1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Studi tentang elit, itu sama tuanya dengan masyarakat
manusia
yang
terorganisasi,
minoritas-minoritas
pendeta-pendeta,
kesemuanya
masing-masing
raja-raja,
pahlawan-pahlawan
lambang-lambang
yang
terkemuka
panglima-panglima,
ledendaris
bagi
yang
yang
kehidupan
mempunyai
menjadi
bersama1.
berupa
ahli-ahli,
dan
perantara
dan
Suzanne
Keller
memakai istilah elit strategis untuk memerinci golongan elit
menurut fungsi-fungsinya yang khusus dan terpisah, atau bahkan
otonom satu sama lainnya yang mencakup elit industri, elit ilmu
pengetahuan, elit birokrasi, elit agama, elit militer, dan sebagainya.
Studi tentang elit, juga sulit dipisahkan dengan kelas-kelas sosial
yang selalu saling terkait.
Dalam
masyarakat
Bima
misalnya,
bahwa
untuk
memahami kelas elit, maka kita harus memahami juga kelas-kelas
sosial yang ada didalamnya. Kelas sosial di Bima pada awalnya
diwarisi
dari
masa
kerajaan
yang
terbagi
dalam
empat
Suzanne Keller. “Penguasa dan KelompokElit” Peranan elit penentu dalam
masyarakat modern. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1995, hlm 37-38.
1
1
kelas/tingkatan2, yaitu: kelas Ruma, kelas Rato atau bangsawan,
kelas Uba, dan kelas Ama/rakyat biasa. Kelas sosial Ruma adalah
kelompok atau keluarga yang secara turun temurun mewarisi
kerajaan dan kesultanan di Bima selama berabad-abad. Di mata
masyarakat Bima, kelas Ruma adalah sekelompok minoritas yang
sangat
dihormati,
ditaati,
dan
diteladani.
Apapun
yang
diperintahkan oleh Ruma Sangaji dalam hal ini Raja atau Sultan
adalah harus dituruti. Ruma Sangaji atau Sultan merupakan
“bayangan Tuhan di muka bumi” (Zill Allah fi‟l-„alam).3 Dalam
pengertian ini, Sultan tidak hanya sebagai pemimpin dunia atau
pemimpin pemerintahan tetapi juga pemimpin agama atau elit
agama Islam. Pada diri Sultan adalah mewakili dua simbol
sekaligus yakni umara dan ulama. Hal ini dapat kita lihat pada
sosok Sultan Muhammad Salahuddin yang mendapat gelar “Maka
Kidi Agama”(Sultan yang menegakkan agama Islam di dana Mbojo
(daerah Bima).4
2 Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, Munawar Sulaiman, Syukri Abubakar.
“Aksara Bima Peradaban Lokal yang Sempat Hilang. (Mataram: Alama Tara Institute
2013), hlm. 37.
Henry Chambert-Loir, Masir Q Abdullah, Suryadi Oman Fathurrahman,
Siti Maryam Salahuddin. Imam dan Diplomasi Serpihan Sejarah Kerajaan Bima.
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 35.
3
Hj. Siti Maryam R. Salahuddin. Hukum Hadat dan Undang-Undang Bandar
Bima. (Mataram: Lengge, 2010), hlm. 45.
4
2
Cara pandang masyarakat Bima memposisikan Kelas Ruma
dalam hal ini Ruma Sangaji (Sultan) sebagai wakil Tuhan di muka
bumi tersebut relevan dengan apa yang dijelaskan oleh Carlyle
mengenai posisi elit dan beberapa jenis pahlawan, yakni ada elit
yang disamakan dengan Tuhan; ada elit yang diperlakukan sebagai
satu-satunya wakil Tuhan di dunia. Elit yang termasuk dalam
kategori ini adalah nabi, pendeta, ulama, sastrawan, penulis, raja
dan seniman. Carlyle meyakini bahwa kepahlawanan seorang elit
dapat
membangkitkan
perasaan
setia,
hormat,
patuh,
dan
pemujaan dari massa pengikutnya5. Dalam bahasa yang hampir
sama, Schoorl dalam Keller, mengatakan bahwa posisi dan status
terkemuka para elit ini diperoleh dari pengakuan masyarakat
bukan pemberian pemerintah6.
Kembali kepada permasalahan inti tentang elit agama
Islam, bahwa dalam pengertian yang umum di Indonesia, elit
agama Islam sering diterjemahkan kedalam kata “ulama” atau
sebutan lainnya, yaitu seseorang yang dianggap mempunyai ilmu
pengetahuan agama Islam yang mumpuni yang jauh melebihi
guru-guru agama Islam lainnya. Tetapi, sebutan sehari-hari
5
Sztompka. Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2010), hlm. 35.
Suzanne Keller. “Penguasa dan KelompokElit” Peranan elit penentu dalam
masyarakat modern. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1995, hlm 37-38.
6
3
kepada elit agama Islam cukup beragam dari satu daerah ke
daerah yang lain, ada yang menyebutnya “tuan guru”, “sheik”,
ajengan, teunku, kyai, dan ulama. Dalam perkembangan sejarah
masyarakat Indonesia, sebutan kyai dan ulama paling banyak
digunakan7.
Pada masyarakat Bima, sebutan sehar-hari bagi elit agama
Islam yang paling umum adalah “tuan guru”. Meskipun sebutan
kyai, sheik, dan ulama juga kerap didengar di tengah masyarakat.
Sebutan yang terakhir tersebut biasa dikaitkan dengan para ulama
dari luar daerah Bima. Hal ini tergambar pada awal kedatangan
Islam di Bima yang dibawa oleh beberapa ulama termasyur,
seperti: Syekh Umar al-Bantani dari Banten, Datuk Di Bandang
dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin,dan
Syekh Umar Bamahsun dari Arab. Para ulama inilah yang pertama
kali mengislamkan atau mengajarkan agama Islam kepada Ruma
Sangaji dan keluarga besarnya serta kepada masyarakat Bima
pada
umumnya.
Posisi
para
ulama
ini
begitu
dihormati,
terkemuka, dan menjadi penasehat bagi kesultanan Bima.
Masuknya agama Islam di Bima melalui keluarga Ruma
Sangaji (Sultan) pada awal abad ke - 17 berimplikasi besar pada
Mohammad Iskandar, dkk. Peranan Elit Agama pada Masa Revolusi
Kemerdekaan Indonesia. (Jakarta: CV. Putra Prima, 2010), hlm. 1.
7
4
cepatnya perkembangan agama Islam di Bima dan terjadinya
perubahan
sistem
pemerintahan
dari
sistem
kerajaan
yang
berdasarkan hadat ke sistem pemerintahan kesultanan yang
berdasarkan
agama
Islam.
