BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Penyembuhan luka

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1.
Penyembuhan luka
1.1. Healing Cascade
Healing cascade dimulai segera setelah terjadinya perlukaan, dimana
terjadi kontak antara Trombosit dengan kolagen dari jaringan yang terpapar
terhadap darah, yang mana akan menyebabkan pelepasan faktor pembekuan dan
deposisi fibrin kedalam lokasi luka, bentukan ini bukan hanya berfungsi untuk
menghentikan perdarahan, namun juga akan menjadi matrik dan mendasari tahap
selanjutnya dari pemyembuhan luka. Platelet melepaskan faktor pembekuan dan
berbagai mediator kimia yang dikenal sebagai Sitokin dan growth factor, dua
yang terutama adalah PDGF dan TGF-β (Rajan dan Murray, 2008).
PDGF akan memicu proses kemotaksis dari Netrofil, Makrofag, otot polos
dan Fibroblas, dan juga memulai proses mitosis dari sel Fibroblas dan otot polos.
TGF-β berperan dalam menarik Makrofag dan menstimulasi pelepasan Sitokinsitokin lain seperti FGF, TNF-α, dan IL-1. TGF-β juga diketahui memperkuat
kemotaksis dari Fibroblas dan otot polos, dan memodulasi pembentukan kolagen
dan kolagenase. Proses ini secara keseluruhan akan menyebabkan deposisi
jaringan ikat baru kedalam lokasi luka yang dikenal sebagai fase proliferasi, dan
setelah semua proses epithelialisasi, granulasi, dan neovaskularisasi selesai, akan
diikuti oleh suatu proses remodelling untuk mengembalikan struktur yang baru
terbentuk mendekat kondisi awalnya (Eming et. al. 2007).
4
5
Gambar 1 : Tahapan Penyembuhan luka (Rajan dan Murray, 2008).
a. Fase Inflamasi b. Fase Proliferasi
c. Fase Remodelling
1.1.1 Fase inflamasi
Netrofil merupakan sel radang pertama yang dijumpai pada daerah
luka, biasanya mulai muncul dalam 24 jam pertama setelah kerusakan,
fungsi utamanya untuk mengeliminasi benda asing, bakteri, sel dan matrik
jaringan yang rusak. Sel Mast merupakan sel yang kaya dengan granula
berisi berbagai macam enzim, Histamin dan berbagai jenis mediator kimia
lain yang bertanggung jawab terhadap terjadinya inflamasi pada daerah
sekitar luka. Bahan aktif yang dilepaskannya akan memicu serangkaian
proses yang menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
sehingga sel monosit bisa dengan mudah bermigrasi kedalam jaringan
yang luka (Eming et. al. 2007).
Sel Monosit dalam darah akan menjadi teraktivasi dan menjadi
Makrofag setelah 48 jam, yang berperan besar dalam tahap inflamasi
penyembuhan luka dan gangguan terhadap fungsi Makrofag akan
mengganggu penyembuhan luka. Setelah teraktivasi, sel Makrofag sendiri
juga akan menghasilkan PDGF dan TGF-β. Sifat fagositik dari Makrofag
bertujuan untuk mengeliminasi sel dan matrik yang rusak, Netrofil yang
penuh dengan patogen, benda asing dan sisa bakteri yang masih tersisa.
Adanya Wound Macrophage menandakan akhir proses inflamasi dan
segera dimulainya proses proliferasi. Limfosit juga dijumpai pada lokasi
terjadinya luka, namun sel ini dinyatakan tidak terlalu memiliki peran yang
6
menonjol dalam proses peyembuhan luka dan peran pastinya masih perlu
ditelaah lebih lanjut (Rajan dan Murray, 2008).
Gambar 2 : Fase Inflamasi, sel-sel dan mediator yang berperan didalamnya (Epstein
et. al, 1999)
1.1.2 Fase proliferasi
Fase proliferasi terdiri atas proses reepitelialisasi, neovaskularisasi,
dan pembentukan jaringan granulasi, dalam fase ini peran TGF-β yang
dilepaskan oleh Trombosit, Makrofag memegang peranan penting sebagai
pengatur fungsi Fibroblas. TGF-β memiliki beberapa peran penting dalam
pembentukan matrik ekstraselular, yaitu meningkatkan pergerakan sel
epidermis, pembentukan kolagen, proteoglikan, dan fibronektin, serta
mengurangi produksi dari enzim protease yang merusak matrik. Sitokinsitokin lain yang berperan dalam proses penyembuhan luka dirangkum
pada tabel 1 (Diegelmann, 2004 ; Epstein et. al, 1999).
7
Tabel 1. Berbagai jenis Sitokin yang berperan pada penyembuhan luka
(Epstein et. al, 1999)
Sitokin
Sumber utama
Sel target dan efek utama
Golongan Epidermal Growth Factor
Regenerasi epidermis dan mesenkim
Epidermal Growth Factor
Platelet
Motilitas sel pleiotropik dan proliferasi
Transforming Growth Factor-α
Makrofag dan sel epidermis
Motilitas sel pleiotropik dan proliferasi
Heparin
Makrofag
Motilitas sel pleiotropik dan proliferasi
binding epidermal growth
factor
Golongan Fibroblast Growth Factor
Vaskularisasi luka
Basic Fibroblast Growth Factor
Makrofag dan sel endotel
Angiogenesis dan proliferasi fibroblas
Acidic Fibroblast Growth Factor
Makrofag dan sel endotel
Angiogenesis dan proliferasi fibroblas
Keratinocyte Growth Factor
Fibroblas
Motilitas dan proliferasi sel epidermis
Platelet dan Makrofag
Fibrosis dan Penguatan daya regang
Golongan TGF-β
TGF-β1 dan 2
Motilittas sel epidermis, kemotaksis makrofag,
fibroblast, pembentukan dan remodelling matrik
ekstraseluler
TGF-β3
Makrofag
Efek anti jaringan parut
Lain-lain
PDGF
Platelet,
Makrofag
dan
Proliferasi
dan
kemoatraktan
fibroblas,
epidermis
kemoatraktan dan aktifasi makrofag
VEGF
Makrofag dan epidermis
Angiogenesis dan peningkatan permeabilitas
TNFα
Netrofil
Ekspresi Pleiotropik dari Growth Factor
IL-1
vaskular
Netrofil
Ekspresi Pleiotropik dari Growth Factor
IGF-I
Fibroblas dan sel epidermis
Reepitelialisasi
CSF-I
Berbagai macam sel
dan
pembentukan
jaringan
granulasi
Aktifasi makrofag dan pembentukan jaringan
granulasi
Fibroblas akan berikatan dengan serabut dari matrik fibrin dan
mulai memproduksi kolagen, sampai saat ini telah diketahui ada 23 jenis
kolagen, yang dominan ditemukan pada kulit adalah kolagen tipe 1.
