BAB 2 LANDASAN TEORI 2. 1 Landasan Teori Bab ini akan mengeksplorasi beberapa teori, jenis-jenis maupun aspek-aspek, serta penelitian-penelitian terlebih dahulu dari masing-masing variable penelitian. Dimana di dalam penelitian ini memiliki tiga variable yang akan diteliti diantaranya adalah perilaku menyimpang di tempat kerja sebagai variabel dependen, norma kelompok sebagai variabel independen dan juga efikasi diri sebagai variabel moderator. 2.1.1 Pengertian Manajemen Banyak definisi yang diberikan terhadap istilah manajemen, beberapa penulis memberikan pengertian yang dikutip dalam buku Amirullah dan Budiyono (2004) diantaranya adalah: 1. Harold Koontz dan Cyrill O’donnel Manajemen adalah usaha mencapai suatu tujuan tertentu melalui kegiatan orang lain. Dengan demikian manajer mengadakan koordinasi atas sejumlah aktivitas orang lain yang meliputi perencanaan, pengorganisasisan, penggerakan, dan pengendalian (Amirullah & Budiyono 2004:7) 2. R. Terry Manajemen merupakan suatu proses khas yang terdiri dari tindakan-tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya (Amirullah & Budiyono 2004:7) 3. James F. Stoner Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian dan penggunaan sumber daya-sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan (Amirullah & Budiyono 2004:7) Sedangkan Robbins & Coulter (2010:7) berpendapat bahwa manajemen adalah melibatkan aktivitas-aktivitas koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. 8 9 2.1.1.1 Fungsi Manajemen Hanry Fayol dalam Amirullah & Budiyono (2004:12) mengusulkan bahwa fungsi manajemen yang paling tidak dilaksanakan oleh manajer ada lima fungsi, yakni: 1. Perencanaan Perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai dan mengambil langkah-langkah strategis guna mencapai tujuan tersebut. 2. Pengorganisasian Pengeroganisasian merupakan proses pemberian perintah, pengalokasian sumber daya serta pengaturan kegiatan secara terkoordinir kepada setiap individu dan kelompok untuk menerapkan rencana. Kegiatan-kegiatan yang terlibat dalam pengorganisasian mencakup tiga kegiatan yaitu (i) membagi komponen-komponen kegiatan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam kelompok-kelompok, (ii) membagi tugas kepada manajer dan bawahan untuk mengadakan pengelompokkan tersebut, (iii) menetapkan wewenang diantara kelompok atau unit-unit organisasi. 3. Pengarahan Pengarahan adalah proses untuk menumbuhkan semangat (motivation) pada karyawan agar dapat bekerja keras dan giat serta membimbing mereka dalam melaksanakan rencana untuk mencapai tujuan yang efektif dan efisien. 4. Pengendalian Pengendalian dimaksudkan untuk melihat apakah kegiatan organisasi sudah seuai dengan rencana sebelumnya. 2.1.1.2 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Dessler (2011:5) manajemen sumber daya manusai adalah proses memperoleh, melatih, menilai, dan memberikan kompensasi kepada karyawan, memperhatikan hubungan kerja mereka, kesehatan, keamanan, dan masalah keadilan. Sedangkan Amirullah & Budiyono (2004:206) memberikan pengertian bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan kegiatan yang mengatur tentang cara pengadaan tenaga kerja, melakukan pengembangan, memberikan kompensasi, integrasi, pemiliharaan, dan pemisahan tenaga kerja melalui proses-proses manajemen dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Peran manajemen sumber 10 daya manusia dapat dikelompokkan dalam tiga peran utama yaitu (Mathis & Jackson dalam Amirullah & Budiyono 2004:207): 1. Peran Administrasi; lebih ditekankan pada upaya memproses dan menyimpan catatan. Semua aktivitas dalam organisasi dicatat dan dibuatkan database sehingga pada saat dibutuhkan oleh pihak-pihak tertentu dapat dilaporkan dengan segera. 2. Peran Operasional; lebih mengacu pada aktivitas-aktivitas penyelenggaraan dan mempersiapkan kebutuhan organisasi terhadap pegawai. Tugas pokok MSDM dalam hal ini adalah merencanakan perekrutan, menerima lamaran, melakukan seleksi, menyusun anggaran gaji, mengadakan pelatihan dan pengembangan dan sebagainya. 