Analisa Kriminologis terhadap Prostitusi Yang - E

advertisement
“Analisa Kriminologis terhadap Prostitusi Yang Dilakukan Mahasiswi di Malang.”
Oleh : Haris, SH
A. Pendahuluan
Kejahatan adalah sudah ada sejak dahulu kala di dalam suatu masyarakat, dan
dapat dikatakan sebagai suatu penyakit masyarakat. Menurut pendapat Kartini
Kartono: Crime atau kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan
melanggar norma-norma sosial, sehingga masyarakat menentangnya”.1
Dan sepanjang sejarah hal tersebut adalah merupakan suatu hal yang ditakuti
oleh masyarakat, tetapi hal tersebut selalu ada di dalam masyarakat karena
merupakan suatu penyakit. Seorang ahli sosiologi berpendapat dari sudut
sosiologis.
“Bahwa kejahatan itu bersumber di masyarakat, masyarakat yang memberi
kesempatan untuk melakukan kejahatan dan masyarakat sendiri yang
menanggung akibatnya dari kejahatan itu walaupun secara tidak langsung,
oleh karena itu untuk mencari sebab-sebab kejahatan adalah di
masyarakat”2
Pendapat tersebut di atas menitik beratkan bahwa penyebab dari tindak
kejahatan/tindak pidana adalah karena masyarakat memberi kesempatan terhadap
timbulnya kejahatan. Tetapi di lain pihak ada yang berpendapat lain seperti apa
yang dikemukakan Cesare Lombroso seorang dokter Italia yang bekerja di
penjara-penjara. Hasil-hasil penelitian Lombroso atas narapidana di penjarapenjara telah melahirkan teori-teori Lombroso yang telah mempengaruhi tentang
sebab kejahatan pada saat itu yaitu:
“Type-type kriminal dengan prinsip-prinsip atavisme yang menyatakan
adanya proses kemunduran kepada pola-pola primitif dari speciesnya yaitu tibatiba muncul ciri-ciri milik nenek moyang, yang semula lenyap selama berabadabad, dan kini timbul kembali”.3
Di lain pihak para ahli kriminologi dan sosiologi yang berpendapat lain yakni
mereka berpendapat: “Kondisi lingkungan yang tidak waras merupakan tempat
persemayaman bagi kejahatan (Evil Resides in an imperfect environment)”.4
Dan inipun masih ada lagi pendapat Aristoteles (384. 322 S.M) yang
menyebutkan: “Adanya hubungan di antara masyarakat dan kejahatan yaitu
dalam wujud peristiwa kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan”.5
Kejahatan memang merupakan gejala masyarakat yang amat sangat
mengganggu ketenteraman, kedamaian serta ketenangan masyarakat yang
seharusnya lenyap dari muka bumi ini, namun demikian seperti halnya siang dan
malam, pagi dan sore, perempuan dan laki-laki, maka kejahatan tersebut tetap
akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan, kebajikan dan sebagainya.
Hal ini akan nampak pula ada ungkapan di bawah: “… kejahatan yang selalu
akan ada, seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang, seperti halnya
musim yang akan berganti-ganti dari tahun ke tahun.6
Dari ungkapan di atas maka jelaslah bahwa walaupun kejahatan merupakan
suatu gangguan terhadap ketentraman, ketenangan dan keamanan masyarakat
yang harus dihilangkan dari muka bumi ini, namun sesuai dengan sifat kodratnya
sebagai kebalikan dari adanya kebaikan, maka kejahatan tersebut akan selalu ada
dan akan tetap ada di muka bumi ini tidak dapat dimusnahkan sama sekali.
Yang menarik dalam perkembangan kejahatan itu ialah akhir-akhir ini tidak
sedikit wanita-wanita yang terlibat dalam tindak kejahatan yang sebelumnya
hanya lazim dilakukan laki-laki, misalnya ikut serta dalam penodongan,
perampasan kendaraan bermotor, pembunuhan atau bahkan otak perampokan.
Maka citra wanita yang seolah-olah lebih bertahan terhadap kejahatan, mulai
pudar. Kenyataan ini menimbulkan keprihatinan di sementara kalangan wanita,
sebab sampai sekarang secara diam-diam wanita dianggap sebagai benteng
terakhir meluasnya kriminalitas.
Hukum sendiri sebenarnya sudah memberi peringatan bahwa barang siapa
yang mengadakan pelanggaran hukum baik itu laki-laki ataupun wanita dapat
dihukum yang sesuai dengan perbuatannya. Hal tersebut telah dijelaskan di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 2, yang berbunyi sebagai
berikut: “Ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi orang
yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum
(peristiwa pidana)”.7
Berdasarkan pada KUHP pasal 2 tersebut, maka hukum yang berlaku di
Indonesia tidak membedakan golongan, suku, maupun jenis kelamin, baik itu pria
maupun wanita adalah sama dalam mentaati segala perundang-undangan atau
hukum yang berlaku di Indonesia.
Hukum dalam kontekstual sebenarnya cukup ideal untuk dijadikan salah
satu upaya menakut-nakuti siapapun agar tidak berbuat jahat. Namun dalam
realita tujuan itu tak mudah dicapai. Hal ini bisa dilihat dari berita majalahmajalah ataupun surat kabar-surat kabar yang sering memuat berita tentang
kejahatan, bukan saja dilakukan oleh orang laki-laki tetapi juga dilakukan oleh
wanita, dan tidak sedikit jumlah wanita yang melakukan tindak pidana baik
kejahatan atau pelanggaran saja. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Betapa
tidak, karena wanita adalah sebagai tiang negara. Rasulullah SAW bersabda :
“Bahwa wanita diibaratkan sebagai tiang negara, jika wanita dalam suatu negara
itu rusak, maka rusak pula negara itu. Dan jika kaum wanita dalam suatu negara
itu baik dan shalihah, maka baik pula negara itu”.8
Terasa akan lebih mencengangkan kita, jika kemudian diketahui bahwa dari
sekian jenis kejahatan yang dilakukan wanita justeru kejahatan kesusilaan (baca :
prostitusi). Anehnya justeru jenis kejahatan ini tidak sedikit diperoleh keterangan
justeru dilakukan oleh wanita dari kalangan yang berstatus mahasiswa.
