humanisme, arsitektur dan perencanaan

advertisement
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
The Impact of Tourism in Women Pottery Makers’ Public Spaces
Mila Karmilah1, Wiendu Nuryanti2
Abstrak
Kasongan village region outside of Yogyakarta in Java became nationally famous for their pottery once
it was designated an official Tourism Village by government planners in 1988. Subsequently, the increase in
both production and tourism radically altered the local economy and domestic life. Based on oral history,
architectural survey, and documentary sources, this paper will examine the impact tourism had on production,
architectural traditions, notions of domestic privacy, and the concept of women's work.
The change of the role of women changed the function of space in making pottery. Women traditionally
used a public space like terraces and house gallery while men as external workers were more likely to use a
workshop (brak) to making the pottery.
The different spaces that men and women used to make pottery also had an impact on the architectural
traditions in Kasongan village. This transformation of spaces is in line with Lefebvre’s concept of the production
of spaces, which works under a system of interconnected-relations (engagement).
The impact of the different spaces are because women making pottery likely used their time to share
stories (ngobrol) with other workers or neighbours, look after children and take on other domestic chores etc. It
was different with men working in a non-domestic space when they made pottery using workshops (brak). They
were more like to reach the target of their job. Although the increase of tourism industry that appeared to be
architectural testaments to a growing prosperity of the region, in fact, they should more accurately be seen as
artefacts of the decline of culture and public spaces for women.
Key Words: Women and Handicrafts; Tourism Impact on Village Architecture; Women and Public Space.
Pendahuluan
Beberapa tahun belakangan, industri pariwisata berkembang dengan cukup pesat, dan perkembangan
tersebut diikuti pula dengan berkembangnya tenaga kerja di bidang pariwisata, hal ini merupakan konsekwensi
logis dari pariwisata yang dapat menciptakan lapangan pekerjaan. Pada artikel ini akan coba dibahas bagiamana
hubungan antara perkembangan pariwisata di kasongan mempengaruhi proses produksi yang dilakukan oleh
perempuan dan laki-laki dan hal ini juga berpengaruh terhadap sistem keruangan yang terbangun dikarenakan
proses produksi tersebut.
Perdebatan mengenai signifikansi antara klas dan gender di dalam struktur masyarakat merupakan hal
yang penting diketahui (Charles, 1990; Skeggs, 1977). Artikel ini mencoba melihat kontribusi mengenai
hubungan antara gender dan ruang melalui eksplorasi penelitian yang dilakukan dengan melibatkan perempuan
dan laki-laki yang bekerja sebagai pengrajin gerabah (tiyang kundhi) yang menggunakan ruang sebagai tempat
kerja (brak) dan bagaimana makna dari ruang tersebut bagi perempuan dan laki-laki.
Studi ini mencoba menguji hubungan antara klas, gender dan ruang dimana sejak 1990 Kasongan
menjadi Desa wisata yang telah mengalami perubahan struktural, dimana masyarakat lebih reflektif didalam
penerimaannya terhadap nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat serta kehidupan tradisional. Hal tersebut
menunjukkan kesadaran penggunaan komponen sama itu dan tentang perbedaan dipegang secara serempak
sedemikian sehingga wanita-wanita sama dengan lain wanita-wanita atas dasar pengalaman yang gendered
umum tetapi juga mengenali perbedaan di dalam pengalaman mendasarkan kelas mereka dan tempat mereka. Itu
akan membantah, lebih lanjut, bahwa kita dapat dilihat dari ungkapan tentang hubungan ini di dalam kultur lokal
dan akan menyimpulkan dengan peningkatan pertanyaan tentang konsekwensi perubahan yang lebih
Di dalam mempertimbangkan kondisi sosial, kita tidak akan mencari suatu penjelasan hanya pada satu
factor, tetapi berdasarkan pada harapan dan pengalaman dalam melakukan interaksi struktural dengan manusia.
