pemetaan dan determinan intra-asean foreign

advertisement
WP/12/2015
WORKING PAPER
PEMETAAN DAN DETERMINAN INTRA-ASEAN
FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI):
STUDI KASUS INDONESIA
Shinta R. I. Soekro
Triono Widodo (Konsultan)
Desember, 2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis
dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis
dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank
Indonesia.
PEMETAAN DAN DETERMINAN INTRA-ASEAN FOREIGN
DIRECT INVESTMENT (FDI): STUDI KASUS INDONESIA
Shinta R.I. Soekro* dan Triono Widodo (Konsultan)
Abstrak
Sebagai salah satu pilar dari KEA, aliran modal diharapkan akan
semakin masif antarnegara ASEAN dengan diimplementasikannya KEA akhir
2015. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, Indonesia
merupakan penerima terbesar foreign direct investment (FDI) dari kawasan.
Investasi tersebut diharapkan tidak hanya untuk memperluas pasar dan
mencari sumber daya, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai basis
produksi untuk ekspor. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan FDI yang
berasal dari ASEAN-5 ke Indonesia dan mengidentifikasi determinan FDI
tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis perilaku
outward FDI Indonesia ke ASEAN-5 serta melihat bagaimana pergeseran pola
FDI ke sektor ekonomi yang lebih memiliki teknologi tinggi. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data panel dinamis dengan
Generalized Method of Moments (GMM) dan analisis structural breaks Bai
dan Perron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan inward FDI
intra-ASEAN ke Indonesia adalah FDI tahun sebelumnya, PDB Indonesia, PDB
negara asal, jarak, produktivitas relatif, sumber daya alam, infrastruktur jalan,
perdagangan bilateral, dan volume ekspor. Sementara itu determinan
outward FDI Indonesia adalah PDB negara tujuan, perdagangan bilateral,
dan karakteristik negara Singapura. FDI yang masuk ke Indonesia cenderung
berorientasi mengejar pasar lokal, seperti halnya outward FDI Indonesia.
Dalam hal pergeseran inward FDI Indonesia ke sektor yang berteknologi lebih
tinggi, ditemukan bahwa tidak terjadi pergeseran yang berkelanjutan ke arah
tersebut. Hasil penelitian menemukan bahwa FDI intra-ASEAN ke Indonesia
cenderung bergeser ke arah sektor tersier.
Key words
: FDI, intra-ASEAN, pasar lokal, data panel dinamis,
structural breaks
JEL Classification : F23, F00, C33
*
Penulis mengucapkan apreasiasi kepada R. Aga Nugraha (BI Institute), Lutzardo Tobing (BI
Institute) dan Sandy Juli Maulana (Asisten Peneliti).
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) diyakini
merupakan salah satu sumber penting pembiayaan bagi suatu negara, khususnya
negara-negara berkembang. FDI yang merupakan arus masuk modal jangka
panjang dan relatif tidak rentan terhadap gejolak perekonomian sangat diharapkan
untuk membantu mendorong pertumbuhan investasi yang berkesinambungan
(sustainable) di negara-negara emerging, termasuk Indonesia. Dengan pertimbangan
arus investasi asing langsung yang berkesinambungan merupakan bagian penting
dalam strategi pembangunan jangka panjang suatu negara, negara-negara anggota
ASEAN sepakat untuk memasukkan investasi sebagai salah satu elemen dari pilar
single market and production base yang merupakan satu dari empat pilar ASEAN
Economic Community.
Salah satu perwujudan komitmen negara ASEAN dalam kerja sama regional
adalah disepakatinya ASEAN Vision 2020 di Kuala Lumpur, Malaysia pada
Desember 1997 pada ASEAN Summit. Visi tersebut mengarah pada perwujudan
suatu komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang berlandaskan pada tiga pilar,
yaitu ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Political and Security Community
(ASPC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Ketiga pilar tersebut secara
paralel akan mengarah pada terbentuknya suatu ASEAN Community pada tahun
2020. Selanjutnya pada ASEAN Summit di Cebu, Filipina bulan Januari 2007
disepakati bahwa pembentukan komunitas ASEAN tersebut akan dipercepat
menjadi tahun 2015. Percepatan pencapaian visi tersebut dilatarbelakangi oleh
upaya negara-negara ASEAN untuk mengurangi risiko berpindahnya arus modal
asing di tengah meningkatnya persaingan ekonomi regional seiring dengan pesatnya
pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India serta untuk mendorong ekonomi negara
ASEAN agar lebih efisien dan tumbuh lebih cepat (Kurniati, Prasmuko, dan Yanfitri,
2007). Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) tersebut akan efektif dan resmi dimulai
pada tanggal 31 Desember 2015.
2
Gambar 1. ASEAN Economic Community
Secara konseptual pembentukan KEA dilakukan melalui empat kerangka
kerja strategis (pilar) yang dituangkan dalam cetak biru KEA2 (Gambar 1). Salah satu
konsep yang digagas adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis
produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang (free flow of goods), aliran
bebas jasa (free flow of services), aliran bebas investasi (free flow of investment), dan
aliran lebih bebas arus modal (freer flow of capital), serta aliran bebas tenaga kerja
terampil (free movement of skilled labour). Keempat kerangka kerja strategis tersebut
diharapkan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan negara-negara
ASEAN.
Meski disadari bahwa KEA sebagai salah satu wadah kerja sama kawasan
akan memberikan banyak manfaat bagi negara anggotanya, tidak dapat dipungkiri
bahwa kerja sama kawasan ini pada kenyataannya menimbulkan perdebatan, baik
di antara kaum birokrat, teknokrat, maupun akademisi. Bagi mereka yang
mendukung, kerja sama kawasan dianggap sebagai building block karena bentuk
2
Dicuplik dari buku Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di
Tengah Kompetisi Global, Bank Indonesia (2008)
3
kerja sama itu akan mendorong mempercepat proses integrasi ekonomi global.
Sementara itu, mereka yang kurang sependapat menganggap bahwa kerja sama
kawasan merupakan stumbling block. Hal itu disebabkan terbentuknya kerja sama
kawasan umumnya akan diikuti oleh berbagai regulasi yang berbeda bagi negara
anggota dengan non-anggota sehingga dikhawatirkan akan menghambat integrasi
ekonomi global3.
Pada dasarnya dua elemen dalam pilar pasar tunggal dan basis produksi,
yaitu perdagangan (arus barang dan jasa) dan investasi (arus modal), memiliki
hubungan yang sangat erat. Perdagangan antardua negara atau lebih yang semakin
meningkat akan mendorong investor untuk mulai membuka fasilitas produksi di
negara tempat ekspor ke negara tersebut tinggi, yaitu berupa investasi asing
langsung (foreign direct investment–FDI). Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi
berbagai hambatan yang dialami ketika akan melakukan perdagangan antarnegara,
seperti hambatan tarif dan nontarif.
Bagi perusahaan multinasional, FDI memberikan peluang menekan biaya
produksi sekaligus meningkatkan pangsa pasar. Di sisi lain, FDI diyakini
memberikan manfaat kepada negara penerima, antara lain berupa pertumbuhan
ekonomi, pemasukan modal dan teknologi baru, serta peningkatan penyerapan
tenaga kerja
Untuk menarik FDI, setiap negara melakukan langkah yang berbeda-beda,
tergantung pada karakteristik negara tersebut, seperti infrastruktur, rezim
perdagangan yang dianut, ketersediaan tenaga terampil, dan kualitas kelembagaan.
Beberapa negara ASEAN menawarkan insentif khusus kepada investor asing seperti
tax holiday, import duty exemption, dan peningkatan ketersediaan infrastruktur.
Di Indonesia, tren perkembangan FDI mengalami peningkatan selama kurun
waktu lebih dari 40 tahun (1970–2014) dan mulai meningkat secara signifikan sejak
tahun 2001 (Grafik.1). Demikian pula dengan tren perkembangan perdagangan
Indonesia yang juga terus meningkat selama kurun waktu 30 tahun lebih (Grafik 2).
Apabila dilihat lebih jauh per kawasan, tampak bahwa perkembangan FDI intraASEAN Indonesia terus menguat, sementara perdagangan intra-ASEAN Indonesia
mengalami penurunan pada tiga tahun terakhir. Bahkan, pertumbuhan FDI setelah
3
Dicuplik dari Kompasiana Perdebatan Seputar Keberadaan Regionalism Ekonomi, 29
Oktober 2013.
4
tahun 2012 cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan
perdagangan.
2013
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
(4,550)
(10,000)
2012
2009
2006
2003
2000
1997
1994
1991
1988
1985
1982
1979
1976
1973
1970
(5,000)
1991
145
-
1989
5,000
1987
10,000
1985
juta USD
juta USD
15,000
1983
20,000
450,000
400,000
350,000
300,000
250,000
200,000
150,000
100,000
50,000
-
1981
22,580
25,000
Sumber : UNCTAD
Grafik 1. Perkembangan FDI
Indonesia (1970–2014)
Grafik 2. Perkembangan
Perdagangan Indonesia (1981–2013)
Seiring dengan terus meningkatnya arus FDI ke Indonesia dan pertumbuhan
FDI lebih tinggi dari pertumbuhan perdagangan internasional yang selama 3 tahun
terakhir cenderung menurun (Grafik 3), dipandang perlu pengkajian mengenai
karakteristik FDI yang masuk dan keluar Indonesia, khususnya dari dan ke empat
negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina) serta faktor-faktor yang
menarik FDI masuk ke Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
arah perkembangan produk FDI selain ingin mengetahui apakah investasi asing
bergerak menghasilkan produk yang lebih canggih (sophisticated) atau justru
sebaliknya. FDI yang lebih canggih umumnya cenderung memiliki produk ekspor
dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Bukti empiris menunjukkan bahwa dengan
produk ekspor yang lebih canggih, pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi dalam
jangka panjang (Jarreau dan Poncety, 2009). Salah satu faktor yang memengaruhi
tingkat kecanggihan dari produk ekspor adalah spillover perusahaan FDI atau dalam
hal ini perusahaan multinasional (Iwamoto dan Nabeshima, 2012). Dengan
memasukkan aspek arah perkembangan FDI ke produk yang lebih canggih,
penelitian ini diharapkan dapat menangkap secara utuh fenomena FDI yang terjadi
di Indonesia.
5
persen
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
(10.0)
(20.0)
2011
2012
2013
Trade ASEAN
2014
FDI dari ASEAN
Sumber: ASEAN Stat, UNCTAD, SEKI, diolah
Grafik 3. Pertumbuhan FDI dan Perdagangan Internasional Indonesia
1.2
Tujuan Penelitian
Dengan latar belakang pentingnya FDI sebagai
salah satu sumber
pembiayaan bagi pembangunan suatu negara karena (i) sifatnya yang tidak volatile,
menetap lebih lama, dan sengaja diundang pemerintah untuk menciptakan
lapangan kerja, meningkatan kapasitas produksi, transfer teknologi, dan mengatasi
kesenjangan tabungan investasi (S-I gap); (ii) tidak ada kewajiban pembayaran
pokok
bagi
FDI
yang
berbentuk
penyertaan
di
satu
sisi;
serta
(iii)
mempertimbangkan FDI merupakan salah satu elemen penting dalam KEA yang
akan mulai diimplementasikan pada akhir 2015 di sisi lain, dipandang penting
pemahaman lebih jauh terhadap faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan
FDI yang masuk dan keluar Indonesia, khususnya dari dan ke negara ASEAN-5
serta pemahaman karakteristiknya.
Hipotesis awal menunjukkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia mengalami
pergeseran ke arah FDI yang memproduksi barang-barang yang lebih canggih.
Meskipun begitu, FDI di Indonesia diduga masih tetap didominasi oleh aktivitas
produksi untuk mendekati pasar lokal dan bukan untuk menjadikan Indonesia,
dalam hal ini adalah host-country, sebagai negara basis produksi untuk ekspor.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Memetakan FDI yang masuk ke Indonesia (negara asal, sektor, komoditas, dan
aspek kebijakannya) yang berasal dari empat negara ASEAN (Malaysia,
Singapura¸ Thailand, dan Filipina) atau ASEAN-5.
1
2. Mengidentifikasi inward factors (push-and-pull factors) atas FDI yang masuk ke
Indonesia dari negara ASEAN-5 dan outward factors (push-and-pull factors) dari
Indonesia ke ASEAN-5.
3. Mengidentifikasi karakteristik tujuan dari inward FDI ke Indonesia dari negara
ASEAN-5 dan outward FDI dari Indonesia ke negara ASEAN-5. Apakah
perusahaan yang melakukan FDI di Indonesia bertujuan mengekspor kembali
atau untuk menjualnya di pasar dalam negeri (export oriented vs local market).
4. Mengidentifikasi kemungkinan terjadinya pergeseran (changing landscape) atas
FDI di Indonesia ke arah FDI yang lebih canggih.
2
II. TINJAUAN LITERATUR
2.1
Tinjauan Teori FDI
Pada dasarnya FDI dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu inward FDI
dan outward FDI. Definisi dari inward FDI adalah ketika suatu perusahaan
berinvestasi atau memulai operasional perusahaannya di negara (host-country) yang
berbeda dengan negara asalnya (home-country). Sementara itu, outward FDI adalah
ketika
perusahaan
domestik
berekspansi
dan
melakukan
operasional
perusahaannya di negara lain, baik dalam bentuk investasi baru (greenfield
investment), penggabungan dan pengambilalihan usaha (merger and acquisition),
atau bentuk ekspansi usaha lain yang memanfaatkan fasilitas di negara tujuan
(host-country).
Penelitian ini mengacu pada teori dan model yang menjelaskan kehadiran FDI
dan faktor-faktor yang menentukannya. Pertama, teori O-L-I (ownership-locationinternalization) yang menjelaskan alasan mengapa suatu perusahaan melakukan
FDI. Kedua, model gravitasi (gravity model). Model ini digunakan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penarik FDI (push-and-pull factors).
2.1.1 Teori O-L-I (Ownership-Location-Internalization)
Teori O-L-I merupakan suatu pendekatan eklektik yang menjelaskan
keberadaan FDI di suatu negara (Dunning, 2001; Petri, 2012; Masron, 2013). Teori
O-L-I disebut pendekatan eklektik karena teori ini menerangkan alasan mengapa
suatu perusahaan memilih FDI di antara berbagai alternatif pilihan lain.
Selanjutnya Xaypanya, Rangkakulnuwat, dan Paweenawat (2015) menjelaskan
setiap elemen teori O-L-I tersebut. Pertama, ownership-specific menjelaskan
keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang mendorong
perusahaan tersebut untuk terlibat dalam produksi di luar negara asalnya.
Keunggulan tersebut termasuk permodalan, teknologi, pemasaran, kemampuan
manajerial dan organisasi, serta keunggulan dalam hal skala ekonomis. Kedua,
location-specific menjelaskan bahwa keunggulan spesifik yang dimiliki suatu negara
menciptakan daya tarik bagi suatu perusahaan di luar negara tersebut untuk
masuk ke negara bersangkutan (host country). Keunggulan tersebut misalnya adalah
resources endowment, potensi pasar yang besar, infrastruktur yang mendukung,
kondisi pasar tenaga kerja, tingkat upah yang bersaing, dan fasilitas investasi lain
3
yang diberikan oleh pemerintah kepada investor asing. Ketiga, internalizationspecific menjelaskan keunggulan yang dimiliki perusahaan apabila memilih untuk
membuka fasilitas produksi daripada alternatif lain, seperti mengekspor atau
melakukan joint-venture.
Paradigma
O-L-I
tersebut
dapat
diturunkan
menjadi
motivasi
bagi
perusahaan multinasional untuk memilih lokasi berinvestasi. Terdapat empat
motivasi yang dapat diturunkan dari paradigma O-L-I tersebut, yaitu resource
seeking, market seeking, efficiency seeking, dan strategic asset seeking (Franco, et
al., 2010; Wadhwa dan Reddy, 2011; Hoang, 2012). Resource seeking menjelaskan
bahwa perusahaan memilih untuk menanamkan modalnya di suatu negara karena
terdapat sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, yang
tidak tersedia di negara asal perusahaan tersebut atau terdapat sumber daya
dengan biaya yang lebih murah secara relatif jika dibandingkan dengan negara asal
perusahaan tersebut. Misalnya, perbandingan upah tenaga kerja antara negara asal
(home country) dan negara tujuan investasi (home country).
Sementara itu, market seeking menjelaskan bahwa perusahaan memilih
suatu negara sebagai tujuan investasinya karena mengejar potensi pasar yang ada
di negara tersebut. Perusahaan memutuskan untuk membuka fasilitas produksi
karena beberapa alasan, misalnya mengikuti pemasok atau konsumen yang
sebelumnya telah membangun fasilitas produksi di negara tersebut dalam rangka
mengeksplorasi selera pasar lokal, dan meminimalkan biaya transportasi.
Efficiency seeking menjelaskan bahwa perusahaan memilih suatu negara
sebagai tujuan investasi karena ingin mengefisienkan proses produksinya. Menurut
Franco et al. (2010) terdapat dua pendapat mengenai apakah efficiency seeking
berbeda dengan resource seeking. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa
efficiency seeking dan resource seeking adalah dua hal yang sama karena hanya
mengejar biaya yang lebih murah, misalnya dengan mencari negara dengan upah
yang relatif lebih murah. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kedua motif
tersebut berbeda karena efficiency seeking lebih mengarah pada pencapaian skala
ekonomi dan mendapatkan keuntungan dari diversifikasi aset yang dilakukannya.
Motif yang terakhir adalah strategic asset seeking. Motif ini menjelaskan bahwa
perusahaan memilih untuk berinvestasi di suatu negara karena ingin mendapatkan
akses terhadap suatu teknologi yang terdapat di negara tujuan investasi yang tidak
dimiliki oleh perusahaan tersebut.
4
Paradigma O-L-I di atas berhubungan erat dengan pengelompokan FDI
berdasarkan karakteristik sebagaimana dijelaskan oleh Miroudot dan Ragoussis
(2008). Berdasarkan karakteristiknya FDI dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
FDI horizontal dan FDI vertikal. FDI horizontal adalah investasi asing yang
bertujuan untuk membangun basis produksi di negara lain dengan tujuan untuk
mengejar potensi pasar (market seeking). FDI horizontal akan membangun fasilitas
produksinya di negara yang menjadi tujuan pasarnya. Sementara itu, FDI vertikal
adalah investasi asing yang bertujuan untuk membangun sebagian fasilitas
produksi di negara lain dalam rangka mengejar efisiensi (efficiency seeking) yang
terkait dengan rantai pasokan (supply chain) dari proses produksinya. FDI vertikal
akan menciptakan fragmentasi proses produksi di negara tujuan investasi.
Meskipun begitu, klasifikasi berdasarkan horizontal dan vertikal tidak dapat
diaplikasikan secara kaku (rigid). Hal tersebut disebabkan fenomena yang terjadi di
lapangan tidak sesederhana konsep horizontal atau vertikal sebagaimana diuraikan
di atas. Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah dengan memanfaatkan
kerangka production network dalam dua dimensi, yaitu lokasi penjualan produk dan
asal bahan baku intermediate (Damuri, 2015).
Lokal assembly
FDI
Share of output
sold lokally
Pure horizontal FDI
100%
‘Networked’ FDI
Pure ‘HQ’ vertical
FDI (trade
invisibles)
Pure outward
processing FDI (i.e
export)
Resource extraction FDI
FDI Increasingly Market Seeking
0%
Share of
100% intermediates
sourced lokally
Sumber: Damuri, 2015
Grafik 1. Kerangka FDI dan Perdagangan Internasional
5
Damuri lebih lanjut mengemukakan bahwa untuk dapat melihat bagaimana
pola FDI dalam hal market seeking, dapat dilihat apakah titik perusahaan FDI
semakin jauh posisinya dari garis horizontal. Jika posisi titik perusahaan semakin
jauh dari garis horizontal, perusahaan FDI tersebut semakin berorientasi pada
mengejar potensi pasar lokal. Grafik 1 mengilustrasikan fenomena FDI yang terjadi
di lapangan ditinjau dari dua hal, yaitu pangsa penjualan untuk pasar lokal dan
pangsa input antara (intermediate input) lokal yang digunakan. Kategori FDI menurut
kombinasi kedua hal tersebut (lokasi penjualan produk dan asal bahan baku
intermediate) adalah sebagai berikut.
a. Pure horizontal FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen produknya ke
pasar lokal dan membeli 100 persen input antara dari lokal.
b. Pure HQ vertical FDI, yaitu perusahaan FDI menjual sebagian besar produknya
untuk ekspor dan membeli 100 persen input antara dari lokal.
c. Pure outward processing FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen
produknya untuk ekspor dan membeli 100 persen input antara dari pasar luar
negeri.
d. Resource extraction FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen produknya
untuk ekspor, tetapi memperoleh 100 persen input antaranya dari lokal.
e. Local assembly FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen produknya ke
pasar lokal, tetapi mengimpor 100 persen input antaranya.
f. Networked FDI, yaitu perusahaan FDI menjual sebagian produknya ke pasar
lokal dan sebagian produk lainnya untuk ekspor serta memperoleh sebagian
produknya dari pasar lokal dan mengimpor sebagian lainnya.
2.2
Model Gravitasi FDI
Diakui bahwa terdapat berbagai model yang umum digunakan untuk
menganalisis keberadaan FDI dalam sebuah perekonomian. Sehubungan dengan
penelitian ini, model yang digunakan sebagai acuan adalah model gravitasi (gravity
model). Model gravitasi yang diaplikasikan dalam ilmu ekonomi merupakan adopsi
dari hukum Newton mengenai gravitasi (Newton’s Law of Gravitation). Anderson
(2010) mengaplikasikan hukum Newton tersebut ke dalam persamaan dasar model
gravitasi yang menjelaskan interaksi antara dua wilayah sebagai berikut.
6
𝑋𝑖𝑗 =
π‘Œπ‘– 𝐸 𝑗
(1)
2
𝑑𝑖𝑗
Keterangannya adalah sebagai berikut, yaitu 𝑖 menunjukkan wilayah asal, 𝑗
menunjukkan wilayah tujuan. π‘Œπ‘– adalah massa atau ukuran perekonomian dalam
bentuk barang atau tenaga kerja atau faktor-faktor produksi lain yang ditawarkan
oleh daerah tujuan. 𝐸𝑗 adalah massa atau ukuran perekonomian dalam bentuk
barang atau tenaga kerja atau faktor-faktor produksi lain yang diminta oleh wilayah
tujuan; sedangkan, 𝑑𝑖𝑗 merupakan jarak yang menjadi hambatan interaksi kedua
wilayah tersebut. Interaksi kedua wilayah tersebut ditunjukkan dengan pergerakan
barang atau tenaga kerja antar 𝑖 dan 𝑗 yang dinotasikan dengan 𝑋𝑖𝑗 .
Secara sederhana, penjelasan model tersebut adalah interaksi dua wilayah
dalam hal pergerakan arus barang, jasa, dan faktor-faktor produksi lainnya yang
berbanding lurus dengan ukuran perekonomian kedua wilayah dan berbanding
terbalik dengan jarak. Ukuran perekonomian wilayah tujuan mencerminkan
besarnya permintaan terhadap barang, jasa, atau faktor-faktor produksi lainnya,
sedangkan
ukuran
perekonomian
wilayah
asal
mencerminkan
kapasitas
penawaran.
Dengan memodifikasi model dasar di atas menjadi model logaritma natural,
diperoleh rumus
𝑙𝑛𝑋𝑖𝑗 = 𝛽1 π‘™π‘›π‘Œπ‘– + 𝛽2 𝑙𝑛𝐸𝑗 + 𝛼 𝑙𝑛𝑑𝑖𝑗
(2)
yang dapat dijelaskan 𝛽1 > 0, 𝛽2 > 0, dan 𝛼 < 0.
Selain output perekonomian, variabel lain yang umum digunakan untuk
melihat ukuran wilayah adalah jumlah populasi. Salah satu yang diaplikasikan oleh
Kahouli dan Maktou (2014) yang menggunakan GDP dan populasi sebagai variabel
massa atau ukuran perekonomian dengan spesifikasi model adalah sebagai berikut.
𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗 = 𝛽0 𝐺𝐷𝑃𝑖 𝛽1 𝐺𝐷𝑃𝑗 𝛽2 𝑃𝑂𝑃𝑖 𝛽3 𝑃𝑂𝑃𝑗 𝛽4 𝐷𝐼𝑆𝑇𝑖𝑗 𝛽5 𝐹𝑖𝑗 𝛽6
(3)
Penjelasanya adalah i merupakan subscript untuk negara tujuan (host country) dan
j merupakan negara asal FDI (home country). GDP menunjukkan output
perekonomian, sedangkan POP menunjukkan jumlah penduduk di setiap wilayah,
dan DIST merupakan jarak fisik antarnegara tujuan dan negara asal FDI. Pada
model ini, 𝐹 merupakan faktor lain yang menstimulasi arus FDI antarkedua wilayah
atau negara. Koefisien β menunjukkan elastisitas variabel independen terhadap FDI.
7
Selanjutnya model tersebut dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural sehingga
menjadi
𝑙𝑛𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗 𝑖𝑗 = 𝛽1 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑖 + 𝛽2 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗 + 𝛽3 𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑖 + 𝛽4 𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑗 + 𝛽5 𝑙𝑛𝐷𝐼𝑆𝑇𝑖𝑗 + 𝛽6 𝑙𝑛𝐹𝑖 (4)
Persamaan (4) merupakan contoh model gravitasi statis yang menjelaskan
bagaimana arus FDI antarkedua negara.