Memang tidak salah jika para sepuh kita sering berujar, bahwa dunia semakin
rusak. Terbukti kenyataan sebagaimana di atas, oleh sejumlah kalangan dianggap
sudah merupakan kewajaran dalam era kekinian, dimana segala sesuatu lebih
mengedepankan kepentingan bisnis dari pada penghormatan nilai etika.
Sebagaimana dikatakan Rudy Gunawan, bahwa di era informatika dan global ini,
disadari bahwa segala sesuatu memiliki kedekatan dengan segala bentuk erotisme,
manusia semakin berlomba memanfaatkan erotisme sebagai pemenuhan prinsip
ekonomi, karena telah terbukti erotisme adalah bumbu penyedap yang membuat
produk laku keras dan dunia hiburan selalu berusaha memancing sensasi seksual
untuk menarik minat konsumen, alhasil dari padanya dihasilkan banyak uang.9
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Prostitusi” mengandung makna
suatu kesepakatan antara lelaki dan perempuan untuk melakukan hubungan
seksual dalam hal mana pihak lelaki membayar dengan sejumlah uang sebagai
kompensasi pemenuhan kebutuhan biologis yang diberikan pihak perempuan,
biasanya dilakukan di lokalisasi, hotel dan tempat lainnza sesuai kesepakatan.10
Selanjutnya secara etimologis prostitusi berasal dari bahasa Inggris yaitu
“Prostitute / prostitution” yang berarti pelacuran, perempuan jalang, atau hidup
sebagai perempuan jalang.11 Sedangkan dalam realita saat ini, menurut kaca mata
orang awam prostitusi diartikan sebagai suatu perbuatan menjual diri dengan
memberi kenikmatan seksual pada kaum laki-laki.
Dari uraian di atas, menarik untuk dilakukan kajian tentang latar belakang
atau alasan yang menjadi faktor penyebab tindakan prostitusi itu, apalagi hal itu
dilakukan oleh para mahasiswi. Hal mana dilakukan diharapkan untuk menjadi
bahan masukan dalam upaya mencegah dan menanggulangi perbuatan dimaksud
di masa-masa dan oleh generasi-generasi mendatang. Oleh karenanya penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Analisa Kriminologis
terhadap Prostitusi Yang Dilakukan Mahasiswi di Malang.”
Sesuai dengan istilah dalam judul yang dipilih, maka permasalahan yang
hendak dikaji adalah berkaitan dengan tinjauan kriminologis. Artinya
permasalahan yang menjadi topik analisa adalah aspek faktor penyebab serta
upaya penanggulangan. Oleh karena itu dalam tulisan ini mengandung
permasalahan sebagai berikut :
(1). Faktor-faktor apakah yang menyebabkan mereka (mahasiswa) terjun
dalam dunia prostitusi ?
(2). Bagaimana upaya penanggulangan dari aparat kepolisian terhadap para
pelaku prostitusi tersebut ?
Tujuan dari penelitian ini antara lain adalah :
(1). Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan mereka
(mahasiswa) terjun dalam dunia prostitusi ?
(2). Bagaimana upaya penanggulangan dari aparat kepolisian terhadap para
pelaku prostitusi tersebut ?
Dengan Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat atau kegunaan antara lain
adalah :
(1). Bagi pengembangan Ilmu Pengetahuan Hukum khususnya bidang Ilmu
hukum Pidana maupun bidang ilmu Kriminologi, diharapkan dengan penelitian
ini mampu memperkaya wawasan terutama berkaitan dengan bekerjanya hukum
dalam masyarakat.
(2). Bagi kalangan praktisi hukum terutama para penegak hukum,
diharapkan sebagai bahan masukan bagi bahwa dalam realita kehidupan sosial
masyarakat kota Malang, ditemukan adanya praktek-praktek prostitusi oleh
kalangan mahasiswi, yang dengan itu perlu penyikapan yang tegas sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku.
(3). Bagi masyarakat luas, diharapkan mampu membukakan mata hati dan telinga
mereka bahwa sesungguhnya di tengah-tengah kehidupan yang nampak aman,
tenteram dan damai masih juga terdapat suatu kenyataan yang cukup
memprihatinkan dan perlu penyadaran bersama yaitu bahwasanya ada sebagian
anggota masyarakat yang memerlukan wahana penyadaran akan perilaku
menyimpang.
Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan
Kriminologis. Dalam pendekatan Kriminologis ini, penulis melakukan kajian dari
aspek causa (faktor penzebab) kejahatan dan upaya penanggulangan
kejahatannya.
Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah lokasi Malang Raya,
dengan dasar pertimbangan secara kebetulan di wilayah ini berdasarkan observasi
awal ditemukan adanya praktek-praktek Prostitusi oleh kalangan mahasiswi di
beberapa tempat hiburan malam maupun di beberapa hotel di Malang.
Dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan pengumpulan data, yang mana
meliputi data primer dan sekunder.
a. Data Primer adalah data yang diperoleh dengan melakukan pengamatan
maupun studi lapangan secara langsung kepada responden.
Data primer ini diperoleh dengan penelitian lapangan ke beberapa lokasi yang
disinyalir terdapat praktek-praktek prostitusi, sekaligus dengan pelaku-pelaku
yang didapat di lokasi yang bersangkutan.
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelaahan buku-buku
literatur secara teoritis, berbagai peraturan perundangan yang berlaku, majalah,
artikel / karya ilmiah. Dalam hal ini penulis menggunakan teori-teori yang
diambil dari buku-buku dan peraturan perundangan yang relevan.
Penulis dalam hal ini ini melakukan kegiatan membaca berbagai literaturliteratur khususnya bidang Kriminologi, majalah, koran serta peraturan
perundangan yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, seperti Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam pengumpulan data, dilakukan berbagai metode/teknik meliputi yaitu :
a. Wawancara (interview), yaitu suatu cara untuk memperoleh data, dengan
mengadakan tanya jawab dengan responden.
