PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU (Metroxylon sp.) SEBAGAI SUMBER KARBON PADA FERMENTASI ETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae Oleh ISRA DHARMA SUYANDRA F34103030 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PEMANFAATAN HIDROLISAT PATI SAGU (Metroxylon sp.) SEBAGAI SUMBER KARBON PADA FERMENTASI ETANOL OLEH Saccharomyces cerevisiae SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh ISRA DHARMA SUYANDRA F34103030 2007 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Isra Dharma Suyandra. F34103030. Pemanfaatan hidrolisat pati sagu (Metroxylon sp.) sebagai sumber karbon pada fermentasi etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Dwi Setyaningsih. 2007. RINGKASAN Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan asli Indonesia. Indonesia memiliki luas areal sagu terbesar di dunia dengan luas sekitar 1.128 juta hektar atau 51.2% dari luas areal sagu dunia. Namun, pemanfaatan sagu di Indonesia masih belum optimal yaitu baru sekitar 11% dari total cadangan pati sagu Indonesia (Abner dan Miftahurrohman, 2002). Sagu memiliki kandungan pati yang tinggi (Surapradja et al., 1980). Berdasarkan hasil penelitian Akyuni (2004) sagu dapat dihidrolisis menjadi hidrolisat pati sagu. Hidrolisat pati sagu memiliki kandungan gula yang tinggi dengan kandungan gula pereduksi 35.8 (b/v), Ekuivalen Dektrosa (DE) 98.99% dan Derajat Polimerisasi 1.4 sehingga berpotensi dijadikan sumber karbon pada fermentasi etanol. Permintaan etanol dewasa ini terus meningkat seiring dengan digunakannya etanol sebagai bahan bakar nabati. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2025 substitusi bahan bakar nabati terhadap bahan bakar minyak mencapai 5% (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar alternatif). Produktifitas fermentasi etanol dipengaruhi antara lain oleh jenis inokulum khamir dan konsentrasi substrat. Khamir yang biasa digunakan sebagai inokulum pada fermentasi etanol adalah Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae tersedia dalam bentuk kultur murni dan ragi roti. Pembuatan inokulum ragi roti lebih sederhana dibandingkan pembuatan inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae. Disamping itu, konsentrasi substrat yang optimum akan menghasilkan etanol yang maksimum. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Peneletian utama terdiri dari penentuan jenis konsentrasi substrat dan jenis inokulum terbaik dan fermentasi pada fermentor 2 liter. Pada penelitian pendahuluan dilakukan karakterisasi pati, produksi hidrolisat pati sagu, dan penyiapan inokulum. Analisa terhadap hidrolisat pati sagu yang dilakukan adalah total gula, kadar gula pereduksi, Ekuivalen Dekstrosa (DE) dan derajat Polimerisasi (DP). Pada fermentasi utama dilakukan fermentasi menggunakan dua jenis inokulum khamir berbeda (Saccharomyces cerevisiae dan ragi roti) dan tiga tingkat konsentrasi substrat (8, 14, 20% b/v). Pada fermentasi utama dilakukan analisa kadar etanol, kadar gula pereduksi akhir, pH dan volume CO2. Selanjutnya hasil terbaik pada fermentasi utama dijadikan acuan pada fermentasi pada fermentor 2 L. Analisa yang dilakukan pada fermentasi menggunakan fermentor 2 L adalah etanol, biomassa, kadar gula pereduksi akhir dan volume CO2. Selanjutnya dilakukan perhitungan kinetika fermentasi. Hasil penelitian pendahuluan memperlihatkan bahwa hidrolisat pati sagu memiliki kandungan gula total 49.69% (b/v), kadar gula pereduksi 35.26 % (b/v), Ekuivalen Dekstrosa (DE) 98.8 % (b/v), dan Derajat Polimerisasi (DP) 1.4. Dari analisa hidrolisat pati sagu ini dapat dilihat bahwa hidrolisat pati sagu mengandung glukosa dan maltosa yang tinggi. Penelitian pendahuluan juga menghasilkan kesimpulan bahwa inokulum ragi roti yang digunakan adalah sebanyak 0.1 gram/20 ml media air bersuhu 30oC. Hasil penelitian pada fermentasi utama memperlihatkan sagu berpotensi digunakan sebagai sumber karbon pada fermentasi etanol. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kultur murni Saccharomyces cerevisiae menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi dibanding ragi roti. Analisa sidik ragam menunjukkan bahwa kadar gula, jenis khamir dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kadar etanol, kadar gula pereduksi, efisiensi pemanfaatan substrat, pH, dan CO2 yang dihasilkan. Kadar etanol yang dihasilkan berkisar antara 2.32%4.66% v/v dengan nilai gula pereduksi akhir antara 3.0-60.37 g/l, efisiensi pemanfaatan substrart 53.2%-94.71%, dan nilai pH 3.28-3.41. Perlakuan terbaik adalah fermentasi menggunakan Saccharomyces cerevisiae dengan konsentrasi substrat 14% (b/v) yang menghasilkan kadar etanol sebesar 4.66% (v/v). Fermentasi pada fermentor 2 L menggunakan inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae dengan konsentrasi substrat 14% (b/v) menghasilkan kadar etanol 4.91% (v/v). biomassa 4.2 g/l, dan kadar gula pereduksi akhir 3.803 g/l. Saccharomyces cerevisiae selama 54 jam. Data kinetika yang dihasilkan adalah laju pertumbuhan spesifik maksimum (µ maks) 0.18 jam-1, waktu ganda sel (td) 3.36 jam, Pmaks 4.91% v/v, Xmaks 4.4 g/l, nilai Yp/x = 6.27 g produk/g biomassa, Yp/s = 0.25 gram produk/gram substrat, dan Yx/s = 0.04 gram biomassa/gram substrat. Isra Dharma Suyandra. F34103030. Utilization of Sago Starch as Carbon Sources in Etanol Fermentation by Saccharomyces cerevisiae. Supervised by Liesbetini Hartoto and Dwi Setyaningsih. 2007. SUMMARY Sago (Metroxylon sp) is indigenous to Indonesia. It has the biggest sago area in the world, with total area of 1.128 million hectare or 51.2 % of the world sago area. Sago utilization in Indonesia is limited about 11% (Abner dan Miftahurrohman, 2002). Sago contains high starch (Surapradja et al., 1980). Based on Akyuni (2004) sago can be hydrolysised to sago starch hydrolysate. Sago starch hydrolysat contains of high sugar whith total reducing sugar of 35.8 % (b/v), dextrose equivalent (DE) of 98.99 % and polymerization degree 1.4, so this substance potential to be used as carbon source of ethanol fermentation. Nowadays, ethanol demands is increasing as biofuel use. Indonesian government is aiming for 5 % oil fuel substitution to biofuel in 2025. Ethanol fermentation productivity is influenced yeast type and substrate concentration. Saccharomyces cerevisiae is usually used as inokulum of ethanol fermentation and available in pure culture and bread yeast. Preparation of bread yeast inokulum is simpler than pure culture Saccharomyces cerevisiae. Besides that, optimum substrate concentration will produce maximum ethanol. This research consisted of two level, there were preliminary research and primary research. Primary research was conducted to find type of substrate concentration and the best inokulum. Starch characterization, production of sago starch hydrolysate and inokulum preparation done in preliminary reseach. Different type of inokulums (Saccharomyces cerevisiae and bread’s yeast) were used in primary fermentation with different concentration of substrate (8 %, 14 %, 20 % w/v). Analysis in primary research as follows : ethanol content, sugar reduction content, pH, and Volume CO2. Furthermore, the best result from primary research is used to fermentation with 2 L fermentor. Analysis in this step as follows : ethanol content, biomass, last sugar reduction content, and CO2 volume. Using data from this stage, fermentation kinetics calculation is done. Pre research result showed that total sugar content was 49.69 % (w/v), reducing sugar 35.26 % (w/v), dextrose equivalent (DE) value 98.8 % (w/v), and polymerization degree 1.4. Hydrolysate sago starch analysis showed that it contains high glucose and maltose. Preliminary research result concluded that 0.1 gram/20 ml water bread yeast inokulum was used with temperature 30° C. Primary research result showed that sago can be used in ethanol fermentation. This result also showed that pure culture Saccharomyces cerevisiae produce higher ethanol content than bread’s yeast. Analysis varian show that sugar content and type of yeast gave significant influence to ethanol content, reducing sugar, substrate efficiency, pH, and production of CO2. Ethanol content produced was 2.32 % - 4.66 % v/v with final sugar reduction content 3.0 – 60.37 g/l, substrate efficiency 53.2 % - 94.71 % and pH 3.28 – 3.41. The best treatment was fermentation with Saccharomyces cerevisiae with 14 % (w/v) substrate concentration that produce 4.66 % v/v ethanol content. Fermentation with 2 L fermentor produced 4.91 % (v/v) ethanol content, 4.2 g/l biomass, and final sugar reduction content 3.803 g/l. Saccharomyces cerevisiae need 54 hours fermentation sugar to ethanol. Kinetic data show maximum specific grow rate 0.1882/hour, double time (td) 3.36 hour, Pmax 4.91 % v/v, Xmax 4.4 g/l, Yp/x value = 6.275 g product/g biomass, Yp/s = 0.2459 gram product/g substrate, and Yx/s = 0.0386 gram biomass/gram substrate. SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sebenarbenarnya bahwa skripsi dengan judul ”Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) Sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae” adalah hasil karya asli saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bogor, September 2007 Yang membuat pernyataan, Isra Dharma Suyandra F34103030 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Dangung-Dangung Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat pada tanggal 29 April 1984 dari ayah Dharmawan Dt. Bijo dan Ibu Suryati SPdI. Riwayat pendidikan penulis dimulai pada tahun 1990 di TK Restu Ibu Ketinggian. Pada Tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri 44 Ompek Diateh dan lulus pada tahun 1997. Tahun 1997 sampai 2000 penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri Dangung-Dangung, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri I Guguk dari tahun 2000 sampai 2003. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjalankan masa studi penulis aktif berorganisasi baik organisasi kampus maupun organisasi luar kampus. Oganisasi kampus yang diikuti penulis adalah Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN-FATETA IPB) dan Dewan Perwakilam Mahasiswa (DPM FATETA IPB). Pada periode 2005/2006 penulis menjabat sebagai Kepala Departemen HRD (Human Resources Development) HIMALOGIN. Organisasi luar kampus yang diikuti adalah Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) yaitu Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh (IKMP Bogor) dan Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor (IPMM Bogor). Penulis menjabat sebagai Ketua Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh (IKMP Bogor) pada masa bakti 2006/2007. Selain itu penulis juga aktif di Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bogor (HMI Cabang Bogor). Tahun 2006 penulis melakukan praktek lapang di perusahaan permen Perfetti van Melle Indonesia Cibinong, Jawa Barat. Penulis mengakhiri masa studi di IPB setelah menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) Sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae”. KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan tuntunan-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) Sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae” ini dengan baik. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bimbingan dan dukungan yang penuh ketulusan baik secara moril maupun materil dari semua pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, MSi sebagai dosen pembimbing II atas bimbingan dan saran-saran yang diberikan selama penulis menyelesaikan skripsi. 2. Dr. Ir. Ika Amalia Kartika, MT, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis. 3. Surfactan and Bioenergy Research Center (SBRC) yang telah menyediakan dana penelitian ini. 4. Kedua orang tua penulis atas doa, kasih sayang dan dukungan yang sangat berarti bagi penulis. 5. Adik-adikku; Yandri, Febri dan Ridha atas kasih sayang dan doanya. 6. Teman-teman anggota Rumah Qita dengan segala kehangatan dan persahabatan yang tak pernah terlupakan. 7. Teman-teman TIN angkatan 40 atas segala dukungannya. 8. Keluarga Besar Ikatan Kekeluargaan Mahasiswa Payakumbuh (IKMP Bogor). Penulis menyadari laporan penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Penulis, DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................. iv DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ................................................................... 1 B. TUJUAN ....................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU .......................................................................................... 3 B. HIDROLISAT PATI SAGU .......................................................... 5 C. FERMENTASI ETANOL ............................................................. 7 D. KINETIKA FERMENTASI .......................................................... 13 III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT .................................................................... 17 B. METODE PENELITIAN .............................................................. 17 1. Penelitian Pendahuluan ............................................................ 17 a. Penyiapan Media Fermentasi ............................................. 17 b. Penyiapan Inokulum .......................................................... 18 2. Penelitian Utama a. Penentuan Konsentrasi Substrat dan Jenis Inokulum Terbaik ............................................................................... 19 b. Perlakuan ........................................................................... 20 c. Fermentasi Pada Fermentor 2 L........................................... 20 3. Rancangan Percobaan .............................................................. 21 Halaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN .................................................... 22 1. Persiapan Media Fermentasi ....................................................... 22 2. Pemilihan Metode Persiapan Inokulum Ragi Roti ....................... 24 B. PENELITIAN UTAMA 1. Penentuan Konsentrasi Substrat dan Jenis Inokulum Terbaik a. Kadar Etanol ........................................................................ 25 b. Kadar Gula Pereduksi Akhir ................................................ 