PENGEMBANGAN SKALA PSIKOLOGI PRIBADI-SOSIAL Disusun guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Instrumen dan Media Bimbingan dan Konseling Dosen Pengampu: Dr. Edi Purwanta dan Dr. Ali Muhtadi Oleh: Mitta Kurniasari 14713251015 Nur Sya’ban Ratri Dwi Mulyani 14713251018 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MARET 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengukuran adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengamati sesuatu dan menjelaskan dengan menggunakan alat ukur atau instrumen tertentu. Dalam melakukan pengukuran harus ada instrument yang digunakan sebagai alat untuk mengukur obyek tertentu. Instrument yang digunakan terdapat 2 macam yaitu instrument tes dan instrument non tes. Instrumen tes adalah salah satu jenis alat ukur yaitu instrumen yang digunakan untuk menghasilkan informasi guna pengambilan keputusan. Sedangkan instrument non-tes adalah intrumen yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi hasil belajar, aspek psikomotorik atau keterampilan, sikap atau nilai, yaitu untuk menggali informasi atau mengumpulkan data yang berkaitan dengan penilaian, pendapat atau opini terhadap sesuatu yang berkaitan dengan keterampilan, perilaku, sikap atau nilai. Alat yang dapat digunakan adalah lembar pengamatan atau observasi dan istrumen tes sikap, minat, skala dan sebagainya. Penggunaan Instrumen non tes bagi seorang konselor sekolah sangatlah penting. Penelitian pengembangan instrument non tes sudah banyak dikembangkan oleh para ahli dan praktisi guna menunjang pemberian layanan konselor sekolah terhadap peserta didik. Salah satu bidang layanan bimbingan dan konseling tersebut adalah bidang pribadi sosial. Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2005 : 11) merumuskan bimbingan pribadi-sosial sebagai suatu upaya membantu individu dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan keadaan psikologis dan sosial klien. Upaya pengembangan instrument non tes masih dilakukan hingga saat ini, sebagai alat bantu konselor sekolah dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling. Makalah ini akan membahas materi mengenai pengembangan salah satu instrument non tes berupa skala psikologis yang juga digunakan konselor sekolah dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling. Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat berguna sebagai sumber dan literatur pembelajaran khususnya pada mata kuliah pengembangan instrument dan media bimbingan dan konseling. B. Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan skala psikologi? 2. Apakah karakteristik skala psikologi? 3. Apakah faktor-faktor yang melemahkan validitas skala psikologi? 4. Bagaimana langkah-langkah penyusunan skala psikologi? 2 5. Apakah yang dimaksud dengan bimbingan pribadi-sosial? 6. Apakah aspek-aspek dari bimbingan pribadi-sosial? 7. Apakah tujuan bimbingan pribadi-sosial? 8. Bagaimanakah pengembangan skala psikologi pribadi-sosial? C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui pengertian skala psikologi. 2. Mengetahui karakteristik skala psikologi. 3. Mengetahui faktor-faktor yang melemahkan validitas skala psikologi. 4. Mengetahui langkah-langkah penyusunan skala psikologi. 5. Mengetahui pengertian bimbingan pribadi-sosial. 6. Mengetahui aspek-aspek bimbingan pribadi-sosial. 7. Mengetahui tujuan bimbingan pribadi-sosial. 8. Mengetahui pengembangan skala psikologi pribadi-sosial. 3 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Skala Psikologi Skala adalah seperangkat pertanyaan yang disusun untuk mengungkap atribut tertentu melalui respon terhadap pertanyaan tersebut. (Saifuddin Azwar, 2013: 17). Skala psikologi menurut Wahyu Widhiarso (widhiarso.staff.ugm.ac.id) adalah instrumen pengukuran untuk mengidentifikasi konstrak psikologis. Seringkali dinamakan dengan tes, namun dalam hal ini skala psikologis digunakan sebagai istilah untuk atribut afektif, sedangkan kata tes digunakan untuk atribut kognitif. Dengan demikian skala psikologi adalah suatu instrument yang berupa pertanyaan atau pernyataan dan digunakan untuk mengukur serta mengidentifikasi atribut psikologis