Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Iklim dan Cuaca Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda pengertian, khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca merupakan bentuk awal yang dihubungkan dengan penafsiran dan pengertian akan kondisi fisik udara sesaat pada suatu lokasi dan suatu waktu, sedangkan iklim merupakan kondisi lanjutan dan merupakan kumpulan dari kondisi cuaca yang kemudian disusun dan dihitung dalam bentuk rata-rata kondisi cuaca dalam kurun waktu tertentu (Winarso, 2003). Menurut Rafi’i (1995) Ilmu cuaca atau meteorologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji peristiwaperistiwa cuaca dalam jangka waktu dan ruang terbatas, sedangkan ilmu iklim atau klimatologi adalah ilmu pengetahuan yang juga mengkaji tentang gejala-gejala cuaca tetapi sifat-sifat dan gejalagejala tersebut mempunyai sifat umum dalam jangka waktu dan daerah yang luas di atmosfer permukaan bumi. 2.2 Klasifikasi Iklim Iklim adalah suatu kejadian cuaca selama kurun waktu yang panjang, yang secara statistik cukup dapat dipakai untuk menunjukkan nilai statistik yang berbeda dengan keadaan pada setiap saatnya. Perbedaan iklim di bumi sangat dipengaruhi oleh letak bumi terhadap matahari, sehingga ada beberapa klasifikasi iklim di bumi yang didasari atas letak geografis bumi. Secara luas 6 dapat diketahui beberapa iklim diantaranya iklim tropis, iklim subtropis, iklim sedang dan iklim kutub. Anonimus(2) (2012). Unsur-unsur iklim yang menunjukkan pola keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim. Unsur iklim yang sering dipakai adalah curah hujan. Klasifikasi iklim umumnya sangat penggunaannya, spesifik misalnya yang untuk didasarkan pertanian, atas tujuan perkebunan, penerbangan, atau kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktifitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002). Perubahan iklim global menjadi informasi penting yang terus bergulir dalam beberapa tahun terakhir ini. Perubahan iklim global telah dan akan terus terjadi sejalan dengan peningkatan aktifitas manusia (Susandi, 2002). Pertanian merupakan salah satu bidang yang sangat dipengaruhi oleh iklim, Kehidupan bertani sangat ditentukan oleh kondisi iklim suatu daerah akan tetapi iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto (2003), yaitu dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola ataupun siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan, maupun siklus beberapa tahunan. Seiring dengan terjadinya perubahan iklim dan bertambahnya pospos penakar curah hujan maka kemungkinan terjadinya perubahan tipe - tipe iklim berdasarkan klasifikasi Koppen sangatlah besar. Sedangkan untuk pengambilan keputusan di bidang - bidang pertanian, informasi mengenai iklim suatu daerah sangatlah di butuhkan. Dengan kemajuan teknologi, proses identifikasi iklim wilayah telah dipadu-padankan dengan teknologi informasi sehingga 7 data-data zona iklim dapat ditampilkan dalam bentuk keruangan berupa zona-zona tipe iklim wilayah yang akhirnya mempermudah pembacaan dan penginterpretasian data-data tersebut. Indonesia adalah Negara yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani, oleh sebab itu pengklasifikasian iklim di Indonesia khususnya Jawa Tengah sangat dibutuhkan dalam potensi sumber daya alam dan sering ditekankan pada pemanfaatannya dalan kegiatan budidaya pertanian. Dalam penelitian klasifikasi iklim sebelumnya digunakan penelitian klasifikasi iklim dengan menggunakan klasifikasi oldeman