BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Studi tentang elit, itu sama tuanya dengan masyarakat manusia yang terorganisasi, minoritas-minoritas pendeta-pendeta, kesemuanya masing-masing raja-raja, pahlawan-pahlawan lambang-lambang yang terkemuka panglima-panglima, ledendaris bagi yang yang kehidupan mempunyai menjadi bersama1. berupa ahli-ahli, dan perantara dan Suzanne Keller memakai istilah elit strategis untuk memerinci golongan elit menurut fungsi-fungsinya yang khusus dan terpisah, atau bahkan otonom satu sama lainnya yang mencakup elit industri, elit ilmu pengetahuan, elit birokrasi, elit agama, elit militer, dan sebagainya. Studi tentang elit, juga sulit dipisahkan dengan kelas-kelas sosial yang selalu saling terkait. Dalam masyarakat Bima misalnya, bahwa untuk memahami kelas elit, maka kita harus memahami juga kelas-kelas sosial yang ada didalamnya. Kelas sosial di Bima pada awalnya diwarisi dari masa kerajaan yang terbagi dalam empat Suzanne Keller. “Penguasa dan KelompokElit” Peranan elit penentu dalam masyarakat modern. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1995, hlm 37-38. 1 1 kelas/tingkatan2, yaitu: kelas Ruma, kelas Rato atau bangsawan, kelas Uba, dan kelas Ama/rakyat biasa. Kelas sosial Ruma adalah kelompok atau keluarga yang secara turun temurun mewarisi kerajaan dan kesultanan di Bima selama berabad-abad. Di mata masyarakat Bima, kelas Ruma adalah sekelompok minoritas yang sangat dihormati, ditaati, dan diteladani. Apapun yang diperintahkan oleh Ruma Sangaji dalam hal ini Raja atau Sultan adalah harus dituruti. Ruma Sangaji atau Sultan merupakan “bayangan Tuhan di muka bumi” (Zill Allah fi‟l-„alam).3 Dalam pengertian ini, Sultan tidak hanya sebagai pemimpin dunia atau pemimpin pemerintahan tetapi juga pemimpin agama atau elit agama Islam. Pada diri Sultan adalah mewakili dua simbol sekaligus yakni umara dan ulama. Hal ini dapat kita lihat pada sosok Sultan Muhammad Salahuddin yang mendapat gelar “Maka Kidi Agama”(Sultan yang menegakkan agama Islam di dana Mbojo (daerah Bima).4 2 Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, Munawar Sulaiman, Syukri Abubakar. “Aksara Bima Peradaban Lokal yang Sempat Hilang. (Mataram: Alama Tara Institute 2013), hlm. 37. Henry Chambert-Loir, Masir Q Abdullah, Suryadi Oman Fathurrahman, Siti Maryam Salahuddin. Imam dan Diplomasi Serpihan Sejarah Kerajaan Bima. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 35. 3 Hj. Siti Maryam R. Salahuddin. Hukum Hadat dan Undang-Undang Bandar Bima. (Mataram: Lengge, 2010), hlm. 45. 4 2 Cara pandang masyarakat Bima memposisikan Kelas Ruma dalam hal ini Ruma Sangaji (Sultan) sebagai wakil Tuhan di muka bumi tersebut relevan dengan apa yang dijelaskan oleh Carlyle mengenai posisi elit dan beberapa jenis pahlawan, yakni ada elit yang disamakan dengan Tuhan; ada elit yang diperlakukan sebagai satu-satunya wakil Tuhan di dunia. Elit yang termasuk dalam kategori ini adalah nabi, pendeta, ulama, sastrawan, penulis, raja dan seniman. Carlyle meyakini bahwa kepahlawanan seorang elit dapat membangkitkan perasaan setia, hormat, patuh, dan pemujaan dari massa pengikutnya5. Dalam bahasa yang hampir sama, Schoorl dalam Keller, mengatakan bahwa posisi dan status terkemuka para elit ini diperoleh dari pengakuan masyarakat bukan pemberian pemerintah6. Kembali kepada permasalahan inti tentang elit agama Islam, bahwa dalam pengertian yang umum di Indonesia, elit agama Islam sering diterjemahkan kedalam kata “ulama” atau sebutan lainnya, yaitu seseorang yang dianggap mempunyai ilmu pengetahuan agama Islam yang mumpuni yang jauh melebihi guru-guru agama Islam lainnya. Tetapi, sebutan sehari-hari 5 Sztompka. Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2010), hlm. 35. Suzanne Keller. “Penguasa dan KelompokElit” Peranan elit penentu dalam masyarakat modern. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1995, hlm 37-38. 6 3 kepada elit agama Islam cukup beragam dari satu daerah ke daerah yang lain, ada yang menyebutnya “tuan guru”, “sheik”, ajengan, teunku, kyai, dan ulama. Dalam perkembangan sejarah masyarakat Indonesia, sebutan kyai dan ulama paling banyak digunakan7. Pada masyarakat Bima, sebutan sehar-hari bagi elit agama Islam yang paling umum adalah “tuan guru”. Meskipun sebutan kyai, sheik, dan ulama juga kerap didengar di tengah masyarakat. Sebutan yang terakhir tersebut biasa dikaitkan dengan para ulama dari luar daerah Bima. Hal ini tergambar pada awal kedatangan Islam di Bima yang dibawa oleh beberapa ulama termasyur, seperti: Syekh Umar al-Bantani dari Banten, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin,dan Syekh Umar Bamahsun dari Arab. Para ulama inilah yang pertama kali mengislamkan atau mengajarkan agama Islam kepada Ruma Sangaji dan keluarga besarnya serta kepada masyarakat Bima pada umumnya. Posisi para ulama ini begitu dihormati, terkemuka, dan menjadi penasehat bagi kesultanan Bima. Masuknya agama Islam di Bima melalui keluarga Ruma Sangaji (Sultan) pada awal abad ke - 17 berimplikasi besar pada Mohammad Iskandar, dkk. Peranan Elit Agama pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia. (Jakarta: CV. Putra Prima, 2010), hlm. 1. 