HEDONISME DAN PERILAKU KORUP Oleh: Mohammad Nasih Dosen Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Jakarta; Ketua Presidium Pengurus Pusat MASIKA ICMI Salah satu agenda reformasi adalah pemberantasan praktik korupsi. Namun, saat ini, praktik haram tersebut bukan hilang, tetapi justru menjadi sangat merajalela dan terjadi di berbagai lini. Salah satu argumentasi yang mengemuka sebagai penyebab terjadinya tindakan korupsi adalah gaji yang rendah. Karena itu, dalam struktur-struktur birokrasi tertentu yang memiliki potensi godaan tinggi kemudian diterapkan kebijakan remunerasi. Namun ternyata kebijakan ini terbukti gagal dalam menekan tindakan-tindakan korupsi. Dalam bulan-bulan terakhir ini, berbagai macam skandal korupsi besar, baik yang melibatkan para pejabat di lembaga eksekutif, legislatif, dan legislatif, maupun pejabat birokrasi, terbongkar dan menjadi fakta yang memperlihatkan bahwa berbagai iklan tentang komitmen pemberantasan korupsi dari “kelas penguasa” ternyata adalah kebohongan besar. Berbagai langkah untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi para pejabat dan birokrat gagal karena kesalahan fundamental dalam menganalisa motifnya. Jika dikatakan bahwa pendorongnya adalah gaji untuk kesejahteraan yang rendah, tentu hal itu karena menggunakan perspektif yang semata-mata materialistik dan sama sekali tidak melibatkan aspek kejiwaan. Sebab, kesejahteraan yang didapatkan dari materi bersifat sangat relatif, tergantung gaya hidup seseorang. Dalam konteks ini, sesungguhnya bisa dikatakan secara simple bahwa pendorong tindakan korupsi adalah hedonisme. Hedonisme berasal dari bahasa Yunani “hêdonê” yang berarti kenikmatan atau gembira. Hedonisme berlandaskan kepada pandangan bahwa manusia seharusnya menjalani hidup dengan kenikmatan atau kegembiraan agar menjadi bahagia. Paham ini awalnya berkonotasi positif, karena kesenangan yang dimaksudkan di sini bukanlah kesenangan fisik atau materiil, melainkan kesenangan intelektual yang dikatakan oleh Epikuros (341-270SM) memiliki nilai yang lebih baik karena bertahan lama. Namun, dalam perkembangannya kemudian, kesenangan dipandang semata-mata sebagai tujuan dalam hidup dan berkonotasi sebagai kesenangan materiil atau duniawi semata. Penganut paham ini memiliki kecenderungan tinggi untuk hidup bersenang-senang dengan menikmati kehidupan duniawi, seperti dengan berpesta pora, bepergian atau bertamasya, dan lain-lain. Karena pandangan ini, hidup dijalani dengan kebebasan penuh tanpa kekangan hawa nafsu. Para pelaku hedonisme tidak mampu melakukan pengekangan diri, karena pengekangan diri diidentikkan dengan penderitaan. Hedonisme mendorong kepada sifat egoistis karena mendorong kesenangan yang sebesar-besarnya bisa ditempuh dengan cara apa pun dengan tidak mempedulikan apakah yang dilakukan itu disenangi dan merugikan orang lain atau tidak. Dorongan Bermewah-mewah Hedonisme sebagai pendorong perilaku korup para pejabat disebut dengan sangat tegas oleh Ibnu Khaldun (1332-1406), seorang antropolog muslim tersohor kelahiran Tunisia. Dalam karya monumentalnya, al-Muqaddimah yang menjadi rujukan para ilmuan sosial dan politik, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa yang mendorong tindakan korupsi adalah kelompok yang memerintah atau berkuasa memiliki nafsu untuk hidup bermewah-mewah. Menurutnya, gaya hidup bermewahmewah dapat merusak manusia, karena menanamkan pada diri manusia berbagai macam kejelekan, kebohongan, dan berbagai macam perilaku buruk dalam hidup lainnya. Nilai-nilai luhur akan lenyap dari mereka dan berubah menjadi nilai-nilai kejahatan yang merupakan tanda-tanda kehancuran dan kepunahan (al-Muqaddimah, hal. 187). Nilai-nilai yang bejat itu menjadi pendorong para pejabat untuk menempuh jalan pintas bernama korupsi yang bisa dilakukan karena kewenangan dalam mengelola sumber daya kekayaan yang ada pada mereka. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Ali Syari’ati (1933–1977). Sosiologi muslim kelahiran Mazinan, Iran ini menyebut para hedonis adalah orang-orang yang makan dan minum tanpa pernah berbuat apa-apa, karena mereka mendapatkannya dari jerih payah orang lain. Inilah yang dilakukan oleh para koruptor. Mereka melakukan segala macam cara untuk menyabot kekayaan negara yang seharusnya untuk mendorong dan mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tetapi justru digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri, bahkan untuk memenuhi berbagai macam tuntutan kemewahan hidup. Hedonisme para pejabat dipicu oleh berbagai fasilitas yang diberikan karena jabatan yang diamanatkan. Fasilitas tersebut kemudian menyebabkan perubahan gaya hidup dalam konteks material dan kemudian mengalami peningkatan secara terus-menerus karena kepuasan jika tidak dikendalikan tidak akan pernah ada akhirnya. Kepemilikan harta kekayaan dan barang-barang mewah juga dijadikan sebagai ukuran gengsi. Perubahan ini mendorong para pejabat untuk memikirkan kesenangan dan kenikmatan diri sendiri dengan cara memenuhi kebutuhan dan hasrat yang berisfat fisik dan kasat mata yang semua itu harus dibeli dengan uang. Apa yang dilakukan oleh Gayus Tambunan, adalah bukti nyata dan terbaru tentang perubahan gaya hidup ini. Bahkan dalam kondisi yang sudah terdesak pun, pegawai yang hanya berpangkat IIIA di Dirjen Pajak tersebut masih mempertahankan gaya hidup hedonisnya dengan memilih tinggal di hotel mewah di Singapura. Karena itu, pemberantasan korupsi hanya bisa dilakukan dengan dua syarat utama, yaitu: pertama, para penyelenggara negara harus dilatih untuk memiliki jiwa asketik; dan kedua, secara legal formal negara harus didukung oleh sistem hukum yang rasional dan efisien. Tanpa keduanya itu, tindakan korupsi akan tetap menggejala dalam penyelenggaran negara ini. Jiwa asketik menghindarkan dari godaangodaan duniawi, karena melihat bahwa kesenangan di dunia ini bukan segalanya karena masih ada kesenangan yang bersifat abadi setelahnya jika kesenangan duniawi ini tidak menyebabkan lupa kepada keabadian itu. Ini bukan berarti tidak boleh kaya. Namun, kekayaan tersebut tidak melenakan dan didapatkan dengan usaha yang sah dan halal. Sedangkan sistem hukum yang rasional, efisien, dijalankan secara konsisten, dan dengan hukuman berat kepada koruptor dapat mencegah tindakan korup. Sistem hukum ini diperlukan karena manusia adalah makhluk yang memiliki fitrah untuk salah dan lupa. Penegakan hukum dan ketentuan hukum yang berat atas koruptor tentu akan menyebabkan para pejabat tidak berani melakukan korupsi. Wallahu a’lam bi al-shawab. وما تكون في شأن وما تتلو منه من قرآن وال تعملون من عمل إال كنا عليكم شهودا إذ تفيضون فيه وما يعزب عن ربك من مثقال ذرة في األرض وال في السماء وال أصغر من ذلك وال أكبر إال في كتاب مبين Kami tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun seeasr zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebi besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauhul Mahfuzh). (QS. Yunus, 10:61)