Aspek Hukum Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

advertisement
Aspek Hukum
Pengaturan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas*
Sulasi Rongiyati**
Abstract
Corporate social responsibility (CSR) at the beginning was companies
initiative which had its social or philantrophic objective as reflected in
their vision and mission. After the enactment of UU PT (The Limited
Company Act) which regulates all businesses in natural resources,
CSR becomes a legal obligation that must be fulfilled by every company,
which imposes sanction to the violators, PT. RAPP is one of companies
which has been reported succesful in implementing the CSR. The writer
researched how PT. RAPP developed its charity activities into the
empowerment of local people nearby.
Kata Kunci: Corporate Social Responsibility, Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan, Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, Perseroan.
I.
Pendahuluan A.
Latar Belakang
Corporate Social Responsibility (CSR) atau sering diterjemahkan dengan
tanggung jawab sosial perusahaan merupakan isu yang terus berkembang
dalam praktik bisnis, sejak era tahun 1970-an. Dewasa ini CSR tumbuh menjadi
kecenderungan global, khususnya untuk produk-produk ramah lingkungan yang
diproduksi dengan memperhatikan kaidah-kaidah sosial dan hak asasi manusia,
* Laporan Penelitian tentang Aspek Hukum Pengaturan TJSL dalam UU PT, tahun 2008
" Peneliti Muda Bidang Hukum Ekonomi pada P3DI Sekretariat Jenderal DPR-RI, alamat e-mail:
susidhan@yahoo. com
209
terlebih dengan dikeluarkannya Agenda World Summit di Johannesburg tahun
2002 yang menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan.
Pada prinsipnya CSR merupakan kegiatan yang berawal dari kesadaran
perusahaan dan bersifat sukarela. Cikal bakal CSR bermula dari kegiatan
philantropy (sumbangan kemanusiaan) perusahaan yang sering kali bersifat
spontanitas dan belum terkelola dengan baik. Seiring dengan perkembangan
masyarakat dan dunia usaha serta dengan adanya dorongan eksternal tuntutan
masyarakat dan dorongan internal perusahaan agar perusahaan lebih peduli
terhadap lingkungannya, maka kegiatan philantropy tersebut mulai berkembang
dan mengarah pada kepedulian perusahaan terhadap lingkungannya.1 Pada
awalnya dunia bisnis menganggap bahwa perusahaan hanya dihadapkan pada
tanggung jawab yang perpijak pada single botton line, yaitu nilai perusahaan
yang direfleksikan pada kondisi keuangan perusahaan semata, namun dalam
perkembangannya perusahaan juga harus memperhatikan aspek sosial dan
lingkungan (triple botton line). Perusahaan tidak lagi sekedar menjalankan
kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit (keuntungan) dalam menjaga
kelangsungan usahanya, melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap
masyarakat (sosial) dan lingkungannya.2
Di Indonesia kegiatan CSR berkembang secara positif seiring dengan
perkembangan demokrasi, masyarakat yang semakin kritis, globalisasi dan
era pasar bebas. Namun diakui baru sebagian kecil perusahaan yang menerapkan
CSR sebagaimana hasil survey yang dilakukan Suprapto pada tahun 2005
terhadap 375 perusahaan di Jakarta menunjukan bahwa 166 atau 44,25%
perusahaan menyatakan tidak melakukan kegiatan CSR, 209 atau 55,75%
menyatakan melakukan kegiatan CSR dalam bentuk kegiatan sebagai berikut:
kegiatan kekeluargaan (116 perusahaan) ,sumbangan kepada lembaga agama
(50 perusahaan), sumbangan kepada lembaga sosial (39 perusahaan), dan
pengembangan komunitas (4 perusahaan). Hasil survey juga menyebutkan bahwa
CSR yang dilakukan perusahaan sangat bergantung pada keinginan pihak
manajemen.3
Implementasi CSR di Indonesia memang belum seperti yang
diharapkan, meski beberapa undang-undang (UU) telah mengatur kewajiban
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, seperti UU No. 19 Tahun
1
A.B.Susanto, Corporate Social Responsibility: A Strategic Management Approach, The Jakarta
Consulting Group, Jakarta: 2007, hal. viii
2
Yusuf Wibisono, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR,Gresik:2007, hal.xxiv
3
Dalam Sukarmi, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate SosialResponsibility) dan
Iklim Penanaman Modal di Indonesia, (http://www.legalitas. org, diakses 19 Januari 2009)
210
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan UU No. 25 Tahun 2007
tentang Penanaman Modal. CSR ramai diperdebatkan oleh khususnya para
praktisi bisnis dan pemerhati lingkungan di Indonesia ketika Rancangan
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas (RUU PT) dibahas di Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pro kontra terhadap pengaturan CSR pada prinsipnya lebih pada upaya
perlindungan kepentingan masing-masing pihak. Pada satu sisi pembentuk
undang-undang berargumen bahwa CSR wajib dilakukan oleh perusahaan yang
menggunakan sumber daya alam, mengingat dampak sosial dan lingkungan
atas operasional perusahaan sangat besar. Berbagai kasus yang terjadi di
Indonesia seperti pencemaran di Teluk Buyat menjadi dasar penguat bagi
pembentuk undang-undang untuk mengatur CSR dalam UU tentang Perseroan
Terbatas. Pada sisi lain kalangan pengusaha, khususnya yang tergabung dalam
organisasi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia
(Apindo) berpendapat masalah CSR merupakan tindakan perusahaan yang
bersifat suka rela dan jika diatur dalam UU, terlebih menjadi kewajiban
perusahaan, dikhawatirkan akan membebani perusahaan dan menghambat
investasi di Indonesia.4 Melalui perdebatan panjang, akhirnya DPR RI dan
Pemerintah menyepakati pengaturan CSR dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas yang baru sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas.
Peletakan kewajiban melaksanakan CSR yang selanjunya disebut
dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) bagi perseroan yang
bergerak di bidang sumber daya alam sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)
membawa konsekuensi hukum bagi perusahaan dan pemerintah. Bagi
perusahaan yang bersangkutan pelaksanaan TJSL menjadi keharusan yang
tidak terelakan. Sedangkan bagi pemerintah ada kewajiban menerbitkan
Peraturan Pemerintah sebagai peraturan lebih lanjut dari tanggung Jawab
sosial dan lingkungan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 74 UU PT.
Pada tataran praktek, pelaksanaan TJSL masih sangat tergantung
dengan kebijakan pihak top management dan pada umumnya berkaitan erat
dengan visi dan misi perusahaan yang bersangkutan. Seperti halnya PT. Riau
Andalan Pulp and Paper (PT. RAPP) di Provinsi Riau yang kegiatan usaha di
4
CSR, Kewajiban Sukarela yang Wajib Diatur, (http://www.hukumonline.com, diakses 19 Juli 2008)
Aspek Hukum Pengaturan .....
211
sektor kehutanan, berdasarkan Pasal 74 UU PT menjadi salah satu perusahaan
yang terkena kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.
Dalam melaksanakan TJSL PT. RAPP mengacu pada kebijakan manajemen
perusahaan seperti tertuang dalam visi dan misi perusahaan.
Implementasi TJSL oleh PT. RAPP pada dasarnya telah dilakukan
sebelum TJSL diwajibkan oleh UU PT melalui program CSR. CSR PT. RAPP
diawali dengan kegiatan-kegiatan charity dan kemudian dikembangkan menjadi
program pemberdayaan masyarakat dengan fokus kegiatan pada pemberdayaan
masyarakat sekitar perusahaan (Provinsi Riau). Penerapan CSR di PT. RAPP
merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan perusahaan secara
keseluruhan, melalui penerapan konsep triple botton line yang memadukan aspek
kepedulian sosial, lingkungan, dan keuntungan perusahaan secara berkelanjutan.
Program CSR telah membawa PT. RAPP mendapatkan beberapa penghargaan
dalam CSR Award tahun 2005 yang di dasarkan pada penilaian aspek kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan kelengkapan dokumen.
B. Perumusan Masalah
Dengan berlakunya UUPT, CSR atau TJSL yang semula hanya
merupakan kewajiban moral dan bersifat suka rela beralih menjadi menjadi
kewajiban hukum yang harus dilaksanakan oleh perseroan yang bergerak atau
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Permasalahan yang muncul
adalah penormaan TJSL sebagai kewajiban perseroan memiliki konsekuensi
hukum bagi perseroan termasuk perseroan yang telah melakukan TJSL sebelum
UUPT terbentuk yang pelaksanaannya didasarkan pada kebijakan perseroan,
seperti halnya PT. RAPP.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka pertanyaan penelitian yang
dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aspek hukum pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan
dalam UU PT?