Dalam interview ini dilakukan wawancara dengan para mahasiswi yang
melakukan prostitusi, dan terutama pula sebagai salah satu fokus permasalahan
dalam penelitian ini adalah dengan para aparat penegak hukum di lingkungan
Polresta Malang, Polres Batu dab Polres Malang.
b. Dokumentasi, yaitu pencatatan terhadap data-data / dokumen tertentu dari suatu
obyek yang ada, sehingga diperoleh data dan informasi yang realistik guna
membahas permasalahan yang telah dirumuskan.
Dalam dokumentasi ini penulis melakukan pencatatan secara sistematis dan
teratur tentang semua masalah yang ada hubungannya dengan latar belakang dan
penyebab dilakukannya Prostitusi tersebut, serta mencatat pula bagaimana upayaupaya penegakan hukumnya yang dilakukan oleh pihak kepolisian maupun
perguruan tinggi yang bersangkutan.
c). Observasi, yaitu pengamatan secara langsung terhadap suatu gejala yang
nampak di lokasi penelitian yang berguna sebagai bahan kajian untuk dikaji
dan dibahas sesuai dengan rujukan teori dan peraturan perundangan.
Dalam observasi ini penulis melakukan peninjauan dan pengamatan langsung
ke lokasi-lokasi yang disinyalir terdapat praktek-praktek prostitusi seperti klub
hiburan malam, hotel-hotel maupun café-café.
Selanjutnya data yang terkumpul dilakukan analisa dengan metode deskriptif
analisis, yaitu dilakukan pengolahan data atas hasil penelitian lapangan yang
kemudian dipadukan dengan yang didapat dari penelitian kepustakaan yang
tujuannya adalah mendapatkan jawaban permasalahan yang telah dikemukakan.
B. Hasil Penelitian dan pembahasan
Setidak-tidaknya ada dua alasan yang mendasari betapa penulis mengalami
kesulitan dalam melakukan penelitian, yaitu antara lain : Pertama, penulis adalah
seorang wanita, yang tentu sangat terbatas untuk dapat menembus atau memasuki
tempat-tempat yang ditengarai terdapat praktek-praktek prostitusi. Penulis sangat
kesulitan baik terutama dari sisi waktu yang memang sangat larut malam; Kedua,
harus diakui bahwa tempat-tempat seperti itu sangat tertutup rapat, tidak
sembarang orang mengetahui adanya hal tersebut. Dalam menyiasati hal ini,
penulis menggunakan atau memanfaatkan orang-orang khusus, baik seorang
teman yang biasa demikian, ataupun petugas.
Sebelum mengupas tentang faktor-faktor penyebab pelaku terjun dalam dunia
prostitusi, guna ilustrasi dan pemahaman lebih lanjut, terlebih dahulu penulis
paparkan mengenai 4 hal yaitu tempat, waktu, dan siapa (personal), maupun
modus atau cara dilakukannya prostitusi.
1. Tempat-tempat praktek prostitusi
Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa tidak sembarang orang mengetahui
akan adanya tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk praktek prostitusi ini.
Di wilayah Malang Raya (Kota, Kabupaten Malang maupun kota Batu), tempattempat yang biasanya digunakan untuk prostitusi adalah sama, yaitu : hotel dan
ada kalanya rumah-rumah perorangan.
Untuk jelasnya mengenai tempat-tempat yang biasanya digunakan untuk
praktek prostitusi ini, dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel I
Tempat-tempat dilakukan Prostitusi
NO
1.
2.
JENIS TEMPAT
Hotel-hotel
Rumah-rumah perorangan
Jumlah
JUMLAH
7
3
10
Sumber data : Olah data hasil Observasi di wilayah Malang
%
70%
30%
100%
Dari data tabel di atas, menunjukkan bahwa kebanyakan yang seringkali
digunakan untuk ajang praktek prostitusi adalah hotel-hotel sebanyak 7 (70%),
selanjutnya di rumah-rumah perorangan (tempat kost atau kontrakan atau rumah
teman 3 (30%).
Sedangkan hotel-hotel yang juga terkadang dijadikan praktek prostitusi
adalah seperti Regent Park, Kartika, Montana II, Wijaza, Orchid, Mentari dan
Mandiri. Sedangkan yang dimaksud dengan rumah-rumah perorangan disini,
adalah rumah tempat kost atau kontrakan. Dan adakalanya rumah teman zang
terdapat pada pemukiman penduduk yang di dalamnya tersedia ruangan khusus
yang bisa digunakan untuk melakukan hubungan seksual.
2. Waktu-waktu Prostitusi
Hampir dipastikan bahwa praktek-praktek prostitusi umumnya hanya
dilangsungkan pada malam hari terutama yang di hotel-hotel, kecuali yang
dilakukan di rumah-rumah perorangan, yang dimungkinkan waktunya siang hari
tergantung pesanan atau kemauan konsumen.
Untuk jelasnya mengenai waktu-waktu yang biasanya digunakan untuk
praktek prostitusi ini, dapat dilihat dari tabel berikut :
Tabel II
Waktu-waktu dilakukan Prostitusi
NO
1.
2.
WAKTU (JAM)
Malam hari
Siang hari
Jumlah
JUMLAH
6
4
10
%
60%
40%
100%
Sumber data : Olah data hasil Observasi di wilayah Malang
Dari data tabel di atas, menunjukkan bahwa kebanyakan waktu-waktu yang
seringkali digunakan untuk ajang praktek prostitusi adalah malam hari, terutama
yang dilakukan di hotel-hotel ternama (berbintang) sebanzak 6 (60%), sedangkan
yang dilakukan pada siang hari biasanya di tempat kost atau kontrakan sejumlah 4
(4%).