28 c. Efisiensi Pemanfaatan Substrat ............................................ 31 d. pH......................................................................................... 32 e. Laju Pembentukan CO2 ........................................................ 34 2. FERMENTASI PADA FERMENTOR 2 L a. Biomassa .............................................................................. 36 b. Kurva Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae ..................... 37 c. Etanol ................................................................................... 39 d. Karbondioksida (CO2) ........................................................... 41 e. Gula Pereduksi ...................................................................... 43 f. Kinetika Fermentasi .............................................................. 44 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ................................................................................ 47 B. SARAN ............................................................................................ 47 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 48 LAMPIRAN .................................................................................................. 51 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Karakterisasi pati sagu .................................................................................. 22 Tabel 2. Perhitungan sel dan metode inkubasi inokulum. ............................................ 25 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway......................... 11 Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroba pada fermentasi curah ............ 14 Gambar 3. Histogram rata-rata kadar etanol cairan fermentasi............... 26 Gambar 4. Histogram rata-rata kadar gula pereduksi akhir .................... 29 Gambar 5. Histogram rata-rata efisiensi pemanfaatan substrat............... 31 Gambar 6. Histogram rata-rata nilai pH akhir produk fermentasi........... 33 Gambar 7. Pola pembentukan CO2 selama fermentasi ........................... 35 Gambar 8. Pola pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae selama Fermentasi .......................................................................... 36 Gambar 9. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae pada media hidrolisat pati sagu .............................................................. 38 Gambar 10. Pola pembentukan etanol selama fermentasi ....................... 39 Gambar 11. Laju pembentukan CO2 selama fermentasi .......................... 41 Gambar 12. Volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi pada fermentor 2 L .............................................................. 41 Gambar 13. Pola penggunaan substrat selama fermentasi ....................... 43 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Diagram Alir Proses Produksi Etanol ............................................... 51 Lampiran 2. Prosedur Karakterisasi Pati Sagu ..................................................... 52 Lampiran 3. Prosedur Pengukuran Aktivitas Enzim .............................................. 56 Lampiran 4. Proses Hidrolisis Pati Sagu ............................................................... 57 Lampiran 5. Prosedur Analisa Hidrolisat Pati Sagu ............................................. 58 Lampiran 6. Prosedur Pengukuran Biomassa......................................................... 60 Lampiran 7. Prosedur Pengukuran Kadar Etanol ................................................... 61 Lampiran 8. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu .................................... 62 Lampiran 9. Analisa Cairan Fermentasi Pada Penentuan Konsentrasi Substrat dan Jenis Inokulum Terbaik ................................................. 63 Lampiran 10. Analisis Keragaman Terhadap Kadar Etanol .................................... 64 Lampiran 11. Analisis Keragaman Terhadap Kadar Gula Pereduksi ....................... 65 Lampiran 12. Analisis Keragaman Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Substrat ......... 66 Lampiran 13. Analisis Keragaman Terhadap Nilai pH ............................................ 67 Lampiran 14. Volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi dengan berbagai perlakuan ........................................................................... 68 Lampiran 15. Hasil Analisa Cairan Fermentasi pada Fermentor 2 liter ................... 69 Lampiran 16. Perhitungan Parameter Kinetika ....................................................... 70 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki sumber daya alam melimpah. Salah satu kekayaan alam Indonesia adalah tumbuhan sagu (Metroxylon sp.). Luas areal tanaman sagu di Indonesia diperkirakan 1.114.000 hektar yang merupakan 50 persen dari total luas areal sagu dunia (Abner dan Miftahurrohman, 2002). Luas areal sagu yang sudah dibudidayakan baru sekitar 114.000 hektar, sedangkan lahan sagu seluas 1.000.000 hektar belum dibudidayakan secara intensif. Sagu dapat tumbuh di daerah rawa atau tanah marginal yang sulit ditumbuhi oleh tanaman penghasil karbohidrat lainnya (Flach, 1983. dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu memiliki kandungan pati yang besar. Menurut Rumalatu (1981) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) pada umur panen sagu sekitar 11 tahun ke atas empulur sagu mengandung 15-20 persen pati. Potensi sagu yang besar ini belum di eksploitasi secara optimal. Sangat rendahnya pemanfaatan areal sagu dalam bidang pangan yang hanya sekitar 10% dari total areal sagu nasional disebabkan oleh kurangnya minat masyarakat dalam mengelola sagu. Pati sagu dapat dihidrolisis menjadi hidrolisat pati sagu dan diolah menjadi sirup glukosa. Hidrolisat pati sagu memiliki kandungan gula yang tinggi sehingga berpotensi dijadikan sebagai sumber karbon pada fermentasi etanol (Akyuni, 2004). Permintaan etanol dewasa ini terus meningkat seiring dengan digunakannya etanol sebagai bahan bakar nabati. Pemerintah Indonesia menargetkan pada tahun 2025 substitusi bahan bakar nabati terhadap bahan bakar minyak mencapai 5% (Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar alternatif). Selain itu, etanol banyak digunakan dalam industri kimia, kosmetika, minuman, dan pelarut. Fermentasi etanol dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah jenis organisme dan konsentrasi substrat. Organisme yang dipakai harus mampu menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah (Rehm dan Reed, 1981). Amerine et al. (1960) menyatakan bahwa Saccharomyces cerevisiae sering digunakan dalam fermentasi etanol sebab mampu menghasilkan etanol dalam jumlah yang tinggi pada media yang sesuai. Disamping itu, pada fermentasi harus digunakan substrat dengan konsentrasi optimum untuk pertumbuhan khamir. Karena pada konsentrasi substrat yang optimum akan dihasilkan etanol dengan jumlah yang maksimum. Saccharomyces cerevisiae tersedia dalam bentuk kultur murni dan ragi. Ragi biasanya digunakan dalam pembuatan roti (baker’s yeast) dan pembuatan minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast). Pada fermentasi menggunakan kultur murni diperlukan penyiapan inokulum secara khusus dan membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Sementara itu, Saccharomyces cerevisiae dalam bentuk ragi dapat langsung digunakan sebagai inokulum pada fermentasi etanol. Ragi roti dijual bebas di pasaran sehingga mudah didapatkan dan banyak digunakan oleh rumah tangga. Sedangkan ragi yang digunakan dalam pembuatan minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast) dijual terbatas untuk industri minuman beralkohol. B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah: 1. Memanfaatkan hidrolisat pati sagu sebagai sumber karbon pada fermentasi etanol. 2. Mendapatkan konsentrasi total gula yang terbaik untuk fermentasi etanol. 3. Membandingkan hasil fermentasi antara kultur murni Saccharomyces cerevisiae dan ragi roti. 4. Mendapatkan parameter kinetika fermentasi etanol dari perlakuan terbaik pada fermentor 2 liter. II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU Sagu adalah tanaman berbiji tunggal (monokotil) yang berasal dari keluarga Palmae, marga Metroxylon, ordo Spadiciflorae. Metroxylon merupakan salah satu keluarga Palmae yang memiliki kandungan pati cukup tinggi dibandingkan palma lain (Flach, 1997). Tanaman sagu digolongkan secara garis besar menjadi dua yaitu sagu yang berbuah dan berbunga hanya sekali dan sagu yang berbuah dan berbunga dua kali atau lebih (Soerjono, 1980). Golongan sagu yang berbuah dan berbunga hanya sekali bernilai ekonomi tinggi karena memiliki kandungan pati yang tinggi. Jenis sagu yang termasuk dalam golongan tersebut adalah Metroxylon rumphii Martius, Metroxylon sagus Rottboll, Metroxylon sylvester Martius dan Micracantum Martius. Menurut Satrapradja et al. (1980), di Indonesia biasanya dijumpai satu atau dua macam pohon sagu saja yaitu M. Sagus dan M. rumphii. Bagian terpenting dalam tanaman sagu adalah batang sagu karena merupakan tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Tinggi batang sagu dewasa mencapai 10 m (Ruddle et al., 1978). Ukuran dari batang sagu dan kandungan patinya tergantung pada jenis sagu, umur dan habitatnya. Pada umur panen sekitar 11 tahun ke atas empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20 persen (Rumalu, 1981. dalam Haryanto dan Pangloli, 1992). Setiap pohon sagu dapat menghasilkan tepung sagu berkisar antara 50-450 kg tepung sagu basah (Satrapradja et al., 1980). Kandungan pati maksimal ada pada waktu sebelum sagu berbunga. Munculnya primordia bunga biasanya menunjukkan kandungan pati menurun. Kandungan pati menurun karena digunakan sebagai energi untuk pembentukan bunga dan buah. Setelah pembungaan dan pembentukan buah, batang akan menjadi kosong dan tanaman sagu mati. Keadaan tersebut mempermudah petani dalam mengetahui kandungan pati sagu secara maksimal (Haryanto dan Pangloli, 1992). Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan asli Indonesia. Selain di Indonesia sagu hanya ditemukan di beberapa negara lain seperti Papua New Guinea, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Ruddle, 1978). Indonesia memiliki areal sagu terbesar dengan luas sekitar 1.114 juta hektar atau 50% dari 2.18 juta hektar sagu dunia, disusul Papua New Guenia 43.3% (Abner dan Miftahorrahman, 2002). Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat potensial disamping beras, khususnya bagi sebagian besar masyarakat di kawasan Timur Indonesia seperti Irian Jaya dan Maluku. Beberapa produk olahan dari pati sagu antara lain papeda, soun, dan ongol-ongol. Diperkirakan hampir 90% areal sagu Indonesia berada di Irian Jaya dan saat ini arealnya menyusut akibat eksploitasi yang berlebihan. Umumnya daerah tumbuhnya sagu adalah di daerah terisolasi dan jauh dari perkotaan. Sagu lebih banyak tumbuh pada daerah marjinal dimana tumbuhan penghasil karbohidrat lainnya sulit tumbuh. Pemanfaatan sagu di Indonesia belum maksimal. Indonesia jauh tertinggal dari Malaysia dan Thailand yang hanya memiliki areal sagu seluas 1.5% dan 0.2% dari total luas areal sagu dunia. Sistem pengolahan sagu di Indonesia masih sangat rendah yang ditandai dengan kapasitas dan produktivitas pengolahan yang masih rendah. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar tujuan pengolahan sagu hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Cara sederhana tersebut menghasilkan rendemen yang rendah dan kurang efisien Di pasaran internasional tepung sagu digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu untuk pembuatan biskuit, mie, sirup berkadar fruktosa tinggi, industri perekat, dan industri farmasi. Pemanfaatan dan nilai tambah sagu pada tingkat petani masih sangat sederhana.. Sagu memiliki kandungan karbohidrat, protein, lemak, kalsium, dan zat besi yang tinggi. Dengan kandungan tersebut, sagu berpotensi dijadikan sebagai bahan baku sirup glukosa yang dapat meningkatkan nilai tambah sagu. Menurut Wirakartakusumah et al. (1986) pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Semakin tinggi kadar amilosa maka pati bersifat kurang kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis). Pati sagu memiliki granula yang berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar 20-60 µm dan suhu gelatinisasinya berkisar 60-72oC (Knight, 1989). Sedangkan menurut Wirakartakusumah et al. (1986) suhu gelatinisasi pati sekitar 72-90oC. B. HIDROLISAT PATI SAGU Hidrolisat pati sagu adalah cairan jernih dan kental dengan komponen utamanya glukosa yang diperoleh dari hidrolisis pati. Hidrolisis pati menjadi glukosa dapat dilakukan dengan bantuan asam atau enzim pada waktu, suhu dan pH tertentu. Berbagai cara hidrolisis pati telah banyak dikembangkan diantaranya yaitu hidrolisis asam, hidrolisis enzim dan kombinasi asam dan enzim (Tjokroadikoesomo, 1986). Pembuatan hidolisat pati sagu secara enzimatis dapat menghasilkan rendemen dan mutu sirup glukosa yang lebih tinggi dibandingkan hidrolisis secara asam. Pada hidrolisis secara enzimatis ikatan pati dipotong sesuai dengan jenis enzim yang digunakan, sedangkan apabila menggunakan asam pemotongan dilakukan secara acak. Pada pembuatan hidrolisat pati sagu terdapat tiga tahapan dalam mengkonversi pati yaitu tahap gelatinisasi, likuifikasi dan sakarifikasi. Tahap gelatinisasi merupakan pembentukan suspensi kental dari granula pati, tahap likuifikasi yaitu proses hidrolisis pati parsial yang ditandai dengan menurunnya viskositas dan sakarifikasi yaitu proses lebih lanjut dari hidrolisis untuk menghasilkan glukosa (Chaplin dan Buckle, 1990). Pada tahap likuifikasi terjadi pemecahan ikatan α-1,4 glikosidik oleh enzim α-amilase pada bagian dalam rantai polisakarida secara acak sehingga dihasilkan glukosa, maltosa, maltodekstrin dan α-limit dekstrin. Enzim αamilase merupakan enzim yang menghidrolisis secara khas melalui bagian dalam dengan memproduksi oligosakarida dari konfigurasi alfa yang memutus ikatan α-(1,4) glikosidik pada amilosa, amilopektin, dan glikogen. Ikatan α- (1,6) glikosidik tidak dapat diputus oleh α-amilase, tetapi dapat dibuat menjadi cabang-cabang yang lebih pendek (Nikolov dan Reilly, 1991). Enzim