2.2.1 Tahapan Integrasi Ekonomi
Untuk melihat posisi FDI intra-ASEAN dalam tahapan integrasi ekonomi,
digunakan pendekatan teori Balassa (1961). Balassa mengemukakan bahwa upaya
untuk menuju integrasi ekonomi harus melalui berbagai tahapan. Tahapan-tahapan
tersebut dibagi menjadi lima, dimulai dari free trade area (FTA) dan custom union,
kemudian dilanjutkan dengan common market dan economic union integration, dan
terakhir total economic (Grafik 2).
Free trade area (FTA) adalah kerja sama kawasan tempat tarif dan kuota
antarnegara anggota dihapuskan, tetapi tiap-tiap negara anggota tetap menerapkan
tarif masing-masing terhadap negara non-anggota. Custom union (CU) adalah kerja
sama free trade area yang meniadakan hambatan pergerakan komoditas
antarnegara anggota, tetapi menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan
anggota.
Sementara common market (CM) adalah kerja sama custom union yang juga
meniadakan hambatan-hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang,
jasa, dan aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan
dapat menghasilkan alokasi sumber yang efisien. Economic union integration (EU)
adalah kerja sama common market dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi
nasional yang signifikan, termasuk kebijakan struktural. Sementara itu, total
economic (TE) adalah kerja sama berupa penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan
sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga supranasional dengan keputusankeputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota.
Dari uraian tersebut FDI intra-ASEAN dapat dikategorikan sebagai kerja
sama kawasan pada tahap common market dan hal itu merupakan tahap integrasi
ekonomi KEA selanjutnya. Pada tahap ini faktor produksi, terutama modal, bergerak
dengan bebas antarnegara anggota ASEAN untuk mencapai tujuan, seperti skala
ekonomi, keuntungan komparatif, dan efisiensi produksi.
8
Grafik 2. Tahapan Integrasi Ekonomi Balassa
2.3
Tinjauan Literatur Determinan FDI
Beragam penelitian telah dilakukan terkait determinan FDI. Berbagai faktor
pendorong dan penarik FDI dianalisis, baik dalam konteks perekonomian suatu
negara maupun kawasan. Xaypanya et al. (2015) dalam penelitiannya terhadap FDI
di ASEAN mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tingkat pembangunan (stage
of development) di antara negara-negara anggota ASEAN sehingga perlu dibedakan
karakteristik determinan FDI di negara ASEAN-5 (Indonesia, Singapura, Malaysia,
Filipina, dan Thailand) dengan ASEAN-3 (Laos, Kamboja, dan Vietnam). Periode
pengamatan yang dilakukan adalah 2000–2011 yang diestimasi menggunakan
model data panel dengan first-differencing untuk mendapatkan estimator yang tidak
bias.
Perbedaan
utama
spesifikasi
model
ASEAN-5
dan
ASEAN-3
adalah
penggunaan variabel official development assistance (ODA). Variabel tersebut hanya
digunakan pada spesifikasi model data panel ASEAN-3.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk negara ASEAN-3, variabel yang
signifikan dan menjadi determinan FDI masuk ke negara ASEAN-3 adalah tingkat
inflasi, infrastruktur telekomunikasi, dan tingkat keterbukaan (openness). Variabel
pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) negara ASEAN-3 tidak
signifikan memengaruhi arus FDI masuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa FDI
masuk ke negara ASEAN-3 bukan untuk mengejar pasar. Sementara itu, hasil
estimasi model data panel ASEAN-5 menunjukkan variabel yang signifikan menjadi
determinan FDI adalah tingkat inflasi, infrastruktur telekomunikasi, dan PDB
negara ASEAN-5 yang dijadikan tujuan FDI. Signifikansi pada variabel PDB
9
menunjukkan bahwa negara ASEAN-5 dituju oleh investor karena faktor pasarnya
yang cukup besar. Penelitian ini berhasil menjelaskan bahwa terdapat perbedaan
karakteristik antara determinan FDI di ASEAN-3 dan ASEAN-5. Meskipun begitu,
penelitian ini tidak menggunakan variabel yang distandardisasi (standardized) atau
dalam bentuk logaritma sehingga antara model persamaan ASEAN-3 dan ASEAN-5
tidak dapat dibandingkan per variabelnya, terutama dalam hal magnitude tiap-tiap
variabel. Misalnya, tidak dijelaskan bagaimana perbedaan pengaruh kondisi
infrastruktur antara ASEAN-3 dan ASEAN-5 dalam hal menarik FDI.
Sementara itu, Thangavelu dan Narjoko (2014) melakukan studi mengenai
determinan FDI di negara-negara anggota ASEAN, baik FDI yang berasal dari sesama
negara ASEAN maupun non-ASEAN. Khusus untuk FDI yang berasal dari sesama
negara ASEAN, studi yang dilakukan Thangavelu dan Narjoko ini menganalisis pula
dampak perjanjian kerja sama perdagangan bebas, baik bilateral maupun
multilateral yang dilakukan negara ASEAN. Untuk menganalisis determinan FDI
dan dampak perjanjian kerja sama perdagangan tersebut digunakan model
gravitasi. Data yang digunakan adalah data bilateral FDI di ASEAN dengan negaranegara ASEAN lainnya dan non-ASEAN selama periode 2000–2009. Metode estimasi
yang digunakan adalah analisis data panel dengan fixed effect. Hasil estimasi data
panel menunjukkan bahwa faktor market size berpengaruh terhadap arus FDI ke
negara ASEAN, dan FDI yang masuk didominasi oleh FDI horizontal export-platform.
Selain itu, perjanjian bilateral dan multilateral berpengaruh positif dan signifikan
terhadap arus FDI antarnegara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian
kerja sama dengan negara ASEAN, baik dengan sesama negara ASEAN maupun
dengan non-ASEAN lebih dominan menciptakan perdagangan (trade creation effects)
daripada mengalihkan perdagangan (trade diversion effects). Namun, dampak
implementasi ASEAN Free Trade Area (AFTA) justru berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap arus FDI ke ASEAN. Namun, isu ini tidak ditindaklanjuti lebih
jauh dalam penelitian ini. Studi ini juga menemukan bahwa FDI cenderung memilih
lokasi di negara yang memiliki tingkat perkembangan sumber daya manusia (human
capital) yang kuat.
Wattanadumrong, Collins, dan Snell (2014) mengambil studi kasus FDI di
Thailand selama kurun waktu 1970–2004. Penelitian itu menggunakan data
tahunan arus FDI ke Thailand dari 10 negara utama FDI (Jepang, US, Inggris,
Jerman, Kanada, Australia, Hongkong, Singapura, Taiwan, dan Korea) dan
menggunakan aplikasi ekonometrik data panel dinamis GMM. Wattanadumrong et
10
al. menganalisis apakah variabel-variabel makroekonomi memengaruhi arus FDI.
Dari studi tersebut disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara asal FDI
(home country) merupakan salah satu faktor pendorong (push factors) FDI karena
semakin tinggi pertumbuhan ekonomi negara asal akan memperluas akses
pendanaan untuk berekspansi ke luar negeri. Selain itu, perdagangan bilateral juga
berperan sebagai pendorong FDI karena semakin baik dan semakin eratnya kerja
sama perdagangan antara negara asal FDI dan Thailand, akan semakin deras arus
FDI ke Thailand dari negara bersangkutan. Sementara itu, faktor penarik (pull
factors) FDI ke Thailand adalah iklim investasi, stabilitas makroekonomi domestik,
dan kondisi kelembagaan. Kebijakan pemberian insentif investasi seperti tax holiday
terbukti mampu menarik FDI ke Thailand.
Studi lain terkait determinan FDI di ASEAN yang menganalisis berdasarkan
motivasi berupa market seeking, resource seeking, atau efficiency seeking dilakukan
oleh Masron (2013). Dalam studinya Masron menganalisis dampak adanya ASEAN
Investment Area (AIA) dan AFTA terhadap FDI di ASEAN guna melihat apakah FDI
intra-ASEAN merupakan pelengkap dari FDI yang berasal dari negara maju. Studi
ini menggunakan data arus FDI intra-ASEAN selama periode 1998–2009. Metode
analisis yang digunakan adalah analisis data panel dinamis yang diestimasi dengan
menggunakan fully modified OLS (FMOLS) untuk mengatasi masalah endogenitas
yang terjadi. Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa investasi di ASEAN yang
berasal dari intra-ASEAN bersifat resource seeking atau efficiency seeking. Selain itu,
studi ini juga menemukan bahwa faktor biaya tenaga kerja (labor cost) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap FDI intra-ASEAN. Selain biaya tenaga kerja, variabel
lain yang juga berpengaruh adalah risiko politik. FDI intra-ASEAN lebih tertarik
pada negara yang memiliki dinamika politik yang lebih stabil.
Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Hoang (2012) menganalisis FDI
inward ke negara ASEAN-6 yang dikaitkan dengan fenomena krisis keuangan Asia
1997. Periode analisis dalam studi tersebut adalah 1991–2009 dan ditemukan
bahwa krisis keuangan Asia 1997 berpengaruh terhadap masuknya FDI ke ASEAN.
Hasil studi menunjukkan bahwa potensi pasar menjadi faktor yang cukup penting
sebagai daya tarik bagi FDI yang masuk ke ASEAN. Simpulan empiris lain dari studi
ini adalah bahwa faktor infrastruktur, tingkat keterbukaan, stabilitas politik, dan
tingkat upah juga menjadi faktor penting yang memengaruhi FDI berinvestasi di
ASEAN. Khusus untuk variabel tingkat upah, Hoang menggunakan beberapa variasi
tingkat upah, yaitu tingkat upah nominal, tingkat upah relatif terhadap
11
produktivitas, dan interaksi tingkat upah dengan produktivitas. Ditemukan bahwa
meskipun tingkat upah nominal tinggi, investor cenderung lebih memperhatikan
masalah produktivitas dan tingkat keterampilan tenaga kerja. Dengan kata lain,
biaya tenaga kerja yang sedikit mahal bukan merupakan hambatan bagi investor
untuk melakukan investasi sepanjang dikompensasi dengan tingkat produktivitas
yang tinggi. Sementara itu, dari hasil uji stabilitas parameter, perilaku FDI ini tidak
berubah, baik sebelum maupun sesudah krisis Asia 1997.
Terdapat beberapa studi lain yang mengaitkan determinan FDI dengan
hubungan perdagangan bilateral antara negara asal (home country) dan negara
tujuan FDI (host country) sebagaimana yang dilakukan oleh Cho (2013) dan Blonigen
(2005). Dalam studinya, Cho (2013) menganalisis hubungan perdagangan yang
dilakukan India dengan delapan negara maju, yaitu dengan Korea, Jepang,
Singapura, Tiongkok, US, Inggris, Jerman, dan Belanda. Dalam hal ini ingin
diketahui apakah hubungan perdagangan internasional memengaruhi arus FDI dari
delapan mitra dagang tersebut ke India. Data yang digunakan adalah data
triwulanan selama periode 2004–2012 dan diestimasi dengan menggunakan metode
vector autoregression (VAR) granger causality test. Hasil estimasi menunjukkan
bahwa kausalitas antara perdagangan bilateral dan arus FDI antara India dan empat
negara Asia Timur, yaitu Korea, Jepang, Singapura, dan Tiongkok terbukti tidak
signifikan. Sebaliknya, terdapat kausalitas antara perdagangan bilateral yang
dilakukan dan arus FDI antara India dan US, Inggris, Jerman, dan Belanda, baik
hubungan dua arah (two-way) maupun satu arah (one-way). Hal ini membuktikan
bahwa hubungan kausalitas antara perdagangan bilateral dan arus FDI akan
tumbuh apabila telah terbangun hubungan dagang kedua negara yang cukup lama
mengingat sejarah hubungan dagang India dengan keempat negara barat itu lebih
lama jika dibandingkan dengan keempat negara Asia Timur.
Sementara itu, Blonigen (2005) melakukan literature review terhadap
sejumlah penelitian yang dilakukan selama periode awal 1990-an hingga
pertengahan 2000-an yang menganalisis hubungan antara keputusan perusahaan
multinasional (Multinational Enterprises/MNEs) untuk melakukan FDI dan lokasi
yang dipilih untuk melakukan FDI tersebut. Blonigen menyimpulkan bahwa
keterkaitan FDI dengan perdagangan bilateral berhubungan dengan bagaimana
hubungan antarperusahaan secara vertikal, misalnya perusahaan penyedia input
dengan perusahaan manufaktur. Salah satu contoh yang disebutnya adalah
kelompok konglomerat asal Jepang yang lazim disebut Keiretsu. Dikemukakan
12
bahwa terdapat pengaruh kuat dari para anggota Keiretsu terhadap keputusan
lokasi FDI yang akan dipilih.
Selain itu, Blonigen juga menemukan bahwa terdapat hubungan negatif atau
positif antara keberadaan FDI dan perdagangan bilateral kedua negara. FDI dan
perdagangan bilateral akan berhubungan negatif atau memiliki efek substitusi
apabila FDI dikategorikan sebagai FDI horizontal atau market seeking. Dalam hal ini
FDI menggantikan impor barang dari negara asal FDI dengan barang yang
diproduksi secara domestik dari hasil investasi langsung tersebut. Sementara itu,
FDI dan perdagangan bilateral memiliki hubungan positif atau memiliki efek
komplementer jika FDI dikategorikan sebagai FDI vertikal atau efficiency seeking
sehingga FDI akan meningkatkan impor sekaligus ekspor. Barang yang diimpor
adalah bahan baku yang akan diolah oleh FDI untuk selanjutnya diekspor kembali
dalam bentuk barang yang telah diolah.
Analisis determinan FDI lainnya adalah dengan menggunakan pendekatan
sektoral maupun institusional seperti yang dilakukan oleh Walsh dan Yu (2010).
Kedua peneliti tersebut melakukan studi terhadap 27 negara yang masuk kategori
negara maju (advanced economies) dan negara emerging markets. Data yang
digunakan adalah data tahunan arus FDI selama kurun waktu 1985–2008. Data
FDI tersebut selanjutnya diperinci secara sektoral menjadi tiga sektor utama, yaitu
sektor primer, sekunder, dan tersier yang diestimasi menggunakan metode dinamis
generalized method of moments (GMM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan determinan FDI pada setiap sektor ekonomi. Determinan FDI pada sektor
pertanian tidak memiliki keterkaitan dengan stabilitas makroekonomi, tingkat
pembangunan, atau kualitas kelembagaan. Determinan utama FDI pada sektor
primer ini adalah lokasi bahan baku atau sumber daya alam (resources), misalnya
pertambangan mineral dan minyak bumi.
Sebaliknya, FDI di sektor sekunder dan tersier dipengaruhi oleh stabilitas
makroekonomi dan kualitas kelembagaan meskipun dengan derajat dan intensitas
yang berbeda. Kondisi stabilitas makroekonomi, misalnya, lebih kuat memengaruhi
sektor tersier daripada sektor sekunder. Dalam hal terjadi depresiasi nilai tukar
secara mendalam pada mata uang negara tujuan, hal ini akan mendorong lebih
banyak FDI pada sektor sekunder dan secara bersamaan mengurangi FDI pada
sektor tersier. Arus FDI di sektor tersier akan meningkat jika terjadi peningkatan
yang pesat pada pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, kualitas kelembagaan juga
memengaruhi kedua sektor tersebut secara signifikan. Dalam hal terdapat pasar
13
tenaga kerja fleksibel dan pasar keuangan yang maju, hal itu akan mendorong arus
FDI pada sektor sekunder. Sementara, jika terdapat infrastruktur yang maju dan
lembaga hukum yang lebih independen, hal itu akan mendorong peningkatan arus
FDI pada sektor tersier.
Cadarajat dan Yanfitri (2008) melakukan penelitian untuk melihat hubungan
kausalitas antara FDI dan perdagangan internasional serta struktur industri dan
motif penanaman FDI investor asing yang memengaruhi hubungan antara FDI dan
perdagangan internasional. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
FDI sektoral yang dilakukan oleh tiga investor utama di Indonesia, yaitu Jepang,
USA, dan UK dari tahun 1990–2006. Metodologi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah uji kausalitas Granger pada data panel, baik secara bivariate maupun
multivariate. Hasil estimasi terhadap data FDI outflows 17 negara OECD ke
Indonesia dan data ekspor-impor Indonesia terkait negara tersebut menunjukkan
adanya kausalitas dua arah antara impor dan FDI, yaitu impor berpengaruh positif
terhadap FDI, tetapi FDI berpengaruh negatif terhadap impor. Selain itu, terdapat
kausalitas dua arah antara FDI inflows dari Jepang dan impor Indonesia dari
Jepang. Hal tersebut diduga terkait dengan dua hipotesis, yaitu lebih kuatnya motif
market seeking jika dibandingkan dengan motif efficiency seeking dari FDI Jepang
dan/atau terjadi pengalihan tujuan ekspor dari FDI Jepang ke negara lain.
Sebagaimana halnya FDI dari Jepang, FDI dari Amerika bersifat substitusi terhadap
impor. Selain itu, FDI dari Amerika berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia
ke Amerika. Hal tersebut diduga terkait struktur FDI dari Amerika yang sebagian
besar terjadi pada sektor pertambangan dan sektor nonmanufaktur. Sementara itu,
FDI dari Inggris mempunyai kausalitas dua arah dengan ekspor dan impor sehingga
mengarah pada hubungan yang komplementer antara FDI dan perdagangan crossborder antara Indonesia dan Inggris.
Kurniati, Prasmuko, dan Yanfitri (2007) melakukan studi untuk mengetahui
faktor-faktor determinan masuknya aliran modal FDI di Asia dan di Indonesia serta
menguji dampak investasi yang masuk ke Tiongkok terhadap FDI yang masuk ke
Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Dunning dan
model gravitasi dengan estimasi dilakukan secara panel dan OLS. Negara yang
menjadi sampel dalam melakukan pengolahan meliputi Tiongkok, Filipina, India,
Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Periode waktu yang
digunakan adalah antara tahun 1990–2005 dengan jenis data tahunan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menentukan masuknya FDI ke
14
negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Tiongkok, dan India adalah pertumbuhan
ekonomi, upah buruh, infrastruktur, nilai tukar efektif, dan perjanjian bilateral.
III. DATA DAN METODE PENELITIAN
3.1
Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data panel bilateral inward foreign direct
investment (FDI) sektoral Indonesia dari empat negara ASEAN (Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Filipina) dengan periode waktu tahunan dari 2000 s.d. 2013.
15
Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data sesuai dengan variabel yang
digunakan. Deskripsi lengkap tentang variabel, indikator, dan sumber data terdapat
pada Tabel 1.
Data FDI yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia. Sementara itu, data outward
FDI yang digunakan bersumber dari ASEAN Secretariat. Data FDI tersebut
merupakan data bilateral, yaitu arus investasi dari empat negara ASEAN untuk tiap
sektor pada titik waktu tertentu, misalnya FDI dari Malaysia untuk sektor pertanian
pada tahun 2009, atau FDI dari Thailand untuk sektor jasa lainnya. Data tersebut
merupakan data net inflow, yaitu data yang sudah memperhitungkan asset dan
liabilities-nya.
Data PDB yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Statistik
Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Sementara itu, data PDB untuk negara ASEAN
diperoleh dari database CEIC dan World Bank. Kedua data tersebut menggunakan
perhitungan harga konstan (PDB riil).
Data jarak diperoleh dari perhitungan penulis menggunakan website Global
Distance Calculator4. Jarak tersebut merupakan jarak fisik garis lurus yang
menghubungkan dua titik, yaitu antara ibu kota negara asal investasi (home country)
dan ibu kota negara tujuan investasi (host country). Jarak tersebut dihitung dalam
satuan kilometer (km). Data jarak tersebut selanjutnya dikali dengan harga minyak
dunia (brent) untuk melihat pergerakan biaya angkut setiap tahun yang
diasumsikan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia.
Data productivity yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang
diperoleh dari publikasi ESCAP, Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 20145.
Produktivitas diperoleh dengan membagi nilai tambah bruto ekonomi total (gross
value added/GVA) dengan jumlah orang yang bekerja di suatu negara. Untuk
membandingkan produktivitas dengan negara asal (produktivitas relatif), variabel
produktivitas yang digunakan adalah rasio produktivitas antara Indonesia dan
negara asal.
Resource endowment (sumber daya alam) dihitung dengan rasio PDB riil
sektor primer terhadap total PDB riil. PDB sektor primer mencakup PDB sektor
4
5
distancecalculator.globefeed.com/world_distance_calculator.asp
(The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP),
2014)
16
pertanian (dalam arti luas) dan PDB sektor pertambangan dan galian. Data yang
diambil bersumber dari CEIC Database.
Data infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,
yaitu infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Kedua infrastruktur tersebut
penting bagi operasi bisnis suatu perusahaan. Infrastruktur jalan dalam hal ini
adalah data road paved, yaitu data panjang jalan yang permukaannya minimal
berbatu atau sudah beraspal terhadap total jalan. Data road paved diperoleh dari
World Development Indicator (WDI) World Bank. Khusus untuk data tahun 2012–
2013 merupakan data ekstrapolasi karena terkait masalah ketersediaan data.
Sementara itu, data infrastruktur listrik merupakan rasio kapasitas listrik per
kapita yang bersumber dari data Asian Development Bank (ADB).
Dua variabel lain yang terkait perdagangan adalah volume ekspor dan
perdagangan bilateral. Volume ekspor menunjukkan bagaimana ketertarikan
perusahaan asing terhadap potensi ekspor dari Indonesia. Data yang digunakan
adalah data total volume ekspor Indonesia ke seluruh partner dagang. Data tersebut
bersumber dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Bank Indonesia.
Data perdagangan bilateral merupakan data perdagangan antara dua negara pada
titik tahun tertentu. Data tersebut mencakup ekspor negara asal FDI ke negara
tujuan FDI dan impor negara asal FDI dari negara tujuan FDI. Data tersebut
diperoleh dari UN Comtrade.
Tabel 1. Penjelasan Variabel Model
No.
Variabel
1.
Inward FDI
Indonesia
Intra-ASEAN
Sektoral
Definisi
Net inflow FDI
sektoral dari 4
negara ASEAN
Perhitungan
Total net inflow
FDI per sektor
Sumber
Data
SEKI/BI
Expected
Sign
+
Tabel 1. (lanjutan)
No.
Variabel
Definisi
Perhitungan
2.
Outward FDI
FDI Bilateral
Outward
Indonesia ke
negara ASEAN4
Net flow
outward FDI
Indonesia ke
negara ASEAN4
Sumber
Data
ASEAN
Secretariat
Expected
Sign
+
17
3.
PDB
Indonesia
Total PDB
Indonesia
dengan harga
konstan
Total PDB
Indonesia
dengan harga
konstan
SEKI/BI
+
4.
PDB negara
asal investasi
Total PDB
negara asal FDI
dengan harga
konstan
Total PDB
negara asal FDI
dengan harga
konstan
CEIC, World
Bank.
+
5.
Jarak
Jarak fisik
antara
Indonesia
dengan negara
asal FDI dengan
denominator
harga minyak
Brent
Jarak Antara
Jakarta dengan
negara asal FDI
x harga minyak
Brent rata-rata
setahun
Global
Calculator
Distance;
Bloomberg
-
6.
Produktivitas
Relatif
Rasio
produktivitas
tenaga kerja
total Indonesia
terhadap
produktivitas
tenaga kerja
total negara
asal FDI
Produktivitas
Indonesia/
Produktivitas
negara asal
FDI;
Produktivitas:
total nilai
tambah
bruto/jumlah
tenaga kerja
Statistical
Yearbook
for Asia and
the Pacific
2014,
ESCAP
Statistics
Division
+
7.
Pangsa
Sektor
Primer
terhadap
PDB (natural
resource)
Kontribusi
sektor primer
(pertanian dan
pertambangan)
terhadap total
PDB harga
konstan
((Total PDB
CEIC
sektor
Database
Pertanian+
Total PDB
sektor
pertambangan)/
total PDB)x100
+
8.
Infrastruktur
jalan
Rasio panjang
jalan yang
berbatu, kerikil,
dan aspal
terhadap
panjang jalan
keseluruhan
((Jumlah jalan
yang berbatu+
jumlah jalan
kerikil+jumlah
jalan beraspal)/
panjang jalan
keseluruhan) x
100
World
Developmen
t Index
+
Sumber
Data
Expected
Sign
Tabel 1. (lanjutan)
No.
Variabel
Definisi
Perhitungan
9.
Infrastruktur
listrik
Rasio kapasitas
listrik per
kapita
Kapasitas
produksi listrik
dibagi jumlah
penduduk
ADB
+
18
11.
Volume
Ekspor
Volume ekspor
Indonesia ke
seluruh negara
partner dagang
Total volume
ekspor
SEKI/BI
+
12.
Perdagangan
Bilateral
Total
perdagangan
negara
Indonesia
dengan negara
asal FDI
(Ekspor
Indonesia
dengan negara
asal FDI+Impor
Indonesia
dengan negara
asal FDI)
UN
Comtrade
+
Variabel-variabel
yang
digunakan
sebagaimana
dipaparkan
di
atas
menggunakan data makro, sedangkan FDI yang sesungguhnya merupakan
perusahaan
individual.
Penggunaan
data
makro
dalam
penelitian
ini
dilatarbelakangi oleh ketidakmudahan memperoleh data individual FDI atau firm
level (data mikro), terutama data firm level dari ASEAN-5.