Selain berkenaan dengan jam-jam yang sering terdapat praktek prostitusi,
dapat pula dikemukakan disini adalah bahwa praktek prostitusi tersebut sebagaian
besar dilakukan pada hari sabtu dan minggu, hal ini dapat dipahami mengingat
selain hari-hari itu mereka disibukkan oleh tugas kuliah.
3. Pelaku praktek Prostitusi
Berkenaan dengan individu personel pelaku ini, penulis mengklasifikasikan ke
dalam strata tingkat berdasarkan tahun kuliah, latar belakang ekonomi, dan
ketaatan dalam beribadah.
1. Tingkat (tahun kuliah) Pelaku Prostitusi
Mengenai tingkat (tahun kuliah) pelaku prostitusi ini, penulis membagi
kedalam strata tingkat 1, tingkat 2, tingkat 3, tingkat 4, dan tingkat atas
(lebih dari 4 tahun).
Mengenai kejelasan tentang tingkat (tahun kuliah) pelaku prostitusi, berikut
ini data hasil penelitian sebagaimana dipaparkan dalam tabel berikut :
Tabel III
Data Tingkat (tahun kuliah) Pelaku Prostitusi
NO
1.
2.
3.
4.
5.
USIA
Tingkat 1
Tingkat 2
Tingkat 3
Tingkat 4
Tingkat atas
Jumlah
JUMLAH
0
1
2
2
5
10
%
0
10%
20%
20%
50%
100%
Sumber data : Olah data hasil Observasi di wilayah Malang
Dari data tabel di atas, menunjukkan bahwa ternyata kebanyakan mahasiswa
yang berprofesi prostitusi adalah yang mereka yang duduk di tingkat atas (lebih
dari 4 tahun) yaitu sebanyak 5 orang (50%), selanjutnya yang duduk di tingkat 3
dan 4 masing-masing sebanyak 2 orang (20%) dan yang paling sedikit adalah
yang duduk di tingkat 1 sebanyak 1 orang (10%). Sedangkan untuk duduk di
tingkat 1 tidak ditemukan yang melakukan praktek prostitusi.
3.2. Latar Belakang ekonomi Pelaku Prostitusi
Mengenai latar belakang ekonomi pelaku prostitusi ini, penulis agak
kesulitan mendata secara pasti, mengingat untuk mengorek data tentang
tingkat ekonomi sangat sulit, karena berkaitan dengan privacy, sehingga
data yang dimunculkan hanya berdasarkan sumber penghasilan dari
mereka. Yaitu berasal dari orang tua, berasal dari usaha mandiri, ataupun
selain dari orang tua, juga mandiri. Dengan catatan usaha mandiri
dimaksud adalah salah satunya dari profesi prostitusi tersebut. Untuk
jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Tabel III
Data Sunber Penghasilan Ekonomi Pelaku Prostitusi
NO
1.
2.
3.
JENIS SUMBER PENGHASILAN
Orang tua
Mandiri
Orang tua dan Mandiri
Jumlah
JUMLAH
2
5
3
10
%
20%
50%
30%
100%
Sumber data : Olah data hasil Observasi di wilayah Malang
Dari data tabel di atas, menunjukkan bahwa ternyata kebanyakan mahasiswa
yang berprofesi prostitusi adalah yang mereka yang menjadikan usaha prostitusi
sebagai bagian dari sumber penghasilan mereka yaitu sejumlah 5 orang (50%),
sedangkan lainnya adalah murni bantuan dari orang tua yaitu 2 orang (20%), dan
sisanya selain bantuan orang tua juga usaha mandiri yaitu 3 orang (30%).
3.3.Tingkat pengamalan Ibadah Pelaku Prostitusi
Mengenai tingkat pengamalan ibadah keagamaan pelaku prostitusi ini,
penulis agak kesulitan mendata secara pasti, mengingat untuk mengorek
data tentang tingkat keimanan sangat sulit, karena berkaitan dengan isi
hati yang sulit indikatornya, sehingga data yang dimunculkan hanya
berdasarkan pengamatan penulis dalam keseharian selama beberapa hari
saja. Untuk jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Tabel IV
Data Tingkat pengamalan ibadah Pelaku Prostitusi
NO
1.
2.
3.
TINGKAT PENGAMALAN IBADAH
Sangat rutin beribadah
Rutin Ibadah
Tidak Ibadah sama sekali
Jumlah
JUMLAH
1
1
8
10
%
10%
10%
80%
100%
Sumber data : Olah data hasil Observasi di wilayah Malang
Dari data tabel di atas, menunjukkan bahwa ternyata kebanyakan mahasiswa
yang berprofesi prostitusi adalah yang mereka yang ibadahnya kurang sama sekali
(tidak ibadah) yaitu sejumlah 8 orang (80%), sedangkan lainnya adalah sangat
rutin 1 orang (10%) dan sekedar rutin yaitu masing-masing 1 orang (10%).
4. Modus/cara dalam praktek Prostitusi
Berkenaan dengan cara / modus dilakukannya praktek prostitusi ini, harus
diakui kenyataannya sangat beragam, tergantung dari tempat dan transaksi atau
kemaun dari konsumen. Secara umum kronologisnya dipaparkan sebagai berikut :
Modus I, umumnya dilakukan di hotel-hotel
Antara konsumen yang umumnya para pejabat, pengusaha atau orang-orang
berduit lainnya menghubungi lewat HP, dan langsung ketemu di hotel yang
dipilih, kemudian setelah melakukan hubungan seksual konsumen langsung
membayar sebagaimana disepakati awal. Harga beragam mulai Rp. 300.000,hingga Rp. 500.000,- sekali pakai. Akan beda jika menginap atau 24 jam yang
mencapai angka Rp. 1.500.000,- hingga Rp. 2.000.000,Modus II, umumnya dilakukan di tempat-tempat kost
Umumnya konsumen dalam modus ini adalah para mahasiswa. Dengan hanza
berbekal info dari mulut ke mulut, biasanya konsumen langsung jemput di tempat
kost mahasiswi yang bersangkutan langsung di bawa ke tempat kost konsumen.