responden. B. Karakteristik Skala Psikologi Sebagai alat ukur, skala psikologi memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari berbagai bentuk instrumen pengumpulan data yang lain seperti angket (questionnaire), daftar isian, inventori, dan lain-lainnya. Meskipun dalam percakapan sehari-hari biasanya istilah skala disamakan saja dengan istilah tes namun (dalam pengemabangan instrumen alat ukur) umumnya istilah tes digunakan untuk penyebutan alat ukur kemampuan kognitif sedangkan istilah skala lebih banyak dipakai untuk menamakan alat ukur atribut non-kognitif. Dengan pengertian tersebut, maka dapat diuraikan beberapa di antara karakteristik skala menurut Saifuddin Azwar (2013: 5-7) sebagai alat ukur psikologi, yaitu: 1. Stimulus atau aitem dalam skala psikologi berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan. Meskipun subjek dapat dengan mudah memahami isi aitemnya namun tidak mengetahui arah jawaban yang dikehendaki oleh aitem yang diajukan sehingga jawaban yang diberikan subjek akan banyak tergantung pada interpretasinya terhadap isi aitem. Karena itu jawaban yang diberikan atau dipilih oleh subjek lebih bersifat proyeksi diri dan perasaannya dan merupakan gambaran tipikal reaksinya. 2. Dikarenakan atribut psikologi diungkap secara tidak langsung lewat indikatorindikator perilaku sedangkan indikator perilaku diterjemahkan dalam bentuk aitemaitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak aitem. Jawaban subjek terhadap satu 4 aitem baru merupakan sebagian dari banyak indikasi mengenai atribut yang diukur, sedangkan kesimpulan akhir sebagai suatu diagnosis diperoleh berdasarkan respon terhadap semua aitem. 3. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh. Skor yang diberikan hanyalah kuantitas yang mewakili indikasi adanya atribut yang diukur. Karakteristik tersebut menjadi ciri pengukuran terhadap performansi tipikal, yaitu atribut yang manifestasinya menjadi karakter tipikal seseorang dan cenderung dimunculkan secara sadar atau tidak sadar dalam bentuk respon terhadap situasi-situasi tertentu yang dihadapi. Dalam penggunaannya sebagai alat psikodiagnosis dan penelitian psikologi, skala-skala performansi tipikal digunakan untuk pengungkapan aspek-aspek afektif seperti minat, sikap, dan berbagai variabel kepribadian lain semisal agresivitas, self-esteem, locus of control, motivasi, resiliensi, kecemasan, kepemimpinan, dan lain sebagainya. C. Jenis-jenis Penskalaan Psikologi Menurut Wahyu Widhiarso (widhiarso.staff.ugm.ac.id) penskalaan terdiri dari beberapa jenis, yaitu: 1. Penskalaan Subjek Bertujuan untuk meletakkan individu dalam sebuah kontinum. Misalnya membandingkan individu berdasarkan inteligensinya 2. Penskalaan Stimulus (Thurstone) Bertujuan untuk meletakkan stimulus dalam sebuah kontinum. Misalnya penskalaan pada sejumlah kata emosi berdasarkan intensitas emosinya. 3. Penskalaan Respon (Likert) Bertujuan untuk meletakkan respon dalam sebuah kontinum. Misalnya penskalaan respon kesesuaian karakteristik individu pada pernyataan. Sedangkan untuk penskalaan psikologi diklasifikasikan menjadi beberapa jenis seperti yang dijelaskan dalam tabel 1 di bawah ini, yaitu: Tabel 1. Jenis-jenis Penskalaan Psikologi METODE Meranking Menilai (rating) DESKRIPSI Subjek mengurutkan stimulus berdasarkan kesesuaiannya dengan kondisi dirinya Subjek menilai stimulus berdasarkan kesesuaiannya dengan kondisi dirinya 5 Mengkategorikan Subjek meletakkan stimulus pada kategori yang sesuai dengan kondisi dirinya Membandingkan Subjek memilih pasangan stimulus yang sesuai dengan kondisi dirinya Mengestimasi Subjek mengestimasi dengan memberikan penilaian pada atribut yang sesuai dengan kondisi dirinya Memetakan Subjek memetakan kesamaan antar stimulus pada sebuah peta Kemiripan dimensi stimulus D. Faktor-Faktor yang Melemahkan Validitas Skala Psikologi Validitas dalam pengertiannya yang paling umum, adalah ketepatan dan kecermatan dalam menjalankan fungsi ukurnya. Artinya, validitas menunjuk pada sejauhmana skala itu mampu mengungkap dengan akurat dan teliti data mengenai atribut yang ia dirancang untuk