BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN

advertisement
BAB IV
PENGOLAHAN DATA DAN PEMBAHASAN
4.1.
UJI SIFAT FISIK
Parameter uji sifat fisik dari sampel batuan didapatkan dengan melakukan perhitungan
terhadap data berat natural contoh batuan (Wn), berat jenuh contoh batuan (Ws), berat
contoh batuan di dalam air ( Ww), dan dan berat kering contoh batuan (Wo)
menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :
a. Bobot isi asli (natural density)
=
Wn
Ww  Ws
b. Bobot isi kering (dry density)
=
Wo
Ww  Ws
c. Bobot isi jenuh (saturated density)
=
Ww
Ww  Ws
d. Kadar air asli (natural water content)
=
Wn  Wo
 100%
Wo
e. Kadar air jenuh (saturated water content)
=
Ww  Wo
 100%
Wo
f. Porositas (porosity), n
=
Ww  Wo
 100%
Ww  Ws
g. Nisbah Void (void ratio), e
=
n
 100%
1 n
Hasil uji sifat fisik menunjukkan standar deviasi yang kecil untuk setiap parameter
sehingga dapat dikatakan karakteristik fisik contoh batuan relatif seragam, kecuali untuk
parameter kadar air jenuh. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kadar air asli y ang memang
sudah cukup besar antara setiap contoh batuan sebelum uji sifat fisik dilakukan.
Hasil pengujian sifat fisik diberikan pada Tabel 4.1 berikut.
IV-1
Tabel 4.1
Hasil Uji Sifat Fisik Batuan
No
Kode Sampel
1
2
3
4
SF-PTFI-1
SF-PTFI-2
SF-PTFI-3
SF-PTFI-4
d

3
s
3
3
w
S
n
e
(gr/cm )
(gr/cm )
(gr/cm )
%
%
%
2,66
2,66
2,83
2,69
2,63
2,64
2,81
2,66
2,67
2,67
2,84
2,69
0,96
0,89
0,76
0,83
79,22
79,17
80,00
71,43
3,21
2,96
2,69
3,10
0,03
0,03
0,03
0,03
Rata-rata
0,86
77,45
2,99
0,03
Standar Deviasi
0,07
3,49
0,19
0,00
Rekapitulasi data uji sifat fisik selengkapnya dapat dilihat pada lampiran A.
4.2.
UJI KUAT TEKAN
Uji kuat tekan uniaksial ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar nilai tegangan
yang harus diberikan pada saat uji emisi akusti k dilakukan. Telah dijelaskan sebelumnya
bahwa tegangan yang diberikan terhadap contoh batuan pada saat uji emisi akustik tidak
boleh melebihi batas elastis dari contoh uji. Sehingga harus diketahui nilai tegangan
maksimum yang boleh diberikan pada saat uj i emisi akustik agar contoh batuan tidak
pecah.
Dalam uji kuat tekan dilakukan pendekatan secara sederhana. Namun demikian, dalam
menginterpretasikan hasil uji yang diperoleh diperlukan kehati -hatian dan ketelitian.sifat
dan komposisi batuan, serta kondis i contoh akan mempengaruhi reaksi yang dihasilkan.
Untuk batuan dengan mineralogi yang sama, kuat tekan uniaksial (σ c) akan berkurang
seiring dengan meningkatnya porositas, derajat pelapukan, dan kadar air.
IV-2
Dalam pengujian ini data yang diperoleh adalah data tegangan, regangan aksial, dan
regangan lateral dari contoh batuan. Dari data-data tersebut akan dibuat suatu grafik
tegangan terhadap regangan dari contoh batuan seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.1.
Kurva Tegangan - Regangan
UCS AE - 1
140,0
σc
120,0
100,0
σE
(MPa)
80,0
60,0
σc
σE
σcc
E

