Gambar 2.2 Model Perilaku yang Menyimpang di Tempat Kerja

advertisement
BAB 2
LANDASAN TEORI
2. 1
Landasan Teori
Bab ini akan mengeksplorasi beberapa teori, jenis-jenis maupun aspek-aspek,
serta penelitian-penelitian terlebih dahulu dari masing-masing variable penelitian.
Dimana di dalam penelitian ini memiliki tiga variable yang akan diteliti diantaranya
adalah perilaku menyimpang di tempat kerja sebagai variabel dependen, norma
kelompok sebagai variabel independen dan juga efikasi diri sebagai variabel
moderator.
2.1.1
Pengertian Manajemen
Banyak definisi yang diberikan terhadap istilah manajemen, beberapa penulis
memberikan pengertian yang dikutip dalam buku Amirullah dan Budiyono (2004)
diantaranya adalah:
1. Harold Koontz dan Cyrill O’donnel
Manajemen adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan
orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah
aktivitas
orang lain
yang meliputi
perencanaan, pengorganisasisan,
penggerakan, dan pengendalian (Amirullah & Budiyono 2004:7)
2. R. Terry
Manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan
perencanaan, pengorganisasian, penggerakan
dan pengendalian
yang
dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah
ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber
lainnya (Amirullah & Budiyono 2004:7)
3. James F. Stoner
Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunaan
sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan (Amirullah & Budiyono 2004:7)
Sedangkan Robbins & Coulter (2010:7) berpendapat bahwa manajemen
adalah melibatkan aktivitas-aktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan
orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif.
8
9
2.1.1.1 Fungsi Manajemen
Hanry Fayol dalam Amirullah & Budiyono (2004:12) mengusulkan bahwa
fungsi manajemen yang paling tidak dilaksanakan oleh manajer ada lima fungsi,
yakni:
1. Perencanaan
Perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan tujuan
serta sasaran yang ingin dicapai dan mengambil langkah-langkah strategis
guna mencapai tujuan tersebut.
2. Pengorganisasian
Pengeroganisasian merupakan proses pemberian perintah, pengalokasian
sumber daya serta pengaturan kegiatan secara terkoordinir kepada setiap
individu dan kelompok untuk menerapkan rencana. Kegiatan-kegiatan yang
terlibat dalam pengorganisasian mencakup tiga kegiatan yaitu (i) membagi
komponen-komponen kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan
sasaran dalam kelompok-kelompok, (ii) membagi tugas kepada manajer dan
bawahan untuk mengadakan pengelompokkan tersebut, (iii) menetapkan
wewenang diantara kelompok atau unit-unit organisasi.
3. Pengarahan
Pengarahan adalah proses untuk menumbuhkan semangat (motivation) pada
karyawan agar dapat bekerja keras dan giat serta membimbing mereka dalam
melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien.
4. Pengendalian
Pengendalian dimaksudkan untuk melihat apakah kegiatan organisasi sudah
seuai dengan rencana sebelumnya.
2.1.1.2 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Dessler (2011:5) manajemen sumber daya manusai adalah proses
memperoleh, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan,
memperhatikan hubungan kerja mereka, kesehatan, keamanan, dan masalah keadilan.
Sedangkan Amirullah & Budiyono (2004:206) memberikan pengertian bahwa
manajemen sumber daya manusia merupakan kegiatan yang mengatur tentang cara
pengadaan tenaga kerja, melakukan pengembangan, memberikan kompensasi,
integrasi, pemiliharaan, dan pemisahan tenaga kerja melalui proses-proses
manajemen dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Peran manajemen sumber
10
daya manusia dapat dikelompokkan dalam tiga peran utama yaitu (Mathis & Jackson
dalam Amirullah & Budiyono 2004:207):
1. Peran Administrasi; lebih ditekankan pada upaya memproses dan menyimpan
catatan. Semua aktivitas dalam organisasi dicatat dan dibuatkan database
sehingga pada saat dibutuhkan oleh pihak-pihak tertentu dapat dilaporkan
dengan segera.
2. Peran Operasional; lebih mengacu pada aktivitas-aktivitas penyelenggaraan
dan mempersiapkan kebutuhan organisasi terhadap pegawai. Tugas pokok
MSDM dalam hal ini adalah merencanakan perekrutan, menerima lamaran,
melakukan seleksi, menyusun anggaran gaji, mengadakan pelatihan dan
pengembangan dan sebagainya.