1
2
Mila Karmilah, Department of Regional and Planning UNISSULA, Semarang, Indonesia [email protected]
Wiendu Nuryanti, Department of Architecture and Planning Gadjahmada University Yogyakarta [email protected]
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Artikel akan mencoba menangkap proses perubahan tersebut melalui pengalaman, pandangan perempuan dan
laki-laki. Hal tersebut akan mempertimbangkan cara-cara yang dilakukan oleh perempuan untuk menangkal dan
bersikap terhadap perubahan yang terjadi, serta menyesuaikan dengan peran mereka baik sebagai tenaga kerja
maupun sebagai anggota masyarakat.
Metodologi
Riset ini mencoba mengeksplorasi pengalaman perempuan dan laki-laki pada konteks alami dengan
pendekatan fenomenologi.
Menurut beberapa penulis seperti Schutz (1972) dan Van Manen (1990) cara yang paling mudah untuk
melakukan investigasi pada situasi setempat dan untuk mendapatkan pengalaman masyarakat adalah dengan
melakukan pilihan pada individu-individu kemudian menuliskan pengalamannya.
Fenomenologi dirancang untuk mempertimbangkan persepsi dari partisipan yang merupakan focus
utama dari penelitian, melalui eksplorasi dari pengalaman sehari-hari dan menemukan makna dengan
menerangkan maksud/arti itu yang ditugaskan kepada mereka hidup pengalaman, dan menemukan makna dibalik
fenomena empiris (Casmir 1983; Mac Dermott 2002) Sedangkan menurut Marleau Ponty, 1962, selain yang
telah disebutkan diatas, maka kondisi psikologis partisipan juga menjadi kunci keberhasilan di dalam
mengungkapkan fenomena yang ada. Dengan demikian pendekatan fenomenologi dapat digunakan oleh berbagai
disiplin ilmu seperti penelitian pariwisata yang berfokus pada pemahaman dari pengalaman masyarakat (Casmir
1983).
Pada penelitian ini selain menggunakan pendekatan fenomenologi, maka yang juga dikembangkan
adalah pesrspektif perempuan. Penelitian berperspektif perempuan berbeda dengan penelitian yang bersifat
umum, maka penelitian yang berperspektif perempuan secara eksplisit menyatakan keberpihakannya. Peneliti
yang menggunakan perspektif perempuan merasa perlu adanya pendekatan metodologi alternative yang mampu
mengangkat pengalaman perempuan. Oleh karena sifat metodologi konvensionla cenderung mereduksi
pengalaman perempuan sebaliknuya pengalaman perempuan karena sifatnya yang kompleks dan ”tersembunyi”
memerlukan pendekatan tersendiri.
Ideologi Gender
Dalam kehidupan bermasyarakat, pembagian kerja seksual mengatur kerja perempuan dan laki-laki
yang menimbulkan pembatasan kerja yang semata-mata dikerjakan perempuan dan laki-laki yang selanjutnya
menentukan peran gender dalam masyarakat. Pembatasan ini dikukuhkan dengan “kepantasan-kepantasan” yang
dibalut dengan norma-norma yang dibentuk oleh masyarakat. Dalam hal ini pembatasan berdasarkan jenis
kelamin ini tidak semata-mata karena persoalan fisik-biologis tetapi dikontruksi secara sosial yang kemudian
dalam literatur studi perempuan dikenal dengan gender. Mengutip pemikiran Herry Ortner & Henrietta Moore,
Saptari & Holzner (1997;21,91), mendefinisikan gender, “keadaan dimana individu yang lahir secara biologis
sebagai laki-laki dan perempuan, memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atributatribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakatnya”.
Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat (empiris), dikenal ada pekerjaan perempuan dan laki-laki karena jenis
pekerjaan tersebut dianggap pantas dengan ciri-ciri feminin dan maskulin. Kenyataan dalam masyarakat, gender
menciptakan kesadaran akan adanya pembagian kerja seksual atau cenderung pada pembatasan kerja seksual
yang menimbulkan dominasi laki-laki dalam dunia kerja
Dalam kehidupan bermasyarakat, gender tidak hanya dipahami dan dipakai sebagai satu kategori sosial
dan alat analisis untuk melihat perempuan dalam relasinya dengan laki-laki dalam masyarakat seperti dipaparkan
diatas. Dalam daratan yang abstrak gender dipahami dengan arti “ideologi” untuk menerangkan realitas sosial
yang menempatkan perempuan dan laki-laki dalam peran dan posisi yang berbeda. Alice Schelegel (Saptari &
Holzner, 1997:196) memberi pengertian, “Ideologi gender menyangkut bagaimana perempuan dan laki-laki di
presepsi, dinilai, dan diharapkan untuk bertingkah laku”, berdasarkan jenis kelaminnya atau gendernya
(berdasarkan atribut feminin dan maskulin). Sehingga ideologi gender dipahami sebagai segala aturan, nilai,
kepercayaan, stereotype, yang mengatur hubungan laki-laki dan perempuan melalui pembentukan identitas
feminin dan maskulin oleh kelompok masyarakat tertentu yang berkuasa dalam masyarakat (Saptari & Holzner,
1997: 202).
Dalam kehidupan riil, ideologi gender mempengaruhi tingkah laku & pilihan-pilihan perempuan dan
laki-laki yang menentukan hubungan sosial-ekonomi diantara mereka dalam masyarakat (termasuk dalam dunia
kerja). Menurut Humphrey (Saptari & Holzner, 1997;207), “dalam dunia kerja, identitas gender dalam dunia
kerja sangat dipengaruhi oleh berbagai stereotype yang umumnya menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah
utama, pekerja trampil, bertenaga kuat, dan berkompetensi teknis. Sebaliknya perempuan sebagai pekerja
sekunder, tidak trampil, berfisik lemah, dan tidak mempunyai kompetensi teknis”. Dalam kenyataannya Ideologi
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
gender yang dikontruksi masyarakat menempatkan perempuan sebagai jenis kelamin kelas dua. Laki-laki
diorientasikan ke bidang publik, sebagai kepala keluarga, bertanggung jawab memenuhi ekonomi keluarga, yang
dianggap mempunyai nilai sosial-ekonomis tinggi, sebagai institusi utama dalam masyarakat modern.
Sedangkan perempuan pada bidang domestik (bertanggung jawab terhadap pemeliharaan keluarga dan tugas
dalam Rumah Tangga) yang dianggap kurang mempunyai nilai sosial-ekonomi. Struktur hubungan gender yang
timpang ini diciptakan atau dipertahankan tidak terlepas dari kepentingan sekelompok orang yang menguasai
sumberdaya ekonomi (kapitalis) maupun sistem sosial-ekonomi yang partriarkhi (Abdullah, 1995: 5; Saptari &
Holzner, 1997:207).
Ideologi ini disosialisasikan sejak kecil dalam keluarga, diperkuat oleh ajaran agama, institusi sosial
maupun format, dan perempuan mensosialisasikan diri sebagai kelompok dengan ciri (stereotype) yang
subordinat atau mensubordinatkan diri. Ideologi ini terbentuk dalam etos kerja dan mempengaruhi proses
identifikasi pekerjaan-pekerjaan publik sesuai dengan sifat “perempuan” dan keterlibatannya sesuai dengan
ukuran-ukuran nilai yang dikenakan pada perempuan sebagai jenis kelamin yang disubordinatkan. Sehingga
ditemui dalam dunia kerja, perempuan banyak terlibat dalam pekerjaan yang dekat dengan “naluri
perempuan”, seperti; sekretaris, resepsionis, waitress, atau pembantu Rumah Tangga. Interaksi kerja
perempuan dan laki-laki adalah hubungan yang disubordinatkan dan terjadi proses pemiskinan perempuan.