Bisa juga ketemunza mereka (antara konsumen dan mahsiswi) di sebuah tempat
hiburan malam, kemudian diajak pulang menuju tempat kost konsumen. Nilai
transaksi paling mahal Rp. 200.000,C. Faktor-faktor Penyebab Mahasiswi Terjun dalam Prostitusi
Sebagaimana dikemukakan dalam bab terdahulu, bahwa banyak kemungkinan
yang menjadi faktor penyebab yang melatarbelakangi seseorang melakukan
perbuatan jahat atau menyimpang. Oleh karenanya tentu juga demikian halnya
dengan perilaku para mahasiwi prostitusi ini, ada beberapa hal yang menjadi
motif atau latar belakang mereka. Berdasarkan hasil penelitian ternyata secara
garis besar ada 3 faktor penyebab yaitu faktor ekonomi, faktor lingkungan atau
ikut-ikutan dan faktor kesenangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel
berikut :
Tabel V
Data Latar belakang / motif Pelaku Prostitusi
NO
1.
2.
3.
JENIS MOTIF/PENYEBAB
Kesenangan
Ekonomi
Lingkungan
Jumlah
JUMLAH
2
5
3
10
%
20%
50%
30%
100%
Sumber data : Olah data hasil Observasi di wilayah Malang
Dari data tabel di atas, menunjukkan bahwa mayoritas dari mahasiswi terjun
ke dunia prostitusi dilandasi motif ekonomi yaitu 5 orang (50%), sedangkan yang
3 orang (30%) karena faktor lingkungan, sedangkan sisanya 2 orang (20%) karena
faktor kesenangan semata.
Secara rinci mengenai keterangan data tabel di atas dapat diperkuat dari hasil
penelitian berupa hasil wawancara dengan sejumlah responden sebagaimana
diuraikan dalam diskripsi berikut ini. Diskripsi sengaja dipaparkan dalam bentuk
hasil olah data dari wawancara dengan pelaku.
1. Faktor Ekonomi
Kebanyakan dari motif yang melatarbelakangi mahasiswi terjun ke dalam
dunia prostitusi adalah motif ekonomi, tidak sedikit dari mereka menjadikan
profesi ini sebagai sumber penghasilan ekonomi mereka.
Adalah Agn mahasiswi sebuah PTS di Malang, secara jujur mengakui bahwa
penghasilan dari profesi prostitusi ini cukup untuk membantu orang tua di Jakarta
sekaligus biaya sekolah adik-adiknya yang kecil-kecil. Bahkan dengan hasil yang
diperoleh dari profesi ini, dia bisa mengontrak sebuah rumah di kawasan
perumahan Blimbing kota Malang dengan seorang pembantu, sedangkan sebagian
kamar rumahnya di-kostkan kepada beberapa mahasiswi.12
Lain halnya dengan pengakuan Ich, salah seorang mahasiswi PTS jurusan
ekonomi, tanpa ditutup-tutupi bahwa dia mengaku terjun ke dunia prostitusi ini
karena kiriman dari orang tua di Banyuwangi sangat minim dan itupun sering
terlambat sampai di kota Malang, akibatnya dia sering hutang kepada seorang
pejabat teras di kota Malang yang dikenalnya saat dia menjadi penerima tamu
sebuah acara dinas yang diadakan Pemkot di sebuah rumah makan. Untuk
menutupi hutang tersebut, mereka akhirnya mau melayani hubungan seksual
dengan seorang pejabat tersebut, dan anehnya pejabat itu setelah itu lama tak
kontak, yang tahu-tahu muncul malah menawarkan untuk menekuni profesi ini
dengan mengenalkan pada beberapa pejabat lainnya. Setelah itu maka kebiasaan
tersebut menjadi profesi.13
2. Faktor Lingkungan
Kalau Agn dan Ich lebih disebabkan karena faktor ekonomi, lain halnya
dengan Sisk (keturunan) mahasiswi PTN ternama, yang secara terus terang
menyombongkan diri bahwa uang banyak (bekerja sebagai penyanyi di sebuah
hotel tengah kota Malang, tapi mengapa dia terjun ke dunia prostitusi lebih
disebabkan karena pengaruh teman-teman, yang kebetulan satu kost (perumahan
Griya Santa) 6 orang semuanya senang begituan di hotel-hotel untuk melayani
Om-om. Saya merasa menemukan kebebasan dan kesenangan ketika mampu
memuaskan orang lain.14
Demikian juga dengan Des mahasiswi sebuah Akademi Perhotelan, yang
secara polos mengaku bahwa dia terjun ke dunia seperti ini, karena ikut-ikutan
teman satu kostnya terjun ke dunia prostitusi. Mengenai bayaran uang dia tak
pernah peduli. Dia menekuni sebatas ikut-ikut atau meniru apa yang dilakukan
oleh teman-temannya, dan hal itu diakui terus terang bahwa kesemuanya itu
dijalaninya dengan enjoy, alias suka-suka.15
3. Faktor Kesenangan
Faktor kesenangan dimaksud dalam faktor penyebab ini adalah motif yang
melatarbelakangi terjun ke dunia prostitusi karena hanya untuk kesenangan
semata, tanpa ada motif lain. Profesi dilakukan dengan dasar untuk memperoleh
kepuasan batin semata.