3. Peran Strategis; menyadari pentingnya sumber daya manusia sebagai asset
yang berharga bagi organisasi, maka peningkatan peran strategis menjadi
suatu keharusan. Peran strategi menekankan pada kondisi SDM untuk jangka
waktu yang panjang guna meningkatkan nilai kompetitif organisasi dalam
persaingan usaha.
2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia
Departemen sumber daya manusia memberikan bantuan khusus pada saar
organisasi sedang bertumbuh, diantaranya dengan menjalankan tiga fungsi SDM
yang berbeda diantaranya adalah (Dessler 2011:7):
1. Fungsi Lini
Manajer SDM mengarahkan aktivitas karyawan dalam divisinya sendiri dan
area pelayanan yang terkait. dengan kata lain orang tersebut menggunakan
otoritas lini di dalam departemen SDM.
2. Fungsi Koordinatif
Manajer SDM juga mengkoordinasikan aktivitas personalia, kewajiban yang
sering dianggap sebagai kontrol fungsional. Disini manajer dan departemen
SDM bertindak sebagai “tangan kanan dari eksekutif puncak”untuk
memastikan bahwa para manajer ini mengimplementasikan sasaran,
kebijakan, dan prosedur SDM perusahaan.
3. Fungsi Staf (Pelayanan)
Membantu dan memberikan saran kepada para manajer lini adalah tugas para
manajer
SDM.
SDM
membantu
dalam
mempekerjakan,
melatih,
11
mengevaluasi, memberikan penghargaan, konseling, mempromosikan dan
memberhentikan karyawan.
2.1.2
Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Perilaku menyimpang di tempat kerja sering dikenal dengan workplace
deviant behavior (WDB) maupun perilaku antisosial atau ketidaksopanan di tempat
kerja (workplace incivility). Di dalam buku Ivancevich, Konopaske & Matteson
(2005) yang berjudul “perilaku dan manajemen organisasi” menjelaskan bahwa
perilaku menyimpang di tempat kerja dikenal sebagai perilaku yang buruk di tempat
kerja. Sejumlah teori, dan penelitian mengenai perilaku menyimpang di tempat kerja
akan dibahas di dalam sub bab ini.
2.1.2.1 Pengertian Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Menurut Robinson dan Bennet (dalam Robbins & Judge 2012:317) perilaku
menyimpang di tempat kerja merupakan perilaku sukarela yang melanggar normanorma organisasi yang signifikan, dan dengan demikian mengancam kesejahteraan
dari organisasi atau anggotanya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Omar et al
(2011), perilaku menyimpang di tempat kerja juga dapat digambarkan sebagai
keinginan yang secara sengaja atau yang disengaja untuk menyebabkan kerugian
bagi organisasi. Perilaku menyimpang dikatakan sebagai refleksi dari kepribadian
yang mengarah kepada prediksi perilaku negatif dari individu-individu yang berbeda
(Robinson dan Bennet dalam Farhadi, Fatimah, Nasir, & Shahrazad 2012).
Menurut Robinson dan Bennet (dalam Greenberg & Baron 2003:422)
perilaku menyimpang adalah tidakan dari karyawan yang secara sengaja melanggar
norma-norma organisasi dan atau aturan formal, sehingga mengakibatkan
konsekuensi-konsekuensi negatif. Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske,
& Matteson 2005:258) mengatakan bahwa perilaku menyimpang atau perilaku yang
buruk memerlukan banyak biaya, mengurangi kinerja, dan dapat mempengaruhi
seluruh organisasi secara negatif. Dalam bukunya yang berjudul “perilaku dalam
organisasi” (2012:174) Wibowo mendefinisikan perilaku menyimpang merupakan
perilaku sukarela yang melanggar norma organisasional penting dan dalam
melakukannya, menantang kesehatan organisasi atau anggotanya.
12
2.1.2.2 Jenis-jenis Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Dalam jurnal Muafi (2011) Robinson dan Bennet mengklasifikasikan ada dua
jenis perilaku menyimpang di tempang kerja, dengan memiliki dua dimensi, yaitu
“interpersonal versus organizational” dan “minor versus serious”. Robinson dan
Bennet dalam penelitiannya merancang dua dimensi perilaku menyimpang di tempat
kerja ke dalam empat bagian, yaitu production deviance, property deviance, political
deviance dan personal aggression.
