Untitled - simakip

advertisement
I
SSN25286005
P
R
O
S
I
D
I
N
G
K
O
N
F
E
R
E
N
S
I
N
A
S
I
O
N
A
LP
E
N
D
I
D
I
K
A
NM
A
T
E
M
A
T
I
K
A
V
I
U
N
I
V
E
R
S
I
T
A
SN
E
G
E
R
I
G
O
R
O
N
T
A
L
O
,
1
1
1
4A
G
U
S
T
U
S2
0
1
5
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR ISI
Halaman Depan .............................................................................................
i
Daftar Isi .........................................................................................................
ii
Kata Pengantar Presiden IndoMS ...............................................................
iii
Kata Pengantar Panitia .................................................................................
iv
Panitia Pelaksana............................................................................................
v
Tim Reviewer .................................................................................................
vii
Daftar Pemakalah ..........................................................................................
viii
ii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KATA PENGANTAR PRESIDEN INDOMS
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salam sejahtera bagi kita semua.
Puji dan syukur kita panjatkan ke Hadirat Allah SWT, atas semua rahmat dan karuniaNya, sehingga kami telah dapat menyelesaikan Prosiding Konferensi Nasional
Pendidikan Matematika (KNPM) ke- 6 yang telah diselenggarakan di Jurusan
Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo, pada tanggal 11- 14 Agustus 2015
bertempat di Ballroom TC Damhil UNG. KNPM ke- 6 ini terselenggara atas kerja sama
antara IndoMS dengan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo
dengan tema “Mewujudkan Kultur Akademik dan Revolusi Mental Melalui
Matematika dan Pendidikan Matematika”.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Negeri Gorontalo yang
telah mengusulkan Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo sebagai
penyelenggara KNPM ke-6 tahun 2015. Kami juga menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang mendalam kepada Pemerintah Provinsi Gorontalo yang telah
membantu sehingga acara KNPM ke- 6 ini telah terselenggara dengan baik
Dalam mengisi pembangunan di Indonesia ini, IndoMS (Himpunan Matematika
Indonesia) yang dibentuk tanggal 15 Juli 1976 di Bandung, sebagai organisasi profesi
yang bersifat ilmiah dan non-profit senantiasa dituntut peran sertanya melalui berbagai
aktivitas segenap anggota serta pengurus baik di tingkat pusat maupun wilayah. IndoMS
merupakan suatu forum bagi matematikawan, pengguna matematika maupun
penggemar dan pemerhati matematika di seluruh Indonesia. Dalam KNPM ke- 6 ini
telah dipaparkan berbagai hasil penelitian dalam bidang pendidikan matematika,
matematika dan statistika. Hasil konferensi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam bidang pendidikan dan pembelajaran matematika serta matematika, statistika dan
aplikasinya.
Pengurus Pusat IndoMS periode 2014-2016 mengucapkan terima kasih kepada semua
reviewer, editor, tim prosiding serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu
per satu atas peran sertanya dan dukungannya dalam penerbitan prosiding ini. Ucapan
terima kasih juga kami sampaikan kepada semua penulis yang telah mempresentasikan
dan mengirimkan naskah makalahnya untuk diterbitkan pada Prosiding KNPM ke- 6
ini.
Kami harapkan bahwa Prosiding KNPM ke- 6 ini dapat bermanfaat bagi semua
pembaca, pemakalah serta kemajuan pendidikan matematika, ilmu matematika dan
statistika di tanah air tercinta, Indonesia.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Gorontalo, Juli 2016
Presiden IndoMS 2014-2016,
Prof. Dr. Budi Nurani Ruchjana
iii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KATA PENGANTAR PANITIA KNPM 6
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kemudahan dalam
pelaksanaan Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM) ke- 6 tahun 2015 di
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo pada tanggal 11–14 Agustus
2015.
Kami menyampaikan terima kasih atas penunjukkan Jurusan Matematika FMIPA UNG
sebagai penyelenggara KNPM ke- 6, yang telah diselenggarakan di Ballroom TC
Damhil kampus Universitas Negeri Gorontalo.
Pada KNPM ke- 6 ini panitia telah menetapkan tema: “Mewujudkan Kultur
Akademik dan Revolusi Mental Melalui Matematika dan Pendidikan
Matematika”. Hal ini mengingat karena pengembangan karakter pada hakekatnya
adalah pembangunan dan pengembangan mental. Pada sisi lain karakter merupakan
bagian integral dari kultur akademik, mengingat karakter diperlukan dan berpotensi
dikembangkan dari setiap aktivitas akademik. Pengembangan kultur akademik menjadi
titik terminal antara upaya pembinaan karakter dengan peningkatan mutu akademik dari
suatu proses pendidikan. Pengembangan kultur akademik dapat diwujudkan melalui
ranah pendidikan termasuk pendidikan matematika.
Kultur akademik yang baik akan menjadi lahan bagi tumbuh berkembangnya
masyarakat ilmiah, yakni masyarakat (peserta didik) yang memiliki keingintahuan yang
tinggi, logis, kritis, objektif, analitis, kreatif dan konstruktif, percaya diri, mandiri,
terbuka untuk menerima kritik, menghargai prestasi ilmiah, memiliki dan menjunjung
tinggi norma dan susila akademik serta tradisi ilmiah, dinamis, dan berorientasi kemasa
depan. Nilai-nilai tersebut di atas juga merupakan instructional effect dan nurturant
effect dari konten matematika dan pendidikan matematika.
Pada konteks ini Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM) ke- 6 di
Universitas Negeri Gorontalo (UNG) diniatkan untuk dapat memberikan sumbangsih
pemikiran meneguhkan harapan tumbuhnya kultur akademik dan menggaungkan
revolusi mental melalui matematika dan pendidikan matematika. Harapan ini senantiasa
harus diikhtiarkan secara bertahap dan kontinu. Seminar, diskusi ilmiah, diseminasi
hasil-hasil penelitian dan sharing pengetahuan terkini dibidang matematika serta best
practice dalam pembelajaran matematika pada kegiatan KNPM 6 ini diharapkan
menjadi wahana instrumental dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045 dan
generasi Indonesia yang berkarakter.
Pada KNPM ke- 6 tahun 2015 tersebut telah dipresentasikan 7 makalah pada sidang
pleno serta 78 makalah pada sidang paralel. Setelah melalui proses review oleh tim,
panitia KNPM ke-6 telah menyusun prosiding KNPM ke- 6, yang alhamdulillah saat ini
sudah dapat dituntaskan.
Kami dari pihak panitia mengucapkan banyak terima kasih kepada semua peserta yang
telah mengirimkan makalah untuk diterbitkan pada prosiding konferensi, kepada Tim
Reviewer dan Tim Editor yang telah membantu sehingga terbitnya prosiding ini.
Akhirnya, kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kegiatan konferensi ini terutama kepada Rektor UNG, Pemerintah Provinsi
Gorontalo, Pihak sponsor dan Panitia baik dari staf dosen, pegawai maupun para
mahasiswa yang telah bekerja keras untuk mempersiapkan kesuksesan KNPM ke- 6 ini.
Panitia Pelaksana KNPM ke-6,
iv
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PANITIA PELAKSANA KNPM KE-6 TAHUN 2015
1.
Pengarah:
Ketua
: Prof. Dr. Budi Nurani (Universitas Padjadjaran)
Sekretaris
: Prof. Dr. Syamsu Qamar Badu, M.Pd (Universitas Negeri Gorontalo)
Anggota
:
1. Dr. Kiki Ariyanti Sugeng (Universitas Indonesia)
2. Prof. Dr. Zulkardi (Universitas Sriwijaya)
3. Prof. Dr. Tulus (USU)
4. Prof. Dr. Didi Suryadi (UPI)
5. Prof. Dr. Sarson W. Dj Pomalato, M.Pd (UNG)
6. Prof. Dr. Nurhayati Abbas, M.Pd (UNG)
7. UM Malang
8. UNM Makasar
9. Unesa Surabaya
2. Pelaksana
Ketua Pelaksana
Wakil Ketua 1
Wakil Ketua 2
Wakil Ketua 3
Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
:
:
:
:
:
:
:
Prof. Dr. Evi Hulukati, M.Pd
Dr. Arfan Arsyad, M.Pd
Dra. Lailany Yahya, M.Si
Dr. Tedy Machmud, M.Pd
Drs. Majid, M.Pd
Nursiya Bito, S. Pd, M.Pd
Rahnikmawati Hasan, A.Md
Seksi-seksi:
Seksi Sidang dan Acara
1
.
Drs. Sumarno Ismail,
: M.Pd
Drs. Abas Kaluku, M.Si
Novianita Achmad, M.Si
Drs. Yus Iryanto Abas, M.Pd
Agustina Mohi S.Sos
Emli Rahmi, S.Pd, M.Si
Sri Lestari Machmud, S.Pd, M.Si
Abd. Fikri Katili
Mulyadi Ondah
Seksi Makalah
Nurwan, S.Pd, M.Si.:
M. Yusuf, M.Si
Zulfikar Hasan, S.Pd
Syafrudin Kama, S.Pd.
2
.
Seksi Reviewer Extended
3
Abstract
.
Prof. Dr. Sarson W.: Dj Pomalato, M.Pd
Prof. Dr. Nurhayati Abbas, M.Pd.
Prof. Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd
DR. Tedy Machmud, M.Pd.
v
KNPM 6
Seksi Prosiding
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
4
.
Dr. Ali Kaku, M.Pd:
Drs. Pery Zakaria, M.Pd
Hasan Panigoro, S.Pd, M.Si
Jihad Wungguli, S.Pd, M.Si
Laswi Kamali, S.T.
Irvan Mustafa, S.Pd.
Seksi Akomodasi dan
5
Transportasi
.
Dr. Abd. Djabar Mohidin,
:
M.Pd.
Drs. Abdul Wahab Abdullah, M.Pd
Zulwardi S. Mamu, S.Pd, M.Pd
Sufitro Kalapati, S.Pd.
Seksi Konsumsi 6
.
Dra. Kartin Usman,: M.Pd
Diana Madi, S.Pd, M.Pd
Dewi Rahmawaty Isa, S.Si, M.Si
Yanti, S.Pd
Seksi Publikasi dan7
Dokumentasi dan .
Pengelolaan web
Drs. Franky A. Oroh,
: M.Si
Hasan Panigoro, S.Pd, M.Si
Resmawan, S.Pd, M.Si
Seksi Perlengkapan8
.
Khardiyawan Pauweni,
: S.Pd, M.Pd
Dahlan Lukum, S.Pd
Noldi Latada, S.Pd
Ismet Mobia
Seksi Ekskursi / TOUR
9
.
Drs. Yamin Ismail,:M.Pd
Drs. Yus Iryanto Abas, M.Pd
Salmun, S.Pd, M.Si
Sitti Zakiyah, S.Pd, M.Pd
Seksi Sponsorship1dan
Public Relation 0
.
Design Cover dan Layout
Prosiding
Drs. Abas Kaluku, :M.Si
Novianita Achmad, S.Si, M.Si
Irvan Mustafa, S.Pd
vi
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
TIM REVIEWER
1. Prof. Dr. H. Sarson W. Dj Pomalato, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
2. Prof. Dr. Nurhayati Abbas, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
3. Prof. Dr. H. Hamzah B. Uno, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
4. DR. H. In Hi Abdullah, M.Si
(Universitas Khairun Ternate)
5. DR. H. Kodirun, M.Pd.
(Universitas Halu Oleo)
6. DR. Gelar Dwirahayu, M.Pd.
(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
7. DR. Hepsi Nindiasari, M.Pd.
(Univ. Sultan Ageng Tirtayasa)
8. DR. Maria Ulpah, M.Si.
(IAIN Purwokerto)
9. DR. Achmad Mudrikah, M.Pd.
(Uninus Bandung)
10. DR. Edy Surya, M.Si.
(Universitas Negeri Medan)
11. DR. H. Ismail Zakaria, M.Si.
(Universitas Negeri Gorontalo)
12. DR. Tedy Machmud, M.Pd.
(Universitas Negeri Gorontalo)
vii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR MAKALAH
A. PEMAKALAH UTAMA:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Prof. Dr. Hans-Stefan Siller. University of Koblenz-Landau Germany. Judul
Makalah: “Modelling as a big idea in mathematics – Knowlegde and views of preservice and in-service teachers”.
Prof. DR. Didi Suryadi, M.Ed. SPs UPI Bandung. Judul Makalah: “Penguatan
Kapasitas Pendidik Melalui Sistem Komunitas Berbasis Riset: Sebuah Upaya
Rintisan Di Kota Bandung”.
Prof. DR. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si. Universitas Sriwijaya. Judul Makalah:
“Design Research: Eksplorasi Budaya Indonesia Dan Implementasinya Dalam
Pembelajaran Matematika”.
Prof. DR. Budi Nurani Ruchjana. Universitas Padjajaran. Judul Makalah: “Peranan
Pendidikan Matematika Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015”.
Prof. Dr. Sarson W. Dj. Pomalato, M.Pd. Universitas Negeri Gorontalo. Judul
Makalah: “Model Based Development Of Contextual Learning Math For Improved
Communication And Creativity Of Math Elementary School Students”.
Profesor Dr.rer nat Dedi Rosadi S.Si M.Sc. Universitas Gajah Mada. Judul
Makalah: “Pengajaran Ekonometrika Dan Analisis Runtun Waktu Dengan Paket
Perangkat Lunak RcmdrPlugins.SPSS”.
DR. Kadir, S.Pd., M.Si. Universitas Halu Oleo. Judul Makalah: “Penggunaan
Masalah Pesisir Untuk Melatih Kemampuan Berpikir Matematik Siswa SMP”.
B. PEMAKALAH BIDANG:
BIDANG PENDIDIKAN MATEMATIKA
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING
DENGAN MEDIA SOFTWARE WINGEOM UNTUK MENINGKATKAN
KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP DAN REPRESENTASI
MATEMATIKA PESERTA DIDIK PADA MATERI RUANG DIMENSI
TIGA KELAS X1 DI SMA NEGERI 1 LUWUK KABUPATEN BANGGAI
Andiny Sapriyanty Ahmad, Tedy Machmud................................................. 1-9
PROFIL KREATIVITAS PENYELESAIAN MASALAH GEOMETRI
SISWA KELAS VIII SMP NEGERI TOMBULU MINAHASA DITINJAU
DARI GAYA BELAJAR
Ontang Manurung ....................................................................................... 10-17
PROSES ABSTRAKSI PENGETAHUAN OLEH SISWA PADA KONSEP
LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BANGUN RUANG
Syukma Netti, Sudirman, Susi Herawati ...................................................... 18-29
viii
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT
TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS) DALAM MENINGKATKAN
PEMAHAMAN KONSEP HIMPUNAN DI SMPN 1 SAWAN BULELENG
Made Susilawati .......................................................................................... 30-40
DESKRIPSI KESULITAN BELAJAR SISWA DALAM MENYELESAIKAN
SOAL-SOAL MATEMATIKA KELAS VII DI SMP NEGERI 2
GORONTALO
Franky A. Oroh ............................................................................................ 41-56
PENINGKATAN KREATIVITAS DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS
SISWA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MODEL PROBLEM
BASED LEARNING DI SEKOLAH DASAR
Zulfa Amrina ................................................................................................ 57-68
KOMPETENSI KOGNITIF SISWA YANG DIAJAR DENGAN MODEL
PEMBELAJARAN DIRECT INSTUCTION BERBANTUAN SOFTWARE
MATHEMATICA® DALAM PEMBELAJARAN MATERI VOLUM
BENDA PUTAR
James U.L. Mangobi .................................................................................... 69-80
ANALISIS
PELAKSANAAN
PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
BERBASIS KURIKULUM 2013 DI SMP KOTA PEKANBARU
Atma Murni .................................................................................................. 81-90
EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN DEMONSTRASI-STUDENT
CENTERED
LEARNING (SCL) DAN
METODE AUDITORY
INTELLECTUALLY REPETITION (AIR)
Ni Made Asih ............................................................................................... 91-103
PENGEMBANGAN SOAL PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
DENGAN STRATEGI FINDING A PATTERN
Navel Oktaviandy Mangelep ....................................................................... 104-112
ANALISIS STRUKTUR DAN KEMAMPUAN SISWA DALAM
MENYELESAIKAN SOAL UJIAN NASIONAL MATEMATIKA SMP/MTS
TAHUN 2013/2014 MENGGUNAKAN KERANGKA KERJA LITHNER
Triyawan Kolopita, Kartin Usman .............................................................. 113-127
PENGGUNAAN MIND MAPPING DALAM MENGATASI MISKONSEPSI
MAHASISWA PADA PEMBELAJARAN ANALISIS REAL
Luh Putu Ida Harini, Tjokorda Bagus Oka, Made Susilawati .................... 128-137
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR LOGIKA MATEMATIKA DENGAN
PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERNUANSA ISLAMI UNTUK
MENGEMBANGKAN KARAKTER MAHASISWA
Nurjanah ...................................................................................................... 138-147
ix
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGARUH PEMBELAJARAN BERPUSAT MASALAH (PROBLEM
CENTERED LEARNING) TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI
MATEMATIKA SISWA KELAS VIII
Madjid.......................................................................................................... 148-160
MELIBATKAN METAKOGNISI SISWA DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
Amelia T.P Kansil ........................................................................................ 161-175
KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA MAHASISWA
PADA MATA KULIAH STRUKTUR ALJABAR
Nila Kesumawati ......................................................................................... 176-186
PENGGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING DENGAN
BANTUAN SOFTWARE GEOGEBRA UNTUK MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR MATEMATIKA SISWA
Khoerul Umam, Sigid Edy Purwanto, Cut Nurlia Aprilna .......................... 187-199
AKTIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
MENURUT MODEL KOOPERATIF TIPE STAD
Santje M.Salajang........................................................................................ 200-210
MEMBENTUK PENGUASAAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PESERTA PPL-1 DALAM BIMBINGAN LATIHAN MENGAJAR
MELALUI LESSON STUDY
Sumarno Ismail ............................................................................................ 211-222
MENINGKATKAN AKTIFITAS UNTUK HASIL BELAJAR INDIVIDU
PADA MATERI POKOK UKURAN PEMUSATAN SUATU DATA YANG
DISAJIKAN MELALUI DIAGRAM MELALUI PEMBELAJARAN SISTEM
TAMU
Satra Hamzah .............................................................................................. 223-233
PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MELIBATKAN OTAK KIRI
DAN OTAK KANAN DALAM PEMROSESAN INFORMASI
Magy Gaspersz ............................................................................................ 234-248
BIDANG MATEMATIKA
PENENTUAN PEMENANG TENDER PENGADAAN BARANG DAN
JASA DENGAN MENGGUNAKAN SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING
METHOD (SAW) (Studi Kasus : Pengadaan Barang dan Jasa di LAPAN,
Rumpin)
Imam Nurhadi Purwanto, Agus Widodo, Indah Yanti ................................. 249-258
x
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DIMENSI METRIK GRAF BLOK BEBAS ANTING
Hazrul Iswadi ..............................................................................................
259-266
MODEL PERTUMBUHAN LOGISTIK:MODIFIKASI PADA DAYA
DUKUNG DENGAN PEMANENAN PROPOSIONAL TERHADAP
POPULASI
Hasan S. Panigoro....................................................................................... 267-279
MODEL LOGISTIK DENGAN PEMANENAN KONSTAN TERHADAP
POPULASI:FENOMENA BIFURKASI AKIBAT PEMANENAN
Hasan S. Panigoro....................................................................................... 280-289
KESTASIONERAN DAN SIFAT STATISTIK DARI MODEL GARCH (1,1)
DAN EGARCH (1,1)
Isran K. Hasan............................................................................................. 290-300
ANALISIS SENSITIVITAS PENGARUH EDUKASI, SKRINING DAN
TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS
Marsudi, Noor Hidayat, Ratnobagus E. W. ................................................ 301-310
xi
PAPARAN PROF. DR. HANS STEFAN
SILLER
http://proxy.furb.br/ojs/index.php/modelling/article/view/322
1/2055
1
Modelling as a big idea in mathematics – Knowledge
and views of pre-service and in-service teachers
 Modelling is agreed to be a big idea for mathematics as a scientific




discipline with high relevance for mathematical literacy.
Consequently, teachers should be aware of this big idea and know how
modelling relates to a variety of curricular contents.
However, especially quantitative empirical research into knowledge
and views of pre-service and in-service teachers related to modelling
is scarce.
Hence, a study of ABC-maths concentrates on professional knowledge
and views of (Austrian) pre-service teachers about modelling as a big
idea and contains first exploratory comparisons with in-service
teachers.
The results suggest that especially for a sub-group of the participants
there is a need of professional development related to modelling.
In particular, the study focuses on the teachers’ knowledge and
perceptions about modelling as a big idea and on views about
the significance of modelling. The research questions are as
follows:
Are pre-service and in-service teachers able to connect
contents through the big idea of modelling and do they
have meta-knowledge about the modelling process?
2. Which significance do pre-service and in-service teachers
assign to the big idea of modelling and how do they see this
idea related to specific content areas?
1.
2
 In order to find out about the research questions, a paper-
and-pencil-test and questionnaire was administered to
 39 Austrian pre-service teachers (30 female, 8 male, 1 without
data, mean age 23.5 years; SD=3.5 years) and
 11 Austrian in-service teachers (5 female, 5 male, 1 without
data, mean age 32.5 years; SD=9.6 years), working for on
average 5.8 (SD=9.1) years at academic-track secondary
schools.
 Research question 1 focuses on professional knowledge related to
connecting contents through the big idea of modelling.
 In both items, teachers were asked to give examples related to
aspects of modelling.
Number of adequate examples given
0
1
2
3
4
5
6
50
frequency of code (percent)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Task 1
Task 2
Modelling (pre-service
teachers, N=39)
Task 1
Task 2
Modelling (in-service
teachers, N=11)
 Between one fifth and more than one third of the teachers did not
provide any adequate example, even if a first example was already
given in the items, respectively.
3
The influence of these given examples on the examples provided by the teachers was not high.
Transfer level code
no exam ple given/ no adequate exam ple
adequate exam ple(s ) given are clos e to the content
area / clos e to given exam ple
frequency of code (percent)
adequate exam ple(s ) m ake(s ) link acros s content
areas / are not clos e to content area of given exam ple
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Task 1
Task 2
Modelling (pre-service
teachers, N=39)
Task 1
Task 2
Modelling (in-service
teachers, N=11)
It is shown that the frequencies of the transfer level coding, which distinguished between examples close to the given example
vs. examples in other content areas. The results show that a big majority of the examples was related to other content areas.
A global result concerning the
question about describing phases of
the modelling process was that 43.6%
of the pre-service teachers did not
provide any answer at all. Among the
in-service teachers, 63.6% did not
give any answer to that question. For
the remaining 56.4% resp. 36.4%
who gave an answer to the question, it
was coded which phases and aspects
of the modelling process were
contained in the teachers’ answers.
Percentage of teachers who mentioned phases of
modelling process
pre-service
in-service
Phase
teachers
teachers
Situation
86.4%
100%
Model of the situation
27.3%
25%
Model of the problem
27.3%
100%
Mathematical model
86.4%
75%
Mathematical result
72.7%
100%
54.5%
100%
27.3%
100%
4.5%
25%
0.0%
0%
Interpreting the
mathematical result
Validating the
interpreted result
Running through the
cycle another time
Use of technology
4
Research question 2 concentrates on the significance assigned
to the big idea ‘modelling’ by the pre-service and in-service
teachers in comparison with other big ideas. Figure 4 presents
the corresponding results of the teachers’ ratings (ratings by
numerical values from 0 (low significance) to 5 (high
significance)). As the data show, the big idea ‘modelling’ was
rather not given the highest significance by both sub-samples,
replicating the basic tendency of a pior study (Siller et al.,
accepted) with more than 100 German and more than 40
Austrian pre-service teachers.
These results concern the
perceived significance of
modelling for selected
content domains. The
diagram indicates that the
significance of modelling
might – in the eyes of the
participating teachers –
be restricted to a rather
narrow field of curricular
contents. However, for
three obviously relevant
content
areas,
the
teachers do on average
see a high significance of
modelling.
High
significance
5
4,5
4
pre-service teachers
in-service teachers
3,5
3
2,5
2
1,5
1
Low
significance
0,5
0
Examining the
divisibility of
numbers
Patterns in
number
sequences
steps towards
Examining Word problems
multiplication calculus rules
iconcerning
algorithm
(e.g. 7×3=3×7) calculus with
money
Tables and
diagrams
multiplication of
fractions
calculating
areas
5
 Beyond the evidence, the findings of this study also call for
empirical research into the role of the views examined here
for the teachers’ choice of specific learning opportunities in
the classroom and into the interdependency structure of
professional teacher knowledge related to modelling.
 Such deepened analyses could open up ways of effective
professional development approaches.
6
PENGUATAN KAPASISTAS PENDIDIK MELALUI SISTEM KOMUNITAS
BERBASIS RISET: SEBUAH UPAYA RINTISAN DI KOTA BANDUNG
Didi Suryadi
Universitas Pendidikan Indonesia
[email protected]
Abstrak
Tata kelola pendidik di Indonesia, baik di lingkungan perguruan tinggi (dosen) maupun di sekolah
(guru), dihadapkan pada tiga permasalahan substansial: 1) budaya berpikir pendidik yang
cenderung imitatif dalam konteks pembelajaran; 2) budaya berpikir profesionalisme yang
cenderung prosedural-administatif dalam konteks pengembangan kapasitas diri; dan 3) budaya
berpikir komunitas profesi (guru, dosen, pengawas, widyaiswara) yang cenderung terisolasi satu
sama lain dalam konteks pencapaian tujuan kolektif dan eksistensial pendidikan nasional.
Akumulasi permasalahan tersebut bersifat kontraproduktif terhadap pengembangan karakteristik
kecakapan baru yang dapat memperkuat kapasitas professional pendidik pada masa yang akan
datang. Model komunitas pendidik berbasis riset menawarkan alternatif pemberdayaan pendidik
melalui pengembangan kultur berpikir dalam konteks riset secara kolaboratif. Kultur yang
berkembang melalui pendekatan ini diharapkan mampu meningkatkan kapasitas pendidik secara
berkelanjutan.
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan tantangan
kehidupan semakin kompleks memerlukan kapasitas sumber daya manusia
(SDM) mandiri dan berdaya sebagai dampak dari proses pendidikan yang
mencerdaskan. Karena itu, diperlukan perspektif tata kelola SDM pendidik baik di
lingkungan perguruan tinggi (dosen) maupun di sekolah (guru) yang
mentransformasikan tiga permasalahan berikut: 1) budaya berpikir akademik
yang cenderung imitatif dalam konteks pembelajaran; 2) budaya berpikir profesi
pendidik yang cenderung prosedural-administatif dalam konteks pengembangan
kapasitas diri; dan 3) budaya berpikir komunitas antar profesi pendidik (guru,
dosen, pengawas, widyaiswara) yang cenderung terisolasi satu sama lain dalam
konteks pencapaian tujuan kolektif dan eksistensial pendidikan nasional.
Akumulasi isu tersebut mencerminkan ketidakmandirian dan ketidakberdayaan
pendidik.
Permasalahan tersebut memerlukan perbaikan tata kelola SDM pendidikan
berorientasi pada perubahan budaya sekolah dan budaya pendidikan guru. Dalam
hal ini, aspek berpikir merupakan fondasi dari kemandirian pendidik (Suryadi,
2012). Karenanya, diperlukan pengembangan dasar filosofis, konseptual-teoretis
dan praktis budaya berpikir dalam konteks pembelajaran, pengelolaan institusi
pendidikan dan pengembangan profesional pendidik mulai jenjang sekolah dasar
melalui analisis kemampuan berpikir peserta didik, pendidik dan pendidik guru
yang mendasari konseptualisasi tata kelola sistem komunitas dan kemandirian
sistem pendidikan yang memberdayakan kapasitas para pendidiknya.
Permasalahan utamanya adalah bagaimana mengembangkan sistem
komunitas untuk peningkatan kapasitas pendidik melalui pengkajian isu terkait:
1) Bagaimana memberdayakan kapasitas pendidik yang mengembangkan budaya
berpikir
akademik
yang
kreatif
dan
produktif
dalam
konteks
pembelajaran/perkuliahan?; 2) Bagaimana memberdayakan kapasitas pendidik
yang mengembangkan budaya berpikir berorientasi pada pemutakhiran aspekaspek subtansial dari profesi pendidik, yaitu guru, dosen dan profesor?; 3)
Bagaimana memberdayakan kapasitas komunitas antar pendidik yang
mengembangkan budaya kerjasama sinergis dan saling memberdayakan?; dan
4)Bagaimana implikasinya terhadap tata kelola pendidikan calon pendidik,
pengembangan profesional pendidik dan penelitian yang dilakukan pendidik?
HASIL AWAL YANG TELAH DICAPAI
Penelitian tentang pemberdayaan kapasitas pendidik telah lama dilakukan,
khususnya melalui implementasi Lesson Study di beberapa kabupaten/kota
(Bandung, Sumedang, Karawang, Surabaya dan Pasuruan). Melalui kajian
sistematis terhadap berbagai budaya berpikir dan belajar terutama yang
berkembang di Eropa dan Asia, penulis telah menghasilkan sintesis teoretis dan
metodologis yang orisinal, yaitu Metapedadidaktik (Suryadi, 2009) dan Didactical
Design Researh (DDR) (Suryadi, 2010). Keduanya memperoleh perhatian dan
pengakuan luas dari kalangan akademisi dan praktisi pendidikan, baik di dalam
dan luar negeri.
Hasil penelitian tersebut kemudian diperkenalkan kepada para guru di
Sekolah Dasar GagasCeria Bandung yang telah menjadi mitra sejak tahun 2012
dalam konteks penelitian pengembangan profesional. Rintisan kerjasama
penelitian tersebut telah menghasilkan beberapa produk yang dikembangkan tim
dosen dan tim guru, antara lain berupa artikel yang dipresentasikan di
seminar/konferensi nasional dan internasional, makalah utama, manuskrip artikel
jurnal dan model pembelajaran matematika yang dikembangkan guru
berdasarkan perspektif DDR. Semenjak bermitra dengan SD GagasCeria,
kontekstualisasi teori Metapedadidaktik dan metodologi DDR menyentuh aspek
bahan dan media ajar, pengembangan kurikulum dan pengelolaan pengembangan
profesional di SD. Selain itu, kini permintaan untuk pembicara kunci serta studi
banding ke SD GagasCeria baik di dalam dan luar negeri telah terjadwal hingga
2014.
Pengelolaan sistem pendidikan memerlukan perspektif tata kelola yang
mendorong kemandirian dan inovasi. Penelitian lanjutan dari Metapedadidaktik
dan DDR untuk mensinergikan tata kelola pendidikan sekolah dan pendidikan
guru saat ini terus dilakukan. Perspektif ini merepresentasikan keunikan budaya
berpikir tata kelola sistem pendidikan yang memungkinkan terbentuknya pusat
keunggulan pendidikan di Indonesia serta memperkaya keilmuan pendidikan di
dunia.
Kontribusi sistem komunitas primer yang telah dicapai adalah peningkatan
tata kelola berbasis budaya berpikir di UPI dan SD GagasCeria. Perbaikan tata
kelola di UPI mencakup kurikulum, pengajaran, penelitian, pengembangan
profesional dosen dan manajemen pendidikan guru. Sementara di SD GagasCeria
mencakup perbaikan tata kelola pembelajaran, pengembangan profesional guru
dan manajemen sekolah.
Kajian sistematis terhadap berbagai praktik professional learning community
(PLC) dan budaya berpikir pendidik, terutama yang berkembang di Eropa
(Kansanen, 2003; Brosseau, 1997) telah menghasilkan sintesis teoretis dan
metodologis yang orisinal. Dalam hal ini, penulis telah menginisiasi aplikasi
terbatas yang secara empiris menunjukkan dua temuan utama: 1) komunitas riset
sebagai sistem (Suryadi, 2011); dan 2) kerangka substansial teori
Metapedadidaktik dan metode Didactical Design Researh (DDR) (Suryadi, 2009;
2010; 2013). Kedua inovasi akademik tersebut telah memperoleh HAKI (2014)
dan juga mendapat apresiasi dari masyarakat akademik internasional
(disampaikan dalam konferensi WALS, November 2014).
Studi tentang komunitas riset (2007) menghasilkan konstruksi milieu sebagai
unit dasar sistem komunitas, misalnya di satu sekolah. Di dalamnya, milieu
memiliki norma, perangkat, daya dukung, pola relasi dan substansi yang
mendasari situasi riset. Oleh karena itu, sistem aktivitas kolaboratif-kolegial di
dalam milieu melibatkan proses refleksi dan dialog perspektif antar individu
pendidik dari sekolah tersebut. Pola serupa berlaku pada level subsistem yang
terbentuk dari jalinan antar milieu yang pada akhirnya terakumulasi menjadi
sistem berskala luas. Melalui sistem tersebut terbangun dialog reflektif dan
argumentatif yang mendasari inferential belief system pendidik dalam memahami
kerumitan fenomena pengajaran dan pembelajaran yang menjadi fokus kajian
bersama. Implikasi dari studi ini adalah perlunya pengembangan kerangka dan
perangkat berpikir yang membantu internalisasi pemahaman dan keyakinan
pendidik agar dapat menerapkannya ke dalam praktik profesionalnya sehari-hari.
Implikasi tersebut mendasari studi tentang metapedadidaktik dan DDR
(2009). Metapedadidaktik menyediakan perspektif tentang sistem keyakinan
(belief system) serta proses berpikir relasional pendidik terkait materi, peserta
didik dan dirinya sendiri. Untuk memaknainya dikembangkan DDR sebagai
perangkat berpikir (thinking tool) dalam mengkaji dan menangani kompleksitas
pengajaran-pembelajaran melalui praktik refleksi kritis (critical reflection). Ketika
merancang pembelajaran, pendidik melakukan repersonalisasi untuk menggali
argumentasi konseptual materi yang diajarkannya sambil memprediksi dan
mengantisipasi ragam kemungkinan respon peserta didik. Pola pikir tersebut
mendasari argumentasi didaktis-pedagogis pendidik ketika melaksanakan dan
menganalisis pembelajaran.
Sejak tiga tahun terakhir kedua capaian penelitian tersebut diimplementasikan
pada konteks terbatas baik pada lingkup perguruan tinggi maupun sekolah
(Gambar 1). Di awal perkembangannya, penulis mengkaji komunitas riset pada
kelompok bidang kajian (KBK) di Jurusan Pendidikan Matematika UPI (20072009). Temuannya mendasari konseptualisasi milieu dan objek penelitian dari
sistem komunitas (2011). Selanjutnya, penulis menginisiasi pembentukan
komunitas riset dosen yang memfokuskan pada pengembangan teori
metapedadidaktik dan didactical design research (DDR) (2009-2011; 2013).
Melalui milieu ini dihasilkan perangkat intelektual untuk analisis pengajaran dan
pembelajaran seperti konstruksi learning obstacle (kesulitan belajar), learning
trajectory (alur belajar), didactical situation (tahapan pengajaran), critical
reflection and argumentation, repersonalization, dialog and Socratic questioning
serta belief system (Suryadi, 2013). Untuk memapankannya, sejak 2011 dilakukan
riset kolaborasi dengan kolega dari Jepang yang mendasari pembentukan milieu
penelitian internasional.
Riset Dasar
Riset Terapan
Riset Eksperimen
Pengembangan Prototip
Riset Scaling-up
Alih Teknologi-Standarisasi
Inovasi
Kebijakan Tata
Kelola Pendidik.
Pengembangan Kerangka Teoretis-Metodologis
Pengembangan Prototip & Ujicoba Terbatas
Implementasi Model Berskala Luas (LPDP RISPRO)
Pengajuan HAKI
Gambar 1. Rekam jejak riset
Untuk menguji kelayakannya maka dilakukan implementasi terbatas dalam
konteks penelitian calon guru matematika dan pengembangan guru sekolah dasar
mitra. Penulis mengembangkan model sistem komunitas bimbingan skripsi dan
tesis mahasiswa (2011) yang dilanjutan dengan inisiasi kemitraan riset dengan SD
GagasCeria Bandung (2012) untuk mengembangkan proses berpikir dan sistem
keyakinan guru matematika. Milieu yang terbentuk di SD GagasCeria menstimulasi
difusi inovasi sehingga apa yang berkembang di tim guru matematika menyebar
ke kelompok guru lainnya. Di tahapan ini, tim peneliti berhasil menemukan
strategi pembentukan milieu, analisis situasi riset dan penerapan DDR sebagai
perangkat intelektual. Lebih dari itu, sistem komunitas tersebut bersifat produktif
imana telah dihasilkan beberapa artikel yang disajikan di berbagai forum nasional
dan internasional. Saat ini beberapa tulisan mahasiswa dan guru SD GagasCeria
sedang dalam proses reviu untuk publikasi monograf dan buku antologi.
Capaian awal tersebut mendorong penulis bersama tim dari UPI dan SD
GagasCeria menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung (Februari
2014). Perluasan terhadap 21 SD negeri mendasari prototip jalinan milieu antar
sekolah. Pengalaman ujicoba terbatas memberikan gambaran strategi
implementasi sistem komunitas berbasis riset yang diperankan oleh pusat-pusat
milieu baru yang menjadi poros kegiatan riset pendidik beserta skema
diseminasinya. Lebih dari itu, pengalaman tersebut mendasari kerangka transfer
pengetahuan, inovasi kebijakan dan standar tata kelola pendidik secara sistematis
berbasis riset. Diseminasi terbatas pengalaman di SD GagasCeria tersebut
mendapat apresiasi dari partisipan serta rekognisi dari pimpinan dinas
pendidikan dan pimpinan UPI
RENCANA PENGEMBANGAN SELANJUTNYA
Rencana pengembangan selanjutnya akan dilaksanakan selama tiga tahun ke
depan bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kota Bandung. Subyek utama
penelitian adalah tim peneliti dari UPI, pimpinan dan guru-guru SD GagasCeria
dan Dinas Pendidikan Kota Bandung. Setiap mitra berkontribusi dalam
penyediaan daya dukung, misalnya pembiayaan maupun personel, dengan
mekanisme berbagi peran dan tanggungjawab. Pengalaman kemitraan yang
terjalin selama ini menunjukkan berjalannya mekanisme tersebut sehingga
memungkinkan untuk pembentukan sistem komunitas pendidik SD di Kota
Bandung sebagai target perluasan.
Tim peneliti UPI berperan dalam mengembangkan kerangka penelitian
perluasan ini seperti konstruksi teoretis dan metodologis, fasilitasi program dan
kontennya, instrumentasi dan analisis data serta mekanisme transfer
pengetahuan dan diseminasinya. Selain itu, tim peneliti UPI akan melibatkan
mahasiswa S2 maupun S3 yang berperan untuk melakukan penelitian dengan
tema spesifik dan mendalam dari penelitian implementatif ini. Dalam
pelaksanaannya, tim UPI bersama mitra lainnya, mengembangkan sistem
komunitas dan pendekatan berbasis riset.
Sistem komunitas dibangun dengan beberapa pendekatan: 1) memperkuat SD
GagasCeria sebagai milieu primer; 2) membentuk empat SD sasaran baru sebagai
milieu sekunder; 3) melibatkan banyak SD lainnya untuk membentuk jalinan
antar milieu; 4) mengembangkan forum dialog interaktif dan partisipatif untuk
sosialisasi, perancangan, serta praktik refleksi kritis; dan 5) mengembangkan
mekanisme dan platform untuk komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan.
Basis riset dikembangkan dengan beberapa pendekatan: 1) mengembangkan
protokol pola interaksi dialogis untuk mendukung praktik refleksi kritis dalam
bentuk workshop, diskusi terfokus dan seminar; 2) menerapkan DDR sebagai
perangkat intelektual dalam perancangan dan analisis pengajaran dan
pembelajaran; 3) mengembangkan kerangka dialog argumentatif sebagai basis
penyelidikan pendidik yang humanis; 4) mengembangkan kemampuan akademik
partisipan terkait penulisan dan publikasi practical research; 5) mengembangkan
tema penelitian spesifik yang akan dikaji secara mendalam; dan 6)
mengembangkan model, standar dan penjaminan mutu tata kelola pendidik
berskala sistem komunitas berbasis riset.
Tim peneliti SD GagasCeria berperan untuk menyediakan daya dukung untuk
penguatan sekolahnya sebagai milieu primer yang menjadi poros utama perluasan
sistem komunitas dan basis riset di Kota Bandung. Terkait sistem komunitas, SD
GagasCeria mengembangkan: 1) tata kelola milieu; 2) forum dialog interaktif dan
praktik refleksi kritis diantara guru; 3) platform komunikasi, publikasi dan
transfer pengetahuan kepada sekolah lain. Berkenaan dengan basis riset, SD
GagasCeria mengembangkan: 1) kepemimpinan, manajemen dan program
sekolah; 2) panduan refleksi kritis dan dialog argumentatif diantara guru; 3)
rancangan pembelajaran beserta analisisnya dengan menerapkan DDR; 4) tema
penelitian spesifik yang akan dikaji secara mendalam oleh para guru; dan 5)
model standar dan penjaminan mutu tata kelola pendidik berskala milieu berbasis
riset.
Dinas Pendidikan Kota Bandung berperan dalam menyediakan daya dukung
pembentukan milieu sekunder serta jalinan antar milieu sehingga terbentuk
sistem komunitas berbasis riset berskala luas. Pendekatan yang dilakukan Dinas
Pendidikan Kota Bandung adalah: 1) mengkoordinasikan keterlibatan banyak SD
di Kota Bandung; 2) memetakan dan menentukan empat SD yang akan dijadikan
milieu sekunder; 3) mengkoordinasikan pembentukan subsistem komunitas
berupa jalinan antara milieu sekunder dengan SD lainnya; 4) mengkoordinasikan
pembentukan sistem komunitas berupa jalinan antar milieu; 5)
mengkoordinasikan pelaksanaan forum dialog dan praktik refleksi; dan 6)
mendukung realisasi platform komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan.
Terkait dengan basis riset, Dinas Pendidikan Kota Bandung berperan dalam
mengembangkan: 1) manajemen program sistem komunitas berbasis riset; 2)
panduan pembentukan dan jalinan antar milieu; 3) rancangan penjaminan mutu
dan produktifitias sistem komunitas berbasis riset; dan 4) standar tata kelola
pendidik berskala sistem komunitas berbasis riset.
Empat SD sasaran dipilih untuk dijadikan sebagai milieu sekunder. Poros baru
ini akan bekerjasama dengan milieu primer dalam penguatan dan perluasan
sistem komunitas berbasis riset. Pemilihan keempat SD tersebut terutama
berdasarkan potensi dan komitmennya. Milieu sekunder ini berperan dalam hal:
1) menyediakan daya dukung untuk dibentuk menjadi milieu sekunder melalui
pendampingan tim UPI; 2) bekerjasama dengan milieu primer dan membentuk
jalinan antar milieu membentuk sistem komunitas; 3) bekerjasama dengan
sekolah lainnya membentuk subsistem komunitas; dan 4) mendukung realisasi
platform komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan. Terkait dengan basis
riset, milieu sekunder berperan dalam hal: 1) menerapkan panduan refleksi kritis
dan dialog argumentatif diantara guru; 3) merancangan pembelajaran beserta
analisisnya dengan menerapkan DDR; 4) mengembangkan tema penelitian
spesifik yang akan dikaji secara mendalam oleh para guru; dan 5) bersama tim
peneliti mengembangkan model tata kelola pendidik berskala subsistem berbasis
riset.
Sejumlah SD lainnya dilibatkan untuk partisipasi dalam membentuk sistem
komunitas. Setiap sekolah berperan dalam: 1) menyediakan daya dukung bagi
terciptanya milieu berbasis riset di sekolahnya masing-masing; 2) bekerjasama
dengan milieu sekunder untuk membentuk subsiste; 3) terlibat dalam forum
dialog dan praktik refleksi berskala sistem komunitas; dan 4) mendukung realisasi
platform komunikasi, publikasi dan transfer pengetahuan. Terkait dengan basis
riset, setiap SD berperan dalam: 1) menerapkan panduan refleksi kritis dan dialog
argumentatif diantara guru; 3) merancangan pembelajaran beserta analisisnya
dengan menerapkan DDR; 4) mengembangkan tema penelitian spesifik yang akan
dikaji secara mendalam oleh para guru.
Berdasarkan konstruksi peran-peran tersebut dikembangkan kerangka umum
metodologi penelitian ini (Gambar 2). Skema besar model sistem komunitas
berbasis riset mirip seperti konferensi pendidikan atau education fair yang
dibangun dari bawah (grassroot movement) dengan dukungan dari pemangku
kebijakan secara sistematis dan berkelanjutan. Hal tersebut direalisasikan ke
dalam bentuk kegiatan spesifik dan unik yang berhasil dikembangkan prototipnya
selama bermitra dengan SD GagasCeria. Prinsip dari kegiaatan tersebut adalah
membangun dialog argumentatif dan praktik refleksi kritis. Kegiatan tersebut
diantaranya workshop DDR dan berbagai forum/sesi dalam bentuk diskusi
terfokus, perancangan, pengamatan dan refleksi pembelajaran, penulisan
manuskrip, serta eksibisi praktik dan karya pendidik. Untuk mengkomunikasikan
perluasan tersebut secara lebih luas, platform berbasis ICT dikembangkan dalam
bentuk website dan social media yang interaktif serta publikasi cetak seperti buku,
antologi, artikel, modul dan monograf.
Gambar 2 Kerangka besar metodologi penelitian
Skema besar seperti konferensi tersebut merupakan akumulasi dan kulminasi
dari berbagai kegiatan yang dilakukan di setial level milieu dan subsistem.
Kegiatan besar itu akan dilakukan sekali setiap tahunnya. Adapun kegiatankegiatan spesifik di setiap level tersebut dilaksanakan secara sistematis dan
berkelanjutan. Level I dilaksanakan pada milieu primer yang berpusat di SD
GagasCeria. Level II diterapkan kepada milieu sekunder atausubsistem dipusatkan
di empat SD sasaran. Level III berskala sistem komunitas yang dilakukan secara
terintegrasi dan terkoordinasi dimana diperankan secara strategis oleh Dinas
Pendidikan Kota Bandung.
Implementasi di setiap level tersebut dilakukan melalui dua pendekatan
utama: workshop dan forum dialog. Di dalam skema tersebut, Workshop DDR
menjadi kunci karena berkaitan langsung dengan praktik pengajaran dan
pembelajaran. Workshop ini bersifat eksploratif karena di dalamnya tersedia
perangkat intelektual untuk analisis pengajaran dan pembelajaran. Perangkat
tersebut mencakup pola-pola berpikir kritis dan kreatif serta dialog argumentatif
dari mulai perencanaan, pelaksanaan dan refleksi pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Brosseau, G. (1997). Theory of Didactical Situations in Mathematics. New York: Kluwer
Academic Publishers.
Darling-Hammond, L. (2006a). Powerful Teacher Education: Lessons from Exemplary
Programs. San Francisco: Jossey-Bass.
Hardman, D., & Macchi, L. (Eds). (2003). Thinking: Psychological Perspectives on
Reasoning, Judgment and Decision Making. Chichester: John Willey & Sons Ltd.
Hargreaves, A., & Fullan, M. (2011). Professional Capital. San Francisco: Josssey-Bass.
Hendayana, S., Suryadi, D., Karim, M. A., Sukirman., Ariswan., Sutopo., Supriatna, A.,
Sutiman., Santosa., Imansyah, H., Paidi., Ibrohim., Sriyati, S., Permanasari, A., Hikmat.,
Nurjanah., and Joharmawan, R. et al. (2007). Lesson Study: Suatu strategi untuk
meningkatkan keprofesionalan pendidik (Pengalaman IMSTEP-JICA). Bandung: UPI
Press.
Kansanen, P. (2003). Studying-theRealistic Bridge Between Instruction and Learning. An
Attempt to a Conceptual Whole of the Teaching-Studying-Learning Process.
Educational Studies, Vol. 29,No. 2/3, 221-232
Suryadi, D. (2009). Metapedadidaktik dalam Pembelajaran Matematika: Suatu Strategi
Pengembangan Diri menuju Guru Profesional. Pidato Pengukuhan Guru Besar
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung April 2009.
Suryadi, D. (2010). Metapedadidaktik dan Didactical Design Research (DDR): Sintesis
hasil pemikiran berdasarkan lesson study. Dalam T. Hidayat, I. Kaniawati, I. Suwarma,
A. Setiabudi, and Suhendra (Eds.): Teori, paradigma, prinsip dan pendekatan
pembelajaran MIPA dalam konteks Indonesia (pp. 55-75). Bandung: FPMIPA UPI.
Suryadi, D. (2012). Membangun Budaya Baru dalam Berpikir Matematika. Bandung: Rizqi
Press.
Suryadi, D. (2013) Didactical Design Research (DDR) to improve the teaching of
mathematics. Far East Journal of Mathematical Education, 10 (1), pp. 91-107.
Suryadi, D., Rosjanuardi, R., Itoh, T. (2011). A model of a mathematics research
community in the context of Indonesian higher education. Gunma University Journal,
59, pp. 21-34.
DESIGN RESEARCH:
EKSPLORASI BUDAYA INDONESIA DAN
IMPLEMENTASINYA DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Ratu Ilma Indra Putri
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri, [email protected]
Extended abstract
Penggunaan konteks yang berupa kehidupan sehari-hari dalam pembelajaran
matematika sedang banyak dibicarakan khususnya dalam PISA. PISA adalah salah
satu studi international yang hasilnya dijadikan bencmarking international untuk
negara-negara peserta Organisation For Economic Cooperation And Development
(OECD) dan peserta PISA di luar negara-negara OECD (OECD, 2012). Dilihat dari
aspek matematika, PISA bertujuan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam
mengidentifikasi, memahami, dan menggunakan dasar-dasar matematika yang
diperlukan siswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari (Putri, 2012). Hasil PISA
tahun 2012 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada rangking 64 dari 65 negara,
hal ini menunjukkan harus lebih ada perubahan dalam dunia pendidikan matematika.
Menurut Pranoto dalam Kompas (2013), yang menyatakan bahwa kecakapan
matematika yang diharapkan dunia melalui tes PISA itu berbeda dengan yang
diajarkan di sekolah dan yang diujikan dalam ujian nasional, hal ini yang disebabkan
oleh sekolah Indonesia terlalu fokus mengajarkan kecakapan yang sudah
kedaluwarsa, seperti menghafal dan berhitung ruwet dan melupakan bernalar.
Rendahnya nilai PISA di Indonesia sejak tahun 2000 sampai tahun 2012, hal ini
menunjukkan perlunya perubahan kurikulum di Indonesia sehingga diharapkan siswa
mampu bukan hanya untuk pengetahuan namun juga mampu berpikir kritis dan
kreatif dan berkarakter (Kemendikbud, 2013). Untuk mewujudkan hal itu maka
diperlukan kemampuan guru untuk mendesain perangkat pembelajaran yang sesuai
dengan tuntutan kurikulum 2013. Namun kenyataannya terdapat kendala bagi guru
dalam mendesain perangkat pembelajaran, sehingga dibutuhkan kerjasama yang baik
antara peneliti (dosen), calon guru (mahasiswa FKIP) dengan guru di sekolah. Salah
satu pendekatan yang sesuai dengan kurikulum 2013 adalah pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Menggunakan konteks, membuat siswa
berinteraktifitas, adanya kontribusi siswa dalam pembelajaran merupakan
karakteristik PMRI, hal ini sangat sesuai dengan kurikulum. Walapun di kelas siswa
telah berdiskusi, namun membuat permasalahan yang membuat siswa untuk
berdiskusi masih sulit bagi guru (Gravemeijer, 2010).
Menurut Freudenthal (1991), matematika harus dikaitkan dengan kehidupan seharihari. Zulkardi dan Putri (2006) menyatakan untuk memulai pembelajaran harus
menggunakan konteks. Gravemeijer (2011), menyatakan cara untuk membuat
matematika yang abstrak menjadi konkrit dengan cara menghubungkan apa yang
pernah dialami oleh siswa. Hal ini dapat melalui budaya dan seni. Indonesia terkenal
dengan budaya dan seninya, namun budaya dan seni tersebut belum dimanfaatkan
1
secara maksimal dalam pembelajaran. Budaya tersebut dapat berupa cerita rakyat,
tarian dan kerajinan tradisional. Salah satunya adalah melalui Tari Indang, siswa
dapat belajar tentang Simetri (Helsa dan Putri, 2012). Selain itu kerajinan tradisional
menganyam dapat digunakan dalam pembelajaran luas (Haris dan Putri, 2011).
Menurut Gadanidis dan Hoogland (2002); Lestariningsih et al (2012) menyatakan
bahwa cerita dapat menjadi suatu konteks dalam belajar mengajar matematika. Hal ini
sesuai dengan penelitian Triyani dan Putri (2012) yang menggunakan cerita legenda
“Putri Dayang Merindu” dalam mengajarkan meteri Kelipatan Persekutuan Terkecil.
Putri (2012) menggunakan cerita legenda “Malin Kundang” dalam mengajarkan
bangun datar.
Menurut Norvell (2007); Jaelani et al (2013) menyatakan siswa dapat belajar konsep
waktu menggunakan permainan pengukuran waktu. Permainan tradisional Gasing,
dapat menjadi titik awal belajar tentang pengukuran waktu (Jaelani et al, 2013).
Permainan Bermain Satu Rumah, siswa dapat belajar operasi bilangan (Nasrullah et
al, 2011). Selain mendesain lintasan belajar, juga mengembangkan modul (Putri,
2013b), mengembangkan soal seperti soal tipe PISA (Putri, 2013a), serta mendesain
lingkungan belajar melalui televisi (Putri, 2015). Oleh karena itu melalui aktivitas
menemukan dan konstuktivis, siswa dapat mengembangkan seluruh kemampuan dan
berpikirnya.
Menurut Gravemeijer dan Cobb (2006), untuk mengembangkan instructional theory
dan materi ajar, yang didesain untuk mendukung pembelajaran menggunakan design
research. Untuk mendesain materi ajar yang sangat penting adalah mengetahui
bagaimana proses pelaksanaan dari lintasan belajar (Learning Trajectory/LT) yang
didesain, sehingga harus dikaitkan antara yang didesain dengan teori tertentu yang
sesuai dengan topik (Eerde, 2013). Teori yang dimaksudkan bukan secara general,
tapi secara spesifik dalam pembelajaran matematika, seperti topik geometri pada
materi bangun datar yang diajarkan menggunakan permainan tangram. Oleh karena
itu teori khusus ini disebut dengan Local Instructional Theory (LIT).
Design research dalam bidang pendidikan matematika yang lazim dilakukan oleh
guru, mahasiswa, serta pendidik matematika bertujuan untuk mengembangkan teori
pembelajaran yang spesifik pada topik matematika tertentu. Tujuan makalah ini untuk
menginformasikan proses penggunaan design research dalam menghasilkan lintasan
belajar matematika menggunakan budaya Indonesia dan implemetasinya di kelas.
Metode yang digunakan adalah design research dengan tipe validation studies. dalam
proses belajar mengajar, dilakukan observasi menggunakan video, wawancara dan
catatan lapangan. Melalui cerita Malin Kundang dapat membantu siswa mengerti
konsep pengenalan bangun datar dan permainan gasing dalam membantu siswa
memahami konsep waktu. Dari hasil penelitian yaitu lintasan belajar menggunakan
budaya Indonesia dapat membantu siswa mengerti tentang konsep matematika.
Daftar Pustaka
Freudenthal, H.
(1991). Revisiting mathematics education: China Lectures.
Dordrecht, the Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Gadanidis., Hoogland. (2002). Mathematics as Story. Ontario: University of Western
Ontario.
Gravemeijer, K. (2011). How concrete is concrete. IndoMS. J.M.E., 2 (1).pp.1-14.
2
Graveimeijer, K. (2010). Realistic mathematics education theory as a guideline for
problem-centered, interactive mathematics education. In Sembiring, R.K.,
Hoogland, K., & Dolk M. (2010). A decade of PMRI in Indonesia. Utrecht: APS
International.
Gravemeijer, K.P.E., & Cobb, P. (2006). Design Research from a learning design
perspective. In J. van den Akker, K.P.E. Gravemeijer, S. McKenney & N.
Nieveen (Eds.), Educational design research (pp.17-51). London: Routledge.
Haris, D., dan Putri, R.I.I. (2009). The role of context in third graders’ learning of
area measurement. IndoMS. J.M.E., 2 (1), pp. 55-66.
Helsa, Y., dan Putri, R.I.I. (2012). Design research in PMRI: using math traditional
dance in learning symmetry for grade four of primary school. Proceeding of
joint seminar on mathematics, 11-12 November, Riau, Indonesia.
Putri, R.I.I. (2015). Designing learning environment on television. International
Journal Social Media Interactive Learning Environment. 3 (1), pp. 71-82.
Putri, R.I.I. (2013a). Pengembangan soal tipe PISA siswa sekolah menengah pertama
dan implikasinya pada kontes literasi matematika (KLM) 2011. Prosiding pada
Seminar Nasional Matematika dan Terapan. 28-29 November. Aceh, Indonesia.
Putri, R.I.I. (2013b). Pengembangan modul evaluasi pembelajaran menggunakan teori
belajar konstruktivisme. Prosiding pada Seminar Nasional Pendidikan
Matematika. 13-14 November. Yogyakarta, Indonesia.
Putri, R.I.I. (2012). Pendisainan hypotetical learning trajectory (HLT) cerita malin
kundang pada pembelajaran matematika. Prosiding
Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika. 10 November. Yogyakarta. Indonesia.
Jaelani, A., Putri, R.I.I., Hartono, Y. (2013). Traditional gasing game to support
students strategies of measuring time in third grade of primary school. IndoMS.
J.M.E., 4 (1), pp. 29-40.
Kemendikbud, (2013). Implementasi kurikulum 2013. Jakarta.
Kompas, (2013). Skor PISA: Posisi Indonesia nyaris jadi juru kunci. Retrieved
Desember 2013, dari web di http:// www.kompas.com.
Lestariningsih, Putri, R.I.I., Darmawijoyo, (2012). The legend of kemaro island for
supporting students in learning average. IndoMS. J.M.E., 3 (2), pp. 165-174.
Nasrullah, Zulkardi, (2011). Using “BSR” as traditional game to support number
sense development in children’s strategies of counting. Proceeding of joint
seminar on mathematics, 11-12 November, Riau, Indonesia.
Norvell, B. (2007). Have We Been To Launch Yet? Helping Young Children
Conceptualize Time. Research Brief Coastal Carolina University November
2007. (http://www.coastal.edu/education/research/time.pdf.
Retrieved 11
Agustus 2011.
OECD. (2012). PISA 2012 Mathematical Framework. Paris : OECD.
Triyani, S., Putri, R.I.I., Darmawijoyo, (2012). Ability in understanding least common
multiple (LCM) concept using storytelling. IndoMS. J.M.E., 3 (2), pp.151-164.
Zulkardi dan Putri, R.I.I. (2006). Mendesain sendiri soal kontektual matematika.
Prosiding KNM XIII. Juli. Semarang. Indonesia.
3
PERANAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015
BUDI NURANI R. –HANS STEFAN SILLER*
DOSEN PRODI MATEMATIKA FMIPA UNPAD
PRESIDEN INDOMS 2012-2016
[email protected]
*) Didaktik der Mathematik Universität Koblenz-Landau FB
Mathematik/Naturwissenschaften Mathematisches Institut Leiter des
Zentrums für Lehrerbildung
[email protected]
KONFERENSI NASIONAL PENDIDIKAN MATEMATIKA VI
GORONTALO, 11 AGUSTUS 2015
TOPIK BAHASAN
KNPM VI 2015
MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015 (MEA2015)
HIMPUNAN PROFESI I NDOMS
PENDIDIKAN TINGGI , PENDIDIKAN DASAR DAN
MENENGAH
PERANAN INDOMS DALAM MENGHADAPI
MEA2015
1
TUJUAN KNPM VI 2015
 Konferensi Nasional Pendidikan Matematika (KNPM) ke 6 di
Universitas Negeri Gorontalo (UNG) diniatkan untuk dapat
memberikan sumbangsih pemikiran meneguhkan harapan
tumbuhnya kultur akademik dan menggaungkan revolusi mental
melalui matematika dan pendidikan matematika.
 Harapan ini senantiasa harus diikhtiarkan secara bertahap dan
kontinu. Seminar, diskusi ilmiah, diseminasi hasil-hasil penelitian
dan sharing pengetahuan terkini dibidang matematika serta best
practice dalam pembelajaran matematika pada kegiatan KNPM 6
ini diharapkan menjadi wahana instrumental dalam rangka
menyongsong Indonesia Emas 2045 dan generasi Indonesia yang
berkarakter.
MEA2015
(ASEAN ECONOMIC COMMUNITY)
2
MEA2015
 Sejak tahun 2008, ASEAN telah menjadi organisasi regional
yang membentuk legal personality dengan motonya yang
terkenal: "One vision, one identity, one caring and sharing."
Masyarakat Ekonomi ASEAN (popular dengan sebutan MEA)
sebagai pasar tunggal (single market) yang akan segera
berlaku Desember 2015
 Beberapa prinsip yang ingin dicapai dalam MEA 2015, antara
lain, adalah aliran barang dan jasa secara bebas, investasi,
serta tenaga kerja profesional dan terdidik (free flow of
professional and skilled labors). Semua ini tentu berkaitan
secara langsung maupun tak langsung dengan dunia
pendidikan
tinggi.
Peluang bagi Indonesia
Sumberdaya alam yang beragam
2. Jumlah penduduk yang produktif 2010 sd 2025 (bonus demografi)
3. Peluang mendapatkan pendidikan tinggi yang semakin membaik
4. Pemahaman pendidikan tinggi pendidikan untuk orang dewasa
5. Pemahaman perguruan tinggi sebagai lembaga Tridharma
(Diklitabmas), modal untuk pengembangan dan penerapan
iptek
6. Masyarakat pengguna teknologi komunikasi
7. Mutual Recognition Agreement dengan berbagai pihak
8. Masyarakat yang melek teknologi informasi
9. Percepatan peningkatan nilai tambah dengan sentuhan teknologi
10. Terbukanya akses ke dunia internasional
1.
3
Tantangan global
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kecepatan perkembangan iptek
Perkembangan arus informasi yang tak mengenal ruang
dan waktu
Kebutuhan layanan yang professional (cepat, tepat)
Perkembangan bisnis yang berorientasi pada
“networking”
Mobilitas orang dan ilmu pengetahuan
Fleksibilitas dalam bertransaksi
Kembalinya kehidupan pada bahan yang alami
Adanya kecenderungan pada keseragaman kebutuhan
(pangan, air, energi)
2008-2009
• Harmonisasi
regulasi
• Perbaikan
sistem dan
penguatan
institusi
2010-2011
2012-2013
2014-2015
• Persiapan dan • Pelaksanaan
pelaksanaan
MRA untuk
MRA
okupasi yang
sudah
disepakati
• Perluasan,
penyiapan
dan
pelaksanaan
untuk bidang
profesi lain
BIDANG PROFESI
1
ENGINEERS
5
MEDICAL DOCTOR
2
ARCHITECT
6
DENTIST
3
ACCOUNTANT
7
NURSES
4
LAND SURVEYORS
8
LABORS IN TOURISM
4
Tenaga Kerja Asing di Indonesia Tahun 2014
PENDIDIKAN TINGGI DI INDONESIA
5
SISTEM PENDIDIKAN di INDONESIA
PENDI
DIKAN
NON
FORM
AL
PENDIDIKAN FORMAL
PAU
D
PENDIDIK
AN
INFORMAL
Pemb
angu
nan
karak
ter
PENDIDI
KAN
DASAR
Pemban
gunan
karakter
dan
PEMBELA
JARAN
PENDIDI
KAN
MENEN
GAH
Pemban
gunan
karakter
dan
PEMBELAJA
RAN
PENDIDIKAN
TINGGI
Pembangunan
karakter,
PEMBELAJARAN
,PENELITIAN
dan
PENGABDIAN
pada
MASYARAKAT
Pendidikan
sebagai fondasi
Kemandirian
bangsa
Pendidikan
sebagai proses
pembudayaan dan
pemberdayaan
bangsa
Pendidikan
sebagai metode
untuk membangun
karakter bangsa
Landasan Hukum dalam Menjalankan
Pendidikan Tinggi
UU
Sisdiknas
20/2003
RUU
keperawatan
UU Guru
dan
Dosen
14/2005
UU
Dikdok
13/2013
UU
keinsinyuran
UU Dikti
12/2012
6
PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA 2014
 Jumlah perguruan tinggi di Indonesia adalah 3.485
 100 PTN (3%) menampung sekitar 1.541.261
mahasiswa
 3.385 PTS 97%) menampung sekitar 2.825.466
mahasiswa.
BEBERAPA KENDALA PT
 masih kurangnya tenaga dosen
 masih rendahnya kuantitas dan kulitas penelitian serta
publikasi ilmiaH
 terbatasnya sarana untuk bidang pendidikan seperti lisensi
perangkat lunak yang digunakan dalam proses belajar
mengajar maupun riset
 terbatasnya sarana maupun alat-alat laboratorium pendidikan
serta laboratorium peneltian dan lain-lain
(APTISI)
7
Data Dosen Tetap
Berdasar Jabatan Akademik (2013)
GURU BESAR;
4390; 3%
JUMLAH
LEKTOR
KEPALA;
25814; 16%
TENAGA
PENGAJAR;
62722; 40%
LEKTOR; 35467;
22%
ASISTEN AHLI;
30352; 19%
Peringkat Perguruan Tinggi Indonesia
versi QS 2013
No
Peringkat Nama Perguruan Tinggi
ke
1
309
Unversitas Indonesia
2
461
Institut Teknologi Bandung
3
501
Universitas Gadjah Mada
4
701+
Universitas Airlangga
5
701+
Institut Pertanian Bogor
6
701+
Universitas Diponegoro
7
701+
Institut Teknologi Sepuluh Nop.
Surabaya
8
701+
Universitas Brawijaya
8
Peringkat Perguruan Tinggi Indonesia
versi Webometrics 2013
No
Peringkat Nama Perguruan Tinggi
ke
1
600
Institut Teknologi Bandung
2
640
Universitas Gadjah Mada
3
653
Universitas Indonesia
4
1084
Universitas Padjadjaran
5
1165
Universitas Gunadarma
6
1254
Universitas Brawijaya
7
1290
Institut Pertanian Bogor
8
1360
UK Petra
9
1404
Universitas Airlangga
10
1455
Universitas Diponegoro
PERINGKAT PERGURUAN TINGGI VERSI 4ICU EDISI
JANUARI 2014
9
Tantangan : Hasil Akreditasi Program Studi
PTS
Jumlah Prodi: 4944
PTN
C'
7%
C
16%
Proses
16%
A
21%
B
40%
19
50 PT --SCOPUS
10
24 MATEMATIKAWAN DENGAN PUBLIKASI TERBANYAK
TAHUN 2014
 1. Edy T. Baskoro (ITB, Bandung, Kombinatorika), 103/169
 2. Hendra Gunawan (ITB, Bandung, Analisis), 46/135
 3. M. Salman (ITB, Bandung, Kombinatorika), 42/56
 4. Kiki A. Sugeng (UI, Depok, Kombinatorika), 32/32
 5. Slamin (Unej, Jember, Kombinatorika), 31/150
 6. Rinovia Simanjuntak (ITB, Bandung, Kombinatorika), 31/59
 7. Edy Soewono (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 27/23
 8. Hilda Assiyatun (ITB, Bandung, Kombinatorika), 24/17
 9. Mawardi Bahri (Unhas, Makassar, Analisis), 23/18
 10. Saladin Uttunggadewa (ITB, Bandung, Kombinatorika), 19/2
 11. Pudji Astuti (ITB, Bandung, Aljabar), 17/10
 12. S.M. Nababan+ (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 17/8
13. Sutawanir Darwis (ITB, Bandung, Statistika), 17/0
14. A.A. Gede Ngurah (Unmer, Malang, Kombinatorika), 15/24
15. Andonowati (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 15/11
16. Agus Y. Gunawan (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 15/1
17. I Wayan Mangku (IPB, Bogor, Statistika), 14/15
18. Intan Muchtadi-Alamsyah (ITB, Bandung, Aljabar), 14/1
19. I Wayan Sudarsana (Untad, Palu, Kombinatorika), 13/9
20. Leo H. Wiryanto (ITB, Bandung, Matematika Terapan), 13/7
21. Irawati (ITB, Bandung, Aljabar), 12/0
22. Johan M. Tuwankotta (ITB, Bandung, Analisis), 11/6
23. Djoko Suprijanto (ITB, Bandung, Kombinatorika), 10/9
24. Indah E. Wijayanti (UGM, Yogyakarta, Aljabar), 10/7
11
GURU BESAR BIDANG MATEMATIKA
 BIDANG MATEMATIKA: 89 ORANG
 BIDANG PENDIDIKAN MATEMATIKA: 43 ORANG
PENDIDIKAN DASAR DAN
MENENGAH DI INDONESIA
12
JUMLAH DATA SATUAN
PENDIDIKAN (SEKOLAH)
PERANAN GURU
(WIDODO, SEMNAS MATEMATIKA UMS, 2015)
 Sejak 2007 guru merupakan jabatan profesional yang
mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat
penting dalam mencapai visi pendidikan yaitu menciptakan
insan Indonesia cerdas dan kompetitif.
 Pendidik (Guru, Widya Iswara, Dosen) memiliki peran kunci
yang strategis dan penting dalam peningkatan kualitas
pendidikan, karena pendidik merupakan salah satu ujung
tombak pembinaan generasi penerus.
13
 Sejak diakuinya guru sebagai profesi melalui UU No. 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta diberlakukannya
sertifikasi guru mulai tahun 2007, guru harus melakukan
tugasnya secara professional.
 Dalam pasal 11 Permenneg PAN dan RB No. 16/2009, tugas
guru tidak hanya mengajar, membimbing dan menilai, tetapi
juga harus melakukan peningkatan keprofesian berkelanjutan
(PKB) yang meliputi pengembangan diri, publikasi ilmiah,
dan karya inovatif. Ada empat jenjang jabatan guru yaitu guru
pertama, guru muda, guru madya dan guru utama.
Permenneg ini diberlakukan mulai tahun 2013.
14
15
Dengan prestasi dan kemampuan serta
tantangan yang ada saat ini, siapkah kita
menghadapi persaingan di Asia?
 Jawabannya BELUM SIAP, kecuali:
Membangun budaya kualitas berkelanjutan dengan
mengimplementasikan sistem penjaminan mutu
internal dan eksternal di pendidikan tinggi serta
pendidikan dasar dan menengah
2. Menciptakan suasana akademik di kampus dan
persekolahan
3. Mengimplementasikan Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia untuk pendidikan tinggi
1.
SURAT MENDIKBUD KEPADA KEPALA DINAS
16
MASALAH SERIUS MENGHADAPI MEA2015
 Sampai saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia masih
belum paham tentang adanya MEA2015, apalagi untuk
memanfaatkan peluangnya.
 Sementara itu, di sisi neraca perdagangan Indonesia dengan
ASEAN, Indonesia mengalami defisit dengan trend yang makin
meningkat.
 Meskipun berdasarkan indeks daya saing yang dikeluarkan
oleh World Economic Forum baru-baru ini, Indonesia mengalami
peningkatan dari 50 pada tahun 2012-2013 menjadi
peningkatan ke-38 pada tahun 2013-2014, namun posisi
Indonesia saat ini masih berada pada satu peringkat persis di
bawah Thailand, di peringkat 37.
 Selain itu, secara khusus, daya saing tenaga kerja Indonesia saat ini
masih rendah dibandingkan Singapura, Thailand, Malaysia, Vietnam,
dan Filipina. Menurut Asian Productivity Organization (APO), dari
setiap 1.000 tenaga kerja Indonesia hanya ada sekitar 4,3% yang
terampil, sedangkan Filipina 8,3%, Malaysia 32,6% dan Singapura
34,7%.
 Tantangan internal, yaitu bervariasinya tingkat pembangunan daerah
dan kesiapannya dalam menghadapi MEA2015. Hal ini tentunya
terkait erat dengan kondisi geografis yang bervariasi dan penyebaran
pembangunan yang relatif belum merata.
 Khusus yang menyangkut perguruan tinggi (PT), kualitas PT kita
masih jauh tertinggal, baik dilihat dari pemeringkatan seperti
Webometric, QS Star, masih belum ada yang menembus level 100
dunia. Hal ini merefleksikan rendahnya produktivitas dan kualitas
penelitian dan publikasi para dosen di Indonesia.

17
USULAN KEGIATAN
 Meningkatkan kualitas dan cakupan pendidikan tinggi di
perguruan tinggi, pendidikan dasar dan menengah
dipersekolahan agar dapat memberikan saran kebijakan dan
masukan/rekomendasi kepada pemerintah dan swasta
tentang langkah dan peluang yang dapat diraih oleh Indonesia
di pasar ASEAN; atau tentang strategi negara ASEAN lain
yang harus dicermatii oleh Indonesia.
 Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang MEA2015,
yang dapat diselipkan dalam program pengabdian masyarakat
 Memperkuat kapasitas kelembagaan perguruan tinggi dan
persekolahan menghadapi MEA2015, bukan saja pada aturanaturan yang ada, namun pada organisasi secara keseluruhan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah sejak lama
memberikan dorongan pada upaya penguatan itu, yang
diintroduksi lewat berbagai aktivitas untuk mengarahkan
padaTatakelola (Tata Pamong) Perguruan Tinggi dan
persekolahan yang baik.
 Melakukan penjaminan mutu dan akreditasi sesuai standar
nasional dan internasional.
 Dalam mengembangkan kurikulum, selain memasukkan
pendidikan soft skill dan entrepreneurship, serta sertifikasi,
juga orientasi kepada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI) dan Kerangka Kualifikasi Regional (KKR)
merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu, sosialisasi,
khususnya tentang KKNI harus lebih ditingkatkan.
18
USULAN KEGIATAN
 Kerjasama-kerjasama baik dengan sesama perguruan tinggi
dalam negeri maupun dengan perguruan tinggi luar negeri,
khususnya perguruan tinggi ASEAN sangat perlu dalam
rangka meningkatkan kapasitas perguruan tinggi Indonesia
baik melalui proyek-proyek penelitian bersama. Joint seminar,
menghadirkan dan menjadi dosen tamu internasional,
pertukaran mahasiswa, mutual recognition arrangemment (MRA)
dan sebagainya.
 Peningkatan berbagai pelatihan untuk para guru agar dapat
menjalankan profesinya dengan lebih baik
DAFTAR PUSTAKA
[1] Widodo and Ruchjana, B.N., Mathematics in Indonesia: Challenges and
Opportunities, 2013
[2] Laporan pertanggungjawaban IndoMS 2012-2014
[3] http://www.jims-a.org
[4] http://www.jims-b.org
[5] http://www.ams.org/ mathscinet/msc/
[6] http://personal.fmipa.itb.ac.id/hgunawan/files/2012
[7] http://seams2011.fmipa.ugm.ac.id/index.htm
[8] http://www.ewm-association.org/
[9] http://www.kms.or.kr/amc2013/
[10]http://www.iicma-2013.org
19
[11]http://www.icm.2014.org
[12] http://www.icwm.2014.org
[13] http://www.knm17.its.ac.id
[14] http://www.indoms.org
[15] http://www.Pikiran Rakyat.com
[16] KuliahUmum Menristekdikti, Unej, 17 Januari 2015
[17] Semnas Perguruan Tinggi dalam Menghadapi MEA 2015
[18] Perpustakaan Bappenas.go.id
[19] Kadarsah, Program Kerja Calon rektor ITB 2014
[20] http://hgunawan82.wordpress.Com/2014
[21] http://www.indoms.org.
[22] http://www.kemdikbud.go.id/
[13] Widodo, Paparan Semnas Matematika, UMS, Solo, Maret 2015
[14] Budi Nurani, Paparan Semnas UMS, Solo, Maret 2015
Kebersamaan matematika
(Atje S. Abdullah, 2012)
Andaikan aku integral, maka engkau diferensial
Seandainya aku bilangan riil, maka engkau bilangan imajiner
Aku dan engkau saling berkomplemen
laksana himpunan semesta
Berjuang konvergen ke titik tak hingga
20
06/09/2016
MODEL BASED DEVELOPMENT OF
CONTEXTUAL LEARNING MATH FOR
IMPROVED COMMUNICATION AND
CREATIVITY OF MATH ELEMENTARY
SCHOOL STUDENTS
By. Sarson Pomalato
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
BACKGROUND
In mathematic instruction, students are necessary
1. to master logical thinking as main basic for
thinking,
2. The process of instruction to dig up the
potentiality of the students to think which being
accumulated as a skill of thinking in
mathematics, such as critical thinking, high level
of thinking, and developing their communicative
ability in mathematics.
3. To make the students more creative and having
capability on doing a competitive communication
for building their future.
4. The affective method used is REACT+ Plus DI
Approach.
1
06/09/2016
THE ELABORATION OF REACT


R stands from Relating; that’s mean learning should be
related from the real life;
E stands from Experiencing means learning should be study
in detail;




A stands from Applying, it should utilized knowledge useful
context;
C stands from Cooperating means learning through context
of interpersonal communication, sharing knowledge,
T stands from Transferring means learning thorough
utilizing knowledge through new context and situation.
PLUS.


D stands from Discovery means learning strategy should be
created a condition of finding something;
I stands from Invention means in learning it should be any
innovation achievement;
PROBLEMS STATEMENT
1. How is the instructional model based on
contextual in improving the elementary
students’ competence and the creative
competence?
2. How is the model assessment model and
instrument for measuring the communicative
competence and creative mathematics?
3. How is the model of mathematic instructional
material which based on contextual for
improving the elementary students’
communicative competence and creative
competence?
2
06/09/2016
THE AIMS OF RESEARCH
1. To observe he effectiveness of applying model which
being developed towards the students’ communicative
competence and creative mathematics viewed from
the various students’ competence.
2. To Observe the effectiveness of applying model which
being developed towards the students’ communicative
competence and creative mathematic elementary
schools viewed from the variation of the quality of
schools.
3. To observe the possible interaction the type variation
of contextual problems that being improved by the
level of critical thinking competence and creativity.