Pembentukan kolagen dimulai dari pembentukan prokolagen dengan
karakter khas triple helix, setelah di sekresikan ke dalam ruang
ekstraselular, kemudian akan mengalami hidroksilasi dan kemudian
mengalami pembelahan pada gugus terminal peptida prokolagen N dan C
oleh enzim Lysyl Oxydase yang memungkinkan terjadinya crosslink yang
8
lebih stabil. Kolagen normal pada kulit tersusun teratur dan memiliki
kekuatan regangan yang setara dengan baja, namun pada jaringan parut,
ukurannya lebih kecil dan tidak beraturan, sehingga lebih lemah dan
mudah sekali rusak dibandingkan jaringan sekitarnya (Diegelman, 2014;
Rajan dan Murray, 2008).
Reepitelialisasi terjadi dalam beberapa jam setelah terjadi luka, dan
Sitokin yang berperan adalah EGF dan TGFα yang dihasilkan oleh
Platelet, Makrofag, dan keratinosit. Karena proses ini memiliki aktivitas
metabolik yang tinggi, maka akan timbul peningkatan kebutuhan oksigen
dan nutrisi. Penurunan pH, oxygen tension, dan peningkatan laktat dilokasi
sekitar luka akan memicu serangkaian proses yang mendorong
terbentuknya pembuluh darah baru atau yang lazim dikenal sebagai
angiogenesis atau neovaskularisasi, yang terutama dipengaruhi oleh
VEGF, bFGF dan TGF-β. Proses ini vital dalam kelangsungan proses
selanjutnya yaitu pembentuk jaringan granulasi pada hari ke 4-7
(Diegelman, 2004; Rajan dan Murray, 2008).
Proses angiogenesis bisa dijelaskan secara singkat sebagai berikut:
trauma akan menimbulkan kerusakan jaringan, dan bFGF akan segera
dilepaskan oleh Makrofag dan VEGF oleh sel epidermis yang mengalami
hipoksia. Enzim proteolitik yang dilepaskan akan merusak protein matrik
ekstraselular, dan fragmen protein yang dihasilkan akan berfungsi untuk
merekrut sel monosit menuju lokasi kerusakan jaringan, yang nantinya
Monosit akan teraktivasi dan berubah menjadi Makrofag. Beberapa Sitokin
yang dihasilkan Makrofag, seperti bFGF akan menstimulasi endotel untuk
melepas tPA yang akan mengubah Plasminogen menjadi Plasmin dan
Prokolagenase yang mengaktifkan Polagenase, kedua enzim proteolitik ini
akan merusak membran basalis, sehingga memungkinkan sel Endotel yang
terstimulasi untuk bergerak dan membentuk pembuluh darah baru dilokasi
cedera. Proses angiogenesis akan terhenti setelah terbentuk granulasi dan
pembuluh darah baru yang banyak tersebut akan mengalami disintegrasi
9
akibat apoptosis, dengan berakhirnya tahap ini,
proses penyembuhan
dilanjutkan oleh fase remodelling (Epstein et. al, 1999; Wulff, 2012).
1.1.3 Fase Remodelling
Sebagian molekul kolagen terdegradasi oleh enzim kolagenase
yang didapatkan pada Fibroblas, Makrofag, dan Netrofil pada fase
remodelling, disamping itu juga terjadi kontraksi luka (wound contraction)
yang merupakan suatu proses kompleks dimana melibatkan berbagai jenis
sel, matrik, dan Sitokin. Pada periode ini, Fibroblas memiliki suatu
gambaran fenotipe yang disebut myofibroblas, yang mampu melakukan
kontraksi, adanya fenomena ini menunjukan adanya pemadatan dari
jaringan ikat dan kontraksi dari luka. Proses ini diduga dipicu oleh TGF β1
atau β2 dan PDFG (Rajan dan Murray, 2008).
Remodelling dari kolagen dipengaruhi oleh keseimbangan antara
sintesis dan katabolisme kolagen. Degradasi
kolagen pada luka juga
dipengaruhi oleh beberapa enzim proteolitik yang disebut MMP yang
dihasilkan oleh sel Makrofag, epidermis, endothel dan Fibroblas.
Keseimbangan antara MMP dan inhibitor dari MMP akan menentukan
perkembangan penyembuhan luka. Proses remodelling memungkinan
kekuatan jaringan baru yang terbentuk bisa mendekati aslinya, pada 3
minggu pertama setelah cedera, kekuatan ini hanya berkisar 20% dari
semula, dalam proses remodelling akan terjadi penggantian serabut
kolagen dengan serabut yang lebih besar disertai oleh penguatan
crosslinking dari masing masing serabut yang membentuk jaringan yang
lebih kuat. Kekuatan maksimal yang bisa dicapai oleh jaringan parut baru
hanyalah 70% dari kulit yang normal (Demidova-Rice, et al. 2012; Epstein
et. al, 1999).
1.2
Sel-sel inflamasi yang berperan dalam penyembuhan luka
1.2.1 Netrofil
Segera setelah terjadi cedera, maka akan segera dibentuk bekuan
darah untuk menyumbat pembuluh darah yang terbuka. Sel Trombosit dan
10
Netrofil yang terperangkap didalam bekuan darah akan mengeluarkan
berbagai macam faktor yang memperkuat proses agregasi Trombosit,
koagulasi dan menarik sel-sel yang berperan dalam proses inflamasi.
Dalam beberapa jam, akan terjadi pergerakan sel Netrofil menembus
Endotel, yang mana dipicu oleh Sitokin pro inflamasi seperti IL-1β, TNFα, dan IFN-γ yang akan memicu dihasilkannya molekul adhesi yang
berperan dalam proses adhesi dan diapedesis leukosit, seperti Endothelial
P and E-selectins, ICAM 1 dan 2. Mediator lain yang ikut berperan adalah
IL-8, MCP-1 dan growth related oncogene-α. Produk dari bakteri seperti
LPS, juga dapat memperkuat proses pergerakan Leukosit (Eming et. al.
