BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Fakta Sekitar Perayaan/Peringatan Maulid Perayaan/peringatan Maulid atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh masyarakat penganut agama Islam, di berbagai negara khususnya negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam termasuk Indonesia. Namun eksistensi perayaan itu dimahami dan dipersepsikan berbeda-beda antara satu masyarakat/komunitas dengan masyarakat/komunitas lainnya. Motivasi penyelenggaranya pun sangat bervariasi. Tidak sedikit kelompok/komunitas memandang pelaksanaan Maulid Nabi sebagai bid’ah atau perbuatan haram, sementara kelompok/komunitas lainnya memandang-nya sebagai perbuatan bernilai ibadah. Peristiwa ‘maulid berdarah’―peringatan maulid berakhir dengan banjir darah karena dipasang bom oleh kalangan yang tidak menyukai maulid―yang terjadi di salah satu kota Pakistan tahun 2006 lalu merupakan bukti ekstremnya perbedaan itu. Bagi ummat Islam di Indonesia, secara luas peringatan maulid diterima. Bahkan Pemerintah Republik inipun telah menetapkan sebagai salah satu hari besar Islam disejajarkan dengan hari besar keagamaan lainnya. Terlepas dari keberagaman dalam berbagai aspeknya, pada bagian ini akan dikaji dan disajikan sekelumit sejarah dan pemaknaan 12 atau persepsi masyarakat tentang perayaan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, yang dalam bahasa Makassar disebut maudu’ tersebut. 1. Sejarah munculnya perayaan maulid Nabi Muhammad S AW Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (549630 H.) menurut Imam Al-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini (Anonim, 2012a). Dalam hitungan tahun miladiyah, masa itu bertepatan dengan tahun 1154-1232 M. Ini didasarkan perhitungan, Tahun 1 H. bertepatan dengan 622 M. (Jaiz, 2003). Namun demikian mengenai awal pelaksanaan masih beragam pendapat; seperti diulas berikut ini. Sumber pertama mengatakan, pertama kali peringatan maulid Nabi diselenggarakan pada tahun 1187 M. yang diprakarsai oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, Mesir (1138-1193), yang bertujuan untuk membangkitkan kembali semangat jihad kaum Muslimin merebut kembali Yerussalem dari kekuasaan pasukan Salib (Ulum, 2007). Peringatan maulid Nabi itu diadakan dalam rangka mengingat kembali sejarah peristiwa kehidupan Rasulullah SAW dari mulai lahir hingga wafat. Mengingat kepribadian beliau yang agung, misinya yang universal dan abadi, misi yang Allah SWT tegaskan sebagai rahmatan lil’alamien. Sumber lain yang cukup kuat mengatakan yang pertama melakukan peringatan itu adalah bani Ubaidillah. Syaikh Abdullah bin 13 Abdil Aziz At-Tuwaijiry -hafizhohullah- menyatakan, “Yang pertama kali memunculkan bid’ah ini adalah bani ‘Ubaid Al-Qoddah yang menamakan diri dengan al-Fathimiy dan menyandarkan nasab mereka kepada keturunan Ali bin Abi Tholib -radhiyallahu ‘anhu. Padahal sebenarnya, lanjut At-Tuwaijiry, mereka adalah pendiri dakwah bathiniyah. Nenek moyang mereka Ibnu Daishon yang dikenal dengan nama Al-Qoddah (Ade Alam’s Blog, 2010). Ibnu Katsir –rahimahullah– (1301-1372, ahli tafsir terkemuka dunia) menguatkan keterangan tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya pemerintahan Al-Fathimiy Al-Ubaidiy yang bernisbah kepada Ubaidillah bin Maimun Al-Qoddah, memerintah di Mesir dari tahun 357–567 H. (968-1171 M.), mereka memunculkan banyak harihari raya, di antaranya perayaan maulid Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam”. Ade Alam’s Blog (2010) lebih jauh menegaskan, perayaan hari lahir Nabi (maulid), tidaklah muncul kecuali pada zaman Al-Ubaidiy pada tahun 362 H. Tidak ada seorangpun yang mendahului mereka dalam