mengukurnya. Validitas adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh setiap alat ukur. Apakah suatu skala berguna atau tidak sangat ditentukan oleh tingkat validitasnya. Oleh karena itu sejak tahap awal perancangan skala sampai dengan tahap administrasi dan pemberian skornya, usaha-usaha untuk menegakkan validitas harus selalu dilakukan. Dalam rangka itulah perancang skala perlu mengenali beberapa faktor yang dapat mengancam validitas skala psikologi. Faktor-faktor yang dimaksud menurut Saifuddin Azwar (2013: 10-14), antara lain: 1. Konsep Teoritik Tidak Cukup Dipahami Untuk mengukur “sesuatu” maka sesuatu itu harus dikenali terlebih dahulu dengan baik. Bila konsep mengenai atribut yang hendak diukur tidak dikenali dengan baik maka perancang skala mungkin hanya memiliki gambaran yang tidak komprehensif atau bahkan keliru mengenai atribut yang bersangkutan. Gambaran yang tidak tepat akan melahirkan aspek dan indikator keperilakuan yang juga tidak tepat, yang pada akhirnya bila dijadikan acuan dalam penulisan aitem akan menghasilkan aitem-aitem yang tidak valid. 2. Aspek Keperilakuan Tidak Operasional Indikator keperilakuan diciptakan berdasarkan batasan konseptual mengenai atribut yang diukur menjadi rumusan operasional yang terukur (measurable). Bila perumusan ini tidak cukup operasional atau ternyata masih menimbulkan penafsiran ganda mengenai bentuk-bentuk perilaku yang dinginkan, atau sama sekali tidak mencerminkan konsep yang akan diukur, maka akan melahirkan aitem-aitem yang 6 tidak valid. Pada gilirannya, aitem-aitem yang tidak valid tidak akan menjadi skala yang valid. 3. Penulisan Aitem Tidak Mengikuti Kaidah Aitem yang sukar dimengerti maksudnya oleh pihak responden karena terlalu panjang atau karena kalimatnya tidak benar secara tata-bahasa, aitem yang mendorong responden untuk memilih jawaban tertentu saja, aitem yang memancing reaksi negatif dari pihak responden, aitem yang mengandung muatan social desirability tinggi, dan aitem yang memiliki cacat semacamnya hampir dapat dipastikan adalah hasil dari proses penulisan aitem yang mengabaikan kaidah-kaidah penulisan yang standar. Aitem-aitem seperti itu tidak akan berfungsi sebagaimana diharapkan. 4. Administrasi Skala Tidak Berhati-Hati Skala yang disajikan dan diadministrasikan kepada responden dengan cara sembarangan dapat menghasilkan data yang tidak valid mengenai keadaan responden. Administrasi skala memerlukan berbagai persiapan dan antisipasi dari pihak penyaji. Beberapa di antara banyak hal yang berkaitan dengan kehati-hatian administrasi ini adalah: a) Penampilan skala (validitas tampang) Skala psikologi bukan sekedar kumpulan aitem-aitem yang diberkas menjadi satu. Dari segi penampilan, skala harus dikemas dalam bentuk yang berwibawa sehingga mampu menimbulkan respek dan apresiasi dari pihak respondennya. b) Situasi ruang Situasi ruang menunjuk pada kondisi di dalam tempat pelaksanaan penyajian atau administrasi skala. Ruang harus cukup nyaman, cukup pencahayaan, dan tidak bising. Tidak boleh ada gangguan atau kehadiran pihak orang ketiga yang dapat mempengaruhi respon subjek. c) Kondisi subjek Skala psikologi hanya boleh disajikan pada subjek yang kondisinya (baik fisik maupun psikologis) memenuhi syarat. Jangan mengharapkan jawaban yang valid apabila responden harus membaca dan menjawab skala dalam keadaan sakit, lelah, tergesa-gesa, tidak berminat, merasa terpaksa dan semacamnya. 5. Pemberian Skor Tidak Cermat Sekalipun disediakan “kunci” skor, namun kadang-kadang masih dapat terjadi kesalahan dari pihak pemeriksa dikarenakan salah dalam penghitungan skor atau 7 keliru cara penggunaan kunci jawaban. Pada skala yang menggunakan konversi skor, kesalahan dapat terjadi sewaktu mengubah skor mentah menjadi skor derivasi karena salah liat pada tabel konversi. 