Realitas ini disyahkan oleh sistem nilai dalam masyarakat (ideologi gender) dan secara sadar atau tidak
merupakan pilihan perempuan sendiri. Kontruksi sosial yang menempatkan hubungan perempuan dalam
struktur yang subordinat dalam berbagai kegiatan menjadi penghalang bagi perempuan untuk memperoleh
kesempatan yang lebih baik dan sebaliknya untuk laki-laki. Struktur masyarakat seperti ini (partiarkhi),
ketimpangan gender akan terus dipertegas/direproduksi untuk memenuhi “status quo” laki-laki dan pemeliharaan
hubungan yang “bias laki-laki”. Pekerjaan-pekerjaan marginal yang dikerjakan oleh perempuan merupakan jenis
pekerjaan yang dipilih sendiri dalam proses pemaknaan diri sesuai yang dikontruksi secara sosial. Sehingga
ketimpangan gender yang ada sebenarnya juga merupakan pilihan perempuan sendiri dan bukan pemaksaan
terhadap perempuan (Abdullah, 1995; 6-7: Saptari & Holzner, 1997:193).
Perbedaan gender semestinya tidak menimbulkan masalah dalam kehidupan selama adanya relasi yang
setara (gender equaty) dalam semua aspek kehidupan. Namun dalam kenyataan dalam masyarakat perbedaan
gender melahirkan ketidak adilan bagi perempuan maupun laki-laki yang nampak dalam bentuk; marginalisasi,
subordinasi, stereotype, kekerasan dan beban domestik. Sehingga persoalan ketidak adilan gender sebenarnya
merupakan persoalan sistem dan struktur dan bukan pada perempuan dan atau laki-lakinya (Fakih, 1995:11).
Perubahan posisi dan status perempuan dapat ditunjukan oleh peningkatan kualitas hidup perempuan.
Untuk mencapai ini dibutuhkan dekonstruksi pada semua proses pembangunan, mulai dari pendekatan dalam
merumuskan persoalan dan kebutuhan perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dalam masyarakan,
merancang kebijakan, program, implementasi, serta monitoring dan evaluasi agar semua proses ini benar-benar
responsif gender.
Gender, Ruang dan Arsitektur
Untuk menentukan secara dialektikal hubungan antara masyarakat dan ruang yang dilakukan oleh
David Harvey dan Edward Soja yang menyatakan bahwa ruang adalah produksi dari masyarakat, namun ruang
juga merupakan kondisi dari produksi sosial. Antropolog juga menyatakan bahwa ruang adalah produksi budaya
dan produksi material serta arsitektur yang merupakan salah satu hasil dari artefak budaya.
Di sisi lain, budaya terbentuk juga karena adanya seting dari ruang. Ruang ini akan dipengaruhi oleh
bentuk rumah dan daerahnya. Pendekatan Perilaku menekankan hubungan dialektis antara manusia dan
sekelilingnya yang menempatkan ruang sebagai tempat hidup dan berinteraksi. Kerangka kerja dari pendekatan
perilaku menekankan pengaruh latar belakang manusia seperti pandangan atas kehidupan, agama, nilai dan
norma didalam perilaku manusia. Konteks budaya dan sosial akan tersusun sesuai dengan sistem aktivitas.
Antropologi adalah salah satu ilmu tertua, yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara gender
dan ruang, dan hal tersebut ditegaskan melalui hubungan kekuasaan. Seperti yang dilakukan oleh peneliti
feminis yang menemukan hal tersebut didalam ranah public dan ranah privat, hubungan kekerabatan, dan relasi
social yang banyak dikritik terutama oleh para feminis yang tertarik pada sejarah dan kota.
Menurut Shirley Ardener dalam penelitiannya menekankan bahwa terdapat perbedaan peran antara lakilaki dan perempuan berdasarkan budaya, hal tersebut berdampak pada adanya perbedaan penggunaan ruang
sehingga berimbas pada relasi yang berbeda. Hal ini juga terlihat pada kuasa yang berbeda antara laki-laki dan
perempuan yang berakibat juga pada ruang yang digunakan.