4. To observe the possible interaction between the
variation of schools quality and the improvement of
communicative competence in mathematics and
creative mathematics
RESEARCH METHODOLOGY
This research is developmental research that its
coverage consists of instructional material, the
instructional models, the assessment model for
improving the elementary students’ communicative
competence and creative competence. Totally this
research is carried out in two phases; each phase
was carried out one year. The methodology of this
research used is set up based on the series of
developmental research, which being done by
starting from the though experiments and
instructional experiment to the final experiment for
validating the model being developed.
3
06/09/2016
THE RESULT OF RESEARCH
1. The existing instructional material needs the varieties of material.
That’s meant the approach used should be adjusted by the existing
material.
2. Identifying the students’ Competence.
3.The instructional materials are constructed through identifying the
students’ competence first. Then, adjusting the instructional material
and the level students’ competence; especially in the students’ work
sheets. It is easy to make the students having opinion, however they
don’t face a high sophisticated that so they are not satisfy toward the
materials given to them. On the contrary, the difficult worksheets will
make the students give up. That’s way generally to create the
students interested in, it is necessary to innovate the worksheets,
some of parts are easy and the other parts are difficult.\
4.The Depth and the Width of Instructional Material
5. In constructing instructional materials should be begun by relating
the concrete things which being found in the environment around the
students. That will motivate the students to think and learn.
Constructing worksheets will help the students to be fluent in
learning materials.
CONCLUSION
1. The contextual instructional model is affectively
improving the students’ communicative mathematic
competence and the students’ creativity by applying
contextual instructional material design.
2. In building up the assessment model, it is considered
the communicative competence aspect and
mathematic creativity.
3. The contextual instructional model is mostly affective
to increase the students’ communicative competence
and creativity in instructional mathematics.
4. This model might cause the interaction between the
variant of contextual problems type which is being
developed and the level of the students’ critical
thinking ability, and their creativity.
4
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGAJARAN EKONOMETRIKA DAN ANALISIS RUNTUN
WAKTU DENGAN PAKET PERANGKAT LUNAK
RcmdrPlugins.SPSS
1
1
Dedi Rosadi, 2Khabib Mustofa
Grup Riset Statistika dan Komputasi , Jurusan Matematika, FMIPA UGM, Indonesia,
e-mail: [email protected]
2
Jurusan Ilmu Komputer, FMIPA UGM, Indonesia, e-mail: [email protected]
Extended abstract
R (R Development Core Team, 2015) merupakan salah satu software open source yang
terpopuler dan telah menjadi “lingua franca” atau bahasa “standar” untuk keperluan
komputasi statistika saat ini. Dalam tulisan ini, akan dikenalkan dan dibahas penggunaan
paket R-GUI yang disebut RcmdrPlugin.SPSS, khususnya submenu Forecasting (Rosadi dan
Mustofa, 2015) untuk keperuan pengajaran beberapa mata kuliah yang diberikan pada
program studi Statistika FMIPA UGM, seperti mata kuliah analisa regresi, analisa runtun
waktu, ekonometrika, metode statistika, analisa data keuangan dan analisa data panel. Versi
awal dari RcmdrPlugin.SPSS submenu Forecasting tersedia sebagai paket R-GUI yang
dinamakan RcmdrPluginEconometrics (Rosadi, 2010) dan dimana pembahasan mendetail
untuk penggunaan paket ini guna pengajaran statistika diberikan pada Rosadi (2011). Untuk
ilustrasi diberikan pengunaan paket RcmdrPlugin.SPSS untuk keperluan analisa penghalusan
eksponensial (exponential smoothing).
Daftar Pustaka
R Development Core Team, 2015, R: A language and environment for statistical computing.
R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. ISBN 3-900051-00-3.
Rosadi, D., 2010, Rplugin.Econometrics: R-GUI for Teaching Time Series Analysis”. in
Proceedings of COMPSTAT 2010, 19th International Conference on Computational
Statistics, Paris-France, 22-27 Agustus 2010. ISBN 978-3-7908-2603-6
Rosadi, D., 2011, Analisa Ekonometrika dan Runtun Waktu dengan R, Andi Offset,
Yogyakarta
Rosadi, D. dan Mustofa, K., 2015, Statistics Goes Open Source (SGOS): Pengembangan
Software R-GUI untuk Edukasi Ilmu Statistika berbasis Free Open Source Software (FOSS)
dan Aplikasinya dalam pemodelan dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak dan Gas
terhadap Ekonomi masyarakat Yogyakarta, Laporan penelitian PUPT UGM, LPPM
UGM, Yogyakarta
1
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGGUNAAN MASALAH PESISIR UNTUK MELATIH
KEMAMPUAN BERPIKIR MATEMATIK SISWA SMP
Kadir1, Fahinu2, La Masi3
1
Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UHO Kendari, [email protected]
2
Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UHO Kendari, [email protected]
3
Jurusan Pendidikan Matematika FKIP UHO Kendari, [email protected]
Extended abstract
Rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa masih merupakan masalah di sekolah.
Penyebabnya adalah penggunaan konteks pembelajaran yang tidak sesuai dengan keseharian
siswa. Artikel ini mengkaji tentang pengaruh penggunaan konteks pesisir untuk melatih
kemampuan berpikir matematik siswa SMP. Penelitian dilaksanakan pada lima SMP pesisir
yang mewakili dua kabupaten/kota di pesisir Sulawesi Tenggara. Kelima SMP pesisir
tersebut dipilih secara acak. Jumlah sampel yang diteliti adalah sebanyak 159 siswa kelas
VIII SMP. Data diambil dengan menggunakan tes kemampuan pemecahan masalah
matematik berbentuk uraian. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa kemampuan berpikir matematik siswa pesisir masih rendah. Rendahnya
kemampuan berpikir matematik siswa disebabkan oleh rendahnya pemahaman siswa
terhadap masalah matematik dan rendahnya pengetahuan dasar matematik siswa. Penggunaan
masalah potensi pesisir sebagai konteks dalam pembelajaran matematika mampu
meningkatkan aktivitas belajar, menantang proses berpikir, memunculkan cara alternatif
pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi matematik, pengetahuan potensi pesisir, dan
penanaman kearifan lokal.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dan memiliki kekayaan alam
yang melimpah. Garis pantai Indonesia juga adalah salah satu garis pantai terpanjang di dunia
setelah Canada. Sepanjang garis pantai pada setiap pulau-pulau ini tersimpan kekayaan alam
pesisir yang berlimpah. Pasir, kepiting, ikan, bakau (mangrove), dan berbagai jenis biota
pesisir lainnya merupakan wujud keanekaragaman hayati tersebut. Tetapi, sikap destruktif
dan kebutuhan ekonomi masyarakat serta pembangunan wilayah pesisir telah mengubah
lingkungan berbagai habitat pesisir tersebut pada kondisi rusak dan sangat memprihatinkan.
Kondisi lingkungan pesisir yang rusak ini perlu segera dibenahi sehingga sumber kekayaan
pesisir tersebut dapat terwariskan kepada generasi berikut.
Upaya melestarikan atau menyelamatkan kekayaan pesisir tidak dapat dilakukan
dalam kurun waktu yang singkat. Upaya tersebut membutuhkan waktu yang lama. Pola pikir
dan sikap masyarakat pesisir atau yang berkepentingan mesti disiapkan sejak dini. Program
UNESCO sejalan dengan pembangunan pendidikan di Indonesia khususnya untuk
masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan di pulau-pulau kecil. Program tersebut
menegaskan bahwa pembangunan wilayah pesisir untuk kepentingan ekonomi dan
pendidikan berkelanjutan harus dimulai sejak siswa SMP.
Siswa pada usia SMP membutuhkan pembelajaran yang bermakna. Apalagi pada
mata pelajaran matematika. Matematika yang diajarkan dalam bentuk serba simbol dan
kurang menyentuh aspek keseharian siswa akan semakin menjauhkan siswa dari matematika.
1
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Penggunaan konteks yang sesuai akan dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti proses
pembelajaran matematika. Jika masalah tersebut dibuat secara non routine, maka masalah
seperti ini akan menantang proses berpikir siswa.Siswa akan tertarik dan terlatih untuk
memecahkan maalah yang disajikan. Jika dilihat dari materi yang disajikan pada buku paket
di sekolah, tampak bahwa buku-buku tersebut kurang mengadopsi masalah keseharian
masyarakat pesisir atau terkait permasalahan potensi pesisir. Akibatnya siswa kurang tertarik
dan kurang tertantang untuk mengikuti pembelajaran matematika. Kemampuan pemecahan
masalah matematik siswa juga menjadi rendah. Siswa tidak mampu berpikir alternatif atau
kreatif dalam memecahkan masalah yang disajikan. Aktivitas belajar siswa rendah.
Kemampuan berpikir matematik masih merupakan masalah bagi siswa pesisir.
Kurangnya pembiasaan guru dalam melatih siswa memecahkan masalah matematika dalam
berbagai tingkat kesulitan juga menjadi penyebabnya. Belajar melalui proses berpikir
pemecahan masalah matematik memang menjadi proses belajar paling tinggi. Menurut Gagne
(1985), “learning tasks for intellectual skills can be organized in a hierarchy according to complexity:
stimulus recognition, response generation, procedure following, use of terminology, discriminations,
concept formation, rule application, and problem solving”. Oleh karena itulah maka tujuan
diberikannya matematika di sekolah adalah melatih siswa mampu memecahkan masalah matematika.
Hal ini sejalan dengan NCTM 1989 yang menegaskan bahwa “Problem solving should be the central
focus of the mathematics curriculum” (Kirkley 2003:3). Bahkan Kirkley (2003:3) menambahkan
bahwa, “Today there is a strong movement in education to incorporate problem solving as a key
component of the curriculum”.
Melatih kemampuan siswa memecahkan masalah matematik tidak cukup dengan hanya
membuat siswa tertarik dengan masalah yang disajikan. Pemahaman siswa terhadap masalah tersebut
sehingga dapat dibuat dalam model matematika sangat berperan. Di sini kemampuan berbahasa siswa
sangat diperlukan. Ketika model matematika sudah diperoleh, maka siswa juga dituntut mampu
menyelesaikannya dengan menggunakan metode atau prosedur matematika. Pernyataan tersebut
sejalan dengan pendapat Sternberg & Ben-Zeev (1996:31) bahwa “a mathematical procedure, such as
an arithmetic or algebraic procedure, is needed to solve the problem”. Oleh karena itu, penting sekali
memperhatikan kedua faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir matematika ini.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada lima SMP pesisir Sulawesi Tenggara, tiga SMP di Kota
Kendari dan dua SMP di Kabupaten Buton. Pemilihan kelima SMP tersebut dilakukan secara
acak. Pada setiap SMP tersebut diambil secara acak satu kelas VIII yang memiliki
kemampuan matematika yang setara dari sekumpulan data hasil belajar matematika siswa.
Jumlah siswa sampel yang diteliti sebanyak 159 orang siswa. Sebelum diambil data
kemampuan berpikir matematiknya, siswa terlebih dahulu diberikan pembelajaran sebanyak
delapan kali pertemuan. Proses pembelajaran berbasis masalah pesisir. Setelah proses
pembelajaran selesai, siswa diberikan tes kemampuan pemecahan masalah matematik
berbentuk uraian. Data hasil tes ini dianalisis secara deskriptif kualitatif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berpikir pemecahan
masalah matematik siswa masih rendah. Rata-rata kemampuan berpikir pemecahan masalah
matematik siswa sebesar 44.73 dengan deviasi standar sebesar 15,50, nilai minimum 11,25,
nilai maksimum 88,75, median 43,75, dan modus 40.
Jika dilihat dari aspek kemampuan berpikir pemecahan masalah matematik, tampak
2
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
bahwa siswa masih lemah dalam menuliskan jawaban masalah yang diberikan. Siswa tertarik
memecahkan berbagai masalah matematik selama proses pembelajaran. Kondisi ini
berpengaruh positif terhadap kemampuan siswa memahami masalah. Pemahaman terhadap
masalah tersebut dapat dilihat dari kemampuan siswa menyusun model matematik sebagai
representasi lain dari masalah yang diberikan. Siswa juga terlatih dalam melakukan prosedur
matematik. Meskipun demikian, hasil pekerjaan siswa menunjukkan bahwa siswa masih
lemah dalam menuliskan secara cermat prosedur atau algoritma atau kebenaran konsep yang
digunakan dalam memecahkan masalah tesebut.
Setelah siswa melakukan proses pemecahann masalah, banyak siswa tidak menuliskan
jawaban akhir dari masalah. Hal ini berarti bahwa siswa tidak melakukan pengecekan
kembali kesesuaian jawaban yang diperoleh dengan pertanyaan yang diajukan pada soal.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir matematik
siswa pesisir masih rendah. Rendahnya kemampuan berpikir matematik siswa disebabkan
oleh rendahnya pemahaman siswa terhadap masalah matematik dan rendahnya pengetahuan
dasar matematik siswa. Penggunaan masalah potensi pesisir sebagai konteks dalam
pembelajaran matematika mampu meningkatkan aktivitas belajar, menantang proses berpikir,
memunculkan cara alternatif pemecahan masalah, kemampuan berkomunikasi matematik,
pengetahuan potensi pesisir, dan penanaman kearifan lokal. Oleh karena itu disarankan agar
pembelajaran matematik di sekolah pesisir lebih melibatkan masalah pesisir sebagai konteks.
Penelitian seperti ini dapat dikembangkan melalui penggunaan konteks lain sesuai kondisi
potensi geografi lokasi penelitian (geographic specific).
DAFTAR PUSTAKA
Ang Keng Cheng. 2009. Mathematical Modeling and Real Life Problem Solving dalam Kaur, B.,
Har, Y.B., & Kapur, M., Mathematical Problem Solving. Year Book 2009. h. 159-184.
Singapore: World Scientific Publishing.
Brenner, M. E. 1998. Development of Mathematical Communication in Problem Solving Groups
by Language Minority Students. Bilingual Research Journal, 22:2, 3, & 4 Spring, Summer, &
Fall.
Ho Geok Lan. 2007. A Cooperative Learning Program to Enhance Mathematical Problem
Solving Performance among Secondary Three Students. The Mathematics Educator, 2007,
Vol. 10, No. 1, 59 – 80.
Kadir. 2009. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP melalui
Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pesisir. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika, tanggal 5-12-2009, hlm. 428-440, Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA UNY.
Kirkley, J. 2003. Principles for Teaching Problem Solving. Technical Paper #4. Indiana
University: Plato Learning Inc.
Sauian, M. S. 2002. Mathematics education: The relevance of “contextual teaching” in
developing countries. Proceedings of the 3rd International MES Conference. Copenhagen:
Centre for Research in Learning Mathematics, pp. 1-7.
Sternberg, R.J. & Ben-Zeev, T. 1996. The Nature of Mathematical Thinking. Mahwah, NJ:
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
3
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PENEMUAN
TERBIMBING DENGAN MEDIA SOFTWARE WINGEOM
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN
KONSEP DAN REPRESENTASI MATEMATIKA PESERTA
DIDIK PADA MATERI RUANG DIMENSI TIGA KELAS X1
DI SMA NEGERI 1 LUWUK KABUPATEN BANGGAI
Andiny Sapriyanty Ahmad1, Tedy Machmud2
Universitas Negeri Gorontalo
[email protected]
[email protected]
Abstrak. Pada materi ruang dimensi tiga, diharapkan kemampuan pemahaman
konsep dan representasi matematika peserta didik dapat meningkat. Salah satu media
pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman konsep
dan kemampuan representasi matematika peserta didik dalam materi ruang dimensi
tiga adalah media Software Wingeom. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
peningkatan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan representasi
matematika pada materi ruang dimensi tiga kelas X1 melalui model Penemuan
Terbimbing dengan Media Software Wingeom. Jenis penelitian ini merupakan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik
kelas X1 SMA Negeri I Luwuk yang berjumlah 32 peserta didik. Penelitian
dilaksanakan 2 siklus. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan tes kemampuan pemahaman konsep dan tes kemampuan representasi
matematika, lembar pengamatan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran
melalui model Penemuan Terbimbing dengan Media Software Wingeom dan
pengamatan aktivitas peserta didik dalam pembelajaran melalui model Penemuan
Terbimbing dengan Media Software Wingeom.
Kata Kunci: Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing, Pemahaman Konsep,
Representasi Matematika, Software Wingeom.
PENDAHULUAN
Matematika disadari sangat penting peranannya. Belajar konsep merupakan hal
yang paling mendasar dalam proses belajar matematika, oleh karena itu seorang
guru dalam mengajarkan sebuah konsep harus beracuan pada sebuah tujuan yang
harus dicapai. Dalam mempelajari matematika, peserta didik diharapkan dapat
membangun pemahaman akan konsep-konsep matematika agar peserta didik
mampu mengingat konsep-konsep tersebut dalam waktu yang lama. Konsepkonsep
yang
telah
dipahami
itu
mempermudah
peserta
didik
untuk
1
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
memvisualisasikan konsep-konsep tersebut ke dalam berbagai bentuk representasi
matematika.
Berdasarkan pengalaman penulis saat mengajar di SMA Negeri 1 Luwuk
menunjukkan masih banyak peserta didik yang mendapatkan nilai rendah dan
belum mampu memahami berbagai konsep matematika serta merepresentasikan
konsep matematika dengan baik. Hal ini disebabkan dalam mengikuti pembelajaran
peserta didik kurang aktif dalam proses belajar mengajar, kemudian motivasi dalam
belajar masih rendah, sehingga mengakibatkan pemahaman konsep matematis dan
kemampuan representasi matematika peserta didik masih rendah.
Pemahaman konsep diartikan sebagai pemahaman ide-ide abstrak untuk
menggolongkan atau mengkategorikan obyek sebagai contoh dan bukan contoh,
Nurhayati [3]. Penelitian yang dilakukan oleh Hutagol [2], menyebutkan
representasi matematika yang dimunculkan siswa merupakan ungkapan-ungkapan
dari gagasan-gagasan atau ide matematika yang ditampilkan siswa dalam upaya
untuk memahami suatu konsep matematika ataupun dalam upayanya mencari solusi
dari masalah yang dihadapinya.
Model pembelajaran penemuan terbimbing efektif untuk mendorong keterlibatan
dan motivasi peserta didik seraya membantu mereka mendapatkan pemahaman
mendalam tentang topic-topik yang jelas (Eggen & Kauchak, 2012:177). Model
pembelajaran penemuan terbimbing merupakan salah satu alternatif yang
diharapkan mampu mengaktifkan anak, menemukan sesuatu yang beda (inovatif),
mengembangkan kreativitas, sehingga efektif namun tetap menyenangkan. Suasana
belajar yang menyenangkan diindikasikan dapat membuat proses pembelajaran
lebih efektif, yaitu peserta didik akan mampu membangun pemahamannya dengan
kondisi fisik dan psikis yang tidak tertekan.
Salah satu software komputer yang dapat digunakan untuk membantu guru dalam
melaksanakan pembelajaran matematika adalah Wingeom. Menurut
Rudhito
(2008: 2) “program Wingeom merupakan salah satu perangkat lunak computer
matematika dinamik (dynamic mathematic software) untuk topic geometri”.
Dalam pembelajaran matematika, peserta didik akan lebih termotivasi jika apa
yang dipelajarinya menarik perhatiannya, relevan dengan kebutuhan peserta didik
2
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sehingga menyebabkan peserta didik mudah memahami materi yang diajarkan.
Penggunaan model pembelajaran yang tepat, dapat menjadikan hasil belajar
meningkatkan serta dapat mengembangkan potensi yang tersimpan dalam diri
peserta didik. Model pembelajaran penemuan terbimbing yang di kolaborasikan
dengan media software wingeom pada materi ruang dimensi tiga diharapkan
mampu mengaktifkan peserta didik untuk menemukan sesuatu , mengembangkan
kreativitas, sehingga efektif namun tetap menyenangkan karena peserta didik
mampu memvisualisasikan konsep-konsep geometri agar lebih mudah dipahami.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Peneliti
menggunakan model yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc. Taggart (dalam
Arikunto) [1] yang terdiri dari 4 tahapan yakni perencanaan, pelaksanaan,
observasi, dan refleksi dalam setiap siklus. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua
siklus yang masing-masing siklus terdiri dari 4 kali pertemuan.
Subyek dalam penelitian ini adalah seluruh peserta didik kelas X1 di SMA
Negeri 1 Luwuk Kabupaten Banggai. Dalam teknik pengumpulan data, peneliti
menggunakan lembar observasi untuk mengukur aktivitas kegiatan guru dan
aktivitas peserta didik serta tes uraian yang digunakan untuk mengukur kemampuan
pemahaman konsep dan representasi matematika. Dalam instrumen tes kemampuan
pemahaman konsep menggunakan indikator: menyatakan ulang sebuah konsep,
mengklasifikasi objek menurut sifat tertentu, dan mengaplikasikan konsep ke
pemecahan masalah. Untuk instrument tes kemampuan representasi matematika
menggunakan indikator: representasi visual yakni membuat gambar pola geometri
dan membuat gambar bangun geometri, persamaan atau ekspresi matematika yakni
menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematik, dan kata-kata atau
teks tertulis yakni menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data Penelitian
3
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Data pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini diperoleh dari dua siklus. Pada
bagian berikut ini akan dideskripsikan tentang (1) data hasil observasi kegiatan
guru, (2) data hasil observasi kegiatan peserta didik, (3) data hasil tes kemampuan
pemahaman konsep matematika peserta didik, dan (4) data hasil tes kemampuan
representasi matematika peserta didik kelas X1 SMA Negeri 1 Luwuk Kabupaten
Banggai yang dikenai tindakan dengan model pembelajaran penemuan terbimbing
dengan media software wingeom.
Secara umum, deskripsi data hasil penelitian tersebut dapat disajikan pada tabel 1,
2 dan 3 berikut ini.
Tabel 1. Data Hasil Tes Kemampuan Pemahaman Konsep dan Representasi
Matematika Peserta Didik
Nilai
Kurang
dari 75
Prosentase
Capaian
(%)
75 ke atas
Prosentase
Capaian
(%)
Tes
Kemampuan
Pemahaman
Konsep Siklus
I
Tes
Kemampuan
Pemahaman
Konsep
Siklus II
Tes
Kemampuan
Representasi
Matematika
Siklus I
Tes
Kemampuan
Representasi
Matematika
Siklus II
12
4
10
3
Menurun
37,5*
12,5*
31,25*
9,38*
Menurun
20
28
22
29
Meningkat
62,50*
87,50
68,75*
90,62
Meningkat
Ket
Tabel 2. Data Hasil Observasi Aktivitas Guru
No
Aspek Penilaian
Jumlah
Prosentase
Prosentase
Item
Capaian Siklus I
Capaian Siklus II
Ket
1
Pendahuluan
4
68,75*
90,63
Meningkat
2
Kegiatan Inti
11
66,66*
88,55
Meningkat
3
Penutup
3
78,12
90,63
Meningkat
71,08*
90,69
Meningkat
Rata-rata
4
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 3. Data Hasil Observasi Aktivitas Kegiatan Peserta Didik
No
Aspek yang dinilai
1
Menjawab salam
2
Menyiapkan diri untuk
mengikuti proses
Persentase
Persentase
Capaian Siklus
Capaian Siklus
I
II
Ket
87,50
100,00
Meningkat
75,00
100,00
Meningkat
62,50*
87,50
Meningkat
62,50*
100,00
Meningkat
75,00
75,00
Tetap
50,00*
75,00
Meningkat
pembelajaran
3
Memperhatikan dan
memahami penjelasan
guru
4
Menjawab pertanyaan
5
Menyusun, memproses,
dan menganalisisi data
yang ada pada LKS
6
Bertanya kepada guru
7
Mencari kemungkinan- 62,50*
100,00
kemungkinan jawaban
8
Meningkat
Menerima dan
mengerjakan soal-soal
62,50*
87,50
Meningkat
50,50*
87,50
Meningkat
75,00
87,50
Meningkat
87,50
87,50
Tetap
latihan
9
Menyusun verbalisasi
konjektur
10
Menulis kemungkinankemungkinan jawaban
yang dianggap benar
11
Bersama- sama guru
membuat rangkuman
5
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dari materi yang baru
saja dipelajari
Rata-Rata
68,75*
90,90
Meningkat
B. Pembahasan Hasil Penelitian
Pembelajaran matematika melalui model penemuan terbimbing dengan media
software wingeom di kelas x1 sma negeri 1 luwuk telah dilakukan sesuai dengan
langkah-langkah pembelajaran di rpp dan skenario pembelajaran yaitu: (a) pada
kegiatan pendahuluan, pembelajaran diawali dengan masalah pada kehidupan
sehari-hari yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran matematika serta
memberikan penjelasan tentang materi yang akan dipelajari; (b) pada kegiatan inti,
1) merumuskan masalah, 2) memeriksa dan membimbing peserta didik menyususn
verbalisasi konjektur, 3) menyiapkan soal latihan atau soal tambahan untuk
memeriksa apakah hasil penemuan itu benar, 4) konfirmasi, (c) pada kegiatan
penutup, guru melakukan refleksi dengan mereview apa yang telah diajarkan serta
membimbing peserta didik membuat rangkuman materi yang telah dipelajari.
temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang sangat
signifikan dari aktivitas kegiatan pembelajaran. Pada siklus i menunjukkan bahwa
aktivitas kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru mulai dari kegiatan
pembuka, kegiatan inti dan kegiatan penutup secara umum belum menunjukkan
hasil yang optimal dengan persentase 71,08% yang mana hal ini belum memenuhi
indicator keberhasilan yang diharapkan. Kondisi tersebut menggambarkan
pelaksanaan kegiatan ini cenderung belum berhasil memenuhi indicator
keberhasilan yang ditetapkan.
hasil pengamatan terhadap aktivitas belajar peserta didik pada siklus i
menunjukkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran mulai dari kegiatan awal,
kegiatan inti sampai dengan kegiatan penutup menunjukkan hasil yang belum
optimal. Persentase rata-rata aktivitas belajar peserta didik berada pada klasifikasi
belum memenuhi indikator keberhasilan dengan besar capaian yaitu 68,75%. Hal
ini merupakan akumulasi dari seluruh item yang menjadi aspek dalam pembelajaran
6
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang berada pada kategori belum memenuhi indikator keberhasilan. Dengan
demikian aktivitas kegiatan belajar oleh guru dan aktivitas kegiatan oleh peserta
didik kedua-duanya belum mencapai indikator keberhasilan yang diinginkan.
tes kemampuan pemahaman konsep matematika menunjukkan bahwa jumlah
peserta didik yang tidak tuntas dalam belajar sebanyak 12 orang atau 37,50%,
sedangkan jumlah peserta didik yang tuntas dalam belajar sebanyak 20 orang atau
62,50%. Jika dibandingkan dengan indicator keberhasilan capaian tersebut belum
memenuhi criteria yang ditentukan. Semantara untuk tes kemampuan representasi
matematika menunjukkan bahwa jumlah peserta didik yang tidak tuntas dalam
belajar sebanyak 10 orang atau 31,25%, sedangkan jumlah peserta didik yang tuntas
dalam belajar sebanyak 22 orang atau 68,75%. Jika dibandingkan dengan indicator
keberhasilan capaian tersebut belum memenuhi criteria yang ditentukan.
pelaksanaan tindakan pada siklus ii terkait observasi kegiatan guru dalam proses
belajar mengajar menunjukkan bahwa dari 18 item yang menjadi tolak ukur
pelaksanaan kegiatan pembelajaran pada kegiatan pendahuluan berada pada
kategori sangat baik dan kategori baik. Kegiatan pendahuluan telah memenuhi
indicator keberhasilan dengan capaian 90,63%. Pelaksanaan kegiatan inti juga telah
mengalami perubahan yang sangat signifikan dengan tingkat capaian 88,55%.
Dengan skor perolehan kategori sangat baik, kategori baik dan kategori cukup.
Meskipun ada 1 item yang berada dalam kategori cukup namun persentase kegiatan
inti telah berhasil memenuhi indicator keberhasilan yang diinginkan. Pada tahap
akhir pembelajaran menunjukkan bahwa ada 3 item yang menjadi focus
pelaksanaan pembelajaran juga telah mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini
ditunjukkan oleh persentase capaiannya sebesar 90,63%. Dari ketiga kegiatan
tersebut menunjukkan bahwa capaian rata-rata aktivitas pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar telah memenuhi indicator keberhasilan dengan persentase
90,69%.
SIMPULAN DAN SARAN
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, dapat dilakukan
melalui penerapan model pembelajaran penemuan terbimbing dengan media
7
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
software wingeom. Karena berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa setelah
melalui proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran penemuan
terbimbing software wingeom dapat meningkatkan kemampuan pemahaman
konsep dan kemampuan representasi matematika peserta didik pada materi ruang
dimensi tiga, sehingga peserta didik tuntas dalam materi tersebut, untuk
kemampuan pemahaman konsep matematika, capaian siklus I adalah 62,50% dan
siklus II adalah 87,50% atau terjadi peningkatan 25%. Sedangkan untuk
kemampuan representasi matematika capaian siklus I adalah 68,75% dan siklus II
mancapai 90,63% atau terjadi peningkatan sebesar 21,88%. Hasil ketuntasan ini
diperoleh setelah melakukan beberapa perbaikan dan peningkatan pembelajaran
dengan menerapkan pembelajaran model penemuan terbimbing dengan media
software wingeom yang dilakukan secara bertahap pada setiap siklus.
Temuan yang diperoleh selama pelaksanaan proses belajar mengajar dan
pemberian tindakan, bahwa factor yang turut menentukan keberhasilan penerapan
model pembelajaran penemuan terbimbing dengan media software wingeom adalah
pendekatan humanistic kepada peserta didik. Artinya dengan melakukan
komunikasi dan jalinan hubungan pembelajaran yang harmonis peserta didik akan
lebih cenderung berperan aktif dalam pembelajaran.
Dari hasil penerapan dua siklus, yang masing-masing terdiri dari empat kali
pertemuan. Hasil yang diperoleh adalah setelah pelaksanaan siklus I, diberi evaluasi
dan diperoleh hasil bahwa dari 32 orang peserta didik hanya 62,50% yang
memperoleh ketuntasan belajar, atau dengan kata lain secara keseluruhan (klasikal),
tingkat pemahaman peserta didik terhadap konsep yang diajarkan baru 62,50%
untuk kemampuan pemahaman konsep matematika, sedangkan kemampuan
representasi matematika mencapai 68,75%. Dengan demikian, pada pelaksanaan
siklus II perlu adanya perbaikan-perbaikan.
Pada tahap pelaksanaan siklus II, dilakukan perbaikan berdasarkan refleksi
terhadap pelaksanaan siklus pertama. Perbaikan dititikberatkan pada proses
pelaksanaan tindakan dengan member perhatian lebih kepada hal-hal yang
dianggap masih kurang. Sehingga hasil evaluasi siklus II terjadi peningkatan yang
signifikan dimana dari 32 orang peserta didik 87,50% untuk kemampuan
8
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pemahaman konsep matematika. Sedangkan untuk kemampuan representasi
matematika hasil capaian 90,63% peserta didik memeperoleh ketuntasan. Hal ini
menandakan bahwa tingkat pemahaman peserta didik secara keseluruhan terhadap
konsep yang dibelajarkan terjadi peningkatan 25%. Sedangkan peserta didik yang
belum tuntas pada setiap siklus diberikan remedial, sehingga materi pelajaran pada
setiap siklus dapat dilanjutkan.
Beberapa saran yang dapat penulis anjurkan antara lain, sebagai suatu
penelitian tindakan, informasi dari penelitian ini menarik untuk dikembangkan dan
dilakukan penelitian selanjutnya. Dengan demikian akan membantu dalam
menemukan cara-cara yang paling efektif untuk mengajarkan materi pelajaran
secara bervariasi dan menyenangkan peserta didik, serta berhasil meningkatkan
mutu proses dan hasil belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
Eggen & Kauchak. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran. Jakarta: PT Indeks.
Terjemahan: Satrio Wahono.
http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id Diakses pada tanggal 15 Maret 2015
http://portalgaruda.org. diakses pada tanggal 25 Mei 2015
Hutagol, Kartini. 2013. Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan
Representasi Matematis Siswa SMP. Jurnal Ilmiah Prodi Matematika.
Bandung: STKIP Siliwangi
Nurhayati, Siti. 2011. Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika dengan
Strategi Pembelajaran Aktif Melalui Alat Peraga dan Permainan Pada Siswa
Kelas VII SMP N Sukoharjo. Jurnal Pendidikan . Surakarta:Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Rudhito, Andy. 2008. Geometri dengan Wingeom. Jurnal Pendidikan. Yogyakarta:
Universitas Sanata Dharma.
9
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PROFIL KREATIVITAS PENYELESAIAN MASALAH
GEOMETRI SISWA KELAS VIII SMP NEGERI TOMBULU
MINAHASA DITINJAU DARI GAYA BELAJAR
Ontang Manurung
Jurusan Matematika UNIMA, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan profil kreativitas
penyelesaian masalah geometri siswa SMP kelas VIII SMP Negeri Tombulu
Minahasa ditinjau dari gaya belajar. Penilaian kreativitas didasarkan pada
penyelesaian masalah geometri yang dibuat subjek meliputi tiga aspek kreativitas
yaitu: kefasihan, fleksibilitas, dan kebaruan. Kefasihan penyelesaian masalah
geometri mengacu pada kemampuan siswa memberi banyak penyelesaian yang benar.
Fleksibilitas penyelesaian masalah geometri mengacu pada kemampuan siswa
memberi penyelesaian masalah geometri dengan cara berbeda yang benar. Kebaruan
penyelesaian masalah geometri mengacu pada kemampuan siswa memberi
penyelesaian berbeda dari sebelumnya yang benar. Dua penyelesaian berbeda bila
konsep matematika atau konteks yang digunakan berbeda atau tidak biasa dibuat
siswa pada tingkat pengetahuannya. Penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, pada kelas VIII-1 SMP Negeri Tombulu Minahasa Tahun
Ajaran Semester gasal 2014-2015. Subjek siswa dengan gaya belajar visual, auditori,
dan kinestetik. Subjek 3 siswa, 1 siswa dengan gaya belajar visual, 1 siswa dengan
gaya belajar auditori, dan 1 siswa dengan gaya belajar kinestetik, penentuan subjek
menggunakan tes gaya belajar yang diadaptasi dari Chislett & Chapman. Subjek
diberikan soal tes berupa masalah geometri materi kelas VIII SMP dilanjutkan
wawancara berbasis tugas, digunakan triangulasi waktu untuk melihat keabsahan data
(valid), selanjutnya data valid dianalisis berdasarkan ketiga aspek kreativitas. Hasil
penelitian siswa dengan gaya belajar visual, auditori, dan kinestetik tidak kreatif
dalam penyelesaian masalah geometri.
Kata Kunci : Kreativitas, Kemampuan Matematika, VAK
PENDAHULUAN
Menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, diperlukan
sumber daya yang memiliki keterampilan tinggi dengan melibatkan pemikiran kritis,
logis, kreatif, dan kemampuan bekerja sama yang baik. Munandar (2009) menjelaskan
bahwa pendidikan bertanggung jawab untuk memandu serta memupuk bakat tersebut,
termasuk dari mereka yang berbakat istimewa atau memiliki kemampuan dan
kecerdasan luar biasa (the gifted and talented). Lebih jauh dikatakan Munandar
10
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya
inteligensi (kecerdasan) melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi,
karena kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam
bidang ilmu dan teknologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.
Kreativitas dalam pembelajaran matematika lebih banyak dihubungkan dengan
kemampuan siswa dalam penyelesaian masalah matematika yang diberikan oleh guru,
kemampuan penyelesaian masalah merupakan bagian penting bagi siswa yang harus
dikembangkan melalui pembelajaran.
Pemecahan/penyelesaian masalah matematika di banyak negara termasuk
Indonesia secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika. Pehkonen (1997)
membagi 4 kategori, alasan mengajarkan pemecahan/penyelesaian masalah dalam
pembelajaran matematika yaitu: (1) penyelesaian masalah mengembangkan
keterampilan kognitif secara umum, (2) penyelesaian masalah mendorong kreativitas,
(3) penyelesaian masalah merupakan bagian dari proses aplikasi matematika, dan (4)
penyelesaian masalah memotivasi siswa untuk belajar matematika. Hasil penyelesaian
masalah geometri siswa SMP dapat dilelompokkan tinggi, sedang, dan rendah. Salah
satu masalah dalam pembelajaran matematika di SMP adalah rendahnya kemampuan
siswa dalam pemecahan/penyelesaian soal terbuka, khususnya soal tidak rutin. Soal
terbuka (open ended) adalah soal yang memiliki lebih dari satu jawaban dan cara
penyelesaian, sehingga guru memberikan kesempatan siswa mengembangkan
kreativitasnya penyelesaian masalah.
Penyebab
rendahnya
kemampuan
penyelesaian
masalah
matematika
diantaranya tidak dibahas strategi-strategi yang bervariasi atau yang mendorong
keterampilan kreativitas siswa untuk menemukan jawaban dimana hasilnya bisa
divergen. Davis (1984) menyebutkan beberapa alasan kreativitas merupakan hal
penting dalam belajar matematika : a) matematika terlalu luas dan kompleks untuk
dihapalkan, sehingga diperlukan cara-cara kreatif, b) kreativitas dibutuhkan siswa
untuk menemukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri, c) kreativitas
diperlukan untuk memberikan tanggapan terhadap anak yang memiliki perilaku
11
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
aneh/unik dan pemikiran asli, karena merupakan bagian ciri anak kreatif, d) kreativitas
diperlukan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar, e)
kreativitas diperlukan guru dalam mengembangkan pembelajaran yang berorientasi
pada kemampuan siswa, dan f) kreativitas diperlukan anak untuk menghubungkan
matematika dengan dunia nyata.
Sternberg (2008) mendefinisikan kreativitas sebagai proses memproduksi
sesuatu yang orisinil dan bernilai. Sesuatu disini bisa memiliki banyak bentuk, bisa
berupa sebuah teori, sebuah tarian, sebuah proses atau prosedur, sebuah zat kimia,
sebuah cerita, sebuah simfoni atau apapun yang lain.
Setiap individu memiliki
karakteristik yang khas, yang tidak dimiliki oleh individu lain, jadi setiap individu
berbeda satu sama lain.
Penelitian Swartz dan Perkins (dalam Warli, 2010) menunjukkan bahwa
manusia cenderung mengalami empat pola berpikir tidak efektif atau salah yaitu: a)
tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat membuat keputusan, tanpa mempertimbangkan idea
atau alternatif lain, b) acak-acakan, yaitu kecenderungan untuk tidak teratur dalam
berpikir, melompat dari satu gagasan ke gagasan yang lain tanpa menganalisis secara
mendalam salah satu dari gagasan tersebut, c) tidak fokus, yaitu menjadi kabur atau
samar-samar dalam pemikiran serta tidak jelas dalam memberikan pendapat; d) sempit,
yaitu kecenderungan berpikir dengan tidak mendalam, sehingga mengabaikan
informasi penting lain yang mungkin ada. Mengacu pada hasil penelitian ini, anak
yang mempunyai gaya kognitif impulsif mempunyai pola pikir tidak efektif.
Treffinger (dalam Munandar,2009) juga mengatakan bahwa pribadi yang
kreatif biasanya lebih terorganisir dalam bertindak. Rencana tindakan mereka telah
dipikirkan dengan matang lebih dahulu, dengan mempertimbangkan masalah yang
mungkin timbul serta implikasinya, dengan adanya profil ini akan diketahui gambaran
kreativitas siswa kelas VIII SMP negeri Tombulu Minahasa ditinjau dari perbedaan
gaya belajar, yang dapat dijadikan acuan memahami berpikir kreatif siswa pada
pembelajaran dan guru bisa mengupayakan strategi pembelajaran yang sesuai dan
dapat digunakan untuk meningkatkan kreativitas yang lebih tinggi sebab kreativitas
12
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
merupakan hal penting dalam belajar matematika antara lain karena kreativitas
dibutuhkan siswa untuk menemukan penyelesaian masalah dengan caranya sendiri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, dilaksanakan pada siswa kelas VIII-1 SMP Negeri Tombulu
Minahasa tahun ajaran gasal 2014-2015. Subjek diambil menggunakan tes gaya belajar
adaptasi dari Chislett & Chapman. Diambil minimal 1 siswa dengan gaya belajar
visual, 1 siswa dengan gaya belajar auditori, dan 1 siswa dengan gaya belajar kinestetik
Kepada subjek diberikan tes tertulis masalah geometri secara bersamaan, dan
dilanjutkan wawancara konfirmasi secara perorangan, untuk mengecek keabsahan data
dilakukan triangulasi waktu. Data valid dianalisis kreativitas penyelesaian masalah
geometri unuk masing-masing subjek, lalu dideskripsikan profil kreativitas
penyelesaian masalah geometri untuk masing-masing subjek.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil tes penentuan subjek dan konsultasi dengan guru matematika kelas VIII,
didapatkan YKV laki-laki siswa dengan gaya belajar visual, RMRA laki-laki siswa
dengan gaya belajar auditori, dan EKK laki-laki siswa dengan gaya belajar kinestetik.
Hasil analisis kreativitas penyelesaian masalah geometri untuk masing-masing subjek
sebagai berikut :
Tabel Keterpenuhan Aspek Kreativitas Siswa dengan gaya belajar
Aspek Kreativitas
Visual
Auditori
Kinestetik
Kefasihan
o
o
o
Fleksibilitas
o
o
o
Kebaruan
o
o
o
Keterangan :  = Memenuhi dan o = Tidak memenuhi
13
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dari hasil analisis kreativitas penyelesaian masalah geometri untuk masing-masing
subjek dibuatkan profil kreativitas penyelesaian masalah geometri untuk masingmasing subjek seperti pada simpulan penelitian.
PENUTUP
SIMPULAN
1.
Profil kreativitas penyelesaian masalah geometri siswa kelas VIII SMP dengan
gaya belajar visual sebagai berikut; a) Kefasihan : siswa
tidak mampu
menggambar bangun datar sebanyak yang dimintakan dengan benar. Sehingga
penyelesaian yang dibuat siswa tidak memenuhi kefasihan dalam penyelesaian
masalah geometri. b) Fleksibilitas : siswa tidak mampu menemukan atau membuat
cara berbeda, bangun datar yang telah dibuatnya. Sehingga penyelesaian yang
dibuat siswa tidak memenuhi fleksibilitas dalam penyelesaian masalah geometri.
c) Kebaruan : siswa tidak mampu menggambar bangun datar yang konsep atau
konteksnya berbeda dengan sebelumnya dan tidak biasa dilakukan untuk tingkat
pengetahuan sebayanya dengan benar. Sehingga penyelesaian yang dibuat siswa
tidak memenuhi kebaruan dalam penyelesaian masalah geometri.
Dari
keterpenuhan indikator kreativitas di atas, maka disimpulkan bahwa siswa dengan
gaya belajar visual tidak kreatif karena tidak mampu menunjukkan ketiga aspek
indicator berpikir kreati dalam penyelesaian masalah geometri.
2.
Profil kreativitas penyelesaian masalah geometri siswa kelas VIII SMP dengan
gaya belajar auditori sebagai berikut: a) Kefasihan : siswa
tidak mampu
menggambar bangun datar sebanyak yang diminta dengan benar.
Sehingga
penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi kefasihan
dalam penyelesaian masalah geometri. b) Fleksibilitas : siswa tidak mampu
menemukan atau membuat cara berbeda bangun datar yang sudah dibuatnya.
Sehingga penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi
fleksibilitas. c) Kebaruan : siswa tidak mampu membuat gambar bangun datar
yang dapat dikatakan baru untuk tingkat pengetahuan sebayanya.
Sehingga
14
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi kebaruan. Dari
keterpenuhan indikator kreativitas di atas, maka disimpulkan bahwa siswa dengan
gaya belajar auditori tidak kreatif karena tidak mampu menunjukkan ketiga aspek
indikator berpikir kreatif dalam penyelesaian masalah geometri.
3.
Profil kreativitas penyelesaian masalah geometri siswa dengan gaya belajar
kinestetik sebagai berikut: a) Kefasihan : siswa tidak mampu menggambar bangun
datar sebanyak yang diminta dengan benar. Sehingga penyelesaian masalah
geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi kefasihan dalam penyelesaian
masalah geometri. b) . Fleksibilitas : siswa tidak mampu menemukan atau
membuat cara
berbeda bangun datar yang sudah dibuatnya.
Sehingga
penyelesaian masalah geometri yang dibuat siswa tidak memenuhi fleksibilitas. c)
Kebaruan : siswa tidak mampu membuat gambar bangun datar yang dapat
dikatakan baru untuk tingkat pengetahuan sebayanya. Sehingga penyelesaian
masalah geometri yang dibuat siswa
tidak memenuhi kebaruan.
Dari
keterpenuhan indikator kreativitas di atas, maka disimpulkan bahwa siswa dengan
gaya belajar kinestetik tidak kreatif karena tidak mampu menunjukkan ketiga
aspek indikator berpikir kreatif dalam penyelesaian masalah geometri.
SARAN
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk lebih meyakinkan dan
memantapkan hasil penelitian untuk mengamati kreativitas penyelesaian geometri
siswa ditinjau dari gaya belajar dan gender.
DAFTAR PUSTAKA
Csikszentmihalyi, M. (1997). Creativity. New York: HarperCollins.
Davis, Robert B. (1984). Learning Mahtematics The Cognitive Science Approach to
Mathematics Education. London & Sydney:Croom Helm.
Evans, James R. (1991). Creative Thinking in the Decision and Management Sciences.
Cincibnati: South-Western Publishing Co..
15
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kenny, Robert F. (2007) ‘Digital Narrative as a Change Agent to Teach Reading to
Media-Centric Student”. International Jurnal of Social Science Volume 2
Number 3 Tahun 2007.
Krulik, Stephen, & Jesse A. Rudnick. (1995). “Innovative Task to Improve Critical and
Creative Thinking Skills”. Surabaya: Jurnal Pembelajaran Matematika UNESA.
Liu, Y., & Ginther, D. (1999, November 1). Cognitive styles and distance education.
The Journal of Distance Learning Administration, 2(3), Article 005. Retrieved
October 1, 1999, from http://www.westga.edu/~distance/liu23.html
Miles dan Huberman. Terjemahan Rohidi. T.R (2009). Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)
Moleong, J. Lexy. (2010) Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Munandar. U. (2009). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka
Cipta
Nasution, S. 2008. Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar & Mengajar. Jakarta:
PT Bumi Aksara
Navarro. Jose. I, Aguilar. M, Alcalde. C. (1999). Relationship of Arithmetic Problem
Solving and Reflektif-Impulsif Cognitive Styles in Third-Grade Students.
Psychological Report. University of Caddiz, Spain.
Pehkonen, Erkki. (1997). ‘The State-of-Art in Mathematical Creativit”y.
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volume 29 (June 1997)
Number 3 Elctronic Edition ISSN 1615-679X. Download …
Rozencwajg, Paulette & Corroyer, Denis. (2005). “Cognitive Processes in the
Reflektive-Impulsive Cognitive Style”. The Journal of Genetic Psycholoy, 2005,
166(4), 451-463
Semiawan. C. (1997). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta : PT Grasindo
Silver, Edward A. (1997). “Fodtering Creativity through Instruction Rich in
Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing”.
http://www.fiz.karlsruhe.de/fiz/publications/zdm ZDM Volume 29 (June 1997)
Number 3 Elctronic Edition ISSN 1615-679X. Download …….
Siswono, Tatag Y.E., (2007) “Penjenjangan Kemampuan Berpkir Kreatif dan
identifikasi tahap berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan
masalah matematika”. Disertasi Doktor, UNESA Surabaya.
Slameto, (2010). Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
16
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Smit. M.K dkk (penerjemah Abdul Q S) . (2009). Teori Pembelajaran dan Pengajaran.
Jogjakarta: Mirza Media Pustaka
Sobur, A. (2009). Psikologi Umum. Bandung: CV Pustaka Setia.
Solso. L.R, Maclin. H.O, Maclin. K.M.(2008). Psikologi Kognitif. Edisi Kedelapan.
Jakarta: Erlangga.
17
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PROSES ABSTRAKSI PENGETAHUAN OLEH SISWA PADA
KONSEP LUAS PERMUKAAN DAN VOLUME BANGUN
RUANG
Syukma Netti1, Sudirman2, Susi Herawati3
Universitas Bung Hatta, [email protected]
Universitas Negeri Malang, [email protected]
Universitas Bung Hatta, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini berkaitan dengan mengidentifikasi proses abstraksi siswa
dalam mengonstruk pengetahuan tentang konsep luas permukaan dan volume bangun
ruang. Secara metodologi, analisis yang digunakan adalah tindakan epistemik yang
bernama model RBC. Dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa dalam proses abstraksi
yang dilakukan siswa ketika mengonstruk pengetahuan luas permukaan dan volume
pada bangun ruang ketiga tindakan epistemik muncul dengan jumlah dan cara yang
berbeda.
Kata kunci: Proses Abstraksi, model RBC.
PENDAHULUAN
Memahami bagaimana siswa mengonstruk pengetahuan matematika yang
bersifat abstrak adalah penting (Dreyfus, 2012), hal ini perlu dipahami dengan baik
oleh para pendidik agar dapat membelajarkan siswa dengan cara yang lebih tepat.
Setiap konsep matematika yang ada dalam pikiran siswa merupakan hasil dari suatu
proses abstraksi (Altun & Kayapinar, 2011). Lebih lanjut Altun & Kayapinar (2011)
menyatakan bahwa walaupun hampir semua perolehan matematika terjadi melalui
abstraksi, sejumlah pengetahuan dan keterampilan seperti operasi algoritma tidak
membutuhkan abstraksi, tetapi diperoleh melalui proses mengingat dan
pengulangan.
Abstraksi merupakan konsep yang kompleks yang dapat dipandang dari
berbagai sudut pandang (Hazzan & Zazkis, 2005; Mitchelmore & White, 1995).
Oleh karena itu muncul berbagai kajian di bidang pendidikan tentang pengertian
abstraksi, dan tidak ada konsensus tentang pengertian tunggal dari abstraksi
(Drayfus, 2002,2012; Gray & Tall, 2001,2007; Gravemenijer, 2001). Namun ada
kesepakatan bahwa kemampuan abstraksi merupakan keterampilan yang penting
untuk siswa terlibat dalam matematika dengan pemahaman yang baik (Hazzan &
18
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Zazkis, 2005). Maka disini penulis merasa perlu memberikan contoh ilustrasi
bagaimana proses abstraksi itu terjadi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan terjadinya proses
abstraksi yang dilakukan siswa dalam mengonstruk pemahaman tentang luar
permukaan dan volume pada kubus dan balok.
Davydov (1990) menyatakan bahwa Abstraksi dimulai dari hal-hal sederhana
berkembang ke bentuk yang awalnya samar-samar dan terkadang kurang konsisten
lalu berkembang melalui analisis, sintesis dan melalui proses diskusi (dialektical)
sehingga berakhir dengan sesuatu yang lebih konsisten dan bentuk yang lebih jelas.
Lebih lanjut Davydov (1990) menjelaskan bahwa abstraksi bukanlah proses dari
konkrit ke abstrak tapi dari hal yang belum berkembang ke hal yang sudah
berkembang
Definisi abstraksi yang digunakan dalam kajian ini diambil dari pendapat
Hershkowitz dkk (2001), yang menyatakan bahwa abstraksi adalah sebagai suatu
aktifitas dalam menata ulang pengetahuan matematika sebelumnya secara
matematisasi vertikal untuk dapat mengonstruk pengetahuan matematika yang baru
bagi siswa. Definsi ini dikembangkan dengan mengadopsi pandangan Dovydov
dan mengkombinasikan dengan konsep matematisasi vertikal dari Treffers &
Goffree (1985). Makna kata aktifitas pada definisi tersebut mengacu pada apa yang
siswa lakukan dalam lingkungan belajar baik individu atau grup belajar dan phrasa
“konstruksi matematika baru” mengacu pada berfikir matematis (konsep, korelasi
atau generalisasi ) yang terjadi sebagai konsekwensi dari abstraksi. Dan
“matematisasi vertikal ” berarti objek matematika yang lebih formal dari semua
bentuk formal dan informal yang lainya, bekerja dengan simbol-simbol dan
membangun hubungan antar konsep. Dreyfus (2007) menyatakan bahwa abstraksi
bukanlah objektif, proses yang universal tapi sangat bergantung kepada kontek
termasuk riwayat siswa yang terlibat dalam kegiatan abstraksi dan fasilitas yang
tersedia. Fasilitas tersebut diantaranya dapat berupa material objek, alat-alat seperti
komputer serta bahan yang bukan berupa objek seperti bahasa dan prosedur.
Terjadinya proses abstraksi tidak dapat diamati langsung Hershkowitz dkk
(2001), Schwarz dkk, (2009), Dreyfus dkk, (2007, 2012, 2015) sehingga perlu
19
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
didefinisikan tindakan-tindakan siswa yang dapat diamati agar dapat memfasilitasi
informasi tentang terjadinya proses abstraksi tersebut. Tindakan yang dapat diamati
tersebut disebut tindakan epistemik (Dreyfus 2007). Hershkowitz dkk (2001)
mengenalkan tiga tindakan epistemik yang dapat diamati ketika terjadi proses
abstraksi
pada
siswa,
yaitu
Recognizing(R),
Building-With(B)
dan
Constructing(C) dan mereka menyebutnya model RBC. Alasan utama mengapa
tindakan tersebut didefinisikan berharap dapat menginformasikan proses abstraksi
yang terjadi. Tiga tindakan tersebut dapat diamati sehingga memungkinkan kita
untuk mengetahui lebih banyak tentang proses abstraksi yang dilakukan siswa
(Dreyfus, 2007).
Definisi operasional konstruksi memberikan kriteria yang jelas untuk menilai
apakah ucapan siswa atau tindakan memberikan bukti bahwa tindakan B telah
terjadi, seperti tindakan atau ucapan oleh siswa akan terjadi selama atau segera
setelah tindakan C dari siswa dan kadang-kadang hanya pada tahap berikutnya. Ini
mungkin tergantung pada bagaimana melibatkan siswa dalam interaksi dengan
siswa lain, dengan guru, atau dengan pewawancara di saat-saat kritis. Hal ini, tentu
saja, tidak berarti bahwa siswa kurang terlibat dalam interaksi tidak membangun;
itu hanya berarti bahwa peneliti mungkin tidak memiliki akses langsung ke
konstruksisi siswa (Dreyfus, 2007). Berikut rincian dari masing-masing tindakan
yang digunakan untuk mengidentifikasi tahap abstraksi yang dilakukan siswa.
a. Recognizing atau tindakan R, yaitu mengenali konstruksisi pengetahuan yang
telah diketahui dari kegiatan sebelumnya. Bukti untuk tindakan R adalah
ditunjukan dengan jarang muncul perbedaan pendapat sehubungan dengan
konstruksisi yang telah dikenali oleh siswa sebagai bukti yang menunjukkan
bahwa konstruksisi pengetahuan tersebut dikenali dengan baik. Tindakan R
sering, walau tidak selalu, terjadi pada level berfikir empiris (Hershkowitz dkk,
2001). Contoh penyataan siswa yang termasuk tindakan R adalah “jadi semakin
lama jumlah zebra akan semakin berkurang sedangkan jumlah singa semakin
bertambah bertambah” ketika siswa diminta mengamati dan menelaah grafik
dari dua fungsi linier yang berkenaan dengan pertumbuhan jumlah singa dan
20
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
zebra. Hal ini dikatakan tindakan R karena ungkapan tersebut berdasarkan
pengetahuan sebelumnya tentang makna gradien.
b. Building-with atau tindakan B, tindakan ini mengacu pada memanfaatkan
konstruksisi sebelumnya yang telah dikenali oleh siswa yang relevan dengan
situasi masalah yang sedang diselesaikan. Tindakan B ditunjukan pada tindakan
seperti komputasi, sketsa, membenarkan, penalaran dengan konstruksisi
sebelumnya. Tindakan B merupakan tindakan merangkai beberapa pengetahuan
sebelumnya
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi. Contoh, ketika guru memberikan petunjuk pada siswa untuk melihat
bagaimana karakteristik dari sketsa grafik yang disajikan. Siswa dapat juga
melakukan
tindakan
B
ketika
mereka
membuat
hipotesis,
siswa
membandingkan data numerik dengan sumber lain dan menemukan petunjuk
dari sejumlah sumber.
c. Contructing atau tindakan C, yaitu membangun pengetahuan baru bersamaan
tindakan B dan tindakan R atau pengetahuan yang telah diakui sebelumnya.
Contoh ungakapan siswa yang menggambarkan terjadinya tindakan C seperti
potongan percakapan antara guru (G) dan siswa (S) berikut.
G : yang atas, bawah, kiri dan bagian kanan semua ada berapa?
S : 3, 8, 3 dan 8
G : jadi luas permukaan itu apa?
S : jumlah seluruh luas sisi-sisi pada bangun tersebut.
Ungkapan siswa yang terakhir merupakan tindakan C, karena munculnya
konstruksisi baru
berupa definisi dari luas permukaan dari bangun ruang
yang sedang didiskusikan.
Untuk dapat mengidentifikasi masing-masing tindakan,
Dreyfus (2015)
menjelaskan secara teknis cara mengidentifikasi tindakan C yang telah terjadi, yaitu
dengan menandai tindakan-tindakan atau ucapan –ucapan yang relevan pada
transkrip sebagai akhir dari tindakan C dan mulai bekerja mundur melalui transkrip
untuk mengidentifikasi tindakan R dan B yang berkontribusi terhadap tindakan C.
Peneliti dapat mengidentifikasi dengan mudah tindakan R atas dasar tindakan atau
penjelasan eksplisit dari konstruksisi sebelumnya oleh siswa. Hal dasar yang
membedakan antara tindakan C dan tindakan B adalah apakah tugas memerlukan
21
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
B atau C: Jika urutan tindakan dan ucapan-ucapan siswa ketika berhadapan dengan
tugas mengungkapkan reorganisasi vertikal dan muncul konstruksisi yang baru
bagi siswa, maka tindakan tersebut adalah tindakan C; jika tidak, itu adalah sebuah
tindakan B.
METODA PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah kualitatif, yaitu mendiskripsikan fenomena yang
berlangsung dalam proses siswa pada suatu kelas, interaksi siswa dengan guru dan
interaksi siswa dengan siswa dalam mengonstruk pengetahuan matematika pada
pokok bahasan luas permukaan dan volume kubus dan balok.
Fokus masalah dalam penelitian ini terdiri dari konstruksisi pengetahuan
siswa yang dianalisis dengan tahap recognizing (R), buildig-with (B) dan
Constructing(C) dalam proses mengonstruk pengetahuan mereka. Seperti yang
dijelaskan dalam model RBC. Bahan yang digunakan berupa soal diberikan pada
siswa sebagai bahan diskusi untuk membangun pemahaman tentang luas
permukaan dan Volume.
Penelitian dilaksana terhadap siswa kelas VIIIB MTs Surya Buana Malang.
Data diambil dengan membuat dokumen audio visual dan hasil kerja siswa dalam
menyelesaikan soal yang diberikan dalam aktifitas siswa di kelas. Lalu dianalisis
untuk mengidentifaikasi ketiga tahap tindakan epistemik terjadi dengan
menggunakan model RBC, dengann cara membuat tanskripsinya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Proses abstraksi yang dilakukan siswa ketika mengonstruk pengetahuan
tentang luar permukaan dan volume pada kubus dan balok dideskripsikan
berdasarkan tiga tindakan epistemik recognizing, building-with dan Constructing,
dengan cara membuat transkripsinya. Siswa disimbolkan dengan S sedangkan G
menyimbolkan peneliti sekaligus berperan sebagai guru. Nomor urut percakapan
dimulai dengan 50 sampai seterusnya karena memang ada percakapan sebelumnya
dan untuk memudahkan laporan berikutnya ditulis terurut. Kegiatan pembelajaran
didukumentasikan dengan kamera video lalu ditraskripsikan saat meminta siswa
22
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menghitung luas permukaan dari bangun ruang berikut:
Gambar 1: Bangun ruang yang akan dihitung volume dan luas permukaannya.
Berikut transkripsi dari percakapan siswa guru dengan siswa.
50. S : buk mau tanya, masih bingung, kok luas permukaan ke tiga gambar ini
punya luas permukaan yang sama.
51. G: lho kok bisa sama, memang yang mau dimaksud luas permukaan atau
volume (tidak mungkin luas permukaannya sama)
52. S : Luas permukaan Buk
53. G: berapa luas permukaan dari setiap gambar yang kamu peroleh
54. S :24.
55. G: 24 kamu peroleh dengan cara apa?
56. S: dengan cara menghitung jumlah seluruh kubus satuan yang ada
57. G: oo, dengan cara menghitung seluruh kubus, jadi seluruh model gambar a,
b dan c punya luas permukaan sama-sama 24.
58. S: iya
59. G: padahal bentuknya beda-beda semua. nah sekarang coba kita telusuri, apa
yang dimaksud dengan luas permukaan
60. S: siswa tidak menjawab
Walau kelihatannya soal yang diberikan tidak sulit namun siswa tetap tidak
dapat langsung menyelesaikan soal tersebut. Kalaupun ada siswa yang bisa
mengerjakan, mereka mengerjakan dengan langsung mencari dan menggunakan
rumus yang ada dibuku paket.
23
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2: Jawaban siswa yang langsung mengaju pada rumus di buku teks
Hal ini terjadi karena pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya bersifat
hafalan dan prosedural sehingga mereka tidak memahami makna luas dan tidak
mampu menggunakan konsep luas yang telah mereka miliki untuk menyelesaikan
soal yang diberikan. Maka guru mengarahkan siswa untuk bisa menemukan dan
mengonstruk konsep luas permukaan.
61. G: Tadi diawal pembelajaran temanmu sudah menunjukan luas
permukaan dengan kotak obat nyamuk,
62. S: ya
61. G: Apa kotak tadi mirip dengan bentuk gambar ini?
62. S: ya
63. G: mana yang merupakan permukaan dari bangun pada gambar ini?
64. S:ini, (sambil menunjuk permukaan bagian depan dari bangun ruang).
65. G: betul, itu adalah salah satu permukaan dari bangun ruang, berapa
luaspermukaan yang depan itu.
66. S: (siswa itu binggung lagi)
67. G: Coba hitung, ada berapa persegi di bagian depan
68. S: (lalu siswa menghitung) 24.
69. G: Oke terus yang belakang berapa
70. S: 24
71. G: Terus yang atas, bawah, kiri dan bagian kanan semua ada berapa?
72. S : (berturut-turut) 3, 8, 3 dan 8
73. G: Jadi luas permukaan itu apa?
S: Jumlah seluruh luas permukaan
G: Betul sekali, nah yang kamu peroleh sama-sama 24 tadi apanya
S: (bingung)
G: Tadi sudah dikatakan bahwa kubus satuan punya volume 1 cm kubik,
berarti kalau kamu menghitung seluruh kubus satuan berarti kamu
menghitung...?
78. S : volume
79. G: beda ngak menghitung volume dengan menghitung luas permukaan
80. S : beda
74.
75.
76.
77.
24
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
81. G: jadi harusnya antara gambar a, b dan c punya luas permukaan..?
82. S : beda
83. G: sip, ayo lanjutkan dengan soal berikutnya.
Setelah interaksi antara kelompok siswa dengan guru membuat siswa jadi
menyadari pengetahuan yang telah mereka miliki, terlihat bahwa hal itu membuat
siswa menjadi mampu mengonstruk pengetahuan tentang konsep luas permukaan,
walau dengan bantuan dan arahan dari guru. Disini berhasil diidentifikasi ketiga
tindakan epistemik, yaitu tindakan R(56,66) merupakan tindakan yang menunjukan
siswa menyadari pengetahuan mereka dan tindakan B(71,75) menunjukan mereka
mampu menggunakan pengetahuan mereka sebelumnya untuk digunakan dalam
menyelesaikan masalah yaitu pengetahuan tentang luas, dengan arahan yang
diberikan guru siswa mampu untuk mengonstruk pengetahuan baru muncul yang
ditandai dengan tindakan C (77).
Berikutnya, dalam menyelesaikan masalah kedua tentang volume kubus,
percakapan yang terjadi antara kelompoksiswa yang lain dengan guru adalah
sebagai berikut:
101. S: buk, kami kesulitan mengerjakan soal kedua. apa maksud dari soal
ini buk?
102. G: baiklah sekarang andaikan kita punya 24 kubus kecil-kecil
yangterbuat dari tanah liat atau plestisin sehingga bisa dirubah
bentuknya.
103. S: yang ditekan –tekan gitu ya, buk?
104. G: ya, benar, lalu kita buat menjadi bentuk seperti di gambar, kira-kira
berapa ukuran rusuknya?
S: Oh, berarti .... (siswa terhenti, terlihat bingung dan juga berfikir)
G: ada hubungannya dengan volume tidak?
S: Ada.
G: Lalu?
S: (siswa mereka-reka dan membayangkan) pokoknya supaya jadi
kubus gitu? Oh berarti 4.
110. G: Coba dikerjakan
111. S: 4,6,12,16,20,24 (kelihatan siswa bingung)
105.
106.
107.
108.
109.
25
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
112. G: coba digambarkan!
113. S: (Siswa mencoba menggambar susunan beberapa kubus satuan pada
rusuk-rusuk kubusberdasarkan angka yang disebutkannya)
114. G: bagaimana dengan bagian dalam kosong atau berisi? Pernah main
prastisin? 24 kubus digabungkan menjadi satu,pertama beli kotak
sendiri-sendiri, lalu diaduk menjadi satu.
115. S: ya
116. G: ada 24 kubus satuan artinya ?
117. S: Bingung
118. G: 1 Kubus satuan volumenya berapa?
119. S:1 cm3
120. G: semua ada 24 kubus satuan, berapa volumenya?
121. S: 24
122. G: Benar sekali, sekarang lihat Gambar a volumenya 24, gambar b
volumenya 24 dan gambar c juga volumenya 24.
123. G: berarti apa hubungannya kubus dengan gambar yang akan kita cari
panjang rusuknya?
124. S:Volume dibagi 6 (dijawab secara spontan)
125. G: Volume kubus rumusnya apa?
126. S: (siswa melihat buku cetak, mereka tidak ingat rumus volume kubus
yang telah dipelajari ketika SD) lihat gambar dengan rusuk 4 satuan
V= 4 x 4 x 4 oh ya, ini rumus volume kubusV= r x r x r
127. G : Berarti apa hubungannya dengan soal tadi?
128. S : Berarti cari rusuk
129. G : ya
130. S : Caranya cari rusuk bagaimana? (lalu bolak-balok buku untuk
mencari rumus rusuk, mereka tidak menyadari dengan baik arti
pengetahuan mereka tentang rumus volume kubus )
131. G : Rumus balok tadi bisa di gunakan untuk mencari rusuk?
132. S : Nggak (ragu-ragu)
133. G : Coba tulis rumusnya
134.
135.
136.
137.
138.
139.
140.
141.
142.
143.
144.
S : V= r x r x r ditulis disini
G : r x r x r dapat ditulis dalam bentuk pangkat?
S : V = r3
G :Volumenya sudah bisa diketahui belum?
S :nggak bisa.
G : Tadi kita bahas tentang 24 kubus
S : Ya
G :Berarti
S :Oya iya, 24 = r x r x r
G : Betul, bisakan menemukan berapa nilai r?
S : insyaallah bisa, buk.(Lalu siswa melanjutkan perhitungannya
sehingga mereka menemukan nilai r)
Walau butuh waktu cukup lama dan butuh arahan dariguru, siswa akhirnya
26
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mampu mengonstruk pengetahuan dalam menyelesaikan soal yang diberikan yang
ditandai dengan munculnya tindakan C pada ungkapan 142. Tindakan R dan B yang
merupakan tindakan yang mendukung terjadinya tindakan C. Percakapan yang
menujukan tindakan R yaitu R(119, 121) sedangan tindakan B adalah B(122, 128).
Terlihat bahwa proses abstraksi sangat bergantung pada riwayat siswa,
Sebagaimana yang juga disampaikan Dreyfus bahwa proses abstraksi juga sangat
dipengaruhi oleh riwayat dari siswa itu sendiri yaitu pengetahuan sebelumnya yang
dimiliki. Siswa yang tidak terbiasa mengonstruk sendiri pengetahuan mereka
mengalami kesulitan untuk melakukan proses abstraksi. Pengetahuan awal siswa
yang bersifat prosedural sulit untuk memahami soal yang tidak rutin atau soal yang
tidak bersifat algoritmatik.
Walaupun ada, namun tidak banyak ucapan siswa yang dapat didentifikasi
sebagai tindakan R, B atau tindakan C, hal ini mungkin disebabkan oleh ketidak
sesuaian bantuan guru dengan proses konstruksi siswa (Drayfus, 2015) yang telah
diuraikan di bagian teori, yang menyatakan bahwa terkadang, tindakan atau ucapan
siswa akan terjadi, selama atau segera setelah tindakan mengonstruk dan kadangkadang hanya pada tahap berikutnya. Ini mungkin tergantung pada bagaimana
melibatkan siswa dalam interaksi dengan siswa lain, dengan guru, atau dengan
pewawancara di saat-saat kritis. Hal ini, tentu saja, tidak berarti bahwa siswa kurang
terlibat dalam interaksi tidak membangun; itu hanya berarti bahwa peneliti mungkin
tidak memiliki akses langsung ke konstruksi siswa. Peneliti menyadari kekurangan
peneliti dalam mengarahkan siswa dalam mengonstruk pengetahuan mereka. Hal
ini disebabkan oleh percakapan antara siswa sangat bergantung ke pada respon
siswa jadi terkadang peneliti memberikan tanggapan yang tidak sesuai sehingga
bisa menjadi hambatan bagi siswa untuk mengonstruk pengetahuan mereka. Hal ini
peneliti sadari sebagai kelemahan dari penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada proses abstraksi siswa, dalam memahami konsep luas permukaan dan
volume pada kubus dan balok muncul ketiga tindakan epistemik, namun
kemunculannya membutuhkan bantuan dari guru karena faktor riwayat dari siswa
27
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
itu sendiri. Dimana siswa memiliki pengetahuan sebelumnya yang hanya bersifat
prosedural dan hafalan. Disini dapat dilihat bahwa kemampuan mengonstruk siswa
akan berkembang secara berkelanjutan jika pengetahuan yang mereka peroleh tidak
dengan cara hafalan tetapi dengan cara yang lebih bermakna. Sehingga semua siswa
betul-betul menyadari semua pengetahuan yang mereka miliki. Siswa tahu
menghitung luas bidang dengan menggunakan rumus tapi siswa tidak memahami
soal yang meminta mereka menghitung luas bidang yang hanya diberi grid atau
kotak-kotak tanpa ukuran. Karena Menyadari pengetahuan sebelumnya (tindakan
R) merupakan tahap penting dalam mengonstruk pengetahuan baru. Jelas disini
bahwa dalam membangun pengetahuan baru siswa sangat bergantung pada kualitas
pengetahuan sebelumnya maka kami sarankan bahwa sangat penting untuk
membiasakan siswa mengonstruk pengetahuan mereka sendiri bukan dengan cara
diberi tahu oleh guru.
DAFTAR PUSTAKA
Altun, M & Kayapinar, A.,Y., (2011) High School Students` Abstraction Prosess
of the Knowledge of Signum Functions Based on Piecewise Fuctions.
Education and Science. Vol 36 No. 162 page 65-83.
Davydov, V. V. (1990). Types of generalisation in instruction: Logical and
psychological problems in the structuring of school curricula(Soviet studies
in mathematics education, Vol. 2;J. Kilpatrick (Ed.), trans: Teller, J.). Reston:
National Council of Teachers of Mathematics. (Original work published
1972)
Dreyfus, T., (2007). Proses of Abstraction in Context the Nested Epistemic Actions
Model. http://medicina.iztacala.unam.mx/medicina/dreyfus.pdf diakses
tanggal 3 Pebruari 2014.
Dreyfus, T. 2012. Constructing Abstract Mathematical Knowledge in Context. 12th
International Congress on Mathematical Education. 8-15 Juli 2012. Seoul.
Korea.
Dreyfus, T., Hershkowitz, R., & Schwarz, B. B. (2015). The Nested Epistemic
Actions Model for Abstraction in Context: Theory as Methodological Tool
and Methodological Tool as Theory. Springer Science+Business Media
Dordrecht.
Gravemeijer, K. (1999). How emergent models may foster the constitution of
formal mathematics. Mathematical Thinking and Learning.1 (2), 155-177.
Hazzan, O. & Zazkis, R. (2005). Reducing abstraction: the case of school
28
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mathematics. Educational Studies in Mathematics, 58, 101-119.
Hershkowitz, R., Schwarz, B. B., & Dreyfus, T. (2001). Abstraction in context:
Epistemic actions. Journal for Research in Mathematics Education, 32, 195–
222.
Treffers, A., & Goffree, F. (1985). Rational analysis of realistic mathematics
education.In L. Streefland (Ed.), Proceedings of the 9th International
Conference for the Psychologyof Mathematics Education, Vol. II (pp. 97123). Utrecht, The Netherlands: OW&OC.
29
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE
STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS)
DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP
HIMPUNAN DI SMPN 1 SAWAN BULELENG
Made Susilawati1
1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana, [email protected]
Abstrak. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang mempunyai
peranan penting dalam dunia pendidikan. Dalam proses pembelajaran matematika
keaktifan siswa dalam belajar merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi keberhasilan pembelajaran matematika. Salah satu model
pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe
STAD (Student Teams Achievement Divisions). Model pembelajaran kooperatif
merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompokkelompok. Tujuan penelitian ini adalah menerapkan Pembelajaran Kooperatif Tipe
STAD (Student Teams Achievement Divisions) dalam meningkatkan pemahaman
konsep himpunan.
Penelitian ini dilakukan di SMPN 1 Sawan terletak di desa Sawan Kecamatan
Sawan Kabupaten Buleleng Bali. Penelitian ini dilakukan di kelas VII dengan
menerapkan pembelajaran STAD pada materi himpunan. Analisis yang digunakan
untuk mengukur keefektifan metode STAD adalah analisis statistik uji t. Sedangkan
penilaian terhadap kelompok menggunakan tabel penghargaan yang ditentukan
melalui nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan berdasarkan selisih
nilai kuis terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing siswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara deskriptif nilai rataan pretes (75.00)
yang lebih kecil dari rataan postes (88.71) menjelaskan bahwa kemampuan siswa
memahami materi setelah diberikan pembelajaran STAD meningkat. Hasil analisis
inferensial dengan melakukan uji t diperoleh nilai P = 0.000 lebih kecil dari taraf nyata
0.05, artinya hipotesis nol ditolak, ini menunjukkan telah terjadi peningkatan yang
signifikan dari kemampuan siswa dalam memahami materi himpunan.
Kata Kunci: Siswa SMP, Matematika, Pembelajaran kooperatif, STAD.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu bidang studi yang mempunyai
peranan penting dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jam
mata pelajaran ini dibandingkan mata pelajaran lain. Selama ini masih banyak guru
yang mengajarkan matematika dengan paradigma pembelajaran yang lama, yaitu
guru menerangkan konsep dan operasi matematika, memberi contoh mengerjakan
soal, serta meminta siswa untuk mengerjakan soal yang sejenis dengan soal yang
sudah diterangkan guru. Guru lebih menekankan pembelajaran matematika bukan
pada pemahaman siswa terhadap konsep dan operasinya, melainkan pada pelatihan
30
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
simbol-simbol matematika dengan penekanan pada pemberian informasi dan
latihan penerapan dalam soal. Guru masih bergantung pada metode ceramah, siswa
yang pasif, sedikit tanya jawab, dan siswa mencatat dari papan tulis.
Dalam
proses
pembelajaran
matematika
keaktifan
siswa
dalam
belajar merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan
pembelajaran matematika. Siswa diharapkan benar-benar aktif dalam belajar
matematika, sehingga akan berdampak pada ingatan siswa tentang materi pelajaran
yang
diajarkan.
Keterlibatan
siswa
dalam
melakukan
langkah-langkah
pembelajaran dapat mempertajam ingatan tentang materi pelajaran. Suatu konsep
akan lebih mudah untuk dipahami dan diingat apabila disajikan melalui langkah dan
prosedur yang menarik. Selain kurangnya keaktifan dalam pembelajaran
matematika, guru seringkali kurang memperhatikan tingkat pemahaman siswa
dalam mengikuti perubahan, langkah, tahap demi tahap dalam penyampaian materi
pelajaran.
Usaha-usaha guru dalam membelajarkan siswa merupakan bagian yang
sangat penting dalam mencapai keberhasilan tujuan pembelajaran yang sudah
direncanakan. Oleh karena itu pemilihan berbagai metode, strategi, pendekatan
serta teknik pembelajaran merupakan suatu hal yang utama. Menurut Eggen dan
Kauchak dalam Wardhani (2005), model pembelajaran adalah pedoman berupa
program atau petunjuk strategi mengajar yang dirancang untuk mencapai suatu
pembelajaran. Pedoman itu memuat tanggung jawab guru dalam merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Salah satu tujuan dari
penggunaan model pembelajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa
selama belajar. Dengan pemilihan metode, strategi, pendekatan serta teknik
pembelajaran, diharapkan adanya perubahan dalam mengingat (memorizing) atau
menghapal (rote learning) ke arah berpikir
(thinking) dan
pemahaman
(understanding), dari model ceramah ke pendekatan discovery learning atau
inquiry learning, dari belajar individual ke kooperatif, serta dari subject centered
ke clearer centered atau terkonstruksinya pengetahuan siswa.
Penyajian bermacam-macam model pembelajaran dan aplikasinya dalam
pengajaran matematika bertujuan agar siswa dan guru memiliki pengetahuan yang
31
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
luas tentang model-model pembelajaran dan memiliki keterampilan untuk
menerapkannya. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah
model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions).
Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran
yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok. Setiap siswa yang ada dalam
kelompok mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda-beda (tinggi, sedang
dan rendah) dan jika memungkinkan anggota kelompok berasal dari ras,
budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan jender. Model
pembelajaran kooperatif mengutamakan kerja sama dalam menyelesaikan
permasalahan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka
mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Nur (2000), semua model
pembelajaran ditandai dengan adanya struktur tugas, struktur tujuan dan
struktur penghargaan. Struktur tugas, struktur tujuan dan struktur penghargaan
pada model pembelajaran kooperatif berbeda dengan struktur tugas, struktur tujuan
serta struktur penghargaan model pembelajaran yang lain. Tujuan model
pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan
siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan
keterampilan sosial.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk. STAD
merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana.
Sehingga model pembelajaran ini dapat digunakan oleh guru-guru yang baru
memulai menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif.
Tujuan penelitian ini adalah menerapkan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
(Student Teams Achievement Divisions) dalam meningkatkan pemahaman konsep
himpunan di SMPN 1 Sawan Buleleng.
METODE PENELITIAN
Dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, materi pembelajaran dirancang
sedemikian rupa untuk pembelajaran secara berkelompok. Dengan menggunakan
lembaran kegiatan atau perangkat pembelajaran lain, siswa bekerja bersama-sama
(berdiskusi) untuk menuntaskan materi. Mereka saling membantu satu sama lain
32
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
untuk memahami bahan pelajaran, sehingga dipastikan semua anggota telah
mempelajari materi tersebut secara tuntas. Pada kegiatan pembelajaran matematika
kooperatif tipe STAD ini difokuskan pada pemahaman konsep himpunan dengan
mengaitkan pada benda-benda yang ada dalam kehidupan siswa sehari-hari.
Kegiatan ini dilakukan di SMPN 1 Sawan, kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng
pada siswa-siswa kelas VII.
Kegiatan dalam pembelajaran ini dimulai dengan tahapan sebagai berikut:
1.Presentasi kelas, diawali dengan penyampaian materi himpunan oleh guru atau
tim pelaksana dari Universitas Udayana.
2. Memberikan tes awal pada siswa secara individual
3. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok, dengan anggota masing-masing
kelompok bersifat heterogen.
4. Kegiatan kelompok, diawali dengan menyiapkan berbagai benda atau barangbarang yang nantinya akan diperagakan untuk menunjukkan yang mana disebut
himpunan dan bukan himpunan.
5. Melaksanakan evaluasi atau tes akhir kepada siswa secara individual
6. Membuat tabel pembentukan dan penghargaan kelompok dengan langkahlangkah sebagai berikut:
1. Menentukan nilai dasar (awal) masing-masing siswa. Nilai dasar (awal)
dapat berupa nilai tes/kuis awal atau menggunakan nilai ulangan sebelumnya.
2. Menentukan nilai tes akhir atau nilai kuis terkini.
3. Menentukan nilai peningkatan hasil belajar yang besarnya ditentukan
berdasarkan selisih nilai kuis terkini dan nilai dasar (awal) masing-masing
siswa dengan menggunakan kriteria berikut ini.
33
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kriteria
Nilai
peningkatan
Nilai kuis/tes terkini turun lebih dari 10 poin di bawah
5
nilai awal
Nilai kuis/tes terkini turun 1 sampai dengan 10 poin di
10
bawah nilai awal
Nilai kuis/tes terkini sama dengan nilai awal sampai
20
dengan 10 di atas nilai awal
Nilai kuis/tes terkini lebih dari 10 di atas nilai awal
30
Penghargaan kelompok diberikan berdasarkan rata-rata nilai peningkatan yang
diperoleh masing-masing kelompok dengan memberikan predikat cukup, baik,
sangat baik, dan sempurna. Kriteria untuk status kelompok:
Cukup, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok kurang dari 15 atau
(Rata-rata nilai peningkatan kelompok < 15).
Baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 15 dan 20 atau
(15 ≤ Rata-rata nilai peningkatan kelompok < 20)
Sangat baik, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok antara 20 dan 25 atau
(20 ≤ Rata-rata nilaipeningkatan kelompok < 25)
Sempurna, bila rata-rata nilai peningkatan kelompok lebih atau sama dengan
25 atau (Rata-rata nilai peningkatan kelompok ≥ 25) (Widyantini, dkk,
2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil yang sudah dicapai dalam pelaksanaan pengabdian kepada
masyarakat mengenai penerapan pembelajaran CTL DI SDN 2 Sawan adalah
berupa nilai evaluasi. Nilai evaluasi ini diperoleh dari pretes dan postes, data
mengenai nilai evaluasi dan kategorinya adalah sebagai berikut:
34
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 1. Nilai Evaluasi Siswa Kelas VII SMPN 1 Sawan
Klp
Nama
Pre
Post
Peningkat
Rata
25.25
Kriteria
1
I Kd Dipa Suwitra
80
95
30
1
Km Agus Kusuma W
70
85
30
Sempurna
1
Pande Pt Mahendra
60
90
30
Sempurna
1
I Md Arya Ditha M
90
95
20
Sempurna
2
I Gd Trisnawan
70
85
30
2
IGA Pt Suantari Pratami
80
95
30
Sempurna
2
Pt Novita Sari
80
100
30
Sempurna
2
Ny Angga Sumpena
75
95
20
Sempurna
3
Kd Rian Andinata
70
90
30
3
Km Tomi Mantri Yasa
40
60
30
Sempurna
3
Gd Putra Yasa
60
80
30
Sempurna
3
I Kd Semara
60
95
30
Sempurna
4
Ni L.P. Citra Dewi
70
90
30
4
Ni Kd Putri Artiwi
75
100
30
Sempurna
4
Km Dian Kusumayanti
70
100
30
Sempurna
4
Gd Budarka
80
85
20
Sempurna
5
Luh Putri Artiwi
70
85
30
5
Kd Ayu Diah Lestari
85
90
20
Sangat Baik
5
Nym Rita Pradnyani
90
90
20
Sangat Baik
5
Km Widiantari
80
90
20
Sangat Baik
6
Kd Bayu Darma M
90
95
20
6
Pt Novi Damayanti
80
85
20
Sangat Baik
6
Kd Restiaevan
70
80
20
Sangat Baik
7
Kt Gesmiantari
70
75
20
7
Ni Luh Suciani
70
80
20
Sangat Baik
7
Kd Citra Nopianingsih
70
75
20
Sangat Baik
7
Luh Ayu Trisna S
90
90
20
Sangat Baik
25.25
30
25.25
20.25
20
20
Sempurna
Sempurna
Sempurna
Sempurna
Sangat Baik
Sangat Baik
Sangat Baik
35
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
8
Km Febri Yuliandari
90
90
20
8
Kd Era Cantika Dewi
80
95
30
Sempurna
8
Md Mutiara Putri U
80
95
30
Sempurna
8
Pt Arundati Dharmapatni
80
95
30
Sempurna
25.25
Sempurna
Tabel 1 menunjukkan ada 8 kelompok dalam kelas VII SMPN 1 Sawan, ada 3
kelompok yang masuk kategori penghargaan sangat baik, ini menunjukan telah
terjadi peningkatan rata-rata perolehan nilai post tes dibandingkan dengan pre tes
sebesar 20 sampai 25. Sedangkan kelima kelompok lainnya masuk dalam kategori
sempurna karena rata-rata peningkatan nilainya lebih dari 25. Suatu pencapaian
yang sangat bagus artinya metode pembelajaran STAD dengan system
berkelompok telah mampu meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang
diberikan. Hasil statistika deskriptif dari data nilai evaluasi adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Descriptive Statistics: Pretes, Postes
Variabel
N
Rataan
StDev
Min
Maks
Pretes
31
75.00
10.95
40.00
90.00
Posttes
31
88.71
8.66
60.00
100.00
Difference 31
13.71
9.13
-
-
Hasil yang didapat dari Tabel 1 tercemin pula pada Tabel 2, nilai rataan
pretes yang lebih kecil dari postes menjelaskan bahwa kemampuan siswa
memahami materi setelah diberikan pembelajaran STAD meningkat. Nilai minimal
pretes siswa adalah 40 yang meningkat pada posttes menjadi 60, demikian pula
dengan nilai maksimum yang diperoleh siswa meningkat pada saat pretes
dibandingkan dengan nilai maksimum pada saat postes. Dilihat dari nilai standar
deviasi menunjukkan bahwa nilai standar deviasi pretes lebih besar dari postes, ini
berarti nilai pretes siswa lebih beragam dibandingkan nilai posttesnya.
Analisis selanjutnya adalah analisis inferensial yaitu analisis yang
melibatkan pengujian hipotesis untuk mendapatkan kesimpulan secara sahih
(Walpole,1995). Hipotesis yang diajukan dalam pengabdian ini adalah
H0: µ2 - µ1 = 0 (Rata-rata pre-tes siswa sama dengan rata-rata post-tes)
36
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
H1: µ2 - µ1 > 0 (Rata-rata post-tes siswa lebih tinggi dari rata-rata pre-tes)
Statistik hitung yang digunakan untuk menguji hipotesis di atas adalah statistik uji
t yang dirumuskan sebagai berikut:
t Hit 
X1  X 2
Sd 1 / n1  1 / n2
Dengan X 1 dan X 2 adalah Rata-rata pre tes dan post tes, Sd = standar deviasi
gabungan yang dihitung dengan rumus berikut: Sd 
( n1  1) s12  (n2  1) s 22
n1  n 2  2
Ho akan diterima jika nilai thit lebih besar dari nilai t tabel dengan α = 0.05 dan Ho
ditolak jika sebaliknya atau jika nilai P yang diperoleh dalam keluaran pake
program lebih kecil dari taraf nyata (α) = 0.05 maka Ho ditolak.
Dalam analisis uji t ada asumsi yang harus dipenuhi sebelum analisis
dilakukan, yaitu asumsi kenormalan data dan kehomogenan ragam. Hasil uji
kenormalan data seperti yang terlihat dalam Gambar 1 di bawah ini:
Hasil Uji Kenormalan Nilai Siswa SMPN 1 Sawan
Normal
99
Mean
StDev
N
AD
P-Value
95
90
13.71
9.126
31
0.716
0.055
Percent
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
-10
0
10
20
Perbedaan
30
40
Gambar 1. Hasil Uji Kenormalan Nilai Siswa SMPN 1 Sawan
Berdasarkan grafik uji kenormalan di atas terlihat titik-titik data mengikuti
garis lurus maka dapat disimpulkan bahwa data menyebar normal. Hal ini
37
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dipertegas dengan hasil uji AD (Anderson Darling) yang mendapatkan nilai P (PValue) = 0.055 yang lebih besar dengan taraf nyata 0.05, ini mengindikasikan
bahwa data sudah menyebar normal.
Selanjutnya adalah pengujian pada asumsi kehomogenan ragam, disini
untuk menentukan apakah ragamnya sudah homogeny atau tidak menggunakan uji
Levene’s. Hasil ujinya seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan uji Levene’s
didapat nilai P (P-Value) = 0.178 yang lebih besar dengan taraf nyata 0.05, hal ini
menunjukkan bahwa ragam data sudah homogeny, artinya siswa yang terlibat
dalam pembelajaran STAD ini mempunyai kemampuan yang homogen.
Uji Kehomogenan ragam
F-Test
Test Statistic
P-Value
pretes
1.60
0.203
Lev ene's Test
Test Statistic
P-Value
1.86
0.178
postes
6
8
10
12
14
95% Bonferroni Confidence Intervals for StDevs
16
pretes
postes
40
50
60
70
Data
80
90
100
Gambar 2. Hasil Uji Kehomogenan Ragam Nilai Siswa SMPN 1 Sawan.
Kedua asumsi yang mendasari uji t sudah terpenuhi, karenanya uji t sudah
dapat dilakukan. Hasil dari uji t didapat T-Value = 5.47 dengan P-Value = 0.000.
Dengan membandingkan P-Value = 0.000 dengan taraf nyata 0.05 diperoleh bahwa
P-Value = 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 0.05, sehingga dapat disimpulkan
bahwa Ho ditolak yang berarti rata-rata nilai evaluasi posttes siswa lebih besar dari
rata-rata nilai pretes. Dengan kata lain terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam
memahami materi himpunan.
Dalam penerapan pembelajaran STAD ini terlihat sekali kalau siswa-siswa
antusias belajar matematika. Hal ini dapat dilihat dari semangat para siswa saat
menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh tentor, dan berlomba untuk menjawab
38
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
paling pertama. Pembelajaran STAD ini juga mudah untuk diterapkan, hanya
diperlukan pembentukan kelompok-kelompok untuk siswa. Siswa yang sudah
dikelompokkan tidak lagi merasa takut atau minder ketika mereka belum mengerti
materi karena mereka bisa menanyakan pada temannya yang sudah lebih dahulu
memahami materi tersebut. Jadi metode pembelajaran STAD ini sangat sesuai
diterapkan di kelas untuk meningkatkan pemahaman siswa pada konsep
matematika.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil analisis deskriptif diperoleh bahwa rata-rata postes siswa lebih besar dari
rata-rata pretes. Dan hasil analisis inferensial dengan melakukan uji t diperoleh nilai
P = 0.000 lebih kecil dari taraf nyata 0.05, artinya hipotesis nol yang ditolak, ini
menunjukkan telah terjadi peningkatan kemampuan siswa dalam memahami materi
himpunan. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran STAD efektif meningkatkan
kemampuan siswa SMPN 1 Sawan Buleleng.
2. Penerapan pembelajaran STAD telah dapat meningkatkan antusiasme dan
semangat siswa dalam belajar matematika.
Saran
Penerapan pembelajaran STAD ini tidak terlalu menyita waktu, sehingga
bisa diterapkan oleh guru pengampu mata ajar matematika dalam
pembelajarannya sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Nur dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA UNIVERSITY
PRESS.
Slavin, Robert. E. 1995. Cooperative learning. Theory, Research and Practice,
Second Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Sumardi, Bremaniwati. 2005. Matematika SMP untuk kelas VII. Klaten: Prestasi
Agung Pratama.
Walpole, R.E.1995. Introduction to Statistics. Terjemahan Bambang Sumantri.
PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Wardhani, Sri. 2005. Pembelajaran Matematika Kontekstual. Bahan Ajar Diklat di
39
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PPPG Matematika, Yogyakarta: PPPG Matematika.
Widyantini, Th., Edy Prayitno dan Puji Iryanti. 2006. Model Pembelajaran
Matematika dengan Pendekatan Kooperatif. Modul Paket Pembinaan
Penataran. Departemen Pendidikan Nasional Pusat Pengembangan Dan
Penataran Guru Matematika, Yogyakarta.
40
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DESKRIPSI KESULITAN BELAJAR SISWA DALAM
MENYELESAIKAN SOAL-SOAL MATEMATIKA KELAS VII
DI SMP NEGERI 2 GORONTALO
Franky A. Oroh
Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika FMIPA
Universitas Negeri Gorontalo
Jalan Jenderal Sudirman Nomor 6 Kota Gorontalo
Telepon (0435) 827213 Fax. (0435) 82721
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesulitan belajar yang dialami siswa
kelas VII SMP Negeri 2 Gorontalo dalam memahami materi garis dan sudut yang di
ukur melalui indikator kesulitan belajar siswa. Berdasarkan hasil penelitian bahwa ratarata persentasi capaian hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 2 Gorontalo pada
materi garis dan sudut menurut indikator kesulitan belajar siswa yaitu pada indikator
belajar fakta adalah 60,02% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator
ini adalah 39,98%, indikator belajar konsep adalah 59,1% yang berarti rata-rata
kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 40,9%., indikator belajar operasi adalah
50,13% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah 49,87%
dan indikator belajar prinsip adalah 43,86% yang berarti rata-rata kesulitan belajar
siswa pada indikator ini adalah 49,87%. Kesulitan siswa kelas VII SMP Negeri 2
Gorontalo yang di ukur melaui indikator kesulitan belajar siswa sangat beragam dan
belum begitu maksimal sehingga perlu metode dan strategi untuk meminimalisir
kesulitan yang di alami oleh siswa.
Kata Kunci : Kesulitan belajar siswa
PENDAHULUAN
Dalam matematika banyak dijumpai rumus-rumus yang digunakan untuk
menyelesaikan soal-soal. Siswa menganggap bahwa dengan menghafal rumusrumus tersebut dapat memudahkan mereka dalam menjawab soal-soal. Akan tetapi
matematika bukanlah materi yang dihafal, melainkan memerlukan pemahaman dan
penalaran yang lebih. Akibatnya ketika diberi evaluasi siswa mengalami kesulitan,
walaupun soal yang diberikan hampir sama dengan soal yang telah dipelajari.
Sehingga tidak heran jika banyak orang yang menganggap matematika adalah
pelajaran yang sulit.
Pada umumnya kesulitan merupakan kondisi tertentu yang ditandai dengan
adanya hambatan-hambatan dalam kegiatan untuk mencapai suatu tujuan, sehingga
memerlukan usaha yang lebih berat lagi untuk dapat mengatasinya. Kesulitan
41
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
belajar dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai
oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar.
Faktor lain yang menyebabkan siswa menemukan kesulitan-kesulitan dalam
menyelesaikan soal-soal matematika yaitu dapat kita lihat pada saat pembelajaran
berlangsung, dimana siswa kurang aktif dalam belajar matematika, siswa tidak mau
bertanya bila menemui kesulitan, kurangnya perhatian siswa pada saat guru
menjelaskan materi pelajaran, dan juga kurangnya pemahaman siswa dalam
memahami konsep yang dapat menjadikan Siswa kesulitan mengerjakan soal jika
soal yang diberikan guru berbeda dengan contoh soal. Dengan adanya situasi
belajar yang seperti ini mengakibatkan dampak yang jelek bagi proses belajar
mengajar matematika.
KAJIAN TEORI
Pengertian Kesulitan Belajar
Menurut Abu Ahmadi dan Widodo S (2004), dalam keadaan dimana anak
didik/siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut kesulitan
belajar.
Mukhtar dan Rusmini (2003) mengungkapkan bahwa secara garis besar
faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri dari faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal tersebut antara lain kelemahan fisik, mental, dan
emosional, kebiasaan dan sikap-sikap yang salah (seperti malas belajar) atau tidak
memiliki keterampilan dan pengetahuan dasar yang diperlukan. Sedangkan faktor
eksternal antara lain kurikulum dan pelaksanaan pembelajaran yang tidak tepat,
beban belajar yang terlalu berat, terlalu banyak kegiatan diluar jam sekolah, terlalu
sering pindah sekolah dan sebagainya.
Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi siswa dalam menyerap bahan
ajar yang disajikan. masing-masing faktor memiliki intensitas pengaruh yang
berbeda pada setiap siswa tergantung pada masalah yang dialami masing-masing
siswa. Misalkan pada siswa tertentu mungkin metode pembelajaranlah yang
menjadi faktor utama penyebab kesulitannya dalam belajar, akan tetapi pada siswa
42
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
lain yang brokenhome misalnya, faktor emosionallah yang paling mempengaruhi
kesulitan dalam belajar.
Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah
(kelainan mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktorr-faktor non inteligensi.
Dengan demikian, IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar.
Seperti diungkapkan oleh Muhibbin syah (1999) bahwa “ kesulitan belajar tidak
hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja tetapi juga dialami oleh siswa
yang berkemampuan tinggi. Selain itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh
siswa yang berkemampuan rata-rata atau normal. Hal tersebut disebabkan oleh
faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai
harapan”. Jadi belum tentu anak yang mengalami kesulitan belajar menandakan
bahwa anak tersebut mempunyai IQ rendah, terkadang kesulitan belajar hanya
disebabkan oleh tidak cukupnya pengetahuan siswa tentang cara-cara belajar.
Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari istilah bahasa inggris learning
disability. Terjemahan yang benar seharusnya adalah ketidakmampuan belajar
(learning artinya belajar, disability artinya ketidakmampuan) akan tetapi istilah
kesulitan belajar digunakan karena dirasakan lebih optimistik.
Jadi kesulitan belajar merupakan Hambatan belajar pada anak dalam
menerima atau menyerap pelajaran di sekolah yang diberikan oleh guru.
Kesulitan-Kesulitan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Matematika
Kesulitan-kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal matematika dapat
disebabkan oleh masalah karakteristik Matematika, masalah siswa, ataupun
masalah guru. (Mohammad Soleh 1998: 34-35)
1. Karakteristik Matematika
Karakteristik Matematika yaitu objeknya abstrak, konsep dan prinsipnya
berjenjang, dan prosedur pengerjaannya banyak memanipulasi bentuk-bentuk.
Siswa memerlukan waktu dan peragaan dalam menangkap konsep yang abstrak itu.
Siswa akan mengalami kesulitan dalam mempelajari konsep berikutnya, jika
konsep yang sebelumnya tidak terbentuk dengan benar.
43
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2. Masalah siswa
Setiap siswa mempunyai kecepatan belajar yang berbeda-beda dan gaya
belajar yang berbeda pula. Mereka mempunyai kecenderungan untuk membentuk
konsep sendiri yang akhirnya membentuk miskonsepsi. Selain itu, mereka juga
kurang dalam latihan mengerjakan soal-soal Matematika.
3. Masalah guru
Setiap guru mempunyai persepsi sendiri tentang Matematika, hakekat
belajar, dan mengajar. Mereka mempunyai gaya mengajar atau metode mengajar
sendiri. Selain itu, mereka juga mempunyai keterbatasan pengetahuan dan
keterampilan.
Menurut Soleh (199:34) karakteristik matematika, yaitu objeknya yang
abstrak, konsep dan prinsipnya berjenjang, dan prosedur pengerjaannya banyak
memanipulasi bentuk-bentuk ternyata menimbulkan kesulitan dalam belajar
matematika. Karakteristik tersebut merupakan bagian dari objek langsung
pembelajaran matematika, sehinggga penyebab kesulitan belajar matematika yang
dialami siswa dapat diuraikan menurut objek langsung pelajaran matematika
sebagai berikut :
1. Kesulitan belajar fakta
Fakta merupakan perjanjian atau pemufakatan yang dibuat dalam matematika,
misalnya lambang, nama, istilah, serta perjanjian. Kaitannya dengan kesulitan
belajar matematika siswa, maka siswa sering mengalami kesulitan disebabkan dari
adanya lambang-lambang atau simbol, huruf dan kata (Soleh, 199:35). Contohnya
jika dikaitkan dengan materi garis dan sudut adalah siswa kesulitan dalam
mendefinisikan arti dari simbol derajat, sudut, menit, dan detik.
2. Kesulitan belajar konsep
Konsep merupakan pengertian abstrak yang memungkinkan seseorang
menggolong-golongkan objek atau peristiwa (Soleh, 199:8). Contohnya jika
dikaitkan dengan materi garis dan sudut adalah siswa kesulitan dalam menangkap
konsep dengan benar mengenai materi garis dan balok khususnya mengenai konsep
titik, garis, dan sudut.
44
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
3. Kesulitan belajar prinsip
Prinsip yaitu pernyataan yang menyatakan berlakunya suatu hubungan antara
beberapa konsep. Pernyataan itu dapat menyatakan sifat-sifat suatu konsep, atau
hukum-hukum atau teorema atau dalil yang berlaku dalam konsep itu (Soleh,
199:8). Contohnya jika dikaitkan dengan materi garis dan sudut adalah sering sekali
siswa mengusai konsep tentang baris dan sudut, namun saat menyelesaikan soal
yang bentuknya abstrak siswa akan kesulitan dalam menyelesaikanya.
4. Kesulitan belajar keterampilan/prosedur
Keterampilan merupakan prosedur mempercepat pengerjaan, namun tetap
didasari logika yang benar (Soleh, 199:8). Contohnya saat siswa dimintakan untuk
meyelesaikan soal yang berhubungan dengan perhitungan seperti menentukan 2
putaran sama dengan berapa detik, siswa kebanyakan lupa tentang konsep gradien
dan kesulitan dalam melakukan perhitungan.
Mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa
Dalam pelaksanaan tugas pembelajaran, guru tidak hanya berkewajiban
menyajikan materi pelajaran dan mengepaluasi pekerjaan siswa, akan tetapi juga
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan bimbingan belajar. Sebagai pembimbing
belajar siswa, guru harus mengadakan pendekatan bukan saja melalui pendekatan
instruksional, akan tetapi dibarengi dengan pendekatan yang bersifat pribadi
(personal approach) dalam setiap proses belajar mengajar berlangsung. Melalui
pendekatan pribadi, guru akan secara langsung mengenal dan memahami siswa
secara lebih mendalam sehingga dapat memperoleh hasil belajar yang optimal.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap guru adalah sebagai pengajar
sekaligus berperan sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar.
Aunurrahman (2011:196) mengemukakan bahwa sebagai pembimbing dalam
proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu :
1. Memberikan informasi yang diperlukan dalam proses belajar.
2. Membantu setiap siswa dalam mengatasi setiap masalah pribadi yang
dihadapinya.
3. Mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya.
45
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
4. Memberikan setiap kesempatan yang memadai agar setiap murid dapat
belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya.
5. Mengenal dan memahami setiap setiap murid baik secara individual
maupun secara kelompok.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo.
Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada semester Genap Tahun Ajaran
2015/2016 selama kurang lebih 2 bulan terhitung mulai dari Bulan Maret 2015
sampai Mei 2015 mulai dari tahapan persiapan, pelaksanaan dan penyusunan
laporan. Berikut adalah tabel jadwal kegiatan penelitian.
Tabel 3.1
Jadwal Penelitian
Bulan
Maret
Kegiatan
3
4
April
1
Minggu Ke
2
3
Mei
4
1
2
Penyusunan Proposal
Seminar Proposal
Perbaikan Proposal
Observasi
Pelaksanaan Penelitian
Penyusunan Laporan
Pengolahan Data
Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini
yaitu deskriptif kualitatif. Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang lebih
mengarah pada pengungkapan suatu masalah atau keadaan yang sebagaimana
adanya yang mengungkapkan fakta-fakta yang ada.
46
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kehadiran Peneliti
Adapun kehadiran peneliti adalah sebagai instrumen utama yang sudah
tentu harus beradaptasi dengan kondisi yang ada di lapangan untuk kepentingan
penelitian, sehingga kehadiran peneliti dilokasi penelitian diketahui oleh objek
penelitian. Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai partisipan penuh, artinya
peneliti datang untuk mencari data guna kepentingan penelitian sehingga data yang
dikumpulkan benar-benar akurat sesuai kebutuhan peneliti.
Sumber Data
Adapun Sumber data dalam penelitian ini adalah:
1. Sumber data primer yaitu siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kota Gorontalo
yang mengalami masalah dengan soal matematika.
2. Sumber data sekunder yaitu guru-guru, terutama guru matematika di kelas
VII SMP Negeri 2 Kota Gorontalo yang di pandang dapat memberikan informasi
yang menunjang penelitian baik berupa keadaan sekolah, siswa, serta komponen
yang dapat menghambat atau menunjang pembelajaran disekolah yang menjadi
objek penelitian.
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII SMP Negeri 2 Kota
Gorontalo sejumlah 29 siswa yang terdiri dari 1 kelas. Jumlah fokus penelitian yang
berperan sebagai informan (sumber data) ini didasarkan pada teknik penarikan
sampel Arikunto (2002:112) ‘Apabila sumber data kurang dari 100, lebih baik di
ambil semua. Tetapi sumber data lebih dari 100, dapat di ambil antara 10-15 % atau
20-25 %.
Teknik Pengumpulan Data
Observasi
Menurut Nasution (Sugiyono, 2011:310) menyatakan bahwa, observasi
adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Para ilmuwan hanya dapat bekerja
berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui
observasi.
Pengamatan atau observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
observasi partisipan, yaitu peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari orang yang
sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian. Sambil
47
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang dikerjakan oleh sumber
data yaitu guru, dan ikut merasakan suka dukanya. Dengan observasi partisipan ini,
maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan sampai mengetahui pada
tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak.
Wawancara
Wawancara adalah merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar
informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna
dalam suatu topik tertentu (Sugiyono, 2011:317).
Wawancara digunakan peneliti sebagai pelengkap untuk lebih memperkuat
data yang diperoleh dari hasil penelitian. Wawancara yamg digunakan untuk
menjaring data langsung dari siswa tentang kesulitan siswa dalam menyelesaikan
soal-soal matematika pada pembelajaran matematika.
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai enam orang siswa yang
terpilih sebagai wakil dari setiap kelompok. Dimana dua orang siswa mewakili dari
kelompok siswa yang berkemampun tinggi, dua orang siswa mewakili dari
kelompok siswa yang berkemampun sedang dan dua orang siswa lainnya mewakili
dari kelompok siswa yang berkemampun rendah.
Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dalam
penelitian ini dokumen yang digunakan yaitu foto.
Pengecekan dan Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian data ini
menggunakan teknik triangulasi. peneliti menggunakan observasi partisipan,
wawancara mendalam, dan dokumentasi untuk sumber data yang sama secara
serempak.
Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini untuk menganalisis data metode yang digunakan adalah
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (Sugiyono,
2011: 337) bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif
48
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berlangsung secara terus menerus sampai tuntas. Dalam menganalisis data aktifitas
yang dilakukan yaitu :
1. Reduksi Data.
Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan pengumpulan data maka
data yang diperoleh akan direduksi. Dalam hal ini mereduksi data dengan
membuang data yang tidak relevan dengan masalah yang berkaitan dengan
penelitian, kemudian memilah-milah data serta mengklasifikasikan berdasarkan
permasalahan penelitian dalam penelitian dan akan disusun secara sistematis
dengan berpedoman pada apa yang menjadi fokus masalah.
2. Penyajian data.
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan
data. Dalam hal ini peneliti menyajikan data dalam bentuk deskriptif, yang
diuraikan pada aspek-aspek yang dinilai dan diamati selama proses pembelajaran
berlangsung.
3.
Penarikan kesimpulan
Langkah terakhir adalah melakukan penarikan kesimpulan dari berbagai
data yang telah diperoleh dan didukung. Data-data yang diperoleh pada saat
peneliti mengumpulkan data yang didukung dengan bukti-bukti yang valid, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel, artinya jika
data-data yang dikumpul didukung oleh bukti-bukti yang valid.
Tahap-Tahap Penelitian
Adapun tahap-tahap penelitian yang dilakukan peneliti sebagai berikut :
1. Tahap Pra Lapangan (Pengamatan)
a. Observasi / pengamatan dilokasi penelitian
b. Wawancara / interview
c. Memahami latar penelitian dan persiapan diri
2. Tahap Pekerjaan Lapangan
Mengumpulkan data dengan cara observasi, wawancara dan dokumentasi.
3. Melakukan Analisis Data
4. Membuat Laporan.
49
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Hasil Penelitian
Deskripsi hasil penelitian ini adalah skor yang diperoleh oleh siswa pada
masing-masing test yang diberikan sebgai berikut:
1. Soal Nomor Satu
Soal nomor satu didasarkan pada indikator fakta. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menyelesaikan dan berikan masing-masing 3 contoh simbol
derajat, simbol sudut, simbol menit, dan simbol detik dalam matematika. Skor
maksimal untuk soal nomor satu ini yaitu 8 sehingga skor total yang harus dicapai
oleh 29 orang siswa yaitu 232. Siswa yang dapat menjawab soal nomor satu ini
dengan benar 6 orang siswa atau sekitar 20,7%, yang menjawab sebagian benar ada
20 orang siswa atau sekitar 69%, dan tidak menjawab sama sekali ada 3 orang siswa
atau sekitar 10,3%.
2. Soal Nomor Dua
Soal nomor dua didasarkan pada indikator fakta. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menjelaskan pengertian dari titik, garis, dan sudut. Skor
maksimal untuk soal nomor dua ini yaitu 6 sehingga skor total yang harus dicapai
oleh 29 orang siswa yaitu 174. Siswa yang dapat menjawab soal nomor dua ini
dengan benar 8 orang siswa atau sekitar 27,6%, yang menjawab sebagian benar ada
20 orang siswa atau sekitar 69%, dan tidak menjawab sama sekali ada 1 orang siswa
atau sekitar 3,4%.
3. Soal Nomor Tiga
Soal nomor tiga didasarkan pada indikator konsep. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan garis sejajar, garis
berimpit, haris berpotongan, dan garis bersilangan. Skor maksimal untuk soal
nomor tiga ini yaitu 8 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa
yaitu 232. Siswa yang dapat menjawab soal nomor tiga ini dengan benar 4 orang
siswa atau sekitar 13,8%, yang menjawab sebagian benar ada 23 orang siswa atau
sekitar 79,3%, dan tidak menjawab sama sekali ada 2 orang siswa atau sekitar 6,9%.
4. Soal Nomor Empat
50
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Soal nomor empat didasarkan pada indikator konsep. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menjelaskan perbedaan antara sudut siku-siku, lancip dan tumpul.
Skor maksimal untuk soal nomor empat ini yaitu 6 sehingga skor total yang harus
dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 174. Siswa yang dapat menjawab soal nomor
empat ini dengan benar 1 orang siswa atau sekitar 3,4%, yang menjawab sebagian
benar ada 28 orang siswa atau sekitar 96,6%, dan yang tidak menjawab sama sekali
tidak ada
5. Soal Nomor Lima
Soal nomor lima didasarkan pada indikator operasi. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menghitung besar sudut. Skor maksimal untuk soal nomor lima
ini yaitu 4 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 116.
Siswa yang dapat menjawab soal nomor lima ini dengan benar 8 orang siswa atau
sekitar 27,6%, yang menjawab sebagian benar ada 14 orang siswa atau sekitar
48,3%, dan tidak menjawab sama sekali ada 7 orang siswa atau sekitar 24,1%.
6. Soal Nomor Enam
Soal nomor enam didasarkan pada indikator konsep. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menentukang garis yang sejajar, garis yang berpotongan, dan
garis yang bersilangan. Skor maksimal untuk soal nomor enam ini yaitu 6 sehingga
skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa yaitu 174. Siswa yang dapat
menjawab soal nomor enam ini dengan benar 7 orang siswa atau sekitar 24,1%,
yang menjawab sebagian benar ada 21 orang siswa atau sekitar 72,4%, dan tidak
menjawab sama sekali ada 1 orang siswa atau sekitar 3,4%.
7. Soal Nomor Tujuh
Soal nomor tujuh didasarkan pada indikator prinsip. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menentukan panjang sebuah garis. Skor maksimal untuk soal
nomor tujuh ini yaitu 12 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa
yaitu 348. Siswa yang dapat menjawab soal nomor tujuh ini dengan benar 5 orang
siswa atau sekitar 17,2%, yang menjawab sebagian benar ada 20 orang siswa atau
sekitar 69%, dan tidak menjawab sama sekali ada 4 orang siswa atau sekitar 13,8%.
8. Soal Nomor Delapan
51
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Soal nomor delapan didasarkan pada indikator prinsip. Dalam soal ini siswa
dimintakan untuk menentukan besar sudut. Skor maksimal untuk soal nomor
delapan ini yaitu 14 sehingga skor total yang harus dicapai oleh 29 orang siswa
yaitu 348. Siswa yang dapat menjawab soal nomor delapan ini dengan benar 3 orang
siswa atau sekitar 10,3%, yang menjawab sebagian benar ada 26 orang siswa atau
sekitar 89,7%, dan tidak menjawab sama sekali tidak ada. Untuk lebih jelasnya
disajikan tabel persentasi jawaban siswa untuk kedelapan soal.
Tabel 4.1 Persentasi Jawaban Siswa
Persentasi Jawaban
No
Soal
Benar Semua
Benar
Sebagian
Jumlah
Salah Semua
f
%
F
%
f
%
f
%
1
6
20,7%
20
69,0%
3
10,3%
29
100%
2
8
27,6%
20
69,0%
1
3,4%
29
100%
3
4
13,8%
23
79,3%
2
6,9%
29
100%
4
1
3,4%
28
96,6%
0
0,0%
29
100%
5
8
27,6%
14
48,3%
7
24,1%
29
100%
6
7
24,1%
21
72,4%
1
3,4%
29
100%
7
5
17,2%
20
69,0%
4
13,8%
29
100%
8
3
10,3%
26
89,7%
0
0,0%
29
100%
Pembahasan
Persentase capain kemampuan siswa secara keseluruan adalah 49,53%. Hal
ini menunjukan bahwa kesulitan belajar terhadap materi garis dan sudut masih
cukup tinggi meskipun ada sebagian siswa yang memperoleh skor yang tinggi.
Untuk mengukur kemampuan siswa pada setiap indikator, peneliti mengacu
pada kriteria ketuntasan minimal yaitu 75. Ini berarti rata-rata setiap indikator yang
dicapi oleh siswa dikatakan berhasil jika mencapai nilai minimal 75. Klasifikasi
kesulitan belajar siswa pada materi garis dan sudut dikelas VII-8 di SMP Negeri 2
52
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kota Gorontalo. Berdasarkan indikator kesulitan belajar siswa adalah sebagi
berikut:
a) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator fakta adalah
60,02% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator ini
adalah 39,98%.
b) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator konsep
adalah 59,1% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator
ini adalah 40,9%.\
c) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator operasi
adalah 50,13% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada indikator
ini adalah 49,87%.
d) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator prinsip
adalah 43,86% yang berarti kesulitan belajar siswa pada indikator ini adalah
56,14%.
Berdasarkan rata-rata persentase kesulitan belajar siswa pada empat indikator
kesulitan belajar siswa diatas menunjukkan bahwa hanya sebagian siswa pada kelas
VII-8 di SMP Negeri 2 Kota Gorontalo yang sudah mampu menguasai materi garis
dan sudut. Dari keempat indikator yang ada, hanya pada indikator fakta dan konsep
siswa memperoleh persentase capaian kemampuan hasil belajar adalah sebesar
60,02% dan 59,01%. Hal ini menunjukkan bahwa sudah cukup mampu mengetahui
lambang-lambang atau simbol yang akan digunakan pada soal matematika dan
memahami konsep dengan benar dalam memecahkan masalah soal matematika,
sedangkan untuk kedua indikator lainnya belum memperoleh skor yang maksimal.
Ini dapat dilihat dari perolehan persentase capaian hasil belajar siswa pada indikator
operasi hanya sebesar 50,13%, sedangkan capaian hasil belajar siswa pada indikator
prinsip hanya sebesar 43,86%.
53
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
sebelumnya, maka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan yang ada sebagai
berikut:
a. Kesulitan belajar siswa pada materi garis dan sudut kelas VII-8 di SMP
Negeri 2 Kota Gorontalo sangat bervariasi dan belum cukup maksimal.
b. Persentase capaian kesulitan belajar siswa kelas VII-8 di SMP Negeri 2 Kota
Gorontalo yang dikelompokkan menurut hasil peroleh skor adalah sebagai
berikut:
1) Indikator Fakta
Kelompok siswa berkemampuan tinggi : 14,29%
Kelompok siswa berkemampuan sedang :30,15%
Kelompok siswa berkemampuan rendah: 75,51%
2) Indikator Konsep
Kelompok siswa berkemampuan tinggi : 17,5%
Kelompok siswa berkemampuan sedang: 38,33%
Kelompok siswa berkemampuan rendah: 67,14%
3) Indikator Operasi
Kelompok siswa berkemampuan tinggi : 25%
Kelompok siswa berkemampuan sedang: 38,89%
Kelompok siswa berkemampuan rendah: 85,75%
4) Indikator Prinsip
Kelompok siswa berkemampuan tinggi: 10,42%
Kelompok siswa berkemampuan sedang: 69,91%
Kelompok siswa berkemampuan rendah: 88,1%
c. Rata-rata persentasi capaian kemampuan hasil belajar siswa kelas VII-8 di
SMP Negeri 2 Kota Gorontalo pada materi garis dan sudut menurut
indikator kesulitan belajar siswa adalah sebagai berikut:
54
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator fakta
adalah 60,02% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada
indikator ini adalah 39,98%..
2) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator konsep
adalah 59,1% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada
indikator ini adalah 40,9%.
3) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator operasi
adalah 50,13% yang berarti rata-rata kesulitan belajar siswa pada
indikator ini adalah 49,87%.
4) Rata-rata presentasi capaian hasil belajar siswa pada indikator prinsip
adalah 43,86% yang berarti kesulitan belajar siswa pada indikator ini
adalah 56,14%.
Saran
Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan sebelumnya, maka peneliti
menyampaikan beberapa saran diantaranya:
a. Untuk siswa diharapkan lebih memperdalam pelajaran matematika
khususnya materi garis dan sudut kemudian siswa diharapkan banyak
melatih dan mengerjakan soal-soal yang berkaitan dengan materi garis dan
sudut dengan banyak bertanya jika ada materi yang tidak dipahami.
b. Kepada guru matematika setelah memberikan pelajaran matematika
khususnya materi garis dan sudut agar selalu mengadakan test evaluasi
terhadap konsep dasar yang siswa miliki. Selain itu pula, pada guru mata
palajaran matematika diharapkan mampu menerapkan sebuah metode atau
strategi mengajar yang sesuia dengan tingkat kemampuan siswa, agar para
siswa bisa menerima pelajaran dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar.
Jakarta: PT Rineke Cipta
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta
Aunurrahman.2011. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta
55
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Ahmadi, Abu & Widodo S. 2004. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Rineke Cipta
Budiarto, Mega Teguh dkk. 2004. Matematika. Jakarta: Depdiknas
Mohammad, Soleh. 1998. Pengertian Kesulitan Belajar.
http://file.upi.bedu/Direktori/FIP/jur.PEND.LUARBIASA/195707121984
032-EHAN/KESULITAN BELAJAR MATEMATIKA.pdf diakses tnggal
18 April 2012.
Mukhtar & Rusmini. 2003. Pengajaran Remedial ; Teori dan Penerapannya dalam
Pembelajaran. Jakarta: Fifa Mulia Sejahtera
Nafi’an, Muhammad Ilman. 2011. Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal
Cerita Ditinjau Dari Gender Di Sekola Dasar
Russefendi ET. 2012. Hakikat Matimatika. (http://sainsmatika.blogspot.com/).
Diakses tanggal : 20 April 2013
Sugiyono.2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Syah Muhibbin. 1999. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya
Usman, Moh.Uzer dan Lilis Setiawati. 2001. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar
Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
56
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENINGKATAN KREATIVITAS DAN KEMAMPUAN
BERPIKIR KRITIS SISWA MELALUI PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MODEL PROBLEM BASED LEARNING
DI SEKOLAH DASAR
Zulfa Amrina1
1
Jurusan PMIPA FKIP Universitas Bung Hatta
[email protected]
Abstract. This study aimed at describing how the increase of creativity and critical
thinking of grade V-students at elementary school in learning Mathmatics using
Problem Based Learning is. This is action research using cyrcle. This study was
conducted at grade V of SD Negeri 10 Sungai Sapih Padang with 39 students. This
study consists of planning, implementing, observation, and reflection. The data were
colleceted using observation sheet for teacher activities, observation sheet for students
activities, test for critical thinking. The data were analyzed quantitatively and
qualitatively. Based on the research finding discovered, it can be concluded that first,
learning mathematics using Problem Based Learning (PBL) can increase students
learning careativity. This is proved that students’ creatity in cyrcle I was 50.73%,
meanwhile students’ creativity in cyrcle II was 70,95%. Two, students critical
thinking after learning mathemtics increases. This was shown that students critical
thinking in Cyrcle I was 72,55%, meanwhile students’ critical thinking in cyrcle II
was 76,77%. Related to the reasearch findings, it is suggested to teacher in order to
use PBL as one of alternative varieties in conducting mathematic instruction.
Kata kunci : Problem Based Learning, creativity, Critical Thingking.
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan mulai
jenjang pendidikan Sekolah Dasar sampai pada jenjang Perguruan Tinggi. Tujuan
pembelajaran matematika dimaksudkan untuk membekali peserta didik, dengan
kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan
bekerja sama. Sehingga dengan bekal tersebut peserta didik akan mampu bersaing
di era globalisasi dimasa yang akan datang.
Namun jika dilihat pelaksanaan pendidikan di SD, guru cendrung
menggunakan metode ceramah atau konvensional, jarang menggunakan media dan
kurang melibatkan siswa dalam pembelajaran. Berdasarkan pengamatan yang
peneliti lakukan terhadap guru yang mengajar di kelas V SD Negeri 10 Sungai
Sapih Padang terlihat bahwa guru langsung menyampaikan materi pembelajaran
57
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan menggunakan metode ceramah, materi disampaikan, kemudian berikan
contoh soal dan kemudian siswa disuruh mengerjakan soal-soal. Soal yang
dikerjakan dikumpulkan di depan, guru memeriksa hasil kerja siswa di meja guru
dan anak yang sudah mengerjakan soal dengan betul belajar selesai dan yang masih
salah disuruh memperbaiki. Setelah waktu habis siswa diberi pekerjaan rumah dan
pembelajaran
matematika
hari
itu
selesai,
tanpa
ada
kegiatan
untuk
mengkomunikasikan hasil yang dijawab siswa, tidak ada kegiatan diskusi dan tidak
ada kesempatan siswa untuk bertanya hal yang tidak dimengerti. Hal itu tidak
membawa siswa menjadi pribadi yang produktif, kreatif, inovatif dan kritis.
Pengamatan juga peneliti lakukan pada beberapa sekolah di kota Padang.
Pembelajaran yang dilakukan tidak jauh berbeda. Ada memang kadang kala siswa
yang pintar disuruh mengerjakan jawaban soal di depan kelas. Namun siswa lain
hanya menyalin, hasil pengerjakan temannya yang pintar di depan kelas.
Pembelajaran yang demikian tidak dapat mengembangkan kreativitas dan
kemampuan berpikir kritis siswa. Pembelajaran yang kurang melibatkan siswa
dalam pembelajaran mengakibatkan kemampuan berpikir siswa tidak berkembang
secara optimal. Pembelajaran yang demikian akan berdampak pada hasil belajar
siswa yang rendah. Ini dibuktikan hasil belajar matematika siswa SD Negeri 10
Sungai sapih pada ulangan tengah semester genap tahun ajaran 2014-2015 hanya
47,47% yang mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), dengan KKM 70.
Hasil belajar yang rendah akan mengakibatkan mutu pendidikan juga akan rendah.
Mengacu kepada kenyataan di atas serta tujuan pembelajaran matematika
maka perlu dicarikan solusi untuk mengatasinya. Salah satu cara adalah dengan cara
merubah cara mengajar guru. Ada banyak strategi yang dapat mengembangkan
kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa. Adapun salah satu alternatif model
pembelajaran yang dapat digunakan adalah model pembelajaran Problem Based
Learning. Menurut Wena (2013:91), model Problem Based Learning (PBL) ini
merupakan strategi pembelajaran yang menghadapkan siswa pada permasalahanpermasalahan praktis sebagai pijakan dalam belajar atau dengan kata lain siswa
belajar dengan permasalahan-permasalahan. Menurut Amrina (2014:13), Problem
based learning merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan
58
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir
kritis dan keterampilan memecahkan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan
dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Menurut Wena (2013:91), “problem
based learning adalah sebuah startegi pembelajaran dengan menghadapkan siswa
belajar melalui permasalahan-permasalahan”. Berdasarkan pendapat yang telah
dikemukakan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model problem based learning
adalah suatu rangkaian pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai bahan
untuk pembelajaran. Menurut Arends dalam Amrina (2014:16)
model
pembelajaran berbasis masalah terdiri dari 5 langkah yaitu: (1) Mengorientasikan
siswa pada masalah, (2) Mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) Membimbing
pengalaman individual/kelompok, (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil
karya, (5) Menganalisa dan mengevaluasi proses penyelsaian masalah.
Dari langkah-langkah pembelajaran PBL ini, sangat dimungkinkan untuk
mengembangkan kreativitas siswa, dalam merumuskan permasalahan, mengolah
informasi dan menganalisa proses penyelesaian masalah. Disamping itu
kemampuan berpikir kritis siswa juga akan dioptimalisasikan melalui proses
menyelesaikan
masalah,
menganalisa
dan
mengevaluasi
masalah
yang
diselesaikan.
Model PBL diplih untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir
kritis siswa. Munandar (2002 : 33) menyebutkan kreativitas sebagai kemampuan
umum untuk mencipta suatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberi
gagasan-gagasan baru yang diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai
kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang
sudah ada sebelumnya. Menurut Slameto (2010:145) kreativitas adalah hal yang
berhubungan dengan penemuan sesuatu, mengenai hal yang menghasilkan sesuatu
yang baru dengan mengunakan sesuatu yang telah ada. Kreativitas adalah
kemampuan seseorang untuk menciptakan atau menghasilkan sesuatu yang baru
dan asli, yang sebelumnya belum dikenal ataupun memecahkan masalah baru yang
dihadapi. Kreativitas merupakan kemampuan yang tidak hanya sekedar menjawab
soal matematika dengan tepat, akan tetapi merupakan suatu kemampuan untuk
menciptakan gagasan, mengenal kemungkinan alternatif, melihat kombinasi yang
59
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tak terduga, memiliki keberanian mencoba sesuatu yang tidak lazim dan
sebagainya.
Sound (dalam Slameto, 2010:147), mengungkapkan bahwa ciri-ciri
individu kreatif adalah (1) Hasrat keingintahuan yang cukup besar, (2),Bersikap
terbuka terhadap pengalaman baru, (3) Panjang akal,(4) Keingintahuan untuk
menentukan dan meneliti,(5) Cenderung lebih menyukai tugas yang berat dan sulit,
(6) Cenderung mencari jawaban yang luas dan memuaskan, (7) Memiliki dedikasi
bergairah serta aktif dalam melaksanakan tugas, (8) Berfikir fleksibel, (9)
Menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban lebih
banyak, (10) Kemampuan membuat analisis dan sintesis, (11) Memiliki semangat
bertanya seta meneliti, (12) Memiliki daya abstrak yang cukup baik, (13) Memiliki
latar belakang membaca yang cukup luas. Sedangkan Piers (dalam Ngalimun, dkk
2013:53) mengemukakan bahwa karakteristik kreatifitas sesorang adalah (1)
Memiliki dorongan (drive) yang tinggi, (2) Memiliki keterlibatan yang tinggi, (3)
Memiliki rasa ingin tahu yang besar, (4) Memiliki ketekunan yang tinggi, (5)
Cenderung tidak puas terhadap kemampuan, (6) Penuh percaya diri, (7) Memiliki
kemandirian yang tinggi, (8) Bebas dalam mengambil keputasan, (9) Menerima diri
sendiri, (10) Senang humor, (11) Memiliki intuisi yang tinggi, (12) Cenderung
tertarik kepada hal-hal yang kompleks dan (13) Toleransi terhadap ambiguitas.
Sesuai pendapat-pendapat di atas pada penelitian ini, peneliti membatasi
indikator kreativitas yang akan diteliti adalah (1) hasrat ingin tahu siswa, (2)
kecenderungan siswa mencari jawaban yang luas dan memuaskan, (3) menanggapi
pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi jawaban yang lebih banyak, (4)
keinginan untuk mengemukan dan meneliti, (5) kecenderungan siswa menyukai
tugas yang lebih berat dan sulit meningkat, (6) berpikir fleksibel, (7) kemampuan
membuat analisis dan sintesis dan (8) semangat bertanya dan meneliti.
Sedangkan kemampuan berpikir kritis menurut Susanto (2014:121) adalah suatu
kegiatan melalui cara berpikir tentang ide atau gagasan yang berhubungan dengan
konsep yang diberikan atau masalah yang dipaparkan. Dressel & Mayhew dalam
Jufri (2013:103), menyatakan bahwa: indikator-indikator berpikir kritis yang
dikembangkan oleh komite berpikir kritis (Intercollege Committee on Critical
60
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Thingking) meliputi kemampuan-kemampuan seperti: (1) merumuskan masalah
dan hipotesis, (2) menyelesaikan informasi dan data untuk menyelesaikan masalah,
(3) mengenali asumsi-asumsi, dan (4) menarik kesimpulan dan mengambil
tindakan. Selanjutnya Jufri (2013:103), menyatakan bahwa Berpikir kritis sebagai
cara berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa
yang harus diyakini dan harus dilakukan. Indikator keterampilan berpikir krtitis
menurut Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu: (1) merumuskan masalah, (2)
menganalisis argumen, (3) bertanya dan menjawab pertanyaan, (4) menilai
kredibilitas sumber informasi, (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil
observasi, (6) membuat deduksi dan menilai deduksi, (9) mendefenisikan dan
menilai
defenisi,
(10)
mengidentifikasi
asumsi,
(11) memutuskan
dan
melaksanakan, dan (12) berinteraksi dengan orang lain.
Berpatokan pada pendapat-pendapat di atas maka kemampuan berpikir kritis yang
akan diteliti pada penelitian ini adalah (1) Merumuskan masalah, (2) Menyeleksi
informasi dan data untuk menyelesaikan masalah, (3) Mengenali asumsi-asumsi
dan (4) Menarik kesimpulan.
Berdasarkan paparan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan
diteliti adalah bagaimanakah peningkatan kreativitas dan kemampuan berpikir
kritis siswa kelas V SDN 10 Sungai Sapih Padang pada pembelajaran matematika
dengan menggunakan model Problem Based Learning. Sehingga hipotesis dapat
dirumuskan (1) Kreatifitas Siswa Kelas V dalam pembelajaran Matematika
meningkat Melalui Model Problem Based Learning di SDN 10 Sungai Sapih
Padang, (2) Kemampuan berpikir kritis siswa kelas V dalam pembelajaran
Matematika meningkat Melalui Model Problem Based Learning di SDN 10 Sungai
Sapih Padang.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan bagaimana
peningkatan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa Sekolah Dasar pada
pembelajaran matematika model Problem Based Learning. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi berbagai pihak yaitu bagi siswa, agar
lebih meningkatkan hasil belajar dan pemahaman dalam pembelajaran. Bagi guru
sekolah dasar, sebagai pedoman dalam penggunaan model pembelajaran dalam
61
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
proses pembelajaran. Bagi kepala sekolah, hendaknya dapat mendorong para guru
untuk melakukan penelitian tindakan kelas dalam rangka perbaikan pembelajaran.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Lokasi
penelitian di kelas V SD Negeri 10 Sungai Sapih Padang, dengan jumlah siswa
sebanyak 39 orang. Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap, tahun
pelajaran 2014/2015. Prosedur penelitian meliputi dilaksanakan dengan metode
siklus, yang terdari dari empat komponen yaitu perancanaan (planning) berisi
tentang tujuan atau kompetensi yang harus tercapai serta perlakuan khusus yang
akan dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran; tindakan (acting) adalah
perlakuan yang dilakasanakan oleh guru berdasarkan perencananaan yang telah
disusun; pengamatan (observing) dilakukan untuk mengumpulkan informasi
tentang proses pembelajaran yang dilakukan guru dengan tindakan yang telah
disusun; dan refleksi (reflecting) aktivitas melihat berbagai kekurangan yang
dilaksanakan guru selama tindakan (Kemmis dan Taggart, 1992:3). Data penelitian
dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi aktivitas guru, lembar
observasi kreativitas siswa, dan tes kemampuan berpikir kritis siswa. Indikator
keberhasilan dalam penelitian adalah kreativitas belajar siswa yang akan dicapai
75% dan kemampuan berpikir kritis siswa kelas V SDN 10 Sungai Sapih yang akan
dicapai adalah tergolong kriteria baik > 70%. Analisis data bersifat kualitatif dan
kuantitatif. Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif dan data kualitatif dianalisis
dengan menggunakan metode yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermen (1992
: 15-20) dengan langkah-langkah (1) menelaah seluruh data yang telah
dikumpulkan, (2) mereduksi data yang didalamnya melibatkan kegiatan
pengkategorian dan pengklasifikasian dan (3)menyimpulkan dan verifikasi.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
62
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Hasil Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus
dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Masing-masing siklus diuraikan sebagai
berikut
Siklus 1
Siklus 1 dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan. Kegiatan pembelajaran
dilakukan sesuai dengan langkah-langkah PBL. Pengamatan dilakukan untuk
mengetahui kreativitas belajar siswa dan aktivitas pembelajaran yang dilaksanakan
guru di kelas. Di akhir siklus diberikan tes kemampuan berpikir kritis siswa.
Dari data yang diperoleh, pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru
belum optimal. Ada beberapa langkah pembelajaran yang tidak terlaksana. Dilihat
dari persentase pelaksanaan pembelajaran oleh guru baru mencapai 70%.
Sementara dari hasil pengamatan observer terhadap kreativitas siswa dalam
pembelajaran dapat dilihat bahwa rata-rata kreativitas siswa dalam pembelajaran
baru mencapai 50,73%. Sesuai dengan kriteria kreativitas siswa dalam
pembelajaran pada siklus I ini masih dalam kategori kurang baik sehingga belum
begitu tampak kreativitas siswa dalam belajar. Dari data kemampuan berpikir kritis
siswa pada siklus 1 baru berada pada kategori sedang yaitu 72,55%. Karena target
keberhasilan penelitian belum tercapai, maka berdasarkan hasil refleksi diputuskan
untuk melanjutkan penelitian pada siklus 2, dengan beberapa perbaikan tindakan.
Siklus 2
Siklus 2 juga dilaksanakan dalam 2 kali pertemuan. Kegiatan pembelajaran
yang dilaksanakan guru dan kreativitas siswa dalam pembelajaran diamati sesuai
lembar observasi yang telah disusun. Di akhir siklus diberikan tes kemampuan
berpikir kritis siswa. Dari lembar observasi kegiatan pembelajaran yang
dilaksanakan guru terjadi peningkatan. Semua langkah-langkah pembelajaran
sudah terlaksana, walaupun masih ada yang belum sempurna. Sehingga persentase
kegiatan pembelajan oleh guru sudah mencapai 83,3%, ini sudah meningkat
dibandingkan siklus 1. Jika dilihat data pengamatan kreativitas siswa juga sudah
meningkat, yaitu mencapai 70,95% yang termasuk kategori baik. Begitu juga jika
63
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dilihat dari kemampuan berpikir kritis siswa juga sudah mengalami peningkatan,
dan sudah berada pada kategori baik yaitu 76,77%. Peningkatan yang terjadi
memang belum terlalu tinggi. Kalau dilihat dari data pada indikator tertentu
peningkatan terjadi sangat tinggi, namun pada indikator yang lain tidak terjadi
peningkatan. Karena indikator keberhasilan sudah tercapai, maka penelitian
dihentikan. Peningkatan masing masing indikator terjadi karena dampak dari
pembelajaran matematika menggunakan model Problem Based Learning, masingmasing indikator dijelaskan sebagai berikut.
Pembahasan
Aktifitas Pembelajaran Guru
Hasil analisis data pelaksanaan pembelajaran yang dilaksanakan guru pada siklus I
dan siklus II dapat digambarkan seperti diagram berikut.
Diagram 1: Persentase Aktivitas Guru pada Siklus I dan II
Dari diagram tersebut, dapat dilihat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran
melalui model problem based learning pada siklus I sudah dikatakan cukup, dan ini
dapat dilihat dari rata-rata persentase aktivitas guru yaitu 69,99%. Sementara ratarata persentase aktivitas guru pada siklus II adalah 83,3%, sehingga pelaksanaan
pembelajaran melalui model problem based learning dapat dikatakan baik dan
mencapai target yaitu 70% serta meningkat dari siklus I.
Kreatifitas Belajar Siswa
Hasil analisis data kreatifitas belajar siswa guru pada siklus satu dan dua dapat
digambarkan seperti diagram berikut.
64
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
D
a
l
a
m
p 100
e
r n 50
s
e
0
I
= Siklus I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
= Siklus II
Diagram 2: Rata-rata Kreativitas Belajar Siswa pada Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan diagram tersebut, kategori I adalah hasrat ingin tahu siswa
meningkat sebanyak 14,7% , hal ini disebabkan bahwa guru selalu memberikan
motivasi kepada siswa agar tidak malu untuk bertanya. Kategori II adalah
kecenderungan siswa mencari jawaban yang luas dan memuaskan meningkat
sebanyak 47,06% hal ini terjadi karena siswa sudah memulai mencoba
memecahkan masalah dengan menggunakan buku berbagai sumber, dan siswa
sudah mampu saling bertukar pikiran saat kerja kelompok. Katagori ke III adalah
kreativitas menanggapi pertanyaan yang diajukan serta cenderung memberi
jawaban yang lebih banyak meningkat sebanyak 11,76%. Hal ini terjadi karena
siswa menjawab benar dan tepat. Kategori IV keinginan untuk mengemukan dan
meneliti mengalami peningkatan sebanyak 20,28% hal ini terjadi karena siswa
sudah yakin dengan jawabannya, dan siswa sudah mulai percaya diri untuk tampil.
Katagori ke V adalah kecenderungan siswa menyukai tugas yang lebih berat dan
sulit meningkat sebanyak 23,53% hal ini terjadi karena anak sudah mampu
menjawab soal-soal yang kesulitannya lebih tinggi. Ke VI adalah berpikir fleksibel
tidak mengalami peningkatan. Ke VII adalah kemampuan membuat analisis dan
sintesis meningkat menjadi 11,76%. Hal ini dikarnakan siswa sudah mampu
membuat sintesis analis dari pemecahan masalah yang benar, dan yang terakhir
adalah Ke VIII semangat bertanya dan meneliti meningkat menjadi 32,35%. Hal ini
dikarenakan anak sudah berani bertanya tentang materi dan tidak malu-malu lagi
dan anak meneliti yang ditulis temannya saat menyajikan hasil karya dengan
jawabannya sendiri.
65
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dari diagram tersebut dapat dilihat kenaikan rata-rata kreativitas dari siklus
I ke siklus II. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika melalui model problem based learning yang dilaksanakan dapat
meningkatan kreativitas belajar siswa, karena model problem based learning
merupakan model yang menyajikan masalah-masalah dalam pencapaian tujuan
belajar, sehingga siswa dituntut untuk mampu memacahkan masalah dengan
mengunakan ide-ide kreatif . Hal ini terbukti dari kenaikan rata-rata persentase
untuk masing-masing indikator keberhasilan kreativitas belajar siswa yang telah
ditetapkan.
Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Berdasarkan hasil analisis data kemampuan berpikir kritis siswa terhadap
pembelajaran Matematika selama diterapkannya model pembelajaran Problem
Based Learning, dapat digambarkan sebagai berikut.
84,37%
90,00%
74,58% 75,34%83,15%
74,02%
80,00% 74,13% 72,39%
61,66%
70,00%
60,00%
50,00%
40,00%
30,00%
20,00%
10,00%
0,00%
Indikator Indikator Indikator Indikator
1
2
3
4
Siklus I
Siklus II
Diagram 3: Grafik persentase kemampuan berpikir kritis siswa pada siklus
I dan siklus II
Dari gambar di atas terlihat peningkatan persentase yang terjadi terhadap
setiap indikator dan skor kemampuan berpikir kritis siswa, (1) pada indikator
merumuskan masalah meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar 3,45%, (2) pada
indikator menyeleksi informasi dan data untuk menyelesaikan masalah meningkat
dari siklus I ke siklus II sebesar 2,95%, (3) pada indikator mengenali asumsi-asumsi
meningkat dari siklus I ke siklus II sebesar1,22%, dan (4) pada indikator menarik
66
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kesimpulan tindakan meningkat sebesar 12,36%. Kalau diperhatikan kemampuan
berpikir kritis siswa terdapat peningkatan yang cukup tinggi pada indikator ke 4
yang mana indikator menarik kesimpulan pada siklus I sebesar 61,66% dan di siklus
II meningkat menjadi 74,02%. Pada siklus I siswa belum terlalu memahami
bagaimana cara ataupun membuat penyelesaian sebuah pertanyaan pada soal
dengan seharusnya karena, soal yang diberikan peneliti pada saat proses
pembelajaran tidak soal yang biasa dikerjakan siswa di kelas ketika guru
memberikan latihan atau pun ulangan harian. Di sini siswa mulai memahami sedikit
demi sedikit bagaimana cara penyelesaian soal dengan arahan peneliti terlebih
dahulu. Dengan demikian siswa dapat menyelesaikan dengan target yang telah
ditetapkan peneliti.
Dari hasil penelitian siklus 1 dan siklus 2 dari kedua indikator yang diamati
terjadi peningkatan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran PBL
dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis siswa dalam
pembelajaran matematika. Hal ini dapat terjadi karena sesuai dengan langkahlangkah PBL memang sangat dimungkinkan untuk mengembangkan kreativitas dan
kemampuan berpikir kritis siswa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat disimpulkan bahwa
pertama pembelajaran metematika dengan menggunakan model PBL dapat
meningkatkan kreativitas belajar siswa. Hal ini dibuktikan pada siklus I persentase
kreativitas siswa sebesar 50,73% sedangkan pada siklus II meningkat menjadi
70,95%. Kedua kemampuan berpikir kritis siswa mengalami peningkatan melalui
pembelajaran PBL, dimana rata-rata persentase kemampuan berpikir kritis siswa
pada siklus 1 sebesar 72,55% pada siklus 1 meningkat menjadi 76,77% pada siklus
2. Sehubungan dengan hasil penelitian yang diperoleh, maka disarankan kepada
guru-guru agar penggunaan model PBL dapat dijadikan salah satu alteratif variasi
dalam pelaksanaan pembelajaran.
67
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA
Amrina, Zulfa. 2014. “Peningkatan Kreativitas Siswa melalui Problem Based
Learning”, Padang: Prodi PGSD FKIP Bung Hatta.
Jufri Wahab.2013. Belajar dan Pembelajaran SAINS. Mataram : Pustaka Reka
Cipta.
Kemis, S. Dan Taggart, M.R. 1988. The Action Research Planner. Victoria : Deakin
University.
Miles, B.M. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan
Tjetjep Rohendi Rohidi) Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia.
Munandar, A.S. 1998. Penerapan Dan Pemanfaatan Kreativitas. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan.
Ngalimun, dkk. 2013. Perkembangan dan Pengembangan Kreatifitas. Agustus:
Aswaja pressindo.
Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta.
Rineka cipta.
Susanto Ahmad. 2014. Teori Belajar dan Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta:
Kencana.
Wena. Made. 2013. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta timur:
Bumi Aksara.
68
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KOMPETENSI KOGNITIF SISWA YANG DIAJAR DENGAN
MODEL PEMBELAJARAN DIRECT INSTUCTION
BERBANTUAN SOFTWARE MATHEMATICA® DALAM
PEMBELAJARAN MATERI
VOLUM BENDA PUTAR
James U.L. Mangobi
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pencapaian kompetensi
kognitif siswa yang diajar dengan menggunakan Software Mathematica yang
mengikuti pola Model Pembelajaran Direct Instruction. Penelitian ini menggunakan
metode eksperimen terhadap siswa kelas XII MIA SMA Negeri 3 Manado, Kota
Manado, Provinsi Sulawesi Utara, pada bulan Juli hingga September 2014. Polulasi
dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XII MIA SMA Negeri 3 Manado terdiri
dari 4 kelas pararel, yang terdaftar pada Tahun Ajaran 2014/2015. Sampel adalah kelas
XII MIPA 4 yang diambil secara acak kelompok (cluster random) sejumlah 30 siswa.
Untuk mengetahui hasil belajar siswa pada pembelajaran materi integral khususnya
volum benda putar diberikan tes akhir (postest). Secara umum, hasil penelitian
menunjukkan bahwa hasil belajar siswa terbilang baik. Hasil pengujian hipotesis
menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran direct instruction dengan bantuan software mathematica lebih
daripada nilai kriteria ketuntasan minimal.
Kata Kunci: model pembelajaran, direct instruction, software mathematica, volum
benda putar
PENDAHULUAN
Dalam dunia pendidikan, matematika merupakan mata pelajaran yang
dianggap sulit dipelajari oleh siswa. Hal ini terungkap pada saat penulis melakukan
observasi awal di beberapa sekolah termasuk di SMAN 3 Manado yang merupakan
tempat pelaksanaan penelitian. Hasil observasi awal tersebut menunjukkan bahwa
hasil belajar siswa terbilang rendah khususnya pada materi Volum Benda Putar jika
dilihat dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Tabel 1 berikut menunjukkan
hasil belajar siswa kelas XII MIA SMAN 3 Manado tahun terakhir untuk materi
Integral dan khususnya Volum Benda Putar.
Tabel 1. Rataan Hasil Belajar Siswa
Materi
Rataan Hasil Belajar
Integral
65,17
-. Volum Benda Putar
64,58
(Sumber: Data Guru Matematika SMAN 3 Manado Tahun 2013)
KKM
70
70
69
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Rendahnya hasil belajar siswa ini disebabkan karena beberapa faktor yang
muncul selama proses pembelajaran di kelas. Faktor-faktor tersebut secara umum
digolongkan dalam dua bagian, yakni faktor guru dan faktor siswa. Faktor guru,
berdasarkan hasil observasi awal, antara lain meliputi kesesuaian model
pembelajaran dan media yang digunakan dengan materi pembelajaran. Sedangkan
faktor siswa meliputi faktor internal dan faktor eksternal diri siswa tersebut dan
biasanya timbul karena akibat dari faktor guru.
Dalam pembelajaran materi Integral khususnya Volum Benda Putar, sebagian
besar guru yang menggunakan model pembelajaran direct instruction tidak
menggunakan media pembelajaran, dan kalaupun menggunakan media, hanya
berupa alat peraga yang sifatnya statis sehingga kurang menarik perhatian siswa.
Guru kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan
tentang apa yang mereka pelajari. Selain itu, guru kurang memberdayakan siswa yang
memiliki kemampuan lebih baik dibandingkan teman-teman sekelasnya untuk
membantu memahami materi yang diajarkan. Faktor siswa yang sering muncul ialah
sebagian besar siswa kurang berani dalam mengajukan pertanyaan tentang masalah
yang mereka temukan dalam proses pembelajaran. Selain itu, para siswa belum
memanfaatkan suasana belajar secara berkelompok dalam memecahkan masalah
yang diberikan guru selama proses pembelajaran.
Mengatasi permasalahan di atas, perlu diadakan perbaikan-perbaikan dalam
proses pembelajaran. Perbaikan yang dimaksud adalah perbaikan di pihak guru dan
di pihak siswa melalui pemilihan model dan media pembelajaran yang tepat. Salah
satu model pembelajaran yang diduga mampu mengatasi masalah tersebut adalah
Model Pembelajaran Direct Instruction. Model pembelajaran ini merupakan salah
satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar
yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang
terstruktur dengan baik. Guru akan lebih mudah menerapkan model ini apabila
dibantu oleh media pembelajaran yang sesuai seperti media komputer yang bersifat
interaktif (Anonymous (2015); Matindas (2006); Suprijono (2009)).
Kata media berasal dari bahasa Latin, medius, yang secara harafiah berarti
tengah, perantara atau pengantar. Gerlach dan Ely mengatakan bahwa media
70
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi atau kejadian yang
membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan,
keterampilan atau sikap (Arsyad, 2011). Dalam pengertian ini, guru, buku teks,
komputer dan lingkungan sekolah merupakan media. AECT (Association of
Education and Communication Technologi) memberi batasan tentang media
sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau
informasi (Arsyad, 2011).
Dewasa ini komputer memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam bidang
pendidikan dan latihan. Komputer berperan sebagai menejer dalam proses
pembelajaran yang dikenal dengan nama Computer Manager Instruction (CMI).
Selain itu, peran komputer sebagai pembantu tambahan dalam belajar;
pemanfaatannya meliputi penyajian informasi isi materi pembelajaran, latihan, atau
kedua-duanya. Modus ini dikenal sebagai Computer-Assisted Instruction (CAI).
Kenyataan menunjukkan bahwa komputer dapat membantu proses
pembelajaran. Menurut Glass (Matindas, 2006) menyebutkan bahwa komputer
dapat melakukan sejumlah kegiatan untuk membantu guru. Komputer dapat
mengindividualisir pengajaran, mengadakan manajemen pengajaran, mengajarkan
konsep, melaksanakan perhitungan dan menstimulir belajar siswa. Dalam belajar
matematika, komputer pun dapat betul-betul dimanfaatkan, karena sebagai mesin,
komputer dapat diberi masukan (input), sehingga dapat melakukan sesuatu kegiatan
dan memberikan respons/hasil (output).
Beberapa
keuntungan
dalam
mendayagunakan
komputer
dalam
pembelajaran, yaitu: (a) membangkitkan motivasi kepada peserta didik dalam
belajar, (b) warna, musik, dan grafis animasi dapat menambahkan kesan realisme,
(c) menghasilkan penguatan yang tinggi, (d) kemampuan memori memungkinkan
penampilan peserta didik yang telah lampau direkam dan dipakai dalam
merencanakan langkah-langkah selanjut-nya di kemudian hari, (e) berguna sekali
untuk peserta didik yang lamban, (f) kemampuan daya rekamnya memungkinkan
pengajaran individual bisa dilaksanakan, dan (g) rentang pengawasan guru
diperlebar sejalan dengan banyaknya informasi yang disajikan dengan mudah, dan
membantu pengawasan lebih dekat kepada kontak langsung dengan para siswa.
71
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Komputer dapat digunakan sebagai alat mengajar utama untuk memberi
penguatan belajar awal, merangsang dan memotivasi belajar, atau untuk berbagai
jenis kemungkinan lainnya. Banyak manfaat yang diperoleh dari fleksibilitas
komputer ini, karena dapat memasukan video, audio, elemen-elemen grafis, bentukbentuk, proses, peran dan tanggung jawab lainnya. Salah satu software komputer
yang bersifat interaktif adalah Wolfram Mathematica®. Software ini dirancang
khusus untuk melakukan perhitungan matematik. Selain mudah digunakan dan
memberikan hasil yang akurat, juga dapat membuat gambar atau objek di layar
monitor tidak statis, sehingga memungkinkan guru atau siswa dapat lebih menggali
pengetahuannya tentang objek yang diamati.
Wolfram Mathematica merupakan software aplikasi buatan Wolfram
Research dari tahun 1988 hingga sekarang, yang handal dengan fasilitas terintegrasi
lengkap untuk menyelesaikan beragam masalah matematika. Software ini
merupakan sistem aljabar komputer dengan mengintegrasikan fasilitas: (a)
komputasi matematik, (b) visualisasi grafik, (c) bahasa pemrograman, (d) pengolah
kata, dan (e) mathlink untuk komunikasi dengan sistem lain (Torrence, B.F. dan
Torrence E,A. 2009; Ramsden, P dan Kent, P. 1999).
Komputasi matematika pada dasarnya dapat diklasifikasikan dalam tiga kelas
utama, yaitu komputasi numerik, komputasi simbolik dan visualisasi grafik.
Mathematica menyediakan fasilitas lengkap untuk melaksanakan semua komputasi
matematika tersebut dalam suatu lingkungan kerja yang terintegrasi. Kemampuan
dan keunggulan Mathematica di antaranya ialah selain mampu melakukan seluruh
perhitungan aljabar, kalkulus, matematika diskrit, matematika teknik dan statistika
dengan mudah dan ringkas, juga mampu menggambarkan beragam jenis grafik
dimensi-dua dan dimensi-tiga yang dapat bergerak sesuai ukuran yang diinginkan
(Ardana Kutha, N.K, 2002).
Berdasarkan uraian di atas, penulis perlu mengkombinasikan model direct
instruction dengan bantuan software mathematica. Tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pencapaian kompetensi kognitif
siswa yang diajar dengan menggunakan software mathematica yang mengikuti pola
model direct instruction dalam pembelajaran materi volum benda putar.
72
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 3 Manado, Kota Manado, Provinsi
Sulawesi Utara, pada bulan Juli hingga September 2014. Polulasi dalam penelitian
ini adalah seluruh siswa kelas XII MIA SMA Negeri 3 Manado terdiri dari 4 kelas
pararel, yang terdaftar pada Tahun Ajaran 2014/2015. Sampel adalah siswa kelas
XII MIA 4 yang diambil secara acak kelompok (cluster random) sejumlah 30 siswa.
Variabel dalam penelitian ini ialah hasil belajar siswa setelah diberikan perlakuan.
Rancangan penelitian menggunakan pola One-shot Case Study (Sugiyono, 2010,
Sugiyono, 2012; Sukardi 2003) sebagai berikut:
Tabel 2. Rancangan Penelitian
Kelas
Eksperimen
(Sumber: Sugiyono, 2012)
Perlakuan
Posttest
Keterangan :
: Perlakuan dengan menggunakan model direct instruction berbantuan software
Mathematica.
: Hasil posttest kelas eksperimen
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen
dengan prosedur sebagai berikut:
1.
Persiapan
a. Membuat perangkat pembelajaran
b. Memvalidasi perangkat pembelajaran
2.
Pelaksanaan
a. Melaksanakan
pembelajaran
dengan
langkah-langkah
pelaksanaan
ditunjukkan oleh Tabel 3 berikut. Langkah-langkah dalam Tabel 3 ini
didasarkan pada sintaks yang ada pada Tabel 4.
b. Memberikan posttest.
3.
Analisis Data
4.
Penyusunan Laporan
73
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 3. Langkah-langkah Pelaksanaan Pembelajaran
Fase
1.
Kelas Eksperimen
Menyampaikan
tujuan dan
mempersiapkan
siswa
2.
Mendemonstrasikan
pengetahuan dan
keterampilan
3.
Membimbing
pelatihan
4.
Mengecek
pemahaman dan
memberikan umpan
balik
5.
Memberikan
kesempatan untuk
pelatihan lanjutan
dan penerapan
Guru menjelaskan
TPK, informasi
latar belakang
pelajaran,
pentingnya
pelajaran,
mempersiapkan
siswa untuk belajar.
Guru
mendemonstarsikan
keterampilan
dengan benar, atau
menyajikan
informasi tahap
demi tahap dengan
meng-gunakan
menggunakan
model
pembelajaran direct
instruction
berbantuan
software
Mathematica.
Guru
merencanakan dan
memberi
bimbingan
pelatihan awal
Mengecek apakah
siswa telah berhasil
melakukan tugas
dengan baik,
memberi umpan
balik.
Guru
mempersiapkan
kesempatan
melakukan
penelitian lanjutan,
dengan perhatian
khusus pada
penerapan kepada
situasi lebih
kompleks dan
kehidupan sehari–
hari
Kelas Kontrol
Menyampaikan
tujuan dan
mempersiapkan
siswa
Guru menjelaskan
TPK, informasi latar
belakang pelajaran,
pentingnya pelajaran,
mempersiapkan
siswa untuk belajar.
Mendemonstrasikan
pengetahuan dan
keterampilan
Guru
mendemonstarsikan
keterampilan dengan
benar, atau
menyajikan informasi
tahap demi tahap
dengan menggunakan
model pembelajaran
direct instruction
tanpa bantuan
software
Mathematica.