2. Bagaimana penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan di PT. RAPP?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengetahui
aspek hukum dari pemberlakuan aturan tanggung jawab sosial dan lingkungan
yang diatur dalam UU PT.
212
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
2.
Mengetahui Penerapan tanggung jawab sosial dan lingkungan di
PT. RAP P.
Sedangkan hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan kegunaan
sebagai berikut:
1. Sumbangan pemikiran kepada DPR RI, khususnya dalam rangka
pelaksanaan fungsi pengawasan terkait dengan amanat UU PT kepada
Pemerintah untuk membentuk Peraturan Pemerintah sebagai peraturan
pelaksana yang mengatur lebih lanjut tentang TJSL.
2. Sumbangan pemikiran bagi Pemerintah dalam menyusun PP tentang TJSL.
3. Sumbangan pemikiran bagi dunia usaha dalam memahami
ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan TJSL.
D. Kerangka Pemikiran 1.
Fungsi Hukum
Roscoe Pound menyatakan bahwa tugas hukum yang utama adalah
social engineering, dimana hukum harus dikembangkan sesuai dengan
perubahan-perubahan nilai sosial. Untuk itu sebaiknya diadakan
rumusan-rumusan kepentingan pribadi, masyarakat dan umum. Hukum
menurut Roscoe Pound merupakan alat untuk membangun masyarakat (law
is a tool of social engineering) sehingga hukum tidak hanya berdasarkan
akal tetapi juga berdasarkan pengalaman.5
Hukum mencerminkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang teratur.
Hukum mengatur hubungan manusia melalui cara mengendalikan tindakan
individu dan menyelesaikan konflik di antara kelompok-kelompok yang bersaing.
Lebih lanjut Roscoe Pound berpendapat bahwa dilihat dari segi fungsi, hukum
merupakan suatu usaha untuk memenuhi, mendamaikan, menyerasikan,
menyesuaikan tuntutan dan permintaan atau kepentingan yang beraneka ragam
bahkan tidak jarang bertentangan satu sama lain, yang dilakukan melalui
penetapan hukum secara langsung dan cepat tanpa kompromi, atau dengan
memberikan perlindungan kepentingan individu-individu,atau melalui cara
pembatasan atau kompromi kepentingan individu sehingga dapat memberikan
pengaruh yang lebih besar secara keseluruhan.6
5
Lihat Jimly Asshiddiqie, ed. Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum, Pusat Studi Hukum
Tata Negara FHUI:Jakarta, 2003, hal 74.
6
Ibid.
Aspek Hukum Pengaturan .....
213
Di sisi yang lain, hukum juga merupakan mekanisme kontrol sosial yang bersifat
umum dan berlaku menyeluruh di semua sektor yang ada di masyarakat dan
unsur utama suatu sistem hukum bersifat integratif, yaitu untuk mengurangi
unsur-unsur konflik yang potensial dalam masyarakat serta untuk memperlancar
pergaulan sosial. Menurut Parsons, hukum yang terintegratif secara efektif,
harus terlebih dahulu memiliki legitimasi,interpretasi, saksi dan yuridiksi.7
Hukum sebagai produk kebijakan politik tidak selamanya merupakan
condition sine qua non bagi tujuan yang dikehendaki. Artinya hukum mempunyai
batas-batas kemampuan tertentu untuk mengakomodasi nilai-nilai yang tumbuh
yang hidup dalam masyarakat. Terkait dengan hal tersebut dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan terdapat dua dimensi politik hukum. Pertama:
kebijakan dasar, yaitu politik hukum yang menjadi dasar dibentuknya suatu
peraturan perundang-undangan. Kedua: kebijakan pemberlakuan (enactment
policy) yaitu tujuan atau alasan yang muncul dibalik pemberlakuan suatu
peraturan perundang-undangan. Dalam menentukan atau menetapkan kebijakan
pemberlakuan, pembentuk undang-undang sering kali dipengaruhi oleh faktor
pendorong baik yang bersifat internal maupun eksternal.8
2.
Konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR telah mulai dikenal
sekitar tahun 1970-an dan umumnya CSR diartikan sebagai kumpulan kebijakan
dan praktek yang berhubungan dengan stakeholders, nilai-nilai, pemenuhan
ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen
perusahaan untuk memberikan kontribusi dalam pembangunan berkelanjutan.
Bank Dunia mendefinisikan CSR sebagai komitmen perusahaan untuk
memberikan kontribusi pengembangan ekonomi secara berkelanjutan, untuk
bekerja bersama karyawan serta keluarga mereka, masyarakat lokal dan
masyarakat keseluruhan untuk meningkatkan kualitas hidup menjadi lebih baik,
sehingga baik untuk bisnis dan pembangunan. 9 Sedangkan International
Organization for Standardization (ISO) 2006 menterjemahkan tanggung jawab
sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan
dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perlakuan yang
7
8
9
Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, hal 95.
Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-Undang Bidang Ekonomi di Indonesia,hal 1-2
www.worldbank, diakses tanggal 19 Juli 2008.
214
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
transparan dan etis yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat, memperhatikan kepentingan para stakeholders,
sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional,
serta terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi baik kegiatan, produk maupun
jasa.10
Dalam Standard on Social Responsibility ISO 2006, tanggung jawab
sosial mencakup 7 isu pokok yaitu: pengembangan masyarakat, konsumen,
praktek kegiatan institusi yang sehat, lingkungan, ketenagakerjaan, hak asasi
manusia, dan governance organisasi.11
Meskipun belum ada standar baku tanggung jawab sosial, unsur-unsur
tanggung jawab sosial perusahaan terus mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan masyarakat, globalisasi, dan pasar bebas. The World
Bank Institute menjabarkan komponen tanggung jawab sosial perusahaan
sebagai berikut.12
a. Proteksi Lingkungan
Tanggung jawab lingkungan ditekankan pada menemukan cara penggunaan
sumber daya alam secara berkelanjutan untuk mengurangi dampak
operasionalisasi perusahaan terhadap lingkungan.
b. Jaminan Kerja
Terkait dengan kebebasan berserikat bagi pekerja dan pengenalan secara
efektif terhadap hak dan kewajiban pekerja, khususnya hak untuk berunding
secara kolektif.
c. Hak Asasi Manusia
Pengembangan tempat kerja yang bebas dari diskriminasi dengan
mengedepankan etika professional yang memperhatikan kreativitas dan
pembelajaran, dan keseimbangan antara pekerjaan aspek lain di luar
pekerjaan.
d. Keterlibatan dalam komunitas
Merupakan tindakan perusahaan untuk mengoptimalkan dampak dari donasi
uang, waktu, produk, jasa,pengaruh, pengetahuan manajemen dan sumber
daya lainnya pada masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi.
10
Mas Achmad Daniri, Standardisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, (http://www.pkbl
bumn.go.id,diakses tanggal 19 Juni 2008)
" Ibid.
12
Jimmy Tanaya, Tanggung JawabSosial Korporasi,Jakarta: The Business Watch IndonesiaWidya Sari Press, 2004 , hal. 46-49.
Aspek Hukum Pengaturan .....
215
e.
Standar bisnis
Standar ini meliputi aktifitas perusahaan secara luas seperti etika, imbalan
keuangan, perlindungan lingkungan, standar kerja, dan HAM.
e. Pasar
Mencakup aktivitas bisnis secara luas yang menggambarkan hubungan
antara perusahaan dengan konsumen, yang antara lain meliputi etika
pemasaran, penetapan harga, pengenalan produk, kualitas dan keamanan
produk.
f. Pengembangan ekonomi dan badan usaha
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan harus memperhatikan daya
saing, pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) lokal,
kewiraswastaan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan keuangan mikro.
g. Proteksi Kesehatan
Di banyak negara industri, tempat kerja dikenal sebagai tempat penting
untuk melakukan promosi kesehatan, sehingga perusahaan dapat berperan
sebagai mitra pemerintah dalam pengembangan kesehatan.
h. Pengembangan kepemimpinan dan pendidikan
i.
Perusahaan dapat memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar
dengan memberikan akses pendidikan, sehingga perusahaan dapat
memberikan dampak positif pada proses pemberdayaan melalui standar
pengembangan kepemimpinan dan pendidikan dalam perusahaan dan
menularkan praktek-praktek terbaik kepada mitra perusahaan yang masih
berada dalam tingkat perekonomian berkembang atau transional.