α-amilase umumnya diisolasi dari Bacillus amyloquefaciens, B. licheniformis, Aspergillus oryzae, dan A. niger. Nilai pH optimum untuk aktivitas enzim ini sekitar 6 dengan suhu optimum 60oC. Jika suhu semakin ditingkatkan maka pH optimum pun semakin meningkat sampai sekitar tujuh (Tjokroadikoesomo,1986). Pada likuifikasi pati biasanya α-amilase yang digunakan adalah yang memiliki aktivitas tinggi, sehingga dosis enzim yang digunakan sekitar 0.5-0.6 kg/ton pati atau 1500 U/kg substrat kering (Chaplin dan Bucke, 1990). Enzim α-amilase komersial dibuat oleh Novo Industri A/S antara lain dengan nama Termamyl yang memiliki ketahanan terhadap suhu sekitar 95-110oC. Stabilitas Termamyl tergantung pada suhu, konsentrasi Ca2+, kandungan ion dan ekuivalen dekstrosa. Dosis α-amilase yang biasa digunakan antara 0.5 sampai 0.6 kg Termamyl 102 L per ton pati kering. Satu kNU (kilo Novo αamilase Unit) adalah jumlah enzim yang dapat menghidrolisis 5.26 pati (gram standar) per jam suhu 37oC, pH 5.6 pada kondisi standar (Kearsley dan Dzeidzic,1995). Setelah terjadi likuifikasi, selanjutnya bahan akan mengalami proses sakarafikasi oleh enzim amiloglukosidase. Amiloglukosidase merupakan eksoenzim yang terutama memecah ikatan α-(1,4) dengan melepaskan unitunit glukosa dari ujung non reduksi molekul amilosa dan amilopektin untuk memproduksi β-D-Glukosa. Nama trivial yang sering digunakan pada enzim ini adalah amiloglukosidase (AMG), glukoamilase, dan gamma-amilase (Kulp, 1975). Amiloglukosidase ditemukan pada tahun 1950-an dan digunakan secara luas pada teknologi bioproses pati dan industri makanan. Kegunaan yang luas dan spesifik menyebabkan amiloglukosidase digunakan pada produksi gula cair (Nikolov dan Reilly, 1991). Amiloglukosidase diproduksi dalam jumlah besar dari kapang dan khamir, tetapi hanya Aspergillus dan Rhizopus yang digunakan secara komersial. Suhu optimum untuk enzim amiloglukosidase berkisar 40-60oC dengan pH optimum 3-8 (Nikolov dan Reilly, 1991) Amiloglukosidase yang umumnya digunakan pada tahap sakarifikasi berasal dari Aspergillus niger. Pada kondisi yang sesuai, enzim amiloglukosidase ditambahkan dengan dosis berkisar 1.65-0.80 liter enzim per ton pati dengan dosis sebesar 200 U/kg pati (Chaplin dan Buckle, 1990). Amiloglukosidae yang berasal dari Novo yaitu AMG tersedia dalam bentuk cair dengan aktivitas 200, 300 atau 400 AGU g-1. Satu AGU (Amiloglukosidase Unit) adalah jumlah enzim yang menghidrolisis 1 µmol maltosa per menit pada suhu 25oC dan kondisi standar (Kearsley dan Dziedzic, 1995). C. FERMENTASI ETANOL Menururt Prescot dan Dunn (1959), etanol dapat diproduksi dari gula melalui fermentasi pada kondisi tertentu. Sedangkan pati dan karbohidrat lainnya dapat dihidrolisa menjadi gula kemudian difermentasi untuk membentuk etanol. Etanol merupakan nama kimia untuk alkohol dengan rumus kimia C2H5OH. Bioetanol adalah cairan biokimia dari proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Proses produksi etanol berbahan baku karbohidrat dapat dilihat pada Lampiran 1. Mikroorganisme yang dipakai dalam fermentasi etanol adalah khamir. Khamir yang biasa digunakan untuk menghasilkan etanol adalah Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae sering dipakai pada fermentasi etanol karena menghasilkan etanol yang tinggi, toleran terhadap kadar etanol yang tinggi, mampu hidup pada suhu tinggi, tetap stabil selama kondisi fermentasi dan dapat bertahan hidup pada pH rendah (Rehm dan Reed, 1981). Saccharomyces cerevisiae bisa didapatkan dalam bentuk kultur murni maupun dalam bentuk ragi. Menurut Peppler (1973) Saccharomyces cerevisiae bisa diproduksi menjadi ragi, baik untuk pembuatan roti (baker’s yeast) ataupun pada pembuatan minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast). Kultur Saccharomyces cerevisiae yang berbeda memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda (Cofalec, 2006). Pada pembuatan ragi roti digunakan Saccharomyces cerevisiae yang memiliki sifat antara lain menghasilkan karbondioksida yang tinggi serta mampu memberikan tekstur dan rasa roti yang baik. Sementara Saccharomyces cerevisiae yang digunakan untuk produksi alkohol memiliki sifat antara lain mampu menghasilkan etanol yang tinggi (Peppler 1989). Ragi roti mengandung sel hidup (viable cell) Saccharomyces cerevisiae (Retledge, 2001). Ragi roti biasanya berbentuk kering dengan berat kering 95% atau bentuk basah dengan berat kering 25-29%. Ragi roti biasanya digunakan sebagai zat pengembang adonan dan untuk memberikan tekstur serta rasa yang khas pada roti. Sementara itu ragi pada minuman beralkohol (brewing yeast dan wine yeast) digunakan sebagai inokulum pada pembuatan minuman beralkohol. Menurut Peppler (1979) ragi yang paling banyak digunakan dan tersedia banyak di pasaran adalah ragi roti. Galur Saccharomyces cerevisiae yang digunakan berbeda antara ragi roti dan ragi untuk industri alkohol (Retledge, 2001). Khamir memerlukan medium dan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembang-biakannya. Unsur-unsur dasar yang dibutuhkan adalah karbon, hidrogen, oksigen, fosfor, zat besi dan magnesium. Unsur karbon banyak diperoleh dari dari gula, sumber nitrogen didapatkan dari amonia, asam amino, peptida, pepton, nitrat atau urea tergantung pada jenis khamir. Fosfor merupakan unsur penting dalam kehidupan khamir terutama dari pembentukan alkohol dari gula. Pada permulaan proses fermentasi, khamir memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya sehingga fermentasi terjadi secara aerob. Setelah terbentuk CO2, reaksi akan berubah menjadi anaerob. Alkohol yang terbentuk akan menghalangi fermentasi lebih lanjut setelah tercapai konsentrasi antara 1315% volume. Konsentrasi alkohol akan menghalangi fermentasi tergantung pada suhu dan jenis khamir yang digunakan (Prescot dan Dunn, 1959). Khamir tumbuh terbaik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Proses respirasi pada kondisi aerobik selanjutnya digantikan proses fermentasi pada kondisi anaerobik karena tidak tersedia lagi oksigen. Khamir akan selalu berespirasi pada setiap keadaan yang memungkinkan karena energi yang dihasilkan pada respirasi jauh lebih besar dibandingkan energi yang dihasilkan pada fermentasi (Barnett et al., 2000). Bila terdapat udara pada proses fermentasi maka etanol yang dihasilkan lebih sedikit karena terjadi respirasi yang mengakibatkan terjadinya konversi gula menjadi karbondioksida dan air. Suhu optimum pertumbuhan khamir adalah pada suhu 25o-30oC dan maksimum pada 35oC-47oC. Sedangkan pH optimum adalah 4-5. Batas minimal aw untuk khamir biasa adalah 0.88-0.94 sedangkan untuk khamir osmofilik dapat tumbuh pada aw yang lebih rendah yaitu sekitar 0.32-0.65. Namun demikian banyak juga khamir osmofilik yang pertumbuhannya terhenti pada aw 0.78 seperti pada larutan garam ataupun sirup (Frazier dan Westhoff, 1978). Menurut Casida (1968) pH pertumbuhan khamir yang baik adalah pada rentang antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. Nilai pH pertumbuhan berhubungan positif dengan pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi maka lag fase akan lebih singkat dan aktifitas fermentasi akan meningkat. Pengaruh pH pada pertumbuhan khamir juga tergantung pada konsentrasi gula dan etanol. Nilai pH dapat diturunkan menggunakan asam sitrat, sedangkan untuk menaikkan pH dapat digunakan natrium benzoat. Paturau (1981) menyatakan bahwa fermentasi etanol memakan waktu 3072 jam. Prescott dan Dunn (1959) menyatakan bahwa waktu fermentasi etanol adalah 3-7 hari. Amerine dan Cruess (1960) menyatakan bahwa proses pemecahan gula menjadi etanol dan CO2 dilakukan oleh sel khamir. Enzim yang berperan dalam pembuatan fosfoheksoisomerase, etanol dari fosfofruktokinase, glukosa aldose, adalah heksosinase, triosefosfat isomerase, gliseraldehid 3 fosfat dehydrogenase, fosfogliserokinase, piruvat karboksilase dan alkohol dehidrogenase. Secara teoritis konversi molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 menururt persamaan Gay Lussac sebagai berikut C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 (gula) (etanol) (karbondioksida) Berdasarkan persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa 51,1% gula diubah menjadi etanol dan 49.9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi hasil ini kebanyakan tidak dapat dicapai karena adanya hasil sampingan. Pada kenyataannya hanya 90-95% dari nilai ini yang dapat dicapai. Konsentrasi alkohol yang dihasilkan dalam fermentasi tergantung pada jenis khamir yang dipakai dan kadar gula. Sedangkan konsentrasi produk samping dipengaruhi oleh suhu, aerasi, kadar gula dan keasaman (Underkofler dan Hickey, 1954). Produk samping yang dihasilkan antara lain asam piruvat dan asam laktat. Pada kondisi anaerob, metabolisme glukosa menjadi etanol melalui jalur Embden Meyerhoff-Parnas yang merupakan reaki-reaksi fosforilasi dan defosforilasi dengan ATP dan ADP sebagai donor aseptor fosfat, reaksi pemecahan C6 menjadi 2 molekul C3 yang terforforilasi, reaksi oksidasireduksi dan reaksi dekarboksilasi. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway dapat dilihat pada Gambar 1. Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian diubah menjadi fruktosa 1,6-di-P menggunakan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-di-P kemudian dipecah menjadi dua molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat dan gliseraldehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserolfosfat kemudian diubah menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehid-3-P tereduksi membentuk asam 1,3-di-fosfogliserat kemudian mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dan aseptor fosfat ADP membentuk ATP. Selanjutnya, 3-P-asam gliserat membentuk 2-P-asam gliserat kemudian terbentuk asam fosfoenol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi dekarboksilasi, asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 yang kemudian akan mengalami reaksi oksidasi membentuk etanol. ATP Glukosa ADP ATP Glukosa-6-P NADH+H+ 1.3-Di-P-Asam Gliserat ADP Fruktosa-6-P Fruktosa-1,6-Di-P NAD+ Dihidroksiaseton-Fosfat Gliseraldehid-3-P ATP ADP H2 O 3-P-Asam Gliserat 2-P-Asam Gliserat Fenol-Asam-Piruvat CO2 NAD+ Etanol Keterangan : ATP ADP NAD NADP NADPH NADH+H+ Asam Piruvat Asetaldehida = Adenosin Trifosfat = Adenin Difosfat = Nikotinamida Adenin Dinukleotida = Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat = Nikotinamida Adenin Dinukleotida Tereduksi Gambar 1. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway (Prescott dan Dunn, 1959). Glukosa mengalami fosforilasi menjadi glukosa-6-P dan fruktosa-6-P dengan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-6-P kemudian diubah menjadi fruktosa 1,6-di-P menggunakan ATP sebagai donor fosfat. Fruktosa-1,6-di-P kemudian dipecah menjadi dua molekul C3 yang terfosforilasi yaitu dihidroksiaseton fosfat dan gliseraldehida-3-P. Dihidroksi aseton fosfat selanjutnya teroksidasi menjadi gliserolfosfat kemudian diubah menjadi gliserol yang merupakan metabolit sekunder. Gliseraldehid-3-P tereduksi membentuk asam 1,3-di-fosfogliserat kemudian mengalami defosforilasi menjadi 3-P-asam gliserat dengan melepaskan fosfat dan aseptor fosfat ADP membentuk ATP. Selanjutnya, 3-P-asam gliserat membentuk 2-P-asam gliserat kemudian terbentuk asam fosfoenol piruvat dengan menghasilkan ATP. Melalui reaksi dekarboksilasi, asam piruvat akan membentuk asetaldehid dan CO2 yang kemudian akan mengalami reaksi oksidasi membentuk etanol. Penambahan inokulum khamir dapat dilakukan dalam berbagai bentuk diantaranya dalam bentuk suspensi atau dalam bentuk kering. Banyaknya suspensi khamir yang ditambahkan dalam fermentasi skala besar adalah sekitar 1-3 % (Prescott dan Dunn, 1959). Menurut Undekofler dan Hickey (1954) paling sedikit penambahan inokulum aktif pada pembuatan anggur adalah sekitar 1% apabila substrat yang digunakan bersih dan bebas dari khamir yang tidak diinginkan. Sementara itu, Rinaldy (1987) menggunakan konsentrasi inokulum 10% (v/v). Komposisi media untuk setiap mikroba berbeda satu sama lain. Zat makanan utama bagi pertumbuhan mikroba adalah sumber karbon, nitrogen dan mineral terutama fosfat (Casida,1968). Pertumbuhan mikrobial dipengaruhi oleh konsentrasi komponen penyusun media pertumbuhannya. Pasokan sumber karbon merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan optimal, tetapi pada kenyataannya konsentrasi sumber karbon mempunyai batas maksimum. Jika konsentrasi sumber karbon melampaui batas maka laju pertumbuhan akan terhambat (Said, 1987) Dalam fermentasi skala industri, sumber karbon yang biasanya digunakan adalah karbohidrat yang dapat diperoleh dari berbagai jenis pati seperti jagung, serelia, kentang dan sagu. Sumber karbon lain juga bisa didapatkan dari hasil pertanian yang banyak mengandung selulosa antara lain jerami padi, tongkol jagung, bagas, limbah kayu dan kertas. Sebelum digunakan, bahanbahan tersebut harus dihidrolisis lebih dulu baik secara kimia maupun secara enzimatis (Hartoto, 1992). Sumber nitrogen yang dapat digunakan dalam proses fermentasi diantaranya corn step liquor, ekstrak gandum atau tauge, hidrolisat kasein, dan ekstrak khamir. Vogel (1983) membedakan sumber nitrogen menjadi sumber organik dan anorganik. Yang termasuk sumber nitrogen organik adalah corn steep liquor, urea, protein, ekstrak khamir dan tepung ikan, sedangkan sumber nitrogen anorganik adalah gas amonia, amonium hidroksida dan amonium sulfat. Menurut Hartoto (1992) sumber nitrogen yang biasa digunakan untuk fermentasi skala besar adalah garam amonium, urea atau amonia. Pemilihan ammonium sebagai sumber nitrogen disebabkan oleh faktor ekonomis yaitu harga yang relatif murah dan mudah didapatkan. Pupuk NPK dan ZA mempunyai harga yang relatif murah dan mudah didapatkan. D. KINETIKA FERMENTASI Pertumbuhan mikrobial ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel, sedangkan kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya (Reed dan Rehm, 1983). Kinetika fermentasi mempelajari perkembangbiakan mikroba yang ditunjukkan oleh kenaikan konsentrasi biomassa karena konsumsi substrat. Pada saat yang bersamaan dihasilkan produk, baik metabolit primer maupun sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994). Menurut Bailey dan Olis (1991) fermentasi media cair dapat