6. Keliru Interpretasi Penafsiran terhadap hasil ukur skala merupakan bagian penting dari proses diagnosis psikologis. Sekalipun disediakan norma penilaian sebagai acuan interpretasi terhadap skor skala namun harus selalu diingat bahwa skor yang diperoleh dari pengukuran psikologi tidak sempurna reliabilitas dan validitasnya sehingga tetap dituntut kecermatan interpretasi. E. Langkah-Langkah Penyusunan Skala Psikologi Langkah-langkah dasar dalam konstruksi skala psikologi menurut Saifuddin Azwar (2013: 14-20) memberikan gambaran alur kerja umum mengenai prosedur yang biasanya dilakukan oleh para penyusun skala. Alur kerja yang diilustrasikan dalam gambar 1.1. tentu saja tidak selalu dapat dan tidak perlu untuk diikuti secara ketat disebabkan model dan format skala yang dibuat banyak ragamnya dan oleh karena itu dalam pelaksanaannya menuntut keluwesan dari pihak perancang dan penyusun skala. Identifikasi Tujuan Ukur Menetapkan konstrak teoretik Pembatasan Domain Ukur Merumuskan aspek keperilakuan Kisi-kisi (Blue-print) & Spesifikasi Skala Operasional Aspek Menghimpun indikator keperilakuan Penulisan Aitem Reviu aitem Uji Coba Bahasa Evaluasi kualitatif Validasi Konstrak Penskalaan Field Test Evaluasi kuantitatif Seleksi Aitem Estimasi Reliabiilitas Kompilasi Final Gambar 1.1. Alur Kerja dalam Penyusunan Skala Psikologi 8 1. Identifikasi Tujuan Ukur Awal kerja penyusunan suatu skala psikologi dimulai dari melakukan identifikasi tujuan ukur, yaitu memilih suatu definisi, mengenali dan memahami dengan seksama teori yang mendasari konstrak psikologi atribut yang hendak diukur. 2. Pembatasan Domain Ukur Pembatasan kawasan (domain) ukur berdasarkan pada konstrak yang didefinisikan oleh teori yang dipilih. Pembatasan domain dilakukan dengan cara menguraikan konstrak teoretik atribut yang diukur menjadi beberapa rumusan dimensi atau aspek keperilakuan yang konsep keperilakuannya lebih jelas. 3. Operasionalisasi Aspek Sekalipun dimensi keperilakuan, sudah lebih jelas konsep keperilakuannya, biasanya masih konseptual dan belum terukur sehingga perlu dioperasionalkan ke dalam bentuk keperilakuan yang lebih konkret sehingga penulis aitem akan memahami benar arah respon yang harus diungkap dari subjek. Operasionalisasi ini dirumuskan ke dalam bentuk indikator keperilakuan (behavioral indocators). 4. Kisi-kisi (Blue-print) dan Spesifikasi Skala Himpunan indikator-indikator keperilakuan beserta dimensi yang diwakilinya kemudian dituangkan dalam kisi-kisi atau blue-print yang setelah dilengkapi dengan spesifikasi skala, akan dijadikan acuan bagi para penulis aitem. 5. Penskalaan Berbeda dari prosedur penyusunan tes kemampuan kognitif yang dalam penentuan pilihan format aitemnya memerlukan beberapa pertimbangan menyangkut keadaan subjek, materi uji, dan tujuan pengukuran, pada perancangan skala psikologi penentuan format aitemnya tidak terlalu mempertim-bangkan keadaan subjek maupun tujuan penggunaan skala. Biasanya pemilihan format skala lebih tergantung pada keunggulan teoretik dan sisi praktis penggunaan format yang bersangkutan. 6. Penulisan Aitem Penulisan aitem harus selalu memperhatikan kaidah-kaidah penulisan yang sudah ditentukan. Pada tahapan awal penulisan aitem, umumnya dibuat aitem yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada jumlah yang direncanakan dalam spesifikasi skala, yaitu sampai tiga kali lipat dari jumlah aitem yang nanti akan digunakan dalam skala bentuk final. Hal ini dimaksudkan agar nanti penyusunan skala tidak kehabisan aitem akibat gugurnya aitem-aitem yang tidak memenuhi persyaratan. 9 Reviu (review) pertama harus dilakukan oleh penulis aitem sendiri, yaitu dengan selalu memeriksa ulang setiap aitem yang baru saja ditulis apakah telah sesuai dengan indikator perilaku yang hendak diungkap dan apakah juga tidak keluar dari pedoman penulisan aitem. Apabila semua aitem telah selesai ditulis, reviu dilakukan oleh beberapa orang yang berkompeten (sebagai panel). Kompetensi yang diperlukan dalam hal ini meliputi penguasaan masalah konstruksi skala dan masalah atribut yang diukur. Selain itu penguasaan bahasa tulis standar sangat diperlukan. Semua aitem yang diperkirakan tidak sesuai dengan spesifikasi blue-print atau yang tidak sesuai dengan kaidah penulisan harus diperbaiki atau ditulis ulang. 