Bantuan bencana kemanusiaan
Perusahaan bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan LSM
memegang peran penting dalam mendukung operasi bencana kemanusiaan.
Perusahaan diharapkan dapat menerapkan konsep "respon proaktif" dan
memusatkan pada tindakan pencegahan melalui upaya pemberdayaan.
I. Metodologi Penelitian
A. Waktu dan Tempat
Penelitian hukum tentang Aspek Hukum Pengaturan TJSL dalam
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas ini memilih Provinsi Riau karena
Provinsi Riau merupakan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam untuk
dikelola secara produktif, pada sisi lain kegiatan eksploitasi dan eksplorasi
216
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
sumber daya alam di Riau cenderung tidak terkendali dan berdampak pada
kerusakan lingkungan.13 Dampak kerusakan lingkungan merupakan salah satu
indikasi ketidakseimbangan antara pemanfataan sumber daya alam dengan
penerapan TJSL yang pada hakekatnya merupakan tanggung jawab stakeholders
baik pemerintah, pengusaha, maupun masyarakat.
Di daerah Riau banyak terdapat perusahaan yang menggunakan sumber
daya alam sebagai bahan baku produksinya, khususnya hasil hutan berupa
kayu. Salah satu perusahaan multinasional di Riau yang bergerak di sektor
sumber daya alam tersebut adalah PT. RAPP yang memproduksi kertas dan
bubur kertas baik untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan
ekspor. Oleh karenanya penelitian ini dilakukan di Provinsi Riau untuk melihat
bagaimana penerapan TJSL di PT. RAPP. Selanjutnya untuk menggali informasi
tentang hal-hal yang berkaitan dengan aturan hukum pelaksanaan TJSL bagi
perusahaan sebagai implikasi dari pemberlakuan Pasal 74 UU PT, maka
penelitian juga dilakukan di Provinsi DKI Jakarta.
Penelitian pada bulan Maret - Oktober 2008 dengan melakukan
wawancara mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah
penerapan ketentuan TJSL sebagaimana diatur dalam UUPT yaitu Dinas
Kehutanan Provinsi Riau, Badan Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat,
Badan Promosi dan Investasi Provinsi Riau, Asosiasi Pengusaha Hutan
Indonesia (APHI) Riau, Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan, dan PT. RAPP,
dan Ketua Pansus RUU PT.
B. Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena
dikeluarkan oleh pemerintah atau negara, antara lain meliputi peraturan
perundang-undangan, keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dan traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang
isinya membahas bahan primer, seperti buku, artikel, laporan penelitian, dan
berbagai karya tulis ilmiah lainnya. Sedangkan bahan hukum tersier adalah
bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder, seperti
13
Daya Dukung dan Kendala Riau, (http:// www.riau.go.id/,diakses tanggal 3 April 2008).
Aspek Hukum Pengaturan .....
217
kamus, buku pegangan, almanak dan sebagainya yang semuanya dapat disebut
bahan referensi, bahan acuan atau rujukan.14
Penelitian ini juga menggunakan data primer berupa hasil wawancara
dengan beberapa informan yang terkait dengan permasalahan.
II.
Metode Analisis Data
Analisa data dilakukan dengan analisa kualitatif, yaitu data yang
terkumpul baik data sekunder maupun primer disusun dan dianalisa secara
kualitatif dengan menginterpretasikan, menguraikan, menjabarkan, dan
menyusun secara sistematis logis sesuai dengan tujuan penelitian.
III.
A.
Hasil Pembahasan
Aspek Hukum Pengaturan TJSL
Praktek di berbagai negara CSR merupakan tindakan suka rela dari
perusahaan sebagai upaya perusahaan dalam membina hubungan baik dengan
para stakeholder. Meskipun CSR yang dianut banyak negara pada prinsipnya
hanya merupakan gerakan moral atau etika dalam berbisnis, namun komitmen
berbagai kalangan untuk mendorong penerapan CSR oleh kalangan dunia usaha
terus menguat. Sebagai buktinya, masalah CSR pernah dibahas pada pertemuan
United Nations Global Compact di Jenewa pada tahun 2007 dengan tujuan
untuk meminta korporasi menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis
yang sehat dengan menyusun perilaku standar korporasi global (Trans National
Corporations/TNCs).15
Dengan berlakunya UU PT, CSR atau yang dalam UU PT dikenal dengan
TJSL menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perseroan di Indonesia
yang bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam, sebagaimana
dimaksud Pasal 74 Ayat (1) UU PT. Penormaan CSR sebagai kewajiban
perseroan diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
permohonanjudicial review terhadap Pasal 74 UU PT. Mengingat putusan MK
bersifat final dan tidak memungkinkan upaya hukum maka kewajiban
melaksanakan TJSL berlaku untuk semua perseroan yang tunduk pada UU PT.
14
15
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998, hal 103-104
Amin Widjaja Tunggal, Corporate Sosial Responsibility (CSR),Jakarta:Harvarindo,2008, hal.165.
218
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Pasal 74 Ayat (1) UU PT muncul dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap
praktek-praktek perusahaan, khususnya perusahaan besar, yang tidak
memperhatikan lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Keprihatinan yang
mendalam muncul atas praktek-praktek pengelolaan sumber daya alam yang
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dengan mengedepankan aspek
keuntungan (profit), tanpa diimbangi dengan upaya memelihara lingkungan secara
berkelanjutan. Sebagai contoh, perusahaan di sektor kehutanan yang
nyata-nyata mengandalkan produksinya dari hasil hutan tidak melakukan
penanaman kembali hutan secara berimbang dengan kayu yang mereka ambil
dari hutan. Dampak dari praktek ini terjadi deforensi dan bencana alam
lainnya seperti longsor dan banjir. Sistem pengelolaan hutan secara
berkelanjutan (sustainable forest management) menjadi konsep yang sering
kurang diperhatikan oleh perusahaan di sektor kehutanan, sementara
secara konseptual, kelestarian hutan akan terwujud jika tiga pilar utamanya
dapat diaktualisasikan, yaitu keberlanjutan fungsi ekonomi, kelestarian fungsi
sosial, dan kesesuaian dengan aspek budaya .16 Secara prinsip regulasi CSR
dalam UU PT dilandasi filosofi menciptakan jalinan hubungan korporasi yang
seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungan nilai, norma, serta budaya
masyarakat setempat, sehingga perusahaan tidak hanya mengeksploitasi
sumber daya alam secara besar-besaran demi mengejar keuntungan
ekonomi (minimize loss and maximize profits) saja tetapi juga memperhatikan
tanggung jawab sosialnya.17
Sesuai dengan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial untuk
mengubah masyarakat, maka pengaturan CSR dalam UU PT menjadi relevan,
jika melihat pada tataran praktek banyak perusahaan hanya mengedepankan
keuntungan ekonomis tanpa memperdulikan dampak sosial dan lingkungan yang
diakibatkan oleh aktif itas perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagai contoh untuk
perusahaan di sektor kehutanan, program Pemberdayaan Masyarakat Desa di
Sekitar Hutan (PMDH) merupakan kewajiban tahunan yang harus dipenuhi
pengusaha pada saat izin pengelolaan hutan dikeluarkan. Kegiatan ini setiap
bulan harus dilaporkan kepada Dinas Kehutanan. Dalam prakteknya banyak
perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban memberikan laporan atau
memberikan laporan tetapi tidak secara rutin, sementara Dinas Kehutanan
16
Riza Suarga, Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek Premanisme
Global, Banten: Wana Aksara, 2005, hal 1.
17
Arif Budimantana, Adi Prasetijo, dan Bambang Rudito, Corporate Sosial Responsibility: Alternatif
Bagi Pembangunan di Indonesia, Jakarta: ICSD, 2008, hal. 23.
Aspek Hukum Pengaturan .....
219
menemui kesulitan untuk memantau langsung kegiatan PMDH karena kendala
anggaran.18
Contoh kasus tersebut mencerminkan adanya kebutuhan masyarakat
untuk mengatur secara lebih komprehensif hubungan antara pengusaha dengan
lingkungan dan masyarakat sekitar perusahaan. Pengaturan CSR dalam UU
PT merupakan suatu upaya pembentuk undang-undang dalam menyerasikan,
menyesuaikan tuntutan dan permintaan atau kepentingan pihak-pihak yang
berkepentingan melalui penetapan hukum secara langsung. Pengaturan CSR
dalam UU PT juga merupakan bentuk perlindungan kepentingan individu-individu
khususnya lingkungan dan masyarakat sekitar perusahaan yang telah
memberikan kontribusi bagi keberlangsungan perusahaan tersebut.