dilakukan dengan tiga cara fermentasi yaitu fermentasi sistem tertutup (batch), fermentasi semi sinambung (fed batch), dan sistem sinambung (continuous). Pada fermentasi curah, pemanenan produk dilakukan setelah fermentasi berakhir dan tidak dilakukan lagi penambahan komponen substrat selama fermentasi berlangsung (Rachman, 1989). Pada fermentasi secara curah, pertumbuhan mikroba secara umum mengikuti pola seperti disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Kurva pertumbuhan mikroba pada sistem curah (Stanburry dan Whitaker, 1984) Fase lag merupakan masa penyesuaian mikroba sejak inokulum diinokulasi ke dalam media fermentasi. Pada fase lag terjadi pertumbuhan lambat dimana sel mempersiapkan diri melakukan pembelahan sehingga peningkatan jumlah sel berjalan lambat. Cepat atau lambatnya fase lag tergantung kepada kualitas, kuantitas, dan umur kultur yang diinokulasikan (Moat, 1979). Pada fase eksponensial terjadi pertumbuhan cepat dimana jumlah sel bertambah secara eksponensial terhadap waktu. Menurut Rehm dan Reed (1981) pada fase eksponensial kondisi lingkungan berubah karena substrat dan nutrien dikonsumsi sementara metabolik dihasilkan. Pada saat substrat mendekati habis dan terjadi penumpukan produkproduk penghambat maka terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner konsentrasi biomassa mencapai maksimum. Setelah fase tersebut terjadi fase kematian yang ditandai dengan penurunan jumlah individu yang hidup (Bailey dan Olis, 1991). Pada keadaan lingkungan tertentu pertumbuhan mikrobial dapat dinyatakan dengan persamaan berikut = µx - αx ……………………………………………(1) dx dt Keterangan : x : konsentrasi sel t : waktu fermentasi µ : laju pertumbuhan spesifik : laju lisis sel yang menghambat pertumbuhan Pada kondisi yang sesuai maka penurunan massa sel sangat kecil sehingga α dapat diabaikan sehingga persamaan 1 menjadi : dx dt = µx Integrasi dari persamaan 2 untuk menghasilkan nilai peningkatan massa sel pada suatu selang waktu tertentu adalah : x1 x2 dx = t1 t2 µ dt x akan diperoleh persamaan : ln ( x2 ) = µ ∆t atau ln x2 = ln x1 + µ ∆t x1 Laju pertumbuhan spesifik (µ) bersifat tidak konstan tergantung pada kondisi lingkungan fisik dan kimianya. Nilai maksimum (µmaks) dicapai pada kondisi pasokan substrat dan nutrien masih berlebih serta konsentrasi zat-zat metabolik yang menghambat pertumbuhan masih rendah. Menurut Wang et al. (1979), koefisien hasil sel hidup terhadap sumber karbon dinyatakan sebagai Yx/s, koefisien konversi nutrien dalam substrat menjadi produk pada periode tertentu dinyatakan sebagai Yp/s. Sedangkan koefisien produk terhadap jumlah sel hidup dinyatakan sebagai Yp/x. Perhitungan yang biasa digunakan untuk proses pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan sel adalah sebagai berikut Yx/s = ∆X Yp/s = ∆P Yp/x = ∆P ∆S ∆S ∆X Parameter-parameter di atas perlu diketahui agar pada fermentasi skala yang lebih besar dapat ditentukan jumlah substrat yang diperlukan untuk menghasilkan jumlah produk dan biomassa yang tertentu. Informasi tersebut digunakan untuk meningkatkan efisiensi fermentasi. III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pati sagu (Metroxylon sp) yang didapatkan dari Bogor, enzim α-amilase (Termamyl) dan enzim amiloglukosidase (AMG) yang didapatkan dari Novo Industri. Bahan-bahan kimia untuk pembuatan dan analisa hidrolisat pati sagu yaitu CaCO3, HCL, NaOH, larutan iod, larutan kanji, H2SO4, larutan KI, pereaksi DNS (3,5 asam dinitrosalisitat), larutan standar glukosa, etanol, dan akuades. Sementara itu bahan-bahan yang diperlukan untuk fermentasi adalah kultur murni Saccharomyces cerevisiae, ragi roti merk Fermipan, PDA (Potato Dekstrose Agar), GYE (Glucose Yeast Extract) untuk media perkembangbiakan, pupuk NPK dan ZA sebagai sumber nutrien dalam media fermentasi etanol. Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi peralatan gelas, shaker, otoklaf, spektofotometer, desikator, oven, cawan porselen, cawan alumunium, termometer, pH-meter, buret, pipet, dan Soxhlet Apparatus. Peralatan untuk fermentasi adalah fermentor kapasitas 2 liter, pH-meter, gelas ukur, labu erlenmeyer, dan jarum ose. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. 1. Penelitian Pendahuluan a. Penyiapan Media Fermentasi Sebelum dilakukan hidrolisis pati sagu dilakukan karakterisasi pati sagu. Karakterisasi pati yang dilakukan meliputi analisa kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar lemak dan kadar pati. Prosedur karakterisasi pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 2. Hidrolisis pati sagu dilakukan menggunakan metode enzimatis (Akyuni, 2004). Enzim yang digunakan sebelumnya dihitung aktivitasnya agar jumlah enzim yang digunakan sesuai dengan dosis yang diperlukan. Prosedur pengukuran aktivitas enzim dapat dilihat pada Lampiran 3. Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan kemudian diuji kadar gula total, kadar gula pereduksi, Ekuivalen dekstrosa (DE), derajat polimerisasi (DP) dan pH. Diagram alir proses hidrolisis pati sagu diperlihatkan pada Lampiran 4, prosedur analisa hidrolisat pati sagu diperlihatkan pada Lampiran 5. b. Penyiapan Inokulum 1. Penyiapan Inokulum Saccharomyces cerevisiae Kultur murni Saccharomyces cerevisiae dibiakkan pada agar miring PDA selama 48 jam dengan kondisi aerobik dan suhu kamar sebelum diinokulasi pada media cair GYE (Rinaldy, 1987). Kultur hasil biakan pada PDA selanjutnya dibiakkan pada media GYE sebelum dipakai pada fermentasi. Pembiakkan dilakukan dengan menginokulasi sebanyak 1 jarum ose ke dalam 20 ml media GYE dalam labu erlenmeyer 100 ml. Waktu inkubasi adalah selama 24 jam pada suhu kamar dengan kondisi aerobik. Hasil biakan digunakan sebagai inokulum pada fermentasi utama. Jumlah sel yang terkandung di dalam inokulum dihitung menggunakan hemasitometer. 2. Pemilihan Metoda Penyiapan Inokulum Ragi roti Berdasarkan penelitian Daulay (1999) pembuatan inokulum fermentasi menggunakan ragi roti dilakukan dengan mengganti 1 ose kultur murni Saccharomyces cerevisiae dengan 1 gram ragi roti dengan metode penyiapannya sama dengan penyiapan inokulum kultur murni. Selain itu dilakukan pula penyiapan inokulum sesuai dengan petunjuk pada kemasan ragi roti yaitu ragi roti dapat digunakan langsung pada pembuatan roti dengan prosedur sebagai berikut 1. Ragi roti ditimbang sesuai keperluan. 2. Ragi roti dimasukkan ke dalam air hangat. 3. Ragi roti ke dimasukkan ke dalam media fermentasi. Untuk mendapatkan bobot (gram) ragi roti yang setara dengan 1 ose kultur murni Saccharomyces cerevisiae maka dilakukan penghitungan jumlah sel pada inokulum dari beberapa perlakuan. Perlakuan yang dilakukan adalah 1. Menumbuhkan 1 gram ragi roti pada 20 ml media GYE selama 24 jam. 2. Menumbuhkan 0.1 gram ragi roti pada 20 ml media GYE selama 24 jam . 3. Mencampurkan 0.1 gram ragi roti dengan 20 ml air suhu 30oC. Jumlah ragi roti dan metode yang digunakan pada fermentasi utama adalah perlakuan yang menghasilkan jumlah sel inokulum yang sama dengan jumlah sel inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae. 2. Penelitian Utama a. Penentuan Konsentrasi Substrat dan Jenis Inokulum Terbaik Penentuan konsentrasi substrat dan jenis inokulum terbaik dilakukan pada labu erlenmeyer 300 ml. Substrat fermentasi berupa hidrolisat pati sagu sebanyak 100 ml dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dengan konsentrasi gula dan jenis inokulum berbeda. Nilai pH cairan substrat diatur 4.8. Kemudian, media dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 5 menit, setelah itu media didinginkan hingga 30oC. Selanjutnya inokulum sebanyak 10% volume substrat ditambahkan pada media. Fermentasi berlangsung pada kondisi anaerobik. Pipa plastik dipasang pada kepala labu erlenmeyer dan ujungnya dibenamkan ke air untuk menangkap gas CO2 yang dihasilkan dari proses fermentasi. Fermentasi berlangsung pada suhu kamar dengan lama fermentasi 72 jam. Pengamatan dilakukan pada awal dan akhir fermentasi yang meliputi analisa kadar etanol, biomassa, gula pereduksi akhir dan CO2. Prosedur analisa gula pereduksi sama dengan analisa hidrolisat pati, prosedur pengukuran biomassa dapat dilihat pada Lampiran 6 dan prosedur pengukuran kadar etanol dapat dilihat pada Lampiran 7. b. Perlakuan Perlakuan yang diterapkan pada penelitian ini adalah: 1. Perlakuan konsentrasi gula yang berbeda yaitu 8% (b/v), 14% (b/v) dan 20% (b/v). 2. Perlakuan jenis inokulum yang berbeda yaitu kultur murni Saccharomyces cerevisiae dan ragi roti. c. Fermentasi Pada Fermentor 2 L Perlakuan terbaik dari penelitian ini digunakan sebagai media fermentasi pada fermentor 2 liter. Pada fermentasi ini dilakukan analisa biomassa, kadar etanol, volume CO2, dan gula pereduksi. Prosedur analisa gula pereduksi sama dengan analisa hidrolisat pati. Prosedur analisa biomassa dijelaskan pada Lampiran 6 dan prosedur pengukuran kadar etanol dapat dilihat pada Lampiran 7. Fermentasi dilakukan selama 72 jam dengan pengamatan tiap 3 jam sampai jam ke-6, selanjutnya dilakukan pengamatan setiap 6 jam. 3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua kali ulangan. Rancangan percobaan menggunakan 2 faktor yaitu konsentrasi gula sebagai sumber C dan faktor perbedaan jenis inokulum. Konsentrasi gula yang diujikan 3 taraf dan jenis inokulum 2 taraf. Parameter yang diuji adalah kadar alkohol, kadar gula pereduksi sisa, efisiensi pemanfaatan substrat dan pH. Model yang digunakan adalah berdasarkan Hanafiah (2005), sebagai berikut; µ + αi + βj + αi βj + εij Yij = Yij = Variabel respon karena pengaruh bersama taraf konsentrasi gula taraf ke i dan jenis inokulum taraf ke j µ = Efek rata-rata yang sebenarnya αi = Efek dari taraf ke i konsentrasi gula βj = Efek dari taraf ke j jenis inokulum εij = Efek dari interaksi antara taraf ke i konsentrasi gula dan taraf ke j jenis inokulum Model tersebut dianalisis sidik ragamnya menggunakan perangkat lunak SAS. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN a. Persiapan Media Fermentasi Penelitian pendahuluan terdiri dari analisa proksimat pati sagu, hidrolisis pati sagu dan analisa hidrolisat pati sagu. Analisa proksimat pati sagu terdiri dari analisa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar pati, kadar serat kasar, kadar amilosa, dan kadar amilopektin. Hasil analisa proksimat kadar pati sagu (Metroxylon sp.) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik pati sagu Karakteristik1 Hasil Penelitian Penelitian lain2 1 2 SNI 01-3729- 1995 Kadar Air (%) 5.08 5.76 Maksimum 13 Kadar Abu (%) 0.11 0.12 0.5 Kadar Protein (%) 0.36 0.38 - Kadar Lemak (%) 0.34 0.36 - Kadar Serat Kasar (%) 0.02 0.01 0.1 Kadar Pati (%) 82.15 82.13 - Kadar Amilosa (%) 27.71 27.75 - Kadar Amilopektin (%) 72.29 72.25 - Basis kering Akyuni (2004) Kadar air dalam suatu produk atau bahan dapat mempengaruhi tingkat mutunya. Kadar air yang tinggi dapat memudahkan tumbuhnya mikroorganisme sehingga dapat memperpendek umur simpannya. Sebaliknya kadar air rendah dapat mengubah bentuk, sifat fisik dan kimia suatu bahan. Kadar air pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5.08 %. Kadar air pati berpengaruh dalam pembuatan hidrolisat pati sagu pada penentuan rasio pati sagu dengan air yang ditambahkan untuk menghasilkan substrat yang diinginkan. Abu merupakan zat organik yang dihasilkan dari proses pembakaran yang dikenal sebagai unsur mineral. Kadar abu hasil penelitian mencapai 0.11 %. Kadar abu dari pati sagu yang dihasilkan memiliki kandungan mineral atau zat anorganik yang rendah. Pada pembuatan hidrolisat pati sagu, kadar abu pati dapat mempengaruhi proses hidrolisis pati karena kandungan mineral pada pati yang tinggi dapat menghambat proses hidrolisis pati. Kadar lemak dan kadar protein hasil pengujian sagu adalah 0.34 % dan 0.36%. Kadar protein yang terkandung dalam pati dapat mempengaruhi warna sirup glukosa. Reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan protein pada suhu tinggi akan menghasilkan warna coklat atau disebut juga reaksi browning. Serat kasar adalah residu dari bahan makanan atau pertanian setelah diperlakukan dengan asam atau alkali mendidih (Fardiaz, et al., 1986. dalam Sudiaman, 1990). Kadar serat kasar pati sagu mencapai 0.02%. Nilai kadar serat kasar pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini kecil karena adanya proses pengayakan. Kadar serat kasar yang tinggi dapat menurunkan efisiensi proses hidrolisis dan mempengaruhi kerja enzim sehingga perlu adanya penambahan dosis enzim. Kadar pati merupakan sifat fisik yang berpengaruh terhadap pembuatan sirup glukosa. Kadar pati sagu yang digunakan adalah 82.15%. Pati memiliki dua komponen yaitu amilosa dan amilopektin. Kadar amilosa yang terdapat pada pati sagu adalah sebesar 27.71% dan kadar amilopektin sebesar 72.29%. Rasio amilosa dan amilopektin berpengaruh pada jumlah dosis enzim yang ditambahkan. Ikatan -1,6 glikosidik yang terdapat pada amilopektin dapat dihidrolisis oleh amiloglukosidase sedangkan ikatan -1,4 glikosidik hanya akan dipotong oleh amilase. Enzim yang digunakan pada tahap likuifikasi adalah -amilase dengan aktivitas 5.574 U/ml. Satu unit enzim -amilase adalah 1 µmol produk yang terbentuk dalam 1 menit. Sementara itu pada proses sakarifikasi digunakan enzim amiloglukosidase dengan aktivitas 8.931 U/ml. Jumlah ml enzim yang digunakan dalam produksi hidrolisat pati sagu dapat ditentukan dari aktivitas enzim tersebut. Neraca massa produksi hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Lampiran 8. Analisa hidrolisat pati sagu yang dilakukan meliputi kadar gula total, kadar gula pereduksi, Dektrose Ekuivalen (DE), Derajat Polimerisasi (DP) serta pH. Dari hidrolisis pati sagu dihasilkan nilai gula pereduksi 352.6 g/l, total gula 496.6 g/l. Nilai DP hidrolisat pati sagu adalah 1.4 dan nilai DE hidrolisat adalah 98.9%. Hidrolisat pati sagu yang dihasilkan memiliki pH 6.10. Ekuivalen dektrosa merupakan rasio gula pereduksi hidrolisat dengan gula pereduksi hidrolisis sempurna. Gula pereduksi yang dihasilkan sebagai persen D-glukosa yaitu 35.26% (b/v). Nilai ekuivalen dekstrosa yang diperoleh dari sirup glukosa adalah sekitar 98,8% (b/v). Tingginya nilai ekuivalen dekstrosa disebabkan karena semakin banyaknya pati yang terkonversi menjadi glukosa. Derajat Keasaman (pH) hidrolisat pati sagu adalah