Gambar 2.1 Jenis-Jenis Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Sumber: Diadaptasi dari Robinson dan Bennett (dalam Muafi 2011)
Dalam penelitian yang sama Robinson dan Bennett (dalam Fagbohungbe,
Akinbode, & Ayodeji, 2012) menyarankan bahwa perilaku menyimpang tidak hanya
memiliki dua dimensi, tetapi perilaku menyimpang karyawan di tempat kerja
ditunjukkan dalam empat kategori yang berbeda, yang diklasifikasi sebagai berikut
(Robbins & Judge 2012:317):
1. Production Deviance atau Penyimpangan Produksi: mempengaruhi karyawan
untuk memberikan usaha yang minim seperti pulang lebih awal, sengaja
bekerja lebih lambat, dan membuang-buang sumber daya.
13
2. Property Deviance atau Penyimpangan Harta Benda: mempengaruhi
karyawan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan seperti sabotase, berbohong
mengenai jam kerja, dan melakukan pencurian di dalam organisasi.
3. Political Deviance atau Penyimpangan Politik: didefinisikan sebagai tindakan
yang mencerminkan adanya keterlibatan dalam interaksi sosial yang
menempatkan individu pada kerugian pribadi ataupun politik. Seperti:
menujukkan sikap pilih kasih, menyebarkan gossip atau kabar yang belum
tentu benar, dan menyalahkan rekan kerja.
4. Personal Aggression atau Agresi Pribadi: meliputi perilaku bermusuhan
seperti pelecehan seksual, pelecehan verbal, dan mencuri dari rekan kerja.
Tabel 2.1 Jenis-jenis Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Kategori Penyimpangan
Penyimpangan Produksi
Contoh
Pulang lebih awal
Sengaja bekerja lebih lambat
Membuang-buang sumber daya
Penyimpangan Harta Benda
Sabotase
Berbohong mengenai jam kerja
Melakukan pencurian di dalam
organisasi
Penyimpangan Politik
Menunjukkan sikap pilih kasih
Menyebarkan gossip atau kabar yang
belum tentu benar
Menyalahkan rekan kerja
Agresi Pribadi
Pelecehan seksual
Pelecehan verbal
Mencuri dari rekan kerja
Sumber: Diadaptasi dari Robinson dan Bennett (dalam Robbins & Judge 2012: 317)
14
2.1.1.3 Model Perilaku Menyimpang di Tempat kerja
Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson 2005:260)
diadaptasi guna menyajikan suatu model perilaku organisasi yang buruk
(menyimpang) dengan lengkap dan terintegrasi. Perilaku yang menyimpang
merupakan tindakan yang disengaja dari pihak individu dan bahwa perilaku yang
menyimpang dilaksanakan oleh keyakinan orang dan ekspektasi organisasi. Perilaku
yang menyimpang akan dapat menghasilkan sejumlah hasil yang membutuhkan
banyak biaya secara finansial maupun sosial. Model perilaku menyimpang yang
diadaptasi dari Vardi dan Weitz ditampilkan pada gambar 2.2 di bawah ini:
Gambar 2.2 Model Perilaku yang Menyimpang di Tempat Kerja
Sumber: Diaptasi dari Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson
2005)
15
Menurut Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson
2005:260), ada empat jenis penyebab perilaku menyimpang di tempat kerja yaitu:
individu, pekerjaan, kelompok, dan organisasi. Sebagai contoh, keika individu
mempersepsikan bahwa mereka diperlakukan secara buruk oleh seorang manajer,
preferensi dari perilaku menyimpang ataupun perilaku yang buruk mungkin bisa
meningkat. Sikap ini kemudian dapat diinternalisasi dan mempengaruhi rekan kerja.
Jika, misalnya seorang rekan kerja setuju bahwa perlakuan buruk terjadi, dia dapat
menggabungkannya dengan perilakunya sendiri yang buruk. Perilaku kerja individu
yang mempersepsikan bahwa dirinya telah diperlakukan secara buruk akan memiliki
konseskuensi negatif bagi dirinya sendiri atau menghasilkan ketidakpuasan bagi
dirinya sendiri, ketidakpuasan bagi kelompok kerja dan pada akhirnya akan memiliki
dampak bagi organisasi misalnya, terjadinya peningkatan absensi dari karyawan.