Di dalam tanggung jawab sosial perusahaan terdapat dua tanggung
jawab yang harus dilakukan oleh perusahaan yaitu tanggung jawab perusahaan
secara ekonomi dan tanggung jawab perusahaan secara hukum. 19 Secara
ekonomi keberadaan suatu perusahaan diharapkan akan memberikan
keuntungan ekomomis bagi masyarakat sekitar seperti terciptanya lapangan
kerja bagi masyarakat di lingkungan perusahaan atau terselenggaranya
kegiatan-kegiatan sosial yang diprakarsai dan difasilitasi oleh perusahaan
yang memberikan nilai positif kepada masyarakat, khususnya masyarakat
sekitar perusahaan. Sedangkan tanggung jawab secara hukum, harus
dilakukan oleh perusahaan terkait dengan aturan main dalam
penyelenggaraan perusahaan yang telah diformulasikan dalam peraturan
hukum. Sebagai contoh, limbah produksi dari suatu perusahaan dapat
berdampak pada penurunan kualitas lingkungan di sekitar perusahaan jika
tidak ditangani secara baik, oleh karenanya undang-undang telah mengaturnya
melalui pembentukan AMDAL.
Baik tanggung jawab ekonomi maupun hukum mempunyai arti penting
namun dalam implementasinya tidak selamanya dapat berjalan selaras bahkan
dapat pula menimbulkan konflik. Dalam hal terjadi konflik perusahaan harus
dapat mempertimbangkan mana yang tidak merugikan masyarakat banyak tanpa
harus mengorbankan tujuan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan atas
usaha yang dilakukannya.
Berbagai kasus yang terjadi di masyarakat, menunjukan aktivitas
perusahaan tertentu telah menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat
dan memicu konflik antara masyarakat dengan perusahaan. Desakan dari
18
Wawancara dengan Sigit Irawan (Kasubdit Perencanaan Hutan Kab. Pelalawan) tanggal 9
Juni 2008.
19
Binoto Madapdap, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Business News 7395/2-8-2006, hal.3
220
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
masyarakat maupun LSM khususnya yang bergerak di bidang lingkungan hidup
dan hak asasi manusia agar kasus-kasus kerusakan lingkungan yang berdampak
pada penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar ditangani secara
serius oleh pemerintah, menjadi salah satu faktor internal terbentuknya rumusan
Pasal 74 UU PT. Berpijak pada kenyataan tersebut serta kesadaran pembentuk
undang-undang akan pentingnya pengaturan TJSL dalam undang-undang agar
lebih berkekuatan hukum maka pembentuk undang-undang memiliki argument
untuk menciptakan norma hukum dan memberlakukannya dengan tujuan
mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat.
Secara substansial muatan materi CSR yang diatur dalam UU PT Pasal
74 adalah sebagai berikut:
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan TJSL (Pasal 74 ayat(1 ) UU
PT).
Konsep TJSL yang terdapat pada Pasal 74 UU PT terkesan seolah-olah
hanya perusahaan yang bergerak dalam bidang sumber daya alam yang
mempunyai kewajiban untuk melaksanakan TJSL. Namun jika dikaji lebih
lanjut dengan membaca penjelasan Pasal 74 ayat (1) maka akan muncul
penafsiran yang lebih luas terhadap subyek yang dikenai kewajiban
melaksanakan TJSL. Penjelasan Pasal 74 ayat (1) UU PT menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan "perseroan yang menjalankan kegiatan
usahanya di bidang sumber daya alam" adalah perseroan yang kegiatan
usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan
yang dimaksud dengan "perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
yang berkaitan dengan sumber daya alam" adalah perseroan yang tidak
mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan
usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.
Konsekuensi hukum dari pemberlakuan Pasal 74 Ayat (1) yaitu peletakan
kewajiban melaksankan tanggung jawab sosial tidak hanya melekat pada
perseroan yang core business di bidang sumber daya alam, melainkan
juga menjadi kewajiban perseroan yang bisnis intinya bukan pada bidang
sumber daya alam atau tidak secara langsung menggunakan sumber daya
alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber
daya alam.
Persoalan yang kemudian muncul, UU PT tidak memberikan
batasan mengenai kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan
sumber daya alam. Pada
tataran implementasi hal tersebut
dapat
Aspek Hukum Pengaturan .....
221
menimbulkan multi tafsir dan ketidakpastian hukum. Penafsiran secara luas
terhadap Pasal 74 ayat (1 ) UU PT beserta penjelasannya yang didasarkan
pada pemikiran bahwa pada hakekatnya setiap perseroan, sekecil apapun
penggunaannya akan selalu menggunakan sumber daya alam dalam
menjalankan aktifitasnya dan akibat dari penggunaan sumber daya alam
tersebut dapat berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam
apabila penggunaannya tidak memperhatikan aspek lingkungan, akan
bermuara pada kesimpulan bahwa semua perseroan memiliki kewajiban
melakukan TJSL. Penafsiran secara luas tersebut menjadi sangat relevan
jika dikaitkan dengan prinsip dan tujuan pembentuk undang-undang untuk
mengatur TJSL dalam UU PT yaitu mewujudkan pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang
bermanfaat bagi perseroan, komunitas setempat, dan masyarakat pada
umumnya.
Konsep CSR yang pada awalnya merupakan kewajiban moral dan
sangat tergantung pada kesadaran perseroan untuk menjalankannya,
setelah berlakunya UU PT menjadi kewajiban yang dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum bagi perseroan yang menjalankan
kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam.
Sedangkan bagi perseroan yang aktivitas bisnisnya di luar ketentuan Pasal
74 ayat (1) UU PT TJSL hanya merupakan kewajiban moral. Moral pada
tanggung jawab sosial lebih mengarah pada tindakan atau perbuatan baik
secara lahiriah yang didasarkan sepenuhnya pada sikap batin tanpa pamrih,
berbeda dengan tanggung jawab hukum yang lebih menekankan pada
kesesuaian sikap lahiriah dengan aturan hukum.20
Mengingat dalam perkembangannya TJSL juga diatur pada
undang-undang lain, maka sangat di mungkinkan perseroan yang kegiatan
usahanya di luar bidang atau tidak berkaitan dengan sumber daya alam
tetap dikenai kewajiban tersebut. Sebagai contoh dalam UU No. 25 tahun
2008 tentang Penanaman Modal yang mewajibkan setiap penanam
modal di Indonesia melakukan tanggung jawab sosial perusahaan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 15 huruf b. Apabila penanam modal
tidak melakukan kewajiban tersebut maka undang-undang memberikan
sanksi mulai dari peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha,
pembekuan kegiatan usaha dan/atau
20
Sukarmi, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Sosial Responsibility) dalam Iklim
Penanaman Modal di Indonesia, www.legalitas.org, Diakses tanggal 9 Januari 2009
222
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau
fasilitas penanaman modal (Pasal 34 Ayat (1 ) No. 25 tahun 2008 tentang
Penanaman Modal). Demikian juga UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara yang mengatur penyisihan sebagian laba bersih Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) untuk keperluan pembinaan usaha kecil/
koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN, sebagaimana
tercantum dalam Pasal 88 Ayat (1). Selanjutnya Keputusan Menteri BUMN
No. 23/MBU/ 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Kemitraan
BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, sebagai
ketentuan lebih lanjut dari Pasal 88 Ayat (1) UU BUMN antara lain mengatur
besaran penyisihan laba setelah pajak maksimal 1 % (satu persen) melalui
penetapan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), sebagai sumber dana
pembinaan usaha kecil, koperasi serta masyarakat sekitar BUMN. Dengan
demikian konteks TJSL ini meletakan adanya kewajiban bertanggung jawab
atas perintah undang-undang, bukan sekedar kewajiban moral yang bersifat
sukarela.
Sejalan dengan hal tersebut, Putusan MK Nomor 53/PUU-VI/2008
dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas Terhadap Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menguatkan pendapat bahwa
tindakan moral dapat ditingkatkan daya berlakunya menjadi hukum. Dalam
putusan tersebut MK memuat pertimbangan bahwa penormaan TJSL menjadi
kewajiban hukum merupakan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk
undang-undang untuk mengatur dan menerapkan TJSL dengan suatu sanksi.