2007; Sabol ,2012).
Netrofil yang terekrut akan segera memulai proses debridement
dari jaringan yang mati dan memfagositir sel-sel patogen, proses ini
membutuhkan berbagai macam senyawa antimikroba seperi ROS, peptida
kation, dan enzim Protease. Jenis mediator yang dihasilkan atau berperan
pada proses rekrutmen Netrofil telah banyak diketahui, namun sampai saat
ini belum diketahui pasti apakah Netrofil bersifat merugikan atau
menguntungkan pada penyembuhan luka, beberapa penelitian oleh
Simpson dan Ross di tahun 1972 dan Dovi et al. di tahun 2003
menunjukkan bahwa parameter penyembuhan tidak terpengaruh oleh
netropenia, dan bahkan didapatkan reepitelialisasi lebih cepat pada kondisi
tersebut. Sehingga memunculkan dugaan bahwa mungkin ada sel lain yang
lebih berperan dalam proses pemyembuhan luka, seperti halnya sel
Makrofag (Eming et al. 2007; Sabol ,2012).
11
1.2.2 Monosit / Makrofag
Pada keadaan normal beberapa hari setelah perlukaan,
stimulus yang berlanjut tidak akan terjadi lagi rekrutmen
tanpa
Netrofil
kedaerah cedera. Proses ini akan diikuti oleh masuknya Makrofag, yang
akan memfagosit sel Netrofil yang telah penuh terisi debris dan patogen.
Umumnya Makrofag yang didapatkan didaerah luka mulai ditemukan pada
hari ke -2 setelah terjadinya cedera dan berasal dari monosit darah,
disamping sel Makrofag resident didalam kulit sendiri. Bila pada sel PMN
proses ekstravasasi diatur oleh komplek CD11/18 dan ICAMs, maka
pergerakan monosit dari pembuluh darah menuju luka dipengaruhi oleh
interaksi dari very late antigen-4 (α4β1 integrin) dan endothelial vascular
cell adhesion molecule-1. Sedangkan infiltrasi Makrofag pada luka
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor kemotaktik, seperti faktor
pertumbuhan, Sitokin pro inflamasi dan chemokines macrophage
inflammatory protein 1α, MCP-1. Trombosit merpakan sumber utama zatzat tersebut yang terperangkap didalam bekuan darah, keratinosit ditepi
luka yang berada dalam tahap hiperproliferasi, Fibroblas dan Leukosit lain
(Eming et al., 2007; Wulff, 2012).
Monosit akan mengalami aktivasi dan berdiferensiasi menjadi
Makrofag jaringan yang mature setelah meninggalkan pembuluh darah,
diikuti oleh perubahan ekspresi gen, yang dipengaruhi oleh berbagai
mediator yang ditemukan pada lingkungan mikro disekitar luka yang
menyebabkan sel Makrofag mengalami perubahan sifat sesuai dengan
kebutuhan di lokasi luka. Makrofag berperan sebagai sel penyaji antigen
dan Fagosit selama proses penyembuhan luka, juga diduga memiliki peran
dalam proses penyembuhan melalui sintesis berbagai macam faktor
pertumbuhan yang penting seperti TGF-α, TGF-β, bFGF, PDGF dan
VEGF yang akan meningkatkan proliferasi sel dan sintesis matrik
ekstraseluler oleh sel kulit (Rajan dan Murray, 2008).
1.2.3 Sel Mast
12
Sel
Mast
umumnya
dikenal sebagai
sel-sel
"alergi"
yang
menyebabkan gejala dini dari segala jenis alergi dan biasanya didapatkan
pada lokasi di mana jaringan inang berkontak dengan antigen eksternal,
alergen, racun dan mikroba, misalnya lapisan atas dermis, saluran
pernapasan dan mukosa usus. Peran fisiologis sel Mast masih belum
sepenuhnya bisa dijelaskan, bukti yang diperoleh dari model tikus
menunjukkan bahwa sel-sel Mast pada dasarnya terlibat dalam melindungi
kulit dari infeksi bakteri dan parasit yang berat, selain itu, sel-sel Mast
mengatur penyembuhan luka kulit setelah trauma (Harvima dan Nilsson,
2011).
Sitokin yang dihasilkan sel Mast akan meningkatkan produksi
Sitokin proinflamasi oleh sel resident . Pelepasan vasoactive amine
merangsang permeabilitas pembuluh darah, memacu masuknya Netrofil,
Makrofag, dan sel Mast tambahan dalam jumlah besar ke dalam jaringan,
konsekuensinya aktivasi dan degranulasi sel Mast resident meningkat dan
memperpanjang respon inflamasi. Sel Mast sangat menonjol di jaringan
parut, dan sel Mast yang teraktivasi akan berdiam di jaringan parut hingga
setahun setelah terjadi perlukaan. Aktivasi sel Mast dapat mempengaruhi
remodelling akibat inflamasi berlebih dan produksi Sitokin memacu formasi
jaringan parut. Penyembuhan tanpa disertai jaringan parut mukosa mulut
pada babi Duroc merah, sebagai model utama jaringan parut hipertropi,
memiliki jumlah sel Mast yang lebih rendah dibandingkan luka pada kulit
(Chen Lin et al., 2014)
Sel Mast dalam jaringan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam
MCTC, MCT, dan MCc berdasarkan kandungan proteinasenya. Sel MCTC
mengandung Triptase, Chymase, karboksipeptidase dan katepsin G-seperti
proteinase, sel MCT hanya berisi Triptase dan sel MCc menunjukkan
Chymase dan karboksipeptidase, tapi tidak mengandung Triptase. Semua
jenis sel Mast mengandung Histamin. Sebagian besar sel Mast pada kulit
manusia bertipe MCTC, sedangkan sel-sel MCT mendominasi di paru-paru
dan mukosa usus. Hal ini menunjukkan bahwa semua jenis enzim tipe "C",
13
seperti Chymase, Karboksipeptidase dan cathepsin G-like proteinase,
memiliki fungsi sepsifik di kulit setelah dilepaskan dari sel Mast melalui
proses degradasi protein dan peptida yang bervariasi (Eming, et al. 2007;
Wulff dan Wilgus, 2013).
Dalam model tradisional, secara sederhana sel Mast diaktifkan untuk
mengalami degranulasi dan melepaskan mediator melalui proses cross
linking antara alergen dengan IgE dan reseptor FcεRI-nya pada membran
sel.