3.2
Metode Analisis
Setiap tujuan dalam penelitian ini memiliki metode analisis tersendiri.
Adapun metode yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a) Metode analisis untuk tujuan pertama adalah metode statistik deskriptif.
Metode tersebut terkait pemetaan arus inward FDI ke Indonesia dari ASEAN5 (negara asal, sektor, komoditas, dan aspek kebijakan).
b) Metode analisis untuk mengidentifikasi push factor dan pull factor adalah
metode analisis regresi data panel dinamis (dynamic panel data).
c) Metode analisis untuk mengidentifikasi karakteristik arus FDI antarnegara
ASEAN-5 (export base atau local market) dengan analisis regresi data panel
dinamis (dynamic panel data).
d) Metode analisis untuk mengidentifikasi pergeseran arus FDI antarnegara
ASEAN-5 ke arah yang lebih sophisticated dengan menggunakan regresi
multiple structural breaks (Bai dan Perron, 1998).
3.2.1 Metode Data Panel Dinamis dan GMM
Metode data panel dinamis merupakan pengembangan analisis data panel
standar yang mengadopsi model dinamis data time-series. Data panel yang
19
dimaksud adalah data yang memiliki struktur gabungan cross-section dan timeseries, sedangkan model dinamis yang dimaksud adalah adanya lag variabel
dependen (autoregressive; AR) pada sisi kanan (variabel independen). Oleh karena
itu, data panel dinamis merupakan model yang memiliki struktur data panel dan
memiliki autoregressive untuk variabel dependennya.
Salah satu keunggulan data panel adalah mampu menangkap dinamika
perekonomian daripada data pure cross-section atau time-series (Gudjarati dan
Porter, 2009; Verbeek, 2004). Salah satu model pengembangan data panel adalah
model data panel dinamis. Model data panel dinamis merupakan model data panel
yang memiliki komponen lag variabel dependen (AR1) atau distributed lag dalam
modelnya. Seperti halnya dalam model dynamic time-series, penggunaan lag dalam
data panel terkait perilaku-perilaku dinamika antarvariabel yang berhubungan
dengan adjustment, persistence, atau perilaku hubungan jangka pendek-jangka
panjang antara dua variabel. Model data panel dinamis merupakan model yang
menspesifikasi variabel lag dengan variabel individual spesifik (Wawro, 2002).
Salah satu masalah dalam model data panel autoregressive adalah metode
estimasinya. Pada kasus model data statik, pemilihan antara POLS (pooled OLS),
fixed effect (FE), dan random effect (RE) GLS (generalized least square) dapat
ditentukan berdasarkan bagaimana perilaku parameter dan asumsi mengenai
korelasi antara regressor dan error. Dalam model panel statik, POLS dapat bias
karena terdapat heterogenitas antarunit individu. Untuk menanggulangi bias
tersebut, digunakan fixed effect atau random effect. Selanjutnya, pilihan antara
keduanya bergantung pada bagaimana asumsi mengenai korelasi antara regressor
dan error-nya.
Pada kasus data panel dinamis, terdapat perlakukan khusus karena
munculnya AR1. AR1 tersebut secara konstruksi memiliki keterkaitan dengan
individual effect. Hal itu melanggar asumsi dalam least square yang mengharuskan
kovarians antara regresor dan error sama dengan nol. Ilustrasi model AR1 pada
random effect model data panel adalah sebagai berikut.
𝑦𝑖,𝑑 = 𝛿𝑦𝑖,𝑑−1 + 𝛽π‘₯𝑖,𝑑 + 𝑒𝑖,𝑑
(5)
𝑒𝑖,𝑑 = 𝛼𝑖 + πœ€π‘–,𝑑
(6)
Dalam random effect model, komponen e terbagi menjadi dua, yaitu individual
spesifik dan error. Dalam model tersebut, asumsi bahwa regressor independen
terhadap error tidak terpenuhi. Hal tersebut terjadi karena 𝑦𝑖,𝑑 berhubungan dengan
20
𝛼𝑖 (variabel individual spefisik berpengaruh terhadap variabel dependen). Oleh
karena itu, 𝑦𝑖,𝑑−1 berhubungan pula dengan variabel spesifik. Baltagi (2005)
menyebut bahwa random effect GLS bias karena variabel quasi-demeaning dalam
GLS berkorelasi dengan error-nya.
Sementara itu, untuk fixed effect model, Baltagi (2005) menyebut bahwa
within estimator yang diperoleh dari demeaning-form memang menghilangkan
masalah korelasi antara individual spesifik dan AR1. Akan tetapi, bentuk AR1 hasil
demeaning-transformation
tersebut
berkorelasi
dengan
error
yang
juga
ditransformasi demeaning (Verbeek, 2004), kecuali jika jumlah N (cross section) dan
T (time series-nya) tak terhingga.
Fixed effect estimator untuk transformasi first difference juga bias dan
inkonsisten karena terdapat pula hubungan antara AR1 dan error yang telah
menjadi first difference. Ilustasinya adalah sebagai berikut.
𝑦𝑖,𝑑 − 𝑦𝑖,𝑑−1 = 𝛿(𝑦𝑖,𝑑−1 − 𝑦𝑖,𝑑−2 ) + 𝛽(π‘₯𝑖,𝑑 − π‘₯𝑖,𝑑−1 ) + (πœ€π‘–,𝑑 − πœ€π‘–,𝑑−1 )
(7)
Variabel (𝑦𝑖,𝑑−1 − 𝑦𝑖,𝑑−2 ) berkorelasi dengan (πœ€π‘–,𝑑 − πœ€π‘–,𝑑−1 ) karena secara definisi 𝑦𝑖,𝑑−1
berkorelasi dengan πœ€π‘–,𝑑−1 .
Salah satu teknik estimasi yang disarankan untuk menanggulangi masalah
tersebut dalam data panel adalah metode generalized method of moments (GMM).
Metode GMM yang biasa digunakan dalam hal ini adalah yang digagas oleh Arellano
dan Bond. Teknik tersebut merupakan pengembangan dari teknik instrumental
variabel yang disarankan oleh Anderson dan Hsiao (Greene, 2007; Baltagi, 2005).
Menurut Arellano dan Bond, metode instrumental variable yang ditawarkan oleh
Anderson dan Hsiao tidak efisien karena tidak menggunakan semua kondisi momen
yang tersedia. Secara sederhana, Anderson dan Hsiao hanya menggunakan salah
satu variabel lag yang lebih panjang atau bentuk difference variabel lag yang lebih
panjang untuk menjadi instrumen. Oleh karena Arellano dan Bond menggunakan
kondisi momen yang tersedia, GMM difference merupakan metode yang tepat untuk
mengestimasi model tersebut. Masalah endogeneity pada data panel dinamis akibat
adanya AR 1 ditanggulangi dengan GMM difference dengan menggunakan teknik
instrumental variabel yang digagas oleh Arellano dan Bond tersebut.
Arellano dan Bond (Verbeek, 2004; Baltagi, 2005) mengambil ide bahwa pada
persamaan first difference akan digunakan instrument variable yang lebih banyak
untuk menjamin kondisi momen yang lebih banyak. Ilustrasi sederhana adalah
sebagai berikut, misalnya pada T=3:
21
(8)
𝑦𝑖,3 − 𝑦𝑖,2 = 𝛿(𝑦𝑖,2 − 𝑦𝑖,1 ) + 𝛽(π‘₯𝑖,3 − π‘₯𝑖,2 ) + (πœ€π‘–,3 − πœ€π‘–,2 )
Jika terdapat korelasi antara 𝑦𝑖,2 dan πœ€π‘–,2 , menurut Arellano dan Bond 𝑦𝑖,1 adalah
instrumen yang tepat. Untuk kasus T=4:
(9)
𝑦𝑖,4 − 𝑦𝑖,3 = 𝛿(𝑦𝑖,3 − 𝑦𝑖,2 ) + 𝛽(π‘₯𝑖,4 − π‘₯𝑖,3 ) + (πœ€π‘–,4 − πœ€π‘–,3 )
Jika terdapat korelasi antara 𝑦𝑖,3 dan πœ€π‘–,3 ; 𝑦𝑖,2 dan 𝑦𝑖,1 adalah instrumen yang tepat
sehingga instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut: [(yi,1), (yi,1,yi,2), (yi,1, yi,2,
yi,3),..., (yi,1,...,yi,t-2)]. Dari instrumen tersebut, dapat diturunkan moment condition,
yang kemudian diderivasi berdasarkan metode GMM pada umumnya. Model
tersebut menggunakan bentuk first difference sebagai dasar persamaan sehingga
disebut GMM-diff dalam literatur data panel dinamis.
Terdapat pula pengembangan dari GMM-diff berdasarkan penambahan
moment
condition-nya.
Pengembangan
tersebut
disebut
GMM-sys
karena
mengeksploitasi kondisi momen yang diperoleh dari sistem persamaan bentuk
difference dan persamaan level. Hal tersebut menyebabkan penambahan moment
condition sehingga meningkatkan efisiensi. Roodman (2009) menyebutkan bahwa
GMM-diff dan GMM-sys diaplikasikan pada kasus tertentu tergantung/kondisional
pada asumsi mengenai data generating process (DGP).
a. Terdapat proses dinamis, yaitu pengaruh kondisi masa lalu terhadap yang
sedang berjalan.
b. Terdapat pola heteroskedastik dan korelasi serial (diselesaikan dengan twostep method).
c. Data panel memiliki dimensi waktu (T) yang tidak terlalu besar.
d. Instrumen yang digunakan bersumber dari internal model.
e. Untuk GMM-sys dapat berisi variabel time-invariant.
f. Beberapa regressor mengalami masalah endogenitas.
Dalam hal model yang digunakan merupakan model distributed-lag, teknik
estimasi akan tergantung pada bagaimana asumsi mengenai lag variabel x tersebut
(Bond, 2002). Selayaknya AR1 pada model dasar, penggunaan lag akan merujuk
pada penggunaan distributed-lag-nya sebagai instrumental variable.
𝑙𝑛𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑑 = 𝛽0 + 𝛼𝑙𝑛𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑑−1 + 𝛽1 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑖𝑑 + 𝛽2 𝑙𝑛𝑀𝐷𝑖𝑠𝑑𝑖𝑗 + 𝛽3 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗𝑑 + 𝛽3 π‘™π‘›π‘…π‘’π‘™π‘π‘Ÿπ‘œπ‘‘π‘–π‘—π‘‘ +
𝛽4 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑑 + 𝛽5 πΌπ‘›π‘“π‘Ÿπ‘Žπ‘Ÿπ‘œπ‘Žπ‘‘π‘–π‘‘ + 𝛽6 πΌπ‘›π‘“π‘Ÿπ‘Žπ‘’π‘™π‘’π‘π‘‘π‘–π‘‘ + 𝛽7 π‘™π‘›π‘‰π‘œπ‘™πΈπ‘₯𝑝𝑗𝑑 + 𝛽8 π‘™π‘›π΅π‘–π‘™π‘‘π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘’π‘–π‘—π‘‘ + 𝑒𝑖𝑑
(10)
𝑒𝑖𝑑 = πœ‡π‘– + πœπ‘–π‘‘
22
Dalam bentuk aslinya, model yang akan digunakan dalam penelitian ini
ditunjukkan pada persamaan 10. Subscript i menunjukkan cross-section negara
tujuan dan j menunjukkan negara asal, sedangkan t menunjukan tahun. Komponen
𝑒 terdiri atas πœ‡ yang merupakan fixed effect dan 𝜐 yang merupakan error term. FDI
menunjukan data inward FDI Indonesia sektoral dari empat negara ASEAN, GDP
menunjukan GDP harga konstan Indonesia, Mdist merupakan distance yang berupa
perkalian dari jarak fisik dengan harga minyak dunia (brent), Relprod merupakan
data produktivitas relatif Indonesia yang dibandingkan dengan negara asal, Res
merupakan
data
resources
endowment,
Infraroad
merupakan
variabel
infrastruktur jalan yang diproksi dengan persentase jalan berbatu dan beraspal
terhadap total jalan, infraelect merupakan variabel infrastruktur listrik, Exp
merupakan data volume ekspor total Indonesia untuk seluruh komoditas, dan
Biltrade merupakan perdagangan bilateral antara Indonesia dan negara asal FDI.
Model tersebut akan diestimasi dengan menggunakan teknik estimasi GMM
difference dan two-step procedure.
Untuk model outward FDI Indonesia ke intra-ASEAN, model yang digunakan
sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam variabel karena masalah
ketersediaan data, yaitu tidak menggunakan variabel infrastruktur listrik. Model
untuk outward FDI Indonesia tersebut adalah sebagai berikut.
𝑙𝑛𝑂𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑑 = 𝛽0 + 𝛼𝑙𝑛𝑂𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑑−1 + 𝛽1 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑖𝑑 + 𝛽2 𝑙𝑛𝑀𝐷𝑖𝑠𝑑𝑖𝑗 + 𝛽3 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗𝑑 + 𝛽3 π‘™π‘›π‘…π‘’π‘™π‘π‘Ÿπ‘œπ‘‘π‘–π‘—π‘‘ +
(11)
𝛽4 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑑 + 𝛽5 πΌπ‘›π‘“π‘Ÿπ‘Žπ‘Ÿπ‘œπ‘Žπ‘‘π‘–π‘‘ + 𝛽6 π‘™π‘›π‘‰π‘œπ‘™πΈπ‘₯𝑝𝑗𝑑 + 𝛽7 π‘™π‘›π΅π‘–π‘™π‘‘π‘Ÿπ‘Žπ‘‘π‘’π‘–π‘—π‘‘ + 𝑒𝑖𝑑
OFDI menunjukkan data outward FDI Indonesia Sektoral keempat negara ASEAN,
GDP menunjukkan GDP harga konstan Indonesia, Mdist merupakan distance yang
berupa perkalian dari jarak fisik dengan harga minyak dunia, Relprod merupakan
data produktivitas relatif Indonesia yang dibandingkan dengan negara asal, Res
merupakan
data
resources
endowment,
Infraroad
merupakan
variabel
infrastruktur jalan yang diproksi dengan persentase jalan berbatu dan beraspal
terhadap total jalan, Exp merupakan data volume ekspor total Indonesia untuk
seluruh komoditas, dan Biltrade merupakan perdagangan bilateral antara
Indonesia dan negara asal FDI.
3.2.2 Metode Multiple Structural Breaks Bai dan Perron (1998)
Salah satu metode yang digunakan untuk melihat perubahan dalam struktur
dari data runtun waktu adalah dengan mengidentifikasi structural break. Data
23
runtun waktu biasanya memiliki break ketika terjadi perubahan perilaku parameter
data. Metode standar yang biasa digunakan adalah sampel dibagi menjadi dua
bagian. Titik pembeda dua data runtun waktu sampel tersebut adalah titik break
yang dimaksud. Kemudian, nilai error sum of square dihitung dan dibandingkan
antara sampel yang tidak dibagi dan yang dibagi.
Dalam penelitian ini akan diaplikasikan metode Bai and Perron multiple
structural breaks. Metode tersebut pada dasarnya merupakan metode untuk melihat
adanya structural break lebih dari 1 yang periode breaks-nya tidak ditentukan secara
priori, tetapi murni ditentukan berdasarkan data. Metode Bai dan Perron
menggunakan kerangka analisis yang mendasarkan pada regresi linear berganda
dengan m breaks dan m+1 rezim. Secara formal, model Bai dan Perron dapat ditulis
sebagai berikut (diadaptasi dari Guesmi, et al. (2013)):
𝑦𝑑 = 𝛽𝑗 π‘₯𝑑 + 𝑒𝑑
(12)
𝑑 = 𝑇𝑗−1 + 1, … . , 𝑇𝑗
(13)
Penjelasannya adalah 𝑗 = 1, … . , π‘š + 1; 𝑦 merupakan variabel endogen; π‘₯ merupakan
covariates; 𝑒 merupakan error pada waktu t; 𝑇1 , … , π‘‡π‘š merupakan titik breaks yang
tidak diketahui; dan m menunjukkan jumlah dari titik breaks. Model ini ingin
mengestimasi parameter regresi dan titik breaks. Hipotesis dalam model tersebut
adalah bahwa 𝐻0 : 𝛽𝑗 = 𝛽0 𝑗 = 1, … , 𝑛 yang hipotesis alternatifnya setidaknya adalah
koefisien berubah pada satu titik waktu.
Bai dan Perron menerapkan beberapa restriksi pada beberapa kemungkinan
periode breaks. Adapun restriksi tersebut adalah mengikuti set untuk angka positif
πœ€ sebagai berikut.
πœ†πœ€ = {(πœ†1 , … , πœ†π‘š ); |πœ†π‘–+1 − πœ†π‘– | ≥ πœ€, πœ†1 ≥ πœ€, πœ†π‘š ≥ 1 − πœ€}
Estimasi model regresi linear tersebut dapat dilakukan dengen metode least
square. Untuk setiap partisi m (𝑇1 , … , π‘‡π‘š ), nilai koefisien 𝛽𝑗 diperoleh dengan
meminimumkan sum of square residual yaitu ST. Titik breaks yang ingin diestimasi
(𝑇̂1 , … , π‘‡Μ‚π‘š ) diperoleh dari rumus sebagai berikut.
(𝑇̂1 , … , π‘‡Μ‚π‘š ) = arg min ST (𝑇1 , … , π‘‡π‘š )
(𝑇1 ,…,π‘‡π‘š )
Beberapa penelitian mengaplikasikan metode Bai dan Perron untuk melihat
bagaimana perubahan struktur dari variabel runtun waktu. Guesmi, et al. (2013)
mengaplikasikan metode Bai dan Perron untuk melihat bagaimana perubahan
24
volatilitas harga saham di negara OECD. Atkis (2002) menggunakan metode tersebut
untuk menganalisis suku bunga nominal dan tingkat inflasi negara Kanada dan US.
Onel (2005) menggunakan metode yang sama untuk menganalisis suku bunga
nominal dan inflasi di Turki dari periode 1980–2004.
3.3
Kerangka Pikir Penelitian
Untuk mengetahui faktor determinan masuknya FDI ASEAN-5 ke Indonesia
dan keluarnya FDI Indonesia ke negara ASEAN-5 serta untuk mengetahui
karakteristik tujuan FDI di Indonesia dan dari Indonesia ke ASEAN-5 yang
menggunakan metode GMM, alur berpikir penelitian ini dapat dilihat secara ringkas
pada Gambar 2. Alur berpikir penelitian tersebut mencakup pula tujuan keempat,
yaitu mengidentifikasi kemungkinan terjadinya pergeseran struktur FDI di
Indonesia menggunakan metode multiple structural break Bai dan Perron.
Mapping:
sector, source
FDI
Inward
Determinan:
Gravity
Model
Tujuan 1
Push
Factor
Home
Country
Pull
Factor
Host
Country
(Indonesia)
Tujuan 2
Repatriasi
BOP
Long
Run
?
Export Base
CA (XM)
Exchange Rate:
BI’s
Responsibility
Short
Run
KA +
Market
Seeking
CA
↑
Tujuan 3
CA
↓
Level of
Technology:
High vs Low
Tujuan 4
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
25
IV. PEMETAAN FOREIGN DIRECT INVESTMENT: ASEAN DAN INDONESIA
Dalam rangka memetakan FDI yang masuk ke Indonesia yang merupakan
tujuan penelitian nomor 1, pembahasan pada bab ini akan dibagi menjadi dua
bagian. Pada bagian pertama akan diulas gambaran umum FDI di ASEAN,
sedangkan pada bagian kedua bab ini akan diuraikan FDI di Indonesia.
4.1 Gambaran Umum FDI di ASEAN
Sebagaimana disinggung dalam Bab Pendahuluan bahwa dua elemen dalam
pilar pasar tunggal dan basis produksi dalam kerangka KEA ialah perdagangan
(arus barang dan jasa) dan investasi (arus modal) Kedua elemen itu memiliki
hubungan yang sangat erat. Perdagangan antardua negara atau lebih yang semakin
meningkat akan mendorong investor untuk mulai membuka fasilitas produksi di
negara tempat ekspor ke negara tersebut tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk
mengurangi berbagai hambatan yang dialami ketika akan melakukan perdagangan
antarnegara, seperti hambatan tarif dan nontarif. Dengan latar belakang itu
pembahasan pada subbab ini akan dimulai dari ulasan mengenai perdagangan
internasional negara kawasan ASEAN, kemudian dilanjutkan dengan uraian FDI
negara kawasan.
a. Perdagangan internasional negara ASEAN
26
Selama ini negara anggota ASEAN cenderung lebih banyak berdagang dengan
negara non-ASEAN atau ekstra-ASEAN jika dibandingkan dengan sesama negara
ASEAN sendiri (intra-ASEAN). Hal itu tercermin dari pangsa perdagangan ekstraASEAN yang lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Tercatat bahwa selama
lebih dari dua puluh tahun (1993–2014) tren perdagangan intra-ASEAN relatif stabil,
yaitu berada pada angka 24%–25%. Sementara itu, tren perdagangan ekstra-ASEAN
cenderung sedikit meningkat dari 74,9 persen pada tahun 1993 menjadi 75,9 persen
pada tahun 2014 (Grafik 3). Perdagangan ekstra-ASEAN tahun 2014 tersebut (75,9
persen) jauh di atas perdagangan intra-ASEAN yang hanya sebesar 24.1 persen.
1993
2003
IntraASEAN,
25.1
ExtraASEAN,
74.9
2014
IntraASEAN,
24.5
ExtraASEAN,
75.5
IntraASEAN,
24.1
ExtraASEAN,
75.9
Sumber : ASEAN Statistic, www.asean.org/resources
Grafik 3. Perkembangan Perdagangan Intra-ASEAN dan EkstraASEAN
Berdasarkan data tahun 2014 yang disusun oleh ASEAN Statistics, negara
yang menjadi mitra dagang utama ASEAN adalah negara ASEAN sendiri (24,1
persen), kemudian diikuti Tiongkok (14,5 persen), Uni Eropa (9,8 persen), Jepang
(9,1 persen), dan US (8,4%) (Grafik 4).
ASEAN
24.1
China
14.5
EU 28
9.8
Japan
9.1
US
8.4
Republic of Korea
5.2
Australia
2.8
India
2.7
Russia
0.9
Canada
0.5
New Zealand
0.4
Pakistan
0.3
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Sumber: ASEAN Statistics. www.asean.org/resources
27
Grafik 4. Perdagangan ASEAN Berdasarkan Mitra Dagang (2014)
Sementara itu, untuk perdagangan sesama negara anggota ASEAN, Laos
merupakan negara yang paling banyak berdagang dengan negara anggota ASEAN
(intra-ASEAN), yaitu sebesar 64,9 persen, kemudian diikuti oleh Myanmar (42,0
persen) dan Brunei Darussalam (27,2 persen) (Grafik 5). Perdagangan intra-ASEAN
oleh Indonesia tercatat sebesar 25,6 persen. Jika ditinjau dari sisi perdagangan
ekstra-ASEAN, Vietnam merupakan negara yang paling banyak berdagang dengan
negara non-ASEAN (86,1 persen), kemudian diikuti oleh Filipina (80,4 persen) dan
Thailand (77,4 persen). Sementara itu, perdagangan ekstra-ASEAN oleh Indonesia
tercatat sebesar 74,4 persen. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
Indonesia cenderung berdagang dengan negara di luar ASEAN daripada dengan
negara anggota ASEAN lainnya.
Viet Nam
13.9
Philippines
86.1
19.6
Thailand
80.4
22.6
77.4
Indonesia
25.6
74.4
Cambodia
25.7
74.3
Singapore
26.2
73.8
Malaysia
26.9
73.1
Brunei Darussalam
27.2
72.8
Myanmar
42.0
Lao PDR
58.0
64.9
0%
20%
Intra-Trade
35.1
40%
60%
80%
100%
Extra-Trade
Sumber: ASEAN Statistics, www.asean.org/resources
Grafik 5. Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN (2014)
Jika dilihat dari aspek komoditas yang diekspor, ASEAN merupakan netexporter untuk produk pertanian dan manufaktur dengan nilai surplus perdagangan
untuk tiap-tiap sektor sebesar 44 miliar USD dan 7 miliar USD serta komoditas
28
beras dengan nilai surplus perdagangan sebesar 6,5 miliar USD6. Apabila ditinjau
lebih jauh lagi, dua komoditas utama yang diekspor oleh ASEAN, baik ke negara di
kawasan ASEAN maupun non-ASEAN adalah machinery/ electrical dan mineral
products (Tabel 2).
Tabel 2. Perdagangan ASEAN Per Komoditas Berdasarkan HS Code Tahun
2014
Intra-ASEAN
HS Code
(2 digit)
Deskripsi
Ekspor
Impor
Ekstra-ASEAN
Total
Perdagangan
Ekspor
Impor
Total
Perdagangan
Trade
Balance
01-05.
Animal and
Animal Products
3.091
2.543
5.634
13.036
15.478
28.514
-2.442
06-15.
Vegetable
Products
10.305
9.047
19.352
61.017
21.137
82.154
39.879
16-24.
Foodstuffs
15.592
10.802
26.394
31.052
26.435
57.487
4.617
25-27.
Mineral Products
88.141
84.971
173.113
128.590
190.233
318.823
-61.642
28-38.
Chemicals &
Allied Industries
21.612
17.708
39.321
57.106
71.332
128.438
-14.226
39-40.
Plastics/Rubbers
18.661
15.584
34.245
57.691
39.900
97.591
17.791
41-43.