Dalam
menjalankan
roda
pemerintahan, kesultanan Bima mendirikan mahkamah syar‟iyah
yang
diduduki
oleh
para
tuan
guru
atau
ulama
untuk
meneggakkan agama Islam yang berlandaskan syariat Islam.
Beberapa tugas Mahkamah syar‟iyah, antara lain melaksanakan
peradilan agama, mengelola zakat dan wakaf, serta mengeluarkan
fatwa atau fasal penting mengenai “adab ketatanegaraan” (fiqh
siyasah), yakni mengandung nasehat dan petunjuk tentang sikap
dan tindakan yang harus dituruti oleh seorang sultan agar
memerintah dengan adil, baik, dan sesuai dengan syariat Islam8.
Penjelasan di atas menggambarkan keutamaan praktik
agama Islam, betapa penting agama Islam dalam lingkungan
pemerintahan kesultanan, dan betapa tingginya pengetahuan
dalam ilmu agama Islam pada saat itu. Dengan melihat kemajuan
yang luar biasa dalam agama Islam yang dipraktekkan oleh elit-elit
agama
Islam
pada
masa
kesultanan,
maka
peneliti
ingin
Henry Chambert-Loir, Masir Q Abdullah, Suryadi Oman Fathurrahman,
Siti Maryam Salahuddin. Imam dan Diplomasi Serpihan Sejarah Kerajaan Bima.
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2010), hlm. 11.
8
5
memahami lebih jauh tentang peran elit agama Islam dalam
mengelola zakat di Bima dalam perspektif historis. Studi tentang
agama Islam, selalu saja terkait dengan kiprah elit agama Islam
dan praktek-praktek keagamaan dalam kehidupan sehari-hari
seperti dalam struktur sosial lebih-lebih dalam mengamalkan
rukun Islam sebagai ajaran pokok agama Islam. Rasulullah saw
bersabda: “Islam itu dibangun di atas lima perkara; bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, membayar zakat,
berpuasa di bulan Ramadhan, dan haji ke baitullah bagi yang
mampu”. Zakat adalah salah satu pilar agama Islam yang harus
dijalankan dalam kehidupan masyarakat muslim di mana pun.
Rasulullah
bagaimana
dan
para
mengelola
sahabatnya
zakat
telah
dengan
memberikan
baik
dalam
contoh
rangka
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan umat. Abubakar Siddik
pernah mengatakan “demi Allah bahwa orang yang keberatan
menunaikan zakat pada pemerintahanku, yang dulu mereka
lakukan kepada Rasulullah, akan kuperangi”9.
Muhammad Husain Haekal. Abubakar As-Sidiq Sebuah Biografi dan Studi
Analisis tentang Permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi. (Jakarta: PT. Pustaka
Litera Antar Nusa, 2005), hlm. 88.
9
6
Umat Islam pernah mengalami masa emas (the golden age)
dalam mengelola zakat yaitu pada kekhalifahan Umar Bin Abdul
Aziz.
Masa
kepemimpinannya,
harta
zakat
melimpah
ruah
tersimpan di Baitul Mal. Bahkan petugas amil zakat kesulitan
mencari golongan fakir miskin yang membutuhkan harta zakat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan pengelolaan
zakat pada masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz, yaitu adanya
kesadaran kolektif dari umat Islam dalam hal zakat, adanya
komitmen yang tinggi dari seorang pemimpin, dan adanya
kepercayaan muzakki terhadap amil yang mengelola zakat pada
saat itu10.
Keberhasilan yang ditunjukkan oleh khalifah Umar Bin
Abdul Aziz ini tidak hanya memiliki makna historis sebagai
pengalaman yang mesti diteladani, tetapi juga membuktikan
bahwa wahyu tuhan yang normatif itu dapat diempiriskan begitu
baik oleh khalifah Umar Bin Abdul Aziz. Cerita sukses pengelolaan
zakat pada masa awal kekhalifahan Umat Islam, apakah berlanjut
sampai di Indonesia pada umumnya dan di daerah Bima
khususnya? Untuk itu perlu diteliti bagaimana peran elit agama
Islam dalam mengelola zakat di Bima dalam perspektif historis.
Ahmad Salabi. Sejarah Kebudayaan Islam, terjemahan, Mukhtar Yahya.
(Jakarta: Mutiara, 1994). hlm. 144.
10
7
Dalam sejarah masyarakat Bima, menjelaskan bahwa semenjak
peralihan dari sistem kerajaan kepada sistem kesultanan di Bima
pada tahun 1640 dan dibentuknya mahkamah syar‟iyah sebagai
pengganti majelis hadat maka secara implisit pengelolaan zakat
mulai
dilakukan.
Pengelolaan
zakat
yang
dilakukan
oleh
mahkamah syar‟iyah masih bersifat tradisonal dan diwarisi secara
turun temurun oleh beberapa sultan. Secara umum bahwa
masyarakat
Bima
pada
masa
kesultanan
sangat
taat
membayarkan zakatnya pada lembaga zakat yang dibentuk oleh
sultan. Kesuksesan pengelolaan zakat pada masa kesultanan tidak
berlanjut hingga masa kemerdekaan akibat penetrasi kolonial
Belanda yang merusak sistem pemerintahan kesultanan Bima.
Pada masa pemerintahan sultan Ibrahim tahun 1881-1917,
Kolonial Belanda secara resmi menguasai kesultanan Bima11.
Kesultanan Bima secara efektif tidak lagi memiliki kekuasaan
penuh terhadap masyarakatnya. Kolonial Belanda menghapus dan
mengamputasi keberadaan lembaga mahkamah syar‟iyah sebagai
lembaga pengelola zakat sampai ke desa. Akibatnya adalah dana
zakat tidak lagi dikumpulkan secara terlembaga tetapi masyarakat
Bima membayarkan zakatnya secara personal langsung kepada
Marwan Saridjo. Perang Ngali Sebuah Perang Sabil. (Bogor: Al Manar
Press, 2012). hlm. 42.
11
8
tuan guru, guru ngaji, dan mustahiq. Setelah masa kolonial
Belanda berakhir dan digantikan oleh pendudukan Jepang pada
tahun 1942 membawa nuansa baru, yakni adanya hubungan yang
baik antara kesultanan, tuan guru dan Jepang dengan diberikan
keleluasaan kepada kesultanan Bima untuk mengaktifkan kembali
sistem kesultanan; artinya mahkamah syar‟iyah dapat kembali
mengelola zakat meskipun tingkap ketaatan masyarakat Bima
dalam membayar zakat sedikit menurun akibat penetrasi kolonial
Belanda yang menghapus pengelolaan zakat secara lembaga.