3. Peran Strategis; menyadari pentingnya sumber daya manusia sebagai asset yang berharga bagi organisasi, maka peningkatan peran strategis menjadi suatu keharusan. Peran strategi menekankan pada kondisi SDM untuk jangka waktu yang panjang guna meningkatkan nilai kompetitif organisasi dalam persaingan usaha. 2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Departemen sumber daya manusia memberikan bantuan khusus pada saar organisasi sedang bertumbuh, diantaranya dengan menjalankan tiga fungsi SDM yang berbeda diantaranya adalah (Dessler 2011:7): 1. Fungsi Lini Manajer SDM mengarahkan aktivitas karyawan dalam divisinya sendiri dan area pelayanan yang terkait. dengan kata lain orang tersebut menggunakan otoritas lini di dalam departemen SDM. 2. Fungsi Koordinatif Manajer SDM juga mengkoordinasikan aktivitas personalia, kewajiban yang sering dianggap sebagai kontrol fungsional. Disini manajer dan departemen SDM bertindak sebagai “tangan kanan dari eksekutif puncak”untuk memastikan bahwa para manajer ini mengimplementasikan sasaran, kebijakan, dan prosedur SDM perusahaan. 3. Fungsi Staf (Pelayanan) Membantu dan memberikan saran kepada para manajer lini adalah tugas para manajer SDM. SDM membantu dalam mempekerjakan, melatih, 11 mengevaluasi, memberikan penghargaan, konseling, mempromosikan dan memberhentikan karyawan. 2.1.2 Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Perilaku menyimpang di tempat kerja sering dikenal dengan workplace deviant behavior (WDB) maupun perilaku antisosial atau ketidaksopanan di tempat kerja (workplace incivility). Di dalam buku Ivancevich, Konopaske & Matteson (2005) yang berjudul “perilaku dan manajemen organisasi” menjelaskan bahwa perilaku menyimpang di tempat kerja dikenal sebagai perilaku yang buruk di tempat kerja. Sejumlah teori, dan penelitian mengenai perilaku menyimpang di tempat kerja akan dibahas di dalam sub bab ini. 2.1.2.1 Pengertian Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Menurut Robinson dan Bennet (dalam Robbins & Judge 2012:317) perilaku menyimpang di tempat kerja merupakan perilaku sukarela yang melanggar normanorma organisasi yang signifikan, dan dengan demikian mengancam kesejahteraan dari organisasi atau anggotanya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Omar et al (2011), perilaku menyimpang di tempat kerja juga dapat digambarkan sebagai keinginan yang secara sengaja atau yang disengaja untuk menyebabkan kerugian bagi organisasi. Perilaku menyimpang dikatakan sebagai refleksi dari kepribadian yang mengarah kepada prediksi perilaku negatif dari individu-individu yang berbeda (Robinson dan Bennet dalam Farhadi, Fatimah, Nasir, & Shahrazad 2012). Menurut Robinson dan Bennet (dalam Greenberg & Baron 2003:422) perilaku menyimpang adalah tidakan dari karyawan yang secara sengaja melanggar norma-norma organisasi dan atau aturan formal, sehingga mengakibatkan konsekuensi-konsekuensi negatif. Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson 2005:258) mengatakan bahwa perilaku menyimpang atau perilaku yang buruk memerlukan banyak biaya, mengurangi kinerja, dan dapat mempengaruhi seluruh organisasi secara negatif. Dalam bukunya yang berjudul “perilaku dalam organisasi” (2012:174) Wibowo mendefinisikan perilaku menyimpang merupakan perilaku sukarela yang melanggar norma organisasional penting dan dalam melakukannya, menantang kesehatan organisasi atau anggotanya. 