Raw Hides, Skins,
Leather, and Furs
855
687
1.541
4.861
5.652
10.513
-791
44-49.
Wood and Wood
Products
9.260
6.507
15.767
28.648
13.115
41.762
15.533
50-63.
Textiles
5.275
4.620
9.895
54.351
39.352
93.703
14.999
64-67.
Footwear/
Headgear
830
705
1.536
17.458
2.341
19.799
15.117
68-71.
Stone/Glass
6.554
6.890
13.444
28.407
27.400
55.807
1.007
72-83.
Metals
18.881
15.491
34.371
32.145
90.780
122.925
-58.635
84-85.
Machinery/
Electrical
99.458
81.219
180.677
330.919
320.814
651.732
10.105
86-89.
Transportation
17.181
12.845
30.026
38.894
47.196
86.090
-8.302
90-97.
Miscellaneous
10.564
7.272
17.836
45.083
35.277
80.360
9.807
98-99.
Service
3.439
1.728
5.167
33.675
11.226
44.901
22.450
Sumber: ASEAN Secretariat, diolah
Perkembangan perdagangan ASEAN juga dapat dianalisis berdasarkan
barang primer, barang antara, barang modal, dan barang konsumsi7. Grafik 6
6ASEAN
7
Secretariat News, 28 Oktober 2014
Klasifikasi menggunakan kode BEC menurut klasifikasi dalam Ueki, Yasushi (2011).
“Intermediate Goods Trade in East" in Intermediate Goods Trade in East Asia: Economic
Deepening Through FTAs/EPAs. Edited by KAGAMI Mitsuhiro. Bangkok Research Center,
29
menunjukkan perdagangan intra-ASEAN dan ekstra-ASEAN untuk ketiga kategori
barang tersebut. Tampak dari grafik, baik perdagangan intra-ASEAN maupun
ekstra-ASEAN didominasi oleh barang-barang antara (intermediate goods). Dalam
grafik tampak bahwa perdagangan barang sesama negara ASEAN (intra-ASEAN)
menunjukkan peningkatan. Hal itu mengindikasikan semakin terintegrasinya
ASEAN sebagai basis produksi tunggal. Peningkatan tersebut juga terjadi untuk
perdagangan ASEAN dengan negara lain untuk barang antara. Hal itu diduga terkait
dengan perdagangan ASEAN dengan negara-negara di Asia Timur.
Sumber : UN Comtrade, diolah
Grafik 6. Perkembangan Perdagangan Berdasarkan Jenis Barang (IntraASEAN dan Ekstra-ASEAN)
b. Foreign Direct Investment di ASEAN
Arus FDI global ke negara ASEAN pada tahun 2014, berdasarkan data
UNCTAD, tercatat meningkat lebih dari 10 kali lipat dibanding tahun 1992, yaitu
dari 12,7 miliar USD (1992) menjadi 132,8 miliar USD (2014). Jika dilihat dari
pangsanya, arus FDI ke ASEAN mencapai 10,8 persen dari total arus FDI global,
lebih tinggi dari tahun 1970 sebesar 3,5 persen (Grafik 7). Kenaikan arus FDI ke
ASEAN ini antara lain disebabkan ASEAN merupakan salah satu kawasan yang
menawarkan tingkat pengembalian investasi (return on investment/roI) yang paling
tinggi (ASEAN Secretariat, 2013).
IDE-JETRO, Bangkok, Thailand http://www.ide.go.jp/English/Publish/Download/Brc/05.
html
30
12.00
10.8
10.00
8.00
7.5
%
6.00
4.00
3.5
5.3
6.2
4.9
4.1
2.00
1970
1972
1974
1976
1978
1980
1982
1984
1986
1988
1990
1992
1994
1996
1998
2000
2002
2004
2006
2008
2010
2012
2014
0.00
Sumber: UNCTAD Statistics, diolah
Grafik 7. Pangsa Inward FDI Intra-ASEAN terhadap Arus FDI Global
Angka di dalam kotak coklat menunjukkan rata-rata pangsa FDI ASEAN pada
periode tersebut. Terlihat bahwa ASEAN mengalami naik turun dalam hal menjadi
tujuan utama FDI dunia. Pada periode 1987 hingga sebelum krisis Asia, ASEAN
memiliki pangsa yang cukup besar, tetapi pascakrisis, ASEAN terpuruk. Setelah
2008 ASEAN kembali menjadi primadona bagi investasi asing.
Enam besar asal investor FDI di ASEAN adalah European Union (EU), ASEAN
sendiri, Jepang, US, Hongkong, dan Tiongkok meskipun urutannya tidak selalu
sama setiap tahunnya (Grafik 8). Tampak bahwa FDI dari negara ASEAN selalu
menduduki peringkat kedua selama kurun waktu lima tahun (1993–2014). Grafik 8
juga menunjukkan bahwa nilai FDI intra-ASEAN terus mengalami peningkatan
secara signifikan dari sebesar 6,3 miliar USD pada tahun 2009 menjadi 24,4 miliar
USD pada tahun 2014 yang berarti meningkat lebih dari tiga kali lipat. Masuknya
ASEAN dalam enam besar investor tersebut serta nilai FDI intra-ASEAN yang terus
meningkat menunjukkan semakin pentingnya peran FDI intra-ASEAN di kawasan.
Sumber: ASEAN Investment Report berbagai tahun, diolah
Grafik 8. Negara/Kelompok Negara Asal FDI Terbesar ke ASEAN
31
Apabila diamati pangsa arus investasi intra-ASEAN terhadap total FDI yang
masuk ke ASEAN (inward FDI ASEAN), nilainya relatif kecil, yaitu sebesar 9,6
persen. Meskipun begitu, nilai pangsanya semakin meningkat yaitu dari 9,6 persen
pada tahun 2005 menjadi 17,9 persen pada tahun 2014 (Grafik 9). Kondisi itu
mencerminkan semakin besarnya arus investasi antara negara ASEAN yang
merefleksikan semakin besarnya peran FDI antarnegara ASEAN di kawasan ASEAN
itu sendiri.
25
21.03
persen
20
13.92
13.6
15
9.64
10
15.15 15.61
18.08 17.51 17.9
11.35
5
0
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Sumber: ASEAN Statistics berbagai tahun, diolah
Grafik 9. Perkembangan Pangsa FDI Intra-ASEAN terhadap Total Inward
FDI ASEAN
Jika dilihat secara sektoral atau jenis industri, FDI intra-ASEAN umumnya
didominasi oleh sektor manufaktur (29,30 persen); keuangan dan asuransi (23,48
persen); real estate (22,23 persen); pertanian, kehutanan, dan perikanan (7,94
persen); serta perdagangan besar dan eceran, perbaikan kendaraan bermotor dan
sepeda motor (4,28 persen) (Tabel 3). Tampak bahwa FDI yang berasal dari intraASEAN mendominasi sektor-sektor non-tradable. Hal itu mengindikasikan bahwa
orientasi FDI intra-ASEAN didominasi oleh upaya untuk mengejar potensi pasar
domestik ASEAN yang terus membesar dan berkembang.
Tabel 3. FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN Berdasarkan Sektor (2013)
No.
Sektor
Nominal
(juta USD)
Intra
1.
Agriculture, forestry, and fishing
1.599
Ekstra
747
Persentase
Intra
Ekstra
7,94
0,73
32
No.
Nominal
(juta USD)
Sektor
Intra
2.
Mining and quarrying
3.
Manufacturing
4.
Electricity, gas, steam and air
conditioning supply
5.
Water supply; sewerage, waste
management and remediation
activities
6.
Construction
Persentase
Ekstra
Intra
Ekstra
468
7.715
2,32
7,58
5.899
34.865
29,30
34,24
248
909
1,23
0,89
25
577
0,12
0,57
-50
653
-0,25
0,64
Tabel 3. (lanjutan)
No.
Sektor
Nominal
(juta USD)
Intra
Persentase
Ekstra
Intra
Ekstra
7.
Wholesale and retail trade; repair
of motor vehicles and motorcycles
862
6.534
4,28
6,42
8.
Transportation and storage
311
1.377
1,54
1,35
9.
Accommodation and food service
activities
114
147
0,57
0,14
10.
Information and communication
389
1.807
1,93
1,77
11.
Financial and insurance activities
4.726
28.013
23,48
27,51
12.
Real estate activities
4.475
4.657
22,23
4,57
13.
Professional, scientific and
technical activities
76
636
0,38
0,62
14.
Administrative and support service
activities
104
191
0,52
0,19
15.
Education
14
52
0,07
0,05
16.
Human health and social work
activities
17
112
0,08
0,11
17.
Arts, entertainment and recreation
-
219
-
0,22
18.
Other services activities
855
9.375
4,25
9,21
19.
Others/unspecified
-
3.232
-
3,17
Total
20.132 101.818 100,00 100,00
Sumber: ASEAN Investment Report 2013–2014, ASEAN Secretariat
Dalam upaya mengejar potensi sumber daya alam (resource endowment) yang
ada di ASEAN, terdapat perbedaan karakteristik dalam berinvestasi antara FDI
33
intra-ASEAN dan FDI ekstra-ASEAN. FDI intra-ASEAN lebih banyak berinvestasi
pada sektor pertanian, terutama pada subsektor perkebunan dengan komoditas
utama kelapa sawit sedangkan FDI ekstra-ASEAN lebih mendominasi investasi di
sektor pertambangan, yaitu untuk mencari sumber daya mineral yang dibutuhkan
sebagai bahan baku bagi sektor manufaktur di negara asalnya (Grafik 10).
Sumber: ASEAN Investment Report 2013–2014, ASEAN Secretariat
Grafik 10. FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN Berdasarkan Sektor (2013)
4.2 Foreign Direct Investment di Indonesia
Arus masuk FDI ke Indonesia selama kurun waktu 40 tahun lebih (1970–
2014) menunjukkan tren yang meningkat, meski sempat turun selama periode
1997–2000 yang disebabkan oleh krisis keuangan Asia 1997/98 (Grafik 11).
Peningkatan arus masuk FDI mulai terjadi sejak tahun 1988 dan meningkat secara
signifikan sejak tahun 2004. Tercatat arus masuk FDI ke Indonesia meningkat dari
145,4 juta USD pada tahun 1970 menjadi 22,3 miliar USD pada tahun 2014.
34
22,276
23,000
Juta USD
18,000
13,000
8,000
2014
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
(2,000)
1970
3,000
(7,000)
Sumber: UNCTAD
Grafik 11. Perkembangan Arus Masuk FDI ke Indonesia (Net), 1970–2014
Tren peningkatan arus FDI per GDP Indonesia terjadi selama periode Asian
Miracle, yaitu sejak tahun 1980 hingga sebelum krisis finansial tahun 1997/1998
(Grafik 12). Tren arus FDI per GDP kembali meningkat sejak tahun 2006–2014
meski sempat turun pada tahun 2009 yang disebabkan oleh krisis subprime
mortgage. Peningkatan tren FDI per GDP tersebut menunjukkan semakin besarnya
kontribusi FDI terhadap PDB. Krisis keuangan Asia tahun 1997/1998 dan krisis
subprime mortgage tahun 2009 telah menyebabkan arus FDI per GDP Indonesia
mengalami penurunan. Namun, dampak yang ditimbulkan oleh krisis subprime
mortage terhadap arus masuk FDI ke Indonesia tidak separah dibandingkan
dampak krisis keuangan Asia tahun 1997/1998. Grafik 12 menunjukkan bahwa
selama periode 1998–2001 (periode krisis keuangan Asia tahun 1997/1998) arus
FDI per GDP berada di bawah 0 persen atau minus, sementara arus FDI per GDP
pada tahun 2009 (krisis subprime mortgage) masih di atas 0 persen. Hal itu
ditengarai pada saat terjadi krisis subprime mortage, fundamental ekonomi
Indonesia sudah lebih kuat dibandingkan dengan krisis sebelumnya sehingga shock
yang terjadi yang bersumber dari luar negeri tidak berpengaruh besar terhadap
investasi langsung asing di Indonesia.
35
5.0
3.0
Asian
Economic
Miracle
2.0
Krisis
Keuangan
Global
Krisis
Keuangan
Asia
Dampak
Krisis
Keuangan
Asia
4.0
1.0
0.0
-1.0
-2.0
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
1975
1974
1973
1972
1971
1970
-3.0
Sumber: UNCTAD
Grafik 12. Perkembangan Arus FDI Per GDP
Dilihat berdasarkan komponennya, FDI yang masuk ke Indonesia terdiri atas
tiga komponen, yaitu: (i) equity, (ii) reinvested earnings, dan (iii) other capital inflow
in FDI. Kedua komponen equity dan reinvested earnings umumnya memiliki nilai
yang lebih tinggi daripada other capital inflow in FDI, baik untuk FDI yang berasal
dari ASEAN maupun non-ASEAN (Grafik 13 dan Grafik 14). Apabila diamati lebih
jauh tampak bahwa tren ketiga komponen FDI tersebut mengalami peningkatan
selama periode 2004–2014.
14,000
12,000
10,000
Million USD
8,000
6,000
4,000
2,000
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
(2,000)
Other Capital Inflow in FDI
Equity and Reinvested Earning
Grafik 13. Total Inward FDI
Indonesia per Komponen
Grafik 14. Inward FDI IntraASEAN di Indonesia per Komponen
Sebagai salah satu negara dengan output perekonomian terbesar di ASEAN,
Indonesia merupakan negara yang menjadi tujuan utama FDI intra-ASEAN. Tercatat
pangsa arus investasi ke Indonesia pada tahun 2014 sebesar 55,2 persen terhadap
total FDI intra-ASEAN. Selanjutnya posisi kedua ditempati oleh Singapura (18,6
36
persen), diikuti Malaysia (11,4 persen), dan Vietnam (6,3 persen) (Tabel 4 dan Grafik
15).
Tabel 4. FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN (2014)
Pangsa terhadap Total (2014)
Negara
Intra-ASEAN
Ekstra-ASEAN
Total Net Inflow
Brunei Darussalam
0,6
0,4
0,4
Kamboja
1,5
1,2
1,3
55,2
7,9
16,4
Lao PDR
0,6
0,7
0,7
Malaysia
11,4
7,1
7,9
Myanmar
2,8
0,2
0,7
Filipina
0,3
5,5
4,6
18,6
60,4
52,9
Thailand
2,7
9,7
8,5
Viet Nam
6,3
6,8
6,8
100,0
100,0
100,0
Indonesia
Singapura
Total
Sumber: ASEAN Statistics, 2014
Sementara itu, untuk FDI di luar ASEAN (FDI ekstra-ASEAN) lebih memilih
Singapura sebagai tujuan utamanya dalam berinvestasi yakni mencapai 60,4 persen
terhadap total FDI ASEAN yang berasal dari non-ASEAN. Selanjutnya diikuti oleh
Thailand (9,7 persen), Indonesia (7,9 persen), dan Malaysia (7,1 persen) (Tabel 4). Boks
1 menguraikan lebih dalam mengenai FDI di Singapura.
Philippines
Lao PDR
Brunei Darussalam
Cambodia
Thailand
Myanmar
Viet Nam
Malaysia
Singapore
Indonesia
Intra-ASEAN
0.3
0.6
0.6
1.5
2.7
2.8
6.3
11.4
18.6
55.2
0
10
20
30
40
50
60
persen
Sumber : ASEAN Secretariat, 2014
Grafik 15. Pangsa FDI Intra-ASEAN Terhadap Total Net Inflow FDI
37
Meski Indonesia menduduki posisi teratas dalam menarik FDI dari kawasan,
pangsa FDI total (intra-ASEAN dan ekstra-ASEAN) terhadap PDB Indonesia masih
relatif kecil, yaitu sebesar 2,6 persen pada tahun 2014 (Tabel 5). Pangsa FDI Indonesia
terhadap PDB tersebut kurang lebih sama nilainya dengan Malaysia (3,3 persen) dan
Thailand (2,8 persen). Sementara itu, Singapura memiliki pangsa yang jauh di atas
negara ASEAN-10 lainnya, yaitu sebesar 23,9 persen. Bagi Singapura, FDI merupakan
salah satu penggerak utama roda perekonomian negara tersebut. Sementara itu,
untuk perekonomian Indonesia, rendahnya nilai pangsa tersebut mengindikasikan
masih besarnya peluang asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Tabel 5. Perbandingan Pangsa FDI terhadap PDB negara ASEAN (2014)
(dalam juta USD)
Negara
Singapore
Cambodia
Lao PDR
Viet Nam
Brunei Darussalam
Malaysia
Thailand
Indonesia
Philippines
Myanmar
PDB
301,193
16,435
11,667
186,599
14,971
326,113
405,533
848,025
285,098
67,628
Total
Share per
Nominal
GDP
72,098
23.94
1,727
10.50
913
7.83
9,200
4.93
568
3.80
10,714
3.29
11,538
2.85
22,276
2.63
6,201
2.17
946
1.40
Negara
Cambodia
Indonesia
Singapore
Lao PDR
Myanmar
Brunei Darussalam
Malaysia
Viet Nam
Thailand
Philippines
PDB
16,435
848,025
301,193
11,667
67,628
14,971
326,113
186,599
405,533
285,098
Intra
Share per
Nominal
GDP
373
2.27
13,459
1.59
4,533
1.50
138
1.18
684
1.01
141
0.94
2,771
0.85
1,547
0.83
654
0.16
79
0.03
Sumber: UNCTAD, diolah
Dari keseluruhan arus masuk FDI ke Indonesia, sebagian besar inward-FDI ke
Indonesia berasal dari luar ASEAN atau didominasi oleh FDI ekstra-ASEAN. Tercatat
FDI ekstra-ASEAN di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 60,42 persen, sementara
FDI intra-ASEAN sebesar 39,58 persen (Tabel 6). Meski pangsa inward FDI Indonesia
dari intra-ASEAN relatif lebih rendah, nilai pangsa yang hampir mencapai 50 persen
38
pada tahun 2011 dan 2013 mengindikasikan semakin pentingnya peran FDI intraASEAN sebagai sumber investasi langsung di Indonesia.
Tabel 6. Inward FDI Indonesia
Persentase
2011
2012
2013
2014
Intra-ASEAN
43,31
39,65
47,28
39.58
Ekstra-ASEAN
56,69
60,35
52,72
60.42
Total Net Inflow
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: ASEAN Statistics (2014)
Sektor ekonomi yang dituju untuk berinvestasi di Indonesia oleh FDI umumnya
bergantung pada negara asal FDI (Tabel 7). Pada sektor industri pengolahan, FDI
banyak berasal dari Jepang dan US. Hal itu terkait dengan karakteristik
perekonomian kedua negara tersebut sebagai negara industri. Sektor pertambangan
dan penggalian banyak diminati oleh investor dari Tiongkok, US, dan Jepang. Sektor
ini dituju oleh ketiga negara tersebut karena kebutuhan perkembangan ekonomi
negara asalnya yaitu negara industri yang membutuhkan barang tambang dan
penggalian untuk industri di negara bersangkutan. Sementara itu, negara asal ASEAN
seperti Singapura dan Malaysia banyak berinvestasi pada sektor primer dan tersier.
Tabel 7. FDI di Indonesia berdasarkan negara asal dan sektor Ekonomi
(Akumulasi 2004–2014)
Negara
Jepang
Pertanian,
Perikanan,
dan
Kehutanan
Industri
Pengolahan
Pertambangan
dan
Penggalian
Transporasi,
Pergudangan,
dan
Komunikasi
Perdagangan
Besar dan
Eceran
Lembaga
Perantara
Keuangan
91.5
28,453.7
1,478.2
502.5
1,640.6
1,550.7
1,460.9
2,688.0
433.1
(3.8)
627.1
3,106.4
76.4
3,226.3
2,442.1
112.9
(316.5)
230.7
Malaysia
105.1
384.0
131.3
520.8
18.7
(193.0)
Tiongkok
1.0
185.6
3,631.4
0.0
27.6
2.9
6,637.5
17,605.8
13,091.8
14,679.1
8,860.0
5,247.4
Singapura
USA
Lainnya
Sumber: Statistik Eonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, April 2015
Keterangan: Biru menunjukkan nilai investasi terbesar per negara (horizontal line)
Merah menunjukkan nilai investasi terbesar per sektor (vertical line)
39
Secara sektoral terdapat perbedaan antara FDI intra-ASEAN dan FDI ekstraASEAN dalam hal berinvestasi. FDI intra-ASEAN umumnya berinvestasi pada sektor
pertanian, industri pengolahan, dan lembaga perantara keuangan (Tabel 8). Dengan
demikian, FDI intra-ASEAN cenderung pada sektor primer dan tersier. Sementara itu,
FDI ekstra-ASEAN lebih dominan berinvestasi pada sektor industri pengolahan;
pertambangan dan penggalian; serta transportasi, pergudangan, dan komunikasi.
Dengan demikian, FDI yang berasal dari non-ASEAN cenderung pada sektor
pertambangan dan penggalian serta sektor tersier.
Tabel 8. Kontribusi Sektoral FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN Pada
Inward FDI di Indonesia
No.
Sektor
Intra-ASEAN
Ekstra-ASEAN
2005
2013
2014
2005
2013
2014
1.
Pertanian,
Perburuan, dan
Kehutanan
2,45
17,80
27,86
-0,01
-0,05
0,62
2.
Perikanan
0,00
-0,10
-0,06
0,12
1,01
1,29
3.
Pertambangan dan
Penggalian
3,62
6,69
6,05
15,98
21,38
21,59
Tabel 8. (lanjutan)
No.
Sektor
Intra-ASEAN
Ekstra-ASEAN
2005
2013
2014
2005
2013
2014
4.
Industri Pengolahan
70,99
33,30
27,78
62,07
61,46
42,25
5.
Listrik, Gas, dan Air
0,00
0,63
0,23
2,18
3,49
2,64
6.
Konstruksi
0,18
-0,29
0,30
1,72
3,76
0,69
7.
Perdagangan Besar
dan Eceran;
Perbaikan
Kendaraan
Bermotor; BarangBarang Rumah
Tangga
1,53
4,82
8,37
0,62
5,61
9.16
8.
Hotel dan Restoran
0,00
0,31
0,12
0,00
-0,39
-0,27
9.
Transportasi,
Pergudangan, dan
Komunikasi
12,78
5,24
7,36
3,63
16,85
16,78
10.
Lembaga Perantara
Keuangan
17,19
19,55
14,36
8,40
-18,75
-4,81
40
11.
Real Estate,
Persewaan, dan Jasa
Bisnis
-0,58
9,02
7,06
0,29
-1,17
4,77
12.
Administrasi
Pemerintahan dan
Pertahanan;
Jaminan Sosial
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13.
Pendidikan
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,01
0,00
14.
Kesehatan dan
Pekerjaan Sosial
0,00
-0,01
0,01
0,00
0,11
0,08
15.
Jasa
Kemasyarakatan,
Sosial, dan
Perseorangan
Lainnya
0,00
-0,02
-0,01
0,00
0,04
0,03
16.
Lainnya
-8,15
3,06
0,55
5,00
6,64
5,19
Jumlah
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (Bank Indonesia, April 2015)
Ditinjau dari aspek negara asal FDI, Indonesia banyak menerima FDI dari
negara di luar ASEAN (ekstra-ASEAN) (Grafik 16). Pada tahun 2014, pangsa FDI
ekstra-ASEAN tercatat sebesar 60,4 persen, sementara pangsa FDI intra-ASEAN
sebesar 39,6%. Meskipun lebih rendah dari pangsa FDI ekstra-ASEAN, pangsa FDI
intra-ASEAN yang meningkat pada tahun 2013—walaupun sempat turun pada tahun
2012 dan 2014—mengindikasikan bahwa peran ASEAN dalam perekonomian global
semakin penting, khususnya untuk Indonesia sebagai sumber investasi asing.
80.0
persen
60.0
40.0
20.0
43.3
60.4
56.7
39.6
47.3 52.7
60.4
39.6
0.0
2011
2012
Intra
2013
2014
Extra
Sumber: ASEAN Secretariat, 2014
Grafik 16. Inward FDI Indonesia (Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN)
41
Apabila dilihat negara asal untuk arus masuk FDI ke Indonesia dari ASEAN-5
tampak bahwa Singapura dan Malaysia merupakan investor asing terbesar yang
melakukan FDI di Indonesia (Grafik 17). Tingginya arus FDI dari Singapura dan
Malaysia tersebut kemungkinan disebabkan oleh kedua negara itu memiliki GDP yang
besar serta letak geografis kedua negara
yang sangat dekat dengan Indonesia.
Singapura terus mendominasi arus masuk FDI ke Indonesia dengan pangsa yang
relatif stabil, yaitu sebesar 93 persen pada tahun 2010 dan 92 persen pada tahun
2014. Sementara itu, pangsa FDI Malaysia di Indonesia stabil pada angka 6 persen.
2010
2014
Malaysia
6%
Vietnam
0%
Thailand
2%
Filipina
0%
Thailand
1%
Singapura
93%
Vietnam
0%
Malaysia
6%
Filipina
0%
Singapura
92%
Sumber: SEKI, Bank Indonesia
Grafik 17. Negara ASEAN-5 Asal Inward FDI Intra-ASEAN
Apabila FDI dari ASEAN-5 diperinci lebih jauh, tampak bahwa investor asal
ASEAN-5 juga memiliki perbedaan karakter dalam hal berinvestasi di Indonesia.