Hal demikian dilandasi dari adanya kondisi sosial dan lingkungan yang rusak
pada masa lalu dimana praktek perusahaan yang mengabaikan aspek sosial
dan lingkungan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
sekitar pada khususnya dan lingkungan pada umumnya. Selanjutnya
dikemukakan pula bahwa hubungan antara moral dan etik dengan hukum
adalah bersifat gradual, dimana hukum merupakan formalisasi atau
legalisasi dari nilai-nilai moral. Dalam hubungan ini, nilai-nilai moral
dan etik yang diterima secara sukarela (voluntary) dan dianggap penting
dapat saja diubah secara gradual menjadi hukum atau Undang-Undang
agar lebih mengikat. Dengan dikeluarkannya putusan MK yang menolak
permohonan judicial review atas UU PT maka TJSL bagi perseroan di
Indonesia bukan merupakan tindakan moral melainkan merupakan tindakan
hukum yang diwajibkan oleh undang-undang.
Aspek Hukum Pengaturan .....
223
Selanjutnya UU PT tidak mengatur ruang lingkup pelaksanaan TJSL.
Namun dari istilah TJSL dalam UU PT yang dihubungkan dengan perusahaan
yang berbasis sumber daya alam dan dari substansi penjelasan Pasal 74
UU PT yang memuat maksud pengaturan TJSL untuk mendukung terjalinnya
hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan,
norma, dan budaya masyarakat setempat, dapat ditafsirkan pengertian
tanggung jawab sosial perseroan lebih mengarah pada pengembangan
komunitas (community development). Konsep dasar community
development adalah kesadaran terhadap hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan antara perusahaan dengan komunitas yang ada di sekitar
perusahaan. Dalam kaitan ini komunitas lokal mengharapkan perusahaan
bersedia membantu mereka atas masalah-masalah yang mereka hadapi
dan sebaliknya perusahaan berharap komunitas setempat memperlakukan
perusahaannya secara adil dengan cara pandang yang sportif.21Keserasian
hubungan dan simbiosis mutualisme antara perseroan dan lingkungan
sosialnya menjadi penting untuk diatur dalam undang-undang mengingat
peran serta dunia usaha dalam mengimplementasikan CSR selama ini lebih
banyak bersifat voluntary dan philanthropy sehingga jangkauan program
CSR yang dilaksanakan oleh kalangan dunia usaha relative terbatas dan
tidak ef ektif. Bahkan program CSR yang dilaksanakan tidak lebih dari upaya
untuk meningkatkan citra perusahaan di masyarakat atau hanya dikalangan
2.
2. konsumennya.22
TJSL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban
Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan
yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan
kewajaran.
Penempatan anggaran TJSL sebagai biaya perseroan dimaksudkan
agar pelaksanaannya tidak membebani laba perusahaan yang dapat
berimbas pada penurunan laba perusahaan atau bahkan kerugian bagi
perusahaan. Artinya biaya pelaksanaan TJSL pada akhir tahun buku harus
diperhitungkan sebagai salah satu pengeluaran perseroan. Agar dapat
diperhitungkan sebagai biaya pengurang penghasilan kena pajak (PPKP),
2
1
22
Op.cit, AB. Susanto, hal. 59
Jackie Ambadar, CSR dalam Praktik di Indonesia,Jakarta:Gramedia, 2008,hal.6
224
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
maka rencana kegiatan TJSL yang akan dilaksanakan dan anggaran yang
dibutuhkan wajib dimuat dalam rencana kerja tahunan. Disamping itu dengan
memperhatikan ketentuan pajak yang berlaku, biaya pelaksanaan TJSL
harus merupakan biaya yang dikeluarkan perseroan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan. Dengan demikian biaya pelaksanaan
TJSL tidak tergo long dalam philanthropy.23
Selanjutnya UU PT menentukan bahwa besarnya anggaran
pelaksanaan TJSL dilakukan dengan mempertimbangkan kepatutan dan
kewajaran. Artinya biaya pelaksanaan TJSL dari perseroan tersebut harus
diatur besarannya sesuai dengan manfaat yang akan dituju dari kegiatan
TJSL tersebut berdasarkan kemampuan perseroan dan resiko serta besarnya
tanggung jawab yang harus ditanggung oleh perusahaan sesuai dengan
kegiatan bisnisnya. Penentuan besaran anggaran pelaksanaan TJSL oleh
perseroan harus pula memperhatikan tujuan pelaksanaan TJSL yaitu
sustainable perseroan, lingkungan dan sosial. Dengan demikian Ketentuan
ini dapat menghindari kekhawatiran pihak perseroan yang merasa akan
terbebani atas kewajiban pelaksanaan TJSL di luar kemampuan perusahaan
sekaligus ancaman sanksi jika mengabaikan kewajibannya. Berkaitan
dengan pelaksanaan TJSL yang sesuai dengan kepatutan dan kewajaran,
MK berpendapat perusahaan sendirilah yang melaksanakan TJSL sesuai
dengan prinsip kepatutan dan kewajaran. Diserahkannya pelaksanaan TJSL
kepada perusahaan masing-masing dapat menghindarkan adanya korupsi
sekaligus memperlancar interaksi antara perusahaan dengan masyarakat,
sedangkan peranan Pemerintah han ya sebagai pemantau apakah
perusahaan dimaksud telah melaksanakan TJSL atau belum.24
Sebagai kegiatan yang harus dianggarkan perseroan, maka
UU PT juga mengharuskan laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial
menjadi bagian yang harus dimuat dalam laporan tahunan perseroan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 68 Ayat (2) huruf c. Rumusan tersebut
merupakan bentuk keseriusan pembentuk undang-undang memberlakukan
TJSL sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perseroan agar publik
dapat mengetahui kontribusi perseroan untuk masyarakat dan lingkungan
sekaligus mengawasi apakah tanggung jawab sosial dan lingkungan telah
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang -undangan.
23
Gunawan Widjaja, op.cit. hal. 97
Lihat pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 53/PUU-VI/2008 dalam perkara permohonan
pengujian UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap UUD Tahun 1945.
24
Aspek Hukum Pengaturan .....
225
Pengungkapan informasi TJSL dalam laporan tahunan juga merupakan salah
satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan, dan
melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis.25 Sebagai
perbandingan dalam Companies Act 2006, pemerintah Inggris mewajibkan
perusahaan publik melaporkan secara terbuka kinerja sosial dan lingkungan,
disamping kinerja usahanya. Masyarakat luas dapat mengakses laporan
tersebut serta mengamati secara langsung kinerja perusahaan publik yang
3.
3. ada di Inggris.
Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1 ) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Penerapan kewajiban melaksanakan TJSL membawa konsekuensi
pengenaan sanksi hukum bagi yang mengabaikannya. Dalam hal ini Pasal
74 ayat (3) beserta penjelasannya menyebutkan bahwa sanksi tersebut
adalah sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait.
Sebagai contoh perusahaan industri yang menghasilkan limbah senyawa
kimia berbahaya. Berdasarkan UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup diwajibkan untuk melakukan pengolahan limbah dahulu
sebelum dilakukan pebuangan. Jika perseroan lalai melakukan hal tersebut
maka pelanggaran yang pada hakekatnya merupakan pelanggaran terhadap
kewajiban melakukan TJSL tersebut dikenakan sanksi berdasarkan UU
3.
3. No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan
lebih lanjut mengenai TJSL diatur dengan Peraturan Pemerintah. UU PT
mengatur mengenai TJSL secara simpel atau pokok-pokoknya saja,
sedangkan pengaturan lebih lanjut pelaksanaan TJSL di delegasikan kepada
Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini Peraturan Pemerintah tentang TJSL
yang mengatur secara TJSL secara lebih teknis sebagai pelaksanaan dari
Pasal 74 UU PT masih dalam proses penyusunan di pemerintah. Dalam
draft ke empat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang TJSL antara
lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. Kewajiban perseroan selaku subjek hukum untuk melakukan TJSL
berdasarkan pada prinsip bahwa semua perseroan selaku kegiatan
manusia dalam bidang usaha secara moral bertanggungjawab atas tetap
terciptanya hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai
dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
25
Ibid.
226
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
b.
c.
RPP membedakan pengertian kegiatan usaha perseroan di bidang
sumber daya alam dengan yang berkaitan dengan sumber daya alam.
Kegiatan usaha perseroan di bidang sumber daya alam yaitu meliputi
kegiatan usaha yang mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam,
seperti: pertambangan, kehutanan, dan kelautan. Sedangkan kegiatan
perseroan yang berkaitan dengan sumber daya alam yaitu meliputi
kegiatan usaha yang berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya
alam, seperti rumah sakit dan industri tekstil.