40,0
20,0
σcc
= 127,39
= 100,32
= 27,07
= 15,556
= 0,18
Mpa
MPa
Mpa
Gpa
0,0
-0,8
-0,3
0,2
Axial
0,7
Lateral
1,2 (%)
Volumetric
Gambar 4.1
Kurva Tegangan-Regangan
Rekapitulasi data uji kuat tekan selengkapnya dapat dilihat pada lampiran B.
IV-3
4.3.
UJI EMISI AKUSTIK
Pengujian emisi akustik ini dilakukan dengan memberikan pembebanan uniaksial
terhadap contoh batuan yang menghasilkan aktivitas emisi akusti k (hits). Hits adalah
jumlah suara yang terekam untuk setiap kN beban yang diberikan terhadap contoh
batuan. Pembebanan dilakukan dalam siklus yang bervariasi tergantung dari kekuatan
batuan. Besarnya tekanan yang diberikan harus lebih kecil daripada nila i rata-rata kuat
tekan batuan dan berada pada daerah elastis, yaitu daerah di antara closing crack dan
yield point dimana tidak terjadi deformasi yang permanen pada saat tekanan dibuat nol .
4.3.1. Grafik Keluaran Uji Emisi Akustik Menggunakan Mistras 2001
Software uji emisi akustik Mistras 2001 dapat menampilkan lebih dari 12 jenis grafik.
Parameter grafik keluaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Gambar 4.2
Berbagai Grafik Keluaran Program Mistras 2001
IV-4
Pada penelitian ini, grafik hasil uji AE yang dipil ih adalah grafik jumlah sinyal emisi
akustik (hits) terhadap gaya (kN) seperti ditunjukkan oleh Gambar 4.3 .
Gambar 4.3
Grafik Hits Vs Gaya Keluaran Program Mistras 2001
Pada gambar terlihat bahwa pada awal pembebanan aktivitas emisi akustik tinggi, na mun
turun secara konstan seiring dengan meningkatnya pembebanan. Hal ini disebabkan
karena aktivitas penutupan rekahan yang menghasilkan sinyal emisi akustik yang kuat.
Seiring dengan tertutupnya rekahan -rekahan pada contoh batuan, akan terjadi fase
kompaksi dan deformasi linier. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan kurva emisi
akustik yang relatif stabil. Fase selanjutnya, yaitu fase terjadinya rekahan mikro dengan
propagasi stabil akan menyebabkan aktivitas emisi akustik kembali mengalami
peningkatan. Kenaikan aktivitas emisi akustik saat propagasi stabil inilah yang disebut
dengan efek Kaiser.
IV-5
4.3.2. Penentuan Efek Kaiser Secara Grafis
Hasil yang ingin diketahui dalam uji emisi akustik adalah nilai tegangan pada saat efek
Kaiser terdeteksi, yakni saat terjadi p eningkatan aktivitas emisi akustik. Pembacan efek
Kaiser ini dilakukan secara grafis. Penarikan garis dilakukan berdasarkan kecenderungan
aktivitas emisi akustik yang terjadi.
Gambar 4.4
Pembacaan Efek Kaiser Secara Grafis
Efek Kaiser ditentukan berdasarkan perpotongan antara garis yang menyatakan posisi
terakhir dari penurunan aktivitas emisi akustik yang cenderung stabil dengan garis yang
mewakili nilai kenaikan kurva uji emisi akustik.
IV-6
4.4.
PERHITUNGAN TEGANGAN IN SITU
4.4.1. Data Masukan
Data masukan yang diperlukan dalam estimasi nilai tegangan in situ adalah data hasil uji
emisi akustik. Data ini didapatkan dengan pembacaan efek Kaiser secara grafis pada
grafik keluaran uji emisi akustik seperti telah ditunjukkan sebelumnya. Ser ingkali untuk
suatu contoh batuan, efek Kaiser yang terdeteksi pada siklus yang berlainan
menghasilkan pembacaan tegangan (σ KE) yang nilainya berbeda. Sehingga diambil suatu
nilai σKE rata-rata untuk menyatakan nilai tegangan in situ bagi sebuah contoh bat uan.
Nilai σ KE rata-rata untuk setiap contoh batuan, dengan orientasinya diberikan dalam tabel
4.2 berikut.
Tabel 4.2
Nilai σKE Rata-rata dan Orientasi Setiap Contoh Batuan
Kode Sampel
Dip
Direction
Dip
σKE (MPa)
AE-01
AE-02
AE-03
AE-04
AE-05
AE-06
329
59
239
282
107
11
0
5
85
32
39
39
32.24
17.50
12.81
31.98
12.65
31.45
Rekapitulasi data σ KE hasil uji emisi akustik untuk setiap siklus dapat dilihat pada
lampiran C.
IV-7
4.4.2. Penentuan Cosinus Arah Contoh Batuan
Dengan menggunakan persamaan [2.47], [2.48], dan [2.49], komponen tensor tegangan
untuk setiap contoh batuan pada arah sumbu koordinat kartesian ( x,y,z) dapat diketahui.
Sebagai contoh, perhitungan cosinus arah untuk contoh AE -01 (AE-01x, AE-01y, AE-01z)
dilakukan sebagai berikut :
Tensor : AE-01
Dip Direction (Φ) = 329°
Dip (θ ) = 0°
Perhitungan nilai komponen-komponen tensor tegangan AE -01 :
AE-01x = cos(θ).cos(Φ)
= cos(0°).cos(329°)
= 0,85717
AE-01y = cos(θ).sin (Φ)
= cos(0°).sin(329°)
= - 0,51504
AE-01z = cos(90°-θ)
= cos(90°-0°)
=0
Pembuktian ketegaklurusan komponen -koponen tensor tegangan :
(AE-01x)2 + (AE-01x)2 + (AE-01x)2
= 0,73473 + 0,26526 + 0
= 0,9999 ≈ 1
IV-8
Data hasil perhitungan cosinus arah untuk setiap contoh batuan diberikan dalam tabel 4.3
berikut
Tabel 4.3
Cosinus Arah Contoh Batuan
Syarat Cosinus Arah
Tensor
AE-01
AE-02
AE-03
AE-04
AE-05
AE-06
Cosinus Arah
x
y
z
x
y
z
x
y
z
x
y
z
x
y
z
x
y
z
2
2
2
(x +y +z )
0,85717
-0,51504
0
0,51308
0,85391
0,08716
-0,04489
-0,07471
0,99619
0,17632
-0,82952
0,52992
-0,22722
0,74319
0,62932
0,76287
0,14829
0,62932
1
1
1
1
1
1
4.4.3. Pembentukan Persamaan Matriks dan Perhitungan
Dengan data masukan dari tabel 4.3, persamaan [2.45] akan menjadi :
32,24 
 17,5 
 12,81 