merayakan maulid ini. Pendapat yang sama mengatakan, maulid Nabi Muhammad SAW sebagai sebuah perayaan baru muncul pada abad ke-4 H., tepatnya pada tahun 362 H. oleh al-Muiz Lidinillah al-Fathimy di Kairo, Mesir (Abdullah, 2010 dan Anonim, 2012b). Ini sesuai dengan keterangan bahwa Al-Mu’iz Lidinillah yang bernama Ma’ad bin Abdillah Al-Fathimy datang ke Qohirah (sekarang Kairo) pada bulan Romadhan 362 H. (kira- 14 kira 973 M.). Tahun itu merupakan tahun awal pemerintahan Al-Fathimiy di Mesir. Selanjutnya Anonim (2012b) menyebutkan, pada saat awal Dinasti Fathimiy menguasai Mesir pada tahun 362 H. raja pertamanya al-Muiz Lidinillah membuat enam perayaan hari lahir sekaligus; (i) hari lahir (maulid) Nabi, (ii) hari lahir Ali bin Abi Thalib, (iii) hari lahir Fatimah, (iv) hari lahir Hasan, (v) hari lahir Husein dan (vi) hari lahir raja yang berkuasa saat itu. Kemudian, pada tahun 487 H. pada masa pemerintahan al-Afdhal peringatan enam hari lahir tersebut dihapuskan dan tidak diperingati, hingga raja ini meninggal tahun 515 H. Pada tahun 515 H. dilantik raja yang baru bergelar al-Amir Liahkamillah, ia menghidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut. Begitulah seterusnya peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada bulan Rabiul Awal diperingati dari tahun ke tahun hingga zaman sekarang dan meluas hampir ke seluruh dunia. Menyimak catatan sejarah dari berbagai sumber di atas, secara meyakinkan dan dapat disimpulkan, bahwa awal munculnya peringatan maulid Nabi adalah pada abad ke-4 sampai abad ke-7. Cukup kuat pendapat yang condong ke abad-4, tepatnya tahun 362 H. atau 973 M. Ini berarti peringatan maulid Nabi Muhammad SAW paling cepat (awal) tiga setengah abad setelah wafatnya Rasulullah. Dari serangkaian kisah di atas, tersirat petunjuk bahwa, peringatan maulid Nabi itu adalah praktik keagamaam yang tidak pernah ada dalam 15 kehidupan Nabi, Sahabat, Tabi’ien dan Tabi’iet Tabi’ien. Tidak pernah dicontohkan apalagi diajarkan. Kondisi ini menjadi alasan utama sebagian ulama menolak keras pelaksanaan perayaan peringatan maulid Nabi SAW dan mendudukkan-nya sebagai bid’ah atau haram dalam fikih Islam. Di negeri Republik tercinta ini, peringatan maulid berkembang sejalan perkembangan Islam dan sudah sangat popular di kalangan masyarakat penganut Islam. Bahkan perayaan tersebut telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai salah satu hari besar Islam. Menurut catatan sejarah, di Cikoang―lokasi obyek penelitian, ―perayaan maulid yang disebut maudu’ ini sudah mulai diajarkan dan dilakukan oleh Syekh Jalaluddin al-Aidid sejalan dengan penyiaran Islam yang dijalankannya sejak awal kedatangannya sekitar tahun 1641 M. 2. Hikmah peringatan Maulid Nabi dalam pandangan ummat Secara bahasa “Maulid” berarti tempat atau waktu dilahirkannya seseorang. Boleh juga dikatakan maulid adalah bermakna kelahiran (alwiladah). Oleh karena itu, dari sisi tempat, maulid Nabi SAW adalah Makkah, sedangkan waktu maulid beliau adalah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awal pada tahun Gajah tahun 53 SH (sebelum hijriah) yang bertepatan dengan bulan April tahun 571 M. (Ade Alam's Blog, 2010). Dengan demikian dalam perpktif keindonesiaan, peringatan maulid sesungguhnya merupakan perayaan hari ulang tahun Nabi Muhammad seperti halnya perayaan Hari Natal di kalangan penganut Kristen. 