dan menggunakan schmidt-ferguson. klasifikasi Dalam klasifikasi iklim didasarkan pada schmidt-ferguson perbandingan antara bulan kering(BK) dan bulan basah(BB). Ketentuan penetapan bulan basah dan bulan kering mengikuti aturan sebagai berikut: Bulan Kering : bulan dengan curah hujan lebih kecil dari 60mm Bulan Basah : bulan dengan curah hujan lebih besar dari 100mm Bulan Lembab : bulan dengan curah hujan antara 60mm-100mm. Bulan lembab (BL) tidak dimasukkan dalam rumus penentuan tipe curah hujan yang dinyatakan dalam nilai Q, dengan rumus persamaan sebagai berikut: ோ௧ି௧ ௨ Q = ோ௧ି௧ ௨ x 100% (Schmidt, 1951) Rata-rata jumlah bulan basah adalah banyaknya bulan basah dari seluruh data pengamatan dibagi jumlah tahun data pengamatan, berdasarkan besarnya nilai Q selanjutnya ditentukan tipe curah hujan suatu tempat atau daerah dengan menggunakan tabel Q: 8 Tabel 1.1 Klasifikasi Iklim Menurut Schmidt-Ferguson (Schmidt, 1951) Tipe Iklim Keterangan Kriteria A Sangat Basah 0<Q<14,3 B Basah 14,3<Q<33,3 C Agak Basah 33,3<Q<60 D Sedang 60<Q<100 E Agak Kering 100<Q<167 F Kering 167<Q<300 G Sangat Kering 300<Q<700 H Luar Biasa Kering 700<Q Seperti halnya klasifikasi schmidt-ferguson, metode Oldeman(1975) juga memakai unsur curah hujan sebagai dasar klasifikasi iklim. Bulan Kering : curah hujan lebih kecil dari 100mm Bulan Basah : curah hujan lebih besar dari 200mm Bulan Lembab : curah hujan antara 100-200mm. diagram iklim oldeman ditunjukkan pada gambar 1.1 Gambar 1.1 Diagram Oldeman (Oldeman 1975) 9 Dari tinjauan di atas, oldeman membagi 5 daerah agroklimat berdasarkan kebuthan air yaitu: A1 : bulan basah lebih dari 9 bulan berurutan B1 : 7-9 bulan basah berurutan dan satu bulan kering B2 : 7-9 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering C1 : 5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering C2 : 5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering C3 : 5-6 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering D1 : 3-4 bulan basah berurutan dan satu bulan kering D2 : 3-4 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering D3 : 3-4 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering D4 : 3-4 bulan basah berurutan dan lebih dari 6 bulan kering E1 : kurang dari 3 bulan basah berurutan dan kurang dari 2 bulan kering E2 : kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering E3 : kurang dari 3 bulan basah berurutan dan 5-6 bulan kering E4 : kurang dari 3 bulan basah berurutan dan lebih dari 6 bulan kering (Oldeman 1975) Kelemahan dari penelitian schmidt-ferguson dan oldeman adalah dari penelitian tersebut hanya menggunakan data curah hujan dan hanya menitikberatkan penelitian terhadap banyaknya intensitas air, perlu diketahui perbedaan iklim di bumi sangat dipengaruhi oleh letak belahan bumi terhadap matahari, sehingga ada beberapa klasifikasi iklim di bumi yang didasari atas letak geografis bumi dan juga karena letak tersebut mempengaruhi suhu yang ada di belahan bumi satu dengan yang lain berbeda, dengan suhu yang beraneka ragam di belahan bumi didapatkan juga evaporasi yang berbeda dari 10 tiap wilayah, maka dari itu penelitian schmidt-ferguson dan oldeman kurang akurat untuk menentukan iklim dalam suatu wilayah Wladimir Koppen (1923), membuat klasifikasi iklim seluruh dunia berdasarkan suhu dan kelembaban udara. Kedua unsur iklim tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap permukaan bumi dan kehidupan di atasnya. Berdasarkan ketentuan itu Koppen membagi iklim dalam lima daerah iklim