Setelah
Indonesia
merdeka
pada
tahun
1945
dan
kesultanan Bima berikrar menjadi bagian dari NKRI; kesultanan
Bima di bawah pemerintahan sultan Muhammad Salahuddin
sampai tahun 1951 merupakan masa kebangkitan Islam di Bima
berkat dukungan kuat dari sultan sendiri. Disamping Mahkamah
syar‟iyah atau badan hukum syara‟ mulai memiliki peluang untuk
diaktifkan kembali, juga Lembaga-lembaga pendidikan Islam
didirikan di setiap desa di seluruh wilayah Bima. Atas jasa
perjuangannya
dalam
menegakkan
agama
Islam,
Sultan
Muhammad Salahuddin diberi gelar sultan yang menegakkan
9
agama
Islam
(sultan
Ma
Kakidi
Agama)12.
Setelah
sultan
Muhammad Salahuddin wafat pada tahun 1951 maka berakhirlah
masa kesultanan di Bima dan melebur sepenuhnya pada NKRI
dengan sebutan daerah swapraja. Dari tahun 1951 sampai 1968
pengelolaan zakat di bawah departemen agama dan yayasan islam
Bima. Semenjak tahun 1968 pengelolaan zakat mulai dikelola oleh
sebuah lembaga khusus yaitu Bazis kabupaten Bima yang
diprakarsai oleh elit-elit agama Islam. Lahirnya Bazis sebagai
lembaga zakat yang baru ini merupakan kelanjutan dari lembaga
zakat sebelumnya tetapi dalam semangat dan manajemen zakat
yang berbeda dari sebelumnya.
Dalam perkembangannya, pengelolaan zakat di Bima dari
tahun 1968 sampai tahun 2005 memiliki dinamika dan pasangsurut yang luar biasa sesuai dengan konteks dan kompleksitas
persoalannya. Faktor-faktor seperti elit pemerintah daerah, elit
agama Islam (pengurus Bazis) dan manajemen lembaga zakat
merupakan
faktor
dominan
dalam
mempengaruhi
maju-
mundurnya pengelolaan zakat pada saat itu.
Hj. Siti Maryam R. Salahuddin, Munawar Sulaiman, dan Syukri
Abubakar. Aksara Bima Peradaban Lokal Yang Sempat Hilang. (Mataram: Alam
Tara Intitute, 2013). hlm. 29.
12
10
Disamping latar belakang historis di atas, penulis juga
mengamati bahwa pengelolaan zakat di Bima belum sesuai
harapan. Harta zakat yang terkumpul masih berkisar 10-20% dari
potensi zakat yang ada. Ada beberapa hal yang menjadi kendala
pengelolaan
zakat
di
Bima,
antara
lain:
Manajemen
yang
diterapkan tidak profesional, Peran para amil zakat belum begitu
serius, pengumpulan dan penyaluran dana zakat tidak dilakukan
dengan baik, dan hal inilah yang membuat sebagian besar
masyarakat Bima tidak memiliki kepercayaan terhadap Badan Amil
Zakat yang ada.
Meskipun pengelolaan zakat di Bima tidak secemerlang
seperti pada masa para sahabat dan tabi‟in, bukan berarti meneliti
sejarah pengelolaan zakat di Bima tak penting atau tak perlu
dilakukan. Peneliti meyakini bahwa penelitian ini akan bermakna
historis bagi masyarakat Bima sekarang dan yang akan datang,
agar pengelolaan zakat di Bima Nusa Tenggara Barat terus
mengalami kemajuan dari waktu ke waktu. Hal ini relevan dengan
apa yang katakan oleh M. Natsir, bahwa proses evolusi dan
perubahan kehidupan umat Islam mesti terus dibuktikan dan
ditingkatkan untuk mencapai tatanan yang lebih baik; M. Natsir
berpesan, dalam mencapai tatanan yang baik bagi Umat Islam,
11
„mari kita mulai dari zakat! Kita atur, kita organisir sehingga zakat
itu betul-betul dapat menghilangkan kemiskinan dan kemelaratan
di dalam masyarakat13.
Pengelolaan zakat menjadi penting agar terjadi distribusi
kekayaan dengan adil dalam masyarakat Islam. Dalam agama
Islam Harta itu tidak boleh berputar di antara orang-orang kaya
saja. Allah mengecam orang-orang yang menimbun harta dan tidak
mempergunakannya untuk kepentingan agama dan umat. Allah
menilai orang-orang yang tidak memperhatikan nasib orang-orang
miskin dan anak yatim sebagai pendusta agama. Sebaliknya Allah
menggembirakan orang suka mendermabaktikan harta bendanya
di
jalan
Allah
akan
selamat
di
dunia
dan
akhirat.
Allah
menegaskan bahwa di dalam kekayaan seseorang itu terkandung
hak orang lain yang wajib ditunaikan oleh seorang muslim. Dengan
melihat begitu besar dan urgennya zakat bagi kehidupan umat
Islam, maka hal inilah yang menggugah peneliti untuk mengkaji
peran elit agama Islam dalam pengelolaan zakat di Bima Nusa
Tenggara Barat dalam perspektif historis.
M. Natsir Capita Selecta, jilid 2. (Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve,
S‟Gravenhage, 1954), hlm. 98.
10
12
B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup.
Berdasarkan
latar
belakang
masalah
di
atas,
maka
permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah terpusat pada
permasalahan
mengenai
“peran
elit
agama
Islam
dalam
pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis sejak awal
abad ke-20 sampai tahun 2005. Dalam hal ini, peneliti ingin
mengungkap
peran
elit
agama
Islam
yang
bertugas
untuk
mengelola zakat pada masa kolonial Belanda, masa kesultanan
Muhammad Salahuddin, dan elit agama Islam yang menjadi amil
dalam pengelolaan zakat di pada Badan Amil Zakat Daerah
Kabupaten Bima pada periode 1968-2005. Penulis ingin melihat
secara komprehensif mengenai perubahan yang terjadi
dari
tahapan/periode dalam pengelolaan zakat di Bima yang dilakukan
oleh elit Agama Islam. Apakah pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh elit agama Islam di Bima dalam perspektif historis mengalami
perubahan positif dari tahun ke tahun atau justru semakin
merosot. Jika dalam pengelolaan zakat di Bima dari dulu sampai
sekarang masih jalan di tempat atau justru merosot, maka
penelitian
ini
juga
berusaha
persoalannya.