Adalah Tk seorang mahasiswi PTS seputaran Dinoyo, mengaku bahwa profesi
ini baginya untuk mencari kepuasan batin, terutama kepuasan seksual. Bahkan
dengan statusnya sebagai janda, apa yang dilakukan selama ini membuat dia
kecanduan dan menjadikannya sebagai kebutuhan utama. “Jika saya tidak ada
pesanan, saya sampai minta tolong GM untuk cepat mencarikan, saya sungguh
tidak tahan lagi. Meski dia mengaku memiliki seorang pacar, tapi karena pacarnya
sering disibukkan oleh tugas keseharian, maka mencari kepuasan lain”. 16
Lebih aneh lagi apa yang dilakukan Irm mahasiswi Sekolah Tinggi Hukum di
Malang, sejatinya wanita ini adalah sebagai istri simpanan seorang warga
keturunan, walaupun belum dikaruniai anak, tapi kehidupan dengan suaminya
kurang harmonis, dan konon katanya suaminya sudah kawin lagi dengan seorang
artis dangdut. Memang diakui meski tanpa ada sumber penghasilan hidup yang
rutin, tapi dia mengakui bahwa simpanannya di Bank atas deposit dari suaminya
sangat lebih dari cukup untuk hidup di kota besar sekalipun. Oleh karenanya dia
hanya ingin senang-senang semata dengan para laki-laki. Bahkan suatu kepuasan
penuh jika konsumennnya dari kalangan etnis tionghoa.17
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan teori tentang penyebab kejahatan, bahwa
secara garis besar faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku menyimpang terdiri
dari 2 faktor yaitu :
(a). Faktor internal, yaitu adalah faktor penyebab dari dalam diri si pelaku, seperti
tingkat emosional, gangguan kejiwaan dll.
(b). Faktor eksternal adalah faktor penyebab dari luar si pelaku, seperti tekanan
ekonomi, lingkungan pergaulan, dll.
Adapun analisa terhadap kedua faktor penyebab terjadinya penyimpangan
perilaku terutama praktek prostitusi, adalah sebagai berikut :
1. Faktor internal, yaitu berupa kejiwaan pelaku, dalam hal ini dapat berupa tingkat
emosional, intelegnsi atau bentuk kelainan maupun stabilitas kejiwaan.
Dalam uraian kasus di atas ditemukan bahwa ada beberapa orang yang
melakukan praktek-praktek prostitusi disebabkan karena pemenuhan kesenangan
semata. Bagi mereka tindakannya selama ini semata-mata guna pemenuhan
kepuasan atau kesenangan batin saja.
Faktor penyebab adanya dorongan biologis yang tinggi, juga merupakan
bagian dari factor internal ini. Libido seksual laki-laki (suami) yang besar
membuat dia melakukan perbuatan yang berlawanan dengan hukum, sebagaimana
dikatakan oleh Sudarto, bahwa : “Kriminalitas orang-orang agaknya timbul dari
ketidak sesuai atau ketidak seimbangan antara hasrat nafsu keinginan (libido) dan
kemungkinan pemuasan atau potentie. 18
IS Soesanto-pun berpendapat sama, bahwa faktor kelainan psikologis berupa
penyimpangan atau kelainan seksual, khususnya berupa hiperseks,
ekshibishionisme dll.19
Ekshibishionisme adalah penyimpangan seks (deviasi sexual) yang dialami
terutama oleh kalangan wanita yang mana dia memperoleh kepuasan seksual jika
organ-organ kelamin penting (vital) ditonton atau dilhat orang yang berjenis
kelamin lain.20
Sedangkan Hiperseks adalah kelainan seksual dalam bentuk nafsu atau libido
seks yang tinggi di luar kebiasaan normal, seperti mudah terangsang sehingga
menimbulkan nafsu untuk segera bersetubuh.21
Cyril Burt dalam bukunya “The Young Delinguent” mengatakan sebagai
berikut : “Bahwa hanya orang-orang yang mentalnya terbelakang dan lemah
ingatan yang menirukan adegan-adegan dari film, dan yang ditiru bukan
perbuatannya, tapi hanya caranya karena dorongan jahatnya memang sudah ada
padanya. Burt menganggap pengaruh umum hal-hal yang sukar dicapai seperti
digambarkan dalam film lebih penting, karena gambaran-gambaran yang tidak
sungguh dan tidak sehat tentang kehidupan seks dapat menimbulkan pertentangan
mental pada anak muda remaja. Tetapi bila dibandingkan dengan banyaknya film
yang diproduser dan lepas dari sensor, korbannya biasanya hanya mereka yang
memang karena pembawaannya punya kelakuannya anti sosial.22
Dari berbagai teori tersebut maka dapatlah dikatakan bahwa kasus yang
dialami oleh pelaku karena semata-mata untuk mencari kesenangan bukan tidak
mungkin akibat dari penyimpangan mental atau kejiwaan yang bersangkutan.
2. Faktor Eksternal, yaitu faktor penyebab yang ditimbulkan dari luar diri
individu yang bersangkutan, seperti faktor lingkungan, ekonomi, atau lainnya.
Ciri dari faktor ini adalah adanya faktor di luar individu yang baik disadari
atau tidak, mampu menggerakkan, mendorong atau membentuk perilaku
menyimpang tersebut.
a. Faktor lingkungan
Faktor Lingkungan sebagaimana dikemukakan sebelumnya faktor ini
tak dapat disangkal lagi faktor ini mempunyai pengaruh yang besar
terhadap penentuan sikap atau tindakan seseorang baik sebagai individu
maupun sebagai makhluk masyarakat. Dalam kaitannya dengan faktor
lingkungan ini tokoh penting dari mashab Perancis atau mashab
lingkungan G. Trade mengatakan bahwa :“Kejahatan bukan suatu gejala
yang antropologis tapi sosiologis, yang seperti kejadian-kejadian
masyarakat lainnya dikuasai oleh peniruan.”23
Pendapat di atas, juga dipertegas oleh para ahli kriminologi dan
sosiologi yang berpendapat bahwa : “Kondisi lingkungan yang tidak waras
merupakan tempat persemayaman bagi kejahatan (Evil Resides in an
imperfect environment)”.24
Sutherland dalam bukunya Principle of Criminology bahwa kejahatan
terjadi disebabkan oleh tiga faktor yang berpengaruh secara timbal balik
yaitu:
a. Pemilihan pekerjaan ditentukan oleh bakat maupun lingkungan;
b. Norma-norma jabatan, terutama di dalam pekerjaan yang terus
menerus menimbulkan kontak;
c. Kesempatan yang diberikan oleh pekerjaan.25
Jadi setiap manusia dalam kebiasaan hidupnya dan pendapatnya selalu
mengikuti keadaan lingkungan dimana ia hidup. Atau dengan perkataan
lain, keadaan lingkungan dimana seseorang biasanya hidup, berpengaruh
besar terhadap tingkah laku dan perbuatan orang tersebut.