12 2.1.2.2 Jenis-jenis Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Dalam jurnal Muafi (2011) Robinson dan Bennet mengklasifikasikan ada dua jenis perilaku menyimpang di tempang kerja, dengan memiliki dua dimensi, yaitu “interpersonal versus organizational” dan “minor versus serious”. Robinson dan Bennet dalam penelitiannya merancang dua dimensi perilaku menyimpang di tempat kerja ke dalam empat bagian, yaitu production deviance, property deviance, political deviance dan personal aggression. Gambar 2.1 Jenis-Jenis Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Sumber: Diadaptasi dari Robinson dan Bennett (dalam Muafi 2011) Dalam penelitian yang sama Robinson dan Bennett (dalam Fagbohungbe, Akinbode, & Ayodeji, 2012) menyarankan bahwa perilaku menyimpang tidak hanya memiliki dua dimensi, tetapi perilaku menyimpang karyawan di tempat kerja ditunjukkan dalam empat kategori yang berbeda, yang diklasifikasi sebagai berikut (Robbins & Judge 2012:317): 1. Production Deviance atau Penyimpangan Produksi: mempengaruhi karyawan untuk memberikan usaha yang minim seperti pulang lebih awal, sengaja bekerja lebih lambat, dan membuang-buang sumber daya. 13 2. Property Deviance atau Penyimpangan Harta Benda: mempengaruhi karyawan untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan seperti sabotase, berbohong mengenai jam kerja, dan melakukan pencurian di dalam organisasi. 3. Political Deviance atau Penyimpangan Politik: didefinisikan sebagai tindakan yang mencerminkan adanya keterlibatan dalam interaksi sosial yang menempatkan individu pada kerugian pribadi ataupun politik. Seperti: menujukkan sikap pilih kasih, menyebarkan gossip atau kabar yang belum tentu benar, dan menyalahkan rekan kerja. 4. Personal Aggression atau Agresi Pribadi: meliputi perilaku bermusuhan seperti pelecehan seksual, pelecehan verbal, dan mencuri dari rekan kerja. Tabel 2.1 Jenis-jenis Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Kategori Penyimpangan Penyimpangan Produksi Contoh Pulang lebih awal Sengaja bekerja lebih lambat Membuang-buang sumber daya Penyimpangan Harta Benda Sabotase Berbohong mengenai jam kerja Melakukan pencurian di dalam organisasi Penyimpangan Politik Menunjukkan sikap pilih kasih Menyebarkan gossip atau kabar yang belum tentu benar Menyalahkan rekan kerja Agresi Pribadi Pelecehan seksual Pelecehan verbal Mencuri dari rekan kerja Sumber: Diadaptasi dari Robinson dan Bennett (dalam Robbins & Judge 2012: 317) 14 2.1.1.3 Model Perilaku Menyimpang di Tempat kerja Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson 2005:260) diadaptasi guna menyajikan suatu model perilaku organisasi yang buruk (menyimpang) dengan lengkap dan terintegrasi. Perilaku yang menyimpang merupakan tindakan yang disengaja dari pihak individu dan bahwa perilaku yang menyimpang dilaksanakan oleh keyakinan orang dan ekspektasi organisasi. Perilaku yang menyimpang akan dapat menghasilkan sejumlah hasil yang membutuhkan banyak biaya secara finansial maupun sosial. Model perilaku menyimpang yang diadaptasi dari Vardi dan Weitz ditampilkan pada gambar 2.2 di bawah ini: Gambar 2.2 Model Perilaku yang Menyimpang di Tempat Kerja Sumber: Diaptasi dari Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson 2005) 15 Menurut Vardi dan Weitz (dalam Ivancevich, Konopaske, & Matteson 2005:260), ada empat jenis penyebab perilaku menyimpang di tempat kerja yaitu: individu, pekerjaan, kelompok, dan organisasi. Sebagai contoh, keika individu mempersepsikan bahwa mereka diperlakukan secara buruk oleh seorang manajer, preferensi dari perilaku menyimpang ataupun perilaku yang buruk mungkin bisa meningkat. Sikap ini kemudian dapat diinternalisasi dan mempengaruhi rekan kerja. Jika, misalnya seorang rekan kerja setuju bahwa perlakuan buruk terjadi, dia dapat menggabungkannya dengan perilakunya sendiri yang buruk. Perilaku kerja individu yang mempersepsikan bahwa dirinya telah diperlakukan secara buruk akan memiliki konseskuensi negatif bagi dirinya sendiri atau menghasilkan ketidakpuasan bagi dirinya sendiri, ketidakpuasan bagi kelompok kerja dan pada akhirnya akan memiliki dampak bagi organisasi misalnya, terjadinya peningkatan absensi dari karyawan. 