pokok. Masing-masing daerah iklim diberi symbol utama A, B, C, D, dan E. Seiring dengan terjadinya perubahan iklim dan bertambahnya pos-pos penakar curah hujan maka kemungkinan terjadinya perubahan tipe - tipe iklim berdasarkan klasifikasi Koppen sangatlah besar. Sedangkan untuk pengambilan keputusan di bidang - bidang pertanian, informasi mengenai iklim suatu daerah sangatlah di butuhkan. Dengan kemajuan teknologi, proses identifikasi iklim wilayah telah dipadupadankan dengan teknologi informasi sehingga data-data zona iklim dapat ditampilkan dalam bentuk keruangan berupa zona-zona tipe iklim wilayah yang akhirnya mempermudah pembacaan dan penginterpretasian data-data tersebut. Dasar klasifikasi ini adalah rata – rata curah hujan dan temperatur baik bulanan maupun tahunan. Tanaman – tanaman asli dilihat sebagai kenampakan yang terbaik dari keadaan iklim yang sesungguhnya, sehingga batas – batas iklim ditentukan dengan batas – batas hidup tanaman. Koppen mengenalkan bahwa daya guna hujan terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman tidak tergantung hanya pada jumlahnya hujan tetapi juga tergantung intensitas suhu yang menyebabkan penguapan air yang cukup besar, baik dari tanah maupun dari tanaman. Metode Koppen dalam usaha menunjukkan intensitas evaporasi maka curah hujan akan 11 digabungkan dengan temperatur. Misalnya jumlah curah hujan yang sama terjadi di daerah iklim panas atau terpusat pada musim panas berarti evaporasi besar. Bertolak belakang pada daerah atau wilayah yang mempunyai iklim sejuk. Koppen menggunkana symbol – symbol tertentu untuk mencirikan tipe iklim. Tiap – tiap tipe iklim terdiri dari kombinasi huruf dan masing – masing huruf mempunyai arti sendiri – sendiri. Koppen membagi permukaan bumi ini menjadi lima golongan iklim. 1. Iklim hujan tropika (Tropical Rainy Climates) (A). (Wladimir Koppen 1923) Iklim ini diberi symbol A. Daerah yang termasuk iklim ini adalah daerah yang mempunyai temperatur bulan terdingin lebih besar daripada 18oC (64oF). iklim ini dibagi menjadi beberapa tipe iklim: a. Tropika basah (Af) Daerah yang termasuk tipe iklim ini di samping memenuhi syarat di atas juga adalah daerah yang memiliki bulan terkering hujan rata – ratanya adalah lebih besar daripada 60 mm. b. Tropika monsoon (Am) Jumlah hujan pada bulan – bulan basah dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan kering. Jadi tipe ini ada pada bulan – bulan yang basah dan bulan – bulan kering. Sehingga pada daerah – daerah yang demikian masih terdapat hutan yang cukup lebat. 12 c. Tropika basah kering (Aw) Jumlah hujan pada bulan – bulan basah tidak dapat mengimbangi kekurangan hujan pada bulan – bulan kering. Sehingga vegetasiynag ada adalah padang rumput dengan pohon – pohon yang jarang. 2. iklim kering (Dry climate) (B). (Wladimir Koppen 1923) Golongan iklim ini diberi symbol B, dan dibagi menjadi dua tipe iklim yaitu: 1. Iklim Steppe (Bs). Daerah setengah kering yang terletak diantara daerah savana dan padang pasir pada lintang kecil. Ciri lainnnya adalah: a. 0,22(t-19,5)<r<(t-19,5), jika hujan terbagi merata sepanjang tahun. b. 0,22(t-7)<r<(0,44(t-7)), jika hujan terutama terjadi atau berkumpul pada musim panas. Dikatakan berkumpul pada musim panas jika 70% jumlah hujan selama satu tahun terjadi pada musim panas. c. 0,22(t-32)<r<(0,44(t-32)), jika hujan berkumpul pada musim dinginm dikatakan berkumpul pada musim dingin jika 70% jumlah hujan selama satu tahun terjadi pada musim dingin. keterangan : r = rata – rata hujan tahunan adalam inci. t = rata – rata suhu tahunan dalam oF. tipe tipe iklim Bs ini fibagi lagi menjadi dua yaitu Bsh dan Bsk. 13 Bsh: rata – rata suhu tahunan lebih besar daripada 64oF (18oC). Bsk: rata – rata suhu tahunan kurang dari 64oF (18oC). 