2.1.1.4 Penyebab Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Menurut Mitchel dan Ambrose (dalam Chirasha & Mahapa 2012), perilaku
menyimpang di tempat kerja dapat dilihat sebagai orientasi timbal balik negatif di
mana seorang individu mengembalikan perlakuan negatif dengan perlakuan negatif
atau dengan istilah ‘an eye for eye’. Berbagai macam penyebab perilaku
menyimpang di tempat kerja telah diringkas di bawah ini (Chirasha & Mahapa
2012):
1. Faktor-faktor yang terkait dengan organisasi, diantaranya adalah:

Iklim organisasi (organizational climate): dimana dalam penelitian
Burton dan Vardil (dikutip dari Chirasha & Mahapa 2012) telah
menunjukkan bahwa iklim organisasi dipengaruhi oleh sikap
pemimpin di dalam organisasi. Penyimpangan di tempat kerja terkait
erat
dengan
pengawasan
yang
kasar
(abusive
supervision).
Pengawasan kasar didefinisikan sebagai persepsi para bawahan dari
sejauh mana supervisor terlibat dalam perilaku bermusuhan baik
verbal atau non-verbal yang berkelanjutan (Litzky et al dalam
Chirasha & Mahapa 2012). Jika pengawasan kasar dipraktekkan,
pembalasan bisa terjadi. Karyawan yang merasa pimpinan atau
organisasi mereka peduli dan memberikan dukungan telah terbukti
telah mengurangi kejadian perilaku menyimpang di tempat kerja.
16

Keadilan organisasi (organizational justice): keadilan organisasi
mencakup tiga aspek yaitu keadilan prosedural, keadilan distributif
dan keadilan interaksional. Keadilan prosedural membuat proses
pengambilan keputusan secara adil dan transparan. Keadilan
distributif berkaitan dengan bagaimana proses pengambilan keputusan
dibuat saat keadilan interaksional melibatkan hubungan interpersonal
dan rasa keadilan yang karyawan memiliki dengan supervisor dan
tokoh-tokoh
lain
dalam
sebuah
organisasi.
Penelitian
telah
menunjukkan bahwa jika keadilan prosedural dikombinasikan dengan
keadilan interaksional maka akan berdampak manfaat dalam
mengurangi penyimpangan di tempat kerja. Karyawan yang
berkonsultasi dan diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses
pengambilan keputusan di organisasi mereka cenderung untuk bisa
bertindak, karena suara mereka dihargai.

Persepsi dan dukungan organisasi (perceived organizational support)

Kepercayaan dalam organisasi (trust in organizations)
2. Faktor-faktor yang terkait dengan pekerjaan, mencakup:

Stres kerja: berhubungan dengan pekerjaan yang tidak ada dalam
deskripsi pekerjaan, kelebihan beban kerja, dan kurangnya kondisi
pelayanan. Karyawan yang tidak jelas atas tugas-tugas yang mereka
kerjakan dapat frustrasi dan menghabiskan waktu mereka untuk
mengerjakan hal-hal di luar dari pekerjaan mereka. Oleh karena itu,
penting
bagi
manajemen
untuk
memastikan
bahwa
mereka
memberikan uraian tugas yang jelas dan mencoba untuk menciptakan
lingkungan kerja yang kondusif bagi karyawan mereka.

Ketidakberdayaan (powerlessness): persepsi tidak dihormati adalah
salah satu penyebab dari tempat kerja penyimpangan.
Sedangkan dalam penelitian Bollin dan Heatherly yang dikutip dalam Muafi
(2011), sumber-sumber perilaku menyimpang di tempat kerja yang diantaranya
termasuk niat untuk berhenti bekerja, ketidakpuasan karyawan, penghinaan yang
terjadi di dalam perusahaan, absensi, penyalahgunaan zat-zat yang terlarang,
penyalahgunaan hak istimewa, dan pencurian di tempat kerja diperkirakan telah
17
menyebabkan perilaku menyimpang di tempat kerja dan memiliki pengaruh terhadap
kinerja individu dalam kelompok kerja.
2.2.1.4 Dampak Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja
Berikut ini adalah beberapa penelitian yang telah menjelaskan dampak
perilaku menyimpang di tempat kerja yang dikutip dalam Muafi (2011), diantaranya
adalah:
1. Knights dan Kennedy menemukan bahwa jika karyawan tidak puas tetap
berada di organisasi mereka mungkin terlibat dalam perilaku kontra produktif
seperti memberikan layanan yang buruk, menyebarkan rumor, pencurian dan
sabotase peralatan, hilangnya omset, terjadi ketidakhadiran dan menurunya
produktifitas.
2. Appelbaum et al dalam studinya menemukan bahwa korban interpersonal
penyimpangan kerja lebih mungkin untuk menderita masalah yang
berhubungan dengan stres dan relatif menunjukkan penurunan produktivitas,
kehilangan waktu kerja dan tingkat turnover serta biaya keuangan yang relatif
tinggi.