2.1.1.4 Penyebab Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Menurut Mitchel dan Ambrose (dalam Chirasha & Mahapa 2012), perilaku menyimpang di tempat kerja dapat dilihat sebagai orientasi timbal balik negatif di mana seorang individu mengembalikan perlakuan negatif dengan perlakuan negatif atau dengan istilah ‘an eye for eye’. Berbagai macam penyebab perilaku menyimpang di tempat kerja telah diringkas di bawah ini (Chirasha & Mahapa 2012): 1. Faktor-faktor yang terkait dengan organisasi, diantaranya adalah: Iklim organisasi (organizational climate): dimana dalam penelitian Burton dan Vardil (dikutip dari Chirasha & Mahapa 2012) telah menunjukkan bahwa iklim organisasi dipengaruhi oleh sikap pemimpin di dalam organisasi. Penyimpangan di tempat kerja terkait erat dengan pengawasan yang kasar (abusive supervision). Pengawasan kasar didefinisikan sebagai persepsi para bawahan dari sejauh mana supervisor terlibat dalam perilaku bermusuhan baik verbal atau non-verbal yang berkelanjutan (Litzky et al dalam Chirasha & Mahapa 2012). Jika pengawasan kasar dipraktekkan, pembalasan bisa terjadi. Karyawan yang merasa pimpinan atau organisasi mereka peduli dan memberikan dukungan telah terbukti telah mengurangi kejadian perilaku menyimpang di tempat kerja. 16 Keadilan organisasi (organizational justice): keadilan organisasi mencakup tiga aspek yaitu keadilan prosedural, keadilan distributif dan keadilan interaksional. Keadilan prosedural membuat proses pengambilan keputusan secara adil dan transparan. Keadilan distributif berkaitan dengan bagaimana proses pengambilan keputusan dibuat saat keadilan interaksional melibatkan hubungan interpersonal dan rasa keadilan yang karyawan memiliki dengan supervisor dan tokoh-tokoh lain dalam sebuah organisasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa jika keadilan prosedural dikombinasikan dengan keadilan interaksional maka akan berdampak manfaat dalam mengurangi penyimpangan di tempat kerja. Karyawan yang berkonsultasi dan diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di organisasi mereka cenderung untuk bisa bertindak, karena suara mereka dihargai. Persepsi dan dukungan organisasi (perceived organizational support) Kepercayaan dalam organisasi (trust in organizations) 2. Faktor-faktor yang terkait dengan pekerjaan, mencakup: Stres kerja: berhubungan dengan pekerjaan yang tidak ada dalam deskripsi pekerjaan, kelebihan beban kerja, dan kurangnya kondisi pelayanan. Karyawan yang tidak jelas atas tugas-tugas yang mereka kerjakan dapat frustrasi dan menghabiskan waktu mereka untuk mengerjakan hal-hal di luar dari pekerjaan mereka. Oleh karena itu, penting bagi manajemen untuk memastikan bahwa mereka memberikan uraian tugas yang jelas dan mencoba untuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi karyawan mereka. Ketidakberdayaan (powerlessness): persepsi tidak dihormati adalah salah satu penyebab dari tempat kerja penyimpangan. Sedangkan dalam penelitian Bollin dan Heatherly yang dikutip dalam Muafi (2011), sumber-sumber perilaku menyimpang di tempat kerja yang diantaranya termasuk niat untuk berhenti bekerja, ketidakpuasan karyawan, penghinaan yang terjadi di dalam perusahaan, absensi, penyalahgunaan zat-zat yang terlarang, penyalahgunaan hak istimewa, dan pencurian di tempat kerja diperkirakan telah 17 menyebabkan perilaku menyimpang di tempat kerja dan memiliki pengaruh terhadap kinerja individu dalam kelompok kerja. 2.2.1.4 Dampak Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja Berikut ini adalah beberapa penelitian yang telah menjelaskan dampak perilaku menyimpang di tempat kerja yang dikutip dalam Muafi (2011), diantaranya adalah: 1. Knights dan Kennedy menemukan bahwa jika karyawan tidak puas tetap berada di organisasi mereka mungkin terlibat dalam perilaku kontra produktif seperti memberikan layanan yang buruk, menyebarkan rumor, pencurian dan sabotase peralatan, hilangnya omset, terjadi ketidakhadiran dan menurunya produktifitas. 