16 Menyimak beberapa contoh kasus perayaan peringatan maulid yang di dalamnya terhimpun beragam makna yang diharapkan dapat merepresentasikan sebagian besar kondisi Indonesia, maka dapat dipetik beberapa makna atau hikmah yakni: (a) Memperluas pengetahuan tentang kehidupan Rasulullah untuk mengagungkan dan meningkatkan kecintaan kepada-Nya, yang berujung pada peningkatan kesalehan; (b) Mengenang Rasulullah untuk membangkitkan semangat jihad untuk menghadapi musuh Islam; (c) Menjadikan peringatan maulid sebagai sarana untuk memperbanyak ibadah melalui berdzikir, bersyukur dan bershalawat kepada Rasul. (d) Menjadi sarana memperbanyak kesempatan berdakwah, bersilaturrahmi/ukhuwah, dan bersedekah. (e) Sebagian masyarakat mememandangnya, sebagaimana halnya peringatan hari kelahiran (ultah) lainnya, peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah atau haram; B. Maudu’ dalam Perspektif Budaya dan Kepercayaan Dalam perjalanan hidupnya, manusia terlibat dalam proses interrelasi dan interaksi antar-individu, masyarakat dan budaya, termasuk antara lain persoalan pangan. Masyarakat dan budaya, berada dalam keadaan saling tergantung sehingga kadang-kadang sulit melakukan diferensiasi; dalam hal ini acap kali tertukar dalam penggunaannya. 17 Suatu masyarakat mempunyai struktur dan organisasi yang merupakan suatu sistem hubungan yang terpola; sementara budaya merupakan istilah singkat untuk aturan atau pedoman-pedoman cara hidup anggota suatu kelompok masyarakat atau dapat dianggap sebagai kehidupan yang dipelajari secara umum di antara anggota masyarakat, yang terdiri atas alat-alat, tehnik, institusi sosial, sikap, kepercayaan, motivasi, dan sistem nilai-nilai sosial masyarakat (Foster dalam Suharjo, 1989). Dengan demikian, masyarakat berarti orang atau kelompok manusia. Kombinasi sosio-budaya menunjukkan bahwa fenomena yang dimaksudkan menyangkut keduanya yaitu masyarakat dan budaya. Masyarakat sebagai terjemahan istilah society merupakan sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem semi-tertutup (sistem semi-terbuka) di mana sebagian besar interaksi adalah individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama. Masyarakat merupakan sebuah komunitas yang interdependen. Umumnya istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur. Segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu (Herskovits dan Malinowski) adalah cultural-determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun 18 dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur sosial, religious dan lain-lain tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat (Koentjaraningrat, 2005 dan Soekanto, 2007). Taylor dalam Soekanto (2007) menyatakan, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh mengenai kebudayaan yang mana akan pengertian mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem idea atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah bendabenda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni dan lainlain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. 19 Ada beberapa pendapat kebudayaan, antara lain mengenai sebagai berikut: komponen atau unsur Herkovits menyebutkan kebudayaan memiliki empat unsur pokok, yaitu (1) alat teknologi; (2) sistem ekonomi; (3) keluarga dan (4) kekuasaan politik. Sedangkan Malinowski, menyatakan, empat unsur pokok kebudayaan tersebut meliputi: (1) sistem norma yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, (2) organisasi ekonomi, (3) alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugaspetugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga pendidikan utama) dan (4) organisasi kekuatan (Anonim dalam Rahmadanih, 2011). Sementara itu menurut Kluckhohn dalam Soekanto (2007) bahwa ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural universal yaitu: (1) peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi); (2) sistem mata pencaharian hidup; (3) sistem kekerabatan dan organisasi sosial; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem ilmu pengetahuan dan (7) religi (sistem kepercayaan). Dalam “Budaya dan Pembebasan”, Edward Brunet Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan hasil daya cipta manusia yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan kebiasaan apa saja yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dari pengertian ini terlihat bahwa kebudayaan sejatinya adalah ekspresi seluruh diri manusia, baik akal, rasa, maupun karsa. 