Namun,
kini
diketahui
bahwa
Sel
Mast
kulit
juga
dapat
mengekspresikan reseptor FcγRI- dan FcγRIIa dan dengan demikian dapat
diaktifkan oleh mekanisme yang dependen terhadap IgG. Peptida Endogen
dan protein tertentu dapat mengaktifkan sel-sel Mast untuk melepas
mediator, antara lain C3a dan C5a, neuropeptida termasuk substansi P dan
peptida vasoaktif intestinal, faktor sel induk, TNF, Triptase, cathelicidin LL37, α-melanosit stimulating hormone dan corticotrophin-releasing hormone
(Harvima dan Nilsson, 2011; Rajan dan Murray, 2008).
Telah diketahui bahwa sel-sel Mast tidak hanya bisa diaktifkan untuk
rilis mediator dengan mekanisme sederhana yaitu dalam keadaan istirahat
atau degranulasi anafilaksis yang cepat dan luas, namun juga melalui proses
degranulasi lambat dan parsial sedikit demi sedikit, selain itu mekanisme
sekresi lainnya juga telah dijelaskan, seperti sekresi exosome, dan sekresi
mediator selektif yang independen terhadap. Sebagai contoh, peningkatan
konsentrasi Histamin interstitial dalam plak psoriasis menunjukkan aktivitas
sel Mast dan degranulasi yang tinggi dan dalam lesi peradangan kronis
tanpa disertai proses anafilaksis dan gambaran urtikaria (Eming et. al. 2007;
Harvima dan Nilsson, 2011).
Meskipun sel Mast penting dalam timbulnya alergi tipe langsung dan
terlibat dalam reaksi fisiologis kulit terhadap trauma dan infeksi, mereka
juga
dapat
mempengaruhi
sistem
kekebalan
tubuh,
meningkatkan
peradangan atau bahkan menekannya. Mediator pre-formed disimpan dalam
granul sekretori termasuk berbagai jenis protease, Histamin, proteoglikan
14
heparin, kondroitin sulfat E, acidic hydrolase, berbagai Sitokin dan faktor
pertumbuhan (Wulff dan Wilgus, 2013).
Sel Mast resident umumnya mengalami degranulasi setelah
terjadinya luka, sehingga jarang ditemukan pada awal cedera, jumlahnya
mulai kembali normal dan meningkat setelah 48 jam setelah cedera.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sel Mast berperan dalam proses
migrasi Netrofil, namun tidak berpengaruh pada sel Makrofag dan limfositT. Penelitian lain menunjukkan bahwa defisiensi sel Mast tidak berpengaruh
pada epitelialisasi, sintesa kolagen dan angiogenesis, walaupun masih ada
kontroversi terkait temuan ini (Eming et. al. 2007; Sabol ,2012).
Selain Histamin, protein utama dalam butiran sel Mast, adalah βtryptase, yang merupakan suatu serin proteinase yang menyerupai tripsin,
yang memiliki struktur cincin tetramerik. Berdasarkan struktur ini, βtryptase tahan terhadap sebagian besar inhibitor protease endogen, dan
untuk menstabilkan enzim ini diperlukan heparin. Dalam kulit yang
meradang, Triptase secara histokimia berperan sebagai katalis aktif. Peran
β-tryptase dalam patofisiologi penyembuhan luka masih belum sepenuhnya
jelas. Namun, ada beberapa temuan eksperimental yang menunjukkan
perannya dalam aktivasi dan perekrutan jenis sel yang berbeda, termasuk
sel-sel endotel, sel-sel mononuklear, sel T dan Netrofil di darah perifer.
Pada hewan coba, suntikan Triptase menginduksi akumulasi Netrofil,
Eosinofil dan sel-sel lain dari sistem kekebalan tubuh pada kulit marmut.
Triptase
mungkin
meningkatkan
peradangan
neurogenik
dengan
mengaktifkan PAR-2 pada saraf yang menyebabkan pelepasan substansi P,
neuropeptida dan peptida yang terkait gen-kalsitonin (Harvima dan Nilsson,
2011).
Triptase dapat mengaktifkan keratinosit secara langsung melalui
aktivasi
PAR-2
pada
permukaan
mereka.
Triptase
juga
mampu
mengaktifkan enzim metaloprotenase dan pro-urokinase, atau dapat
berfungsi sebagai gelatinase. Dengan demikian, Triptase dapat membuat
ruang untuk sel T dan Netrofil dalam matrik ekstraseluler dan membran
15
basalis yang memungkinkan migrasi ke dalam epidermis, namun Triptase
mungkin juga memiliki fungsi penghambatan, karena dapat menurunkan
kemokin, neuropeptida dan cathelicidin LL-37 (Eming et. al. 2007; Wulff
dan Wilgus, 2013).
Tabel 2 Fungsi stimulasi dan inhibisi dari enzim Triptase
(Harvima dan Nilsson, 2011)
Stimulasi
Angiogenesis, MCP-1 dan IL-8 pada sel
Inhibisi
Pembelahan eotaxin dan RANTES
endotel
Aktivasi sel MN dan PMN di darah tepi
Pembelahan dari neuropeptida VIP
untuk produksi Sitokin
dan CGRP
Aktivasi saraf dan keratinosit melalui
Pembelahan cathelicidin LL-37
reseptor PAR-2
Aktivasi MMP-3 & 9, dan pro urokinase
α-chymase adalah suatu chymotryptic serin proteinase yang
disimpan dalam jumlah tinggi dalam butiran sekret sel Mast. Seperti
Triptase, Chymase juga berikatan kuat dengan heparin, tapi kompleks
proteoglikan chymase-heparin berukuran lebih besar dan terletak di sub
regional yang berbeda dari granul dari kompleks proteoglikan Triptaseheparin. Sehingga, Triptase dapat menyebar melalui matrik ekstraselular,
sedangkan Chymase cenderung tetap di lokasi aktivasi. Berbeda dengan
Triptase, Chymase bisa teraktivasi walaupun tidak ada heparin. Aktivitas
Chymase diatur oleh inhibitor protease plasma α1-PI dan α1-AC, yang juga
mengalami peningkatan kadar di dalam sel Mast pada kulit yang meradang
(Nauta et al., 2013).
Chymase diduga berperan dalam perekrutan sel inflamasi, dari
beberapa eksperimen ditunjukkan injeksi Chymase manusia ke dalam kulit
marmut akan merangsang akumulasi Netrofil dan Eosinofil, dan
merangsang Monosit, Netrofil, Limfosit dan sel-sel Eosinofilik in vitro.