Menurut Spain, (1985) terdapat segregasi lokasi bekerja antara perempuan dan laki-laki. Lokasi bekerja
perempuan mempunyai tipologi pada ruang terbuka sedangkan laki-laki mempunyai lokasi bekerja pada ruang
yang lebih tertutup. Sedangkan menurut Lefebvre dan Carteau (1984) bahwa kehidupan perempuan sehari-hari,
tidak terlepas dari adanya tirani dan kontrol yang dilakukan oleh lawan jenisnya. Demikian juga di dalam
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
pekerjaan dan ruang yang digunakan tidak terlepas dari pengaruh dan kontrol dari orang yang mempunyai kuasa.
Masih menurut Lefebvre bahwa produksi selain dipengaruhi oleh keruangan makan hal lainnya yang juga
mempengaruhinya adalah elemen komponen (tenaga kerja, teknologi dan keahlian), struktur (relasi) dan
superstruktur (institusi dan negara).
Kesimpulan Awal
A. Pengembangan Pariwisata dan Kehidupan Perempuan
1. Dampak terhadap Penyerapan Tenaga kerja dan Perekonomian masyarakat
Pengembangan pariwisata, terdapat banyak studi antropologi yang telah meneliti dan mengungkapkan
konsekwensi bahwa pariwisata akan berdampak pada masyarakat setempat (Chamber 2000; Smith 1989).
Konsekwensi ini dapat positif hal negatif dan dapat mempengaruhi berbagai kesatuan seperti lingkungan,
ekonomi, dan jaringan sosial.
Berdasarkan pada riset awal melalui review pada sumber-sumber sekunder, maka kesimpulan awal dari
penelitian ini dikemukakan. Pariwisata adalah sektor ekonomi dengan potensi besar bukan hanya bagi Kasongan,
tetapi juga untuk Provinsi secara keseluruhan. Hal ini terlihat dengan sumbangan baik PAD, penyerapan tenaga
kerja baik bagi masyarakat sekitar maupun pendatang selama hampir 15 tahun. Lebih dari itu dampak ikutan dari
pariwisata bagi masyarakat sekitar adalah penyerapan tenaga kerja bagi masyarakat khususnya bagi perempuan.
Seperti yang diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja dari kegiatan pariwisata di Kasongan hampir 90 %, dari
seluruh penduduk Kasongan. Selain jumlah tenaga kerja maka dampak lain adalah banyaknya industri kerajinan
gerabah baik skala rumah tangga maupun skala yang lebih besar yang kesemuanya memberikan dampak positif.
Keberadaan Industri Kerajinan Keramik di Kawasan Kasongan dari tahun ke tahun mengalami
kenaikan.Menurut data dari Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pembinaan Kerajinan Gerabah Kasongan potensi
Kasongan dari tahun 1998-2001 adalah sebagal berikut:
Tabel 2
Potensi Industri Keramik Kasongan
Uraian
Unit Usaha
Tenaga Kerja
Nilai Produksi/thn. (Rp. Juta)
Nilai Penjualan/thn. (Rp. Juta)
Nilai Bahan Baku atau penolong/thn (Rp. Juta)
Nilai Tambah/thn (Rp. Juta)
Ekspor (Rp. Juta)
a) Kontainer Kecil (buah)
b) Kontainer Besar (buah)
1998
338
1.549
4.724,5
6.456,1
2,934,4
1999
358
1.600
6.690,9
8.280
2.976,8
2000
365
1.627
6.995
8.645
3.112,5
2001
366
1622
6.545
8.040
3.020
4.421,7
109
167
5.303,2
108
178
5.532,5
157
125
5.020
5.400
141
117
Sumber: Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pembiayaan Kerajinan Gerabah Kasongan dan Dinas Perindustrian Perdagangan
Dan Koperasi Kabupaten Bantul (2008)
Dengan berkembangnya pariwisata yang dimulai sejak dikembangkannya desa wisata Kasongan pada
tahun 1990, serta pada saat Pasar Kriya Desa (PKD) dibangun pada tahun 1993, maka memberikan kesempatan
bagi perempuan untuk juga ikut berperan. Beberapa perkembangan itu adalah masuknya usaha pembuatan
keramik yang waktu itu masih didominasi untuk pembuatan peralatan rumah tangga dan didominasi oleh tenaga
kerja perempuan, namun dengan terjadi pergeseran dari pembuatan gerabah sebagai alat rumah tangga menjadi
hiasan maka berakibat pula pada penggunaan tenaga kerja perempuan. Pada saat ini tenaga kerja perempuan
mulai ditinggalkan dan berganti dengan tenaga kerja laki-laki yang menurut beberapa informan lebih cepat
didalam mengerjakan kerajinan gerabah, dan hasilnya lebih halus.