7 4 cepatnya perkembangan agama Islam di Bima dan terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari sistem kerajaan yang berdasarkan hadat ke sistem pemerintahan kesultanan yang berdasarkan agama Islam. Dalam menjalankan roda pemerintahan, kesultanan Bima mendirikan mahkamah syar‟iyah yang diduduki oleh para tuan guru atau ulama untuk meneggakkan agama Islam yang berlandaskan syariat Islam. Beberapa tugas Mahkamah syar‟iyah, antara lain melaksanakan peradilan agama, mengelola zakat dan wakaf, serta mengeluarkan fatwa atau fasal penting mengenai “adab ketatanegaraan” (fiqh siyasah), yakni mengandung nasehat dan petunjuk tentang sikap dan tindakan yang harus dituruti oleh seorang sultan agar memerintah dengan adil, baik, dan sesuai dengan syariat Islam8. Penjelasan di atas menggambarkan keutamaan praktik agama Islam, betapa penting agama Islam dalam lingkungan pemerintahan kesultanan, dan betapa tingginya pengetahuan dalam ilmu agama Islam pada saat itu. Dengan melihat kemajuan yang luar biasa dalam agama Islam yang dipraktekkan oleh elit-elit agama Islam pada masa kesultanan, maka peneliti ingin Henry Chambert-Loir, Masir Q Abdullah, Suryadi Oman Fathurrahman, Siti Maryam Salahuddin. Imam dan Diplomasi Serpihan Sejarah Kerajaan Bima. (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 11. 8 5 memahami lebih jauh tentang peran elit agama Islam dalam mengelola zakat di Bima dalam perspektif historis. Studi tentang agama Islam, selalu saja terkait dengan kiprah elit agama Islam dan praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam struktur sosial lebih-lebih dalam mengamalkan rukun Islam sebagai ajaran pokok agama Islam. Rasulullah saw bersabda: “Islam itu dibangun di atas lima perkara; bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke baitullah bagi yang mampu”. Zakat adalah salah satu pilar agama Islam yang harus dijalankan dalam kehidupan masyarakat muslim di mana pun. Rasulullah bagaimana dan para mengelola sahabatnya zakat telah dengan memberikan baik dalam contoh rangka peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat. Abubakar Siddik pernah mengatakan “demi Allah bahwa orang yang keberatan menunaikan zakat pada pemerintahanku, yang dulu mereka lakukan kepada Rasulullah, akan kuperangi”9. Muhammad Husain Haekal. Abubakar As-Sidiq Sebuah Biografi dan Studi Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi. (Jakarta: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 2005), hlm. 88. 9 6 Umat Islam pernah mengalami masa emas (the golden age) dalam mengelola zakat yaitu pada kekhalifahan Umar Bin Abdul Aziz. Masa kepemimpinannya, harta zakat melimpah ruah tersimpan di Baitul Mal. Bahkan petugas amil zakat kesulitan mencari golongan fakir miskin yang membutuhkan harta zakat. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan pengelolaan zakat pada masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz, yaitu adanya kesadaran kolektif dari umat Islam dalam hal zakat, adanya komitmen yang tinggi dari seorang pemimpin, dan adanya kepercayaan muzakki terhadap amil yang mengelola zakat pada saat itu10. Keberhasilan yang ditunjukkan oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz ini tidak hanya memiliki makna historis sebagai pengalaman yang mesti diteladani, tetapi juga membuktikan bahwa wahyu tuhan yang normatif itu dapat diempiriskan begitu baik oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Cerita sukses pengelolaan zakat pada masa awal kekhalifahan Umat Islam, apakah berlanjut sampai di Indonesia pada umumnya dan di daerah Bima khususnya? Untuk itu perlu diteliti bagaimana peran elit agama Islam dalam mengelola zakat di Bima dalam perspektif historis. Ahmad Salabi. Sejarah Kebudayaan Islam, terjemahan, Mukhtar Yahya. (Jakarta: Mutiara, 1994). hlm. 144. 10 7 Dalam sejarah masyarakat Bima, menjelaskan bahwa semenjak peralihan dari sistem kerajaan kepada sistem kesultanan di Bima pada tahun 1640 dan dibentuknya mahkamah syar‟iyah sebagai pengganti majelis hadat maka secara implisit pengelolaan zakat mulai dilakukan. Pengelolaan zakat yang dilakukan oleh mahkamah syar‟iyah masih bersifat tradisonal dan diwarisi secara turun temurun oleh beberapa sultan. Secara umum bahwa masyarakat Bima pada masa kesultanan sangat taat membayarkan zakatnya pada lembaga zakat yang dibentuk oleh sultan. Kesuksesan pengelolaan zakat pada masa kesultanan tidak berlanjut hingga masa kemerdekaan akibat penetrasi kolonial Belanda yang merusak sistem pemerintahan kesultanan Bima. Pada masa pemerintahan sultan Ibrahim tahun 1881-1917, Kolonial Belanda secara resmi menguasai kesultanan Bima11. Kesultanan Bima secara efektif tidak lagi memiliki kekuasaan penuh terhadap masyarakatnya. Kolonial Belanda menghapus dan mengamputasi keberadaan lembaga mahkamah syar‟iyah sebagai lembaga pengelola zakat sampai ke desa. Akibatnya adalah dana zakat tidak lagi dikumpulkan secara terlembaga tetapi masyarakat Bima membayarkan zakatnya secara personal langsung kepada Marwan Saridjo. Perang Ngali Sebuah Perang Sabil. (Bogor: Al Manar Press, 2012). hlm. 42. 11 8 tuan guru, guru ngaji, dan mustahiq. Setelah masa kolonial Belanda berakhir dan digantikan oleh pendudukan Jepang pada tahun 1942 membawa nuansa baru, yakni adanya hubungan yang baik antara kesultanan, tuan guru dan Jepang dengan diberikan keleluasaan kepada kesultanan Bima untuk mengaktifkan kembali sistem kesultanan; artinya mahkamah syar‟iyah dapat kembali mengelola zakat meskipun tingkap ketaatan masyarakat Bima dalam membayar zakat sedikit menurun akibat penetrasi kolonial Belanda yang menghapus pengelolaan zakat secara lembaga. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan kesultanan Bima berikrar menjadi bagian dari NKRI; kesultanan Bima di bawah pemerintahan sultan Muhammad Salahuddin sampai tahun 1951 merupakan masa kebangkitan Islam di Bima berkat dukungan kuat dari sultan sendiri. Disamping Mahkamah syar‟iyah atau badan hukum syara‟ mulai memiliki peluang untuk diaktifkan kembali, juga Lembaga-lembaga pendidikan Islam didirikan di setiap desa di seluruh wilayah Bima. Atas jasa perjuangannya dalam menegakkan agama Islam, Sultan Muhammad Salahuddin diberi gelar sultan yang menegakkan 9 agama Islam (sultan Ma Kakidi Agama)12. Setelah sultan Muhammad Salahuddin wafat pada tahun 1951 maka berakhirlah masa kesultanan di Bima dan melebur sepenuhnya pada NKRI dengan sebutan daerah swapraja. Dari tahun 1951 sampai 1968 pengelolaan zakat di bawah departemen agama dan yayasan islam Bima. Semenjak tahun 1968 pengelolaan zakat mulai dikelola oleh sebuah lembaga khusus yaitu Bazis kabupaten Bima yang diprakarsai oleh elit-elit agama Islam. Lahirnya Bazis sebagai lembaga zakat yang baru ini merupakan kelanjutan dari lembaga zakat sebelumnya tetapi dalam semangat dan manajemen zakat yang berbeda dari sebelumnya. Dalam perkembangannya, pengelolaan zakat di Bima dari tahun 1968 sampai tahun 2005 memiliki dinamika dan pasangsurut yang luar biasa sesuai dengan konteks dan kompleksitas persoalannya. Faktor-faktor seperti elit pemerintah daerah, elit agama Islam (pengurus Bazis) dan manajemen lembaga zakat merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi maju- mundurnya pengelolaan zakat pada saat itu. Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, Munawar Sulaiman, dan Syukri Abubakar. Aksara Bima Peradaban Lokal Yang Sempat Hilang. (Mataram: Alam Tara Intitute, 2013). hlm. 29. 12 10 Disamping latar belakang historis di atas, penulis juga mengamati bahwa pengelolaan zakat di Bima belum sesuai harapan. Harta zakat yang terkumpul masih berkisar 10-20% dari potensi zakat yang ada. Ada beberapa hal yang menjadi kendala pengelolaan zakat di Bima, antara lain: Manajemen yang diterapkan tidak profesional, Peran para amil zakat belum begitu serius, pengumpulan dan penyaluran dana zakat tidak dilakukan dengan baik, dan hal inilah yang membuat sebagian besar masyarakat Bima tidak memiliki kepercayaan terhadap Badan Amil Zakat yang ada. Meskipun pengelolaan zakat di Bima tidak secemerlang seperti pada masa para sahabat dan tabi‟in, bukan berarti meneliti sejarah pengelolaan zakat di Bima tak penting atau tak perlu dilakukan. Peneliti meyakini bahwa penelitian ini akan bermakna historis bagi masyarakat Bima sekarang dan yang akan datang, agar pengelolaan zakat di Bima Nusa Tenggara Barat terus mengalami kemajuan dari waktu ke waktu. Hal ini relevan dengan apa yang katakan oleh M. Natsir, bahwa proses evolusi dan perubahan kehidupan umat Islam mesti terus dibuktikan dan ditingkatkan untuk mencapai tatanan yang lebih baik; M. Natsir berpesan, dalam mencapai tatanan yang baik bagi Umat Islam, 11 „mari kita mulai dari zakat! Kita atur, kita organisir sehingga zakat itu betul-betul dapat menghilangkan kemiskinan dan kemelaratan di dalam masyarakat13. Pengelolaan zakat menjadi penting agar terjadi distribusi kekayaan dengan adil dalam masyarakat Islam. Dalam agama Islam Harta itu tidak boleh berputar di antara orang-orang kaya saja. Allah mengecam orang-orang yang menimbun harta dan tidak mempergunakannya untuk kepentingan agama dan umat. Allah menilai orang-orang yang tidak memperhatikan nasib orang-orang miskin dan anak yatim sebagai pendusta agama. Sebaliknya Allah menggembirakan orang suka mendermabaktikan harta bendanya di jalan Allah akan selamat di dunia dan akhirat. Allah menegaskan bahwa di dalam kekayaan seseorang itu terkandung hak orang lain yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim. Dengan melihat begitu besar dan urgennya zakat bagi kehidupan umat Islam, maka hal inilah yang menggugah peneliti untuk mengkaji peran elit agama Islam dalam pengelolaan zakat di Bima Nusa Tenggara Barat dalam perspektif historis. M. Natsir Capita Selecta, jilid 2. (Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, S‟Gravenhage, 1954), hlm. 98. 10 12 B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah terpusat pada permasalahan mengenai “peran elit agama Islam dalam pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis sejak awal abad ke-20 sampai tahun 2005. Dalam hal ini, peneliti ingin mengungkap peran elit agama Islam yang bertugas untuk mengelola zakat pada masa kolonial Belanda, masa kesultanan Muhammad Salahuddin, dan elit agama Islam yang menjadi amil dalam pengelolaan zakat di pada Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten Bima pada periode 1968-2005. Penulis ingin melihat secara komprehensif mengenai perubahan yang terjadi dari tahapan/periode dalam pengelolaan zakat di Bima yang dilakukan oleh elit Agama Islam. Apakah pengelolaan zakat yang dilakukan oleh elit agama Islam di Bima dalam perspektif historis mengalami perubahan positif dari tahun ke tahun atau justru semakin merosot. Jika dalam pengelolaan zakat di Bima dari dulu sampai sekarang masih jalan di tempat atau justru merosot, maka penelitian ini juga berusaha persoalannya. 