2. Appelbaum et al dalam studinya menemukan bahwa korban interpersonal penyimpangan kerja lebih mungkin untuk menderita masalah yang berhubungan dengan stres dan relatif menunjukkan penurunan produktivitas, kehilangan waktu kerja dan tingkat turnover serta biaya keuangan yang relatif tinggi. Jadi bisa disimpulkan bahwa perilaku menyimpang di tempat kerja akan berdampak pada ketidakpuasan karyawan yang akan menghasilkan stres kerja, penurunan produktifitas sehingga akan berdampak pada hilangnya banyak biaya yang hanya akan merugikan perusahaan. 2.1.3 Norma Kelompok Norma dapat dikatakan sebagai aturan yang tidak tertulis atau aturan yang tidak dikatakan bagi kelompok (Greenberg & Baron 2003:280). Menurut Luthans (2006:253) norma dan aturan (rules) secara konsep memiliki kemiripan, tetapi beberapa ahli telah membuat poin perbedaan antara norma dan aturan (rules). 2.1.3.1 Pengertian Norma Kelompok Norma adalah standar perilaku yang dapat diterima dan dibagikan oleh anggota yang harus atau tidak harus dilakukan dalam situasi tertentu (Robbins & Judge 2012:314). Menurut Kreitner dan Kinichi (2011:284) pengertian norma merupakan suatu sikap, pendapat, perasaan, atau tindakan, dibagikan oleh dua orang atau lebih, yang menjadi pedoman perilaku mereka. Norma kelompok merupakan 18 standar yang sebagian besar mengatur perilaku-perilaku di dalam suatu kelompok (Parks, 2011). Norma mengatur perilaku kelompok dalam cara yang penting, seperti memberikan dorongan kepada pekerja, jujur dan loyal kepada perusahaan, menetapkan cara yang tepat untuk berpakaian, dan aturan atau perintah yang harus dipatuhi apabila terlambat atau absen dari pekerjaan (Greenberg & Baron 2003:281). Norma memperjelas nilai-nilai dasar bagi kelompok, menyederhanakan dan membuat perdiksi perilaku apa yang diharapkan dari anggota kelompok serta membantu kelompok menghindari konflik antarpribadi (Andre, 2008:242). Menurut Luthans (2006:523), norma merupakan “keharusan” perilaku. Norma adalah perilaku yang diterima oleh kelompok dan dapat dijalankan oleh kelompok jika: 1. Memberi bantuan agar kelompok bertahan dan memberi keuntungan tetap. 2. Menyederhanakan atau membuat perilaku yang diharapkan anggota kelompok menjadi dapat diperkirakan. 3. Membantu kelompok untuk menghindari masalah interpersonal yang membuat malu. 4. Mengekspresikan nilai atau tujuan utama kelompok dan mengklarifikasi apa yang membedakan identitas kelompok (Luthans, 2006:523). 2.1.3.2 Jenis-jenis Norma Kelompok Menurut Greenbergh dan Baron (2003:281) ada dua jenis norma yang diketahui, diantaranya adalah: 1. Prescriptive Norms Merupakan harapan yang ada di dalam kelompok mengenai apa yang seharusnya dilakukan, misalnya mengikuti pemimpin mereka atau membantu anggota kelompok yang membutuhkan bantuan (Greenberg & Baron, 2003:281). 2. Proscriptive Norms Merupakan harapan yang ada di dalam kelompok mengenai perilaku-perilaku mana yang seharusnya anggota kelompok tidak terlibat, misalnya menghindari absen atau menahan diri dari menceritakan rahasia masingmasing kepada pimpinan (Greenberg & Baron, 2003:281). 19 2.1.3.3 Aspek-aspek Norma Kelompok Norma dapat mencakup hampir semua aspek perilaku kelompok (Goodman, Ravlin, Schminke dalam Robbins & Judge 2012:314). Norma-norma yang paling umum adalah (Robbins & Judge, 2012:314): 1. Performance Norms memberikan isyarat dengan secara eksplisit tentang seberapa keras anggota harus bekerja, berapa tingkat hasil seharusnya, bagaimana pekerjaan dapat terlaksana, tingkat kelambanan yang sesuai dan seterusnya 2. Appearance Norms menyangkut etika berpakaian, aturan yang tidak dibicarakan ketika kelihatan sibuk 3. Social Arrangement Norms menyangkut dengan siapa makan siang bersama, bagaimana jika membentuk persahabatan di dalam dan di luar pekerjaan 4. Resource Allocation Norms berkenaan dengan penguasaan pada pekerjaan yang sulit, distribusi sumber daya seperti pengupahan atau peralatan 2.1.4 Efikasi Diri Albert Bandura adalah tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi diri (selfefficacy) pada era 1970-an. Efikasi diri (self-efficacy) dikenal juga sebagai teori kognitif sosial. Efikasi diri membuat perbedaan dalam bagaimana orang dapat merasakan, berpikir, berperilaku, dan memotivasi diri (Bandura dalam Zulkosky, 2009:93). 