20 Dengan akal, manusia mengembangkan daya pikirnya, yang membentuk ilmu pengetahuan. Dengan rasa manusia menghasilkan karya-karya seni. Lalu dengan karsa menghendaki kesempurnaan hidup, kemuliaan, dan kebahagiaan, sehingga berkem-banglah kehidupan keagamaan dan kesusilaan. Kebudayaan menjadi wadah sekaligus wujud pernyataan diri. Ia memungkinkan manusia menyatakan dirinya secara utuh dan mengartikulasikan kemampuan khas kemanusiaannya secara baru, kontinual, dan orisinal. Dengan demikian, kebudayaan dilihat sebagai wujud ekspresi yang mesti berdaya membebaskan. Dalam proses membudaya manusia membiarkan dirinya mengalami kebebasan, karena tak lagi mengalami keterkekangan potensi diri. Hanya dalam kebebasan manusia dapat mengembangkan dirinya dan hanya manusia yang bebas yang bisa mengaktualisasikan dirinya secara integral. Manusia yang bebas senantiasa memiliki ruang untuk berprakarsa, berkreasi, berinovasi, dan beranjak dari ketertinggalan. Budaya sebagai hasil proses pembebasan pun tidak boleh mengandangkan manusia dalam dirinya. Ia justru harus memungkinkan manusia keluar dari "kandang" pengekangan potensi diri menuju "padang rumput" aktualisasi diri yang sejati dan utuh. Sistem-sistem kebudayaan sebagai ekspresi "pembebasan" potensi diri itu tidak boleh memandekkan aktivitas pengungkapan potensi diri manusia itu sendiri (Wikipedia, 2011). 21 Dinamis, jika kebudayaan dijelaskan sebagai pembebasan diri dan aktualisasi potensi ke dalam dunia, maka dunia yang berubah pun meniscayakan perubahan kebudayaan. Dunia yang berbeda dengan hari kemarin menuntut wujud tanggapan (baca: budaya) baru yang juga berbeda akan wujud dialektika potensi manusia dengan konteks di sini dan masa kini. Wujud kebudayaan lama yang terbentuk karena konfrontasi orangorang dulu dengan dunianya, yang tidak akomodatif lagi terhadap ekspresi diri manusia seutuhnya, mesti siap dibarui sehingga memungkinkan adanya perwujudan persona manusia yang utuh. Apa yang dialami dan dibentuk "saat ini" memang tidak pernah terlepas dari apa yang yang telah dikondisikan sebelumnya (budaya sebagai warisan). Orang tidak mungkin hidup tanpa tradisi sama sekali. Taylor dalam Soekanto (2007) menyatakan, kebudayaan adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Senada dengan pendapat Taylor, Robert H Lowie mengartikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat mencakup kepercayaan, adatistiadat, norma-norma, artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 22 Fungsi dari kebudayaan yaitu mendasari, mendukung, dan mengisi masyarakat dengan nilai-nilai hidup untuk dapat bertahan, menggerakkan serta membawa masyarakat kepada taraf hidup tertentu yaitu hidup yang lebih baik, lebih manusiawi dan berperikemanusiaan. Kebudayaan yang sifatnya universal dan demikian luas itu, menurut Koentjaraningrat (1994), wujudnya dapat dikenali dalam tiga wujud, yaitu: (i) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan sebagainya; (ii) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat; dan (iii) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak. Tak dapat diraba. Lokasinya ada dalam kepala-kepala para pemilik kebudayaan tersebut. Kebudayaan