16
Chymase dapat mempromosikan peradangan secara tidak langsung dengan
mengaktifkan pro-IL-1β menjadi IL-1β, dan pro-IL-18 menjadi IL-18, dan
menghasilkan 31-amino acid endothelin-1, suatu kemoatraktan kuat untuk
Netrofil dan Monosit. Namun, Chymase juga dapat mengatur inflamasi
dengan mendegradasi IL-6 dan IL-13, dan sampai batas tertentu IL-5 dan
TNF-α. Chymase dapat mempengaruhi epidermis dan menginduksi
pembentukan bullae dalam beberapa kondisi, karena melepaskan Keratinosit
dari lapisan substratum dan mendegradasi Fibronektin (Wulff dan Wilgus,
2013).
1.2.4 Sel - Limfosit T
Pada fase remodelling, saat penutupan luka telah terjadi, dan infeksi
telah teratasi, sel T merupakan salah satu jenis leukosit yang paling banyak
ditemukan pada kulit. Kemokin yang berperan terhadap kemotaksis dan
fungsi dari sel ini antara lain MCP-1 yang ditemukan pada hari ke 4 setelah
cedera, dipicu oleh IFN-γ-inducible protein-10 dan monokin yang diinduksiIFN-γ. Mediator-mediator ini terutama diproduksi oleh Makrofag.
Keberadaan Sitokin ini menunjukkan pergeseran jenis Sitokin dari proinflamasi ke anti inflamasi. Pada tikus coba dengan defisiensi IFN-γ, jumlah
Netrofil, Makrofag dan sel-T berkurang secara signifikan pada lokasi luka,
hal ini mungkin berkaitan dengan berkurangnya aktivitas endothel, hal ini
mendukung dugaan bahwa sel –T berperan pada proses remodelling. Ada
dua subset dari Sel-T didaerah luka, yaitu Th1 dan Th2,Sel Th1
menghasilkan IFN-γ, IL-2 dan TNFα, Th2 menghasilkan sel IL-4,-5, dan 10. Sel T juga berinteraksi dengan keratinosit, Fibroblas, Platelet dan
Makrofag yang mengekspresikan CD-40, yang akan mengubah ekspresi dari
mediator pro inflamasi yang dihasilkan oleh sel-sel tersebut dan efeknya
terhadap penyembuhan luka. Temuan terakhir adalah jenis baru dari limfosit
T yang disebut Limfosit T-γδ yang merupakan suatu DETC, terletak
spesifik di lapisan epidermis saja, sel ini berfungsi untuk mendeteksi antigen
yang dihasilkan oleh keratinosit yang mengalami kerusakan pada epidermis.
Sel DETC menghasilkan berbagai macam faktor pertumbuhan seperti FGF-
17
7 dan 10, dan juga IGF-1, sehingga mempengaruhi proliferasi dan
diferensiasi dari keratinosit. Disamping itu sel ini juga mempengaruhi
deposit Hyaluronan pada matrik ekstraseluler yang diperantarai oleh
keratinosit, dan infiltrasi macrofag kedalam luka. (Eming et. al. 2007;
Harvima dan Nilsson, 2011; Sabol ,2004).
2.
Pengaruh inflamasi terhadap penyembuhan luka
2.1. Mekanisme resolusi peradangan pada luka
Inflamasi merupakan bagian dari proses penyembuhan luka, namun untuk
agar bisa berlangsung sempurna, perlu adanya resolusi peradangan pada saat yang
tepat, sampai saat ini masih banyak hal yang perlu dipelajari mengenai hal ini.
Mekanisme resolusi inflamasi, bisa terjadi karena downregulation dari berbagai
kemokin pro inflamasi oleh Sitokin anti inflamasi seperti IL-10, atau TGF-β1,
atau upregulation dari molekul anti inflamasi seperti antagonis reseptor IL-1 atau
reseptor TNF. MMP juga dapat mengurangi inflamasi melalui pembelahan
kemokin, yang mana akan bersifat sebagai antagonis. Beberapa mediator
apoptosis seperti CD44 dan kaspase, faktor transkripsi seperti Nrf-2, yang
merupakan target dari keratinocyte growth factor-1 juga berperan terhadap proses
resolusi inflamasi (Eming et. al. 2007).
2.2. Inflamasi dan kualitas penyembuhan luka
Fibrosis adalah suatu proses fisiologis dan tidak dapat dihindari pada suatu
proses penyembuhan luka pada mammalia, dan bukti-bukti yang ada menyokong
dugaan bahwa inflamasi berperan dalam menentukan derajat pembentukan
jaringan parut. Evolusi pada mammalia menyebabkan pada kondisi luka akan
terjadi proses keradangan yang terjadi secara cepat, hal ini dimaksudkan agar
tetap bisa terjadi penyembuhan luka tanpa infeksi, walaupun pada kondisi luka
yang kotor. Sehingga bisa dikatakan bahwa jaringan parut adalah suatu harga
yang harus dibayar, untuk mendapatkan penyembuhan luka yang cepat tersebut
(Harvima dan Nilsson,2011; Wulff dan Wilgus, 2013).
Ada perbedaan dalam pembentukan jaringan parut, pada individu dewasa
cenderung mudah terbentuk jaringan parut, sedangkan pada embrio umumnya
penyembuhan luka bisa terjadi tanpa pembentukan jaringan parut, dan meskipun
18
ada banyak faktor yang diduga menyebabkan perbedaan tersebut, namun bukti
terakhir menunjukkan bahwa banyak yang tidak berhubungan dengan hal tersebut,
seperti adanya kondisi lingkungan yang steril dalam uterus, adanya cairan amnion,
dan hal-hal lain. Satu hal utama yang membedakan proses pembentukan jaringan
parut diantara keduanya adalah derajat inflamasi yang ditemukan didalam luka,
dimana pada fetus yang sistem imunitasnya belum berkembang, sel-sel radang
yang ditemukan dalam luka, jauh lebih rendah baik dalam jumlah, maupun tingkat
aktivitasnya. Bahkan Makrofag, umumnya baru mengalami rekrutmen, setelah
terjadinya penutupan luka, hal ini berbeda dengan proses normal yang ditemukan
pada individu dewasa(Diegelman, 2004; Eming et. al. 2007).