2.1.4.1 Pengertian Efikasi Diri Efikasi diri merujuk pada keyakinan individu bahwa ia mampu mengerjakan tugas (Bandura dalam Robbins & Judge 2012:249). Efikasi diri adalah penilaian diri apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan (Alwisol, 2009:287). Definisi formal yang biasanya digunakan adalah pernyataan Bandura (dalam Luthans 2006:338) mengenai penilaian atau keyakinan pribadi tentang “seberapa baik seseorang dapat melakukan tindakan yang diperlukan untuk berhubungan dengan situasi prospektif.” Efikasi diri bukanlah ciri keperibadian, tetapi lebih mengacu pada situasi atau tugas tertentu (Maddux & Gosselin 2003; Hansen & Wanke 2009). Efikasi diri merupakan keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk mengerahkan 20 motivasi, sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas tertentu dalam konteks tertentu (Bandura dalam Malik 2013). Menurut Bandura dalam Baron dan Byrne (2004:183) efikasi diri adalah evaluasi seseorang terhadap kemampuan atau kompetensinya untuk melakukan sebuah tugas, mencapai tujuan, atau mengatasi hambatan. Menurut Pajares (dalam Dimopulou 2012), efikasi diri adalah sebuah pemikiran yang dipilih oleh individu mengenai bagaimana cara berperilaku yang lebih didasarkan pada kepercayaan mereka terhadap kemampuannya dalam mencapai sesuatu daripada didasarkan atas pengetahuan atau keterampilan mereka. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi tampaknya akan menanggapi umpan balik yang negatif dengan meningkatkan usahanya dan motivasinya, sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan cenderung mengurangi usaha mereka setelah menanggapi umpan balik yang negatif (Bandura dalam Robbins & Judge 2012:250). 2.1.4.2 Sumber-sumber Efikasi Diri Efikasi diri tergantung pada bagaimana interpretasi individu dan proses keberhasilan secara kognitif. Menurut Bandura (dalam Luthans 2006:341-342) sumber efikasi diri dibagi menjadi empat, yaitu sebagai berikut: 1. Pengalaman penguasaan atau pencapaian kinerja Pengalaman penguasaan berpengaruh paling kuat dalam membentuk keyakinan efikasi, karena merupakan informasi langsung mengenai kesuksesan. Pengalaman yang diperoleh melalui usaha terus-menerus dan kemampuan untuk belajar membentuk efikasi yang kuat dan fleksibel. Akan tetapi, efikasi yang dibangun dari kesuksesan yang datang dengan mudah tidak akan bertahan ketika muncul berbagai kesulitan, dan efikasi tersebut akan berubah dengan cepat. 2. Pengalaman pribadi atau pemodelan Adalah penting untuk menekankan bahwa semakin mirip modelnya (misalnya, aspek-aspek demografi seperti umur, jenis kelamin, karakteristik fisik, pendidikan, dan status pengalaman) dan semakin relevan tugas yang dilakukan, semakin besar pengaruh pada proses efikasi pengamat. Sumber informasi pribadi ini penting untuk orang dengan pengalaman langsung 21 (misalnya, tugas baru) dan sebagai startegi praktik untuk meningkatkan efikasi seseorang melalui pelatihan dan perkembangan. 3. Persuasi sosial Keyakinan seseorang atas efikasi mereka dapat diperkuat melalui pengaruh orang lain yang kompeten dan dihormati sehingga mereka mendapatkan apa yang diperlukan dan memberikan umpan balik postif pada perkembangan yang terjadi dalam tugas. Persuasi sosial dapat dipilih dan diproses untuk membentuk efikasi dengan memberikan informasi objektif dan melakukan berbagai tindakan tindak lanjut untuk membentuk kesuksesan seseorang. Persuasi sosial lebih berguna untuk mengahapus kesenjangan saat orang mulai berjuang atau ragu pada diri sendiri ketika mereka melakukan tugas, daripada dilakukan untuk membangun efikasi pada tugas baru. 4. Peningkatan fisik dan psikoloisi Seseoang sering mengandalkan perasaan mereka, secara fisik dan emosi, untuk