Membimbing
pelatihan
Guru merencanakan
dan memberi
bimbingan
pelatihan awal
Mengecek
pemahaman dan
memberikan umpan
balik
Mengecek apakah
siswa telah berhasil
melakukan tugas
dengan baik,
memberi umpan
balik.
Guru mempersiapkan
kesempatan
melakukan penelitian
lanjutan, dengan
perhatian khusus
pada penerapan
kepada situasi lebih
kompleks dan
kehidupan sehari–
hari
Memberikan
kesempatan untuk
pelatihan lanjutan
dan penerapan
74
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 4. Sintaks Model Direct Instruction Berbantuan Software Mathematica
Fase
1. Menyampaikan tujuan dan
mempersiapkan siswa
2.
Mendemonstrasikan pengetahuan
dan keterampilan
3.
Membimbing pelatihan
Mengecek pemahaman dan
memberikan umpan balik
5. Memberikan kesempatan untuk
pelatihan lanjutan dan penerapan
4.
Peran Guru
Guru menjelaskan TPK, informasi latar belakang
pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa
untuk belajar.
Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar,
atau menyajikan informasi tahap demi tahap dengan
menggunakan software Mathematica..
Guru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan
awal
Mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas
dengan baik, memberi umpan balik.
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan
penelitian lanjutan, dengan perhatian khusus pada
penerapan kepada situasi lebih kompleks dan
kehidupan sehari-hari
(Sumber: Trianto, 2007)
Instrumen dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP) yang disusun berdasarkan model direct instruction berbantuan software
mathematica dan tes bentuk pilihan berganda serta uraian (essay) untuk
mendapatkan data capaian kompetensi kognitif siswa. Instrumen tes telah valid dan
reliabel melalui serangkaian uji coba di beberapa sekolah sederajat kecuali di
SMAN 3 Manado. Pengolahan data menggunakan paket program MINITAB pada
komputer. Analisis statistik yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah
statistik uji-t satu kelompok dengan syarat bahwa data menyebar normal
~ ( ,
) . Jika data tidak menyebar normal maka pengujian menggunakan
statistik uji nonparametrik (Walpole, 1995).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari sampel penelitian,
yaitu siswa kelas XII MIA 4 yang berjumlah 30 siswa. Data berupa skor tes hasil
belajar siswa (posttest) untuk materi integral khususnya volum benda putar pada
mata pelajaran matematika. Tabel 5 berikut menyajikan Descriptive Statistics skor
hasil belajar siswa sebagai gambaran kompetensi kognitif siswa pada materi volum
benda putar.
75
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 5. Descriptive Statistics Skor Hasil Belajar Siswa
No. Statistik
1.
Jumlah Datum (N)
2.
Skor Minimum
3.
Skor Maksimum
4.
Jumlah Skor
5.
Rataan Hitung
6.
Standar Deviasi
7
Varians
(Sumber: Hasil olahan Minitab)
Skor Kelas Eksperimen
30
65,00
100,00
2410,00
80,33
9,91
98,16
Gambar 1 berikut menampilkan printout uji normalitas data dengan uji
Kolmogorov-Smirnov sebagai uji prasyarat pada taraf signifikansi
= 0.05
dengan hipotesis statistik:
: ~ ( ,
:
) data skor hasil belajar siswa berdistribusi normal
( ,
≁
) data skor hasil belajar siswa tidak berdistribusi normal
Kriteria yang digunakan untuk menentukan normal atau tidaknya data adalah jika
− value ≥ , maka tolak
untuk menolak
− value < , maka tidak cukup bukti
atau jika
.
Kolmogorov-Smirnov Normality Test
Normal
99
Mean
StDev
N
KS
P-Value
95
90
80.33
9.908
30
0.118
>0.150
Percent
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
60
70
80
90
100
110
X
Gambar 1. Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov-Smirnov Normality Test
Berdasarkan Gambar 1, terlihat bahwa p-value > 0,150 dan nilai ini lebih dari
taraf signifikansi
= 0.05, sehingga diputuskan bahwa tidak cukup bukti untuk
76
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menolak
, artinya bahwa data skor hasil belajar siswa berdistribusi normal.
Karena itu, hipotesis yang dirumuskan diuji dengan menggunakan statistik uji-t satu
kelompok dapat dilanjutkan.
Tabel 6 berikut menampilkan printout uji hipotesis dengan statistik uji-t satu
kelompok pada taraf signifikansi
:
= 70
:
> 70
yang mana
= 0.05 dengan hipotesis statistik:
adalah rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan
model pembelajaran direct instruction berbantuan software mathematica dan 70
adalah KKM yang ditetapkan sekolah. Kriteria yang digunakan adalah jika p-value
≥ , maka tolak
atau jika p-value < , maka tidak cukup bukti untuk menolak
.
Tabel 6. Perhitungan Uji Hipotesis Menggunakan Statistik Uji-t Satu Kelompok
Variabel
N
Rataan
30
80,33
(Sumber: Hasil olahan Minitab)
=
St. Deviasi
9,91
1,699
Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa
bahwa tolak
pada taraf signifikansi
p-value
,
>
5,71
0,000
0,05
, sehingga diputuskan
= 0,05. Begitu juga jika dilihat dari nilai-
p, terlihat bahwa p-value kurang dari taraf signifikansi, sehingga diputuskan tolak
. Hal ini berarti bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan
menggunakan model direct instruction berbantuan software mathematica lebih dari
KKM yang ditetapkan sekolah pada pembelajaran materi volum benda putar.
Pembahasan
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembelajaran materi volum benda putar
dengan menggunakan model pembelajaran direct instruction berbantuan software
mathematica yang dilaksanakan di SMAN 3 Manado dapat menghadirkan suasana
belajar yang menyenangkan. Akibatnya, terjadi peningkatan hasil belajar siswa
hingga melebihi KKM yang ditentukan sekolah sehingga kompetensi kognitif siswa
77
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tercapai. Hal ini ditunjukkan oleh rata-rata hasil belajar siswa pada kelas XII PIA 4
sebesar 80,33 yang tahun sebelumnya hanya sebebesar 64,58. Rataan tersebut jika
dihubungkan dengan skor minimum dan maksimum, maka terlihat bahwa masih
ada siswa yang belum mencapai KKM. Dari data yang menyusun Tabel 5 di atas,
diketahui 13,33% siswa yang belum mencapai KKM dan 86,67% siswa lainnya
telah mencapai KKM.
Pencapaian kompetensi kognitif siswa akibat penggunaan software
mathematica yang mengikuti pola model pembelajaran direct instruction pada
pembelajaran materi volum benda putar, sejalan dengan pendapat beberapa ahli
yang menyebutkan beberapa keuntungan dalam mendayagunakan komputer dalam
pembelajaran, antara lain: membangkitkan motivasi peserta didik dalam belajar;
animasi dapat menambahkan kesan realisme; menghasilkan penguatan yang tinggi;
berguna untuk peserta didik dengan kemampuan berpikir yang lamban, dan
sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan software mathematica pada
pembelajaran materi volum benda putar cukup bermanfaat. Uji hipotesis juga
menunjukkan hal itu.
Keputusan pengujian hipotesis yang menyebutkan bahwa rata-rata hasil
belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran direct
instruction berbantuan software mathematica lebih dari KKM yang ditetapkan
sekolah pada pembelajaran materi volum benda putar, mengisyaratkan kepada kita
betapa pentingnya penggunaan komputer sebagai media animasi dalam
pembelajaran matematika yang sering dianggap abstrak. Penggunaan media
animasi sebagaimana yang dilakukan oleh software mathematica dalam
pembelajaran materi volum benda putar dapat membantu siswa lebih memahami
apa yang ia pelajari. Selain itu, tugas guru menjelaskan materi akan lebih mudah.
Penggunaan media animasi menggunakan komputer dalam pembelajaran,
bukan hanya terbatas pada materi seperti dalam penelitian ini, tetapi bisa juga dalam
pembelajaran materi lain yang memerlukan gambar dalam memahaminya. Dalam
penelitian ini, contoh media yang digunakan dalam pembelajaran materi volum
benda putar ditunjukkan oleh Gambar 2 dan Gambar 3.
78
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2. Contoh Media Animasi dengan Software Mathematica Pembelajaran
Materi Volum Benda Putar dengan Metode Cakram.
Gambar 3. Contoh Media Animasi dengan Software Mathematica Pembelajaran
Materi Volum Benda Putar dengan Metode Cincin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan
bahwa rata-rata hasil belajar siswa yang diajar dengan menggunakan model
pembelajaran direct instruction berbantuan software mathematica lebih dari KKM
yang ditetapkan sekolah pada pembelajaran materi volum benda putar.
Saran
Berangkat dari kesimpulan di atas, maka instansi yang terkait dengan
pengembangan pendidikan supaya menjadikan metode mengajar menggunakan
79
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
media pembelajaran seperti Software Mathematica sebagai salah satu upaya dalam
meningkatkan kualitas pendidikan sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. 2014.
Direct Instruction. https://en.wikipedia.org/wiki/Direct_instruction.
[25 Juli 2014]
Ardana Kutha, N.K. 2002. Panduan Penggunaan Mathematica. Pelatihan
Pemodelan Mathematika Pengem-bangan dan Implementasinya dalam
Komputer. Buku I – II. Jurusan Matematika Fakultas MIPA – IPB Bogor.
Arikunto, S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arsyad, A. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Matindas, H. 2006. Pemanfaatan Bahan Ajar Berbantuan Komputer dalam
Pembelajaran Matematika Pokok Bahasan Kubus dan Balok. Skripsi. Unima
Ramsden, P. dan Kent, P. 1999. An Introduction to Mathematica. The Metric
Project. Mathematics Department. UK: Imperial College of Science,
Technology and Medicine. http://metric.ma.ic.ac.uk/mathematica
Shodigiqin, A. 2011. Pembelajaran Matematika dengan Bantuan Sofware
Mathematica. Skripsi. IKIP PGRI Semarang.
Shodigiqin, A dan Fakhrudin. 2011. Pembelajaran Matematika dengan Bantuan
Sofware Mathematica untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematik
Mahasiswa Calon Guru Matematika. Semarang: IKIP PGRI Semarang.
Sudjana, Nana. 2005. Cara Belajar Siswa Aktif dalam Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta
------------. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:
Alfabeta.
Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
JICA UPI.
Suprijono, A. 2009. Cooperative Learning. Jakarta: Pustaka Pelajar.
Torrence, B.F. dan Torrence, E.A. 2009. The Student’s Introduction to
Mathematica®. 2nd ed. New York: Cambridge University Press.
Trianto, 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Walpole, E. Ronald. 1995. Pengantar Statistika. Jakarta: PT. Gramedia.
80
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ANALISIS PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA BERBASIS KURIKULUM 2013
DI SMP KOTA PEKANBARU
Atma Murni
Pendidikan Matematika FKIP Universitas Riau, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
pelaksanaan proses pembelajaran matematika berbasis Kurikulum 2013 di SMP Kota
Pekanbaru. Data diperoleh melalui observasi, rekaman video, dan wawancara terkait
dengan kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, kegiatan penutup, penggunaan media,
dan penilaian yang dilakukan dalam pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran
menunjukkan bahwa guru belum menggunakan strategi, model, pendekatan, metode,
media, dan penilaian yang tepat sebagaimana tuntutan Kurikulum 2013. Pendekatan
saintifik belum terlaksana secara tepat dan cermat. Media pembelajaran sangat kurang
sehingga pembelajaran kurang berjalan secara efektif dan efisien. Pelaksanaan
penilaian kognitif, psikomotor, dan afektif yang dilakukan belum terintegrasi dan
komprehensif.
Kata kunci: pembelajaran matematika, kurikulum 2013, pendekatan saintifik.
PENDAHULUAN
Kurikulum 2013 merupakan langkah lanjutan pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi yang telah dirintis pada tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 yang mencakup kompetensi sikap,
pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu. Kurikulum ini mulai diberlakukan
pada tahun pelajaran 2013/2014 secara terbatas pada beberapa sekolah. Untuk
tingkat SMP di Kota Pekanbaru telah dilaksanakan pada enam sekolah yang terdiri
dari tiga SMP negeri dan tiga SMP swasta.
Implementasi Kurikulum 2013 di SMP didukung beberapa Permendikbud,
diantaranya berkaitan dengan: (1) Standar Kompetensi Lulusan (Permendikbud No.
54 Tahun 2013); (2) Standar Isi (Permendikbud No. 64 Tahun 2013); (3) Standar
Proses (Permendikbud No.65 Tahun 2013); (4) Standar Penilaian (Permendikbud
No. 66 Tahun 2013); dan (5) Implementasi Kurikulum 2013 (Permendikbud 81A
Tahun 2013). Berdasarkan Permendikbud tahun 2013 ini, dikemas dan ditetapkan
lagi Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Menengah
Pertama, Permendikbud No. 103 tentang pembelajaran dan Permendikbud No. 104
81
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tentang penilaian. Pada Kurikulum 2013 pemerintah menyiapkan silabus, buku teks
pelajaran (buku peserta didik), dan buku panduan guru. Dengan adanya silabus dan
buku teks pelajaran yang telah disediakan secara nasional, guru dituntut untuk dapat
mengemas persiapan dan pelaksanaan pembelajaran dengan cermat.
Pembelajaran dilaksanakan berbasis aktivitas dengan karakteristik: (1)
interaktif dan inspiratif; (2) menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif; (3) kontekstual dan kolaboratif; (4) memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian peserta didik; dan (5)
sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan pengembangan fisik serta psikologis
peserta didik. Pembelajaran menggunakan pendekatan, strategi, model, dan metode
yang mengacu pada karakteristik pembelajaran. (Permendikbud No. 103 Tahun
2014).
Pada tahun pelajaran 2013/2014 ditetapkan enam SMP di Kota Pekanbaru
untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013. Pada tahun 2014/2015 dianjurkan
semua SMP, tetapi hanya berlangsung satu semester saja dan diminta kembali ke
KTSP. Akhirnya pada tahun 2014/2015 SMP yang tetap mengimplementasikan
Kurikulum 2013 adalah enam SMP yang ditetapkan Dinas Pendidikan Kota
Pekanbaru sejak tahun pelajaran 2013/2014. Situasi dan kondisi penerapan
kurikulum yang belum stabil menjadikan pihak sekolah merasa bingung dalam
menjalankan proses pembelajaran. Enam sekolah yang ditetapkan juga kurang
percaya diri dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Sekolah dituntut
menyelenggarakan secara mandiri tanpa pendampingan yang diprogramkan dengan
jelas dan buku peserta didik kelas VIII juga tidak dimiliki sekolah. Untuk itu
dipandang perlu melakukan penelitian dalam rangka mengamati secara cermat,
mendeskripsikan, dan menganalisis pelaksanaan pembelajaran khususnya pada
pembelajaran matematika berbasis Kurikulum 2013. Aspek pelaksanaan
pembelajaran yang diamati, dideskripsikan, dan dianalisis terkait dengan kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup disertai penggunaan media dan
penilaian yang dilakukan dalam proses pembelajaran matematika.
METODE PENELITIAN
82
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian pengembangan (research and
development) yang sedang dilakukan pada tahun 2015 yaitu dalam rangka
pengembangan perangkat pembelajaran matematika berrbasis Kurikulum 2013
sebagai upaya peningkatan mutu proses dan hasil belajar matematika peserta didik
di SMP. Penelitian ini merupakan fase pertama dari rangkaian empat fase penelitian
pengembangan yaitu fase define yang menuntut melakukan analisis kebutuhan
untuk keperluan pengembangan. Salah satu kegiatan analisis kebutuhan adalah
mengobservasi, mendeskripsikan, dan menganalisis pelaksanaan pembelajaran
matematika berbasis Kurikulum 2013. Penelitian dilakukan pada enam sekolah
sasaran penerapan Kurikulum 2013 yaitu SMPN 1 Pekanbaru, SMPN 6 Pekanbaru,
SMPN 23 Pekanbaru, SMP Babussalam, SMP Al Izhar, dan SMP Cendana. Subjek
penelitian (responden) adalah guru-guru matematika yang mengajar di kelas VII
dan kelas VIII pada SMP sasaran penerapan Kurikulum 2013 sebanyak 11 orang.
Data dikumpulkan menggunakan handy cam, lembar pengamatan dan
wawancara. Lembar pengamatan dan pedoman wawancara memuat indikator
terkait dengan: (1) kegiatan pendahuluan (apersepsi dan motivasi (Pd1),
penyampaian kompetensi dan rencana kegiatan (Pd2)); (2) kegiatan inti
(penguasaan materi pembelajaran (I1), penerapan strategi pembelajaran yang
mendidik (I2), penerapan pendekatan saintifik (I3), pemanfaatan sumber
belajar/media dalam pembelajaran (I4), pelibatan peserta didik dalam pembelajaran
(I5), penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam pembelajaran (I6)); dan (3)
kegiatan penutup dalam pembelajaran (melakukan refleksi atau membuat
rangkuman (P1), memberikan tes tertulis atau lisan (P2), mengumpulkan hasil kerja
sebagai portofolio (P3), dan melaksanakan tindak lanjut (P4)). Dari 12 indikator
(aspek pengamatan) dijabarkan menjadi 40 pernyataan dan setiap pernyataan
memiliki empat pilihan jawaban yaitu selalu, sering, kadang-kadang, dan tidak
pernah dengan skor berturut-turut 4, 3, 2, dan 1.
Nilai (N) responden pada setiap aspek pengamatan dihitung menggunakan
rumus berikut.
=
× 100
83
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dari nilai yang diperoleh ditentukan peringkat responden menggunakan
ketentuan yang dinyatakan pada Tabel 1 berikut.
Tabel 1. Peringkat Nilai Pengamatan
Peringkat
Nilai
Amat Baik ( A)
90 < N ≤ 100
Baik (B)
75 < N ≤ 90
Cukup (C)
60 < N ≤ 75
Kurang (K)
N ≤ 60
Dari peringkat responden pada setiap aspek pengamatan dilakukan
perhitungan tentang persentase responden pada setiap peringkat.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika di SMP
sasaran Kurikulum 2013 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil Pengamatan Pelaksanaan Pembelajaran Matematika Berbasis
Kurikulum 2013
Persentase Responden pada Kegiatan Pembelajaran
Peringkat
Amat
Baik
Baik
Cukup
Kurang
Kegiatan
Kegiatan Inti
Pendahuluan
Pd1
Pd2
I1
I2
I3
9
0,09
0
0
0
0
0
0
18,18
9,09
36
54,5
100
81,82
55
36,4
0
0
I4
Kegiatan Penutup
I5
I6
P1
P2
P3
P4
0
0
9,09
0
0
0
18,18
18,18
18,2
0
0
0
0
54,5
54,55
63,64
81,8
45,5
0
0
0
36,4
27,27
18,18
0
45,5
100
100
100
0
Dari Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan guru dalam
pembelajaran dominan berada pada peringkat cukup dan kurang. Hal ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika yang dilakukan guru
belum sesuai dengan tuntutan implementasi Kurikulum 2013. Pelaksanaan
84
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran matematika berdasarkan tuntutan Kurikulum 2013 diharapkan
menggunakan pendekatan dan strategi pembelajaran yang memicu peserta didik
agar aktif berperan dalam proses pembelajaran dan membimbing peserta didik
dalam pengajuan masalah (problem posing) dan pemecahan masalah (problem
solving). Pada tahap akhir diharapkan pembelajaran matematika dapat membentuk
sikap-sikap positif peserta didik seperti kedisiplinan, tanggung jawab, toleransi,
kerja keras, kejujuran, dan menghargai perbedaan. Selanjutnya di kemudian hari
dapat terbentuk pola berpikir
dan bertindak ilmiah yang merupakan suatu
kebiasaan (Permendikbud No. 58 Tahun 2014).
Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika pada
Tabel 2 menyatakan bahwa aktivitas yang dilakukan guru dalam pembelajaran
matematika masih berada pada peringkat cukup dan kurang. Hal ini disebabkan
guru merasa keberatan dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan
perangkat pembelajaran dengan cermat sehingga berdampak pada pelaksanaan
pembelajaran. Selain itu kebiasaan guru menerapkan strategi, model, pendekatan,
metode, media, dan penilaian sesuai tuntutan Kurikulum 2013 masih relatif rendah.
Pelaksanaan pembelajaran meliputi kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan
kegiatan penutup. Setiap tahap kegiatan memiliki aktivitas yang telah dirumuskan
dalam standar proses dan menuntut guru untuk melakukannya secara cermat dan
disiplin sehingga berdampak pada keterlibatan dan kreativitas peserta didik dalam
pembelajaran matematika.
Pada kegiatan pendahuluan ada beberapa aktivitas yang harus dilakukan.
Pada penelitian ini dikelompokkan menjadi dua komponen, yaitu: (1) guru
melakukan apersepsi dan memberikan motivasi; dan (2) guru menjelaskan
kompetensi dan rencana kegiatan.
Komponen pertama, guru melakukan apersepsi dan memberikan motivasi.
Aktivitas yang termasuk pada komponen pertama ini meliputi: (1) mengaitkan
materi pembelajaran sekarang dengan pengalaman peserta didik atau pembelajaran
sebelumnya; (2) mengajukan pertanyaan menantang; (3) menyampaikan manfaat
materi pembelajaran; dan (4) mendemonstrasikan sesuatu yang terkait dengan
materi pembelajaran. Ketika dilakukan pengamatan terlihat guru belum mengemas
85
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kegiatan apersepsi dengan tepat bahkan ada yang tidak melakukan apersepsi. Guru
cenderung langsung membahas materi pembelajaran disebabkan merasa takut
kekurangan waktu. Akibatnya guru kurang atau tidak dapat menggali pengetahuan
awal peserta didik terkait dengan materi pembelajaran yang akan dibahas.
Pengetahuan awal berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap proses
pembelajaran. Secara langsung, pengetahuan awal dapat mempermudah proses
pembelajaran, secara tidak langsung pengetahuan awal dapat mengoptimalkan
kejelasan materi pembelajaran dan meningkatkan efisiensi penggunaan waktu
dalam pembelajaran. Sebagaimana dinyatakan Arends (2008), bahwa kemampuan
peserta didik untuk mempelajari ide-ide baru bergantung pada pengetahuan awal
mereka sebelumnya dan struktur kognitif yang sudah ada.
Demikian juga halnya dalam pemberian motivasi, guru kurang jeli mencari
contoh-contoh kontekstual yang dapat membuat peserta didik tertarik terhadap
materi yang akan dipelajari. Sejatinya guru harus mampu membangkitkan motivasi
belajar peserta didik, agar peserta didik dapat berupaya mengerahkan segala
kemampuannya dalam proses pembelajaran (Sanjaya, 2010).
Komponen kedua, guru menjelaskan kompetensi dan rencana kegiatan.
Kenyataan menunjukkan guru kurang tegas menginformasikan tentang kompetensi
yang harus dimiliki peserta didik dan rencana kegiatan yang akan dilakukan peserta
didik selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini menjadikan peserta didik
kurang terarah dalam mengikuti pembelajaran.
Pelaksanaan kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai
kompetensi dasar (KD) yang dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan
ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat,
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik (Permendikbud No. 58 Tahun
2014). Kegiatan inti menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran,
media pembelajaran, dan sumber belajar yag disesuaikan dengan karakteristik
peserta didik dan mata pelajaran. (Permendikbud No. 65 Tahun 2013). Untuk itu
sesuai ketentuan pada standar proses, kegiatan inti dijabarkan lebih lanjut dari
kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi menjadi lima pengalaman belajar,
86
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yakni: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasikan, dan
mengkomunikasikan. Pengalaman belajar ini lebih dikenal dengan pendekatan
saintifik.
Kegiatan yang diamati pada pelaksanaan kegiatan inti pembelajaran dalam
penelitian ini adalah: (1) penguasaan materi pembelajaran; (2) penerapan strategi
pembelajaran yang mendidik; (3) penerapan pendekatan saintifik; (4) pemanfaatan
sumber belajar/media dalam pembelajaran; (5) pelibatan peserta didik dalam
pembelajaran; dan (6) penggunaan bahasa yang benar dan tepat dalam
pembelajaran. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa guru cenderung dan terbiasa
menggunakan sumber belajar dari satu buku dan merasa terbebani dengan
penundaan pemberian buku teks dari pemerintah. Semestinya guru dapat
merancang Lembar Kerja Siswa (LKS) berbasis kontekstual pada kegiatan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau secara mandiri untuk setiap materi
pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar bagi peserta didik dalam
membangun pengetahuannya. Namun untuk merancang LKS guru merasa sangat
kesulitan disebabkan LKS harus dirancang sedemikian rupa dari berbagai sumber
dan disesuaikan dengan karakteristik peserta didik. Selain itu dinyatakan juga
bahwa untuk merancang LKS membutuhkan banyak waktu dan pemikiran yang
luas. Lebih lanjut dinyatakan bahwa jika ada buku teks maka pelaksanaan
pembelajaran bisa secara langsung memanfaatkan buku teks tersebut. Ada satu
responden yang telah menggunakan LKS sebagai sumber belajar, namun LKS
tersebut masih belum memenuhi kaidah penulisan LKS yang tepat dan benar serta
belum komunikatif. Akibatnya pembelajaran masih cenderung didominasi oleh
guru dan terlihat peserta didik tidak terlibat secara aktif.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan guru masih tergolong berpusat
pada guru (teacher-centred approaches). Meskipun guru telah berupaya
melaksanakan pembelajaran dengan menempatkan peserta didik dalam beberapa
kelompok atau secara berpasangan namun penerapan model pembelajaran dan
pendekatan saintifik sebagaimana tuntutan Kurikulum 2013 belum terlaksana
secara cermat dan sistematis. Kenyataan ini terlihat ketika pada sebuah kelas guru
melaksanakan pembelajaran dengan mengorganisasikan peserta didik pada
87
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kelompok yang beranggotakan 4 s.d. 5 orang dan telah menyediakan LKS sebagai
sumber belajar. Peserta didik telah melalui aktivitas mengamati, menanya,
mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan, namun setiap aktivitas belum
terlaksana optimal dan memerlukan penyempurnaan. Ketika peserta didik diminta
mengamati, guru hanya meminta siswa mengamati buku siswa dan LKS yang
semestinya dapat menggunakan media visual sehingga pembelajaran lebih menarik,
efektif dan efisien. Pada aktivitas menanya guru belum mengemukakan pertanyaanpertanyaan yang menantang dan peserta didikpun tidak dirangsang untuk
mengajukan pertanyaan terkait materi yang sedang dibahas dalam kelompok
sehingga tidak dapat melatih peserta didik menalar terkait materi yang dipelajari.
Ketika peserta didik melakukan aktivitas mencoba, hasil percobaan tidak diminta
untuk dicatat dengan cermat sehingga peserta didik mengalami kendala
merumuskan suatu kesimpulan dari percobaan yang dilakukan. Ketika peserta didik
diminta mengkomunikasikan, peserta didik belum dapat mempresentasikan hasil
diskusi sesuai kompetensi yang diharapkan.
Dalam hal penggunaan media, guru masih menggunakan media yang sudah
tersedia di sekolah, belum lagi menyiapkan media sesuai kebutuhan pencapaian
kompetensi. Kenyataan ini belum memenuhi tuntutan yang dinyatakan dalam
Permendikbud No. 58 Tahun 2014 bahwa pembelajaran matematika hendaknya
berangkat dari hal-hal yang bersifat konkret menuju abstrak. Guru dituntut lebih
mengoptimalkan penggunaan peralatan, media, alat peraga, dan sumber belajar
lainnya yang menarik dan berdayaguna sesuai tuntutan kompetensi. Di beberapa
sekolah telah tersedia LCD Proyector di setiap kelas, namun jarang digunakan guru
sebagai media pembelajaran yang dapat menjadikan pembelajaran efektif dan
efisien.
Pada kegiatan penutup, sebagian kecil guru sudah merangkum materi yang
dipelajari bersama siswa. Beberapa kegiatan lainnya belum dapat dilakukan seperti:
memberikan tes tertulis atau lisan; mengumpulkan hasil kerja sebagai portofolio;
dan melaksanakan tindak lanjut. Guru seringkali kekurangan waktu dan
terbelenggu dengan jam pelajaran yang telah berakhir dan pergantian mata
pelajaran. Dengan demikian peserta didik kurang memiliki gambaran tentang
88
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
materi yang akan dipelajari berikutnya.
Pengintegrasian penilaian afektif, psikomotor, dan kognitif belum berjalan
secara nyata. Penilaian kognitif diakhir proses pembelajaran belum dapat terlaksana
sebagaimana mestinya, dan pemberian tugas setiap kali pertemuan
belum
mencakup semua materi yang dibahas. Karena pembelajaran pada umumnya
berpusat pada guru maka siswa tidak banyak melakukan aktivitas dalam kelompok
sehingga tidak terlihat guru melakukan penilaian psikomotor. Sedangkan untuk
penilaian afektif yang telihat adalah guru menyampaikan beberapa pesan terkait
sikap spiritual dan sikap sosial.
Bedasarkan kenyataan pelaksanaan pembelajaran yang dapat dihimpun
melalui penelitian ini dapat dinyatakan bahwa implementasi Kurikulum 2013
belum sesuai dengan aturan yang tertuang pada standar proses. Dengan demikian
sangat diperlukan memberikan bantuan pada guru menyiapkan perangkat
pembelajaran untuk dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Untuk itu perlu
mengembangkan perangkat pembelajaran matematika yang dapat digunakan guru
dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. Beberapa langkah yang dilalui
dalam rangka pengembangan perangkat pembelajaran matematika adalah mulai
dari penulisan perangkat yang terdiri dari RPP dan LKS dilanjutkan dengan validasi
ahli, ujicoba kelompok kecil, revisi, uji coba kelompok besar, revisi sehingga
menghasilkan prototype perangkat pembelajaran yang siap untuk diuji
efektivitasnya dan akhirnya dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran matematika pada enam
SMP sasaran Kurikulum 2013 belum terlaksana sebagaimana mestinya. Untuk itu
perlu adanya kolaborasi antara pihak Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan
(LPTK) dan guru dalam merancang perangkat pembelajaran untuk dapat
dipergunakan dalam pelaksanaan proses pembelajaran matematika berbasis
Kurikulum 2013.
DAFTAR PUSTAKA
89
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Arends, R.I. (2008). Learning to Teach, Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh
Buku Satu. Penerjemah: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini
Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses.
Jakarta: Depdikbud.
Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 66 Tahun 2013 tentang Standar
Penilaian. Jakarta: Depdikbud.
Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 58 Tahun 2014 tentang Kompetensi
Dasar dan Struktur Kurikulum SMP/MTs. Jakarta: Depdikbud.
Kemendikbud., 2013., Permendikbud No. 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum. Jakarta: Depdikbud.
Kemendikbud., 2014., Permendikbud No. 103 Tahun 2014 tentang Pembelajaran.
Jakarta: Depdikbud.
Kemendikbud., 2014., Permendikbud No. 104 Tahun 2014 tentang Penilaian.
Jakarta: Depdikbud.
Mulyatiningsih, E., 2010., Pengembangan Model Pembelajaran. [Online].
Tersedia:
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/dra-endangmulyatiningsih-mpd/7cpengembangan-model-pembelajaran.pdf.
[10 Februari 2014]
Sanjaya, W., 2010. Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup
90
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
EFEKTIFITAS METODE PEMBELAJARAN
DEMONSTRASI-STUDENT CENTERED LEARNING (SCL)
DAN METODE AUDITORY INTELLECTUALLY
REPETITION (AIR)
Ni Made Asih1
1
Jurusan Matematika,FMIPA Universitas Udayana, [email protected]
Abstrak. Pada Jurusan Matematika mata kuliah Fungsi Kompleks merupakan mata
kuliah wajib di semester tiga. Nilai fungsi kompleks dikategorikan rendah dan standar,
hal ini dikarenakan model pembelajarannya. Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi
oleh faktor interen dan eksteren. Faktor interen salah satunya adalah dari siswa sendiri
berupa kesiapan siswa dalam menghadapi perkuliahan atau proses belajar
mengajarnya(PBM), sedangkan factor eksterennya salahsatunya yaitu kegiatan siswa
diluar kelas dalam mengikuti suatu organisasi,keadaan keluarga, dan lainnya. Untuk
keaktifan siswa dalam Proses Belajar Mengajar akan dilaksanakan dengan kombinasi
metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning (SCL), dibandingkan
dengan metode Audiotory Intellectualy Repetition (AIR) , metode demonstrasi adalah
model pembelajaran yang mendemokan, memaparkan, menjelaskan baik berupa alat
peraga, objek ataupun mendemokan materi/Konsep dan Metode Student Centered
Learning (SCL) adalah Model Pembelajaran yang berfokus pada kreatifitas siswa
dalam proses belajar mengajar,sedangkan Model pembelajaran (Auditory
Intellectually Repetition) AIR adalah suatu model pembelajaran yang menekankan
pada kegiatan belajar siswa, dimana siswa secara aktif membangun sendiri
pengetahuannya secara pribadi maupun kelompok dan diharapkan siswa lebih aktif
dan berperan serta dalam Proses belajar mengajar (PBM). Sampel yang akan
digunakan adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah fungsi kompleks tahun
ajaran 2011, mahasiswa akan dibagi menjadi 2 kelompok kelas, yaitu kelas A terdiri
dari 22 orang dan kelas B terdiri dari 22 orang, dengan kategori kedua kelas
mempunyai kemampuan yang sama dan diberikan perlakuan berbeda dari kedua
metode tersebut. Keefektifan metode akan di ujikan dengan uji dua sampel
berpasangan (two paired sample).Hasil penelitian setelah diberikan pembelajaran dari
kombinasi Metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning (SCL),
menunjukkan dikelas A memperoleh p value 0,329 dan dikelas B dengan metode
Audiotory Intellectualy Repetition (AIR) memperoleh p value 0,485, yang artinya
kedua kelas tidak ada pengaruh diadakannya metode pembelajaran tersebut. Hasil
pengujian hipotesis penelitian untuk kedua kelas yaitu memperoleh p value 0,199
yaitu menolak Ho yang artinya dari kedua kelas tidak ada perbedaan hasil belajar, hal
ini bukan berarti kedua metode tidak efektif, tetapi kesiapan siswanya yang kurang
dalam menghadapi model pembelajaran yang baru, waktu yang kurang lama, dan
materi yang padat.
Kata kunci: Keberhasilan Belajar, Model pembelajaran Demonstrasi, Model
pembelajaran SCL,Model pembelajaran AIR.
PENDAHULUAN
Di Tingkat Perguruan tinggi , khususnya di Universitas Udayana sistem
pembelajaran sudah mulai dikembangkan. Di tingkat universitas, kategori usia
91
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa dan pola berpikir, tingkah laku dapat dikatakan dewasa dan mandiri. Proses
belajar mengajar pun diusahkan menyenangkan dan tidak membosankan dan
berjalan secara mandiri dengan saran dan prasarana yang tersedia. Dijurusan
matematika Fakultas MIPA Universitas Udayana, seluruh siswa yang memilih
jurusan matematika otomatis sudah pasti senang dan menyenangi matematika
walaupun mata ajar ini dianggap sulit oleh beberapa siswa lain. Hanya saja
bagaimana cara Dosen yang memberikan PBM dan melaksanakan perkuliahan agar
kelas menjadi bergairah dan menyenangkan, supaya prestasi siswa meningkat.
Sebagai mata kuliah yang akan dipakai objek dalam PBM ini adalah mata Kuliah
Fungsi Kompleks, mata kuliah ini keluar setiap semester tiga dan merupakan mata
kuliah wajib. Mata kuliah fungsi kompleks selama ini memperoleh keberhasilan
belajar yang masih dikategorikan rendah, disamping mata kuliah ini memang agak
berat dalam pemahaman konsep, materi yang banyak. Dosen ingin mengubah
model pembelajaran yang berlangsung selama ini yaitu metode pembelajaran
konvensional yang hanya mentransfer ilmu secara monoton dan menjenuhkan,
model pembelajaran yang akan diperkenalkan yaitu
kombinasi model
pembelajaran demonstrasi dan SCL yang akan dibandingkan dengan model
pembelajaran metode AIR. Keberhasilan belajar dan keefektifan proses belajar
mengajarnya akan dianalisis dengan uji dua sampel berpasangan (two paired
sample).
TINJAUAN PUSTAKA
Keberhasilan belajar adalah tercapainya keadaan proses perubahan yaitu
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberhasilan belajar bisa diketahui dengan
evaluasi karena evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Indikator yang
dijadikan sebagai tolak ukur dalam menyatakan bahwa suatu proses belajar
mengajar dapat dikatakan berhasil, adalah:(a).Daya serap terhadap bahan pelajaran
yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok,
(kognitif), (b). Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/ TIK telah dicapai
92
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa baik individu maupun klasikal (afektif). Namun yang banyak dijadikan
sebagai tolak ukur keberhasilan dari keduanya adalah daya serap siswa terhadap
pelajarannya.
Tes prestasi belajar dapat digunakan untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat
keberhasilan dan dapat digolongkan kedalam jenis penilaian sebagai berikut :(a).
Tes Formatif; Penilaian ini digunakan untuk menguur satu atau beberapa pokok
bahasan tertentu dan bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang daya serap
anak didik terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil tes ini dimanfaatkan untuk
memperbaiki proses balajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu
Contohnya: ulangan harian, (b). Tes Subsumatif; Tes ini meliputi sejumlah bahan
pengajaran tertentu yang telah diajarkan dalam waktu tertentu, bertujuan untuk
memperoleh gambaran daya serap anak didik untuk meningkatkan tingkat prestasi
belajar anak didik. Hasil tes ini digunakan untuk memperbaiki proses belajar
mengajar dan diperhitungkan dalam menentukan nilai rapor (UTS), (c). Tes
Sumatif; Tes ini dilakukan untuk mengukur daya serap anak didik terhadap bahan
pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semester atau dua tahun
pelajaran, Tes ini bertujuan untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan
belajar anak didik dalam suatu periode belajar tertentu. Hasil tes ini daigunakan
untuk kenaikan kelas, menyusun rangking atau sebagai ukuran mutu sekolah
(UAS).
Metode Pembelajaran Demonstrasi
Pengertian
model
pembelajaran
demonstrasi
menurut
Jusuf
Djajadisastra,dkk(1989) mengemukakan bahwa model demonstrasi adalah suatu
cara menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan secara langsung
objeknya atau cara melakukan kegiatan, atau prosesnya. Sedangkan menurut Nana
Sudjana(2000) mengatakan bahwa model demonstrasi adalah metode mengajar
yang efektif, sebab membantu para siswa mencari jawaban dengan usaha sendiri
berdasarkan olahan yang benar, nyata benar. Dari Syaiful Bahri Djamariah dan
aswan Zain (1996) mengemukakan bahwa model demonstrasi adalah cara
penyajian bahan pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkan kepada para
93
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa suatu proses memperoleh hasil, situasi, atau benda tertentu yang sedang
dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan
lisan.Dengan model demonstrasi ini siswa dapat menerima pelajaran dengan kesan
yang mendalam, membentuk pengertian dengan baik dan sempurna.Berdasarkan
beberapa pendapat tentang model demonstrasi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
model demonstrasi adalah suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan
memepertunjukkan secara langsung objeknya, atau cara melakukan suatu kegiatan
atau prosesnya.
Tujuan penggunaan metode demonstarsi ialah untuk menjelaskan suatu bahan
pelajaran yang tidak mungkin hanya diberikan secara lisan saja.Hal ini erat sekali
hubungannya denagn penjelasan penjelasan yang bersangkutan dengan bentuk,
warna,
sususnan,
bagian
didemonstrasikan.Langkah
bagian
langkah
pertamapersiapan/perencanaan
untuk
dan
proses
pelaksanaan
menciptakan
kerja
dari
metode
kondisi
objek
yang
ini
adalah
belajar
untuk
pelaksanaan pembelajaran, kedua pelaksanaan dengan tahapan menjelaskan
prosedur atau proses, diamati dan diikuti oleh siswa, sikap kritis siswa, tanya jawab,
memberikan siswa untuk bergantian mendemokan materi dan soal, membuat
penilaian, dan ketiga memberika tugas baik secara lisan maupun tertulis dalam
evaluasi yang baik dan benar.(Desak dan asih,2013)
Model Pembelajaran Student Centered Learning (SCL).
Berikut ini beberapa pengertian SCL dari berbagai literatur; Rogers (1983), SCL
merupakan hasil dari transisis perpidahan kekuatan dalam proses pembelajaran,
dari kekuatan dosen sebagai pakar menjadi kekuatan mahasiswa sebagai
pembelajar. Perubahan ini terjadi setelah banyak harapan untuk memodifikasi
atmosfer pembelajaran yang menyebabkan siswa menjadi pasif, bosan dan resisten,
Kember (1997), SCL merupakan sebua kutub proses pembelajaran yang
menekankan mahasiswa sebagai pembangun pengetahuan sedangkan kutub yang
lain adalah dosen sebagai agen yang memberikan pengetahuan, Harden dan
Crosby (2000), SCL menekankan pada Mahasiswa sebagai pembelajar dan apa
94
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang dilakukan siswa untuk sukses dalam belajar dibanding dengan apa yang
dilakukan oleh guru.
Dari berbagai definisi tersebut dapat dipahami bahwa Student Centered
Learning (SCL) adalah suatu model pembelajaran yang menempatkan peserta
didik sebagai pusat dari proses belajar. Model pembelajaran ini berbeda dari model
belajar Instructor-Centered Learning yang menekankan pada transfer pengetahuan
dari guru ke murid yang relatif bersikap pasif. Dalam menerapkan konsep StudentCentered Leaning, peserta didik diharapkan sebagai peserta aktif dan mandiri dalam
proses belajarnya, yang bertanggung jawab dan berinitiatif untuk mengenali
kebutuhan belajarnya, menemukan sumber-sumber informasi untuk dapat
menjawab kebutuhannya, membangun serta mempresentasikan pengetahuannya
berdasarkan kebutuhan serta sumber-sumber yang ditemukannya. Dalam batasbatas tertentu mahasiswa dapat memilih sendiri apa yang akan dipelajarinya .
Student-Centered Learning, yang menekankan pada minat, kebutuhan dan
kemampuan individu, menjanjikan model belajar yang menggali motivasi intrinsik
untuk membangun masyarakat yang suka dan selalu belajar. Model belajar ini
sekaligus dapat mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dibutuhkan
masyarakat seperti kreativitas, kepemimpinan, rasa percaya diri, kemandirian,
kedisiplinan, kekritisan dalam berpikir, kemampuan berkomunikasi dan bekerja
dalam tim, keahlian teknis, serta wawasan global untuk dapat selalu beradaptasi
terhadap perubahan dan perkembangan.
Materi dan model penyampaian pembelajaran dalam SCL secara lengkap
meliputi 3 aspek, yaitu (1) isi ilmu pengetahuan (IPTEK), (2) sikap mental dan etika
yang dikembangkan, dan (3) nilai-nilai yang diinternalisasikan kepada para
mahasiswa. Di dalam proses SCL terdapat hubungan “tarik-menarik” antara learner
support dan learner control (http//google.com.2014.Pendidikan-Konsep SCL).
Model Pembelajaran Kooperatif AIR (Auditory Intellectually Repetition).
Model pembelajaran AIR (Auditory Intellectually Repetition) adalah suatu
model pembelajaran yang menekankan pada kegiatan belajar siswa, dimana siswa
secara aktif membangun sendiri pengetahuannya secara pribadi maupun kelompok,
95
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan cara mengintegrasikan ketiga aspek tersebut. Menurut Herdian model
pembelajaran AIR mirip dengan SAVI (Somatic Auditory Visualization
Intellectually) dan VAK (Visualization Auditory Kinesthetic), bedanya hanyalah
pada Repetisi yaitu pengulangan yang bermakna pendalaman, perluasan,
pemantapan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau quis.
Istilah AIR diambil dari kependekan unsur-unsurnya yaitu Auditory, Intellectually
dan Repetition. Adapun penjelasan mengenai unsur-unsur AIR adalah sebagai
berikut :
a. Auditory (A);Auditory adalah belajar dengan berbicara dan mendengarkan,
menyimak, presentasi, argumentasi, mengemukakan pendapat, dan menanggapi.
Menurut Meier ada beberapa gagasan untuk meningkatkan penggunaan auditory
dalam belajar, diantaranya (Yusuf dan juntika,2005). (1) Mintalah siswa untuk
berpasangan, membincangkan secara terperinci apa yang baru mereka pelajari dan
bagaimana menerapkannya; (2) Mintalah siswa untuk mempraktikan sesuatu
keterampilan atau memperagakan suatu konsep sambil mengucapkan secara
terperinci apa yang sedang mereka kerjakan; (3) Mintalah siswa untuk berkelompok
dan berbicara saat menyusun pemecahan masalah. Dari ketiga gagasan tersebut
dimulai dari siswa dikumpulkan dalam beberapa kelompok dan mempraktekan
secara bersama-sama untuk menyelesaikan masalah, tentunya ketiga aspek tersebut
dapat menumbuhkan komunikasi siswa dalam kelas sehingga siswa berperan aktif
dikelas. Auditory yang dimaksud disini yaitu ketika kita membuat suara sendiri
dengan berbicara beberapa area penting di otak kita menjadi aktif
b. Intellectually ( I ); Intellectually adalah belajar dengan berfikir untuk
menyelesaikan masalah, kemampuan berfikir perlu dilatih dengan latihan bernalar,
menciptakan, memecahkan masalah, mengkonstruksi dan menerapakan. Menurut
Meier Intellectually dalam belajar akan terlatih jika guru mengajak siswa terlibat
dalam aktivitas memecahkan masalah, menganalisis pengalaman, mencari dan
menyaring informasi, merumuskan pertanyaan (Ali dan Asrori,2011).Dalam hal ini
guru harus mampu merangsang, mengarahkan, memelihara dan meningkatkan
intensitas proses berfikir siswa guna mencapai kompetensi yang akan dicapai.
c. Repetition ( R ); Repetition merupakan pengulangan yang bermakna mendalami,
96
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
memantapkan dengan cara siswa dilatih melalui pemberian tugas atau kuis. Dengan
adanya latihan dan pengulangan akan membantu proses mengingat. Pengulangan
yang dilakukan tidak berarti dilakukan dengan bentuk pertanyaan atau informasi
yang sama, melainkan dalam bentuk informasi yang bervariatif sehingga tidak
membosankan. Dengan pemberian soal dan tugas, siswa akan mengingat informasiinformasi yang diterimanya dan terbiasa untuk menyelesaikan permasalahapermasalahan matematika
(http://jaul4blog.wordpress.com,2013).
Langkah-langkah model pembelajaran AIR adalah sebagai berikut :(a). Siswa
dibagi menjadi beberapa kelompok, masing-masing kelompok 4-5 anggota; (b).
Siswa mendengarkan dan memperhatikan penjelasan dari guru; (c). Setiap
kelompok mendiskusikan tentang materi yang mereka pelajari dan menuliskan hasil
dari hasil diskusi tersebut dan selanjutnya untuk dipresentasikan didepan kelas
(Auditory) ;(d). Saat diskusi berlangsung, siswa mendapat soal atau permasalahan
yang berkaitan dengan materi[15]; (e). Masing-masing kelompok memikirkan cara
menerapkan hasil diskusi serta dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk
menyelesaikan maslah dari guru (Intellectual); (f). Setelah selesai berdiskusi, siswa
mendapat pengulangan materi dengan cara mendapatkan tugas atau kuis tiap
individu (Repetition) )http://annieck-dheh.blogspot.com,2013).
Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kelemahan. Adapun yang
menjadi kelebihan dari model pembelajaran AIR adalah sebagai berikut: (1) Melatih
pendengaran dan keberanian siswa untuk mengungkapkan pendapat (Auditory); (2)
Melatih siswa untuk memecahkan masalah secara kreatif (Intellectually); (3)
Melatih siswa untuk mengingat kembali tentang materi yang telah dipelajari
(Repetition); (4) Siswa menjadi lebih aktif dan kreatif.
Sedangkan yang menjadi kelemahan dari model pembelajaran AIR adalah dalam
model pembelajaran AIR terdapat tiga aspek yang harus diintegrasikan yakni
Auditory, Intellectually, Repetition sehingga secara sekilas pembelajaran ini
membutuhkan waktu yang lama. Tetapi, hal ini dapat diminimalisir dengan cara
pembentukan
kelompok
pada
aspek
Auditory
dan
Intellectually
(http://widyoktivia.blogspot.com,2013).
97
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Uji Statistik Dua Sampel Berpasangan (Two Paired Sampel).
Adapun peneliti juga melakukan uji statistik yaitu uji t dua sampel berpasangan
untuk mengetahui signifikansinya dari metode pembelajaran
ini. Langkah-
langkahnya adalah; (1).Menentukan nilai evaluasi dari masing masing kelompok
pada kelompok A (Kombinasi metode demonstrasi dan SCL) dan kelompok B
(metode AIR);
(2).Menguji nilai masing masing kelompok dengan uji dua sampel berpasangan,
kemudian membandingkan kedua nilai kedua kelompok dengan uji t dua sampel
berpasangan, dengan selang kepercayaan 5% atau alpha 0,05(Walpole).
Hipotesis yang dipakai;
H0 = Ada pengaruh metode yang diberikan terhadap hasil belajar
H1 = Tidak ada pengaruh metode yang diberikan terhadap hasil belajar
(3).Menyimpulkan hasil perbandingan dari p value yang didapatkan dari kedua
kelompok yaitu kelas A dan kelas B dengan metode yang berbeda.
Observasi Pembelajaran (Deskriptif).
Beberapa aspek yang akan dinilai dari pelaksanaan pembelajaran antara lain adalah;
a. Partisipasi (Kehadiran Penuh dan Tidak hadir)
b. Tanggung Jawab (Penuh dan Cukup)
c. Ketrampilan/Psikomotorik
d. Kemandirian (Mandiri, Cukup)
e. Kriteria Keaktifan (Aktif, Cukup Aktif, Tidak Aktif)
METODE DAN HASIL PENELITIAN
Jenis dan Sumber data pada penelitian ini adalah data primer. Data primer adalah
data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dalam melaksanakan
penelitiannya, yang diperoleh dari hasil kombinasi pembelajaran metode
demonstrasi- metode SCL, dan model pembelajaran AIR. Sampel yang akan
dipakai adalah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Fungsi Kompleks. Dalam
pelaksanaanya kombinasi model demonstrasi dan SCL dibentuk kelompok A, serta
dari metode AIR juga ada kelompok B, dengan kata lain kelas Fungsi kompleks
98
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
akan dipecah menjadi dua kelompok. Kelompok A terdiri dari 22 mahasiswa yang
akan diberikan pembelajaran dengan metode Demonstrasi dan SCL, dan kelompok
B akan diberikan pembelajaran dengan metode AIR yang terdiri dari 22 mahasiswa.
Kedua kelompok terdiri dari mahasiswa dengan keadaan kemampuannya yang
sama. Materi yang akan diberikan juga sama, jam atau waktu pelaksanaanya juga
sama (6 bulan)/satu semester.
Adapun variable yang akan dinilai adalah Proses pelaksanaan metode, yaitu dapat
dilihat dari table 1.
Tabel 1. Penilaian proses Pembelajaran pada Metode Demonstrasi dan SCL.
No
Aspek yang dinilai
Jumlah
Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
a.Kehadiran Penuh
22
100
b.Tidak hadir
0
0
a.Penuh
20
90,9
b.Cukup
2
9,09
3.
Ketrampilan/Psikomotorik
22
100
4.
Kemandirian
a.Mandiri
18
36,36
b.Cukup
4
18,18
a. Aktif
18
36,36
b.Cukup Aktif
2
9,09
c.Tidak Aktif
2
9,09
1.
2.
5.
Partisipasi
Tanggung Jawab
Kriteria Keaktifan
Tabel 1 mengartikan bahwa kelas A terdiri dari 22 mahasiswa, Partisipasi 100%,
Tanggung jawab 90%., Ketrampilan /Psikomotorik 100%, Kemandirian 36,36%,
Keaktifan penuh 36,36%, hal ini menandakan kelas A dengan semangat dan aktif ,
senang dengan model pembelajaran yang baru. Sedangkan untuk hasil
99
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran pada kelas B dapat dilihat pada table 2, sebagai berikut;
Tabel 2. Penilaian proses Pembelajaran pada Metode AIR.
No
Aspek yang dinilai
Jumlah
Jumlah
Persentase
(orang)
(%)
a.Kehadiran Penuh
22
100
b.Tidak hadir
0
0
a.Penuh
18
36,36
b.Cukup
4
18,18
3.
Ketrampilan/Psikomotorik
15
68,18
4.
Kemandirian
a.Mandiri
15
68,18
b.Cukup
7
31,81
a. Aktif
15
68,18
b.Cukup Aktif
4
18,18
c.Tidak Aktif
3
13,63
1.
Partisipasi
2.
Tanggung Jawab
5.
Kriteria Keaktifan
Tabel 2 mengartikan bahwa kelas B terdiri dari 22 mahasiswa, Partisipasi 100%,
Tanggung jawab 36,36%., Ketrampilan /Psikomotorik 68,18%, Kemandirian
68,18%, Keaktifan penuh 68,18%, hal ini menandakan kelas B dengan lebih
semangat dan aktif , senang dengan model pembelajaran yang baru.
Hasil dari ujian atau test untuk kelas A ditunjukkan dari table 3.
Tabel 3. Data Nilai Tes 1 dan Test 2 pada Metode Demonstrasi dan SCL
Klp Interval
Nilai
Nilai
Kategori
Jumlah
Jumlah
UTS- test 1
UAS – test 2
Frekuensi
%
Frekuensi
%
100
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1.
80-100
Amat baik
6
27,72
11
0,5
2.
70-79
Baik
6
27,27
2
9,09
3.
56-69
Cukup
1
4,54
3
13,63
4.
0-55
Kurang
9
40,9
6
27,27
Jumlah
Tabel 3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari 27,72% pada ujian 1
menjadi 50% pada ujian 2, walaupun adanya sedikit peningkatan dan
peningkatannya pun tidak sampai 80%, akan tetapi sudah 50% mahasiswa sudah
mampu dalam hasil belajarnya ( kurang efektif dilaksanakan).
Hasil Uji t dari sampel kelas A menunjukkan bahwa nilai P adalah 0,329
mengidikasikan bahwa tidak ada pengaruh model pembelajaran ini dengan madel
konvensional yang PBM selama ini dilaksanakan
Sedangkan dari kelas B terlihat pada table 4 sebagai berikut;
Tabel 4. Data Nilai Tes 1 dan 2 pada Metode AIR.
Klp Interval
Nilai
Kategori
Nilai
Jumlah
Jumlah
UTS
UAS
Frekuensi
%
Frekuensi
%
1.
80-100
Amat baik
6
27,27
9
40,9
2.
70-79
Baik
5
22,72
2
9,09
3.
56-69
Cukup
6
27,27
3
13,63
4.
0-55
Kurang
5
22,72
8
36,36
Jumlah
Tabel 4 , dari kelas B menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari 27,27% pada
ujian 1 menjadi 40,9% pada ujian 2, walaupun adanya sedikit peningkatan dan
peningkatannya pun tidak sampai 80%, akan tetapi sudah 40,9% mahasiswa sudah
mampu dalam hasil belajarnya ( kurang efektif dilaksanakan ).
Kelas B menunjukkan bahwa nilai P adalah 0,485 mengidikasikan bahwa
101
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tidak ada pengaruh model pembelajaran ini dengan model konvensional yang PBM
selama ini dilaksanakan.
Hasil Uji t dua sampel berpasangan dari kelas A dan Kelas B adalah ;
N
Mean
St.Deviasi
SE Mean
Kelas B
22
-3.14
20.67
4.41
Kelas A
22
3.36
15.77
3.36
Selisih
22
-6.50
22.96
4.90
95% CI for mean difference: (-16.68, 3.68)
T-Test of mean difference = 0 (vs not = 0): T-Value = -1.33 P-Value = 0.199
Nilai p adalah 0,199 artinya bahwa tidak ada pengaruh perbedaan model
pembelajaran dari kedua metode yang dilaksanakan dari kelas A dan kelas B,
artinya kedua metode sama baiknya untuk dilaksanakan dalam pembelajara mata
kuliah Fungsi kompleks.
KESIMPULAN DAN SARAN.
Kesimpulan.
Model pembelajaran yang telah diberikan untuk meningkatkan hasil belajar
siswa dari kombinasi metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning
(SCL), dibandingkan dengan metode Audiotory Intellectualy Repetition (AIR),
mendapatkan hasil nilai p 0,199 artinya bahwa tidak ada pengaruh perbedaan
model pembelajaran dari kedua metode yang dilaksanakan dari kelas A dan kelas
B, artinya kedua metode sama baiknya untuk dilaksanakan dalam pembelajara mata
kuliah Fungsi kompleks.
Saran.
Dengan kata lain peneliti dapat menyarankan bahwa untuk melakukan
pembelajaran dengan metode Demostrasi dan metode Student Centered Learning
(SCL), dibandingkan dengan metode Audiotory Intellectualy Repetition (AIR),
diharapkan kesiapan siswa dipersiapkan dulu, menyediakan waktu yang cukup
lama, materi yang sudah dipersiapkan dengan baik, dan jadwal yang padat dalam
mengikuti organisasi.
102
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA
Djajadisastra,Jusuf.1989.Administrasi
pendidikan
dan
Pengajaran.Bandung:Proyek BPG tertulis,Depdikbud
Metodologi
Marpaung, Y. 1999. Mengejar Ketertinggalan Kita dalam PendidikanMatematika.
Mengutamakan Proses Berpikir dalamPembelajaran Matematika. Makalah
Disampaikan dalamUpacara Pembukaan Program S3 Pendidikan
Matematika UNESA, Tanggal 10 September 1999.
Nana,Sudjana.1996.Cara Belajar siswa Aktif
Mengajar.Bandung:Sinar Baru Algensindo
dalam
proses
belajar
Nilakusmawati,Desak Nila dan Asih Ni Made.2013.Kajian Teoritis Beberapa
Model Pembelajaran.Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana.
Muhibbin Syah, 2005,Psikologi Belajar, Jakarta:Pt.Raja Grafindo Persada
Priyatno,Dwi.2008.SPSS(statistical Product and Service Solution) untuk analisis
data dan uji statistika.Diterbitkan oleh MediaKom.Yogyakarta.
Sudjana,Prof Dr.1992.Metode Statistika.Edisi kelima.Penerbit Tarsito Bandung.
Varberg,Dale dan Edwin J Purcell dan Steven E.Rigdon.2010.Kalkulus II.Edisi
kesembilan jilid I.Penerbit Erlangga (IKAPI)
-----------------------.http//google.com.2014.Pendidikan-Konsep SCL.ditulis tanggal
28 agustus 2010.
http://jaul4blog.wordpress.com/2013/02/25/285/
November 2013
diakses
pada
tanggal
05
http://annieck-dheh.blogspot.com/2013/01/normal-0-false-false-false-en-us-xnone.html diakses pada tanggal 05 November 2013
http://windyoktivia.blogspot.com/2013/04/model-pembelajaran-air.html
pada tanggal 19 Januari 2014
diakses
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan dan Konseling,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), hal. 246
Mohammad Ali & Mohammad Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta
Didik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hal. 42-43
103
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGEMBANGAN SOAL PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA DENGAN STRATEGI FINDING A PATTERN
Navel Oktaviandy Mangelep1
1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado,
[email protected]
Abstrak. This study aims to develop a valid and practical mathematics problem on
the finding a pattern strategy and to determine the potential effects of such tasks to the
students' mathematics skills. The method used is development research comprised
preliminary stages (analysis and design) and prototyping (formative evaluation). The
subjects were students of grade X SMA Negeri 1 Tondano. Data collection techniques
include walk through, documentation, interviews, questionnaires, and tests. Based on
the development results, it generates valid and practical prototype. The tasks consist
of 14 problems. Validity was fulfilled by the qualitative and quantitative validation.
Practicality is fulfilled by state of experts and practitioners that the developed taks can
be applied to senior high school students. In addition, appropriate with the
implementation of one-to-one and small group, it appears that all students can use the
prototype of tasks properly. Students' responses show that the prototype tasks have a
potential effect to explore the potency of students grade X in SMA Negeri 1 Tondano
Students can use optimally their mathematics ability to solve mathematical problems
related to daily life in that prototype of tasks. Moreover, from the results of a
questionnaire conducted at the field test stage, most students said that the given
mathematics problems on the finding a pattern strategy are interesting. They also said
that those may spur enthusiasm in learning mathematics due to the given problem
related to the problems of everyday life.
Kata Kunci: finding a pattern, pengembangan, soal pemecahan masalah
PENDAHULUAN
Kemampuan pemecahan masalah matematika siswa Indonesia sangatlah
rendah. Hal ini ditunjukkan dengan hasil studi internasional yang menggunakan
soal-soal pemecahan masalah seperti PISA (Program for International Student
Assessment), TIMSS (Tren in International Mathematics and Science Study), dan
PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study). Dalam PISA Indonesia
bahkan hampir selalu menduduki peringkat bawah, yakni peringkat 39 dari 43
negara pada PISA 2000 (OECD, 2003), peringkat 38 dari 41 negara pada PISA
2003 (OECD, 2004), peringkat 50 dari 57 negara pada PISA 2006 (OECD, 2007),
dan peringkat 61 dari 65 negara pada PISA 2009 (OECD, 2010). Hasil paling
mencengangkan adalah
pada
PISA 2012 dimana siswa-siswa Indonesia
menempati posisi 64 dari 65 negara (OECD, 2013).
104
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kemampuan pemecahan masalah siswa yang rendah juga terlihat dari hasil
penelitian Novita (2012) yang mengembangkan soal pemecahan masalah
matematika model PISA level moderate dan most difficul. Pada penelitian tersebut
siswa yang termasuk dalam subjek penelitian hanya berada pada kategori cukup
dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian Runtukahu (2015) dan Karinda (2015) menunjukkan bahwa masih
banyak siswa yang kesulitan dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
matematika, padahal dalam kurikulum 2013 kemampuan memilih dan menerapkan
strategi pemecahan masalah matematika merupakan kemampuan yang harus
dimiliki oleh siswa.
Berdasarkan hasil pengamatan awal dan wawancara dengan guru mata
pelajaran matematika di SMA Negeri 1 Tondano didapatkan bahwa sebagian besar
siswa kesulitan menjawab soal pemecahan masalah matematika terutama pada
topik barisan dan deret sehingga prestasi siswa pada materi tersebut cenderung
rendah. Hal ini dikarenakan siswa tidak terbiasa dengan soal pemecahan masalah
yang berbentuk soal cerita, dan kurangnya keterampilan dalam menerjemahkan
kalimat sehari-hari ke dalam kalimat matematika. Selain itu, guru terbiasa hanya
memberikan soal yang terdapat pada buku paket dan tidak pernah mengembangkan
soal pemecahan masalah yang terkait dengan topik pembelajaran. Padahal menurut
Suandito (2009), kebanyakan soal yang terdapat dalam buku pegangan guru
merupakan soal cerita tertutup dengan jawaban tunggal yang mengakibatkan siswa
menjadi tidak kreatif dan sulit mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.
Pengembangan soal yang dapat membuat siswa berpikir kreatif dan aktif
dalam pemecahan masalah matematika bisa menjadi alternatif dalam mengatasi
persoalan di atas. Hal ini didasarkan dari beberapa hasil penelitian seperti Mangelep
(2013) yang telah mengembangkan soal matematika pada kompetensi proses
koneksi dan refleksi PISA, Karinda (2015) yang mengembangkan soal pemecahan
masalah pada materi PLDV dengan menggunakan strategi Intelligent Guessing and
Testing, dan Runtukahu (2015) yang mengembangkan soal cerita matematika
dengan strategi pemecahan masalah Polya, menunjukkan bahwa soal yang
105
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dikembangkan memiliki efek potensial dalam meningkatkan kreatifitas siswa
terutama dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah.
Strategi Finding a Pattern (FaP) merupakan salah satu strategi dalam
menyelesaikan masalah dan proses pemecahan masalah matematika. Strategi ini
terkait dengan proses mengamati informasi dalam bentuk gambar, angka, huruf,
kata, warna, atau suara (Mangelep, 2014). Ada beberapa ciri masalah matematika
yang dapat diselesaikan dengan strategi FaP ini, antara lain : (1) masalah berbentuk
perpangkatan yang cukup besar dan biasanya diminta untuk menentukan digit
terakhir, digit tengah atau banyaknya digit, (2) masalah yang melibatkan sebuah
bentuk bangun dan kita diminta menentukan banyaknya bangun satuan yang
membentuk bangun tersebut, (3) menentukan suku tertentu pada sebuah barisan, (4)
menentukan jumlah bilangan atau rumusnya yang membentuk suatu barisan
tertentu, (5) menyelesaikan masalah tentang operasi aljabar pada suatu pecahan, (6)
menentukan hasil bagi suatu bilangan yang lebih dari 10 digit.
Berdasarkan hal tersebut maka perlu dikembangkan soal pemecahan masalah
matematika dengan strategi FaP yang valid dan praktis serta melihat bagaimana
efek potensial soal yang dikembangkan dengan kemampuan matematika siswa.
Masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana mengembangkan soal
pemecahan masalah matematika dengan strategi FaP pada topik barisan dan deret
yang valid dan praktis? (2) Bagaimana efek potensial soal yang dikembangkan
terhadap kemampuan matematika siswa SMA Negeri 1 Tondano?
METODE PENELITIAN
Peneltian dilaksanakan pada semester 2 tahun pelajaran 2014/2015 dengan
subjek penelitian siswa kelas X SMA Negeri 1 Tondano. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian pengembangan dengan tipe evaluasi formatif
(Zulkardi, 2010). Penelitian ini terdiri tahap analisis, tahap pendesainan
dan
evaluasi formatif yang meliputi self evaluation, expert reviews dan one-to-one dan
small group serta field test. (Tessmer 1993, Zulkardi 2010, Mangelep 2013).
106
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Expert
Reviews
Analysis
Design
Self
Evaluation
Revise
Revise
Small
Group
Revise
Field
Test
One-to-one
Gambar 1. Diagram Alir Pengembangan Soal
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Berdasarkan tahapan pengembangan soal yang telah disebutkan sebelumnya,
disini akan dijelaskan hasil pengembangan berdasarkan tahapan tersebut.
1.
Tahap Analisis
Pada tahap ini yang dianalisis mencakup 3 hal yakni analisis siswa,
analisis kurikulum, dan analisis soal pemecahan masalah berdasarkan strategi
FaP. Analisis siswa bertujuan untuk mengetahui level kemampuan siswa
yang menjadi subjek penelitian. Disini peneliti bekerjasama dengan guru
matematika disekolah tersebut untuk menentukan siswa mana yang akan
menjadi subjek penelitian dilihat dari tingkat kemampuan menyelesaikan soal
matematika (tinggi, sedang, rendah). Berdasarkan analisis siswa didapatkan 3
siswa untuk tahap one to one, 6 siswa untuk tahap small group, dan 30 siswa
untuk tahap field test. Analisis kurikulum dilakukan untuk mengidentifikasi
materi pembelajaran matematika SMA sebagai acuam dalam pengembangan
soal nantinya, sehingga soal yang dikembangkan sesuai dengan standar isi
pembelajaran matematika SMA. Sedangkan analisis soal pemecahan masalah
dilakukan untuk mengidentifikasi katakteristik soal, tingkat kesulitan soal,
dan apakah soal memungkinkan siswa melakukan pemecahan masalah
matematika.
107
KNPM 6
2.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tahap Pendesainan
Pada tahap ini, dilakukan pendesainan soal berdasarkan analisis yang
telah dilakukan sebelumnya. Disini diperoleh perangkat instrumen berupa (1)
Kisi-kisi Soal, (2)Kartu Soal, (3) Butir Soal sebanyak 20, dan (4) Rubrik
Penilaian. Selanjutnya soal yang telah didesain dievaluasi pada tahap
selanjutnya.
3.
Tahap Evaluasi formatif
a.
Self Evaluation
Pada tahap ini peneliti melakukan evaluasi sendiri terhadap desain yang
telah dikembangkan dengan melihat kesesuaian desain soal dengan
kurikulum, kisi-kisi, dan rubrik penilaian yang telah dikembangkan.
Hasil evaluasi ini menghasilkan prototipe I yang selanjutnya di validasi
oleh pakar pada tahap selanjutnya.
b.
Expert Review
Pada tahap ini dilakukan validasi prototipe I secara kualitatif oleh pakar
berkenaan dengan konten, konstruk, dan bahasa.
c.
One-to-one
Pada tahap ini, prototipe I diuji kepada 3 siswa yang berkemampuan
tinggi, sedang, dan rendah. Pelaksanaan one-to-one ini difokuskan pada
keterbacaan, kepraktisan, dan interpretasi siswa terhadap soal yang
diberikan. Setelah mengerjakan soal yang ada, peneliti meminta siswa
memberikan pendapat, dan saran untuk dijadikan bahan pertimbangan
untuk memperbaiki soal yang dikembangkan. Berdasarkan validasi pada
tahap expert review dan tahap one-to-one dilakukan revisi pada
prototipe I. Hasil revisi ini menghasilkan prototipe II dengan soal
sebanyak 15 butir soal.
d.
Small Group
Tahap ini diikuti 6 siswa yang berkemampuan beragam dengan 2 orang
berkemampuan tinggi, 2 orang berkemampuan sedang, dan 2 orang
berkemampuan rendah. Disini siswa akan menjawab prototipe II selama
120 menit. Setelahnya siswa akan diminta pendapat dan saran terhadapt
108
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
prototipe II yang diberikan. Hasil pekerjaan, komentar, dan saran siswa
dianalisis untuk melihat apakah hasil revisi yang dilakukan sebelumnya
memberikan pengaruh terhadap soal yang ada, ataukah hasil revisi tidak
memberikan pengaruh sama sekali atau justru membiat siswa lebih sulit
untuk memahami soal yang diberikan. Dari hasil analisis didapatkan
bahwa prototipe 2 yang dikembangkan telah memenuhi valid dab praktis
secara kualitatif. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan field test,
prototipe II diujicoba lagi di kelas yang berbeda untuk melihat validitas,
reabilitas, indeks kesukaran, dan daya pembeda secara kuantitatif.
Hasilnya didapatkan 14 soal valid koefisien reabilitas 0,734 sehingga
dapat dikatakan reliabel. Untuk indeks kesukaran, terdapat 10 butir soal
pada kategori sedang, dan 4 soal pada kategori tinggi. Sedangkan untuk
daya pembeda terdapat 6 butir soal pada kategori sedang dan 8 butir soal
pada kategori tinggi. Hasil analisis secara kualitatif dan kuantitatif ini
menghasilkan prototipe III yang akan diujicobakan pada tahap field test.
e.
Field Test
Pada tahap ini prototipe III diujicobakan pada siswa kelas X MIA 7
SMA Negeri 1 Tondano sebanyak 30 siswa dengan waktu pengerjaan
selama 120 menit. Disini dilakukan pengamatan dan komunikasi dengan
siswa sehingga dapat diketahui kendala dan pendapat mereka tentang
soal yang dikerjakan.
Berdasarkan hasil pengembangan soal tersebut, maka telah dihasilkan
prototipe soal pemecahan masalah matematika dengan strategi FaP yang valid
secara kualitatif dan kuantitatif. Kevalidan secara kualitatif dipenuhi berdasarkan
penilaian validator pada tahap expert review dimana telah dinyatakan bahwa
prototipe yang dikembangkan telah baik berdasarkan konten yakni sesuai dengan
kurikulum, dan sesuai dengan strategi pemecahan masalah matematika, baik secara
konstruk yakni dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah
matematika, kaya akan konsep, dan sesuai dengan level kemampuan siswa, serta
baik secara bahasa yakni sesuai dengan ejaan yang disempurnakan (EYD), tidak
berbelit-belit, dan tidak mengandung penafsiran ganda. Sedangkan kevalidan
109
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
secara kuantitatif dipenuhi berdasarkan analisis korelasi product moment dangan
koefisien reabilitas sebesar 0,734 yang berarti soal memiliki reliabilitas yang tinggi.
Selain valid secara kualitatif dan kuantitif, prototipe soal yang dikembangkan
juga sudah memenuhi kriteria praktis. Hal ini terlihat pada tahap one-to-one dan
small group, dimana semua siswa dapat menggunakan perangkat soal dengan baik
berarti soal sudah sesuai dengan alur berpikir siswa, tidak terjadi penafsiran ganda,
dan sesuai dengan konteks yang digunakan siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, berdasarkan hasil angket yang dilakukan pada tahap field test,
sebagian besar siswa mengatakan bahwa prototipe soal yang diberikan sangat
menarik, karena terkait dengan kehidupan sehari-hari, dan tidak hanya terkait
dengan angka, tetapi memacu semangat dalam berpikir logis, efektif, dan kreatif.
Sehingga mereka menjadi semangat dalam belajar matematika. Oleh karena itu,
hasil pengembangan soal yang dilakukan dapat dikatakan efektif (memiliki efek
potensial) dan sesuai dengan kriteria keefektifan Akker (1999) yaitu :
1.
Ahli dan praktisi berdasarkan pengalamannyha menyatakan bahwa perangkat
soal memenuhi syarat efektif
2.
Secara operasional di lapangan prototipe yang dikembangkan memberikan
hasil yang sesuai harapan/
Berdasarkan hal inilah dapat dikatakan bahwa pengembangan soal pemecahan
masalah matematika dengan strategi FaP memiliki efek potensial terhadap
kemampuan matematika siswa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Penelitian ini telah menghasilkan prototipe soal pemecahan masalah
matematika dengan strategi FaP. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa prototipe soal
yang dikembangkan dapat dikategorikan valid adan praktis. valid tergambar secara
kualitatif yakni dari hasil penilaian validator, dimana semua validator menyatakan
bahwa prototipe tersebut baik berdasarkan konten, konstruk, dan bahasa. Selain itu,
prototipe tersebut valid secara kuantitatif berdasarkan analisis butir soal.
Keparaktisan dapat tergambar dari hasil pelakasanaan one-to-one dan small group
yang menunjukkan bahwa prototipe yang dikembangkan telah praktis. dari hasil
110
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
jawaban siswapun terlihat bahwa soal yang dikembangkan telah efektif (memiliki
efek potensial) untuk menggali potensi siswa kelas X SMA Negeri 1 Tondano.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan maka disarankan (1) agar siswa
terus
melatif
kemampuan
pemecahan
masalah
matematikanya
dengan
menggunakan soal seperti yang dikembangkan pada penelitian ini; (2) guru
matematika hendaknya dapat menggunakan soal pemecahan masalah matematika
sebgai alternati dalam evaluasi pembelajaran dan proses pembelajaran karena dapat
melatif kemampuan matematika siswa; (3) hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai masukan dan referensi dalam penelitian selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Akker, J.v.d. 1999. Principes and Method of development research (Eds). Design
Approaches and Tools in Education and Training. Dordrecht : Kluwer
Academic Publisher
Berinderjeet, K. 2008. Problem Solving in the Mathematics Classroom
(Secondary). Singapore: National Institude of education
Karinda, F. 2015. Pengembangan Pemecahan Masalah Pada Materi PLDV dengan
Menggunakan Strategi Intelligent Guessing and Testing. Tondano: FMIPA
UNIMA (Jurnal Sains, Matematika dan Edukasi Vol 3 No. 6 Tahun 2015)
Mangelep, N. 2013. Pengembangan Soal Matematika Pada Kompetensi Proses
Koneksi dan Refleksi PISA. Jogjakarta: PPPPTK (Jurnal Edukasi Matematika
Vol. 4 No. 7, Juni 2013)
Mangelep, N. 2014. Strategi Pemecahan Masalah Matematika. LP2AI UNIMA:
Tondano
Novita. 2012. Exploring Primary Student's Problem Solving Ability. Journal on
Mathematics Education (IndoMS-JME), July 2012, Volume 3 No. 2.
OECD. 2003. Literacy Skill for the World of Tommorow. Further Results from
PISA 2000. Paris : OECD.
OECD. 2004. Literacy for Tommorow’s World.First Result from PISA 2003. Paris:
OECD
OECD. 2007. PISA 2006 : Science Competencies for Tommorow's World . Paris :
OECD
OECD. 2009. PISA 2009 Assesment Framework - Key Competencies in Reading,
Mathematics and Sciece . Paris : OECD.
111
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
OECD. 2010. PISA 2009 Result : What Students Know and Can Do. STUDENT
PERFORMANCE IN READING, MATHEMATICS, AND SCIENCE (Vol. I).
Paris : OECD.
OECD. 2014. PISA 2012 Results in Focus : What 15-year-olds know and what they
can do with what they know. Paris : OECD
Polya , G. 1985. How to Solve It: A new aspect of mathematics method (2 nd ed).
Princeton, N.J., Princetonn: University Press
Tessmer, M. 1993. Planning and Conducting Formative Evaluations . Philadelphia
: Kogan Page
Runtukahu, 2015. Pengembangan Soal Cerita Matematika dengan Strategi
Pemecahan Masalah Polya. Tondao: JSME (Jurnal Sains, Matematika dan
Edukasi Vol. 3 No. 5 Tahun 2015)
Zulkardi. 2010. How to Design Mathematics Lessons based on the Realistic
Approach? Diakses
tanggal
4
Februari
2015,
dari
http://eprints.unsri.ac.id/692/1/rme.html.
112
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ANALISIS STRUKTUR DAN KEMAMPUAN SISWA DALAM
MENYELESAIKAN SOAL UJIAN NASIONAL MATEMATIKA
SMP/MTS TAHUN 2013/2014 MENGGUNAKAN KERANGKA
KERJA LITHNER
Triyawan Kolopita1, Kartin Usman2
Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika
Fakultas MIPA Universitas Negeri Gorontalo
Abstrak. Penelitian ini bertujuan mengkaji stuktur dan kemampuan peserta didik
dalam menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional. Adapun soal-soal Ujian Nasional
yang digunakan adalah soal-soal Ujian Nasional Matematika SMP/MTs Tahun
2013/2014 serta peserta didik yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah seluruh
siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa. Kajian dalam penelitian ini menggunakan
kerangka kerja Lithner, dimana soal diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu
Imitative Reasoning dan Creative Reasoning. Sedangkan metode analisisnya
didasarkan pada hasil jawaban siswa yang diadaptasi dari buku teks pegangan siswa
dari 5 penerbit yang digunakan selama proses pembelajaran di sekolah. Analisis
dilakukan dengan cara mengklasifikasi soal dan menyortir solusi soal tersebut kepada
dua tipe penalaran soal.
