yang berat, yang perlu berpikir serius sebelum mempraktikkannya. Islam mengizinkan dan mengatur soal poligami. Islam membuka jalan, dan tidak menutup jalan itu. Islam adalah agama wasathiyah, yang tidak bersifat ekstrim. Tidak melarang poligami sama sekali, dan tidak membebaskannya sama sekali. Jika pintu poligami ditutup sama sekali, maka tidak sedikit wanita yang menjadi korban. Sepanjang zaman, banyak wanita yang ikhlas dan siap menjadi istri ke-2, ke-3 atau ke-4. Tidak percaya? Andaikan suatu ketika, pihak istana negara BBM mengumumkan, Sang Presiden yang gagah perkasa membuka lowongan bagi istri ke-2, ke-3, dan ke-4, bisa diduga, dalam beberapa jam saja, ribuan wanita dengan ikhlas akan antri mendaftar. Maka, bagi seorang wanita Muslimah sejati, yang menyadari kemampuan suaminya untuk berpoligami, tentu tidak sulit mengizinkan suaminya menikah lagi. Yang banyak terjadi saat ini, ternyata banyak suami yang tidak berpoligami, karena takut terhadap istri. Wallahu a’lam. (Depok, 15 Desember 2006/www.hidayatullah.com). Bab V September 2206 5.1. “Mendiskusikan Jilbab di Pusat Studi Al-Qur’an” Sabtu, 23 September 2006 Dr.Quraish Shihab tetap berpendapat jilbab adalah masalah khilafiah, pendapat ganjil menurut pandangan ulama Salaf. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-163 Hari Kamis, (21/9/2006), saya diundang untuk membedah buku Prof. Dr. Quraish Shihab yang berjudul “Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer”. Tempatnya di Pusat Studi Al-Quran, Ciputat, lembaga yang dipimpin oleh Quraish Shihab sendiri. Hadir sebagai pembicara adalah Quraish Shihab, Dr. Eli Maliki, Dr. Jalaluddin Rakhmat, dan saya sendiri. Acara ini mendapat sambutan yang cukup hangat. Ruangan yang tersedia tidak mampu menampung ratusan hadirin. Banyak peserta harus berdiri, karena kehabisan tempat duduk. Bertindak sebagai moderator adalah Dr. Mukhlis Hanafi, doktor tafsir lulusan Universitas al-Azhar Kairo, yang baru beberapa bulan kembali ke Indonesia. Ketika masih di Kairo, Mukhlis Hanafi sendiri sudah menulis satu makalah yang mengkritik pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Dr. Eli Maliki, doktor bidang fiqih -- yang juga lulusan Al-Azhar – mendadak menggantikan Dr. Anwar Ibrahim, anggota Komisi Fatwa MUI yang berhalangan hadir. Prof. Quraish Shihab – seperti biasanya – dengan tenang mengawali paparannya yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan para ulama Islam terkemuka. Dalam bukunya tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan: “bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.” Masih menurut Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapatpendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Di sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga sudah menulis: “Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.” Pandangan Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup? Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah boleh dibuka. Saya sendiri berkeberatan dengan kesimpulan Quraish Shihab bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Saya katakan, yang menjadi masalah khilafiah adalah masalah muka dan telapak tangan, telapak kaki dan sebagian tangan sampai pergelangan, jika ada hajat yang mendesak. Kesimpulan Quraish Shihab – bahwa jilbab adalah masalah khilafiah -- seyogyanya diklarifikasi, bahwa yang menjadi masalah khilafiyah diantara para ulama tidak jauh-jauh dari masalah “sebagian tangan, wajah, dan sebagian kaki”; tidak ada perbedaan diantara para ulama tentang wajibnya menutup dada, perut, punggung, paha, dan pantat wanita, misalnya. Kesimpulan ini perlu dipertegas, agar tidak ada salah persepsi diantara pembaca, bahwa ‘batas aurat wanita’ memang begitu fleksibel, tergantung situasi dan kondisi. Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”. Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja. Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan -- bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan – adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.” (Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436). Pendapat semacam ini bukan hanya ada di kalangan sunni. Di kalangan ulama Syiah juga ada kesimpulan, bahwa ‘’apa yang biasa tampak daripadanya’’ ialah ‘’wajah dan telapak tangan’’ dan perhiasan yang ada di bagian wajah dan telapak tangan. Murtadha Muthahhari menyimpulkan, “… dari sini cukup jelas bahwa menutup wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakkan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.” (Lihat, Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab (Terj. Oleh Nashib Musthafa), (Jakarta: Lentera Basritama, 2002). Bahkan, dalam buku Wawasan Al-Quran, Quraish Shihab sendiri sudah mengungkapkan, bahwa para ulama besar, seperti Said bin Jubair, Atha, dan al-Auza’iy berpendapat bahwa yang boleh dilihat hanya wajah wanita, kedua telapak tangan, dan busana yang dipakainya. (hal. 175-176). Membaca kesimpulan buku Quraish Shihab tersebut, dapat menimbulkan pengertian, bahwa konsep “aurat wanita” dalam Islam bersifat “kondisional”, “lokal” dan temporal”. Kesimpulan ini “cukup riskan” karena bisa membuka pintu bagi “penafsiran baru” terhadap hukum-hukum Islam lainnya, sesuai dengan asas lokalitas, seperti yang sekarang banyak dilakukan sejumlah orang dalam menghalalkan perkawinan antara muslimah dengan laki-laki non-Muslim, dengan alasan, QS 60:10 hanya berlaku untuk kondisi Arab waktu itu, karena rumah tangga Arab didominasi oleh laki-laki. Sedangkan sekarang, karena wanita sudah setara dengan laki-laki dalam rumah tangga – sesuai dengan prinsip gender equality – maka hukum itu sudah tidak relevan lagi. Bahkan, berdasarkan penelitian, lebih baik jika istrinya yang muslimah, dibandingkan jika suaminya yang muslim tetapi istrinya non-Muslim. Sebab, sekitar 70 persen anak ternyata ikut agama ibunya. Dari pendapat para ulama yang otoritatif, bisa disimpulkan, bahwa ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang aurat dan pakaian wanita adalah bersifat universal, berlaku untuk semua wanita, sebagaimana ketika ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi yang berbicara tentang salat, jual beli, pernikahan, haid, dan sebagainya. Ayat-ayat itu tidak bicara hanya untuk orang Arab. Makanya yang diseru dalam QS 24:31 adalah “mukminat”. Itu bisa dipahami, sebab tubuh manusia juga bersifat universal. Tidak ada bedanya antara tubuh wanita Arab, wanita Jawa, wanita Amerika, wanita Cina, wanita Papua, dan sebagainya. Bentuknya juga sama. Karena itu, pakaian dan aurat wanita juga bersifat universal. Sebuah koran nasional pernah memberitakan, sebuah sekolah menengah di AS melarang wanitanya mengenakan pakaian yang memperlihatkan belahan dadanya, karena dapat mengganggu konsentrasi para pelajar laki-laki, yang lebih suka melihat belahan dada wanita ketimbang pelajaran di kelas. Hingga kini, di Inggris misalnya, tidak boleh melakukan aksi demonstrasi di jalan raya dengan bertelanjang bulat. Karena sifatnya yang universal, maka tidak bisa dibenarkan – di daerah mana pun – wanita betelanjang dada – dengan alasan sudah menjadi “kebiasaan” sukunya. Pakaian koteka tetap salah, dan mereka yang berkoteka diupayakan secara bertahap supaya menutup auratnya. Jika disepakati bahwa konsep teks al-Quran adalah bersifat “universal” dan “final” maka hukumhukum yang dikandungnya juga bersifat “final” dan “universal” – tentu dengan memperhatikan faktor ‘illah. Sebagai taushiyah, saya sampaikan kepada Prof. Quraish Shihab, bahwa melontarkan pendapat seperti itu tentang jilbab, bukanlah tindakan yang bijak. Di tengah arus budaya pornografi dan pornoaksi dan melanda masyarakat, dan munculnya arus budaya jilbab di kalangan wanita muslimah, penerbitan buku Jilbab karya Quraish Shihab ini, menurut saya, bukanlah tindakan yang bijaksana. Apalagi, diterbitkan oleh sebuah lembaga yang terhormat seperti Pusat Studi AlQuran. Ditambah lagi, meskipun ini hanya sebuah pendapat, tetapi pendapat ini bukan keluar dari seorang Inul Daratista atau seorang Asmuni, melainkan keluar dari seorang mufassir Al-Quran yang paling terkenal saat ini di Indonesia. Pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab tentang jilbab dan fakta seorang putrinya yang tidak mengenakan jilbab dijadikan legitimasi oleh satu Majalah untuk melegitimasi tentang tidak perlunya wanita mengenakan jilbab. Majalah ini pada 22 Maret 2005, menulis judul cover: “TERHORMAT MESKI TANPA JILBAB.” Dr. Eli Maliki juga mengkritik sikap Prof. Quraish Shihab yang tidak mentarjih satu pendapat di antara para ulama, dan menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat luas untuk memilih pendapatpendapat yang bermacam-macam. Padahal, kata Dr. Eli, tugas ulama adalah membimbing masyarakat, dengan menunjukkan mana pendapat yang lebih kuat, dibandingkan dengan yang lain. Seorang mahasiswi yang hadir mengaku bingung membaca buku Quraish dan takut membawa buku itu ke tempat asalnya, karena buku itu ia nilai bisa membingungkan. Menghadapi semua kritik itu, Quraish Shihab tidak berubah dengan pendapatnya. Ia tetap menyatakan, bahwa jilbab adalah masalah khilafiah. Padahal, dalam bukunya, Quraish hanya merujuk kepada pemikiran seorang pemikir liberal Mesir yaitu Muhammad Asymawi. Quraish bersikap kritis terhadap Muhammad Syahrur, tetapi tidak kritis terhadap Asymawi. Quraish tetap bertahan dengan pendapatnya, bahwa mengenakan jilbab yang menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah ‘sebuah anjuran’, bukan kewajiban. Eli Maliki juga mengkritik pendapat Quraish ini, dan menyatakan, bahwa mengenakan jilbab adalah sebuah kewajiban, yang jelas-jelas dinyatakan dalam Al-Quran. Quraish Shihab, meskipun bertahan dengan pendapatnya, bahwa jilbab adalah sebuah anjuran, namun dia mengaku telah mengajurkan keluarganya untuk memakai jilbab. Dan ia berharap, para muslimah yang berjilbab, tidak lantas melepas jilbabnya, karena membaca pendapatnya. Quraish juga menekankan, bahwa ‘daerah-daerah rawan wanita’ tetap wajib untuk ditutup. Menurut saya, karena begitu jelasnya perintah Al-Quran, dan padunya pendapat para sahabat Nabi, para tabiin, tabi’ut tabi’in, dan para ulama sesudahnya, tentang kewajiban mengenakan jilbab, lebih aman jika kita mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban yang jelas. Jika ada yang belum mampu mengenakan jilbab – karena berbagai alasan – sebaiknya tidak mengubah hukum jilbab. Lebih baik mengakui bahwa ada kekurangan dalam menjalankan perintah Allah SWT. Walhasil, diskusi itu memang belum tuntas. Quraish Shihab tetap dengan pendapatnya semula. Kita pun sudah menyampaikan nasehat dan pendapat-pendapat untuk Quraish Shihab secara langsung. Kewajiban kita sudah selesai. Sekarang kita serahkan kepada Allah SWT. Semoga masyarakat tidak dibuat bingung dengan pendapat Quraish Shihab tentang jilbab. Lebih aman jika masyarakat mengikuti pendapat para ulama yang sejak zaman Sahabat Nabi hingga kini telah bersepakat tentang kewajiban wanita menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Bagaimana pun, harus diakui, pendapat Quraish Shihab tentang jilbab, adalah pendapat yang ganjil, di kalangan ulama kaum Muslimin. Meskipun dia dikenal sebagai pakar tafsir, namun dalam hal ini, menurut saya, pendapatnya jelas keliru. Mudah-mudahan di masa mendatang, Quraish Shihab bersedia meralat pendapatnya. Wallahu a’lam. (Jakarta, 23 September 2006/www.hidayatullah.com ). 5.2. "Tuhan Kita: Allah!" Senin, 18 September 2006 Kaum Pluralis mengatakan, semua agama menuju Tuhan yang satu. Padahal kelompok-kelompok Kristen berbeda penggunaan nama Tuhan mereka. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-162 Salah satu pandangan yang senantiasa dilempar oleh kaum Pluralis Agama dalam 'mengelirukan' pemikiran kaum Muslim, adalah mengatakan, "semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang satu". Mereka mengatakan, soal nama "Yang Satu" itu tidaklah penting. Yang Satu itu dapat dinamai Allah, God, Lord, Yahweh, The Real, The Eternal One, dan sebagainya. Bagi mereka, nama Tuhan tidak penting. Ada yang menulis: "Dengan nama Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Penyayang, Tuhan Segala agama." Kita ingat, dulu, ada cendekiawan terkenal yang mengartikan kalimat syahadat dengan: "Tidak ada tuhan (dengan t kecil), kecuali Tuhan (dengan T besar). Tradisi yang tidak tahu dan tidak mempersoalkan nama Tuhan bisa kita telusuri dari tradisi Yahudi. Kaum Yahudi, hingga kini, masih berspekulasi tentang nama Tuhan mereka. Dalam konsep Judaism (agama Yahudi), nama Tuhan tidak dapat diketahui dengan pasti. Kaum Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah Yahweh. The Concise Oxford Dictionary of World Religions menjelaskan 'Yahweh' sebagai "The God of Judaism as the ‘tetragrammaton YHWH, may have been pronounced. By orthodox and many other Jews, God’s name is never articulated, least of all in the Jewish liturgy." Karena tidak memiliki tradisi sanad yang sampai kepada Nabi Musa a.s. maka kaum Yahudi tidak dapat membaca dengan pasti empat huruf "YHWH". Mereka hanya dapat menduga-duga, empat huruf konsonan itu dulunya dibaca Yahweh. Karena itu, kaum Yahudi Ortodoks tidak mau membaca empat huruf mati tersebut, dan jika ketemu dengan empat konsonan tersebut, mereka membacanya dengan Adonai (Tuhan). Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan ini kemudian berdampak pada konsepsi Kristen tentang "nama Tuhan" yang sangat beragam, sesuai dengan tradisi dan budaya setempat. Di Mesir dan kawasan Timur Tengah lainnya, kaum Kristen menyebut nama Tuhan mereka dengan lafaz "Alloh", sama dengan orang Islam; di Indonesia mereka melafazkan nama Tuhannya menjadi "Allah"; dan di Barat kaum Kristen menyebut Tuhan mereka dengan "God" atau "Lord". Bagi orang Kristen, "Allah" bukanlah nama diri, seperti dalam konsep Islam. Tetapi, bagi mereka, "Allah" adalah sebutan untuk "Tuhan itu" (al-ilah). Jadi, bagi mereka, tidak ada masalah, apakah Tuhan disebut God, Lord, Allah, atau Yahweh. Yang penting, sebutan itu menunjuk kepada "Tuhan itu". Ini tentu berbeda dengan konsep Islam. Di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kelompok-kelompok Kristen yang menolak penggunaan nama "Allah" untuk Tuhan mereka dan menggantinya dengan kata "Yahwe". Tahun 1999, muncul kelompok Kristen yang menamakan dirinya Iman Taqwa Kepada Shirathal Mustaqim (ITKSM) yang melakukan kampanye agar kaum Kristen menghentikan penggunaan lafaz Allah. Kelompok ini kemudian mengganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah (BYH). Kelompok ini mengatakan: "Allah adalah nama Dewa Bangsa Arab yang mengairi bumi. Allah adalah nama Dewa yang disembah penduduk Mekah.'' Kelompok ini juga menerbitkan Bibel sendiri dengan nama Kitab Suci Torat dan Injil yang pada halaman dalamnya ditulis Kitab Suci 2000. Kitab Bibel versi BYH ini mengganti kata "Allah" menjadi "Eloim", kata "TUHAN" diganti menjadi "YAHWE"; kata "Yesus" diganti dengan "Yesua", dan "Yesus Kristus" diubah menjadi "Yesua Hamasiah". Berikutnya, muncul lagi kelompok Kristen yang menamakan dirinya "Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama Yahweh" yang menerbitkan Bibel sendiri dengan nama "Kitab Suci Umat Perjanjian Tuhan ini". Kelompok ini menegaskan, "Akhirnya nama "Allah" tidak dapat dipertahankan lagi." (Tentang kontroversi penggunaan nama Allah dalam Kristen, bisa dilihat dalam buku-buku I.J. Setyabudi, Kontroversi Nama Allah, (Jakarta: Wacana Press, 2004); Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogya: PBMR Andi, 2005); juga Herlianto, Siapakah Yang Bernama Allah Itu? (Jakarta: BPK, 2005, cetakan ke-3). Itulah tradisi Yahudi-Kristen dalam soal penyebutan nama Tuhan. Sayangnya, oleh sebagian kaum Muslim atau orientalis Barat, tradisi Yahudi dan Kristen ini kemudian dibawa ke dalam Islam. Pada berbagai terjemahan Al-Quran dalam bahasa Inggris, kita menemukan tindakan yang tidak tepat, yaitu menerjemahkan semua lafaz Allah dalam Al-Quran menjadi "God". Dalam konsep Islam, Allah adalah nama diri (ismul 'alam/proper name)dari Dzat Yang Maha Kuasa. Maka, seharusnya, lafaz "Allah" dalam Al-Quran tidak diterjemahkan ke dalam sebutan lain, baik diterjemahkan dengan "Tuhan", "God", atau "Lord". Beberapa terjemahan Al-Quran bahasa Inggris telah menerjemahkan lafaz Allah menjadi God. Misalnya, Abdullah Yusuf Ali – dalam The Holy Qur'an -- menerjemahkan "Bismillah" dengan "In the name of God". Begitu juga, "Alhamdulillah" diterjemahkan dengan "Praise be to God", dan "Qul Huwallahu ahad" diterjemahkan dengan "Say: He is God, the One and Only". Kasus yang sama – penerjemahan nama Allah menjadi God – juga bisa dilihat dalam Terjemah al-Quran bahasa Inggris yang dilakukan oleh J.M. Rodwell (terbitan J.M. Dent Orion Publishing Group, London, 2002. Terbit pertama oleh Everyman tahun 1909). Harusnya, kata Allah dalam al-Quran tidak diterjemahkan, karena "Allah" adalah nama. Seperti halnya kita tidak boleh menerjemahkan kata "President Bush" dengan "Presiden semak", atau nama Menlu AS "Rice" dengan "Menteri Nasi". Menurut Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, sesuai dengan konsep Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview) yang bersifat otentik dan final, maka konsep Islam tentang Tuhan, juga bersifat otentik dan final. Itu disebabkan, konsep Tuhan dalam Islam, dirumuskan berdasarkan wahyu dalam Al-Quran yang juga bersifat otentik dan final. Konsep Tuhan dalam Islam memiliki sifat yang khas yang tidak sama dengan konsepsi Tuhan dalam agama-agama lain, tidak sama dengan konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani; tidak sama dengan konsep Tuhan dalam filsafat Barat modern atau pun dalam tradisi mistik Barat dan Timur. (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995). Bait pertama dalam Aqidah Thahawiyah yang ditulis oleh Abu Ja'far ath-Thahawi (239-321H), dan disandarkan pada Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf, Imam Syaibani, menyatakan: "Naquulu fii tawqiidillaahi mu'taqidiina – bitawfiqillaahi: Innallaaha waahidun laa syariikalahu." Dalam Kitab Aqidatul Awam – yang biasa diajarkan di madrasah-madrasah Ibtidaiyah – ditulis bait pertama kitab ini: "Abda'u bismillaahi wa-arrahmaani—wa bi-arahiimi daa'imil ihsani." Ayat pertama dalam al-Quran juga berbunyi "Bismillahirrahmaanirrahiimi", dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Tuhan, dalam Islam, dikenal dengan nama Allah. Lafaz 'Allah' dibaca dengan bacaan yang tertentu. Kata "Allah" tidak boleh diucapkan sembarangan, tetapi harus sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, sebagaimana bacaan-bacaan ayat-ayat dalam Al-Quran. Dengan adanya ilmul qiraat yang berdasarkan pada sanad – yang sampai pada Rasulullah saw – maka kaum Muslimin tidak menghadapi masalah dalam penyebutan nama Tuhan. Umat Islam juga tidak berbeda pendapat tentang nama Tuhan, bahwa nama Tuhan yang sebenarnya ialah Allah. Dengan demikian, "nama Tuhan", yakni "Allah" juga bersifat otentik dan final, karena menemukan sandaran yang kuat, dari sanad mutawatir yang sampai kepada Rasulullah saw. Umat Islam tidak melakukan 'spekulasi filosofis' untuk menyebut nama Allah, karena nama itu sudah dikenalkan langsung oleh Allah SWT – melalui Al-Quran, dan diajarkan langsung cara melafalkannya oleh Nabi Muhammad saw. Dalam konsepsi Islam, Allah adalah nama diri (proper name) dari Dzat Yang Maha Kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu. Sifat-sifat Allah dan nama-nama-Nya pun sudah dijelaskan dalam al-Quran, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada terjadinya spekulasi akal dalam masalah ini. Tuhan orang Islam adalah jelas, yakni Allah, yang SATU, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. (QS 112). Dan syahadat Islam pun begitu jelas: "La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah" -- Tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah". Syahadat Islam ini tidak boleh diterjemahkan dengan "Tidak ada tuhan kecuali Tuhan dan Yang Terpuji adalah utusan Allah". Kaum Muslim di seluruh dunia – dengan latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda – juga menyebut dan mengucapkan nama Allah dengan cara yang sama. Karena itu, umat Islam praktis tidak mengalami perbedaan yang mendasar dalam masalah konsep 'Tuhan'. Karen Armstrong menulis dalam bukunya: "Al-Quran sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran itu sebagai penghujatan." (Karen Armstrong, Sejarah Tuhan (Terj), 2001), hal. 199-200). Bagi kaum Pluralis Agama, siapa pun nama Tuhan tidak menjadi masalah, karena biasanya mereka memandang, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Karena itu, tidak manjadi masalah, apakah Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan sebagainya. Mereka juga mengatakan, bahwa semua ritual dalam agama adalah menuju Tuhan yang satu, siapa pun nama-Nya. Nurcholish Madjid, misalnya, menyatakan, bahwa: "... setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama." (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (1999), hal. xix). Seorang Pluralis pendatang baru, juga menulis dalam buku terbarunya, "Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha, Nasrani, Yahudi, kembalinya kepada Allah." Pandangan yang menyatakan, bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, yaitu Allah, adalah pandangan yang keliru. Hingga kini, sebagaimana dipaparkan sebelumnya, di kalangan Kristen saja, muncul perdebatan sengit tentang penggunaan lafal "Allah" sebagai nama Tuhan. Sebagaimana kaum Yahudi, kaum Kristen sekarang juga tidak memiliki 'nama Tuhan' secara khusus. Kaum Hindu, Budha, dan pemeluk agama-agama lain juga tidak mau menggunakan lafaz "Allah" sebagai nama Tuhan mereka. Kaum musyrik dan Kristen Arab memang menyebut nama Tuhan mereka dengan "Allah" sama dengan orang Islam. Nama itu juga kemudian digunakan oleh Al-Quran. (Al-Quran memang menyebutkan, jika kaum musyrik Arab ditanya tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, maka mereka akan menyebut "Allah". (Lihat QS 29:61, 43:87). Tetapi, perlu dicatat, bahwa Al-Quran menggunakan kata yang sama namun dengan konsep yang berbeda. Bagi kaum musyrik Arab, Allah adalah salah satu dari Tuhan mereka, disamping tuhan Lata, Uza, Hubal, dan sebagainya. Karen Armstrong menyebut, ketika Islam datang, 'Allah' dianggap sebagai 'Tuhan Tertinggi dala keyakinan Arab kuno'. (Lihat, Karen Armstrong, op cit, hal. 190). Karena itu, dalam pandangan Islam, mereka melakukan tindakan syirik terhadap Allah. Sama dengan kaum Kristen, yang dalam pandangan Islam, juga telah melakukan tindakan syirik dengan mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan. Karena itulah, Nabi Muhammad saw – sesuai dengan ketentuan QS al-Kafirun – menolak ajakan kaum musyrik Quraisy untuk melakukan penyembahan kepada Tuhan masing-masing secara bergantian. Jadi, tidak bisa dikatakan, bahwa orang Islam menyembah Tuhan yang sama dengan kaum kafir Quraisy. Jika menyembah Tuhan yang sama, tentulah Nabi Muhammad saw akan memenuhi ajakan kafir Quraisy. "Katakan, hai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi peyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku." (QS 109). QS al-Kafirun ini menjadi dalil bahwa karena konsep Tuhan yang berbeda – meskipun namanya sama, yaitu Allah -- dan cara beribadah yang tidak sama pula, maka tidak bisa dikatakan bahwa kaum Muslim dan kaum kafir Quraisy menyambah Tuhan yang sama. Itu juga menunjukkan, bahwa konsep Tuhan kaum Quraisy dipandang salah oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitu juga cara (jalan) penyembahan kepada Allah. Karena itulah, nabi Muhammad dilarang mengikuti ajakan kaum kafir Quraisy untuk secara bergantian menyembah Tuhan masing-masing. Sebagai Muslim, kita meyakini, Islam adalah agama yang benar. Tuhan kita Allah, yang nama-Nya diperkenalkan langsung dalam Al-Quran. Tidaklah patut kita membuat teori-teori yang berasal dari spekulasi akal, dengan menyama-nyamakan Allah dengan yang lain, atau menserikatkan Allah dengan yang lain, sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang mengaku Pluralis Agama. Wallahu a'lam. (Bojonegoro, 15 September 2006/www.hidayatullah.com ). 5.3. "Mengenal Yahudi Liberal" Sabtu, 09 September 2006 Paham liberali telah menggeser agama Yahudi membolehkan perkawinan homoseks. Ini pula yang pernah diusulkan kalangan mahasiswa IAIN Semarang. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-161 Di tengah arus liberalisasi Islam di Indonesia, ada baiknya jika sekali waktu, kita menengok berbagai berita tentang pemikiran dan aktivitas Yahudi Liberal (Liberal Judaism). Simaklah, misalnya, sebuah berita di http://www.pinknews.co.uk, yang berjudul ”Liberal Judaism launches gay marriage ceremonies in Britain.” (25-11-2005). Dalam berita yang ditulis oleh Benjamin Cohen ini, disebutkan, bahwa Yahudi Liberal merupakan kelompok agama Yahudi pertama yang memberikan pelayanan jasa perkawinan homoseks. Di kalangan Yahudi Liberal, memang sudah banyak pemuka-pemuka agama (rabbi) yang gay maupun lesbian. Dengan diadakannya seremoni perkawinan sejenis tersebut, maka perkawinan sejenis (homoseksual) bagi kaum Yahudi sudah diakui sama statusnya dengan perkawinan lain jenis (heteroseksual) di kalangan otoritas Rabbi Liberal (Liberal Rabbinic authorities). Kita, umat Islam, perlu mencermati perkembangan kaum Yahudi liberal tersebut. Sebab, apa yang sudah terjadi pada kaum dan agama Yahudi, kini sedang diterapkan untuk Islam. Di sejumlah situs internet, kita bisa menyaksikan, kaum Yahudi liberal sudah melakukan perombakan besar-besaran terhadap agama mereka, agar agama mereka bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai Barat modern. Pengesahan perkawinan homoseksual adalah salah satu contohnya. Di Inggris, misalnya, kaum Yahudi liberal juga sudah memiliki sinagog sendiri, terpisah dengan aliran-aliran Yahudi lainnya. Kaum Yahudi Ortodoks yang dipimpin oleh Rabbi Sir Jonathan Sacks, menyatakan, bahwa kelompoknya tidak akan mengikuti tindakan kaum Yahudi liberal tersebut. Seorang jurbicaranya menyatakan, “Tidak ada harapan arus utama Yahudi Ortodoks akan mengizinkan perkawinan sesama jenis.” Dari 31 pemuka agama Yahudi (rabbi) yang menjadi anggota penuh “Konferensi Rabbi Yahudi Liberal” (Liberal Judaism’s Rabbinic Conference), empat diantaranya adalah lesbian dan dua orang gay. Kaum Yahudi Liberal memiliki lebih dari 30 kongegrasi dan 10.000 anggota. Melalui apa yang disebut sebagai “The Civil Partnership Law” maka kaum Yahudi memiliki sejarah baru yang memberikan jaminan pengesahan perkawinan homoseksual dan lesbian. Begitulah tindakan kaum Yahudi Liberal yang sekarang sudah secara resmi menjadi bagian dari agama Yahudi. Sama dengan Yahudi Ortodoks, Yahudi konservatif, dan sebagainya. Agama Yahudi tidak lagi menjadi satu. Tapi sudah terpecah-pecah menjadi agama yang banyak. Mereka juga dengan ‘kreasinya’ sendiri, mengubah-ubah hukum perkawinan sejenis yang sudah ditegaskan di dalam Bibel mereka sendiri, bahwa tindakan homoseksual adalah tindakan jahat yang harus dijatuhi hukuman berat. Dalam Kitab Imamat: 13, dikatakan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.” Tetapi, karena kaum Yahudi Liberal ini ingin agamanya menyesuaikan dengan perkembangan zaman, mereka memandang, tidak ada yang tetap dalam agama mereka. Hukum-hukum agama yang sudah jelas pun mereka ubah-ubah, sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, mereka buat sinagog sendiri, yang akhirnya juga menjadi tempat upacara perkawinan sejenis. Selain sinagog sendiri, kaum Yahudi liberal juga sudah memiliki media massa dan penerbitan buku sendiri. Apakah Yahudi Liberal itu? Dalam situsnya, www.ulps.org, mereka menjelaskan, bahwa Yahdudi Liberal (Liberal Judaism) mulai muncul pada abad ke-19, sebagai satu upaya untuk menyesuaikan dasar-dasar ajaran agama Yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Kaum Yahudi liberal berharap mereka dapat menyesuaikan agama mereka dengan masyarakat modern. Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa Kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scriptures) –termasuk Taurat – adalah upaya manusia untuk memahami Kehendak Tuhan, dan karena itu, mereka menggunakan Kitab-kitab itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan Kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan diluar Kitab agama mereka. (Liberal Judaism believes that the Hebrew Scriptures including the Torah are a human attempt to understand the Divine Will, and therefore uses Scripture as the starting point for Jewish decision making, conscious of the fallibility of scripture and of the value of knowledge outside of Scripture). Organisasi Yahudi Liberal didirikan tahun 1902 oleh orang-orang Yahudi yang memiliki komitmen terhadap filsafat liberal, dengan tujuan memelihara kepercayaan, tradisi, praktik ritual, dan etika Yahudi dalam dunia kontemporer. Kaum Yahudi liberal bertekad bahwa mereka adalah bagian dari sejarah perjalanan dan dinamika agama Yahudi. Mereka mengaku siap berdialog dengan aliran-aliran lain dalam agama Yahudi, atau dengan agama lain, atau dengan sekularisme. Dan, yang penting, mereka juga selalu siap untuk senantiasa meninjau kembali, memodifikasi dan melakukan inovasi dalam agama Yahudi. Kata mereka: “Ini adalah agama Yahudi yang dulu yang sedang dalam proses menjadi agama Yahudi masa depan.” (It is the Judaism of the past in process of becoming the Judaism of the future). Itulah sekilas tentang Yahudi Liberal. Serupa dengan Yahudi Liberal adalah gerakan Kristen Liberal. Dalam agama Kristen, sudah lama dikenal juga para teolog Kristen liberal. Sebuah gagasan Kristen Liberal di Amerika Serikat, misalnya, mendasarkan gagasannya pada ‘progresivitas politik’, ‘kepercayaan pada akal, sains, dan demokrasi’ serta ’rekonstruksi iman Kristen’. Kata kunci pada upaya rekonstruksi agama Kristen dilakukan dengan menggunakan metode sosio-historis. Teologi liberal ini juga memandang agama Kristen sebagai gerakan sosiohistoris. Charles A. Briggs, seorang Kristen Liberal, menyatakan: “It is sufficient that Bibel gives us the material for all ages, and leaves to an the noble task of shaping the material so as to suit the wants of his own time.” (Lihat, Alister E. McGrath, The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, (Oxford: Blackwell, 1993). Jika kita cermati pemikiran dan praktik kaum Yahudi dan Kristen Liberal, mereka sama-sama memandang agama mereka sebagai ‘agama sejarah’, agama yang ‘evolutif’, agama yang senantisa berkembang mengikuti zaman dan tempat. Tidak ada yang tetap dalam agama mereka, sehingga boleh saja diubah-ubah. Maka, seperti telah kita ketahui, mereka tidak segan-segan mengubah konsep teologi dan hukumhukum yang sebelumnya sudah begitu jelas ditetapkan dalam Bibel. Jika sebelumnya mereka menegaskan, di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus), maka kemudian mereka mengubah ‘semua agama adalah jalan keselamatan’ (pluralisme). Jika dalam Bibel begitu banyak terdapat perintah menerapkan hukuman mati bagi berbagai jenis kejahatan, maka kemudian mereka juga menghapuskan hukuman mati. Itulah yang disebut sebagai agama sejarah atau ‘historical religion’. Jika kita cermati ide-ide kaum liberal di Indonesia dari kalangan Muslim, kita bisa melihat adanya ’penjiplakan’ gagasan dari kaum Yahudi Liberal tersebut. Konsep historisitas dalam studi Islam yang diperkenalkan oleh banyak cendekiawan dan dosen saat ini -- yang mengadopsi gagasan Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain-lain -- sama persis dengan gagasan kaum Yahudi Liberal dalam memandang agama dan Kitab agama mereka. Upaya menampatkan al-Quran sebagai ‘teks bahasa’, ‘teks manusia’ dan ‘teks budaya’, atau ‘teks sejarah’ sama persis dengan cara pandang kaum Yahudi Liberal terhadap Kitab-kitab Yahudi. Karena itu, kita bisa melihat upaya kaum liberal dari kalangan Muslim untuk menyama-nyamakan Islam dengan agama lain. Kaum liberal ini juga sedang bergerak untuk mencontoh kaum Yahudi Liberal dengan mengubah (merusak) konsep-konsep pokok dalam Islam. Mereka sudah mengubah aqidah Islam dengan enyebarkan paham Pluralisme Agama. Mereka merusak syariat Islam, bahkan menyatakan bahwa tidak ada yang disebut sebagai hukum Tuhan, yang ada – kata mereka – adalah hukum karangan manusia. Karena itu, mereka tidak segan-segan menghalalkan perkawinan homoseksual. Pada sampul belakang buku “Indahnya kawin Sesama Jenis” yang ditulis sejumlah mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang dikatakan: “Dan sebagai warga negara yang hak-haknya dilindungi UUD, sudah semestinya kaum homoseksual diberi hak dan perlindungan untuk bisa menikah secara absah dengan mendapat payung hukum tetap dari negara. Karena itu, kami memandang sangat penting untuk dilakukan revisi UU Perkawinan No 1 Th. 1974 dengan memasukkan poin perlindungan dan pengabsahan kawin sesama jenis. Orang yang tidak mendukung perkawinan sesama jenis adalah orang-orang egois, keras kepala dan serakah, yang tidak layak hidup di bumi ini.” Para mahasiswa itu juga menutup bukunya tersebut dengan catatan penutup berjudul “HOMOSEKSUALITAS DAN PERNIKAHAN GAY: SUARA DARI IAIN”. Jadi, anak-anak itulah yang mengaku dan mengklaim bahwa suara mereka adalah suara dari IAIN, dimana mereka menyatakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi iapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.” Pemikiran-pemikiran yang jelas-jelas menghancurkan syariat dan aqidah Islam itulah yang dikatakan para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN itu sebagai “suara dari IAIN”. Tetapi, kampus yang bersangkutan, kemudian memberi anugerah kepada para mahasiswa yang anti-syariah Islam itu dengan gelar yang mulia sebagai “sarjana hukum Islam”. Biarlah itu menjadi tanggung jawab dunia dan akhirat pimpinan dan para dosen di kampus tersebut. Ketika memberikan pemaparan tentang gerakan liberalisasi Islam di Indonesia di hadapan sekitar 150 mubalig di Kota Dumai Riau, 2-3 September lalu, ada seorang mubalig alumnis Fakultas Syariah salah salah satu kampus Islam di Yogyakarta yang membenarkan terjadinya proses liberalisasi besar-besaran di kampusnya. Yang tidak mau liberal, katanya, akan terpinggirkan, karena arus utama sudah dikuasai kaum liberal. Dalam satu pengajian di salah satu Masjid di Bekasi seorang Ibu kemudian mengaku resah, bagaimana nasib anaknya yang dikuliahkan di fakultas syariah di kampus tersebut. Saya selalu menyampaikan kepada para orang tua, agar jangan menyerahkan anaknya begitu saja kepada satu institusi kampus yang menggunakan label Islam. Sebab, di situ sudah campur aduk antara dosen yang menyebarkan pemikiran yang haq dan yang menyebarkan pemikiran yang batil. Meskipun dari 100 orang dosen, hanya 5 saja yang batil, itu sudah sangat merepotkan. Apalagi, jika yang berpikiran batil adalah yang berkuasa di kampus. Merekalah yang menentukan kurikulum, menentukan dosen, dan mengarahkan judul atau tema skripsi atau disertasi mahasiswa. Repotnya lagi, banyak yang merasa benar dalam kebatilan dan berjuang menyebarkan kebatilan, seperti paham relativisme iman. Dalam kondisi kekacauan pemikiran seperti sekarang, para orang tua wajib memahami pemikiran Islam, wajib mengaji lagi dengan baik, agar bisa mengetahui jenis pemikiran dan buku-buku yang dibaca anak-anaknya. Para orang tua juga perlu mengenal mana dosen yang masih baik dan mana yang sudah kena virus liberal, sehingga bisa menitipkan anaknya di bawah bimbingan dosen-dosen yang baik. Untuk apa belajar gama Islam, jika hasilnya malah menjadi ragu dan menentang Islam? Dengan berkaca pada fenomena Yahudi Liberal, kita bisa menduga, mungkin dalam jangka waktu tidak lama lagi, kaum liberal akan mendirikan masjid khusus untuk kaum liberal, dengan ustadustad atau kyai liberal, dan dengan pengajian-pengajian liberal. Bukan tidak mungkin, di masjid itu nanti akan ada imam wanita tanpa jilbab dengan makmum campur aduk laki-laki dan wanita, seperti sudah dilakukan oleh Amina Wadud di Amerika. Bukan tidak mungkin pula, ’masjid liberal’ itu akan menjadi tempat berlangsungnya perkawinan antar-agama dan perkawinan kaum homoseksual dan lesbian. Secara ide, semua pemikiran itu sudah mereka sebarluaskan ke tengah masyarakat. Semua itu sudah terjadi pada Yahudi dan Kristen. Kaum Yahudi liberal sudah punya sinagog sendiri. Kaum Kristen liberal juga punya gereja sendiri. Kita tinggal menunggu kaum liberal di kalangan Muslim akan mengikuti jejak Yahudi dan Kristen yang menjadi idola dan kiblat mereka. Tapi, kita berharap, mudah-mudahan kelompok liberal dari kalangan kaum Muslim itu segera sadar dan bertobat, menyadari kekeliruannya, sehingga tidak semakin jauh dalam merusak Islam. Tetapi, kita tidak perlu risau dengan tindakan mereka, sebab masing-masing manusia hanya bertanggung jawab terhadap amalnya sendiri. Lanaa a’maaluna wa lahum a’maaluhum. (Depok, 8 September 2006/www.hidayatullah.com) 5.4. “Hindu Pun Tolak Pluralisme Agama” Minggu, 03 September 2006 Penganut agama Hindu ternyata juga menolak paham ‘Pluralisme Agama’. Paham ini, katanya, sebagai ‘Universalisme Radikal’. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke160 Beberapa hari lalu saya menerima kiriman sebuah buku menarik dari seorang teman di Bali berjudul ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu tahun 2006. Buku yang berisi kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu ini secara tajam mengupas dan mengritisi paham Pluralisme Agama yang biasanya dengan sederhana diungkapkan dengan ungkapan ‘’semua agama adalah sama’’. Buku ini diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang merupakan induk umat Hindu di Indonesia. Memang, kaum Pluralis Agama dari berbagai penganut agama sering mengutip ucapan sebagian tokoh agama Hindu untuk mendukung pendapat mereka. Sukidi, misalnya, seorang propagandis Pluralisme Agama yang sedang kuliah di Harvard, menulis dalam satu artikel di media massa, bahwa “Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama – entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama.’’ (Jawa Pos, 11 Januari 2004). Dalam paparannya tentang Hinduism dari bukunya, The World’s Religions (New York: Harper CollinsPubliser, 1991), Prof. Huston Smith juga menulis satu sub-bab berjudul “Many Paths to the Same Summit” (Banyak jalan menuju puncak yang sama). Huston Smith menulis, bahwa Sejak dulu, kitab-kitab Veda menyatakan pandangan Hindu klasik, bahwa agama-agama yang berbeda hanyalah merupakan bahasa yang berbeda-beda yang digunakan Tuhan untuk berbicara kepada hati manusia. Kebenaran memang satu; orang-orang bijak menyebutnya dengan nama ang berbeda-beda). Untuk memperkuat penjelasannya tentang sikap ‘Pluralistik’ agama Hindu, Huston Smith juga mengutip ungkapan ‘orang suci Hindu’ abad ke-19, yaitu Ramakrishna, yang mencari Tuhan melalui berbagai agama: Kristen, Islam, dan Hindu. Hasilnya, menurut Ramakrishna, adalah sama saja. Maka ia menyatakan: “Tuhan telah membuat agama-agama yang berbeda-beda untuk memenuhi berbagai aspirasi, waktu, dan negara. Semua doktrin hanyalah merupakan banyak jalan; tetapi satu jalan tidak berarti Tuhan itu sendiri. Sesungguhnya, seseorang dapat mencapai Tuhan jika ia mengikuti jalan mana saja dengan sepenuh hati). Penjelasan-penjelasan tentang agama Hindu yang dilakukan oleh berbagai kalangan Pluralis Agama, tampaknya membuat kaum Hindu merasa ‘gerah’ dan tidak tenang. Maka, mereka pun melakukan perlawanan, dengan membantah pendapat-pendapat kaum Pluralis Agama. Salah satu buku yang secara keras membantah paham Pluralisme Agama, adalah buku Semua Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006. Dalam buku ini paham Pluralisme Agama disebut sebagai paham ‘Universalisme Radikal’ yang intinya menyatakan, bahwa “semua agama adalah sama”. Buku ini diberi kata pengantar oleh Parisada Hindu Dharma, induk umat Hindu di Indonesia. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian orang Hindu Pluralis yang suka mengutip Bagawad Gita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.” Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” Bagian pertama buku ini memuat tulisan Giridhar Mamidi yang diberi judul “Semua Agama Sederajat? Semuanya Mengajarkan Hal Yang Sama?”. Di sini, penulis berusaha membuktikan bahwa semua agama tidaklah sama. Hanyalah orang-orang Hindu yang suka menyatakan, bahwa semua agama adalah mengajarkan hal-hal yang sama. Bahkan, Bharat Ratna Bhagavandas menulis satu buku berjudul “The Essential Unity of Religions” (Kesatuan Esensial dari Semua Agama). Mahatma Gandhi pun mendukung gagasan ini. Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu, mengecam keras orang-orang Hindu yang menyama-nyamakan agamanya dengan agama lain. Biasanya kaum Hindu Pluralis menggunakan “metafora gunung” (mountain metaphor), yang menyatakan: “Kebenaran (atau Tuhan atau Brahman) berada di puncak dari sebuah gunung yang sangat tinggi. Ada berbagai jalan untuk mencapai puncak gunung, dan dengan itu mencapai tujuan tertinggi. Beberapa jalan lebih pendek, yang lain lebih panjang. Jalan itu sendiri bagaimana pun tidak penting. Satu-satunya yang sungguh penting, adalah para pencari semua mencapai puncak gunung itu.” Morales menjelaskan, bahwa tidak setiap agama membagi tujuan yang sama, konsepsi yang sama mengenai ‘Yang Absolut’, atau alat yang sama untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Tapi, ada banyak ‘gunung’ filosofis yang berbeda-beda, masing-masing dengan klaim mereka yang sangat unik untuk menjadi tujuan tertinggi upaya spiritual seluruh manusia. Universalisme Radikal – yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama – adalah doktrin yang sama sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional. Menurut Morales, gagasan persamaan agama dalam Hindu menjadi populer saat disebarkan oleh sejumlah tokoh Hindu sendiri. Ia menyebut nama Ram Mohan Roy (1772-1833) yang dikenal dengan ajaran-ajarannya yang sinkretik. Roy yang juga pendiri Brahmo Samaj, dipengaruhi ajaranajaran Gereja Unitarian, sebuah sekte atau denominasi agama Kristen heterodoks. Sebagai tambahan mempelajari agama Kristen, Islam, dan Sansekerta, dia belajar bahasa Ibrani dan Yunani dengan impian untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Bengali. Ia mengaku sebagai ‘pembaru Hindu’ dan memandang agama Hindu melalui kaca mata kolonial Kristen yang telah dibengkokkan. Lebih jauh Morales menulis: “Kaum misionaris Kristen memberi tahu Roy bahwa agama Hindu tradisional adalah satu agama barbar yang telah menimbulkan penindasan, ketahyulan, dan kebodohan kepada rakyat India. Dia mempercayai mereka… Dalam semangat misionaris untuk mengkristenkan agama Hindu, kaum ‘pembaru’ Hindu ini bahkan menulis satu traktat anti-Hindu dikenal sebagai The Precepts of Jesus: The Guide to Peace and Happiness (Ajaran-ajaran Yesus: Penuntun kepada Kedamaian dan Kebahagiaan). Dari kaum misionaris Kristen ini secara langsung Roy mendapat bagian terbesar dari ide-idenya, termasuk ide anti-Hindu mengenai kesamaan radikal dari semua agama.” Pengganti Roy berikutnya adalah Debendranath Tagore dan Kashub Chandra Sen, yang mencoba menggabungkan lebih banyak lagi ide-ide Kristen ke dalam neo-Hinduisme. Sen bahkan lebih jauh lagi meramu kitab suci Brahmo Samaj yang berisi ayat-ayat dari berbagai tradisi agama yang berbeda, termasuk Yahudi, Kristen, Islam, Hindu dan Budhis. “Dengan kejatuhan Sen ke dalam kemurtadan anti-Hindu dan megalomania, gerakan ini menurun secara drastis dalam pengaruh pengikutnya,” tulis Morales. Pada abad ke-19, muncul dua tokoh Universalis Radikal dari Hindu, yaitu Ramakrisna (1836-1886) dan Vivekananda (1863-1902). Disamping dipengaruhi oleh akar-akar tradisi Hindu, Ramakrishna juga meramu ide dan praktik ritualnya dari agama-agama non-Vedic, seperti Islam dan Kristen Liberal. Sekalipun tetap melihat dirinya sebagai seorang Hindu, Ramakrishna juga sembahyang di masjid-masjid dan gereja-gereja dan percaya bahwa semua agama ditujukan pada tujuan tertinggi yang sama. Gagasan Ramakrishna dilanjutkan oleh muridnya yang sangat terkenal, yaitu Swami Vivekananda. Tokoh ini dikenal besar sekali jasanya dalam mengkampanyekan agama Hindu di dunia internasional. Tetapi, untuk menyesuaikan dengan unsur-unsur modernitas, Vivekananda juga melakukan usaha yang melemahkan agama Hindu otentik dari leluhur mereka dan mengadopsi ideide asing seperti Universalisme Radikal, dengan harapan memperoleh persetujuan dari tuan-tuan Eropa yang memerintah mereka ketika itu. Vivekananda mengadopsi gagasan semacam Universalisme Radikal yang bersifat hirarkis yang mendukung kesederajatan semua agama, sementara pada saat yang bersamaan mengklaim bahwa semua agama sesungguhnya sedang berkembang dari gagasan religiositas yang lebih rendah menuju satu mode puncak tertinggi, yang bagi Vivekananda ditempati oleh Hindu. Morales mencatat : ‘’Sekalipun Vivekananda memberi kontribusi besar untuk membantu orang Eropa dan Amerika nin-Hindu untuk memahami kebesaran agama Hindu, Universalisme Radikal dan ketidakakuratan neo-Hindu yang ia kembangkan juga telah mengakibatkan kerusakan besar.’’ Pada akhirnya Morales menyimpulkan, bahwa gagasan Universalisme Radikal yang dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat merugikan agama Hindu itu sendiri. Ia menulis : “Ketika kita membuat klaim yang secara sentimental menenangkan, namun tanpa pemikiran bahwa “semua agama adalah sama”, kita sedang tanpa sadar mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno ini, dan membantu memperlemah matrix filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang paling dalam. Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai.” Dengan terbitnya buku ‘’Semua Agama Tidak Sama’’ dari kalangan Hindu ini, maka kita melihat, sudah empat agama yang secara tegas menolak paham Pluralisme Agama, yaitu Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam. Tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II sudah menolak paham Pluralisme Agama dengan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’. Dari kalangan Protestan di Indonesia juga muncul penolakan keras terhadap paham ini, dengan keluarnya buku Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul ‘’Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004). Dari umat Islam, Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain. Dengan keluarnya buku ‘’Semua Agama Tidak Sama’’ dari kalangan Hindu, maka sudah semakin jelas, bahwa paham Pluralisme Agama memang merupakan racun, virus, atau parasit bagi agamaagama yang ada. Sebab, paham ini memang tidak mengakui kebebaran mutlak satu agama. Kaum Pluralis ingin menciptakan satu teologi global atau universal (global theologi), menggantikan keyakinan khas dari masing-masing pemeluk agama. Jadi, Pluralisme Agama adalah musuh bersama agama-agama. Maka, aneh, jika ada orang yang mengaku sebagai pemeluk agama tertentu, tetapi pada saat yang sama dia mengaku pluralis agama. Jika ada yang mengaku seperti itu, maka ada dua kemungkinan, pertama : tidak tahu atau tertipu, dan yang kedua : sengaja ingin merusak agama. Wallahu a’lam. (Jakarta, 1 September 2006/www.hidayatullah.com). Bab VI Agustus 6.1. “Ketika Kampus Islam Dibajak Orientalis” Senin, 28 Agustus 2006 Lebih dari 30 tahun benih orientalisme mencengkram studi Islam dan semakin merambah ke berbagai bidang, termasuk studi Al-Qur'an. baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian husaini ke159 Saat mengisi acara workshop di Pondok Pesantren Gontor, 19-20 Agustus 2006 lalu, saya mendapatkan hadiah sebuah Jurnal yang sangat bagus, bernama TSAQAFAH. Jurnal ini diterbitkan oleh Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. Pada edisi Vol.2, Nomor 2, 2006/1427, diangkat berbagai artikel menarik tentang keislaman. Salah satu yang perlu kita jadikan catatan adalah sebuah artikel berjudul “Framework Kajian Filsafat Islam” tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi, Pembantu Rektor III ISID. Melalui riset yang cukup mendalam terhadap sejumlah kurikulum kajian filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia –baik yang negeri maupun swasta– Hamid Fahmy membuktikan bahwa kajian filsafat Islam di Indonesia tampak jelas terpengaruh oleh kajian para orientalis. Pengaruh itu tidak hanya pada cara atau metodologi pengkajian, tetapi lebih mendasar lagi, sampai pada framework (kerangka) dan cara pandangnya terhadap filsafat Islam. Cara pandang ini tentu bukan tanpa maksud. Secara sistematis, mereka akan menunjukkan bahwa filsafat Islam hanyalah kertas copi dari Yunani; tanpa Yunani, Islam tidak memiliki pemikiran rasional. Padahal, sekalipun konsepsi falsafah juga dikenal dalam pemikiran Islam, namun tetap disertai kritik dan seleksi yang ketat. Itulah yang dilakukan oleh Al-Ghazali dan Ibn Taymiyah. Menurut Hamid Fahmy, berbeda dengan tradisi filsafat Yunani yang berdasarkan akal, tradisi filsafat Islam bersumberkan pada wahyu. Dengan demikian, filsafat Islam adalah filsafat yang lahir dari pemahaman, penjelasan, dan pengembangan konsep-konsep penting dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adapsi yang ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam. Sejumlah ilmuwan seperti Ibn Sina, al-Kindi, dan al-Farabi, menerima filsafat Yunani dan berusaha memodifikasikannya agar sesuai dengan prinsip-prinsip penting dalam ajaran Islam. AlGhazali dan Fakhruddin al-Razi menerimanya sejauh masih sejalan dengan ajaran Islam dan menolak konsep-konsep yang bertentangan dengan Islam. Ibn Taymiyah termasuk diantara penolak keras “filsafat”, tetapi ternyata juga menerima jenis filsafat tertentu, yang disebutnya al-falsafah al-shahihah (filsafat yang benar) dan al-falsafah alhaqiqiyah (filsafat yang sebenarnya). Hamid Fahmy – yang telah menyelesaikan disertasi doktornya tentang ‘Teori Kausalitas alGhazali” di ISTAC-IIUM Kuala Lumpur – mencatat, bahwa para ulama Islam menolak, menerima secara selektif atau menerima dan memodifikasi prinsip-prinsip filsafat Yunani, karena konsepkonsepnya yang tidak sejalan dengan konsep Islam. Selain itu, mereka juga percaya akan adanya konsep Islam sendiri yang berbeda dengan konsep asing itu. Ini berarti, simpul Hamid Fahmy, para ulama memandang bahwa dalam Islam terdapat prinsip berfikir filosofisnya sendiri yang berbeda dari Yunani. Jadi, sejak awal, umat Islam sudah memiliki tradisi berpikir sendiri yang berdasarkan wahyu, yang berbeda dengan tradisi berpikir Yunani. Sumber aspirasi yang asli dan riil dari para pemikir Muslim adalah Al-Quran dan Sunnah Rasul. Bahwa ada sebagian unsur asing yang kemudian diserap dalam khazanah pemikiran Islam, tetap diupayakan tidak bertentangan dengan prinsipprinsip ajaran Islam. Dalam masalah Tuhan, manusia, dan alam semesta, para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam tradisi filsafat Yunani. Mengambil contoh Kurikulum dan Silabi Kuliah Filsafat Islam terbitan Departemen Agama, Hamid menunjukkan, bahwa yang dimaksudkan sebagai “pemikiran filsafat Islam yang awal” dalam kurikulum ini adalah dimulai sejak masuknya pengaruh filsafat peripatetik Yunani ke dalam Islam. Artinya, filsafat Islam dianggap wujud hanya setelah datangnya pengaruh filsafat Yunani. Ha ini mendukung anggapan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat atau pemikiran filosofis. Model kajian seperti ini tidak akan memberi bekal kemampuan kepada mahasiswa untuk mengembangkan filsafat sains dalam Islam. “Jika framework ini ditelusuri asal usulnya maka akan terungkap kesamaannya dengan framework yang dipegang secara meluas oleh para orientalis,” tulis Hamid Fahmy, yang juga Direktur Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), ISID Gontor. Hasil riset Hamid Fahmy Zarkasyi tentang metode studi filsafat Islam di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia ini sangat penting untuk ditelaah dan direnungkan secara mendalam. Jauh sebelumnya, 30 tahun lalu, Prof. HM Rasjidi telah menunjukkan kuatnya pengaruh metode orientalis terhadap buku wajib dalam studi Islam di Indonesia, yakni buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya”, karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi kemudian memberikan kritik-kritik yang tajam terhadap buku tersebut, bahwa buku itu merusak dan membahayakan aqidah Islam. Tetapi, kritik-kritiknya tidak pernah didengar. Buku ini tetap dijadikan sebagai rujukan dalam studi Islam di Perguruan Tinggi, tanpa didampingi oleh buku Prof. Rasjidi: Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Seperti pernah kita bahas, buku Harun Nasution ini memuat begitu banyak kesalahan fatal dan mendasar tentang Islam. Dalam aspek filsafat, Harun Nasution juga menulis: “Pemikiran filosofis masuk ke dalam Islam melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir…Filosof kenamaan yang pertama adalah Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq al-Kindi.” Dalam pemaparannya, Harun mengungkap berbagai perdebatan seputar isu-isu dalam kajian filsafat, tetapi tidak melakukan ‘tarjih’ terhadap pendapat yang benar. Bahkan ketika membahas pendapat seorang filosof yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, Harun tidak memberikan kritik terhadapnya. Seperti ketika menjelaskan tentang filosof Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (864-925), Harun bahkan menulis, “Tetapi sungguhpun ia menentang agamaagama, al-Razi bukanlah seorang ateis. Ia tetap percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini.” Padahal, ditulis oleh Harun: “Al-Razi adalah seorang rasionalis yang hanya percaya pada akal dan tidakpercaya pada wahyu. Menurut keyakinannya akal manusia cukup kuat untuk mengetahui adanya Tuhan, apa yang baik dan apa yang buruk, dan untuk mengatur hidup manusia di dunia ini. Oleh karena itu Nabi dan Rasul tak perlu, bahkan ajaran-ajaran yang mereka bawa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat manusia. Semua agama dia kritik. Al-Quran baik dalam bahasa maupun isinya bukanlah mu’jizat.” Sebagai buku panduan untuk mahasiswa Muslim, harusnya Prof. Harun menjelaskan, bahwa pendapat Abu Bakr Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (bukan Fakhruddin al-Razi) adalah keliru dan bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Harusnya, Prof. Harun tidak bersikap netral dalam hal-hal yang jelas-jelas salah. Bahkan, dalam uraiannya, Harun lebih cenderung mengunggulkan pendapat Ibnu Ruyd, ketimbang al-Ghazali. Dalam kritiknya, Rasjidi menyesalkan kecenderungan Harun untuk lebih menonjolkan pendapat Ibn Rusyd yang memberikan pembelaan kepada para filosof peripatetik dari kritikan al-Ghazali. Kajian Harun tentang aspek filsafat dalam Islam, menurut Prof. Rasjidi, merupakan aspek yang sangat negatif, khususnya bagi mahasiswa IAIN tingkat pertama. Dalam kritiknya, Rasjidi mengupas secara tajam kekeliruan pemikiran Ibnu Rusyd, al-Farabi, dan Ibnu Sina. Filsafat Islam, kata Prof. Rasjidi, adalah suatu usaha untuk mempertahankan aqidah Islam dengan mengambil bahan dari filsafat Yunani yang tidak bertentangan dengan Islam. Teori al-Farabi dan Ibnu Sina tentang emanasi (pancaran) bertentangan dengan Islam, yang menegaskan, bahwa Allah menciptakan alam dengan kemauan-Nya, bukan melalui pancaran. Meskipun mengakui kebaikan niat baik Ibnu Rusyd dalam membela filosof – yakni untuk menunjukkan bahwa Islam tidak bertentangan dengan akal – tetapi Rasjidi menilai teori Ibnu Rusjd tentang kekekalan alam sudah usang untuk abad ke-20. “Kelihatan sekali bahwa Dr. Harun Nasution tidak mengikuti perkembangan ilmu cosmology astrophysic, sehingga ia mempertahankan pendapat Ibnu Rusyd yang sudah usang itu,” tulis Prof. Rasjidi. Itulah studi kritis Prof. Rasjidi terhadap aspek filsafat dalam buku “Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya” karya Prof. Harun Nasution. Rasjidi menulis kritiknya ini pada tahun 1975. Bisa dikatakan, kajian Hamid Fahmy Zarkasyi lebih maju selangkah lagi dari apa yang telah dilakukan oleh Prof. Rasjidi, karena Hamid Fahmy sudah menyentuh aspek “framework” dan cara pandang. Bahkan, Hamid menawarkan perspektif baru dalam studi filsafat Islam yang belum ditawarkan oleh Prof. Rasjidi sebelumnya. Kajian-kajian ilmiah dan serius tentang berbagai bidang keilmuan Islam (Ulumuddin) saat ini merupakan proyek yang sangat mendesak bagi umat Islam. Apalagi, 30 tahun setelah benih orientalisme ditanamkan oleh Prof. Harun Nasution, cengkeraman orientalis dalam studi Islam sudah semakin merambah ke berbagai bidang studi-studi lain, baik dalam studi agama-agama maupun dalam studi Al-Quran. Belum lagi dengan masuknya ‘proyek-proyek pesanan’ negaranegara dan LSM Barat dalam studi dan pemikiran Islam. Masuknya studi kritis Al-Quran dan mata kuliah hermeneutika, misalnya, tidak bisa dianggap hal yang enteng. Penggunaan epistemologi relatif dalam studi agama di Ushuluddin telah membongkar framework studi agama-agama dalam tradisi Islam yang berbasis pada keimaman Islam. Ketika mengisi satu seminar di Yogyakarta pada 18 Agustus 2006 lalu, seorang peserta menyatakan, bahwa dalam studi ilmu-ilmu agama, metodologi Barat lebih baik dibandingkan dengan metodologi Islam. Pernyataan semacam ini sudah sering disampaikan dalam berbagai buku dan kesempatan. Padahal, biasanya yang mereka maksud dengan ‘metodologi’ yang baik adalah dalam soal teknik penulisan. Misalnya, karena banyak catatan kakinya, maka suatu tulisan disebut ilmiah dan bagus. Kita tidak menolak metode semacam ini. Bahkan, perlu memberikan apresiasi terhadap ketekunan dankesungguhan para orientalis dalam melakukan penelitian dan penulisan tentang Islam. Terutama dengan kesungguhan mereka dalam menghimpun literatur-literatur Islam. Tetapi, kita juga perlu senantisa kritis, bahwa dalam metodologi atau lebih tepatnya framework kajian agama, ada perbedaan yang mendasar antara Islam dengan para orientalis pada umumnya. Bagi seorang Muslim, belajar agama bertujuan untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang dapat meningkatkan iman dan ibadah kepada Allah. Sebab, tidaklah manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. (QS 51:56). Seorang Muslim yakin, bahwa mencari ilmu itu sendiri adalah kewajiban dan merupakan ibadah. Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa berdoa, mudah-mudahan kita dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu yang manfaat adalah ilmu yang menghasilkan dan memperkuat keimanan, dan bukan ilmu yang menambah keraguan dan kebingungan, serta semakin menjauhkan diri dari ibadah kepada Allah. Metode studi agama cara Islam ini tentu berbeda dengan metode para studi agama ‘gaya Barat’ yang lebih diarahkan untuk menjadi ‘ilmuwan dan pengamat keagamaan’. Karena itu, dalam model studi seperti ini, para dosen tidak mempersoalkan apakah mahasiswa itu sesat atau benar. Suatu skripsi atau tesis tetap diluluskan jika dianggap sudah memenuhi syarat metode penulisan ilmiah, tanpa peduli apakah karya ilmiah itu benar atau salah dari segi isinya dalam pandangan Islam. Bahkan, banyak yang sudah bersifat skeptis dan agnostik terhadap kebenaran, dengan menyatakan, bahwa manusia tidak akan tahu kebenaran sejati, yang tahu kebenaran hanya Allah. Tentu saja ini sangat keliru, sebab Allah telah menurunkan wahyu-Nya kepada manusia melalui Nabi dan Rasul dengan tujuan untuk bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Kita berharap para dosen di perguruan tinggi Islam dan para pejabat Departemen Agama sadar akan amanah berat yang mereka pikul saat ini, sehingga mereka tidak bersantai-santai atau bermain-main dalam hal ilmu agama. Mereka perlu sadar, bahwa upaya untuk meruntuhkan Islam yang sangat strategis adalah dengan cara merusak konsep-konsep keilmuan Islam. Itulah yang sejak berabad-abad lalu dilakukan oleh para orientalis. Dalam pasal 2, Perpres No 11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN disebutkan, bahwa tujuan pembentukan IAIN adalah: “IAIN tersebut bermaksud untuk memberi pengadjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang Agama Islam.” Jadi, sesuai dengan niat mulia sejak awalnya, perguruan-perguruan tinggi Islam harus menjadi pusat pengembangan dan pendalaman ilmu tentang agama Islam. Tentu, sebagai umat Islam Indonesia, kita berharap, dari kampus-kampus ini lahir para cendekiawan dan ulama yang berilmu tinggi dan taat kepada Allah. Untuk itu, agar menjadi kampus Islam yang benar-benar sehat, segala macam jenis kuman dan virus-virus yang merusak ilmu-ilmu Islam harus mulai dikaji, diteliti, untuk selanjutnya ‘dijinakkan’ dan diamankan’. Cita-cita mulia itu tidak akan terwujud, jika civitas academica di kampus Islam tidak bisa membedakan manayang ‘obat’ dan mana yang ‘racun’; mana ilmu yang bermanfaat dan mana ilmu yang madharat. Jika tidak paham atau tidak peduli dengan masalah ini, bisa jadi, kampus yang semula didirikan dengan niat begitu mulia, akhirnya secara tidak sadar sudah dibajak oleh para orientalis. Wallahu a’lam. (Depok, 25 Agustus 2006/www.hidayatullah.com] 6.2. "Penghianatan Yahudi" Minggu, 13 Agustus 2006 Bom-bom Zionis menganghancurkan wanita dan anak-anak Libanon. Di Indonesia “bom pemikiran Yahudi” tak kalah dasyatnya mencabik otak. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-157 Menyimak keberingasan, kebengisan, dan kepongahan Israel di Lebanon dan Palestina saat ini, ada baiknya kita mengkaji kembali pemahaman kita tentang bangsa Yahudi, sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran dan buku-buku sejarah. Ayat-ayat yang menggambarkan karakter dan bangsa Yahudi begitu banyak bertebaran. Di dalam sejarah kita memahami, bahwa kaum Yahudi adalah kelompok manusia yang begitu banyak dan hobi melakukan pengkhianatan terhadap kebenaran yang disampaikan kepada mereka. Di Madinah (Yathrib), kaum Yahudi telah mengabarkan kepada penduduk setempat akan edatangan seorang Nabi terakhir. Dan ini telah diberitakan oleh Nabiyullah Isa a.s. kepada mereka, jauh-jauh sebelumnya. Tetapi, ketika Rasul itu (Nabi Muhammad saw) benar-benar tiba, maka justru mereka menjadi orang pertama yang mengingkarinya. “Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata." (QS as-Shaf:6). Itulah karakter Yahudi. Sebuah karakter yang dengan begitu mudah menolak kebenaran, meskipun mereka tahu tentang kebenaran. Karena itu, Rasulullah saw menjelaskan, bahwa makna kata ‘almaghdhub’ (yang dimurkai Allah SWT) dalam surat al-Fatihah adalah ‘al-Yahud’. Jadi kaum Yahudi adalah prototipe orang yang tahu tentang kebenaran tetapi tidak mau mengikuti kebenaran, bahkan sebaliknya, merekalah yang menyembunyikan dan mengubah-ubah kebenaran. Al-Quran menjelaskan bagaimana kaum Yahudi hobi mengubah-ubah kitab suci mereka, sehingga tidak diketahui lagi mana wahyu yang asli dan mana yang merupakan tambahan mereka. “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh Keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS al-Baqarah:79). Akibat pengkhianatan mereka terhadap kebenaran ini, maka mereka juga menyesatkan kaum lainnya yang mengikuti mereka. Hingga kini diakui oleh para pengkaji agama Yahudi, bahwa masalah besar dalam mengkaji Kitab Yahudi (Bibel Yahudi – yang oleh orang Kristen disebut sebagai ‘Perjanjian Lama’) adalah masalah otentisitas teks-teks Bibel tersebut. Yakni membedakan, mana yang asli dan mana yang sisipan. Th.C. Vriezen, dalam bukunya, Agama Israel Kuno (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 2001), menulis: “Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas bahan sejarah Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab yang utama ialah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur). Proses penyaduran turun-temurun itu ada untung ruginya. Salah satu keuntungannya ialah bahwa sumber-sumber kuno itu dipertahankan dan tidak hilang atau terlupakan. Namun, ada kerugiannya yaitu adanya banyak penambahan dan perubahan yang secara bertahap dimasukkan ke dalam naskah, sehingga sekarang sulit sekali untuk menentukan bagian mana dalam naskah historis itu yang orisinal (asli) dan bagian mana yang merupakan sisipan.” Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, (New York: Perennial Library, 1989), juga menulis: “It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization.” Jadi, menurut Friedman, adalah hal yang ajaib bahwa kaum Yahudi-Kristen sebenarnya tidak pernah tahu dengan pasti, siapa yang menulis kitab mereka. Padahal, kitab itu sudah begitu memainkan peran sentral dalam peradaban mereka. Bahkan, Kitab Torah (Five Book of Moses, yakni Kitab Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan) dikatakan Friedman sebagai salah satu teka-teki paling kuno di dunia (It is one of the oldest puzzles in the world). Gara-gara ulah Yahudi yang mengubah-ubah kitab mereka itu, maka kebenaran menjadi kabur, karena dicampur aduk dengan kebatilan. Dalam surat al-Baqarah:41-42 sudah disebutkan peringatan Allah agar kaum Yahudi jangan menjadi orang yang pertama kafir dan jangan mencampuradukkan antara yang haq dan bathil dan menyembunyikan kebenaran. “Dan berimanlah kamu kepada apa yang telah aku turunkan (Al Quran) yang membenarkan apa yang ada padamu (Taurat), dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya, dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang haq itu, sedang kamu mengetahui.” Tentu saja kaum Yahudi sangat tertohok dengan ayat-ayat Aal-Quran yang menelanjangi habishabisan kecurangan mereka. Karena itu bisa dipahami jika mereka tidak pernah ridho kepada kaum Muslim, sampai kaum Muslim mengikuti millah mereka (QS al-Baqarah 2:120). Mereka kemudian menyimpan dendam yang terus terpendam dan berusaha keras untuk merusak Islam. Jika kita cermati, saat ini, betapa banyak orang diantara kaum Muslim yang – sadar atau tidak – mengikuti jejak kaum Yahudi dalam mengubah-ubah dan menyembunyikan kebenaran. Kita tidak habis pikir, bagaimana ada orang yang mengaku Islam tetapi mendukung upaya penyerangan terhadap Al-Quran, melecehkan Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi. Ada juga yang secara terang-terangan dengan berbagai dalil yang dibuat-buat menghalalkan perkawinan homoseksual dan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Ada yang membuat-buat tafsir Al-Quran ala Yahudi dengan membuang makna teks dan menekankan aspek konteks secara serampangan. Itulah yang dilakukan misalnya oleh Prof. Musdah Mulia dan para penulis buku Fiqih Lintas Agama yang membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul, sehingga keluar keputusan hukum bahwa muslimah boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim. (Lihat buku Muslimah Reformis karya Musdah Mulia terbitan Mizan dan buku Fiqih Lintas Agama terbitan Paramadina dan The Asia Foundation). Padahal, cara penafsiran seperti itu benar-benar mengikuti metodologi penafsiran Bibel Yahudi. Dalam bab berjudul ‘Hebrew Scriptures’ dari buku Path Through Catholicism karya Mark Link SJ (Texas:Tabor Publishing, 1991), dijelaskan metode penafsiran Bibel Yahudi yang memisahkan antara metode tekstual dan metode kontekstual. Orang yang menafsirkan secara tekstual/literal dijuluki sebagai kaum literalis atau fundamentalis. Paus sendiri menolak penafsiran Bibel secara tekstualis atau literalis. Menurut buku karya Mark Link itu, penafsir Bibel dibagi menjadi dua model, yakni model literalis dan kontekstualis. Dia menulis: “Literalists interpret the Bible rigidly, saying, “It means exactly what it says”. In other words, literalists (also called fundamentalists) concern themselves with only the text of the Bible. Contextualists interpret the Bible more broadly, saying “We must consider not only the text but also the context of the Bible. In other words, we must also consider such a things as historical and cultural situation in which the Bible was written.” (hal. 22) Model tafsir Bibel Kristen-Yahudi seperti ini, yang menajamkan aspek tekstual dan kontekstual dan menekankan aspek historisitas teks, saat ini banyak mencengkeram sebagian akademisi Muslim. Itu bisa kita lihat dalam buku-buku tentang studi Islam yang bermunculan dewasa ini. Seorang dosen UIN Yogya yang menerbitkan disertasinya dengan judul “Muslim-Christian Relations in The New Order Indonesia:The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspectives, (Bandung: Mizan, 2005)” membagi kaum Muslim Indonesia ke dalam dua golongan, yakni kaum ‘Inclusivist Muslims’ dan exclusivist Muslim’. Kaum Muslim Inklusif, kata dia, adalah mereka yang mempersepsikan Islam sebagai agama evolutif dan menerapkan metode tafsir kontekstual terhadap Al-Quran dan Sunnah. (… they perceive Islam as an evolving religion they apply a contextual reading to the Quran and sunna). Sedangkan Muslim eksklusif adalah yang menerapkan metode penafsiran al-Quran dan Sunnah secara literal. (They apply a literal approach in understanding the foundation texts of Islam, namely the Quran and the sunna of the Prophet). Cara pandang disertasi di Melbourne University seperti itu adalah pola dan metode panafsiran Bibel Kristen-Yahudi, yang dipaksakan kepada Aal-Quran. Si dosen itu harusnya mengkaji dengan serius, bahwa ada perbedaan yang mendasar antara sifat teks Al-Quran dan teks Bibel. Dalam konsep Islam, teks Al-Quran adalah ‘tanzil’ yang lafaz dan maknanya dari Allah. Teks Al-Quran bukan bikinan Nabi Muhammad saw atau bikinan manusia mana pun. Karena itu, Al-Quran adalah wahyu, Kalamullah. Ini beda dengan Bibel, yang dalam konsep Kristen sendiri dikatakan sebagai ‘teks manusiawi’, yakni teks yang ditulis oleh para penulis Bibel yang mendapatkan inspirasi dari Roh Kudus. Karena problem teks Bibel itulah, maka kaum Yahudi-Kristen tidak bisa menafsirkan secara tekstual, sebab memang tidak ada teks yang bisa dipegang. Teks Bibel selalu berubah dari waktu ke waktu. Salah satu Bibel edisi bahasa Inggris yang biasanya dianggap otoritatif adalah King James Version. Tapi, sekarang pun sudah muncul New King James Version. Kita bisa bandingkan teks Bibel terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) edisi 1971 dan 2004, misalnya, maka kita akan bertemu dengan begitu banyak ayat yang bukan hanya berubah teksnya, tetapi juga maknanya. Sebagai contoh, bandingkan ayat Bibel Yahudi tentang larangan keluar pada hari Sabat: Edisi LAI tahun 1971 menyatakan: “tetapi hari yang ketudjuh itulah sabat Tuhan, Allahmu, pada hari itu djangan kamu bekerja, baik kamu, atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau binatangmu, atau orang dagang jang ada didalam pintu gerbangmu.” Sedangkan dalam edisi tahun 2004 ditulis: “tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu, maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan, engkau atau anakmu laki-laki, atau anakmu perempuan, atau hambamu laki-laki, atau hambamu perempuan, atau hewanmu, atau orang asing yang ditempat kediamanmu.”. Kekeliruan pola pikir terhadap Al-Quran yang menjiplak pola pikir Yahudi-Kristen itu bukan khas dosen UIN Yogya itu saja. Kita bisa menyimak bagaimana membanjirnya istilah-istilah asing ke dalam kosa kata studi Islam dewasa ini, seperti istilah ‘Islam fundamentalis’, ‘Islam literalis’, dan sebagainya, yang berasal dari tradisi Yahudi-Kristen. Banyak yang latah membeo saja dalam menggunakan istilah-istilah yang lahir dalam tradisi Yahudi-Kristen tersebut, tanpa sikap kritis. Padahal, kita tidak bisa begitu saja mengambil istilahistilah itu tanpa disesuaikan dengan makna dalam Islam. Sebagai contoh, dalam istilah Kristen, George W. Bush biasa disebut sebagai penganut Kristen fundamentalis yang konservatif dan taat. Tetapi, tentu kita tidak bisa menyebut Bush adalah seorang Kristen salafi yang muttaqin. Masing-masing tradisi dan agama memiliki sistem pemikiran dan istilah yang khas, yang tidak seyogyanya dijiplak begitu saja. Masalah teks Bibel itu sangat berbeda dengan Al-Quran, sehingga cara penafsirannya pun sangat berbeda dengan Bibel. Sebagai teks manusiawi unsur historisitas sangat ditekankan dalam penafsiran. Tetapi, sebagai teks wahyu, makna kata-kata dalam teks Al-Quran adalah terjaga dari zaman ke zaman. Karena itu, hukum-hukum Al-Quran bersifat universal, melintasi zaman dan budaya, meskipun ayat-ayat itu diturunkan di wilayah Arab pada waktu tertentu dan dengan kondisi kultural tertentu. Ketika Al-Quran melarang minuman keras, itu bukan hanya untuk orang Arab saja, tetapi berlaku untuk semua manusia. Kewajiban jilbab bukan hanya berlaku untuk wanita Arab abad ke-7, tetapi tetap berlaku sampai sekarang. Dan sebagainya. Salah satu buku yang sangat menekankan aspek historisitas dalam studi Islam bisa dilihat buku ‘Islamic Studies’ karya Prof. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya, yang banyak merujuk kepada para pemikir sekular-liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Kini, dalam situasi dimana saudara-saudara kita di Lebanon dan Palestina dihujani bom-bom Yahudi yang mencabik-cabik tubuh wanita dan anak-anak tanpa belas kasihan sedikit pun, ada baiknya kita juga merenung sejenak, bahwa kaum Muslim di Indonesia saat ini, juga sedang dihujani dengan “bom-bom pemikiran Yahudi yang sangat dahsyat dampaknya dalam mencabikcabik otak sebagian sarjana agama dari kalangan umat Islam, sehingga banyak yang tanpa sadar sudah mengikuti “pola pikir Yahudi” dalam mencabik-cabik Islam dan Al-Quran. Gara-gara otaknya keliru, memandang bahwa Al-Quran adalah produk budaya, maka seorang dosen IAIN Surabaya dengan bangga, sengaja, dan sadar menginjak lafaz Allah di hadapan para mahasiswanya. Mudah-mudahan kita senantiasa diselamatkan Allah, agar tidak terjebak dalam pola pikir dan jalan orang-orang yang dimurkai Allah. Amin. (Depok, 11 Agustus 2006/www.hidayatullah.com). 6.3. “Menyikapi Kebrutalan Zionis Israel” Sabtu, 05 Agustus 2006 Muslimin Indonesia harus menyusun langkah melawan hegemoni Yahudi. Syaratnya ukhuwah Islamyah tak hanya di lisan. Apalagi masih bangga kelompoknya sendiri. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-156 Hari-hari ini, kaum Muslim seluruh dunia menyaksikan kebrutalan yang membabi buta kaum Zionis terhadap kaum Muslim di Palestina dan Lebanon. Setiap hari, jet-jet tempur beserta tanktank Israel membunuhi warga Muslim. Dunia mengutuk serangan Israel itu. Tetapi, semuanya tidak berdaya, tidak mampu mencegah kebrutalan Israel. Padahal, dari segi hukum internasional, aksi sepihak Israel yang menyerbu Lebanon jelas-jelas tidak dibenarkan. Tetapi, kaum Zionis Israel tidak mempedulikan hal itu. Mereka merasa lebih kuat, dan menganggap remeh protes dunia Islam terhadap kebrutalan mereka. Pada akhir Juli 2006, Israel bahkan menyerang tempat pengungsian penduduk sipil di Desa Qana, sehingga membunuh lebih dari 60 warga Lebanon –37 diantaranya adalah anak-anak. Seketika itu kemudian dunia mengecam Israel. Tetapi, tetap saja, hal itu tidak mampu menghentikan kebiadaban kaum Zionis Israel. Umat Islam dan dunia Islam, sejauh ini, hanya mampu melakukan protes, menangis, mengeluarkan resolusi dan kutukan demi kutukan. Tetapi, tidak ada yang digubris oleh Israel. Sepertinya, Israel sudah hafal langgamkaum Muslim. Jika dibantai atau dipecundani, kaum Muslim akan marah dan melakukan aksi demontrasi. Setelah itu, lama-lama lupa pada masalahnya, lalu diam. Megapa umat Islam begitu mudah untuk diperdaya dan dipecundangi ? Tidak adakah kemuliaan bagi kaum Muslimin? Padahal, dalam Al-Quran, Allah SWT menjamin : “Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah pula kamu bersedih hati, karena kamulah orangorang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran: 139). Jadi, umat Islam harusnya menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang terbaik yang menjadi saksi atas umat manusia lainnya. Tetapi, semua itu tidak akan terjadi, jika umat Islam meninggalkan syarat-syarat untuk dapat menjadi umat yang mulia. "Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kamu) menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemunkaran, serta beriman kepada Allah." (QS Ali Imran:110). Jika kaum Muslim meninggalkan syarat untuk menjadi mulia, maka mereka akan menjadi umat yang hina. Kondisi umat Islam yang tidak berdaya menghadapi kebiadaban kaum Zionis Israel seperti mencerminkan apa yang telah digambarkan oleh Rasulullah saw: “Hampir tiba suatu zaman dimana bangsa-bangsa dari seluruh dunia akan datang mengerumuni kamu bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka.” Maka salah seorang sahabat bertanya: “Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?” Nabi SAW menjawab: “Bahkan, pada hari itu jumlah kamu banyak sekali, tetapi kamu umpama buih di waktu banjir, dan Allah akan mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan melemparkan ke dalam hati kamu penyakit al wahnu.” Seorang sahabat bertanya: “Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?” Rasulullah SAW menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Daud) Tanpa perlu melakukan riset yang rumit, dengan mudah dapat dilihat, bahwa kondisi umat Islam saat ini sangat mirip dengan apa yang digambarkan Rasulullah saw tersebut. Di berbagai belahan dunia, umat menghadapi ujian dan cobaan yang berat. Umat Islam diperlakukan dengan sangat hina. Tidak disegani dan ditindas dimana-mana. Di Palestina, Moro, Xin Jiang, India, Kashmir, Thailand Selatan, dan di berbagai belahan dunia lainnya, umat Islam menghadapi penindasan dalam berbagai bidang kehidupan. Umat Islam, yang jumlahnya sekarang sekitar 1,3 milyar jiwa, bernasib seperti buih, kehilangan kepercayaan diri, diombang-ambingkan situasi dan kondisi. Untuk menyelesaikan masalah Palestina saja masih belum mampu. Bandingkan dengan kaum Yahudi yang jumlahnya hanya sekitar 15 juta jiwa, yang berani menolak puluhan resolusi PBB, dan tidak gentar sedikit pun menghadapi protes dari seluruh penjuru dunia. Sebagai Muslim kita tidak boleh berdiam diri terhadap perkembangan di Palestina dan Lebanon saat ini. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang bangun pagi dan tidak peduli dengan masalah umat Islam, maka dia tidak termasuk bagian dari umat Islam.” Secara umum, ada dua tanggung jawab muslim terhadap dunia Islam, yaitu (1) tanggung jawab risalah, dan (2) tanggung jawab ukhuwah. Tanggung jawab risalah wajib dilaksanakan oleh umat muslim berdasarkan perintah Allah SWT yang terdapat dalam sejumlah ayat Al Quran: "Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah kemunkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS Ali Imran:104). Ayat-ayat Al Quran tersebut memberikan penjelasan yang tegas tentang kewajiban umat Islam untuk melaksanakan dakwah, dalam arti melanjutkan risalah Rasulullah saw. Ad-Dinul Islam diturunkan Allah SWT melalui Rasul-Nya, Muhammad saw., kepada seluruh manusia (QS 34:28). Islam diturunkan bukan hanya untuk umat Islam semata. Islam diturunkan untuk menyelamatkan umat manusia, untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam (QS 21:107). Penegasan agar ajaran Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam juga tampak dari seruan Rasulullah saw dalam Khutbatul Wada’, dimana Rasul saw senantiasa menggunakan seruan “Ya ayyuhan naas…”. Ketika itu beliau berpesan, agar orang-orang yang hadir di Arafah, menyampaikan pesanpesan kepada yang tidak hadir. Karena mengemban misi yang sangat mulia -- yaitu untuk menyebarkan rahmat kepada seluruh alam, yang dapat juga diartikan sebagai tugas untuk menyelamatkan umat manusia dari kehancuran -- maka umat Islam diberi julukan dengan berbagai predikat yang agung, seperti “khairu ummah”, “ummatan wasatha”, dan sebagainya. Pada sisi lain, sebutan-sebutan indah itu juga mengindikasikan adanya perintah Allah SWT, agar umat Islam menjadi umat yang mulia, umat yang disegani, umat yang kuat, dan umat yang agung; bukan umat yang hina dan lemah. Hal itu dapat dilihat, misalnya, pada perintah Allah SWT, agar umat Islam menghimpun segala macam kekuatan, agar mereka menjadi umat yang kuat. Seperti firman Allah SWT: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kudakuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu), kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengatahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.” (QS al-Anfal:60). Mudah dipahami, dengan kondisi sebagai “umat yang mulia”, “umat yang kuat”, dan sebagainya, maka umat Islam akan dapat menjalankan fungsi dakwah dan amanah risalah kepada seluruh manusia, dengan lancar. Jika kondisi umat Islam sebaliknya, yakni umat yang lemah dan hina, maka umat Islam bukanlah menjadi “subjek”, tetapi akan menjadi “objek”. Bukan menjadi da’i, tetapi malah menjadi “mad’u”, bukan menjadi “penentu arah” perjalanan dunia, tetapi malah menjadi “yang diarahkan”. Tanggung jawab yang kedua, yakni tanggung jawab ukhuwah, juga jelas-jelas merupakan perintah Allah SWT. "Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (QS 9:71). Umat muslim diibaratkan oleh Rasulullah SAW sebagai satu tubuh (kal jasadil wahid) atau satu bangunan yang saling menguatkan (kal bunyan yasyuddu ba’dhuhum ba’dha). Dalam hadits lain, Rasulullah SAW jugamengibaratkan kaum Muslimin seperti penumpang yang bersama-sama berlayar ke tengah lautan. Di dalam kapal itu, ada satu penumpang yang bermaksud melobangi kapalnya untuk mengambil air. Jika seluruh penumpang membiarkan orang itu melobangi perahunya, maka binasalah dia dan juga seluruh penumpang. Hanya di antara orang-orang beriman dapat menjalin ukhuwah Islamiyah, sebab ukhuwan Islamiyah adalahmanivestasi dari iman. Ukhuwah Islamiyah membutuhkan pengorbanan, lebih mementingkan kepentingan saudaranya sesama mukmin, ketimbang kepentingan dirinya. Ditegaskan Rasulullah SAW: “Laa yu’minu ahadukum hattaa yuhibba liakhihi maa yuhibbu linafsihi.” (Tidak/belum sempurna iman salah seorang kamu, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa-apa yang dicintai oleh dirinya sendiri.). Ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan tertinggi antar sesama muslim. Nilai persaudaraan ini lebih tinggi daripada persaudaraan yang dibangun di atas landasan kesukuan, kebangsaan, atau hubungan darah sekali pun. Allah SWT berfirman: "Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan dan Hari Akhir berkasih sayang dengan orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu orang tua sendiri, anak, saudara kandung atau keluarga. Mereka itulah yang Allah telah tuliskan keimanan di hatinya dan menguatkannya dengan pertolongan dari-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadap (limpahan rahmat) Allah. Mereka itulah "hizbullah". Ketahuilah, bahwa sesunggguhnya "hizbullah" itulah yang pasti menang." (QS Al Mujadalah:22). Ironinya, justru sekarang, persaudaraan muslim itu sudah ditinggalkan oleh umat Muslim, yang kiniterkoyak-koyak dan terpecah belah dalam berbagai paham nasionalisme sempit, bahkan terkadang sudah bersikap fanatis buta terhadap kelompoknya sendiri. Dalam situasi dimana saudara-saudara kita kaum Muslim Palestina dan Lebanon menjadi mangsa keganasan dan kebiadaban Yahudi Israel saat ini seyogyanya kaum Muslimin kini mampu menyatukan hati dan pikiran untuk melakukan gerakan perlawanan yang efektif dan serius. Kaum Muslim di Indonesia, sudah harus mulai berpikir serius dalam merumuskan srategi perjuangan melawan Yahudi. Sebelum melakukan perlawanan, umat Islam harus tahu persis, di mana posisi-posisi Yahudi di Indonesia. Perusahaan mana saja yang dibiayai Yahudi. iapa saja pendukung-pendukungnya di Indonesia. Bagaimana cara mereka menguasai umat Islam. Semua itu harus dipelajari dan dikaji dengan serius oleh umat Islam, agar tidak salah dalam melangkah dan menyusun program perjuangan; agar tidak sporadis dalam melawan kekuatan Yahudi yang sudah menggurita di berbagai sektor kehidupan: informasi, studi dan pemikiran Islam, keuangan, sampai barang-barang konsumsi rumah tangga. Perjuangan melawan hegemoni Yahudi dan para kroninya adalah perjuangan yang panjang dan membutuhkan keseriusan, ilmu dan kesabaran. Maka, sudah saatnya umat Islam berusaha keras pembangun posisi kemandiriannya, terutama dalam pemikiran, budaya, dan ekonomi. Sangatlah sulit dibayangkan, bagaimana kaum Muslim mau melawan Yahudi, sedangkan untuk air minum saja, umat Islam masih merasa nyaman mereguk air kemasan produk Yahudi. Dan sangatlah mustahil untuk mengalahkan Yahudi dan kroninya, jika untuk pemikiran Islam saja, kampus-kampus berlabel Islam bangga menjiplak pemikiran Yahudi, dan bahkan sejumlah kampus sudah memasukkan metode penafsiran Bibel Yahudi untuk menafsirkan Al-Quran sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir-Hadits. Wallahu a’lam. (Depok, 4 Agustus 2006/hidayatullah.com). Bab VII Juli 7.1. "Menunggu Gempa?" Senin, 31 Juli 2006 Di zaman sekarang, ulama yang berpegang pada ajaran Islam tidak didengar. Fatwa mereka dilawan. Sebaliknya, lahir ulama jahat (ulama su’). Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-155 Sekitar satu setengah tahun lalu, pada 29 Desember 2004, Harian Pikiran Rakyat yang terbit di Bandung menyiarkan sebuah berita berjudul “Gelombang Besar Hantam Pangandaran dan Laut Jawa. Yusuf: "Jabar Selatan Bisa Habis". Ada baiknya berita itu kita simak kembali, setelah kita menyaksikan terjadinya gempa bumi dan tsunami yang menerjang sejumlah daerah di pesisir Jawa Barat Selatan dan beberapa daerah di Jawa Tengah Selatan, pada Selasa, 18 Juli 2006 lalu. Gempa dan tsunami itu menelan korban meninggal lebih dari 500 jiwa. Padahal, ternyata, jauh-jauh sebelumnya, hal itu sudah diperingatkan oleh sejumlah pakar geologi. Dalam berita itu diceritakan, bahwa masyarakat Jawa Barat, khususnya yang berada di jalur Pantai Selatan diminta lebih waspada terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi yang bisa menyebabkan gelombang tsunami. Kewaspadaan ini perlu dilakukan mengingat Jawa Barat termasuk daerah yang rawan gempa, sehingga potensi terjadinya tsunami juga sangat besar. Peringatan tersebut disampaikan Kasi Gerakan Tanah Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Ir. H. Gatot Moch. Soedrajat, M.Sc., dan Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (P3TISDA) BPPT, Dr. Yusuf Surachman Djajadihardja. Menurut Gatot, potensi terjadinya gempa di Jawa Barat karena terdapatnya lempengan tektonik yang memanjang di Samudera Hindia mulai dari Pulau Sumatra, Pulau Jawa, hingga ke Irian Jaya. "Makanya pulau yang terlewati oleh lempengan itu berpotensi terhadap terjadinya gempa tsunami termasuk Pulau Jawa, ya termasuk Jawa Barat bagian selatan ini," katanya di Bandung, Senin (27/12/2004). Namun menurut Gatot, kalaupun terjadi gempa dan tsunami di Jabar Selatan ini tidak terlalu mengkhawatirkan mengingat pantainya terjal dan tidak padat penduduk seperti di pantura. "Mulai dari Sukabumi, Cianjur, Garut, Tasik, Ciamis berpotensi namun tidak erlalu mengkhawatirkan mengingat di wilayah itu pantainya terjal," katanya. Sementara itu, saat jumpa pers tentang penyebab gempa Aceh di BPPT Jakarta, Senin (27/12), Kepala Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (P3TISDA) BPPT, Dr. Yusuf Surachman Djajadihardja mengemukakan, saat dirinya melakukan pemetaan dasar laut (batimetri) pada 2002, ditemukan adanya indikasi atahan Sumatra yang memanjang hingga Laut Hindia sepanjang 300 kilometer. Patahan itu masuk wilayah selatan Jabar, seperti Sukabumi, Ujung Genteng, dan Panaitan (Banten). "Ujung patahan ini belum memotong palung, tapi masih aktif. Jaraknya sekitar 30 kilometer. Topografi dasar laut di sana, terdapat gunung dan lembah. Perbedaan antara gunung dan lembah (palung) sekira 2500 meter. Seandainya ujung patahan itu memotong palung, bisa dibayangkan gunung yang setinggi 2500 meter runtuh. Yang terjadi adalah tsunami yang sangat dahsyat. Jabar selatan bisa habis," kata Yusuf. Untuk mengantisipasinya, ujar sarjana Geofisika dan Meteorologi ITB ini, bisa dipasang radar berfrekuensi tinggi (HF Radar). Radar ini bisa memberikan peringatan dini bila terjadi gempa atau gerakan di bawah tanah dengan radius 400 kilometer. "Jabar harus dilengkapi HF Radar mengingat daerahnya rawan terjadi gempa. Daerah sepanjang Jawa dan Sumatera adalah tempat pertemuan Lempeng Indo-Australia dan Eurasia sehingga potensial terjadi gempa. Sebab pergeseran lempeng itu antara 7,5 - 8,2 sentimeter pertahun," ujar Yusuf. Demikian berita penting dari Harian Pikiran Rakyat sekitar dua tahun lalu, yang perlu kita catat. Bahwa, ternyata sudah ada peringatan dini yang sudah diperkirakan oleh para pakar gempa di Indonesia. Entah mengapa peringatan itu tidak ditindaklanjuti dengan baik oleh Pemda Jabar. Lalu, terjadilah bencana dahsyat berupa gempa dan tsunami yang memakan korban lebih dari 500 jiwa. Dibandingkan dengan gempa Yogya, tentu saja, dampak sosial dari gempa dan tsunami di wilayah Jabar dan Jateng ini masih jauh lebih kecil. Namun, yang menjadi peringatan penting adalah bahwa gempa dan tsunami sudah mulai merambah Pulau Jawa. Meskipun kekuatan tsunami kali ini masih jauh dibandingkan dengan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, secara psikologis, tsunami ini sudah mulai menghentakkan kawasan padat penduduk di Pulau Jawa. Pada Rabu, 19 Juli 2006, penduduk Jakarta juga sudah merasakan gempa yang terjadi di Selat Sunda. Sebagian kalangan kini mempersoalkan, mengapa peringatan dini tentang terjadinya gempa dan stunami tidak diindahkan. Ini baru peringatan manusia. Inilah sikap kebanyakan manusia. Mudah lupa dan tidak peduli dengan masa depannya, karena terjebak hal-hal yang melenakan. Tontonan sepak bola Piala Dunia selama sebulan telah melenakan begitu banyak manusia. Banyak media massa yang lebih asyik menyiarkan hal-hal yang ‘menghibur’ ketimbang mendidik. Tayangantayangan infotainmen dan hiburan di televisi sudah begitu mendominasi aktivitas manusia. Tapi, ini baru pelajaran kecil di dunia. Sebagai Muslim, kita perlu mengambil hikmah tentang semua peristiwa ini. Melalui Al-Quranul Karim, Allah sudah memperingatkan akan datangnya Hari Akhir; akan tibanya satu hari pembalasan; dimana seluruh amal manusia diperhitungkan, ditimbang, dan dimintai pertanggungjawaban. Namun, manusia banyak yang bersikap aneh. Bukannya memperhatikan sungguh-sungguh signal dan peringatan dini dari Allah itu, dan kemudian sibuk menyiapkan masa depannya di akhirat, tetapi justru asyik membangun istana dan mengumpulkan kekayaan di dunia, seolah-olah harta bendanya akan mengekalkan dia di dunia. Banyak yang malas beribadah dan beramal untuk akhirat, padahal itulah tempat tinggal manusia yang abadi. Kita berdoa semoga bencana demi bencana di negeri kita, mampu menyadarkan manusia Indonesia untuk melakukan introspeksi, dan segera bertobat, memperbaiki diri, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Secara akal, manusia harus berusaha keras untuk mencegah atau melakukan upayaupaya untuk meminimalkan jumlah korban yang mungkin ditimbulkan dari satu bencana. Sistem peringatan dini terhadap gempa seyogyanya sudah mulai dipasang untuk daerah-daerah yang rawan tsunami. Inilah kewajiban manusia untuk berikhtiar sesuai dengan ilmu yang mereka miliki. Akan tetapi, disamping itu, manusia, khususnya kaum Muslim, pun diwajibkan untuk melakukan ikhtiar yang lebih. Setiap muslim yakin bahwa apapun yang musibah atau bencana menimpa mereka, tidak akan terjadi kecuali dengan izin Allah SWT. Dalam Al-Quran disebutkan, bahwa (yang artinya): “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan upaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan Barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Hadid:22-24) Hidup di dunia ini adalah semata-mata menjalani ujian demi ujian, baik berupa kesenangan maupun berupa kesedihan. Senang dan susah datang silih berganti. Tidak ada manusia yang selama hidupnya senang terus, atau susah terus-menerus sepanjang hayat. Sesekali tersenyum, tertawa, sesekali juga sedih dan menangis. Saudara-saudara kita yang tertimpa musibah tsunami di Pantai Selatan Jawa kali ini pun menanggung beragam uka, mulai kehilangan sanak saudara sampai dengan harta benda. Setiap datang bencana kita hanya dapat berucap, pasti ini datang dari Allah SWT. Tidak mungkin bencana ini terjadi di luar izin Allah SWT. Kita hanya berusaha mengambil hikmah dari ujian, teguran, atau mungkin hukuman (azab) yang diberikan Allah kepada kita. Manusia seyogyanya sadar bahwa di mana pun dia berada, kematian akan selalu mengintai. Sungguh menyedihkan jika berbagai peringatan tentang akan datangnya sunami di Pantai Selatan Jawa itu sudah disampaikan jauh sebelumnya, masih ada manusia-manusia yang mengumbar maksiat di lokasi-lokasi tersebut. Kita sungguh tidak habis pikir, bagaimana manusia bisa begitu berani melawan Allah yang menciptakan mereka dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Setelah mendapatkan peringatan dini tentang tsunami tersebut, penduduk Pulau Jawa – termasuk Jakarta – harusnya semakin mendekatkan diri kepada Allah, dan tidak lagi bermain-main dengan dosa dan maksiat. Baru-baru ini kita dibuat tercengang, bagaimana media massa di Indonesia dengan gegap gempita menyiarkan satu acara Kontes Waria di Jakarta Timur, yang dihadiri seorang mantan Presiden RI yang biasa dipanggil kyai haji. Untuk apa kontes semacam itu diadakan? Lihatlah di berbagai stasiun TV saat ini, betapa banyak perilaku-perilaku yang mempermainkan batas-batas larangan Allah. Wanita-wanita begitu banyak yang berlagak seperti laki-laki, sedangkan laki-laki juga bergaya dan berpakaian seperti wanita. Padahal perilaku seperti itu jelasjelas dilarang Rasulullah saw. Allah melarang manusia mendekati zina, tetapi promosi pergaulan bebas dan pengumbaran aurat wanita menjadi semakin liar. Di masa lalu, masih banyak yang protes terhadap pengiriman wakil Indonesia ke Kontes Miss Universe. Tahun ini, pengiriman putri Indonesia ke ajang ratu sejagad itu seperti sudah dianggap hal biasa. Yang protes terhadap masalah itu akan dipojokkan habis-habisan oleh banyak media massa di sini. Rasulullah SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim). Dalam soal homoseksual, Allah sudah memperingatkan: “Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: "Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang Amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu". (QS al-Ankabut:28). Rasulullah saw juga memperingatkan: “Barangsiapa yang kalian dapati sedang melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku dan pasangannya.” (HR Ahmad). Di zaman seperti ini, para ulama yang masih berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam, akan menghadapi tugas yang makin berat. Ucapan mereka tidak didengar. Fatwa mereka dikecam, dicap sebagai fatwa kuno, ketinggalan zaman, dan sebagainya. Yang lebih berat, diantara yang mengecam para ulama itu juga dari kalangan ulama jahat (ulama su’), yang sudah memperjualbelikan agama dengan harta benda dunia. Atau ulama-ulama ulama yang keliru ilmunya, tetapi sudah terlanjur diberi gelar ulama atau cendekiawan, dan tak jarang juga berposisi sebagai pemimpin atau tokoh satu organisasi atau lembaga pendidikan tinggi, sehingga mereka bukannya mengajarkan ilmu yang benar, tetapi justru menyebarkan ilmu-ilmu yang salah untuk menyesatkan manusia. Yang baik dikatakan buruk; yang buruk dipromosikan sebagai kebaikan. Para ulama yang baik, para ulama pewaris Nabi, tentu saja tidak boleh menyerah dan melemah dalam semangat dakwah dan beramar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka harus tetap giat mengingatkan masyarakat agar tetap berpegang kepada ajaran-ajaran Allah, bagaimana pun beratnya. Mereka tidak boleh berputus asa. Sebab, adanya aktivitas amar makruf nahi munkar itu dapat menjauhkan masyarakat dari bencana. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, bab Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Imam Ghazali mengutip satu hadits Rasulullah saw: “Tidaklah dari suatu kaum yang berbuat maksiat dan di kalangan mereka da orang yang mampu mencegah atas mereka, lalu dia tidak melakukannya, melainkan hampir-hampir Allah meratakan mereka dengan azab dari sisiNya.” (HR Abu awud, Tirmidzi, dan Ibn Majah). Selain melakukan berbagai ikhtiar ilmiah, untuk menghindarkan diri dari bencana, kita juga diajarkan untuk berdoa kepada Allah SWT dan banyak-banyak bershadaqah. Kita harus berusaha keras memberantas kemusyrikan dan kezaliman. Sudah saatnya kita berdoa dengan sungguhsungguh, pagi, siang dan malam, agar kita terhindar dari bencana dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang shalih. Amin. (Depok, 28 Juli 2006). 7.2. Ada Apa dengan Syafii Maarif ? Senin, 17 Juli 2006 Dalam berbagai tulisannya, ia memposisikan sebagai ‘Bapak Bangsa’. Namun, sebagaian justru banyak dianggap menyakiti kelompok Islam yang lain . Baca Catatan Akhir Pekan Adian ke-154 Dalam rapat pimpinan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Rabu (12/7/2006) lalu, Ketua Umum DDII Hussein Umar tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya terhadap tulisan Syafii Maarif di Harian Republika sehari sebelumnya. Tulisan Syafii dalam kolom Resonansi itu berjudul ‘Demi Keutuhan Bangsa’. Seperti biasa, Syafii Maarif memposisikan sebagai ‘Bapak Bangsa’ yang sangat peduli dengan keutuhan bangsa Indonesia. Ia menempatkan dirinya sebagai ‘penyelamat bangsa’. Tentu saja, posisi itu ideal. Tapi, sayangnya, pada saat itulah, Syafii lupa, bahwa pada berbagai bagian tulisannya, dia justru telah menyinggung banyak kalangan, yang ironisnya adalah sahabatsahabat dekatnya sendiri, dari kalangan kaum Muslim. Bahasa yang digunakan Syafii pun bukan bahasa yang arif, yang menunjukkan kedewasaan seorang Profesor yang usianya sudah mencapai 70 tahun lebih, tetapi justru bahasa yang bernada pelecehan dan kasar. Banyak kalangan belum lupa, bagaimana Syafii Maarif meluncurkan istilah ‘preman berjubah’ untuk menunjuk kelompok yang tidak disukainya. Dalam tulisannya di Republika kali ini, dia pun menggunakan istilah-istilah ‘peyoratif’ yang kasar yang bernada memperhinakan kalangan-kalangan yang memperjuangkan tegaknya syariat Islam. Misalnya, dia gunakan istilah-istilah ‘’otak-otak sederhana’’, ‘’kedunguan’’, ‘’kebahlulan’’, dan sebagainya. Istilah-istilah seperti itu harusnya dihindari oleh seorang Profesor yang sudah begitu kenyang makan asam garam dalam dunia pergerakan di Muhammadiyah. Apalagi, logika dan argumentasi Syafii Maarif dalam tulisannya itu juga banyak yang tidak tepat dan keliru. Marilah kita simak cara berpikir Syafii Maarif. Secara umum, tulisan Syafii Maarif itu mencoba membenturkan antara upaya penerapan syariat Islam secara legal formal dengan keutuhan bangsa Indonesia. Syafii menulis, bahwa “Keinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali.” Cobalah kita simak baik-baik ungkapan Syafii Maarif tersebut. Betapa keliru dan berbahayanya logika berpikir semacam itu. Logika ini juga aneh, ahistoris, dan sama dengan logika kaum misionaris Kristen yang aktif di Partai Damai Sejahtera (PDS) yang menggugat peberlakuan perdaperda yang bernuansa syariah. Orang seperti Syafii, aktivis PDS, dan sejenisnya telah terjebak ke dalam logika yang keliru, bahwa syariat Islam adalah hukum-hukum yang sifatnya lokal, temporal, dan hanya berlaku untuk satu golongan tertentu. Sebaliknya, mereka berpikir, bahwa hukum-hukum kolonial Belanda dan hukum-hukum Barat lain adalah berlaku universal untuk seluruh umat manusia. Karena itulah, Syafii Maarif tidak menyoal pemberlakuan hukum kolonial, dan tidak menyatakannya bertentangan dengan integrasi bangsa Indonesia. Sebaliknya, perda Syariat Islam dikatakannya dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini sangat berbahaya. Bukanlah logika semacam ini sangat keliru. Bukankah Rasulullah saw diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Apakah bukan sesuatu yang paradoks, jika seorang yang mengaku Muslim tetapi justru menyatakan syariat Nabi Muhammad adalah ancaman bagi integrasi bangsa? Dalam kasus Indonesia, hukum Islam sudah diberlakukan di kepulauan Nusantara, beratus-ratus tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda. Sebagai contoh, pada tahun 1628, Nuruddin ar-Raniri menulis Kitab Shirathal Mustaqim, yang merupakan kitab hukum pertama yang disebarkan ke seluruh Nusantara untuk menjadi pegangan umat Islam. Oleh Syekh Arsyad Banjar, kitab itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dalam sebuah Kitab berjudul Sabilul Muhtadin, serta dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa di daerah Kesultanan Banjar. Di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan pula beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan masalah hidup dan kehidupan mereka. Hukum Islam diikuti pula oleh pemeluk Islam di wilayah-wilayah Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Ngampel, Mataram, dan juga Mataram. Ini dapat dibuktikan dari karya para pujangga yang hidup pada masa itu, seperti Sajinatul Hukum. Dengan fakta-fakta tersebut, Prof. Muhammad Daud Ali, guru besar hukum Islam di Universitas Indonesia, menyimpulkan, bahwa “sebelum Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam mempunyai kedudukan sendiri di dalam masyarakat. Sebagai hukum yang berdiri sendiri, hukum Islam telah ada dan berlaku di dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang disamping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami Nusantara ini.” (Lihat, Muhammad Daud Ali, ‘Hukum Islam: Peradilan Agama dan Masalahnya’, dalam Juhaya S. Praja dkk, Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Rosdakarya, 1994), hal. 69-70. Sebagai orang yang dihormati di berbagai kalangan, Syafii Maarif harusnya menjelaskan faktafakta sejarah tentang hukum Islam itu kepada kalangan non-Muslim dan orang-orang yang ketakutan terhadap syariah Islam; agar mereka paham dan tidak salah paham terhadap syariah Islam; bukannya malah menambah-nambah rasa ‘syariah-fobia’ di kalangan non-Muslim. Sebab, syariah Islam memang bukan untuk menakut-nakuti. Selain itu, harusnya Syafii Maarif mempertegas pemikirannya, pada bagian mana dari syariat Islam yang dia tidak setujui. Dia tidak perlu menyatakan, bahwa perda syariat bertentangan denan integrasi bangsa. Bagaimana mungkin pikiran seperti itu bisa hinggap pada benak seorang Profesor, sedangkan di Indonesia sudah begitu banyak hukum yang secara tegas merupakan pelaksanaan syariat Islam, seperti Bank Syariat, Asuransi Syariat, Reksadana Syariat, hukum perkawinan syariat, dan sebagainya. Jika meninggal dunia pun, tentu Syafii Maarif maunya dimakamkan secara syariat Islam, bukan secara hukum Amerika. Dan perda yang mengatur cara pemakaman dan perkawinan secara syariat Islam pasti tidak membahayakan integrasi bangsa, bukan? Syafii memang ingin, agar perda anti maksiat diperjuangkan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama. Syafii boleh saja berpendapat seperti itu. Tetapi, dia harusnya menghormati aspirasi kaum Muslim yang ingin pelaksanaan perda itu ditegaskan dalam format yang tegas. Jika mengaku demokrat, Syafii pun harus menghormati aspirasi semacam itu, dan jangan mencemooh dengan kata-kata ‘dungu’, ‘bahlul’, dan sebagainya. Dia harus berbesar hati menerima realitas bangsa yang plural dan bermacam-macam aspirasinya. Jika ingin diakui sebagai negarawan besar, harusnya Syafii mampu membaca realitas itu. Jangan aspirasi kaum PDS Kristen dia telan, sedangkan aspirasi kaum Muslim dia lecehkan dan dia perhinakan. Sayang, melalui kolomnya di Republika itu, Syafii Maarif justru memperhinakan dan mengecilkan dirinya sendiri. Meskipun dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah, dan pernah memimpin Muhammadiyah, Syafii Maarif bukanlah seorang pakar di bidang syariat Islam. Dia belum pernah menulis buku yang serius tentang itu. Dia memang guru besar sejarah, khususnya sejarah perpolitikan Islam di Indonesia. Karena itu, pendapat-pendapatnya tentang syariat Islam seringkali tidak sepenuhnya benar. Di dalam tulisannya itu pun Syafii membuat pernyataan yang sangat lemah argumentasinya. Sebagai contoh, dia tulis, ‘’Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu ?’’ Pernyataan Syafii Maarif ini terlalu gegabah bagi seorang bergelar professor. Hukum-hukum tentang zina, judi, jilbab, haji, shalat, zakat, puasa, dan sebagainya, sudah diberlakukan sejak zaman Nabi Muhammad saw. Para ulama berikutnya hanyalah melakukan sistematisasi dan melakukan ijtihad terhadap masalah-masalah baru yang muncul di tengah masyarakat, dan bukan membuat syariah baru, yang berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. Jika yang dimaksud Syafii adalah kitab-kitab fiqih karya para ulama, maka itu pun sangat keliru. Sebab, kegemilangan ilmu fiqih telah dicapai di masa imam-imam Mazhab. Para Imam mazahab itu hidup di awal-awal sejarah Islam. Imam Abu Hanifah lahir tahun 699 M; Imam Maliki tahun 712 M; Imam Syafii tahun 767 M; dan Imam Ahmad bin Hanbal lahir tahun 780 M. Jika Newton merumuskan teori gravitasi bukan berarti Newton yang menciptakan hukum gravitasi. Jika para ulama mazhab menggali dan merumuskan syariah Islam dalam kitabnya, dengan merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, bukan berarti ulama-ulama itu yang menciptakan hukum. Hukum itu tetap hukum Allah, sebagaimana hukum gravitasi. Para Imam itulah yang kemudian menjadi rujukan umat Islam di berbagai dunia, tidak pandang waktu dan tempat. Karena sifatnya yang universal untuk manusia, hukum Islam tidak memandang waktu, tempat, dan budaya. Khamr adalah haram untuk seluruh manusia, dimana pun dan kapan pun. Zina adalah haram, apakah untuk orang Yogya atau orang Arab. Zakat diwajibkan untuk seluruh Muslim di tempat mana pun dan kapan pun. Judi diharamkan untuk semua manusia. Seluruh ulama sepakat bahwa babi adalah haram, tidak pandang waktu dan tempat; tidak pandang, apakah di tempatnya banyak ternak babi atau ternak kambing. Riba diharamkan untuk semua manusia dan semua tempat. Menutup aurat diwajibkan untuk semua wanita Muslimah, tidak peduli, dimana pun dia berada; apakah di Yogya tempat tinggal Syafii Maarif atau di Amerika tempat tinggal Madonna. Jadi, sangatlah sembarangan, jika Syafii Maarif menyatakan, bahwa syariah senantiasa terikat dengan ruang dan waktu. Tentu saja dalam pelaksanaan hukum ada perbedaan model dan gaya. Bisa saja model jilbab di Arab Saudi berbeda dengan di Bandung. Tetapi, semuanya wajib menutup seluruh aurat wanita, kecuali muka dan telapak tangan. Bisa saja merk khamr berbeda, antara vodka di Rusia dengan minuman Arak cap anjing di Indonesia. Tapi, semuanya adalah khamr dan hukumnya haram. Semuanya adalah syariah Islam, syariah yang satu. Umat Islam tidak pernah mengenal istilah syariah Arab, syariah Iran, syariah Pakistan, syariah Jawa, syariah Batak, syariah Padang, syariah India, syariah Papua, dan sebagainya. Juga, sejarah Islam sebenarnya tidak mengenal istilah “abad pertengahan” sebagaimana dalam sejarah Barat. Bagi Barat, abad pertengahan adalah identik dengan “zaman kemunduran” dan “zaman kegelapan” (the dark ages). Jika Syafii Maarif menelaah dengan jeli sejarah Islam dan membandingkannya dengan sejarah Barat, maka tidak seharusnya dia mengikuti periodisasi sejarah sebagaimana yang dialami peradaban Barat. Ketika Barat berada dalam zaman kegelapannya, di abad pertengahan, justru kaum Muslim sedang berada dalam puncak-puncak ketinggian prestasi peradabannya. Ketika itulah, kaum Muslim memegang kendali dunia. Maka, istilah “abad pertengahan” dengan konotasi kemunduran seperti yang dialami peradaban Barat, tidak sepatutnya digunakan untuk sejarah umat Islam. Sebagai professor sejarah, Syafii Maarif harusnya memahami masalah ini. Akan tetapi, di tengah berbagai kekeliruan dalam pola pikir Syafii Maarif, kita perlu memberikan apresiasi terhadap niatnya untuk membela Islam. Syafii tampak berbeda dengan orang seperti Dawam Rahardjo yang sudah tegas-tegas memposisikan dirinya sendiri di mana berada. Syafii dikenal sebagai orang yang hidup sederhana dan cukup tegas dalam masalah moralitas. Sayangnya, dia banyak keliru dalam masalah pemikiran Islam. Satu hal yang perlu kita perhatikan dari kritik positif Syafii Maarif adalah seruannya agar orang-orang yang memperjuangkan syariah Islam benar-benar serius, bukan semata-mata untuk kepentingan isu politik sesaat. Dalam hal ini, kita tentu setuju, bahwa para penyeru syariah Islam seyogyanya menerapkannya untuk diri sendiri dan kelompoknya terlebih dahulu. Selain itu, Syafii juga benar, bahwa penerapan syariah memanglah sesuatu yang panjang dan komplek. Aspek legalitas syariah dalam bentuk hukum positif adalah salah satu aspek saja dari suksesnya penegakan syariah. Masih diperlukan unsurunsur lain yang mendukungnya, seperti aparat hukum yang baik, sistem peradilan yang baik, dan juga kesiapan masyarakat dalam menerima hukum Islam. Semua aspek itu harus dikerjakan secara simultan. Kita memang heran, mengapa Syafii Maarif begitu sinis terhadap penerapan Syariah? Ada apa sebenarnya dengan Syafii Maarif? Tapi, kita doakan saja, semoga Professor Doktor Syafii Maarif – meskipun di usianya yang senja – bersedia ngaji lagi dengan baik kepada orang yang benar-benar ulama, agar tidak keliru cara berpikirnya dalam memandang Islam. Wallahu a’lam. (Depok, 13 Juli 2006/hidayatullah.com). 7.3. "Harapan Dari Garut" Rabu, 12 Juli 2006 Pesantren harus menjadi benteng keilmuan Islam yang tangguh, yang melahirkan orang-orang yang alim dan beramal shalih. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-153 Pada tanggal 3-5 Juli 2006 saya berada di Kota Garut, sebuah kota yang indah di Propinsi Jawa Barat. Kota yang terkenal dengan ‘dodolnya’ ini terbilang kaya dengan potensi alam. Sumber daya alam berupa gas, emas, dan air panas banyak ditemukan. Keindahan alamnya juga sangat luar biasa. Akhir-akhir ini kota Garut tercoreng namanya gara-gara skandal Ujian Akhir Nasional yang direkayasa oleh pejabat pemerintah setempat. Kota ini juga dikenal sebagai ‘kota santri’, dengan banyaknya pesantren dan sekolah Islam. Sayangnya, di tengah kekayaan sumber daya alamnya, Kota Garut dikenal sebagai salah satu dari tiga kota termiskin di Jawa Barat. Salah satu Ormas Islam yang memiliki basis kuat di kota ini adalah Persatuan Islam (Persis), yang memiliki puluhan pondok pesantren di Garut. Dalam satu acara pelepasan santri Muallimin di Pesantren Bentar, satu pesantren Persis yang tertua di Garut, pada 4 Juli 2006, sang kyai dari pesantren itu menekankan pentingnya para santri untuk tetap memegang teguh ilmu yang sudah dipelajarinya, tetap menghormati para ustad, dan aktif dalam berdakwah Islam. Ia menceritakan berbagai kondisi sulit yang dihadapi pesantren di tengah tantangan zaman saat ini. Pada satu sisi, pesantren berkeinginan mempertahankan jati dirinya sebagai lembaga perkaderan ulama yang menekankan kegiatan ‘tafaqquh fid din”. Tetapi, pada sisi lain, tekanan-tekanan situasi dan birokrasi menyebabkan pesantren harus berkompromi dengan sistem pendidikan yang tidak mengarahkan pada tafaqquh fid-din. Untuk menjembatani hal itu, Pimpinan Daerah Persis Garut telah membangun satu Ma’had ‘Aly, yang mengkader calon-calon dai dan ustad yang benar-benar bersedia mendalami ilmu-ilmu agama (Ulumuddin). Dalam acara dialog dengan para ustad dan pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya menyampaikan pentingnya kalangan pesantren mempertahankan dan meningkatkan tradisi keilmuan, dengan cara menghargai ilmu dan ulama. Jangan harapkan ulama bisa dihargai jika mereka sendiri tidak menghargai ilmu dan tidak menghormati dirinya sendiri. “Ketua Persis Garut tidak boleh merasa lebih rendah derajatnya dari pada Bupati Garut. Jangan sampai ada pikiran bahwa jika ketua Persis Garut menjadi Bupati Garut, berarti dia naik derajat.’’ Ketua Persis Garut, Ustad Mamat Abdurrahman, memang dikenal gigih dalam mengembangkan dakwah dan pendidikan Islam di kotanya. Posisi ulama ini sangat penting untuk ditekankan, sebab tidak sedikit yang berpendapat, bahwa menjadi umara adalah prestasi tertinggi dalam perjuangan dakwah Islam. Ada pendapat bahwa menjadi ketua NU atau Ketua Muhammadiyah lebih rendah derajatnya dibanding menjadi Presiden Indonesia. Menjadi Menteri Agama dipandang lebih tinggi derajatnya ketimbang menjadi ketua Pondok Pesantren. Tentu saja, pikiran itu tidak benar. Menjadi pemimpin organisasi Islam bukanlah hal yang ringan dan lebih rendah martabatnya ketimbang menjadi menteri atau Presiden sekalipun. Menjadi seorang guru ngaji di TK tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan martabat anggota DPR atau DPRD. Martabat ulama inilah yang seharusnya dijaga dan dipelihara oleh kaum Muslim. Menjadi umara yang baik adalah satu kewajiban. Tetapi menjadi ulama yang baik juga satu keharusan. Umara haruslah seorang yang berilmu dan beramal shalih. Tetapi, menjadi ulama lebih-lebih lagi dituntut berilmu dan beramal shalih. Ulama adalah pewaris nabi. Di tangan merekalah kita berharap agama Islam dapat dijaga dan dipertahankan. Di pundak para ulama itulah, terletak amanat perjuangan Islam yang tertinggi. Dengan dukungan umara yang baik, maka perjuangan Islam akan lebih efektif. Karena itu, pengkhianatan terhadap ilmu dipandang sebagai pengkhianatan yang terbesar dalam pandangan Islam. Dalam bukunya, Ar-Rasul wal-‘Ilm, (Di-Indonesiakan oleh Amir Hamzah Fachrudin dkk., 1994) -- Dr. Yusuf Qaradhawi mengutip satu hadits Rasulullah saw : ‘’Hendaklah kalian saling menasehati dalam ilmu. Sesungguhnya pengkhianatan seseorang terhadap ilmunya lebih berbahaya daripada pengkhianatannya terhadap hartanya. Dan sesungguhnya Allah akan menanyai kalian semua pada hari kiamatnanti.’’ (HR ath-Thabrani). Menurut Qaradhawi, hadits itu memberi makna, bahwa pengkhianatan terhadap harta – walaupun dalam jumlah yang besar– akibat buruknya terbatas. Lain dengan pengkhianatan terhadap ilmu yang akibatnya akan menghancurkan semua lapisan masyarakat. Istilah Prof. Naquib al-Attas, kerusakan ilmu disebut juga sebagai ‘’corruption of knowledge’’. Korupsi ilmu adalah jauh lebih dahsyat akibatnya dibandingkan dengan korupsi harta. Kita tahu, bagaimana kerasnya Rasulullah saw dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku korupsi harta. Beliau saw pernah tidak mau menyalatkan jenazah seorang yang meninggal di medan jihad, gara-gara orang itu berlaku curang dalam soal harta rampasan perang. Dalam soal ilmu, Islam menerapkan hal yang lebih keras lagi. Pelakunya bisa terkana kategori ‘riddah’ (murtad) dan akan mendapatkan ‘dosa jariyah’ akibat mengajarkan ilmu yang salah atau ilmu yang sesat. Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang di dalam Islam mengerjakan amal yang baik maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala orang yang beramal dengannya sesudahnya, tanpa dikurangi pahalanya sedikitpun. Dan barangsiapa yang beramal buruk, maka dia akan mendapatkan dosa dan dosa orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa dikurangi dosanya sedikitpun.” (HR Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad). Demikianlah peringatan Rasulullah saw. Jadi, kita perlu sangat berhati-hati dalam masalah ilmu. Jika ilmu itu benar, diamalkan, dan diajarkan, maka di pemilik ilmu akan mendapatkan pahala yang ‘jariyah’ (mengalir), meskipun dia sudah meninggal. Sebaliknya, jika ilmunya salah, dan diajarkan kepada banyak orang, maka dia akan mendapatkan dosa yang terus-menerus dari orang yang menerima ilmunya. Karena itulah, kita bisa memahami, bahwa pengkhianatan dalam masalah ilmu adalah lebih besar nilai kejahatannya dibandingkan dengan pengkhianatan masalah harta. Lembaga Islam, pesantren-pesantren, sekolah-sekolah, dan perguruan tinggi Islam –apalagi yang jelas-jelas membawa label Islam dan mengaku lembaga Islam– harusnya memperhatikan peringatan Rasulullah saw dalam masalah ilmu. Lembaga-lembaga itu harus menjadikan masalah ilmu sebagai hal yang mendasar dan mendapatkan prioritas pertama. Tidak boleh bermain-main dan memandang enteng masalah ini. Ormas-ormas Islam dan partai-partai Islam pun sudah seyogyanya menjadikan masalah ilmu ini sebagai hal yang utama dan pertama. Jangan sampai partai-partai Islam atau Ormas Islamjustru menjadi ujung tombak penyebar ilmu yang salah. Kepada para pimpinan pesantren di lingkungan Persis Garut, saya menyampaikan harapan itu ; agar pondok pesantren mereka benar-benar menjadi benteng keilmuan Islam yang tangguh, yang melahirkan orang-orang yang alim dan beramal shalih. Harapan ini sangatlah penting, mengingat saat ini, ada fenomena umum yang menganggap enteng masalah kerusakan ilmu di lingkungan perguruan tinggi Islam. Ilmu perbandingan agama dirusak dengan cara menyebarkan paham relativisme kebenaran dan relativisme iman. Metode studi Islam dirusak dengan mengadopsi metode orientalis Barat yang tidak menjadikan asas kebenaran dan keimanan Islam sebagai pijakan dan tujuan dalam studi agama. Kaum orientalis non-Muslim memang mempelajari Islam bukan untuk beriman kepada Islam, bukan untuk meyakini kebenaran Islam, dan bukan untuk mengamalkan ajaran Islam. Ini harusnya berbeda dengan tujuan dan fungsi ilmu dalam Islam, yang harus membawa kepada ketaqwaan dan kedekatan kepada Allah. Dalam satu diskusi di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Ciputat, Juni lalu, saya katakan, bahwa saat ini sedang dikembangkan satu metode studi agama yang berpijak pada epistemologi keraguan dan kebingungan, sehingga akan melahirkan para sarjana agama yang bingung alias golongan bingung (golbin). Akibatnya, banyak yang belajar agama, justru hasilnya tidak meyakini kebenaran agamanya. Sebaliknya, dia malah ragu dengan agamanya sendiri. Tidak heran, jika banyak yang belajar ushuluddin, tetapi malah tidak yakin dengan dasar-dasar agamanya. Banyak yang belajar syariat, tetapi justru bersikap menentang atau tidak bersemangat menerapkan syariat Islam. Banyak yang belajar ilmu dakwah di Fakultas Dakwah, tetapi justru tidak menjalankan aktivitas dakwah. Tidak sedikit mahasiswa kampus Islam yang secara terus terang menyatakan keraguannya akan kebenaran Islam. Banyak juga yang mengaku tidak bersemangat lagi mengerjakan shalat lima waktu. Mengapa? Karena semua itu berawal dari niat yang salah dan metode belajar Islam yang salah. Ironisnya, banyak yang kini bangga dalam kesalahan, dan aktif menyebarkan kesalahan. Salah satu fenomena yang mencolok mata adalah diwajibkannya mata kuliah hermeneutika bagi mahasiswa Tafsir Hadits di berbagai Perguruan Tinggi Islam. Banyak dosen dan ulama yang cuek dan tidak peduli dengan masalah ini. Mungkin karena tidak paham sama sekali tentang masalah hermeneutika ; atau mungkin juga karena setuju dengan gagasan hermeneutika sebagai pengganti ilmu tafsir. Banyak orang tidak memandang penting kasus dosen IAIN Surabaya yang menginjak lafaz Allah dengan sengaja. Padahal, cara pandang seperti itu – bahwa Al-Quran adalah produk budaya -sudah dianut oleh banyak dosen UIN/IAIN dan sudah diajarkan kepada ribuan mahasiswa. Petinggi-petinggi Departemen Agama dan kampus-kampus berlabel Islam masih banyak yang merasa nyaman dan tenang-tenang saja dengan fenomena kerusakan ilmu yang meluas dan berlangsung terus-menerus. Kasus buku “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” karya Prof.Harun Nasution bisa dilihat sebagai satu contoh. Buku yang mengandung begitu banyak kekeliruan ini sudah dijadikan bacaan wajib bagi studi Islam di Perguruan Tinggi Islam selama 33 tahun. Bayangkan, selama 33 tahun, ratusan ribu mahasiswa dicekoki dengan ilmu yang keliru tentang Islam. Mereka sekarang ada yang menjadi pejabat pemerintah, profesor, rektor, dekan, guru agama, hakim-hakim agama, dan sebagainya. Kemungkaran dan pengkhianatan dalam ilmu-ilmu agama inilah yang seyogyanya menjadi prioritas penting dalam program dakwah lembaga-lembaga Islam. Ormas Islam, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan sebagainya, seyogyanya menjadikan masalah ini sebagai program pokok. Ormas-ormas Islam jangan sampai hanya menyibukkan diri dalam soal-soal pilkada atau merespon isu-isu kontemporer, tanpa menyadari bahaya besar akibat pengkhianatan ilmu. Kepada para alumni Pesantren Bentar di Garut, saya tunjukkan sejumlah contoh buku-buku yang ditulis akademisi di berbagai kampus berlabel Islam, yang isinya merusak keilmuan Islam. Kita berharap, para alumni pesantren yang akan melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi, dapat membentengi dirinya dari perusakan ilmu yang dilakukan sejumlah dosen, yang sudah tercemar dan rusak pemikirannya. Kita berharap, para alumni pesantren itu tidak mudah tergoda dengan ‘iming-iming duniawi’ yang mungkin ditawarkan jika nanti mereka bersedia menjadi agen penyebar virus ‘sipilis’ (sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme) di Indonesia. Hingga kini, kita belum bisa berbuat banyak. Kita belum punya kampus Islam yang benar-benar ideal, yang mengaplikasikan konsep ilmu dalam Islam secara total. Kita terpaksa masih melepaskan santri-santri dan anak didik kita ke kampus-kampus yang di sana masih bercokol sejumlah dosen yang mengajarkan pikiran dan amal yang buruk. Ada dosen ushuluddin yang sudah berpuluh tahun menyebarkan paham yang keliru tentang perkawinan antar-agama, dan bahkan menjadi penghulu swasta untuk perkawinan bathil semacam itu. Ironisnya, selama puluhan tahun itu, pimpinan Departemen Agama dan para petinggi kampus tersebut tetap tenang-tenang saja, membiarkan semua kebejatan itu berlangsung. Kita perlu mengingatkan kepada para dosen dan pejabat yang berwenang itu, bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT, tentang apa yang sudah menjadi amanah dan tanggung jawabnya. Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan bergerak kaki manusia pada Hari Kiamat, sampai mereka ditanyai tentang empat perkara: (1) Tentang umurnya, untuk apa ia gunakan, (2) tentang masa mudanya, untuk apa dia habiskan, (3) tentang hartanya, darimana dia dapatkan dan untuk apa ia gunakan, (4) tentang ilmunya, apa yang ia amalkan.” (HR Al-Bazzar dan athThabrani). Waallahu a’lam. (Jakarta, 7 Juli 2006/hidayatullah.co,). Bab VIII April 2006 8.1. “Sikap Kaum Hindu terhadap Islam” Minggu, 16 April 2006 Sebuah majalah Hindu Bali mencurigai Islam lewat RUU APP. Sebelum Bali menolak RUU itu, 'para provokator' sudah datang ke pulau itu. Baca Catatan Akhir Pekan (CAP) Adian Husaini ke144 Beberapa hari lalu, saya mendapatkan kiriman sebuah majalah bernama “Majalah Hindu RADITYA”. Pada edisi April 2006, majalah Hindu ini menurunkan tulisan-tulisan yang sangat keras dan tajam dalam menentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Sampul depan RADITYA dihiasi dengan tulisan-tulisan yang menusuk: “AWAS TALIBAN DATANG LEWAT RUU PORNO”. Majalah ini dibuka dengan tulisan Editorial berjudul “Tolak RUU Porno” yang ditulis oleh Putu Setia, seorang wartawan Hindu. Putu menguraikan, bahwa porno itu ada dalam pikiran, dan bukan pada objeknya. Porno juga tidak sama dengan telanjang. Putu Setia menulis: “Seorang wanita mendandani tubuhnya dengan mulus, dia tidak pernah bermaksud porno, tetapi pikiran lelaki yang melihatnya itu yang porno. Kenapa harus wanita yang dipersalahkan?... Turis berbusana amat minim berjemur di Pantai Kuta. Kenapa harus dilarang memperlihatkan bagianbagian tubuhnya? Orang Bali di pedesaan juga masih mandi di pancuran umum, atau di kali dengan telanjang. Konsentrasinya pada mandi, bukan untuk menarik perhatian orang. Salah para lelaki kalau mau melirik dan lebih salah lagi kalau melontarkan tuduhan: porno. Ketelanjangan ini yang disamakan dengan pornografi oleh penyusun RUU APP. Jelas salah besar, karena porno dan tidaknya tergantung bagaimana posisi pikiran pada saat itu. Kalau pikiran sudah diset ke porno, wanita dibungkus bak pocong pun akan membangkitkan birahi. Kalau busana yang tertutup itu dilepaskan dan wanita itu ternyata kurus, kudisan, panuan, apa itu masih merangsang birahi?” Pola pikir Putu Setia itu memang khas cara pandang sekular-liberal, dan jelas sangat keliru dan fatal. Sebab, dengan begitu, maka tidak perlu ada regulasi atau aturan apa pun terhadap objek seni atau tontonan. Lalu, untuk apa ada aturan-aturan tertentu terhadap objek seni? Untuk apa ada larangan adegan telanjang di TV? Untuk apa para artis diwajibkan pakai baju jika tampil di TV ? Bukankah menurut Putu Setia, porno itu ada pada pikiran penonton, dan bukan pada objek ? Jika ada anak Hindu bermain-main dengan turis-turis telanjang di Kuta dan terangsang birahinya, maka yang salah bukanlah ketelanjangan si turis, tetapi pikiran si anak itu yang porno. Jadi anaknya yang salah karena berpikiran porno, bukan turis yang telanjang itu yang salah. Apakah logika Putu Setia semacam itu masuk akal ? Jelas tidak !Jelas salah !Tetapi, sayangnya, Majalah Hindu RADITYA memang sedang tidak berlogika sehat, melainkan membangun semangat kebencian dan kecurigaan berlebihan terhadap Islam. Putu Setia menulis : “Saya tetap menolak RUU APP ini meskipun sudah direvisi.” Sikapnya hanya satu: TOLAK ! Tidak ada tawar menawar. Bahkan, sekali pun, Bali dikecualikan dalam RUU APP ini, Putu tetap menolak. Jadi, katanya, “Penolakan saya dan seluruh masyarakat Bali sudah harga mati. Kembalikan saja draf RUU APP ini kepada anggota Komisi VIII DPR untuk disimpan dengan ucapan terimakasih.Jangan dibahas lagi.” Pendapat seperti ini sudah banyak dikemukakan di media massa. Tetapi, majalah RADITYA mengangkatnya menjadi pendapat dan sikap resmi kaum Hindu di Indonesia.Mereka tidak peduli sama sekali dengan keresahan umat Islam tentang bahaya merebaknya pornografi bagi anak-anak Muslim, yang mayoritas di negara ini. Sikap mereka tegas, tanpa kompromi. Tidak ada tawarmenawar. Pokoknya, Tolak! Titik. Sebuah tulisan lain dalam Majalah ini berjudul “WASPADAI REZIM TALIBAN DI BALIK RUU ANTI PORNOGRAFI’’. Di sini dikutip ungkapan Anand Krishna yang menyatakan adanya konspirasi asing yang tengah menghimpun kekuatan untuk menghancurkan Indonesia. Termasuk di dalamnya adalah RUU APP, yang kata Anand Krishna, hanyalah kekuatan pemecah belah bangsa. Menurut Anand, RUU APP mewakili satu kepentingan budaya luar, budaya fundamentalis Taliban. “Awalnya memang lunak, tidak boleh ini-tidak boleh itu, terus ada denda, tapi lama kelamaan akan berakhir seperti di Afghanistan. Perempuan tidak boleh sekolah, bekerja dan keluar rumah. Hasilnya apa? Afghanistan hancur dalam sekejap,” kata Anand disambut tepuk tangan gemuruh ratusan peserta yang hadir di Universitas Udayana waktu itu. Membaca Majalah Hindu RADITYA ini, kita tahu, bahwa para provokator sudah datang terlebih dahulu ke Bali untuk memanas-manasi masyarakat Bali agar bersikap keras dan tanpa kompromi terhadap RUU APP. Ungkapan Anand Krishna itu tentulah sangat berlebihan dan sangat keterlaluan, sekaligus sangat berbahaya, karena telah memasukkan unsur-unsur provokasi kebencian dan kecurigaan terhadap umat Islam. Ke depan, ini akan dimanfaatkan, untuk semakin menyuburkan kecurigaan dan ketidakpuasan terhadap bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim, sehingga selama perdebatan tentang RUU APP ini, pun sejumlah media liberal bersemangat mengekspose ancaman kaum Hindu Bali untuk memisahkan diri dari NKRI. Anand Krishna mengancam, bahwa jika RUU APP disahkan, maka itu sama dengan Taliban sudah lahir di Indonesia. Di majalah Hindu ini juga dimuat kembali artikel Goenawam Mohamad yang berjudul: ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia?’ yang pernah dimuat di Koran Tempo, 8 Maret 2006. Goenawan menuduh, nilai-nilai di balik RUU APP yang dia sebut “RUU Porno” datang dari nilai-nilai yang diilhami paham Wahabi, dan tidak semua orang Muslim Indonesia bersedia tanah airnya dijadikan sebuah varian Arab Saudi. Dengan tuduhan-tuduhan dan provokasi dari Goenawan, Anand Krishna, Putu Setia, seperti itu, tentu saja, masyarakat Hindu Bali kemudian mendapatkan tambahan suntikan untuk melawan RUU APP. Dan senjata yang digunakan untuk menolak pun adalah sikap resmi keagamaan. Ada satu tulisan dalam majalah ini berjudul: “Porno Menurut Pandangan Hindu; Porno itu ada pada pikiran”. Ada juga tulisan berjudul: “Budaya Hindu Akrab dengan Penis dan Vagina”. Juga, judul tulisan, “Hindu Menghormati Gairah Seksual.” Tentu saja, umat Islam tidak seyogyanya memaksakan konsep agamanya kepada kaum Hindu yang minoritas di Indonesia. Umat Islam sangat bersedia bertoleransi, dan siap memberikan kebebasan kaum Hindu untuk mengekspresikan dan melaksanakan ritual agamanya. Tetapi, seyogyanya, kaum Hindu yang minoritas juga menghormati umat Islam yang mayoritas untuk menjalankan ajaran agamanya, termasuk dalam soal aurat. Karena jelas, konsep aurat dalam Islam berbeda dengan kaum Hindu. Maka, logikanya, adalah sangat masuk akal, jika dengan pertimbangan keagamaan, maka umat Hindu Bali dikecualikan. Itu logis, dan sangat logis. Tetapi, anehnya, kaum Hindu Bali, seperti ditulis Putu Setia, bersikap tidak mau kompromi terhadap RUU APP. Pokoknya, harus ditolak, TITIK! Tidak perlu dibahas. Di sinilah, sayangnya, kaum Hindu Bali terprovokasi oleh kaum liberal seperti Goenawan Moehammad, yang menakut-nakuti kaum Hindu Bali dengan isu Wahabisme dan isu Taliban. Tapi, terlepas dari itu semua, kaum Muslim Indonesia, perlu melakukan perenungan yang mendalam. Mengapa kaum minoritas Hindu bersikap begitu berani terhadap umat Islam. Dalam acara Tabligh Akbar dalam rangka Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw di Madjid AlBarkah, pekan lalu, seorang ulama mengingatkan kaum Muslim, agar menyadari kondisi dirinya. Bahwa, mereka saat ini dianggap laksana bangkai, laksana mayat-mayat, yang suaranya tidak perlu diperhatikan. Kelompok-kelompok minoritas, bahwa beberapa individu saja, bisa bertindak semaunya sendiri di Indonesia, tanpa mengindahkan suara umat Islam. Majalah Playboy, yang dikelola hanya beberapa ‘biji’ manusia, pun berani diterbitkan di Indonesia; tidak peduli dengan keberatan umat Islam. Kita perlu menyadari bahwa negeri Muslim terbesar ini sedang dikeroyok dan dikerjai habishabisan melalui proses liberalisasi yang sangat liar, dalam berbagai bidang. Di bidang moral, penerbitan media-media informasi porno sudah begitu merajalela. Playboy hanyalah salah satu dari sekian banyak majalah dan tabloid porno di Indonesia. Dengan liberalisasi di bidang informasi, maka pemerintah pun sudah dikebiri dan tidak memiliki wewenang untuk bertindak. Semua keputusan benar atau salah, porno atau tidak, diserahkan kepada masyarakat. Jika mayoritas masyarakat suka pornografi, maka pornografi menjadi benar. Jika mayoritas setuju dengan perzinahan, maka perzinahan pun menjadi halal. Itulah cara pandang sekular-liberal, yang tidak mengakui adanya nilai-nilai yang tetap dalam moral. Menghadapi serbuan liberalisasi moral itu, sebagian tokoh umat Islam kemudian melakukan tindakan nahi munkar dengan ‘tangan’, dengan cara melakukan tindakan fisik dengan merusak simbol-simbol pornografi, seperti majalah Playboy. Tapi, mereka kemudian justru diopinikan oleh media-media liberal sebagai orang-orang barbar, anarkis, dan pantas dijebloskan ke penjara. Kekuatan media massa begitu besar untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Playboy seolah-olah menjadi tidak salah, karena sudah taat hukum, sedangkan para ulama dan aktivis umat yang menentangnya dipersepsikan sebagai orang-orang yang picik dan biadab. Inilah ujian dan fitnah besar yang sedang dihadapi oleh umat Islam Indonesia. Liberalisasi bidang pendidikan di Indonesia telah melahirkan fenomena yang sangat mengerikan. Kezaliman begitu nyata. Untuk masuk masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta, seorang mahasiswa harus membayar Rp 10 juta. Untuk masuk sebuah fakultas kedokteran – melalui jalur khusus – di sebuah universitas negeri di Jawa Barat, seorang mahasiswa bisa menghabiskan dana Rp 300 juta. Mau jadi apa pendidikan kita ke depan? Pemerintah harusnya sadar, bahwa komersialisasi pendidikan seperti itu akan membawa dampak yang sangat fatal bagi masa depan bangsa. Harus ada penyelamatan yang serius dan revolusironer terhadap kondisi pendidikan Indonesia. Alasan kemiskinan sangatlah tidak masuk akal. Negara-negara miskin atau yang ekonominya tidak berbeda jauh dengan kita, seperti Sudan, Maroko, Syria, Mesir, Filipina, India, dan sebagainya, bisa menyediakan pendidikan dan bukubuku murah untuk rakyatnya. Pemerintah harus berani mengambil tindakan yang revolusioner dan berpikir untuk menyelamatkan bangsa dalam jangka panjang, bukan sekedar menjaga popularitasnya untuk kepentingan kekuasaan jangka pendek. Liberalisasi dalam dunia perguruan tinggi harus segera dihentikan. Tentu saja yang lebih mengerikan adalah liberalisasi dalam bidang agama, terutama dalam aqidah Islam melalui penyebaran paham Pluralisme Agama. Paham ini pelan tapi pasti melucuti keimanan dan keyakinan setiap pemeluk agama terhadap kebenaran agamanya sendiri. Kini, di Indonesia, bertebaran ratusan LSM yang menyebarkan paham ini dengan biaya LSM-LSM dan negara-negara asing. Jika peredaran paham ini tidak ditangani serius, jangan terkejut jika 10 tahun lagi, akan banyak guru agama yang mengajarkan paham ‘penyamaan agama’ ini kepada anak didik kita. Na’udzubillah min dzalika. Kita perlu sadar akan potensi dan posisi kita sekarang. Siapa kita sebenarnya, dan siapa yang sebenarnya sedang kita hadapi. Jika kita ‘kancil’, janganlah kita merasa sebagai ‘singa’. Kita memang banyak jumlahnya. Tetapi, negara sekecil Singapura pun bisa mempermainkan kita. Jumlah kita sekarang 1,3 milyar jiwa, tapi dipermainkan kaum Zionis Yahudi yang jumlahnya tidak lebih dari 10 juta jiwa. Wallahu a’lam. (Jakarta, 14 April 2006/hidayatullah.com). 8.2. “Seminar Tentang Islam Liberal di Malaysia” Sabtu, 08 April 2006 Banyak tokoh Islam Malaysia terbengong-bengong karena para penyebar paham Liberal di Indonesia adalah orang-orang yang mempunyai latar belakang studi Islam. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-143 Islam Liberal sudah sangat populer di Malaysia. Berbagai forum keislaman, baik seminar, khutbah, majslis ta’lim, acara televisi, dan sebagainya sering mendiskusikan masalah ini. Terutama melihat perkembangan paham ini di Indonesia. Rata-rata tokoh Islam di Malaysia memahami secara global masalah ini, dan melihat Islam Liberal sebagai ancaman terhadap Islam dan keselamatan agama dan bangsa. Tetapi, berbeda dengan Indonesia, pemerintah Malaysia sudah mengambil sikap yang tegas terhadap faham ini. Padahal, perkembangan paham ini di Malaysia, bisa dikatakan masih dalam peringkat embrional. Ibarat penyakit, masih dalam stadium awal. Belum parah dan belum menyebar luas, seperti di Indonesia. Penyakit ini pun masih berkisar para beberapa kelompok LSM saja. Meskipun demikian, organisasi-organisasi Islam dan pemerintah Malaysia, sudah mulai menganggap masalah ini sebagai masalah serius. Maka, pada 1-2 April 2006 lalu, di Kerajaan Negeri Terengganu, diselenggarakan sebuah seminar tingkat kebangsaan (nasional) yang bertema: Liberalisma Agama. Saya diminta untuk menyampaikan satu makalah dengan tema “Konspirasi Luar dalam Penyelewengan Agama: Suatu Andaian atau Realiti.” Seminar diselenggarakan oleh Yayasan Dakwah Islamiah (YADIM) Malaysia, bekerjasama dengan Kerajaan Negeri Terengganu dan Majlis Agama Islam dan Adat Melayu Terengganu (MAIDAM). Peserta seminar adalah para tokoh, cendekiawan, serta sejumlah Mufti Kerajaan dari seluruh Malaysia. Sikap pemerintah Malaysia terhadap paham (isme) Islam Liberal bisa dilihat dari pernyataan Menteri Besar (Kepala pemerintahan Negara Bagian) Terengganu, Dato’ Seri Haji Idris bin Jusoh, yang membuka acara seminar, dan juga pernyataan Menteri di Jabatan Perdana Menteri (bidang agama) Dato’ Dr. Abdullah bin Muhammad Zin, yang menutup acara seminar. Dalam pemilihan umum tahun 2004 lalu, partai berkuasa, UMNO, mengalahkan partai PAS di wilayah Terengganu. Dato’ Idris Jusoh menjadi Menteri Besar Terengganu menggantikan Presiden PAS, Hadi Awang. Dalam ucapan pembukaan seminar tentang Islam Liberal tersebut, Dato’ Idris Jusoh menyatakan: “Cabaran (tantangan. Pen) dakwah sejak akhir-akhir ini semakin kompleks dan berbagai ragam. Dahulu orientasi ajaran sesat atau penyelewengan agama ini berlaku di kawasan luar bandar dan bergerak dengan sembunyi-sembunyi. Tetapi pada hari ini kumpulan yang menyebarkan fahaman Islam Liberal, pluralisme agama dan lain-lain, bergerak dengan cara terang-terangan dan berani sekali melalui saluran media komunikasi yang sangat canggih. Buku-buku mengenai fahaman Islam Liberal dan lain-lain dapat dibeli dengan mudah di pasaran terbuka. Saya cukup bimbang apa yang sudah berlaku kepada beberapa orang cerdik pandai di negara serumpun seperti Indonesia akan merebak dan berjangkit kepada para sarjana kita yang silau akalnya oleh pandangan-pandangan golongan Islam Liberal ini. Saya berharap seminar ini dapat menjadi medan percambahan pemikiran di kalangan para peserta terutama para alim ulama, pegawai-pegawai agama, kehakiman dan para peneliti perkembangan dakwah di negara ini. Saya menyeru kepada semua yang terlibat dalam seminar ini agar sama-sama memainkan peranan masing-masing di dalam mengekang fahaman ini daripada terus berkembang.’’ Demikianlah sikap Menteri Besar Terengganu terhadap paham baru bernama ‘Islam Liberal’. Sikapnya tegas dan jelas, bahwa paham Islam Liberal, termasuk paham Pluralisma Agama, adalah paham yang sesat dan menyeleweng dari agama Islam. Beliau juga berharap, agar apa yang telah terjadi di Indonesia tidak terjadi di Malaysia. Memang, ide-ide yang disebarkan oleh paham Islam Liberal sudah banyak tersebar di Malaysia, khususnya melalui media internet. Banyak tokoh Islam di Malaysia sudah paham tentang ide-ide yang disebarkan berbagai kelompok liberal, khususnya ide-ide yang menyerang Al-Quran, menyerang syariat Islam, dan juga merusak aqidah Islam. Biasanya mereka terbengong-bengong menyimak begitu beraninya para penyebar paham liberal di Indonesia ini merusak ajaran-ajaran yang mendasar dalam Islam, dengan mengatasnamakan ‘pembaruan Islam’ atau ‘liberalisasi Islam’. Mereka lebih terbengong-bengong lagi, karena yang menjadi penyebar paham ini adalah orangorang yang mempunyai basis atau latar belakang studi Islam. Aneh dan ajaib. Di mata mereka, Indonesia bukan hanya dikenal dengan korupsi, pornografi, atau ekstasi, tetapi juga mulai mengekspor paham Islam Liberal. Karena sejumlah pengasong paham Islam liberal juga cukup rajin datang ke Malaysia. Menteri bidang agama di Malaysia, Dato’ DR. Abdullah Md Zin, juga sudah mencium dan melihat gelagat ini. Maka, dalam sambutan penutupan seminar di Terengganu tersebut, beliau dengan tegas mengingatkan bahaya faham Islam Liberal ini. Berikut ini kita kutipkan agak panjang sambutan Menteri Agama Malaysia tersebut: “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Arus globalisasi dalam dunia tanpa sempadan (batas. Pen.) yang terpaksa kita tempuhi sekarang ini mengingatkan kita akan keperluan untuk kita semua mempersiapkan diri perisai jatidiri sebagai benteng pertahanan dari ancaman anasir-anasir jahat terutama yang mampu menyerang dan menyesatkan akidah umat Islam. Sememangnya musuh-musuh Islam akan terus mencari ruang dan peluang untuk memesong (menyelewengkan. Pen.) serta menggugat kepercayaan dan keimanan kita semua. Anasir-anasir jahat ini datang kepada kita sama ada secara sadar atau tanpa disedari oleh kita semua. Gejala-gejala atau anasir-anasir jahat ini bukan sahaja menjadikan golongan awam yang tidak berpendidikan tinggi sebagai mangsa, malahan ianya juga mendekati golongan-golongan terpelajar atau profesional. Oleh yang demikian, umat Islam harus berhati-hati apabila bersama golongan ini, agar tidak terpesong dari ajaran Islam yang sebenar berlandaskan Al-Quran dan al-Sunnah. Selain kebimbangan terhadap ancaman musuh-musuh Islam dari luar yang secara jelas penampilannya, kita juga bimbang terhadap musuh dari dalam yang bertopengkan Islam yang mendakwa bahawa mereka-merekalah penyelamat dan pendokong Islam yang sebenar. Dengan wujudnya golongan-golongan yang sesat dan anasir-anasir yang jahat ini, ianya bukan sahaja memesong keimanan malah ia juga akan menggugat kestabilan masyarakat dan keselamatan negara. Oleh yang demikian, saya merasakan seminar ini adalah amat penting untuk kita fahami dakyahdakyah musuh Islam yang cuba menyeleweng dan menghancurkan Islam, sama ada secara langsung atau tidak langsung. Yang paling merbahaya adalah menghancurkan Islam dari dalam melalui orang Islam itu sendiri.” --o0o-Itulah pernyataan Dr. Abdullah Md. Zin, menteri di Jabatan Perdana Menteri Malaysia, yang mengurusi masalah keagamaan. Sikap pejabat pemerintah Malaysia tersebut sangat penting untuk kita telaah, sebab sikap semacam itu dulu tidak terjadi pada pejabat pemerintah Indonesia. Di awal-awal tahun 1970-an, pemerintah Indonesia tidak mendengarkan nasehat para cendekiawan dan tokoh Muslim untuk menghentikan arus sekularisasi. Bahkan, Menteri Agama, Mukti Ali, secara terbuka memberikan dukungan terhadap liberalisasi Islam di perguruan tinggi Islam. Lalu, dengan alasan untuk meningkatkan kualitas intelektual, kiblat pemikiran Islam mulai digeser dari Timur Tengah ke Barat. Di tengah masyarakat, liberalisasi Islam berlangsung dengan sangat masif, dengan dukungan dana dari LSM dan negara-negara Barat. Ujung tombaknya adalah media massa dan cendekiawan-cendekiawan dari kalangan organisasi Islam sendiri. Ambillah kasus (alm) Nurcholish Madjid. Banyak cendekiawan yang silau dengan gagasan sekularisasinya, dan senantiasa memberikan pujian-pujian yang berlebihan. Dikatakan silau, sebab mereka memberikan pujian-pujian yang melampaui batas proporsinya, karena tidak paham atau karena memiliki kepentingan tertentu mengangkat ikon liberalisasi di Indonesia. Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor Universitas Islam Negeri Jakarta, misalnya, termasuk yang silau atau menyilaukan diri dengan gagasan pembaruan Islamnya Nurcholish Madjid. Dalam sebuah tulisannya untuk pengantar buku Dr. Abd A’la yang diterbitkan Paramadina, Azyumardi menulis bahwa: “gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan ‘tradisi’ (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistematis… Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Quran; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya.” (Lihat, Pengantar A. Azra untuk Buku Dr. Abd A’la, Dari Neoodernisme ke Islam Liberal (Paramadina, 2003), hal. xi. Masih kata Azra, bahwa: “Cak Nur berpegang kuat kepada Islam tradisi hampir secara keseluruhan, pada tingkat esoteris dan eksoteris. Dengan sangat bagus dan distingtif, ia bukan sekedar berpijak pada aspek itu, namun ia juga memberikan sejumlah pendekatan dan penafsiran baru terhadap tradisi Islam itu. Maka, hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syariah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman.” (Ibid, hal.xii). Apa yang dikatakan Azra sebagai bentuk apresiasi syariat atau fiqih yang mendalam oleh Nurcholish Madjid adalah sebuah pujian yang sama sekali tidak berdasar. Nurcholish sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikutin jejak gurunya, Fazlur Rahman, yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. Misalnya, saat pidato di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober 1992, Nurcholish mempromosikan pendapat yang lemah tentang Ahlul Kitab: “Dan patut kita camkan benar-benar pendapat Sayyid Muhammad Rasyid Ridla sebagaimana dikutip ‘Abdul Hamid Hakim bahwa pengertian sebagai Ahlul Kitab tidak terbatas hanya kepada kaum Yahudi dan Kristen seperti tersebut dengan jelas dalam Al- Quran serta kaum Majusi (pengikut Zoroaster) seperti tersebutkan dalam sebuah hadits, tetapi juga mencakup agama-agama lain yang mempunyai suatu bentuk kitab suci.” Pendapat ini sangat lemah, dan telah dibuktikan kelemahannya, misalnya, oleh Dr. Muhammad Galib dalam disertasinya di IAIN Jakarta (yang juga diterbitkan oleh Paramadina) dan oleh Dr. Azizan Sabjan, dalam disertasinya di ISTAC, Malaysia. Namun, Nurcholish Madjid tidak peduli dengan koreksi dan kritik, dan tidak pernah merevisi pendapatnya. Prestasi kaum pembaru di Paramadina dalam merombak hukum Islam lebih jelas lagi dengan keluarnya buku Fiqih Lintas Agama, yang sama sekali tidak apresiatif terhadap syariat. Bahkan, merusak dan menghancurkannya. Misalnya, dalam soal perkawinan antar-agama, buku Fiqih Lintas Agama menulis: “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan lakilaki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” (Fiqih Lintas Agama, (Paramadina&The Asia Foundation), 2004:164). Jadi, pendapat Azyumardi Azra tentang hebatnya pemikiran kaum pembaru Islam yang dimotori Nurcholish Madjid adalah sama sekali tidak terbukti. Sebagai salah seorang cendekiawan yang sangat populer, Azra telah melakukan kekeliruan besar dengan cara memberikan legitimasi berlebihan terhadap gerakan pembaruan yang telah terbukti sangat destruktif terhadap khazanah pemikiran Islam. Azyumardi Azra adalah pakar yang otoritatif di bidang sejarah Islam Asia Tenggara. Tetapi, dalam soal pemikiran Islam, sayang sekali ia mengecilkan dirinya sendiri, dengan menempatkan dirinya sebagai pengikut dan pemuja Nurcholish Madjid. Wallahu a’lam. (KL, 6 April 2006/hidayatullah.com). 8.3. “Peringatan KH Khalil Ridwan” Senin, 03 April 2006 KH Khalil Ridwan, pimpinan pesantren Husnayain mengklarifikasi tentang upaya infiltrasi paham sekularisme-liberalisme (SIPILIS) ke pondok pesantren. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 142 Pada tanggal 27 Maret 2006, Harian Republika memuat sebuah surat pembaca yang dikirim oleh KH A. Khalil Ridwan, seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia. Surat ini sangat penting untuk diperhatikan, karena memberikan klarifikasi dan peringatan tentang upaya infiltrasi paham sekularisme-liberalisme ke pondok-pondok pesantren. Surat itu juga menyebutkan adanya sikap tegas dari pimpinan Badan Kerjasama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) yang memutus segala bentuk kerjasama dengan lembaga pengasong ide liberal ICIP (International Center for Islam and Pluralism) yang dipimpin Dr. M. Syafii Anwar. Tampaknya, selama ini, kerjasama itu hanya dilakukan oleh ‘oknum’ BKSPPI saja. Sebagai salah satu anggota Majlis Pimpinan BKSPPI, Kyai Khalil mengaku tidak tahu menahu tentang kerjasama tersebut, dan menyebut kerjasama itu sebagai “sebuah kecelakaan dan bencana yang sedang menimpa organisasi BKSPPI.” Ia juga menyatakan, kerjasama tersebut, “sangat berbahaya bagi ketahanan aqidah umat.” Alhamdulillah, kata Kyai Khalil, KH.Didin Hafiduddin sebagai ketua Presidium MP BKSPPI telah mengadakan rapat yang dihadiri oleh pengurus BKSPPI, pada Hari Rabu 22 Shafar 1427. Hasilnya: Memutuskan semua kerjasama antara BKSPPI dengan ICIP dan membatalkan kerjasama menerbitkan majalah AL-WASATHIYAH. Selanjutnya BKSPPI, tidak bertanggung jawab apabila majalah tersebut masih terbit. Kyai Khalil Ridwan mengimbau agar umat umat Islam dengan serius merapatkan barisan dan jangan mudah terbius oleh zukhrufalqoul (ucapan yang menipu) dari kalangan munafiqin yang mengasong-asongkan dagangan berupa syirik modern dalam bentuk faham atau aliran yang sudah diharamkan oleh MUI pada MUNAS 2005. Juga, khususnya kepada kalangan pondok Pesantren dan organisasi pondok pesantren, Kyai Betawi itu juga mengingatkan, agar mereka mewaspadai kemungkinan adanya infiltran yang sengaja disusupkan di lingkungan masing-masing. Demikian surat KH Khalil Ridwan di Harian Republika. Peringatan KH Khalil, yang juga pimpinan pesantren Husnayain, sebenarnya menyiratkan satu beban kepedihan yang sangat mendalam. Betapa tidak, di tengah-tengah tekanan dan beban ekonomi yang sedang dililit oleh kalangan pondok pesantren, datanglah agen-agen LSM asing yang menawarkan program-program dan dana yang menggiurkan. Tidak mudah untuk menolak hal semacam itu. Saat ini, “dagangan” yang laku dijual kepada Barat adalah menjual isu atau ide yang “mengobok-obok Islam”, seperti paham Pluralisme Agama, dekonstruksi konsep wahyu, kesetaraan gender, dekonstruksi syariah, dan sejenisnya. Isu-isu semisal “pemberantasan kemiskinan” dan “advokasi hukum” tidak begitu laku lagi dijual, sehingga LSM-LSM sejenis YLBHI pun tidak semakmur dulu, sebelum Perang Dingin berakhir. Simaklah sederetan nama LSM yang mendapat kucuran dana dari The Asia Foundation berikut ini: Yayasan Desantara (Pluralisme agama, penerbit Majalah Syir’ah) Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (Elsad) – (Pluralisme Agama dan Demokrasi) Fahmina Institute - (Pluralisme Gender equality) Indonesia Center for Civic Education - Demokrasi International Center for Islam and Pluralism (ICIP) - (Pluralisme agama) Indonesia Conference on Religion and Peace – (Pluralisme agama) Institut Arus Informasi (ISAI) – (Pluralisme dan Jurnalisme) Jaringan Islam Liberal (JIL) – (Liberalisasi Pemikiran) Paramadina – (Pluralisme agama) Pusat Studi Wanita –UIN - (Gender equality) Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) - (Gender equality) Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) – (Penerbitan buku-buku pluralisme) Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdhatul Ulama (Pluralisme Agama, dekontsruksi syariah) o Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (Pluralisme Agama) o o o o o o o o o o o o o Daftar lembaga itu bisa diperpanjang lagi sampai tiga halaman. Isu-isu yang ditebarkan oleh lembaga-lembaga tersebut juga tidak jauh-jauh seputar liberalisasi Islam. Seolah-olah, itulah isu utama yang sedang dihadapi umat Islam. Seolah-olah, umat Islam akan bangkit dan maju jika mengikuti agenda-agenda Barat tersebut. Padahal, masalahnya sebenarnya tidak demikian. Memang tidak dapat dipungkiri terdapat banyak kelemahan internal di kalangan pondok pesantren sendiri. Tetapi, jika cara untuk memperbaikinya adalah dengan menyebarkan paham multikulturalisme dan pluralisme agama, adalah salah sama sekali. Jika yang dipersoalkan adalah soal toleransi, maka kita dapat bertenya dengan sungguh-sungguh, sebenarnya, siapa yang selama ini tidak toleran? Apa yang salah dengan pandangan keagamaan pesantren terhadap kaum non-Muslim? Selama ratusan tahun, pondok pesantren dan umat Islam di Indonesia sudah bersikap sangat toleran dan menghargai umat dan agama lain, tanpa meninggalkan keyakinan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar. Workshop-workshop, pelatihan, dan sejenisnya tentang pluralisme dan multikulturalisme ala ICIP itu harusnya justru diberikan kepada pihak Barat, seperti George W. Bush dan kawan-kawannya, yang hingga kini jelas-jelas bersikap sangat tidak toleran terhadap Islam dan umat manusia, dengan memaksakan paham sekular-liberalnya untuk dipeluk umat manusia. Mereka jelas-jelas tidak menghargai perbedaan, tidak bersikap ‘multikultural’, sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan. Dengan pemaksaan ide “sekularisasi-liberalisasi” ala Barat kepada kaum Muslimin, Barat dan agen-agen liberalnya di Indonesia sebenarnya telah bersikap monolitik dan sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk meyakini dan menjalankan ajaran-ajaran agamanya sendiri. Mereka memaksakan – dengan segala kekuatan dana, politik, informasi – paham mereka kepada umat Islam. Mereka juga tidak menghargai aspirasi keagamaan umat Islam. Hingga kini, AS dan Inggris tidak berani mengangkat seorang menteri Muslim-pun. Juga, mereka tidak mau memberi hari libur Idul Fithri dan Idul Adha kepada umat Islam. Padahal, Inggris mempunyai hari libur ‘Boxing Day’ dan libur Paskah dua hari. Kita bisa membuktikan dalam sejarah, siapa yang sebenarnya lebih bersikap menghargai perbedaan dan keragaman: Islam atau Barat? Sayangnya, ada saja sebagian dari kalangan kaum Muslim yang lebih suka menjadi corong paham-paham destruktif – semisal Pluralisme Agama. Adalah musibah besar bagi umat Islam, jika yang menyebarkan paham syirik itu adalah dari kalangan ulama dan cendekiawan. Sayyidina Umar bin Khathab pernah menyatakan dalam satu khutbahnya; “Yang paling aku khawatirkan akan menimpa kalian adalah perubahan zaman, tergelincirnya orang yang berilmu dari kebenaran, berargumentasinya orang-orang munafik dengan al-Quran, pemimpin yang sesat dan menyesatkan manusia dalam kondisi ketidaktahuan.” (Ibnul Jauzi, Sirah Umar, hal. 223) Karena itu, para tokoh Islam, ulama, kyai, ustad, mubaligh, dan sebagainya, seyogyanya menyadari pentingnya memahami tantangan pemikiran dan aqidah Islam di zaman globalisasi ini. Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghazali menyatakan, wajib hukumnya bagi para ulama untuk memahami pemikiran-pemikiran yang bathil, agar dapat menjelaskan dan menjaga aqidah umat. Sebab, para ulama itulah yang diamanahi untuk menjaga Islam. Dan pondok pesantren merupakan benteng-benteng terakhir pertahanan umat Islam di bidang aqidah. Di masa lalu, para ulama Islam sangat memahami pemikiran-pemikiran yang berkembang di zaman itu. Imam al-Ghazali memahami masalah filsafat dengan baik dan memberikan kritik yang sangat tajam melalui bukunya Tahafut al-Falasifah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan kritik yang sangat tajam terhadap kepercayaan agama Kristen melalui empat jilid bukunya, alJawab al-Shahih li-Man Baddala Din al-Masih. Dalam bidang Ilmu Kalam, begitu banyak ditemukan jawaban-jawaban yang sangat argumentatif terhadap pemikiran Mu’tazilah. Para ulama, kyai, cendekiawan Muslim, khususnya yang saat ini memegang amanah memimpin pondok pesantren, seyogyanya meneladani jejak para ulama terdahulu. Disamping memiliki kualitas ketaqwaan yang tinggi, seyogyanya, pada kyai itu juga memahami benar hakekat dan jatidiri paham-paham yang destruktif terhadap para santrinya. Di era globalisasi, hampir tidak mungkin membendung paham-paham itu tidak memasuki arena pondok pesantren, melalui media komunikasi yang ada, baik cetak maupun elektronik. Satusatunya jalan untuk menangkalnya adalah memahami paham-paham destruktif itu dengan mendalam, sehingga para kyai atau ustad di pesantren dapat menjelaskan kepada para santri dan muridnya, apa dan bagaimana sebenarnya paham-paham yang bertentangan dengan aqidah Islam tersebut. Peringatan KH Khalil Ridwan sangatlah penting untuk direnungkan secara mendalam. Sebab, jika orang yang berstatus kyai atau ulama justru termakan paham-paham yang bertentangan dengan aqidah Islam, maka akibatnya sangatlah fatal. Orang yang diamanahi menjaga agama dan mewarisi risalah kenabian, justru menjadi penghancur risalah itu sendiri. Rasulullah saw sudah pernah mengingatkan; “Yang merusak umatku adalah orang alim yang durhaka dan ahli ibadah yang bodoh. Seburuk-buruk manusia yang buruk adalah ulama yang buruk dan sebaik-baik manusia yang baik adalah ulama yang baik.” (HR Ad-Darimy). Juga ada sabda beliau saw: “Termasuk diantara perkara yang aku khawatirkan atas umatku adalah tergelincirnya orang alim (dalam kesalahan) dan silat lidahnya orang munafik tentang Al-Quran.” (HR Thabrani dan Ibn Hibban). Menyambut imbauan dan peringatan KH Khalil Ridwan, kita berdoa dan berharap, mudahmudahan para kyai dan pimpinan pondok pesantren, khususnya sekitar 2000 pesantren yang ada di lingkungan BKSPPI, tidak sampai kebobolan dan terinfiltrasi paham-paham syirik modern yang kini dijajakan dengan kemasan yang sangat menarik. Allahumma Amin. (Jakarta, 30 Maret 2006/hidayatullah.com). Bab IX Maret 2006 9.1. Paham Syirik Modern Serbu Pondok Pesantren Senin, 27 Maret 2006 Mengejutkan!. International Center for Islam and Pluralism (ICIP) yang dikenal pengasong liberalisme bisa bekerjasama BKSPPI yang menolak ide liberal. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-140 Pada Hari Kamis (16/3/2006), seorang Ustad dari Persatuan Islam (Persis) datang ke rumah saya membawa sejumlah makalah dan majalah yang sangat mengagetkan. Betapa tidak? Makalahmakalah itu merupakan tulisan sejumlah tokoh liberal di Indonesia yang diberikan dalam acara pelatihan “Penguatan Pemahaman Keagamaan dan Keberagamaan di Kalangan Tokoh Pesantren BKSPPI di Jawa Barat” yang diselenggarakan oleh International Center for Islam and Pluralism (ICIP) di Pesantren Darul Muttaqien, Parung, 1 Maret 2006. Sedangkan Majalah yang dibawa itu bernama Al-WASATHIYYAH. Majalah ini cukup mewah. Baru terbit pertama kali. Judul sampulnya adalah ‘BELAJAR MULTIKULTURALISME DARI PESANTREN’. Yang membuat mata terbelalak adalah bahwasanya majalah ini diterbitkan atas kerjasama international Center for Islam and Pluralism (ICIP) dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI). Tokoh-tokoh dari kedua lembaga itu selama ini dikenal oleh umat Islamsebagai pihak yang sangat berseberangan dalam pemikiran Islam. ICIP yang dipimpin oleh Dr. M. Syafii Anwar adalah lembaga yang selama ini dikenal gigih menentang fatwa MUI tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama (sipilis). Sementara tokoh-tokoh BKSPPI (seperti KH Kholil Ridwan, KH Didin Hafidudin, dan sebagainya) adalah pendukung-pendukung gigih fatwa MUI tersebut. Sejak duduk di bangku kuliah di IPB, saya mengenal tokoh-tokoh BKSPPI, terutama KH Shaleh Iskandar (alm), KH Tubagus Hasan Basri dan sebagainya, sebagai sosok yang gigih mengawal aqidah umat dan memperjuangkan aspirasi Islam. Tetapi, di majalah Al-Wasathiyyah ini Syafii Anwar duduk sebagai penanggung jawab. Jajaran pimpinan lainnya adalah: Syafiq Hasyim (Pemimpin Umum), A. Eby Hara (Pemimpin Redaksi), Farinia Fianto (Wakil Pemimpin Redaksi), Ahmad Fuad Fanani (Redaktur Pelaksana). Di jajaran Redaktur Ahli, duduk KH Husein Muhammad, KH Muhyidin Abdussomad, KH Didi Hilman dan Alpha Amirrachman. Dalam jajaran tokoh liberal- pluralis di Indonesia, nama Syafii Anwar sudah sangat masyhur. Dia termasuk penentang utama fatwa MUI tentang ‘sipilis’ dan kesesatan Ahmadiyah. Sebagai contoh, pada 29 Juli 2005, Syafii ikut dalam kelompok ‘Aliansi Masyarakat Madani’, yang menyatakan keprihatinan atas larangan dan tudingan sesat terhadap Ahmadiyah. Selain Syafii Anwar, hadir dalam forum itu Abdurrahman Wahid, Dawam Rahardjo, Johan Effendi (Indonesian Conference Religion and Peace-ICRP), Pangeran Jatikusuma (Penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi (Konferensi Wali Gereja Indonesia-KWI), Pdt Weinata Sairin (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia-PGI). Hadir juga tokoh agama Kong Hu Cu, Anand Krishna, para aktivis Jaringan Islam Liberal. Acara itu juga dihadiri wakil dari anggota Ahmadiyah, YH Lamardi yang mengaku tidak bisa melakukan apa pun kecuali hanya diam. Bersama para cukong dari LSM-LSM asing seperti The Asia Foundation dan sejenisnya, Syafii juga rajin menggelar acara diskusi dan seminar tentang Pluralisme Agama. Dalam seminar di Jakarta Media Center, 29 November 2005, yang mengambil tema “Masa Depan Pluralisme di Indonesia”, Syafii Anwar, menggunakan istilah Gerakan Salafi Radikal untuk menyebut kelompok-kelompok Islam seperti MMI, Hizbut Tahrir, Laskar Hizbullah, Laskar Jundullah, Darul Islam, Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hammas, dan sebagainya. Frase “dan sebagainya” menunjukkan, bahwa cap Islam radikal bisa dilebarkan kepada organisasi Islam apa saja yang tidak mau menerima paham Pluralisme Agama. Dalam makalahnya yang berjudul “The State, Shari’a and The Challenge of Pluralism in Post Suharto Indonesia”, Syafii menulis empat kriteria gerakan Salafi Radikal, yaitu (1) cenderung memperjuangkan ‘peradaban Islam tekstual’, (2) memperjuangkan formalisasi syariat Islam pada semua aspek kehidupan, (3) cenderung memperjuangkan agenda anti-pluralisme, (4) memiliki persepsi yang keliru tentang jihad, (5) memiliki kepercayaan yang kuat tentang teori konspirasi dan muslim adalah korban konspirasi Yahudi, Kristen, dan Barat. Syafii menulis, “Considering the fact that emergence of RSM (Radical Salafi Movement) groups and heir actions has created serious problem to the Indonesian Society, a group of young muslim intellectuals established the so-called JIL (Jaringan Islam Liberal).” Syafii mengistilahkan kelompok-kelompok yang memperjuangkan Islam Liberal di Indonesia sebagai Progressive-Liberal Islam (PLI), seperti Paramadina, LkiS, P3M, Lakpesdam NU, Jaringan intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM),International Center for Islam and Pluralism (ICIP) dimana Syafii sebagai Direkturnya, dan sebagainya. Ia dengan tegas menulis, bahwa setelah era Soeharto, maka yang terjadi adalah pertarungan antara RSM dan PLI. Pada akhir makalahnya, ia menulis: ‘’Although I am still optimist with the future of Islam in Indonesia, it is important to state here that the Indonesian government has to protect the Indonesian Muslims from the threat of religious conservatism and radicalism.” Jadi, dalam hal ini, posisi Syafii dan ICIP sudah sangat begitu jelas di mana dia berada dalam percaturan pemikiran di Indonesia. Dia jelas-jelas agen, aktor, dan pelaku intelektual penyebaran paham pluralisme agama di Indonesia, dengan dukungan penuh LSM-LSM asing. Dengan menjual ‘isu radikalisme’ Islam, Syafii berhasil meraup dana milyaran dari cukong-cukong asing tersebut, eskipun hal itu harus disertai dengan meruntuhkan aqidah dan syariat Islam melalui penyebaran paham Pluralisme Agama, yang jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menerima kebenaran semua agama. (Uraian serius tentang paham ini, bisa dilihat, misalnya, buku Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta:GIP, 2005). Pluralisme Agama memang sebuah ‘agama baru’ yang berpotensi sebagai senjata pemusnah massal agama-agama, sehingga pada tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II juga mengeluarkan dekrit ‘Dominus Jesus’ yang menentang paham ini. Sebuah buku yang sangat tebal dan serius dalam memberikan kritik terhadap paham ini juga sudah ditulis oleh seorang pendeta Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul “Theologia Abu-Abu” (Malang: Gandum Mas, 2004). Menurut Stevri, "Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru...’’ (hal. 18-19). Dicatat dalam buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi dari pelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini… Namun teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. Sedangkan MUI dalam fatwanya juga menjelaskan: “Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga.” Karena itu, tegas fatwa MUI: “paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme agama adalah bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi umat Islam untuk mengikutinya.” Entah bagaimana, paham yang jelas-jelas sangat destruktif bagi semua agama ini malah disebarkanluaskan ke pesantren-pesantren. Ironisnya, BKSPPI yang menaungi ribuan pesantren di Indonesia dan harusnya menjadi pelindung aqidah umat, justru menjalin kerjasama dengan lembaga dan tokoh-tokoh yang jelas-jelas selama ini aktif dalam melakukan penghancuran terhadap aqidah dan syariah Islam. Lembaga ICIP juga aktif menyebarkan pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd di Indonesia. Tahun 2004, ICIP menerjemahkan dan menerbitkan buku Nasr Hamid dengan judul “Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dan Cara-cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan”. Nasr Hamid dikenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi). Dalam pengantar buku terbitan ICIP itu, redaksi ICIP menulis pendapat Nasr Hamid tentang AlQuran, bahwa menurut Nasr Hamid, Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad dan memasuki ruang sejarah dan ia menjadi subyek untuk aturan-aturan (qawanin) dan hukum-hukum sosiologis dan historis. Di sinilah kemudian Al-Quran menjadi terhumanisasi (muta’annas), mengejewantahkan elemen-elemen, ideologis, politis, kultural yang partikular dari masyarakat Arab abad 7 M... Abu Zayd percaya bahwa Al-Quran itu dibentuk oleh situasi sosial, sebuah ruang kontestasi ideologis dalam mana subyek-subyek bebas (individu, roup, dan klas), berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Brangkat dari sini, pemahaman yang benar terhadap Al-Quran menurutnya adalah dengan cara mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi Quraisy.’’ (hal. viii-ix). Nasr Hamid Abu Zayd menulis buku Al Imam al-Syafii: wa ta’sis al-Idulujiyah al-Wasithiyah, yang menyerang habis-habisan Imam al-Syafii. Buku ini banyak dikutip para penyerang al-Quran dan Imam Syafii di Indonesia. Karena berbagai pendapatnya yang ‘membongkar’ hal-hal yang mendasar dalam Islam, pada 14 Juni 1995, Mahkamah al-Isti'naf Kairo menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2.000 orang, meminta pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau --kalau yang bersangkutan tidak mau-- ia harus dikenakan hukuman mati. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Sebenarnya, secara ilmiah, berbagai kelemahan pendapat Nasr Hamid juga sangat mudah dibuktikan. Sayangnya, banyak kalangan liberal yang memuja Nasr Hamid tanpa kritis. Pendapat-pendapatnya dikutip hanya untuk melegitimasi hawa nafsu untuk mendekonstruksi Al-Quran. Menyimak kiprah ICIP yang aktif menyebarkan paham-paham destruktif terhadap aqidah Islam, sebenarnya terlalu jelas untuk melihat, dimana sebenarnya posisinya berada. Sangat aneh jika ICIP yang berideologi liberal, penyebar paham syirik modern (Pluralisme Agama) justru berambisi untuk memaksakan pendapatnya ke pondok-pondok pesantren. Namun, semua itu bisa dipahami dari sisi kepentingan bersama antara lembaga seperti ICIP dengan para cukong yang saat ini sangat aktif ingin mengubah Islam –bukan hanya umat Islam. Dalam istilah David E. Kaplan: “Washington is plowing tens of millions of dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself.” (David E. Kaplan, Hearts, Minds, and Dollars, www.usnews.com, 4-252005). Jadi, saat ini, AS dan sekutunya memang sedang berusaha keras untuk –bukan hanya mengubah umat Islam– tetapi juga mengubah Islam itu sendiri. Jika kita melongok website www.asiafoundation.org (sampai 24 Maret 2006) masih terpampang judul pembuka website: REFORMASI PENDIDIKAN DAN ISLAM DI INDONESIA. Jadi, yang ingin diubah oleh mereka adalah Islam. Mereka ingin membentuk ‘Islam yang baru’, sesuai dengan pandangan hidup (worldview) Barat. Karena pondok pesantren dan insitusi pendidikan Islam adalah benteng terakhir umat Islam, maka tidak heran, jika kalangan itulah yang menjadi sasaran utama untuk diobok-obok habis-habisan. Sebagaimana terjadi di era kolonialisme klasik, ada saja dari kalangan umat Islam yang tergiur untuk menjual agama dengan dunia, rela menjadi pengasong ide-ide destruktif ke jantung-jantung umat Islam. Na’udzubillahi mindzalika. (Depok, 24 Maret 2006) 9.2. “Pornografi dan Liberalisme” Selasa, 14 Maret 2006 Wartawan senior Indonesia menuduh RUU APP ‘berbau Arab’. Nabi dan Imam Syafi’i juga orang Arab, tapi mengapa kita mau mengikutinya? Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 139 Menyusul maraknya aksi penolakan terhadap RUU Anti-pornografi (APP), beberapa hari lalu, seorang muslim yang tinggal di Bali menelepon saya, dan memberitahukan kondisi kaum Muslim Bali yang semakin terjepit. Kadangkala, mereka mendapat tuduhan, bahwa RUU APP adalah salah satu bentuk Islamisasi. Jika RUU itu nantinya disahkan, maka Bali pun akan diislamkan, dan wanitanya dipaksa memakai jilbab. Entah dari mana isu itu ditiupkan di Bali, sehingga sampai muncul ancaman, jika RUU APP diterapkan, maka Bali akan memerdekakan diri dari Indonesia. Ancaman semacam ini dulu juga nyaring terdengar di kalangan kaum Kristen tertentu, ketika RUU Pendidikan Nasional akan disahkan. Mereka mengancam, Papua dan Maluku akan memisahkan diri, jika RUU Pendidikan Nasional disahkan. Tetapi, ketika RUU itu disahkan menjadi UU, gertakan mereka juga kurang terdengar lagi. Kaum Muslim Bali dan banyak komponen masyarakat lainnya di sana, jelas sangat mengharapkan lahirnya satu Undang-undang yang bersikap tegas terhadap tayangan-tayangan pornografi dan pornoaksi yang semakin meruyak di belantara tanah air Indonesia. Pada tahun 1945, kaum Muslim juga ditekan untuk mengganti Piagam Jakarta, dengan alasan ancaman separatisme wilayah tertentu. Pornografi adalah musuh umat manusia beradab, sehingga selama ini selalu ada upaya agar manusia yang masih bertelanjang, diberikan pekaian penutup tubuh mereka. Anehnya, sebagian argumentasi penolakan RUU APP justru berorientasi kepada primitivisme. Ada yang berpendapat, jika RUU ini diterapkan maka suku-suku tertentu yang selama ini biasa hidup telanjang akan terkena ancaman pidana. Logika kaum liberal ini sebenarnya carut-marut dan paradoks. Pada satu sisi mereka mengagungkan progresivitas (dari bahasa Latin : progredior, artinya, saya maju ke depan), tetapi pada sisi lain, mereka justru mundur ke belakang, dengan memuja nativitas dan primitivitas. Sayangnya, suara-suara masyarakat yang sehat, seakan tersekat. Logika mereka tersumbat oleh gegap gempitanya gerakan penolakan RUU APP dimotori oleh LSM-LSM dan public figure tertentu yang berpaham liberal, yang meyakini ‘kebebasan’ sebagai ideology dan agama mereka. Kebebasan, menurut mereka, adalah keimanan, yang tidak boleh diganggu gugat. Karena itu mereka menolak berbagai pembatasan, baik dalam hal agama atau pakaian. Kata mereka, itu wilayah privat, wilayah pribadi yang tidak boleh dicampurtangani oleh negara. Maka mereka pun berteriak: biarkan kami berperilaku dan berpakaian semau kami, ini urusan kami! Bukan urusan kalian! Bukan urusan negara! Negara haram mengatur wilayah privat! Itulah logika dan keimanan kaum liberal, pemuja kebebasan. Karena RUU APP dianggap melanggar wilayah privat, maka mereka berteriak lantang: tolak RUU APP! Ketika kasus Inul mencuat, seorang tokoh liberal menulis dalam sebuah buku berjudul “Mengebor Kemunafikan”: “Agama tidak bisa “seenak udelnya” sendiri masuk ke dalam bidangbidang itu (kesenian dan kebebasan berekspresi) dan memaksakan sendiri standarnya kepada masyarakat…Agama hendaknya tahu batas-batasnya.” Logika kaum liberal yang mendikotomikan antara wilayah privat dan wilayah publik itu sebenarnya logika primitif, yang di negara-negara Barat sendiri sudah kedaluwarsa. Sejak lama manusia sudah paham, bahwa kebebasan individu selalu akan berbenturan dengan kebebasan publik. Karena itulah, di negara-negara Barat yang memuja liberalisme, ada peraturan yang membatasi kebebasan manusia, yang memasuki dan mengatur wilayah privat, baik dalam soal tayangan TV, pakaian, minuman keras, dan sebagainya. Ada kode etik dalam setiap jenis aktivitas manusia. Tidak bisa atas nama kebebasan, orang berbuat semaunya sendiri. Masalahnya, karena peradaban Barat adalah peradaban tanpa wahyu, maka peraturan yang mereka hasilkan, tidak berlandaskan pada wahyu Allah, tetapi pada kesepakatan akal manusia. Karena itu, sifatnya menjadi nisbi, relatif, dan fleksibel. Bisa berubah setiap saat, tergantung kesepakatan dan kemauan manusia. Di Indonesia, karena liberalisme sedang memasuki masa puber, maka tampak ‘kemaruk’ (serakah) dan memalukan. Semua hal mau diliberalkan. Ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM, seorang aktivis Islam Liberal tanpa malu-malu menulis di jaringan internet, bahwa jika kita menjadi liberal, maka harus ‘kaffah’, mencakup segala hal, baik politik, ekonomi, maupun agama. Kaum liberal di Indonesia belum mau belajar dari pengalaman negara-negara Barat, dimana liberalisme telah berujung kepada ketidakpastian nilai, dan pada akhirnya membawa manusia kepada ketidakpastian dan kegersangan batin, karena jauh dari keyakinan dan kebenaran abadi. Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini: "Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?" (QS 45:23). Dalam satu tayangan televisi, seorang pengacara terkenal pembela Anjasmara bersikukuh bahwa apa yang dilakukan Anjasmara dengan foto bugilnya adalah satu bentuk seni, dan bukan pornografi. Padahal, foto Anjasmara yang dipamerkan untuk umum di Gedung Bank Indonesia itu jelas-jelas mempertontonkan seluruh auratnya, kecuali alat vitalnya. Apakah si pengacara itu tidak berpikir, jika foto Anjasmara itu diganti oleh foto diri atau foto ayahnya. Apakah itu juga seni? Jika memang masih dianggap satu bentuk seni, mengapa alat vital Anjasmara masih ditutup dengan lingkaran putih? mbok, sekalian agar dianggap lebih indah dan ‘nyeni’ alat vital itu dibuka dan diberi lukisan tertentu? Dalam tradisi Yunani, yang menjadi akar liberalisme seni di Barat, patung-patung para dewa pun ditampilkan telanjang bulat dengan alat vital terbuka. Kenapa si pengacara itu masih tanggung dalam memuja liberalisme? Apa landasan yang menyatakan alat vital tidak boleh dipertontonkan di muka umum ? Jika alasannya adalah ‘tidak etis’, maka suatu ketika dan di satu tempat tertentu, misalnya di klub-klub nudis, alat vital manusia pun wajib dipertontonkan, karena mengikuti kehendak dan selera umum. Dalam Islam, nilai etika bersifat permanen dan tidak berubah. Batas aurat wanita dan laki-laki jelas. Mana dan kapan boleh diperlihatkan juga diatur dengan jelas oleh wahyu, baik melalui ayatayat Al-Quran maupun hadits Rasulullah saw. Karena itu, kaum Muslim sebenarnya tidak perlu berdepat panjang tentang batasan aurat manusia, karena pedomannya sangat jelas. Pornografi dan pornoaksi adalah aktivitas yang terkait erat dengan promosi perzinahan yang secara keras dilarang oleh Al-Quran. Karena itu, seorang dokter yang memeriksa bagian aurat tertentu dari pasien atau mayat manusia, dengan tujuan medis, tidak masuk dalam kategori pornografi atau pornoaksi. Ini tentu berbeda dengan Dewi Soekarno yang secara sengaja mempublikasikan fotofoto bugilnya dalam ‘Madame de Syuga’. Berbeda juga dengan tayangan-tayangan erotis dalam berbagai acara televisi kita sekarang ini. Paham kebebasan atau liberalisme dalam berbagai bidang, memang sedang gencar-gencarnya dicekokkan kepada masyarakat Indonesia. Kaum Muslim Indonesia kini dapat melihat, bagaimana destruktif dan jahatnya paham ini. Ketika Lia Eden ditangkap, kaum liberal berteriak memprotes. Ketika Ahmadiyah dinyatakan sebagai paham sesat oleh MUI, maka mereka pun berteriak membela Ahmadiyah. Ketika goyang ngebor Inul dikecam, mereka pun memaki-maki para ulama sebagai sok-moralis, sok penjaga moral dan sebagainya. Ketika film Buruan Cium Gue (BCG) dikritik dan dikecam, mereka juga membela film itu atas nama kreativitas seni. Sekali lagi, menurut mereka, kebebasan harus dipertahankan. Sekarang, dalam kasus RUU APP, sikap dan posisi kaum liberal pun tampak jelas, di barisan mana mereka berdiri; di barisan al-haq atau al-bathil. Kita sesungguhnya perlu mengasihani pada cara berpikir kaum liberal ini. Apalagi yang sudah tua dan 'sakit-sakitan', seperti Goenawan Mohammad. Bangga dengan julukannya sebagai budayawan, dia menulis satu artikel di Koran Tempo berjudul ‘RUU Porno: Arab atau Indonesia’. Dia menganggap bahwa RUU APP ini akan merupakan bentuk adopsi nilai-nilai dunia Arab, dan jika RUU ini disahkan, maka akan berdampak pada kekeringan kreativitas pada dunia seni dan budaya. Nama Mohammad yang ditempelkan pada Goenawan itu saja sudah mengadopsi nilai-nilai Arab, karena kata Mohammad bukan berasal dari bahasa Jawa. Al-Quran dan hadits pun dalam bahasa Arab. Bahkan, Nabi Muhammad SAW juga orang Arab. Para sahabat Nabi pun orang Arab. Imam Syafii juga orang Arab. Apakah karena mereka orang Arab, lalu kita tidak boleh mengikutinya? Kaum Muslim selama ini sudah mafhum, bahwa Islam memang agama yang diturunkan di Arab, tetapi jelas agama ini adalah untuk memberi rahmat kepada seluruh alam. Ayat-ayat Al-Quran banyak menyebutkan, bahwa Nabi Muhammad saw diutus untuk seluruh umat manusia. Bukan hanya untuk orang Arab. Karena itulah, orang tua Goenawan Mohammad pun bangga memberi anaknya nama ‘Mohammad’, yang jelas-jelas mengadopsi nilai Arab. Jika konsisten memperjuangkan nilai lokal, nama Goenawan Mohammad harusnya diganti dengan ‘Goenawan Terpuji’. Bahkan, kata ‘Goenawan’ itu pun bukan asli Jawa, melainkan impor dari India. Masalahnya, bukan Arab atau non-Arab. Tetapi, Islam atau bukan. Benar atau salah. Itulah yang seharusnya menjadi acuan berpikir bagi Goenawan. Setiap Muslim atau yang masih mengaku Muslim, seharusnya memiliki pandangan hidup (worldview) Islam. Tidaklah sepatutnya jika nilai kebenaran Islam diletakkan derajatnya di bawah unsur ‘kreativitas seni’. Jika kreativitas seni dijadikan sebagai standar nilai, maka akan terjadi kekacauan hidup. Siapa yang menentukan kreativitas seni itu baik atau buruk? Apakah semua kreativitas seni adalah baik? Tentu saja tidak. Kreativitas seni Madonna yang mempertontonkan ciuman lesbi di atas panggung dengan Britney Spears dan Christina Aguilera, dalam pandangan Islam, jelas sangat tidak baik, dan sangat tidak beradab, alias biadab. Tetapi, ketika itu, pada 28 Agustus 2003, di panggung terbuka acara penganugerahan MTV Video Music Awards di Radio City Music Hall New York, para penonton malah melakukan standing applause. Para penonton menyambut adegan jorok itu dengan berdiri serentak dan bertepuk tangan cukup panjang. Sutradara film Guy Ritchie, suami Madonna, malah ikut bertepuk tangan dengan wajah senang. Ia sama sekali tidak keberatan dengan tingkah polah istrinya. Bagi penonton, tindakan Madonna dianggap sebagai kreativitas seni. Entah bagaimana sikap pemuja liberalisme dan kreativitas seni seperti Goenawan Mohammad andaikan dia hadir dalam acara itu. Kreativitas seni memang penting, tetapi kebenaran nilai-nilai Islam adalah lebih penting lagi. Sudah saatnya, kaum pemuja liberalisme seperti Goenawan Mohammad bertobat dan mengoreksi pikirannya, ngaji lagi yang baik dan benar, sehingga tidak bangga dan takabbur dalam kesesatan pikirannya. Ingatlah, kita semua pasti mati dan akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita kepada Allah SWT. Kekuasaan dan kepopuleran tidak akan bertahan lama. Masih ada waktu untuk bertobat. Wallahu a’lam. (Jakarta, 10 Maret 2006/hidadayatullah.com). 9.3. "Catatan Dari Jeddah" Senin, 06 Maret 2006 Workshop INSISTS di Kairo dan Jeddah berjalan lancar. Ke depan, workshop akan diperlebar ke berbagai negara. Baca Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini ke-136 Alhamdulillah, pada Hari Selasa (28/2/2006) malam, pesawat Saudia yang membawa kami dari Kairo mendarat dengan aman di Bandara King Abdul Azziz Jeddah, Arab Saudi. Tujuan utama di sini adalah untuk menjalankan ibadah umrah dan mengisi diskusi tentang pemikiran Islam dengan masyarakat Indonesia. Melanjutkan catatan pekan lalu, masih ada beberapa aktivitas di Kairo yang perlu kita telaah. Usai acara workshop di Kairo, masih tersisa sejumlah kegiatan penting. Pada Hari Jumat (24/2/2004), acara diisi penuh dengan silaturrahim, dialog, bedah buku, dan berbelanja buku-buku yang diperlukan untuk melengkapi koleksi perpustakaan INSISTS. Pagi hari, kami menerima kunjungan pengurus SINAI (Studi Informasi Alam Islami). Dialog berlangsung dua jam lebih. SINAI merupakan salah satu kelompok studi mahasiswa yang aktif mengkaji dan menulis berita-berita seputar dunia Islam dan hendak melebarkan kajiannya ke tema-tema pemikiran Islam kontemporer. Mereka sudah memiliki tabloid dan website sendiri. Ba’da Jumat, saya dan Adnin Armas menjadi pembicara dalam acara bedah buku di Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo (PMIK). Ada tiga buku yang dibedah: dua buku saya (Wajah Peradaban Barat : dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal dan buku Hegemoni Kristen Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi) dan satu buku karya Adnin Armas (Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran : Kajian Kritis). Acara ini juga berlangsung sangat meriah. Ruangan dan waktu yang tersedia tidak cukup untuk menampung minat diskusi para mahasiswa. Malam harinya, diadakan acara silaturrahim dan dialog dengan pengurus dan warga Muhammadiyah Cabang Istimewa Mesir. Saya hadir dalam acara ini bersama Adnin Armas (yang juga anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah). Sedangkan Hamid Fahmy memberikan pelatihan penulisan ilmiah kepada beberapa mahasiswa S-2 dan S-3 di Kairo. Kami sangat terharu melihat antusias para intelektual muda Muhammadiyah yang hadir, sampaisampai ruangan di Griya Jawa Tengah, tempat acara berlangsung, penuh sesak oleh hadirin. Aktivitas Muhammadiyah di Kairo sungguh luar biasa. Mereka mampu menerbitkan berbagai jenis penerbitan, mulai jurnal, majalah, buletin, sampai menerbitkan film. Ada bibit-bibit unggul yang perlu diberikan perhatian khusus oleh pimpinan dan tokoh-tokoh Muhammadiyah. Melihat kualitas para intelektual muda Muhammadiyah di Kairo, tampak bahwa isu kelangkaan ulama di Muhammadiyah sebenarnya dapat diatasi dengan memanfaatkan potensi mereka di masa mendatang. Menjelang tengah malam, kami menerima undangan dari seorang staf KBRI Kairo untuk menikmati suasana malam di Tepi Sungai Nil. Yang perlu dipelajari oleh Indonesia adalah cara Mesir dalam menjaga dan mengeksploitasi Sungai Nil ini. Sungai ini sangat bersih dan terpelihara, sehingga menjadi sumber air bagi rakyat Kairo dan obyek wisata yang menarik. Sayangnya, ada saja sisi negatif dari objek wisata Sungai Nil dipertontonkan kepada para wisatawan. Meskipun bukan termasuk negara ‘petro dolar’, tetapi Mesir mampu eksis sebagai salah satu negara yang dapat membanggakan berbagai aspek kehidupannya. Harga buah-buahan sangat murah. BBM juga super murah. Harga solar hanya 0,6 pon Mesir (sekitar Rp 1000). Harga bensin hanya 0,9 pon Mesir (sekitar Rp 1500). Jadi, Mesir tidak soksokan ikut-ukutan harga internasional, seperti Indonesia. Di jalan-jalan, jarang terlihat mobil mewah. Hampir semua Taksi adalah mobil Fiat sekitar tahun 1970-an. Meskipun kondisinya demikian, di Mesir ini, ada Universitas al-Azhar yang masih mampu menyediakan pendidikan gratis bagi ribuan mahasiswa asing. Bahkan, banyak diantara mahasiswa asing itu yang diberikan beasiswa dan asrama gratis. Pemerintah Mesir banyak menyeponsori penerbitan dan penerjemahan buku-buku yang dapat dibeli dengan harga murah. Ada seorang mahasiswa yang dengan geram mempertanyakan kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia, mengapa biaya pendidikan Indonesia begitu mahal. Sabtu (25/2/2006) rombongan INSISTS memanfaatkan waktu untuk mengunjungi sejumlah toko buku di Kairo. Banyak buku-buku khazanah Islam klasik dan kontemporer yang masih perlu dicari. Bisa dikatakan, mahasiswa Indonesia di Kairo “berenang di lautan turats”, karena begitu melimpahnya buku-buku khazanah keilmuan Islam, dengan harga murah. Tapi, kata seorang mahasiswa di sini, “karena tidak bisa berenang, maka saya malah tenggelam.” Di sinilah diperlukan framework (kerangka berpikir) dalam melihat dan memahami turats Islam dengan benar. Bagi yang dapat memanfaatkan khazanah Islam dengan baik, terbukti akan muncul sebagai sosok-sosok yang berperan besar dalam pengembangan khazanah Islam di Indonesia, seperti Prof. HM Rasjidi. Kami juga sempat melihat-lihat piramid yang sekarang identik dengan simbol negara Mesir. Piramid memang karya yang sangat dahsyat. Tetapi, Al-Quran menggambarkan pencetusnya, yakni Fir’uan, sebagai sosok penguasa zalim, angkuh, dan kafir kepada Allah. Sayangnya, peringatan Allah itu tidak dicantumkan di dinding-dinding piramid, sehingga yang mengunjungi piramid ini bisa memiliki persepsi, bahwa Fir’aun adalah penguasa hebat yang perlu diteladani. Padahal, piramid adalah karya yang hebat tetapi dibangun dengan darah dan nyawa rakyat Mesir. Harusnya, karya ini menjadi monumen peringatan bagi umat manusia, khususnya para penguasa yang zalim. Sabtu malam itu juga saya memenuhi undangan silaturrahim dan dialog dengan pengurus dan warga NU Cabang Istimewa Mesir, yang berlokasi di Swessy A Nasr City, Cairo. Acara yang berlangsung sekitar 2 jam itu juga sangat berkesan, dihadiri sekitar 40 warga NU Mesir. Dialog berlangsung hangat. Ada sejumlah pertanyaan kritis tentang masalah hermeneutika, posisi turats, dan pengembangan rasionalitas dalam Islam yang sempat mengemuka. Dari sejumlah penerbitannya juga tampak gairah intelektual pengurus NU Mesir yang sangat tinggi. Pada kesempatan ini, saya kembali menyampaikan pentingnya kaum Muslim membangun tradisi ilmu dan menghidupkan tradisi keilmuan yang memiliki akar kuat di pondok-pondok pesantren. Dari Kairo inilah, mudah-mudahan akan lahir ulama-ulama yang memiliki kapasitas keilmuan dan amal yang sangat tinggi, sehingga dapat menjadi teladan bagi umat. Misalnya, saya menjumpai seorang anak muda NU yang baru tamat S-1 dari Al-Azhar. Ia sangat cerdas dan sudah menghafal Kitab Alfiah (Kitab Nahwu seribu bait syair) sejak di bangku tsanawiyah. Penguasaannya terhadap khazanah klasik Islam sangat luas. Ia pun sangat kritis menyikapi perkembangan pemikiran liberalisme yang merusak bangunan struktur keilmuan Islam. Meskipun dililit berbagai keterbatasan ekonomi, ia rajin mengunjungi toko-toko buku dan mengaji rutin kepada sejumlah ulama di Masjid Al-Azhar Mesir. Potensi seperti ini tentulah sangat berharga untuk dikembangkan di masa mendatang, dan seyogyanya pemerintah, khususnya Departemen Agama memiliki perhatian khusus dalam pengembangan SDM intelektual Muslim unggulan. Akibat hegemoni informasi liberal, potensipotensi besar seperti ini tidak muncul. Sebaliknya, yang dimunculkan justru yang sebaliknya, yang rajin menyerang bangunan pemikiran Islam. Yang juga sangat mengesankan selama di Mesir adalah bersemangatnya panitia IKPM (alumni Gontor) dalam membantu segala macam aktivitas INSISTS. Kecakapan, keikhlasan, dan kesigapan serta profesionalitas mereka sungguh luar biasa. Mereka bekerja siang malam tanpa kenal lelah. Begitu acara usai, hasil rekaman workshop dan diskusi telah mereka gandakan dalam bentuk VCD. Hingga detik terakhir kepulangan kami, berpuluh orang mengantarkan kami sampai ke bandara Kairo dalam suasana yang mengharukan. Kami juga sangat berterimakasih kepada KBRI Kairo yang begitu besar bantuannya dalam menyukseskan acara-acara di Mesir. KBRI di Kairo memang dikenal sangat dekat dengan para mahasiswa Mesir. Mereka banyak membantu kelancaran aktivitas mahasiswa. Pada hari Rabu (1/2/2006), dengan izin Allah, saya berkesempatan menunaikan ibadah umrah. Suasana Masjidil Haram masih lumayan sepi, sehingga bisa menunaikan ibadah dengan lebih tenang dan khusyu’. Ibadah kali ini memang luar biasa, karena sejak keberangkatan dari Jakarta, 17 Februari 2006 lalu, tidak direncanakan dari awal. Tetapi, karena memang ada panggilan untuk datang, maka takdir Allah tidak bisa ditolak. Saya harus datang ke Baitullah. Tidak bisa menghindar, meskipun visa baru keluar beberapa jam sebelum keberangkatan ke Jeddah. Malam itu, atas jasa yang luar biasa dari Ketua dan sekretaris ICMI Jeddah, kami dapat menunaikan ibadah umrah. Mereka berdua dengan tulus mengantarkan dan menunggui kami umrah sampai sekitar pukul 02.00 Kamis dini hari. ICMI Jeddah memang diantara perwakilan ICMI di luar negeri yang masih mampu bertahan dengan baik, pasca era Habibie. Kamis (2/3/2006) malam dilangsungkan acara diskusi tentang tantangan pemikiran Islam di Indonesia. Acara berlangsung di satu tempat di Jeddah. Meskipun sejumlah buku dan VCD yang mengkritik Islam Liberal sudah beredar luas di kalangan masyarakat Indonesia di Jeddah, tetapi diskusi malam itu berlangsung cukup seru sampai lewat tengah malam, dan dihadiri ratusan warga Indonesia. Diantara yang hadir, ada juga mahasiswa yang khusus datang dari Madinah. Berbeda dengan di Kairo yang peserta diskusi-diskusinya adalah para mahasiswa, peserta diskusi di Jeddah sangat heterogen, mulai doktor bidang fiqih sampai pekerja pabrik. Tetapi, semangat diskusi mereka rata-rata sangat tinggi. Sebelumnya, pada 28 Februari, tim INSISTS juga sudah mengadakan diskusi dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Madinah. Diantara hasil diskusi dengan mahasiswa dan tokoh-tokoh Madinah dan Jeddah, ada beberapa mahasiswa dan tokoh yang menyatakan akan membantu gerakan wakaf buku untuk perpustakaan INSISTS. Jumat (3/3/2006) pagi, kami masih melakukan diskusi terbatas dengan tokoh-tokoh Islam di Madinah. Siang harinya, kami meninggalkan kota Jeddah menuju Indonesia. Perjalanan ke Mesir dan Arab Saudi kali ini telah memberikan banyak kesan yang mendalam tentang kondisi faktual potensi umat Islam di kedua negara tersebut. Yang jelas, jalinan silaturrahim semakin bertambah, yang di kemudian hari semoga terus berlanjut dalam bentuk yang lebih nyata dalam rangka menghadapi tantangan pemikiran di Indonesia. Amin. (Jeddah, 3 Maret 2006/hidayatullah.com) Bab X Pebruari 2006 10.1. "Catatan Dari Kairo" Jumat, 24 Pebruari 2006 Workshop INSISTS di Kairo, Mesir, menekankan cita-cita besar untuk membangun peradaban Islam berdasarkan pada ilmu pengetahuan Islam. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke 136 Alhamdulillah, pada 18 Februari 2006 sore, pesawat Gulf Air yang membawa kami tiba dengan selamat di Kairo, Mesir. Kami, rombongan Institute for the Studi of Islamic Thought and Civilization (INSISTS), datang ke Kairo atas undangan Ikatan Keluarga Pondok Modern Gontor Ponorogo Cabang Kairo, untuk mengisi workshop tentang “Tantangan Pemikiran Islam Kontemporer”. Rombingan INSISTS ada empat orang: saya sendiri, Direktur Utama INSISTS Hamid Fahmy Zarkasyi, Direktur Eksekutif INSISTS Adnin Armas, dan anggota Dewan Direktur INSISTS dr. Abdul Ghofir Sp.PD. Meskipun sudah puluhan kali mengisi workshop tentang pemikiran Islam di berbagai kampus, pesantren, dan organisasi Islam, tetapi mengisi workshop di Kairo tentulah sangat mendebarkan. Terbayang di benak saya, para peserta workshop adalah para mahasiswa S-1 sampai S-3 yang sehari-hari bergelut dengan khazanah keilmuan Islam di Universitas-universitas terkenal di Mesir, seperti Universitas Al-Azhar, Darul Ulum, dan sebagainya. Mereka tentu lebih pakar dibandingkan saya dalam soal keilmuan Islam. Bagi banyak mahasiswa Kairo, nama INSISTS memang bukan hal yang asing. Selain banyak diantara mereka yang menjadi anggota milis INSISTS, majalah ISLAMIA yang kami terbitkan juga sudah beredar di Kairo. Workshop ini pun sudah direncanakan lebih dari 2 tahun, dan senantiasa mengalami penundaan. Alhamdulillah, bersamaan dengan keberangkatan pimpinan Gontor ke Kairo untuk menemui dan mengundang Syaikhul Azhar pada acara peringatan 80 tahun Pesantren Gontor, bulan Mei mendatang, INSISTS juga diminta mengisi acara workshop, khususnya untuk para alumni Pondok Gontor, yang di Kairo saja berjumlah lebih dari 300 orang. Apa yang saya bayangkan tidaklah terlalu meleset. Ketika workshop dimulai, pada 19 Februari 2006, sekitar 200 orang hadir. Mayoritas mahasiswa Universitas al-Azhar, mulai jenjang S-1 sampai S-3. Acara berlangsung di Aula Dar El-Munasabat Rabiah al-Adawiyah, sebuah tempat yang berasitektur klasik. Ternyata peserta bukan hanya alumni Pondok Gontor saja. Workshop dibuka oleh Dubes ad-interim Indonesia di Kairo, Muzammil Basyuni, dan dimulai dengan acara pidato pembukaan oleh pimpinan PP Gontor Ponorogo, KH Abdullah Syukri Zarkasyi. Hari pertama, dari pagi sampai sore, kami membahas materi tentang Pandangan Hidup Islam (Islamic worldview), peradaban Barat dan peradaban Islam, serta sejarah dan konsep sekularisme di Barat dan pengaruhnya terhadap pemikiran Islam kontemporer. Malam hari, usai acara workshop, kami melakukan silaturrahim dan dialog khusus dengan para mahasiswa pasca sarjana Indonesia di Kairo. Hadir juga beberapa mahasiswa dari Aljazair dan Sudan yang sedang melakukan penelitian di Kairo. Melalui dialog inilah terjadi saling pengertian dan semangat kebersamaan untuk mewujudkan cita-cita bersama membangun tradisi keilmuan Islam yang tinggi, berbasis kepada tradisi dan khazanah keilmuan Islam. Dalam berbagai kesempatan, kami selalu menekankan pentingnya umat Islam, khususnya para calon cendekiawan dan ulamanya agar menjadikan masalah ilmu sebagai masalah utama dalam kehidupan umat Islam. Dan di Kairo inilah gudangnya khazanah tradisi keilmuan Islam berada. Ada ungkapan populer, bahwa Kairo adalah ‘Ka’batul ‘Ilmi’ (kiblatnya ilmu). Kitab-kitab ‘turats’ (khazanah intelektual Islam) melimpah ruah. Para ulama dan pakar-pakar tentang keagamaan Islam juga berjubel di sini. Sayang sekali jika semua itu tidak dimanfaatkan. Dalam dialog ini saya melihat begitu banyak ‘mutiara-mutiara’ yang bernilai tinggi. Tampak jelas, sejumlah mahasiswa yang memiliki wawasan keilmuan Islam yang tinggi, mendalam, dan mampu menulis dengan baik. Itu tercermin dari berbagai penerbitan mahasiswa di Kairo. Sungguh sayang, jika semua potensi itu nantinya akan tersia-siakan, ketika mereka kembali ke tanah air. Saya sangat gembira, misalnya, membaca sejumlah penerbitan – baik buku maupun jurnal – yang diterbitkan oleh Muhammadiyah Mesir. Sangat membanggakan. Disamping kuat dalam rujukan keilmuan Islam, bahasanya pun cukup enak dibaca dan mudah di mengerti, serta sangat kritis terhadap pandangan hidup dan konsep-konsep di luar Islam. Dari tulisan-tulisan itu tampak, semangat ilmiah para mahasiswa Indonesia di Kairo sangat tinggi. Begitu juga yang di Persis dan NU. Tentunya ini merupakan tanggung jawab para pimpinan dan tokoh Islam di Indonesia, agar tidak menyia-nyiakan potensi intelektual mereka. Di sela-sela acara workshop dan berbelanja buku di Kairo, kami juga menerima undangan bersilaturrahim dan berdialog dengan berbagai organisasi Islam di Kairo, seperti Perwakilan Persis, Perwakilan Muhammadiyah, perwakilan NU Mesir, dan lain-lain. Semua itu sangat menggembirakan. Silaturrahim ilmu seperti itu sangat baik untuk terus dikembangkan, agar dapat terjalin saling pengertian dan pemahaman tentang masalah umat dan keislaman. Acara workshop pada hari kedua (20/2/2006), dari pagi sampai sore, membahas materi hermeneutika. Materi ini memang kami pandang sangat penting, karena telah dijadikan sebagai mata kuliah wajib di beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dan ratusan buku tentang hermeneutika telah diterbitkan di Indonesia. Dalam berbagai tulisan dan forum, kami berusaha menjelaskan, apa sebenarnya hermeneutika dan bagaimana dampaknya jika diterapkan untuk menggantikan ilmu tafsir Al-Quran. Kami juga menunjukkan contoh-contoh penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Quran yang dilakukan oleh sejumlah pemikir di dunia Arab dan Indonesia. Memang, di jurusan tafsir Universitas alAzhar sendiri, masalah hermeneutika belum menjadi isu penting. Tetapi, banyak mahasiswa di Kairo yang sudah mendengar dan membaca tentang masalah ini. Pada tanggal 21 Februari 2006, workshop istirahat sehari. Kami menyempatkan diri mengunjungi kampus Universitas al-Azhar, bidang Dirosah Islamiyah. Kampus ini memang luar biasa besarnya. Suasana klasik Islam begitu terasa. Mahasiswanya sangat ramai. Puluhan ribu orang. Tahun ini saja, mahasiswa baru asal Indonesia berjumlah 1000 orang lebih. Jumlah total mahasiswa Indonesia di Kairo saja ada sekitar 4300 orang. Sebagian besarnya belajar di Fakultas Ushuluddin, Syariah, Tarbiyah, dan Lughah Arabiyah. Pada satu sisi, jumlah mahasiswa dan nama besar Al-Azhar memang membanggakan. Tetapi, pada sisi lain, ini juga titik rawan pada sisi kualitas intelektual. Bimbingan intelektual kepada mahasiswa kurang. Karena itu, banyak mahasiswa Indonesia yang melakukan berbagai aktivitas ilmiah di luar kampusnya, untuk membangun kapasitas intelektualnya. Satu lagi yang terasa pada Al-Azhar adalah suasana lingkungan dan bangunan fisiknya. Bagi yang pernah belajar di kampus-kampus di Barat atau Malaysia, suasana fisik itu sangat terasa. Tetapi, semua kekurangan fisik ini seyogyanya tidak mengurangi penghargaan akan potensi besar al-Azhar dalam membangun tradisi keilmuan Islam. Jangan sampai karena melihat ada setitik noda di wajah seorang perempuan, maka hilang seluruh respek pada kecantikannya. Menjelang workshop hari terakhir (22/2/2006), saya dihinggapi keraguan, apakah peserta masih akan bertahan seperti hari pertama dan kedua, mengingat materi-materi dalam workshop memang cukup menyita keseriusan pemikiran. Tempat acara workshop berpindah ke Auditorium Shalih A. Kamil Universitas Al-Azhar Kairo, sebuah tempat yang besar dan terkenal. Ternyata, saat dimulai, kekhawatiran saya tidak terbukti. Peserta pada hari ketiga justru bertambah banyak. Materi yang dibahas adalah sejarah peradaban Barat dan dampaknya terhadap pemikiran keagamaan, Al-Quran dan orientalisme, dan kritik terhadap framework kajian orientalis dalam studi Filsafat Islam. Workshop berlangsung sampai waktu maghrib tiba. Diskusi-diskusi hangat berlangsung. Puncaknya, pada malam terakhir, usai acara workshop, acara dilanjutkan dengan Dialog Umum di tempat yang sama. Acara juga dibuka oleh Dubes ad interim RI di Kairo, dan diberi pengantar oleh KH Abdullah Syukri. Acara dialog ini berlangsung semarak dan sangat ramai, dihadiri oleh sekitar 700 mahasiswa. Tempat duduk di bawah dan di tingkat atas untuk wanita tidak mencukupi, sehingga banyak yang berdiri dan duduk di lantai. Acara dipandu oleh Mukhlis Hanafi, Kandidat Doktor bidang tafsir, yang pada 6 Maret 2006, menyelesaikan ujian akhirnya di Universitas al-Azhar Kairo. Dalam dialog ini, kami kembali menekankan cita-cita besar untuk membangun peradaban Islam berdasarkan pada ilmu pengetahuan Islam. INSISTS juga mengajak kepada para mahasiswa di Kairo untuk bersama-sama membangun dan meningkatkan tradisi keilmuan Islam, berbasiskan kepada khazanah keilmuan Islam, dan mampu mengkaji secara kritis konsep-konsep keilmuan yang berasal dari peradaban asing. Alhamdulillah, sambutan yang kami terima sangat menggembirakan. Memang sekarang, sejalan dengan membanjirnya alumni Barat dalam studi Islam di Indonesia, posisi Kairo dan Timur Tengah pada umumnya, agak tergeser. Dulu, rektor IAIN Jakarta, Prof. Dr. Harun Nasution memang pernah menyatakan, bahwa ia puas belajar Islam di McGill dan tidak puas belajar di Al-Azhar, karena Islam di McGill adalah Islam rasional dan Islam di Al-Azhar adalah Islam irasional. Sejak awal 1980-an, mulailah kiblat studi Islam digeser dari Timur Tengah ke Barat. Kami mengajak teman-teman mahasiswa di Kairo untuk menyambut tantangan keilmuan Islam saat ini dengan sikap positif, yakni dengan bersama-sama meningkatkan kualitas intelektual dan kualitas amal. Bukan dengan meratapi situasi. Jika kita ingin memindahkan kiblat pemikiran Islam dari Chicago, Leiden, Melbourne, Edinburg, Oxford, dan sejenisnya, ke Kairo, Madinah, Mekkah, Kuala Lumpur, atau Jakarta, maka semua itu harus dilakukan dengan kerja keras. Pada saat terakhir, saya mengingatkan kembali peringatan imam al-Ghazali tentang pentingnya niat yang ikhlas – semata-mata untuk meraih hidayah dan keridhaan Allah – dalam menimba ilmu. Dengan itu, semoga kita meraih ilmu yang bermanfaat, ilmu yang menambah ketaqwaan dan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu yang mengantarkan kepada kebahagiaan abadi, dan ketenangan dalam iman. Pada akhir acara, kami benar-benar sangat terharu dengan sambutan yang sangat baik dari temanteman mahasiswa Kairo. Kebahagiaan itu semakin terasa karena kita berangkat dari semangat dan serba keterbatasan, tanpa dukungan materi yang melimpah dari negara-negara atau foundation tertentu. Kebahagiaan karena diperkenankan oleh Allah untuk memperjuangkan cita-cita yang mulia, membangun kembali tradisi keilmuan Islam di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat penting dalam pemikiran Islam internasional, di masa mendatang. Insyaallah. Pada hari Kamis (23/2/2006), seharian penuh kami mengunjungi kota Alexandria di Mesir. Jaraknya sekitar 220 km dari Kairo. Yang paling mengesankan dalam perjalanan ini adalah kunjungan ke Perpustakaan Alexandria (Bibliotica Alexandria) yang sangat besar, megah, dan mewah. Untuk masuk ke perpustakaan ini, pengunjung dari luar Mesir ditarik bayaran 10 pon Mesir (sekitar Rp 17.000). Koleksi buku-buku dalam studi Islam memang tidak selengkap dan sebanyak di ISTAC Malaysia. Tapi, kami juga belajar banyak dari perpustakaan ini, sejalan dengan program utama INSISTS saat ini untuk membangun sebuah perpustakaan Islam berkualitas internasional di Jakarta. Semoga Allah SWT meridhai langkah kita semua. Workshop di Kairo memang sangat berkesan bagi kami. Insyaallah, pada awal Maret 2006, INSISTS melanjutkan perjalanan ke Jeddah dan Madinah untuk menyampaikan presentasi tentang tantangan pemikiran Islam di Indonesia. Rencananya, dilanjutkan dengan acara workshop di London. Tapi karena masalah teknis dan ekonomis, maka acara di London ditunda. Mudahmudahan, di masa mendatang, INSISTS dapat menyelenggarakan workshop tentang pemikiran Islam di berbagai negara lain, termasuk di Australia, Eropa, dan Amerika. Amin. (Kairo, 24 Februari 2006). 10.2. "Menteri Agama dan Ahmadiyah" Minggu, 19 Pebruari 2006 Pernyataan Menag tentang Ahmadiyah mendapat kecaman kaum sekular-liberal. Jika konsisten, kaum liberal seyogyanya menghormati keimanan Menag. Baca CAP Adian Husaini ke-135 Dalam beberapa hari ini, berbagai media massa, cetak maupun elektronik, memuat dan memberikan komentar seputar pernyataan Menteri Agama RI, Maftuh Basyuni, yang secara tegas menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar Islam, dan mempersilakah kaum Ahmadiyah membuat agama baru, di luar Islam. Secara substansial, pernyataan Menag RI tersebut bukanlah hal baru. Majlis Tarjih Muhammadiyah, MUI, dan berbagai lembaga Islam internasional sudah menyatakan hal yang sama. Bahwa, memang Ahmadiyah adalah aliran sesat yang berada di luar Islam. Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, menjadikan keputusan Majma’ al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI), yang diputuskan tahun 1985. Isinya menyatakan, bahwa Aliran Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam karena mengingkari ajaran Islam yang qath’iy, dan disepakati oleh seluruh umat Islam bahwa Muhammad saw sebagai nabi dan rasul terakhir. Fatwa MUI tahun 2005 itu menegaskan kembali fatwa tahun 1980, bahwa Ahmadiyah adalah aliran sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad. MUI juga meminta agar pemerintah segera melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasinya. Jadi, apa yang dikatakan oleh Menag Maftuh Basyuni adalah penegasan dari keputusan berbagai lembaga Islam internasional yang otoritatif di bidangnya. Yang menjadi nilai lebih adalah bahwa Maftuh Basyuni mengeluarkan pernyataan itu sebagai Menteri Agama RI. Maftuh telah melakukan tindakan yang sangat berani mengungkapkan pemikiran dan keyakinannya sebagai Muslim tentang aliran Ahmadiyah. Tentu saja, pernyataan Maftuh itu sangat melegakan kaum Muslim Indonesia. Tapi, bagi sebagian kalangan lain yang berpikiran dan berpandangan hidup sekular-liberal, pernyataan Maftuh Basyuni itu bagaikan petir di siang bolong. Berbagai kecaman, hujatan, dan komentar negatif mengalir terhadap Maftuh Basyuni. Seperti diketahui, sebelum fatwa MUI tahun 2005 itu keluar, berbagai pihak sudah mendesak agar MUI mencabut fatwa sebelumnya, tentang Ahmadiyah. Misalnya, Aliansi Masyarakat Madani yang menyatakan, “MUI perlu mencabut semua fatwa yang memandang sesat aliran lain yang berbeda, karena fatwa tersebut seringkali dijadikan landasan untuk melakukan tindakan kekerasan dan keresahan." Menurut mereka, fatwa MUI ini bertentangan dengan prinsip kebebasan berkeyakinan di dalam konstitusi. Selain itu, pemerintah juga didesak untuk mencabut surat-surat keputusan atau surat edaran yang didasarkan pada fatwa MUI tersebut. Gerakan untuk melegalkan aliran sesat di Indonesia terus-menerus dilakukan dengan logika kebebasan dan anti-diskriminasi. Bahkan, DPR RI baru saja meloloskan satu RUU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. RUU ini sangat aneh, sebab memasukkan agama sebagai salah satu unsur dalam kategorisasi etnis. Seorang atau siapa pun yang melakukan diskriminasi ras dan etnis bisa dikenai hukuman paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta rupiah. Termasuk dalam bentuk pelanggaran hak-hak sipil, misalnya, adalah melakukan pelarangan atau pembatasan terhadap seseorang untuk memilih pasangan hidup dalam perkawinan. Jadi, jika nanti ada orang tua yang melarang anaknya untuk menikah dengan pemeluk agama lain, merujuk kepada RUU ini, maka si orang tua itu dapat dikenai hukuman satu tahun penjara atau denda Rp 100 juta. Pandangan hidup atau pola pikir kaum sekular-liberal dalam soal agama ini sangat berbeda dengan cara orang Muslim dalam melihat agamanya. Islam adalah agama wahyu, sehingga Islam memiliki batasan yang jelas, mana yang Islam dan mana yang di luar Islam. Sejak awal, Islam sudah didefinisikan dengan jelas oleh Nabi Muhammad saw. Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang terkenal, al-Arba’in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: "Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah, jika engkau berkemampuan melaksanakannya." (HR Muslim). Rukun iman pun sangat jelas: Iman kepada Allah, kepada Malaikat, kepada Kitab-kitab Allah, kepada para Nabi, kepada Hari Akhir, dan kepada taqdir Allah. Semua itu jelas dan gamblang. Bahwa, Nabi Muhammad saw adalah nabi terakhir, adalah juga hal yang pokok dan final dalam Islam. Tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Inilah masalah pokok dari aliran Ahmadiyah, yakni meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, meskipun ditambahkan, bahwa dia bukan nabi pembawa syariat. Berarti tingkatannya sama dengan Nabi Isa a.s., yang tidak membawa Syariat baru. Padahal, dengan meneliti tulisan-tulisan yang kata mereka merupakan wahyu yang diterima Ghulam Ahmad, terbukti bahwa dia nabi palsu. Masalah ini sudah berpuluh tahun diteliti dan dibuktikan oleh para cendekiawan dan ulama Islam seluruh dunia. Akan tetapi, untuk meyakinkan dan menakut-nakuti orang yang tidak percaya kepadanya, Ghulam Ahmad mengaku menerima wahyu-wahyu yang mengutuk orang-orang yang mengingkarinya. Misalnya, pengakuannya, : "Dan dari sejumlah ilham-ilham itu, ada diantaranya yang didalamnya sejumlah ulama yang menentangku dinamakan Yahudi dan Nasrani." (Mirza Ghulam Ahmad, Hamamat al-Bushra, hal. 19). Dan katanya lagi, “Maka barangsiapa yang tidak percaya pada wahyu yang diterima Imam yang dijanjikan (Ghulam Ahmad), maka sungguh ia telah sesat, sesesat-sesatnya, dan ia akan mati dalam kematian jahiliyah, dan ia mengutamakan keraguan atas keyakinan.” (Mirza Ghulam Ahmad, Mawahib al-Rahman, hal. 38). Ghulam Ahmad juga mengaku, “dan termasuk diantara tanda-tanda (kebenaran dakwahku) yang nampak dalam zaman ini ialah matinya orang-orang yang menentangku dan menyakitiku serta memusuhiku habis-habisan.” Jadi memang ada persamaan antara Ahmadiyah dengan Islam, tetapi juga ada perbedaan yang fundamental. Cendekiawan Muslim Pakistan, Dr. Moh. Iqbal pernah ditanya oleh Jawaharlal Nehru mengapa kaum Muslimin bersikap keras untuk memisahkan Ahmadiyah dari Islam? Iqbal menjawab: “Ahmadiyah berkeinginan untuk membentuk dari umat nabi Arabi (Muhammad saw) satu ummat yang baru bagi nabi Hindi.” Ketua pemuda Ahmadiyah Abdul Musawir pernah diwawancarai salah satu situs liberal, dan enyatakan, bahwa Ghulam Ahmad sendiri mengakui, dirinya tidak ada artinya apa-apa dibandingkan Rasulullah saw. Padahal, Ghulam Ahmad pernah menyatakan, bahwa: “Dalam wahyu ini Tuhan menyebutkanku Rasul-Nya, karena sebagaimana sudah dikemukakan dalam Brahin Ahmadiyah, Tuhan Maha Kuasa telah membuatkan manifestasi dari semua nabi, dan memberiku nama mereka. Aku Adam, aku Seth, aku Nuh, aku Ibrahim, aku Ishaq, aku Ismail, aku Ya’qub, aku Yusuf, aku Musa, aku Daud, aku Isa, dan aku adalah penjelmaan sempurna dari Nabi Muhammad saw, yakni aku adalah Muhammad dan Ahmad sebagai refleksi". (Haqiqatul Wahyi, h. 72). (Majalah Sinar Islam (terbitan Ahmadiyah) edisi 1 Nopember 1985). Di era liberalisasi dan kebebasan informasi, Ahmadiyah saat ini menikmati keuntungan, didukung oleh berbagai kalangan yang menginginkan adanya kebebasan beragama – apa pun bentuknya. Tidak boleh seorang dilarang untuk mengamalkan atau menyiarkan agama atau kepercayaannya. Apa pun bentuknya. Di dalam agama-agama lain, fenomena semacam itu sudah tidak dapat dibendung lagi. Apa pun bentuknya, apa pun jenis ajarannya, selama dia mengaku Kristen, misalnya, tetap harus diakui sebagai Kristen. Mana Kristen yang benar dan mana Kristen yang salah, masing-masing sekte tidak dapat saling menghakimi dan menentukan. Begitu juga di dalam tradisi Hindu, Budha, dan sebagainya. Inilah salah satu cirri dari ‘evolving religion’ atau ‘historical religion’; yakni agama yang berkembang dan menyejarah. Islam saat ini juga sedang diperlakukan seperti itu. Berbagai kalangan yang mengimani konsep HAM sekular-Barat, sebagai pedoman hidup dan berpikir, juga melihat Islam dalam kacamata mereka. Mereka terheran-heran kepada kaum Muslim yang masih menyatakan, bahwa Ahmadiyah adalah sesat dan menyesatkan. Kata mereka, tidak boleh lagi ada yang berhak menyatakan kelompok atau aliran lain yang berbeda dengan dirinya sebagai aliran sesat atau salah. Tidak boleh menyatakan murtad, kafir, atau sejenisnya kepada kelompok di luar itu. Inilah asas pemikiran relativisme dan pluralisme agama, yang memang sedang melanda dunia, sebagaimana dikatakan oleh Joseph Runzo, dalam bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986):: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan:“relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. Jadi, abad ini memang sedang dihegemoni oleh pemikiran relativisme, dan sebagai dampaknya, umat Islam juga dipaksa untuk mengikuti paham itu, sehingga tidak boleh melakukan klaim kebenaran (truth claim) atas agama dan keyakinannya. Para penganut relativisme dan konsep HAM sekular-Barat itu menginginkan agar orang Islam jangan ribut-ribut jika ada orang yang menyebarkan paham yang berbeda dengan ajaran pokok dalam Islam. Biarkan saja jika ada orang Islam yang menyebarkan pahamnya, bahwa Lia Aminuddin adalah nabi. Biarkan saja jika ada yang menyebarkan paham bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi, dan wajib diimani kenabiannya. Biarkan saja jika ada yang mengkampanyekan kepada masyarakat bahwa shalat itu tidak wajib. Biarkan saja – dan tidak usah ribut-ribut – jika ada yang menyebarkan paham bahwa salat dalam bahasa apa pun adalah diperbolehkan. Bagi mereka, tidak ada lagi konsep murtad (keluar dari agama Islam). Di Barat, sesuai konsep kebebasan mereka, maka semua itu diperbolehkan. Tidak boleh dilarang, selama tidak menganggu secara fisik. Tentu saja hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep Islam tentang makna kebebasan itu sendiri. Disamping manusia diberi kebebasan tertentu, tetapi mereka juga berkewajiban mengamalkan ajaran Islam dalam al ‘amar ma’ruf nahi munkar’. Islam memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memilih iman atau kufur. Silakan saja, dan tanggung sendiri akibatnya. Tetapi, jika seseorang atau satu kelompok menyiarkan pahamnya, bahwa ajaran yang menyimpang adalah ajaran yang benar, maka itu sudah merupakan kemunkaran besar, dan wajib bagi kaum Muslimin untuk mencegahnya. Perspektif keimanan dan tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar ini sama sekali tidak ada dalam konsep kebebasan HAM sekular yang tidak memiliki dimensi keakhiratan. Bagi kaum sekularliberal, tidak ada bedanya antara yang haq dan yang bathil. Tidak ada bedanya antara iman dan kufur. Tidak ada bedanya antara sunnah dan bid’ah. Tidak ada bedanya antara Ahmadiyah dengan Ahlu Sunnah wal-Jamaah. Bagi mereka masalah iman bukanlah hal penting. Sebagai seorang Muslim, di era hegemoni paham relativisme kebenaran dan keimanan, Menteri Agama Maftuh Basyuni telah menunjukkan teladan dan keberanian menyatakan pikiran dan keimanannya dalam menyikapi suatu bentuk kebatilan. Seyogyanya, jika konsisten dengan pikirannya, kaum sekular-liberal juga harus menghormati keimanan dan keyakinan Menteri Agama. Wallahu a’lam. (Bahrain, 17 Februari 2006). 10.3. "Jalan Panjang Hamas Menuju Kekuasaan" Selasa, 14 Pebruari 2006 Hamas akhirnya memenangkan Pemilu Palestina tahun 2006. Bisakah Hamas menjaga intregritasnya untuk tak tunduk AS dan Israel? Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-133 Hamas (Harakan al-Muqawwamah al-Islamiyah/Gerakan Perlawanan Islam) akhirnya memenangkan Pemilu Palestina tahun 2006. Tampilnya Hamas di panggung kekuasaan Palestina ini sebenarnya telah banyak diperkirakan jauh sebelumnya. Dalam artikelnya di Jurnal Foreign Affairs (Agustus 1998), Khalil Shikaki, profesor ilmu politik di Universitas Nasional An Najah, Nablus, Palestina, memberikan kesimpulan: "Peace Now or Hamas Later." (Berdamai Sekarang, atau nanti berhadapan dengan Hamas). Menurut Shikaki, jika proses perdamaian antara Israel-Palestina gagal, maka alternatifnya adalah jihad oleh rakyat Palestina dan umat Islam internasional. Dan itulah yang dikehendaki oleh Hamas dan gerakan-gerakan Islam lainnya. Shikaki mencatat: "One of the main reasons that Yitzak Rabin, known in Israel as "Mr. Security", went to Oslo was his fear that his choice was to deal either with the PLO today or Hamas tomorrow." Menurut Shikaki -- artikelnya ditulis saat Benjamin Netanyahu berkuasa -- Netanyahu juga menghadapi pilihan yang sama. Bisa disimpulkan, Ehud Barak juga menghadapi pilihan yang sama dengan para pendahulunya. Berdamai dengan Arafat atau menghadapi kondisi yang lebih buruk -- berhadapan dengan Hamas dan Jihad Islam. Ketika itu, Israel patut khawatir terhadap perkembangan kelompok Islam garis keras seperti Hamas, meskipun Arafat pernah menyatakan, bahwa hanya sedikit orang Palestina yang setuju dengan negara Islam sebagaimana dicitakan oleh Hamas. Sejak tahun 1990, popularitas Hamas sudah semakin meningkat. Menyusul peristiwa berdarah "Bukit Sinagog", Oktober 1990, Hamas berhasil membuktikan, bahwa anggota-anggota perlawanan keagamaan (bukan sekular) rela menyerahkan nyawa mereka dalam mempertahankan iman, ketika perjuang-pejuang secular tidak berbuat apa-apa. Insiden Bukit Sinagog diawali ketika aktivis Israel, Gershon Solomon, dan para pengikut Bukit Sinagog, akan berbaris di Komplek Al Aqsha dan akan meletakkan batu simbol pendirian Sinagog baru. Berbagai bentrokan antara Israel dengan Hamas pada akhir 1990 menunjukkan, bahwa Hamas adalah organisasi pemberani, sehingga menarik banyak pemuda Islam. Dalam dua bulan terakhir tahun 1990, setidaknya delapan orang Israel dibunuh oleh orang-orang Hamas. Menyusul tiga pekerja Israel yang tewas di Jaffa, pertengahan Desember 1990, hampir 1.000 orang yang tergabung dalam Hamas ditangkap. Termasuk diantara mereka Abdul Aziz Rantisi, tangan kanan pendiri Hamas. Agresivitas Hamas itu tampaknya menarik banyak simpati, sehingga pada 1991, pendukung Hamas mulai memenangkan pemilu di Tepi Barat, di samping Gaza. Pada 1991, Syaikh Yassin dipenjara. Dilemma Hamas Meskipun telah memenangkan Pemilu, masalah yang dihadapi Hammas tidaklah ringan. Jalur politik yang ditempuhnya mengharuskannya bersikap lebih pragmatis dan realistis. Harian Kompas (30/1/2006), memberitakan komitmen Hamas untuk menghormati kesepakatan yang telah dicapai antara Israel dengan PLO sebelumnya. Hamas juga berusaha membuka dialog dengan Amerika Serikat dan Israel. Padahal, jauh sebelumnya, Hamas – bersama kelompok pejuang Islam lainnya, semisal Jihad Islam – sudah menentang digelarnya perjanjian damai dengan Israel. Meskipun mengecam keras tindakan Arafat, namun kelompok-kelompok Islam ini tidak pernah menyerang posisi-posisi Palestina. Mereka tetap menyerang posisi-posisi Israel. Setiap kegagalan perjanjian damai, semakin meningkatkan pamor dan popularitas kelompok-kelompok ini di mata rakyat Palestina, karena kalangan ini meyakini bahwa kaum Zionis Yahudi adalah pengkhianat dan penjajah tanah Palestina. Seperti yang dilakukan Yitzak Rabin dalam Kesepakatan Oslo, dalam Perjanjian Wye River II, di Sharm El-Sheikh, 5 September 1999, yang menjadi pijakan penyelesaian status final Palestina, Ehud Barak juga mensyaratkan penumpasan terorisme terhadap Israel, sebagai imbalan diserahkannya sebagian wilayah Tepi Barat. Menyusul perjanjian itu, sejumlah tokoh Hamas dan Jihad Islam ditahan oleh otoritas Palestina. Dalam lampiran rahasia yang menyertai Kesepakatan Oslo, yang disiarkan oleh Majalah Al Mujtama dan Al Wathan edisi 7 September 1993, disebutkan, bahwa PLO mengakui eksistensi negara Israel dan hak bangsa Israel di Palestina, dan pemerintahan Israel mengakui eksistensi PLO sebagai pemerintahan sementara otonomi. PLO berjanji akan menghentikan semua aksi publikasi yang bersifat permusuhan terhadap Israel dan akan melakukan pembersihan terhadap aksi-aksi penentangan politik atau militer Palestina mana saja yang diarahkan kepada perusakan Israel dan pembunuhan warga negaranya. Menteri Lingkungan Israel, Yoshi Sharied, menyatakan, bahwa Israel membantu memperkuat PLO demi melemahkan musuh-musuhnya yang juga menjadi musuh Israel, yang secara terang-terangan disebutnya Gerakan Hamas. Di tengah berlangsungnya KTT Camp David II, tahun 2000, pemimpin Hamas Sheikh Ahmad Yassin, menyatakan, bahwa setiap perjanjian damai yang mengkompromikan status Jerusalem dan hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah airnya, sama saja dengan politik bunuh diri bagi Arafat. Yassin jugamenyerukan agar delegasi Palestina yang ke Camp David kembali pulang, karena apa yang akan dicapai di Camp David II adalah hal yang buruk dan tidak merupakan refleksi dari kemauan rakyat Palestina. Karena itu, Hamas berjanji akan menentang setiap bentuk perjanjian yang tidak memenuhi harapan penuh rakyat Palestina. Yassin juga menegaskan, bahwa gerakan Islam Hamas tetap bebas untuk melakukan perjuangan bersenjata melawan Israel walaupun Arafat mengumumkan kemerdekaan negara Palestina. Masalahnya, kata Yassin, negara Palestina tersebut tidak akan menempati seluruh wilayah Palestina. Dalam pandangan Hamas, masalah Palestina adalah masalah agama (Islam). Menurut Ahmad Yassin, Ide gerakan pembebasan sekular Palestina adalah salah, karena "tidak ada negara sekular dalam Islam". Pada Agustus 1988, Hamas mempublikasikan "manivesto" 40 halaman, yang mewakili visi Palestina Islam dan menyatakan, bahwa satu-satunya tindakan yang benar adalah menolak ideologi sekular dan strategi kompromi PLO. Yang benar adalah "mengobarkan jihad" langsung melawan Israel. Dalam Piagam Hamas pasal 13 disebutkan: "Mengurangi sebagian dari Palestina sama dengan mengurangi sebagian dari agama (Islam). Hamas menempatkan posisi Palestina sesuai dengan kedudukannya dalam perspektif hukum Islam. Palestina adalah tanah wakaf Islam kepada segenap generasi Islam sampai hari Kiamat. Tidak boleh dikurangi sebagian apalagi seluruhnya, atau diserahkan kepada orang lain. (pasal 11). Dengan logika Hamas, maka pendudukan Israel tidak hanya melanggar hak rakyat Palestina tetapi juga melanggar hak Islam yang suci. Hamas berkeinginan menghancurkan eksistensi negara Israel dan mendirikan sebuah tatanan sosial-politik Islam di Palestina. Bangsa Yahudi dipandang sebagai kolonial dan harus diusir dari Palestina. Eksistensi Israel dianggap sama dengan eksistensi imperialisme asing di masa silam. Jika ada sebagian bumi kaum Muslimin dirampas musuh, menurut Hamas, maka wajib hukumnya melakukan jihad bagi setiap Muslim. Maka, dalam menghadapi pendudukan Yahudi atas Palestina, tidak boleh tidak harus mengibarkan panji jihad. Dalam perspektif ideologi Islam seperti yang dianut oleh Hamas, maka setiap bentuk perjanjian damai dengan Israel -- yang berarti pengakuan atas eksistensi Israel -- akan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Islam. Sejak lama, sejumlah ulama Islam telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pengakuan terhadap eksistensi negara Zionis Israel. Kasus yang menimpa Presiden Mesir Anwar Sadat adalah contohnya. Sadat akhirnya tewas diberondong peluru tentaranya sendiri. Kematiannya dihubungkan dengan langkah politiknya yang -- waktu itu -- dipandang cukup berani, yaitu meneken perjanjian damai dengan negara Israel, tahun 1979. Sadat dipandang telah menjual tanah Palestina kepada Israel dengan mengakui keberadaan negara Yahudi tersebut. Padahal, menurut Direktur Majelis Tinggi Islam di Palestina, Al Hajj Amin Al Husaini, menjual tanah Palestina sama nilainya dengan kemurtadan. Imam Masjid Aqsha Syekh Bayuth at Tamimi mengecam keras tindakan Sadat. ''Nabi tidak pernah menyerahkan sebidang tanah pun kepada kaum kafir. Akan tetapi Sadat telah menyerahkan bumi Islam di Palestina,'' kata Tamimi, yang menolak persamaan Camp David dengan Perjanjian Hudaibiyah. Dalam perjanjian Hudaibiyah, kaum Quraisylah yang mengakui pertama kali terhadap keberadaan negara Madinah. Sementara, dalam perjanjian Camp David, Sadatlah, yang justru pertama kali mengakui keabsahan negara Israel. Untuk menghadapi gerakan-gerakan Islam, Israel menggunakan tangan otoritas Palestina dan penguasa-penguasa Arab lainnya. Gerakan Al Ikhwanu al Muslimun (induk Gerakan Hamas) ditumpas di Mesir, dan pemerintah Jordania beberapa kali mengusir para tokoh Hamas dari negaranya. Dalam kasus tokoh Hamas, Abu Hannud, yang diburu Israel, pihak otoritas Palestina menahan Hannud. Atas peristiwa itu, pejabat Israel Amnon Lipkin Shahak, menyatakan, "Jika Hannud dipenjara, hal itu sudah sesuai dengan kesepakatan kami dengan Palestina." Jadi, dalam perspektif ideologis, kerjasama antara pemerintahan Ehud Barak, PLO, dan berbagai pemerintahan Arab, merupakan kerjasama yang wajar, karena mereka sama-sama memandang "gerakan Islam" seperti Hamas, sebagai musuh bersama. Kelompok-kelompok Islam ini juga dipandang sebagai "duri dalam daging" bagi rezim-rezim Arab, karena mereka menghendaki tegaknya negara Islam, dan menolak penguasaan rezim-rezim Arab tertentu atas tempat-tempat suci umat Islam, seperti Masjidil Haram atau Masjid Al-Aqsha. Yusuf Qaradhawi memberikan analisis, ada tiga sebab, mengapa Israel bersemangat untuk mencapai persetujuan damai dengan Palestina. Yang utama, adalah untuk memukul gerakan Islam di Palestina dan di dunia Arab, bahkan dunia Islam pada umumnya. Qardhawi mengutip ucapan Shimon Peres: "Kalau kami melambatlambatkan perjanjian ini, maka kekuatan Islam akan muncul tiga sampai empat tahun lagi secara tiba-tiba dengan memiliki bom atom dan nuklir." Kini, dalam pemilu 2006, sudah terbukti, rakyat Palestina memilih Hamas sebagai pemimpin mereka. Bagaimana perjalanan selanjutnya? Kita perlu mencermati kiprah Hamas dari hari ke hari. Jalan terbaik yang perlu ditempuh oleh Hamas adalah menjaga integritasnya, membuktikan janjijanjinya dalam pemilu, dan menggalang kebersamaan Palestina serta dunia Islam lainnya. Jika Hamas gagal, maka perjalanan panjang perjuangan Palestina akan semakin panjang lagi. Wallahu a’lam. (Jakarta, 30 Januari 2006) Bab XI Januari 2006 11.1. "Paus dan Al-Quran" Minggu, 29 Januari 2006 Kristen dan Paus menolak paham relativisme iman, aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan mengadopsi nilai-nilai relativisme dalam Barat. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke- 132 Pada 17 Januari lalu, Surat Kabar ‘New York Sun’, menurunkan tulisan Daniel Pipes, berjudul “The Pope and the Koran” (Paus dan Al-Quran). Pipes, yang dikenal sebagai ‘ilmuwan garis keras’ dalam memandang Islam, mengungkap pernyataan Paus Benediktus XVI tentang Al-Quran , dalam sebuah seminar tentang pemikiran Fazlur Rahman, pada September 2005 lalu. Paus, seperti dikutip Pipes, dari Pastor Joseph D. Fessio, menyatakan, bahwa dalam pandangan tradisional Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kata-Nya kepada Muhammad, yang merupakan kata-kata abadi. Al-Quran sama sekali bukan kata-kata Muhammad. Karena itu bersifat abadi, sehingga tidak ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi atau menafsirkannya kembali. (There's no possibility ofadapting it or interpreting it). Menurut Paus, sifat Al-Quran yang semacam itu, memiliki perbedaan utama dengan konsep dalam Yahudi dan Kristen. Pada kedua agama ini, kata Paus, Tuhan bekerja melalui makhluknya. Maka, kata-kata dalam Bible, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah, kata-kata Markus. Dalam istilah Paus, “Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspirasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-katanya kepada manusia. (He's used His human creatures, and inspired them to speak His word to the world). Karena itu, menurut Paus, kaum Yahudi dan Kristen, dapat mengambil apa yang baik dalam tradisi (kitab) mereka dan menghaluskannya. Jadi, kata Paus, dalam Bible itu sendiri ada logika internal yang memungkinkan untuk disesuaikan dan diaplikasikan sesuain dengan situasi dan kondisi yang baru. (Thereis, in other words, "an inner logic to the Christian Bible, which permits it and requires it to be adapted and applied to new situations."). Dalam istilah Paus, Bible adalah “kata-kata Tuhan yang turun melalui komunitas manusia.” Konsep itu tentu sangat berbeda dengan Al-Quran, yang hingga kini diyakini oleh kaum Muslimin, sebagai “lafdhan wa ma’nan minallah” (lafadz dan maknanya dari Allah). Meskipun sama-sama keluar dari mulut Rasulullah saw, tetapi sejak awal sudah dibedakan antara Al-Quran dengan hadits Nabi. Menurut Paus, karena sifat Al-Quran yang seperti itu, maka Al-Quran tidak dapat diubah dan tidak dapat diaplikasikan.(something dropped out of Heaven, which cannot be adapted or applied). Sifat yang tetap dan tidak berubah dari Al-Quran itu, kata Paus, memiliki dampak besar, yakni bahwa Islam adalah agama yang tetap (statis), yang terpaku pada satu teks yang tidak dapat diadaptasikan. (This immutability has vast consequences: it means "Islam is stuck. It's stuck with a text that cannot be adapted). Daniel Pipes sendiri dalam artikelnya menyatakan kritiknya terhadap pendapat Paus tentang AlQuran tersebut. Al-Quran, kata Pipes, tetap bisa diinterpretasikan, dan penafsiran itu selalu berubah. Al-Quran, sebagaimana Bible, juga memiliki sejarah. Jadi, simpul Pipes, Islam bukanlah statis, fixed, atau beku (stuck), sebagaimana dikatakan Paus, tetapi yang sangat besar diperlukan untuk membuat Islam terus bergerak atau berubah. (As this suggests, Islam is not stuck. But huge efforts are needed to get it moving again). Demikian pandangan Paus dan Pipes tentang Al-Quran dan Islam. Pandangan Paus tentang Al-Quran itu perlu dicermati, sebab Paus yang sekarang memang dikenal sangat gigih dalam mempertahankan dogma-dogma keimanan Katolik. Ia dikenal sangat konservatif dalam menjaga doktrin Katolik. Pandangannya tentang Al-Quran, pada satu sisi, memberikan pengakuan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara konsep Al-Quran sebagai Kalamullah, dengan konsep Bible sebagai ‘firman Tuhan’, yang mengandung unsur manusiawi. Ini yang seharusnya juga disadari oleh umat Islam, khususnya kalangan cendekiawannya, sehingga tidak mudah begitu saja mengadopsi metodologi penafsiran Bible (hermeneutika) ke dalam metode penafsiran Al-Quran. Karakteristik Al-Quran yang teks-nya diakui sebagai wahyu oleh umat Islam, sangat berbeda dengan karakteristik teks Bible yang diakui oleh Paus, mengandung unsur-unsur manusiawi. Tetapi, pada sisi lain, gambaran Paus tentang Al-Quran dan Islam, juga terlalu sederhana, bahwa seolah-olah semua ajaran Islam dan penafsiran terhadap Al-Quran adalah statis dan sama sekali tidak berubah. Untuk hal-hal yang pokok (qath’iy) memang ayat-ayat Al-Quran tidak bisa ditafsirkan dengan multi tafsir. Semua kaum Muslimin akan bersepakat tentang hal-hal yang pokok dalam ajaran Islam. Semua umat Islam, misalnya, akan meyakini, bahwa Nabi Isa a.s. adalah nabi utusan Allah, bukan Tuhan atau anak Tuhan. Nabi Isa juga tidak mati di tiang salib, sebagaimana diyakini oleh Paus dan pengikutnya. Tetapi, tidak semua penafsiran Al-Quran bersifat beku dan jumud. Banyak ayat-ayat yang memungkinkan ada perbedaan pendapat dalam penafsiran. Dalam ilmu tafsir, ayat-ayat itu dikenal dengan istilah ‘ayat-ayat dzanniy’. Tapi, apa pun perbedaan penafsiran dalam ayat-ayat dzanniy, umat Islam tetap berpegang pada teks Al-Quran yang sama. Tidak pernah umat Islam terpikir untuk membuat Al-Quran baru, kecuali dilakukan oleh sebagian kecil kalangan yang terpengaruh oleh cara berpikir dalam tradisi Kristen tentang Kitab mereka. Jadi, gambaran Paus tentang ‘statisitas’ Islam, tidak sepenuhnya benar. Tapi, gambaran kaum liberal, yang mencoba menggambarkan Islam sebagai agama yang selalu berkembang mengikuti zaman dan situasi, juga tidak sepenuhnya benar. Karena Islam masih memiliki teks wahyu yang asli dalam bahasa Arab, yang dijadikan pegangan umat Islam, sehingga ada doktrin-doktrin pokok dalam Islam yang sudah sempurna sejak zaman Rasulullah saw, dan tidak pernah berubah sampai akhir zaman. Umat Islam memiliki teks wahyu yang asli, karena itu tidak ada masalah bagi umat Islam untuk menerapkan penafsiran secara tekstual terhadap Al-Quran. Seperti dijelaskan pada catatan sebelumnya, masalah otentisitas teks Bible, hingga kini terus menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan teolog dan pakar Bible. Penemuan sejumlah naskah Bible di Nag Hammadi, tahun 1945, juga menambah daftar panjang perdebatan tentang teks-teks Bible mana yang sebenarnya otoritatif untuk dijadikan sebagai ‘Kitab Suci’. Kini, kaum Kristen hanya menjadikan empat Bible (Matius, Markus, Lukas, Yohanes), sebagai kitab yang disahkan (canon). Sejumlah Bible, seperti Bible Marry, Thomas, atau Bible Philip, tidak dipandang sebagai kitab canon. Karena itu, kini buku-buku tentang Gnostik Bible dan Gnostik Christian terus bermunculan, yang menggugat tradisi Kekristenan yang berlangsung sekitar 2000 tahun. Elaine Pagels, misalnya, dalam bukunya, The Gnostic Gospels, (London: Penguin Books, 1979), memunculkan berbagai tantangan pemikiran serius yang membongkar dasar-dasar keimanan kaum Kristen, termasuk masalah keabsahan Bible. Sayangnya, sebagian kalangan Muslim sendiri, justru kemudian terjebak dalam keraguan tentang kebenaran Al-Quran sebagai Kalamullah. Tanpa sadar, bahwa pandangan semacam itu telah menghancurkan keyakinan agamanya sendiri, tanpa bekal keilmuan yang memadai. Kadangkala pandangan tentang Al-Quran yang disamakan dengan Bible hanya dijadikan batu pijakan untuk melakukan liberalisasi di dalam penafsiran al-Quran. Yang perlu digarisbawahi pada kata-kata Diniel Pipes adalah ungkapannya, bahwa Islam bisa diubah dan bisa berubah, dan untuk melakukannya dilakukan usaha yang sangat besar. Usaha kaum orientalis dan Barat untuk mengubah Islam sudah dan sedang terus berjalan. Mereka berusaha menjadikan Islam sebagai ‘evolving religion’, agam yang selalu berkembang dan berubah, sehingga Islam menjadi tanpa bentuk lagi, sehingga tidak ada lagi Islam yang satu, tidak ada Islam yang asli. Sebab, setiap agama akan selalu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi yang baru, sebagaimana yang terjadi dalam Yahudi dan Kristen. Yang ada, kata mereka, adalah Islam yang banyak, Islam yang warna-warni, dan masing-masing pihak tidak boleh mengklaim diri atau kelompoknya yang benar sendiri. Fenomena penyebaran paham ‘Islam relatif’ ini sebenarnya sungguh keterlaluan, sebab Paus saja, yang mengakui adanya usnur manusiawi dalam Bible, menolak keras paham relativisme iman. Dalam bukunya yang berjudul, The Rise of Benedict XVI, (New York: Doubleday, 2005), John L. Allen, J.R. menempatkan satu bab berjudul Battling A “Dictatorship of Relativism”. Menurut Kardinal Francis George dari Chicago, terpilihnya Ratzinger sebagai Paus di awal abad ke-21 sangat tepat, sebab, setelah Komunis runtuh, saat ini tantangan terbesar dan tersulit justru datang dari peradaban Barat. Benediktus XVI adalah orang yang datang dari Barat dan memahami sejarah dan kebudayaan Barat. (Today the most difficult challenge comes from the West, and Benedict XVI is a man who comes from the West, who understands the history and the culture of the West). Tahun 1978, saat terpilihnya Paus Yohannes Paulus II, tantangan terberat yang dihadapi Katolik adalah Komunisme. Dan tahun 2005, para Kardinal telah memilih seorang Paus yang tepat untuk menghadapi apa yang disebut oleh Benediktus XVI sebagai “dictatorship of relativism” in the West”. (hal. 165-166). Dalampengantar bukunya, Reason, Relativism, and God, (London: Macmillan Press Ltd, 1986), Joseph Runzo menulis: “We live in an age of relativism”. Juga dia katakan: “relativism has become a dominant element in twentieth century theology”. (hal. 10) Jadi, jika kaum Kristen yang kitab sucinya mengandung unsur-unsur manusiawi menolak paham relativisme iman, maka tentulah sangat aneh, jika kaum Muslim malah ikut-ikutan mengadopsi nilai-nilai relativisme dalam peradaban Barat, yang ujung-ujungnya, adalah hilangnya keyakinan kaum Muslimin terhadap kebenaran agamanya sendiri. Wallahu a’lam. (Jakarta, 27 Januari 2006/hidayatullah.com).