13
untuk
menemukan
kausalitas
Peneliti meyakini bahwa sebuah lembaga atau komunitas
yang berevolusi dan berproses secara positif, pada saatnya nanti
akan dapat menemukan jati dirinya dalam bentuk yang terbaik
sehingga menjadi sebuah lembaga yang profesional, amanah, dan
transparan yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
Termasuk dalam hal ini, Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten
Bima
agar
terus
belajar
dari
pengalaman
orang
lain
dan
pengalaman dirinya, sehingga pada suatu saat nanti akan mampu
menjadi sebuah lembaga zakat yang dapat mensejahterakan para
muzakki dan masyarakat
Bima yang
miskin. Untuk dapat
memahami peran elit Islam dalam pengelolaan zakat di Bima
dalam perspektif historis, maka penulis merumuskannya dalam
beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Pertama, tentang kondisi lembaga zakat dan elit agama
Islam yang telah dibekukan dan diamputasi oleh kolonial Belanda
dalam mengelola zakat. Kondisi ini melahirkan pertanyaanpertanyaan
seperti:
Bagaimana
dampak
dari
keberadaan
pemerintahan kolonial Belanda terhadap pengelolaan zakat di
Bima pada awal abad ke-20? Bagaimana peran elit agama Islam
dan sistem pengelolaan zakat pada masa kolonial Belanda? Setelah
berakhirnya masa kolonial Belanda di Bima dan dimulainya masa
14
pendudukan
Jepang,
memunculkan
pertanyaan
“Bagaimana
kondisi elit agama Islam dan pengelolaan zakat di Bima? Apakah
pada masa pendudukan Jepang kondisi pengelolaan zakat sama
dengan pada masa kolonial Belanda?
Kedua, tentang berakhirnya masa kolonialisme di Bima
tahun 1945 dan babak baru kehidupan masyarakat Bima di alam
kemerdekaan yang sepenuhnya kembali pada sistem pemerintahan
kesultanan. Dalam hal ini pengelolaan zakat di Bima kembali
berada di bawah badan hukum syara‟ atau mahkamah syar‟iyah.
Pertanyaannya adalah “Bagaimana pola pengelolaan zakat yang
dilakukan
oleh
elit
agama
Islam
pada
masa
kesultanan
Muhammad Salahuddin pada tahun 1945-1951 dan pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh yayasan Islam dan departemen agama
tahun 1952-1968?
Ketiga, tentang lahirnya badan amil zakat baru pada masa
kemerdekaan. Dalam hal ini memunculkan beberapa pertanyaan
seperti siapa saja elit agama Islam yang memprakarsai lahirnya
Basiz di Bima pada tahun 1968? Bagaimana pola pengelolaan
zakat yang dilakukan oleh elit agama Islam di Bima pada tahun
1968-2005? Apakah ada perubahan yang signifikan dari pola
15
kepemimpinan elit agama Islam terhadap pengelolaan zakat di
Bima dari tahun 1968-2005?.
Subyek dan obyek dalam studi ini adalah elit agama Islam
yang berperan dan berpengaruh dalam pengelolaan zakat di Bima
dalam perspektif historis sejak awal abad ke-20 sampai tahun
2005. Dipilihnya awal abad ke-20 sebagai batasan awal karena
pada periode ini Kesultanan Bima dipimpin oleh Sultan yang
memiliki andil besar dalam menegakkan agama Islam di Bima,
yaitu Sultan Muhammad Salahuddin sebagai bapak “Maka Kidi
Agama”. Tahun 2005 dipilih sebagai batasan akhir dengan
pertimbangan bahwa pengelolaan zkat di Bima memiliki banyak
perubahan dari pola pengelolaan sebelumnya, terutama dari segi
peraturan, kepemimpinan, dan manajemen.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Berdasarkan
rumusan
masalah
dan
ruang
lingkup
penelitian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa tujuan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Pertama, menjelaskan perubahan pengelolaan zakat yang
terjadi pada masa kolonial Belanda yang membekukan struktur
pemerintahan
kesultananan
Bima
yang
berimbas
pada
diberhentikannya pengelolaan zakat oleh elit agama Islam yang
16
bertugas dalam mahkamah syar‟iyah dan menjelaskan pengaruh
pendudukan Jepang terhadap peran elit agama Islam dalam
pengelolaan zakat.
Kedua, menjelaskan pola pengelolaan zakat yang dilakukan
oleh
elit
agama
Islam
pada
masa
kesultanan
Muhammad
Salahuddin pada tahun 1945-1951 dan pengelolaan zakat yang
dilakukan oleh yayasan Islam dan departemen agama pada tahun
1952-1968.
Ketiga, menjelaskan siapa saja elit agama Islam yang
memprakarsai lahirnya Basiz di Bima pada tahun 1968, pola
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh elit agama Islam di Bima
pada tahun 1968-2005, dan perubahan yang signifikan dari pola
kepemimpin elit agama Islam terhadap pengelolaan zakat di Bima
dari tahun 1968-2005.
Manfaat penelitian ini, diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan perbandingan dalam pengelolaan zakat bagi lembaga zakat
yang ada di daerah lain di Indonesia
agar semakin baik
pengelolaannya dan sebagai salah satu referensi bagi peneliti lain
yang akan meneliti persoalan yang sama di tempat lain.
17
D. Kerangka Konseptual
Berdasarkan topik kajian, ada beberapa konsep utama yang
akan dibahas yaitu konsep tentang elit agama Islam, konsep
tentang zakat, dan konsep tentang manajemen dalam pengelolaan
zakat di Bima dalam perspektif historis. Secara substansial, tidak
ada satu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu
sepanjang
sejarahnya.
Setiap
masyarakat
dalam
setiap
kehidupannya pasti akan mengalami perubahan-perubahan,
yakni kemajuan dan kemunduran. Perubahan tersebut dapat
dialami oleh masyarakat manapun, baik masyarakat padat level
negara, masyarakat pada level daerah, maupun masyarakat yang
tergabung
pengelolaan
dalam
zakat
sebuah
di
organisasi.Dalam
Bima
juga
tentu
sejarah
mengalami
panjang
banyak
perubahan yang dilakukan oleh para elit agama Islam. Baik itu
dalam hal leadership maupun manajerialnya.
Kerangka konseptual yang akan dikupas sebagai bahan
pijakannya dalam penulisan ini adalah mengenai konsepsi
tentang elit agama Islam, konsepsi tentang zakat, dan konsepsi
tentang manajemen pengelolaan zakat. Ketiga konsepsi tersebut
berfungsi untuk menjadikan penelitian memiliki alur yang
konsisten dan penulisan yang sistematis.
18
Dalam memahami konsep tentang elit agama Islam, terlebih
dahulu kita memahami konsep elit itu sendiri. Istilah elit berasal
dari bahasa Latin eligere yang berarti “memilih/pilihan”. Dalam
perkembangan selanjutnya, kata pilihan menjadi terkemuka. Elit
dalam arti yang paling umum ialah sekelompok orang-orang yang
memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Dalam
penjelasan yang hampir sama, bahwa istilah elit menunjuk
kepada suatu minoritas pribadi-pribadi yang diangkat untuk
melayani suatu kolektifitas dengan cara yang bernilai sosial.