……….bisa cepet dalam menyelesaikan order, kalo orang sini juga bikin besar gak bisa, gak
bisa cepet gak bisa halus, berarti mbak juga gak bisa…, yaa bisa tapi kalo orang brebes jadi
15 orang sini jadi 5,…sehari…, jadi kalo perempuan itu lebih lambat…..
……tapi sekarang kecenderunganya karena ada yang dari Brebes, kualitasnya lebih bagus
emang sama kalo buat bisa lebih banyak, sekarang malah kuranglah yang disini cumak buat
untuk lokal,…..
B. Gender dan Keruangan di Kasongan
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting di dalam industri. Demikian juga halnya dalam
industri kerajinan keramik Kasongan yang telah berkembang dengan pesat setelah adanya pelatihan baik yang
dilakukan pada proses pembuatan keramik yang dimotori oleh Sapto Hudoyo pada tahun 1970, serta perbaikan
pada proses pemasaran yang dilakukan oleh Ibu Suliantara Soelaeman setelah sebelumnya membantu pengrajin
dalam proses membentuk varian baru selain perkakas rumah tangga. Dalam hal ini yang dilakukan oleh Ibu
Suliantara Soelaeman adalah mengajarkan pembuatan pot tanaman dan vas bunga.
Pada awalnya proses pembuatan keramik yang berkembang hanya untuk mencukupi kebutuhan pada
pasar domestik (pembuatan perkakas rumah tangga) di sekitar Kasongan. Tenaga kerja yang banyak digunakan
adalah tenaga kerja perempuan. Seiring dengan bergesernya orientasi yang tidak hanya dalam rangka memenuhi
kebutuhan domestik namun lebih pada usaha untuk memenuhi permintaan barang-barang seni, maka keberadaan
tenaga kerja perempuanpun semakin ditinggalkan dan digantikan oleh tenaga kerja laki-laki. Adapun alasan yang
disampaikan oleh Bapak Nangsib bahwa tenaga kerja perempuan sudah tidak dapat lagi digunakan karena
kebutuhan akan produk-produk yang lebih besar (seperti guci dll) memerlukan tenaga kerja laki-laki. Berikut
adalah petikan wawancara dengan Bapak Nangsib
........tenaga kerja banyak laki-laki...... tenaga kerja perempuan sebagai finishing,
management dan juga masalah “belakang”, tenaga kerja perempuan masih ada tapi
tidak banyak, untuk tenaga putar yang perempuan hanya 30 %, karena kemampuan
perempuan (stamina) terbatas...........