7. Uji Coba Bahasa Ketentuan meloloskan aitem dalam tahap evaluasi kualitatif oleh panel para ahli tersebut adalah kesepakatan expert judgment bahwa isi aitem yang bersangkutan adalah logis untuk mengungkap indikatornya (logical validity). Sampai pada tahap ini, kerja sistematik yang dilakukan merupakan dukungan terhadap validitas isi (content validity) dan validitas konstruk (construct validity) skala. Kumpulan aitem yang telah berhasil melewati proses reviu kemudian harud dievaluasi secara kualitatif lebih jauh, yaitu dengan diujicobakan pada sekelompok kecil responden guna mengetahui apakah kalimat yang digunakan dalam aitem mudah dan dapat dipahami dengan benar oleh responden. Reaksi-reaksi responden berupa pertanyaan mengenai kata-kata atau kalimat yang digunakan dalam aitem merupakan pertanda kurang komunikatifnya kalimat yang ditulis dan itu memerlukan perbaikan. 8. Field Test Setelah perbaikan bahasa dan kalimat selesai dilakukan, pada tahap berikut adalah langkah evaluasi terhadap fungsi aitem secara kuantitatif, yaitu berdasar skor jawaban responden. Data skor aitem dari responden diperoleh dari hasil field-test. Evaluasi terhadap fungsi aitem yang biasa dikenal dengan istilah analisis aitem merupakan proses pengujian aitem secara kuantitatif guna mengetahui apakah aitem memenuhi persyaratan psikometrik untuk disertakan sebagai bagian dari skala. 9. Seleksi Aitem Hasil analisis aitem menjadi dasar dalam seleksi aitem. Aitem-aitem yang tidak memenuhi persyaratan psikometrik akan disingkirkan atau diperbaiki lebih dahulu sebelum dapat menjadi bagian dari skala. Di samping memperhatikan parameter aitem, kompilasi skala harus dilakukan dengan mempertimbangkan proporsionalitas aspek keperilakuan sebagaimana dides-kripsikan oleh blue-printnya. 10 Komputasi koefisien reliabilitas sebagai estimasi terhadap reliabilitas skala dilakukan bagi kumpulan aitem-aitem yang telah terpilih yang banyaknya disesuaikan dengan jumlah yang telah dispesifikasi oleh blue-print. Apabila koefisien reliabilitas skala ternyata belum memuaskan, maka penyusunan skala dapat kembali ke langkah kompilasi dan merakit ulang skala dengan lebih mengutamakan aitem-aitem yang memiliki daya beda tinggi sekalipun perlu sedikit mengubah proporsi aitem dalam setiap komponen atau bagian skala. 10. Validasi Konstrak Validasi skala pada hakikatnya merupakan suatu proses berkelanjutan. Pada skala-skala yang hanya akan digunakan secara terbatas memang pada umumnya dicukupkan dengan validasi isi yang dilakukan melalui proses reviu aitem oleh panel ahli (expert judgement) namun sebenarnya semua skala psikologi harus teruji konstraknya. Skala yang secara isi sudah sesuai dengan kisi-kisi indicator perilaku tetap perlu ditunjukkan secara empiric apakah konstrak yang dibangun dari teori semula memang didukung oleh data. 11. Kompilasi Final Format final skala dirakit dalam tampilan yang menarik namun tetap memudahkan bagi responden untuk membaca dan menjawabnya. Dalam bentuk final, berkas skala dilengkapi dengan petunjuk pengerjaan dan mungkin pula lembar jawaban yang terpisah. Ukuran kertas yang digunakan perlu juga mempertimbangkan usia responden jangan sampai memakai huruf berukuran terlalu kecil sehingga responden yang agak lanjut usia kesulitan membacanya. F. Pengertian Bimbingan Pribadi-Sosial Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2005: 11) merumuskan bimbingan pribadisosial sebagai suatu upaya membantu individu dalam memecahkan masalah yang berhubungan dengan keadaan psikologis dan sosial klien, sehingga individu memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan individu dalam menangani masalah-masalah dirinya. Bimbingan pribadi-sosial menurut W. S. Winkel dan Sri Hastuti (2013: 118) berarti bimbingan dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dan mengatasi berbagai pergumulan dalam batinnya sendiri; dalam mengatur diri sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang, penyaluran nafsu seksual dan sebagainya; 11 serta bimbingan dalam membina hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan (pergaulan sosial). Berdasarkan berbagai pengertian yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan bimbingan pribadi-sosial merupakan upaya layanan yang diberikan kepada siswa agar mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialaminya, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, sehingga mampu membina hubungan sosial yang harmonis di lingkungannya. Bimbingan pribadi-sosial diberikan dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, interaksi pendidikan yang akrab, mengembangkan system pemahaman diri, dan sikap-sikap yang positif, serta kemampuan-kemampuan pribadi sosial yang tepat. G. Tujuan Bimbingan Pribadi-Sosial Menurut Nidya Damayanti (2012: 10) tujuan dari pelaksanaan bimbingan pribadisosial adalah sebagai berikut. 1. Mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan YME 2. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif (antara anugrah dan musibah) dan mampu meresponnya dengan positif 3. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif 4. Memiliki sikap respek terhadap diri sendiri 5. Dapat mengelola stress 6. Mampu mengendalikan diri dari perbuatan yang diharamkan agama 7. Memahami perasaan diri dan mampu mengekspresikannya secara wajar 8. Memiliki kemampuan memecahkan masalah 9. Memiliki rasa percaya diri 10. Memiliki mental yang sehat Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2005:14), merumuskan beberapa tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial sebagai berikut : 1. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah, tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya. 2. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing. 12 3. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya. 4. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan, baik fisik maupun psikis. 5. Memiliki sifat positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain. 6. Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat. 7. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya. 8. Memiliki rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam bentuk komitmen, terhadap tugas dan kewajibannya. 9. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang diwujudkan dalam bentuk persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi dengan sesama manusia. 10. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun orang lain. 11. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif. Dapat disimpulkan tujuan bimbingan pribadi pribadi sosial yang harus dikembangkan dalam program layanan bimbingan dan konseling adalah memfasilitasi peserta didik dalam mengarahkan pemantapan kepribadian serta mengembangkan kemampuan dalam mengatasi masalah-masalah pribadi dan sosial siswa. H. Aspek-aspek Bimbingan Pribadi-Sosial Aspek-aspek bimbingan pribadi-sosial menurut W. S. Winkel dan Sri Hastuti (2013: 118) adalah sebagai berikut. 1. Informasi tentang fase atau tahap perkembangan yang sedang dilalui oleh siswa remaja dan mahasiswa, antara lain tentang konflik batin yang dapat timbul dan tentang tata cara bergaul yang baik. Termasuk di sini apa yang disebut sex education, yang tidak hanya mencakup penerangan seksual, tetapi pula corak pergaulan antara jenis kelamin 2. Penyadaran akan keadaan masyarakat dewasa ini, yang semakin berkembang ke arah masyarakat modern, antara lain apa ciri-ciri kehidupan modern, dan apa makna ilmu pengetahuan serta teknologi bagi kehidupan manusia. 3. Pengaturan diskusi kelompok mengenai kesulitan yang dialami oleh kebanyakan siswa dan mahasiswa, misalnya menghadapi orang tua yang taraf pendidikannya lebih 13 rendah daripada anak-anaknya. Khususnya siswa remaja dapat merasa lega, bila dia menyadari bahwa teman-temannya mengalami kesulitan yang sama; dia lalu tidak akan memandang dirinya lagi sebagai orang yang abnormal. Diskusi kelompok ini dapat mendorong siswa dan mahasiswa untuk menghadapi ahli bimbingan, guna membicarakan suatu masalah secara pribadi dalam wawancara konseling. 