sebesar 6.12. Pada penelitian Akyuni (2004) dihasilkan nilai pH 7.01. Hal ini disebabkan karena pada penelitian tersebut dilakukan penyaringan menggunakan arang aktif. Sementara itu pada penelitian ini tidak dilakukan penyaringan menggunakan arang aktif. b. Pemilihan Metoda Penyiapan Inokulum Ragi Roti Hasil penghitungan sel dan metode persiapan inokulum pada ragi roti dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan bahwa 0.1 gram ragi roti memiliki jumlah sel yang hampir sama dengan inokulum menggunakan 1 ose Saccharomyces cerevisiae yaitu 7.97 104 sel/ml inokulum. Selanjutnya pada penelitian ini dilakukan fermentasi menggunakan ragi roti sebanyak 0.1 gram yang dilarutkan pada media air yang bersuhu 30oC. Tabel 2. Perhitungan sel dan metode inkubasi inokulum. Jenis Inokulum Gram/volume media Jumlah sel Saccharomyces 8.0 104 sel /ml 1 ose/20 ml GYE cerevisiae kultur murni Ragi roti inokulum 7.9 105 sel/ ml 1 gram/20 ml GYE inokulum Ragi roti 7.93 104 sel/ ml 0.1 gram/20 ml GYE inokulum Ragi roti o 0.1 gram/20 ml air 30 C 7.97 104 sel/ ml inokulum B. PENELITIAN UTAMA i. Penentuan Konsentrasi Substrat dan Jenis Inokulum Terbaik Penelitian utama dilakukan dengan mengkombinasikan perlakuan konsentrasi substrat dan jenis inokulum. Analisa cairan fermentasi pada penentuan konsentrasi dan jenis inokulum terbaik dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil penelitian fermentasi etanol dapat dijelaskan sebagai berikut a. Kadar Etanol Kadar etanol yang dihasilkan bervariasi antara 2.32%(v/v) sampai 4.66%(v/v). Kadar etanol terendah didapatkan dari perlakuan menggunakan konsentrasi gula 8% (b/v) menggunakan ragi roti sedangkan kadar etanol tertinggi adalah pada perlakuan menggunakan substrat dengan kadar gula 14%(b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Histogram rata-rata kadar etanol dapat dilihat pada Gambar 3. Kadar Etanol (%v/v)) 5.00 4.00 3.00 Kultur Murni 2.00 Ragi Roti 1.00 0.00 8% 14% 20% Kadar Gula Total (%b/v) Gambar 3. Histogram kadar etanol cairan fermentasi Gambar 3 memperlihatkan bahwa kadar etanol tertinggi diperoleh pada fermentasi menggunakan hidrolisat pati sagu 14% (b/v). Pada konsentrasi gula 8% (b/v) didapatkan kadar etanol yang lebih rendah dibandingkan perlakuan konsentrasi gula 14% (b/v). Pada konsentrasi gula 20% (b/v) juga dihasilkan kadar etanol yang lebih rendah dibandingkan perlakuan menggunakan substrat 14% (b/v). Hal ini sesuai dengan laporan Casida (1968) yang menyatakan bahwa kadar total gula optimum untuk fermentasi etanol adalah 10-18% (b/v), sedangkan di atas dan di bawah kadar gula optimum kecepatan fermentasi akan menurun dan jumlah etanol yang dihasilkan juga akan berkurang. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat, jenis inokulum dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kadar etanol cairan hasil fermentasi. Hasil uji Duncan menunjukkan perlakuan terbaik yaitu fermentasi menggunakan konsentrasi substrat 14 % (b/v) berbeda nyata dengan perlakuan lain. Analisis keragaman terhadap kadar etanol dapat dilihat pada Lampiran 10. Etanol merupakan produk utama pada fermentasi anaerob, tetapi etanol merupakan racun bagi khamir itu sendiri pada konsentrasi yang tinggi. Fungsi utama khamir menurut Frazier dan Westhoff (1977) adalah mengubah gula menjadi etanol dan karbondioksida. Clark dan Mackie (1984) menyatakan bahwa khamir sangat peka etanol. Konsentrasi etanol 1-2 % (v/v) sudah mengganggu fermentasi dan pada konsentrasi etanol 10% (v/v) laju pertumbuhan khamir akan berhenti sama sekali. Sedangkan menurut Prescott dan Dunn (1981), kadar etanol maksimal yang bisa dihasilkan sebelum fermentasi benarbenar berhenti adalah 13% (v/v). Mangunwidjaja dan Suryani (1994) menambahkan bahwa konsentrasi 40 g/l etanol akan menjadi penghambat baik untuk pertumbuhan biomassa maupun produksi etanol. Pada penelitian ini didapatkan kadar etanol 2.32-4.66 %(v/v). Pada konsentrasi etanol 4.66% (v/v) ini diduga sudah terjadi penghambatan sehingga fermentasi berhenti. Selain itu, kadar etanol yang terhitung sebenarnya lebih kecil dibandingkan kadar etanol yang sebenarnya terkandung dalam cairan fermentasi. Hal ini disebabkan karena pengukuran kadar etanol dilakukan menggunakan metode destilasi. Menurut Amerine dan Ough (1979) distilasi etanol akan menyebabkan kehilangan etanol sebanyak 0.6-1.5 % (v/v). Perbedaan kadar etanol pada masing-masing perlakuan disebabkan oleh perbedaan konsentrasi total gula yang diberikan. Semakin tinggi konsentrasi total gula semakin tinggi kadar etanol yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi total gula semakin banyak substrat (sumber karbon) yang dapat dikonsumsi. Namun, penggunaan substrat yang berlebihan akan menjadi penghambat pada pertumbuhan dan pembentukan produk oleh khamir (Rehm dan Reed, 1983). Hasil perbandingan antara perlakuan menggunakan inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae dan ragi roti memperlihatkan bahwa inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih baik dibandingkan inokulum ragi roti karena menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi. Hal ini diduga disebakan oleh adanya perbedaan antara galur Saccharomyces cerevisiae dan galur khamir yang digunakan pada ragi roti. Menurut Retledge (2001) galur Saccharomyces cerevisiae yang digunakan berbeda antara ragi roti dan ragi untuk produksi alkohol. Hasil penelitian yang dilakukan Rinaldy (1987) dan Daulay (1999) memberikan kadar etanol tertinggi sebesar 1.16 % (v/v) dan 2.63 % (v/v) menggunakan substrat onggok singkong dengan hidrolisis menggunakan asam. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kultur murni Saccharomyces cerevisiae mampu mengkonsumsi hidrolisat pati sagu lebih baik dibandingkan onggok singkong sebagai sumber karbon dalam media fermentasi. Hal ini disebabkan karena hidrolisat pati sagu mampu menghasilkan gula pereduksi yang lebih tinggi dibandingkan onggok singkong. Akyuni (2004) menyatakan bahwa hidrolisis pati sagu hasil hidrolisis secara enzim memiliki derajat polimerisasi (DP) sekitar 1.4. Nilai DP yang terbentuk ini menunjukkan bahwa produk yang terbentuk adalah glukosa dan maltosa. Derajat polimerisasi pada glukosa memiliki nilai 1 (DP1) dan maltosa memiliki nilai 2 (DP2). Menurut Retledge dan Kristiansen (2001) Saccharomyces cerevisiae mampu melakukan fermentasi glukosa dan maltosa menjadi etanol. b. Kadar Gula Pereduksi Akhir Selama fermentasi, sel akan mengkonversi sumber karbon menjadi biomassa dan produk. Hal ini ditandai dengan berkurangnya kadar gula yang digunakan sebagai sumber karbon. Kadar gula pereduksi akhir menunjukkan kadar gula pereduksi setelah fermentasi selesai. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat berpengaruh nyata terhadap nilai gula pereduksi akhir cairan fermentasi baik pada fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae ataupun menggunakan ragi roti. Uji Duncan memperlihatkan bahwa fermentasi menggunakan konsentrasi 14% (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap kadar gula pereduksi sisa pada selang kepercayaan 95 % ( =0.05). Analisis keragaman terhadap kadar gula pereduksi dapat dilihat pada Lampiran 11. Histogram rata-rata kadar gula pereduksi akhir diperlihatkan pada Kadar Gula Pereduksi Akhir (g/l) Gambar 4. 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 Kultur Murni 20.00 Ragi Roti 10.00 0.00 8% 14% 20% Perlakuan Konsentrasi Substrat Gambar 4. Histogram rata-rata kadar gula pereduksi akhir Kadar gula pereduksi yang tersisa berkisar antara 3.00 g/l sampai 60.37 g/l. Kadar gula pereduksi sisa terbesar diperoleh pada perlakuan menggunakan ragi roti dengan konsentrasi gula 20% (b/v), sementara kadar gula pereduksi sisa terkecil diperoleh pada perlakuan menggunakan kadar gula 8% (b/v) dengan inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae. Pada kadar gula 8% (b/v) baik menggunakan kultur murni maupun ragi roti diperoleh gula pereduksi sisa sebesar 3.0 g/l dan 3.2 g/l. Sementara kadar etanol yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan perlakuan menggunakan kadar gula 14% (v/v). Kecilnya kadar etanol yang dihasilkan ini mengindikasikan bahwa kadar gula 8% (b/v) pada substrat belum cukup untuk memenuhi kebutuhan khamir pada proses fermentasi, sehingga fermentasi tidak berjalan optimal dan menghasilkan produk etanol yang rendah. Dari histogram pada Gambar 4 dapat dilihat bahwa kadar gula pereduksi akhir pada setiap perlakuan menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih rendah dibandingkan kadar gula pereduksi pada setiap konsentrasi menggunakan ragi roti. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jenis galur yang digunakan pada ragi roti. Selain itu, pada histogram juga dapat dilihat hubungan bahwa semakin tinggi kadar gula substrat maka semakin tinggi kadar gula pereduksi yang tersisa. Pada konsentrasi gula 8% (b/v) dihasilkan gula pereduksi terendah yaitu 3 g/l pada fermentasi oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae dan 3.2 g/l pada fermentasi oleh ragi roti. Pada fermentasi menggunakan substrat dengan konsentrasi ini terlihat bahwa substrat hampir seluruhnya sudah terfermentasi. Walaupun substrat telah dikonversi hampir seluruhnya, tidak dihasilkan kadar etanol yang tinggi. Ini membuktikan bahwa konsentrasi substrat 8 % (v/v) belum cukup untuk menghasilkan kadar etanol yang lebih tinggi. Ini juga terbukti dari volume CO2 yang dihasilkan. Pada konsentrasi substrat 8% (b/v) dihasilkan volume CO2 yang lebih kecil dibandingkan kadar etanol 14% (b/v). Selain itu, fermentasi pada konsentrasi substrat 8% (b/v) berhenti lebih awal. Sementara itu, gula pereduksi akhir pada perlakuan substrat 20% (b/v) lebih tinggi dibandingkan gula pereduksi akhir pada konsentrasi substrat 8% (b/v) dan 14% (b/v). Namun, kadar etanol yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan fermentasi menggunakan konsentrasi substrat 14% (v/v). Ini disebabkan karena konsentrasi yang digunakan berada di atas konsentrasi substrat optimum (18%), sehingga fermentasi tidak berjalan dengan baik untuk menghasilkan kadar etanol yang tinggi. c. Efisiensi Pemanfaatan Substrat Efisiensi pemanfaatan substrat dari kultur murni Saccharomyces cerevisiae didapatkan bervariasi mulai dari 57.5% sampai 94.7% dan efisiensi pemanfaatan substrat fermentasi oleh ragi roti bervariasi dari 53.2% sampai 94.36%. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat berpengaruh nyata terhadap nilai efisiensi pemanfaatan substrat cairan hasil fermentasi baik pada fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae maupun menggunakan ragi roti. Uji Duncan memperlihatkan bahwa fermentasi menggunakan konsentrasi 14 % (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda nyata dengan perlakuan yang lain terhadap nilai efisiensi pemanfaatan substrat pada selang kepercayaan 95 % ( =0.05). Analisis keragaman terhadap efisiensi pemanfaatan substrat dapat dilihat pada Lampiran 12. Histogram nilai rata-rata kadar efisisiensi pemanfaatan substrat dapat dilihat pada Gambar 5. Efisiensi Pemanfaatan Substrat (%) 100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 8% 14% 20% Kadar Gula Total (% b/v) Kultur Murni Ragi Roti Gambar 5. Histogram rata-rata efisiensi pemanfaatan substrat Histogram efisiensi pemanfaatan substrat memperlihatkan bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat semakin rendah efisiensi pemanfaatan substrat oleh kedua jenis inokulum. Moat (1979) menyatakan bahwa pada konsentrasi substrat yang tinggi sel khamir akan mengalami plasmolisis karena larutan bersifat hipotonik. Dengan terjadinya plasmolisis aktivitas fermentasi terhambat bahkan dapat mematikan sel khamir Pada histogram rata-rata efisiensi pemanfaatan substrat diperoleh keterangan bahwa efisiensi pemanfaatan substrat oleh fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan efisiensi pemanfaatan substrat oleh ragi roti. Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan galur khamir yang digunakan. d. pH Nilai pH awal pada setiap perlakuan dalam penelitian ini diatur sekitar 4.8 sesuai dengan pH optimal pertumbuhan khamir. Nilai pH optimal fermentasi adalah 4.5-5.0 (Casida, 1968). Pada pH yang lebih rendah kecepatan fermentasi akan menurun sedangkan pada pH yang lebih tinggi terbentuk asam-asam organik dan gliserol lebih banyak yang merupakan hasil samping fermentasi. Asam-asam organik yang merupakan hasil samping fermentasi adalah asam piruvat, asam suksinat dan asam laktat. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi substrat dan jenis inokulum berpengaruh nyata terhadap nilai pH cairan hasil fermentasi. Interaksi antara konsentrasi substrat dan jenis inokulum juga berpengaruh sangat nyata terhadap nilai pH. Uji Duncan memperlihatkan bahwa fermentasi menggunakan konsentrasi 14 % (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda nyata dengan perlakuan menggunakan substrat 14% (b/v) oleh ragi roti. pH akhir fermentasi menggunakan substrat 14% (b/v) oleh kultur murni Saccharomyces cerevisiae berbeda sangat nyata terhadap fermentasi menggunakan substrat 8 % (b/v), baik menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae maupun ragi roti, tetapi tidak berbeda nyata dengan fermentasi menggunakan substrat 20 % (b/v). Hal ini diduga disebabkan banyaknya hasil samping yang dihasilkan pada konsentrasi substrat 20% (b/v). Analisis keragaman terhadap nilai pH dapat dilihat pada Lampiran 13. Histogram pH diperlihatkan pada Gambar 6. 3.42 3.4 3.38 3.36 3.34 3.32 pH 3.3 3.28 3.26 3.24 3.22 3.2 Kultur Murni Ragi Roti 8% 14% 20% Kadar Gula Total (% b/v) Gambar 6. Histogram pH akhir produk fermentasi Nilai pH akhir fermentasi pada penelitian ini berada pada kisaran 3.28 sampai 3.41. Rata-rata penurunan pH terbesar diperoleh dari perlakuan konsentrasi substrat 14% menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae. Nilai pH tertinggi diperoleh pada perlakuan menggunakan kadar gula 8% (b/v) dengan inokulum ragi roti komersial. Berdasarkan hasil pengukuran pH sebelum dan sesudah fermentasi dapat disimpulkan bahwa pH fermentasi berbanding lurus dengan keaktifan mikroba melakukan fermentasi. Semakin aktif mikroba melakukan fermentasi semakin tinggi produk yang dihasilkan baik produk utama maupun produk sampingan. Casida (1968) menyatakan bahwa fermentasi etanol akan menghasilkan etanol sebagai produk utama. Selain itu akan dihasilkan juga karbondioksida dan asam-asam organik seperti asam piruvat, asam suksinat, asam laktat dan asam-asam lainnya. Asam-asam yang dihasilkan sebagai produk sampingan inilah yang membuat pH larutan semakin rendah. Casida (1968) menyatakan bahwa pada konsentrasi glukosa yang cukup optimal (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah) khamir akan menggunakan glukosa tersebut untuk pertumbuhan dan perkembangan sel. Menurut Reed dan Rehm (1983) asam sebagai hasil samping fermentasi etanol seperti asam asetat, asam piruvat dan asam-asam organik lainnya berperan besar dalam penurunan pH sedangkan asam butirat dan asam lemak lainnya hanya berpengaruh sedikit. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kadar etanol 14% (b/v) merupakan konsentrasi optimum pertumbuhan khamir untuk melakukan fermentasi. Fermentasi menggunakan konsentrasi substrat 14% (b/v) menghasilkan pH lebih rendah dibandingkan fermentasi menggunakan substrat konsentrasi 8 % (b/v) dan substrat konsentrasi 20% (b/v). e. Laju Pembentukan CO2 Volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi dari berbagai perlakuan diperlihatkan pada Lampiran 14, sedangkan pola pembentukan CO2 diperlihatkan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa volume CO2 yang dihasilkan oleh fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan fermentasi menggunakan ragi roti. Hal ini memperlihatkan bahwa laju fermentasi pada fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae lebih tinggi dibandingkan fermentasi menggunakan ragi roti. Hal ini diduga disebabkan adanya perbedaan antara galur Saccharomyces cerevisiae dan galur khamir yang digunakan pada ragi roti. Laju Pembentukan CO2 (ml/jam) 600 500 8S 14S 20S 8R 14R 20R 400 300 200 100 0 0 3 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Lama Fermentasi (jam) Gambar 7. Pola pembentukan CO2 selama fermentasi Selain itu dapat juga dilihat bahwa fermentasi menggunakan substrat 14% (b/v) menghasilkan volume CO2 yang lebih tinggi dibandingkan fermentasi menggunakan substrat dengan konsentrasi 8% (b/v) maupun 20% (b/v). Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi substrat 14% (b/v) merupakan konsentrasi substrat terbaik fermentasi. 2. Fermentasi Pada Fermentor 2 L Hasil terbaik dari berbagai perlakuan adalah fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae dengan kadar gula total 14% (b/v). Selanjutnya, fermentasi dilakukan pada fermentor 2 L berdasarkan perlakuan terbaik. Analisa yang dilakukan terhadap cairan fermentasi adalah kadar etanol, bobot sel kering (biomassa), gula pereduksi sisa, dan volume CO2 yang dihasilkan. Kemudian dilakukan penentuan kurva pertumbuhan dan penghitungan parameter kinetika fermentasi. Kinetika fermentasi menggambarkan laju pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu mikroba. Pertumbuhan mikroba ditandai dengan pertumbuhan jumlah sel yang semakin meningkat. Fermentasi yang dilakukan adalah fermentasi sistem tertutup. Menurut Mangunwidjaja dan Suryani (1994) fermentasi medium cair dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu sistem curah (batch), sistem sinambung (continue) dan semi sinambung (fed- batch). Sistem curah adalah sisten fermentasi tertutup dimana tidak dilakukan penambahan substrat ketika fermentasi sedang berjalan. Analisa cairan fermentasi pada fementasi menggunakan fermnetor 2 L dapat dilihat pada Lampiran 15. a. Biomassa Biomassa yang dihitung adalah jumlah sel kering yang terdapat dalam cairan fermentasi. Hasil pengamatan pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dapat dilihat pada Gambar 8. Biomassa (g/l) 5,0 4,0 3,0 2,0 1,0 0,0 0 20 40 60 80 Waktu (jam) Gambar 8. Pola pertumbuhan Saccharomyces cerivisiae selama fermentasi Pada Gambar 8 diperlihatkan terjadinya peningkatan biomassa yang dihasilkan. Peningkatan biomassa ini menunjukkan adanya pertumbuhan sel. Pola pertumbuhan sel terdiri dari fase adaptasi (lag), fase eksponensial, fase stasioner dan fase kematian. Fase adaptasi terjadi sampai jam ke-6 lama fermentasi, kemudian diikuti oleh fase eksponensial sampai jam ke-30. Setelah itu pola pertumbuhan biomassa memperlihatkan fase stasioner dan pada akhirnya mengalamai fase kematian pada jam ke-54. Fase adaptasi sangat dipengaruhi oleh kondisi inokulum yang diberikan. Jika inokulum berasal dari fase eksponensial maka fase adaptasi akan lebih pendek atau tidak ada sama sekali. Jika inokulum berasal dari fase stasioner, maka sel membutuhkan waktu yang lebih lama untuk beradaptasi karena sel membutuhkan waktu untuk melengkapi kelompok koenzim dan metabolit esensial untuk pembelahan sel. Pada penelitian ini inokulum yang diberikan merupakan Saccharomyces cerevisiae yang telah ditumbuhkan dalam media propagasi selama 20-24 jam, sehingga khamir berada pada fase eksponensial. Setelah fase adaptasi, perbanyakan sel mulai terjadi yang mengakibatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan fermentasi. Pada fase eksponensial ini laju pertumbuhan (dx/dt) mengalami peningkatan. Fase eksponensial pada penelitian ini terjadi pada jam ke6 sampai jam ke-30. Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah sel mati seimbang dengan jumlah sel yang tumbuh (sel baru) dan populasinya stabil. Fase stasioner pada penelitian ini dimulai pada jam ke-30 sampai jam ke-54. setelah itu terjadi fase kematian dari jam ke-54 sampai akhir fermentasi (72 jam). b. Kurva Pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae didapatkan dari plot ln biomassa dengan lama waktu pertumbuhan. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dalam media fermentasi hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 menunjukkan bahwa fase adaptasi terjadi selama 6 jam pertama. Fase eksponensial terjadi dari jam ke-6 sampai jam ke-30. Kemudian, jam-30 sampai jam-54 merupakan fase stasioner dan mulai jam-54 sampai jam-72 terjadi fase kematian. Dari kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae tersebut dapat ditentukan lama fermentasi optimal. Lama fermentasi Saccharomyces cerevisiae untuk produksi etanol adalah 54 jam disebabkan karena lama fermentasi selama 54 jam sudah mencapai fase kematian. Penentuan lama proses fermentasi akan mempengaruhi efisiensi proses fermentasi. 2,00 ln X (g/l) 1,50 1,00 0,50 0,00 0 10 20 30 40 50 60 70 80 -0,50 Waktu (jam) Gambar 9. Kurva pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae dalam media hidrolisat pati sagu Fase adaptasi yang singkat menunjukkan bahwa Saccharomyces cerevisiae cepat menyesuaikan diri dalam media fermentasi. Hal ini juga menunjukkan sudah tidak terdapatnya oksigen dalam media fermentasi. Rehm dan Reed (1983) menyatakan bahwa fase adaptasi akan berlangsung lama jika kultur yang dikembangkan dalam media yang kurang sesuai. Selain itu, fase adaptasi yang singkat juga disebabkan karena pada penyiapan inokulum telah dilakukan inokulasi selama 24 jam. Fase eksponensial merupakan fase dimana khamir membelah dengan cepat dan konstan. Pada fase ini kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh media dan kondisi lingkungan tempat tumbuhnya termasuk suhu dan kelembaban udara. Suhu pertumbuhan yang digunakan adalah 30oC yaitu suhu optimal bagi pertumbuhan Saccharomyces cerevisiae (Frazier dan Westhoff, 1978). c. Etanol Selama proses metabolisme, mikroba akan memanfaatkan sumber karbon menghasilkan asam piruvat melalui proses glikolisis. Selanjutnya khamir akan mengubah asam piruvat menjadi asetaldehida. Asetaldehida selanjutnya diubah menjadi etanol. Pola pembentukan etanol selama fermentasi dapat dilihat pada Gambar 10. Kadar Etanol (%v/v) 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Waktu (jam) Gambar 10. Pola pembentukan etanol selama fermentasi Gambar 10 memperlihatkan bahwa kadar etanol meningkat selama fermentasi. Pembentukan etanol terjadi pada fase eksponensial atau berasosiasi dengan pertumbuhan (growth associated), yaitu etanol akan terbentuk seiring dengan pertumbuhan sel. Sebelum jam ke-6 terlihat bahwa kadar etanol yang dihasilkan masih rendah. Hal ini disebabkan karena di dalam media fermentasi masih terdapat oksigen sehingga fermentasi belum berjalan optimal. Selain itu, rendahnya kadar etanol yang terbentuk sebelum jam ke-6 juga disebabkan karena pertumbuhan khamir masih pada fase adaptasi (lag). Kadar etanol meningkat setelah jam ke-6. Hal ini disebabkan karena khamir telah memasuki fase eksponensial. Hal ini dibuktikan oleh naiknya gram biomassa yang dihasilkan, meningkatnya konsumsi substrat yang ditandai oleh turunnya kadar gula pereduksi dan meningkatnya volume CO2 yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa di dalam media sudah tidak terdapat oksigen dan kondisi lingkungan sudah sesuai, sehingga khamir siap melakukan fermentasi. Laju pembentukan etanol terus meningkat sampai pada jam ke-30, sedangkan laju penggunaan substrat menurun. Pada kondisi ini khamir memanfaatkan substrat untuk membentuk produk. Pada fase ini laju pembentukan biomassa paling tinggi sehingga dihasilkan etanol dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Pada jam ke-30 sampai jam ke-48 laju pembentukan etanol berjalan lambat. Laju penggunaan substrat juga turun. Hal ini diduga disebabkan karena sudah terbentuknya produk yang bisa menjadi inhibitor. Menurut Clark dan Mackie (1984) khamir sangat peka terhadap sifat penghambatan etanol, konsentrasi etanol 1-2 % (v/v) sudah mengganggu fermentasi dan pada konsentrasi etanol 10% (v/v) laju pertumbuhan khamir akan berhenti sama sekali. Pada jam ke-54 sudah tidak diproduksi CO2, biomassa dan etanol. Dari kurva laju pembentukan biomassa dapat dilihat tidak adanya penambahan biomassa dan kadar etanol yang ditandai dengan kurva yang horizontal. Sama halnya dengan laju konsumsi substrat dimana tidak terlihat adanya penambahan konsumsi substrat. Hal ini mengindikasikan bahwa fermentasi hanya berlangsung sampai jam ke 54. Hal ini sesuai dengan pernyataan Paturau (1981) yang menyatakan bahwa fermentasi etanol memakan waktu 30-72 jam. d. Karbondioksida (CO2) Produktifitas fermentasi dapat dilihat dari volume CO2 yang dihasilkan. Hasil pengukuran laju pembentukan CO2 selama fermentasi disajikan pada Gambar 11 dan volume CO2 yang dihasilkan diperlihatkan pada Gambar 12. 900.0 Volume CO2 (ml/jam) 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 0.0 -100.0 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Waktu (jam) Gambar 11. Laju pembentukan CO2 selama fermentasi pada fermentor 2L 100000 Volume CO2 (ml) 10000 1000 100 10 1 0 3 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) Gambar 12. Volume CO2 yang terbentuk selama fermentasi pada fermentor 2 L Dari Gambar 11 dan 12 dapat dilihat bahwa pada enam jam pertama laju pembentukan CO2 lebih lambat jika dibandingkan dengan 6 jam berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal fermentasi masih terdapat oksigen sehingga proses fermentasi belum terjadi secara optimal. Akibatnya produk metabolit yang dihasilkan (etanol dan CO2) masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena khamir bersifat fakultatif anaerobik (Oura, 1983). Pada kondisi oksigen bebas terdapat dalam jumlah yang mencukupi, konversi akan menuju ke arah asimilasi sel dengan pembentukan produk metabolit dan produk antara ditekan rendah. Namun, pada kondisi oksigen bebas tidak ada sama sekali atau ada dalam jumlah sedikit terjadi konversi karbon menjadi etanol dan CO2. Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa pada jam ke-6 sampai jam ke18 terjadi peningkatan laju fermentasi yang diperlihatkan oleh meningkatnya laju pembentukan CO2. Pada fase ini kondisi proses fermentasi sudah optimal sehingga dihasilkan gas CO2 dan etanol yang tinggi. Setelah jam ke-18 terjadi penurunan laju pembentukan CO2 yang berarti terjadi penurunan laju fermentasi. Penurunan laju fermentasi ini diduga karena adanya akumulasi produk metabolit yaitu etanol dan asam yang kemudian menghambat laju fermentasi. Turunnya laju fermentasi berpengaruh terhadap laju pembentukan produk, biomassa dan konsumsi substrat. Sementara itu, pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa pada jam ke-6 sampai jam ke-30 volume CO2 yang dihasilkan terus meningkat. Setelah jam ke-30 terjadi penurunan laju pembentukan CO2. Hal ini mengakibatkan volume CO2 yang terbentuk setelah jam ke-30 mulai turun yang diperlihatkan oleh kurva yang cendrung horizontal. Pada jam ke-54 terlihat tidak terjadi lagi pembentukan CO2. Gambar 12 juga memperlihatkan bahwa pola pembentukan CO2 sama dengan pola pembentukan etanol. Pembentukan CO2 merefleksikan aktivitas pertumbuhan khamir. Menurut Bailey dan Olis (1988) pembentukan etanol berasosiasi dengan pertumbuhan sehingga pola pembentukan produk sama dengan pola pertumbuhan. e. Gula Pereduksi Penurunan kadar gula pereduksi menunjukkan penggunaan substrat oleh Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi. Pola penggunaan substrat selama fermentasi diperlihatkan pada Gambar 13. Penurunan Kadar Gula Pereduksi Gula Pereduksi (g/l) 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 0.000 0 3 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Waktu (jam) Gambar 13. Pola penggunaan substrat selama fermentasi Gambar 13 menunjukkan penurunan gula pereduksi pada hidrolisat pati sagu selama fermentasi berlangsung. Menurunnya jumlah substrat yang terdapat dalam cairan fermentasi disebabkan oleh pemanfaatan hidrolisat pati sagu oleh Saccharomyces cerevisiae selama fermentasi untuk pertumbuhan dan produksi produk (etanol). Pada jam ke-6 penurunan substrat lebih kecil dibandingkan dengan enam jam selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kondisi proses fermentasi yang belum optimal. Penurunan substrat ini sejalan dengan produksi etanol dan biomassa yang dihasilkan. Semakin rendah gula pereduksi sisa semakin tinggi kadar etanol dan biomassa yang dihasilkan. Laju penurunan gula pereduksi oleh fermentasi etanol berlangsung sampai jam ke-54. Namun, setelah jam ke-54 masih terjadi penurunan jumlah gula pereduksi. Hal ini diduga disebabkan karena rusaknya glukosa karena tidak disimpan pada kondisi sesuai penyimpanan. Pada akhir fermentasi yaitu pada jam ke-54 masih tersisa gula pereduksi sebesar 6.386 g/l atau efisiensi