ideal biasa disebut tata kelakuan. Secara singkat disebut “adat”, jamaknya “adat-istiadat”. Sebutan adat-istiadat atau tata kelakuan dimaksudkan untuk menunjuk bahwa kebudayaan ideal itu biasanya juga berfungsi mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat. Dalam fungsi tersebut secara khusus adat terdiri lagi dalam beberapa lapisan mulai dari yang paling abstrak dan luas hingga pada masalah yang paling kongkret dan terbatas. Lapisan yang paling ideal disebut sistem nilai budaya lapisan keduanya wujudnya lebih kongkret yang disebut sistem norma-norma, sementara lapisan yang lebih 23 kongkret lagi ialah peraturan-peraturan khusus mengenai berbagai aktivitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia, misalnya sopan santun dalam pergaulan. Wujud kedua dari kebudayaan ialah sistem sosial yaitu hal-hal yang berhubungan dengan kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan dan bergaul antara satu dengan yang lain dalam suatu rentang waktu, yang senantiasa berpola pada tata aturan tertentu yang didasarkan pada adat tata kelakuan. Hal ini dapat diamati melalui aktivitas manusia dalam aktivitas kesehariannya. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik, yaitu seluruh aktivitas fisik manusia. Ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak dapat dipisahkan secara ketat, sebab ketiga saling terikat antara satu dengan yang lainnya (Wahid, 2007). Kebudayaan Indonesia, seperti halnya kebudayaan-kebudayaan lainnya di Asia, berkembang bersama kehadiran dan perkembangan agama-agama besar. Untuk Indonesia, kebudayaan yang muncul dan berkembang dalam masyarakatnya terbentuk sebagai dampak dari kehadiran agama Hindu, Budha, Islam dan Kristen. Bangunan budaya yang perkembangannya bersendikan agama ini dalam aspek-aspeknya yang tertentu, bertumpang-tindih dengan budaya dan sistem kepercayaan lokal. Ini terlihat dari upacara-upacara keagamaan di berbagai daerah di kepulauan nusantara, bentuk dan corak sastra atau keseniannya, serta dalam berbagai kearifan lokal. Misalnya di Jawa 24 ada lebaran ketupat yang diadakan seminggu sesudah Idul Fitri, diangkat dari tradisi pemujaan Dewi Sri. Di Madura, peringatan Maulid Nabi dirayakaan lebih meriah dibanding Idul Adha, sama seperti orang Bali menyambut hari raya Galungan atau Kuningan. Adat menyembelih kerbau, satu hari menjelang Idul Adha, di Aceh lebih meriah dibanding Idul Adha itu sendiri. Memasang dan memukul bedug menjelang sholat Ied hanya kebiasaan di kepulauan nusantara, tetapi tidak berlaku di Iran dan Arab Saudi (Madjid, 2006). Sama halnya di Pulau Jawa tepatnya di Daerah Istimewa Yogjakarta perayaan maulid atau lebih dikenal dengan nama “Sekaten”, setiap tahun dirayakan secara besar-besaran. Perayaan bernuansa Islam terdapat pula di Sumatera yaitu di Kota pariaman Minangkabau Sumatera Barat yang dikenal dengan “Tabuik”. Upacara Tabuik merupakan upacara memperingati kematian Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammmad SAW yang dianggap sebagai imam (pemimpin) oleh umat Islam aliran Syi’ah. Bagi masyarakat secara umum, pandangan mengenai agama dan kebudayaan kebanyakan belum bisa dipahami dengan baik. Ketidakpahaman ini berpengaruh terhadap apakah tradisi yang selama ini dilakukan berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan atau tidak sehingga tidak sedikit pula yang mempercampur adukannya. Berbicara tentang kebudayaan tentunya berkaitan dengan tradisitradisi suatu kelompok masyarakat. Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa kebudayaan sulit dibedakan dengan kepercayaan keagamaan. 