13 untuk menemukan kausalitas Peneliti meyakini bahwa sebuah lembaga atau komunitas yang berevolusi dan berproses secara positif, pada saatnya nanti akan dapat menemukan jati dirinya dalam bentuk yang terbaik sehingga menjadi sebuah lembaga yang profesional, amanah, dan transparan yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Termasuk dalam hal ini, Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten Bima agar terus belajar dari pengalaman orang lain dan pengalaman dirinya, sehingga pada suatu saat nanti akan mampu menjadi sebuah lembaga zakat yang dapat mensejahterakan para muzakki dan masyarakat Bima yang miskin. Untuk dapat memahami peran elit Islam dalam pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis, maka penulis merumuskannya dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: Pertama, tentang kondisi lembaga zakat dan elit agama Islam yang telah dibekukan dan diamputasi oleh kolonial Belanda dalam mengelola zakat. Kondisi ini melahirkan pertanyaanpertanyaan seperti: Bagaimana dampak dari keberadaan pemerintahan kolonial Belanda terhadap pengelolaan zakat di Bima pada awal abad ke-20? Bagaimana peran elit agama Islam dan sistem pengelolaan zakat pada masa kolonial Belanda? Setelah berakhirnya masa kolonial Belanda di Bima dan dimulainya masa 14 pendudukan Jepang, memunculkan pertanyaan “Bagaimana kondisi elit agama Islam dan pengelolaan zakat di Bima? Apakah pada masa pendudukan Jepang kondisi pengelolaan zakat sama dengan pada masa kolonial Belanda? Kedua, tentang berakhirnya masa kolonialisme di Bima tahun 1945 dan babak baru kehidupan masyarakat Bima di alam kemerdekaan yang sepenuhnya kembali pada sistem pemerintahan kesultanan. Dalam hal ini pengelolaan zakat di Bima kembali berada di bawah badan hukum syara‟ atau mahkamah syar‟iyah. Pertanyaannya adalah “Bagaimana pola pengelolaan zakat yang dilakukan oleh elit agama Islam pada masa kesultanan Muhammad Salahuddin pada tahun 1945-1951 dan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh yayasan Islam dan departemen agama tahun 1952-1968? Ketiga, tentang lahirnya badan amil zakat baru pada masa kemerdekaan. Dalam hal ini memunculkan beberapa pertanyaan seperti siapa saja elit agama Islam yang memprakarsai lahirnya Basiz di Bima pada tahun 1968? Bagaimana pola pengelolaan zakat yang dilakukan oleh elit agama Islam di Bima pada tahun 1968-2005? Apakah ada perubahan yang signifikan dari pola 15 kepemimpinan elit agama Islam terhadap pengelolaan zakat di Bima dari tahun 1968-2005?. Subyek dan obyek dalam studi ini adalah elit agama Islam yang berperan dan berpengaruh dalam pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis sejak awal abad ke-20 sampai tahun 2005. Dipilihnya awal abad ke-20 sebagai batasan awal karena pada periode ini Kesultanan Bima dipimpin oleh Sultan yang memiliki andil besar dalam menegakkan agama Islam di Bima, yaitu Sultan Muhammad Salahuddin sebagai bapak “Maka Kidi Agama”. Tahun 2005 dipilih sebagai batasan akhir dengan pertimbangan bahwa pengelolaan zkat di Bima memiliki banyak perubahan dari pola pengelolaan sebelumnya, terutama dari segi peraturan, kepemimpinan, dan manajemen. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. Berdasarkan rumusan masalah dan ruang lingkup penelitian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, menjelaskan perubahan pengelolaan zakat yang terjadi pada masa kolonial Belanda yang membekukan struktur pemerintahan kesultananan Bima yang berimbas pada diberhentikannya pengelolaan zakat oleh elit agama Islam yang 16 bertugas dalam mahkamah syar‟iyah dan menjelaskan pengaruh pendudukan Jepang terhadap peran elit agama Islam dalam pengelolaan zakat. Kedua, menjelaskan pola pengelolaan zakat yang dilakukan oleh elit agama Islam pada masa kesultanan Muhammad Salahuddin pada tahun 1945-1951 dan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh yayasan Islam dan departemen agama pada tahun 1952-1968. Ketiga, menjelaskan siapa saja elit agama Islam yang memprakarsai lahirnya Basiz di Bima pada tahun 1968, pola pengelolaan zakat yang dilakukan oleh elit agama Islam di Bima pada tahun 1968-2005, dan perubahan yang signifikan dari pola kepemimpin elit agama Islam terhadap pengelolaan zakat di Bima dari tahun 1968-2005. Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam pengelolaan zakat bagi lembaga zakat yang ada di daerah lain di Indonesia agar semakin baik pengelolaannya dan sebagai salah satu referensi bagi peneliti lain yang akan meneliti persoalan yang sama di tempat lain. 17 D. Kerangka Konseptual Berdasarkan topik kajian, ada beberapa konsep utama yang akan dibahas yaitu konsep tentang elit agama Islam, konsep tentang zakat, dan konsep tentang manajemen dalam pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis. Secara substansial, tidak ada satu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang sejarahnya. Setiap masyarakat dalam setiap kehidupannya pasti akan mengalami perubahan-perubahan, yakni kemajuan dan kemunduran. Perubahan tersebut dapat dialami oleh masyarakat manapun, baik masyarakat padat level negara, masyarakat pada level daerah, maupun masyarakat yang tergabung pengelolaan dalam zakat sebuah di organisasi.Dalam Bima juga tentu sejarah mengalami panjang banyak perubahan yang dilakukan oleh para elit agama Islam. Baik itu dalam hal leadership maupun manajerialnya. Kerangka konseptual yang akan dikupas sebagai bahan pijakannya dalam penulisan ini adalah mengenai konsepsi tentang elit agama Islam, konsepsi tentang zakat, dan konsepsi tentang manajemen pengelolaan zakat. Ketiga konsepsi tersebut berfungsi untuk menjadikan penelitian memiliki alur yang konsisten dan penulisan yang sistematis. 18 Dalam memahami konsep tentang elit agama Islam, terlebih dahulu kita memahami konsep elit itu sendiri. Istilah elit berasal dari bahasa Latin eligere yang berarti “memilih/pilihan”. Dalam perkembangan selanjutnya, kata pilihan menjadi terkemuka. Elit dalam arti yang paling umum ialah sekelompok orang-orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Dalam penjelasan yang hampir sama, bahwa istilah elit menunjuk kepada suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk melayani suatu kolektifitas dengan cara yang bernilai sosial. Lebih lanjut, kaum elitadalah minoritas-minoritas yang efektif dan bertanggung jawab, yaitu efektif dalam melihat kepada pelaksanaan kegiatan kepentingan dan perhatian kepada orang lain dan bertanggung jawab untuk merealisasikan tujuan-tujuan sosial yang utama dan untuk kelanjutan tata sosial.14 Menurut Suzanne Keller, bahwa studi kaum elit di masa lalu terdiri dari dua perspektif pokok, yaitu yang bersifat moral dan yang fungsional. Yang pertama menitikberatkan pada keutamaan moral pribadi, dan kedua pada peranan fungsional dari suatu lapisan. Sementara studi kaum elit di era industri sekarang dimana masyarakat menjadi kian kompleks dan Suzanne Keller. Penguasa dan Kelompok Elit Peranan Elit-Penentu dalam Masyarakat Modern. (Jakarta: PR RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 3. 