2. Iklim padang pasir (Bw) Ciri – cirinya: a. r<0,22(t-19,5), jika hujan terjadi sepanjang tahun. b. r<0,22(t-7), jika hujan berkumpul pada musim panas. c. r<0,22(t-32), jika hujan berkumpul pada musim dingin. 3. Iklim sedang (Humid Mesothermal climates). (Wladimir Koppen 1923) Untuk golongan iklim ini rata – rata bulan terdingin temperaturnya lebih besar daripada -3oC tetapi lebih kecil daripada 18oC dan rata – rata temperatur bulan terpanas lebih dari 10oC. Golongan iklim ini dibagi menjadi tiga tipe iklim yaitu: a. Iklim sedang dengan musim panas yang kering (Dry-summer Subtropical Climates) (Cs). Cirri tipe ini adalah adanya musim panas yang kering. Musim panas dikatakan kering jika jumlah hujan bulan terkering pada musim panas lebih kecil daripada sepertiga jumlah hujan terbasah dalam musim dingin. ( Bulan terkering hujannya lebih kecil dari 30 mm) b. Iklim sedang dengan musim dingin yang kering (Cw) Ciri tipe iklim ini adalah adanya musim panas yang lembab dan musim dingin yang kering. Musim dingin dikatakan kering jika rata – rata pada musim dingin lebih kecil daripada 14 sepersepuluh jumlah hujan bulan terbasah pada musim panas. c. Iklim sedang yang lembab (Cf) Ciri iklim ini adlah selalu lembab sepanjang tahun. 4. Iklim Dingin (Humid microthermal climates) (D). (Wladimir Koppen 1923) Golongan ikliim ini mempunyai temperatur rata – rata bulan – bulan terdingin kurang dari -3oC (27oF) dan rata – rata bulan – bulan terpanas lebih besarr daripada 10oC (50oF). a. Iklim dingin dengan musim dingin yang kering (Dw) Hujan dalam musim panas tidak begitu lebat dan hujan dalam musim dingin sangat kecil. b. Iklim dingin tanpa periode kering (Df). 5. Iklim Kutub (Polar Climates) (E). (Wladimir Koppen 1923) Ciri – ciri golongan ikklim ini adalah rata – rata temperatur bulan terpanas kurang dari 10oC (50oF). Golongan ini dibagi menjadi dua type iklim yaitu: a. Iklim Tundra (Et) Bulan terpanas rata – rata temperatur lebih besar daripada 0oC (32oF) tetapi lebih kecil daripada 10oC (50oF). Tidak ada hutan, yang ada hanyalah lumut. b. Iklim Es – Salju Abadi (Ef) Temperatur rata – rata bulan terpanas lebih kecil daripada 0oC (32oF). Tipe iklim ini adalah tipe iklim yang dicirikan oleh adanya es dan salju yang bersifat abadi. 15 Disamping dua iklim tersebut ada tipe iklim serupa tetapi tidak terletak di daerah kutub melainkan berada di tempat yang tinggi. Iklim terebut adalah : c. Eth : Tipe iklim ini serupa dengan Et, tetapi iklim ini terdapat pada tempat yang tinggi. d. Efh : Tipe iklim ini serupa dengan Ef, tetapi iklim ini terdapat pada tempat yang tinggi. Dari penggolongan iklim Koppen diatas didapatkan tabel Determinasi untuk mempermudah penggolongan iklim Tabel 2.1Tabel Determinasi Iklim Koppen (Rusmayadi. Gusti, 2012) No. Deskripsi Tipe Pindah nomor 1. “Tree climates” (A,C,D) dibedakan terhadap iklim kutub (E) didasarkan atas suhu rata-rata. 2. a. Apabila t<10⁰C E 8 b. Apabila t>10⁰C A,C,D 2 r < 2t + 14 B 5 r > 2t + 14 A,C,D 3 r < 2t + 28 B 5 r > 2t + 28 A,C,D 3 “Tree climates” (A,C,D) dibedakan terhadap “dry climates” (B) didasarkan pada penyebaran curah hujan terhadap waktu a. Apabila curah hujan merata sepanjang tahun dipergunakan rumus: b. Apabila curah hujan terkonsentrasi pada musim