Singapura sebagai negara di kawasan ASEAN yang melakukan FDI terbesar ke
Indonesia mendominasi sektor lembaga perantara keuangan, kemudian diikuti sektor
manufaktur dan pertanian (Tabel 9). Besarnya investasi Singapura pada sektor
finansial diduga terkait erat dengan peran negara tersebut sebagai salah satu pusat
keuangan (financial centre) dunia. Sementara itu, Malaysia memilih sektor
transportasi, pergudangan, dan komunikasi, kemudian diikuti dengan sektor
manufaktur. Filipina, Thailand, dan Vietnam banyak berinvestasi di sektor
manufaktur. Meskipun berbeda, tampaknya ada kesamaan dari negara tersebut,
yaitu
adanya
kecenderungan
menempatkan
dana
pada
sektor
manufaktur.
Berdasarkan sektor ekonominya, Singapura hampir menguasai seluruh sektor
ekonomi untuk inward FDI Indonesia yang berasal dari ASEAN-5. Sektor tersebut
mencakup
pertanian;
pertambangan;
industri
manufaktur,
listrik
dan
gas;
perdagangan besar dan eceran; lembaga perantara keuangan; dan real estate,
persewaan, dan jasa bisnis.
42
Tabel 9. FDI Intra-ASEAN Indonesia berdasarkan Negara Asal dan Sektor
Ekonomi (Akumulasi 2004–2013)
Negara
Singapura Malaysia Thailand Filipina Vietnam
Pertanian
1.098,24
22,12
-
0,05
-
Perikanan
(10,25)
8,17
0,06
-
-
Pertambangan
159,88
131,29
0,21
-
0,05
1.550,19
63,91
21,53
1,58
1,20
Utility
18,57
1,62
-
-
-
Konstruksi
(2,80)
-
-
-
0,26
(90,56)
24,05
21,99
1,09
0,34
6,70
-
-
-
-
36,68
84,96
0,10
0,05
(0,04)
Lembaga Perantara
Keuangan
601,35
(265,20)
0,12
0,02
-
Real Estate, Persewaan,
dan Jasa Bisnis
449,77
-
0,05
(21,20)
-
Manufaktur
Perdagangan
Hotel dan Restoran
Transportasi, Pergudangan,
dan Komunikasi
Sumber: SEKI
Keterangan: Biru menunjukkan nilai investasi terbesar per negara.
Merah menunjukkan nilai investasi terbesar per sektor.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, pangsa arus masuk FDI dari negara
ASEAN (intra-ASEAN) terhadap PDB Indonesia tercatat baru 2,6 persen (Tabel 4),
sedangkan pangsa FDI negara anggota ASEAN lainnya berkisar antara 0 persen
hingga 2 persen. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki peluang
cukup besar dalam menarik FDI dari negara anggota ASEAN lainnya (intra-ASEAN).
Indonesia pada dasarnya masih dapat bersaing dengan negara anggota ASEAN
lainnya dalam menarik FDI intra-ASEAN karena pangsa FDI intra-ASEAN Indonesia
yang cukup besar (55,2 persen) serta kontribusi FDI intra-ASEAN terhadap PDB
Indonesia yang relatif moderat jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN
lainnya. Namun, kondisi itu tampaknya tidak sejalan dengan iklim investasi yang
ditunjukkan dalam survei World Bank “Ease of Doing Business” (Grafik 18).
43
127
134
167
Laos
Kmbj
103
109
Fil
INA
90
Viet
84
Brun
D
84
Tiong
49
18
1
Sgp
Mly
Thai
Myr
Sumber: http://www.doingbusiness.org/, diolah
Grafik 18. Peringkat Ease of Doing Business di Negara Anggota ASEAN Dan
Tiongkok
Berdasarkan Ease of Doing Business 2015 yang disusun oleh World Bank, yaitu
survei untuk melihat kemudahan melakukan bisnis pada setiap negara8 ditunjukkan
bahwa Indonesia berada pada posisi di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei
Darussalam, Vietnam, dan Filipina. Secara agregat, Indonesia berada pada peringkat
109 dari 189 negara yang disurvei. Tiga negara ASEAN-5 berada pada posisi 30 besar,
yaitu Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 18), dan Thailand (peringkat 49).
Bahkan, Vietnam yang bukan merupakan ASEAN-5 berada pada peringkat 90, jauh
di atas Indonesia.
Apabila dilihat lebih lanjut per komponen ease of doing business, nilai masingmasing komponen untuk Indonesia adalah yang paling rendah secara peringkat, yaitu
masalah penegakan hukum (enforcing contracts), memulai usaha (starting business),
pembayaran pajak termasuk prosedur, dan registrasi properti (registering property)
(Tabel 10). Bahkan dalam hal penegakan hukum, posisi Indonesia berada pada
peringkat 170 dari 189. Komponen ease of doing business Indonesia yang nilainya
relatif baik adalah resolving insolvency (peringkat 73), getting credit (peringkat 71), dan
getting electricity (peringkat 45).
Tabel 10. Komponen Ease of Doing Business
Komponen
8
Peringkat
Semakin tinggi peringkat suatu negara mengindikasikan iklim usaha di negara tersebut
kondusif untuk memulai dan mengoperasikan bisnis. Jumlah negara yang disurvei
sebanyak 189 negara.
44
Enforcing Contracts
170
Starting a Business
163
Paying Taxes
160
Registering Property
131
Dealing with Construction Permits
110
Trading Across Borders
104
Protecting Minority Investors
87
Resolving Insolvency
73
Getting Credit
71
Getting Electricity
45
Sumber: http://www.doingbusiness.org/, diolah
Dalam upaya menarik investasi asing dari berbagai negara untuk berinvestasi
pada berbagai sektor ekonomi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai
kebijakan dan reformasi pada bidang investasi yang meliputi hal-hal berikut.
1. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU No. 1 Tahun 1967
merupakan kebijakan PMA yang pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia. Pengertian investasi asing, bentuk, dan hal-hal lain terkait investasi
asing diatur dalam UU ini. Modal asing dalam aturan itu dianggap sebagai
pelengkap dari modal dalam negeri.
2. UU No. 11 Tahun 1970 merupakan penambahan dan penyempurnaan UU No. 1
Tahun 1967, khususnya mengenai pembebasan bea masuk untuk impor barang
pelengkap seperti mesin dan alat kerja serta kelonggaran di bidang perpajakan
seperti pajak perseroan dan pajak dividen.
3. UU No. 10 Tahun 1994 Pasal 31A mengatur pemberian fasilitas perpajakan
kepada wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha
tertentu dan/atau daerah tertentu.
4. PP No. 20 Tahun 1994 merupakan kebijakan deregulasi investasi. Kepemilikan
saham secara perseorangan atau secara individu hingga 100 persen oleh peserta
asing (investor asing) sangat dimungkinkan. Ketentuan itu telah mengubah
filsafat UU PMA tahun 1967 dengan mengakui secara transparan akan
sumbangan potensial modal asing pada ekonomi dan pembangunan.
5. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur kebijakan dasar
penanaman modal. Pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam
45
modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan
kepentingan nasional, menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan
keamanan berusaha. Dalam hal ini berbagai insentif diberikan pemerintah seperti
beberapa hal berikut.
a. Keringanan pajak bumi dan bangunan untuk: (1) bidang usaha tertentu dan
(2) wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
b. Pembebasan atau penghapusan pajak untuk industri tertentu.
c. Pembebasan atau pengurangan bea masuk atas impor barang tertentu.
Arah kebijakan Indonesia mengenai investasi asing pada era orde baru dapat
dibagi menjadi beberapa periode berikut.
a. Periode 1967–1973
Presiden Suharto mengadopsi kebijakan yang condong mengundang FDI masuk
dengan beberapa pokok kebijakan.
a) Jaminan bahwa dalam 30 tahun tidak akan ada pengambilalihan oleh
pemerintah.
b) Insentif disediakan dalam bentuk pengurangan pajak impor dan tax holiday.
c) Perusahaan dapat dimiliki asing hingga 100 persen.
d) Tidak terdapat persyaratan untuk divestasi.
e) Sektor ekonomi yang dilarang untuk asing-masuk mulai dikurangi.
b. Periode 1974–1985
Karena didorong oleh sentimen nasionalis pada 1970, pendulum kebijakan bergeser
kearah lebih restriktif. Beberapa kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah adalah
sebagai berikut.
a) Pelarangan
kepemilikan
asing
100
persen,
perusahaan
asing
dalam
berpartisipasi joint venture dibatasi maksimum 80 persen
b) Terdapat ketentuan divestasi untuk kepemilikan Indonesia pada 10 tahun
c) Sektor-sektor tertentu ditutup untuk investasi asing
d) FDI diharuskan mendapat persetujuan presiden
e) Dibentuknya BKPM untuk melakukan screening proposal FDI
f) Mulai dibentuknya biro perizinan investasi satu pintu
g) Pembatasan kapasitas produksi dan jumlah lisensi yang diberikan untuk
setiap sektor dibatasi
46
h) Penghapusan kebijakan tax holiday terkait dengan reformasi di bidang
perpajakan.
c. Periode 1986–1993
Keharusan untuk menyesuaikan dinamika ekonomi dengan berakhirnya booming
harga minyak memaksa pemerintah untuk mencari modal tambahan untuk
pembangunan. Pemerintah melihat FDI selain sebagai sumber pendanaan juga
sebagai sumber alih teknologi, kapabilitas manajerial, dan akses pada pasar ekspor.
Adapun kebijakan yang dikeluarkan pada masa tersebut adalah sebagai berikut.
a) Peningkatan secara maksimal kepemilikan asing menjadi 95 persen untuk
industri yang berorientasi ekspor di Indonesia Timur, penggunaan teknologi
tinggi dan diharuskan lebih besar dari 10 juta USD.
b) Periode divestasi diperpanjang hingga 15 tahun
c) Pengadopsian daftar prioritas yang lebih transparan dengan definisi baku ISIC
d) Pengurangan pembatasan pada kapasitas dan jumlah lisensi
e) Investor asing dapat mendiversifikasi hingga 30 persen dari kapasitas usaha
yang sudah ada tanpa harus mengajukan lisensi baru.
f) Sektor ekonomi yang diperbolehkan untuk asing-masuk diperluas mencakup
pariwisata, pengolahan garmen, kimia, dan permesinan. Daftar negatif
investasi diperkenalkan dengan dikurangi komponennya secara bertahap dari
64 jenis usaha menjadi 35 yang mencakup sektor penting di bidang retail.
g) Impor peralatan diperbolehkan untuk produksi.
h) Perusahaan asing diperbolehkan untuk mengekspor produknya sendiri dan
berpartisipasi dalam aktivitas perdagangan.
d. Periode 1994–1998
Pemerintah merespons perlambatan ekonomi pada tahun 1992 dengan paket
deregulasi pada tahun 1994. Adapun kebijakan yang dikeluarkan adalah sebagai
berikut.
a) Asing dibolehkan untuk memiliki usaha hingga 100 persen.
b) Kebijakan divestasi setelah 15 tahun diserahkan kepada investor
c) Sembilan sektor dengan kepentingan publik yang ditutup kini dibuka untuk
joint venture.
d) Persyaratan modal minimum dihapuskan.
47
Pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah dikeluarkan serangkaian
paket kebijakan (I-VII) yang mendorong masuknya arus FDI ke Indonesia lebih tinggi
lagi dalam rangka merespons kondisi perekonomian global yang tidak pasti, terutama
disebabkan normalisasi kebijakan moneter the FED dan perlambatan ekonomi
Tiongkok. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan antara lain ialah deregulasi, proyek
strategis
nasional,
kebijakan
investasi
properti,
penyederhanaan
kebijakan
penanaman modal, dan insentif untuk reinvested earnings.
Di samping upaya menarik investasi dari sisi penyempurnaan kebijakan dalam
negeri, pemerintah Indonesia juga meningkatkan kerja sama kawasan dalam rangka
mendorong percepatan arus investasi asing masuk dan keluar Indonesia. Dalam
kaitan itu, sampai dengan Agustus 2015 Indonesia telah melakukan perjanjian
investasi bilateral (bilateral investment treaty, BIT) dengan 66 negara (UNCTAD,
Investment Agreement Navigator, 2015). Dari jumlah tersebut Indonesia telah
menandatangani BIT dengan enam negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia (Januari
1994), Singapura (Februari 2005), Filipina (November 2011), Thailand (Februari
1998), Vietnam (Oktober 1991), dan Kamboja (Maret 1999). BIT merupakan perjanjian
antardua negara yang berisikan promosi dan proteksi investasi yang bertujuan untuk
meningkatkan investasi di antara kedua negara yang melakukan perjanjian. Pada
dasarnya penandatanganan BIT dengan negara-negara tersebut telah mulai
dilakukan pada tahun 1968, yaitu dengan Denmark, tetapi intensitas kerja sama
investasi di bawah kerangka BIT mulai meningkat sejak tahun 1990-an.
Di samping menandatangani bilateral investment treaty, Indonesia juga
tergabung dalam kawasan perdagangan bebas atau free trade area (FTA) dengan
World Trade Organization (WTO) dan ASEAN. Secara kawasan, Indonesia sebagai
negara anggota ASEAN juga telah melakukan FTA dengan ASEAN+1, yaitu ASEANKorea, ASEAN-India, ASEAN-New Zealand dan Australia, serta ASEAN-Tiongkok.
Berbagai kerja sama investasi itu memberikan manfaat berupa akses pasar dalam
rangka meningkatkan ekspor dan meningkatkan investasi pada kedua negara serta
terciptanya alih teknologi.
Grafik 19 merupakan grafik analisis kejadian (event analysis) untuk inward
FDI di Indonesia. Tampak bahwa FDI mulai mengalami peningkatan yang signifikan
sejak tahun 1990 meskipun sempat turun pada saat krisis keuangan Asia 1997/1998
yang berdampak terhadap FDI hingga tahun 2000. Peningkatan arus masuk FDI ke
Indonesia sejak 1988 diduga disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah terkait investasi langsung asing, terutama semakin intensnya
48
pemerintah menandatangani berbagai kerja sama investasi (BIT dan FTA) dengan
banyak negara.
25000.0
UU No. 11 Thn 1970
ttg Perubahan
dan Tambahan UU No.
1 Thn 1967 ttg PMA
UU No. 25
Thn 2007 ttg
Penanaman
Modal
20000.0
ASEAN-Korea FTA
di ttd di Sgp, pd 13
Des 2005
15000.0
UU No. 1
Thn 1967 ttg
PMA
ASEAN-Japan
Comprehensive
Economic
Partnership
(AJCEP) (2008)
ASEAN
Comprehensive
Investment
Agreemnt (ACIA),
berlaku 29 Maret
2012
AC FTA di ttd di
Phnom Penh,
(2002)
10000.0
4 paket
kebijakan
SBY
Penyelamat
an Ekonomi
Nasional
(2013)
PP No. 20/1994 ttg
Pemilikah Saham dlm
persh yg didirikan d.r.
PMA
5000.0
1970
1971
1972
1973
1974
1975
1976
1977
1978
1979
1980
1981
1982
1983
1984
1985
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
0.0
-5000.0
7 BIT
0 BIT
14 BIT
31 BIT
-10000.0
FDI Flow BOP
Deklarasi Presiden
Megawati untuk
meningkatkan
investasi (2003)
AANZ-FTA
di ttd di Hua
Hin,
Thailand
(2009)
Grafik 19. Event Analysis Inward FDI di Indonesia
Grafik 20 menunjukkan lebih jauh perkembangan arus inward FDI (flow) ke
Indonesia pada periode 1970–1990. Setelah krisis Pertamina 1973–1974, terdapat
lonjakan yang cukup besar pada FDI masuk pada tahun 1975, terutama pada tiga
sektor, yaitu sektor industri dasar, sektor kehutanan, dan sektor pertambangan.
Salah satu contoh industri dasar yang dikembangkan adalah Proyek Asahan. Hal itu
dicatat pada Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun
1975/1976, 1976/1977, dan 1977/1978.
49
1,400
1,200
Melarang
kepemilikan asing
100 persen,
menurunkan
menjadi 80 persen
1,000
Juta USD
Melonjaknya investasi asing di sektor industri
dasar, kehutanan, pertambangan (NK APBN
1975/76, 1976/77, 1977/78)
800
Deregulasi mulai dijalankan
secara penuh
Dimulainya paket
deregulasi ekonomi
600
400
FDI mulai
meningkat
bertahap
200
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
1975
1974
1973
1972
1971
1970
-
Sumber: UNCTAD
Grafik 20. Perkembangan Arus Inward FDI 1970–1990
Pada awal tahun 1980-an, tepatnya 1983, terdapat kebijakan pemerintah
untuk melakukan deregulasi sebagai respons dari berakhirnya booming minyak yang
menyebabkan turunnya pendapatan, baik pemerintah maupun dunia usaha. Oleh
karena itu, untuk menggantikan peran minyak dalam perekonomian Indonesia,
usaha yang dilakukan adalah mengeluarkan paket kebijakan deregulasi untuk
menggenjot sektor industri nonmigas.
Deregulasi perekonomian dimulai pada tahun 1983 dengan berbagai
penghapusan aturan yang menghambat perkembangan dunia usaha. Akan tetapi,
dampak dari deregulasi tersebut tidak langsung meningkatkan minat modal asing
untuk masuk ke Indonesia. Peningkatan modal asing masuk ke Indonesia mulai deras
setelah tahun 1986 pada saat reformasi kebijakan FDI diperkenalkan.
Setelah tahun 1986 berbagai kebijakan diarahkan untuk melanjutkan
liberalisasi
dan
deregulasi.
Pada
tahun
1986
kepemilikan
maksimal
asing
ditingkatkan menjadi 95 persen untuk industri yang berorientasi ekspor di Indonesia
timur, penggunaan teknologi tinggi, dan pensyaratan modal lebih dari 10 juta USD.
Pada tahun 1987 periode hingga divestasi ditingkatkan sampai 15 tahun. Selain itu,
dibuat kebijakan untuk memperlakukan investasi asing sama dengan investasi
domestik. Mulai dari 1987, investor juga dapat berekspansi atau mendiversifikasi
hingga mencapai 30 persen kapasitasnya tanpa harus memiliki lisensi baru. Sektorsektor juga semakin dibuka untuk modal asing, termasuk pariwisata, garmen, kimia,
50
dan mesin. Impor untuk perlengkapan yang digunakan juga diperbolehkan. Pada
tahun 1987 itu pula perusahaan asing diperbolehkan untuk mengekspor produknya
dan terlibat dalam aktivitas perdagangan. Selanjutnya, pada tahun 1989 daftar
negatif investasi diperkenalkan dan mulai dikurangi komponennya dari 64 jenis
usaha menjadi 35 jenis usaha.
Selain menarik arus modal asing agar masuk ke Indonesia (FDI), kebijakan
kerja sama investasi juga merupakan kesempatan bagi perusahaan asal Indonesia
untuk berekspansi ke negara lain, khususnya ASEAN. Terdapat beberapa alasan
melakukan investasi ke luar negeri (outward FDI), yaitu hambatan perdagangan oleh
negara tujuan (host countries), seperti hambatan tarif dan nontarif, penghindaran i
pengenaan kuota perdagangan di negara berpendapatan tinggi, dan diversifikasi
risiko (Lecraw, D.J, 1993).
Jumlah perusahaan asal Indonesia yang beroperasi di kawasan ASEAN masih
jauh di bawah negara ASEAN-5 lainnya. Berdasarkan laporan ASEAN Secretariat
2014, disebutkan bahwa jumlah perusahaan yang menjadi pemain di kawasan
ASEAN adalah 35 perusahaan Singapura, 20 perusahaan Malaysia, 7 perusahaan
Thailand, dan 6 asal Indonesia. Perusahaan Indonesia tersebut bergerak di bidang
manufaktur (Fajar Suhendra), pertambangan dan migas (Pertamina), telekomunikasi
(Northstar Equity Partners), perkebunan dan agribisis (Sinarmas Group), dan
konstruksi dan infrastruktur (Semen Indonesia dan Bukit Asam).
Berbagai perusahaan multinasional tersebut biasanya terhubung dalam global
supply/value chain (GSC/GVC) yang umumnya didukung oleh usaha kecil menengah
(UKM) negara setempat (Kimura, 2008). Berdasarkan laporan ASEAN Secretariat
2014, beberapa UKM menjadi pemain di kawasan, tetapi UKM tersebut didominasi
oleh UKM yang berasal dari Singapura dan Malaysia. Selain kedua negara tersebut,
terdapat pula UKM dari Thailand, Filipina, dan Vietnam. Sementara itu, UKM asal
Indonesia belum dapat menjadi pemain di kawasan atau mendukung pasokan rantai
nilai (global value/supply chain). Hal itu diduga karena UKM Indonesia belum
memiliki keterampilan teknis dan manajerial yang memadai untuk berkompetisi di
level regional (Kimura, 2008). Penjelasan lebih dalam mengenai UKM di negara
kawasan ASEAN dapat dilihat pada Boks 2.
Untuk mengidentifikasi karakteristik inward FDI di Indonesia berdasarkan
hubungan pangsa local sales dan local input, digunakan pendekatan Damuri (2015)
pada Gambar 3. Analisis tersebut menunjukan jumlah perusahaan FDI yang membeli
input dari dalam negeri dan menjual output-nya ke pasar lokal.
51
Dari hasil analisis tersebut FDI di Indonesia cenderung banyak pada kategori
networked FDI. Subsektor yang berjenis pure horizontal (membeli input dari domestik
dan menjual produk di pasar lokal) adalah subsektor (1) penerbitan, percetakan, dan
reproduksi media perekam (ISIC 22); (2) pengolahan batu arang, produk minyak bumi
olahan, dan bahan bakar nuklir (ISIC 23); (3) daur ulang (ISIC 37); dan (4) pengolahan
perlengkapan transportasi lainnya (ISIC 35).
Sementara itu, kategori resource extraction FDI terdiri atas subsektor (1)
pengolahan kayu dan produk kayu, gabus (di luar furnitur), serta pengolahan barang
jerami dan anyaman (ISIC 20); (2) pengolahan furnitur dan pengolahan produk lain
(ISIC 36). Sementara itu, kategori pure outward processing adalah pengolahan alatalat kesehatan, presisi, optik, jam tangan, dan jam (ISIC 33), serta pengolahan alatalat perkantoran dan stasioneri (ISIC 30). Subsektor lain, selain yang disebutkan,
termasuk pada kategori networked FDI yang sebagian input-nya diimpor dan
Local
Assembly
100
produknya sebagian diekspor serta sebagian dijual di dalam negeri.
16
Pure
Horizontal
23
35
22
80
34
37
24
17 19
26
60
local_sales
29
25
15
31
27
28
40
33
18
20
21
32
20
30
36
Pure
outward
processing
0
20
40
60
80
100
local_input
Resource
Extraction
Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, 2006; diolah
Gambar 3. Keterkaitan Antara Local Sales dan Local Input untuk Perusahaan
FDI (ISIC Digit 2)
Berdasarkan
kategorisasi
tersebut,
dapat
dilihat
pula
bagaimana
kecenderungan subsektor, apakah mengejar potensi pasar lokal atau ekspor.
Berdasarkan analisis pada Gambar 3, kecenderungannya adalah subsektor yang
mengejar pasar ekspor adalah subsektor yang Indonesia memiliki sumber daya dalam
52
hal tersebut (kecuali peralatan radio). Sementara itu, barang-barang konsumen
Indonesia memiliki subsektor FDI yang cenderung market seeking (Tabel 11).
Tabel 11. Subsektor Ekonomi dan Pangsa Penjualan Pasar Lokal dan Input
yang Diimpor
Market Seeking 
ISIC
Industri
15
Manufacture of
food products and
beverages
Local Local
Input Sales
84,1
57,6
ISIC
Industri
Local Local
Input Sales
27
Manufacture of
basic metals
50,2
53,4
33,7
46,9
16
Manufacture of
tobacco products
59,2
99,5
28
Manufacture of
fabricated metal
products, except
machinery and
equipment
17
Manufacture of
textiles
58,3
65,2
29
Manufacture of
machinery and
equipment n.e.c.
41,3
67,0
18
Manufacture of
wearing apparel;
dressing and
dyeing of fur
30
Manufacture of
office,
accounting and
computing
machinery
31,8
18,4
19
Tanning and
dressing of
leather;
manufacture of
luggage,
handbags,
saddlery, harness
and footwear
31
Manufacture of
electrical
machinery and
apparatus n.e.c.
43,9
53,2
44,2
61,0
41,9
66,4
Tabel 11. (lanjutan)
ISIC
20
Industri
Manufacture of
wood and of
products of wood
Local Local
Input Sales
93,0
21,0
ISIC
Industri
32
Manufacture of
radio, television
and
Local Local
Input Sales
61,4
34,5
53
and cork, except
furniture;
manufacture of
articles of straw
and plaiting
materials
communication
equipment and
apparatus
33
Manufacture of
medical,
precision and
optical
instruments,
watches and
clocks
1,9
44,0
44,3
86,0
21
Manufacture of
paper and paper
products
22
Publishing,
printing and
reproduction of
recorded media
95,8
89,4
34
Manufacture of
motor vehicles,
trailers and
semi-trailers
23
Manufacture of
coke, refined
petroleum
products and
nuclear fuel
91,5
98,2
35
Manufacture of
other transport
equipment
68,6
96,2
24
Manufacture of
chemicals and
chemical products
40,1
75,1
36
Manufacture of
furniture;
manufacturing
n.e.c.