Bentuk TJSL terdiri dari TJSL yang dilaksanakan di dalam perseroan
(seperti: keamanan, kesehatan, dan kesehatan kerja) dan TJSL yang
dilaksanakan di luar lingkungan perseroan seperti: pemberdayaan
masyarakat sepanjang diatur dalam undang-undang terkait dan peraturan
pelaksanaannya, pengelolaan limbah, dan pemulihan lokasi yang
memenuhi standar lingkungan hidup.
d.
RPP memberikan ruang kepada peran serta masyarakat untuk turut
mengawasi pelaksanaan TJSL yang dilakukan perseroan dengan cara
menyampaikan laporan secara tertulis disertai alasannya kepada
menteri yang membidangi kegiatan perseroan, jika ditemukan perseroan
yang melaksanakan TJSL tidak sesuai dengan peraturan perundangundangan.
e. RPP mengatur sanksi bagi perseroan yang tidak melakukan TJSL dan
reward bagi perseroan yang melaksanakan TJSL melebihi kewajiban
yang diatur peraturan perundang-undangan.
Secara normatif keseluruhan substansi yang diatur dalam draft RPP
tersebut masih bersifat umum karena tidak mengatur secara rinci dan jelas
bentuk dan cara melaksanakan kewajiban TJSL. Kesan pengaturan setengah
hati juga terlihat dalam norma yang diaturnya. Sebagai contoh pada
penjelasan Pasal 4 RPP disebutkan bahwa pelaksanaan TJSL di luar
perseroan yang berbentuk pemberdayaan masyarakat bukan merupakan
suatu keharusan, apabila peraturan perundang -undangan tidak
mewajibkannya. Misal, di sektor kehutanan program community development
bukan merupakan kewajiban, lebih pada himbauan dan kesadara n
pengusaha, seperti pembangunan hutan rakyat, kebun rakyat, dan tanaman
pengganti musiman.26 Hal ini tentunya berseberangan dengan perkembangan
26
Wawancara dengan Sigit Irawan
9 Juni 2008.
(Kasubdit Perencanaan Hutan Kab. Pelelawan) tanggal
Aspek Hukum Pengaturan .....
227
dan semangat gerakan CSR bahwa CSR bukan sekedar bersifat philanthropy
tapi seharusnya mengarah pada kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Pemberlakuan Pasal 74 UU PT membawa konsekuensi bagi perseroan,
sebagai berikut :27
a. Perseroan harus mampu mengidentifikasi kegiatannya melalui visi, misi,
nilai-nilai perusahaan, dan menempatkan perseroan dalam posisi yang tepat
di tengah komunitas dan lingkungannya. Identifikasi ini nantinya akan
menentukan konsepsi dan cara pandang perusahaan terhadap kegiatan
TJSL dan lingkungan dan menuangkannya dalam rencana kerja tahunan
guna mencapai kinerja secara optimal.
b. Perseroan harus mampu merumuskan kegiatan TJSL sebagai kegiatan non
philanthropy yang menuntutketerlibatan perseroan dan stakeholders secara
aktif, dilaksanakan sesuai kemampuan perusahaan, bertujuan sustainability
perusahaan, lingkungan, dan social. Dalam hal ini perseroan harus
memahami peraturan perundang-undangan yang terkait dengan TJSL.
c. Merumuskan kegiatan TJSL dalam setiap rancangan kerja perusahaan dan
melaporkannya dalam laporan tahunan perusahaan.
d. Secara internal perseroan harus mensosialisasikan pelaksanaan TJSL
kepada stakeholders agar masing-masing stakeholder dapat turut
mendukung dan terlibat secara aktif.
B. Implementasi TJSL di PT RAPP
Sebuah perusahaan dapat bekerja dan memperoleh keuntungan seperti
yang diharapkan jika perusahaan tersebut mendapatkan tempat tertentu dalam
lingkungan bisnis maupun lingkungan sosialnya. Kedua lingkungan ini saling
berkaitan dan saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin suatu perusahaan
dapat mengabaikan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain perusahaan yang
hanya memperhatikan lingkungan yang berkaitan langsung dengan bisnisnya
seperti: bahan baku, bahan penolong, pesaing, pemasok, teknologi, dan pasar,
tetapi mengabaikan lingkungan masyarakat akan menemui kesulitan non bisnis
yang berakibat langsung pada performance bisnisnya.28
Beranjak dari kesadaran akan pentingnya menjalin hubungan baik dengan
lingkungan sosial perusahaan, sejak berdirinya PT. RAPP, pimpinan manajemen
27
Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 101-102.
Endang Tjahyaningsih, "Tuntutan Tanggung Jawab sosial Perusahaan dalam Lingkungan yang
Selalu Berubah", Jurnal Gema STIKUBANK 31 No. V/Oktober 1999, hal.67.
28
228
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
telah berkomitmen menjadikan perusahaan sebagai bagian komunitas di daerah
Riau. Sesuai dengan misi perusahaan untuk menjadi salah satu perusahaan
pulp dan kertas dunia dengan manajemen terbaik, paling menguntungkan,
berkesinambungan serta merupakan perusahaan pilihan bagi para pelanggan
dan karyawan perusahaan mengupayakan peningkatan produktifitas seiring
dengan pembangunan masyarakat secara keseluruhan.29 Secara kronologis
perkembangan kegiatan TJSL yang dilakukan oleh PT. RAPP adalah sebagai
berikut:
1. Periode 1993-1998, program Community Development (CD) sebagai bentuk
aktualisasi CSR berada di bawah Departemen Hubungan Masyarakat
dengan program bersifat insidentil dan charity. CD dilakukan dengan
penanaman pohon akasia, pembangunan pabrik, dan set-up program
pemberdayaan masyarakat.
2. Periode 1999-1 juli 2005, program CD dilaksanakan oleh departemen khusus
yaitu Departemen Program Pemberdayaan Masyarakat Riau (PPMR)
Riaupulp dan bersifat pemberdayaan. Sejak 1 Juli 2005 program CD mulai
dikoordinasikan oleh Departemen CSR Riaupulp dan dilaksanakan oleh
yayasan independen.
PT. RAPP menerapkan CSR berlandaskan pada aspek yang
berkelanjutan dengan memadukan 3 aspek yang dikenal dengan konsep 3P
peopl, planet, dan profit. Artinya PT. RAPP berpegang pada konsep bahwa untuk
menumbuhkan dan mengembangkan bisnis secara berkelanjutan, perusahaan
harus memperhatikan aspek kepedulian sosial (people), aspek lingkungan
(planet) dengan tetap menjaga secara berkesinambungan untuk memperoleh
keuntungan (profit).
Menyadari keberadaannya mempunyai dampak yang signifikan bagi
stakeholders-nya, PT. Riaupulp mempunyai kebijakan untuk menunjukan
komitmen terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan, serta melakukan
pengukuran secara berkala pemenuhan kerja aspek-aspek tersebut berdasarkan
standar yang ada. PT.RAPP juga secara teratur menyediakan informasi bagi
stakeholders mengenai hal-hal yang menjadi perhatian stakeholders.
Hal yang mendasari PT. RAPP melaksanakan CSR adalah jalan sutra
PT. RAPP menuju entitas perusahaan yang bermakna, berbudaya, dan
berkelanjutan dalam dasa warsa mendatang melalui program CSR, yang
meliputi:30
29
30
Hasil wawancara dengan Amru Mahali Direktur CSR PT. RAPP, tanggal 10 Juni 2008.
Ibid.
Aspek Hukum Pengaturan .....
229
a. Triple Bottom Line (3P) dikembangkan menjadi Quarple Bottom Line (4P);
b. Business Ethics ditingkatkan menjadi Spiritual Company;dan
c. Good Corporate Stakeholer menjadi modal menuju Riaupulp society
Melalui program tersebut PT. RAPP berharap mampu memberikan sesuatu bagi
masyarakat dan bersama masyarakat
mengupayakan
peningkatan
kesejahteraan.
Kegiatan CSR di perusahaan tersebut dilakukan tanpa adanya tekanan
dari pemerintah dan sudah dilakukan jauh sebelum TJSL menjadi norma yang
diwajibkan dalam UU PT, melainkan kesadaran perusahaan akan tanggung jawab
sosialnya terhadap dampak dari keberadaan perusahaan di tengah-tengah
masyarakat, dimana perusahaan merasa bukan sebagai tamu melainkan bagian
dari masyarakat itu sendiri. PT RAPP menjadari bahwa praktek bisnis
memerlukan dukungan masyarakat sekaligus meru pakan syarat
keberlangsungan perusahaan.31
Sesuai dengan visi CSR Riaupulp yaitu "Menjadi salah satu perusahaan
yang terbaik melaksanakan praktek kepedulian sosial di Asia" maka ruang lingkup
pengelolaan CSR berkaitan dengan banyak pihak sehingga perusahaan harus
mengakomodir dan memiliki hubungan baik dengan stakeholders agar mampu
melaksanakan aktif itas yang terintegrasi.