=
 31,98 
12,65 
 31,45 


0,73474
0,26325

 0,00201
0,03108
0,05163
0,58196

0,26526
0
0,72915 0,00760
0,00558 0,99240
0,68809
0,28081
0,55233 0,39604
0,02199 0,39604

0,87624
0,14885
0,08944 

0,00671  0,14885  0,08944

 0,29252  0,87915 0,18687 
 0,33773
0,9354
 0,28598 

0,22625
0,18664
0,96018 
 0,88295
0
0
 x 
 y 
 
 z 
 xy 
 yz 
 xz 
 
IV-9
atau
[A] = [B] [C]
Dan berdasarkan persamaan [2.46] persamaan matriks menjadi :
 x  
 y  
  
 z  = 
 xy  
 yz  
 xz  
  
0,73474
0,26325
0,00201
0,03108
0,05163
0,58196
0,26526
0,72915
0,00558
0,68809
0,55233
0,02199
0
0,00760
0,99240
0,28081
0,39604
0,39604
 0,88295
0,87624
0,00671
 0,29252
 0,33773
0,22625
0
0,14885
 0,14885
 0,87915
0,9354
0,18664
0

0,08944 

 0,08944

0,18687 
 0,28598 

0,96018 
1
32,24 
 17,5 


 12,81 
 31,98 
12,65 
 31,45 


atau
[C] = [B] -1 [A]
Dengan menghitung invers dari matriks B, persamaan matriks yang dipe rluas menjadi :
 x   1,239 0,758 0,513  0,721  0,699  0,091 32,24 
 y    0,152 0,320  0,418 0,721 0,569  0,04   17,5 
  


0
0,130
0,13
 z  =  0,087  0,078 0,904
  12,81 
 xy   0,147 0,727 0,302  0,384  0,411  0,087   31,98 
 yz    0,19  0,114  0,268  0,348 0,667 0,252  12,65 
 xz   0,640  0,584  0,694 0,579 0,324 1,015   31,45 

  

Sehingga didapatkan
 x   25 
 y   24,3 
  

 z  =  13,2 
 xy    8,4 
 yz   6,3 
 xz   14,8 
  

IV-10
Dalam bentuk matriks tensor tegangan :
 25 - 8,4 14,8 
 =  8,4 24,3  6,3  MPa


 14,8  6,3 13,2 
4.5.
PERHITUNGAN NILAI DAN ARAH TEGANGAN UTAMA
4.5.1. Perhitungan Nilai Tegangan Utama
Nilai tegangan utama ditentukan dengan menggunakan invarian tegangan (I). Penentuan
nilai invarian tegangan dilakukan dengan menggunakan persamaan [2.24], [2.25], dan
[2.26] berdasarkan data nilai tegangan in situ [ σ] sebagai berikut :
I1 = 25,04 + 24,34 + 13,16
= 62,54
I2 = (25,04).(24,34) + (24,34).(13,16) + (13,16).(25,04) - ((-8,36)2 + (14,79)2 + (-6,3) 2)
= 931,38
I3 = σxσyσz + 2 σxyσyzσzx – (σxσyz2 + σyσzx2 + σzσxy2)
= 2344,36
Input ketiga nilai invarian pada persamaan [2.19] akan menghasilkan persamaan derajat
tiga berikut:
σp3 – 62,54σp2 + 931,38σp – 2344,36 = 0
Dengan menyelesaikan persamaan derajat tiga diatas, akan didapatkan nilai -nilai dari
tegangan utama yang bekerja, yaitu :
σ1 = 41,4 MPa,
σ2 = 18,0 MPa
σ3 = 3,1 MPa.
IV-11
atau dalam bentuk matriks tensor tegangan :
 41,4 0
principal =  0 18,0