65,2
12,8
25
Manufacture of
rubber and
plastics products
82,4
57,9
37
Recycling
100,0
77,6
26
Manufacture of
other non-metallic
mineral products
58,3
63,3
62,1
38,5
Jika dilihat lebih detail pada ISIC level digit 3, akan terlihat produk-produk
tertentu yang memiliki kategori FDI berdasarkan pangsa penjualan ekspor dan input
yang diimpornya (Gambar 4). Hasil tersebut mendukung simpulan pada analisis level
ISIC digit 2 bahwa barang-barang yang cenderung market seeking dan mengarah pada
horizontal FDI merupakan barang-barang konsumen (ISIC: 160, 155, 359, 154, 273,
232, 221, dan 37). Produk FDI yang cenderung besar pangsa ekspornya adalah
barang-barang yang di Indonesia memiliki sumber dayanya seperti furnitur serta
pengolahan dan penggergajian kayu. Selain itu, FDI di Indonesia juga banyak
mengekspor beberapa barang berteknologi tinggi seperti alat kontrol listrik, alat optik,
dan beberapa mesin.
54
Meskipun Indonesia bergantung pada ekspor komoditas, seperti karet dan
sawit, FDI Indonesia untuk barang tersebut termasuk dalam networked FDI karena
porsi ekspor tidak sebesar furnitur. Kecenderungan dalam hal jumlah adalah bahwa
networked FDI merupakan jumlah komoditi terbanyak berdasarkan ISIC digit 3.
Sementara itu, industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki, yang di Indonesia
memiliki keunggulan, cenderung mengejar potensi pasar lokal meskipun sebagian
Local
Assembly
100
dari hasil output-nya diekspor pula.
352231 342
152
273
160 155 359
232 221
172
Pure
Horizontal
80
341
243 242
293
154
311
60
Local Sales (%)
241
271
291
319
313
281
331
372
252
343
192
153
26
292
171 173
323
314
315
40
181
322
332
20
272
191
222
321
361
202
201
369
351
0
312
151
210
300
Pure
outward
processing
251
289
0
20
40
60
Local Input (%)
80
100
Resource
Extraction
Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, 2006; diolah
Gambar 4. Keterkaitan Antara Pemasaran Lokal (Local Sales) dan Masukan
Lokal (Local Input) untuk Perusahaan FDI (ISIC Digit 3)
Tabel 12 menunjukkan tingkatan FDI berdasarkan orientasinya, dalam hal ini
apakah semakin mengarah pada market seeking. Semakin tua warna pada Tabel 12,
kecenderungannya adalah bahwa FDI untuk produk tersebut banyak mengejar
potensi
pasar.
Namun,
jika
warna
pada
kolom
terang,
bahkan
putih,
kecenderungannya adalah bahwa FDI pada produk tersebut berorientasi ekspor
(export oriented). Misalnya produk-produk furnitur yang memiliki pangsa pasar lokal
hanya sebesar 18 persen.
55
Tabel 12. Subsektor Ekonomi dan Pangsa Penjualan Pasar Lokal dan Input
yang Diimpor
Market Seeking 
ISIC
Industri
Local
Sales
(%)
ISIC
Industri
Local
Sales
(%)
151
Production,
processing and
preservation of
meat, fish, fruit,
vegetables, oils and
fats
39,18
273
Casting of metals
99,90
152
Manufacture of dairy
products
99,93
281
Manufacture of structural
metal products, tanks,
reservoirs and steam
generators
50,16
153
Manufacture of grain
mill products,
starches and starch
products, and
prepared animal
feeds
64,86
289
Manufacture of other
fabricated metal
products; metal working
service activities
45,96
154
Manufacture of other
food products
81,68
291 Manufacture of general
purpose machinery
59,29
155
Manufacture of
beverages
97,82
292 Manufacture of special
purpose machinery
63,75
160
Manufacture of
tobacco products
99,54
293 Manufacture of domestic
appliances n.e.c
76,02
171
Spinning, weaving
and finishing of
textiles
61,29
300
Manufacture of office,
accounting and
computing machinery
18,43
172
Manufacture of other
textiles
93,26
311
Manufacture of electric
motors, generators and
transformers
65,28
Tabel 12. (lanjutan)
56
ISIC
Industri
Local
Sales
(%)
ISIC
Industri
Local
Sales
(%)
173
Manufacture of
knitted and
crocheted fabrics
and articles
59,70
312
Manufacture of electricity
distribution and control
apparatus
8,07
181
Manufacture of
wearing apparel,
except fur apparel
41,89
313
Manufacture of insulated
wire and cable
52,85
191
Tanning and
dressing of leather;
manufacture of
luggage, handbags,
saddlery and
harness
27,20
314
Manufacture of
accumulators, primary
cells and primary
batteries
52,93
192
Manufacture of
footwear
69,15
315
Manufacture of electric
lamps and lighting
equipment
71,46
201
Sawmilling and
planing of wood
15,52
319
Manufacture of other
electrical equipment
n.e.c.
58,05
202
Manufacture of
products of wood,
cork, straw and
plaiting materials
21,39
321
Manufacture of electronic
valves and tubes and
other electronic
components
25,25
210
Manufacture of
paper and paper
products
38,47
322
Manufacture of television
and radio transmitters
and apparatus for line
telephony and line
telegraphy
40,35
221
Publishing
100,00
323
Manufacture of television
and radio receivers,
sound or video recording
or reproducing
apparatus, and
associated goods
55,16
222
Printing and service
activities related to
printing
28,52
331
Manufacture of medical
appliances and
instruments and
appliances for
measuring, checking,
testing, navigating and
other purposes, except
optical instruments
48,82
Tabel 12. (lanjutan)
57
ISIC
Industri
Local
Sales
(%)
ISIC
Industri
Local
Sales
(%)
100,00
332
Manufacture of optical
instruments and
photographic equipment
32,63
89,14
231
Manufacture of coke
oven products
232
Manufacture of
refined petroleum
products
98,21
341
Manufacture of motor
vehicles
241
Manufacture of basic
chemicals
70,76
342
Manufacture of bodies
(coachwork) for motor
vehicles; manufacture of
trailers and semitrailers
242
Manufacture of other
chemical products
81,69
343
Manufacture of parts and
accessories for motor
vehicles and their
engines
77,22
243
Manufacture of man
made fibres
81,29
351
Building and repairing of
ships and boats
9,37
251
Manufacture of
rubber products
50,13
352
Manufacture of railway
and tramway
locomotives and rolling
stock
252
Manufacture of
plastics products
77,40
359
Manufacture of transport
equipment n.e.c.
97,86
Manufacture of non
metallic mineral
products
64,07
361
Manufacture of furniture
18,37
271
Manufacture of basic
iron and steel
63,11
369
Manufacturing n.e.c.
10,62
272
Manufacture of basic
precious and
nonferrous metals
30,65
26
37 Recycling
100,00
100,00
77,58
58
BOKS 1
Gambaran Umum FDI di Singapura
Menurut Global Investment Report 2014 yang disusun oleh UNCTAD
disebutkan bahwa Singapura merupakan negara kelima penerima terbesar FDI di
dunia serta negara ketiga terbesar di Asia Timur dan Asia Tenggara. Investor asing
yang datang ke Singapura terutama berasal dari US, Belanda, Inggris, dan Jepang.
Sektor utama yang diminati investor di Singapura adalah sektor jasa keuangan
dan asuransi, manufaktur, perdagangan besar dan eceran, profesional dan teknikal,
jasa administratif dan pendukung, transportasi dan pergudangan, serta sektor
properti. Meskipun berbagai sektor ekonomi dibuka pada investor asing, terdapat
beberapa sektor yang masih didominasi oleh negara tersebut, yaitu jasa keuangan,
jasa profesional, media, dan telekomunikasi.
Pemerintah Singapura memberikan preferensi untuk berinvestasi pada sektor
manufaktur dan jasa yang memiliki nilai tambah (value added) yang tinggi sebagai
bagian strategi untuk menggantikan aktivitas yang memiliki labor-intensive dan value
added yang rendah yang telah bergeser ke negara lain, khususnya ke Tiongkok.
Berdasarkan ease of doing business yang disusun World Bank, Singapura
merupakan negara yang paling mudah untuk melakukan bisnis. Faktor-faktor yang
menjadikan Singapura sebagai negara tujuan berinvestasi yang menarik adalah
kemudahan memberikan pinjaman kepada investor asing; sistem regulasi (regulatory
system) yang sederhana; sistem pajak yang menarik, yaitu pemberian insentif pajak
berupa keringanan pajak; kualitas industri properti yang sangat baik; politik yang
stabil; dan ketiadaan korupsi. Singapura merupakan satu dari negara yang paling
sejahtera (kaya) dan stabil di kawasan Asia.
Regulasi dan peraturan oleh pemerintah Singapura memberikan level-playing
field yang sama, baik bagi investor asing maupun bagi investor dalam negeri karena
tidak dibatasinya kepemilikan asing dan ketiadaan kontrol devisa (no foreign exchange
controls). Dalam salah satu studi dikemukakan bahwa sistem pajak dan iklim regulasi
(regulatory environment) yang favourable di Singapura telah membantu negara
tersebut menarik FDI melebihi negara lainnya di dunia dalam kurun waktu lima
tahun sejak krisis keuangan global. Selama kurun waktu tersebut, Singapura telah
berhasil menarik FDI ekuivalen 74% dari GDP-nya atau sebesar 203 miliar USD
secara keseluruhan. Kondisi yang kondusif tersebut telah mendorong perusahan59
perusahaan asing seperti Yahoo, Google, Apple, PayPal, and LinkedIn untuk
membangun kantor regional Asia di negara tersebut. Terdapat lebih dari 7.000
perusahaan multinasional (MNCs) dan sekitar 10.000 UKM asing yang telah
membangun basis di Singapura.
Di samping fasilitas keringanan pajak yang diberikan, Singapura juga memiliki
tenaga kerja yang sangat berpendidikan, infrastruktur yang sangat memadai, dan
ekosistem yang canggih yang umumnya diperlukan perusahaan multinasional pada
saat mereka memutuskan untuk membangun usahanya di luar negeri.
Dalam rangka melindungi investasi asing, Singapura melakukan langkahlangkah antara lain sebagai berikut.
1. Penandatanganan investment promotion and protection agreements dengan
sejumlah negara yang bertujuan melindungi perusahaan di kedua negara
terhadap
perang
dan
risiko
nonkomersial
berupa
expropriation
dan
nasionalisasi untuk 15 tahun atau lebih.
2. Singapura tidak memiliki hukum yang memaksa investor asing untuk
mengalihkan kepemilikan kepada pihak lokal sehingga tidak ada dispute yang
masih di-pending di UNCTAD.
3. Memperkenankan asing untuk membeli properti di Singapura. Dalam hal ini,
Singapura tidak memiliki hukum yang memaksa investor asing untuk
mengalihkan kepemilikan ke lokal serta tidak memiliki expropriated terhadap
properti.
Posisi Singapura dalam arus FDI global adalah sebagai hub (penghubung)
untuk investasi asing (Haigh, 2006; Kelkar, 2011). Sumber FDI dibedakan menjadi
ultimate source dan intermediate source. Ultimate source adalah negara asal
perusahaan multinasional tersebut berada, sedangkan intermediate source adalah
suatu negara tempat perusahaan multinasional membuka cabangnya di negara
tersebut sebelum berinvestasi ke negara lain.
BOKS 2
60
Gambaran Umum Keterkaitan UKM dengan FDI
A. Keterkaitan (Integrasi) UKM dengan FDI di Thailand9
UKM atau small medium enterprises (SME) di Thailand didefinisikan sebagai
perusahaan yang memiliki usaha kurang dari 200 pekerja dan modal tetap sebanyak
5,6 juta USD dan memberikan kontribusi dalam PDB sektor manufaktur sebesar ± 33
persen. Sektor UKM yang banyak ditemui di Thailand adalah makanan dan minuman,
furnitur, serta kimia dan produk kimia.
Sebelum tahun 2000 Thailand tidak memiliki aturan dasar mengenai UKM
yang memberikan arahan bagi pengembangan UKM jangka panjang. Kebijakan
mengenai UKM tercantum dalam rencana pembangunan nasional secara umum dan
dilakukan secara umum di berbagai kementerian dan biro. Karena kedua alasan
tersebut yang diperburuk dengan tidak adanya koordinasi antarlembaga yang
menangani masalah tersebut, pengembangan UKM di Thailand selama periode
sebelum 2000 tidak memberikan hasil yang optimal.
Krisis
keuangan
1997/1998
menyadarkan
pemerintah
Thailand
akan
pentingnya UKM sebagai agen penting dalam perekonomian. Oleh karena itu,
diperlukan
kebijakan
khusus
untuk
mempromosikannya.
Berangkat
dari
argumentasi tersebut, pada tahun 2000 pemerintah Thailand mengeluarkan SME
Promotion Act dan pada tahun yang sama dibentuk pula Kantor Promosi UKM (SME
Promotion Office) sebagai lembaga koordinasi antar-agen pemerintahan yang
bertujuan untuk mengembangkan UKM di Thailand. Tugas-tugas SME Promotion
Office antara lain adalah sebagai berikut:
1. memformulasikan master plan dan kebijakan untuk pengembangan UKM;
2. mempersiapkan rencana aksi untuk pengembangan UKM regional dan sektoral;
3. menyediakan pusat informasi UKM dan menjadi organisasi sentral yang
melakukan penelitian dan pengkajian mengenai UKM, termasuk early warning
system;
4. mengembangkan sistem informasi dan networks untuk mendukung kegiatan
operasi UKM; dan
9
Sumber: Punyasavatsut, C. (2008), ‘SMEs in the Thai Manufacturing Industry: Linking with
MNES’, in Lim, H. (ed.), SME in Asia and Globalization, ERIA Research Project Report 20075, pp.287-321. Available at: http://www.eria.org/SMEs%20in%20The%20Thai%20
Manufacturing%20Industry_Linking%20with%20MEs.pdf
61
5. mengadministrasikan venture capital fund untuk UKM (fasilitasi permodalan).
Selanjutnya di bawah rezim Thaksin (2001–2006) diterapkan dual track system
dalam
pembangunan
ekonomi
Thailand,
yaitu
mendorong
industri
menjadi
pengekspor, mendorong terciptanya permintaan, dan mendorong pengembangan
UKM. Di bawah rezim Thaksin diciptakan ukuran kemajuan UKM serta diberikan
dukungan finansial. Berbagai kebijakan UKM yang diperkenalkan Thaksin antara lain
adalah dana desa, bank rakyat, dan One-TAMBON-One-Product (OTOP). OTOP
merupakan proyek yang bertujuan untuk mendukung komunitas paling bawah (grass
root) untuk menggunakan pengetahuan lokalnya dalam mengembangkan produk
dengan bantuan teknis dari pemerintah.
First SME Promotion Plan (2002–2006) bertujuan untuk mengembangkan
wirausahawan dan mendorong UKM untuk mencapai standar internasional. Untuk
mencapai tujuan tersebut, beberapa kebijakan ditempuh seperti (i) managerial and
technological upgrading; (ii) pengembangan SDM; (iii) ekspansi pasar; (iv) penguatan
kapabilitas keuangan; (v) perbaikan iklim usaha; (vi) pemajuan bisnis skala kecil dan
komunitas bisnis grass root; dan (vii) pembangunan jejaring perusahaan. Fokus
kebijakan diarahkan pada tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1. Promosi investasi UKM, yaitu dengan membentuk board investment promotion
(BOI).
2. Financial assistance, yaitu dengan mendirikan SME Development Bank of Thailand
dan mengarahkan Krung Thai Bank dan Siam City Bank untuk menyediakan
pendanaan bagi UKM, serta mendirikan venture capital fund untuk UKM.
3. Technical
and
management
consultancy,
yaitu
dengan
menyusun
new
entrepreneurs creation program (NEC) di bawah Kementerian Perindustrian untuk
menyediakan konsultasi teknis dan manajerial ketika UKM mengalami masalah.
Second SME Promotion Plan (2007–2011). Rencana promosi ini adalah untuk
melanjutkan pembangunan UKM agar dapat kuat dan berkelanjutan dalam hal (i)
pengetahuan dan keterampilan perbaikan kualitas produk; (ii) pembangunan
incubator bisnis di daerah; (iii) trade fair; (iv) pembangunan exhibition centers untuk
promosi UKM ke seluruh wilayah; (v) perbaikan jalur distribusi dan logistik; dan (vi)
pembentukan klaster dan jaringan industri. Tiga hal yang mendorong kemajuan
UKM-MNE (multinational enterprises) di Thailand ialah sebagai berikut.
62
1. Globalisasi dan perubahan teknologi (ICT) telah mendorong MNE untuk
beroperasi dengan cara subkontrak. Hal itu memberi peluang bagi UKM di
Thailand untuk ambil bagian dalam bekerja sama dengan MNE.
2. Kebijakan yang diterbitkan tahun 1978 perihal kewajiban menggunakan konten
lokal (local content) dipandang sebagai cikal bakal tumbuhnya industri
komponen di Thailand. Kebijakan itu telah mendorong MNE untuk bekerja sama
dengan UKM dalam bentuk kerja sama subkontrak pemasok. Hal tersebut
memberi peluang perusahaan lokal untuk tumbuh dan membangun industri
pendukung MNE. Selanjutnya, setelah munculnya UKM yang memproduksi
parts dan komponen, banyak perusahaan otomotif mulai tertarik untuk
membangun perusahaannya di Jepang dengan memanfaatkan UKM pemasok di
Thailand tersebut pada era 1990.
Kebijakan konten lokal (local content) yang dihapuskan pada awal tahun 2000,
sebagaimana
perusahaan
rencana
otomotif
awal,
semakin
Thailand
ke
mendorong
luar
negeri.
lebih
jauh
Kebijakan
ekspansi
kewajiban
menggunakan konten lokal (local content) ditambah dengan sistem dan jaringan
procurement dalam sektor otomotif yang dibangun menjadikan UKM dan MNE di
Thailand terintegrasi. Ciri khusus dari UKM pemasok otomotif di Thailand
adalah pelayanan yang tidak hanya pada satu konsumen saja, tetapi banyak
MNE sehingga tercapai skala ekonomis dan menghasilkan efek spillover.
3. Tumbuhnya jaringan industri yang diinisiasi, baik oleh pemerintah maupun oleh
MNE telah mendorong terciptanya berbagai pengetahuan (knowledge sharing)
antara UKM dan MNE dan antarUKM itu sendiri. Salah satu contoh adalah yang
diinisiasi Toyota, yaitu Toyota Corporation Club (TCC) yang merupakan forum
pemasok Toyota. Forum tersebut melakukan berbagai kegiatan, termasuk
berbagi pengalaman dan pengetahuan teknis serta manajerial. Untuk tujuan itu,
Toyota kemudian membangun Toyota Production System (TPS) untuk menangani
sistem produksi yang melibatkan banyak pemasok.
Kebijakan pengintegrasian UKM-MNE di Thailand dilakukan dengan cara
mendirikan
Bureau
of
Supporting
Industries
Development
(BSID)
di
bawah
Kementerian Perindustrian yang bertujuan mendorong perusahaan Jepang untuk
membantu berkembangnya industri pendukung di Thailand. Industri pendukung
tersebut mencakup berbagai jenis, mulai dari produksi barang dan penyediaan jasa.
Para pelaku industri pendukung tersebut banyak yang merupakan pengusaha kecil,
tetapi berinteraksi dengan perusahaan besar seperti Toyota. Kebijakan yang
63
dilakukan pemerintah di bawah BSID adalah (i) menyediakan bantuan teknis dan
pelatihan untuk industri pendukung; (ii) merancang dan mengembangkan produk
prototype; dan (iii) mengembangkan sistem subkontrak, misalnya mengorganisasi
buyer’s village.
BUILD (BOI Unit for 314 Industrial Linkage Development) adalah pelayanan
berorientasi pasar di bawah naungan BOI (Board of Investment of Thailand) sejak
tahun 1992. Program itu dirancang untuk mendorong perusahaan besar agar
mengambil/membeli bahan dari pemasok lokal dan sekaligus membantu pemasok
lokal untuk memperbaiki kualitas barang, melakukan efisiensi produk, serta
meningkatkan produktivitas. Kebijakan yang dikeluarkan oleh BUILD tidak tertuju
pada insentif pajak, tetapi lebih pada insentif jasa pelayanan. BUILD juga membentuk
Vendors Meet Customers Program (VMC) dalam rangka membantu UKM melaksanakan
subkontrak dengan perusahaan asing.
B. Keterkaitan (Integrasi) UKM dengan FDI di Malaysia
Latar belakang kebijakan pengembangan industri kecil menengah (IKM) di
Malaysia adalah perkembangan manufaktur di Malaysia, terutama yang didorong oleh
FDI dari Jepang dengan memanfaatkan zona bebas. Perusahaan Jepang menjadikan
Malaysia sebagai export platform. Namun, perusahaan Jepang tersebut tidak
menggunakan perusahaan lokal untuk industri pendukungnya. Perusahaan Jepang
cenderung menggunakan perusahaan Jepang di Malaysia yang terafiliasi atau
perusahaan yang berada di Jepang. Hal itu menjadikan lemahnya integrasi antara
FDI dan perusahaan lokal. Manfaat yang didapat Malaysia hanyalah dari penciptaan
lapangan kerja.
Seiring dengan mulai aktifnya negara ASEAN menarik FDI, Malaysia menjadi
tersaingi sebagai negara tujuan FDI. Hal itu menyadarkan Malaysia untuk
menciptakan keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dengan negara ASEAN
lainnya, yaitu dengan mengembangkan IKM yang berperan sebagai supporting
industry dalam industrialisasi.
Hadirnya perusahaan Jepang di Malaysia menciptakan pasar bagi IKM untuk
memasok kebutuhan pendukung perusahaan Jepang tersebut. Pada awalnya, barang
pendukung di-supply oleh perusahaan Jepang yang terafiliasi di Malaysia atau
dikirim dari Jepang. Namun, seiring berjalannya waktu perusahaan Jepang tersebut
ingin meningkatkan pasokan barang pendukung dari dalam negeri (Malaysia),
64
terutama dari pengusaha lokal. Hal itu dilakukan untuk mengurangi biaya impor
barang dan mengurangi waktu pengiriman. Namun, perusahaan lokal Malaysia tidak
mampu memenuhi ekspektasi perusahaan Jepang, terutama dalam hal kualitas. Hal
itu menjadikan perusahaan Jepang mengundang perusahaan-perusahaan produk
pendukung di Jepang untuk membuka anak perusahaan di Malaysia agar dapat
memenuhi ekspektasi perusahaan. Setelah tahun 1980 banyak IKM dari Jepang yang
membuka anak perusahaan di Malaysia dalam rangka memasok kebutuhan
perusahaan ekspor Jepang di Malaysia.
Pemerintah Malaysia berharap kehadiran IKM dari Jepang akan terjadi transfer
teknologi ke IKM lokal sehingga Pemerintah Malaysia sangat aktif untuk menarik IKM
dari luar negeri.
Pada dasarnya perusahaan Jepang tidak terlalu concern dengan perolehan
pasokan barang, apakah dari IKM Jepang atau IKM lokal. Namun, banyak IKM lokal
tidak mampu memenuhi kriteria yang diinginkan. Meskipun IKM lokal memiliki
keunggulan dalam hal harga yang rendah, kualitas produk mereka pun juga rendah.
Alhasil, IKM lokal hanya memasok barang-barang bernilai tambah rendah, seperti
bahan plastik atau kemasan. Pengusaha Jepang mengeluhkan bahwa IKM lokal tidak
dapat memenuhi ekspektasi dalam hal kualitas, waktu pengiriman (delivery time), dan
attitudes management. IKM lokal tersebut kebanyakan tidak lolos tes untuk menjadi
subkontraktor perusahaan Jepang.
Terdapat dualisme dalam status perkembangan IKM di Malaysia. IKM yang
dimiliki oleh perusahaan Jepang menjadi subkontraktor untuk pekerjaan yang
membutuhkan keahlian teknologi tinggi, sedangkan IKM lokal hanya mengerjakan
pekerjaan yang sederhana saja. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan (gap)
kemampuan teknologi dan manajerial antara IKM lokal dan IKM dari Jepang.
Pemerintah menyadari bahwa tumbuhnya sektor manufaktur di Malaysia yang
ditopang oleh perusahaan Jepang memunculkan potensi pasar bagi industri
pendukung, khususnya IKM. Di sisi lain, IKM lokal tidak mampu mengoptimalkan
potensi tersebut karena terhalang masalah kapabilitas sehingga disusun kebijakan
untuk mendorong IKM lokal agar menjadi industri pendukung melalui vendor
development programs (VDP) yang dikeluarkan tahun 1988. Program itu bertujuan
menghubungkan perusahaan besar yang ditunjuk oleh pemerintah untuk membina
IKM secara manajerial dan teknis. Perusahaan anchor yang ditunjuk pemerintah
tersebut diharuskan untuk menerima barang dari IKM yang dibina. Contoh
65
perusahaan anchor adalah Proton (perusahaan anchor pertama), Sapura Holding,
Sony, General Lumber Furniture, Perbadanan Group, JVC Group, dan Matsuhita.
IKM tersebut akan memperoleh bantuan finansial dari pemerintah. Dalam hal
ini, IKM akan memperoleh pinjaman bebas bunga selama lima tahun di bawah
pengawasan Kementerian Industri dan Perdagangan (MITI). Bantuan keuangan
diberikan dalam bentuk soft loan, bukan hibah. Pemerintah, dalam hal ini, berperan
sebagai perantara antara bank dan perusahaan anchor.