11 19 berdiferensiasi dalam kerja dan ekonomi, maka kaum elit pun memiliki peran penting sebagai penjaga dan pencipta nilai-nilai kolektif, sebagai pengelola tujuan-tujuan dan ambisi-ambisi kolektif. Menurutnya, bahwa pada masyarakat yang sederhana dengan solidaritas mekanis hanya membutuhkan satu elit moral seperti pendeta, ulama sebagai fokus dan pusat dari kehidupan sosial yang terorganisasi. Sementara pada masyarakat yang kompleks dengan solidaritas organis tidak bisa lagi hanya berfokus pada satu elit moral saja, melainkan oleh beragam elit pada segi-segi tertentu dari dunia yang terbagi-bagi menurut jabatan. Pada konteks ini, masing-masing jabatan mengembangkan suatu identitas moralnya sendiri yang khusus15. Pengertian yang diutarakan oleh Suzanne Keller di atas didukung oleh ahli lain seperti Bierstedt16 dan schoorl dalam Keller dengan menjelaskan bahwa elit adalah sekelompok orang dalam masyarakat yang mempunyai pengaruh, kedudukan paling tinggi di dalam struktur sosial, politik, pemerintahan, militer, ekonomi, dan agama. Lebih lanjut dikatakan secara khusus menyebut elit agama bagi mereka yang terkemuka di bidang 12 Ibid, hlm.4. 13 Ibid, hlm. 124. 20 agama. Elit dapat juga difahami dari sisi peranan simbolisnya, yakni elit adalah penentu dan perantara simbolis atau lembaga. Artinya bahwa tindakan-tindakan mereka di depan umum baik yang bersifat instrumental maupun ekspresi dapat mempengaruhi cara pandang dan pola hidup masyarakat atau umat. Pemahaman Bierstedt tersebut secara tegas menunjukkan bahwa pengertian elit sangat berhubungan dengan problema adaptif dan pencapaian tujuan yang dinilai melalui apa yang mereka selesaikan, yaitu elit cenderung difahami dari sisi kemampuan kerja atau kharisma, integritas diri, dan solidaritasnya. Beberapa teori elit di atas menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan elit agama adalah mereka yang memiliki posisi dan peranan strategis dalam agama. Status dan peran strategis elit agama ini diakui dan dihargai secara luas dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka lebih berperan di dalam konteks kehidupan sosial yang luas daripada sekedar menyampaikan misi yang sempit. Hakekat dan peran yang ditampilkan oleh elit agama harus selalu terkait dengan konteks budaya sehingga memiliki nuansa nilai-nilai hidup masyarakat. Artinya, dalam melakukan peran sosialnya, elit agama harus 21 menunjuk pada kewajiban dan tanggungjawabnya di bawah sebuah institusi sosial yang berwenang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan teori-teori dari para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa elit agama Islam merupakan sekelompok pribadi-pribadi pengetahuan dalam agama masyarakat yang yang mumpuni, memiliki memiliki ilmu pengaruh, kedudukan, dan jabatan tertinggi dalam struktur sosial dan organisasi/lembaga keagamaan yang formal dan non formal. seperti sultan, ulama, pendeta, ketua organisasi, pemimpin formal dan nonformal. Berkaitan dengan penelitian ini, bahwa elit agama yang dimaksud adalah elit agama Islam seperti sultan ulama/tuan guru, ketua lembaga peradilan, dan ketua lembaga zakat, ketua yayasan Islam, dan ketua lembaga Islam lainnya. Konsep kedua yang dijelaskan adalah tentang zakat. Kata zakat tidak hanya terdapat dalam Islam, tapi juga dikenal dalam agama samawi (langit) lainnya seperti pada agama Yahudi dan Kristen. Konsep zakat ini dapat dikatakan sebagai konsep yang khas agama langit. Orang Yahudi menyebut istilah pajak agama (zakat) atas padi-padian. Orang 22 Kristen menyebut zakat gereja/derma Kristen (tithe). Umat Islam menyebutnya zakat fitrah dan zakat harta (maal)17. Zakat fitrah terkait dengan ibadah puasa Ramadhan karena dikeluarkan oleh setiap jiwa muslim baik yang kaya maupun yang miskin di bulan Ramadhan dan terutama sehari menjelang perayaan Idul Fitri. Zakat harta dikenakan kepada setiap muslim yang kaya yang bergerak di berbagai sektor seperti: pertanian, pertambangan, peternakan, emas dan perak, serta barang temuan, yang pada perkembangan selanjutnya, zakat harta juga dikenakan kepada profesi, jasa, dan komoditas yang diperdagangkan18. Kata zakat dalam Al Qur,an disebut juga sadaqah dan infak. Zakat menurut bahasa artinya berkembang dan pensucian, yaitu sesorang muzakki yang mengeluarkan zakatnya akan menjadikan hartanya menjadi berkembang, berkah, dan bersih. Dalam pengertian yang lain, bahwa dengan membayar zakat seseorang akan mendapatkan pahala dan dirinya suci dari sifat 17 James C. Scott. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993),hlm 332. Nurhasan Hamidi. Akuntansi Syariah: Tinjauan Zakat pada Perusahaan Dagang dan Implikasi terhadap Akuntansi Positif. (Yogyakarta: Ekbisi Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam. Vol. 1. No. 2. Juni 2007 Program Studi Keuangan Islam UIN Sunan Kalijaga),hlm. 110. 