Hasil penelitian yang dilakukan terhadap 40 soal Ujian Nasional SMP/MTs tahun
ajaran 2013/2014 dengan partisipan sebanyak 94 siswa, terdapat sebanyak 37 soal
termasuk dalam tipe Imitative Reasoning dengan persentase 92,5 % dan terdapat
sebanyak 3 soal termasuk dalam tipe Creative Reasoning dengan persentase 7,5 %.
Adapun rata-rata persentase kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Ujian
Nasional tersebut sebesar 29,67%. Dengan demikian, soal Ujian Matematika
SMP/MTs tahun ajaran 2013/2014 termasuk dalam kategori mudah karena masih
didominasi soal yang akrab dengan siswa namun masih sedikit siswa yang mampu
menyelesaikan soal Ujian Nasional tersebut. Berdasarkan hasil tersebut maka strategi
yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal Ujian Nasional Matematika adalah
strategi drill.
Kata Kunci : Kerangka Kerja Lithner, Ujian Nasional, Imitative Reasoning, Creative
Reasoning
1
2
Penulis 1 : Dra. Kartin Usman, M.Pd
Penulis 2 : Triyawan Kolopita, S.Pd
113
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENDAHULUAN
Keberhasilan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dapat
dilihat dari hasil belajar siswa. Kenyataan menunjukkan bahwa pada mata pelajaran
matematika, hasil belajar yang ditunjukkan siswa Indonesia belum memuaskan.
Rendahnya hasil belajar matematika semakin terlihat jelas ketika mencermati hasil
yang diperoleh siswa dalam Ujian Nasional. Hampir dalam setiap Ujian Nasional,
mata pelajaran matematika cenderung menempati posisi nilai terendah jika
dibandingkan dengan nilai mata pelajaran lain yang juga diujikan dalam Ujian
Nasional.
Ujian Nasional merupakan salah satu standar kelulusan bagi siswa yang
duduk di bangku sekolah, dimana tes tersebut dilakukan secara nasional pada
jenjang pendidikan menengah. Sebagian besar siswa menganggap bahwa Ujian
Nasional khususnya pada mata pelajaran matematika adalah momok yang
menakutkan. Jika ditinjau lebih lanjut maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
masalah bukanlah pada Ujian Nasional yang diselenggarakan oleh pemerintah,
melainkan kurang mampunya siswa memahami ataupun mengenali struktur dan
komposisi soal Ujian Nasional yang berimbas pada kurang mampunya siswa
menyelesaikan soal-soal tersebut.
Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat dikhawatirkan
ketercapaian standar kelulusannya, baik oleh siswa, orang tua maupun guru. Selain
karena tingginya standar nilai kelulusannya, matematika dianggap sebagai
pelajaran yang sangat sulit, begitupun dengan soal-soal UN. Pada dasarnya dalam
pembelajaran di sekolah melalui standar isi dan standar proses siswa telah
dibelajarkan segala hal yang terkait dengan matematika terutama soal-soal UN yang
harusnya lebih menguatkan siswa untuk mampu menyelesaikan soal-soal UN
dengan baik. Namun kenyataannya masih banyak siswa yang hanya mendapatkan
nilai rendah bahkan ada juga yang tidak lulus.
Berdasarkan uraian dan pemikiran diatas, penulis bermaksud mengadakan
penelitian dengan judul “Analisis Struktur dan Kemampuan Siswa dalam
114
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Menyelesaikan Soal Ujian Nasional Matematika SMP/MTs Tahun 2013/2014
Menggunakan Kerangka Kerja Lithner”
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, masalah yang teridentifikasi
adalah:
1. Kurangnya minat siswa pada mata pelajaran UN,
2. Tingkat daya nalar siswa yang kurang terhadap soal-soal UN,
3. Rendahnya hasil belajar siswa,
4. Kurang siapnya siswa dalam menghadapi hal ini didasarkan siswa berpikir
bahwa guru akan membantu,
5. Bentuk soal Ujian Nasional Matematika yang dianggap siswa sukar padahal
dalam proses pembelajaran sudah sering dipelajari,
6. Kurang siapnya tenaga pengajar yang terdapat pada sekolah menengah terutama
di sekolah-sekolah pelosok kabupaten,
7. Dan apabila ada waktu luang bagi siswa baik di rumah maupun di sekolah,
kebanyakan siswa hanya membuang waktu dengan bersenda gurau, ada juga
yang online di rumah karena semakin majunya globalisasi, hal ini karena siswa
berfikir waktu pelaksanaan UN masih lama.
Berdasarkan masalah dan identifikasi masalah diatas maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah soal UN Matematika SMP/MTs
tahun 2013/2014 mempunyai struktur soal yang cukup sulit? dan Apakah soal Ujian
Nasional (UN) Matematika SMP/MTs tahun pelajaran 2013/2014 mampu dikuasai
siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa?”.
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagi Guru
Memberikan masukkan kepada guru mata pelajaran untuk mengetahun
struktur soal UN Matematika tahun 2013/2014 sehingga dapat menjadi sebuah
pengetahuan dan dasar pengambilan langkah dalam menjawab soal-soal Ujian
Nasional dan menjadi referensi kedepannya sebagai bahan evaluasi dan strategi
dalam menghadapi Ujian Nasional di tahun-tahun mendatang.
b. Bagi Peneliti
115
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Menambah khazanah pengetahuan terutama dalam hal struktur soal UN
tahun 2013/2014 yang dikaji menggunakan kerangka kerja Lithner serta strategi
yang digunakan dalam menyelesaikan soal-soal Ujian Nasional serta dapat menjadi
pembanding bagi peneliti lain untuk pengembangan penelitian ini diwaktu yang
akan datang.
KAJIAN TEORI
Ujian Nasional
Ujian Nasional adalah sebutan yang diberikan untuk ujian yang soalsoalnya disiapkan oleh pemerintah. Pada awal pelaksanaan (tahun 2003-2005),
ujian ini bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) dan nama tersebut berubah menjadi
Ujian Nasional (UN) pada tahun 2006. Mata pelajaran yang diujikan dalam Ujian
Nasional tingkat SMP/MTs mencakup empat mata pelajaran, yaitu matematika,
bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan IPA Terpadu.
Nilai minimal kelulusan siswa dalam Ujian Nasional setiap tahun juga
semakin meningkat. Pada tahun pelajaran 2002/2003, nilai rata-rata minimal
seluruh mata pelajaran Ujian Akhir Nasional adalah 3,01. Pada saat pelaksanaan
Ujian Nasional tahun pelajaran 2009/2010, nilai kelulusan minimal dalam Ujian
Nasional semakin jauh meningkat menjadi 5,5.
Ujian Nasional menjadi salah satu syarat kelulusan siswa dari satuan
pendidikan. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikanan Kebudayaan
Nomor 97 tahun 2013, yaitu:
Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan dasar dan menengah setelah:
a. Menyelesaikan seluruh program pembelajaran;
b. Memperoleh nilai baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran;
c. Lulus ujian S/M/PK; dan
d. Lulus Ujian Nasional.
Kerangka Kerja Lithner
Dalam penelitian empiris yang dilakukan oleh Lithner telah ditemukan dan
didefinisikan dua tipe penalaran matematika, yaitu Creative mathematically
116
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
founded reasoning and imitative reasoning. Pada penelitian ini, tipe penalaran
Lithner dijadikan sebagai kerangka kerja penelitian. Artinya dijadikan sebagai alat
ukur untuk meneliti apakah suatu soal dalam ujian nasional dapat diklasifikasikan
atau dikategorikan sebagai salah satu dari tipe penalaran diatas. Alasan penggunaan
tipe penalaran diatas sebagai alat ukur dalam penelitian ini adalah untuk
mengkategorikan soal-soal ujian nasional dari aspek penalaran, karena penulis
memandang bahwa tipe penalaran yang dikemukakan Lithner tersebut, sampai saat
ini merupakan kerangka kerja yang menyajikan tipe penalaran matematis yang
lengkap.
Pemaknaan yang jelas untuk membedakan secara signifikan tentang
karakteristik tipe-tipe penalaran matematis diatas amatlah esensial. Untuk itu,
berikut ini dijelaskan pemaknaan dari tipe-tipe penalaran diatas yaitu:
1. Imitative Reasoning (Penalaran Tiruan)
Imitative Reasoning dapat disebut sebagai tipe yang membangun
penalaran melalui peniruan solusi soal, jawaban dan argument formula jawaban dan
solusi, imitative Reasoing diklasifikasikan menjadi dua kelompok yang utama,
yaitu penalaran yang dihafalkan (Memorized Reasoning) dan penalaran yang
berdasarkan algoritma (Algoritmic Reasoning). Berikut penjelasan kedua penalaran
tersebut.
a. Memorized Reasoning (MR) solusi soal disebut MR, jika memenuhi kondisi
berikut:
1) Strategi pemilihan yang berdasarkan pada pengulangan jawaban yang
lengkap melalui ingatan.
2) Strategi penggunaan dengan menuliskan atau mengucapkan jawaban. Tipe
soal yang dapat diselesaikan dengan MR adalah soal yang menanyakan
suatu fakta, suatu definisi, atau suatu pembuktian yang telah diselesaikan
sebelumnya.
b. Algoritmic Reasoning (AR) menurut Lithner, algoritma didefinisikan sebagai
sekumpulan aturan yang harus diikuti ketika akan membuktikan atau
menyelesaikan soal misalnya rumusan baku untuk menyelesaikan persamaan
kuadrat. Penalaran disebut AR, apabila memenuhi kondisi:
117
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1) Pilihan strategi didasarkan pada pengingatan kembali sekumpulan aturan
yang menjamin mencapai solusi yang benar.
2) Implementasi strategi terdiri dari hasil perhitungan-perhitungan trivial (bagi
yang menalar) atau tindakan-tindakan dengan mengikuti sekumpulan
aturan-aturan.
2. Creative Mathematical Founded Reasoning (CR)
CR adalah sebuah kerangka kerja yang dipandang sebagai sebuah hasil dari
berfikir matematika kreatif. Proses-proses berfikir matematika kreatif dalam
konteks ini didasarkan pada sifat fleksibel, melalui pendekatan yang berbeda, dan
tidak dibatasi dengan aturan-aturan yang biasa. Suatu penalaran disebut CR, harus
memenuhi kondisi dengan urutan sebagai berikut;
1. Apakah merupakan penalaran yang baru (novelty).
2. Masuk akal (Plausibilitas)
3. Berisi beraneka pilihan strategi dan atau implementasi yang didukung
argumentasi-argumentasi yang mendorong penarikan kesimpulan yang benar
dan masuk akal, dan yang melibatkan komponen-komponen penalaran.
Dengan memperhatikan karakteristik dari soal Ujian Nasional, Creative
Reasoning mempunyai dua kelompok utama, yaitu Global Creative Reasoning
(disingkat GCR) dan Local Creative Reasoning (disingkat LCR). Suatu soal dapat
dikategorikan dalam Global Creative Reasoning apabila soal itu tidak memiliki
solusi yang didasarkan pada Imitative Reasoning. Soal semacam ini selalu
menuntut penalar untuk menggunakan Creative Reasoning pada semua langkah
atau cara penyelesaiannya. Hanya sebagian kecil GCR yang didasarkan pada
Imitative Reasoning.
Selain GCR, didalam Creative Reasoning masih terdapat Local Creative
Reasoning. Suatu soal dikategorikan LCR, jika suatu soal hampir sepenuhnya
dapat diselesaikan dengan menggunakan Imitative Reasoning hanya dengan
memodifikasi algoritma local, jadi esensinya hanya pada modifikasi algoritma
yang digunakan dalam menyelesaikan soal.
Soal-soal LCR pada kondisi tertentu dapat diselesaikan dengan IR. Yang
dimaksud kondisi tertentu, yaitu saat soal-soal LCR telah akrab dikenal
118
KNPM 6
peserta
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
didik. Pengenalan dan keakraban siswa pada soal-soal akan
mengakibatkan mereka mudah menyelesaikan soal-soal ujian. Semakin akrab dan
semakin kenal siswa pada bentuk soal-soal MR, AR, dan LCR akan semakin
membantu mereka dalam menyelesaikan soal-soal ujian.
Keakraban dan pengenalan peserta didik dengan soal berkaitan erat dengan
pengalaman peserta didik dalam belajar. Tetapi yang perlu dicatat bahwa dalam
penelitian ini yang diperhatikan dari keakraban siswa terhadap soal itu hanya
dari buku pegangan belajar (buku teks) yang diasumsikan dipakai guru dan peserta
didik dalam proses pembelajaran.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 1 Suwawa, pada bulan Maret
sampai bulan April tahun 2015.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengkaji soal-soal Ujian Nasional
Matematika Tahun pelajaran 2013/2014. Dalam penelitian ini dilakukan secara
analisis kualitatif dan kuantitatif yang dapat dilakukan dengan memberikan
pemaknaan terhadap setiap butir soal berdasarkan tipe penalaran Lithner yang
kemudian di analisis setiap jawaban siswa menggunakan hasil analisis setiap butir
soal sebelumnya.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini data diperoleh dari pengumpulan dokumen dan hasil
jawaban siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa terhadap soal UN Matematika SMP
2014. Dokumen yang digunakan merupakan dokumen resmi negara dalam bentuk
soal-soal Ujian Nasional (UN) SMP Matematika tahun 2014 yang terdiri dari 20
paket, namun dipilih salah satu paket saja secara acak. Dokumen tersebut diperoleh
dari arsip yang dimiliki oleh sebuah Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan
Suwawa. Sementara itu untuk tes hasil jawaban siswa akan diperoleh setelah siswa
menjawab soal UN Matematika SMP yang telah di pilih. Disamping itu, dalam
penelitian ini juga menggunakan dokumen pelengkap berupa buku-buku
119
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
matematika dari 5 penerbit berbeda yang diasumsikan digunakan oleh sekolah
selama pembelajaran disekolah.
Teknik Analisis Data
Setelah memperoleh dokumen berupa Soal UN Matematika SMP/MTs 2014
yang telah dipilih acak, soal-soal dalam buku teks yang sering digunakan siswa, dan
hasil tes yang merupakan jawaban siswa terhadap soal UN Matematika SMP/MTs
2014 maka akan dilakukan analisis dengan 2 tahapan yaitu teknik analisis soal UN
dan analisis hasil jawaban siswa. Teknik analisis soal dilakukan dengan cara
menggolongkan tiap soal dan solusinya dengan mengikuti empat langkah analisis
seperti kerangka kerja Lithner sebagai berikut:
Langkah 1 : Analisis soal ujian nasional
Pada langkah pertama ada 4 tahapan yang dilakukan, yaitu:
a. Solusi
Jawaban dari soal atau algoritma untuk menyelesaikan soal.
b. Konteks
Konteks adalah situasi nyata dalam kehidupan (jika ada). Konteks terkadang
membantu siswa untuk memilih suatu metode yang benar walaupun hanya
bersifat mendasar sebagai contoh, konteks “resep obat dokter” memberi
petunjuk bahwa peserta didik dapat menggunakan algoritma tentang perkalian
sebagai penjumlahan yang berulang.
c. Informasi tentang situasi
Informasi tentang situasi adalah informasi mengenai soal, dapat berupa
penjelasan tentang kaitan soal dalam pokok bahasan atau sub pokok bahasan.
d. Fitur kunci
Fitur kunci untuk menunjukkan kata kunci, ungkapan-ungkapan (kalimat),
rumus yang jelas digunakan dan informasi lain yang sesuai dengan yang ada
dalam buku teks yang memperjelas soal seperti menggunakan “aljabar” dan
kata “pemfaktoran”.
Langkah 2 : Analisis buku teks
Analisis buku teks adalah mengkaji muatan materi, kejadian-kejadian soal
dalam buku teks baik contoh maupun latihan yang memuat sifat-sifat soal yang
120
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mendasar dan solusi yang memungkinkan untuk diidentifikasi siswa. Langkah 1
dan 2 digunakan untuk menentukan apakah mungkin ada suatu kejadian, misalnya
soal dengan solusi atau memiliki karakteristik yang sama dengan soal ujian.
Terdapat dua jenis data yang digunakan, yaitu:
1. Kejadian dalam buku teks
Kejadian dalam buku teks adalah muatan materi yang ada dalam buku teks.
2. Kejadian dalam contoh dan latihan soal
Banyaknya kejadian dalam latihan dan contoh soal yang sama karakteristiknya
dengan soal ujian pada buku teks. Jika kejadian itu tidak sama atau sama dengan
soal maka perbedaan dan kesamaannya dicatat.
Langkah 3 : Argumentasi dan Kesimpulan
a. Argumentasi
Argumentasi berisi penilaian terhadap jenis penalaran. Argumentasi ini
didasarkan pada informasi pada langkah kedua dan berhubungan dengan
kejadian dan kesamaan dengan soal ujian nasional dengan buku teks.
b. Kesimpulan
Kesimpulan adalah pengelompokkan jenis penalaran berdasarkan argumentasi
yang sudah dibuat.
Langkah 4 : Komentar
Sebagai langkah terakhir, setiap soal disajikan, dianalisis secara kuantitatif dan
kemudian di komentari. Komentar-komentar tersebut berhubungan dengan gejala
yang khusus dari soal atau jenis soal serta hal-hal yang dianggap penting. Untuk
memudahkan dalam pengambilan kesimpulan maka peneliti membuat ringkasan
tentang karakteristik tipe soal berdasarkan kerangka kerja Lithner yang sudah di
bahas sebelumnya.
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil analisis jawaban siswa, dapat diketahui jumlah siswa yang
menguasai tiap butir soal artinya juga menguasai tipe soal tersebut. Secara umum
jumlah siswa yang mampu menguasai ataupun menjawab setiap soal adalah sebagai
berikut.
121
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 1
Jumlah siswa menjawab benar berdasarkan tipe setiap soal
Nomor
Tipe Penalaran
1 Soal
Algoritmic
Reasoning
2
Algoritmic Reasoning
3
Algoritmic Reasoning
4
Algoritmic Reasoning
5
Algoritmic Reasoning
6
Algoritmic Reasoning
7
Algoritmic Reasoning
8
Algoritmic Reasoning
9
Algoritmic Reasoning
10
Algoritmic Reasoning
11
Algoritmic Reasoning
12
Algoritmic Reasoning
13
Memorized Reasoning
14
Algoritmic Reasoning
15
Algoritmic Reasoning
16
Algoritmic Reasoning
17
Algoritmic Reasoning
18
Algoritmic Reasoning
19
Algoritmic Reasoning
20
Algoritmic Reasoning
21
Global Creative Reasoning
22
Local Creative Reasoning
23
Algoritmic Reasoning
24
Algoritmic Reasoning
25
Algoritmic Reasoning
26
Algoritmic Reasoning
27
Algoritmic Reasoning
28
Memorized Reasoning
29
Algoritmic Reasoning
30
Algoritmic Reasoning
31
Memorized Reasoning
32
Memorized Reasoning
33
Algoritmic Reasoning
34
Algoritmic Reasoning
35
Algoritmic Reasoning
Jumlah
53Siswa
SiswaBenar Persentase
56,38 %
9 Siswa
9,57 %
0 Siswa
0%
20 Siswa
21,27 %
24 Siswa
25,53 %
43 Siswa
45,74 %
1 Siswa
1,06 %
11 Siswa
11,70 %
3 Siswa
3,19 %
5 Siswa
5,32 %
9 Siswa
9,57 %
1 Siswa
1,06 %
1 Siswa
1,06 %
10 Siswa
10,63 %
2 Siswa
2,13 %
0 Siswa
0%
0 Siswa
0%
0 Siswa
0%
0 Siswa
0%
8 Siswa
8,51 %
0 Siswa
0%
0 Siswa
0%
0 Siswa
0%
7 Siswa
7,44 %
18 Siswa
19,15 %
2 Siswa
2,13 %
0 Siswa
0%
0 Siswa
0%
1 Siswa
1,06 %
0 Siswa
0%
2 Siswa
2,13 %
40 Siswa
42,55 %
1 Siswa
1,06 %
0 Siswa
0%
0 Siswa
0%
122
KNPM 6
36
37
38
39
40
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Algoritmic Reasoning
Local Creative Reasoning
Algoritmic Reasoning
Algoritmic Reasoning
Algoritmic Reasoning
Rata-Rata
8 Siswa
0 Siswa
6 Siswa
2 Siswa
0 Siswa
8,51 %
0%
0%
0%
0%
29,67 %
Rata-rata persentase siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa yang mampu
menjawab benar dari seluruh soal UN Matematika Tahun 2013/2014 hanya 29,67%.
Persentase ini sangat rendah dan sangat perlu diperhatikan mengingat tidak sampai
setengah dari jumlah siswa mampu menjawab dengan benar soal UN tahun
2013/2014. Berdasarkan data tersebut juga tidak ada satu pun siswa yang mampu
menyelesaikan soal yang bertipe Creative Reasoning atau dapat dipersentasikan dari
94 siswa sebanyak 0% siswa yang tidak menguasai ataupun menjawab soal tersebut
yang terdiri dari 3 soal yaitu soal nomor 21, 22 dan 37. Sementara itu untuk soal
Imitative Reasoning yang terdiri terdiri dari 37 soal dengan komposisi 33 AR
(Algoritmic Reasoning) dan 4 MR (Memorized Reasoning) ada juga yang tidak dapat
dijawab oleh seluruh siswa yaitu soal nomor 3, 16, 17, 18, 19, 23, 27, 30, 34, 35, 40
(Algoritmic Reasoning) dan nomor 28 (Memorized Reasoning).
Setelah dilakukan penelitian terhadap struktur soal pada UN matematika
2013/2014 yang berjumlah 40 butir soal, maka diperoleh hasil terdapat sebanyak 33
soal yang termasuk kedalam tipe penalaran Algoritmic Reasoning, 4 soal termasuk
kedalam tipe penalaran Memorized Reasoning dan pengelompokkan hasil jawaban
siswa dalam menyelesaikan soal UN matematika maka diperoleh data berupa hasil
analisis 40 butir soal berdasarkan kerangka kerja Lithner yang telah dikelompokkan
dengan hasil jawaban siswa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebenarnya soal-soal Ujian
Nasional adalah soal-soal yang sudah pernah diberikan oleh guru selama dalam
kegiatan belajar mengajar. Hal ini harusnya menunjukkan bahwa seluruh siswa,
lebih khususnya siswa SMP Negeri 1 Suwawa dapat memperoleh nilai diatas standar
nilai yang ditetapkan oleh pemerintah ataupun bahkan tidak sedikit yang harusnya
dapat menjawab soal UN dengan benar semua. Tapi pada kenyataannya justru
sebaliknya yang terjadi yaitu dengan persentase rata-rata penguasaan siswa yang
123
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
hanya menunjukkan angka 29,67 % artinya tidak sampai setengah dari jumlah siswa
sebanyak 94 siswa yang mampu menjawab soal UN tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian komposisi soal 92,5% merupakan soal Imitative
Reasoning yang sebenarnya merupakan soal yang mudah. Namun pada penelitian
ini justru ada juga hal yang lebih menakjubkan bahwa ada nomor soal yang termasuk
soal tipe IR dan dari sekitar 95 orang siswa yang diuji tidak ada satupun yang benar.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa buku pegangan siswa yang merupakan buku
perpustakaan sekolah adalah buku yang selalu dan sering digunakan selam proses
belajar mengajar.
Berdasarkan hasil penelitian justru seharusnya jika memang ingin mengukur
kualitas pendidikan nasional maka harusnya perlu diimbangi antara komposisi soal
IR dan CR minimal 50%:50%. Sementara itu, untuk hasil persentase rata-rata siswa
yang mampu menjawab soal UN yang masih sangat rendah maka perlu adanya
metode yang tepat untuk menanggulangi keadaan tersebut agar pada saat tiba Ujian
Nasional peserta didik terutama siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa siap untuk
menghadapinya. Metode yang dapat digunakan adalah Metode drill. Menurut Nana
Sudjana (1991:86) metode drill adalah satu kegiatan melakukan hal yang sama,
berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk menyempurnakan
suatu keterampilan agar menjadi permanen. Ciri yang khas dari metode ini adalah
kegiatan berupa pengulangan yang berkali-kali dari suatu hal yang sama.
Dalam menghadapi kenyataan bahwa kemampuan siswa dalam menjawab
soal UN Matematika tahun 2013/2014 yang masih sangat kurang maka metode drill
adalah metode yang tepat bagi siswa yaitu dengan mempraktekan ataupun melatih
soal-soal yang sering muncul dalam Ujian Nasional terutama soal yang mirip dengan
soal-soal UN tahun 2013/2014
secara kontinyu agar siswa mendapatkan
keterampilan serta kesiapan dalam menghadapi UN tahun 2015.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis struktur dan
kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal Ujian Nasional matematika
SMP//MTs tahun 2013/2014 dapat disimpulkan bahwa:
124
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1. Soal Ujian Nasional merupakan soal yang tidak sukar karena sudah pernah
ditemui siswa pada saat proses belajar mengajar, dengan komposisi soal yaitu
92,5 % adalah soal tipe Imitative Reasoning dan 7,5% soal tipe Creative
Reasoning. Maka soal yang harus dikuasai siswa dalam mengahadapi Ujian
Nasioanal sebagian besar adalah soal dengan tipe Imitative Reasoning. Namun
juga tidak mengabaikan soal-soal tipe Creative Reasoning.
2. Siswa kelas IX SMP Negeri 1 Suwawa belum mampu menguasai soal Ujian
Nasional tahun 2013/2014 hal ini karena rata-rata persentase jumlah siswa yang
menjawab benar soal UN Matematika tahun 2013/2014 sebesar 29,67 % dengan
komposisi jumlah siswa yang menguasai tipe soal Imitative Reasoning sebesar
29,67 % dan jumlah siswa yang menguasai tipe soal Creative Reasoning sebesar
0%.
3. Soal Ujian Nasional Matematika SMP/MTs tahun 2013/2014 merupakan soalsoal yang tergolong mudah karena sebagian besar soal sering ditemui siswa
dalam pembelajaran. Sehingga Soal UN ini belum dapat mengukur kompetensi
bernalar siswa karena komposisi soal yang sebagian besarnya bertipe Imitative
Reasoning. Seharusnya jika soal UN digunakan untuk mengukur kompetensi
bernalar siswa secara nasional maka komposisi soal dengan tipe penalaran
Imitative Reasoning dan Creative Reasoning harusnya seimbang dengan
komposisi 50:50.
Dari hasil penelitian ini yang dikemukakan , diperolah beberapa saran dan
rekomendasi yang sangat berguna untuk peningkatan kualitas pendidikan terutama
dalam hal peningkatan hasil belajar siswa ditinjau dari hasil Ujian Nasional, yaitu:
1. Hendaknya soal yang baik untuk menguji tingkat kemampuan siswa memiliki
komposisi soal seimbang yaitu 50% soal yang memiliki tipe Imitative Reasoning
dan 50% soal yang memiliki tipe penalaran Creative Reasoning.
2. Seluruh siswa, guru maupun pihak sekolah bahkan para orang tua tidak perlu
khawatir dengan soal Ujian Nasional karena soal Ujian Nasional masih memiliki
tingkat kesukaran yang rendah. Hal ini didasarkan pada komposisi soal Imitative
Reasoning yang mencapai 92,5%.
125
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA
Babudin. 2007. Analisis Penalaran Dalam Ujian Matematika SMA/MA
Program IPA Tahun 2006/2007), Laporan Proyek Magister Pengajaran.
Institut Teknologi Bandung.
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2013 : Prosedur Operasi Standar Ujian
Nasional Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Tsanawiyah, Sekolah
Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas, Madrasah
Aliyah, Sekolah Menengah Atas Luar Biasa dan Sekolah Menengah
Kejuruan Tahun 2013/2014, Jakarta.
Bergqvist, Ewa. 2007. Types of Reasoning Required in University Exam in
Mathematics. Journal of Mathematical Behavior. 26. 348-370.
Lithner, J. 2008. A Research Framework for Creative and Imitative
Reasoning. Jurnal Educational Studies in Mathematics. 67. 255-276.
Departemen Agama RI. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dirjen
Kelembagaan Agama Islam. Jakarta.
Depdiknas. 2006. Permendiknas no 22 Tahun 2006 : Tentang Standar Isi
Sekolah Menengah Atas. Jakarta.
Dikpora Prov. Gorontalo (2014). Data Ujian Nasional 4 tahun terakhir :
Rekapitulasi Data Peserta Terdaftar, Ikut, dan Tidak Lulus UN SMP/MTs
Tahun Pelajaran 2013/2014.
IP-PMRI. 2010. Ranking Indonesia pada PISA 2009 dan 10
Terbaik, http://p4mri.net/new/? tag= hasil-pisa-2009, 9 Desember 2014.
Kemendikbud. 2013 . Permendikbud No. 97 Tahun 2013 : Kriteria Kelulusan
Peserta Didik dari Satuan Pandidikan dan Penyelenggara Ujian
Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional, Jakarta.
Kemendikbud . 2011. Permendikbud No. 59 Tahun 2011 : Kriteria Kelulusan
Peserta Didik dari Satuan Pandidikan dan Penyelenggara Ujian
Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional, Jakarta.
Kemendikbud. 2010. Permendikbud No. 45 Tahun 2010 : Kriteria Kelulusan
Peserta Didik dari Satuan Pandidikan dan Penyelenggara Ujian
Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional, Jakarta.
Kilpatrick, J.,Swafford, J.,& Findell, B. .2001. Adding it up ; Helping Children
Learn Mathematics, Mathematics Learning Study Communitee. National
Academi Press. Washington DC.
Mujib . 2012. Analisis Penalaran dalam Ujian Nasional Matematika SMA/MA
Program IPA tahun 2011/2012. ISSN: 1411-0229.
Mumun Syahban. 2008. Educare Jurnal Pendidikan dan Budaya, Menumbuh
Kembangkan Daya Matematis Siswa, http://educare.e-fkipunla.net, 9
126
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Desember 2014
NCTM . 2000. Principles and Standards for School Mathematics, Reston,
Virginia.
OECD. 2007. PISA 2006 : Sciences Competencies for Tomorrow’s World,
http://oecd.org/dataoecd/15/13/39725224. Pdf. 9 Desember 2014
Rychen, D, S. & Salganik, L, H,. 2003. Key Competencies for a Successful life
and well functioning society, Hogrete & Huber.
Spencer, L, M & Spencer, S, M,.(1993), Competence at work. Models for
superior performance, The United States of America.
Sukmawarti. 2011. Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Taman
Siswa Medan. Jurnal Kependidikan Kopertis Wilayah I NAD. Vol. 6 No. 2.
ISSN : 1907-4077. Sumatera Utara.
Sudjana . 1991. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar . Bandung : Sinar Baru
Yuliana. 2009. Analisis Soal Ujian Nasional (UN) Matematika SMA/MA
Program IPA Tahun Pelajaran 2007/2008 yang Didasarkan Pada Tingkat
Penalaran, Laporan Proyek Program Magister Pengajaran, Institut
Teknologi Bandung
127
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGGUNAAN MIND MAPPING DALAM MENGATASI
MISKONSEPSI MAHASISWA
PADA PEMBELAJARAN ANALISIS REAL
Luh Putu Ida Harini1), Tjokorda Bagus Oka2), Made Susilawati3)
1
2
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Udayana, [email protected]
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Udayana, [email protected]
3
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana, [email protected]
Abstrak. Penanaman dimensi berpikir merupakan target capaian kompetensi mata
kuliah Analisis Real, sehingga pembelajaran Analisis Real seyogyanya dirancang
untuk mampu memberdayakan potensi penalaran mahasiswa dan tidak hanya sekedar
menghafal. Mind mapping merupakan salah satu teknik untuk berpikir secara praktis
dan efisien, yang menggunakan kerja otak secara efektif, dengan merancang pemetaan
(peta pikiran), sehingga otak lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi
yang diterima. Penggunaan mind mapping dalam pembelajaran analisis real
diharapkan dapat membantu mengatasi miskonsepsi mahasiswa yang muncul disaat
mengikuti perkuliahan. Berdasarkan papar an tersebut dalam penelitian ini akan
digagas bahan pembelajaran yang mensinergikan antara peta pikiran yang diarahkan
untuk pengembangan penalaran mahasiswa yang mengambil mata kuliah Analisis
Real. Penelitian ini menggunakan rancangan one shot-case study. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode pengamatan, metode angket, dan
metode tes. Sedangkan indikator keberhasilan pada penelitian ini meliputi nilai hasil
belajar minimal 60. Berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dapat disimpulkan
bahwa penggunaan mind mapping dalam pembelajaran Analisis Real dapat dikatakan
berhasil dan dapat mengatasi miskonsepsi yang dialami mahasiswa. Selain itu dalam
melaksanakan perkuliahan mahasiswa menjadi lebih mandiri dan termotivasi dalam
belajar.
Kata Kunci: analisis real, mind mapping, miskonsepasi, penalaran.
PENDAHULUAN
Penanaman dimensi berpikir merupakan target capaian kompetensi mata kuliah
Analisis Real, sehingga pembelajaran Analisis Real seyogyanya dirancang untuk
mampu memberdayakan potensi penalaran mahasiswa dan tidak hanya sekedar
menghafal. Harini, Astawa dan Srinadi (2014) telah menunjukkan bahwa dari hasil
observasi terhadap tingkat kesulitan mahasiswa dan hasil analisis miskonsepsi
mahasiswa terhadap Analisis Real masih terjadi miskonsepsi yang cukup tinggi dari
mahasiswa untuk mata kuliah Analisis Real. Miskonsepsi dapat dipandang sebagai
suatu pengertian yang tidak akurat terhadap konsep, penggunaan konsep yang
salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, dan hubungan konsep-konsep yang
tidak benar. Bentuk miskonsepsi dapat berupa kesalahan konsep, hubungan yang
128
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
tidak benar antar konsep, dan gagasan intuitif atau pandangan yang keliru (Suparno,
2005) dalam Sastradi (2013).
Berdasarkan hasil penelitian Harini, Astawa dan Srinadi (2014) miskonsepsi
yang dialami mahasiswa yang mengambil Mata Kuliah Analisis Real diakibatkan
oleh beberapa penyebab diantaranya: (1) kurangnya kemampuan dalam
berkomunikasi secara matematis; (2) kurangnya
Kemampuan menangkap konsep yang lebih abstrak; (3) kesulitan dalam
memahami definisi dan teorema akibat kurangnya kemampuan menggunakan dan
membaca simbul-simbul dalam matematika; (4) kebingungan dan kesulitan dalam
membuktikan (bingung memulai dari mana pada saat ditugaskan untuk
membuktikan, kurang menyadari konsekuensi suatu teorema, kesulitan dalam
memberikan contoh penyangkal (counter example)). Untuk mengatasi hal tersebut
maka harus diupayakan adanya perubahan strategi dalam pembelajaran, dengan
cara mencoba membuat variasi model pembelajaran yang tetap dapat
mengakomodir maksud dan tujuan pembelajaran Analisis Real.
Mind mapping didefinisikan sebagai sebuah sistem berpikir yang bekerja sesuai
dengan cara kerja alami otak manusia dan mampu membuka dan memanfaatkan
seluruh potensi dan kapasitasnya. Sistem ini mampu memberdayakan seluruh
potensi, kapasitas, dan kemampuan otak manusia, sehingga menjamin tingkat
kreativitas dan kemampuan berpikir yang lebih tinggi bagi penggunanya (Hernowo,
2005:3). Buzan dan Barry (2004) dalam buku pintar mind mappnya menyatakan,
mind mapping adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak
dan mengambil informasi itu ketika dibutuhkan. Peta pikiran (mind mapping)
adalah satu teknik mencatat yang mengembangkan gaya belajar visual. Peta pikiran
memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang terdapat di dalam diri
seseorang. Dengan adanya keterlibatan kedua belahan otak maka akan
memudahkan seseorang untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi,
baik secara tertulis maupun secara verbal. Dengan demikian mind mapping
merupakan salah satu teknik untuk berpikir secara praktis dan efisien, yang
menggunakan kerja otak secara efektif, dengan merancang pemetaan (peta pikiran),
sehingga otak lebih mudah mengingat dan menarik kembali informasi yang
129
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
diterima.
Beberapa kajian pendukung yang telah membuktikan keefektifan peta pikiran
(mind mapping) dalam proses pembelajaran diantaranya menyatakan bahwa
implementasi peta pikiran mampu meningkatkan prestasi belajar (Sistiani, 2010),
selain itu implementasi metode peta pikiran berbantuan objek langsung ternyata
juga dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa Arini (2011). Berdasarkan
informasi tersebut selanjutnya digagas bahan pembelajaran yang mensinergikan
antara peta pikiran yang diarahkan untuk pengembangan penalaran mahasiswa yang
mengambil mata kuliah Analisis Real. Penggunaan mind mapping dalam
pembelajaran analisis real diharapkan dapat membantu mengatasi miskonsepsi
mahasiswa yang muncul disaat mengikuti perkuliahan. Makalah ini bertujuan untuk
mengetahui apakah mind mapping dapat digunakan untuk mengatasi miskonsepsi
mahasiswa pada pembelajaran Analisis Real. Selain itu akan dikaji apakah ada
respon positif dari mahasiswa terkait dengan proses pembelajaran dengan
menggunakan mind mapping.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan
menggunakan rancangan one shot-case study. Perlakuan tertentu (penggunaan mind
mapping) dikenakan pada satu kelas saja tanpa adanya kelas kontrol dan tanpa tes
awal. Adapun objek dari penelitian ini adalah 40 orang mahasiswa matematika
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Udayana yang sedang mengambil mata
kuliah Analisis Real.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar pengamatan
aktivitas mahasiswa, soal tes hasil belajar, dan lembar angket respon siswa. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode pengamatan, metode angket, dan
metode tes. Data observasi yang terkumpul dari angket/kuisioner maupun test hasil
belajar dianalisis melalui langkah-langkah berikut:
a) Melakukan tabulasi data untuk mengetahui aktivitas, respon dan motivasi
mahasiswa dalam pembelajaran Analisis Real menggunakan mind mapping.
b) Melakukan tabulasi data tentang masalah yang dihadapi mahasiswa dalam
130
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran matakuliah Analisis Real menggunakan mind mapping.
c) Melihat statistika desktriptif nilai test hasil belajar dengan menggunakan nilai
60 sebagai indikator keberhasilan proses pembelajaran pada penelitian ini.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian diawali dengan melakukan persiapan penyusunan bahan ajar
Analisis Real bermuatan mind mapping. Analisa pendahuluan dilakukan dengan
cara menganalisis buku teks dan bahan ajar yang sudah ada (baik berbahasa Inggris
maupun berbahasa Indonesia). Ini bertujuan untuk dapat melihat sejauh mana
kelebihan dan kekurangan yang terdapat dalam bahan ajar masing-masing sehingga
menjadi pertimbangan dalam membentuk bahan ajar yang baru. Selain itu juga
dilakukan wawancara dengan mahasiswa yang sudah pernah mengambil mata
kuliah Analisis Real terkait harapan mereka terhadap pembelajaran yang lebih
menarik. Gambar 1. berikut adalah salah satu contoh penyajian bahan ajar berbasis
mind mapping.
Gambar 1. Contoh Bahan Ajar Analisis Real Bermuatan Mind Mapping (Materi Pendahuluan)
Selain itu yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menyusun instrument
131
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penelitian diantaranya berupa pedoman observasi dan pedoman wawancara, chek
list, angket, dan tes yang akan dipergunakan pada tindakan kelas. Dengan
menggunakan beberapa bahan ajar analisis real bermuatan mind mapping yang
sudah disusun, kemudian dilakukan uji coba lapangan (PTK). Dalam penelitian ini
tatap muka dilakukan 6 kali. Pada proses pembelajaran mahasiswa juga diwajibkan
menggambarkan kembali hasil belajar mereka dalam bentuk mind mapping. Tes
evaluasi pembelajaran dilakukan sebanyak tiga kali pada tatap muka ke dua, ke
empat dan ke enam. Pada proses pemberian materi, dilakukan pula observasi
terhadap proses pembelajaran dan motivasi mahasiswa dalam pembelajaran yang
dilaksanakan.
Data hasil evaluasi belajar mahasiswa menggunakan bahan ajar Analisis Real
yang bermuatan mind mapping kemudian dianalisis dengan analisis statistika
deskriptif. Hasil olah data dari hasil evaluasi belajar tersebut diuraikan dalam Tabel
1. berikut
Tabel 1. Analisis Data Statistik Deskriptif Hasil Evaluasi Belajar mahasiswa
menggunakan bahan ajar Analisis Real yang bermuatan mind mapping
N
Range
Statistic Statistic
Minimu
Maximu
Sum
Mean
Std.
m
m
Statistic
Statistic
Statistic
Statistic
Std. Error
Statistic
Variance
Deviation
Statistic
Nilai_1
40
75
25
100
2965
74,13
2,630
16,637
276,779
Nilai_2
40
70
30
100
2827
70,68
2,547
16,108
259,456
Nilai_3
40
70
25
95
2753
68,83
2,370
14,990
224,712
40
58
40
98
2849
71,23
2,101
13,291
176,640
Rerata_
responden
Valid N
(listwise)
31
Tabel 1. menunjukkan bahwa setiap nilai test hasil evaluasi belajar mahasiswa
menggunakan bahan ajar Analisis Real yang bermuatan mind mapping terlihat
memiliki rentang antara nilai tertinggi dan nilai terendah yang sangat lebar. Berikut
analisis dari setiap tahapan evaluasi pembelajaran yang dilakukan:
1. Hasil tes evaluasi belajar I (Nilai_1) memiliki rentang sebesar 75, dengan rataan
74,13 dan simpangan baku 16,637. Artinya, nilai hasil tes evaluasi belajar I
132
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mahasiswa sangat beragam, ada mahasiswa yang sudah sangat mengerti
sehingga memperoleh nilai jauh lebih tinggi dari nilai mahasiswa lainnya, dan
ada juga mahasiswa yang sangat tidak mengerti sehingga nilainya jauh lebih
rendah dari nilai rataan. Dengan menggunakan standard nilai 60 sebagai
indikator keberhasilan proses pembelajaran mata kuliah Analisis Real, akan
terlihat bahwa nilai rataan test berada di atas indikator keberhasilan
pembelajaran. Hal ini memberi informasi bahwa penggunaan mind mapping
dalam pembelajaran tahap I berhasil.
2. Hasil tes evaluasi belajar II (Nilai_2) memiliki rentang sebesar 70, dengan
rataan 70,68 dan simpangan baku 16,108. Artinya, nilai hasil tes evaluasi belajar
II mahasiswa sangat beragam. Dengan menggunakan standard nilai 60 sebagai
indikator keberhasilan proses pembelajaran mata kuliah Analisis Real, akan
terlihat bahwa nilai rataan test berada di atas indikator keberhasilan
pembelajaran. Hal ini memberi informasi bahwa penggunaan mind mapping
dalam pembelajaran tahap II juga berhasil.
3. Dengan cara yang sama diperoleh hasil tes evaluasi belajar III (Nilai_3)
memiliki rentang sebesar 70, dengan rataan 68,83 dan simpangan baku 14,990.
Artinya, nilai hasil tes evaluasi belajar II mahasiswa sangat beragam. Dengan
menggunakan standard nilai 60 sebagai indikator keberhasilan proses
pembelajaran mata kuliah Analisis Real, masih terlihat bahwa nilai rataan test
berada di atas indikator keberhasilan pembelajaran.
Hal ini juga memberi informasi bahwa proses pembelajaran tahap III berhasil.
Secara umum dari hasil rerataan nilai yang dihitung dari setiap responden diperoleh
bahwa rentang nilai hasil pembelajaran adalah 58 dengan rataan 71,23 dan
simpangan baku 13,291. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa secara umum
proses pembelajaran dengan menggunakan mind mapping dalam pembelajaran
Analisis Real berhasil mengingat nilai rataan berada di atas nilai indikator
keberhasilan proses pembelajaran mata kuliah Analisis Real (71,23>60).
Berdasarkan nilai dari rataan tiap responden diperoleh bahwa sebanyak 34 orang
dari 40 orang memiliki rataan nilai lebih besar atau sama dengan 60, sehingga ada
85% hasil belajar mahasiswa memiliki nilai di atas 60. Hal ini lebih menegaskan
133
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kembali bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan mind mapping dalam
pembelajaran Analisis Real berhasil mengingat lebih banyak hasil belajar
mahasiswa yang berada di atas standar minimal nilai kompetensi. Dengan kata lain
penggunaan mind mapping dalam pembelajaran Analisis Real dapat dikatakan
berhasil dan dapat mengatasi miskonsepsi yang dialami mahasiswa.
Selain itu berdasarkan hasil tabulasi angket terkait ketertarikan mahasiswa dalam
pembelajaran Analisis Real menggunakan bahan ajar bermuatan mind mapping
diperoleh hasil evaluasi seperti terlihat pada Tabel 2. berikut.
Tabel 2.
Hasil Analisis Data Kuesioner Ketertarikan Mahasiswa dalam
Melakukan Proses Pembelajaran Analisis Real Menggunakan Bahan Ajar Analisis Real
Yang Bermuatan Mind Mapping
RESPONDEN
P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
P8
P9
P10
Total
1
3
3
3
4
3
4
4
4
4
3
35
2
5
4
5
3
3
4
5
4
3
3
39
3
5
4
5
3
3
4
5
4
3
3
39
4
5
4
5
3
3
4
5
4
3
3
39
5
5
5
4
5
4
5
4
5
5
5
47
6
5
4
5
4
5
4
5
4
5
4
45
7
5
5
4
4
5
4
5
5
5
4
46
8
4
4
4
4
4
4
3
4
4
3
38
9
4
4
3
4
3
4
4
4
4
3
37
10
4
4
4
4
3
3
4
4
3
5
38
11
4
4
4
4
3
3
4
4
3
5
38
12
4
3
4
3
2
1
4
5
4
5
35
13
4
4
5
4
5
4
3
4
5
5
43
14
4
4
5
4
4
4
5
4
5
5
44
15
4
4
4
5
4
4
4
5
4
4
42
16
4
5
4
4
4
5
5
4
3
4
42
17
4
4
4
4
3
3
4
4
3
4
37
18
4
4
4
3
4
5
4
4
4
5
41
19
4
4
4
4
3
3
4
4
5
4
39
20
4
4
4
4
5
5
4
4
3
4
41
21
4
4
4
5
3
3
4
4
3
4
38
22
4
5
4
5
4
4
4
5
3
4
42
23
4
4
4
3
3
4
4
3
4
5
38
24
4
4
4
3
4
4
5
4
4
5
41
25
4
4
4
5
5
4
4
3
5
4
42
26
4
4
4
4
4
3
4
3
4
5
39
134
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
27
4
4
4
3
3
4
4
4
3
4
37
28
4
5
4
5
4
4
3
4
4
5
42
29
4
4
4
4
3
4
3
3
4
4
37
30
4
3
4
3
3
4
4
3
3
4
35
31
4
4
4
5
4
5
4
3
4
4
41
32
4
4
5
4
4
4
4
5
3
4
41
33
5
5
5
4
3
5
3
3
4
4
41
34
4
4
4
3
3
4
4
4
4
4
38
35
5
4
4
4
4
4
3
4
4
4
40
36
4
4
4
4
4
5
4
4
4
4
41
37
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
39
38
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
40
39
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
39
40
4
4
5
4
3
4
4
3
4
4
39
Total
167
162
167
157
146
157
162
158
154
165
1595
Persentase
83,5
81
83,5
78,5
73
78,5
81
79
77
82,5
79,75
Berdasarkan Tabel 2. tersebut diperoleh bahwa prosentase respon terkait
ketertarikan mahasiswa dalam pembelajaran Analisis Real pada uji coba tersebut
sebesar 79,75%. Berdasarkan kriteria interpretasi skor pada sekala Likert (dalam
hal ini angka 0%-20% terkategori sangat lemah; 21%-40% terkategori Lemah;
41%-60% terkategori Cukup; 61%-80% terkategori Kuat; 81%-100% terkategori
sangat kuat) dapat diperoleh bahwa respon terkait ketertarikan mahasiswa dalam
pembelajaran Analisis Real pada uji coba terkategori kuat. Sedangkan apabila
dilihat dari nilai setiap komponen pertanyaan maka diperoleh analisa seperti pada
Tabel 2. berikut.
Tabel 3. Hasil Analisis Data Kuesioner Ketertarikan Mahasiswa (Perkomponen
Pertanyaan) Dalam Melakukan Pembelajaran Analisis Real Menggunakan Bahan Ajar
Yang Bermuatan Mind Mapping
No
.
1.
2.
Pernyataan
Materi lebih menarik dan mudah dimengerti.
Saya merasa termotivasi untuk belajar mandiri
setelah menggunakan bahan ajar Analisis Real
berbasis mind mapping dan Lembar Kerja
Mahasiswa dibandingkan dengan buku/sumber
lain.
Nilai
%
167
162
83,3
81
Kategori
Skala Likert
Sangat Kuat
Sangat Kuat
135
KNPM 6
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Proses pembelajaran lebih terarah.
Bahan ajar Analisis Real berbasis mind mapping
dan Lembar Kerja Mahasiswa yang diberikan
membantu saya lebih fokus belajar.
Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind
mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa
pemahaman saya tentang materi yang diajarkan
meningkat.
Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind
mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa saya
dituntun untuk belajar menuliskan kalimat
matematika dengan argument yang tepat .
Saya tidak takut lagi pelajaran Analisis Real
Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind
mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa saya lebih
terlatih menyelesaikan soal secara sitematis
Dominasi Dosen lebih berkurang setelah
menggunakan bahan ajar Analisis Real berbasis
mind mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa,
sehingga lebih leluasa dalam menerima materi.
Dengan bahan ajar Analisis Real berbasis mind
mapping dan Lembar Kerja Mahasiswa, saya
terdorong untuk mendahului membaca materi
kuliah sebelum perkuliahan dimulai.
167
157
83,5
78,5
Sangat Kuat
Kuat
146
73
Kuat
157
78,5
Kuat
162
158
81
79
Sangat Kuat
Kuat
154
77
Kuat
165
82,5
Sangat Kuat
Melihat hasil pada Tabel 3. diperoleh beberapa alasan mengapa pembelajaran
Analisis Real dengan menggunakan bahan ajar bermuatan mind mapping sangat
kuat menarik mahasiswa dalam melakukan proses pembelajaran diantaranya adalah
pembelajarannya
menarik,
memotivasi,
mengarahkan
dalam
belajar,
menghilangkan kesan angker dan mendorong untuk mendahului dalam belajar
(termotivasi untuk belajar mandiri). Berdasarkan hasil wawancara terhadap
beberapa mahasiswa yang menjadi responden, banyak diperoleh kesan positif
terhadap pembelajaran analisis real bermuatan mind mapping.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan indikator yang telah ditetapkan diperoleh
bahwa sebanyak 85% hasil belajar mahasiswa memiliki nilai di atas 60. Dengan
136
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan mind mapping dalam
pembelajaran Analisis Real dapat dikatakan berhasil dan dapat mengatasi
miskonsepsi yang dialami mahasiswa. Selain itu dalam mengikuti perkuliahan
Analisis Real, mahasiswa memberikan respon positif terhadap proses perkuliahan
dengan menggunakan mind mapping, diantaranya mahasiswa menjadi lebih
mandiri dan lebih termotivasi dalam belajar.
Adapun saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan adalah sebagai berikut:
1. model pembelajaran mind mapping dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif strategi pembelajaran untuk konsep matematika yang lebih abstrak
2. mind mapping dapat disinergikan dalam bahan pembelajaran sehingga
diperoleh bahan ajar yang lebih menarik dan atraktif, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan motivasi belajar dan pemahaman mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arini, N.W. (2011) Implementasi Metode Peta Pikiran Berbantuan Objek
Langsung untuk Meningkatkan Keterampilan Menulis Deskripsi Siswa Kelas
IV Sekolah DasarNomor 4 Kampung Baru. Laporan Penelitian (tidak
diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha.
Buzan, T. & Barry. 2004. Memahami Peta Pikiran. Edisi Milenium. Batam:
Interaksara.
Harini, LPI, Astawa, IGS dan Srinadi, IGAM. (2014) Eksplorasi Miskonsepsi
Mahasiswa Dalam Pengembangan Buku Teks Analisis Real Bermuatan
Peta Pikiran,Proceding Seminar Nasional Sains & Teknologi 2014, hal. 941949.
Hernowo. 2005. Quantum Writing. Bandung: Mizan Learning Center.
Sastradi, T. (2013) Pengertian Prakonsepsi dan Miskonsepsi. Tersedia pada
http://mediafunia.blogspot.com/2013/03/pengertian-prakonsepsidanmiskonsepsi.html, [Diunduh: 1 Agustus 2014].
Sistiani, A. A. H. 2010. Penerapan Model Pembelajaran Mind Mapping Untuk
Meningkatkan Prestasi Belajar Menulis Karangan Narasi (Studi Kasus pada
Siswa Kelas V SD Tunas Daud). Jurnal Ilmiah Pendidikan dan
Pembelajaran. 6(2). 1450-1461.
137
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGEMBANGAN BAHAN AJAR LOGIKA MATEMATIKA
DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERNUANSA
ISLAMI UNTUK MENGEMBANGKAN KARAKTER
MAHASISWA
Nurjanah
Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Nusantara, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini memiliki tujuan utama menghasilkan bahan ajar logika
matematika sebagai referensi utama perkuliahan Logika dan Himpunan pada
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Uninus. Melalui tahapan-tahapan
kegiatan yang sudah dirancang, diharapkan akan diperoleh bahan ajar
matematika bernuansa islami
yang relevan untuk menumbuhkembangkan
karakter terpuji pada perkuliahan logika matematika dengan pendekatan
kontekstual. Subjek dari penelitian ini adalah mahasiswa semester 1 Program Studi
Pendidikan Matematika FKIP Universitas Islam Nusantara, Bandung. Metode
penelitian yang digunakan adalah
penelitian pengembangan (research
anddevelopment) yang ditempuh melalui tahapan olah pikir (thought experiments)
dan eksperimen pembelajaran (instruction experiments). Secara garis besar penelitian
ini dilaksanakan dalam tiga tahap selama dua tahun, yaitu tahap: persiapan dan
penerapan pada tahun pertama, dan penyempurnaan pada tahun kedua. Tahap
persiapan meliputi desain pendahuluan, validasi, dan uji coba terbatas. Tahap
penerapan merupakan tahap percobaan inti; sementara tahap penyempurnaan meliputi
validasi ahli dan revisi, dilengkapi dengan publikasi ilmiah. Saat ini penelitian telah
menyelesaikan tahap 1 dan 2, dan sedang mempersiapkan pelaksanaan tahap 3.
Melalui tahapan-tahapan kegiatan yang telah dilakukan, kini telah terwujud Disain
Logika Matematika (DLM) revisi 2 yang telah teruji validitas, kepraktisan, dan
keefektifannya.
Kata Kunci: Logika matematika, nuansa islami, kontekstual, karakter.
PENDAHULUAN
Keterpurukan demi keterpurukan yang dialami masyarakat Indonesia sulit
dipisahkan dari
kemiskinan dan
kebodohan, yang diwarnai dengan jumlah
pengangguran yang semakin mengkhawatirkan. Berbarengan dengan itu; tindak
kriminal tambah mewabah, peredaran dan penyalahgunaan narkoba kian marak,
terorisme tak juga padam, demonstrasi yang disertai anarkisme menjadi trend
pemaksaan kehendak, sementara korupsi pun makin merajalela. Bukan hanya itu,
kini banyak tindak kejahatan dilakukan
oleh pejabat serta orang-orang
berpendidikan. Di lain pihak, remaja calon penerus generasi bangsa bukan hanya
berbuat nakal khas remaja, melainkan mulai berani melakukan kejahatan pula.
138
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Singkat kata, moralitas bangsa kini benar-benar memprihatinkan.
Situasi dan kondisi bangsa yang mengkhawatirkan tersebut tidak luput dari
perhatian penyelenggara negara. Buktinya, pemerintah
mengambil
inisiatif
memprioritaskan pembangunan karakter bangsa, dengan menjadikannya sebagai
arus utama pembangunan nasional. Konsekuensinya, setiap upaya pembangunan
harus selalu diarahkan untuk memberi dampak positif terhadap pengembangan
karakter. Sebagai lembaga yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap
pembinaan karakter bangsa, Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
mencanangkan pendidikan karakter yang akan diterapkan pada semua jenjang
pendidikan. Pendidikan karakter yang dicanangkan berfokus pada landasan
keingintahuan intelektual yang
berbingkai kesantunan dengan pendekatan
habituasi dan intervensi, yang diharapkan akan menghasilkan budaya sekolah
(lingkungan pendidikan) yang menunjang tumbuh kembangnya karakter terpuji.
“Karakter adalah nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau
berbuat baik, nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan )
yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku.” (Pemerintah
Republik Indonesia, 2010:7). Sementara itu, Marzuki (2012) setuju dengan
pendapat yang menyatakan bahwa karakter identik dengan akhlaq. Mengingat
Universitas Islam Nusantara (Uninus) bercita-cita mewujudkan insan-insan
berakhlaqul karimah, maka spirit pendidikan yang diselenggarakan oleh Uninus tak
lain tak bukan merupakan pendidikan karakter adanya.
Menurut Lickona (1991) pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja
untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai
etika inti. Dengan kata lain
pendidikan karakter dapat dimaknai
sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak,
yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan
keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan
itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Sementara itu, Frye
(2002:2) mendefinisikan pendidikan karakter sebagai, “A national movement
creating schools that foster ethical, responsible, and caring young people by
modeling and teaching good character through an emphasis on universal values
139
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
that we all share”.
Seperti halnya Frye, Kemendiknas RI menganggap bahwa pendidikan
karakter hendaknya menjadi gerakan nasional. Sehubungan dengan pengembangan
pendidikan budaya dan karakter bangsa, Kemendiknas (2010:6) menyatakan,
“Proses pengembangan nilai-nilai yang menjadi landasan dari karakter
itumenghendaki suatu proses yang berkelanjutan, dilakukan melalui berbagai mata
pelajaran yang ada dalam kurikulum (kewarganegaraan, sejarah, geografi,ekonomi,
sosiologi, antropologi, bahasa Indonesia, IPS, IPA, matematika, agama, pendidikan
jasmani dan olahraga, seni, serta ketrampilan).” Jelas, pembinaan karakter bukan
hanya menjadi tanggung jawab PPKn dan pendidikan agama, dua mata pelajaran
yang terkait langsung dengan pengembangan budi pekerti dan akhlak mulia,
melainkan juga harus dikembangkan melalui pembelajaran matematika.
Berbagai pemikiran yang telah dipaparkan mendorong penulis untuk
mengembangkan bahan ajar matematika
yang dapat menumbuhkembangkan
karakter terpuji pada diri mahasiswa. Logika Matematika dipilih mengingat mata
kuliah ini diberikan di semester pertama. Diharapkan, jika mahasiswa telah
disadarkan akan pentingnya menumbuhkembangkan karakter-karakter terpuji sejak
pertama mengikuti perkuliahan, mereka akan memelihara dan menjaga karakter
yang telah dimiliki, dan menumbuhkembangkan karakter-karakter terpuji lainnya,
melalui persentuhan mereka dengan matematika. Pendekatan kontekstual, yang
menghubungkan kenyataan keseharian dengan konsep matematika, serta nuansa
islami; dipilih agar penumbuhkembangan karakter berjalan alamiah, dan sesuai
dengan visi dan misi Universitas Islam Nusantara.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang menjadi kajian utama dalam penelitian ini adalah, pada
perkuliahan Logika Matematika:
1. Bahan ajar kontekstual bernuansa islami seperti apa yang dapat
menumbuhkembangkan
karakter
terpuji
pada
individu-individu
mahasiswa?
140
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2. Bagaimanakah karakter mahasiswa yang memperoleh perkuliahan dengan
bahan ajar pengantar Logika Matematika dengan pendekatan kontekstual
bernuansa islami?
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (Research and
development, disingkat R&D), dalam hal ini pengembangan bahan ajar Logika
Matematika. Tujuan utama dari penelitian ini adalah mewujudkan bahan ajar
Logika Matematika berbasis kontekstual yang dapat
menumbuhkembangkan
karakter: jujur, disiplin, dan ulet, pada individu-individu mahasiswa. Bahan ajar
yang dihasilkan diharapkan layak untuk digunakan pada perkuliahan yang
dilakukan dengan pendekatan kontekstual bernuansa islami. Pengembangan bahan
ajar dilakukan dengan mengikuti rangkaian penelitian dengan langkah-langkah
yang diadaptasi dari model R&D versi Borg dan Gall (1989).
Secara garis besar penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap selama dua
tahun; yaitu tahap persiapan dan penerapan pada tahun pertama, serta tahap
penyempurnaan pada tahun kedua. Tahap persiapan meliputi: desain pendahuluan,
validasi, dan uji coba terbatas; tahap penerapan merupakan tahap percobaan inti;
sementara tahap penyempurnaan mencakup validasi ahli dan revisi, dilengkapi
dengan publikasi ilmiah. Dalam bentuk diagram alir, desain penelitian
diilustrasikan dengan gambar 1, 2, 3, yang berturut-turut mewakili tahap 1, tahap 2,
serta tahap 3 penelitian dan pengembangan yang dilakukan.
Kajian
kurikulum
Studi
pustaka
Rancangan
Bahan Ajar
(DLM) dan
Instrumen
Peneliitian
Workshop
(Validasi DLM
dan
Instrumen )
Uji Coba
Terbatas
Analisis
Hasil Uji
Coba
DLM
Revisi
1
Gambar 1
tahap pertama penelitian dan pengembangan
Tahap pertama penelitian dan pengembangan diawali dengan
kajian
141
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kurikulum untuk menentukan tujuan, menetapkan pada kompetensi yang mana
bahan ajar akan dikembangkan, serta mengidentifikasi materi utama yang perlu
diajarkan. Langkah selanjutnya adalah studi pustaka; dilakukan dengan
mengumpulkan dan memilih materi yang relevan, menyusunnya kembali secara
sistematis, sehingga akhirnya diperoleh rancangan bahan ajar yang dinamai dengan
Disain Logika Matematika (DLM) dan instrumen penelitian. DLM dan instrument
kemudian divalidasi, diuji cobakan secara terbatas, dianalisis dan direvisi, sehingga
menghasilkan DLM revisi I.
DLM
Revisi 1
Analisis
Hasil Uji
Coba 1
Uji Coba 1
DLM
Revisi 2
Gambar 2
tahap ke-2 penelitian dan pengembangan
Seperti halnya tahap 1, tahap 2 penelitian dan pengembangan dilaksanakan
pada tahun pertama. DLM revisi 1 yang dihasilkan pada tahap 1 diujicobakan pada
kelas sesungguhnya, yakni mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika FKIP
Uninus semester 1 tahun ajaran 2014/2015. Hasil uji coba, berupa: rekaman
perkuliahan, lembar observasi aktivitas dosen dan mahasiswa, serta nilai tes
formatif dan sumatif; kemudian dianalisis, dan hasilnya digunakan guna
memperbaiki desain bahan ajar sehingga diiperoleh DLM revisi 2.
DLM
Revisi 2
Workshop
(Validasi DLM
dan
Instrumen
Publikasi
Ilmiah &
Analisis
Publikasi Ilmiah &
Pengajuan ISBN Buku
Logika Matematika
DLM
Revisi 3
Logika
Matematika
Berkarakter
Uji
Coba 2
Analisis Hasil
Uji Coba 2
Gambar 3
tahap ke-3 penelitian dan pengembangan
142
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tahap 3 penelitian dan pengembangan dilaksanakan pada tahun ke-2.
Kegiatan pertama adalah workshop untuk membahas DLM revisi 2 yang berujung
validasi ahli serta pengguna. Bersamaan dengan publikasi ilmiah, hasil workshop
dianalisis, dan hasilnya diolah sehingga tim peneliti memperoleh DLM revisi 3. Uji
coba
DLM revisi 3 dilakukan pada mahasiswa Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP Uninus semester 1 tahun ajaran 2015/2016. Hasil uji coba
dikonsultasikan kepada pakar, direvisi dan diedit kembali,
sehingga diperoleh
Bahan ajar Logika Matematika yang layak untuk diajarkan pada perkuliahan
dengan pendekatan kontekstual bernuansa islami. Kegiatan terakhir adalah
publikasi ilmiah dan pengajuan ISBN.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Saat ini penelitian telah menyelesaikan tahap 1 dan 2, dan sedang
mempersiapkan pelaksanaan tahap 3. Melalui tahapan-tahapan kegiatan yang telah
dilakukan, kini telah terwujud Disain Logika Matematika (DLM) revisi 2 yang
telah teruji validitas, kepraktisan, dan keefektifannya. Pada artikel ini, gambaran
penitipan pendidikan
karakter
bernuansa islami akan dilustrasikan pada
pembelajaran implikasi yang diintegrasikan dengan pendidikan karakter disiplin.
Nuansa islami dalam pembelajaran implikasi diekspresikan dengan mengambil
contoh pernyataan yang merupakan salah satu ayat Alquran. Pada topik-topik lain
nuansa islami dikuatkan dengan hadits, tarikh, dan wawasan keislaman; disamping
Alquran.
Dalam pelaksanaannya, mahasiswa diminta mencermati pernyataan: Jika
memperoleh nilai A pada mata kuliah Logika dan Himpunan, maka Nani akan
mentraktir Teti. Melalui konteks kehidupan sehari-hari tersebut, secara lebih
bermakna mahasiswa diajak mengingat kembali bahwa suatu implikasi: 1) hanya
bernilai salah, jika antesedennya bernilai benar sedangkan konsekuennya salah; 2)
pasti bernilai benar jika memiliki konsekuen bernilai benar; 3) selalu bernilai benar
jika memiliki anteseden yang bernilai salah.
Selanjutnya dosen mengajak mahasiswa untuk mencermati firman Allah
143
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
surat 39 (Al- Ankabut) ayat 45 yang artinya: shalat mencegah dari perbuatan keji
dan munkar. Pernyataan dlm alquran tersebut selanjutnya diubah ke dalam
bemntuk implikasi sehingga diperoleh pernyataan baru yang berbubnyi: Jika
seseorang menunaikan shalat, maka orang tersebut akan terhindar dari perbuatan
keji dan munkar, atau Jika X menunaikan shalat, maka X terhindar dari perbuatan
keji dan munkar. Misalkan, P: X menunaikan shalat bernilai benar, Q: X terhindar
dari perbuatan keji dan munkar, bernilai benar. Selanjutnya mahasiswa diminta
mencermati tabel berikut:
No
1.
2.
P
Q
P→Q
X menunaikan shalat
X terhindar dari perbuatan keji
B
B
dan munkar B
X menunaikan shalat
X
B
perbuatan keji
tidak
dari
S
menunaikan X terhindar dari perbuatan keji
B
dan munkar.
3.
X
tidak
shalat
dan munkar.
terhindar
S
B
S
4.
X
tidak
menunaikan X
tidak
shalat
perbuatan keji
S
dan munkar. S
terhindar
dari
B
1. Pernyataan pertama merupakan implikasi bernilai benar.
2. Pernyataan kedua memiliki anteseden bernilai benar dan konsekuen
bernilai salah, berarti nilai kebenaran implikasi tersebut adalah salah.
Namun demikian bisa saja ada yang protes, karena pada kenyataannya di
masyarakat dijumpai orang-orang yang sudah mengerjakan shalat, namun
mereka tidak terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Dengan kata lain,
implikasi tersebut bisa bernilai benar. Kondisi ini merupakan wahana bagi
dosen untuk menanamkan nilai kedisiplinan. Mahasiswa perlu diingatkan
agar konsisten mengikuti kesepakatan bahwa implikasi yang memiliki
anteseden benar dan konsekuen salah, bernilai salah. Muslim yang telah
144
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menunaikan shalat pasti terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Ketika
ada (banyak) orang yang sudah mengerjakan shalat, namun mereka tidak
terhindar dari keji dan munkar; yang patut dipertanyakan adalah apa yang
salah dengan shalat dia/mereka? Kemungkinan besar, hal itu terjadi karena
orang yang bersangkutan baru mengerjakan shalat, belum mendirikan
shalat.
3. Jika X tidak menunaikan shalat, maka X terhindar dari perbuatan keji dan
munkar” merupakan implikasi yang bernilai benar; karena antesedennya
bernilai salah. Mahasiswa bisa diajak melihat kenyataan; di masyarakat
dijumpai orang-orang non muslim yang tidak mengerjakan shalat, namun
mereka terhindar dari perbuatan keji dan munkar.
4. Pernyataan ke-4 memiliki anteseden
dan konsekuen yang sama-sama
bernilai salah; berarti implikasi tersebut bernilai benar. Muslim yang tidak
menunaikan shalat pasti tidak terhindar dari perbuatan munkar, karena
meninggalkan shalat termasuk munkar (inkar dari menuanaikan
kewajiban). Selain itu, banyak dijumpai orang-orang yang tidak
menunaikan shalat, dan mereka
tidak terhindar dari perbuatan keji dan
munkar
Penanaman karakter disiplin diteruskan dengan melanjutkan pembahasan
implikasi dengan contoh-contoh dalam konteks matematika. Dosen perlu memberi
perhatian khusus dalam menjelaskan implikasi yang memiliki anteseden dan
konsekuen yang tidak saling berhubungan, seperti: jika 3 > 5, maka 14 merupakan
kelipatan 7. Pada kasus ini mahasiswa diminta mengabaikan hubungan diantara
anteseden dan konsekuen. 3 > 5 bernilai salah. Karena antededen bernilai salah,
mahasiswa harus disiplin menyatakan bahwa kebenaran dari implikasi tersebut
bernilai benar.
Pembahasan
Waktu 3 bulan yang dialokasikan untuk merancang DLM dirasa tidak
cukup. Bukan berarti dalam rentang waktu tersebut peneliti tidak berhasil
merancang DLM, melainkan rancangan yang dihasilkan masih belum memuat
karakter yang dititipkan secara elegan dan wajar. Integrasi
karakter dalam
145
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran sangat mungkin dilakukan; selagi pengajar memiliki kepedulian, dan
siap menggunakan momen-momen yang seringkali muncul saat pembelajaran
berlangsung. Akan tetapi, menitipkan pendidikan karakter pada bahan ajar
bukanlah perkara gampang, terlebih jika hal tersebut harus dibuktikan dengan
pemunculan istilah karakter tersebut secara eksplisit sebagai jiwa dan atau hasil
(nurturant effect) dari konsep matematika yang diajarkan.
Nuansa Islami
bukanlah perkara yang sulit untuk diterapkan dalam
pembelajaran. Akan tetapi, ketika hal tersebut akan dimunculkan dalam bahan ajar,
kesan eksklusif mau tidak mau akan terjadi. Oleh karena itu peneliti/penulis perlu
berhati-hati; demi menghindarii eksklusivitas, juga guna sedikit mengurangi kesan
terlalu menggurui.
Pada praktek perkuliahan, peneliti ditemani oleh seorang dosen yang
berperan sebagai observer. Hasil pengamatan oleh observer didiskusikan bersama
guna menghasilkan suatu refleksi yang akan dijadikan pertimbangan untuk
menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan pada pertemuan berikutnya.
Observer juga bertugas mengamati karakter yang tumbuh dan berkembang selama
dan sesudah perkuliahan Logika Matematika dengan menggunakan bahan ajar yang
telah digunakan berlangsung.
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada pembelajaran Logika Matematika dengan pendekatan kontekstual
bernuansa islami dengan menggunakan bahan ajar yang telah disusun
1. Bahan ajar yang telah dikembangkan tim peneliti adalah bahan ajar yang
secara eksplisit menyisipkan/menitipkan muatan karakter terpuji sebagai
upaya integrasi pendidikan karakter melalui pembelajaran matematika.
Nuansa islami diekspresikan melalui penjelasan/contoh yang mengacu
kepada Alquran dan Hadits., hadits, tarikh, dan wawasan keislaman.
2.
Tumbuhkembangnya karakter pada mahasiswa dapat digambarkan sebagai
berikut: jujur dan disiplin berada pada tingkat Membudaya, sementara kerja
keras berada pada tingkat Mulai Berkembang.Selain 3 karakter yang dengan
sengaja ditumbuhkembangkan, peneliti menemukan 3 karakter lain, yakni:
146
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
rasa ingin tahu, percaya diri, dan menghargai orang lain; tumbuh dan
berkembang pada individu-individu mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia (1990). Alquran dan Terjemahannya.
Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemahan/Pentafsir Alquran.
Borg, W. R. & Gall, M. D. (1989). Educational research an introduction. New
York: Longman.
Frye, Mike at all. (Ed.) 2002. Character Education: Informational Handbook and
Guide for Support and Implementation of the Student Citizent Act of 2001.
North Carolina: Public Schools of North Carolina.
Kementrian Pendidikan Nasional (2010). Pedoman Sekolah Pengembangan
Pendidikan BudayaDan Karakter Bangsa. Badan Penelitian dan
Pengembangan
Pusat
Kurikulum.[Online]
Tersedia:
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=we&cd=2&ve
d=0CDAQFjAB&url=http%3A%2F%2Fwww.puskurbuk.net%2Fdownload
s%2Fviewing%2FProduk_Puskurbuk%2F2011%2FPendidikan_Karakter%2
F4_PANDUAN%2BPELAKS%2BPENDIDIKAN%2BKARAKTER.pdf%
2F&ei=YFNYUoWJDs2UrAfY34HoDA&usg=AFQjCNEIjcTfVy6KlaxDx
w5RFktx6kvyBQ&bvm=bv.53899372,d.bmk.Diunduh Januari 2013.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our School Can Teach
Respect and Responsibility. New York, Toronto, London, Sydney, Aucland:
Bantam books.
Marzuki. (2009). Prinsip Dasar Akhlak Mulia: Pengantar Studi Konsep-konsep
Dasar Etika dalam Islam. Yogyakarta: Debut Wahana Press-FISE UNY.
Pemerintah Republik Indonesia, 2010. Kebijakan Nasional embangunan Karakter
Bangsa Tahun 2010-2015. .[Online] Tersedia: www.puskurbuk.net.
147
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGARUH PEMBELAJARAN BERPUSAT MASALAH
(PROBLEM CENTERED LEARNING) TERHADAP
KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIKA SISWA KELAS
VIII
Majid
Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Matematika FMIPA
Universitas Negeri Gorontalo
Abstract. The purpose of this study was to determine whether the ability of the
students that learned mathematical connection using Problem Based Learning models
(Problem Centered Learning) is higher than on the ability of students that learned
mathematical connection with learning models Direct (Direct Instruction). This
research is a study of experimental studies. The population in this study are all Class
VIII students of SMP N 1 Tibawa scattered in the class with the average number of
students per class consists of 26-29 people. The total population of 219 people. The
samples in this study conducted from 8 classes drawn at random two classes, which
will serve as classes taught using learning model centered on the issue (experimental)
and classes taught using direct learning model (control). Based on the results obtained
randomization VIII-2 class taught by problem-centered learning model (experimental
class) and VIII-3 class taught by direct learning model (control class). Based on the
research that has been done that the ability to connect students that learned by using
learning model Centered Learning Problem higher than the connection capabilities of
students that learned to use direct instructional model.
Keywords: Problem Centered Learning, Mathematical Connections
PENDAHULUAN
Matematika merupakan disiplin ilmu yang saling berhubungan dan
berkaitan, bukan sebagai sekumpulan materi yang terpisah-pisah. Artinya
matematika saling berhubungan dengan materi yang dipelajari sebelumnya.
Dengan demikian kemampuan koneksi ini sangat diperlukan oleh siswa sejak dini,
karena melalui koneksi matematik maka pandangan dan pengetahuan siswa akan
semakin luas terhadap matematika sebab semua yang terjadi di kehidupan seharihari maupun materi yang dipelajari saling berhubungan.
Dalam belajar matematika siswa dituntut memahami koneksi antara ide-ide
matematik dan antar matematik dan bidang studi lainnya. Jika siswa sudah mampu
melakukan koneksi antara beberapa ide matematik, maka siswa akan memahami
setiap materi matematika dengan lebih dalam dan baik.
148
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Namun, kenyataan yang ada bahwa selama ini guru hanya menjelaskan
konsep, memberikan contoh soal dan cara menyelesaikannya selanjutnya disusul
oleh soal-soal latihan, sedangkan penanaman konsep itu sendiri tidak dijelaskan,
akibatnya kemampuan berfikir siswa tidak berkembang karena hanya mengikuti
apa yang diberikan oleh guru.
Model pembelajaran PCL (Problem Centered Learning) atau pembelajaran
berpusat masalah yang merupakan suatu pembelajaran yang lebih menekankan
pada masalah autentik sehingga siswa mampu membangun pengetahuannya
sendiri. Dengan pembelajaran berpusat masalah memungkinkan siswa melakukan
stimulus pikirannya untuk membuat konsep yang ada menjadi logis berdasarkan
masalah yang mereka hadapi dan mengembangkan konsep-konsep tersebut sesuai
dengan aturan matematika yang diketahui menurut bahasa atau pemahaman sendiri.
Dalam pembelajaran berpusat masalah ini dapat memberikan kesempatan
pada siswa untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman menemukan,
mengenali dan menghubungkan konsep matematika serta memecahkan masalah
yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Menurut Sumarmo (2007: 117) Kemampuan koneksi matematis adalah
kemampuan mengaitkan konsep konsep matematika baik antar konsep dalam
matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan konsep
dalam bidang lainnya.Sementara Ma (dalam yuniaw, 2012: 292) menggambarkan
koneksimatematika sebagai hubungan matematis antara konsep, bersama-sama
dengankonsep-konsep kunci mendasari peserta didik untuk mempresentasikan ideidematematika. Konsep-konsep kunci ini merupakan paket pengetahuan yang
saling berhubungan yang digunakan untuk memahami dan mengembangkan ideidematematika, konsep dan prosedur.
koneksi matematika yaitu kemampuan yang dimiliki siswa dalam
memahami hubungan-hubungan yang terkait dengan matematika, dalam hal ini
pada pelajaran matematika itu sendiri maka siswa mampu melihat keterkaitan
antara konsep matematika dengan matematika itu sendiri, keterkaitan konsep
matematika dengan ilmu pengetahuan yang lain, maupun keterkaitan antara konsep
matematika dengan kehidupan sehari-hari.