Evaluasi terhadap kebijakan VDP di kalangan IKM menunjukkan pihaknya
sangat senang bekerja sama dengan perusahaan anchor. Dengan bekerja sama
subkontrak, bisnis IKM secara keseluruhan menjadi lebih stabil. Mereka juga mampu
meningkatkan kemampuan manajerial dan teknis dari bekerja sama dengan
perusahaan besar. Sementara itu, evaluasi dari sisi perusahaan anchor justru
sebaliknya. Mereka merasa bahwa bisnis IKM terlalu bergantung pada perusahaan
anchor, baik dari sisi dukungan keahlian manajerial, teknis, hingga penjualan.
Perusahaan anchor merasa bahwa belum terjadi peningkatan kemampuan pada IKM
sehingga MNC Jepang akhirnya kembali untuk bekerja sama dengan IKM dari Jepang
seperti sebelumnya. MNC Jepang juga ingin meningkatkan jumlah aktivitas dengan
IKM lokal yang sudah ada sebagai subkontraktor, tetapi pemerintah Malaysia
menghendaki MNC Jepang meningkatkan kerja sama dengan lebih banyak IKM lokal.
Dalam konteks ini, VDP dapat dinilai kurang berhasil mencapai tujuan yang
dikehendaki.
Selanjutnya muncul kebijakan baru di bawah kerangka Industrial Linkage
Program (ILP). Tujuannya adalah agar industri pendukung di Malaysia dapat lebih
efisien dan berdaya saing internasional. Pada dasarnya ILP merupakan perbaikan dari
VDP. Program itu berada di bawah naungan SMIDEC (Small and Medium Industries
Developing Cooperation). Peran SMIDEC dalam ILP adalah sebagai manajer proyek dan
koordinator, sedangkan pemasok teknologinya dapat dilakukan oleh MNC yang
bersangkutan atau lembaga riset independen. Perbedaannya dengan VDP adalah
bahwa selain IKM yang dioperasikan Bumiputera, IKM yang dimiliki oleh nonBumiputera juga dapat berpartisipasi sebagai subkontraktor level kedua. Selain itu,
terdapat berbagai insentif bagi perusahaan anchor.
66
IV. HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS
5.1 Hasil Estimasi dan Analisis
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pangsa FDI intra-ASEAN ke
Indonesia terhadap total ASEAN cukup besar (55,2 persen), tetapi berdasarkan ease
of doing business yang disusun oleh World Bank, peringkat iklim usaha di Indonesia
lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN-5, bahkan di bawah Vietnam.
Dengan latar belakang tersebut, dipandang penting untuk mengetahui determinan
inward FDI intra-ASEAN Indonesia sehingga diketahui faktor-faktor apa saja yang
dapat menarik investasi langsung asing sehingga diharapkan akan membantu dalam
merumuskan kebijakan terkait FDI di Indonesia. Analisis lebih lanjut dilakukan
dengan menggunakan pendekatan ekonometrika sebagaimana dibahas di bawah ini.
Untuk keperluan analisis tersebut, sistematika penulisan dibagi menjadi (i)
hasil estimasi inward, (ii) hasil analisis inward, (iii) hasil estimasi dan analisis
outward, dan (iv) changing landscape.
Berdasarkan pengujian empiris model panel dinamis dengan menggunakan
metode GMM, diperoleh hasil sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 13. Hasil uji
spesifikasi validitas instrument menunjukkan bahwa model yang digunakan valid.
Demikian pula, autokorelasi pada orde kedua dan hasil over-indentifying sargan test
menunjukkan bahwa model valid. Pengujian autokorelasi dengan metode ArellanoBond yang hipotesis null-nya adalah tidak terdapat autokorelasi menunjukkan bahwa
hipotesis null tidak ditolak. Artinya, tidak terdapat autokorelasi pada orde kedua
sehingga dapat dilanjutkan pada interpretasi koefisien.
5.1.1 Hasil Estimasi Inward FDI
Hasil estimasi model pada persamaan 11 ditampilkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Estimasi Model Panel Dinamis Inward FDI Indonesia dari
ASEAN-5 (Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina) (GMM System)
67
Variabel
Expected Sign
FDI Tahun Sebelumnya (t-1)
+
Koefisien
0,8954***
(532,19)
GDP Indonesia
+
0,2870***
(12,96)
GDP Negara Asal
+
0,1635***
(20,03)
Jarak (Indonesia-Source)
-
-0,0174***
(-13,61)
Produktivitas Relatif
+
0,0750***
(6,82)
Sumber Daya Alam
+
0,0397***
(13,11)
Infrastruktur Listrik
+
-0,1733
(-14,93)
Infrastruktur Jalan
+
0,0005*
(1,91)
Perdagangan Bilateral
+
0,0524***
(20,20)
Volume Ekspor Indonesia
+
0,0418***
(9,64)
Konstanta
+
-6,5898
(-14,60)
Sargan Test
44,497
Prob, (Sargan Test)
0,251
Autocorrelation (1)
-2,137
Prob, (Auto 1)
Autocorrelation (2)
Prob, (Auto 2)
0,033
-1,478
0,140
Keterangan: nilai dalam kurung merupakan nilai z-statistik. *** signifikan
pada level 1 persen, ** signifikan pada level 5 persen, * signifikan pada
level 10 persen; semua variabel dalam bentuk logaritma natural (ln),
kecuali Sumber daya alam dan jalan.
Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap inward FDI ke Indonesia pada
level 1 persen adalah FDI Indonesia tahun sebelumnya (0,8954), PDB Indonesia (host
country) (0,2879), PDB negara asal (home country) (0,1635), produktivitas relatif
68
(0,0750), perdagangan bilateral (0,0524), volume perdagangan (0.0418), sumber daya
alam (0,0397), dan jarak (-0,0174). Sementar itu, infrastruktur jalan berpengaruh
pada level 10 persen (0,0005). PDB Indonesia, produktivitas relatif, volume
perdagangan, dan infrastruktur jalan merupakan pull factor terjadinya FDI di
Indonesia. Sementara itu, PDB negara asal dan sumber daya alam merupakan push
factor. Infrastruktur listrik merupakan satu-satunya variabel dalam persamaan yang
tidak signifikan mempengaruhi inward FDI Indonesia.
Pengaruh PDB Indonesia terhadap inward FDI Indonesia adalah sebesar 0,29.
Hal itu berarti setiap pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 1 persen akan
meningkatkan inward FDI ke Indonesia dari ASEAN sebesar 0,29 persen. Sementara
itu, pengaruh PDB negara asal terhadap inward FDI Indonesia adalah sebesar 0,16.
Hal tersebut berarti setiap pertumbuhan 1 persen PDB di negara asal investor akan
mendorong peningkatan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,16 persen, sedangkan
koefisien jarak antara negara asal FDI dan Indonesia bertanda negatif dan signifikan
Hal itu.yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak suatu negara dengan Indonesia
semakin rendah minat negara tersebut untuk melakukan investasi di Indonesia jika
dibandingkan dengan negara yang lebih dekat.
Nilai koefisien variabel produktivitas relatif adalah positif dan signifikan. Hal
itu brarti bahwa setiap peningkatan rasio produktivitas Indonesia terhadap negara
asal investor sebesar 1 persen akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar
0,075 persen. Demikian pula dengan koefisien sumber daya alam bertanda positif dan
signifikan. Hal itu berarti setiap peningkatan 1 persen produksi sumber daya alam di
negara tersebut akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,04 persen.
Nilai koefisien infrastruktur listrik terhadap inward FDI ke Indonesia berbeda
dengan expected sign-nya. Dengan demikian, infrastruktur listrik tidak berpengaruh
terhadap inward FDI ke Indonesia. Sementara itu, nilai koefisien infrastruktur jalan
adalah positif dan signifikan terhadap inward FDI, tetapi dengan tingkat kepercayaan
yang lebih rendah dan dengan nilai koefisien yang cukup rendah. Setiap peningkatan
jalan yang dibangun sebesar 1 persen hanya akan meningkatkan inward FDI ke
Indonesia sebesar 0,0005 persen.
Variabel perdagangan bilateral memiliki tanda positif dan signifikan. Hal itu
menunjukkan bahwa setiap peningkatan intensitas perdagangan bilateral antara
negara asal FDI (source country) dan Indonesia sebesar 1 persen akan meningkatkan
inward FDI ke Indonesia sebesar 0,05 persen. Sementara itu, peningkatan volume
69
ekspor Indonesia ke partner dagang Indonesia akan meningkatkan inward FDI ke
Indonesia sebesar 0,042 persen.
Selisih antara koefisien variabel potensi pasar (PDB Indonesia) dan variabel
basis ekspor (volume ekspor) adalah sebesar 0,24 (t-stat 23,0704). Perbedaan tersebut
signifikan pada level 5 persen. Hal itu menunjukkan bahwa pengaruh variabel potensi
pasar secara statistik lebih besar jika dibandingkan dengan variabel basis ekspor.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa inward FDI dari ASEAN-5 berorientasi
pasar di Indonesia.
5.1.2 Hasil Analisis Determinan Inward FDI Indonesia
Sebagaimana disinggung pada subbab sebelumnya bahwa hasil estimasi
menunjukkan variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap arus FDI dari
negara ASEAN-5 ke Indonesia adalah FDI tahun sebelumnya, PDB Indonesia, PDB
negara asal, produktivitas relatif, perdagangan bilateral, volume perdagangan,
sumber daya alam (resource), jarak, dan infrastruktur jalan. Sementara itu,
infrastruktur listrik tidak berpengaruh terhadap inward FDI.
PDB Indonesia (host country) berpengaruh paling besar terhadap arus FDI dari
negara ASEAN-5. Hal itu mengindikasikan bahwa FDI yang berasal dari negara
ASEAN-5 umumnya berjenis horizontal platform dan memiliki motif market seeking.
FDI tersebut cenderung mengejar potensi pasar domestik Indonesia yang besar jika
dibandingkan dengan menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor (export base). Hasil
penelitian itu sejalan dengan penelitian Thangavelu dan Narjoko (2014) dan Hoang
(2012) untuk FDI di ASEAN. Perkembangan positif ekonomi Indonesia pascakrisis
keuangan Asia 1997/1998 ditengarai telah mendorong investor asing cenderung
menjadikan Indonesia sebagai market-based daripada export-base untuk FDI-nya.
Selama tahun 2004–2014, perekonomian Indonesia tumbuh pesat dengan rata-rata
5,6 persen dan ditunjang oleh populasi yang produktif lebih dari 65 persen (World
Development Indicators, 2015). Di samping itu, tumbuhnya populasi middle income
class dari 37,7 persen pada tahun 2003 menjadi 56,5 persen pada tahun 2010 turut
serta mendorong Indonesia sebagai pasar yang potensial, terutama untuk produk
keuangan, asuransi, dan properti sebagai salah satu bidang usaha yang diminati
investor ASEAN-5, bahkan diproyeksikan pada tahun 2020, lebih dari 60 juta orang
akan masuk dalam middle income class, yaitu ketika mereka akan menerima
pendapatan sekitar Rp2.000.000,00 s.d. Rp3.000.000,00 di atas pendapatan yang
70
diterima tahun 2012, yaitu kurang dari 1,5 juta rupiah (Grafik 21). Kondisi itu perlu
diwaspadai karena akan semakin menjadikan Indonesia sebagai basis pasar lokal.
>7,5 Juta
5-7,5 Juta
3-5 Juta
2-3 Juta
2012
1-2 Juta
2020
1-1,5 Juta
<1 Juta
0
20
40
60
80
Juta orang
Sumber: Adaptasi dari www.bcgperspectives.com
Grafik 21. Proyeksi Pertumbuhan Kelas Menengah pada Tahun 2012–2020
PDB negara asal (home country) berpengaruh terhadap inward FDI intraASEAN Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara asal
(home country) menjadi pendorong bagi masuknya arus FDI ke Indonesia. Dalam
ASEAN Investment Report 2012 disebutkan bahwa motivasi yang mendorong
perusahaan-perusahaan ASEAN termasuk Indonesia berinvestasi di intra-ASEAN
adalah keterbatasan pasar domestik untuk berekspansi. Perusahaan domestik di
setiap negara ASEAN berkembang menjadi kampiun di negaranya sehingga secara
alamiah perusahaan tersebut akan berekspansi ke luar negeri untuk meraih
keunggulan kompetitif (ASEAN, 2012). Dengan demikian, banyak perusahaan di
ASEAN menjadi pemain regional ASEAN karena keunggulan kompetitif yang mereka
miliki. Hal itu dimungkinkan terjadi ketika mereka telah memperoleh keunggulan
kompetitif di negara asalnya. Keunggulan kompetitif yang mereka miliki tersebut pada
dasarnya tidak terlepas dari perkembangan perekonomian di negara asal FDI
tersebut.
Produktivitas berpengaruh terhadap masuknya FDI dari intra-ASEAN ke
Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa semakin tinggi produktivitas tenaga kerja
Indonesia relatif dibandingkan dengan produktivitas negara asal akan meningkatkan
minat investor untuk menempatkan modalnya di Indonesia. Produktivitas yang tinggi
akan meningkatkan keuntungan bagi investor asing karena dengan biaya dan jumlah
71
input yang sama, perusahaan asing tersebut akan memproduksi lebih banyak.
Penelitian ini sejalan dengan temuan Artige dan Nicolini (2006) di Eropa bahwa
produktivitas merupakan determinan inward FDI.
Sumber : ESCAP, 2015
Grafik 22. Perkembangan Produktivitas Beberapa Negara Asia
Perbandingan relatif produktivitas di negara Asia ditunjukkan pada Grafik 22.
Berdasarkan data, Singapura memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, bahkan lebih tinggi daripada
Tiongkok (Grafik 22). Namun, meskipun Tiongkok memiliki tingkat produktivitas
tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, tren tingkat
produktivitas tenaga kerja di Tiongkok mengalami peningkatan yang cukup pesat,
tercatat meningkat dari USD3,210.87 pada tahun 1991 menjadi USD5,561.08 pada
tahun 2000 dan secara signifikan meningkat menjadi USD19,654.10 pada tahun
2014.
Apabila diamati lebih jauh, tingkat produktivitas tertinggi di kawasan ASEAN
adalah Singapura diikuti dengan Malaysia dan Thailand. Sementara itu, tingkat
produktivitas Indonesia hampir sama dengan Filipina dengan pergerakan yang
kurang lebih sama. Meskipun hampir sama dengan Filipina, tingkat produktivitas
tenaga kerja Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat
produktivitas tenaga kerja India. Rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia
menuntut perhatian akan perlunya kebijakan untuk meningkatkan produktivitas
tenaga kerja Indonesia agar dapat bersaing dengan negara lainnya.
Menurut hasil estimasi model inward FDI, keberadaan FDI di Indonesia
kemungkinan dimulai dari perdagangan (ekspor dan impor) antarkedua negara secara
terus-menerus (perdagangan bilateral) baru selanjutnya investor asing melakukan
72
investasi di Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh variabel perdagangan bilateral yang
signifikan dan berpengaruh positif yang mengindikasikan bahwa FDI yang masuk ke
Indonesia pada dasarnya bersifat horizontal platform, dalam arti investor asing yang
semula melakukan ekspor-impor bergeser operasinya dengan membuka fasilitas
produksi di Indonesia. Hal yang melatarbelakangi pergeseran tersebut kemungkinan
disebabkan untuk mengurangi biaya perdagangan antarnegara (trade cost) dan/atau
meningkatkan efisiensi.
Volume perdagangan merupakan salah satu determinan inward FDI ke
Indonesia dari ASEAN-5. Volume perdagangan yang berkembang menunjukkan
kapasitas negara tersebut untuk mengekspor barang ke pasar dunia. Hal itu menjadi
determinan FDI yang ingin menjadikan negara tersebut basis ekspor karena
mengharapkan akan ikut berpartisipasi dalam perdagangan internasional pula.
Variabel sumber daya alam (pangsa sektor primer terhadap PDB) berpengaruh
positif dan signifikan terhadap arus FDI dari ASEAN-5. Hal itu menunjukkan minat
investor ASEAN-5 untuk berinvestasi di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sumber
daya alam Indonesia (pull factor). Hasil sumber daya alam itu selanjutnya akan
diekspor dan diproses lebih lanjut. Sebagai contoh, dalam ASEAN Investment Report
2014 (ASEAN, 2014) disebutkan bahwa dalam supply chain produk perawatan rambut
di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki peran sebagai pemasok bahan baku mentah
dan bahan packaging yang selanjutnya diekspor ke Malaysia untuk diolah menjadi
oleo-chemicals yang kemudian diekspor ke Thailand untuk dijadikan barang
konsumsi akhir (Gambar 5). Hal yang menarik adalah investor asing yang memasok
bahan baku dari Indonesia dalam regional value chain produk tersebut merupakan
salah satu perusahaan yang berasal dari ASEAN-5, yaitu Singapura.
73
Sumber: ASEAN Secretariat
Gambar 5. Global Supply Chain ASEAN untuk Produk Perawatan Rambut
Variabel jarak negara asal FDI dengan Indonesia juga berpengaruh terhadap
masuknya FDI ke Indonesia. Hal itu sesuai dengan prediksi model gravitasi yang
menyebutkan bahwa arus perdagangan dan investasi antara dua daerah akan
dipengaruhi oleh jarak. Akan tetapi, pada kasus inward FDI Indonesia nilai
koefisiennya cukup kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruhnya tidak
terlalu besar dalam keputusan berinvestasi di suatu negara. Hal itu dilatarbelakangi
oleh semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi yang menyebabkan jarak
yang merepresentasikan biaya untuk mengontrol investasi semakin kecil.
Kondisi infrastruktur jalan di Indonesia berpengaruh, tetapi dengan koefisien
yang cukup kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rehman et al. (2011)
yang menyatakan bahwa infrastruktur memberikan dampak positif dalam menarik
investasi langsung-asing dalam jangka pendek dan panjang di Pakistan. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Thorbecke dan Salike (2013) juga mengemukakan bahwa
kualitas infrastruktur suatu negara memainkan peran penting dalam kemampuan
negara tersebut menarik FDI.
Hasil kajian Susanto (2012) mengemukakan bahwa infrastruktur jalan tahun
sebelumnya berpengaruh positif terhadap PMA langsung. Temuan itu mendukung
hipotesis bahwa ketersediaan infrastruktur jalan di negara-negara ASEAN merupakan
faktor penentu bagi masuknya PMA langsung ke wilayah tersebut. Sementara itu,
Fitriandi, Kakinaka, dan Kotani (2014) mengemukakan bahwa pengembangan
infrastruktur akan meningkatkan investasi asing langsung. Alat ukur yang digunakan
74
dalam penelitian ini meliputi distribusi listrik per area, panjang jalan per area,
distribusi air per penduduk, dan kapasitas air per penduduk. Namun, dikemukakan
bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha untuk membangun infrastruktur, tetapi
masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN-5 lain. Infrastruktur
berupa listrik, jalan, dan rel kereta tampaknya masih belum memadai.
Global Competitiveness Index 2014–2015 yang disusun oleh World Bank
mengonfirmasikan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia belum memadai sehingga
Indonesia berada pada posisi/peringkat 56 dari 143 negara (Tabel 14). Posisi
Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Dalam indepth interview dengan akademisi dan praktisi dikemukakan bahwa
pada dasarnya infrastruktur bukan merupakan faktor yang mendorong investor asing
untuk melakukan investasi langsung ke Indonesia. Dalam hal infrastruktur belum
tersedia, investor asing bersedia untuk membangun prasarana dan sarana untuk
kebutuhan pembangunan proyek (investasi langsung asing).
Tabel 14. Global Competitiveness Index 2014–2015
Infrastruktur
No.
Negara/Ekonomi
2014
2015
Peringkat
Nilai
Peringkat
Nilai
2
6,41
2
6,54
1
Singapura
2
Malaysia
29
5,19
25
5,46
3
China
48
4,51
46
4,66
4
Thailand
47
4,53
48
4,58
5
Brunei Darussalam
58
4,29
N/A
N/A
6
Indonesia
61
4,17
56
4,37
7
Vietnam
82
3,69
81
3,74
8
India
85
3,65
87
3,58
9
Filipina
96
3,4
91
3,49
10
Laos
84
3,66
94
3,38
11
Cambodia
101
3,26
107
3,05
12
Myanmar
141
2,01
137
2,05
Sumber: Global Competitiveness Index 2014--2015, World Bank
75
5.2 Hasil Analisis Outward FDI Indonesia
Selain memberikan dampak pada negara tujuan (host country), FDI juga
memiliki pengaruh pada negara asal (home country). Dari sisi negara asal, arus keluar
investasi asing (FDI) tersebut dikategorikan sebagai outward FDI. Seperti halnya
manfaat yang diterima oleh suatu negara yang menerima inward FDI, FDI yang
beroperasi di luar negeri juga akan memperoleh keuntungan dari kegiatan
investasinya.
Perusahaan yang berinvestasi di luar negeri (outward FDI) akan menciptakan
spillover productivity di negara asal (home country). Perusahaan FDI akan
mendapatkan keterampilan (skill) yang lebih superior dari pengalaman beroperasi di
luar negeri dan akan mentransfer keterampilan (skill) tersebut ke usaha dalam negeri
melalui mobilitas tenaga kerja (Tang and Altshuler, 2015). Hal itu disebabkan
perusahaan FDI tersebut menginvestasikan modalnya ke luar negeri untuk
memperoleh akses teknologi dan kemampuan manajerial yang lebih baik, selain
untuk memperoleh potongan pajak, potensi pasar yang besar, dan tenaga kerja yang
lebih berkualitas dan ekonomis. Perusahaan di negara asal (home country) juga akan
belajar melalui observasi dan imitasi dari pengalaman outward FDI tersebut.
Manfaat outward FDI terhadap perekonomian negara asal (home country) dapat
dibagi menjadi dua, yaitu manfaat bagi perusahaan itu sendiri dan manfaat terhadap
perusahaan lain di negara asal (home country) dan perekonomian negara asal secara
umum (Vahter and Masso, 2006). Perusahaan FDI menjadi lebih kompetitif dengan
belajar dari tekanan kompetisi internasional, seperti halnya pada learning-byexporting. Suatu anak perusahaan yang menempatkan operasi perusahaannya di
suatu negara lain yang knowledge-intensive akan memberikan manfaat pada
perusahaan induknya dari sisi adopsi teknologi. Outward FDI juga akan memperbaiki
produktivitas dengan memfasilitasi peningkatan spesialisasi dan alokasi sumber daya
yang lebih baik. Di samping itu, perusahaan juga dapat mengimpor bahan baku yang
lebih murah dari perusahan afiliasinya di negara tempat FDI didirikan (Hsu et al.,
2011).
Uraian di atas mengimplikasikan bahwa perusahaan yang paling produktif
akan berekspansi ke luar negeri melalui outward FDI. Sementara itu, perusahaan
yang agak kurang produktif akan berekspansi ke luar melalui perdagangan
internasional (ekspor), sedangkan perusahaan yang tidak kompetitif hanya akan
beroperasi dan menjual barang di dalam negeri saja. Oleh karena itu, analisis
76
mengenai bagaimana perilaku outward FDI penting untuk dilakukan, terutama untuk
Indonesia yang akan menghadapi persaingan dalam KEA 2015.
Tabel 15. Hasil Estimasi Model Panel Dinamis Outward FDI Indonesia (Sistem
GMM)
Variabel
FDI tahun sebelumnya (t-1)
Expected Sign
+
Koefisien
0,155
(1,300)
GDP negara tujuan
+
0,991***
(2,630)
GDP Indonesia
+
-1,697
(-2,190)
Jarak (Host–Indonesia)
-
0,077
(1,100)
Produktivitas relatif
+
-0,503
(-5,000)
Sumber daya alam
+
-0,010
(-0,440)
Infrastruktur listrik
+
-0,191
(-0,550)
Perdagangan bilateral
+
0,342*
(1,740)
Dummy Singapura
+/-
3,385***
(4,000)
Konstanta
+
14,565
(1,340)
Sargan Test
40,435
Prob. (Sargan Test)
(0,407)
Autocorrelation (1)
-1,376
Prob. (Auto 1)
Autocorrelation (2)
Prob. (Auto 2)
0,169
-0,785
0,433
Keterangan: nilai dalam kurung merupakan nilai z-statistik. ***
signifikan pada level 1 persen, ** signifikan pada level 5 persen, *
signifikan pada level 10 persen
77
Tabel 15 menunjukkan hasil estimasi model outward FDI Indonesia ke intraASEAN 5. Variabel yang signifikan berpengaruh terhadap keputusan outward FDI
Indonesia adalah GDP negara tujuan, perdagangan bilateral, dan dummy Singapura.
GDP Indonesia dan perdagangan bilateral berpengaruh positif terhadap outward FDI
Indonesia.
GDP negara tujuan memiliki koefisien bertanda positif dan bernilai sebesar
0,99. Hal itu berarti jika GDP negara tujuan tumbuh 1 persen, maka akan
meningkatkan outward FDI ke negara tersebut sebesar 0,99 persen. Koefisien
perdagangan bilateral bertanda positif dan memiliki nilai 0,34. Hal itu berarti bahwa
setiap peningkatan perdagangan bilateral sebesar 1 persen akan meningkatkan
outward FDI sebesar 0,34 persen.