Kondisi yang mirip ditemukan pada beberapa bagian tubuh individu
dewasa, seperti mukosa mulut, yang pada umumnya tidak bisa memicu reaksi
inflamasi seperti pada kulit, sehingga memiliki kadar Netrofil dan Makrofag yang
lebih rendah, sehingga bisa sembuh dengan derajat scarring yang lebih minimal.
(Rajan dan Murray, 2008).
Gambar 3
Mediator dan mekanisme pada tahap inflamasi dan resolusi inflamasi
penyembuhan luka
(Eming et. al. 2007)
19
3.
Peran sel Mast dalam penyembuhan luka
Peran sel Mast dalam proses penyembuhan luka masih kontradiktif sampai saat
ini, beberapa penilitian, seperti yang dilakukan oleh Nauta dan kawan-kawan di tahun
2013, menunjukkan bahwa sel Mast tidak dibutuhkan pada penyembuhan luka eksisi
pada tikus coba. Hal ini bertentangan dengan penilitian lain, seperti yang dilakukan oleh
Weller dan kawan-kawan di tahun 2006, yang menemukan bahwa sel Mast diperlukan
untuk penyembuhan luka pada tikus. Ada beberapa hipotesis mengenai peran sel Mast
dalam penyembuhan luka, yaitu: sel Mast berperan dalam meningkatkan respon
inflamasi akut, sel Mast menstimulasi proses proliferasi, dan sel Mast meningkatkan
pembentukan jaringan parut (Nauta et al., 2013; Weller et al., 2006).
3.1
Sel Mast berperan dalam meningkatkan respon inflamasi akut
Sebagai sel yang banyak didapatkan pada dermis, sel Mast sangat mungkin
menjadi sel pengendali inflamasi akut. Walaupun proses pasti mengenai cara
aktifasi sel Mast pada kulit yang terluka belum seluruhnya diketahui, beberapa hal
yang diduga bisa mencetuskannya antara lain, patogen, produk dari patogen, dan
berbagai
Sitokin,
disamping
stimulasi
mekanik
dan
perubah
kondisi
mekanik.Seperti telah diketahui, bahwa aktivasi dari sel Mast akan menyebabkan
dilepaskannya berbagai macam mediator pro inflamasi yang menimbulkan tanda
dari proses inflamasi, yaitu vasodilatasi, peningkatan permeabilitas, dan
aktifasi/rekrutmen dari sel imunitas dalam darah tepi (Wulff dan Wilgus, 2013).
3.2
Sel Mast menstimulasi proses proliferasi
Sel Mast yang teraktivasi juga diketahui memproduksi Sitokin dan faktorfaktor pertumbuhan yang bisa mendorong terjadinya proliferasi dan migrasi dari
beberapa jenis sel kulit, seperti stimulasi keratinosit, membantu restorasi barrier
epidermis saat reepiteliasasi, aktivasi Fibroblas dan neovaskularisasi. Yang pada
akhirnya akan meningkatkan fase proliferasi pada penyembuhan. Dalam hal ini,
penelitian yang dilaporkan masih banyak yang bertentangan satu dengan yang
lain, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencegahan degranulasi dari sel
Mast tidak mempengaruhi penutupan luka, namun penelitian lain menunjukkan
bahwa terjadi penundaan penutupan luka. Hal yang sama juga ditemukan dalam
20
hubungan antara degranulasi sel Mast dan proses angiogenesis (Harvima dan
Nilsson, 2011, Wulff dan Wilgus, 2013).
3.3
Sel Mast meningkatkan pembentukan jaringan parut.
Eksperimen telah menunjukkan bahwa sel Mast mempengaruhi aktivitas dari
Fibroblas yang berperan dalam deposisi kolagen dan remodelling saat fase
proliferasi dan remodelling penyembuhan luka. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa jumlah sel Mast atau sel Mast teraktivasi yang lebih rendah pada jaringan
yang luka berkaitan erat dengan derajat jaringan parut yang lebih minimal. Contoh
lain adalah pada mukosa mulut, bisa sembuh tanpa jaringan parut, dan dari
penelitian histopatologi didapatkan jumlah sel Mast yang jauh lebih sedikit
dibandingkan pada kulit. Demikian juga dengan sel kulit fetus, yang memiliki
jumlah sel Mast lebih sedikit dan tidak mengalami degranulasi setelah cedera,
umumnya akan sembuh tanpa jaringan parut. Beberapa penelitian juga
menunjukkan adanya pengaruh dari sel Mast terhadap maturasi dan remodelling
kolagen yang berperan terhadap timbulnya jaringan parut(Nauta et al., 2013;
Wulff et al., 2012).
Ada beberapa mekanisme yang diduga mendasari pengaruh sel Mast terhadap
timbulnya jaringan parut/fibrosis. Sel Mast yang teraktivasi bisa menghasilkan
beberapa mediator profibrosis seperti TGF-β dan PDGF, dan beberapa mediator
lain. Histamin juga dapat memicu terjadinya migrasi, proliferasi Fibroblas, dan
diferensiasinya menjadi Myofibroblast yang kontraktil. Triptase juga ditemukan
dalam jumlah tinggi didalam jaringan parut manusia, dan enzim ini diketahui
meningkatkan
proliferasi
dan
kemotaksis
Fibroblas,
serta
menstimulasi
pembentukan kolagen, differensiasi Fibroblas menjadi myofibroblast dan
kontraksinya. Chymase diketahui bisa meningkatkan pembelahan prokolagen type
I dan pembentukan fibril kolagen (Harvima dan Nilsson, 2011; Weller et al.,
2006).
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa sel Mast dan fibroblas dapat
membentuk gap junction yang heteroseluler, dan memungkinkan komunikasi
pintas sel, yang berefek terhadap stimulasi proliferasi, differensiasi menjadi
21
Myofibroblas dan kontraksi, walaupun pengaruh temuan ini pada kondisi klinis
masih belum diketahui pasti (Wulff et al., 2012).
4.
Ketotifen
Ketotifen merupakan derivat dari benzocycloheptathiophene yang mempunyai
efek anti histamin dan anti anafilaktik. Hal itu ditunjukkan dengan kemampuan
Ketotifen dalam mengeblok pelepasan mediator dari sel Mast peritonium tikus secara in
vitro. Fungsi Ketotifen antara lain mencegah terjadinya pelepasan Histamin dan
Leukotrien dari Basofil dan jaringan paru, merupakan antagonis Histamin pada reseptor
H1, mampu menghambat ambilan kalsium, dapat memblokade reaksi anafilaktik kulit
pasif, dan untuk mencegah asma baik yang disebabkan oleh obat atau yang disebabkan
oleh alergen. Beberapa penelitian tentang Ketotifen menunjukkan efek yang yang
bermanfaat dalam terapi asma (Sayeed, 2011).