Seperti diketahui bahwa di pembuatan gerabah di Kasongan pada awalnya adalah pekerjaan yang turuntemurun dilakukan oleh perempuan, namun dengan masuknya pariwisata, pekerjaan tersebut bukan lagi menjadi
pekerjaan yang didominasi oleh perempuan. Dengan adanya pergeseran fungsi dari gerabah yang semula
digunakan sebagai peralatan rumah tangga seperti (cowek, pengaron, kendil dll) sekarang telah berubah menjadi
alat interior rumahtangga (guci, vas, dll). Perubahan ini membawa akibat yaitu dengan masuknya tenaga luar ke
Kasongan, hal tersebut telah terjadi sejak adanya pelatihan yang dilakukan oleh Bapak Sapto Hudoyo dan Ibu
Soeleman Soeliantara sekitar tahun 1980-an. Keadaan ini membuat perempuan hanya mendapatkan pekerjaan
pembuatan gerabah sebagai alat rumah tangga (anglo) serta pembuatan gerabah yang sederhana, sedangkan
tenaga kerja luar (laki-laki) mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Hal yang menarik adalah adanya segregasi antara perempuan yang membuat gerabah dan laki-laki.
Pada perempuan walaupun menggunakan istilah yang sama untuk bengkel kerja (brak) namun lokasi
pembuatannya berbeda, brak menurut perempuan bukan hanya berfungsi sebagai bengkel kerja namun juga
mempunyai fungsi lain, seperti tempat berbincang-bingcang (ngobrol) masalah keluarga, ataupun jika brak
tersebut menggunakan teras rumah maka lokasi ini juga digunakan sebagai tempat untuk saling menyapa dengan
tetangga. Hal ini sangat berbeda dengan laki-laki yang juga menggunakan brak, brak pada tenaga kerja laki-laki
biasanya merupakan suatu tempat yang tertutup atau semi tertutup, mereka bekerja dengan target yang jelas.
Brak yang digunakan perempuan dan laki-laki
The difference location to made a pottery,
men used a space that no interaction
between them, and only do their job,
because they just reach the target, in the
other hand in below that women even they
made a pottery they still have time to talk
with other (ngobrol) and the second
between men and women that made a
pottery although their name of workshop is
the same (brak), but men used a lokasi
khusus, and women sometimes uses their
terrace and even their living room to made
a pottery.
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Terlihat bahwa walaupun menggunakan “istilah” yang sama, namun tempat yang digunakan adalah
berbeda. Pada kondisi ini memperlihatkan bahwa perempuan lebih sesnang menggunakan ruang public seperti
teras, atau beranda rumahnya sebagai brak, hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Spain (1985) bahwa
terdapat kecenderungan perempuan menggunakan lokasi ruang yang terbuka (open floor) dan laki-laki akan
lebih nyaman menggunakan ruang yang lebih tertutup atau semi tertutup demi menjaga privasi di dalam bekerja
dalam istilah Spain adalah closed door.
Perempuan ternyata lebih banyak melakukan interaksi dengan sekeliling dibandingkan dengan lakilaki, selain itu bahwa terdapat. Hal ini juga disampaikan oleh baik masyarakat kasongan laki-laki maupun
perempuan bahwa tenaga kerja luar (laki-laki) lebih halus dan cepat
Makna ruang (brak) bagi perempuan dan laki-laki menjadi berbeda karena sangat ditentukan oleh
kenyamanan yang dirasakan oleh mereka, seperti yang disampaikan oleh Mbak Mini, bahwa beliau merasa
dengan mengerjakan pembuatan gerabah pada lokasi yang terbuka, maka mereka masih dapat bersosialisasi
dengan kerabat dan tetangga, hal ini sesuai dengan yang disampaikan dalam wawancara dibawah ini
......yaa piye yo mbak...nek nggarap teng jobo niku saget omong-omongan kalean sing
lewat....dadi mboten mung nggarap......
bahwa perempuan lebih mudah melakukan interaksi dengan sesama dibanding dengan laki-laki. Selain
itu laki-laki ebih mengedepankan pekerjaan yang sudah ditargetkan, (karena sistem yang dibangun dalam
memberikan upah adalah borongan) seberapa banyak pekerjaan yang dapat dikerjakan dibandingkan dengan
keinginan untuk melakukan interaksi dengan rekan kerja.