Jadi bisa disimpulkan bahwa perilaku menyimpang di tempat kerja akan
berdampak pada ketidakpuasan karyawan yang akan menghasilkan stres kerja,
penurunan produktifitas sehingga akan berdampak pada hilangnya banyak biaya
yang hanya akan merugikan perusahaan.
2.1.3
Norma Kelompok
Norma dapat dikatakan sebagai aturan yang tidak tertulis atau aturan yang
tidak dikatakan bagi kelompok (Greenberg & Baron 2003:280). Menurut Luthans
(2006:253) norma dan aturan (rules) secara konsep memiliki kemiripan, tetapi
beberapa ahli telah membuat poin perbedaan antara norma dan aturan (rules).
2.1.3.1 Pengertian Norma Kelompok
Norma adalah standar perilaku yang dapat diterima dan dibagikan oleh
anggota yang harus atau tidak harus dilakukan dalam situasi tertentu (Robbins &
Judge 2012:314). Menurut Kreitner dan Kinichi (2011:284) pengertian norma
merupakan suatu sikap, pendapat, perasaan, atau tindakan, dibagikan oleh dua orang
atau lebih, yang menjadi pedoman perilaku mereka. Norma kelompok merupakan
18
standar yang sebagian besar mengatur perilaku-perilaku di dalam suatu kelompok
(Parks, 2011).
Norma mengatur perilaku kelompok dalam cara yang penting, seperti
memberikan dorongan kepada pekerja, jujur dan loyal kepada perusahaan,
menetapkan cara yang tepat untuk berpakaian, dan aturan atau perintah yang harus
dipatuhi apabila terlambat atau absen dari pekerjaan (Greenberg & Baron 2003:281).
Norma memperjelas nilai-nilai dasar bagi kelompok, menyederhanakan dan
membuat perdiksi perilaku apa yang diharapkan dari anggota kelompok serta
membantu kelompok menghindari konflik antarpribadi (Andre, 2008:242). Menurut
Luthans (2006:523), norma merupakan “keharusan” perilaku. Norma adalah perilaku
yang diterima oleh kelompok dan dapat dijalankan oleh kelompok jika:
1. Memberi bantuan agar kelompok bertahan dan memberi keuntungan tetap.
2. Menyederhanakan atau membuat perilaku yang diharapkan anggota
kelompok menjadi dapat diperkirakan.
3. Membantu kelompok untuk menghindari masalah interpersonal yang
membuat malu.
4. Mengekspresikan nilai atau tujuan utama kelompok dan mengklarifikasi apa
yang membedakan identitas kelompok (Luthans, 2006:523).
2.1.3.2 Jenis-jenis Norma Kelompok
Menurut Greenbergh dan Baron (2003:281) ada dua jenis norma yang
diketahui, diantaranya adalah:
1. Prescriptive Norms
Merupakan harapan yang ada di dalam kelompok mengenai apa yang
seharusnya dilakukan, misalnya mengikuti pemimpin mereka atau membantu
anggota kelompok yang membutuhkan bantuan (Greenberg & Baron,
2003:281).
2. Proscriptive Norms
Merupakan harapan yang ada di dalam kelompok mengenai perilaku-perilaku
mana yang seharusnya anggota kelompok tidak terlibat, misalnya
menghindari absen atau menahan diri dari menceritakan rahasia masingmasing kepada pimpinan (Greenberg & Baron, 2003:281).
19
2.1.3.3 Aspek-aspek Norma Kelompok
Norma dapat mencakup hampir semua aspek perilaku kelompok (Goodman,
Ravlin, Schminke dalam Robbins & Judge 2012:314). Norma-norma yang paling
umum adalah (Robbins & Judge, 2012:314):
1. Performance Norms memberikan isyarat dengan secara eksplisit tentang
seberapa keras anggota harus bekerja, berapa tingkat hasil seharusnya,
bagaimana pekerjaan dapat terlaksana, tingkat kelambanan yang sesuai dan
seterusnya
2. Appearance Norms menyangkut etika berpakaian, aturan yang tidak
dibicarakan ketika kelihatan sibuk
3. Social Arrangement Norms menyangkut dengan siapa makan siang bersama,
bagaimana jika membentuk persahabatan di dalam dan di luar pekerjaan
4. Resource Allocation Norms berkenaan dengan penguasaan pada pekerjaan
yang sulit, distribusi sumber daya seperti pengupahan atau peralatan
2.1.4
Efikasi Diri
Albert Bandura adalah tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi diri (selfefficacy) pada era 1970-an. Efikasi diri (self-efficacy) dikenal juga sebagai teori
kognitif sosial. Efikasi diri membuat perbedaan dalam bagaimana orang dapat
merasakan, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri (Bandura dalam Zulkosky,
2009:93).