menilai kapabilitas mereka. Lebih dari sumber informasi lainnya, jika ada hal-hal negatif (misalnya seseorang sangat lelah atau tidak sehat secara fisik atau cemas/depresi dan atau merasa tertekan), maka hal tesebut akan mengurangi efikasi. Pada sisi lain, jika keadaan fisik dan mental dalam keadaan baik, maka kondisi tersebut tidak perlu memberi kontribusi pada efikasi individu. Kondisi tersebut juga meningkatkan efikasi seseorang pada tugas yang menuntut kondisi fisik atau psikologis yang baik. 2.1.4.3 Proses dan Dampak Efikasi Diri Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara langsung tetapi juga mempunyai perilaku tidak langsung terhadap faktor lain. Secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan mereka dan mengawali usaha mereka. Yang pertama, orang cenderung mempertimbangkan, mengevaluasi dan mengintegrasikan informasi mengenai kapabilitas yang dirasakan. Yang penting, langkah awal dalam proses tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu, tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Selanjutnya, evaluasi/persepsi menghasilkan harapan yang pada gilirannya menentukan (Luthans, 2006:340): 1. Keputusan untuk menampilkan tugas tertentu dalam konteks ini 22 2. Sejumlah usaha yang dilakukan untuk menyelesaikan tugas 3. Tingkat daya tahan yang akan muncul (selakin masalah), tidak sesuai dengan bukti kesulitan yang dihadapi Dengan kata lain, bahwa dari awal dapat dilihat bahwa efikasi diri secara langsung mempengaruhi (Luthans, 2006:340): 1. Pemilihan perilaku (misalnya, keputusan dibuat berdasarkan bagaimana efikasi yang dirasakan seseorang terhadap pilihan, misalnya tugas pekerjaan atau bidang karir) 2. Usaha motivasi (misalnya, orang mencoba lebih keras dan berusaha melakukan tugas dimana efikasi mereka lebih tinggi dari pada mereka yang memiliki penilaian efikasi rendah) 3. Daya tahan (misalnya, orang dengan efikasi diri tinggi akan bangkit, bertahan taat menghadapi masalah atau kegagalan, sementara orang dengan efikasi diri rendah cenderung menyerah saat muncul rintangan) 2.1.4.4 Dimensi Efikasi Diri Menurut Bandura (dalam Malik 2013) efikasi diri meiliki tiga dimensi, diantaranya adalah magnitude, strength dan generality. 1. Megnitude, mengarah pada tingkat (level) kesulitan yang dipercaya oleh individu yang dapat ia capai 2. Srength, mengarah pada seberapa kuat atau seberapa lemah keyakinan individu 3. Generality, mengarah pada sejauh mana harapan individu di seluruh situasi 2.2 Tinjauan Pustaka Penelitian terdahulu sangat penting sebagai tinjauan pustaka dalam rangka penyusunan penelitian ini. Yang dimana kegunaannya untuk mengetahui hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu. Berikut ini adalah hasil-hasil dari penelitian sebelumnya yang diambil dari artikel jurnal ilmiah: 1. Jurnal oleh : Kabiru Maitama Kura, Faridahwati Mohd. Shamsudin, Ajay Chauhan, Othman Yeop Abdullah. (2013) Modeling the Influence of Group Norms and Self-regulatory Efficacy on Workplace Deviant Behaviour. Asian Social Science, 9(4) : 113-122. Survey berbasis web digunakan untuk 23 mengumpulkan data dari 217 staf pengajar dari berbagai perguruan tinggi di Nigeria. Dari hasil penelitian diketahui bahwa norma injuktif dan efikasi diri ditemukan sebagai prediktor signifikan terhadap penyimpangan interpersonal. Namun, sebaliknya norma deskriptif bukan merupakan prediktor signifikan dari penyimpangan organisasi dan penyimpangan interpersonal. Selain itu, penelitian ini juga menemukan adanya dukungan efikasi diri yang berperan sebagai moderator hubungan antara norma injuktif dan penyimpangan organisasi serta penyimpangan interpersonal. Efikasi diri juga menjadi moderator hubungan antara norma deskriptif dan penyimpangan interpersonal. 