Menurut perempuan brak bukan hanya sebagai tempat kerja namun juga mempunyai fungsi-fungsi yang
lain, seperti berinteraksi dengan rekan kerja, kerabat, maupun pedagang yang kebetulan datang. Selain itu brak
juga dapat mereka gunakan sebagai tempat untuk menyebarkan informasi (arisan, koperasi dan pengajian)
ataupun saling menyapa seperti yang terlihat pada visualisasi dibawah
0%
Terlihat dalam gambar bahwa, ruangan yang banyak digunakan oleh perempuan didalam melakukan
pembuatan gerabah adalah lokasi yang dekat dengan kehidupan mereka, seperti teras dan beranda,
dan walaupun mereka bekerja namun masih menyempatkan diri untuk ngobrol baik dengan tetangga,
ataupun dengan anak
Keadaan ini sangat berbeda dengan laki-laki, karena mereka lebih focus pada pekerjaan dan target yang
harus diselesaikan membuat mereka merasa lebih baik apabila mengerjakan pembuatan gerabah tersebut tanpa
harus berinteraksi dengan rekan kerja. Pada saat ditanyakan mereka menyatakan bahwa yang mereka lakukan ini
semata-mata untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Karena sebagian besar tenaga kerja laki-laki ini adalah
pendatang (Brebes dan Kuningan) namun 80 % adalah tenaga kerja dari Brebes.
Penelitian Lanjutan
Salah satu permasalahan pada saat melakukan riset pada tenaga-kerja perempuan di Kasongan adalah
hubungannya dengan peningkatan pendapatan dan spasial dikarenakan kurangnya data-data secara terpisah
antara laki-laki dan perempuan (data pilah). Sebagai alternatif, akan penting untuk menguji sektor ekonomi
dimana perempuan banyak terlibat didalamnya, dan bagaimana perubahan pekerjaan (alih pekerjaan) yang
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan selama 15 tahun yang disebabkan oleh perbedaan geografi.
Seminar Nasional Riset Arsitektur dan Perencanaan (SERAP) 1
HUMANISME, ARSITEKTUR DAN PERENCANAAN
16 Januari 2010, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada
Jalan Grafika No2 Kampus Bulaksumur UGM Yogyakarta
Perlu pembahasan yang lebih mendalam mengenai “perbedaan” lokasi pembuatan gerabah yang dilakukan oleh
perempuan dan laki-laki selain apa yang telah disebutkan diatas. Selain itu perlu pula penelitian lanjutan
mengenai dampak pariwisata bagi keberlangsungan kerajinan gerabah dan tenaga kerja perempuan.
References:
1.
2.
Abdullah. I, 1997, Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar Yogyakarta
Ardener, S (1993) From Women and Space: Ground Rules and Social Maps dalam Jane Rendell et all
(2007) Gender, Space, Architecture: An Interdisciplinary introduction Routledge Taylor and Francis
London, New York
3. Julia. Mosse., 1997, Gender dan Pembangunan, Pustaka Pelajar Yogyakarta
4. Husserl, E (1970) The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology, Translated by D
Carr Northwest University Press
5. Sarantakos 2005
6. Rappoport. A, (1969) House Form and Culture, Prentice Hall New York
7. Fakih (1996) Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta
8. Lefebvre H (1991) The Production of Space, Blackwell Oxford UK, Cambridge USA
9. Massey. D (2007) Space, Place and Gender dalam Jane Rendell et all (2007) Gender, Space, Architecture:
An Interdisciplinary introduction Routledge Taylor and Francis London, New York
10. Saptari. R & Holzner, 1997, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi
Perempuan. Grafiti Press Jakarta
11. Spain. D (1985) From Gender Space dalam Jane Rendell et all (2007) Gender, Space, Architecture: An
Interdisciplinary introduction Routledge Taylor and Francis London, New York
Download