149
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Selanjutnya terdapat dua indikator yang akan digunakan untuk melihat
kemampuan
koneksi
matematika
siswa
dalam
penelitian
ini
yaitu
:Menggunakankoneksi antar konsep matematika dan Menggunakan koneksi antara
konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Jakubowski (Kurniawan, 2008: 20) Problem Centered Learning merupakan
pendekatan
pembelajaran
mengkonstruksi
pengertian
yang
memfokuskan
yang
kemampuan
dimilikinya
terhadap
siswa
untuk
konsep-konsep
matematika”. Selain itu, Dewanti mengemukakan bahwa Pendekatan PCL
memungkinkan siswa menstimulasikan pikirannya untuk membuat konsep yang
ada menjadi logis berdasarkan masalah yang mereka hadapi dan mengembangkan
konsep-konsep tersebut sesuai dengan aturan matematika yang diketahui menurut
bahasa atau pemahaman sendiri. Melalui aktivitas pembelajaran pada masalahmasalah
yang
menarik,
siswa
selalu
berusaha
memecahkan
masalah,
mementingkan komunikasi, memfokuskan pada proses-proses penyelidikan dan
penalaran, dan mengembangkan kepercayaan diri dalam menghadapi situasi
kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Problem
Centered Learning dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas pembelajaran yang
memberikan kesempatan kepada siswa melakukan aktivitas belajar yang potensial
melalui penyelesaian masalah yang menuntut siswa mencari solusi dari masalah
yang ada yang dapat dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.
Wheatly (dalam Shohibul) membuat komponen pendekatan Problem
Centered Learning menjadi tiga komponen, yaitu: mengerjakan tugas, kegiatan
kelompok, dan berbagi (sharing). Langkah-langkah dalam proses pembelajaran
dengan pendekatan Problem Centered Learning yaitu:
Tabel 2.1. Penerapan Pembelajaran Berpusat Masalah
Langkah-langkah
Mengorientasi
Perilaku guru
Pemberian Guru memberikan permasalahan matematika
permasalahan pada siswa
kepada siswa atau mungkin guru bertanya
permasalahan yang berasal dari aspirasi siswa
150
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang
mempunyai
permasalahan
dari
pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari
yang berhubungan dengan matematika.
Mengorganisir siswa dalam Guru mengkondisikan kelas dalam kelompok
pembelajaran kelompok kecil
kecil yang terdiri dari 4-5 orang. semua siswa
belajar dalam kelompok kecil tersebut untuk
menyelesaiakan permasalahan tersebut dengan
cara Negosiasi, Kolaborasi dan Sharing dengan
teman lainnya.
Mempersentasikan
diskusi kelompok kecil.
hasil Guru mengkondisikan kelas dalam diskusi
kelas untuk mempresentasikan hasil diskusinya.
setiap kelompok menyajikan solusi-solusi yang
mereka temukan di depan kelas kepada
kelompok lain.
Berdasarkan Tabel di atas terlihat bahwa dari kegiatan diskusi kelas tersebut
akan tercapai kesepakatan bersama oleh siswa, untuk menentapkan solusi yang
paling benar dengan cara yang mudah. Tujuan dari aktivitas diskusi kelas tersebut
adalah menciptakan kesempatan bagi siswa untuk mempresentasikan solusi-solusi
mereka kepada siswa-siswa yang lain dalam menyelesaikan permasalahan
matematika tersebut.
Sementara Jihad dan Haris (2012:27) mengatakan bahwa “Model
pembelajaran langsung dirancang secara khusus untuk menunjang proses belajar
siswa berkenaan dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang
terstruktur dengan baik dan dapat dipelajari selangkah demi selangkah.
Selanjutnya Menurut Suprijiono (2009 : 46-47) pembelajaran langsung atau
direct instruction dikenal dengan sebutan active teaching. Pembelajaran langsung
juga dinamakan whole-class teaching. Penyebutan itu mengacu pada gaya mengajar
dimana guru terlibat aktif dalam mengusung isi pelajaran kepada peserta didik dan
151
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mengajarkannya secara langsung kepada seluruh kelas. Modeling adalah
pendekatan
utama
dalam
pembelajaran
langsung.
Modelling
berarti
mendemonstrasikan suatu prosedur kepada peserta didik. Modelling mengikuti
urutan -urutan berikut : (1) guru mendemonstrasikan perilaku yang hendak dicapai
sebagai hasil belajar, (2) perilaku itu dikaitkan dengan perilaku-perilaku lain yang
sudah dimilki peserta didik, (3) guru mendemonstrasikan sebagai bagian perilaku
tersebut dengan cara yang jelas, terstruktur, dan berurutan disertai penjelasan
mengenai apa yang dikerjakannya setelah setiap langkah selesai dikerjakan, dan (4)
peserta didik perlu mengingat langkah-langkah yang dilihatnya dan kemudian
menirukannya. Berdasarkan kajian teori di atas, permbelajaran berpusat masalah
merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat menyajikan proses
pembelajaran matematika lebih aktif .Problem Centered Learning juga merupakan
sebuah pendekatan pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa
untuk melakukan aktivitas belajar yang potensial melalui penyelesaian masalah
yang menuntut siswa mencari solusi yang tidak segera ditemui. Karena dengan
instruksi berpusat pada masalah akan memberikan usaha siswa untuk belajar. Siswa
yang mengikuti pembelajaran ini akan memahami konsep matematika yang akan
dipelajarinya sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut. Siswa akan
merasa tertantang membangun pemahaman matematikanya sendiri dengan cara
memecahkan masalah, menyajikan solusi-solusinya melalui presentase di depan
teman-teman sekelasnya. Selain itu, dalam pembelajaran Problem Centered
Learning ini siswa dpat melakukan interaksi dengan siswa lain dalam bentuk
negosiasi dan kolaborasi dalam diskusi kecil maupun diskusi kelas, serta siswa
dilibatkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari
yang dapat meningkatkan keterampilan siswa khususnya dalam mengkoneksikan
matematika.
Dalam pembelajaran berpusat masalah diperlukan keterampilan siswa
dalam mengkoneksikan matematika. Karena masalah-masalah yang akan diberikan
dalam model pembelajaran ini lebih kepada masalah-masalah yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari. Sehingga dengan adanya model pembelajaran
152
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berpusat masalah siswa dilatih untuk mengembangkan pola pikirnya dalam
meningkatkan kemampuan koneksi matematika.
Jika dilihat serta dibandingkan dengan model pembelajaran langsung,
dimana siswa hanya bertindak sebagai penerima informasi saja karena dalam proses
kegiatan pembelajaran, guru lebih berperan aktif baik saat memberikan materi pada
awal pembelajaran sampai memberikan contoh soal dan penyelesainnya. Hal ini
tentu membuat siswa terbiasa dengan contoh-contoh soal yang diberikan guru dan
tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berfikir
matematikanya khususnya kemampuannya untuk mengkoneksikan matematik itu
sendiri.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa pembelajaran berpusat
masalah terhadap kemampuan koneksi matematika akan lebih baik daripada
kemampuan koneksi matematika siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran langsung.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kelas VIII semester genap Tahun Ajaran
2014/2015. Penelitian ini dimulai dari tahap observasi, persiapan, eksperimen, tes
akhir kemampuan koneksi matematika, dan pengolahan data.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian eksperimen. Dimana akan menggunakan desain penelitian posttest only
control group designDalam desain ini akan dipilih dua kelompok belajar secara
random, dimana kelas pertama akan diberi perlakuan (kelas eksperimen) dan kelas
kedua sebagai kelas kontrol. Dengan desain sebagai berikut:
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelas
Perlakuan
Post test
Eksperimen
𝑋1
𝑂
Kontrol
𝑋2
𝑂
Keterangan :
X1 = Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran PCL
X2 = Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Langsung
153
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
O= test akhir (post test) untuk kelas eksperimen
O = test akhir (post test) untuk kelas kontrol.
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan intstrumen
berupa tes kemampuan koneksi siswa pada materi kubus dan balokyang telah
disusun berdasarkanindikator kemampuan koneksi siswa
Tabel 1. Kisi-kisi Intrumen Kemampuan Koneksi
Indikator
KD
Materi
Menentuka
n
Menentukan
Indikator Kemampuan Koneksi

Luas dan
Permukaan
Menggunakan
konsep
menghitung
koneksi
matematika
kemampuan
antar
kubus
matematika yang baru akan di
dan
volume
pelajari
konsep
dengan
matematika yang sudah pernah
kubus
dipelajari
balok

3,4,5
konsep
bangun ruang
dan
2,6,7,8
untuk
menghubungkan
balok.
Soal
yaitu
dan volume luas
dan permukaan
No
Menggunakan koneksi antara
konsep
matematika
kehidupan
sehari-hari
kemampuan
dengan
yaitu
untuk
menghubungkan
konsep
matematika
dengan
permasalahan
yang
terkait
dengan kehidupan sehari-hari.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian
yaitu analisis statistik deskriptif dan analisis statistik inferensial. Analisis deskriptif
yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyajikan data setiap variabel dalam
besaran statistika seperti rata-rata (mean), nilai tengah (median), frekuensi
terbanyak (modus), simpangan baku (standar deviasi) dan menggambarkannya
kedalam bentuk tabel frekuensi dan histogram.Analisis inferensial digunakan untuk
154
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menguji hipotesis penelitian yang diajukan oleh peneliti. Dalam menguji hipotesis
penelitian ini menggunakan statistik uji t dua sampel bebas (independet
test).Pengujian normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang
diperoleh peneliti berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini di uji
normalitas yang digunakan adalah Uji Liliefors. Pengujian homogenitas varians
bertujuan untuk menguji kesamaan rata-rata dari beberapa varians. Karena dalam
penelitian ini hanya menggunakan dua kelas maka rumus yang akan dilakukan
adalah uji kesamaan dua varians. Pengujian ini menggunakan uji FKriteria
pengujian adalah Jika Fhitung < Ftabel pada taraf signifikan 𝛼 yang dipilih dengan
derajat kebebasan (dk) pembilang = n-1, dan derajat kebebasan penyebut = n-1
maka data homogen.Hipotesis statistik berbentuk uji satu pihak yang dapat
dirumuskan sebagai berikut :
𝐻0 : 𝜇1 ≤ 𝜇2
𝐻1 : 𝜇1 > 𝜇2
Keterangan :
H0 = Hipotesis nol
H1 = Hipotesis Alternatif
𝜇1 = kemampuan koneksi matematika siswa yang diajarkan melalui model
pembelajaran berpusat pada masalah
𝜇2 = kemampuan koneksi matematika siswa yang diajarkan melalui model
pembelajaran langsung
Hasil Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang terdiri dari dari
dua kelompok yaitu data hasil tes kemampuan koneksi yang diajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran problem centered learning dan data hasil tes
kemampuan koneksi yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
langsung.
Berdasarkan hasil tes kemampuan koneksi pada kelas eksperimen yang
diperoleh dari 26 orang siswa diperoleh skor minimum adalah 14 dan skor
maksimal adalah 78. Dari perhitungan diperoleh nilai rata-ratanya adalah 47,76,
155
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
diperoleh modus 53,8 dan median 49,6. dengan standar deviasi adalah 17,06.
Sementara untuk kelas kontrol hasil tes kemampuan koneksi yang diperoleh dari 26
orang siswa diperoleh skor minimum adalah 4 dan skor maksimal adalah 50. Dari
perhitungan diperoleh nilai rata-ratanya adalah 23,19, modus 21,7 dan median 21,9.
Sementara standar deviasi adalah 12,075.
Untuk uji normalitas data Berdasarkan hasil post tes kelas eksperimen dan
hasil perhitungan diperoleh nilai 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,0942. Dengan taraf nyata 𝛼 = 0,05
dan 𝑛 = 26diperoleh 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,174. dapat disimpulkan hipotesis H0 diterima
karena 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤ 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , hal ini berarti bahwa data tersebut berdistribusi normal,
dengan demikian persyaratan normalitas untuk kelas eksperimen dipenuhi dalam
penelitian ini. Sementara hasil post tes kelas kontrol dan hasil perhitungan diperoleh
nilai 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 0,1684. Untuk taraf nyata 𝛼 = 0,05 dan 𝑛 = 26diperoleh 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 =
0,174. Dengan demikian dapat disimpulkan hipotesis H0 diterima karena 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 ≤
𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 , hal ini menunjukkan bahwa data tersebut berdistribusi normal.
Untuk pengujian homogenitas hasil perhitungan diperoleh nilai varians terbesar
𝑆2 = 275,1815dan
275,1815
164,2584
varians terkecil 𝑆 2 = 164,2584 dengan demikian nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
= 1,6752. Sedangkan nilai 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 𝐹(𝛼)(𝑉1 ,𝑉2 ) = 𝐹(0,05)(16,16) = 1,96 pada
taraf nyata 𝛼 = 0,05. Karena nilai 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 1,6752 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,96 maka
hipotesis H0 diterima artinya kedua varians homogen dan dapat dilakukan uji t.
Adapun hipotesis statistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
H0 : 1   2
Dimana kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan mengunakan model pembelajaran problem centered
learning lebih rendah atau sama dengan kemampuan koneksi siswa
yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran langsung.
H1 :𝜇1 > 𝜇2
Dimana kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan mengunakan model pembelajaran problem centered
learning lebih tinggi dari kemampuan koneksi siswa yang
156
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
mengikuti
pembelajaran
dengan
menggunakan
model
pembelajaran langsung.
Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,97 dan nilai
𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 pada taraf signifikansi α =0,05 dengan dk = 32. Hal ini menunjukkan
bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,97 > 𝑡(1−𝛼) = 1,70, maka H0 ditolak sehingga dengan uji
statistik dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi siswa yang mengikuti
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Problem Centered
Learninglebih tinggi dari kemampuan koneksi siswa yang mengikuti pembelajaran
dengan model pembelajaran langsung . Sketsa kurva penerimaan dan penolakan Ho
sebagai berikut:
Daerah
Penolakan H0
H0
H1H1
𝛼 = 0,05
PEMBAHASAN
5,97
1,70
Gambar 4.3 Kurva Penerimaan dan Penolakan Ho
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara kemampuan
koneksi siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran
problem centered learningdengan kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan
dengan model pembelajaran langsung.
Dari hasil tes kemampuan koneksi diperoleh nilai rata-rata dari kelas
eksperimen adalah 47,76 dan nilai rata-rata dari kelas kontrol adalah 23,19. Hal ini
berarti bahwa kelas ekperimen memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai rata-rata dari kelas kontrol.
Selanjutnya akan dilakukan pengujian normalitas dan homogenitas terhadap
data hasil tes kemampuan koneks sebagai syarat untuk dilakukan pengujian
hipotesis. Pengujian normalitas ini dilakukan menggunakan uji liliefors.
Berdasarkan hasil perhitungan, untuk kelas eksperimen diperoleh
𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
0,094, sedangkan 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,174dengan taraf nyata 0,05 dengan 𝑛 = 26.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka
dapat disimpulkan bahwa data hasil tes kemampuan koneksi untuk kelas
157
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
eksperimen berdistribusi normal. Selanjutnya untuk data hasil tes kemampuan
koneksi untuk kelas kontrol berdasarkan hasil perhitungan diperoleh 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
0,168 serta 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 0,174 dengan taraf nyata 0,05 dengan 𝑛 = 26. Dari hasil
perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa 𝐿ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐿𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 maka dapat disimpulkan
bahwa data hasil tes kemampuan koneksi untuk kelas kontrol juga berdistribusi
normal.
Untuk pengujian homogenitas, dari hasil perhitungan diperoleh kesimpulan
bahwa 𝐹ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 < 𝐹𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 yaitu 1,67< 1,96 pada α = 0,05 yang artinya kedua kelas
yaitu kelas kontrol dan kelas eksperimen memiliki varians yang populasinya
homogen.
Setelah kedua sampel berdistribusi normal dan memiliki varians yang
homogen, maka dilanjutkan dengan pengujian statistik terhadap hipotesis. Pada
pengujian hipotesis ini dilakukan dengan menggunakan uji statistik parametrik
yaitu uji t yaitu uji kesamaan dua rata-rata dengan taraf nyata 𝛼 = 0,05. Hasil
analisis yang diperoleh yaitu 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 = 5,97dan 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 = 1,70 , 𝑑𝑘 = 50. Maka
dapat disimpulkan bahwa 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 > 𝑡𝑡𝑎𝑏𝑒𝑙 artinya H0 ditolak dan H1 diterima. Hal
ini berarti bahwa kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran problem centered learninglebih tinggi
dibandingkan dengan kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran langsung.
Berdasarkan hipotesis tersebut bahwa ada perbedaan antara kemampuan
koneksi siswa yang belajarkan dengan menggunakan model pembelajaran problem
centered learningdan kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model
pembelajaran langsung.
Kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran
berpusat pada masalah atau problem centered learning lebih tinggi daripada
kemampuan koneksi siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran
langsung. Hal ini jelas terlihat dari cara siswa memecahkan suatu masalah
matematika yang diberikan oleh guru melalui LKS yang terkait dengan materi luas
dan volume kubus dan balok. Masalah-masalah yang diberikan merupakan
158
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang sering siswa
jumpai. Sehingga dengan menggunakan model pembelajaran berpusat pada
masalah atau problem centered learning dimana siswa dibimbing oleh guru melihat
adanya masalah untuk dipecahkan melalui LKS, siswa merumuskan masalah
dengan memanfaatkan pengetahuan siswa tersebut untuk mengkaji dan
menganalisis masalah sehingga akan muncul rumusan masalah yang jelas dan dapat
dipecahkan. Hal ini berarti bahwa model pembelajaran berpusat pada masalah
sangat berpengaruh terhadap perkembangan cara berpikir siswa terutama untuk
kemampuan koneksi pada pembelajaran matematika.
Dalam penelitian ini koneksi matematika yang dimaksudkan adalah
kemampuan siswa dalam melakukan koneksi yang terlihat melalui cara siswa saat
menyelsaikan masalah yang diberikan guru. Sesuai dengan indikator penelitian
yaitu dimana siswa mampu mengkoneksikan konsep matematika dengan
matematika itu sendiri dan juga kemampuan siswa dalam mengkoneksikan
matematika dengan kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Nuniek Avianti. Mudah belajar matematika 2: untuk kelas VIII Sekolah
Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/ .Jakarta: Pusat Perbukuan.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
Arends, Richard. 2008, Learning To Teach Belajar untuk Mengajar,
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Arikunto, Suharsimi. 2013, Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2, Jakarta;PT
Bumi Aksara.Arikunto, Suharsimi. 2013. Prosedur penelitian suatu
pendekatan praktis. Jakarta: PT. Rineka cipta
Dewanti, Sintha , Sih. 2009.The Combination Of Problem-Centered Learning And
Meta-Cognitive Training To Increase
Students’ Ability To Solve
Mathematics Problems . Jurnal penelitian dan evaluasi pendidikan Pps
Universitas Negeri YogyakartaVol. 12, No. 1
Jihad, Asep dan Haris Abdul. 2012, Evaluasi Pembelajaran, Yogyakarta: Multi
Pressindo.
Listyotami, M Kusuma. 2011, Upaya Meningkatkan Kemampuan Koneksi
Matematika Siswa Kelas Viii A Smp N 15 Yogyakarta Melalui Model
Pembelajaran Learning Cycle “5e”. Tesis pendidikan, Universitas Negeri
Yogyakarta (tidak diterbitkan)
159
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Lestari, Puji. 2011. Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMK
Melalui Pendekatan Pembelajaran Kontekstual. Jurnal Penelitian
Pendidikan. Volume 1, Isbn 978-602-19541-0-2
Mustika, Rika. 2005, Penerapan Model Problem Centered Learning (PCL)
DalamUpaya Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematik. Tesis
pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia. Tidak diterbitkan
Nuharini, Dewi. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya: untuk SMP/MTs
Kelas VIII. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional
Pauweni, Khardiyawan. 2012, Pengaruh model pembelajaran berdasarkan
masalah dan perbedaan gender terhadap kemampuan komunikasi
Matematika. Tesis : Universitas negeri gorontalo (tidak diterbitkan)
Shohibul, Ahmad. 2008. Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan
Problem Centered Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa. Tesis
Universitas Islam Syarif hidayatullah jakarta. (tidak diterbitkan).
Shoimin, Aris. 2014, 68 Model pembelajaran Inovatif dalam kurikulum 2013,
Yogyakarta; AR-RUZZ Media
Sudjana, 2005, Metoda Statistika, Bandung; Tarsito
Sugiono, 2012, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan R & D. Bandung;
Alfabeta
Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi Pembelajran Matematika Kontemporer,
Bandung, Alfabeta
Suhendri. 2006. Kemampuan Pemecahan Matematis Siswa Sma Melalui ProblemCentered-Learning (PCL). Jurnal penelitian dan evaluasi pendidikanVolume.
12, No. 1, Pps Universitas Pendidikan Indonesia.
Sumarmo,utari dan Permana Yanto.2007. Mengembangkan kemampuan penalaran
Dan koneksi matematik siswa sma melalui pembelajaran berbasis
masalah. Vol. I, No. 2. ISSN : 1907-8838
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan, yogyakarta;
Kanisius
Suprijono, Agus. 2009. Cooperative learning teori dan aplikasi PAIKEM,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Warli. 2012. Scaffolding Sebagai Strategi Pembelajaran Matematika Bagi Anak
Bergaya Kognitif Impulsif Atau Reflektif. Prosiding seminar nasional
mipa dan pembelajaran malang. ISBN: 978-602-97895-6-0
Yuniawatika. 2011. Penerapan pembelajaran mtematika dengan strategi react
untuk meningkatkan kemampuan koneksi dan repsentasi matematika
siswa sekolah dasar. Jurnal Pendidikan, ISSN 1412-565x
160
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MELIBATKAN METAKOGNISI SISWA DALAM
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Amellia T.P. Kansil
Abstrak. Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah mengembangkan pemikir-pemikir
yang matang dan dapat menggunakan pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan
nyata. Seiring perkembangan pendidikan, salah satu ciri pembelajaran matematika
masa kini adalah penyajiannya didasarkan pada psikologi kognitif. Salah satu aspek
kognitif yang menarik adalah yang dikenal dengan metakognisi.
Pengetahuan metakognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang proses
kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Anderson &
Kathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah
pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan kesadaran dan pengetahuan
tentang kognisi-diri seseorang. Metakognisi berhubungan dengan berpikir siswa
tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi belajar
tertentu dengan tepat.
Artikel ini membahas tentang bagaimana melibatkan metakognisi siswa dalam
pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran interaktif.
Berdasarkan kajian teoritis penulis berkesimpulan bahwa melibatkan metakognisi
siswa dalam pembelajaran matematika yang menggunakan model pembelajaran
interaktif, dapat dilakukan pada fase yang kedua dan ketiga dari sintaks model
tersebut. Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat melakukan
manipulasi, investigasi, eksperimen dan penyelesaian masalah.
Kata kunci :
psikologi kognitif, proses kognitif, metakognisi, pembelajaran interaktif
PENDAHULUAN
Abad sekarang ini dikenal dengan abad ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk mampu bertahan hidup seseorang harus memiliki sumber daya yang
berkualitas tinggi, yang memiliki kemampuan komparatif, inovatif, kompetitif dan
mampu berkolaborasi. Disadari bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia
dapat terbentuk lewat jalur pendidikan.
Marzano et al (1988) menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
mengembangkan pemikir-pemikir yang matang dan dapat menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya dalam kehidupan nyata. Upaya pendidikan untuk
menjawab tantangan ini nyata dalam pembaharuan salah satu substansi pendidikan,
yakni kurikulum. Kurikulum Nasional KTSP (2006) yang dikembangkan dengan
pendekatan berbasis kompetensi merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki
161
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sistem pendidikan nasional dalam konteks untuk mewujudkan masyarakat yang
mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Matematika
sebagai salah satu cabang ilmu yang terstruktur dan terorganisir secara sistematis,
disadari mempunyai peranan penting dalam mengoptimalkan kemampuan berpikir
manusia. Plato (Gredler,1986) dalam ajarannya yang menyatakan bahwa untuk
mengembangkan pikiran, pelajari matematika. Kesadaran tersebut juga tampak
dalam rumusan kebijakan pendidikan matematika di Indonesia. Depdiknas (2003)
menjelaskan salah satu tujuan pendidikan matematika adalah melatih cara berpikir
dan bernalar dalam menarik kesimpulan. Dalam kurikulum matematika sekolah
(Depdiknas, 2003), dikemukakan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah;
1. Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan misalnya
melalui kegiatan penyelidikan dan eksperimen
2. Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran orisinil, rasa ingin tahu, dan
dugaan,serta mencoba-coba.
3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.
4. Mengembangkan
kemampuan
menyampaikan
informasi
atau
mengkomunikasikan gagasan.
Uraian di atas menjelaskan bahwa matematika sebagai wahana pendidikan
tidak dapat hanya digunakan untuk mencapai satu tujuan mencerdaskan siswa saja,
tetapi juga dapat digunakan untuk membangun kepribadian dan ketrampilan siswa.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa matematika dapat membantu
meningkatkan kemampuan berpikir seseorang yang dapat digunakannya dalam
memecahkan berbagai masalah dalam kehidupan nyata.
Fakta menunjukkan bahwa hingga sekarang masalah hasil belajar
matematika siswa yang rendah sebagian besar belum dapat diselesaikan. Ini dapat
dilihat pada hasil Ujian Nasional yang masih rendah. Salajang (2007)
mengungkapkan masalah aktual lain yang ditemukan di lapangan adalah rendahnya
penguasaan matematika oleh anak-anak dan rendahnya kualitas pembelajaran
matematika. Pembelajaran matematika yang dilakukan selama ini belum mampu
memanfaatkan kemampuan atau potensi anak-anak. Masalah ini perlu segera
162
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ditangani agar dampaknya tidak terlalu meluas dengan mengkaji ulang proses
pembelajaran yang dilaksanakan.
Banyak model pembelajaran yang dikembangkan untuk memfasilitasi siswa
dalam belajar guna mencapai tujuan pembelajaran. Seiring perkembangan
pendidikan, salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya
didasarkan pada psikologi kognitif. Salah satu aspek kognitif yang menarik adalah
yang dikenal dengan metakognisi. Flavell (Livingston,1997) mengemukakan
bahwa metakognisi terdiri dari dua komponen, yaitu pengetahuan metakognitif dan
regulasi metakognitif.
Pengetahuan metakognitif cenderung diterima sebagai pengetahuan tentang
proses kognitif yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Anderson
& Kathwohl (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan metakognitif adalah
pengetahuan tentang kognisi, secara umum sama dengan kesadaran dan
pengetahuan tentang kognisi-diri seseorang. Metakognisi berhubungan dengan
berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka
menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat (Nur, 2000). Sejalan
dengan pengertian di atas, O’Neil & Brown (1997) mengemukakan pengertian
metakognisi sebagai proses di mana seseorang berpikir tentang berpikir mereka
sendiri dalam rangka membangun strategi untuk memecahkan masalah.
Suzana
(2004)
mendefinisikan
pembelajaran
dengan
pendekatan
keterampilan metakognitif sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran
bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka
ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya;
menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa; membantu dan membimbing siswa
jika ada kesulitan; dan membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri apa
yang dilakukan saat belajar matematika sehingga siswa dapat belajar secara
mandiri.
Dengan uraian di atas, diasumsikan bahwa pendekatan pembelajaran yang
di dalamnya metakognisi siswa dilibatkan akan membantu menghasilkan siswa
yang dapat belajar mandiri, dalam kerangka pembentukan kualitas sumber daya
manusia yang diharapkan. Untuk maksud tersebut kajian tentang pembelajaran
163
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
yang melibatkan metakognisi sangatlah diperlukan untuk menjadi acuan bagi guru
dalam mengembangkan pembelajaran di kelas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan :
“Bagaimanakah melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika?
“ Adapun tujuan penulisan artikel ini adalah mendapatkan gambaran bagaimana
melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika dengan model
interaktif.
Metakognisi
Metakognisi merupakan suatu istilah yang diperkenalkan oleh Flavell pada
tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan pada pendefinisiannya. Hal ini
berakibat bahwa metakognisi tidak selalu sama di dalam berbagai macam bidang
penelitian psikologi, dan juga tidak dapat diterapkan pada satu bidang psikologi
saja. Namun demikian, pengertian metakognisi yang dikemukakan oleh para
peneliti bidang psikologi, pada umumnya memberikan penekanan pada kesadaran
berpikir seseorang tentang proses berpikirnya sendiri.
Wellman (1985) menyatakan bahwa metakognisi sebagai suatu bentuk
kognisi atau proses berpikir dua tingkat atau lebih yang melibatkan pengendalian
terhadap aktivitas kognitif. Karena itu, metakognisi dapat dikatakan sebagai
berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri atau kognisi seseorang tentang
kognisinya sendiri. Selain itu Livingston (1997) dan Schoenfeld (1992) menyatakan
bahwa metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran seseorang tentang
aktivitas kognitifnya sendiri atau segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas
kognitifnya. Dengan demikian, aktivitas kognitif seseorang seperti perencanaan,
monitoring, dan mengevaluasi penyelesaian suatu tugas tertentu merupakan
metakognisi secara alami (Livingston, 1997).
Flavell & Brown (Veenman, 2006) menyatakan bahwa metakognisi adalah
pengetahuan (knowledge) dan regulasi (regulation) pada suatu aktivitas kognitif
seseorang dalam proses belajarnya. Sedangkan Moore (2004) menyatakan bahwa
metakognisi mengacu pada pemahaman seseorang tentang pengetahuannya,
sehingga pemahaman yang mendalam tentang pengetahuannya akan mencerminkan
164
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penggunaannya yang efektif atau uraian yang jelas tentang pengetahuan yang
dipermasalahkan. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan-kognisi adalah
kesadaran seseorang tentang apa yang sesungguhnya diketahuinya dan regulasikognisi adalah bagaimana seseorang mengatur aktivitas kognisifnya secara efektif.
Karena itu, pengetahuan-kognisi memuat pengetahuan deklaratif, prosedural, dan
kondisional, sedang regulasi-kognisi mencakup kegiatan perencanaan, prediksi,
monitoring
(pemantauan),
pengujian,
perbaikan
(revisi),
pengecekan
(pemeriksaan), dan evaluasi.
Baker & Brown, Gagne (Nur, 2000) mengemukakan bahwa metakognisi
memiliki dua komponen, yaitu (a) pengetahuan tentang kognisi, dan (b) mekanisme
pengendalian diri dan monitoring kognitif. Sedang Flavell (Livington, 1997)
mengemukakan bahwa metakognisi meliputi dua komponen, yaitu (a) pengetahuan
metakognisi (metacognitive knowledge), dan (b) pengalaman atau regulasi
metakognisi (metacognitive experiences or reguloation). Pendapat yang serupa
juga dikemukakan oleh Huitt (1997) bahwa terdapat dua komponen yang termasuk
dalam metakognisi, yaitu (a) apa yang kita ketahui atau tidak ketahui, dan (b)
regulasi bagaimana kita belajar.
Pengertian metakognisi yang dikemukakan para pakar sebagaimana yang
dijelaskan di atas, pada umumnya memberikan penekanan pada proses berpikir
seseorang. Pengertian yang paling umum dari metakognisi adalah thinking about
thinking (berpikir tentang berpikir) atau learn how to learn (belajar bagaimana
belajar) (Blakey & Spence, 1990; Huiit, 1997; NCREL, 1995; Kasper, 1993; O’Neil
& Brown, 1997; Livington, 1997).
Gambaran yang lebih jelas tentang metakognisi dapat dipahami dalam
pengertian yang dikemukakan oleh Flavell (Nur, 2000) sebagai berikut.
Metakognisi adalah pengetahuan seseorang berkenaan dengan proses dan produk
kognitif orang itu sendiri atau segala sesuatu yang berkaitan dengan proses dan
produk tersebut. Metakognitif berhubungan dengan salah satu diantaranya dengan
pemonitoran aktif dan pengendalian yang konsekuen serta pengorganisasian proses
pemonitoran dan pengendalian ini berhubungan dengan tujuan kognitif, pada masa
165
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
proses-proses tersebut menunjang, umumnya dalam mendukung sejumlah tujuan
konkret.
Dalam sudut pandang lain, metakognisi didefinisikan sebagai keterampilan
kompleks yang dibutuhkan siswa untuk menguasai suatu jangkauan keterampilan
khusus, kemudian mengumpulkan dan mengumpulkan kembali keterampilanketerampilan ini ke dalam strategi belajar yang tepat terhadap suatu masalah khusus
atau isu-isu dalam konteks yang berbeda (Sharples & Mathews, 1989). Bagaimana
siswa secara berangsur-angsur
menguasai
keterampilan
metakognisi
ini
memerlukan suatu proses yang cukup lama. Namun demikian, guru dapat memulai,
lebih awal di sekolah, dengan model keterampilan ini, dengan secara spesifik
melatih siswa dalam keterampilan dan strategi khusus (seperti perencanaan atau
evaluasi dan analisis masalah) dan dengan struktur mengajar mereka sedemikian
sehingga siswa terfokus pada bagaimana mereka belajar dan juga pada apa yang
mereka pelajari (Jacob, 2000).
Dalam konteks ini, untuk memperoleh hasil belajar yang efektif, maka
guru harus mengajarkan kepada siswa keterampilan metakognitif yang meliputi
kesadaran, merancang, memonitor dan merevisi kerja mereka sendiri serta
menganalisis prestasi belajarnya; menjadi pelajar yang mampu menyelesaikan
masalah matematika secara mandiri dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, guru
akan terfokus untuk mengembangkan: (1) kemampuan siswa untuk menyelesaikan
masalah; dan (2) keyakinan siswa dalam kemampuan pemecahan masalahnya.
Akhirnya, apabila siswa menyadari akan proses yang mereka gunakan, dan apabila
mereka belajar untuk kontrol proses kognitif ini, kemampuan mereka untuk transfer
keterampilan pemecahan masalah meningkat.
Mengajar keterampilan metakognitif dapat dilakukan sesuai dengan teori
yang diusulkan oleh Mayer (Jacob, 2003), yaitu: (1) translasi (translation); (2)
integrasi (integration); (3) perencanaan dan monitoring (planning and monitoring);
serta (4) pelaksanaan solusi (solution execution).
Translasi membutuhkan pengetahuan linguistik yang membolehkan siswa
untuk mengerti kalimat dan fakta-fakta tertentu. Pengetahuan faktual merupakan
suatu komponen kunci dalam translasi. Misalnya, konversi skala membutuhkan
166
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pengetahuan faktual (mengkonversikan 40 cm dengan 0,1 m perlu mengetahui
bahwa 100 cm = 1 m). Integrasi membutuhkan siswa untuk menggabungkan
masing-masing pernyataan ke dalam suatu representasi yang berkaitan secara logis
dan dengan memiliki pengetahuan sistematik untuk mengenal dan pendekatan
kepada tipe-tipe masalah. Perencanaan dan monitoring membutuhkan pengetahuan
strategi yang terfokus pada bagaimana untuk menyelesaikan masalah. Rancangan
meliputi pemecahan masalah ke dalam komponen-komponen. Misalnya, apakah
operasi akan diselesaikan pertama dan mengapa? Merencanakan dan monitoring
suatu rancangan solusi merupakan aspek krusial dari pemecahan masalah
sistematis. Siswa sangat berbeda dalam pendekatan dan kemampuannya untuk
memonitor perencanaan solusi. Pelaksanaan solusi mewajibkan siswa untuk
menggunakan pengetahuan prosedural untuk mengaplikasikan aturan aritmetika
secara akurat serta efisien saat melakukan kalkulasi dalam merancang solusi.
Pengetahuan prosedural ini didemonstrasikan apabila melaksanakan suatu prosedur
seperti multiplikasi atau penjumlahan.
Huiit (1997) mengemukakan bahwa metakognisi mencakup kemampuan
seseorang dalam bertanya dan menjawab beberapa tipe pertanyaan yang berkaitan
dengan tugas yang dihadapi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Apa yang saya ketahui tentang topik atau masalah ini ?
2. Tahukah saya apa yang dibutuhkan untuk mengetahuinya ?
3. Tahukah saya dari mana saya dapat memperoleh informasi atau
pengetahuan ?
4. Berapa lama waktu yang diperlukan untuk mempelajarinya ?
5. Strategi-strategi atau taktik-taktik apa yang dapat digunakan untuk
mempelajarinya ?
6. Dapatkah saya pahami dengan hanya mendengar, membaca, atau melihat ?
7. Akankah saya tahu jika saya mempelajarinya secara cepat ?
8. Bagaimana saya dapat membuat sedikit kesalahan jika saya membuat
sesuatu ?
167
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Nur (2002) mengemukakan secara operasional tentang kemampuan
metakognitif yang dapat diajarkan pada siswa, seperti kemampuan-kemampuan
untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung berapa waktu yang mereka
butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang efektif untuk belajar
atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak memahami
sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk
memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat
diterima oleh akal dan mana yang tidak.
North Central Regional Education Laboratory (NCREL) (Nurdin,2007)
mengemukakan 3 elemen dasar dari metakognisi secara khusus dalam menghadapi
tugas, yaitu : (a) mengembangkan rencana tindakan, (b) mengatur atau memonitor,
dan (c) mengevaluasi rencana. Menurut NCREL ketiga komponen metakognisi
tersebut dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Sebelum : Ketika kamu mengembangkan rencana tindakan, tanyalah dirimu :
1. Pengetahuan apa yang membantu dalam tugas ini ?
2. Petunjuk apa yang dapat digunakan dalam berfikir ?
3. Apa yang pertama akan saya lakukan ?
4. Mengapa saya membaca (bagian) pilihan ini ?
5. Berapa lama saya mengerjakan tugas ini secara lengkap ?
Selama : Ketika kamu mengatur atau memonitor rencana tindakan, tanyakan
dirimu:
1. Bagaimana saya melakukannya ?
2. Apakah saya berada pada jalur yang benar ?
3. Bagaimana saya meneruskannya ?
4. Informasi apa yang penting untuk diingat ?
5. Akankah saya pindah pada petunjuk yang lain ?
6. Akankah saya mengatur langkah-langkah bergantung pada kesulitan ?
7. Apa yang perlu dilakukan jika saya tidak mengerti ?
Sesudah : Ketika kamu mengevaluasi rencana tindakan, tanyakan dirimu :
1. Seberapa baik saya melakukannnya ?
168
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2. Apakah saya memerlukan pemikiran khusus yang lebih banyak atau yang
lebih sedikit dari yang saya perkirakan ?
3. Apakah saya dapat mmengerjakan dengan cara yang berbeda ?
4. Bagaimana saya dapat mengaplikasikan cara berfikir ini pada problem yang
lain ?
5. Apakah saya perlu kembali pada tugas itu untuk mengisi “kekosongan” pada
ingatan saya ?
Walaupun secara redaksional pengertian dan komponen-komponen
metakognisi yang dikemukakan para pakar di atas sangat beragam, namun pada
hakekatnya memberikan penekanan pada komponen-komponen yang hampir sama.
Mengenai strategi guru untuk meningkatkan metakognisi siswa, Huiit (Nurdin,
2007) mengemukakan beberapa contoh sebagai berikut :
1. Mintalah siswa untuk memonitor belajar dan berfikir mereka sendiri.
2. Mintalah siswa mempelajarai strategi belajar, seperti PQ4R
3. Mintalah
siswa
membuat
prediksi
tentang
informasi
yang
akan
dipresentasikan berdasarkan apa yang telah mereka baca.
4. Mintalah siswa menghubungkan ide-ide untuk membentuk struktur
pengetahuan.
5. Mintalah siswa membuat pertanyaan-pertanyaan, bertanya pada diri mereka
sendiri tentang apa yang terjadi disekeliling mereka.
6. Bantulah siswa untuk mengetahui kapan bertanya untuk membantu.
7. Tunjukkan siswa bagaimana mentransfer pengetahuan, sikap, nilai, dan
ketrampilan pada situasi atau tugas lain.
Model Pembelajaran Interaktif
Menurut Holmes (1995), pembelajaran interaktif didasarkan pada dua
premis mayor yaitu (1) pemahaman berkembang sebagai suatu proses informasi dan
konstruksi ide-ide secara mental. Pemikiran kita sendiri memungkinkan kita untuk
membuat hubungan antara apa yang kita ketahui dengan informasi baru.
Pengetahuan matematika diperoleh sebagai hasil pemikiran kita tentang konsepkonsep numerik dan spasial, (2) pemecahan masalah sangat penting untuk
169
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menstimulasi pikiran. Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran interaktif
memungkinkan guru dan siswa untuk saling mempengaruhi proses berpikir masingmasing. Guru membuat tugas yang memancing siswa untuk berpikir mengonstruksi
konsep-konsep, membangun aturan-aturan dan belajar strategi pemecahan masalah.
Guru menanyakan siswa untuk menjelaskan tentang pekerjaan mereka dan guru
memikirkan respons siswa. Refleksi guru akan memungkinkan mereka untuk
merencanakan pengajaran sehingga siswa akan lebih maju dalam belajar
matematika.
Dalam pembelajaran interaktif, interaksi sosial antar siswa dan antara siswa
dengan guru mendapat perhatian. Menurut Burscheid dan Struve (Voigt, 1996 : 23),
belajar konsep-konsep di sekolah tidak cukup hanya dengan memfokuskan pada
individu siswa yang akan menemukan konsep-konsep, tetapi perlu ada “social
impulses” di sekolah sehingga siswa dapat mengonstruksikan konsep-konsep
teoritis seperti yang diinginkan. Menurut Voigt, dengan interaksi ini, akan
dimungkinkan terjadinya negosiasi makna dari konsep matematika tertentu bahkan
siswa mungkin saja memperkenalkan konstruksi baru walaupun mungkin
menyimpang dari konsep matematika.
Holmes (1995) membuat klasifikasi pelaksanaan pembelajaran interaktif
dalam 5 (lima) fase yaitu, (1) pengantar, (2) aktivitas/pemecahan masalah, (3)
saling membagi dan diskusi, (4) meringkas, dan (5) penilaian belajar unit materi.
Kelima fase ini selanjutnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sintaksis Model Pembelajaran Interaktif Menurut Holmes
FASE
1. Pengantar
AKTIVITAS
a. Mengorganisasi kelas untuk belajar
b. Menyampaikan kepada siswa tentang apa yang akan
mereka lakukan ; menyelesaikan masalah, melakukan
aktivitas, melanjutkan mempelajari suatu topik, atau
mengerjakan tugas (proyek)
c. Menentukan masalah atau aktivitas. Jika perlu
mintakan siswa untuk mencatat pekerjaan mereka
170
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2.
Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika pada saat
Aktivitas/pemecahan
melakukan manipulasi, investigasi, eksperimen dan
masalah
penyelesaian masalah. Saat siswa bekerja menyelesaikan
tugas-tugas, guru berkeliling di antara siswa, mengamati
dan mendengar, serta bertanya dan memberi komentar.
Siswa dapat diberikan pertanyaan open-ended sebelum
diskusi kelas.
3.
a. Siswa melaporkan penyelesaian masalah mereka
Saling membagi dan
sendiri atau kelompok, hasil dari aktivitas atau
diskusi
mendiskusikan jawaban mereka terhadap pertanyaan
open-ended.
b. Memimpin diskusi. Menyampaikan pertanyaan apakah,
mengapa dan bagaimana sehingga siswa mencapai
tujuan pelajaran. Pertanyaan akan memungkinkan
siswa untuk menggunakan berpikir tingkat tinggi dan
menghubungkan model-model pada representasi
simbolik jika sesuai untuk pelajaran.
4. Meringkas
a. Siswa memeriksa kembali apa yang telah mereka
lakukan atau yang mereka pelajari
b. Siswa mendemonstrasikan belajar (seperti
memunculkan masalah mereka sendiri, menyelesaikan
masalah yang diajukan guru, saling bertukar ide
dengan pasanganatau membuat laporan tertulis apa
yang telah dipelajari.
5. Penilaian belajar a. Sebelum, selama dan setelah pembelajaran dapat
unit materi
digunakan berbagai penilaian, seperti observasi,
wawancara, jurnal siswa atau buku harian, melengkapi
tugas, konstribusi kelompok, proyek, portofolio, kuis
dan tes
b. Menekankan pada penilaian siswa sendiri.
171
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Melibatkan Metakognisi dalam Pembelajaran Matematika
Melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran matematika yang
menggunakan model pembelajaran Interaktif, dapat dilakukan pada fase yang
kedua maupun ketiga dari sintaks model pembelajaran Interaktif, yakni pada fase
pemecahan masalah dengan aktifitas. Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika
pada saat melakukan manipulasi, investigasi, eksperimen dan penyelesaian
masalah. Saat siswa bekerja menyelesaikan tugas-tugas, guru berkeliling di antara
siswa, mengamati dan mendengar, serta bertanya dan memberi komentar. Siswa
dapat diberikan pertanyaan open-ended sebelum diskusi kelas. Pertanyaan openended, maupun pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan yang sekiranya
dapat melibatkan metakognisi siswa ketika mereka menjawabnya. Sebagaimana
contoh dalam pembahasan metakognisi. Misalnya, “Berapa lama waktu yang kamu
perlukan untuk mengerjakan soal tersebut”, “Dengan langkah apa kamu akan
memulai mengerjakan?”, dan yang lainnya.
KESIMPULAN
Metakognisi siswa adalah proses berpikir siswa tentang pikirannya, yang
dapat dilatih dalam setiap pembelajaran Matematika, secara operasional
metakognitif yang dapat dilatih pada siswa selama pembelajaran adalah seperti
dengan meatih kemampuan-kemampuan untuk menilai pemahaman mereka sendiri,
menghitung berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu,
memilih rencana yang efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana
cara memahami ketika ia tidak memahami sesuatu dan bagaimana cara
memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk memprediksi apa yang cenderung
akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima oleh akal dan mana yang
tidak. Dengan melibatkan metakognisi dalam pembelajaran diharapkan siswa dapat
melatih diri untuk menjadi pembelajar yang mandiri
Melibatkan metakognisi siswa dalam pembelajaran Matematika yang
menggunakan Model Pembelajaran Interaktif, dapat dilakukan pada fase yang
kedua maupun ketiga dari Sintaks Model Pembelajaran interaktif, yakni pada fase
pemecahan masalah dengan aktifitas Siswa dilibatkan dalam berpikir matematika
172
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pada saat melakukan manipulasi, investigasi, eksperimen dan penyelesaian
masalah. Saat siswa bekerja menyelesaikan tugas-tugas, guru berkeliling di antara
siswa, mengamati dan mendengar, serta bertanya dan memberi komentar. Siswa
dapat diberikan pertanyaan open-ended sebelum diskusi kelas. Pertanyaan openended, maupun pertanyaan yang dilontarkan adalah pertanyaan yang sekiranya
dapat melibatkan metakognisi siswa ketika mereka menjawabnya. Misalnya,
“Berapa lama waktu yang kamu perlukan untuk mengerjakan soal tersebut”,
“Dengan langkah apa kamu akan memulai mengerjakan?”, dan yang lainnya.
Berdasarkan uraian dalam Artikel ini, dapatlah disimpulkan tentang
pentingnya para siswa mengetahui atau menyadari kekurangan maupun kelebihan
diri mereka sendiri, agar para siswa yang memiliki pengetahuan tersebut akan dapat
mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu.
Dengan cara seperti itu, diharapkan para siswa akan lebih berhasil mempelajari
matematika.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, O.W. & Krathwohl, D.R., (2001). A Taxonomy For Learning, Teaching,
and Assessing (A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives).
New York: Addision Wesley Longman, Inc.
Depdiknas, (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi: Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Matematika, Jakarta : Depdiknas
Depdiknas, (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi,
Jakarta : Depdiknas
Flavell, J. H., (1976). Metacognitive aspects of problem solving. In L. B. Resnick
(Ed.), The nature of intelligence.
Hillsdale, NJ:
Erlbaum.
http://tip.psychology.org/meta.html
Gredler, M.E.B. (1991). Belajar dan Membelajarkan (Learning and Instruction
Theory Into Practice). Terjemahan oleh Munandir. Jakarta : Rajawali
Holmes, E. Emma. (1995). New Directions in Elementary Schools Mathematics.
Interactive Theaching and Learning. Englewood Cliffs, New Jersey : Prentise
Hall, Inc
Huitt, William G. (1997). Metacognition. Available: http://tip.psycology.org/meta.html.
Jacob, C. (2000). Belajar Bagaimana untuk Belajar Matematika: Suatu Telaah
Strategi Belajar Efektif. Surabaya : ITS
173
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Livingston,
J.,
(1997)
Metacognition
:
An
overview.
http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/Metacog.htm.
from
Marzano, at all (1998) Dimensions of Thingking : A Framework for Curriculum
and Instruction. Alexandria, Virginia, Association for Supervision and
Curriculum Development
Moore, K.C., (2004). Constructivism & Metacognition. http://www.tier1.
performance.com /Articles/constructivism.pdf
Nur, Moh., (2000).
Pengajaran Berpusat pada Siswa dan Pendekatan
Konstruktivis dalam Pengajaran. Pusat Pendidikan Sains dan Matematika
Sekolah. Unesa – Surabaya.
Nurdin, (2007). Model Pembelajarn Matematika yang Menumbuhkan Kemampuan
Metakognitif untuk Mengetahui Bahan Ajar. Disertasi Program Pascasarjana
Unesa, Surabaya.
O’Neil Jr, H.F. & Brown, R.S (1997). Differential Effects of Question Formats in
Math Assesment on Metacognition and Affect. Los Angeles: Cresst-CSE
University of California
Salajang, S.M., (2007). Pengembangan Model Pembelajaran Konstruktivistik
dengan Advance Organizer (Model Konstad). Disertasi. PPS Universitas
Negeri Surabaya
Sharples, J., & Mathews, B. (1989). Learning How To Learn: Investigating
Effective Learning Strategies. Victoria: Office of Schools Administration
Ministry of education.
Shoenfeld, A.H., (1992). Learning To Think Mathematically: Problem Solving,
Metacognition, And Sense-Making In Mathematics. Handbook for Research
on Mathematics Teaching and Learning (D. Grouws, Ed.). New York:
MacMillan. http://myschoolnet.ppk.kpm.my/bcb8.pdf.
Suzana (2004). Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMU. Disajikan
pada Seminar Nasional Matematika: Matematika dan Kontribusinya terhadap
Peningkatan Kualitas SDM dalam Menyongsong Era Industri dan Informasi,
15 Mei 2004, Bandung.
Veenman, M.V.J., (2006). Metacognition and learning: conceptual and
methodological considerations. Recieved: 08 December 2005/Accepted: 08
December 2005/Published online: 08 March 2006 # Springer Science +
Business Media, Inc. 2006. www://springerlink.com
Voigt, J (1996). Negotiation of Mathematical Meaning in Classroom Processes :
Social Interaction and Learning Mathematics. In Steffe Leslie P., et al (eds.)
Theories of Mathematical Learning, New Jersey : Laurence Earlbaum
Asscociates Publishers
Wellman, H., (1985). The Origins of Metacognition. In D.L.Forrest-Pressley,
G.E.MacKinnon, and T.G. Waller (eds.), Metacognition, Cognition, and
174
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Human Performance, volume 1 – Theoretical Perspectives, chapter 1.
Academic Press, Inc.
175
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA
MAHASISWA PADA MATA KULIAH
STRUKTUR ALJABAR
Nila Kesumawati
Universitas PGRI Palembang, [email protected]
Abstrak. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan pemahaman
konsep matematika mahasiswa semester enam prodi Pendidikan Matematika
Universitas PGRI Palembang tahun akademik 2014/2015 pada mata kuliah struktur
aljabar. Subjek penelitian ini berjumlah 209 mahasiswa, 164 perempuan dan 45 lakilaki. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes kemampuan pemahaman konsep
matematika mahasiswa pada mata kuliah struktur aljabar. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis data
menyimpulkan bahwa rata-rata kemampuan pemahaman konsep matematika
mahasiswa pada mata kuliah struktur aljabar adalah 40,55. Nilai ini berada pada
kategori sangat kurang sehingga perlu dicarikan solusi pemecahannya.
Kata kunci: struktur aljabar, kemampuan pemahaman konsep, deskriptif.
PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar memiliki kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan
sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut adalah reformasi dalam
pembelajaran matematika. Reformasi pembelajaran matematika telah dilakukan
tetapi kenyataan di lapangan masih ditemui kesulitan peserta didik dalam
memahami materi matematika. Kemampuan pemahaman konsep matematika
sangat erat kaitannya dengan kemampuan matematika lainnya.
NCTM 2000 menyebutkan bahwa pemahaman matematis merupakan aspek
yang sangat penting dalam prinsip pembelajaran matematika. Dalam proses belajar
matematika haruslah disertai dengan pemahaman. Hal ini merupakan tujuan utama
dari belajar matematika. Belajar tanpa pemahaman merupakan hal yang terjadi dan
menjadi masalah sejak tahun 1930-an, sehingga belajar dengan pemahaman
tersebut terus ditekankan dalam kurikulum (Qohar, 2010:1). Siswa dikatakan
memahami suatu konsep matematika antara lain ketika mereka membangun
hubungan antara pengetahuan baru yang diperoleh dan pengetahuan sebelumnya.
176
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Menurut Anderson et al. (2001: 70), siswa dikatakan memiliki kemampuan
pemahaman jika siswa tersebut mampu mengkonstruksi makna dari pesan-pesan
yang timbul dalam pengajaran seperti komunikasi lisan, tulisan, dan grafik.
Pemahaman konsep matematika peserta didik dalam proses pembelajaran
haruslah sesuai dengan tingkat perkembangan mentalnya. Peserta didik yang
tingkat perkembangannya belum mencapai tingkat berpikir formal akan mengalami
kesulitan dalam memahami konsep matematika. Sementara itu, kesulitan
mahasiswa belajar matematika di perguruan tinggi biasanya disebabkan oleh
lemahnya penguasaan aspek konsep matematika. Konsep matematika di perguruan
tinggi adalah suatu konsep yang rumit dan kompleks. Rumit karena memiliki
banyak simbol dan makna, sedangkan kompleks karena memiliki kaitan dengan
konsep sebelumnya. Untuk memahami suatu konsep matematika, seseorang harus
mampu (a) memahami makna simbol pada konsep itu, (b) menguasai konsep
sebelumnya, dan (c) mengaitkan konsep sebelumnya dengan konsep yang sedang
dipelajari (Sutiarso, 2010: 2).
Pemahaman konseptual menurut Kilpatrick, Hiebert, Ball (Juandi, 2006: 29),
adalah pemahaman konsep-konsep matematika, operasi, dan relasi dalam
matematika. Mahasiswa dikatakan memahami konsep jika mahasiswa mampu
mendefinisikan konsep, mengidentifikasi dan memberi contoh atau bukan contoh
dari konsep, mengembangkan kemampuan koneksi matematik antar berbagai ide,
memahami bagaimana ide-ide matematika saling terkait satu sama lain sehingga
terbangun pemahaman menyeluruh, dan menggunakan matematika dalam konteks
di luar matematika (Kesumawati, 2010:26).
Penguasaan sebuah konsep matematika yang rumit dan kompleks diperlukan
adanya kecermatan, yaitu cermat memahami makna simbol pada suatu konsep,
memahami konsep-konsep sebelumnya, dan mengaitkan konsep sebelumnya
dengan konsep yang sedang dipelajari. Mahasiswa yang dapat memahami konsepkonsep matematika dengan benar akan lebih mudah mengaplikasikan konsep
tersebut ke dalam pembuktian suatu teorema. Salah satu mata kuliah yang sarat
dengan pembuktian adalah mata kuliah struktur aljabar.
Mata kuliah struktur aljabar dipelajari mahasiswa pada program sarjana dan
177
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
juga program pascasarjana bagi mahasiswa yang akan melanjutkan studi lebih
lanjut. Struktur aljabar adalah bagian dari cabang matematika abstrak yang memuat
konsep-konsep aljabar. Isi mata kuliah struktur aljabar menekankan pada teori-teori
dasar dan pembuktian teorema, serta sedikit aspek perhitungannya. Penekanan
pada teori dasar, pembuktian, dan sedikit perhitungan ini menyebabkan mahasiswa
senantiasa mengalami kesulitan dalam memahami mata kuliah struktur aljabar.
Mahasiswa terbiasa dengan perhitungan matematika, tidak terbiasa dengan proses
pembuktian matematika.
Sebagian besar mahasiswa beranggapan bahwa mata kuliah struktur aljabar
adalah mata kuliah yang abstrak dan kering, serta berisi konsep, teorema, dan
pembuktiannya seolah berada di luar bayangan, tidak dapat divisualisasikan, dan
tidak berkaitan dengan kehidupan nyata. Pada umumnya mempelajari ilmu abstrak
lebih sulit dibandingkan mempelajari ilmu konkret karena tidak adanya komputasi
melainkan mengaitkan berbagai konsep dan prinsip dalam menyelesaikan suatu
permasalahan yang biasanya berupa pembuktian. Hal ini sering dikeluhkan
mahasiswa karena mereka kesulitan dalam menyelesaikan tugas yang diberikan
pada mata kuliah struktur aljabar.
Penelitian yang telah dilaksanakan Moore (Isnarto, 2014:2) menemukan bahwa
kesulitan mahasiswa dalam menyusun bukti disebabkan oleh: (1) mahasiswa tidak
memahami dan tidak dapat menyatakan definisi, (2) mahasiswa mempunyai
keterbatasan intuisi yang terkait dengan konsep, (3) gambaran konsep yang dimiliki
oleh mahasiswa tidak memadai untuk menyusun suatu pembuktian, (4) mahasiswa
tidak mampu, atau tidak mempunyai kemauan membangun suatu contoh sendiri
untuk
memperjelas
pembuktian,
(5)
mahasiswa
tidak
tahu
bagaimana
memanfaatkan definisi untuk menyusun bukti lengkap, (6) mahasiswa tidak
memahami penggunaan bahasa dan notasi matematis, dan (7) mahasiswa tidak tahu
cara mengawali pembuktian.
Pemahaman konsep matematika yang diteliti dalam penelitian ini merupakan
indikator kemampuan pemahaman konsep matematika yang dirujuk berdasarkan
kemampuan pemahaman konsep matematika pada kurikulum 2006. Adapun
indikator kemampuan pemahaman konsep matematika tersebut adalah sebagai
178
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berikut: (1) Menyatakan ulang sebuah konsep, yaitu kemampuan mahasiswa untuk
mengungkapkan kembali apa yang telah dikomunikasikan kepadanya, (2)
Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan
konsepnya), yaitu kemampuan mahasiswa untuk dapat mengelompokkan objek
menurut sifat-sifatnya, (3) Memberikan contoh dan non contoh dari konsep,
yaitu kemampuan mahasiswa dapat membedakan contoh dan bukan contoh dari
suatu materi yang telah dipelajari, (4) Menyajikan konsep dalam berbagai
bentuk representasi matematis, yaitu kemampuan mahasiswa menggambar atau
membuat grafik, membuat ekspresi matematis, menyusun cerita atau teks tertulis,
(5) Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep, yaitu
kemampuan mahasiswa mengkaji mana syarat perlu atau cukup suatu konsep yang
terkait, (6) Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi
tertentu, yaitu kemampuan mahasiswa menyelesaikan soal dengan tepat sesuai
dengan prosedur, dan (7) Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan
masalah, yaitu kemampuan mahasiswa menggunakan konsep serta prosedur dalam
menyelesaikan
masalah
yang
berkaitan
dengan
kehidupan
sehari-hari
(Kesumawati, 2010: 28-29).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan pemahaman
konsep matematika mahasiswa semester enam Pendidikan Matematika Universitas
PGRI Palembang pada mata kuliah struktur aljabar tahun akademik 2014/2015.
Ruang lingkup dari penelitian ini terbatas pada kemampuan pemahaman konsep
matematika mahasiswa dan materi mata kuliah struktur aljabar terbatas pada grup,
subgrup, permutasi, grup siklik, koset, homomorfisma, dan isomorfisma serta
penelitian ini dilaksanakan pada semester genap tahun akademik 2014/2015.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Subjek
penelitian ini adalah mahasiswa semester enam Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP Universitas PGRI Palembang tahun akademik 2014/2015,
berjumlah 209 mahasiswa. Adapun rincian jumlah mahasiswa dapat dilihat pada
Tabel 1.
179
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 1
Jumlah Mahasiswa Semester Enam Pendidikan Matematika
FKIP UPGRI Palembang Tahun Akademik 2014/2015
No
1
2
3
4
5
6
Semester/Kelas
6A
6B
6C
6D
6E
6F
Total
Laki-laki
5
12
10
2
3
13
45
Perempuan
43
25
39
12
5
40
164
Jumlah
48
37
49
14
8
53
209
Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan tes. Tes yang
dipergunakan berupa tes uraian yang berjumlah enam soal, bertujuan untuk
mendapat data kemampuan pemahaman konsep matematika. Tes diberikan pada
akhir perkuliahan mata kuliah Struktur Aljabar. Tes dibuat berdasarkan indikator
pemahaman konsep matematika yakni: (1) menyatakan ulang sebuah konsep, (2)
mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan
konsepnya), (3) memberikan contoh dan non contoh dari konsep, (4) menyajikan
konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis, (5) mengembangkan syarat
perlu atau syarat cukup suatu konsep, (6) menggunakan, memanfaatkan, dan
memilih prosedur atau operasi tertentu, dan (7) mengaplikasikan konsep atau
algoritma pemecahan masalah.
Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui kemampuan
pemahaman konsep mata kuliah struktur aljabar mahasiswa yang diteliti. Dalam
analisis data juga dikemukakan kemampuan pemahaman mahasiswa untuk setiap
indikator kemampuan pemahaman yang diteliti
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Gambaran umum data penelitian ini adalah sebagai berikut. Rata-rata
kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa semester enam prodi
Pendidikan Matematika Tahun Akademik 2014/2015 adalah 40,55 dan termasuk
dalam kategori sangat kurang, dengan simpangan baku sebesar 10,89. Rincian
untuk setiap aspek kemampuan pemahaman konsep matematika dapat dilihat pada
180
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tabel 2.
Tabel 2.
Rerata Hitung setiap Indikator dari Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematika dan Kategorinya
No.
Indikator
Rerata
Kategori
1.
Menyatakan ulang sebuah konsep
73,06
Baik
2.
Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat
tertentu.
39,64
Sangat Kurang
3.
Memberikan contoh dan non contoh dari konsep.
44,74
Kurang
4.
Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi
matematis.
40,7
Sangat Kurang
5.
Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu
konsep.
10,76
Sangat kurang
6.
Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau
operasi tertentu.
58,16
Cukup
7.
Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan
masalah.
7,59
Sangat kurang
Pendeskripsian kemampuan pemahaman konsep matematika (KPKM)
mahasiswa dalam mata kuliah struktur aljabar, data disajikan dalam tiga kelompok
kategori, yakni: kelompok atas, kelompok sedang, dan kelompok bawah. Kriteria
pengelompokan berdasarkan skor rerata ( x ) dan simpangan baku (s) berikut:
Nilai KPKM  x + s
(mahasiswa kelompok atas)
x - s  nilai KPKM < x + s
(mahasiswa kelompok sedang)
nilai KPKM < x - s
(mahasiswa kelompok bawah).
Hasil
perhitungan
terhadap
data
KPKM
siswa,
diperoleh
kriteria
pengelompokan siswa adalah:
mahasiswa kelompok atas
jika nilai KPKM  51,44;
mahasiswa kelompok sedang
jika 29,66  nilai KPKM < 51,44;
mahasiswa kelompok bawah
jika nilai KPKM < 51,44.
Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa dari 209 mahasiswa
yang diteliti, ada 22 orang kelompok atas, 141 orang kelompok sedang, dan 46
orang kelompok bawah.
Rata-rata KPKM setiap kelompok mahasiswa pada indikator 1 s.d. 7 berturut-
181
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
turut dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Rerata Hitung setiap Indikator dari Kemampuan Pemahaman Konsep
Matematika berdasarkan Kelompok
No.
Indikator
1
2
Menyatakan ulang sebuah konsep
Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat
tertentu.
Memberikan contoh dan non contoh dari konsep.
Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematis.
Mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu
konsep.
Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur
atau operasi tertentu.
Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan
masalah.
3
4
5
6
7
Kel.
Atas
75,91
Rerata
Kel.
Sedang
74,4
Kel.
Bawah
67,61
39,39
93,18
43,85
43,97
31,16
23,91
92,9
40,1
17,6
3,98
11,08
13,04
93,94
64,22
22,46
38,07
3,9
4,35
Pembahasan
Pada indikator ke-1 yakni, “menyatakan ulang sebuah konsep”, rerata nilai
mahasiswa termasuk dalam kategori baik hanya saja pada kelompok bawah
termasuk dalam kategori cukup, hal ini disebabkan mahasiswa telah paham dengan
definisi suatu materi, sehingga mahasiswa dapat menentukan apakah sebuah
pernyataan dari suatu soal salah atau benar serta memberikan alasannya jika
pernyataan tersebut salah. Contoh soal tes tersebut adalah sebagai berikut.
Benar atau salahkah pernyataan-pernyataan berikut ini? Jika salah, berikan
penjelasan!
a. Grupoid adalah suatu struktur aljabar dengan satu operasi biner saja dan
tanpa syarat.
b. Suatu grupoid (G, *) dikatakan semigrup jika memenuhi syarat-syarat:
(G,*) tertutup, dan mempunyai elemen identitas.
c. Himpunan bilangan bulat positif ganjil terhadap operasi penjumlahan
merupakan suatu grup.
d. Orde dari grup bilangan bulat terhadap operasi penjumlahan (Z, +) adalah
tak hingga.
Pada indikator ke-2, yakni “mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat
tertentu”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori sangat kurang, hal ini
disebabkan mahasiswa belum dapat mengklasifikasi apakah suatu himpunan ini
182
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
adalah suatu monoid dan juga apakah suatu sub grup untuk soal tes yang diberikan
kepada mahasiswa. Karena untuk mengklasifikasi suatu himpunan, mereka
memerlukan langkah pembuktikan terlebih dahulu. Teori pembuktian yang berlaku
di matematika dikembangkan berdasarkan penalaran logis dan deduktif sehingga
teori tersebut dapat diterapkan (Isnarto, 2014: 36). Mahasiswa belum dapat bernalar
bahwa suatu subgrup secara harfiah dapat diartikan sebagai grup bagian yang
mempunyai sifat-sifat grup.
Pada indikator ke-3, yakni “memberikan contoh dan non contoh dari konsep”,
rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori sangat baik untuk mahasiswa
kelompok atas, sedangkan untuk mahasiswa kelompok sedang dan bawah termasuk
dalam kategori sangat kurang. Dari jawaban soal tes mahasiswa diketahui bahwa
mahasiswa tidak dapat menentukan semua generator dari Z8. Mahasiswa belum
paham bahwa sebelum menentukan generator mereka harus menemukan order dari
Z8 terlebih dahulu, baru kemudian mereka harus menentukan bilangan-bilangan
yang menjadi generator. Karena bilangan yang menjadi generator haruslah
membangun suatu grup siklik terhadap penjumlahan atau perkalian (Gallian,
1992:71).
Pada indikator ke-4, yakni ”menyajikan konsep dalam berbagai bentuk
representasi matematis”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori yang
sama seperti pada indikator ke-3. Hal ini disebabkan mahasiswa tidak dapat
menyajikan atau belum paham tentang berbagai representasi dari permutasi. Hasil
pengerjaan soal tesnya masih salah, kecuali sebagian besar mahasiswa pada
kelompok atas karena mereka telah paham. Mahasiswa belum paham tentang
1
2
operasi “o” (hasil kali) permutasi dapat berbentuk (∝ (1) ∝ (2)
3
)
∝ (3)
dan juga
dapat berbentuk sikel. Untuk mempelajari dan memahami ide-ide abstrak itu
memerlukan representasi dalam berbagai cara yang dapat menafsirkan hasil yang
diperoleh sehingga dapat dipahami.
Nilai rerata indikator ke-5 ini berbeda nilai rerata dari indikator 1 s.d. 4.
Perbedaannya adalah nilai rerata yang diperoleh kelompok rendah dan sedang lebih
tinggi dari kelompok atas walaupun rerata nilainya masih tergolong sangat kurang.
Soal tes yang diberikan adalah “apa syarat perlu dan cukup dua koset dikatakan
183
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
sama?”. Terhadap soal ini, mahasiswa hanya menjawab sampai dengan definisi
koset saja. Mahasiswa masih mengalam kesulitan dalam melakukan pembuktian
untuk menjawab syarat perlu dan cukup dua koset dikatakan sama. Pembuktian
yang tepat mengandung rangkaian langkah-langkah yang logis dan argumentatif
berdasarkan aturan yang berlaku di matematika untuk menunjukkan benar atau
salahnya suatu ketetapan (Isnarto, 2014:36). Hal ini terbukti dari hasil pengerjaan
soal tes yang diberikan pada mahasiswa yang belum memahami konsep untuk
menyelesaikan suatu persoalan.
Pada indikator ke-6, yakni ”Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih
prosedur atau operasi tertentu”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori
cukup. Untuk kelompok atas termasuk dalam kategori sangat baik, kelompok
sedang termasuk dalam kategori cukup, dan untuk kelompok bawah termasuk
dalam katogori sangat kurang. Soal tes yang diberikan pada mahasiswa masih soal
pembuktian tetapi masih terbatas pada pembuktian tentang grup dan grup abelian.
Mahasiswa kelompok bawah banyak mengalami kesulitan untuk menentukan sifat
tertutup untuk himpunan {1, -1, i, -i}dan juga menentukan invers dari setiap
anggota himpunan tersebut. Mahasiswa tidak terbiasa menggunakan tabel Cayley,
karena dengan menggunakan tabel Cayley untuk pembuktian yang anggotanya
terbatas akan lebih efektif dan tepat.
Pada indikator yang terakhir, yakni “mengaplikasikan konsep atau algoritma
pemecahan masalah”, rerata nilai mahasiswa termasuk dalam kategori sangat
kurang. Pada indikator terakhir ini terdapat 49 dari 209 mahasiswa (23,44%) telah
menggunakan langkah yang tepat. Dan 32 mahasiswa (15,31%) dapat menentukan
anggota dari U(8) dan U(12) juga telah menggunakan strategi penyelesaian yang
tepat yakni dimulai dari pemanfaatan konsep FPB untuk menentukan U(8) dan
U(12), selanjutnya menyelidiki keberlakuan keempat aksioma grup. Terdapat 10
dari 209 mahasiswa (4,78%) dapat menentukan perpadanan sebagai pengawetan
hasil atau homomorfisma. Dan hanya 4 dari 209 mahasiswa (1,91%) dapat
membuktikan bahwa kedua grup tersebut struktrur-strukturnya memiliki sifat yang
sama atau identik yang dinamakan isomorfik.
184
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah nilai rata-rata kemampuan pemahaman
konsep matematika mahasiswa pada mata kuliah struktur aljabar adalah 40,55
termasuk dalam kategori sangat kurang. Berdasarkan pembagian kelompok
kemampuan pemahaman konsep matematika mahasiswa terbagi atas 3 kelompok
yakni tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan indikator dari kemampuan
pemahaman konsep matematika, mahasiswa tergolong sangat kurang pada
indikator 2, 4, 5, dan 7.
Berdasarkan temuan dari penelitian ini maka disarankan untuk dosen mata
kuliah struktur aljabar agar dapat: (1) membuat pemetaan terhadap kemampuan
mahasiswa dilakukan pada awal perkuliahan, (2) melakukan pendampingan pada
kelompok
mahasiswa,
belajar
(3)
dengan
mempertimbangkan
meningkatkan
porsi
heterogenitas
tugas-tugas
dengan
kemampuan
tujuan
untuk
mengembangkan kemampuan pemahaman konsep.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson., et al. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching and Assessing. New
York: Longman
Galian,J.A. 1998 .Contemporary Abstract Algebra. Ed.4. New York: University of
Minnesota.
Isnarto. 2014 . Kemampuan Konstruksi Bukti dan Berpikir Kritis Matematis
Mahasiswa pada Perkuliahan Struktur Aljabar melalui Guided Discovery
Learning Pendekatan Motivation to Reasoning and Proving Tasks. Disertasi
Doktor pada PPs UPI: tidak dipublikasikan.
Juandi, D. 2006 . Meningkatkan Daya Matematik Mahasiswa Calon Guru
Matematika Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi Doktor pada
PPS UPI: tidak dipublikasikan.
Kesumawati, Nila. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman, Pemecahan
Masalah, dan Disposisi Matematis Siswa Melalui Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik. Disertasi Doktor pada PPs UPI: tidak dipublikasikan.
NCTM. 2000. Defining Problem Solving. [Online]. Tersedia:
http://www.learner.org/channel/courses/teachingmath/gradesk2/session
03/sectio 03 a.html. [3 September 2007].
Qohar, Abd. 2010. Mengembangkan Kemampuan Pemahaman, Koneksi dan
Komunikasi Matematis Serta Kemandirian Belajar Matematika Siswa SMP
185
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
melalui Reciprocal Reaching. Disertasi Doktor pada PPs UPI: tidak
dipublikasikan.
Sutiarso, Sugeng. 2010 . Pengaruh Penerapan Teori APOS dalam Pembelajaran
Kalkulus Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Mahasiswa.
Disertasi Doktor pada PPs UPI: tidak dipublikasikan.
186
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENGGUNAAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING
DENGAN BANTUAN SOFTWARE GEOGEBRA UNTUK
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA
1
Khoerul Umam, 2Sigid Edy Purwanto, 3Cut Nurlia Aprilna
Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA
[email protected], [email protected],[email protected]
1
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa
pada materi persamaan dan fungsi kuadrat melalui model problem based learning
dengan bantuan software geogebra pada siswa kelas X. Metode penelitian yang
digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan model Kemmis dan
Taggart melalui empat tahapan, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan
refleksi. Subjek penelitian adalah siswa kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014-2015
yang berjumlah 33 siswa, terdiri dari 11 siswa laki-laki dan 22 siswa perempuan.
Indikator keberhasilan nilai rata-rata kelas dalam melakukan evaluasi sebesar 75,00
dan 70% dari 33 siswa kelas X MIA 1 mendapatkan nilai lebih dari 75,00. Kriteria
ketuntasan minimal dari mata pelajaran matematika adalah 75,00. Berdasarkan hasil
pengamatan awal sebelum tindakan rata-rata hasil belajar matematika siswa sebesar
55,70 dengan persentase pencapaian KKM 15,15%. Tes evaluasi pada penelitian
siklus pertama diperoleh nilai rata-rata kelas sebesar 68,15 dengan persentase
pencapaian kriteria ketuntasan minimal 36,36%. Pada penelitian siklus kedua
diperolah nilai rata-rata kelas sebesar 78,79 dengan persentase pencapaian kriteria
ketuntasan minimal 72,73% sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
matematika dengan model problem based learning berbantu software geogebra dapat
meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi persamaan dan fungsi
kuadrat di kelas X MIA 1.
: Model Problem Based Learning dengan Bantuan Software
Geogebra, PTK, Hasil Belajar Matematika Siswa.
Kata Kunci
PENDAHULUAN
Pembelajaran merupakan aktivitas yang diberikan guru agar terjadinya
proses memperoleh ilmu pengetahuan, pembentukan sikap serta kepercayaan diri
pada siswa. Guru memberikan bimbingan dan menyediakan berbagai kesempatan
saat proses pembelajaran untuk mendorong siswa memperoleh ilmu pengetahuan
melalui pengalaman belajar secara bermakna. Siswa mampu melakukan sesuatu
yang tidak dapat dilakukan sebelum terjadinya pembelajaran setelah siswa
memperoleh pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang didapat pada lingkungan
belajar menyebabkan pengetahuan terus bertambah sehingga mempengaruhi
pembentukan sikap dan rasa percaya diri pada siswa. Proses interaksi guru dengan
187
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
siswa saat pembelajaran mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tujuan
pembelajaran tercapai.
Guru berupaya mempersiapkan proses pembelajaran yang sesuai. Persiapan
proses pembelajaran sesuai dengan komponen yang dirancang berupa kurikulum,
rencana proses pembelajaran (RPP), metode pembelajaran yang tepat dan materi
bahan ajar yang akan disampaikan. Guru ideal mempersiapkan komponen
pembelajaran agar lebih mudah mengarahkan dan membimbing siswa saat proses
pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Pada akhir proses pembelajaran guru melakukan evaluasi secara menyeluruh.
Evaluasi pembelajaran bertujuan mengukur tingkat pencapaian kompetensi siswa.
Selain itu, laporan kemajuan guru dibutuhkan sebagai pertimbangan kegiatan
pembelajaran selanjutnya. Pertimbangan dibuat untuk meningkatkan motivasi dan
hasil belajar siswa.
Salah satu sekolah yang ada di Jakarta Pusat mempunyai berbagai macam
kemampuan siswa dengan karakteristik belajar yang berbeda dan hasil belajar yang
bervariasi pada pembelajaran matematika. Perbedaan tersebut disebabkan faktor
internal seperti semangat belajar, motivasi, dan kemampuan siswa. Sebagian besar
siswa kurang serius dalam pelakasanaan pembelajaran. Selain itu, lingkungan
sekolah yang dekat dengan stasiun dan kali menjadi faktor eksternal yang
mempengaruhi proses pembelajaran.
Penelitian ini dilaksanakan pada kelas X MIA 1 dengan jumlah siswa terdiri
dari 33 siswa, dengan 22 siswa perempuan dan 11 siswa laki-laki. Rendahnya hasil
belajar matematika dialami pada kelas X MIA 1, hal ini dilihat dari nilai UAS tahun
pelajaran 2014/2015 dengan sedikitnya siswa yang mendapatkan nilai di atas
kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu 75. Siswa yang
mendapat nilai kurang memuaskan mencapai 84,85% atau sebanyak 28 siswa yang
belum mencapai KKM, sedangkan yang mendapatkan nilai di atas KKM sebanyak
5 siswa.
Pada saat proses pembelajaran guru masih menggunakan metode ekspositori
dengan paduan metode pembelajaran lainnya. Metode ekspositori merupakan cara
penyampain seorang guru kepada siswa dengan cara berbicara diawal pelajaran,
188
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menjelaskan materi dan contoh soal serta melakukan tanya jawab. Seringnya
pembelajaran dengan menggunakan metode ekspositori menyebabkan siswa
kurang aktif, tergambar ketika dalam proses kegiatan belajar mengajar berlangsung.