18 23 bakhil (kikir). Sementara definisi zakat secara syar‟i adalah sedekah (levy) yang diwajibkan atas harta seorang muslim yang telah memenuhi syarat (nisab) dan haul (waktu) tertentu19. Dalam pengertian yang lebih detail, zakat adalah pemindahan hak milik atas bagian tertentu dari harta tertentu kepada orang yang berhak menerimanya dari golongan tertentu pula dengan maksud untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahuwa Ta‟ala dan mensucikan jiwa, harta, dan masyarakat. Jadi, zakat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh Umat Islam yang mampu secara ekonomi (muzakki) pada lembaga yang telah dibentuk oleh negara dan masyarakat untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya (delapan asnaf). Zakat mempunyai kedudukan penting dalam struktur ekonomi–keagamaan dari mekanisme keuangan Islam. Pada era kepemimpinan Rasulullah di Madinah zakat merupakan sumber keuangan yang utama. Dari dana zakatlah anggaran yang digunakan untuk kesejahteraan orang miskin dan pembiayaan perjuangan Islam (sumber kas negara yang utama) pada saat Salahuddin Azmi. Menimbang ekonomi islam (keuangan public, konsep perpajakan dan peran Bait al-Maal. (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 56. 19 24 itu20. Zakat pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat secara lebih baik. zakat merupakan sebuah sistem yang akan menjaga keseimbangan dan harmoni sosial di antara kelompok kaya (muzakki) dan kelompok miskin (mustahiq). Realitas adanya kaum miskin dan kaya dalam sejarah manusia adalah suatu keniscayaan. Namun demikian, keberadaan dua komponen kelompok manusia tersebut tidak harus dihadap-hadapkan. Sebaliknya, harus saling bahu membahu dan tolong menolong antara sesamanya. Dalam hal ini, diperlukan kepekaan pemerintah untuk menciptakan kondisi yang kondusif agar tidak terjadi konflik sosial dari kedua komponen tersebut. Ketika pemerintah dan masyarakat tidak mampu menciptakan kondisi sosial yang kondusif, maka kemunculan jurang pemisah yang dalam antara kedua kelompok ini tidak dapat dihindari bahkan melahirkan instabilitas.21 20 Yusuf Qardhawi. Fiqh prioritas. Sebuah kajian baru berdasarkan Al-Qu‟an dan As-Sunnah.(Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 37. Pengalaman sejarah Bangsa Indonesia misalnya, porak porandanya eksistensi negara Indonesia sekarang ini adalah akibat konflik dua kelompok miskin dan kaya. Perbedaan yang sangat mencolok dalam bidang ekonomi, kebijakan yang tidak memihak kepada kaum dhuafa, dan ketidakadilan sosial adalah faktor-faktor utama dari instabilitas roda pemerintahan. Sebagaimana yang diucapkan oleh Soedjatmoko, „kemiskinan merupakan sumber utama yang memicu kekacauan. Lihat kompas, edisi 31 Desember 1979. 21 25 Konsep berikutnya adalah tentang manajemen zakat. Dalam agama Islam, zakat wajib dikelola oleh sebuah lembaga khusus yang dibentuk oleh negara dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam mengelola zakat diperlukan manajemen yang profesional. Berbicara mengenai manajemen, tentu kita melihat beragam pengertian dari para ahli. Wilson Bangun menjelaskan bahwa manajemen adalah suatu seni, ilmu, dan proses dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas seperti pengorganisasian, perencanaan, penyusunan personalia, dan pengawasan dengan memanfaatkan sumber daya organisasi lainnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan22. Relevan dengan pengertian tersebut, Leslie W. Rue and LIoyd L. Byar dalam buku Qodri, menjelaskan bahwa “Management is a process or form of work that involves the guidance or direction of group of people toward organizational goals or objectives” (manajemen adalah suatu proses atau bentuk kerja yang meliputi arahan terhadap suatu kelompok orang menuju tujuan (goal) organisasi23. Sementara Amalia Ustadz Muhammad menjelaskan ada dua model manajemen, yaitu profesional dan tradisional. Manajemen 22 Wilson Bangun. Intisari Manajemen. (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), hlm. 39. Leslie W. Rue and LIoyd L. Byar. Management: Teory and Application, resived ed. (Hoomwood: Richard Irwin, Inc, 1980), hlm. 6. 23 26 profesional memiliki ciri-ciri, menganggap penting, kelas utama, modern, perencanaan yang matang, struktur organisasi, dengan fit and proper test, ikhlas dengan imbalan besar, dikelola full time, SDM berkualitas, pilihan utama, kreatifitas tinggi, disiplin tinggi, monitoring dan evaluasi yang konsisten. Sedangkan manajemen tradisional ialah yang memiliki ciri-ciri, anggap sepele, kelas dua, tanpa manajemen, tanpa perencanaan, struktur organisasi tumpang tindih, tanpa fit and proper test, ikhlas tanpa imbalan, dikelola paruh waktu, lemahnya SDM, bukan pilihan, kurang kreatifitas, tidak ada monitoring dan evalusi, tidak disiplin, dan berbentuk kepanitiaan24. Dari beberapa definisi tersebut, minimal ada empat unsur penting dalam manajemen, yaitu: (1) badan/lembaga, (2) proses kerja, (3) orang yang melakukan proses kerja dalam lembaga, dan (4) goal. Keempat unsur manajemen ini jika diterapkan dalam manajemen zakat maka dapat diterapkan sebagai berikut: badan/lembaga adalah Badan Amil Zakat, proses kerja adalah pendataan muzakki, pengumpulan zakat, pendistribusian zakat, Amalia Ustads Muhammad. Peranan Lembaga Pengelola Zakat. Makalah yang disampaikan pada seminar yang diadakan oleh keluarga muslim Fakultas Teknik UGM dengan tema “Zakat, Infaq, Sodaqoh dalam Membangun Umat”. (Yogyakarta: 13 September 2008),hlm. 3. 