panas, dipergunakan rumus: c. Apabila curah hujan maksimum pada musim winter dipergunakan rumus: 16 3. r<2t B 5 r>2t A,C,D 3 a. Apabila t > 18⁰C A 4 b. Apabila t 18⁰C > t > 3⁰C C 6 c. Apabila < -3⁰C D 7 Masing-masing anggota “tree climates” (A,C,D) satu dengan lainnya dibedakan berdasarkan rata-rata suhu bulanan terdingin 4. Perbedaan antara Af , Am dan Aw didasarkan pada curah hujan tahunan (r) dan curah hujan pada bulan terkering (p) a. Apabila p2 > 60 mm b. p2 < 60 mm Af Am,Aw 4c c. Menggunakan Rumus: r1 = 2t + 14 p1 = 10 – r1/25 untuk membedakan Am dan Aw 5. apabila p2 > p1 Am apabila P2 < p1 Aw Perbedaan antara tipe iklim BS dengan BW didasarkan pada jumlah curah hujan tahunan (r) dan suhu ratarata tahunan a. Apabila curah hujan merata sepanjang tahun, B dipergunakan rumus r1 = t + 7 r < r1 Bs r > r1 Bw b. Apabila curah hujan maksimum pada musim summer (minimum jumlah curah hujan bulan terbasah summer = 10 kali curah hujan bulan terkering winter) dipergunakan rumus r1 = t + 14 17 r < r1 Bs r > r1 Bw c. Apabila curah hujan maksimum terjadi pada musim winter (minimum curah hujan terbasah winter = 3 kali curah hujan terkering summer) dipergunakan rumus r1 = t 6. r < r1 Bs r > r1 Bw Perbedaan antara Cf , Cw dan Cs didasarkan atas penyebaran curah hujan dan curah bulanan a. Apabila curah hujan terbesar merata dan curah Cf hujan bulan terkering pada musim summer lebih besar dari 30 mm b. Apabila curah hujan maksimum dalam musim Cw summer ≥ 10 kali curah hujan bulan terkering musim winter c. Apabila curah hujan maksimum dalam musim Cs winter ≥ 3 kali curah hujan terkering summer < 30 mm 7. Perbedaan antara Dw dan Dw didasarkan atas kejadian musim kering a. Pembagian curah hujan merata sepanjang tahun dan Dw tidak ada musim kering (curah hujan > 30 mm) b. Terdapat bulan kering dengan curah hujan bulan Df terbasah ≥ 3 kali (curah hujan terkering < 30 mm) 8. Perbedaan antara Et dan Ef didasarkan pada besaran suhu udara pada bulan terpanas Apabila 10⁰C > t > 0⁰C Et Apabila t < 0⁰C Ef Dalam penelitian ini akan dilakukan penggolongan atau klasifikasi iklim di Provinsi Jawa Tengah dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 ke dalam kelompok iklim yang tepat menurut 18 variabel curah hujan, suhu dan luas wilayah serta pengaruh iklim di wilayah sekitarnya. Klasifikasi iklim Koppen sendiri adalah salah satu cara yang terbaik untuk mengelompokkan dan mengalokasikan suatu iklim dalam suatu wilayah. Sedangkan metode Polygon Thiessen digunakan untuk menentukan persebaran iklim di wilayah sekitar berdasarkan luas wilayah, suhu dan curah hujan yang ada di wilayah tersebut. 2.3 Polygon Thiessen Metode ini memperhitungkan luas daerah yang mewakili dari stasiun – stasiun hujan yang bersangkutan, untuk digunakan sebagai faktor bobot dalam perhitungan curah hujan rata-rata. Metode ini memperhitungkan bobot dari masing-masing stasiun yang mewakili luasan di sekitarnya. Pada suatu luasan di suatu wilayah dianggap bahwa hujan adalah sama dengan yang terjadi pada stasiun yang terdekat, sehingga hujan yang tercatat pada suatu stasiun mewakili luasan tersebut. Metode ini digunakan apabila penyebaran stasiun hujan di daerah yang ditinjau tidak merata, pada metode ini stasiun hujan minimal yang digunakan untuk perhitungan adalah tiga stasiun hujan. Hitungan curah hujan rata-rata dilakukan dengan memperhitungkan daerah pengaruh dari tiap stasiun. Metode poligon Thiessen banyak digunakan untuk menghitung hujan rata-rata kawasan. Poligon Thiessen adalah tetap untuk suatu jaringan stasiun hujan tertentu. Apabila terdapat perubahan jaringan stasiun hujan seperti pemindahan atau penambahan stasiun, maka harus dibuat lagi poligon yang baru. (Triatmodjo, 2008). 