4. Pengumpulan data yang relevan untuk mengenal kepribadian siswa, misalnya sifatsifat kepribadian yang tampak dalam tingkah laku, latar belakang keluarga dan keadaan kesehatan. Aspek-aspek dalam bidang bimbingan dan pribadi sosial antara lain (Dewa Ketut Sukardi & Nila Kusmawati, 2008: 12): 1. Pemantapan sikap dan kebiasaan serta pengembangan wawasan dalam beriman dan bertaqwa 2. Pemantapan pemahaman tentang kekuatan diri dan pengembangan untuk kegiatankegiatan yang kreatif dan produktif 3. Pemantapan pemahaman tentang bakat dan minat pribadi serta penyaluran dan pengembangan pada atau melalui kegiatan-kegiatan yang kreatif dan produktif 4. Pemantapan pemahaman tentang kelemahan diri dan usaha-usaha penanggulanggan 5. Pemantapan kemampuan mengambil keputusan 6. Pemantapan kemampuan mengarahkan diri sesuai dengan keputusan yang telah diambilnya 7. Pemantapan dalam perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat secara rohani dan jasmani 8. Pemantapan kemampuan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan secara efektif 9. Pemantapan kemampuan menerima dan menyampaikan pendapat serta beragumen secara dinais, kreatif, dan produktif 10. Pemantapan kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial, dan menjunjung tinggi tata karma, sopan santun, serta nilai-nilai agama, adat hokum, ilmu, dan kebiasaan yang berlaku 11. Pemantapan hubungan yang dinamis, harmonis, dan produktif dengan teman sebaya 12. Pemantapan pemahaman kondisi dan peraturan sekolah serta upaya pelaksanaannya secara dinamis dan bertanggung jawab 13. Orientasi tentang hidup berkeluarga Sedangkan Abin Syamsuddin (Sutirna, 2013: 42) mengemukakan tentang aspekaspek kepribadian, yang mencakup : 14 1. Karakter; yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat. 2. Temperamen; yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan. 3. Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen. 4. Stabilitas emosi; yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, sedih, atau putus asa. 5. Responsibilitas (tanggung jawab), kesiapan untuk menerima resiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima resiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari resiko yang dihadapi. 6. Sosiabilitas; yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. Sementara Aspek Sosial (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2006: 3) seorang individu adalah: 1. Berkembangnya sifat toleran, empati, memahami, dan menerima pendapat orang lain 2. Santun dalam menyampaikan pendapat dan kritik kepada orang lain 3. Ada keinginan untuk selalu bergaul dengan orang lain da bekerja sama dengan orang lain 4. Suka menolong kepada siapa yang membutuhkan pertolongan 5. Kesediaan menerima sesuatu yang dibutuhkan dari orang lain 6. Bersikap hormat, sopan, ramah, dan menghargai orang lain Dari pendapat kedua ahli tersebut, maka aspek-aspek materi bimbingan dan konseling pribadi sosial adalah karakter, temperamen, sikap, stabilitas emosi, responsibilitas, sosiabilitas, sifat toleran dan empati, sopan santun dalam lingkungan sosial, dan sikap menolong. I. Pengembangan Skala Psikologi Pribadi-Sosial Salah satu contoh pengembangan skala psikologi yang diambil adalah skala psikologi kecemasan komunikasi. Tujuan dalam mengembangkan skala ini adalah untuk mengetahui dan mengidentifikasi tingkat kecemasan komunikasi responden. Aspek-aspek dalam kecemasan komunikasi adalah: 1. Unwillingness (ketidaksediaan untuk berkomunikasi) 15 2. Avoiding (penghindaran dari partisipasi karena pengalaman komunikasi yang tidak menyenangkan) 3. Control (rendahnya pengendalian terhadap situasi komunikasi) Tabel 2. Kisi-kisi Pengembangan Skala Psikologi Kecemasan Komunikasi Variabel Aspek Indikator 1. Kecemasan Komunikasi Meyakini komunikasi dapat menimbulkan masalah Unwillingness Merasa tertekan saat (ketidaksediaan untuk berkomunikasi berkomunikasi) Menganggap komunikasi adalah hal yang sangat menakutkan Menghindari komunikasi Avoiding (penghindaran secara langsung dari partisipasi karena 1.1 Komponen Kecemasan terjadi saat pengalaman komunikasi Kecemasan berkomunikasi yang tidak Komunikasi Menghindari diskusi menyenangkan) kelompok Ketidakmampuan dalam mengembangkan komunikasi Control (rendahnya Kurang perhatian saat pengendalian terhadap mendengarkan situasi komunikasi) pembicaraan Ketidakmampuan menerima kritik dan komentar dari orang lain Respon SS S TS STS Item 1,2 3,4 5,6 7,8 9,10 11,12 