24 27 dan pendayagunaan zakat, dan orang yang melakukan proses kerja dalam lembaga adalah amil (komite pengumpul zakat), dan goal adalah dapat meningkatkan kesejahteraan umat. Dalam hal mengelola zakat, menurut Qodri, Umat Islam harus juga mendalami ilmu manajemen. Meskipun ilmu manajemen pada dasarnya dikembangkan untuk kepentingan bisnis private sector (yang sasaran utamanya adalah untuk meningkatkan profit yang sebesar-besarnya). Tetapi ilmu manajemen dapat diterapkan dalam pengelolaan zakat sebagai salah satu nonprofit organization, tentu dengan beberapa penyesuaian25. Qodri menambahkan, dalam pengelolaan zakat yang profesional, amanah, dan transparan disamping membutuhkan kelembagaan yang baik juga membutuhkan orangorang yang benar-benar memahami zakat dan orang-orang yang ahli dalam bidang manajemen. Jadi yang dimaksud manajemen dalam penelitian ini adalah kerjasama amil zakat dalam mendata, mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat untuk kemaslahatan umat. Qodri Azizy. Membangun fondasi ekonomi umat; meneropong prospek berkembangnya ekonomi Islam.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 142. 25 28 E. Tinjauan Pustaka Diskursus zakat sudah sejak lama menjadi objek kajian yang menarik bagi para ilmuan atau pun elit agama Islam. Oleh karena itu, berbagai kajian seputar zakat sudah cukup banyak dilakukan, baik untuk kebutuhan akademik maupun untuk kebutuhan sebuah lembaga (pemerintah dan swasta). Namun, kajian yang secara spesifik mengangkat elit agama Islam dalam pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis, sejauh ini, menurut pemahaman penulis, belum ada yang mengkajinya. Diantara karya kepustakaan tentang Bima yang terdekat dengan topik penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Henri Chambert Loir, Massie Q Abdullah, Suryadi Oman Fathurrahman, dan H. Siti Maryam Salahuddin pada tahun 2010 dengan judul: “Iman dan Diplomasi Serpihan Sejarah Kerajaan Bima”. Buku ini menguak tiga dokumen penting dari kesultanan Bima periode abad ke-18 dan 19, dengan fokus terhadap dua komponen terpenting dari dinamika kerajaan masa itu, yaitu iman dan diplomasi, yaitu tentang agama, politik, dan kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri kesultanan Bima terus memperdalam dan memperkuat agama Islam sebagai salah satu asas terpenting bagi struktur sosial masyarakat Bima, seperti 29 mahkamah syar‟iyah baik pejabat dari pusat maupun pada level di bawahnya. Sedangkan menyangkut kebijakan luar negeri, kesultanan Bima dalam berhubungan diplomatik dengan negeri lain harus pandai mengatur siasat menghadapi hegemoni Kolonial Belanda. Karya kepustakaan lain yang penting mengenai kesultanan Bima adalah buku “Badan Hukum Syara` Kesultanan Bima 19471957: Sebuah Studi Mengenai Peradilan Agama” yang ditulis oleh Abdul Ghani Abdullah yang merupakan seri Disertasi Doktor di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1987. Dalam Disertasi ini yang menjadi fokus kajiannya adalah pada dimensi peradilan agama (seputar teori) yang terdapat dalam lembaga tersebut. Tetapi juga banyak membahas tentang tugas mahkamah syar‟iyah sebagai lembaga yang mengurus masalah zakat dan wakaf pada masa kesultanan Muhammad Salahuddin dari tahun 1915-1951. Selain dua karya kepustakaan di atas, ada karya yang ditulis oleh Faisal tentang “Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim dan Indonesia” (Pendekatan Teori Investigasi-Sejarah Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve). Karya ini secara substantif membahas tentang sejarah panjang pengelolaan 30 zakat sejak zaman klasik Islam hingga hingga realitas penerapannya di zaman modern pada beberapa negara Islam seperti Zakat pada masa Nabi, Zakat pada Masa Sahabat, Zakat pada Masa Tabi‟in, pengelolaan zakat di Saudi Arabiah, Sudan, Pakistan, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan fokus utamanya adalah pengelolaan zakat di Indonesia. Tulisan ini dimuat dalam Jurnal Alisis, (Volume XI, nomor 2, Desember 2011). Beberapa karya kepustakaan yang ada di atas memiliki fokus kajian tentang daerah Bima dan zakat, tetapi tidak secara detail membahas mengenai elit agama Islam dan pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis. Di antara tulisan di atas, ada sebuah tulisan yang membahas sedikit tentang pengelolaan zakat di Bima pada masa kesultanan tetapi hanya sebatas menyinggung tentang peran lembaga mahkamah syar‟iyah dalam mengelola zakat dan wakaf untuk gaji pegawai kesultanan, pendidikan, dan pembangunan fasilitas keagamaan seperti masjid dan musholla. Buku ini ditulis oleh AbdulGhani Abdullahyang berjudul “Badan Hukum Syara` Kesultanan Bima 1947-1957: Sebuah Studi Mengenai Peradilan Agama”. 31 F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Menurut Kuntowijoyo, metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian sejarah.26 Garraghan menyebutkan metode sejarah sebagai langkah dasar, penilaian kritis terhadap sumber informasi dan eksposisi yang dijadikan dengan terperinci27. Dalam penjelasan yang lain, bahwa Metode penelitian sejarah menggunakan seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sajarah secara efektif, menilainya secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tulisan.28 Menurut Nugroho Notosusanto terdapat empat tahapan dalam metode penelitian sejarah yaitu; heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi29. Heuristik merupakan tahapan menemukan 26 dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya data Kuntowijiyo. Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 411. Gilbert J. Garraghan. A guide to Historical Method. (New York: Fordham University, 1957), hlm. 33-34. 27 28 Dudung Abdurrahman. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar Russ Media, 2007, hlm. 53. Nugroho Notosusanto. Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Dephankam, 1971, hlm. 35. 