pemanfaatan substrat pada akhir fermentasi 93.6%. Dari informasi tersebut dapat dilihat bahwa masih terdapat komponen gula yang tidak dikonsumsi khamir. Hal ini disebabkan karena kandungan hidrolisat pati sagu masih mengandung disakarida seperti maltosa dan disakarida lainnya. Semakin sederhana gula yang terdapat dalam media fermentasi, semakin mudah gula dikonsumsi oleh khamir. Dari data analisa hidrolisat pati sagu terlihat bahwa hidrolisat pati sagu memiliki derajat polimerisasi 1.4 yang menunjukkan bahwa produk yang terbentuk adalah glukosa dan maltosa. f. Kinetika Fermentasi Kinetika fermentasi menggambarkan pertumbuhan dan pembentukan produk oleh suatu mikroba. Pertumbuhan mikroba ditandai dengan pertumbuhan jumlah sel yang semakin meningkat. Parameter kinetika fermentasi pada penelitian ini dihitung pada fermentasi hasil perlakuan terbaik yang dilakukan pada fermentor 2 liter. Perhitungan parameter kinetika dapat dilihat pada Lampiran 16. Nilai laju pembentukan biomassa, laju pembentukan produk dan laju penggunaan substrat digunakan untuk perhitungan kinetika fermentasi. Nilai µ maks digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan khamir. Selain itu dapat juga digunakan untuk menghitung lama waktu yang dibutuhkan oleh sel untuk memperbanyak diri dua kali dari massa sel sebelumnya. Nilai µ maks penelitian ini adalah 0.1882 jam-1 sehingga dihasilkan waktu ganda 3.36 jam. Artinya khamir membutuhkan waktu 3.36 jam untuk memperbanyak diri dua kali jumlah semula. Nilai Yp/x, Yp/s, Yx/s merupakan parameter yang sangat penting dalam proses fermentasi. Nilai ini berguna untuk menentukan jumlah substrat yang dibutuhkan untuk menghasilkan jumlah produk tertentu. Informasi kinetika digunakan untuk meningkatkan efisiensi fermentasi. Hasil penelitian ini menghasilkan nilai Yp/x = 6.2275 g produk/g biomassa, Yp/s = 0.2459 gram produk/gram substrat, Yx/s = 0.0386 gram biomassa/gram substrat. Penelitian Cot et al. (2006) pada fermentasi etanol menggunakan substrat glukosa oleh Saccharomyces cerevisiae strain CBS 8066 pada sistem semi sinambung selama 48 jam menghasilkan µ maks 0.38 jam-1, Yp/s 0.39 g/g, dan Yx/s 0.042 g/g. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dilihat bahwa nilai kinetika fermentasi menggunakan kultur murni Saccharomyces cerevisiae menggunakan hidrolisat pati sagu berada di bawah nilai kinetika pada penelitian Cot et al. (2006). Hal ini disebabkan karena perbedaan kondisi fermentasi, perbedaan sistem fermentasi, dan perbedaan galur Saccharomyces cerevisiae. Namun dari perbandingan nilai kinetika fermentasi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa hidrolisat pati sagu berpotensi digunakan sebagai media fermentasi etanol. Dengan kondisi fermentasi, sistem fermentasi dan galur Saccharomyces cerevisiae yang sama diduga nilai kinetika yang dihasilkan relatif akan sama. Secara teoritis konversi molekul gula menjadi 2 molekul etanol dan 2 molekul CO2 mengikuti persamaan Gay Lussac: C6H12O6 2 C2H5OH + 2 CO2 (gula) (etanol) (karbondioksida) Dari persamaan di atas dapat dijelaskan bahwa 51,1% gula diubah menjadi etanol dan 49.9% diubah menjadi karbondioksida. Akan tetapi hasil ini kebanyakan tidak dapat dicapai karena adanya hasil sampingan (Kunkee dan Amerine, 1970). Pada penelitian ini digunakan substrat dengan kandungan gula pereduksi awal 100.6 g/l. Etanol yang dihasilkan adalah 4.91% (v/v) atau 38.9 g/l, artinya sebanyak 41.28% substrat diubah menjadi etanol, sisanya diubah menjadi karbondioksida dan produk samping. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Hidrolisat pati sagu berpotensi sebagai sumber karbon pada media fermentasi etanol karena kandungan total gula yang tinggi yaitu sebesar 496.9 g/l, kadar gula pereduksi 352.6 g/l dan derajat polimerisasi 1.4. Berdasarkan fermentasi etanol dalam labu erlenmeyer didapatkan bahwa konsentrasi substrat awal berpengaruh nyata terhadap kadar etanol, gula pereduksi, efisiensi pemanfaatan substrat, pH dan volume CO2 yang dihasilkan. Perlakuan terbaik didapatkan pada substrat dengan total gula 14 % (b/v) menggunakan starter kultur murni Saccharomyces cerevisiae. Kultur murni Saccharomyces cerevisiae mempunyai kemampuan menghasilkan etanol lebih tinggi dibanding ragi roti. Namun, penyiapan inokulum ragi roti lebih mudah dibandingkan penyiapan inokulum kultur murni Saccharomyces cerevisiae. Hasil fermentasi menggunakan fermentor 2 L menunjukkan bahwa fermentasi etanol menghasilkan Nilai µ maks 0.1882 jam-1, td 3.36 jam nilai Yp/x 6.2275 gram produk/gram biomassa, Yp/s 0.2459 gram produk/gram substrat, Yx/s 0.0386 gram biomassa/gram substrat. B. SARAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka disarankan melakukan kajian optimasi proses fermentasi etanol dari hidrolisat pati sagu, fermentasi menggunakan sistem sinambung dan kajian tekno ekonomi produksi etanol dari hidrolisat pati sagu. DAFTAR PUSTAKA Abner, L. dan Miftahorrahman. 2002. Keragaan Industri Sagu Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Vol 8 No 1 Juni 2002. AOAC. 1995. Official Methode of Analysis of Association of Official Analitycal Chemistry, Washington DC. Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati sagu (Metroxylon sp.) Untuk Pembuatan Sirup Glukosa Menggunakan -amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Amerine. dan Cruess. 1960. The Technology of wine making. The Avi Publ, co. Inc., West Port, Connecticut. Amerine dan Ough. 1979. Methode of Analysis of Must and Wines. A WileyInterscience Publication, New York. Bailey, J.E. dan D.F. Ollis. Dasar - Dasar Biokimia. Terjemahan. PAU IPB, Bogor. Barnett, J.A., R. W. Payne dan D. Yarrow. 2000. Yeast Characteristic and Identification. Cambridge University Press, New York. Casida, J. R. 1968. Industrial Microbiology. John Wiley and Sons Inc., New York. Chaplin, M.F. dan Buckle. 1990. Enzym Technology. Cambridge University Press, New York. Clark, T. dan K. L. Mackie. 1984. Fermentation Inhibition in Word Hydrolisates Derived from the Softwood Pinus radiate. J. Chem. Biotechnol. Vol.34B : 101-110. Cot, M., Marie . O. L., Jean. F., dan Laurent. B. 2006. Physiological behaviour of Saccharomyces cerevisiae in aerated fed-batch fermentationfor high level production of bioethanol. FEMS Yeast Res 7 (2007) 22-32. Cofalec. 2006. General Characteristic of Fresh Baker’s http://www.cofalec.com/cofalecadmin/resources/fichiers/06-07. Yeast. Daulay, A. M. 1999. Pengaruh Jenis Khamir dan Penambahan Serbuk Kulit Kayu Pada Onggok Tapioka Terhadap Hasil Fermentasi Etanol. Skripi. Fateta IPB, Bogor. Flach, M. 1983. Sago Palm. Di dalam Haryanto dan Pangloli, 1992 . Potensi pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Frazier, W.C dan D.C Westhoff. 1978. Food Microbiology 4th ed. McGraw-Hill Book.Publishing.Co.Ltd, NewYork. Hanafiah, K. A. 2003. Rancangan Percobaan Aplikatif. Fajar Grafindo Persada, Jakarta. Hartoto, L. 1992. Petunjuk Laboratorium Teknologi Fermentasi, Depdikbud. PAU IPB, Bogor. Haryanto, B dan P. Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Kearsley, M.W dan S.Z. Dzeidzic, 1995. Handbook of Starch Hydrolisis Product and Their Derivates. Blackie Academic and Profesional, London. Knight, J.W. 1989. The Starch Industry. Pergamons Press, Oxford. Kulp, K. 1975. Carbohydrates. Di dalam G reed. Enzyme in food Processing. Academic Press, New York. Mangunwidjaja, D dan Suryani.A. 1994. Technology Bioproses, Penebar Swadaya, Jakarta. Moat, A. G. 1979. Microbiology Physiology. John Willey and Sons Inc, New York. Nikolov, Z.L. dan P.J Reilly. 1991. Enzymatic Depolimerization of Starch. Di dalam Dordick,J.S.(eds) Biocatalysts for Industry. Plenum Press., New York. Oura, E. 1983. Reaction Product of Yeast Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed). Biotechnology Volume III. Academic Press, New York. Paturau, J. M. 1991. By Product of the cane sugar Industry: and Introduction to Their Utilization. Elsevier Publ, Co, Amsterdam. Peppler, H.J. dan D. Perlman. 1973. Microbial Techology 2nd edition/Vol I. Academic Press, New York. Prescot, S. C. dan C. G. Dunn. 1981. Industrial Microbiology. McGraw- Hill Book Co. Ltd, New York. Reeed, G. dan H.J. Rehm. 1983. Biotechnology Vol III. Industrial Microbiology. AVI Publishing Company Inc. Westport, Connecticut. Retledge, C dan B. Kristiansen. 2001. Basic Biotechnology. Second Edition. Cambridge University Press, London. Rinaldy, W. 1987. Pemanfaaan Onggok Singkong (Manihot Esculenta Crantz) Sebagai Bahan Pembuatan Etanol. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Ruddle, K. Dennis., Patricia K.T dan J. D. Rees. 1978. Palm Sago A Tropical Starch From Marginal Lands. East-West Center, Honolulu. Rumalu. 1981. Di dalam Haryanto dan Pangloli, 1992 . Potensi pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Satrapradja, S., J. Palar M., H. Murni dan J. A. Johar 1980. Palem Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. Soerjono. 1980. Potensi Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Tjokroadikoesomo, P.S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta. Underkofler, L. A. dan R.J. Hickey. 1954. Industrial Fermentation. Chemical Publishing Co, New York. Vogel, H.C. 1983. Fermentation and Biochenical Engineering Hand Book. Noyes Publication. Mill Road Park Ride, New Jersey. Wang, D.I.C., C.L. Conney, A.L. Demain, P. Dunhil. A.E. Humprey dan M. D. Lily. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons Inc, New York. Whitaker, J.R. 1972. Principles of Enzymology for the Food Science. Marcel Dekker, Inc., New York. Wirakartakusumah, M.A., A. Apriyantono, M.S. Maarif, Suliantri, D. Muchtadi dan K. Otaka. 1986. Isolation and Characterization of Sago Starch and its utilization for production of Liquid Sugar. Di dalam FAO (eds) The Development of the Sago Palm and its Product. Reports of the FAO/BPPT Consultation, Jakarta, Januari 16-21. Wyman, E. Charles. 2001. Handbook on Bioethanol Production and Utilization. Taylor and Francis, New York. Lampiran 1. Diagram Alir Proses Produksi Etanol (Wyman, 2001) Karbohidrat Hidrolisis Fermentasi Etanol (+/- 10 % v/v) Distilasi Etanol (+/- 80 % v/v) Dehidrasi Etanol (+/- 80 % v/v) Lampiran 2. Prosedur Karakterisasi Pati Sagu a. Analisa kadar air (SNI 01-2891-1992) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya, diisi sebanyak 2 ml sampel lau ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 105oC selama 1-2 jam. Cawan alumunium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Ulangi pemanasan sampai dihasilkan bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang hilang sebagai kadar air. Kadar Air = (W1 – W2) x 100% W1 b. Analisa Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 gram contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin yang berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur 600oC untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin yang berisi abu kemudian dimasukkan ke dalam desikator lalu ditimbang sampai bobotnya konstan. Kadar Abu (%) = (C-A) x 100% B c. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Sebanyak 2-4 gram contoh dihilangkan lemaknya dengan cara ekstraksi menggunakan soxlet atau diaduk, mengenaptuangkan contoh dengan pelarut organik sebanyak 3 kali. Contoh dikeringkan dan ditambahkan 50 ml larutan H2SO4 1.25% kemudian didihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Setelah itu ditambahkan 50 ml NaOH 3.254% dan didihkan kembali selama 30 menit. Dalam keadaan panas cairan disaring dengan corong Buchner yang berisi kertas saring tak berabu Whatman yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan pada kertas saring berturut-turut dicuci dengan H2SO4 1.25% panas, air panas, dan etanol 96%. Kertas saring dan isinya diangkat dan ditimbang, lalu keringkan pada suhu 105oC sampai bobotnya konstan. Bila kadar serat kasar lebih dari 1% kertas saring beserta isinya diabukan dan ditimbang hingga bobotnya konstan. a. Kertas saring <= 1% Kertas saring+ contoh kering – kertas saring kosong x 100% Bobot Contoh b. Serat kasar > 1% Kertas saring + contoh kering – kertas saring kosong – bobt abu x 100% Bobot Contoh d. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat Soxlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar Lemak = Bobot lemak x 100% Bobot contoh e. Analisa Pati (AOAC 1995) Pembuatan pereaksi tembaga sulfat yaitu dengan melarutkan 28 gram Na2HPO4 anhydrous dan 4 gram sodium potasim tartarat dalam 700 ml air, ditambahkan 100 ml NaOH 1 N sambil diaduk kemudian ditambahkan 80 ml Kuprisulfat 10% (w/v) dan 180 g Na2SO4 anhydrous, kemudian larutan diendapkan menjadi 1 liter. Larutan dibiarkan selama satu malam, kemudian supernatan jernih didekantansi atau disaring. Pereaksi arsenomolibdat, yaitu dengan melarutkan 25 gram amonium molibdat dalam 450 ml air ditambahkan 21 ml H2SO4 pekat lalu dicampur hingga merata. Sebanyak 3 gram Na2H2SO4.7H2O yang sudah dilarutkan dalam 25 ml air ditambahkan dalam campuran. Kemudian diaduk dan diinkubasi pada 37oC selama 24-48 jam serta disimpan dalam botol botol coklat di dalam lemari. Pembuatan laruran glukosa standar, yaitu dengan melarutkan glukosa standar 1% (w/v) dalam asam benzoat jenuh yang diencerkan sehingga diperoleh larutan glukosa standar dengan konsentrasi masing-masing 50, 150 dan 300 µg/ml. Sebanyak 2 ml larutan sampel jernih yang bebas impuritas dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 2 ml pereaksi tembaga sulfat. Tabung reaksi ditutup dan ditempatkan dalam penangas air 100oC selama 10 menit. Kemudian didinginkan selama 5 menit dalam air mengalir. Selanjutnya ditambahkan 1 ml pereaksi arsenomolibdat dan dicampur merata. Pengukuran absorbansi pada panjang gelombang 500 dan 520 nm (absorbansi maksimum pada 660 nm). Blanko dibuat sama seperti di atas kecuali sampel diganti air. f. Analisa Amilosa (AOAC 1995) Sebanyak 40 mg amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih 1O menit sampai semua bahan membentuk gel. Setelah itu didinginkan dan dipindahkan seluruh campuran ke dalam labu takar 100 ml. Ke dalam masing-masing labu takar tersebut ditambahkan 2 ml larutan asam asetat 1 N masing-masing 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml, lalu ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 gram iod dan 2 gram KI dilarutkan dalam 100 ml air). Larutan dibiarkan selama 20 menit. Intensitas warna yang terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Sebanyak 100 mg sampel dalam bentuk tepung (sampel sebagian besar terdiri dari pati, jika mengandung komponen lainnya ekstrak dulu patinya baru dianalisa kadar amilosanya) dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N dan dipanaskan dalam air mendidih selama kurang lebih sepuluh menit sampai terbentuk gel. Seluruh gel dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, kocok tepatkan sampai tanda tera. Larutan tersebut dipipet 5 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod tera dengan air, kocok dan diamkan selama 20 menit. Lampiran 3. Pengukuran Aktivitas Enzim Enzim -amilase dan amiloglukosidase merupakan enzim yang bekerja memecah molekul-molekul pati dan glikogen. Aktivitas enzim diukur menggunakan metode DNS. Enzim diencerkan dengan buffer fosfat sitrat (BSF), untuk -amilase BSF pH 6.2 dan amiloglukosidase pH 4.5. Pengenceran enzim dilakukan 100-1000 kali. Enzim yang telah diencerkan diambil 1 ml lalu diinkubasi selama 5 menit, untuk -amilase suhu 90oC dan amiloglukosidase 60oC. Setelah diinkubasi ditambahkan 2 ml larutan soluble starch 2% dan diinkubasi selama 30 menit. Sebelumnya, sampel diambil pada menit ke-0. Enzim yang telah selesai diinkubasi kemudian diinaktivasi dengan NaOH 2N satu tetes. Pembuatan larutan soluble starch 2% (b/v) dilakukan dengan melarutkan soluble starch sebanyak 2 gram dalam 100 ml BSF ( -amilase BSH pH 6.2 dan Amiloglukosidase BSF pH 4.5). Hasil inkubasi yang diperoleh diukur gula pereduksinya dengan pereaksi DNS. Prosedur analisa sama dengan pengukuran gula pereduksi (Apriyantono et al., 1989). 