25 Oleh karena itu tradisi yang berkembang dalam masyarakat Bugis Makassar dapat dibagi kedalam dua jenis yaitu tradisi asli yang diwariskan sejak zaman nenek moyang dan tradisi keagamaan yang bersumber dari agama Islam. Jenis kedua tersebut terkait dalam dua aspek yang pokok dalam agama, yaitu kepercayaan dan ritual-ritual. Seperti yang dikemukakan oleh Rai (1951) bahwa agama ditandai oleh kepercayaan, dan suatu sikap emosional terhadap, wujud yang bersifat gaib (super-natural), dan satu cara pendekatan formal (menurut aturan/kebiasaan) dalam ritualritual. Penyelenggaraan tradisi jenis pertama dilandasi oleh kepercayaan tentang roh-roh nenek moyang dan dewata yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Roh-roh nenek moyang itu yang memelihara dan memberikan perlindungan pada manusia, dan kadang-kadang bisa menjadi marah jika tidak diperhatikan dengan memberikan persembahan atau sesajen-sesajen. Selain itu ada pula roh-roh dan makhluk halus lainnya yang jahat yang mendatangkan malapetaka atau penyakit dan mengganggu kehidupan manusia. Karena itu pada setiap kejadian penting dalam kehidupan manusia perlu diadakan ritual-ritual dengan memberikan persembahan berupa sesajen-sesajen atau kadangkala disertai dengan pengusiran roh-roh jahat yang akan mengganggu (Moein, 1994). Berbagai simbol yang digunakan pada setiap ritual merupakan aturan-aturan yang timbul karena kepercayaan tersebut. 26 Simbol-simbol serupa di atas dalam perspektif ritual keagamaan juga eksis dalam komunitas Cikoang. Tradisi-tradisi pengelolaan sawah komunitas Cikoang yang menggunakan beberapa unsur tertentu sebagai suatu syarat yang mesti dipatuhi oleh komunitas mereka merupakan contoh konkretnya. Komunitas Cikoang yang bermukim di Kecamatan Mangarabombang, semuanya memeluk agama Islam. Komunitas Cikoang ini tetap melakukan berbagai aktivitas dalam kehidupan mereka seharihari yang merupakan pantulan dari kepercayaan yang diwarisinya secara turun-temurun. Mereka masih melakukan tradisi-tradisi dan berbagai upacara adat serta berusaha mengamalkan nilai-nilai moral dan kerohanian yang telah dipesankan oleh leluhurnya. Bahkan menurut mereka bahwa yang diajarkan oleh leluhurnya berasal dari ajaran-ajaran Islam. Oleh karenanya komunitas Cikoang ini berasumsi bahwa yang mereka lakukan bukanlah tergolong ke dalam perbuatan syrik untuk “menduakan” Sang Pencipta namun adat-istiadat atau tradisi yang dilakukan untuk menjalankan tradisi leluhur mereka. Seperti pada tradisi pengolahan tanah/membajak tanah (pa’jaikko) sebelumnya tanah akan dibacakan doa-doa ‘Islami’ untuk meminta ridho Allah SWT. Begitupun tradisi pappasili’ (pengusiran roh-roh jahat) yang biasa dilakukan oleh komunitas Cikoang setelah proses panen sawah mereka. Inilah salah satu budaya yang sulit dibedakan dengan kepercayaan keagamaan. Jadi pada dasarnya komunitas Cikoang yang beragama Islam menjalankan tradisitradisi yang dipengaruhi oleh ajaran leluhurnya dan ajaran Islam. 27 Pengaruh Islam yang terlihat pada tradisi-tradisi tersebut sangat ditentukan oleh masyarakat. Di mana jika pengetahuan semata-mata bersumber dari kepercayaan asli, maka mereka akan membacakan doadoa (jampi-jampi lokal). Akan tetapi jika masyarakat tersebut sudah mulai diresapi oleh agama Islam tentunya do’a yang dibacakan sudah dipengaruhi agama Islam (Chaerani, 2010). Untuk memahami secara tepat sikap dan perilaku komunitas Cikoang yang merupakan refleksi penghayatannya terhadap tata nilai budaya dan ajaran agama yang dimilikinya, maka makna konsep kebudayaan perlu dijelaskan lebih awal, sekaligus sebagai pijakan analisa dalam memahami perilaku sosial yang di dalamnya terdapat nuansa kebudayaan. Dalam hubungannya dengan budaya makan, kegiatan budaya suatu kelompok masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana diolahnya, disalurkannya, disiapkannya dan disajikannya. Konsep budaya seperti ini diadopsi dari konsep antropologi. Dalam komunitas Cikoang, budaya makan dalam arti pemilihan/penentuan jenis, proses produksi, pengolahan, distribusi dan cara mengonsimsinya tampak jelas memiliki aturan yang “standard”, terlebih jika dikaitkan dengan perayaan Maudu’. 