Lebih lanjut, kaum elitadalah minoritas-minoritas yang efektif
dan bertanggung jawab, yaitu efektif dalam melihat kepada
pelaksanaan kegiatan kepentingan dan perhatian kepada orang
lain dan bertanggung jawab untuk merealisasikan tujuan-tujuan
sosial yang utama dan untuk kelanjutan tata sosial.14
Menurut Suzanne Keller, bahwa studi kaum elit di masa
lalu terdiri dari dua perspektif pokok, yaitu yang bersifat moral
dan
yang
fungsional.
Yang
pertama
menitikberatkan
pada
keutamaan moral pribadi, dan kedua pada peranan fungsional
dari suatu lapisan. Sementara studi kaum elit di era industri
sekarang
dimana
masyarakat
menjadi
kian
kompleks
dan
Suzanne Keller. Penguasa dan Kelompok Elit Peranan Elit-Penentu dalam
Masyarakat Modern. (Jakarta: PR RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 3.
11
19
berdiferensiasi dalam kerja dan ekonomi, maka kaum elit pun
memiliki peran penting sebagai penjaga dan pencipta nilai-nilai
kolektif, sebagai pengelola tujuan-tujuan dan ambisi-ambisi
kolektif. Menurutnya, bahwa pada masyarakat yang sederhana
dengan solidaritas mekanis hanya membutuhkan satu elit moral
seperti pendeta, ulama sebagai fokus dan pusat dari kehidupan
sosial yang terorganisasi. Sementara pada masyarakat yang
kompleks dengan solidaritas organis tidak bisa lagi hanya
berfokus pada satu elit moral saja, melainkan oleh beragam elit
pada segi-segi tertentu dari dunia yang terbagi-bagi menurut
jabatan.
Pada
konteks
ini,
masing-masing
jabatan
mengembangkan suatu identitas moralnya sendiri yang khusus15.
Pengertian yang diutarakan oleh Suzanne Keller di atas
didukung oleh ahli lain seperti Bierstedt16 dan schoorl dalam
Keller dengan menjelaskan bahwa elit adalah sekelompok orang
dalam masyarakat yang mempunyai pengaruh, kedudukan paling
tinggi di dalam struktur
sosial, politik, pemerintahan, militer,
ekonomi, dan agama. Lebih lanjut dikatakan secara khusus
menyebut elit agama bagi mereka yang terkemuka di bidang
12 Ibid, hlm.4.
13 Ibid, hlm. 124.
20
agama. Elit dapat juga difahami dari sisi peranan simbolisnya,
yakni elit adalah penentu dan perantara simbolis atau lembaga.
Artinya bahwa tindakan-tindakan mereka di depan umum baik
yang bersifat instrumental maupun ekspresi dapat mempengaruhi
cara pandang dan pola hidup masyarakat atau umat.
Pemahaman Bierstedt tersebut secara tegas menunjukkan
bahwa pengertian elit sangat berhubungan dengan problema
adaptif dan pencapaian tujuan yang dinilai melalui apa yang
mereka selesaikan, yaitu elit cenderung difahami dari sisi
kemampuan
kerja
atau
kharisma,
integritas
diri,
dan
solidaritasnya.
Beberapa teori elit di atas menunjukkan bahwa yang
dimaksudkan dengan elit agama adalah mereka yang memiliki
posisi dan peranan strategis dalam agama. Status dan peran
strategis elit agama ini diakui dan dihargai secara luas dalam
masyarakat. Oleh karena itu, mereka lebih berperan di dalam
konteks
kehidupan
sosial
yang
luas
daripada
sekedar
menyampaikan misi yang sempit. Hakekat dan peran yang
ditampilkan oleh elit agama harus selalu terkait dengan konteks
budaya sehingga memiliki nuansa nilai-nilai hidup masyarakat.
Artinya, dalam melakukan peran sosialnya, elit agama harus
21
menunjuk pada kewajiban dan tanggungjawabnya di bawah
sebuah
institusi
sosial
yang
berwenang
untuk
memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan teori-teori dari para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa elit agama Islam merupakan sekelompok
pribadi-pribadi
pengetahuan
dalam
agama
masyarakat
yang
yang
mumpuni,
memiliki
memiliki
ilmu
pengaruh,
kedudukan, dan jabatan tertinggi dalam struktur sosial dan
organisasi/lembaga keagamaan yang formal dan non formal.
seperti sultan, ulama, pendeta, ketua organisasi, pemimpin
formal dan nonformal. Berkaitan dengan penelitian ini, bahwa elit
agama yang dimaksud adalah elit agama Islam seperti sultan
ulama/tuan guru, ketua lembaga peradilan, dan ketua lembaga
zakat, ketua yayasan Islam, dan ketua lembaga Islam lainnya.
Konsep kedua yang dijelaskan adalah tentang zakat. Kata
zakat tidak hanya terdapat dalam Islam, tapi juga dikenal dalam
agama samawi (langit) lainnya seperti pada agama Yahudi dan
Kristen. Konsep zakat ini dapat dikatakan sebagai konsep yang
khas agama langit. Orang Yahudi menyebut istilah pajak agama
(zakat)
atas
padi-padian.
Orang
22
Kristen
menyebut
zakat
gereja/derma Kristen (tithe). Umat Islam menyebutnya zakat
fitrah dan zakat harta (maal)17.
Zakat fitrah terkait dengan ibadah puasa Ramadhan karena
dikeluarkan oleh setiap jiwa muslim baik yang kaya maupun yang
miskin di bulan Ramadhan dan terutama sehari menjelang
perayaan Idul Fitri. Zakat harta dikenakan kepada setiap muslim
yang kaya yang bergerak di berbagai sektor seperti:
pertanian,
pertambangan, peternakan, emas dan perak, serta barang
temuan, yang pada perkembangan selanjutnya, zakat harta juga
dikenakan
kepada
profesi,
jasa,
dan
komoditas
yang
diperdagangkan18.
Kata zakat dalam Al Qur,an disebut juga sadaqah dan
infak. Zakat menurut bahasa artinya berkembang dan pensucian,
yaitu sesorang muzakki yang mengeluarkan zakatnya akan
menjadikan hartanya menjadi berkembang, berkah, dan bersih.
Dalam pengertian yang lain, bahwa dengan membayar zakat
seseorang akan mendapatkan pahala dan dirinya suci dari sifat
17 James C. Scott. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1993),hlm 332.
Nurhasan Hamidi. Akuntansi Syariah: Tinjauan Zakat pada Perusahaan
Dagang dan Implikasi terhadap Akuntansi Positif. (Yogyakarta: Ekbisi Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Islam. Vol. 1. No. 2. Juni 2007 Program Studi Keuangan Islam
UIN Sunan Kalijaga),hlm. 110.