0
 0
0
0
3,1

 Mpa


Pembuktian syarat kesetimbangan tegangan dilakukan berdasarkan persamaan [2.27]
sebagai berikut :
41,4 + 18 + 3,1 = 25 + 24,3 + 13,2
62,5 = 62,5 ( Terbukti )
4.5.2. Penentuan Arah Sumbu Utama
Akan dihitung arah (azimuth) dan kemiringan (dip) dari tegangan utama mayor ( σ1).
Nilai A1, B1, dan C 1 dari σ1 dihitung berdasarkan persamaan [2.31], [2.32], dan [2.33]
dengan data masukan nilai tegangan in situ dan tegangan utama mayor sebagai berikut :
A1
=
=
24,3  41,4
 6,3
 6,3
13,2  41,4
 17,1  6,3
 6,3
 28,2
= 442,53
B1
= 
= 
 8 .4
 6 ,3
14,8
13,2  41,4
 8 .4
 6 ,3
14,8
- 28,2
= - 330,12
IV-12
C1
=
=
 8 .4
24,3  41, 4
14,8
 6 ,3
 8 .4
 17,1
14,8
 6 ,3
= 306
Sehingga :
λx1 =
λy1 =
λz1 =
442,53
(442,53)2  ( 330,12)2  (306)2
- 330,12
(442,53)2  ( 330,12)2  (306)2
306
(442,53)2  ( 330,12)2  (306)2
=
=
=
442,53
631,23
= 0,701 (cos 45,49°)
 330 ,12
631,23
306
631,23
= -0,523 (cos 121,52°)
= 0,485 (cos 61°)
Syarat cosinus arah :
(λx1)2 + (λy1)2 + (λz1)2 = 1
(0,701)2 + (-0,523)2 + (0,485)2 = 0,494 + 0,272 + 0,234 = 1 (terbukti)
Perhitungan azimuth dilakukan dengan substitusi nilai λ x1 dan λ y1 pada persamaan [2.47]
dan [2.48] :
λx = λ cos θ1 cos Φ1
λ cos 45,36° = λ cos 29° cos Φ1
0,703 = 0,875 cos Φ 1
0,803 = cos Φ 1 (nilai cosinus positif jika Φ 1 ≤ 90° dan 270° ≤ Φ1 ≤ 360°)
λy = λ cos θ1 sin Φ1
λ cos 121,45° = λ cos 29° sin Φ1
-0,522 = 0,875. sin Φ1
-0,596 = sin Φ 1 (nilai sinus negatif jika 270° ≤ Φ1 ≤ 360° dan 270° ≤ Φ1 ≤ 360°)
IV-13
Disini dapat dilihat bahwa nilai Φ 1 yang memenuhi syarat dari kedua persamaan diatas
adalah 270° ≤ Φ1 ≤ 360°. Karena cos Φ1 = cos (360°- Φ1), dan 270° ≤ Φ1 ≤ 360°, maka :
Φ1 = 360° - arc cosinus (0,803) = 360° - 36,58° = 323,42°
Perhitungan kemiringan dilak ukan dengan substitusi nilai λ z1 pada persamaan [2.14] :
λz = λ cos (90°- θ1)
λ cos 61° = λ cos (90°- θ1)
cos 61° = cos (90°- θ1)
θ1 = 90°- 61°
θ1 = 29°
Jadi sumbu utama satu memiliki arah N 323,42° E dan kemiringan sebesar 29°.
Dengan cara yag sama, sumbu utama 2 dan sumbu utama 3 akan dapat ditentukan
orientasinya. Rekapitulasi hasil perhitungan besar dan arah dari ketiga tegangan utama
diberikan dalam tabel 4.4 berikut ini.
Tabel 4.4
Nilai Tegangan Utama dan Orientasi Sumbu Utama
Tegangan Utama
Maximum
Intermediet
Minimum
Nilai Tegangan
(MPa)
41,4
18
3,1
Orientasi
Arah (N …° E) Kemiringan
323,38°
28,93°
62,18°
15,47°
356,86°
303,5°
IV-14
Syarat orthogonalitas untuk ketiga sumbu utama dipenuhi oleh persamaan [2.35], [2.36],
dan [2.37].