28 C. Maudu’ dalam Perspektif Calling Weber Maudu’, bila dikaitkan dengan spirit “Calling” Weber, maka sejarah protestanisme dapat menjadi inspirasi. Protestanisme merupakan sebuah asketis yang lahir dan tumbuh dari ”gereja reformed”, yaitu doktrin predestinasi, dianggap dogma paling mendasar melalui dogma iman Calvinism yang di dalamnya menyatakan bahwa ”dunia ada untuk melayani kemuliaan Tuhan dan hanya untuk tujuan itu semata”. Selain itu, dinamika keagamaan dalam komunitas gereja, sebagai-mana yang telah diungkapkan dalam The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, semakin memperjelas apa yang Weber sebut Calling (‘panggilan’) sebagai sebuah konsepsi keagamaan yang merupakan suatu tugas yang dikehendaki oleh Tuhan, atau setidak-tidaknya disarankan. Jika kita melacak dari kata itu dalam konsepsi keagamaan orang Kristen, ditemukan bahwa orang-orang Khatolik yang dominan maupun mereka dari zaman purbakala klasik tidaklah memiliki suatu ungkapan dengan konotasi yang sama dengan apa yang disebut Calling dalam pengertian suatu tugas kehidupan atau suatu bidang yang pasti untuk dikerjakan (Weber, 2006). Baxter dalam Weber (1958) mengatakan, Calling merupakan sesuatu yang pasti dan terbaik bagi setiap manusia. Manusia tanpa suatu ‘panggilan’ akan kehilangan suatu karakter atau watak sistematis dan metodis yang sangat dituntut oleh asketis duniawi dalam pandangan Lutherianisme Ortodoks, tokoh reformasi yang pertama melegalkan kata 29 “calling”. Kata itu pertama kali digunakan dalam suatu ungkapan Yesus Sirakh (6: 20 dan 21) yang secara tepat memuat makna modern dari kata itu. Kemudian kata itu dengan cepat digunakan dalam setiap wacana harian dari semua orang-orang Protestan. Dalam perkembangannya kemudian, konsepsi mengenai calling menghasilkan suatu dogma sentral dari seluruh kelompok umat Protestan. Dalam agama Khatolik, bagian mengenai ini sengaja dihilangkan, dan dengan lebih menekankan bahwa, ”Satu-satunya jalan hidup yang dapat diterima Tuhan adalah dengan tidak melampaui moralitas duniawi dalam asketisme monastis, tetapi semata-mata melalui pemenuhan kewajiban atau tugas yang diberikan kepada setiap pribadi manusia dengan tingkat kedudukannya masing-masing di dunia. Pribadi manusia harus selamanya berada pada kedudukannya dan pada panggilan yang telah ditentukan Tuhan, dan manusia harus mengendalikan aktivitasnya dalam batas-batas yang ditentukan oleh kedudukannya dalam kehidupan yang sudah ditakdirkan itu. Inilah panggilan hidupnya” (Weber, 2006). Dalam sejarah Islam, tesis Weber mengenai asketis menghasilkan poros oriented primitif yang berformula bahwa Islam cenderung memisahkan diri dari dunia (Zuhud). Menurut Weber terdapat ciri pilihan (elektif) orang yang ditokohkan antara asketisme dan disiplin dalam Islam. Refikasi realitas empirik paternalitas itu dihadirkan terhadap ilustrasi kepercayaan dalam masyarakat Islam tradisional bahwa manusia tokoh bernama ”Kiyai” dan atau ”Sayyid” dapat memberi berkah, yang dapat 30 pula memberi kelebihan-kelebihan. Ia dipandang sebagai simbol manusia berkejujuran (suci) dan kealiman, yang dapat memediasi antara manusia dengan Tuhan. Di situlah Islam bagi Weber segera menjadi agama penakluk dan pejuang kekuasaan (Mas, 