Ketotifen fumarat merupakan obat antihistamin dan antialergi yang telah
diketahui menghambat degranulasi sel Mast melalui mekanisme calcium-dependent,
dan memblok Histamin secara non kompetitif pada reseptor H1. Ketotifen telah
disetujui oleh FDA sebagai terapi tambahan pada dewasa dan anak diatas 15 tahun
dengan asma, dan baru-baru ini FDA mengijinkan Ketotifen dipakai sebagai terapi
alergi pada mata (Monument et al., 2012).
4.1 Struktur kimia
Ketotifen memiliki nama bangun yaitu 4-(1-metilpiperidin-ylidene)- 4,9-dihidro10H-benzo [4,5] siklopenta [1,2-b] tiofen-10-satu hydrogen (E)-butadiana. Formula
molekul dari Ketotifen adalah C23H23NO5S, dan memiliki berat molekul 425,49742
(Serna, 2006).
22
Gambar 4. Rumus molekul Ketotifen (Sumber : Dewoto, 2009)
4.2 Mekanisme kerja
Infiltrasi dan degranulasi sel Mast memiliki peran dalam proses inflamasi.
Degranulasi sel Mast akan melepaskan berbagai macam mediator inflamasi seperti
Sitokin, endothelin, growth factor dan enzim proteolitik. Sehubungan dengan antagonis
resptor Histamin, beberapa efeknya kemungkinan berhubungan dengan inhibisi
terhadap pelepasan sel Mast dan derivat Netrofil mediator inflamasi. Pada banyak
penelitian dan kondisi klinis, Ketotifen tercatat mampu mengurangi dreganulasi sel
Mast dan mengurangi pelepasan Histamin, protease sel Mast, myeloperoxidase,
leukotriens, PAF dan bermacam-macam Prostaglandin. Ketotifen juga menghambat
agregasi polimorfonuklear dan migrasi serta mengurangi respon inflamasi. Hal ini
secara langsung akan mengurangi fungsi Eosinofil dan viabilitasnya (Khurana et al.,
2011).
Ketotifen melakukan blokade secara non kompetitif terhadap ikatan Histamin 1
dengan reseptornya dan menghambat degranulasi sel Mast yang diperantarai oleh
kalsium. Ketotifen merupakan agen stabilisator sel Mast yang mencegah degranulasi sel
Mast dengan cara mencegah influk transmembran dari ion kalsium. Ketotifen dapat
memblokade pelepasan mediator oleh sel Mast tikus secara in vitro. (Khurana et al.,
2011). Ketotifen juga memblokade penurunan konsentrasi cyclyc-AMP (c-AMP) yang
diperlukan pada saat akhir degranulasi vesikel (Monument et al., 2010).
Ketotifen menghambat produksi Sitokin dari sel TH2. NO adalah modulator sel
Mast yang menginduksi aksi pro-inflamasi. Sel Mast juga berperan pada kerusakan
ginjal melalui aktivasi lokal sistem renin-angitensin dalam nefrophati IgA. Sekresi
Sitokin dari sel Mast dan sel Th2 seperti TGF-B yang memfasilitasi produksi IgA.
Disini ada peningkatan IL-4,5,6 yang merupakan Sitokin dari sel TH2 dan sel Mast.
Produksi IgA intestinal yang berlebihan diketahui sebagai salah satu penyebab
nefrophati IgA. Ketotifen mengaktivasi distribusi NOS di lapisan luar korteks dan
glomerulus dan menyebabkan penurunan resistensi pembukuh darah renal (Young-Sun
et al., 2009).
4.3 Farmakokinetik
23
Ketotifen diabsorbsi dengan baik setelah pemberian secara oral, mencapai kadar
puncak dalam plasma dalam 2-4 jam setelah pemberian. Namun demikian, belum ada
informasi yang cukup mengenai absorbsi dari Ketotifen sediaan tablet lepas lambat.
Karena adanya efek first-pass metabolism, bioavailabilitas obat ini hanya 50%. Kadar
puncak dalam plasma setelah dosis oral multipel sebesar 1mg, 2 kali sehari adalah 1.92
mg/L pada dewasa dan 3.25 mg/L pada anak-anak, dengan daerah dibawah kurva
konsentrasi-waktu 16.98 mg/L dan 20,72 mg/L. Obat ini dilaporkan 75% terikat protein
(Grant et al., 1990).
Eliminasi waktu paruh dari Ketotifen yaitu 18,3 ± 6 ,7 jam dan memiliki durasi
sekitar 12 jam. Ketotifen memiliki volume distribusi sebesar 56 L/Kg dan 75%
berikatan dengan protein plasma. Ketotifen dimetabolisme di hepar dan memiliki rute
eliminasi utama di renal, sehingga butuh penyesuaian dosis pada kasus insufisiensi renal
dan hepar. Dosis normal untuk orang dewasa yaitu 1-2 mg/12 jam. Dosis anak-anak
0,05 mg/kg/hari (Cuvillo et al., 2006; Criado et al., 2010).
Ketotifen dimetabolisme menjadi Ketotifen-N-glukoronide yang inaktif dan norKetotifen yang aktif secara farmakologi, dan jumlah metabolit-metabolit ini dalam urine
adalah sebanyak 50% dan 10% dari dosis, hanya sebanyak 1% yang dikeluarkan sebagai
senyawa asal. Pembersihan obat ini dari plasma bersifat bifasik, dengan waktu paruh
distribusi 3 jam dan waktu paruh eliminasi 22 jam pada orang dewasa. Pola eliminasi
pada anak-anak sama dengan pada dewasa. Tidak tersedia data mengenai efek
farmakokinetik obat ini pada usia lanjut atau pada penyakit tertentu (Grant et al., 1990).
4.4 Efek samping
Efek samping Ketotifen sama seperti efek samping AH1. Ketotifen pernah
dinyatakan mampu meningkatkan nafsu makan dan menambah berat badan. Kombinasi
Ketotifen dengan antidiabetik oral telah dilaporkan dapat menurunkan jumlah
Trombosit secara reversibel, karena itu kombinasi kedua obat tersebut harus
dihindarkan. Ketotifen harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang alergi terhadap
obat ini (Dewoto, 2009).