2.1.4.1 Pengertian Efikasi Diri
Efikasi diri merujuk pada keyakinan individu bahwa ia mampu mengerjakan
tugas (Bandura dalam Robbins & Judge 2012:249). Efikasi diri adalah penilaian diri
apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau
tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan (Alwisol, 2009:287).
Definisi formal yang biasanya digunakan adalah pernyataan Bandura (dalam Luthans
2006:338) mengenai penilaian atau keyakinan pribadi tentang “seberapa baik
seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk berhubungan dengan
situasi prospektif.”
Efikasi diri bukanlah ciri keperibadian, tetapi lebih mengacu pada situasi atau
tugas tertentu (Maddux & Gosselin 2003; Hansen & Wanke 2009). Efikasi diri
merupakan keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk mengerahkan
20
motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil
melaksanakan tugas tertentu dalam konteks tertentu (Bandura dalam Malik 2013).
Menurut Bandura dalam Baron dan Byrne (2004:183) efikasi diri adalah evaluasi
seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas,
mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan.
Menurut Pajares (dalam Dimopulou 2012), efikasi diri adalah sebuah
pemikiran yang dipilih oleh individu mengenai bagaimana cara berperilaku yang
lebih didasarkan pada kepercayaan mereka terhadap kemampuannya dalam mencapai
sesuatu daripada didasarkan atas pengetahuan atau keterampilan mereka. Individu
yang memiliki efikasi diri yang tinggi tampaknya akan menanggapi umpan balik
yang negatif dengan meningkatkan usahanya dan motivasinya, sedangkan individu
yang memiliki efikasi diri yang rendah akan cenderung mengurangi usaha mereka
setelah menanggapi umpan balik yang negatif (Bandura dalam Robbins & Judge
2012:250).
2.1.4.2 Sumber-sumber Efikasi Diri
Efikasi diri tergantung pada bagaimana interpretasi individu dan proses
keberhasilan secara kognitif. Menurut Bandura (dalam Luthans 2006:341-342)
sumber efikasi diri dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut:
1. Pengalaman penguasaan atau pencapaian kinerja
Pengalaman penguasaan berpengaruh paling kuat dalam membentuk
keyakinan efikasi, karena merupakan informasi langsung mengenai
kesuksesan. Pengalaman yang diperoleh melalui usaha terus-menerus dan
kemampuan untuk belajar membentuk efikasi yang kuat dan fleksibel. Akan
tetapi, efikasi yang dibangun dari kesuksesan yang datang dengan mudah
tidak akan bertahan ketika muncul berbagai kesulitan, dan efikasi tersebut
akan berubah dengan cepat.
2. Pengalaman pribadi atau pemodelan
Adalah penting untuk menekankan bahwa semakin mirip modelnya
(misalnya, aspek-aspek demografi seperti umur, jenis kelamin, karakteristik
fisik, pendidikan, dan status pengalaman) dan semakin relevan tugas yang
dilakukan, semakin besar pengaruh pada proses efikasi pengamat. Sumber
informasi pribadi ini penting untuk orang dengan pengalaman langsung
21
(misalnya, tugas baru) dan sebagai startegi praktik untuk meningkatkan
efikasi seseorang melalui pelatihan dan perkembangan.
3. Persuasi sosial
Keyakinan seseorang atas efikasi mereka dapat diperkuat melalui pengaruh
orang lain yang kompeten dan dihormati sehingga mereka mendapatkan apa
yang diperlukan dan memberikan umpan balik postif pada perkembangan
yang terjadi dalam tugas. Persuasi sosial dapat dipilih dan diproses untuk
membentuk efikasi dengan memberikan informasi objektif dan melakukan
berbagai tindakan tindak lanjut untuk membentuk kesuksesan seseorang.
Persuasi sosial lebih berguna untuk mengahapus kesenjangan saat orang
mulai berjuang atau ragu pada diri sendiri ketika mereka melakukan tugas,
daripada dilakukan untuk membangun efikasi pada tugas baru.