Selain itu, guru belum pernah menggunakan model problem based learning dengan
bantuan software geogebra di kelas X MIA 1 saat pembelajaran.
Problem based learning merupakan model pembelajaran yang dapat
meningkatkan keterampilan belajar yang dibutuhkan pada era globalisasi saat ini.
Pembelajaran secara berkelompok yang dihadapkan pada suatu masalah, kemudian
siswa berupaya melakukan pemecahan masalah melalui tahapan-tahapan. Melalui
proses pemecahan masalah siswa dapat belajar keterampilan-keterampilan yang
lebih mendasar. Siswa banyak mencari tahu apa yang harus dikerjakan dan
bagaimana menyelesaikannya sehingga siswa sangat berperan aktif dalam belajar.
Siswa mampu mempertanggungjawabkan hasil dari proses mencari tahu yang
dilakukan, dengan adanya itu siswa merasakan makna dari pembelajaran tersebut.
Siswa dapat melihat dan mengeksplorasi grafik fungsi kuadrat dengan bantuan
software geogebra untuk meningkatkan pemahaman materi yang sedang dipelajari.
Jika siswa dapat memahami materi grafik fungsi kuadrat, maka siswa diharapkan
mampu menggambar sketsa grafik fungsi kuadrat tersebut.
Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan bagian dari rencana pelaksanaan
pembelajaran yang harus di pikirkan secara matang. Pemberian model
pembelajaran yang tepat akan mempengaruhi aktivitas siswa dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Sesuai dengan pernyataan Joyce bahwa each model guides us
as we design instruction to help students achieve various objectives (Trianto. 2010:
52). Setiap model mengarahkan kita dalam merancang pembelajaran untuk
membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran.
Model pembelejaran dimaksudkan sebagai pola interaksi dengan guru di
dalam kelas yang menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di
kelas (Erman Suherman. 1994:7). Sebelum proses mengajar, guru sudah
189
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
merencanakan model pembelajaran sesuai dengan materi pelajaran yang akan di
sampaikan menyangkut strategi, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran.
Apabila guru sudah merencanakan dengan baik diharapkan proses pembelajaran
akan lebih mudah terarahkan.
Problem Based Learning
Problem Based Learning (pembelajaran berbasis masalah) merupakan
model pembelajaran yang dapat membantu siswa untuk meningkatkan
keterampilan belajar sesuai dengan kebutuhan pada era globalisasi saat ini. Siswa
belajar tidak hanya sekedar belajar, akan tetapi siswa belajar dengan melakukan
rangkaian kegiatan. Berbagai rangkaian kegiatan yang dilakukan, siswa akan
merasakan pembelajaran lebih bermakna. Problem based learning didasarkan pada
kajian John Dewey, yang menekankan pentingnya pembelajaran melalui
pengalaman (belajar dari pengalaman)(David, dkk.
2009:242). Siswa akan
merasakan dampak dari belajar itu sendiri, apabila siswa mengalami langsung
proses pembelajaran.
Pada awal pembelajaran siswa sudah dihadapkan dengan permasalahan
disajikan dalam bentuk soal. Siswa berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan
berperan aktif dalam memecahkan masalah. Masalah tersebut yang berkaitan
dengan permasalahan yang terjadi di dunia nyata maupun dalam pembelajaran itu
sendiri. Siswa dihadapkan suatu permasalahan dalam dunia nyata bertujuan untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi. Sesuai dengan pengertian problem based
learning adalah salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa dengan
cara menghadapkan para siswa tersebut dengan berbagai masalah yang dihadapi
dalam kehidupan(Marhamah Saleh. 2013:203). Model PBL dapat meningkatkan
kemampuan berpikir siswa. Masalah yang diberikan dalam proses pembelajaran
sebagai modal awal untuk mengetahui pengetahuan baru.
Menurut Awang “Problem-based learning (PBL) is one of the student
centered approaches and has been considered by a number of higher educational
institutions in many parts of the world as a method of delivery” (Scolastika Mariani,
dkk. 2014:532). Maksud dari kutipan tersebut PBL merupakan salah satu
190
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pendekatan yang memusatkan kepada siswa untuk berperan aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Proses pembelajaran yang dilakukan dalam PBL dengan mencari
informasi dan bertukar pikiran sehingga terjadinya proses pengiriman ilmu-ilmu
yang baru didapat.
Problem-based learning requires students to make choices about how and
what they will learn”( Robert Delisle.1997:11). Pembelajaran ini menuntut siswa
untuk memikirkan bagaimana dan apa yang mereka pelajari. Siswa harus
mengetahui apa yang mereka pelajari dan bagaimana menyelesaikannya. Siswa
berusaha memecahkan permasalahan dengan menggunakan cara mereka untuk
memperoleh informasi. Usaha yang dilakukan akan mengembangkan kemampuan
siswa dalam berpikir, sehingga siswa memperoleh pembelajaran yang bermakna.
Apabila siswa tidak tahu apa yang mereka kerjakan dan bagaimana menyelesaikan
suatu permasalahan maka siswa tidak dapat memperoleh pembelajaran secara
bermakna. Kemauan dalam diri siswa merupaan modal dalam kegiatan problem
based learning.
Langkah-Langkah Problem Based Learning
Terdapat lima langkah utama atau tahapan di dalam problem based learning.
Langkah-langkah (Rusman. 2012:243) ditujukan sebagai berikut :
Fase
Tabel 2.1
Langkah –Langkah Problem Based Learning
Indikator
Tingkah Laku Guru
1
Orientasi siswa pada Menjelaskan
masalah
tujuan
pembelajaran,
menjelaskan logistik yang diperlukan, dan
memotovasi siswa terlibat pada aktivitas
pemecahan masalah.
2
Mengorganisasikan
Membantu
siswa
siswa untuk belajar
mengorganisasikan
mendefinisakan
tugas
belajar
dan
yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
191
KNPM 6
3
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Membimbing
Mendorong siswa untuk mengumpulkan
pengalaman
informasi
individual/kelompok
eksperimen untuk mendapatkan penjelasan
yang
sesuai,
melaksanakan
dan pemecahan masalah tersebut.
4
Mengembangkan
Membantu siswa dalam merencanakan dan
dan menyajikan hasil menyiapkan karya yang sesuai seperti
karya
laporan, dan membantu mereka untuk
berbagai tugas dengan temannya.
5
Menganalisa
dan Membantu siswa untuk melakukan refleksi
mengevaluasi proses atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka
pemecahan masalah
dan proses yang mereka gunakan.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 10 Jakarta yang berlokasi di jalan
Mangga Besar XIII Jakarta Pusat. Waktu penelitian dilaksanakan pada semester
genap taun pelajaran 2014/2015 pada bulan Januari.
Subjek Penelitian
Pada penelitian tindakan kelas ini yang menjadi subjek adalah hasil belajar
matematika siswa kelas X MIA 1 tahun pelajaran 2014/2015 pada materi persamaan
dan fungsi kuadrat, dengan jumlah siswa 33 siswa terdiri dari 22 siswa perempuan
dan 11 siswa laki-laki. Pihak yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah guru
yang bertindak sebagai kolaborator yaitu Imas Gandasari M.Pd .
Jenis Penelitian
Metode penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Penelitian
tindakan yang dilaksanakan oleh guru di dalam kelas untuk mengetahui akibat
tindakan yang diterapkan pada suatu subyek penelitian di kelas tersebut. Tindakan
yang dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa.
192
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa siklus untuk melihat hasil belajar
matematika siswa pada materi persamaan dan fungsi kuadrat menggunakan model
problem based learning dengan bantuan software geogebra. Hasil belajar tersebut
digunakan untuk mengetahui adanya peningkatan atau tidak dan sebagai penentuan
siklus berikutnya.
Hubungan keempat komponen ini dipandang sebagai satu siklus seperti model
penenlitian kemmis dan taggart pada Gambar 3.1 di bawah ini.
Gambar 3.1
Model Penenlitian Kemmis dan Taggart
Konsep pokok action research menurut Kemmis dan Mc. Taggart berupa satu
perangkat yang terdiri dari empat komponen yaitu: perencanaan (planning),
tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Komponen
tindakan dengan pengamatan dilakukan secara bersamaan karena kedua komponen
tersebut dapat dilakukan dalam satu kesatuan waktu. Siklus akan berlanjut apabila
belum terjadi perubahan atau peningkatan
pada hasil
belajar
matematika
siswa. Namun bila terjadi peningkatan maka penelitian dicukupkan pada siklus
tersebut.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
193
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
1. Tes dengan menggunakan soal essay untuk mendapatkan data yang mengukur
kemampuan hasil belajar matematika siswa.
2. Lembar observasi, untuk mengumpulkan data yang berkaitan dengan
aktivitas siswa dan aktivitas guru saat pembelajaran berlangsung.
3. Catatan lapangan digunakan untuk mencatat kejadian-kejadian selama proses
belajar mengajar yang akan diisi oleh kolaborator atau observer. Dari catatan
lapangan diharapkan peneliti dapat menemukan hal menarik yang masih bisa
dikembangkan dari tiap siklusnya.
4. Dokumentasi digunakan untuk memvisualisasikan kejadian-kejadian penting
yang terjadi di dalam kelas selama penelitian berlangsung
sebagai bukti pendukung penelitian.
Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan ditandai dengan kenaikan hasil belajar yang dapat
menunjukkan adanya kenaikan nilai rata-rata kelas dan kenaikan jumlah siswa yang
telah mencapai kriteria ketuntasan minimum. Indikator keberhasilan ditargetkan
dengan nilai rata-rata kelas 75,00 dan persentase pencapaian KKM adalah
70% atau 23 siswa yang berhasil mencapai KKM.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.
Pembahasan Hasil Penelitian Awal
Penelitian awal dilaksanakan pada 15 Desember 2014. Sebelum melakukan
penelitian, peneliti melakukan pengamatan di SMA Negeri 10 Jakarta untuk
mengetahui sejauh mana hasil belajar matematika siswa pada mata pelajaran
matematika.
Tabel 4.1
Hasil Belajar Matematika Sebelum Penelitian Tindakan (Nilai Awal)
No.
Kriteria
Jumlah Persentase
(Siswa)
1.
Belum mencapai KKM
28
Nilai
Rata-rata
84,85%
194
KNPM 6
2.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Sudah mencapai KKM
5
15,15%
55,70
Berdasarkan tabel 4.1 nilai rata-rata hasil belajar matematika yang diambil
berdasarkan nilai UAS memperoleh 55,70, sedangkan KKM nilai matematika di
SMA Negeri 10 Jakarta adalah 75,00.
2.
Pembahasan Hasil Penelitian Siklus I
Berdasarkan hasil belajar matematika dan temuan-temuan pada penelitian awal
maka peneliti bekerja sama dengan kolaborator untuk melakukan refleksi. Pada
siklus I peneliti menerapkan pembelajaran sebanyak 2 kali pertemuan dengan
mengambil materi pokok persamaan kuadrat.
Tabel 4.2
Data Hasil Belajar Siklus I
No
Kriteria
Jumlah Presentase
Nilai Rata-rata
Siswa
1.
Belum mencapai KKM
21
63,64 %
2.
Sudah mencapai KKM
12
36,36 %
68,15
Berdasarkan tabel 4.2 data hasil belajar siklus I belum mencapai indikator
pencapaian yang ditentukan peneliti. Nilai siswa yang mencapai target KKM
sebanyak 12 siswa atau 36,36%, sedangkan siswa yang belum mencapai target
sebanyak 21 siswa atau 63,64%. Dari data tersebut dapat diartikan bahwa perlu
mendapat perhatian dan perbaikan pada siklus II.
3.
Pembahasan Hasil Penelitian Siklus II
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, peneliti mempersiapkan tindakan
pembelajaran menggunakan model problem based learning dengan bantuan
software geogebra dengan pada materi fungsi kuadrat. Kekurangan-kekurangan
proses pembalajaran pada siklus I akan diperbaiki pada siklus II. Pada siklus II ini
peneliti menetapkan pembelajaran sebanyak 2 kali pertemuan.
195
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Hasil belajar matematika pada siklus II menunjukan bahwa telah tercapainya
indikator keberhasilan yang telah ditetapkan yaitu nilai rata-rata kelas 75,00.
Keberhasilan peningkatan ini karena melalui pembelajaran menggunakan model
problem based learning dengan bantuan software geogebra dan adanya perbaikan
kesalahan yang dilakukan pada siklus sebelumnya.
Tabel 4.4
Data Hasil Belajar Siklus II
No
Kriteria
Jumlah Persentase
Nilai Rata-rata
Siswa
1.
Belum mencapai KKM
9
27,27 %
2.
Sudah mencapai KKM
24
72,73 %
78,79
Data di atas yang diperoleh dari hasil belajar matematika siklus II pada
materi fungsi kuadrat dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2015. Siswa yang
mencapai KKM sebanyak 24 siswa atau 72,73%, sedangkan yang belum mencapai
KKM sebanyak 9 siswa atau 27,27%.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilakukan dalam dua
siklus yang dilakukan peneliti dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Cara pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning
dengan bantuan software geogebra terbukti dapat meningkatkan hasil belajar
matematika siswa. Hal tersebut terbukti dimana hasil belajar matematika siswa
yang mencapai KKM 75,00 pada siklus I yaitu mencapai 36,36%, sedangkan
pada siklus II terjadi peningkatan mencapai 72,73% dengan rata-rata siklus I
yaitu 68,15 dan siklus II 78,79. Hal ini menunjukan terjadinya peningkatan
hasil belajar siswa secara signifikan. Sebaliknya hasil belajar siswa yang belum
mencapai KKM mengalami penurunan secara signifikan, pada awal siklus I
sebesar 63,64% dan pada siklus II menjadi 27,27%.
196
KNPM 6
2.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Proses pembelajaran menggunakan model problem based learning dengan
bantuan software geogebra dilakukan dengan beberapa siklus. Kekurangan
yang terjadi pada siklus I seperti peneliti kurang mengatur alokasi waktu, kelas
kurang kondusif dan kurang memberikan motivasi. Kemudian, di refleksi
berdasarkan pengamatan kesalahan yang terjadi pada siklus I diperbaiki pada
siklus II.
3.
Melalui model problem based learning dengan bantuan software geogebra
dapat meningkatkan keaktifan dan kemampuan berpikir siswa. Siswa belajar
dari pemasalahan kemudian mencari informasi yang berkaitan dengan masalah
yang diberikan. Berdasarkan data yang didapat, siswa mengasah dan
mengembangkan kemampuan berpikir untuk memcahkan permasalahan
dengan memberikan kesimpulan dari hasil yang didapat. Siswa bertanggung
jawab atas hasil yang didapat. Berdasarkan keaktifan dan kemampuan siswa
dalam memecahkan permasalahan yang dilakukan saat proses belajar siswa
akan mampu menjelaskan hasil yang didapat berdasarkan pengalaman belajar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui pembelajaran dengan
menggunakan model problem based learning dengan bantuan software
geogebra dapat menjadi salah satu model yang dapat diterapkan dengan materi
yang sesuai karena efektif dan efisien.
4.
Pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning dengan
bantuan software geogebra dapat meningkatkan aktivitas siswa. Siswa lebih
banyak
berperan
aktif
dalam
pembelajaran
dengan mencari berbagai
informasi, mengembangkan kemampuan berpikir dan menemukan langkah
- langkah
pemecahan
masalah
berdasarkan pengalaman belajar.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model
problem based learning dengan bantuan software geogebra dalam pembelajaran
matematika yang sudah dipaparkan di atas, dapat dikemukakan saran-saran sebagai
berikut:
197
KNPM 6
1.
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Agar hasil belajar siswa selalu mengalami peningkatan, maka perlu ditambah
sarana penunjang seperti software matematika yang dapat membuat siswa
merasakan suasana baru dalam belajar.
2.
Menjadikan
model
problem
based
learning
sebagai
acuan
dalam
meningkatakan kualitas pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar
matematika siswa di SMA Negeri 10 Jakarta.
3.
Pembelajaran dengan menggunakan model problem based learning
membutuhkan waktu persiapan dengan baik, sehingga proses pembelajaran
dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan.
Pembelajaran menggunakan model problem based learning dengan bantuan
software geogebra dapat membantu meningkatkan hasil belajar siswa, karena
siswa dituntut untuk berperan aktif dalam mencari informasi yang diberikan
untuk pemecahan masalah diawal pembelajaran dan siswa dapat mengembakan
kemapuan berpikir dengan proses berinteraksi dalam kelompok.
DAFTAR PUSTAKA
David, dkk. 2009. Methods for Teaching: Metode-metode Pengajaran
Meningkatkan Belajar Siswa TK-SMA . Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Delisle, Robert.1997. How to Use Problem Based Learning in The Classroom.
USA: ASCD, hal.11
Kemmis & Taggart. 1988. The Action Research Planner. Deakin University
Mariani, Scolastika, dkk. 2014. The Effectiveness of Learning by PBL Assisted
Mathematics Pop Up Book Againts the Spatial Ability in Grade VIII on
Geometry Subject Matter. Internationlan Jurnal of Education and Reasaerch.
Diunduh pada tanggal 21 Februari 2015
Rusman. 2012. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme
Guru (edisi kedua). Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada
Saleh, Marhamah. 2013. Strategi Pembelajaran Fiqh dengan Problem Based
Learning. Jurnal ilmiah DIDAKTIKA, hal.229. Diunduh pada 22/02/2015
Suherman, Erman, dkk. 1994. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung : UPI
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Prestasi Pustaka
198
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
. 2010. Model Pembelajaran Terpadu Konsep, Strategi, dan
Implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Jakarta: Bumi Aksara
199
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
AKTIVITAS SISWA DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MENURUT MODEL KOOPERATIF TIPE
STAD
Santje M.Salajang1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado
Abstrak.Kualitas aktivitas siswa dalam pembelajaran menurut model tertentu,
merupakan salah satu indikator keefektifan model pembelajaran itu. Kualitas aktivitas
siswa dalam suatu pembelajaran dapat diukur dengan membandingkan hasil observasi
terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran dengan Patokan Waktu Ideal (PWI).
Konstruktivisme merupakan aliran kuat yang mempengaruhi perancangan model
pembelajaran. Menurut aliran tersebut, fasilitas pembelajaran disediakan untuk
memberi keleluasaan kepada tiap-tiap siswa dalam melakukan aktivitas konstruksi
pengetahuan sendiri. Pembelajaran model STAD adalah salah salah tipe dari
pembelajaran kooperatif dan termasuk pembelajaran konstruktivistik. Dalam
pembelajaran konstruktivistik, pemecahan masalah untuk mengonstruksi
pengetahuan adalah hal yang esensial. Menyatakan bahwa pendekatan
konstruktivistik dalam pembelajaran lebih menerapkan pengajaran top-down yang
berarti aktivitas siswa dimulai dengan memecahan masalah kompleks dan kemudian
menemukan (dengan bimbingan guru) keterampilan-keterampilan dasar yang
diperlukan. Makalah ini bertujuan memberikan deskripsi tentang aktivitas siswa
dalam pembelajaran model Kooperatif tipe STAD yang berlangsung selama 4
pertemuan yang didasarkan pada sebagian hasil penelitian pengembangan perangkat
pembelajaran model Kooperatif tipe STAD untuk materi Persamaan Garis Lurus di
SMP Negeri 2 Tondano. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD cukup efektif mengkondisikan siswa
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Kata kunci: aktivitas-siswa, kualitas, konstruktivisme, pemecahan masalah, model
STAD
PENDAHULUAN
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan
bahwa pengetahuan adalah konstruksi kita sendiri (Suparno, 1997). Dikatakan
bahwa menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif siswa
mengonstruksi teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Konstruktivisme
memandang bahwa fasilitas pembelajaran disediakan untuk memberi keleluasaan
setiap siswa dalam melakukan aktivitas konstruksi pengetahuan sendiri. Peran guru
1
Dosen pada Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Manado
200
adalah mediator dan fasilitator yang membatu agar proses belajar siswa berjalan
dengan baik.
Pendekatan dan strategi pembelajaran yang disarankan kurikulum 2013 untuk
matematika
adalah
sesuai
dengan
pandangan
konstruktivisme
tentang
pembelajaran. Sehubungan dengan pelaksanaan kurikulum 2013, telah diterapkan
berbagai pembelajaran beracuan konstruktivistik, seperti model kooperatif, untuk
mengajarkan matematika, namun banyak kendala dalam pelaksanaannya. Aktivitas
siswa dalam pembelajaran tersebut tidak memperlihatkan aktivitas yang
diharapkan, sehingga konstruksi pengetahuan siswa melalui kegiatan tersebut sulit
terjadi. Akibatnya ada guru matematika kembali mengajar dengan menggunakan
pola lama.
Melalui kajian pustaka, penulis menemukan bahwa kendala utama dalam
aktivitas konstruksi pengetahuan baru matematika adalah masalah psikologi dan
masalah karakteristik matematika. Oleh karena itu, penulis mengembangkan
perangkat pembelajaran matematika untuk topik Persamaan Garis Lurus (PGL)
dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD.
Salah satu tahapan pengembangan perangkat tersebut adalah uji coba
lapangan yaitu pertemuan pembelajaran. Penulis melakukan uji coba perangkat
pembelajaran model kooperatif tipe STAD di SMP Negeri 2 Tondano selama 4
pertemuan. Salah satu indikator keefektifan model kooperatif tipe STAD adalah
kualitas aktivitas siswa dalam pembelajaran menurut model itu (Eggen &
Kauchack,1988). Kualitas aktivitas siswa dalam suatu pembelajaran dapat diukur
dengan membandingkan hasil observasi dengan kriteria Patokan Waktu Ideal
(Salajang, 2007).
Sekumpulan data aktivitas siswa telah terhimpun melalui instrumen Lembar
Observasi Aktivitas Siswa (LOAS) dan dianalisis untuk mengetahui bagaimana
deskripsi aktivitas siswa dalam pembelajaran model kooperatif tipe STAD
khususnya untuk topik PGL.
Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD dan Karakteristik Matematika
201
Model pembelajaran kooperatif tipe STAD tergolong salah satu tipe
pembelajaran kooperatif yang dirancang dengan mengacu pada paham
konstruktivisme. Komponen sintaks pembelajaran Model Kooperatif terdiri atas 6
(enam) fase (lihat Ibrahim dkk, 2000).
Slavin (2000) menyatakan, teori yang mendasari pembelajaran kooperatif
adalah bahwa siswa lebih mudah memecahkan atau menemukan konsep-konsep
yang sulit jika mereka membicarakan dengan teman lain mengenai suatu masalah.
Pemecahan masalah untuk mengonstruksi pengetahuan adalah hal yang esensial
dalam pembelajaran konstruktivistik. Selanjutnya dinyatakan bahwa pendekatan
konstruktivistik dalam pembelajaran lebih menerapkan pengajaran top-down
daripada bottom-up. Top-down berarti siswa memulai dari masalah kompleks untuk
dipecahkan dan kemudian memecahkan atau menemukan (dengan bimbingan guru)
keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan.
Menurut Slavin (2000), model pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri atas
aktivitas pengajaran sebagai berikut :
1. Mengajar : Menyajikan pelajaran
2. Pelajaran tim : Para siswa bekerja pada kertas kerja (LKS-penulis) dalam
tim untuk menguasai materi
3. Tes : Para siswa mengerjakan kuis perorangan atau alat penilaian lain
(seperti essay atau penampilan)
4. Pengakuan tim : Skor tim dihitung berdasarkan skor peningkatan tiap
anggota tim, dan tim yang meraih skor tinggi dihargai dengan sertifikat,
atau melalui pengumuman pada majalah dinding kelas atau papan
pengumuman
Karakteristik utama matematika adalah memuat objek dasar yaitu fakta, konsep,
operasi atau relasi dan prinsip ; semuanya merupakan objek mental atau objek
pikiran (Soedjadi, 2000). Berdasarkan identifikasi “mengetahui sesuatu” dengan
“membuat sesuatu”, Giambatista Vico, seorang epistemolog dari Italia (dalam
Suparno, 1997) mengatakan bahwa matematika adalah cabang pengetahuan yang
paling tinggi. Alasannya, dalam matematika, orang menciptakan dalam pikirannya
semua unsur dan aturan-aturan yang secara lengkap dipakai untuk mengerti
202
matematika. Identifikasi Vico menjelaskan tentang sulitnya mempelajari
matematika. Kesulitan yang dimaksud adalah dalam hal mengonstruksi
pengetahuan matematika yang dilakukan dalam pikiran. Penyebabnya adalah
objek-objek dasar matematika merupakan benda pikiran. Padahal objek-objek dasar
digunakan untuk mengonstruksi dan juga menjadi objek konstruksi. Faktor internal
matematika inilah yang menyebabkan guru kesulitan mengajarkan matematika dan
juga siswa kesulitan mempelajari matematika. Oleh karena itu aktivitas
mengonstruksi pengetahuan matematika yang baru perlu disesuaikan dengan faktor
internal matematika tersebut. Aktivitas mental yang perlu dilakukan siswa adalah
mengidentifikasi setiap objek matematika yang sesuai yang ada dalam ingatanya
dan “mencari kembali” jika sudah hilang dari memori.
Glasersfeld (Suparno, 1997), mengatakan bahwa pengetahuan dibentuk
oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Selanjutnya dikatakan bahwa salah satu arti lingkungan adalah bila kita
memfokuskan diri pada suatu hal tertentu, maka lingkungan menunjuk pada
sekeliling hal itu yang telah kita isolasikan.
Berdasarkan sintaks model pembelajaran kooperatif dan 4 komponen
aktivitas dalam tipe STAD serta karakteristik matematika, maka peneliti menyusun
sejumlah perangkat pembelajaran yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Buku
Siswa, dan Lembar Kerja Siswa serta Instrumen Tes.
Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
Salah satu indikator keefektifan suatu model pembelajaran adalah kualitas
aktivitas siswa dalam pembelajaran menurut model itu (Eggen & Kauchack,1988).
Aktivitas siswa adalah keterlibatan siswa dalam pembelajaran yang ditunjukkan
dengan kegiatan verbal atau non-verbal selama pembelajaran berlangsung. Kualitas
aktivitas siswa dalam suatu pembelajaran dapat diukur dengan membandingkan
hasil observasi terhadap aktivitas siswa selama pembelajaran dengan Patokan
Waktu Ideal (PWI) yang dinyatakan dengan besaran prosentase. PWI ditetapkan
berdasarkan waktu setiap aktivitas yang diharapkan terjadi dalam suatu
pembelajaran dengan model tertentu.
203
Instrumen Lembar Observasi Aktivitas Siswa dalam Pembelajaran
Aktivitas siswa dalam pembelajaran diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu
aktivitas aktif dan aktivitas pasif. Aktivitas siswa yang dapat digolongkan sebagai
aktivitas aktif adalah jika siswa melakukan kegiatan menulis yang relevan dengan
kegiatan belajar mengajar, berdiskusi/bertanya dengan guru atau dengan siswa lain
dan membaca buku siswa, LKS atau bacaan lain yang relevan.
Aktivitas siswa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas pasif adalah jika siswa
melakukan aktivitas seperti hanya mendengar penjelasan guru, hanya mendengar
penjelasan temannya
atau melakukan sesuatu hal yang tidak relevan dengan
pembelajaran (mengganggu teman atau keluar dari kelas).
Patokan Waktu Ideal (PWI) Aktivitas Siswa
Telah diuraikan sebelumnya tentang kategori aktivitas siswa yang dapat
dijadikan indikator seluruh aktivitas yang terjadi dalam setiap kegiatan
pembelajaran. Selanjutnya diberikan kriteria PWI untuk setiap kategori aktivitas
siswa yang didasarkan pada aktivitas pembelajaran pada setiap fase dalam sintaks
model kooperatif tipe STAD dan dimuat pada Tabel 1.
Tabel 1.Kriteria Patokan Waktu Ideal Aktivitas Siswa
KATEGORI AKTIVITAS
Mendengar/memperhatikan
penjelasan guru/teman
Membaca (buku siswa, LKS
atau sumber bacaan lain)
Menulis yang relevan dengan
KBM (memecahkan masalah
pada LKS, membuat catatan,
membuat rangkuman)
Berdiskusi/bertanya antara
siswa dengan guru
Berdiskusi/bertanya antara
siswa dengan temannya
N
O
1
2
3
4
5
KRITERIA
AKTIVITAS
IDEAL UNTUK
SISWA
KRITE
RIA
PWI
5%
15%
15%
25%
-
10%
20%
-
15%25%
25%35%
Aktivitas
siswa
dika-takan ideal
jika
mini-mal
kriteria No.3, 4 dan
5 dipenuhi.
204
Aktivitas tidak relevan
6
0 - 5%
METODE PENELITIAN
Penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif yang difokuskan pada
aktivitas siswa dalam pembelajaran model kooperatif tipe STAD. Sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya bahwa tujuan penulisan makalah adalah
memberikan deskripsi aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika model
kooperatif tipe STAD dalam 4 (empat) kali pertemuan. Selama pembelajaran
berlangsung, aktivitas siswa diobservasi dengan menggunakan Format Observasi
Aktivitas Siswa. Subjek observasi adalah sekelompok siswa (6 orang) yaitu
representasi siswa dalam setiap kelas pertemuan.
Data yang diperoleh adalah kategori aktivitas dominan yang dilakukan oleh
setiap siswa subjek observasi dalam setiap selang waktu 2 (dua) menit. Dalam
observasi ini, waktu yang digunakan untuk pengamatan adalah 2 (dua) menit dan
waktu pencatatan hasil pengamatan adalah 1 (satu) menit. Data aktivitas siswa
yang terjaring dalam setiap pertemuan, selanjutnya dianalisis dengan langkahlangkah berikut,
1. Menentukan rata-rata frekwensi hasil observasi aktivitas sekelompok siswa
untuk setiap kategori dalam setiap pertemuan.
2. Mencari prosentase frekwensi setiap kategori aktivitas dengan cara membagi
besarnya frekwensi setiap kategori aktivitas dengan jumlah frekwensi untuk
semua kategori, dan hasilnya dikalikan 100%. Kemudian dihitung rata-rata
prosentase waktu untuk semua pertemuan dalam setiap pertemuan.
3. Selanjutnya rata-rata prosentase waktu untuk setiap kategori aktivitas siswa
dirujuk pada kriteria Patokan Waktu Ideal (PWI) aktivitas siswa,
sebagaimana dinyatakan dalam Tabel 1.
4. Buat kesimpulan mengenai kualitas aktivitas siswa dalam pembelajaran
berdasarkan kriteria PWI.
Hasil Penelitian
205
A. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada pertemuan I
Data aktivitas siswa yang diobservasi pada pertemuan I selanjutnya diolah
dengan langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak pada Tabel 2.
Tabel 2. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan I
RATA-RATA TIAP TM
FREKW.
PROSENTASE
KATEGORI AKTIVITAS
1. Mendengar/memperhatikan
penjelasan guru/teman
2. Membaca (Buku Siswa, LKS)
3. Menulis yang relevan dengan
KBM
4. Berdiskusi/bertanya antara siswa
dan guru
5. Berdiskusi/bertanya antar siswa
dan siswa
6.
Perilaku yang tidak relevan
dengan KBM
10.5
35%
3.9
13%
3.0
10%
4.2
14%
6.6
22%
1.8
6%
Jika hasil pada Tabel 2 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (lihat Tabel
1), maka deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini.
Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa
pada Tatap Muka I
40
35
Prosentase
30
25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10
5
0
1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa hanya kategori aktivitas 2 dan 3 yang
memenuhi kriteria PWI sedangkan kategori aktivitas 1, 4, 5 dan 6 belum memenuhi
kriteria PWI. Menurut kriteria tambahan kategori aktivitas 4 dan 5 harus memenuhi
kriteria PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
siswa selama pertemuan I belum ideal.
B. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada pertemuan II
Data aktivitas siswa yang diobservasi pada pertemuan II selanjutnya diolah
dengan langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak pada Tabel 3.
206
Tabel 3. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan II
RATA-RATA TIAP TM
FREKW.
PROSENTASE
KATEGORI AKTIVITAS
1. Mendengar/memperhatikan
penjelasan guru/teman
2. Membaca (Buku Siswa, LKS)
3. Menulis yang relevan dengan
KBM
4. Berdiskusi/bertanya antara siswa
dan guru
5. Berdiskusi/bertanya antar siswa
dan siswa
6. Perilaku yang tidak relevan dengan
KBM
19%
5.7
6.9
23%
18%
5.4
12%
3.6
23%
6.9
5%
1.5
Jika hasil pada Tabel 3 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (Tabel 1), maka
deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini.
Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa
pada Tatap Muka II
40
35
Prosentase
30
25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10
5
0
1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa hanya kategori aktivitas 2, 3 dan 6 yang
memenuhi kriteria PWI sedangkan kategori aktivitas 1, 4, dan 5 belum memenuhi
kriteria PWI. Menurut kriteria tambahan kategori aktivitas 4 dan 5 harus memenuhi
kriteria PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
siswa selama pertemuan II belum ideal.
C. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada Pertemuan III
Data aktivitas siswa yang diobservasi pada pertemuan III selanjutnya diolah dengan
langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan III
KATEGORI AKTIVITAS
RATA-RATA TIAP TM
FREKW.
PROSENTASE
207
1. Mendengar/memperhatikan
penjelasan guru/teman
2. Membaca (Buku Siswa, LKS)
3. Menulis yang relevan dengan KBM
4. Berdiskusi/bertanya antara siswa dan
guru
5. Berdiskusi/bertanya antar siswa dan
siswa
6. Perilaku yang tidak relevan dengan
KBM
15%
4.5
6.6
5.4
22%
18%
16%
4.8
26%
7.8
3%
0.9
Jika hasil pada Tabel 3 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (Tabel 1),
maka deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini.
Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa
pada Tatap Muka II
40
35
Prosentase
30
25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10
5
0
1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa semua kategori aktivitas memenuhi kriteria
PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa
selama pertemuan III termasuk ideal.
C. Analisis data aktivitas siswa dalam pembelajaran pada pertemuan IV
Data aktivitas siswa yang diobservasi pada setiap pembelajaran selama
pertemuan II selanjutnya diolah dengan langkah-langkah 1 dan 2. Hasilnya tampak
pada Tabel 4.
Tabel 4. Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa Selama Pertemuan IV
KATEGORI AKTIVITAS
1. Mendengar/memperhatikan
penjelasan guru/teman
2. Membaca (Buku Siswa, LKS)
3. Menulis yang relevan dengan KBM
4. Berdiskusi/bertanya antara siswa dan
guru
RATA-RATA TIAP TM
FREKW.
PROSENTASE
3.0
7.2
5.7
5.1
10%
24%
19%
17%
208
5. Berdiskusi/bertanya antar siswa dan
siswa
6. Perilaku yang tidak relevan dengan
KBM
30%
9.0
0%
0.0
Jika hasil pada Tabel 3 dirujuk pada kriteria PWI aktivitas siswa (Tabel 1),
maka deskripsinya tampak pada diagram di bawah ini.
Rata-rata Prosentase Aktivitas Siswa
pada Tatap Muka II
40
35
Prosentase
30
25
Infimum interv al PWI
20
Rata-rata Prosentase
15
Suprimum interv al PWI
10
5
0
1
2
3
4
5
6
Kategori Aktivitas Siswa
Diagram di atas menunjukkan bahwa semua kategori aktivitas memenuhi kriteria
PWI. Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas siswa
selama pertemuan IV termasuk ideal.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data aktivitas siswa dalam pertemuan I, II, III dan IV,
maka dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran STAD cukup
efektif mengkondisikan siswa berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Pada
pertemuan I dan II, guru masih mengalami kesulitan untuk menghilangkan
dominasinya atas situasi kelas, tetapi pada pertemuan III dan IV guru berhasil
menghilangkan dominasinya dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk
mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Pada pertemuan III dan IV, aktivitas aktif
siswa seperti membaca, menulis, berdiskusi dan bertanya kepada guru atau kepada
temannya mendapat proporsi waktu yang cukup besar jika dibandingkan dengan
proporsi waktu aktivitas pasif siswa mendengarkan penjelasan/informasi dari
guru/teman.
Dalam pembelajaran ini, siswa tidak lagi bersifat pasif tetapi aktif mengonstruksi
secara individu, bekerja sama menganalisis pemecahan masalah, berdiskusi baik
209
dalam kelompok maupun antar kelompok dan mempersentasikan hasil konstruksi
pengetahuan mereka di depan kelas. Perilaku belajar siswa selama kegiatan
pembelajaran sangat relevan dengan tuntutan kurikulum matematika 2006 dan ciri
khas belajar menurut pandangan konstruktivistik yaitu pembelajaran berpusat pada
aktivitas siswa dan siswa secara leluasa aktif dalam mengonstruksi sendiri
pengetahuan matematikanya.
DAFTAR PUSTAKA
Eggen, P.D & Kauchak, D.P. 1988. Strategies for teacher: Teaching Content and
Thinking Skill. Allyn and Bacon: Boston
Ibrahim, Muslimin., dan Nur, Mohamad (2000). Pembelajaran Kooperatif.
Surabaya: UNESA University Press.
Salajang, S.M.. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika
Konstruktivistik dengan Advance Organizer (Model Konstad). Unesa :
Program Pascasarjana.
Slavin, R. E. (2000). Educational Psychology-Theory and Practice. Edisi 6. Boston
: Allyn and Bacon.
Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta : Dirjen Dikti,
Depdiknas.
Suparno, Paul (1997). Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Kanisius.
Suwarsono, St. (2003). Media Pembelajaran (Teori-Teori Perkembangan Kognitif
Dan Proses Pembelajaran Yang Relevan Untuk Pembelajaran
Matematika), Jakarta : Proyek Peningkatan Mutu SLTP, Direktorat Pend.
Lanjutan Pertama, Depdiknas
Tam, Maureen (2000). Constructivism, Instructional Design, and Technology:
Implications for Transforming Distance Learning. Educational Technology
& Society 3(2) 2000 ISSN 1436-4522.
210
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MEMBENTUK PENGUASAAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR
MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
PESERTA PPL-1 DALAM BIMBINGAN LATIHAN MENGAJAR
MELALUI LESSON STUDY .
Sumarno Ismail
Program Studi Pendidikan Matematika FMIP Universitas Negeri Gorontalo
[email protected]
ABSTRAK
Penguasaan keterampilan dasar mengajar mutlak bagi tenaga pengajar, karena dengan
penguasaan itu melaksanakan pembelajaran tidak menjadi suatu beban. Terdapat 8
keterampilan dasar mengajar meliputi : (1) keterampilan membuka dan menutup pelajaran
keterampilan bertanya, ( ) keterampilan menjelaskan,
keterampilan memberi
penguatan, (5) keterampilan mengadakan variasi, (6) keterampilan membimbing diskusi
kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas dan (8) keterampilan mengajar kelompok
kecil dan perorangan. Untuk dapat menguasainya harus melalui proses latihan terbimbing,
berlapis, terencana secara sistematis dan kontinu. Proses ini dapat dilakukan melalui
strategi lesson study dengan 4 tahapan yakni Condisioning-Planning-Doing-Seeing (CoPlan-Do-See). Strategi lesson study diartikan sebagai suatu keterampilan mengatur aktivitas
dalam pembelajaran yang dikaitkan dengan usaha untuk menguasai keterampilan dasar
mengajar melalui latihan terbimbingan dan mandiri.
Kata Kunci: Keterampilan dasar mengajar, strategi lesson study
PENDAHULUAN
Dalam pembelajaran ada dua kemampuan pokok yang harus dikuasai dan dimilki
oleh seorang guru termasuk maha siswa program studi pendidikan matematika sebagai
calon guru, yakni (1) menguasai substansi materi atau bahan ajar yang akan dibelajarkan
(what to teach) dan (
menguasai atau memiliki berbagai keterampilan untuk
membelajarkannya (how to teach). Bagi mahasiswa program studi pendidikan termasuk
pendidikan matematika sebagai calon guru matemtika terdapat 8 keterampilan dasar
mengajar yang harus dibentuk untuk dikuasai.
Proses pembentukan penguasaan 8
keterampilan dasar mengajar itu mula-mula melalui latihan yang terbimbing dalam
bentuk pembelajaran sesama teman (peer teaching).
Keterampilan dasar mengajar (teaching skills) sebagai kemampuan bersifat khusus
yang harus dimiliki oleh guru agar dapat melaksanakan tugas mengajar secara efektif,
efisien dan professional. Dengan demikian keterampilan dasar mengajar berkenaan
dengan
keterampilan atau kemampuan yang bersifat mendasar dan harus dikuasai oleh
guru dalam melaksanakan tugas mengajarnya. Keterampilan dasar mengajar mutlak
dimiliki dan dikuasai oleh tenaga pengajar, karena dengan keterampilan dasar mengajar
memberikan pengertian lebih dalam tentang mengajar.
211
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Ketarampilan dasar mengajar sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai sumber
termasuk yang disebutkan oleh Dadang Sukirman (2013) bahwa keterampilan dasar
mengajar adalah keterampilan yang bersifat generik/mendasar/umum dan kompleks yang
harus dikuasai oleh setiap guru. Terdapat 8 keterampilan dasar mengajar sebagaimana
yang disebutkan oleh Tunney 1998 yang selanjutnya diuraikan di dalam Pedoman PPL
Universitas Negeri Gorontalo (2013: 3 - 4) meliputi : (1) keterampilan bertanya, (2)
keterampilan memberi penguatan, (3) keterampilan mengadakan variasi, (4) keterampilan
menjelaskan, (5) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (6) keterampilan
membimbing diskusi kelompok kecil, (7) keterampilan mengelola kelas dan (8)
keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.
Penguasaan teoretis terhadap 8 keterampilan dasar mengajar dimaksud tidak cukup
hanya dihafal, tetapi harus dilatih dan dilakukan melalui bimbingan latihan mengajar
terbatas (micro teching). Latihan mengajar dilakukan dalam bentuk mengajar sesama
teman dalam satu kelompok yang diasuh oleh dosen pembimbing.
Mengingat setiap jenis keterampilan dasar mengajar erat kaitannya satu sama lain
dan bersifat aplikatif, maka untuk menguasainya harus dilakukan melalui latihan di depan
kelas. Latihan dilakukan secara teratur dan dalam mekanisme aktivitas yang terkontrol,
teramati dan padu. Proses pembimbingan kepada mahasiswa peserta PPL- bertujuan
untuk ( ) membentuk penguasaan dengan mempraktikkan setiap jenis ketarampilan dasar
mengajar, (2) meningkatkan penguasaan substansi mata pelajaran yang dibelajarkan, (3)
memberikan pengalaman mengajar secara dini sebelum melakukan pembelajaran pada
kelas yang sesunggunya (real class).
Fakta yang diperoleh dalam pelaksanaan PPL-1 di Program Studi Pendidikan
Matemika bahwa latihan keterampilan dasar mengajar dilakukan melalui pengajaran
terbatas umumnya belum dilakukan dengan proses berlapis dan kontinu sebagai berikut :
a. Merencanakan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus latihan/praktik;
b. Setiap mahasiswa secara bergilir mempraktikkan keterampilan dasar mengajar yang
sudah dipersiapkan;
c. Pengamatan terhadap keterampilan yang menjadi fokus praktik bagi setiap mahasiswa;
d. Umpan balik secara bersama-sama kepada setiap praktikan dengan memperhatikan
komponen keterampilan yang dipraktikkan.
212
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dalam proses pembimbingan ada pembimbing memberi kesempatan kepada mahasiswa
melatihkan semua keterampilan dasar mengajar dan mengamati secara komprehensif
semua jenis keterampilan tersebut. Sebaiknya proses bimbingan praktik mengajar
dilakukan dalam rangkaian aktivitas sebagai be rikut:
Banyak hal positif berupa hubungan fungsional, pengaruh, dan pengembangan
dalam pembelajaran yang diperoleh akibat dari penerapan lesson study dalam
pembelajaran matematika antara lain temuan Rustono (2008) dalam penelitiannya
Meningkatkan Kemampuan Peserta Didik Menerapkan Strategi Pembelajaran Melalui
Lesson Study menemukan bahwa Lesson Study sebagai model pembinaan guru yang
bersifat kolaboratif dan kolegaliatif dapat dimanfaatkan
sebagai model bimbingan
pengajar oleh dosen terhadap mahasiswa.
Lesson study sebagai suatu model yang digunakan untuk bimbingan mengajar bagi
mahasiswa, karena di dalam model tersebut dikembangkan kerja kelaboratif, kolegial dan
saling menguntungkan dalam belajar (mutual learning). Fakta teoretis ini menunjukkan
bahwa lesson study dapat digunakan untuk mengatur, melatih dan membimbing
mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran. Selain itu lesson study juga dapat membuat
mahasiswa lebih termotivasi belajar dengan demikian turut meningkatkan hasil belajar
mereka. Sejalan dengan ini Siska Candra Ningsih (2013 : 382) dalam hasil penelitiannya
menemukan bahwa rata-rata motivasi, keaktifan dan hasil belajar mahasiswa mencapai
82.75%. Memperhatikan fakta-fakta di atas sangat berlasan bahwa lesson study dapat
digunakan sebagai salah satu
strategi yang dapat digunakan untuk membentuk
penguasaan mahasiswa terhadap 8 keterampilan dasar mengajar.
213
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Tinjauan Keterampilan Dasar Mengajar
Proses penguasan keterampilan dasar mengajar dapat diperoleh melalui tiga
kegiatan yakni (1) menguasai konsep keterampilan dasar mengajar, (2) membedakan dan
mengaitkan jenis-jenis keterampilan dasar mengajar, dan (3) terampilan menerapkan
setiap jenis keterampilan dasar mengajar dan mampu memadukannya. Dadang Sukirman
(2013 : 3) menjelaskan bahwa keterampilan dasar mengajar (teaching skills) merupakan
kemampuan yang bersifat khusus (most specific instructional behaviours) yang harus
dimiliki untuk melakukan tugas mengajar secara efektif, efisien dan professional.
Pendapat di atas menunjukkan bahwa ketrampilan dasar mengajar merupakan
himpunan kemampuan atau keterampilan yang sifatnya mendasar, harus dimiliki, tidak
berdiri sediri dan diaktualisasikan oleh guru dalam pelaksanaan tugasnya. Ada empat
kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) komptensi
kepribadian, (3) kompenesi social, dan (4) kompetensi professional. Keterampilan dasar
mengajar merupakan kemampuan atau keterampilan pokok (basic skills) yang harus
dikuasai oleh setiap guru. Oleh sebab itu keterampilan dasar mengajar termasuk di dalam
kompetensi professional. Karena dalam penerapannya harus disesuaikan dengan segala
macam keadaan pembelajaran, maka keterampilan dasar mengajar tidak dapat dipisahkan
dari kompetensi pedagogik. Sebagai kemampuan atau keterampilan pokok dan bersifat
khusus, maka mahasiswa sebagai calon guru wajib menguasai dan mampu
mengaktualisasikan jenis-jenis keterampilan dasar mengajar dalam pembelajaran.
Berbagai sumber tertulis menyebutkan bahwa keterampilan dasar mengajar terdiri
dari 8 jenis yakni : (1) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, (2) keterampilan
menjelaskan (3) keterampilan bertanya, (4) keterampilan memberi penguatan, (5)
keterampilan mengadakan variasi, (6) keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil,
(7) keterampilan mengelola kelas dan (8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan
perorangan. Kedelapan jenis keterampilan dasar mengajar tersebut satu dengan yang lain
saling terkait. Pokok pandangan di dalam uraian ini memberikan acuan kepada dua hal
yaitu (1) pengauasaan substansi materi pelajaran dan (2) penguasaam 8 keterampilan
dasar mengajar dari maha siswa. Oleh sebab itu terkait dengan latihan keterapilan dasar
mengajar kepada maha siswa sebagai calon guru, maka salah satu alternatif urutan latihan
keterampilan dasar mengajar dapat dipilih sebagai berikut:
1) Keterampilan membuka dan menutup pelajaran;
Membuka pelajara sebagai kegiatan awal yang dimaksudkan untuk mengkondisikan
peserta didik (siswa) sedemikian sehingga mereka termotivasi secara pisik maupun
psikhis dan siap melakukan aktivitas pembelajaran, memberikan acuan terhadap
kompetensi, menunjukkan kaitan substansi materi pembelajaran .
Penutup pelajaran pada dasarnya sebagai aktivitas mengakhir pembelajaran. Melalui
kegiatan ini peserta didik dipastikan sudah memiliki pengalaman belajar yang utuh
sesuai dengan perencanaan pembelajaran. Jadi menutup pembelajaran sebagai bagian
integral dari pembelajaran yang dimaksudkan untuk megecek capaian kompetensi,
memberikan rangkuman, kesimpulan, memberikan materi untuk pendalaman, dan
mengingatkan komptenis selanjutnya.
214
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2) Keterampilan bertanya;
Bertanya merupakan salah
satu
aktivitas yang selalu ada dalam proses
komunikasi, memberi stimulus kepada peserrta didik dalam bentuk kalimat tanya
yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan yang diajukan sangat ditentukan oleh fungsi
dari pertanyaan itu. Dalam pembelajaran pertanyaan dapat berfungsi untuk
meningkatkan aktivitas peserta didik, menuntun atau membangun proses berpikir,
membangkitkan rasa ingin tahu atau untuk memusatkan perhatian.
Banyak hal yang harus menjadi pertimbangan dalam mengajukan pertanyaan antara
lain (a) ungkap pertanyaan secara jelas, (b) memilik acuan supaya tidak
membingungkan, (c) menyebar kepada seluruh peserta didik, (d) memperhatikan
jedah waktu untuk peserta didik memikirkan jawaban, (e) jika pertanyaan tidak
mendapatkan jawaban, maka diajukan dengan kalimat yang lain yang ebih mudah
sehingga lebih dimengerti peserta didik dan (f) memperjelas informasi yang sudah
diterima peserta didik.
Wujud sebuah pertanyaan bisa berperan sebagai (a) memperjelas jawaban yang sudah
diberikan, (b) memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengungkap alasan,
fakta atau pandangan atau memberikan contoh, (c) untuk mendapatkan kesepakatan,
(d) menuntun peserta didik melengkapi jawaban, (e) mengembangkan jawaban
sedemikian sehingga jawaban yang lebih komplek.
3) Keterampilan menjelaskan;
Menjelaskan merupakan keterampilan yang utama dalam pembelajaran matematika
dan tidak terpisah dari penguasaan materi pelajaran. Hal ini dilatarbelakangi oleh
objek matematika yang abstrak dan terdiri dari fakta, konsep, operasi dan prinsif.
Menjelaskan objek matematika dalam pembelajaran sangat erat kaitannya dengan
penyajian materi pelajaran. Menyajikan materi pelajaran dapat diartikan sebagai
usaha untuk mengorganisasikan materi pembelajaran dalam tata urutan fungsional,
terencana secara sistematis. Menjelaskan dalam hal ini berti menyampaikan
informasi secara lisan kepada peserta didik untuk mengkondisikan siswa belajar dan
mengembangkan kemampuan bagaimana berpikir untuk pemecahan masalah.Oleh
sebab itu perlu diperhatikan hal-hal berikut : (a) menggunakan bahasa sesuai dengan
perkembangan peserta didik, (b) mengungkap dengan lancar dan menghindari kata
yang tidak perlu dan berulang, (c) kalimat disusun dengan tata bahasa yang baik dan
mudah dimengerti, (d) menghindari istilah yang meragukan seperti kira-kira,
mungkin, apa dulu, kalau tidak salah dan yang sejenisnya, (e) suara yang jelas
kata-katanya, dan (f) memungkinkan tumbuhnya pengaruh mendidik (nurturant
effec).
4) Keterampilan mengadakan variasi;
Variasi dalam pembelajaran adalah perubahan aktivitas yang sengaja dilakukan guru
dengan maksud untuk menghidarkan kemonotonan yang berakibat kebosanan,
motivasi belajar yang tidak putus, pemenuhan gaya belajar peserta didik yang
215
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
beraneka rangam. Dari berbagai sumber teori dapat dirangkum bahwa variasi dalam
pembelajaran meliputi:
a. Variasi gaya mengajar, antara lain berupa : variasi suara, variasi gerak badan dan
mimik, mobilitas posisi, memusatkan perhatian, membuat kesenyapan sejenak,
memberi kontak pandang.
b. Variasi penggunaan media dan bahan pembelajaran, antara lain berupa : variasi
alat dan bahan yang dapat dilihat,didengar, diraba dan dimanipulasi.
c. Variasi pola interaksi dan kegiatan. Variasi interaksi berbentuk klasikal,
kelompok dan perorangan. Variasi kegiatan berupa : demonstrasi, diskusi, latihan,
menelaah materi, atau praktikum dan yang sejenisnya.
5) Keterampilan memberi penguatan;
Penguatan adalah tanggapan guru terhadap perilaku peserta didik yang
memungkinkan dapat membesarkan hati peserta didik agar lebih terpacu dalam
interaksi pembelajaran. Pengauatan verbal adalah aktivitas guru untuk merespon
kegiatan peserta didik berupa kata-kata atau gerakan-gerakan menjadi hal yang
penting di dalam pembelajaran. Kata-kata atau komentar berupa pujian dalam
ungkapan antara lain: bagus, baik sekali, saya puas dengan jawabanmu, sebaiknya
kalian mencontoh temanmu ini, dapat membuat peserta didik lebih percaya diri dan
terdorong untuk berperan aktif dalam pembelajaran. Penguatan dapat pula dilakukan
dengan non-verbal misalnya cara menunjukkan mimik dan gerak badan simpati,
mendekati dan sentuhan, memberi hadiah dan kegiatan menyenangkan.
Hal yang mendasar dan menjadi prinsip pemberian penguatan adalah : (a) kehangatan
dan keantusiasan. Kata atau ungkapan disertai dengan menunjukkan suara simpati,
senyum dan berbagai gerakan menyenangkan. (b) Kebermaknaan, penguatan yang
diberikan membuat peserta didik merasakan dihargai sehingga tumbuh dan
meningkat perannya dalam pembelajaran. (c) Hindari kata-kata atau ungkapan
mencela atau mengejek respon peserta didik yang tidak sesuai dengan harapan
misalnya jawaban salah. (d) Penguatan berikan dengan segera dan bervariasi. Setiap
respon positif segera diringi dengan penguatan sesuai dengan sasarannya baik
ditujukan kepada individu, kelompok atau seluruh peserta didik.
6) Keterampilan mengelola kelas;
(1) Menciptakan dan mempertahankan iklim belajar yang optimal.
Keterampilan ini membutuhkan kemampuan guru untuk meninisiatifkan kegiatan
pembelajaran yang optimal, efisien, dan efektif. Oleh sebab itu guru harus : (a)
Tanggap terhadap karakteristik peserta didik, menguasai materi dan strategi
pembelajaran; (b) Menguasai cara membagi perhatian; (c) Menguasai cara
memusatkan perhatian individu, kelompok dan kelasikal; (d) Tepat memberikan
petunjuk kepada peserta didik; € Terampil memberikan penguatan.
) Mengembalikan kondisi belajar yang optimal.
Untuk hal ini guru harus: (a) memiki penguasaan tentang cara memodifikasi
tingkah laku yang menyimpang; (b) terampil pengelolaan aktivitas belajar dalam
216
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kelompok dan (c) mampu menemukan dan memecahkan tingkah laku yang
menimbulkan masalah.
7) Keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil.
Untuk memaksimalkan ktivitas peserta didik di dalam pembalajaran antara lain
dilakukan melalui diskusi dan perhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Rencanakan sebaik-baiknya masalah, sistematika diskusi, peran setiap anggota
kelompok, tujuan yang harus dicapai.
b. Pada saat diskusi berlangsung guru harus cermat memperhatikan interaksi di
dalam kelompok.
c. Lakukan pengendalian terhadap aktivitas kelompok jika terdapat pergeseran atau
penyimpangan dari pokok masalah diskusi di kelompok.
d. Berikan arahan atau tuntunan sedemikian sehingga kelompok bisa
mengkonstruksi dan menemukan penyelesaian masalah yang didiskusikan.
e. Jika terjadi bebedaan pandangan sehingga kelompok tidak sampai pada suatu
kesimpulan, maka guru harus memposisikan diri sebagai penyeimbang.
f. Perjelas semua gagasan menuju kepada kesimpulan penyelesaian masalah yang
didiskusikan dengan mengungkap ide pokok dari kelompok.
8) Keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan.
Aktivitas mengajar kelompok kecil dan perorangan umumnya terjadi jika guru
melaksanakan pembelajaran secara kelasikal. Keterampilan mengajar kelompok kecil
adalah kemampuan guru melayani kegiatan peserta didik dalam belajar berkelompok
dengan jumlah peserta didik berkisar antara 3 - 5 orang setiap kelompoknya.
Sedangkan keterampilan dalam pengajaran perorangan atau pengajaran individual
adalah kemampuan guru dalam pembelajaran dengan memperhatikan tuntutantuntutan atau perbedaan-perbedaan individual peserta didik.
Terkait dengan hal tersebut Putu Sutrisna (2011) memberikan menyebutkan gunakan
pendekatan perorangan dengan memperhatikan hal-hal berikut : (1) guru harus
menampilkan kehangatan kepada peserta didik, (2) guru harus peka terhadap peserta
didik dan kebutuhan peserta didik, (3) guru perlu mendengarkan secara simpati dan
merespon secara positif terhadap pikiran peserta didik dan membuat hubungan yang
saling percaya, (4) guru bisa membantu peserta didik jika peserta didik mengahadapi
masalah.
Strategi Lesson Study Dalam Pembimbingan Latihan 8 Keterampilan Dasar
Mengajar
Strategi yang dimaksud di dalam kajian ini diartikan sebagai suatu keterampilan
mengatur aktivitas dalam pembelajaran yang dikaitkan dengan usaha untuk menguasai
keterampilan dasar mengajar melalui pembimbingan. Pelaksanaannya mengikuti
rangkaian aktivitas sebagaimana yang ditunjukkan pada diagram 1.
Dari berbagai sumber teori dan hasil penelitian diperoleh bahwa aktivitas dalam
strategi lesson study dilaksanakan dalam rangkaian siklus kegiatan: Planning-DoingSeeing (Plan-Do-See). Untuk keperluan pembimbingan kepada mahasiswa dalam
217
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menguasai 8 keterampilan dasar mengajar, tiga kegiatan ini didahului dengan
pengkondisian. Sehingga rangkaian satu siklus pembimbingan ada 4 aktivitas pokok
strategi lesson study adalah : Condisioning-Planning-Doing-Seeing (Co-Plan-Do-See).
Rangkaian aktivitas pembimbingan mahasiswa untuk menguasai keterampilan dasar
mengajar digambarkan pada diagram berikut:
Diagram
: Siklus Aktivitas Pembimbingan Latihan 8 Keterampilan
Dasar Mengajar dengan Strategi Lesson Study
1) Pengkondisian
Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan mahasiswa mengenal konsep 8 keterampilan
dasar mengajar dan menelaah kembali hubungan konsep didalam materi pelajaran
matematika SMP/MTs, SMA, SMK dan MA. Pada tahap ini aktivitas mahasiswa
adalah (a) mempelajari konsep-konsep di dalam 8 keterampilan dasar mengajar, (b)
menelah substansi materi pelajaran matematika yang akan diajarkan, (c)
mendiskusikan permasalahan hasil bacaan yang ditemukan dari 8 keterampilan dasar
mengajar.
2) Perencanaa (Plan)
Pada tahap ini yang paling penting adalah menghasilkan gagasan praktik berdasarkan
komponen keterampilan mengajar fokus latihan. Jika mahasiswa mengalami
kesulitan dalam menemukan permasalahan pada komponen keterampilan sebagai
fokus praktik, maka dosen pembimbing menunjukkan atau memodelkan. Penguasaan
komponen keterampilan mengajar yang akan dipraktikkan akan membantu
mahasiswa untuk mengamati terlaksananya komponen tersebut oleh koleganya.
Setiap mahasiswa memilih kompotensi dasar yang akan dipraktika dan membuat
catatan singkat tentang pokok materi yang dibelajarkan. Terkait dengan hal ini
dipersiapkan pula hal-hal yang terkait dengan komponen keterampilan dan materi
yang diajarkan. Termasuk hal yang perlu disepakati dalam perencanaan adalah proses
pengamatan yang meliputi : aspek yang diamati, penguasaan materi pelajaran, alokasi
waktu untuk setiap keterampilan yang menjadi fokus paraktik, proses refleksi dan
tindaklanjut hasil refleksi.
3) Pelaksanaan latihan (Do)
Doing (Do) pada lesson study dalam pelaksanaan bimbingan latihan keterampilan
dasar mengajar ini merupakan tahap yang bertujuan untuk mengimplementasikan
komponen keterampilan dasar mengajar yang telah dirancangan. Fokus pengamatan
218
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
bukan hanya pada sikap penampilan mahasiswa yang mengajar, tetapi lebih
diarahkan pada terlaksanan dengan sebaik mungkin komponen keterampilan dasar
mengajar. Setiap mahasiswa secara bergilir menjadi guru model untuk mepraktikkan
keterampilan dasar yang sudah direncanakan. Sebagai model berarti mahasiswa
dituntuk untuk mampu mempertunjukkan komponen-komponen keterampilan dasar
mengajar. Mahasiswa yang lain mengamati dan mencatat kelebihan dan kekurangan
yang teramati. Dalam kelompok bimbingan peer teaching ini, mahasiswa lain
disamping sebagai pengamat mereka juga berperan sebagai peserta didik (siswa).
Dalam peran sebagai siswa yang perlu diperhatikan adalah mahasiswa berperilaku
sebagai siswa yang sesuai dengan materi pelajaran yang diajarkan (SMP/MTs atau
SMA/SMK/MA). Dosen pembimbing mengamati dan mencatat penguasaan materi
pelajaran dan seluruh komponen keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus
praktik.
4) Refleksi (See)
Rekaman seluruh aktivitas praktik diungkap secara terbuka pada tahapan ini.
Pengungkapan aktivitas praktik tidak dimaksudkan untuk membuat praktikan
tersajung dengan kelebihannya atau terpejokkan dengan kekurangannya dalm
keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Tetapi kelebihan dan
kekurangan dari seorang mahasiswa pada keterampilan dasar mengajar yang menjadi
fokus praktik menjadi pengalaman kepada mahasiswa lain. Kekurang salah seorang
mahasiswa pada keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik harus
diperbaiki oleh mahasiswa lain pada giliranya mempraktikan keterampilan dasar
yang sama. Manfaat yang diperoleh dari refleksi ini adalah setiap mahasiswa dapat
meniru dan meningkatkan kelebihan koleganya dan menghidari kekurangan yang
sama pada giliranya mempraktikan keterampilan dasar yang sama.
Aktivitas refleksi dilaksakan dalam tahapan sebagai berikut:
a. Penyampaian kesan dari pengalaman praktikan
Praktikan mengungkap kesan-kesannya dalam melaksanakan praktik keterampilan
dasar mengajar yang menjadi fokus praktik (latihan). Kelebihan dan
kekurangannya dalam praktik diungkap sendiri oleh mahasiswa baik yang
berkaitan dengan komponen keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus
praktik maupun penguasaan materi pelajaran.
b. Penyampaian tanggapan dari mahasiswa lain
Wujud tanggapan dapat berupa pujian, krtik dan saran terhadap pelalsanan
latihan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Kritik dan saran
diarahkan dalam rangka peningkatan kualitas praktik dan disampaikan secara bijak
tanpa merendahkan atau menyakiti hati mahasiswa model. Masukan yang positif
dapat digunakan untuk merancang kembali pembelajaran yang lebih baik.
c. Penyampaian tanggapan dari dosen pembimbing.
Dosen pembimbing mengungkap catatannya berhubungan dengan keterampilan
dasar mengajar yang menjadi fokus praktik. Peran dosen pembimbing adalah (1)
memberikan penguatan kepada kelebihan-kelebihan mahasiswa model dan
219
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
menjadikan contoh kepada mahasiswa lain untuk mempraktikkan keterampilan
dasar mengajar yang sama, (2) memberikan solusi permasalahan yang dialami
oleh mahasiswa model, (3) menunjukkan contoh menghindari kekurangan
mahasiswa model pada saat melaksanakan keterampilan dasar mengajar yang
menjadi fokus praktik. Hal yang terpenting dari pelaksanaan refleksi adalah
memaknai apa yang bisa dipelajari dari praktik keterampilan dasar mengajar yang
menjadi fokus praktik. Refleksi harus segera setelah setiap mahasiswa model
berakhir melaksanakan latihan keterampilan dasar mengajar yang menjadi fokus
praktik.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah deskriftif. Deskripsi didasarkan pada akumulasi data kualitatif
dan kuantitatif yang diperoleh pada setiap tahapan strategi lesson study setiap fokus
praktik. Oleh sebab itu pendekatan yang digunakan bersifat kualitatif-kuantitatif atau
kuantitatif-kualitatif. Data dikumpulkan pada saat mahasiswa melakukan diskusi
persiapan materi dan keterampilan yang menjadi fokus praktik dan pada saat praktik
pembelajaran peer teaching. Data kuantitatif tentang keterampilan mengajar diperoleh
dari daftar komponen keterampilan dasar mengajar. Data dikumpulkan dengan
menggunakan lembar observasi penilaian keterampilan dasar mengajar
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Data hasil penelitian tentang keterampilan dasar mengajar untuk dan oleh 5 subjek
Diagram 1: Hasil Penilaian Keterampilan Dasar
penelitian disajikan di dalam diagram
berikut:
Tergambar dari data hasil penelitian bahwa
mahasiswa sudah menguasai konsep 8
ketarampilan dasar mengajar. Berdasarkan
kriteria ketuntasan minimal skor 70, hasil
Keterampilan Dasar
Kode Subjek:
yang ditunjukkan dari diagram bahwa skor
yang diperoleh mahasiswa sudah berada di atas kriteria. Hal ini bisa dicapai karena
perlakuan dalam perencanaan adalah mahasiswa mempelajari semua kompenen
keterampilan yang menjadi fokus praktik. Selanjutnya mendeskripsi secara tertulis apa
saja yang dilakukan di dalam praktik keterampilan tersebut. Deskripsi aktifitas itu
selanjutnya didiskusikan dan diberi masukan oleh sejawat. Setelah itu mahasiswa
220
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
melaksanakan simulasi praktik mengajar
dengan ketermpilan yang menjadi fokus
prkatik. Hal ini yang membuat mahasiswa
semakin kaya dengan informasi tentang
melaksanakan keterampilan dasar fokus
prkatik. Ditinjau dari mahasiswa sebagai
subjek dalam penelitian ini, digarma 2
menunjukkan bahwa terdapat satu subjek
dengan kode M5 yang memiliki rata-rata
skor tidak terlalu jauh dari batas ketuntasan minimal. Tetapi secara keseluruhan rata-rata
skor keberhasilan dari ke lima subjek penelitian adalah 87,73. Keberhasilan ini tentu
merupakan salah satu akibat dari perlakuan yang didasarkan strategi lesson sudy dalam
pembimbingan 8 keterampilan dasar mengajar.
SIMPULAN
Memperhatikan temuan teoretis seperti yang disajikan di atas, dapat disimpulkan
babarapa hal sebagai berikut:
1) Untuk membuat mahasiswa menguasai 8 keterampilan dasar mengajar harus
dilakukan dalam proses latihan mengajar yang terecana, bertahap, berlapis
sistematis dan berkelanjutan.
2) Proses latihan dapat dilakukan berdasarkan strategi lesson study dalam 4 tahapan
yakni
condisioning, (2) planning, (3) doing dan (4) seeing. Keempat tahapan
dari strategi ini merupakam rangkaian tidak putus dari Condisioning-PlanningDoing-Seeing (Co-Plan-Do-See).
3) Kontribusi nyata dan positif dari strategi lesson study ini terhdap penguasaan
keterampilan dasar mengajar melalui latihan mengajar dalam bentuk bimbingan peer
teaching.
DAFTAR PUSTAKA
Cholis Sa'dijah. 2010. Aktivitas dan Respon Calon Guru Dalam Penerapan Lesson
Study Pada Pembelajaran Matematika Berbahasa Inggris di SMA Negeri 3
Malang. Prosiding Seminar Nasilan Lesson Study 3. Peran lesson Study Dalam
Meningkatkan Profesionalitas Pendidik. Jurusan Matemalika FMIPA Universitas
Negeri Malang
221
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dadang Sukarman. 2013.
Keterampilan
Dasar Mengajar. Tersedia pada
http://pujakesumaputrasurya.blogspot.com/2013/09/8-keterampilan-dasar-mengajaryang.html (28 Februar 2015; 20,43 Wita)
Dwikoranto
Meningkatkan Profesionalisme Guru MIPA Melalui Implementasi
Lesson Study Berbasis MGMP di Kota Surabaya. Proseding Seminar Nasional
Pembelajaran Matematika Sekolah Untuk Mencaapai Keunggulan Bangsa.
Yogyakarta, 6 Desember 2009. ISBN : 978- Heni Purwati , Supandi. 2011. Meningkatkan Kompetensi dan Profesionalisme Dosen Melalui
Lesson Study. Online Tersedia pada
http://portalgaruda.org/article.php?article=6861&val=527#page=1&zoom=aut
o,-
(3 Maret 2015: 23.05 Wita)
Lewis, C, Perry, R., Hurd,J.,& O'Connel, M. P. 2006. Teacher collaboration: Lesson
study omes ofage in North America. Tersedia pada
http://www.Lessonresearch.net/LS_06Kappan. (20 Desember 2014)
Lise Chamisijatin. 2014. Implementasi Lesson Study untuk Meningkatkan Pelaksanaan
Pendekatan Scientific Guru IPA SMP Muhammadiyah 6 Kabupaten Malang.
Malang. Universitas Muhammadiyah Malang.
Pusat PPL Universitas Negeri Gorontalo. 2013. Pedoman PPL. Gororntalo. Universitas
Negeri Gorontalo
Putu Sutrisna. 2011. Komponen 8 Keterampilan Dasar Mengajar. Tersedia
pada. http://putusutrisna.blogspot.com/2011/04/komponen -komponen-8keterampilan.html, (28 Februar 2015; 20,43 Wita)
Rustono W.S. 2008. Meningkatkan Kemampuan Mahasiswa Menerapkan Strategi
Pembelajaran Melalui Lesson Study Di Sekolah Dasar “JURNAL Pendidikan
Dasar “ Nomor:
- Oktober 2008
Siska Candra Ningsih. 2013. Implementasi Lesson Study Dalam Upaya Meningkatkan
Motivasi dan Hasil Belajaran Mahasiswa. Volume 1. Prosiding SNMPM
Universitas Sebelas Maret 2013
Sudrajad, A. 2008. Lesson study Untuk Meningkatkan Proses dan Hasil Pembelajaran.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/22/lesson-study-untuk-meningkatkanproses-dan-hasilpembelajaran/.
Januari 2015; 20,43 Wita)
222
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MENINGKATKAN AKTIFITAS UNTUK HASIL BELAJAR INDIVIDU PADA MATERI
POKOK UKURAN PEMUSATAN SUATU DATA YANG DISAJIKAN MELALUI
DIANGRAM MELALUI PEMBELAJARAN SISTEM TAMU
Satra Hamzah
Guru Matematika SMK Negeri 4 Kota Gorontalo
[email protected]
ABSTRAC
Peran guru sebagai perencana dan pelaksana pembelajaran harus bisa memposisikan siswa
sebagai subjek dan objek pembelajaran. Usaha ini harus dilakukan untuk memberi kesempatan
maksimal kepada setiap siswa untuk aktif dalam belajar. Untuk menciptakan suasana
pembelajaran aktif dapat dilakukan dengan menggunakan pembelajaran kooperatif. Berbagai
meodel pembelajaran matematika telah dikembangkan untuk maksud di atas, salah satu dari
model pembelajaran itu adalah model pembelajaran kelompok atau Cooperative Learning.
Gejala yang ditemukan bahwa akitivitas siswa pada pembelajaran kooperatif dalam mata
pelajaran matematika masih tetap didominasi oleh siswa pintar atau siswa yang berani
mengeluarkan pendapat. Sehingga siswa yang pintar semakin pintar dan siswa yang memiliki
kemampuan rendah tidak bisa menyesuaikan dengan siswa yang pintar. Kondisi ini
ditanggulangi dengan implementasi pembelajaran sedemikian sehingga siswa menunjukkan
intesitas aktifitas belajar yang baik, maka akan berimbas kepada peningkatan hasil belajarnya.
Implementasi pembelajaran kooperatif pada pembelajaran matematika yang dimaksud adalah
teknik sistem tamu. Teknik sistem tamu memiliki karakteristik yang dapat meningkatkan
intesitas aktifitas belajar siswa, karena teknik ini menuntut peran aktif siswa dalam menerima,
mengkaji untuk menguasai dan mengkomunikasikan kembali informasi.
Kata Kunci : Aktivitas individu, Hasil Belajar, Teknik Sistem Tamu
PENDAHULUAN
Fakta yang sering ditemukan di dalam pembelajaran matematika bahwa siswa lebih
bermasalah dalam menentukan ukuran pemusatan jika data-data tersebut
diagram, seperti berikit. Kondisi pembelajaran
disajikan dalam
matematika yang diharapkan terjadi adalah
pembelajaran aktif, efektif, kreatif dan menyenangkan. Sebagian besar guru matematika masih
mengakui bahwa dalam pembelajaran matematika, aktivitas belajar senantiasa didominasi oleh
siswa yang memiliki kemampuan akademik yang lebih tinggi. Tetapi ada pula ditemukan bahwa
kadang-kadang siswa yang memiliki akademik lebih tinggi tetapi tidak menunjukkan aktivitas
belajar yang lebih dibandingkan dengan siswa lain. Apalagi siswa dengan kemampuan akademik
yang berada pada tingkat rata-rata atau di bahwa rata-rata hampir dipastikan kreativitas belajar
mereka belajar di dalam kelas juga relatif rendah.
223
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kondisi pembelajaran matematika yang diharapkan terjadi adalah pembelajaran aktif,
efektif, kreatif dan menyenangkan. Empat kondisi ini sangat diharapkan baik oleh guru maupun
oleh siswa. Akan tetapi fakta yang ditemukan belum seperti ini, oleh sebab itu beberapa
pertanyaan yang bisa diajukan adalah:
a. Guru harus melakukan apa dalam pembelajaran matematika untuk dapat mengaktifkan setiap
siswa secara maksimal?
b. Strategi pembelajaran matematika seperti apa yang harus direncanakan agar intensitas
aktivitas belajar siswa dalam kelompok dapat memberi kontribusi kepada hasi belajar secara
individu dalam pembelajaran ukuran pemusatan yangdisajikan dalam diagram ?.
c. Bagaimana melaksanakan pembelajaran ukuran pemusatan atau tendensi sentral jika data
disajikan dalam bentuk diagram sedemikian sehingga siswa meningkat intensitas aktivitas
belajarnya.
Orientasi Pembelajaran Kooperatif Teknik Sistem Tamu Dalam Pembelajaran Ukuran
Pemusatan
Membisakan pembelajaran yang terpusat pada siswa merupakan salah satu usaha untuk
menyahuti pergeseran paradigma pembelajaran dari pembelajaran tepusat pada guru kepada
paradigma pembelajaran terpusat pada siswa. Inovasi dalam strategi pembelajaran merupakan
hal harus dilakukan guru untuk maksud tersebut. Guru matematika sebagai perencana dan
pelaksana pembelajaran perlu menetapkan kegiatan inovatif untuk pembelajaran matematika
berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagai berikut:
1) Menciptakan Kondisi Pembelajaran dengan Pengetahuan dan pengalaman bermakna.
Aktivitas belajar kelompok di dalam kelas harus dikondisikan untuk dapat memberi
pengaruh kepada aktivias seluruh siswa pada kelompok dan seluruh siswa di dalam kelas.
Kontribusi aktivatas kelompok tersebut dilakukan untuk memberi hasil belajar siswa pada
matematika sebagai pengetahuan yang ditemukan, dibentuk dan dikembangkan oleh siswa.
2) Menciptakan Kondisi Pembelajaran Untuk siswa membangun pengetahuan secara aktif.
Hal pokok yang harus disadari dalam pembelajaran adalah bahwa belajar adalah statu
kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa. Siswa
menggunakan panca inderanya untuk mengamati, menanya, mengolah informasi, menalar
dan mengkomunikasikan hasil belajarnya. Oleh sebab itu Anderson & Armbruster (dalam
Anita Lie, 4:2004) mengemukakan bahwa penyusunan pengetahuan yang terus-menerus
menempatkan siswa sebagai peserta yang aktif.
224
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
3) Menciptakan Kondisi Pembelajaran Untuk Mengembangkan Kompetensi Siswa
Di dalam diri siswa tersimpan sejumlah poensi yang dapat dikembangkan melalui
pembejaran matematik. Potensi itu dapat dikembangakn dengan memberi peran aktif secara
kelompok atau secara perorangan. Pemberian kesempatan belajar itu memberikan penekanan
kepada siswa melakukan proses dari pada hasil. Hal ini sejalan dengan paradigma bahwa
setiap siswa memiliki kompetensi yang dapat dikembangkan melalui proses belajar.
4) Menciptakan Kondisi Pembelajaran Untuk Iklim Interaksi Multi Arah
Kegiatan pembelajaran matematika merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya
interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru maupun interaksi pribadi. Belajar
merupakan suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing
siswa berinteraksi dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan secara
bersama-sama,
Empat pokok pikiran di atas mengaharuskan suasana pembelajaran matematika perlu
direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk
berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini siswa akan membentuk komunitas yang
memungkinkan mereka untuk menciptakan proses belajar yang saling menguntungkan sehingga
berpengaruh kepada peningkatan hasil belajar siswa. Dalam suatu kajiannya Anita Lie (2004:7)
menyebutkan bahwa suasana belajar kooperatif mengahasilkan prestasi yang lebih tinggi,
hubungan positif, dan penyesuain psikologi yang lebih baik daripada suasana belajar yang penuh
dengan kompetisi.