Dalam uraian kasus sebelumnya nyata-nyata ada pengakuan jujur dari
pelaku prostitusi bahwa sikapnya dilatarbelakangi oleh ikut-ikutan saja
alias pengaruh pergaulan. Kasus demikian sangat relevan dengan teoriteori causa kejahatan di atas.
b. Faktor Ekonomi
Faktor Ekonomi ini sebagaimana hasil penelitian merupakan faktor
yang dominan yang menjadi penyebab timbulnya tindakan prostitusi.
Bahkan jika dilihat dari data tabel menunjukkan angka lebih dari 50%.
Dalam situasi ekonomi seperti ini, dimana tingkat persaingan
dalam segala bidang sangat kuat, ekonomi mesti menjadi satu tujuan yang
hendak dicapai setiap orang terutama kalangan wanita. Dalam upaya
pencapaian tujuan tersebut adakalanya dengan cara yang baik dan jujur,
tapi tidak sedikit pula yang menempuh jalan pintas, dan banyak kasus
prostitusi ini adalah buktinya.
Kenyataan ini sesungguhnya sejalan dengan berbagai teori causa
kejahatan. Menurut Mazhab Sosialis, bahwa kejahatan timbul karena
tekanan ekonomi.26 Seseorang menjadi jahat karena terlilit persoalan
ekonomi, seperti miskin, pengangguran atau baru di-PHK.
Sedangkan Aristoteles (384. 322 S.M) berpendapat bahwa : “adanya
hubungan di antara masyarakat dan kejahatan yaitu dalam wujud
peristiwa kemiskinan menimbulkan pemberontakan dan kejahatan”.27
Tentang adanya hubungan antara perekonomian dengan kejahatan
dapat kita rasakan. Plato dan Aristoteles berpendapat: "Kemiskinan
(kemelaratan) dapat mendorong manusia untuk melakukan kejahatan dan
pemberontakan ".28
Perbedaan antara miskin dan kaya merupakan gejala ekonomi,
demikian pula perbedaan antara pengusaha, pekerjaan, buruh, penganggur
merupakan gejala ekonomi pula.
Perbedaan-perbedaan itulah yang kadang-kadang sangat menyolok
menyebabkan adanya ketegangan-ketegangan masyarakat, pertentangan pertentangan sehingga akan menimbulkan kejahatan.
D. Upaya penanggulangannya Aparat Kepolisian terhadap Praktek
Striptease
Seakan menjadi kebenaran universal dalam menafsirkan pasal-pasal mengenai
delik susila, para penegak hukum memberi pendapat sama tentang penerapan
hukum.
Jika pasal-pasal tersebut di atas diterapkan secara sembarangan tentu pihak
Kepolisian sendiri yang menanggung malu, atau bahkan bisa dituntut misalnya
karena langsung menangkap, menahan (pra peradilan) tanpa memperhatikan
ketentuan hukum baik materiel (pasal-pasal terkait) maupun formil (prosedur),
oleh karena itu pihak kepolisian selalu menerapkan sikap cermat penuh kehatihatian dalam mengambil tindakan represif terhadap praktek-praktek prostitusi.29
Mengenai upaya hukum apa yang dilakukan pihak kepolisian terhadap praktek
prostitusi, secara sederhana dapat meliputi :
1. Melakukan patroli rutin
Patroli yang dimaksud disini adalah pemantauan secara langsung terhadap
obyek-obyek yang diduga rawan kejahatan, dalam hal ini ditengarai adanya
praktek prostitusi.
Patroli biasanya dilakukan secara rutin dan berkala, terutama hari-hari yang
potensi dilakukannya prostitusi seperti sabtu malam ataupun minggu malam,
namun dalam hal ini biasanya dilakukan bersamaan dengan operasi narkoba.
Dalam patroli ini pihak kepolisian menugaskan anggota satuan reskrim
dengan menyamar sebagai pengunjung, sangat jarang bahkan hampir tidak pernah
memakai seragam kepolisian.
Oleh karena itu yang bisa dilakukan oleh pihak kepolisian hanya melakukan
patroli secara sidak, sebagai upaya penanggulangan semata. Dan biasanya pihak
pengelola lebih lihai dalam menyiasati kehadiran petugas.30
Jika ada laporan, biasanya pihak Kepolisian segera menindaklanjuti dengan
penugasan terhadap anggota untuk melakukan pengecekan dan permintaan
keterangan pihak hotel, tapi selama ini belum pernah terbukti setiap laporan itu
ternyata hanya dugaan-dugaan saja, sebab ternyata setelah diadakan investigasi
tidak terbukti adanya prostitusi.31
2. Melakukan tindakan persuasif
Tindakan yang dimaksud adalah meminta keterangan para pengelola hotel
atas adanya laporan atau pengaduan serta indikasi adanya praktek prostitusi.
Langkah ini dilakukan dengan penuh hati-hati. Tindakan tersebut belum bisa
dikategorikan penyelidikan ataupun penyidikan.
Tindakan pihak kepolisian terhadap pengaduan/ laporan atau dugaan adanya
praktek prostitusi di beberapa hotel, sangatlah hati-hati, mengingat tindakan yang
diambil harus ada payung hukum atau pasal yang dijeratkan pada tindakan pelaku.
Misalnya jika dilakukan di hotel-hotel, para pelaku diancam dengan pasal apa ?.