18
23
bakhil (kikir). Sementara definisi zakat secara syar‟i adalah
sedekah (levy) yang diwajibkan atas harta seorang muslim yang
telah memenuhi syarat (nisab) dan haul (waktu) tertentu19. Dalam
pengertian yang lebih detail, zakat adalah pemindahan hak milik
atas bagian tertentu dari harta tertentu kepada orang yang
berhak menerimanya dari golongan tertentu pula dengan maksud
untuk mendapatkan ridha Allah Subhanahuwa Ta‟ala dan
mensucikan jiwa, harta, dan masyarakat. Jadi, zakat adalah
ibadah yang wajib dilaksanakan oleh Umat Islam yang mampu
secara ekonomi (muzakki) pada lembaga yang telah dibentuk oleh
negara dan masyarakat untuk disalurkan kepada yang berhak
menerimanya (delapan asnaf).
Zakat mempunyai kedudukan penting dalam struktur
ekonomi–keagamaan dari mekanisme keuangan Islam. Pada era
kepemimpinan Rasulullah di Madinah zakat merupakan sumber
keuangan yang utama. Dari dana zakatlah anggaran yang
digunakan untuk kesejahteraan orang miskin dan pembiayaan
perjuangan Islam (sumber kas negara yang utama) pada saat
Salahuddin Azmi. Menimbang ekonomi islam (keuangan public, konsep
perpajakan dan peran Bait al-Maal. (Bandung: Nuansa, 2005), hlm. 56.
19
24
itu20. Zakat pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang
berfungsi untuk menjamin distribusi pendapatan dan kekayaan
masyarakat secara lebih baik. zakat merupakan sebuah sistem
yang akan menjaga keseimbangan dan harmoni sosial di antara
kelompok kaya (muzakki) dan kelompok miskin (mustahiq).
Realitas adanya kaum miskin dan kaya dalam sejarah
manusia
adalah
suatu
keniscayaan.
Namun
demikian,
keberadaan dua komponen kelompok manusia tersebut tidak
harus
dihadap-hadapkan.
Sebaliknya,
harus
saling
bahu
membahu dan tolong menolong antara sesamanya. Dalam hal ini,
diperlukan kepekaan pemerintah untuk menciptakan kondisi
yang kondusif agar tidak terjadi konflik sosial dari kedua
komponen tersebut. Ketika pemerintah dan masyarakat tidak
mampu
menciptakan
kondisi
sosial
yang
kondusif,
maka
kemunculan jurang pemisah yang dalam antara kedua kelompok
ini tidak dapat dihindari bahkan melahirkan instabilitas.21
20 Yusuf Qardhawi. Fiqh prioritas. Sebuah kajian baru berdasarkan Al-Qu‟an
dan As-Sunnah.(Jakarta: Robbani Press, 2008), hlm. 37.
Pengalaman sejarah Bangsa Indonesia misalnya, porak porandanya
eksistensi negara Indonesia sekarang ini adalah akibat konflik dua kelompok
miskin dan kaya. Perbedaan yang sangat mencolok dalam bidang ekonomi,
kebijakan yang tidak memihak kepada kaum dhuafa, dan ketidakadilan sosial
adalah faktor-faktor utama dari instabilitas roda pemerintahan. Sebagaimana yang
diucapkan oleh Soedjatmoko, „kemiskinan merupakan sumber utama yang memicu
kekacauan. Lihat kompas, edisi 31 Desember 1979.
21
25
Konsep
berikutnya
adalah
tentang
manajemen
zakat.
Dalam agama Islam, zakat wajib dikelola oleh sebuah lembaga
khusus yang dibentuk oleh negara dan masyarakat. Oleh karena
itu,
dalam
mengelola
zakat
diperlukan
manajemen
yang
profesional. Berbicara mengenai manajemen, tentu kita melihat
beragam pengertian dari para ahli. Wilson Bangun menjelaskan
bahwa manajemen adalah suatu seni, ilmu, dan proses dalam
melaksanakan
aktivitas-aktivitas
seperti
pengorganisasian,
perencanaan, penyusunan personalia, dan pengawasan dengan
memanfaatkan sumber daya organisasi lainnya untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan22. Relevan dengan pengertian
tersebut, Leslie W. Rue and LIoyd L. Byar dalam buku Qodri,
menjelaskan bahwa “Management is a process or form of work that
involves the guidance or direction of group of people toward
organizational goals or objectives” (manajemen adalah suatu
proses atau bentuk kerja yang meliputi arahan terhadap suatu
kelompok orang menuju tujuan (goal) organisasi23.
Sementara Amalia Ustadz Muhammad menjelaskan ada dua
model manajemen, yaitu profesional dan tradisional. Manajemen
22
Wilson Bangun. Intisari Manajemen. (Bandung: PT Refika Aditama, 2008),
hlm. 39.
Leslie W. Rue and LIoyd L. Byar. Management: Teory and Application,
resived ed. (Hoomwood: Richard Irwin, Inc, 1980), hlm. 6.
23
26
profesional memiliki ciri-ciri, menganggap penting, kelas utama,
modern, perencanaan yang matang, struktur organisasi, dengan
fit and proper test, ikhlas dengan imbalan besar, dikelola full time,
SDM berkualitas, pilihan utama, kreatifitas tinggi, disiplin tinggi,
monitoring dan evaluasi yang konsisten. Sedangkan manajemen
tradisional ialah yang memiliki ciri-ciri, anggap sepele, kelas dua,
tanpa
manajemen,
tanpa
perencanaan,
struktur
organisasi
tumpang tindih, tanpa fit and proper test, ikhlas tanpa imbalan,
dikelola paruh waktu, lemahnya SDM, bukan pilihan, kurang
kreatifitas, tidak ada monitoring dan evalusi, tidak disiplin, dan
berbentuk kepanitiaan24.
Dari beberapa definisi tersebut, minimal ada empat unsur
penting dalam manajemen, yaitu: (1) badan/lembaga, (2) proses
kerja, (3) orang yang melakukan proses kerja dalam lembaga, dan
(4) goal. Keempat unsur manajemen ini jika diterapkan dalam
manajemen zakat maka dapat diterapkan sebagai
berikut:
badan/lembaga adalah Badan Amil Zakat, proses kerja adalah
pendataan muzakki, pengumpulan zakat, pendistribusian zakat,
Amalia Ustads Muhammad. Peranan Lembaga Pengelola Zakat. Makalah
yang disampaikan pada seminar yang diadakan oleh keluarga muslim Fakultas
Teknik UGM dengan tema “Zakat, Infaq, Sodaqoh dalam Membangun Umat”.
(Yogyakarta: 13 September 2008),hlm. 3.