Periksa ketegaklurusan sumbu utama 1 terhadap sumbu utama 2 :
λx1λx2 + λy1λy2 + λz1λz2 = 0
(0,701)(-0,448)+(-0,523)(-0,856)+(0,485)((-0,258) = 0,008 ≈ 0 (terbukti)
Periksa ketegaklurusan sumbu utama 3 terhadap sumbu utama 1 :
λx3λx1 + λy3λy1 + λz3λz1 = 0
(0,556)(0,701)+(-0,027)(-0,523)+(-0,83)(0,485) = 0,0013 ≈ 0 (terbukti)
Periksa ketegaklurusan sumbu utama 2 terhadap sumbu utama 3 :
λx2λx3 + λy2λy3 + λz2λz3 = 0
(-0,048)(0,556)+(-0,856)(-0,027)+(0,258)(-0,83) = 0,01 ≈ 0 (terbukti)
4.6.
Pembahasan
Pengujian ini dilakukan pada contoh batuan Diorite yang berasal dari AB Tunnel PT
Freeport Indonesia, Papua. Kedalaman lokasi pemboran contoh batuan adalah 751 m.
Dengan densitas rata-rata batuan yang sebesar 2,71 ton/m 3, perhitungan tegangan vertikal
secara teoritis menggunakan persamaan [2. 37] menghasilkan nilai 20,352 MPa,
sementara dari persamaan [2. 38] akan dihasilkan nilai tegangan vertikal sebesar 20,277
MPa. Sedangkan nilai tegangan vertikal hasil perhitungan yang didapat adalah sebesar
13,16 MPa.
Untuk tegangan horizontal, berdasarkan persamaan [2. 41] akan dihasilkan rentang nilai
0,43 < k < 2,5. Perhitungan lebih lanjut dengan persamaan [2.3 9] akan memberikan
estimasi nilai σ H dalam rentang 8,72 MPa < σ H < 50,69 MPa. Sementara hasil
perhitungan untuk kedua teg angan horizontal adalah 25,04 MPa dan 24,34 MPa. Dari sini
IV-15
dapat dilihat bahwa tegangan horizontal hasil perhitungan berada dalam rentang estimasi
tegangan hasil pendekatan secara teoritis.
Adapun penerapan persamaan [2. 42] hasil penelitian Hergett, deng an kedalaman 751 m
akan didapatkan
 H average
 average
= 1,606. Uji emisi akustik memberikan nilai H
sebesar
v
v
1,876. Data tegangan in situ hasil pengujian memperlihatkan kecocokan dengan teori,
yakni nilai tegangan horizontal lebih b esar dibandingkan tegangan vertikalnya.
Perbedaan hasil tegangan in situ vertikal hasil perhitungan dengan pendekatan secara
teoritis dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti adanya bidang lemah pada daerah
pemboran contoh batuan yang akan secara lan gsung mempengaruhi besar tegangan yang
bekerja. Namun pembahasan tentang hal ini tidak dapat dilakukan lebih jauh karena
keterbatasan data geologi. Sebagai gantinya, akan dibahas parameter terukur berupa
parameter-parameter selama pengujian yang dapat memp engaruhi nilai tegangan in situ
hasil perhitungan.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai tegangan in situ hasil pengujian contoh
batuan ini adalah :