29 32 sejarah (sumber sejarah) yang relevan dengan yang ditulis. Sumber sejarah merupakan bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Data sejarah yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan jenis sejarah yang dikaji. Kemudian dikelompokkan berdasarkan jenis sumber sejarah. Langkah yang diambil penulis pada tahapan ini adalah melakukan wawancara dengan informan kunci, seperti keluarga keturunan kerajaan Bima, sejarawan Bima, mantan pengurus Bazda kabupaten Bima, tokoh agama, dan masyarakat Bima (oral history). Informan tidak hanya menceritakan kembali masa lalu, tetapi juga membuat penilaian dan interpretasi terhadap masa lalu.30 Penyajian data lisan menggunakan dua metode yaitu menggunakan tulisan analitis dengan tujuan utama menyajikan argumen mengenai peristiwa tertentu; dan menggunakan format profil orang yang diwawancarai. Pembaca diberikan riwayat hidup seseorang.31 Bambang Purwanto. “Sejarah Lisan dan Upaya Mencari Format Baru Historiografi Indonesiasentris” dalam buku Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta Persembahan kepada Tengku Ibrahim Alfian, (Jakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, 2002), hlm. 52. 30 Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari. Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLVJakarta, dan Pustaka Larasan, 2008), hlm. 192. 31 33 Dalam peneltian ini, metode sejarah lisan dianggap paling tepat, karena arsip atau dokumen yang tersedia tentang masalah tersebut tidak dalam jumlah yang memadai. Data-data dari koran dan majalah ternyata juga tidak dapat membantu secara keseluruhan. Namun, penulis tetap berusaha untuk melakukan penelusuran pustaka berupa buku-buku dan dokumen dari berbagai perpustakaan dan lembaga seperti pada yayasan museum kebudayaan “Samparaja”, perpustakaan daerah Bima, Istana Kesultanan Bima (ASI, nama istana Kesultanan Bima), perpustakaan FIB UGM, perpustakaan UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, dan perpustakaan Daerah Yogyakarta. Penelitian ini tentu menggunakan sumber primer dan sekunder. John W. Best menyebut sumber primer merupakan cerita atau catatan saksi mata atau pengamat yang berisi pengamatan para saksi, dimana para saksi menyaksikan peristiwa itu.32 Sementara sumber sekunder, Menurut Louis Gottschalk adalah kesaksian dari siapapun yang bukan saksi pandangan mata.33 Sumber sekunder berupa kesaksian dari John W. Best. “Methodology Research in Education”. a.b. Sanapiah Faisal. Metodologi Penelitian Pendidikan. (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 31-39. 32 33 Louis Gottschalk, loc.cit hlm.36. 34 siapa saja yang bukan merupakan saksi mata. Sumber yang berasal dari sumber aslinya atau berupa bacaan (literatur). Kritik sumber meliputi kritik ekstern dan intern. Kritik ekstern juga disebut otentisitas, bertujuan untuk mengetahui tingkat keaslian sumber. Kritik intern juga disebut kredibilitas, bertujuan untuk meneliti tingkat kebenaran isi data tersebut dan sumber data yang dipergunakan.34 Tahap ini sangat menentukan langkah selanjutnya yaitu tahapan interpretasi. Untuk tahapan ini penulis melakukan uji kredibilitas dan membandingkan berbagai sumber yang didapat untuk mengungkap kebenaran faktanya. Kegiatan menyeleksi sumber penulis lakukan saat penulis membaca sumber-sumber yang telah diperoleh. Interpretasi yaitu proses menafsirkan fakta sejarah yang telah ditemukan melalui proses kritik sumber sehingga akan terkumpul bagian-bagian yang akan menjadi fakta-fakta serumpun. Dalam tahap ini, penulis berupaya menguraikan sumber dan mengkaitkan fakta-fakta sejarah yang didapat yang berkaitan dengan elit agama Islam dan pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif sejarah. Setelah itu mengolah dan Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang Budaya, 1995), hlm. 101. 34 35 menganalisisnya dengan menggunakan berbagai pendekatan sehingga memiliki makna dan bersifat logis. Historiografi secara harfiah berarti penulisan ulang sejarah, di mana pada tahap ini fakta-fakta sejarah diinterpretasikan dan kemudian penulis penyampaikan sintesa yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan dan disampaikan dalam bentuk karya ilmiah atau tulisan. Tahap ini adalah tahapan terakhir yang dilakukan penulis untuk menyajikan semua fakta ke dalam bentuk tulisan yang utuh dan sistematis. G. Sistematika Penulisan Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka konseptual, tinjauan pustaka, metode dan pendekatan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi gambaran umum tentang masyarakat Bima dalam lintasan sejarah, yang meliputi letak geografis, kependudukan, keyakinan, dan kebudayaan masyarakat Bima. Bab III membahas tentang elit agama Islam dalam pengelolaan zakat di Bima periode tahun 1915-1951. Pada periode ini, Kesultanan Bima berada dalam kekuasaan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan awal kemerdekaan 36 yang tentu saja banyak mempengaruhi elit agama Islam, mahkamah syar‟iyah, dan umat Islam dalam menjalankan ibadah zakatnya. Bab IV membahas tentang elit agama Islam dalam memprakarsai berdirinya Badan Amil Zakat di Bima pada tahun 1968 dan proses perubahan pengelolaan zakat diKabupaten Bima dari tahun 1968-2008. Pada periode ini, ada banyak faktor yang mempengaruhi pengelolaan zakat, seperti adanya intervensi dari elit politik dalam pengelolaan zakat di Bima. Bab V penutup dan kesimpulan. Bab ini memuat khusus kesimpulan akhir dari tulisan ini yang merupakan uraian ringkas yang bersumber dari pertanyaan permasalahan yang telah dirumuskan pada bab satu yang kemudian dibahas secara detail pada bab tiga dan empat. 37