24
27
dan pendayagunaan zakat, dan orang yang melakukan proses
kerja dalam lembaga adalah amil (komite pengumpul zakat), dan
goal adalah dapat meningkatkan kesejahteraan umat.
Dalam hal mengelola zakat, menurut Qodri, Umat Islam
harus
juga
mendalami
ilmu
manajemen.
Meskipun
ilmu
manajemen pada dasarnya dikembangkan untuk kepentingan
bisnis private sector (yang sasaran utamanya adalah untuk
meningkatkan
profit
yang
sebesar-besarnya).
Tetapi
ilmu
manajemen dapat diterapkan dalam pengelolaan zakat sebagai
salah
satu
nonprofit
organization,
tentu
dengan
beberapa
penyesuaian25. Qodri menambahkan, dalam pengelolaan zakat
yang
profesional,
amanah,
dan
transparan
disamping
membutuhkan kelembagaan yang baik juga membutuhkan orangorang yang benar-benar memahami zakat dan orang-orang yang
ahli dalam bidang manajemen. Jadi yang dimaksud manajemen
dalam penelitian ini adalah kerjasama amil zakat dalam mendata,
mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat
untuk kemaslahatan umat.
Qodri Azizy. Membangun fondasi ekonomi umat; meneropong prospek
berkembangnya ekonomi Islam.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 142.
25
28
E. Tinjauan Pustaka
Diskursus zakat sudah sejak lama menjadi objek kajian
yang menarik bagi para ilmuan atau pun elit agama Islam. Oleh
karena itu, berbagai kajian seputar zakat sudah cukup banyak
dilakukan, baik untuk kebutuhan akademik maupun untuk
kebutuhan sebuah lembaga (pemerintah dan swasta). Namun,
kajian yang secara spesifik mengangkat elit agama Islam dalam
pengelolaan zakat di Bima dalam perspektif historis, sejauh ini,
menurut pemahaman penulis, belum ada yang mengkajinya.
Diantara karya kepustakaan tentang Bima yang terdekat
dengan topik penelitian ini adalah buku yang ditulis oleh Henri
Chambert Loir, Massie Q Abdullah, Suryadi Oman Fathurrahman,
dan H. Siti Maryam Salahuddin pada tahun 2010 dengan judul:
“Iman dan Diplomasi Serpihan Sejarah Kerajaan Bima”. Buku ini
menguak tiga dokumen penting dari kesultanan Bima periode
abad ke-18 dan 19, dengan fokus terhadap dua komponen
terpenting dari dinamika kerajaan masa itu, yaitu iman dan
diplomasi, yaitu tentang agama, politik, dan kebijakan dalam
negeri dan luar negeri. Di dalam negeri kesultanan Bima terus
memperdalam dan memperkuat agama Islam sebagai salah satu
asas terpenting bagi struktur sosial masyarakat Bima, seperti
29
mahkamah syar‟iyah baik pejabat dari pusat maupun pada level
di bawahnya. Sedangkan menyangkut kebijakan luar negeri,
kesultanan Bima dalam berhubungan diplomatik dengan negeri
lain harus pandai mengatur siasat menghadapi hegemoni Kolonial
Belanda.
Karya kepustakaan lain yang penting mengenai kesultanan
Bima adalah buku “Badan Hukum Syara` Kesultanan Bima 19471957: Sebuah Studi Mengenai Peradilan Agama” yang ditulis oleh
Abdul Ghani Abdullah yang merupakan seri Disertasi Doktor di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1987. Dalam
Disertasi ini yang menjadi fokus kajiannya adalah pada dimensi
peradilan agama (seputar teori) yang terdapat dalam lembaga
tersebut. Tetapi juga banyak membahas tentang tugas mahkamah
syar‟iyah sebagai lembaga yang mengurus masalah zakat dan
wakaf pada masa kesultanan Muhammad Salahuddin dari tahun
1915-1951.
Selain dua karya kepustakaan di atas, ada karya yang
ditulis oleh Faisal tentang “Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia
Muslim dan Indonesia” (Pendekatan Teori Investigasi-Sejarah
Charles Peirce dan Defisit Kebenaran Lieven Boeve). Karya ini
secara substantif membahas tentang sejarah panjang pengelolaan
30
zakat
sejak
zaman
klasik
Islam
hingga
hingga
realitas
penerapannya di zaman modern pada beberapa negara Islam
seperti Zakat pada masa Nabi, Zakat pada Masa Sahabat, Zakat
pada Masa Tabi‟in, pengelolaan zakat di Saudi Arabiah, Sudan,
Pakistan, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan fokus utamanya
adalah pengelolaan zakat di Indonesia. Tulisan ini dimuat dalam
Jurnal Alisis, (Volume XI, nomor 2, Desember 2011).
Beberapa karya kepustakaan yang ada di atas memiliki
fokus kajian tentang daerah Bima dan zakat, tetapi tidak secara
detail membahas mengenai elit agama Islam dan pengelolaan
zakat di Bima dalam perspektif historis. Di antara tulisan di atas,
ada sebuah tulisan yang membahas sedikit tentang pengelolaan
zakat di Bima pada masa kesultanan tetapi hanya sebatas
menyinggung tentang peran lembaga mahkamah syar‟iyah dalam
mengelola zakat dan wakaf untuk gaji pegawai kesultanan,
pendidikan, dan pembangunan fasilitas keagamaan seperti masjid
dan musholla. Buku ini ditulis oleh AbdulGhani Abdullahyang
berjudul “Badan Hukum Syara` Kesultanan Bima 1947-1957:
Sebuah Studi Mengenai Peradilan Agama”.
31
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Menurut
Kuntowijoyo, metode sejarah adalah petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis tentang bahan, kritik, interpretasi dan penyajian
sejarah.26
Garraghan
menyebutkan
metode
sejarah
sebagai
langkah dasar, penilaian kritis terhadap sumber informasi dan
eksposisi yang dijadikan dengan terperinci27. Dalam penjelasan
yang
lain,
bahwa
Metode
penelitian
sejarah
menggunakan
seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan
sumber-sumber sajarah secara efektif, menilainya secara kritis
dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk
tulisan.28
Menurut Nugroho Notosusanto terdapat empat tahapan
dalam metode penelitian sejarah yaitu; heuristik, kritik sumber,
interpretasi dan historiografi29. Heuristik merupakan tahapan
menemukan
26
dan
mengumpulkan
sebanyak-banyaknya
data
Kuntowijiyo. Metodologi Sejarah. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm.
411.
Gilbert J. Garraghan. A guide to Historical Method. (New York: Fordham
University, 1957), hlm. 33-34.
27
28 Dudung Abdurrahman. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar Russ
Media, 2007, hlm. 53.
Nugroho Notosusanto. Norma-norma Dasar Penelitian dan Penulisan
Sejarah. Jakarta: Dephankam, 1971, hlm. 35.