1 unit enzim merupakan 1 µmol produk yang terbentuk dalam 1 menit. Satuan untuk aktivitas enzim yaitu U/ml. Aktivitas enzim = gula pereduksi (µg/ml) BM glukosa (µg/ml) x waktu inkubasi Lampiran 4. Proses Hidrolisis Pati Sagu (Akyuni, 2004). Pati sagu CaCO3 200 ppm Pencampuran Suspensi pati sagu 30% NaOH α-amilase Pengaturan pH 6.2 Gelatinisasi (105oC, 5 menit) Likuifikasi (90oC, pH 6,2, 210 menit) Amiloglukosidase Sakarifikasi (60oC, pH 4,5, 48 jam) Penyaringan Hidrolisat pati sagu Air Lampiran 5. Prosedur Analisa Hidrolisat Pati Sagu 1. pH Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah fermentasi menggunakan pH meter. 2. Kadar Gula Pereduksi Metode DNS (Miller, 1959) Sebanyak 10,6 gram asam 3,5 dinitrosalisitat dan 19,8 gran NaOH dilarutkan dalam 1416 ml air. Ke dalamnya ditambahkan 306 gram NaK-Tartat, 7,6 ml Fenol yang telah dicairkan pada suhu 105oC dan 8,3 gram Na-metabisulfit. Bahan-bahan tersebut dicampurkan hingga larut merata. Keasaman dari pereaksi DNS yang dihasilkan ditentukan. Sebanyak 3 ml larutan DNS dititrasi dengan HCL 0,1 N menggunakan indikator fenoftalein. Banyaknya titran berkisar 5-6 ml. Untuk setiap kekurangan HCL 0,1 N pada titrasi ditambahkan 2 gram NaOH. 3. Total Gula Metode Fenol H2SO4 (Dubois et al., 1956) Sebanyak 2 ml larutan contoh dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu tambahkann 1 ml larutan fenol 5%, kocok kedua larutan. Tambahkan 5 ml asam sulfat pekat dengan cepat secara tegak lurus ke atas permukaan larutan. Biarkan selama 10 menit, kemudian kocok dan tempatkan dalam penangas air selama 15 menit. Ukur total gula pada panjang gelombang 490 nm. Bila diperlukan, contoh diencerkan agar dapat terukur pada kisaran 20-80%T (Transmitan). Pembuatan kurva standar sama dengan prosedur pengukuran sampel, hanya sampel diganti dengan larutan glukosa standar sebesar 0, 10, 20, 30, 40, 50, dan 60 µg glukosa. 4. Ekuivalen Dekstrosa Ekuivalen dekstrosa diperoleh dengan membagi nilai gula pereduksi sampel dengan nilai pereduksi hidrolisat pati hidrolisis sempurna. Hidrolisat pati dari hidrolisis sempurna didapatkan dengan menambahkan enzim berlebih. Suspensi pati 30% ditambahkan - amilase sebesar 10 U/g pati, likuifikasi selama 3,5 jam. Turunkan pH, tambahkan AMG dengan dosis 10 U/g pati, sakarifikasi selama 24-72 jam. DE = Kadar gula pereduksi sample x 100% Kadar gula pereduksi hidrolisis sempurna 5. Derajat Polimerisasi Derajat polimerisasi (DP) yaitu jumlah unit monomer dalam suatu polimer. Derajat polimerisasi diperoleh dengan membagi nilai total gula (fenol sulfat) dengan nilai pereduksi sampel. 6. Efisiensi Pemanfaatan Substrat Efisiensi pemanfaatan substrat (%) = B – A X 100% A Keterangan : A = Kadar gula pereduksi awal B = Kadar gula pereduksi akhir Lampiran 6. Prosedur Pengukuran Biomassa (Pons et al., 1990) Sebanyak 1,5 ml sampel dimasukkan ke dalam tabung eppendorf yang telah diketahui bobot awalnya. Setelah itu sampel disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama 5 menit. Kemudian dilakukan pemisahan antara supernatan dengan biomassanya. Tabung eppendorf yang telah berisi biomassa dimasukkan akuades steril sebanyak 1,5 ml kemudian dilakukan sentrifugasi kembali. Pemisahan antara akuades dan biomassa dilakukan, kemudian tabung eppendorf yang berisi biomassa dikeringkan pada suhu 50oC selama 24 jam. Bobot kering biomassa adalah bobot tabung yang berisi biomassa yang telah dikeringkan dikurangi dengan bobot awal Bobot sel kering (g/l) = Bobot Biomassa Kering ml sampel Lampiran 7. Prosedur Analisa kadar etanol (% v/v) Metoda Spesific Gravity) (Sjamsuriputra et al., 1986). Setelah fermentasi berakhir, medium diaduk sampai homogen dan sebanyak 25 ml diukur dengan teliti kemudian dinetralkan dengan NaOH 1,0 N dan ditambah dengan aquades hingga volume 50 ml. Campuran didestilasi hingga diperoleh destilat sebanyak 23 ml. Piknometer volume 25 ml dibersihkan dan dikeringakan dengan tisu. Kemudian diisi dengan aquades sampai penuh dan ditimbang dengan teliti. Cairan yang menempel pada dinding piknometer dikeringkan dengan kertas tisu dan ditimbang dengan teliti. Berat air = (bobot piknometer berisi aquades – bobot piknometer kosong) Piknometer yang sama dikeringkan dan diisi dengan destilat yang mengandung etanol dan ditutup dengan baik. Cairan yang menempel pada dinding piknometer dikeringkan dengan tisu dan ditimbang dengan teliti. Berat sampel = (bobot piknometer berisi sampel – bobot piknometer kosong) Apparent Spesific Gravity = (Berat sampel / berat air) Kadar etanol hasil fermentasi dapat dihitung menggunakan ”Apparent spesific gravity” menggunakan Tabel Hubungan Volume Etanol (%v/v) dengan Apparent Spesific Gravity pada berbagai suhu (AOAC, 1999). Lampiran 8. Neraca Massa Produksi Hidrolisat Pati Sagu Mpati sagu = 100 g MCaCo3 = 0.067 g Makuades= 261.71 g MNaOH = 0.001 g Pencampuran Malfa-amilase = 1.88 g Makuades = 0.06 g MAMG = 1.660 g MHCL = 0.002 g Likuifikasi Sakarafikasi MHidrolisat Pati Sagu = 307.778 g MH2O = 3.23 g MH2O = 13.55 g Lampiran 9. Analisa Cairan Fermentasi Pada Penentuan Konsentrasi Substrat dan Jenis Inokulum Terbaik Perlakuan 8S 8R 14 S 14 R 20 S 20 R Kadar etanol (%v/v) 2.76 2.32 4.66 3.91 3.18 2.65 Gula Pereduksi Akhir (g/l) 3.00 3.20 25.00 38.05 60.37 66.35 Efisiensi Pemanfaatan Substrat (%) 94.7 94.4 75.1 62.1 57.5 53.2 pH 3.38 3.41 3.28 3.30 3.29 3.33 Keterangan : 8S 8R 14 S 14 R 20 S 20 R : Konsentrasi gula 8% (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae : Konsentrasi gula 8% (b/v) menggunakan Ragi roti : Konsentrasi gula 14% (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae : Konsentrasi gula 14% (b/v) menggunakan Ragi roti : Konsentrasi gula 20% (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae : Konsentrasi gula 20% (b/v) menggunakan Ragi roti Lampiran 10. Analisis Keragaman Terhadap Kadar Etanol Sumber Jenis Starter Konsentrasi Substrat Interaksi Error Total Jumlah Kuadrat Tengah Derajat Kebebasan Kuadrat Tengah FHitung Signifikan 1.360 1 1.360 27.164 .001 6.776 2 3.388 67.669 .000 128.970 1 128.970 .000 .401 137.507 8 12 .050 2575.7 4 Fhitung > Ftabel atau Signifikan < 0.05 maka jenis starter dan konsentrasi substrat memberikan perbedaan yang berbeda nyata terhadap kadar etanol. Uji Duncan pada interaksi konsentrasi substrat dan jenis inokulum terhadap kadar etanol Interaksi Rata-rata Kelompok Duncan ( = 0.05)* 14S 4.65 A 14R 3.90 B 20S 3.10 C 20R 2.65 CD 8S 2.52 CD 8R 2.32 D Keterangan : * : Berpengaruh sangat nyata 8S : Konsentrasi gula 8 % (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae 14 S : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 20 S : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 8R : Konsentrasi gula 8 % menggunakan Ragi roti 14 R : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Ragi roti 20 R : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Ragi roti Lampiran 11. Analisis Keragaman Terhadap Kadar Gula Pereduksi Sumber Jenis Starter Konsentrasi Substrat Interaksi Error Total Jumlah Kuadrat Tengah Derajat Kebebasan 123.200 1 7270.901 2 12802.067 85.359 7479.461 FHitung Signifikan 11.547 .009 3635.451 340.720 .000 1199.83 1 .000 Kuadrat Tengah 123.200 1 12802.067 8 11 10.670 F hitung > Ftabel atau Signifikan < 0.05 maka jenis starter dan konsentrasi substrat memberikan perbedaan yang berbeda nyata terhadap gula pereduksi Uji Duncan pada interaksi konsentrasi substrat dan jenis inokulum terhadap gula pereduksi Interaksi Rata-rata Kelompok Duncan ( = 0.05)* 20R 66.35 A 20S 60.37 B 14R 38.05 C 14S 25.00 D 8R 3.20 E 8S 3.00 E Keterangan : * : Berpengaruh sangat nyata 8S : Konsentrasi gula 8 % (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae 14 S : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 20 S : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 8R : Konsentrasi gula 8 % menggunakan Ragi roti 14 R : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Ragi roti 20 R : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Ragi roti Lampiran 12. Analisis Keragaman Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Substrat Sumber Jenis Starter Konsentrasi Substrat Interaksi Error Total Jumlah Kuadrat Tengah Derajat Kebebasan 102.434 1 3176.364 2 63679.642 86.063 67044.502 FHitung Signifikan 9.522 .015 1588.182 147.630 .000 5919.36 4 .000 Kuadrat Tengah 102.434 1 63679.642 8 12 10.758 F hitung > Ftabel atau Signifikan < 0.05 maka jenis starter dan konsentrasi substrat memberikan perbedaan yang berbeda nyata terhadap efisiensi pemanfaatan substrat Uji Duncan pada interaksi konsentrasi substrat dan jenis inokulum terhadap efisiensi pemanfaatan substrat Interaksi Rata-rata Kelompok Duncan ( = 0.05)* 8S 94.71 A 8R 94.35 B 14S 75.15 C 14R 62.18 D 20S 57.45 E 20R 53.24 E Keterangan : * : Berpengaruh sangat nyata 8S : Konsentrasi gula 8 % (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae 14 S : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 20 S : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 8R : Konsentrasi gula 8 % menggunakan Ragi roti 14 R : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Ragi roti 20 R : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Ragi roti Lampiran 13. Analisis Keragaman Terhadap Nilai pH Sumber Jenis starter Konsentrasi Interaksi Error Total Jumlah Kuadrat Tengah Derajat Kebebasan Kuadrat Tengah .003 .025 1 2 133.200 1 .010 133.235 8 12 FHitung .003 2.842 .012 13.088 14021 133.200 0.561 .001 Signifikan .030 .003 .000 F hitung > Ftabel atau Signifikan < 0.05 maka jenis starter dan konsentrasi substrat memberikan perbedaan yang berbeda nyata terhadap nilai pH. Uji Duncan pada interaksi konsentrasi substrat dan jenis inokulum terhadap nilai pH Interaksi Rata-rata Kelompok Duncan ( = 0.05)* 8R 3.41 A 8S 3.38 B 20R 3.30 C 20S 3.29 C 14R 3.28 C 14S 3.28 C Keterangan : * : Berpengaruh sangat nyata 8S : Konsentrasi gula 8 % (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae 14 S : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 20 S : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 8R : Konsentrasi gula 8 % menggunakan Ragi roti 14 R : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Ragi roti 20 R : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Ragi roti Lampiran 14. Volume CO2 yang terbentuk CO2 selama fermentasi dengan berbagai perlakuan jam ke 0 3 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 8S 0 5 100 350 325 150 10 0 0 0 0 0 0 0 14S 0 17 150 480 475 410 260 29 10 1 0 0 0 0 20S 0 13 120 470 460 300 200 120 5 0 0 0 0 0 8R 0 10 75 355 300 50 5 0 0 0 0 0 0 0 14R 0 15 130 480 300 250 100 50 10 0 0 0 0 0 20R 0 10 100 410 300 200 50 5 0 0 0 0 0 0 Keterangan : * : Berpengaruh sangat nyata 8S : Konsentrasi gula 8 % (b/v) menggunakan Saccharomyces cerevisiae 14 S : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 20 S : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Saccharomyces cerevisiae 8R : Konsentrasi gula 8 % menggunakan Ragi roti 14 R : Konsentrasi gula 14 % menggunakan Ragi roti 20 R : Konsentrasi gula 20 % menggunakan Ragi roti Lampiran 15. Hasil Analisa Cairan Fermentasi pada Fermentor 2 L Waktu (jam) 0 3 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72 Substrat Biomassa P (g/l) S (g/l) X (g/l) 100.60 0.00 0.67 93.10 4.18 0.73 69.20 23.84 1.87 37.40 32.05 2.80 30.30 35.44 3.27 17.30 37.10 3.87 10.90 37.65 4.07 10.70 38.41 4.33 6.50 38.41 4.40 6.44 38.41 4.41 6.39 38.97 4.41 6.36 38.97 4.31 4.02 38.97 4.21 3.80 38.97 4.21 X-Xo ln X 0.063 1.200 2.133 2.600 3.206 3.400 3.660 3.733 3.740 3.740 3.646 3.539 3.540 -0.405 -0.315 0.624 1.030 1.184 1.354 1.403 1.465 1.482 1.483 1.483 1.462 1.449 1.437 µ (jam-1) So-S -0.105 0.104 0.086 0.066 0.056 0.047 0.041 0.035 0.031 0.027 0.024 0.022 0.020 96.42 76.76 68.55 65.16 63.50 62.95 61.85 61.85 61.85 61.85 61.85 61.85 61.85 Lampiran 16. Perhitungan Parameter Kinetika Fermentasi Laju Pertumbuhan Spesifik Maksimum y = 0.1882x + 0.5544 R2 = 0.9015 1.60 1.40 ln X (g/l) 1.20 1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 0.00 0 1 2 3 4 5 6 Waktu (jam) Perhitungan Yx/s 4.000 y = 0.0386x - 0.0989 R2 = 0.9808 3.500 X-Xo (g/l) 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 0.500 0.000 0.000 20.000 40.000 60.000 S-So (g/l) 80.000 100.000 P-Po (g/l) Perhitungan Yp/s 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 0.000 y = 0.2459x + 16.598 R2 = 0.9716 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 S-So (g/l) P-Po (g/l) Perhitungan Yp/x 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 0.000 y = 6.2275x + 17.599 R2 = 0.9451 0.500 1.000 1.500 2.000 X-Xo (g/l) 2.500 3.000 3.500 4.000