Perzinahan misalnya memerlukan pengaduan, percabulan, terkendala mahasiswi
maupun konsumen rata-rata sudah berusia di atas 16 tahun, perbuatan merusak
rasa kesusilaan, juga tidak memenuhi unsur-unsur pasal tersebut, mengingat
sudah merupakan kemauan atau kehendak bersama, apalagi dalam ruangan
tertutup yang tidak memungkinkan orang lain melihat tanpa kemauannya. Oleh
karenaya pihak Polri hanya mempersoalkan pengelola hotel berkaitan dengan ijin
usaha yaitu peruntukannya. Bukankah hotel menurut ijin usahanya peruntukannya
adalah untuk penginapan?, sehingga yang dilakukan adalah meneruskan kasus
kepada instansi yang membuat ijin usaha tersebut, artinya pihak kepolisian
sifatnya meminta supaya ijin dicabut.32
E. Kesimpulan & Saran
Dari rangkaian penulisan sebagaimana dipaparkan sebelumnya, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa tempat-tempat yang digunakan untuk ajang praktek Prostitusi adalah
hotel-hotel sebanyak 7 (70%), selanjutnya di rumah-rumah perorangan (tempat
kost atau kontrakan atau rumah teman 3 (30%).
2. Bahwa waktu-waktu yang seringkali digunakan untuk ajang praktek
prostitusi adalah malam hari, terutama yang dilakukan di hotel-hotel ternama
(berbintang) sebanzak 6 (60%), sedangkan yang dilakukan pada siang hari
biasanya di tempat kost atau kontrakan sejumlah 4 (4%).
3. Bahwa ternyata kebanyakan mahasiswa yang berprofesi prostitusi adalah yang
mereka yang duduk di tingkat atas (lebih dari 4 tahun) yaitu sebanyak 5 orang
(50%), selanjutnya yang duduk di tingkat 3 dan 4 masing-masing sebanyak 2
orang (20%) dan yang paling sedikit adalah yang duduk di tingkat 1 sebanyak 1
orang (10%). Sedangkan untuk duduk di tingkat 1 tidak ditemukan yang
melakukan praktek prostitusi.
4. Bahwa ternyata kebanyakan mahasiswa yang berprofesi prostitusi adalah yang
mereka yang menjadikan usaha prostitusi sebagai bagian dari sumber penghasilan
mereka yaitu sejumlah 5 orang (50%), sedangkan lainnya adalah murni bantuan
dari orang tua yaitu 2 orang (20%), dan sisanya selain bantuan orang tua juga
usaha mandiri yaitu 3 orang (30%).
5. Bahwa ternyata kebanyakan mahasiswa yang berprofesi prostitusi adalah yang
mereka yang ibadahnya kurang sama sekali (tidak ibadah) yaitu sejumlah 8 orang
(80%), sedangkan lainnya adalah sangat rutin 1 orang (10%) dan sekedar rutin
yaitu masing-masing 1 orang (10%).
6. Bahwa modus prostitusi dilakukan melalui HP langsung menuju hotel yang
dipilih atau berdasarkan info dari mulut ke mulut, biasanya konsumen langsung
jemput di tempat kost mahasiswi yang bersangkutan langsung di bawa ke tempat
kost konsumen.
7. Faktor bahwa mayoritas dari mahasiswi terjun ke dunia prostitusi dilandasi motif
ekonomi yaitu 5 orang (50%), sedangkan yang 3 orang (30%) karena faktor
lingkungan, sedangkan sisanya 2 orang (20%) karena faktor kesenangan semata.
8. Tindakan hukum yang dilakukan oleh pihak kepolisian selama ini adalah :
a. Mengadakan patroli rutin dalam rangka pencegahan
b. Melakukan pendekatan persuasif terhadap pihak pengelola hotel atau
rumah-rumah perseorangan jika ada pengaduan atau ditengarai adanya
praktek-praktek prostitusi.
Sebagai rasa tanggung jawab moral penulis terhadap upaya penanggulangan
tindakan prostitusi ini, berikut disampaikan saran-saran, yaitu antara lain :
1. Perlu ketegasan pihak aparat pemerintah sebagai pembuat ijin usaha, terutama
dalam hal penggunaan saran peruntukan, jika misalnya disalahgunakan seperti
hotel diperuntukkan kegiatan prostitusi, maka pihak pemerintah daerah harus
tegas mencabut ijin usaha tersebut.
2. Perlu diupayakan keterlibatan pihak perguruan tinggi dalam hal penanaman nilainilai moral bagi para mahasiswa terutama perlunya aturan-aturan disiplin baik di
lingkungan kampus maupun di luar kampus.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Pidana, Ghalia, Jakarta, 1993
Edwind H. Sutherland and Donald R. Cressey, Principles of Criminology,
Alumni, Bandung, 1973
F.X. Rudy Gunawan, Mengebor Kemunafikan : Inul, Sex dan
Kekuasaan, Kawan Pustaka, Jogyakarta, 2003
IS Soesanto, Kriminologi, Diktat Kuliah, Undip Semarang, 1986
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Rajawali Press, Jakarta, 1983
Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan yang Dapat Dihukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 1991
Made Darma Weda, Kriminologi, Rajawali Press, 1996
Masruchin Ruba’i, SH, Hukum Pidana I, Universitas Brawijaya, Malang
1985
Moelyatno, Prof, Dr. SH, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 193
Mulyana W Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan Suatu
Pengantar Ringkas, Armico, Bandung, 1984
Muslihuddin, Menyingkap Akhlaq Wanita Sholihah, Penerbit Karya Ilmu, Surabaya,
1994
Noach, Simanjuntak dan Pasaribu, Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1984
Ramli Atmasasmita, Prof. Dr. SH, MS, Teori dan Kapita Selekta
Kriminologi, Eresco, Bandung, 1992
R. Soesilo, Kriminologi, Poletia, Jakarta, 1982
R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana beserta komentarkomentarnya, Politeia, Bogor, 1991
Soedjono D, SH, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention),
Penerbit Alumni, Bandung, 1983
Soekanto, Kriminologi, Sebab dan Penanggulangan Kejahatan, Sinar
Grafika, Jakarta, 1993
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, PT. Alumni, Bandung, 1981
WYS Poerwadarminto, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1990
Wojowasito,Kamus lengkap Inggris Indonesia, Penerbit Hasta, Bandung, 1980
Download