Lima aspek yang menjadi perhatian PT. RAPP dalam mengelola CSR di
perusahaannya yaitu :32
1. Pasar: besarnya pendapatan hasil penjualan produk perusahaan bergantung
pada pelanggan dan konsistensi serta kepercayaan pemegang saham pada
perusahaan. Hal tersebut menjadi modal dalam pembiayaan CSR.
2. Lingkungan kerja: berkaitan dengan pengelolaan karyawan sebagai sebuah
asset perusahaan. Wujud CSR ini dengan mendirikan sarikat pekerja sebagai
wadah bagi pekerja dalam menyalurkan aspirasinya untuk memperjuangkan
hak-haknya. Aspek lingkungan kerja akan berdampak positif bagi
perusahaan yaitu akan menimbulkan kesukarelaan karyawan untuk
mengoptimalkan seluruh potensinya demi kemajuan perusahaan.
3. Masyarakat tempatan: dalam hal ini berkaitan dengan peningkatan dan
pemberdayaan masyarakat dengan tujuan pemberdayaan ekonomi
komunitas lokal berbasis penguatan partisipasi masyarakat.
4. Lingkungan: dengan meminimumkan dampak negatif akibat
aktivitas
produksi yang dilakukan perusahaan.
3
1
32
Jawaban tertulis Departemen CSR PT. RAPP terhadap pertanyaan penelitian.
Ibid.
230
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
5. Analisa keuangan, SDM, Lingkungan dan sosial, aspek ini terkait dengan
pengelolaan manajemen administrasi serta sumber daya lainnya secara
baik.
Ruang lingkup pengelolaan CSR meliputi lingkungan, pemberdayaan
masyarakat, pengembangan SDM, sukarelawan karyawan, dan dialog. Hal ini
sesuai dengan Misi CSR PT. RAPP untuk memberdayakan ekonomi komunitas
lokal berbasis penguatan partisipasi masyarakat dan membangun kemitraan
dan persebatian yang berkualitas antara perusahaan, karyawan, masyarakat.
Keberhasilan PT. RAPP dalam menerapkan CSR tidak terlepas dari peran
banyak pihak berpengaruh yang termasuk dalam dimensi kerja
pengembangan kesinambungan perusahaan, sebagai berikut:33
1. Pemerintah
Dalam menjalankan aktifiasnya perusahaan harus memenuhi regulasi yang
ditetapkan oleh pemerintah termasuk memberikan laporan pelaksanaan
produksi sebagai pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi.
2. General
Secara umum aktifitas perusahaan harus bisa memenuhi tiga kriteria yang
diterapkan yaitu profit yang optimal, pemenuhan standar lingkungan, dan
memperhatikan kepedulian sosial.
3. Lingkungan
Dalam membenahi masalah lingkungan, perusahaan fokus pada masalah
lingkungan yang terkait proses produksi dengan melihat semua proses
produksi dan melihat dampak yang diakibatkan oleh produk yang dihasilkan.
4. Sosio ekonomi, melalui pengembangan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat pada umumnya
5. Hak Asasi Manusia, artinya perusahaan dalam menjalankan aktifitasnya
harus menjunjung tinggi hak-hak pekerja dan hak asasi manusia pada
umumnya.
6. Kondisi tempat kerja
Kondisi tempat kerja sangat berpengaruh terhadap kinerja yang dihasilkan.
7. Keterlibatan pihak-pihak terkait
Disamping keterlibatan mitra bisnis yang sangat berpengaruh
pengembangan perusahaan, keterlibatan mitra non-bisnis juga harus
diperhatikan karena memiliki efek yang mempengaruhi kinerja perusahaan
secara umum.
33
Hasil wawancara dengan Amru Mahali, op.cit.
Aspek Hukum Pengaturan .....
231
Sejak terbentuknya Departemen CSR, pelaksanaan CSR terfokus pada
Program Pemberdayaan Masyarakat Riau (PPMR) sebagai suatu layanan
sumber daya dukung untuk membantu masyarakat agar dapat mengentaskan
dirinya sendiri. Sistem program pemberdayaan yang dilakukan PT. RAPP adalah
melalui:34
1. Integrated Farming Sistem (IFS) Program
a. integrasi antara sub-sub sektor pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan serta didukung oleh pengembangan pasar dan industri rumah
tangga;
b. perencanaan dan implementasi IFS disesuaikan dengan potensi wilayah
dan orientasi pasar;
c. pendampingan dan penguatan kapasitas kelompok sasaran secara
partisipatif;
d. mekanisme pemberdayaan disesuaikan dengan tingkat kemandirian
mitra dampingan; dan
e. optimalisasi fungsi IFS Training Center untukpengembangan attitude,
knowledge dan skill para petani mitra dampingan.
Program IFS yang dijalankan oleh Care and Empowerment for Community
(CECOM) Foundation sampai saat ini telah membina kurang lebih 4.300
petani mitra bina yang tersebar di lima kabupaten dan satu kota yaitu:
Pelelawan, Siak, Kampar, Rohul, Kuansing, dan Pekanbaru. PT. RAPP
pernah menerima studi banding dari British Red Cross Society (BRCS)
dengan mengajak 12 petani perwakilan dari 60 kelompok tani di Nangro
Aceh Darussalam.
2.
3.
34
Micro, Small and Medium Enterprises Development Program
Program ini berupa layanan kepada mitra dampingan melalui pendampingan/
asistensi teknis, pelatihan usaha, konsultasi usaha, temu usaha, kemitraan
usaha termasuk penguatan modal usaha. Pengembangan potensi
masyarakat dalam mengelola lembaga keuangan mikro (LKM) sebagai
sumber pembiayaan alternatif untuk meningkatkan skala usaha mitra
dampingan. Program ini ditujukan agar mitra dampingan mampu
merencanakan dan mengelola usaha secara mandiri.
Training Development and Capacity Building Program
Merupakan kegiatan yang terprogram untuk meningkatkan kualitas
pendamping program maupun kelompok sasaran (warga masyarakat) yang
Ibid.
232
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
menjadi mitra dampingan. Program ini berusaha untuk mengembangkan
metodologi, modul, kurikulum, dan design pelatihan. Sarana pelatihan berupa
4 Balai Pelatihan dan Pengembangan Usaha Terpadu (BPPUT) yang ada di
empat kabupaten di RIAU. CECOM mendorong tumbuhnya sekolah-sekolah
lapangan yang dikelola secara swadaya mandiri oleh masyarakat,
mengembangkan kerjasama/ jejaring dengan LPSM lain di tingkat lokal
maupun nasional.
4. Community Based Bussiness Development Program
Keberadaan CECOM selain berfungsi untuk mendorong tumbuhnya potensi
produktif mitra dampingan juga diarahkan untuk menarik partisipasi mitra
dampingan dalam mengelola sumber daya dan peluang yang ada di
masyarakat. Pengelolaan usaha berbasis masyarakat difokuskan pada
aspek pengembangan peluang-peluang usaha yang dapat memperkuat posisi
tawar mitra dampingan dalam menjalankan usahanya.
5. Education and Community Health Program
Program pendidikan dilakukan melalui program Taman Bacaan, beasiswa,
kontibusi honorarium untuk guru honorer. Sedangkan program kesehatan
masyarakat dilakukan melalui penguatan kapasitas kader kesehatan desa,
layanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, dan kegiatan preemtif,
prefentif dan kuratif.
Keberhasilan PT.RAPP dalam mengembangkan CSR telah
menghasilkan berbagai penghargaan berupa CSR Award untuk kategori The
Best Practice in Social Program within Manufacturing Industri, Second Best
Practice in Environmental Program within Manufacturing Industry, dan Best Social
Program within Overall Industries.35 Penilaian CSR Awarddidasarkan penilaian
komite ahli atas program-program CSR yang dilakukan PT. RAPP meliputi aspek
kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan kelengkapan dokumen.
Pada aspek kebijakan, visi dan misi CSR tidak berdiri sendiri dan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari visi misi perusahaan. PT. RAPP
dinilai memiliki konsep kemitraan yang sangat menonjol, memprioritaskan
program lingkungan dan pemberdayaan masyarakat serta memiliki strategi
sustainabilitas yang jelas. Aspek perencanaan; stakeholders yang terlibat dalam
CSR dilibatkan dalam perencanaan program sehingga orientasi program
mengintegrasikan antara kebutuhan perusahaan dalam melaksanakan aktivitas
usahanya dan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Aspek pelaksanaan:
35
Jackie Ambadar, CSR dalam Praktek di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2008, hal. 95
Aspek Hukum Pengaturan .....