2005). Tradisi Maudu’ sebagai suatu calling keagamaan dalam komunitas Cikoang dimanifestasikan dalam bentuk kepatuhan secara ikhlas melaksanakan semua rangkaian acara Maudu’. Sebab Maudu’ merupakan perwujudan kecintaan kepada Rasulullah dan didudukkan/diposisikan sebagai satu kewajiban (hukumnya wajib) seperti halnya hukum-hukum syariat lainnya dalam Islam, semisal zakat. Contoh yang paling riil adalah adanya kewajiban atas semua orang termasuk bayi yang baru lahir untuk menyerahkan satu paket makanan minimal terdiri atas 4 liter beras, 1 ekor ayam (goreng) 1 buah kelapa (terpakai dalam makanan) dan 1 butir telur rebus. Betapa ikhlas dan besarnya kecintaan kepada Rasullullah SAW, sehingga mereka beranggapan bahwa perayaan ini bukanlah sesuatu yang merupakan beban dan bukan pula suatu bentuk pemborosan, walaupun disadari bahwa perayaan ini menelan biaya yang cukup besar. Kehadiran Sayyid Jalaluddin di Cikoang, memberi kesan mendalam bagi masyarakat atas ajaran yang dibawanya, dan dalam waktu relatif singkat dapat menarik begitu banyak pengikut. Salah satu ajarannya yang sampai saat ini masih terus dilaksanakan bahkan makin besar dari masa awalnya yakni cara-cara merayakan hari Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari realitas pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa inti perayaan 31 tersebut yaitu jikkiri (zikir), yang berarti mengingat, dalam hal ini mengingat Allah SWT dan kelahiran Nabi Muhammad SAW (Saransi, 2003). Selain itu agama Islam yang disiarkan juga dengan mudah diterima oleh masyarakat setempat. Bersamaan dengan itu kehadiran Sayyid Jalaluddin juga melahirkan kekaguman masyarakat bukan hanya karena derajatnya yang tinggi tetapi juga karena teladan yang ia berikan. Melihat kenyataan ini bahwa ajaran Islam di Cikoang semakin berkembang dan keturunannya semakin mengakar, maka masyarakat Cikoang masih tetap memperingati perayaan tersebut. Semakin antusiasnya dan karena ‘calling (panggilan)’ keagamaan, masyarakat Cikoang melaksanakan tradisi perayaan maulid ini dari tahun ke tahun semakin besar/ramai. Ternyata pula, yang berpartisipasi bukan hanya masyarakat Cikoang yang tinggal di Cikoang, melainkan juga masyarakat Cikoang yang ada di luar daerah misalnya Maros , Pangkep, Jeneponto. Bahkan di luar Sulawesi Selatan, misalnya Buton, Palu, Kendari dan pulau lain. Saat menjelang pelaksanaan perayaan, mereka berdatangan dari daerah tempat tinggal masing-masing ke Cikoang melalui laut dan udara. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa Maudu’ merupakan ‘panggilan’ keagamaan. Dari hasil perbincangan dengan masyarakat terutama tokoh masyarakat dan pemerintah lokal, diperoleh fakta bahwa tidak seorangpun anggota komunitas Cikoang (dalam arti pengikut Sayyid Jalaluddin al-Aidid) termasuk bayi yang baru lahir sekalipun yang tidak 32 berpartisipasi dalam maulid; setidaknya mereka ikut ”menyerahkan sejumlah minimum paket makanan seperti telah disebutkan di atas. Kealpaan mereka dari partisipasi dipandang sebagai pelanggaran agama. Dalam masyarakat itupun, ia sebagai pusat pembentukan kesadaran sejarah, centre of rational thougth of history dalam melakukan kebebasan ibadah dan sumber pencarian keselamatan. Mereka asketis tradisional mengganggap bahwa jasa tokoh (sayyid) itu berperan sebagai yang menentukan nasib hidup sama dengan apa yang dipikirkan Tuhan yang bersifat absolut dan mutlak (Mas, 2005). Dengan demikian, diyakini dapat memberi manfaat dan kualat bila tidak mengikuti ajaran ini, sehingga takterhitung jumlahnya kalangan komunitas Cikoang maupun di luar komunitas Cikoang berbondong-bondong senantiasa mendapatkan berkah. merayakan Maudu’ agar