4.5 Ketotifen sebagai stabilisator sel Mast
Ketotifen juga diketahui memiliki efek sebagai Mast cell stabilizer. Zat yang
mencegah keluarnya mediator dari sel-sel Mast disebut Mast cell stabilizer. Target
24
utama di dalam sel yang dihambat saat aktivasi sel Mast adalah PLCγ1 yang berfungsi
sebagai katalisator pada pemecahan membran fosfolipid PIP2 untuk menghasilkan
second messanger inositol-1,4,5-triphosphate (IP3) dan DAG. Molekul-molekul ini
bertanggung jawab sebagai signal yang mengaktivasi isoform PKC dan pelepasan
Kalsium (Ca2 +) yang berasal dari simpanan di intraseluler, hal ini menyebabkan
kenaikan sementara Ca2 + bebas di intraseluler yang kemudian memicu masuknya
kalsium dari ekstraselular dan diikuti oleh degranulasi dan pelepasan mediator kimia
dari sel Mast. Ketotifen menghambat pelepasan mediator sel Mast dengan kombinasi 2
mekanisme, yaitu dengan menghalangi masuknya kalsium ke intraseluler dari ekstraseluler dan dengan menghalangi penurunan konsentrasi siklik AMP-(cAMP) yang
dibutuhkan untuk proses akhir degranulasi vesikel. Kompleksitas dari proses signaling
sel Mast hanya sebagian dipahami dan membutuhkan penelitian lebih lanjut (Finn dan
Walsh, 2013; Monument et al., 2010).
B. Penelitian yang relevan
Hiperplasia sel Mast sering dijumpai pada jaringan fibrosis. Sel Mast juga diketahui
sebagai penghasil beberapa mediator profibrosis, berdasarkan hal tersebut, dipikirkan bahwa
dengan menghambat hiperplasi sel Mast dan pelepasan mediator sel Mast pasca cedera otot,
akan mengurangi derajat kontraktur dan akan mengurangi hiperplasia myofibroblast pada
selaput sendi. Penggunaan Ketotifen sebagai stabilisator sel Mast dalam penelitian ini
terbukti efektif dalam mengurangi biomekanika dan manifestasi dari fibrosis selaput sendi
pada binatang percobaan kelinci yang mengalami kontraktur pada sendi pasca trauma
(Monument et al., 2010).
Weller dan kawan-kawan (2006), meneliti peran sel Mast dalam penyembuhan luka
tikus coba, pada percobaan ini mereka menggunakan tikus dengan MC-deficient Kit W / Kit
WƲ
, tikus normal dengan Kit +/+, dan tikus dengan MC-reconstituted Kit
W
/ Kit
WƲ
.
Hasilnya mereka menemukan bahwa sel Mast dan pelepasan Histamin dibutuhkan untuk
untuk penyembuhan luka kulit tikus secara normal, hal ini kontradiktif dengan penelitian
oleh Nauta dan kawan-kawan (2013), menggunakan tikus C57BL/6-Kit(W-sh/W-sh),
WBB6F1-Kit(W/W-v), and Cpa3-Cre; Mcl-1(fl/fl) dan tikus wild type sebagai kontrol, pada
penelitian ini dilakukan eksisi dan kemudian dilakukan penjahitan. Dari percobaan ini,
25
peneliti berkesimpulan bahwa sel Mast tidak mempengaruhi re-epitelialisasi, ukuran
jaringan parut yang terbentuk, ataupun kandungan kolagen dalam jaringan parut,
dibandingkan dengan kontrol (Weller et al., 2009).
Penelitian oleh Wulff dan kawan-kawan (2012), menggunakan fetus tikus berusia 15
hari (E15) dibandingkan dengan fetus usia 18 hari (E18), dan fetus E18 dengan defisiensi sel
Mast (Kitw/w-v) dibandingkan dengan fetus normal Kit+/+. Mereka menemukan bahwa pada
E15, dimana jumlah sel Mast kulit lebih sedikit dan tidak mengalami degranulasi saat terjadi
perlukaan, derajat jaringan parut yang terbentuk lebih ringan dibandingkan pada fetus E18,
temuan yang sama didapatkan pada fetus dengan defisiensi sel Mast, didapatkan bahwa
derajat jaringan parut yang terbentuk lebih ringan dibandingkan dengan fetus normal, dari
kedua temuan ini, mereka berkesimpulan bahwa sel Mast berperan dalam pembentukan
jaringan parut pada penyembuhan luka fetus (Wulff et al., 2012).
26
C. Kerangka Pikir
LUKA INCISI
FASE INFLAMASI
KETOTIFEN
SEL MAST
PLCγ1
MAKROFAG
DEGRANULASI
NETROFIL
DEGRANULASI
MEDIATOR PRO INFLAMASI
MEDIATOR PRO INFLAMASI
INFILTRASI SEL MAST
INFILTRASI SEL MAST
INFLAMASI
INFLAMASI
PENYEMBUHAN
PENYEMBUHAN
LUAS LUKA
LUAS LUKA
Gambar 5. Kerangka Pikir
27
Keterangan gambar 5 :
: Ketotifen oral dosis 0.3mg/kg per 12 jam sebagai stabilisator membran sel Mast mempengaruhi PLCγ1
mencegah Ca++ keluar dari sel
: Infiltrasi sel Mast di sekitar luka incisi dihitung dengan cara histopatologi
: Luas luka diukur setelah hari ke-6 pasca incisi
/
: Perubahan yang terjadi (naik/ turun)
Sesaat setelah dilakukan incisi, fase inflamasi yang melibatkan Netrofil, Makrofag dan sel Mast akan dimulai. Pada
proses normal sel Mast akan ter-degranulasi mengeluarkan mediator-mediator pro inflamasi, sehingga waktu
terjadinya resolusi fase inflamasi akan memanjang, penyembuhan luka lama, dan luas luka juga menjadi lebih luas.
Pada pemberian Ketotifen, degranulasi sel Mast akan menurun sehingga mediator pro inflamasi juga akan menurun,
infiltrasi sel Mast berkurang, inflamasi berkurang,, luas luka juga berkurang.
28
C. Hipotesis
Terdapat pengaruh Ketotifen terhadap infiltrasi sel Mast dan luas luka incisi tikus
Wistar yaitu infiltrasi sel Mast berkurang dan luas luka menjadi lebih sempit.
Download