233
PT RAPP telah menerapkan konsep kemitraan dan bersifat jangka panjang
meskipun jangkauan pelaksanaan masih bersifat lokal dan relatif kecil jika
dibandingkan dengan luas jangkauan usaha. Aspek evaluasi: keberlanjutan
program telah dipertimbangkan dengan matang, melibatkan banyak pihak serta
ketersediaan factor pendukung berupa dana dan fasilitas.36
Di balik keberhasilan PT. RAPP dalam menerapkan CSR terdapat
beberapa kendala seperti SDM pelaksana program yang belum memadai dan
adanya kebijakan pemerintah yang tidak kooperatif sehingga diperlukan pola
komunikasi yang baik untuk mengatasinya.37
Sebagai bahan perbandingan dapat dilihat pelaksanaan CSR di PT.
HM. Sampurna dengan tiga bidang aktivitas CSR, meliputi bidang ekonomi
(pengembangan usaha kecamatan dan penciptaan lapangan kerja), sosial
(pendidikan, kesehatan, agama, dan olah raga), dan lingkungan (pemulihan
lingkungan fisik dan pemeliharaan lingkungan). Hasil penilaian komite ahli CSR
Award terhadap pelaksanaan CSR di PT. HM. Sampurna menyebutkan pada
aspek kebijakan, visi misi perusahaan telah memuat unsur-unsur CSR namun
jangkauannya terlalu luas dan belum ada kejelasan bagaimana program tersebut
secara formal akan tercapai. Belum ada tahapan yang terencana dan keterlibatan
stakeholders belum terlihat jelas sehingga terkesan perusahaan jalan sendiri.
Namun masyarakat yang terlibat dalam jangkauan program CSR PT.
HM.Sampurna sangat luas.
Pada aspek pelaksanaan, secara umum program disusun bersama
berdasarkan kebutuhan, namun kurang jelas pemisahan antara program CSR
dengan Public Relation. Jangkauan program yang sangat luas mempunyai nilai
positif namun mengakibatkan sasaran program kurang terfokus. Sedangkan
pelaksanaan CSR didukung dengan pendanaan dan fasilitas yang memadai
termasuk SDM yang capable dengan kuantitas yang memadai. Untuk aspek
evalusi telah ada kesesuaian sumber daya sehingga menjamin keberlanjutan
program CSR serta program mendapat dukungan dari masyarakat luas dan
pemerintah (kecamatan). Sedangkan hambatan pelaksanaan CSR di PT.
HM.Sampurna adalah belum jelasnya mekanisme umpan balik.38
36
37
38
Ibid, hal. 95-102
Ibid, hal. 102
Ibid, hal. 120-123
234
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
IV. Kesimpulan dan Rekomendasi A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa
penerapan Pasal 74 UU PT memiliki aspek hukum: pertama, TJSL bagi perseroan
yang kegiatan usahanya di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam
merupakan kewajiban hukum (legalobligation) yang tidak hanya melekat pada
perseroan yang kegiatan utamanya di bidang sumber daya alam, melainkan
juga menjadi kewajiban perseroan yang bisnis intinya tidak secara langsung
menggunakan sumber daya alam tetapi kegiatan usahanya berdampak pada
fungsi kemampuan sumber daya alam. Kedua, penempatan CSR sebagai
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya
perseroan membawa konsekuensi pada perusahaan untuk membuat
perencanaan pelaksanaan CSR dan anggaran yang dibutuhkan dalam rencana
kerja tahunan agar biaya yang dikeluarkan dapat diperhitungkan sebagai PTKP.
UU PT juga memberikan fleksibilitas besarnya anggaran pelaksanaan CSR
berdasarkan kemampuan perusahaan dengan mempertimbangkan manfaat yang
akan dituju dan resiko serta besarnya tanggung jawab yang harus ditanggung
oleh perusahaan sesuai dengan kegiatan bisnisnya . Ketiga: Sanksi terhadap
perseroan yang melanggar ketentuan Pasal 74 didelegasikan kepada
undang-undang terkait yang menaungi pengaturan bisnis perseroan.
Keempat: Implementasi Pasal 74 UU PT sangat tergantung pada materi TJSL
yang akan diatur dalam peraturan pemerintah sebagai pengaturan lebih lanjut
dari UU PT.
Sebagai perusahaan yang kegiatan utamanya di bidang sumber daya
alam,PT. RAPP telah melaksanakan TJSL sebelum diwajibkan oleh UU PT.
Pelaksanaan TJSL mengacu pada kebijakan perusahaan yang tercermin dari
visi dan misi perusahaan dengan membentuk satu departemen khusus yang
menangani CSR, sehingga keseluruhan program tanggung jawab sosial dan
lingkungan PT. RAPP sudah terencana dan dianggarkan setiap tahun serta
menitik beratkan pada program pemberdayaan masyarakat sebagai suatu
layanan sumber daya dukung untuk membantu masyarakat setempat
mengentaskan dirinya sendiri.
Aspek Hukum Pengaturan .....
235
B. Rekomendasi
Mengingat Pasal 74 UUPT hanya mengatur TJSL secara umum dan
mendelegasikan peraturan pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah, maka
untuk menciptakan kepastian hukum, Peraturan Pemerintah tersebut harus
segera terbentuk sebagai pedoman pelaksanaan bagi perseroan yang terkena
kewajiban melaksanakan TJSL. Disamping itu subtansi dari peraturan pemerintah
tersebut harus secara lengkap, jelas dan rinci mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan kewajiban perseroan di bidang TJSL untuk menghindari multi taf sir yang
dapat berujung pada konflik serta dalam memudahkan implementasi.
236
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Daftar Pustaka
Buku:
Ambadar, Jackie. CSR dalam Praktek di Indonesia. Jakarta: Gramedia. 2008
Budimantana, Arif; Adi Prasetijo; dan Bambang Rudito, Corporate Sosial
Responsibility: Alternatif Bagi Pembangunan di Indonesia ,Jakarta: ICSD
2008.
Wibisono,Yusuf. Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik:2007
Beberapa Pendekatan Ekonomi Dalam Hukum, ed. Jimly Asshiddiqie, Pusat
Studi Hukum Tata Negara FHUI Jakarta, 2003.
Sunggono,Bambang. Hukum dan Kebijakan Publik. Jakarta: Sinar Graf ika. 1994
Tanaya,Jimmy. Tanggung Jawab Sosial Korporasi,Jakarta:The Business Watch
Indonesia-Widya Sari Press, 2004.
Ashshofa, Burhan Metode Penelitian Hukum, Jakarta:Rineka Cipta,1998,
Suarga, Riza. Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek
Premanisme Global, Banten: Wana Aksara, 2005. Widjaja
Tunggal,
Amin.
Corporate
Social
Responsibility
(CSR),Jakarta:Harvarindo,2008.
Artikel:
Binoto Madapdap, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Business News 7395/
2-8-2006. Hikmahanto Juwana, Politik Hukum Undang-Undang
Bidang Ekonomi di
Indonesia.
Internet:
Achmad Daniri, Mas. Standardisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, http:/
/www. pkbl bumn.go.id/(diakses tanggal 19 Juni 2008) . Sukarmi,
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Sosial Responsibility)
dan klim Penanaman Modal di Indonesia, (http://www.legalitas. org,
diakses 19 Januari 2009). CSR, Kewajiban Sukarela yang Wajib
Diatur, (http://www.hukumonline.com,
diakses 19 Juli 2008). http://www.worldbank,
diakses tanggal 19 Juli 2008 .
Aspek Hukum Pengaturan .....
237
Daya Dukung dan Kendala Riau. (http:// www. riau.go.id , diakses tanggal 3 Mei
2008.
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia, Undang-Undang Tentang Badan Usaha Milik Negara, UU No. 19.
LN No. 70 Tahun 2003. TLN No. 4297 Indonesia, Undang-Undang
Tentang Penanaman Modal, UU No.25, LN No. 67.
Tahun 2007. TLN No. 4724 Indonesia, Undang-Undang Tentang
Perseroan Terbatas, UU NO. 40, LN No.
106 Tahun 2007,TLN No.4756 Risalah Pembahasan Rancangan
Undang-Undang Tentang Perseroan
Terbatas
238
Kajian, Vol 14, No. 2, Juni 2009
Download