4. Peningkatan fisik dan psikoloisi
Seseoang sering mengandalkan perasaan mereka, secara fisik dan emosi,
untuk menilai kapabilitas mereka. Lebih dari sumber informasi lainnya, jika
ada hal-hal negatif (misalnya seseorang sangat lelah atau tidak sehat secara
fisik atau cemas/depresi dan atau merasa tertekan), maka hal tesebut akan
mengurangi efikasi. Pada sisi lain, jika keadaan fisik dan mental dalam
keadaan baik, maka kondisi tersebut tidak perlu memberi kontribusi pada
efikasi individu. Kondisi tersebut juga meningkatkan efikasi seseorang pada
tugas yang menuntut kondisi fisik atau psikologis yang baik.
2.1.4.3 Proses dan Dampak Efikasi Diri
Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara
langsung tetapi juga mempunyai perilaku tidak langsung terhadap faktor lain. Secara
langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan mereka dan
mengawali usaha mereka. Yang pertama, orang cenderung mempertimbangkan,
mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi mengenai kapabilitas yang dirasakan.
Yang penting, langkah awal dalam proses tersebut tidak begitu berhubungan dengan
kemampuan dan sumber individu, tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau
meyakini bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan. Selanjutnya, evaluasi/persepsi menghasilkan
harapan yang pada gilirannya menentukan (Luthans, 2006:340):
1. Keputusan untuk menampilkan tugas tertentu dalam konteks ini
22
2. Sejumlah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan tugas
3. Tingkat daya tahan yang akan muncul (selakin masalah), tidak sesuai
dengan bukti kesulitan yang dihadapi
Dengan kata lain, bahwa dari awal dapat dilihat bahwa efikasi diri secara
langsung mempengaruhi (Luthans, 2006:340):
1. Pemilihan perilaku (misalnya, keputusan dibuat berdasarkan bagaimana
efikasi yang dirasakan seseorang terhadap pilihan, misalnya tugas
pekerjaan atau bidang karir)
2. Usaha motivasi (misalnya, orang mencoba lebih keras dan berusaha
melakukan tugas dimana efikasi mereka lebih tinggi dari pada mereka
yang memiliki penilaian efikasi rendah)
3. Daya tahan (misalnya, orang dengan efikasi diri tinggi akan bangkit,
bertahan taat menghadapi masalah atau kegagalan, sementara orang
dengan efikasi diri rendah cenderung menyerah saat muncul rintangan)
2.1.4.4 Dimensi Efikasi Diri
Menurut Bandura (dalam Malik 2013) efikasi diri meiliki tiga dimensi,
diantaranya adalah magnitude, strength dan generality.
1. Megnitude, mengarah pada tingkat (level) kesulitan yang dipercaya oleh
individu yang dapat ia capai
2. Srength, mengarah pada seberapa kuat atau seberapa lemah keyakinan
individu
3. Generality, mengarah pada sejauh mana harapan individu di seluruh
situasi
2.2
Tinjauan Pustaka
Penelitian terdahulu sangat penting sebagai tinjauan pustaka dalam rangka
penyusunan penelitian ini. Yang dimana kegunaannya untuk mengetahui hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Berikut ini adalah hasil-hasil
dari penelitian sebelumnya yang diambil dari artikel jurnal ilmiah:
1. Jurnal oleh : Kabiru Maitama Kura, Faridahwati Mohd. Shamsudin, Ajay
Chauhan, Othman Yeop Abdullah. (2013) Modeling the Influence of Group
Norms and Self-regulatory Efficacy on Workplace Deviant Behaviour. Asian
Social Science, 9(4) : 113-122. Survey berbasis web digunakan untuk
23
mengumpulkan data dari 217 staf pengajar dari berbagai perguruan tinggi di
Nigeria. Dari hasil penelitian diketahui bahwa norma injuktif dan efikasi diri
ditemukan sebagai prediktor signifikan terhadap penyimpangan interpersonal.
Namun, sebaliknya norma deskriptif bukan merupakan prediktor signifikan
dari penyimpangan organisasi dan penyimpangan interpersonal. Selain itu,
penelitian ini juga menemukan adanya dukungan efikasi diri yang berperan
sebagai moderator hubungan antara norma injuktif dan penyimpangan
organisasi serta penyimpangan interpersonal. Efikasi diri juga menjadi
moderator
hubungan
antara
norma
deskriptif
dan
penyimpangan
interpersonal.