13,14 15,16 17,18 Keterangan Respon Sangat Sesuai Sesuai Tidak Sesuai Sangat Tidak Sesuai SKALA KECEMASAN KOMUNIKASI No Pernyataan 1. Berbicara dengan orang lain hanya akan menimbulkan masalah 2. Berbicara dengan orang lain akan menambah pengetahuan 3. Saya merasa tertekan ketika harus ikut suasana SS S TS STS 16 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. percakapan Saya dapat mengarahkan pembicaraan seperti yang saya inginkan Saya takut berbicara di depan umum Saya senang angkat bicara dalam suasana percakapan Saya lebih senang berdiam diri daripada ikut terlibat dalam pembicaraan Saya senang berdiskusi saat saya sedang kuliah Saya merasa cemas saat giliran saya untuk berbicara semakin dekat Setiap situasipembicaraan tidak akan membuat saya menjadi berdebar-debar Lebih baik saya tidak datang dalam acara diskusi, toh saya tidak berani dalam mengemukakan pendapat Saya sering dapat menciptakan suatu perbincangan yang menyenangkan Saya merasa ragu apakah saya dapat mengembangkan pembicaraan setelah berhadapan dengan hadirin Saya merasa yakin bahwa saya dapat engembangkan pembicaraan saya setelah berhadapan dengan hadirin Ketika saya mendengarkan pembicaraan orang lain, saya kurang berkonsentrasi Saya menatap penuh lawan bicara saya saat berkomunikasi Saya menjadi merasa dipojokkan ketika banyak pertanyaan muncul saat saya menerangkan sesuatu Saya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan atau memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan dengan penuh keyakinan 17 BAB III KESIMPULAN Skala psikologi adalah suatu instrument yang berupa pertanyaan atau pernyataan dan digunakan untuk mengukur serta mengidentifikasi atribut psikologis responden. Skala adalah salah satu instrument non tes yang digunakan konselor untuk mengidentifkasi kebutuhan peserta didik. Bidang layanan bimbingan dan konseling salah satunya adalah bimbingan dan konseling pribadi sosial. Bimbingan pribadi-sosial merupakan upaya layanan yang diberikan kepada siswa agar mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialaminya, baik yang bersifat pribadi maupun sosial, sehingga mampu membina hubungan sosial yang harmonis di lingkungannya. Aspek-aspek materi bimbingan dan konseling pribadi sosial diantaranya adalah karakter, temperamen, sikap, stabilitas emosi, responsibilitas, sosiabilitas, sifat toleran dan empati, sopan santun dalam lingkungan sosial, dan sikap menolong. Dari beberapa aspek pribadi sosial tersebut di atas diharapkan dapat menjadi acuan bagi seorang konselor dalam mengembangkan skala psikologis pribadi sosial yang dapat membatu mengidentifikasi kebutuhan peserta didik, khususnya kebutuhan pribadi dan sosial. Skala psikologis pada khususnya membantu seorang konselor untuk dapat memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sedangkan secara umumnya pengembangan skala psikologi ini akan membantu pengembangan keilmuan bimbingan dan konseling dalam sumber dan literatur instrument non tes Diharapkan dengan adanya pengembangan skala psikologi ini, akan membantu menambah sumber dan literatur untuk mengembangkan instrument non tes berupa skala psikologi yang lain atau digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya. 18 DAFTAR PUSTAKA Azwar, Saifuddin. (2013). Penyusunan Skala Psikologi (Edisi Dua). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damayanti, Nidya. (2012). Buku Pintar Panduan Bimbingan Konseling. Yogyakarta: Araska. Prayitno. (1987). Profesional Konseling dan Pendidikan Konselor. Padang: FIP IKIP. Sukardi, Dewa Ketut & Nila Kusmawati. (2008). Proses Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta. Sutirna. (2013). Bimbingan dan Konseling Pendidikan Formal, Non Formal dan Informal. Yogyakarta: Andi Offset. widhiarso.staff.ugm.ac.id/files/2_-_skala_psikologi.pdf diakses pada tanggal 5 Maret 2015 pukul 15.00 WIB Winkel, W. S. (2013). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: Gramedia. Yusuf, S. (2007). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Yusuf, Syamsu & A. Juntika Nurihsan. (2009). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung: Remaja Rosdakarya 19