Pada model outward FDI, penelitian ini memasukkan variabel dummy
Singapura. Adapun alasan yang melatarbelakangi penggunaan dummy variable
khusus untuk outward FDI (dan tidak digunakan dalam inward FDI Indonesia) adalah
Singapura merupakan negara yang menjadi intermediate source bagi FDI dan share
outward FDI Indonesia ke Singapura lebih dari 90 persen. Hasil analisis menunjukkan
koefisien untuk dummy Singapura bertanda positif dan bernilai 3,39. Hal itu berarti
bahwa dengan asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus), rata-rata outward FDI
Indonesia ke Singapura lebih tinggi 3,39 persen daripada ke negara lain. Besarnya
koefisien itu menunjukkan bahwa karakteristik khas yang dimiliki oleh Singapura—
jika dibandingkan negara lain—menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi investor dari
negara lain untuk berinvestasi di Singapura. Karakteristik tersebut mencakup
regulasi yang diberikan Singapura, karakteristik negaranya sebagai intermediate
source, dan karakteristik lainnya (lihat Boks 1).
Faktor pendorong (push factor) yang diharapkan berpengaruh terhadap
outward FDI Indonesia tidak terbukti secara statistik signifikan. Hal tersebut dapat
diduga karena pasar Indonesia sendiri belum jenuh. Adapun faktor yang mendorong
perusahaan untuk ekspansi ke luar negeri lebih disebabkan oleh faktor internal
perusahan FDI itu sendiri untuk memperoleh return yang lebih tinggi. Hasil itu
konsisten dengan hasil analisis empiris pada determinan inward FDI intra-ASEAN
dan juga sejalan dengan hasil temuan Hatari et al. (2010).
Selain itu, Ismail et al. (2009) mengemukakan bahwa pengaruh PDB negara
asal
(home country)
pembangunan
terhadap
ekonomi
suatu
outward
FDI
negara
(stage
berkaitan
of
erat
dengan
development),
tingkat
antara
lain
ketidaksiapan bisnis untuk bersaing di luar negeri, cenderung fokus pada pasar
78
dalam negeri, dan kurangnya kebijakan yang mendorong ekspansi ke luar negeri. Hal
tersebut menjadi faktor lain yang tidak mendorong terciptanya outward FDI.
Dalam penelitian ini disadari bahwa keterbatasan data menyebabkan hasil
estimasi menjadi kurang robust dan beberapa tanda koefisien tidak sesuai dengan
yang diharapkan. Meskipun begitu, hasil estimasi dengan menggunakan model pada
persamaan 11 dapat menambah kazhanah penelitian terkait outward FDI intraASEAN untuk Indonesia.
5.3 Changing Landscape FDI Sektor Manufaktur
Subbab
ini
mengulas
perkembangan
tingkat
teknologi
perusahaan
multinasional pada sektor manufaktur yang masuk ke Indonesia melalui FDI, baik
yang intra-ASEAN maupun yang ekstra-ASEAN. Pada subbab ini akan dianalisis
pergeseran kontribusi FDI untuk sektor manufaktur berdasarkan tingkat teknologi
yang digunakan. Perkembangan tingkat teknologi yang digunakan mengacu pada
Changwatchai (2010) yang menggunakan klasifikasi ekonomi FDI dari Organisation
for Economic Co-operation and Development (OECD)10. Klasifikasi tersebut terdiri atas
empat tingkat, yaitu low, medium low, medium high, dan high. Klasifikasi tersebut
berdasarkan International Standard Industrial Classification of All Economic Activities
(ISIC) versi 3. Selanjutnya dilakukan penyelerasan dengan data yang dikeluarkan oleh
BKPM yang tidak berbentuk ISIC, tetapi terdapat kesamaan dalam hal jenis subsektor
dan terdiri atas tingkat produk.
Untuk melihat secara detail periode ketika terjadi pergeseran struktural,
digunakan metode multiple structural breaks dari Bai dan Perron (1996). Metode
tersebut mendasarkan pada analisis regresi linear dengan menggunakan tren waktu
dan melihat apakah terjadi structural break pada beberapa titik waktu. Penentuan
structural breaks tidak seperti pada uji Chow, yaitu periode atau titik break ditentukan
secara a priori. Dalam metode Bai dan Perron, penentuan periode breaks dilakukan
berdasarkan data yang ada.
10
Selain Changwatchai (2010) terdapat pula klasifikasi lain berdasarkan Rahmaddi dan
Ichihashi (2013) yang diadaptasi dari klasifikasi Aswicahyono dan Pangestu (2000).
79
Low
Medium Low
Medium High
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
100.0
90.0
80.0
70.0
60.0
50.0
40.0
30.0
20.0
10.0
0.0
High
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC
Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 23. Pangsa Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi
(1990–2013)
Secara umum terdapat kecenderungan yang berkebalikan dari hipotesis awal.
Hasil penelitian menunjukkan inward FDI Indonesia justru meningkat porsinya
untuk level low dan medium low technology (Grafik 23). Sementara itu, penurunan
paling besar terjadi pada tingkat medium high karena pada tahun 1990 FDI pada
tingkat teknologi tersebut mendominasi total FDI di Indonesia. Pada tahun 1990
inward FDI Indonesia untuk medium high sebesar 59,04 persen dan untuk tingkat
high sebesar 1,95 persen. Persentase tersebut menurun menjadi 21,71 persen
(medium high) dan 0,42 persen (high) pada tahun 2013. Secara total inward FDI
dengan tingkat teknologi tinggi turun dari 61 persen (1990) menjadi 22 persen (2013).
Apabila diamati lebih lanjut, sesungguhnya inward FDI ke Indonesia pernah
mengalami pergeseran tingkat teknologi ke arah yang lebih maju, yaitu pada periode
1990–1997 (Grafik 24 dan Grafik 25). Tampak dalam grafik bahwa pangsa inward FDI
Indonesia terhadap total inward FDI untuk medium high dan high level of technology
terus meningkat. Namun, setelah tahun 1998 inward FDI jenis ini justru stagnan,
bahkan mengalami penurunan drastis sejak tahun 2009. Sebaliknya, yang terjadi
adalah inward FDI untuk tingkat teknologi yang low dan medium low justru semakin
meningkat.
80
Semakin timpangnya FDI Low dan
Med Low dengan Med High dan
High
Era Sebelum
krisis 1997-1998
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
Medium High and High
Low and Medium Low
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0.0
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC
Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 24. Pangsa Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi
(1990–2013)
100.0
Era Sebelum
krisis 1997-1998
Semakin timpangnya FDI
Low dan Med Low dengan
Med High dan High
80.0
60.0
40.0
20.0
Medium High and High
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0.0
Low and Medium Low
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC
Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 25. Smoothing Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi
(1990–2013)
Selanjutnya untuk melihat periode ketika terjadi pergeseran struktur FDI,
analisis multiple structural breaks diaplikasikan. Data yang digunakan dikelompokan
menjadi teknologi tinggi dan rendah. Teknologi tinggi mencakup pangsa FDI pada
kelompok medium high dan high, sedangkan teknologi rendah mencakup FDI
kelompok low dan medium low. Hasil estimasi sebagaima tampak pada Tabel 16 dan
digambarkan dalam Grafik 26. Hasil estimasi tersebut menunjukkan pada periode
kapan saja pergeseran struktur inward FDI per kelompok tingkat teknologi signifikan.
81
Hasil analisis menunjukan bahwa periode inward FDI pada kedua kelompok, baik
teknologi tinggi dan rendah, terjadi pada empat periode yang berbeda.
Tabel 16. Periode Multiple Structural Breaks FDI Inward Indonesia
Berdasarkan Tingkat Teknologi
Low dan Medium Low
Medium High dan High
Periode (tahun)
1990–1990
1990–1990
1
1991–1993
1991–1993
3
1994–2009
1994–2009
16
2010–2013
2010–2013
4
Hasil estimasi multiple structural breaks menunjukkan bahwa pergeseran
struktur dari teknologi tinggi dan teknologi rendah terjadi pada periode 199–1993.
Pada periode 1994–2009 inward FDI kelompok teknologi tinggi cenderung stagnan
karena tidak ada perubahan struktur yang berarti. Selanjutnya, setelah tahun 2009
inward FDI kelompok teknologi tinggi justru menurun pangsanya terhadap total
inward FDI. Dari hasil pengamatan itu dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
pergeseran FDI ke industri yang berteknologi tinggi, bahkan kecenderungan yang
terjadi adalah adanya pergeseran FDI ke arah FDI yang berteknologi rendah seperti
sebelum tahun 1990.
90
Low and Medium Low Technology
70
Medium High and High Technology
80
60
70
50
60
40
50 15
15
40
10
30
30
10
20
5
10
5
0
0
-5
-5
-10
-10
-15
-15
90
92
94
96
98
00
Residual
02
04
Actual
06
08
Fitted
10
12
90
92
94
96
98
00
Residual
02
04
Actual
06
08
10
12
Fitted
Grafik 26. Multiple Structural Breaks FDI Sektor Manufaktur Indonesia
82
V. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Dari uraian sebelumnya khususnya hasil analisis, dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut.
1. FDI Indonesia lebih banyak bersumber dari ekstra-ASEAN daripada intraASEAN. Meskipun begitu, share FDI Indonesia dari negara ASEAN trennya
terus meningkat.
2. Determinan FDI intra-ASEAN yang ke Indonesia (inward FDI) adalah FDI tahun
sebelumnya, PDB Indonesia (host country), PDB negara asal (home country),
produktivitas relatif, perdagangan bilateral, volume pedagangan, sumber daya
alam, jarak, dan infrastruktur jalan. Untuk determinan outward FDI intraASEAN untuk Indonesia adalah PDB negara tujuan, perdagangan bilateral, dan
karakteristik Singapura.
3. FDI intra-ASEAN yang ke Indonesia lebih berorientasi pada pasar lokal
daripada sebagai basis ekspor. Hal itu dikhawatirkan akan menekan neraca
pembayaran dari sisi transaksi berjalan.
4. Secara sektoral, inward FDI intra-ASEAN cenderung mengarah pada sektor
tersier yang diikuti sektor manufaktur.
5. Pada sektor manufaktur berdasarkan tingkat teknologinya, FDI ke Indonesia
sudah mulai bergeser ke teknologi tinggi pada era 1990-an, tetapi berbalik arah
sejak tahun 2009 ke arah tingkat teknologi rendah.
6. Inward FDI intra-ASEAN untuk Indonesia yang mengejar pasar lokal daripada
basis ekspor memerlukan perhatian khusus oleh pemerintah mengingat tujuan
KEA menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dikhawatirkan tidak dapat
dinikmati oleh Indonesia.
6.2 Saran
Untuk mendorong inward FDI yang berorientasi ekspor, dipandang perlu
peningkatan peran lembaga/institusi terkait seperti berikut.
83
a. Pemerintah
1. Indonesia diharapkan mampu menarik lebih banyak FDI intra-ASEAN pada saat
KEA diimplementasikan, terutama diarahkan untuk investasi yang berorientasi
ekspor selain pasar lokal. Apabila hal ini tidak diperhatikan dalam jangka
panjang, neraca pembayaran Indonesia akan semakin berat.Untuk itu,
pemerintah dapat menerapkan persentase ekspor tertentu dari produksi yang
wajib diekspor dan dijual ke pasar dalam negeri.
2. Pemberian insentif kepada industri yang berorientasi ekspor dan menciptakan
iklim investasi yang baik sehingga FDI di Indonesia menjadi basis ekspor dan
sejalan dengan kecenderungan yang sekarang terjadi agar menjadi bagian dari
global supply chain.
3. Peningkatan domestic absorption capacity dengan mendorong kebijakan prioritas
nasional yang mengarahkan kegiatan UKM agar terintegrasi dengan PMA dan
PMDN yang berorientasi ekspor.
4. Keberlangsungan investasi di sektor pengolah komoditas primer dengan
berakhirnya era commodity boom perlu diperhatikan..
b. Bank Indonesia
1. Meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk dapat mengadopsi teknik dalam
proses high tech sehingga mampu menarik FDI manufaktur, terutama pada
bidang usaha yang memiliki teknologi tinggi untuk memproses lebih lanjut hasil
produksi sektor primer. Untuk itu, Bank Indonesia harus dapat melakukan (i)
peningkatan pendampingan kepada pelaku-pelaku klaster melalui penguatan
KPwDN sehingga dapat meningkatkan keterampilan yang akan meningkatkan
produktivitas, (ii) penggunaan teknologi untuk penambahan value-added, dan
(iii) pemberian informasi (market access) sehingga dapat berpartisipasi dalam
global value chain.
2. Menyempurnakan pencatatan FDI dengan melihat secara detail FDI yang
bersumber dari intermediate dan ultimate source country (caveat) untuk melihat
bagaimana FDI tersebut sesungguhnya berasal.
3. Mengekstrak data ekspor-impor sehingga dapat menyajikan informasi yang lebih
detail mengenai potential buyer (nama perusahaan, negara asal, alamat, sektor
84
ekonomi, contact person, dan lain-lain) untuk kepentingan KPwDN dalam rangka
pendampingan.
Further Research (caveat):
Dari pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa area penelitian yang perlu
dieksplor (diteliti) lebih lanjut agar dapat memberikan sumbangan berarti bagi
penelitian terkait FDI di Indonesia. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah
sebagai berikut.
1. Diperlukan analisis mengenai ultimate dan intermediate source country dalam
hal FDI intra-ASEAN karena salah satu negara penerima dan pengirim FDI
terbesar di ASEAN, yaitu Singapura, diduga merupakan intermediate source
country.
2. Diperlukan studi lebih lanjut mengenai determinan dan perilaku FDI secara
khusus per komponen, misalnya reinvested earning, karena komponen itu
dapat meningkatkan FDI di Indonesia.
3. Diperlukan analisis pengaruh FDI terhadap ekspor perlu di-breakdown ke unit
analisis yang lebih kecil, misalnya subsektor, kelompok atau level perusahaan
(firm level). Analisis dapat dilakukan dengan melihat komponen produksi
antara yang dijual oleh perusahaan multinasional ke pasar lokal dan ekspor.
4. Diperlukan penyempurnaan secara detail pencatatan outward FDI untuk
kebutuhan analisis studi perilaku outward FDI yang lebih baik.
5. Diperlukan studi mengenai pengaruh FDI terhadap export sophistication dan
diversification.
6. Diperlukan studi mengenai keterkaitan UKM dengan MNC dalam konteks
production network dan supply chain.
DAFTAR PUSTAKA
85
Anderson, J.E. (2010). “The Gravity Model”. NBER Working Paper.
ASEAN Secretariat (2013). ASEAN Investment Report 2012.
ASEAN Secretariat (2014). ASEAN Investment Report 2013--2014.
Aswicahyono, H. and Pangestu, M. (2000). “Indonesia’s Recovery: Exports and
Regaining Competitiveness”. The Developing Economies, 38: 454–489.
Atkis, F. J. (2002). “Multiple Structural Breaks in the Nominal Interest Rate and
Inflation in Canada and the United States”. Department of Economics
Discussion Paper 2002–2007.
Bai, J., & Perron, P. (1998). “Estimating and Testing Linear Moels with Multiple
Structural Changes”. Econometrica, 47--78.
Balassa, B. (1961). “The Theory of Economic Integration”. Routledge.
Baltagi, B. H. (2005). “Econometric Analysis of Panel Data”. Wiley.
Bellak, C., Leibrecht, M., & Riedl, A. (2008). “Labour Costs and FDI Flows into Central
and Eastern European Countries: A Survey of the Literature and Empirical
Evidence”. Structural Change and Economic Dynamics Vol. 19.
Blonigen, B. A. (2005). “A Review of the Empirical Literature on FDI Determinants”.
Dalam Atlantic Economic Journal Vol. 33.
Bond, S. (2002). “Dynamic Panel Data Models: A Guide to Micro Data Methods and
Practice”. CEMMAP Working Paper.
Cadarajat dan Yanfitri (2008). “FDI vs Trade: Komplemen atau Subtitusi?”. Working
Paper (16/2008).
Calderón, C., Loayza, N., & Servén, L. (2004). “Greenfield Foreign Direct Investment
and Mergers and Acquisitions: Feedback and Macroeconomic Effects”. World
Bank Policy Research Working Paper 3192.
Chan, M. L., Hou, K., Li, X., & Mountain, D. C. (2013). “Foreign Direct Investment and
Its Determinants: A Regional Panel Causality Analysis”. The Quarterly Review
of Economics and Finance.
Changwatchai, Piyaphan. (2010). “The Determinants of Fdi Inflows By Industry To
Asean (Indonesia, Malaysia, Philippines, Thailand, And Vietnam)”. Dissertation,
Department of Economics The University of Utah.
Cheng, L., & Kwan, Y. K. (2000). “The Location of Foreign Direct Investment in Chinese
Regions Further Analysis of Labor Quality.” The Role of Foreign Direct
Investment in East Asian Economic Development, NBER-EASE Volume 9.
Cho, C. (2013). “The Causal Relationship between Trade and FDI: Implication for India
and East Asian Countries”. KIEP Working Paper 1 3--06.
Damuri, Yose Rizal. 2015. “ASEAN’s FDI in Indonesia: A Framework of Thinking”.
Denisia, V. (2010, December). “Foreign Direct Investment Theories: An Overview of the
Main FDI Theories”. Dalam European Journal of Interdicplinary Studies, 2(2).
Dornbusch, R., Fischer, S., & Startz, R. (1998). Macroeconomics. New York: McGrawHill.
Dunning, J.H. (1998). “Location and the Multinational Enterprise: A Neglected Factor”.
Dalam Journal of International Business Studies, 45--66.
86
Dunning, J. H. (2000). “The Eclectic Paradigm as an Envelope for Economics and
Business Theories of MNE Activity”. International Business Review, 163--190.
Dunning, J. H. (2001). “The Eclectic (OLI) Paradigm of International Production: Past,
Present and Future”. Dalam International Journal of the Economics of Business,
173--190.
Fontagné, L. (1999). “Foreign Direct Investment and International Trade:
Complements or Substitutes? OECD Science, Technology, and Industry”.
Working
Papers
1999/03,
OECD
Publishing.
http://dx.doi.org/10.1787/788565713012.
Franco, C., Renticchini, F., & Marzetti, G. V. (2010). “Why do firms invest abroad? An
analysis of the motives underlying Foreign Direct Investments”. Dalam Icfai
University Journal of International Business Law, 42--65.
Greene, W. H. (2007). “Econometrics Analysis”. Prentice Hall.
Gudjarati, D., & Porter, D. (2009). Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill
Education.
Guesmi, K., Kaabia, O., & Kazi, I. (2013). “Does Shift Contagion Exist Between OECD
Stock Markets During the Financial Crisis?” Dalam International Journal of
Applied Business Research Vol 29 (3).
Haigh, M. (2006). “Ultimate sources and destinations of New Zealandβ€Ÿs direct
investment”. Statistics New Zealand, 85, Wellington, New Zealand. Hoang, H.
H. (2012). Foreign Direct Investment in Southeast Asia: Determinants and
Spatial Distribution. Depocen Working Paper.
Hsu, W.-C., Gao, X., Zhang, J., & Lin, H. M. (2011). “The Effects of Outward FDI on
Home Country Productivity”. Dalam Journal of Chinese Economic and Foreign
Trade Studies, Vol. 4 Iss 2 , 99–116.
Iwamoto, Manabu & Nabeshima, Kaoru. (2012). "Can FDI promote export
diversification and sophistication of host countries? : dynamic panel system
GMM analysis," IDE Discussion Papers 347, Institute of Developing Economies,
Japan External Trade Organization(JETRO).
Kahouli, B., & Maktou, S. (2014). “The Determinants of FDI and the Impact of the
Economic Crisis on The Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity
Model.” International Business Review.
Kelkar, Mallika, and Statistics New Zealand Skills. (2011) "The Ultimate Sources of
Foreign Direct Investment." New Zealand Association of Economists Conference,
Wellington.
Kurniati, Prasmuko, Yanfitri. (2007). “Determinan FDI (Faktor-faktor
Menentukan Investasi Asing Langsung)”.Working Paper (WP/06/2007)
yang
Kusluvan, S. (1998). “A Review of Theories of Multinational Enterprises”. D.E.U.I.I.B.F.
Dergisi, 13(1), 163--180.
Lecraw, Donald (1977) “Direct Investment by Firms from Less Developed Countries”.
Oxford Economic Papers,
Lipsey, R. E., & Sjöholm, F. (2011). “Foreign direct investment and growth in East
Asia: lessons for Indonesia”. Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol.
47(1).
87
Lopes, T. d. (2010). “Using History to Help Refine International Business Theory:
Ownership Advantages and The Eclectic Paradigm”. The York Management
School Working Paper, 1–19.
Masron, T. A. (2013). “Promoting Intra-ASEAN FDI: The role of AFTA and AIA”.
Economic Modelling Vol. 31 .
Miroudot, S., & Ragoussis, A. (2008). “Vertical Trade, Trade Cost, and FDI”. OECD
Trade Policy Working Paper No. 89.
Mukhtar, A., Ahmad, M., Waheed, M., Kaleen, U., & Inam, H. (2014). “Determinants
of Foreign Direct Investment Flow in Developing Countries”. Dalam International
Journal of Academic Research in Applied Science Vol. 3 (3).
Narula, R. (2010). “Keeping the Eclectic Paradigm Simple: A Brief Commentary and
Implications for Ownership Advantages”. Multinational Business Review, 3--23.
Nayak, D., & Choudhury, R. N. (2014). “A Selective Review of Foreign Direct Investment
Theories”. ARTNet Working Paper Series (143).
Okamoto, Y., & Sjoholm, F. (2005). “FDI and the Dynamics of Productivity in
Indonesian Manufacturing”. Dalam Journal of Development Studies Vol 41 (1).
Onel, G. (2005). “Testing for multiple structural breaks: an application of Bai-Perron
test to the nominal interest rates and inflation in Turkey”. D. E. Ü. Δ°Δ°. B. F.
Dergisi, 20 (2), 81–93.
Petri, P.A. (2012). “The determinants of bilateral FDI: Is Asia different?” Dalam Journal
of Asian Economics, Vol 12 (3).
Rahmaddi, R., & Ichihashi, M. (2013). “The role of foreign direct investment in
Indonesia's manufacturing exports”. Dalam Bulletin of Indonesian Economic
Studies,49 (3), 329--354.
Rehman, A., Ilyas, M., Alam, H. M., & Akram, M. (2011). “The Impact of Infrastructure
on Foreign Direct Investment: The Case of Pakistan”. Dalam International
Journal of Business and Management, Vol 6, No 5 (2011).
Rooadman, D. (2009). “How to do xtabond2: An introduction to difference and system
GMM in Stata”. Centre for Global Development Working Paper.
Rowley, A. H. (2006). “Foreign Firms Put Their Funds Into The 'New Economy'”. Dalam
Wall Street Journal, p. A17.
Rowley, A. H. (2006). “New Government Aims to Accelerate Inward Investment”. Dalam
Asian Wall Street Journal, p. 8.
Rugman, A.M. (2010). “Reconciling Internalization Theory and The Eclectic Paradigm”.
Multinational Business Review, 1–12.
Stefanovic, S. (2008). “Analytical Framework of FDI Determinants: Implementation of
the OLI Model”. Economics and Organization, 5 (3), 239–249.
Susanto, J. (2012). “Determinan Penanaman Modal Langsung di ASEAN”. Dalam
Jurnal Riset Manajemen & Bisnis Vol 07, Nomor 01, Tahun 2012.
Tang, J., & Altshuler, R. (2015). “Spillover Effects of Outward Foreign Direct
Investment on Home COuntries: Evidence from the United States”. (January 4,
2015). Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=2545129.
Thangavelu, S. M., & Narjoko, D. (2014). “Human Capital, FTAs and Foreign Direct
Investment Flows Into ASEAN”. Dalam Journal of Asian Economics, 65–76.
88
Thangavelu, S. M., & Narjoko, D. (2014). “Human Capital, FTAs and Foreign Direct
Investment Flows into ASEAN”. Dalam Journal of Asian Economics Vol. 35.
The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP).
(2014). “Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2014”.
Thorbecke, W., & Salike, N. (2013). “Foreign Direct Investment in East Asia”. RIETI
Policy Discussion Paper Series 13-P-003 March 2013.
Vahter, P., & Masso, J. (2006). “Home Versus Host Country Effects of FDI: Searching
for New Evidence of Productivity Spillovers”. William Davidson Institute
Working Paper No. 820.
Verbeek, M. (2004). A Guide to Modern Econometrics. Wiley.
Wadhwa, K., & Reddy, S. (2011). “Foreign Direct Investment into Developing Asian
Countries: The Role of Market Seeking, Resource Seeking and Efficiency
Seeking Factors”. Dalam International Journal of Business and Management Vol.
6(11).
Walsh, J. P., & Yu, J. (2010). “Determinants of Foreign Direct Investment: A Sectoral
and Institutional Approach”. IMF Working Paper.
Wattanadumrong, B., Collins, A., & Snell, M. C. (2014). “Taking the Thai trail:
Attracting FDI via macro-level policy”. Dalam Journal of Policy Modelling Vol. 36.
Wawro, G. (2002). “Estimating Dynamic Panel Data Models in Political Science”.
Political Analysis.
Xaypanya, P., Rangkakulnuwat, P., & Paweenawat, S. W. (2015). “The Determinants
of Foreign Direct Investment in ASEAN: The First Differencing Panel Data
Analysis”. Dalam International Journal of Social Economics Vol.42.
Zarotiadis, G. (2008). “FDI and International Trade Relations: A Theoretical Approach”.
International Trade and Finance Asso ciation Working Papers 2008.
89
Download