2. Jurnal oleh : Bamikole O. Fagbohungbe, Gabriel A. Akinbode, Folusho
Ayodeji. (2012) Organizational Determinants of Workplace Deviant
Behaviours: An Empirical Analysis in Nigeria. International Journal of
Business and Management , 7(5) : 207-221. Sebanyak 696 karyawan telah
menyelesaikan survey. Hasil yang didapatkan adalah pertama, peserta lakilaki secara signifikan berbeda dari rekan-rekan perempuan mereka pada
masing-masing penyimpangan produksi, agresi pribadi, penyimpangan politik
dan penyimpangan properti. Secara khusus, penyimpangan produksi, agresi
pribadi dan penyimpangan politik lebih tinggi diantara perempuan
dibandingkan laki-laki. Kedua, analisis regresi berganda menunjukkan bahwa
variabel reaksi organisasi (pengawasan, identifikasi perusahaan, jenis
pekerjaan, jumlah pekerjaan, rekan kerja, kondisi kerja fisik dan imbalan
finansial) merupakan prediktor signifikan dari aspek yang berbeda dari
perilaku menyimpang kerja antara pekerja.
3. Jurnal oleh : Faridahwati Mohd. Shamsudin, Chandrakantan Subramaniam,
Hadziroh Ibrahim. (2011) Investigating The Influence of Human Resource
Practices on Deviant Behavior in Work. International Journal of Trade,
Economics and Finance, 2(6) : 514-519. Dalam konteks penelitian ini,
diketahui bahwa ketika karyawan merasa organisasi tidak menerapkan
praktik HR yang positif, mereka cenderung terlibat dalam perilaku
menyimpang di tempat kerja misalnya dengan mengolok-olok seseorang
(rekan kerja lainnya, tamu, dll), mengatakan sesuatu yang menyakitkan,
membuat pernyataan etnis, agama atau ras, mengutuk seseorang, dan
membuat lelucon kepada seseorang. Secara khusus, penelitian ini
24
menemukan bahwa deskripsi pekerjaan, keamanan kerja, dan peluang karir
internal menjadi prediktor signifikan terhadap penyimpangan kerja.
2.3
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan tinjauan pustaka maka kerangka pemikiran penelitian sangat
dibutuhkan sebagai alur berpikir sekaligus sebagai landasan untuk menyusun
hipotesis penelitian. Penyusunan kerangka pemikiran juga akan memudahkan
pembaca untuk memahami permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini.
Secara lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar berikut :
Norma
Kelompok
Perilaku Menyimpang
di Tempat Kerja
(X)
(Y)
Efikasi
Diri
(Z)
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Sumber : Peneliti 2013
Keterangan :
Menggambarkan pengaruh secara langsung
Menggambarkan pengaruh secara moderasi
2.4
Hipotesis
Dari kerangka pemikiran dan tinjauan diatas serta berdasarkan dengan tujuan
penelitian, maka rancangan hipotesis atau dugaan sementara terhadap variablevariabel penelitian yang digunakan sebagai berikut :
25
1. Norma kelompok memiliki pengaruh terhadap perilaku menyimpang di
tempat kerja
Penelitian yang telah dilakukan oleh Shamsudin, Subramaniam, & Ibrahim
(2011) diketahui bahwa ketika karyawan merasa organisasi tidak menerapkan
praktik HR yang positif, mereka cenderung terlibat dalam perilaku
menyimpang di tempat kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Kura, Shamsudin, & Chauhan (2013) diketahui bahwa norma injuktif dan
efikasi diri ditemukan sebagai prediktor signifikan terhadap penyimpangan
interpersonal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 :
norma kelompok (x) memiliki pengaruh terhadap perilaku menyimpang (y)
pada PT. Bank X, Tbk
2. Efikasi diri sebagai moderasi antara norma kelompok dan perilaku
menyimpang di tempat kerja
Dalam studi yang dilakukan oleh Bruell (2013), hasil yang ditemukan hanya
sedikit dukungan untuk masuknya self-efficacy dalam hubungan antara
pemaksaan dan kejahatan kekerasan. Kura, Shamsudin, & Chauhan (2013)
dalam penelitiannya menemukan adanya dukungan efikasi diri yang berperan
sebagai moderator hubungan antara norma injuktif dan penyimpangan
organisasi serta penyimpangan interpersonal. Selain itu, efikasi diri juga
menjadi moderator hubungan antara norma deskriptif dan penyimpangan
interpersonal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2 :
efikasi diri (z) memiliki peran sebagai moderator antara norma kelompok (x)
terhadap perilaku menyimpang (y) pada PT. Bank X, Tbk.
26
Download