29
32
sejarah (sumber sejarah) yang relevan dengan yang ditulis.
Sumber sejarah merupakan bahan-bahan yang digunakan untuk
mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada
masa lampau. Data sejarah yang telah terkumpul dikelompokkan
sesuai
dengan
jenis
sejarah
yang
dikaji.
Kemudian
dikelompokkan berdasarkan jenis sumber sejarah. Langkah yang
diambil penulis pada tahapan ini adalah melakukan wawancara
dengan informan kunci, seperti keluarga keturunan kerajaan
Bima, sejarawan Bima, mantan pengurus Bazda kabupaten Bima,
tokoh agama, dan masyarakat Bima (oral history).
Informan tidak hanya menceritakan kembali masa lalu,
tetapi
juga membuat penilaian dan interpretasi terhadap masa
lalu.30 Penyajian data lisan menggunakan dua metode yaitu
menggunakan tulisan analitis dengan tujuan utama menyajikan
argumen mengenai peristiwa tertentu; dan menggunakan format
profil orang yang diwawancarai. Pembaca diberikan riwayat hidup
seseorang.31
Bambang Purwanto. “Sejarah Lisan dan Upaya Mencari Format Baru
Historiografi Indonesiasentris” dalam buku Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta
Persembahan kepada Tengku Ibrahim Alfian, (Jakarta: Yayasan Masyarakat
Sejarawan Indonesia, 2002), hlm. 52.
30
Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari. Perspektif
Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLVJakarta, dan Pustaka Larasan, 2008), hlm. 192.
31
33
Dalam peneltian ini, metode sejarah lisan dianggap paling
tepat, karena arsip atau dokumen yang tersedia tentang masalah
tersebut tidak dalam jumlah yang memadai. Data-data dari koran
dan majalah ternyata juga tidak dapat membantu secara
keseluruhan. Namun, penulis tetap berusaha untuk melakukan
penelusuran pustaka berupa buku-buku dan dokumen dari
berbagai
perpustakaan
dan
lembaga
seperti
pada
yayasan
museum kebudayaan “Samparaja”, perpustakaan daerah Bima,
Istana Kesultanan Bima (ASI, nama istana Kesultanan Bima),
perpustakaan FIB UGM, perpustakaan UIN Sunan Kali Jaga
Yogyakarta, dan perpustakaan Daerah Yogyakarta.
Penelitian ini tentu menggunakan sumber primer dan
sekunder. John W. Best menyebut sumber primer merupakan
cerita atau catatan saksi mata atau pengamat yang berisi
pengamatan
para
saksi,
dimana
para
saksi
menyaksikan
peristiwa itu.32 Sementara sumber sekunder, Menurut Louis
Gottschalk adalah kesaksian dari siapapun yang bukan saksi
pandangan mata.33 Sumber sekunder berupa kesaksian dari
John W. Best. “Methodology Research in Education”. a.b. Sanapiah Faisal.
Metodologi Penelitian Pendidikan. (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 31-39.
32
33
Louis Gottschalk, loc.cit hlm.36.
34
siapa saja yang bukan merupakan saksi mata. Sumber yang
berasal dari sumber aslinya atau berupa bacaan (literatur).
Kritik sumber meliputi kritik ekstern dan intern. Kritik
ekstern juga disebut otentisitas, bertujuan untuk mengetahui
tingkat keaslian sumber. Kritik intern juga disebut kredibilitas,
bertujuan untuk meneliti tingkat kebenaran isi data tersebut dan
sumber data yang dipergunakan.34 Tahap ini sangat menentukan
langkah selanjutnya yaitu tahapan interpretasi. Untuk tahapan
ini penulis melakukan uji kredibilitas dan membandingkan
berbagai sumber yang didapat untuk mengungkap kebenaran
faktanya. Kegiatan menyeleksi sumber penulis lakukan saat
penulis membaca sumber-sumber yang telah diperoleh.
Interpretasi yaitu proses menafsirkan fakta sejarah yang
telah ditemukan melalui proses kritik sumber sehingga akan
terkumpul
bagian-bagian
yang
akan
menjadi
fakta-fakta
serumpun. Dalam tahap ini, penulis berupaya menguraikan
sumber dan mengkaitkan fakta-fakta sejarah yang didapat yang
berkaitan dengan elit agama Islam dan pengelolaan zakat di Bima
dalam
perspektif
sejarah.
Setelah
itu
mengolah
dan
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. (Yogyakarta: Bentang Budaya,
1995), hlm. 101.
34
35
menganalisisnya dengan menggunakan berbagai pendekatan
sehingga memiliki makna dan bersifat logis.
Historiografi secara harfiah berarti penulisan ulang sejarah,
di mana pada tahap ini fakta-fakta sejarah diinterpretasikan dan
kemudian penulis penyampaikan sintesa yang diperoleh dari
penelitian yang dilakukan dan disampaikan dalam bentuk karya
ilmiah atau tulisan. Tahap ini adalah tahapan terakhir yang
dilakukan penulis untuk menyajikan semua fakta ke dalam
bentuk tulisan yang utuh dan sistematis.
G. Sistematika Penulisan
Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang
masalah,
rumusan
masalah,
tujuan
penelitian,
kerangka
konseptual, tinjauan pustaka, metode dan pendekatan penelitian,
dan sistematika penulisan.
Bab II berisi gambaran umum tentang masyarakat Bima
dalam
lintasan
sejarah,
yang
meliputi
letak
geografis,
kependudukan, keyakinan, dan kebudayaan masyarakat Bima.
Bab
III
membahas
tentang
elit
agama
Islam
dalam
pengelolaan zakat di Bima periode tahun 1915-1951. Pada
periode
ini,
Kesultanan
Bima
berada
dalam
kekuasaan
penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan awal kemerdekaan
36
yang
tentu
saja banyak
mempengaruhi
elit
agama Islam,
mahkamah syar‟iyah, dan umat Islam dalam menjalankan ibadah
zakatnya.
Bab
IV
membahas
tentang
elit
agama
Islam
dalam
memprakarsai berdirinya Badan Amil Zakat di Bima pada tahun
1968 dan proses perubahan pengelolaan zakat diKabupaten Bima
dari tahun 1968-2008. Pada periode ini, ada banyak faktor yang
mempengaruhi pengelolaan zakat, seperti adanya intervensi dari
elit politik dalam pengelolaan zakat di Bima.
Bab V penutup dan kesimpulan. Bab ini memuat khusus
kesimpulan akhir dari tulisan ini yang merupakan uraian ringkas
yang bersumber dari pertanyaan permasalahan yang telah
dirumuskan pada bab satu yang kemudian dibahas secara detail
pada bab tiga dan empat.
37
Download