19 Metode ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh stasiun hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara stasiun hujan terdekat. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa variasi hujan antara stasiun hujan yang satu dengan lainnya adalah sejajar dan stasiun hujannya dianggap dapat mewakili kawasan terdekat. Metode ini cocok jika stasiun hujan tidak tersebar merata dan jumlahnya terbatas dibanding luasnya. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor pembobot atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun hujan yang dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun. Besarnya koefisien Thiessen dapat dihitung dengan rumus (CD.Soemarto, 1999). Cara ini diperoleh dengan membuat poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung dua stasiun hujan. Dengan demikian tiap stasiun penakar Rn akan terletak pada suatu wilayah poligon tertutup An. Dengan menghitung perbandingan luas poligon untuk setiap stasiun yang besarnya = An/A dimana A = luas basin atau daerah penampungan dan apabila besaran ini diperbanyak dengan harga curah hujan Rnt maka di dapat Rnt x (An+ A) ini menyatakan curah hujan berimbang. Curah hujan rata-rata diperoleh dengan cara menjumlahkan curah hujan berimbang ini untuk semua luas yang terletak didalam batas daerah penampungan. Apabila ada n stasiun di dalam daerah penampungan dan m disekitarnya yang mempengaruhi daerah penampungan maka curah hujan rata–rata (Rave) adalah : 20 ࡾ ା ࡾ ା ࡾ ା … ା ࡾ Rave = Rave = Rave = ࡾ ࢃ + ࡾ ࢃ + … + ࡾ ࢃ ା ା ା …ା ࡾ ା ࡾ ା ࡾ ା … ା ࡾ Dimana : Rave = curah hujan rata-rata (mm) R1…R2…Rn = curah hujan masing-masing stasiun (mm) W1…W2...Wn = faktor bobot masing masing luas wilayah (Sri Harto, Analisis Hidrologi, 1993) Gambar 2.1 Poligon Thiessen (Suripin, 2004). 2.4 Peta Tematik Peta tematik (juga disebut sebagai peta statistik atau peta tujuan khusus) menyajikan penggunaan ruangan pada tempat tertentu sesuai dengan tema tertentu. Berbeda dengan peta rujukan yang memperlihatkan pengkhususan geografi (hutan, jalan, perbatasan administratif, iklim), peta-peta tematik lebih menekankan variasi penggunaan ruangan daripada sebuah jumlah atau lebih dari 21 distribusi geografis. Distribusi ini bisa saja merupakan fenomena fisikal seperti kepadatan penduduk atau permasalahan kesehatan. (Anonim, 1992) Juga disebut sebagai peta statistik ataupun peta khusus, yaitu peta dengan obyek khusus. Tujuan utamanya adalah untuk secara spesifik mengkomunikasikan konsep dan data. Contoh peta tematik yang biasa digunakan dalam perencanaan termasuk peta kadastral (batas pemilikan), peta zona (yaitu peta rancangan legal penggunaan lahan), peta tata guna lahan, peta kepadatan penduduk, peta kelerengan, peta geologi, peta curah hujan, peta iklim dan peta produktivitas pertanian. Pemilihan sumber data disesuaikan dengan maksud dan tujuan pembuatan peta serta keadaan medan yang dihadapi. Terdapat beberapa sumber data yang digunakan pada pemetaan yaitu dengan pengamatan langsung di lapangan, dengan penginderaan jauh atau dari peta yang sudah ada (base map). Secara khusus, peta pengelolaan hutan berisikan tentang kejelasan pemilikan (batas-batas kadastral maupun administratif), wilayah itu sendiri yang menunjukkan unit-unit tegakan yang seragam. (Bakosurtanal, 2012) 22