2. Jurnal oleh : Bamikole O. Fagbohungbe, Gabriel A. Akinbode, Folusho Ayodeji. (2012) Organizational Determinants of Workplace Deviant Behaviours: An Empirical Analysis in Nigeria. International Journal of Business and Management , 7(5) : 207-221. Sebanyak 696 karyawan telah menyelesaikan survey. Hasil yang didapatkan adalah pertama, peserta lakilaki secara signifikan berbeda dari rekan-rekan perempuan mereka pada masing-masing penyimpangan produksi, agresi pribadi, penyimpangan politik dan penyimpangan properti. Secara khusus, penyimpangan produksi, agresi pribadi dan penyimpangan politik lebih tinggi diantara perempuan dibandingkan laki-laki. Kedua, analisis regresi berganda menunjukkan bahwa variabel reaksi organisasi (pengawasan, identifikasi perusahaan, jenis pekerjaan, jumlah pekerjaan, rekan kerja, kondisi kerja fisik dan imbalan finansial) merupakan prediktor signifikan dari aspek yang berbeda dari perilaku menyimpang kerja antara pekerja. 3. Jurnal oleh : Faridahwati Mohd. Shamsudin, Chandrakantan Subramaniam, Hadziroh Ibrahim. (2011) Investigating The Influence of Human Resource Practices on Deviant Behavior in Work. International Journal of Trade, Economics and Finance, 2(6) : 514-519. Dalam konteks penelitian ini, diketahui bahwa ketika karyawan merasa organisasi tidak menerapkan praktik HR yang positif, mereka cenderung terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja misalnya dengan mengolok-olok seseorang (rekan kerja lainnya, tamu, dll), mengatakan sesuatu yang menyakitkan, membuat pernyataan etnis, agama atau ras, mengutuk seseorang, dan membuat lelucon kepada seseorang. Secara khusus, penelitian ini 24 menemukan bahwa deskripsi pekerjaan, keamanan kerja, dan peluang karir internal menjadi prediktor signifikan terhadap penyimpangan kerja. 2.3 Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan pustaka maka kerangka pemikiran penelitian sangat dibutuhkan sebagai alur berpikir sekaligus sebagai landasan untuk menyusun hipotesis penelitian. Penyusunan kerangka pemikiran juga akan memudahkan pembaca untuk memahami permasalahan utama yang dikaji dalam penelitian ini. Secara lengkap kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar berikut : Norma Kelompok Perilaku Menyimpang di Tempat Kerja (X) (Y) Efikasi Diri (Z) Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti 2013 Keterangan : Menggambarkan pengaruh secara langsung Menggambarkan pengaruh secara moderasi 2.4 Hipotesis Dari kerangka pemikiran dan tinjauan diatas serta berdasarkan dengan tujuan penelitian, maka rancangan hipotesis atau dugaan sementara terhadap variablevariabel penelitian yang digunakan sebagai berikut : 25 1. Norma kelompok memiliki pengaruh terhadap perilaku menyimpang di tempat kerja Penelitian yang telah dilakukan oleh Shamsudin, Subramaniam, & Ibrahim (2011) diketahui bahwa ketika karyawan merasa organisasi tidak menerapkan praktik HR yang positif, mereka cenderung terlibat dalam perilaku menyimpang di tempat kerja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kura, Shamsudin, & Chauhan (2013) diketahui bahwa norma injuktif dan efikasi diri ditemukan sebagai prediktor signifikan terhadap penyimpangan interpersonal. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : norma kelompok (x) memiliki pengaruh terhadap perilaku menyimpang (y) pada PT. Bank X, Tbk 2. Efikasi diri sebagai moderasi antara norma kelompok dan perilaku menyimpang di tempat kerja Dalam studi yang dilakukan oleh Bruell (2013), hasil yang ditemukan hanya sedikit dukungan untuk masuknya self-efficacy dalam hubungan antara pemaksaan dan kejahatan kekerasan. Kura, Shamsudin, & Chauhan (2013) dalam penelitiannya menemukan adanya dukungan efikasi diri yang berperan sebagai moderator hubungan antara norma injuktif dan penyimpangan organisasi serta penyimpangan interpersonal. Selain itu, efikasi diri juga menjadi moderator hubungan antara norma deskriptif dan penyimpangan interpersonal. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : efikasi diri (z) memiliki peran sebagai moderator antara norma kelompok (x) terhadap perilaku menyimpang (y) pada PT. Bank X, Tbk. 26