Kondisi contoh batuan
Struktur mikro contoh batuan yang meliputi bentuk, ukuran, dan orientasi butir
contoh batuan dapat mempengaruhi transmisi sinyal akustik selama pembebanan.
Butiran contoh dapat mengakibatkan gelombang yang merambat mengalami
pembiasan.

Laju Pembebanan pada saat uji emisi akustik dilakukan
Semakin cepat laju pembebanan, maka batuan ce nderung semakin kuat. Hal ini
karena tidak terdapat waktu untuk propagasi rekahan dan pergeseran bidang lemah.
Pembebanan secara konstan dapat dilakukan dengan mesin kuat tekan yang
dilengkapi servo control.
IV-16

Medium kontak dan posisi transduser
Transduser direkatkan pada contoh batuan dengan cairan perekat. Jika terdapat
rongga udara antara contoh batuan dan transduser, maka sinyal emisi akustik yang
terekam akan berkurang. Untuk menghindari hal ini, sebelum pengujian perlu
dipastikan bahwa keseluruhan per mukaan transduser dapat menempel dengan baik
pada contoh batuan. Penggunaan cairan perekat juga diharapkan dapat mengisi
rongga udara sehingga sinyal emisi akustik dapat sampai. Posisi transduser yang
berada dalam satu garis lurus dimaksudkan agar dapat me ndeteksi sinyal emisi
akustik dengan lebih baik.

Waktu tunggu
Waktu tunggu adalah selang waktu yang telah dilalui contoh batuan sejak saat
pengeboran dilakukan. Waktu tunggu akan berpengaruh terhadap nilai tegangan efek
Kaiser pada contoh batuan. Hal in i dapat terjadi karena berlangsungnya proses
relaksasi dari batuan sehingga jarak antar fragmennya bertambah , yang pada akhirnya
membuat nilai tegangan efek Kaiser pada contoh batuan tersebut meningkat .
Pada penelitian ini, nilai tegangan hasil perhitung an tidak memperhitungkan pengaruh
waktu tunggu contoh batuan. Sehingga ada kemungkinan estimasi nilai tegangan in
situ dan nilai tegangan utama yang didapatkan dari perhitungan jauh lebih besar
nilainya.
IV-17
Download