Implementasi Cooperatif Learning Teknik Sistem Tamu Dalam Pembelajaran Matematika
Falsafah yang mendasari cooperatif learaning adalah homo homini socius. Falsafah ini
menekankan bahwa manusia adalah mahluk sosial. Kerjasama merupakan hal yang sangat
penting artinya dalam kelangsungan hidup. Tanpa kerja sama tidak akan ada individu, keluarga
dan yang lebih luas dari itu. Untuk menggunakan Cooperatif Learning termasuk sistem tamu
dalam pembelajaran matematika perlu diperhatikan 5 (lima) unsur, sebagaimana dikemukakan
oleh Roge dan David Johnson (dalam Anita Lie, 2004:31) yakni: (1) saling ketergantungan
positif, (2) tanggungjawab perorangan, (3) tatap muka, (4) komunikasi antara anggota dan (5)
evaluasi proses kelompok. Pendapat ini dikembangkan dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Saling Ketergantungan Positif
Kelompok-kelompok yang dibentuk dalam pembelajaran terdiri dari anggota-anggota yang
memiliki tugas dan tanggungjawab untuk kemajuan belajar dalam kelompok.Tugas dan
tanggungjawab tersebut merupakan suatu rangkaian kegiatan. Untuk menciptakan rangkaian
225
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kerja kooperatif yang efektif guru perlu menyusun tugas sedemikian sehingga setiap anggota
kelompok memiliki tugas dan tanggungjawab yang berbeda tetapi dalam satu kesatuan untuk
tugas dan tanggungjawab kelompok. Dengan demikian setiap siswa di dalam kelompok
tersebut mendapat kesempatan untuk meberikan sumbangan aktivitasnya kepada kelompok.
Pemikiran sisi positifnya adalah siswa yang memiliki kemampuan yang kurang merasa
terhargai, tidak minder, bahwa meraka akan terpacu untuk meningkatkan usaha mereka dan
dengan demikian akan menaikkan kemampuan belajar mereka.
2) Tanggungjawab Perseorangan
Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur pertama, karena keberhasilan aktivitas
kelompok sangat tergantung dari aktivitas individau. Oleh sebab itu perencanaan kegiatan
individu dalam cooperatif learning sangat ditentukan oleh perencanaan pembelajaran yang
dirumuskan oleh guru.
3) Tatap Muka
Setiap anggota kelompok secara bersama-sama dan berkelanjutan harus diberi kesempatan
untuk berinteraksi langsung (tatap
muka). Interaksi ini akan menciptakan sinergitas
(ketergantungan yang saling menguntungkan) semua anggota kelompok. Dasar pemikiranya
adalah hasil pemikiran dari banyak orang adalah lebih baik dari hasil pemikiran dari satu
orang. Inti dari sinergitas itu adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan
mengisi kekurangan masing-masing. Sinergitas tidak didapatkan begitu saja dalam sekejap,
tetapi melalui proses kelompok yang cukup panjang.
4) Kemunikasi Antar anggota
Melalui unsur ini dikehendaki bahwa siswa dilatih untuk mampu berkomunikasi baik secara
lisan maupun secara tertulis. Peran guru pada unsur ini sangat dibutuhkan untuk mengarahkan
para siswa sehingga mampu menunjukkan kemampuan berkemunikasi dengan baik, sebagai
salah satu dari akibat pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan
emosional siswa.
5) Evaluasi Proses Kelompok.
Dua hal menjadi sasaran evaluasi dalam pembelajaran matematika adalah evaluasi proses dan
evaluasi hasil kerja sama kelompok. Untuk itu guru perlu merencanakan waktu pelaksanaan
evaluasi. Evaluasi proses ditujukan untuk mengetahui aktivitas siswa di dalam kegiatan
belajar, berupa: (a) partisipasi anggota kelompok, (b) usaha siswa membantu anggota
kelompok, (c) terjadi saling bertanya dan saling meberi jawaban atau mengajukan pendapat
terhadap sesuatu yang menjadi masalah kelompok, (d) peran masing-masing anggota
226
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
kelompok dalam menyelesaikan tugas dan tangungjawab masing-masing untuk keberhasilan
kelompok.
Memperhatikan pokok-pokok pikiran dan unusr-unsur cooperative learning maka
penggunaannya dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan beberapa cara yakni :
pertama memanfaatkan tugas pekerjaan rumah. Membentuk siswa menjadi beberapa kelompok
dengan banyaknya anggota kelompok 2 – 5 orang setiap kelompok. Siswa diberi tugas untuk
membandingkan hasil pekerjaan antara anggota yang satu dengan anggota yang lain di dalam
kelompoknya. Kedua, pembahasan materi baru. Aktivtas siswa dalam membahas materi baru,
didahului dengan informasi berupa mendemonstrasikan suatu teknik baru yang dapat digunakan
untuk menghitung, memecahkan masalah, menggambar grafik, membuktikan teorema.
Selanjutnya siswa bergabung dalam kelompok-kelompok yang telah ditetapkan untuk mengkaji
pengembangan materi atau membahas soal/masalah. Aktivtas siswa selanjutnya adalah
mengkomunikasikan hasil kerja kelompok kepada kelompok lain. Jika diperlukan selanjutnya
guru memberikan penegasan terhadap pekerjaan kelompok yang membutuhkan penjelasan atau
klarifikasi. Masalah yang perlu disiapkan guru harus dibuat sedemikian rupa sehingga saling
membutuhkan antara anggota kelompok yang satu dengan teman kelompoknya dalam
penyelesaian masalah tersebut.
Pengelompokan Dalam Cooperative Learning Teknik Sistem Tamu
Untuk mengoptimalkan aktivitas siswa di dalam Cooperative Learning pada pembelajaran
matematika, keanggotaan sebaiknya heterogen, baik dari kemampuan akademik maupun
karakteristik lainnya. Untuk menjamin keheterogenan kelompok, gurulah yang membagi
kelompok. Pengelompokan heterogenitas (kemacamragaman) merupakan ciri yang mononjol
dalam pembelajaran Cooperative Learning.
System Tamu Dalam Pembelajaran Cooperative Learning.
Salah satu yang menandai komitmen terhadap tugas guru adalah melakukan inovasi
pembelajaran yang bertujuan untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa. Pembelajaran
cooperative learning dapat dilaksanakan dengan berbagai teknik. Teknik yang sudah sering
digunakan guru adalah
jigsaw, stad dan kelompok penyelidik. Selain teknik-teknik yang
dsebutkan di atas masih terdapat beberapa teknik pembelajaran kooperatif yang perlu
dikembangkan dalam pembelajaran matematika salah satu diantaranya adalah teknik sistem tamu
(Visitor System).
227
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Struktur kegiatan sistem tamu ini memberi kesempatan kepada kelompok untuk
mengkomunikasikan hasil bahasan kelompoknya kepada kelompok lain. Secara garis besar ada
aktivitas siswa yang tumbuh pada kegiatan kelompok ialah:
(1)
siswa bekerja sama dalam kelompok seperti biasa
(2)
setelah selesai, satu orang pada kelompok itu tetap tinggal pada kelompoknya dan anggota
yang lain berkunjung ke kelompok lainnya.
Siswa yang tinggal bertugas memberikan penjelasan hasil kerja kelompoknya kepada siswa
yang dari kelompok lain.
(3)
setelah selesai pemberian penjelasan dan diskusi pada saat kunjungan, tamu kembali
kekelompok mereka sendiri dan secara bergilir melaporkan informasi dan hasil diskusi
mereka dengan kelopok lain.
(4)
setiap siswa membuat kesimpulan dari seluruh informasi yang mereka peroleh.
Empat aktivitas di atas dapat dirinci melalui langkah-langkah kegiatan sebagai berikut:
Tahap I
(1) guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai;
(2) guru menjelaskan pokok-pokok materi
(3) bentuk kelompok dengan banyaknya anggota kelompok sama dengan jumlah masalah yang
akan dibahas;
Tahap II
(4) setiap kelompok diberikan satu masalah untuk didiskusikan pemecahannya dalam waktu
yang ditentukan;
(5) setelah waktu yang ditentukan selesai, mintalah masing-masing kelompok menyepakati
anggotanya yang akan berkunjung ke kelompok yang lain dan salah seorang lainnya
menunggu tamu dari kelompok lain;
(6) siswa yang bertamu akan mendiskusikan pemecahan masalah yang telah didiskusikan oleh
kelompok yang dikunjunginya;
Tahap III
(7) anggota kelompok yang bertamu kembali ke kelompoknya, secara bergilir menjelaskan
kembali apa yang telah mereka terima.
(8) setiap siswa meberikan laporan individu dari semua masalah yang dibahas;
(9) guru memberikan penegasan pada pokok-pokok materi.
228
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Konseptual dan Hipotesis
Koseptual
Tiga hal yang menjadi target penerapan teknik system tamu dalam pembelajaran kooperatif
adalah (1) pengembangan aktivitas belajar dan (2) memaksimalkan aktivitas individu dalam
pembelajaran matematika dan (3) peningkatan penguasaan siswa terhadap materi yang
dibelajarkan. Dalam pengembangan aktivitas belajar terdapat tiga kemampuan yang
dikembangkan pada siswa yakni (1) tanggungjawab akademik (2) sosial akademik dan (3)
mempublikasikan hasil kerja. Tiga kemampuan akademik ini akan memberi dampak positif
terhadap peningkatan penguasaan dalam menghitung rata-rata, median dan modus.
Hipotesis
Berdasarkan kajian teori dan konseptual yang dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini
diajukan hipotesis bahwa ”Jika dalam pembelajaran ukuran pemusatan suatu data yang
disajikan dengan grafik digunakan pembelajaran teknik system tamu, maka aktivitas
kelompok dapat meningkatkan aktivitas individu”.
METODE PENELITIAN
Seting Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMK Negeri 4 Gorontalo, pada siswa kelas
XII Jurusan Akuntansi tahun pelajaran 2014/2015. Siswa dikelas ini berjumlah 21 orang terdiri
dari masing-masing 4 siswa laki-laki dan 17 orang siswa perempuan. Di kelas ini terdapat 15
% siswa yang sering menunjukkan aktivitas lebih dari siswa lainnya., 25 %
siswa yang
memberi respon nyata jika ditunjuk dan
60 %
menunjukkan aktivitas nyata di dalam kelas jika
diberikan bimbingan langsung secara individu.
Siklus Tindakan
Secara skematik desain tindakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian meliputi lembar pengamatan
aktivitas siswa dalam pembelajaran, lembar
balikan dari siswa dan instrumen hasil belajar
berupa tes tertulis essay.
229
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Indikator Keberhasilan
Tolok ukur keberhasilan tindakan adalah rata-rata perkembangan hasil belajat adalah:
a.
Minimal 85% siswa memperoleh skor ≥ 75
b.
Minial 85% siswa menunjukkan perkembangan hasil belajar yang baik.
Untuk skor perkembangan hasil belajar siswa didasarkan pada kriteria seperti yang dikemukakan
Slavin,Robert. E, (1995).berikut:
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Aktivitas Siswa Dalam Pembelajaran Ukuran Pemusatan
Aktivitas siswa dalam kegiatan kelompok
diamati
dalam
tanggungjawab
4
indikator,
akademik
yanki
(2)
(1)
sosial
akademik dan (3) publikasi hasil kerja
kelompok.pada masing-masing pembelajaran
yakni
pembelajaran
I
sampai
dengan
230
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pembelajaran III disajikan pada diagram 1.1. Dalam tiga rangkaian pembelajaran telah diperoleh
data aktivitas belajar siswa pada setiap siklus. Aktifitas belajar pada setiap kelompok disiklus 1
menunjukkan bahwa aktifitas siswa pada pembelajaran 2 lebih baik dari pada aktifitas siswa
pada pembelajaran 1 dan pembelajaran 3. Dari data diperoleh pula bahwa aktivitas siswa dalam
pembelajaran 3 lebih baik dibandingkan dengan aktivitas siswa dlam pembelajaran 1.
Peninjauan terhadap beberapa langkah pembelajaran ternyata memberi akibat yang lebih baik
kepada aktivitas belajar siswa. Hasil tindakan
yang diperoleh pada diagram ini menunjukkan
bahwa aktivitas belajar cenderung memberi
skor yang lebih baik. Skor aktivitas dalam
pembelajaran 1 lebih baik dari pada aktivitas
dalam mebelajaran 2,
pembelajaran
2
dan aktivitas dalam
lebih
baik lagi pada
pembelajaran 3.
Skor Hasil Belajar dan Perkembangannya
Sebelum
implementasi
pembelajaran
kooperatif dengan teknik system tamu pada
pembelajaran
ukuran
pemusatan
(mean,
median dan modus) dilakukan, aktivitas pembelajaran didahului dengan memberikan pre-test.
Hasil pre-test ini selanjutnya dipakai sebagai dasar pengelompokan siswa. Penentuan anggota
setiap kelompok didasarkan pada ranking (kemampuan akademik) yang diperoleh dari hasil pretest. Pada akhir setiap siklus pembelajaran dilakukan test yang dinamakan post-test (post-test 1
dan post-test 2). Post-test 1 dilakukan setelah
pembelajaran
sklus
1
dan
post-test
2
dilakukan setelah pembelajaran sklus 2.
Nomor 1 sampai dengan nomor 21 pada
digram ini
adalah urutan siswa setelah
diranking berdasarkan hasil pretest. Dari
diagram ini datanya menunjukkan bahwa
hasil belajar siswa menunjukkan peningkatan.
Hasil belajar yang ditunjukan oleh data
posttest 1 lembih baik dari pada hasil pretest
231
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dan hasil pelajaran yang ditunjukkan oleh posttest 3 lebih baik dari pada hasil belajar yang
ditunjukkan oleh data posttest 2.
Dampak baik dari penggunaan model pembelajaran kooperatif dengan teknik system
tamu dalam penelitian tidakan kelas ini persentasenya ditunjukkan pada diagram 2.1. Skor hasil
belajar seperti yang disajikan pada diagram 2.1 selanjutnya digunakan untuk menentukan skor
perkembangan masing-masing siswa dalam pembelajaran. Untuk skor perkembangan hasil
belajar siswa pada posttest 1 didasarkan pada skor pre-test dan posttest 1. Selanjutnya skor
perkembangan hasil belajar siswa pada posttest 2 didasarkan pada skor posttest 1 dan posttest 2
Berdasarkan hasil pree test, posttest 1 dan posttest 2, diperoleh hasil persentase perkembengan
belajar sebagai berikut.
Tabel 4.1
Persentase Poin Perkembangan Skor Perolehan Siswa
Kriteria Pekembangan
0 poin
10 poin
20 poin
30 poin
40 poin
Posttest-1
0,00
42,86
4,76
23,81
28,57
Posttest-2
0,00
9,52
0,00
4,76
85,71
Terbaca dari tabel ini bahwa pada siklus 1 persestase poin perkembangan skor hasil belajar siswa
sampai degan 30 poin adalah 71,43%. Hal ini dapat diperbaiki pada siklus 2 sehingga
menghasilkan persentase poin perkembangan 30 poin – 40 poin adalah 90,47%.
KESIMPULAN
Memperhatikan hasil pelaksanaan penelitain tindakan kelas ini dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut:
1) Aktivitas belajar individu pada siswa kelas XII Akuntansi SMK Negeri 4 Gorontalo pada
materi ukuran pemusatan yang disajikan dalam diagram dapat ditingkatan dngan pembelajan
kooperatif teknik system tamu.
2) Aktivitas belajar dalam kelompok memberi kontribusi positif terhadap perkembangan
akativitas belajar individu, sehingga berpengaruh pada perkembangan hasil belajar atau
ketuntasan kompetensi pada materi pokok ukuran pemusatan
3) Pembelajaran kooperatif dengan teknik system tamu dapat menumbuhkan tanggungjawab
akademik, mengembangkan sikap sosial akademik dan menumbuhkan kemampuan
mempublikasikan hasil kerja kelompok.
232
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrahman, Mulyono, (2000). Memahami dan menangani siswa dengan problema
dalam belajar, Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas
Atik Winarti, (2001). Inquiri, Bertanya dan Refleksi dalam CTL (Makalah), Jakarta:
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas.
Fadjar Shadiq, (2004). Strategi Pembelejaran Matematika. Yogyakarta: P3G Yogyakarta.
Hadianto, Umar, (2009). Efektivitas Pembelajaran Kooperatif dengan Grup Investigastion
Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Motivasi Berprestasi (Tesis).
Surakarta: Univeritas Sebelas Maret.
Ibrahim, Muslinin, dkk. (2000), Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: University Press.
Ismail, (2001). Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Sub Pokok Bahasan
Persamaan Garis Lurus I (Makalah) , Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan
Menengah Depdiknas
Johnson, Eaine B.
(2002), Contextual Teaching and Learning (What it is and why
it’s here to stay), California; Corwin Press, Inc
Masriyah, (2001). Pengajaran Langsung Pada Pokok Bahasan Menggambar Grafik
Fungsi Kuadrat (Makalah), Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Depdiknas
Nur, Muhamad, (2000). Strategi-strategi Belajar, Surabaya: Pusat Studi Matematika dan
IPA Sekolah Unesa.
------------------, (2001). Asesment Dalam Pengajaran dan Pembelajaran Kontekstual,
Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas
Santoso, (2002), Komik Mencerdaskan Bangas, Kompas 2002
Slavin, Robert. E, (1995). Cooperative Learning (Theory, Research, and Parctice).
Boston: Allyn and Bacon
Soedjadi, R, (1999/2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia (Konstatasi Keadaan
Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan). Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Depdiknas.
233
ABSTRAK
Pembelajaran Matematika Dengan Melibatkan
Otak Kiri dan Otak Kanan Dalam Pemrosesan Informasi
Magy Gaspersz
Pembelajaran yang melibatkan optimalnya penggunaan otak kiri dan otak
kanan secara seimbang akan memberikan respon positif pada siswa dalam berpikir
dan bertindak. Oleh karena itu pembelajaran harus dapat melibatkan gambar, warna,
dimensi atau ruang sehingga lebih mudah diingat. Otak kiri dan otak kanan tidak
berfungsi secara sendiri- sendiri, namun akan berfungsi secara bersama - sama dalam
menerima dan memroses informasi. Sehingga diharapkan guru bisa merancang
pemebelajaran yang melibatkan keseimbangan otak kiri dan otak kanan.
Matematika sebagai alat untuk mengembangkan ketajaman berpikir siswa
yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah yaitu bernalar dan berpikir secara
logis, analitis, kritis, kreatif dan bekerja sama. Pembelajaran matematika akan lebih
menyenangkan jika adanya keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan dalam
pemrosesan informasi. Sehingga sistem pembelajaran emosional otak dalam
menentukan individualitas seseorang memungkinkan pembelajaran menjadi
menyenangkan bagi siswa dan membuat koneksi antara belahan otak kiri dan otak
k anan menjadi lebih cepat
dan siswa dapat berpikir tentang pemecahan masalah
matematika.
Kata kunci : Pembelajaran Matematika Otak Kiri danOtak Kanan, Pemrosesan Informasi
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting dari pendidikan
dasar dan menengah di Indonesia. Untuk itu matematika dijadikan sebagai alat untuk
mengembangkan ketajaman berpikir siswa yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Dengan mempelajari
matematika siswa diharapkan dapat bernalar dan berpikir secara logis, analitis, kritis,
kreatif dan dapat bekerja sama (Gaspersz, 2013).
Menurut Hall (Gaspersz, 2013) bahwa “duduk diam di tempat terbatas adalah
salah satu hukuman yang paling berat dan dapat dijatuhkan kepada manusia. Namun
inilah yang sering dilakukan kepada manusia di kelas”. Berdasarkan pendapat inilah,
dalam pembelajaran guru selalu menganggap bahwa dirinya yang paling mengetahui
ilmu matematika tanpa berpikir bahwa siswa juga mempunyai peranan penting dalam
pencapaian keberhasilan pembelajaran. Siswa dijadikan tempat untuk menampung
ilmu saja. Hal ini mengakibatkan guru tidak mengembangkan kemampuan berpikir
siswa dan tidak memperhatikan fakta pentingnya penggunaan otak dalam proses
pembelajaran. Padahal dengan adanya perkembangan IPTEK, justru siswalah yang
dijadikan sebagai sumber informasi.
Berdasarkan Triune Theory yang diperkenalkan oleh Paul McClean pada
tahun 1970 (Syafa’at, 2007) bahwa proses evolusi tiga bagian otak manusia yaitu
otak besar (otak kiri dan otak kanan), otak tengah, dan otak kecil dengan fungsi
masing-masing yang khas dan unik. Triune Theory merupakan sebuah temuan
penting yang harus direspon positif oleh dunia pendidikan, terutama dalam kaitannya
untuk
mengembangkan
sebuah
strategi
pembelajaran
berbasis
otak
dan
memberdayakan seluruh potensi diri siswa. Hal ini disebabkan karena kemampuan IQ
dan EQ seseorang dapat ditentukan oleh proses kinerja otak kiri dan otak kanan.
Kecenderungan umum yang tejadi di kelas adalah pembelajaran yang hanya
memfungsikan otak kecil semata, yaitu pembelajaran yang bersifat teacher centered.
Padahalnya
Pembelajaran
merupakan
faktor
yang
sangat
penting
dalam
perkembangan dan perkembangan sebagai hasil komulatif dari pembelajaran. Dalam
pembelajaran terjadi proses informasi, untuk diolah sehingga membentuk hasil
belajar. Proses belajar tidak berbeda halnya dengan proses menerima, menyimpan
dan mengungkapkan kembali dengan informasi-informasi yang telah diterima
sebelumnya. Gejala-gejala tentang belajar dapat dijelaskan jika proses belajar itu
dianggap sebagai proses transformasi masukan menjadi keluaran. Sehingga dapat
terjadinya proses kognitif dalam diri pembelajar melalui cara kerja otak.
PEMBAHASAN
A. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran diartikan sebagai suatu upaya menciptakan kondisi yang
memungkinkan siswa dapat belajar. Menurut Degeng (Mataheru, 2013) pembelajaran
merupakan upaya untuk membelajarkan siswa secara eksplisit terlihat bahwa dalam
pembelajaran ada kegiatan memilih, menetapkan, dan mengembangkan metode untuk
mencapai hasil yang diinginkan. Pembelajaran merupakan proses membantu siswa
untuk membangun konsep/prinsip dengan kemampuan siswa sendiri melalui
internalisasi, sehingga konsep/prinsip tersebut terbentuk. Dengan proses internalisasi
itu terjadilah transformasi informasi yang diperoleh menjadi konsep/prinsip baru.
Transformasi tersebut mudah terjadi, karena terbentuknya jaringan konsep/prinsip
dalam benak siswa. Dengan demikian pembelajaran adalah mengkonstruk
pemahaman dan proses membangun inilah yang lebih penting dari pada sekedar
prestasi belajar.
Matematika merupakan pelajaran yang memerlukan pemusatan pikiran
untuk mengingat dan mengenal kembali semua aturan-aturan yang ada dan harus
dipenuhi untuk menguasai materi yang dipelajari. Dengan demikian matematika
adalah salah satu disiplin ilmu yang mempunyai peranan cukup besar dalam
menunjang ilmu pengetahuan dan teknologi, karena penguasaan matematika
menuntun siswa untuk berpikir rasional, kritis, sistematis, produktif serta lugas.
Pengajaran matematika melibatkan objek kajian langsung dan tak langsung. Menurut
Soedjadi (Mataheru, 2003) objek dasar matematika yang berupa fakta, konsep,
operasi atau relasi, dan prinsip merupakan objek mental atau onjek pikiran.
Mengingat objek dasar matematika merupakan objek mental atau objek pikiran, maka
upaya untuk mengaktifkan kembali pengetahuan terdahulu dan pola berpikir yang
pernah dipelajari siswa tentang matematika, bukanlah merupakan hal yang mudah.
Oleh sebab itu diharapkan keterlibatan siswa secara individu aktif dalam belajar.
Menurut Nikson (Ratumanan, 2004:3), pembelajaran matematika adalah
suatu upaya membantu siswa untuk mengkonstruksi (membangun) konsep-konsep
atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses
internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun kembali.
Dengan demikian pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai suatu
upaya membelajarkan siswa tentang rangkaian konsep/prinsip matematika yang akan
dibangun siswa sendiri melalui pengalaman dan kempuannya sehingga membantu
siswa berpikir matematis.
B. Konsep Pemrosesan Informasi
Dalam kehidupan setiap orang pasti menerima informasi yang ditangkap
melalui panca indera yang dimiliki. Suara pembaca berita yang kita tangkap melalui
telinga pada saat menyaksikan berita dapat kita ingat hingga beberapa jam
berikutnya. Sebagian berita ada yang tetap selalu kita ingat secara detail hingga
ingatan tersebut bertahan sampai beberapa tahun hingga puluhan tahun, beberapa
berita kita lupa dalam waktu yang singkat pula.
Robert Gagne merupakan salah satu tokoh pencetus teori pemrosesan
informasi. Teori ini memandang bahwa belajar adalah proses memperoleh informasi,
mengolah informasi, menyimpan informasi, serta mengingat kembali informasi yang
dikontrol oleh otak.
Teori belajar oleh Gagne (Hidayati, 2012) disebut dengan Information Processing
Learning Theory. Teori ini merupakan gambaran atau model dari kegiatan di dalam
otak manusia di saat memroses suatu informasi. Karenanya teori belajar ini disebut
juga Information-Processing Model oleh Lefrancois atau ‘Model Pemrosesan
Informasi’. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisikondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu
keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses
kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan
dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne (Hidayati, 2012) tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase,
yaitu: 1) Motivasi
2) Pemahaman
3) Pemerolehan
4) Penyimpanan
5) Ingatan kembali
6) Generalisasi
7) Perlakuan
8) Umpan balik
Informasi yang akan diingat (remembered), pertama-tama harus sampai pada
indera seseorang. Kemudian diterima dan ditransfer dari register penginderaan ke
memori kerja. Selanjutnya diproses lagi untuk ditransfer ke memori jangka panjang.
Memori
Jangka panjang
Stimulus
dari luar
Register
penginderaan
Lupa
Pemrosesan
awal
Pengulanga
n dan
pengkodean
Pemanggilan
kembali
Memori jangka
pendek/memori kerja
Lupa
Pengulangan
Gambar 2.1 Urutan Pemrosesan Informasi (Slavin, 2009:159)
Penjelasan secara rinci tentang urutan pemrosesan informasi pada Gambar 2.1
disajikan dari tulisan Slavin (2009: 159 – 163) sebagai berikut.
a. Register penginderaan. Register penginderan menerima (receive) sejumlah besar
informasi dari indera (penglihat, pendengar, peraba, pembau, pengecap) dan
menyimpannya dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih dari dua detik. Bila
tidak terjadi sesuatu proses terhadap informasi yang disimpan dalam register
penginderaan itu, maka dengan cepat informasi itu akan hilang. Sesaat setelah
stimulus diterima oleh indera, otak segera mulai bekerja memproses stimulus itu.
Oleh sebab itu, gambaran (bayangan) penginderaan yang ada dalam benak kita
tidak tepat sama seperti apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan; gambaran itu
merupakan apa yang dipersepsi. Persepsi dari stimulus tidak langsung seperti
penerimaan stimulus; persepsi itu dipengaruhi oleh status mental kita,
pengalaman masa lalu, pengetahuan, motivasi, dan banyak lagi faktor lainnya.
Keberadaan register penginderaan mempunyai dua implikasi penting
dalam pendidikan. Pertama, seseorang harus menaruh perhatian pada suatu
informasi bila informasi itu harus diingat. Kedua, seseorang memerlukan waktu
untuk membawa semua informasi yang dilihat (seen) dalam waktu singkat masuk
ke dalam kesadaran.
b. Memori jangka pendek. Informasi yang dipersepsi dan mendapat perhatian dari
seseorang ditransfer ke komponen kedua dari sistem memori, yaitu memori
jangka pendek. “Short-term memory is a storage system that can hold a limited
amount of information for a few seconds. It is the part of memory in which
information that is currently being thought about is stored.” (Memori jangka
pendek merupakan sistem penyimpanan yang dapat menyimpan informasi dalam
jumlah yang terbatas hanya dalam beberapa detik. Memori jangka pendek
merupakan bagian dari memori dan di sinilah informasi yang terkini dipikirkan
disimpan).
Pikiran-pikiran (thoughts) yang kita sadari pada suatu saat tertentu
disimpan dalam memori jangka pendek kita. Bila kita berhenti berpikir (thinking)
tentang sesuatu maka sesuatu itu akan hilang dari memori jangka pendek kita.
Istilah lain untuk memori jangka pendek adalah memori kerja. Istilah ini
lebih menekankan pada pengolahan yang aktif. Informasi dapat masuk ke memori
kerja dari register penginderaan atau dari komponen dasar ketiga sistem memori,
yaitu memori jangka panjang (long-term memory). Seringkali keduanya terjadi
pada waktu yang bersamaan. Satu cara untuk menyimpan informasi di dalam
memori kerja adalah memikirkan tentang informasi itu atau mengucapkannya
berkali-kali. Proses mempertahankan suatu butir informasi dalam memori kerja
dengan cara latihan disebut pengulangan (rehearsal). Pengulangan sangat penting
dalam belajar, karena semakin lama suatu butir informasi tinggal dalam memori
kerja, semakin besar kesempatan butir informasi itu akan ditransfer ke memori
jangka panjang. Tanpa pengulangan, kemungkinan butir informasi itu akan
tinggal di memori kerja lebih dari sekitar 30 detik. Karena memori kerja
mempunyai kapasitas yang terbatas, maka butir informasi itu dapat hilang akibat
terdesak oleh informasi lainnya.
c. Memori jangka panjang. “Long-term memory is that part of our memory system
where we keep information for long periods of time. Long-term memory is
thought to be a very large-capacity.” (Memori jangka panjang merupakan bagian
dari sistem memori kita tempat kita menyimpan informasi untuk periode waktu
yang pajang. Memori jangka panjang diperkirakan memiliki kapasitas yang
sangat besar). Dalam kenyataannya, banyak ahli yakin bahwa kita tidak pernah
melupakan informasi yang terdapat dalam memori jangka panjang, kemungkinan
kita hanya sekedar kehilangan kemampuan untuk menemukan kembali informasi
yang tersimpan di dalam memori kita. Kapasitas memori jangka panjang
nampaknya sangat besar.
Para ahli membagi memori jangka panjang menjadi tiga bagian, yaitu
memori episodik, memori semantik, dan memori prosedural. Memori episodik
adalah memori kita tentang pengalaman pribadi, suatu gambaran (bayangan)
mental tentang sesuatu yang kita lihat atau kita dengar. Memori semantik (atau
deklaratif) adalah diorganisasikan dalam suatu cara yang sangat berbeda. Memori
semantik secara mental diorganisasikan dalam jaringan hubungan ide-ide yang
berhubungan atau saling berkaitan dan disebut skemata. Memori semantik berisi
fakta-fakta dan generalisasi informasi yang kita ketahui; konsep, prinsip, atau
aturan dan bagaimana menggunakannya; dan keterampilan pemecahan masalah,
dan strategi belajar kita. Memori prosedural mengacu pada “mengetahui
bagaimana” (“knowing how”) sebagai lawan dari “mengetahui apa” (“knowing
that”). Memori prosedural adalah kemampuan untuk mengingat bagaimana
melakukan sesuatu.
C. Konsep Otak
Penemuan penting dalam sejarah otak adalah kesadaran kita bahwa berbagai
bagian otak mengendalikan fungsi yang berbeda-beda. Otak adalah suatu organ
terpenting dalam tubuh kita karena otak mengendalikan seluruh tubuh kita. Otak yang
sehat dapat menunjang daya pikir yang baik dan otak setiap manusia berbeda-beda,
bahkan kembar identik sekalipun. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk
mengetahui bagaimana otak kita bekerja. Setiap bagian otak mempunyai fungsi dan
peranan masing-masing.
Menurut Buzan (2011:41-42) Otak manusia berevolusi dengan urutan berikut:
1. Batang otak, mengendalikan fungsi-fungsi penyangga kehidupan dasar misalnya
pernapasan dan laju denyut jantung. Mengontrol tingkat kesiagaan terhadap
informasi
sensorik
yang
masuk.
Batang
otak
juga
berfungsi
dalam
mengendalikan suhu dan proses pencernaan serta menyampaikan informasi dari
serebrum.
2. Serebelum atau otak kecil, mengendalikan gerakan tubuh dalam ruang dan
menyimpan ingatan untuk respon-respon dasar yang dipelajari dan mengirim
informasi vital melalui batang ke otak.
3. Sistem limbik, yang posisinya sedikit lebih ke depan dan terdiri atas thalamus
dan ganglia basal (otak tengah). Sitem limbik penting bagi pembelajaran dan
ingatan jangka pendek serta panjang dan menyimpan ingatan dari pengalaman
hidup serta menjaga homeostatis di dalam tubuh (tekanan darah, suhu tubuh, dan
kadar gula darah).
4. Serebrum (korteks serebral), membungkus seluruh otak dan posisinya berada di
depan. Serebrum adalah karya besar evolusi alam dan bertanggung jawab atas
berbagai kerterampilan termasuk ingatan, komunikasi, pembuatan keputusan, dan
kreativitas. Serebrum adalah hasil evolusi yang paling mengagumkan, serebrum
merupakan bagian terakhir otak yang berkembang.
Serebrum adalah bagian terbesar dalam otak. Kemampuan inteligen dan IQ
seseorang di tentukan oleh kualitas pada bagian ini. serebrum atau otak besar
terbagi menjadi 2 yaitu otak kanan dan otak kiri.
Serebrum adalah area terpenting otak yang perlu dipahami dalam mengenali
kekuatan otak. Serebrum atau otak besar terbagi menjadi 2 bagian yaitu otak kiri dan
otak kanan. Otak kiri dan otak kanan merupakan bagian penting yang mengatur
kemampuan pribadi seseorang. Perbedaan otak kiri dan otak kanan dapat membentuk
kepribadian, sifat, karakteristik dan kemampuan yang unik dan berbeda pada diri
seseorang. Otak besar adalah bagian yang memproses semua kegiatan intelektual,
seperti kemampuan berpikir, menalarkan, mengingat, membayangkan, serta
merencanakan masa depan.
Menurut penelitian professor Roger Sperry dan timnya serta professor Robert
Ornstein pada tahun 1950an dan 1960an, pada umumnya korteks serebral (serebrum)
membagi tugas ke dalam dua kategori utama, yaitu tugas otak kiri dan tugas otak
kanan (Buzan, 2011:48).
Gambar 2.2 Fungsi Otak (sumber: Maulana, 2014)
Otak belahan kiri atau yang biasa kita sebut sebagai otak kiri berhubungan dengan
kemampuan dalam berfikir rasional, logika, kemampuan menulis dan membaca,
serta merupakan pusat matematika. Menurut beberapa pakar pendidikan, otak kiri
merupakan pusat dari Intelligence Quotient(IQ). Sedangkan otak kanan berfungsi
dalam perkembangan Emotional Quotient (EQ). Misalnya sosialisasi, komunikasi,
interaksi dengan manusia lain serta pengendalian emosi. Pada otak kanan ini pula
terletak kemampuan intuitif, kemampuan merasakan, memadukan, dan ekspresi
tubuh, seperti menyanyi, menari, melukis dan segala jenis kegiatan kreatif
lainnya.Oleh karena itu kita harus mampu menyeimbangkan antara otak kiri dan
otak kanan.
D. Pembelajaran Matematika dengan Melibatkan Otak Kiri dan Otak Kanan
dalam pemrosesan informasi.
Mengajar adalah suatu kegiatan seni, selain itu kompetensi standar seorang
pengajar harus melibatkan proses intuisi, imaginasi, ekspresi, dan improvisasi dalam
mengelola proses pembelajaran. Dalam pembelajaran matematika banyak masalah
yang datang dalam karakteristik matematika, medianya, atau faktor perkembangan
intelektual siswa atau kompetensi gurunya (Arifin, 2009:46).
Menurut Chi (Arifin, 2009:79) berdasarkan domainnya, pengetahuan yang terbangun
pada diri seseorang merupakan pengetahuan deklaratif, dapat pula berupa
pengetahuan prosedural. Pengetahuan deklaratif mengacu pada fakta dan keaslian.
Contohnya; pengetahuan fakta-fakta dalam matematika. Sedangkan pengetahuan
prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu. Pengetahuan
prosedural dapat dipresentasikan sebagai seperangkat aturan membentuk pasangan
antara kondisi (condition) dan tindakan (action). Pengetahuan procedural adalah
langkah-langkah melakukan operasi hitung. Pengetahuan deklaratif maupun
procedural dapat dipandang sebagai suatu informasi. Sehingga membangun
pengetahuan dapat dipandang sebagai upaya pemrosesan informasi.
Dalam proses pembelajaran matematika, pengetahuan tentang lambang sigma
yang disampaikan oleh guru dengan metode ceramah kepada siswa dapat diserap oleh
sebagian siswa, bagi sebagian siswa lainnya informasi tersebut begitu cepat berlalu
atau terlupakan. Siswa yang dapat menyerap informasi tersebut dapat dengan tepat
menulis lambang sigma lengakap dengan pengertiannya. Adapula yang mampu
menulis lambang sigma tanpa memahami pengertian dari sigma tersebut. Berbagai
kemungkinan terkait dengan daya tangkap seseorang terhadap informasi yang
diterima oleh panca indera memunculkan pemikiran para ahli psikologi terkait
dengan memori. Salah satu kajian psikologi tersebut adalah teori pemrosesan
informasi. Teori ini mengkaji tentang keterkaitan antara memori dan proses belajar
seseorang. Hal ini juga sangat berhubungan dengan cara kerja otak, yaitu bagaimana
sesorang dapat memfungsikan kerja otak kiri atau otak kanan.
Sebagian informasi yang kita tangkap begitu saja terlupakan dalam waktu
yang tidak terlalu lama. Otak akan bekerja secara sinergis dan pengulangan sesuai
dengan fungsinya masing-masing. Contohnya; ketika guru matematika menjelaskan
sejumlah istilah yang menunjuk pada bagian-bagian dari suatu lingkaran, sebagian
dari unsur-unsur lingkaran tersebut dapat diingat dengan baik, tetapi ada unsure-unsur
lingkaran yang dengan mudah terlupakan. Ada banyak faktor yang dapat
mempengaruhi daya ingat seseorang terhadap informasi yang telah diterima oleh
panca indera. Sesaat setelah rangsangan dari luar ditangkap oleh alat indera, otak
segera memproses rangsangan tersebut. Gambaran (bayangan) sensori yang ada di
benak kita tidak akan tepat sama seperti aslinya. Gambaran tersebut merupakan apa
yang dipersepsikan oleh alat indera kita. Persepsi atas rangsangan tidak sama
sebagaimana penerimaan kita terhadap rangsangan tersebut. Persepsi ini sangat
dipengaruhi oleh kondisi mental, pengetahuan yang dimiliki, motivasi, pengalaman
masa lalu dan faktor-faktor lainnya. Jika guru mengajar dengan memberikan gambar
lingkaran yang tidak lengkap (terpotong beberapa bagian) akan dipersepsi sebagai
gambar lingkaran yang utuh. Ini menunjukkan ada upaya untuk melengkapi
rangsangan yang kurang lengkap.
Dalam pembelajaran matematika sebaiknya digunakan buku teks yang
berwarna-warni atau huruf tertentu dalam menyajikan hal-hal penting (menebalkan,
memiringkan menggunakan kotak teks atau menggaris bawahi). Disamping otak kiri
bekerja memroses bahasa (angka dan huruf) logika, ilmu dan matematika, secara
bersamaan otak kanan harus dapat berfungsi terkait kesadaran dalam melakukan
sesuatu. Menurut Buzan (2011:50) ketrerampilan yang dimiliki otak kanan yaitu
melamun yang sangat penting bagi ketahanan hidup otak. Melamun memberikan
istirahat yang diperlukan kepada bagian-bagian otak yang telah melakukan pekerjaan
analitis dan pengulangan, melatih pemikiran proyektif dan imajinatif, serta memberi
kesempatan intuk mengintegrasikan dan mencipta. Kebanyakan genius besar
menggunakan lamunan yang diarahkan untuk membantu dalam memecahkan
masalah, menghasikan ide, dan mancapai tujuan. Sehingga cara kerja otak kiri dan
oatak kanan dalam pemrosesan informasi dapat berfungsi secara seimbang.
Menurut Jiwandono (Arifin, 2011:88) ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi
kualitas ingatan terhadap suatu informasi dalam pembelajaran matematika yaitu;
1. Elaborasi (Elaboration)
Elaborasi adalah proses berpikir dengan cara menambah arti suatu informasi
dengan cara menghubungkan satu informasi baru dengan informasi baru lainnya
atau dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Hubungan ini terjadi
apabila informasi baru tersebut berhasil menyatu dalam kerangka kerja dan
masuk dalam struktur kognitif atau schemata secara proporsional. Proses berpikir
ini sering kita alami secara otomatis. Ketika para siswa memperagakan cara
menghitung pembagian panjang, mereka teringat dengan cara-cara mereka baca
di buku dan teringat dengan langkah-langkah yang dilakukannya ketika belajar di
rumah.
2. Organisasi (organization). Organisasi adalah suatu proses berpikir yang berusaha
menata atau menyusun butir-butir informasi sehingga membentuk suatu susunan
yang tepat berdasarkan hubungan kedekatan antar informasi tersebut. Proses ini
dilakukan dengan mempertimbangkan hasil elaborasi yang dilakukan pada tahap
sebelumnya. Dengan demikian, apabila informasi yang diterima oleh seseorang
sudah terorganisir dengan baik, sudah barang tentu tahap ini sudah tidak
dilakukan
lagi.
Materi
pelajaran
atau
bahan
ajar
matematika
yang
diorganisassikan dengan baik akan lebih mudah dipelajari dan diingat oleh siswa
daripada yang diingat secara acak dan sepotong-sepotong.
3. Konteks.
Informasi yang diterima akan mudah diingat kembali apabila kita berada pada
konteks, lingkungan, atau suasana yang sama seperti ketika kita menerima
informasi tersebut. Dalam pembelajaran matematika, kegiatan belajar akan lebih
baik jika materi yang dipelajari dikaitkan dengan konteks yang relevan.
Walaupun konteks yang relevan tersebut tidak berada dalam kelas, tetapi cukup
dengan dibayangkan saja. Konteks yang relevan ini dapat berupa contoh-contoh
obyek tentang dunia nyata (realistic), yaitu ketika belajar tentang lingkaran,
bayangan siswa diarahkan pada benda-benda berbentuk lingkaran.
Berdasarkan tiga faktor di atas, maka bagaimana proses pembelajaran
matematika terjadi sehingga guru dapat menyesuaikan pola berpikir siswa dalam
menerima informasi
dan memroses informasi
yang diterima serta dapat
menyeimbangkan kerja otak kiri dan kanan. Jika seseorang memiliki kelemahan pada
area tertentu, baik itu otak kiri atau kanan dan sering dilatih terus menerus maka
kinerja orang tersebut akan lebih menguat.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pembelajaran melatih pengetahuan seseorang dan pengetahuan yang
dibangun dalam diri seseorang meliputi pengetahuan deklaratif dan pengetahuan
prosedural. Sehingga dalam prosesnya membangun pengetahuan dapat dipandang
sebagai upaya pemrosesan informasi. Dalam pemrosesan informasi terdapat tiga
urutan, yaitu register penginderaan, memori jangka pendek (short term memory)
dan memori jangka panjang (long term memory).
Sebagaimana pemrosesan informasi, otak manusia juga bekerja
berevolusi dengan urutan batang otak, serebelum (otak kecil), sistem limbik (otak
tengah) dan serebrum (otak besar; oatk kiri dan otak kanan). Otak kiri dan otak
kanan merupakan area terpenting karena otak kiri dan kanan dapat mengendalikan
14
semua ingatan dan keterampilan pembelajaran. Otak kiri dan kanan mempunyai
fungsi
dan
kerja
masing-masing.
Sehingga
seseorang
harus
dapat
menyeimbangkan cara kerja otak kiri maupun otak kanan. Hal ini mengakibatkan
bahwa jika seseorang hanya memfungsikan salah satu sisi otak kiri atau kanan
maka akan membentuk kebiasaan-kebiasaan dominan yang lebih memilih kegiatan
yang dikendalikan sisi otak tersebut dan akan mengurangi potensi keseluruhan
otak secara drastis.
Pembelajaran matematika lebih memfungsikan cara kerja oatak kiri,
namun seseorang harus dapat melatih keseimbangan otak sehingga disamping
kecenderungan terhadap matematika, bahasa, dan ilmu pengetahuan
dalam
prosesnya secara bersamaan otak kanan dapat difungsikan dalam seni, musik, dan
pengajaran keterampilan berpikir terutama berpikir secara kreatif.
B. SARAN
Adapun saran yang dapat penulis sampaikan dalam penulisan makalah ini
yaitu:
1. Dalam proses belajar matematika hendaknya guru memberikan kesempatan
yang cukup bagi siswa untuk memroses ulang informasi yang baru
diperolehnya
dengan
cara
mengucapkan
atau
menuliskan
kembali,
memikirkan atau mengaitkanya dengan konsep lain yang relevan.
2. Guru dapat mendukung siswa untuk mencapai proses pembelajaran yang baik
sesuai dengan kemampuan kerja otak siswa yang dapat memfungsikan otak
kiri dan otak kanan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. Z. 2009. Membangun Kompetensi Pedagogis Guru Matematika
(Landasan Filosofi, Histori, dan Psikologi). Surabaya: Lentera
Cendika
15
Buzan. T. 2011. Buku Pintar. Mind Map. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Gaspersz, M. 2013. Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan
Brain Based Learning. Prosiding. Seminar Nasional Pembelajaran
Matematika yang Berkualitas dalam Menumbuhkan Karakter Bangsa.
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unpatti.
Hidayah,
I.
E.
2012.
Pemrosesan
Informasi.
pendidikan11086ilamaefha.wordpress.com
http://teknologi
Mataheru, W. 2013. Penanaman Nilai-nilai Melalui Pembelajaran Pemecahan
Masalah Matematika. Prosiding. Seminar Nasional Pembelajaran
Matematika yang Berkualitas dalam Menumbuhkan Karakter Bangsa.
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unpatti.
Maulana, I. 2014. http://iskamaulana.blogspot.com/2014/fungsi-otak-kanan-dankiri-html
Ratumanan, T. G. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Unessa University Press
Slavin. 2009. Educational Psychology, Theory and Practise. Ninth Edition.
America: Allyn and Bacon
Soedjadi. R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstatasi
Keadaan Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan
Naaasional
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
PENENTUAN PEMENANG TENDER PENGADAAN BARANG
DAN JASA DENGAN MENGGUNAKAN
SIMPLE ADDITIVE WEIGHTING METHOD (SAW)
(Studi Kasus : Pengadaan Barang dan Jasa di LAPAN, Rumpin)
Imam Nurhadi Purwanto 1 , Agus Widodo 2 , Indah Yanti 3
1
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya, Email : [email protected]
2
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya, Email :
[email protected]
3
Jurusan Matematika, FMIPA, Universitas Brawijaya, Email : [email protected]
Abstrak. Penentuan pemenang tender merupakan pekerjaan yang cukup kompleks.
Hal ini karena pemilihan pemenang menggunakan berbagai kriteria. Jika dalam
menentukan pemenang dikelola secara profesional, maka diperoleh perusahaan
terbaik dalam hal mutu dan kelayakan barang/jasa yang ditawarkan. Pada penelitian
ini dibuat sebuah sistem pendukung keputusan untuk memudahkan pihak panitia
pengadaan dalam proses penentuan pemenang tender. Ada beberapa metode yang
dapat digunakan dalam membuat sebuah sistem pendukung keputusan, diantaranya
Simple Additive Weighting Method (SAW). Metode SAW dikenal sebagai metode
penjumlahan terbobot. SAW merupakan metode yang efektif dan efisien, karena
selain mudah dipahami, metode ini tidak membutuhkan waktu yang lama dalam
penggunaannya. Ada beberapa kriteria yang menjadi dasar pengambilan keputusan,
antara lain administrasi, teknis, harga, dan kualifikasi. Sementara itu, alternatif yang
digunakan berupa perusahaan yang mendaftar menjadi peserta. Adapun langkah
dalam menggunakan metode SAW adalah mengategorikan kriteria yang bersifat
keuntungan dan kriteria yang bersifat biaya, menentukan bobot preferensi, membuat
matriks keputusan, melakukan proses normalisasi dan diakhiri dengan proses
perangkingan. Hasilnya adalah PT. Platinum Network Indonesia menempati urutan
pertama dengan nilai preferensi 13,8000, PT. Palapa Network Nusantara menempati
urutan kedua dengan nilai preferensi 11,6667 dan PT. Indonesia Super Corridor
menempati urutan ketiga dengan nilai preferensi 9,7500.
Kata Kunci: Simple Additive Weighting, tender
PENDAHULUAN
Persoalan pengambilan keputusan dalam penentuan pemenang tender
menjadi kompleks karena banyaknya alternatif yang digunakan. Oleh karena itu
diperlukan suatu metode yang dapat memperhitungkan segala kriteria dan
mendukung pengambilan keputusan guna membantu, mempercepat dan
mempermudah proses pengambilan keputusan dalam menentukan pemenang
tender, salah satu metode yang lebih praktis dari pada metode Analytic Hierarchy
249
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Proccess (AHP) diantaranya adalah Simple Additive Weighting Method (SAW).
Metode SAW dikenal sebagai metode penjumlahan terbobot. Menurut Fishburn
(1967) dan MacCrimmon (1968), konsep dasar metode SAW adalah mencari
penjumlahan terbobot dari rating kinerja pada setiap alternatif pada semua atribut.
Pada artikel ini, metode SAW dijadikan sebagai solusi alternatif dalam menentukan
pemenang tender dengan studi kasus di LAPAN, Rumpin.
METODOLOGI
Pengolahan
data
dengan
menggunakan
metode
SAW
dimulai
dengan
mengategorikan kriteria yang bersifat keuntungan dan kriteria yang bersifat biaya. Kriteria
yang bersifat keuntungan, jika semakin besar nilainya maka semakin menguntungkan
perusahaan yang mengadakan tender dan untuk kriteria yang bersifat biaya, jika semakin
besar nilainya maka semakin merugikan perusahaan yang mengadakan tender. Kemudian,
menentukan bobot preferensi dan dilanjutkan dengan membuat matriks keputusan. Setelah
itu, melakukan proses normalisasi matriks keputusan (X) ke suatu skala yang dapat
diperbandingkan dengan semua rating alternatif yang ada.
𝑥𝑖𝑗
jika 𝑗 adalah atribut keuntungan (𝑏𝑒𝑛𝑒𝑓𝑖𝑡)
Max 𝑥𝑖𝑗
𝑟𝑖𝑗 =
Min 𝑥𝑖𝑗
jika 𝑗 adalah atribut biaya (𝑐𝑜𝑠𝑡)
{ 𝑥𝑖𝑗
dimana 𝑟𝑖𝑗 adalah rating kinerja ternormalisasi dari alternatif 𝐴𝑖 pada atribut 𝐶𝑗 ; 𝑖 =
1,2, … , 𝑚 dan 𝑗 = 1,2, … , 𝑛. Terakhir, melakukan proses perangkingan, yaitu menghitung
nilai preferensi untuk setiap alternatif (𝑉𝑖 ) diberikan sebagai:
𝑛
𝑉𝑖 = ∑ 𝑤𝑗 . 𝑟𝑖𝑗
𝑗=1
Nilai 𝑉𝑖 yang lebih besar mengindikasikan bahwa alternatif 𝐴𝑖 lebih terpilih. Perhitungan
metode SAW menggunakan bantuan software MATLAB. Alternatif yang digunakan dalam
artikel ini berupa perusahaan yang mendaftar menjadi peserta, yaitu sebagai berikut.
A. PT. Palapa Network Nusantara.
B. PT. Platinum Network Indonesia.
C. PT. Indonesia Super Corridor.
D. PT. Cyber Network Indonesia.
250
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
E. PT. Melvar Lintasnusa.
F. CV. Sumber Makmur Kencana.
G. Baratum Teknologi.
H. PT. Pika Media Komunika.
I.
PT. Ditalent Putri.
J.
PT. Pacific Dwitama Karsa.
K. CV. Prima Sentosa.
L. PT. Nilakandi.
M. PT. Link Net.
N. PT. Incosyndo Perkasa.
O. PT. Citra Buana Nusa.
P. PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
Q. PT. Mora Telematika Indonesia.
R. PT. Pusuk Buhit Lestari.
S. PT. Indo Loran Widia Jaya.
ASUMSI
Batasan-batasan masalah yang menjadi asumsi dasar artikel ini sebagai
berikut. Penentuan kriteria dan bobot antarkriteria yang digunakan dalam artikel
ini mengacu pada Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang terakhir diubah
dengan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Adapun kriteria yang digunakan adalah administrasi (C1), teknis (C2),
harga (C3), dan kualifikasi (C4).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menentukan Pemenang Tender Menggunakan Metode SAW
Kriteria yang digunakan dalam menentukan pemenang tender secara
elektronik adalah administrasi, teknis, harga, dan kualifikasi. Kriteria yang bersifat
keuntungan adalah administrasi dan kualifikasi sedangkan kriteria yang bersifat
biaya adalah teknis dan harga. Setelah itu, menentukan bobot preferensi. Bobot
251
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
preferensi ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan setiap kriteria. Adapun
bobot preferensi yang diberikan sebagai berikut:
𝑊 = (5, 4, 3, 2),
dengan menggunakan skala 1 sampai 5, dimana:
1 = Sangat rendah,
2 = Rendah,
3 = Cukup,
4 = Tinggi,
5 = Sangat tinggi.
Kemudian, membuat model (matriks keputusan) untuk metode SAW. Model
(matriks keputusan) untuk metode SAW dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Model (Matriks Keputusan) untuk Metode WP
Kriteria
Kriteria
Alternatif
Alternatif
C1
C2
C3
C4
C1
C2
C3
C4
A
0,95
0,15
0,20
1
K
0,50
0,55
0,55
0,70
B
1
0,10
0,15
0,90
L
0,45
0,60
0,60
0,60
C
0,85
0,20
0,25
0,85
M
0,45
0,70
0,60
0,60
D
0,85
0,25
0,30
0,90
N
0,40
0,70
0,65
0,55
E
0,80
0,25
0,35
0,90
O
0,30
0,75
0,70
0,50
F
0,75
0,30
0,40
0,80
P
0,25
0,80
0,75
0,40
G
0,75
0,35
0,40
0,80
Q
0,20
0,85
0,80
0,30
H
0,70
0,40
0,45
0,90
R
0,15
0,90
0,90
0,20
I
0,60
0,45
0,50
0,85
S
0,10
0,90
0,95
0,10
J
0,55
0,50
0,50
0,75
Selanjutnya melakukan proses normalisasi. Perhitungan normalisasi dimulai dengan
kriteria yang bersifat keuntungan.
𝑟𝑖𝑗 =
𝑥𝑖𝑗
Max 𝑥𝑖𝑗
252
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kriteria administrasi:
0,95
0,95
=
= 0,9500
max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10}
1
1
1
=
= = 1,0000
max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10} 1
𝑅11 =
𝑅21
.
.
.
0,15
0,15
=
= 0,1500
max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10}
1
0,10
0,10
=
=
= 0,1000
max {0,95; 1; 0,85; … ; 0,20; 0,15; 0,10}
1
𝑅181 =
𝑅191
Kriteria kualifikasi:
1
1
= = 1,0000
max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10} 1
0,90
0,90
=
=
= 0,9000
max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10}
1
𝑅14 =
𝑅24
.
.
.
0,20
0,20
=
= 0,2000
max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10}
1
0,10
0,10
=
=
= 0,1000
max {1; 0,90; 0.85; … ; 0,30; 0,20; 0,10}
1
𝑅184 =
𝑅194
Kemudian melakukan proses normalisasi untuk kriteria yang bersifat biaya.
𝑟𝑖𝑗 =
Min 𝑥𝑖𝑗
𝑥𝑖𝑗
Kriteria teknis:
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10
𝑅12 =
=
= 0,6667
0,15
0,15
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10
𝑅22 =
=
= 1,0000
0,10
0,10
.
.
.
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10
=
= 0,1111
0,90
0,90
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,10
=
=
= 0,1111
0,10
0,90
𝑅182 =
𝑅192
Kriteria harga:
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15
𝑅13 =
=
= 0,7500
0,20
0,20
253
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15
=
= 1,0000
0,15
0,15
𝑅23 =
.
.
.
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15
=
= 0,1667
0,90
0,90
min {0,15; 0,10; 0,20; … ; 0,85; 0,90; 0,90} 0,15
=
=
= 0,1579
0,95
0,95
𝑅183 =
𝑅193
𝑅 dapat ditulis kembali dalam bentuk matriks menjadi:
0,9500
1,0000
0,8500
0,8500
0,8000
0,7500
0,7500
0,7000
0,6000
𝑅 = 0,5500
0,5000
0,4500
0,4500
0,4000
0,3000
0,2500
0,2000
0,1500
[0,1000
0,6667
1,0000
0,5000
0,4000
0,4000
0,3333
0,2857
0,2500
0,2222
0,2000
0,1818
0,1667
0,1429
0,1429
0,1333
0,1250
0,1176
0,1111
0,1111
0,7500
1,0000
0,6000
0,5000
0,4286
0,3750
0,3750
0,3333
0,3000
0,3000
0,2727
0,2500
0,2500
0,2308
0,2143
0,2000
0,1875
0,1667
0,1579
1,000
0,9000
0,8500
0,9000
0,9000
0,8000
0,8000
0,9000
0,8500
0,7500
0,7000
0,6000
0,6000
0,5500
0,5000
0,4000
0,3000
0,2000
0,1000]
Selanjutnya diakhiri dengan proses perangkingan, yaitu mencari nilai preferensi
untuk setiap alternatif.
𝑛
𝑉𝑖 = ∑ 𝑤𝑗 . 𝑟𝑖𝑗
𝑗=1
𝑉𝐴 = (5)(0,9500) + (4)(0,6667) + (3)(0,7500) + (2)(1,0000) = 11,6667
𝑉𝐵 = (5)(1,0000) + (4)(1,0000) + (3)(1,0000) + (2)(0,9000) = 13,8000
.
.
.
𝑉𝑅 = (5)(0,1500) + (4)(0,1111) + (3)(0,1579) + (2)(0,1000) = 2,0944
𝑉𝑆 = (5)(0,1000) + (4)(0,1111) + (3)(0,1579) + (2)(0,1000) = 1,6181
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan, diperoleh alternatif terbaik dalam
254
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
penentuan pemenang tender, yaitu PT. Platinum Network Indonesia dengan nilai preferensi
13,8000 serta PT. Palapa Network Nusantara sebagai cadangan pertama dengan nilai
preferensi 11,6667 dan PT. Indonesia Super Corridor sebagai cadangan ke dua dengan
nilai preferensi 9,7500.
LAMPIRAN
Kode Program MATLAB untuk Metode SAW
Perhitungan metode SAW menggunakan bantuan software MATLAB agar
lebih efektif dan efisien. Adapun kode program serta tampilan (command window)
untuk metode SAW sebagai berikut.
clear all;clc;
m = input('Baris: ');
n = input('Kolom: ');
for i=1:m
fprintf('baris ke-%d',i);
a = input(' = ');
X(i,:) = a;
end
K = [1 0 0 1];
W = [5 4 3 2]';
[m n] = size (X);
% Melakukan normalisasi dan pembobotan atribut
R = zeros (m,n);
Y = zeros (m,n);
for j=1:n,
if K(j)==1,
R(:,j)= X(:,j)./max(X(:,j))
else
R(:,j)= min(X(:,j))./X(:,j)
end;
end;
% Perangkingan
for i=1:m,
V(i)= sum(W'.*R(i,:));
end;
disp('
V');
255
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
for i = 1:m
fprintf('%6.4f\n',V(i));
end
256
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
257
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESIMPULAN
Penentuan pemenang tender di LAPAN, Rumpin menggunakan metode SAW
menghasilkan PT. Platinum Network Indonesia menempati urutan pertama dengan nilai
preferensi 13,8000 serta PT. Palapa Network Nusantara menempati urutan ke dua dengan
nilai preferensi 11,6667 dan PT. Indonesia Super Corridor menempati urutan ke tiga
dengan nilai preferensi 9,7500.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumadewi, S., dkk. 2006. Fuzzy Multi-Attribute Decision Making (Fuzzy
MADM). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dokumen Pengadaan
secara Elektronik Hosting Internet 10 Mbps No. 01.a/DOC/PS/PTP/I/2013,
11 Januari 2013. Bogor.
Saaty, T. L. 1980. The Analytical Hierarchy Process. New York: McGraw-Hill.
Supardi, J. dan Lestari,E. 2010. Determination of the Winner of Project Tender
Using Analytical Hierarchy Process. Jurnal Generic Vol. 5 No.1, ISSN: 19074093. 19-24.
258
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DIMENSI METRIK GRAF BLOK BEBAS ANTING
Hazrul Iswadi
Departemen MIPA dan Jurusan Teknik Industri
Fakultas Teknik, Universitas Surabaya
Jalan Raya Kalirungkut, 60293, Surabaya
Jawa Timur, Indonesia
Abstrak. Misalkan G = (V(G),E(G)) adalah graf dengan himpunan titik V(G) dan himpunan
garis E(G). Representasi dari v terhadap himpunan titik W = {w1, w2,  ;wk}  V(G) adalah
k-tuple r(v|W) = (d(v,w1), d(v,w2),  , d(v,wk)). Himpunan W disebut himpunan resolving
dari G jika setiap titik mempunyai representasi yang berbeda terhadap W. Titik potong v di
G adalah titik di G dengan sifat jika titik v dihapus maka banyaknya komponen G - v akan
lebih besar dari banyaknya komponen G. Sebuah blok dari suatu graf adalah subgraf
maksimal tanpa titik potong. Graf G disebut graf blok jika dan hanya jika setiap blok dari
graf G adalah graf lengkap. Blok dari graf blok yang diperoleh dengan hanya menghapus
satu titik potong dari graf blok disebut dengan blok ujung. Blok ujung yang hanya satu titik
disebut dengan anting. Pada makalah ini akan dibahas beberapa sifat himpunan resolving
dan nilai dimensi metrik dari graf blok yang tidak memiliki anting.
Kata Kunci: representasi, himpunan resolving, titik potong, blok, graf blok, graf blok
bebas anting.
PENDAHULUAN
Misalkan G = (V(G),E(G)) adalah graf dengan himpunan titik V(G) dan
himpunan garis E(G). Simbol, istilah dan konsep-konsep dasar graf mengacu pada
buku Graphs and Digraphs karya Chartrand dkk. [2]. Misalkan W = {w1, w2, 
;wk}  V(G) adalah himpunan titik terurut. k-tuple r(v|W) = (d(v,w1), d(v,w2),  ,
d(v,wk)) didefinisikan sebagai representasi dari v terhadap W. Himpunan W disebut
himpunan resolving dari G jika setiap titik mempunyai representasi yang berbeda
terhadap W. Himpunan resolving G yang memuat jumlah titik minimal disebut
himpunan resolving minimum atau basis dari G. Dimensi metrik dari graf G,
dinotasikan dengan dim(G), adalah jumlah titik dalam basis G. Titik v di basis B
dari G disebut dengan titik basis dari G.
Konsep tentang himpunan pembeda minimum pada graf diperkenalkan secara
terpisah oleh Slater [14], dan Harary dan Melter [4], dengan menggunakan
peristilahan yang berbeda. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan
dengan sifat himpunan resolving dan nilai dimensi metrik seperti pada graf lintasan,
259
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
pohon, lengkap, dan lingkaran dapat dilihat pada daftar pustaka [1], [4], [14].
Kemudian aplikasi dan konteks masalah riil dari dimensi metrik suatu graf dapat
dilihat di [5], [6], [10], [11], dan [12].
Graf G disebut sebagai graf berdimensi-k jika dim(G) = k (Chartrand dan Zhang
[3]). Misalkan G adalah graf berdimensi-k dengan k ≥ 1. Graf G adalah graf
berdimensi-k secara acak jika setiap k buah titik secara acak di graf G maka
himpunan yang dibentuk oleh k buah titik tersebut membentuk sebuah basis di G.
Chartrand dan Zhang [3] telah membuktikan bahwa graf lengkap Kk+1 adalah graf
berdimensi-k secara acak untuk setiap k ≥ 1 dan graf lingkaran Cn dengan n
bilangan ganjil ≥ 3 adalah graf berdimensi-2 secara acak.
Sebuah titik v dari graf G disebut titik potong G jika v dihapus dari G akan
mengakibatkan banyaknya komponen G - v (k(G - v)) lebih dari banyaknya
komponen G (k(G)). Blok dari sebuah graf adalah subgraf maksimal tanpa titikpotong. Graf G disebut graf blok jika dan hanya jika setiap blok dari graf G adalah
graf lengkap. Komponen lengkap
dari graf blok adalah subgraf lengkap yang
dinduksi dari gabungan semua titik dari blok dan semua titik potong yang
membentuk blok tersebut. Titik-titik yang berada dalam suatu blok di graf blok G
disebut dengan titik ekstrim. Jadi setiap titik dalam graf blok adalah salah satu dari
sebagai titik potong atau sebagai titik ekstrim.
Pendefinisian yang serupa terjadi untuk graf kaktus. Graf kaktus G adalah
sebuah graf dengan sifat untuk setiap blok berlaku gabungan semua titik blok dan
semua titik kritisnya menginduksi sebuah subgraf lingkaran. Graf blok dan graf
kaktus adalah kelas-kelas graf yang didefinisikan oleh Zverovich [16]. Definisi dari
Zverovich adalah definisi yang lebih umum dari graf amalgamasi lingkaran
([7],[8]), dan graf kaktus
[13]. Wang dan Wang [15] memadukan definisi graf
blok dan graf kaktus menjadi graf blok kaktus. Mereka mendefinisikan graf blok
kaktus sebagai graf dengan sifat untuk setiap blok berlaku gabungan semua titik
blok dan semua titik kritisnya menginduksi sebuah subgraf lengkap atau subgraf
lingkaran.
Iswadi [9] telah meneliti sifat himpunan resolving dari graf kaktus. Pada
makalah ini akan diteliti sifat himpunan resolving himpunan resolving dari graf
260
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
blok. Pengetahuan atas sifat himpunan resolving dari kedua kelas graf ini
diharapkan membuka peluang untuk menentukan sifat himpunan resolving dan nilai
dimensi metrik dari graf blok kaktus.
DIMENSI METRIK GRAF BLOK BEBAS ANTING
Blok dari graf blok yang diperoleh dengan hanya menghapus satu titik potong
dari graf blok disebut dengan blok ujung. Sedangkan blok dari graf blok yang
diperoleh dengan menghapus lebih dari satu titik potong dari graf blok disebut
dengan blok internal. Blok ujung yang hanya satu titik disebut dengan anting. Untuk
menyederhanakan persoalan maka graf blok yang akan diteliti adalah graf tanpa
titik anting atau disebut juga dengan graf blok bebas anting.
Gambar 1 berikut ini adalah contoh dari graf blok bebas anting G dengan orde
21, 4 buah komponen lengkap yang terdiri dari 1 bauh graf lengkap K4, 2 buah graf
lengkap K5, dan 1 buah K7. Graf G ini memiliki 5 buah titik potong yang ditandai
oleh titik-titik yang berwarna hitam.
Gambar 1. Graf blok bebas anting dengan 21 titik.
Lema-lema berikut ini dapat digunakan untuk memprediksi batas bawah dari
dimensi metrik dari graf blok G.
261
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Lema 1 Sekurang-kurangnya n – (c + 1) titik dari setiap komponen lengkap
dari
graf blok bebas anting G harus menjadi anggota himpunan resolving W dari G,
≥ 3 adalah n adalah orde dari
dimana
dari komponen lengkap
dan c adalah banyaknya titik potong
.
Bukti: Misalkan W adalah himpunan resolving dari graf blok bebas anting G.
Misalkan terdapat sebanyak
titik potong yang berada di komponen lengkap
dari graf . Sehingga terdapat sebanyak
− titik ekstrim berada di
. Bukti dari
Lema 1 ini akan dilakukan dengan cara kontradiksi. Andaikan terdapat suatu
sehingga |
ekstrim
|<
∩
dan
di
− − 1. Berarti terdapat sekurang-kurangnya 2 titik
sehingga ,
∉
. Karena
dan
berjarak sama, yaitu berjarak 1, ke setiap titik potong
∩
Jadi
. Kemudian
dan
dan
berada di
maka
dan
dan titik ekstrim lain
∈
∩( −
).
juga berjarak sama ke setiap titik
∈
berjarak sama ke setiap titik yang berada pada himpunan resolving
Hal ini bertentangan dengan sifat himpunan resolving
.
yang harus membedakan
setiap dua titik di graf G.∎
Lema 1 dapat dinyatakan secara ekivalen dengan memperhatikan banyaknya
titik yang tidak berada dalam himpunan resolving W. Pernyataan alternatif untuk
Lema 1 dapat dituliskan pada Lema 2 berikut ini. Lema 2 dituliskan tanpa bukti.
Lema 2 Paling banyak satu titik dari setiap komponen lengkap
dari graf blok
bebas anting G tidak menjadi anggota himpunan resolving W dari G, dimana
adalah n adalah orde dari
Jika
≤
≥3
.
− 1 maka terdapat sekurang-kurangnya n – (c + 1) titik dari
komponen lengkap
dari graf blok bebas anting G harus menjadi anggota
himpunan resolving W dari G. Jika
=
maka setiap titik dari komponen lengkap
dari graf blok bebas anting G tidak harus menjadi anggota himpunan resolving
W dari G. Komponen lengkap
yang setiap titiknya adalah titik potong maka
komponen tersebut disebut komponen lengkap penuh titik potong. Sedangkan
262
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
komponen lengkap
yang lain disebut komponen lengkap tidak penuh titik
potong.
Lema 1 atau Lema 2 dapat digunakan untuk membuktikan Teorema 1 berikut
ini.
Teorema 1 Jika graf blok bebas anting G mempunyai m buah komponen lengkap
tidak penuh titik potong
= 1, 2, … ,
, dimana
,
≥ 3 dan
adalah
banyaknya titik potong dalam komponen lengkap tidak penuh titik potong
≤
dengan
− 1 maka
( )=
(
ditunjukkan berlaku | | ≥ ∑
(
− )−
untuk setiap himpunan resolving
penuh titik potong
di
di
∩
berlaku
−
=
(
− )−
, dan { }. Himpunan
. Sedangkan
− )−
dengan setiap komponen
)≠
,
− 1)
.
=
. Buat himpunan titik
|=
−
− 1. Pendefinisian
dapat dikelompokkan menjadi 3 himpunan
adalah himpunan semua titik potong di
adalah titik ekstrim di
Untuk setiap pasangan titik potong
dengan ( ,
(
− 1. Sehingga
∩
adalah titik ekstrim dengan |
dengan | | =
−
(
di atas mengakibatkan titik-titik di
,
≥
≥
Akan ditunjukkan | | ≤ ∑
yaitu:
. Dengan menggunakan Lema 1,
dan untuk setiap komponen lengkap tidak
| |≥
|
.
adalah himpunan basis untuk graf blok bebas anting G. Akan
Bukti: Misalkan
∈
− )−
dan
yang tidak berada di
di , setiap komponen
−
− . Sehingga terdapat suatu titik ekstrim
. Untuk suatu titik potong , selalu terdapat
.
berbeda
∈
∈
263
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan titik ekstrim
( ,
)> ( ,
himpunan
dan
berada pada komponen yang berbeda sehingga
). Jadi setiap titik
=∑
_
∩ { } dapat dibedakan oleh
∈
dengan | | ≤ ∑
(
− )−
. Jadi
himpunan resolving di graf . Dari sifat basis , diperoleh | | ≤ ∑
adalah
(
− )−
.
Dengan menggunakan dua pertidaksamaan | | ≥ ∑
∑
(
− )−
(
− )−
, dapat disimpulkan bahwa dim( ) = | | = ∑
dan | | ≤
(
− )−
.∎
Dengan menggunakan graf pada Gambar 1, pada Gambar 2 berikut ini diberikan
contoh graf G dengan titik-titik potong dan titik-titik basis yang dimilikinya. Titiktitik potong ditandai oleh titik-titik yang berwarna hitam, sedangkan titik-titik
basisnya ditandai oleh titik-titik yang bercorak papan catur. Nilai-nilai parameter
dari graf G di atas adalah
= 1, dan
= 5,
= 5,
= 4,
= 7,
= 1,
= 3,
= 1,
= 4. Dimensi metrik graf G ini adalah dim( ) = (5 − 1) +
(5 − 3) + (4 − 1) + (7 − 1) − 4 = 11.
Gambar 2. Graf blok bebas anting dengan titik-titik basisnya, titik-titik
potongnya.
Teorema 1 dapat digunakan untuk menghitung nilai dimensi metrik dari
264
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
amalgamasi titik G dari graf lengkap
seperti yang terdapat pada Akibat 1
berikut. Untuk graf amalgamasi titik dari graf lengkap G di atas
= 1.
Akibat 1 Jika G adalah graf amalgamasi titik dari m buah graf lengkap
1,2, … ,
dan
( =
≥ 3) maka
( )=
−2 .
KESIMPULAN
Dari uraian dan pembuktian pada bagian atas, dapat disimpulkan beberapa hal:
1. Komponen yang mempengaruhi himpunan resolving dari graf blok bebas
anting adalah komponen lengkap tidak penuh titik potong.
2. Nilai dimensi metrik dari graf blok bebas anting G berasal dari orde dan
banyaknya titik potong dari dalam komponen lengkap tidak penuh titik
potong.
DAFTAR PUSTAKA
Chartrand, G., Eroh, L., Johnson, M.A., dan Oellermann, O.R., 2000, Resolvability
in graphs and the metric dimension of a graph, Discrete Appl. Math., 105, 99 –
113.
Chartrand, G., Lesniak, L., dan Zhang, P., 2011, Graphs and Digraphs, Edisi 5,
CRC Press, Boca Raton.
Chartrand, G. dan Zhang, P., 2003, The Theory and Appllications of Resolvability
in Graphs: A Survey, Congr. Numer. 160, 47 – 68.
Harary, F. dan Melter, R., 1976, On the Metric Dimension of a Graph, Ars Combin.
2, 191 – 195.
Hulme, B., Shiver, A. dan Slater, P., 1981, Fire: A Subroutine for Fire Protection
Network Analysis, Sandia National Laboratories, New Mexico SAND 81–
1261.
Hulme, B., Shiver, A. dan Slater, P., 1982, Computing Minimum Cost Fire
Protection, Sandia National Laboratories, New Mexico SAND 82–0809.
Iswadi, H., Baskoro, E.T., Simanjuntak, R., dan Salman, A.N.M., 2010, Metric
Dimension of Amalgamation of Cycles, Far East Journal of Mathematical
Sciences (FJMS), 41:1, 19 – 31.
Iswadi, H., Baskoro, E.T., Salman A.N.M., dan Simanjuntak, R., 2010, The
Resolving Graph of Amalgamation of Cycles, Utilitas Mathematica, Util.
Math., 83, 121-132.
265
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Iswadi, H., 2012, Himpunan Resoving dari Blok Lingkaran dari Graf Kaktus,
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi I UNTAD, 3-5 Desember
2012, Palu.
Johnson, M., 1993, Structure-Activity Maps for Visualizing the Graph Variables
Arising in Drug Design, J. Biopharm. Statist. 3, 203 – 236.
Johnson, M., 1998, Browsable Structure-Activity Datasets, Advances in molecular
similarity (R. Carbo-Dorca and P. Mezey, eds.) 153 – 170.
Khuller, S., Raghavachari, B. dan Rosenfeld, A., 1994, Localization in Graphs,
Technical Report.
Maryono, I., Salman, A.M.N., dan Iswadi, H., 2009, Dimensi metrik dari graf
kaktus Cnm, Proceeding of Mathematics and Mathematics Education National
Seminar in Surabaya State Univesity, Indonesia, June 20, Surabaya.
Slater, P., 1975, Leaves of Trees, Congr. Numer. 14, 549 – 559.
Wang, F.H., dan Wang, Y.L., The lower and upper forcing geodetic number of
block-cactus graphs, preprint.
Zverovich, V.E., 1998, The ratio of the irredundance number and the domination
number for block-cactus graphs, J. Graph Theory, 29:1, 139-149.
266
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MODEL PERTUMBUHAN LOGISTIK:
MODIFIKASI PADA DAYA DUKUNG DENGAN
PEMANENAN PROPOSIONAL TERHADAP
POPULASI
Hasan S. Panigoro1
1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo
Jln. Jendral Sudirman No. 6 Kota Gorontalo, [email protected]
Abstrak. Paper ini merupakan kajian analisis dinamik terhadap
model pertumbuhan logistik suatu populasi dengan mengasumsikan
bahwa daya dukung (carrying capacity) juga tumbuh secara logistik.
Asumsi ini muncul dikarenakan adanya kondisi pada suatu populasi
tertentu yang mengalami perubahan daya dukungnya sehingga model
logistik biasa tidak lagi relevan terhadap kondisi tersebut. Modifikasi
selanjutnya adalah perilaku pemanenan secara proposional terhadap
populasi tersebut. Munculnya perilaku pemanenan terhadap populasi
dalam model ini diasumsikan karena adanya campur tangan manusia
dalam eksistensi populasi tersebut dalam hal ini memburu atau
memanen populasi tersebut dengan tipe pemanenan proposional
terhadap jumlah populasi. Analisis yang dilakukan yaitu mencari titik
ekuilibrium dan mempelajari kestabilannya ditinjau dari besaran
pemanenan secara proposional yang dilakukan. Hasil analisis yang
dilakukan di interpretasikan lebih lanjut dengan melihat pengaruh dari
pemanenan secara proposional terhadap eksistensi dari populasi
tersebut.
Kata Kunci: Ekuilibrium, Logistik, Pemanenan, Populasi
PENDAHULUAN
Model pertumbuhan suatu populasi merupakan suatu model yang
sangat menarik untuk dipelajari dan terus dikaji dikarenakan masalah yang
berkaitan dengan populasi selalu mengalami perkembangan dan perubahan
seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu banyak peneliti yang terus
mengkaji, mengembangkan, dan memodifikasi model yang berhubungan
267
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dengan masalah pertumbuhan populasi, baik masalah populasi satu spesies,
dua, atau lebih spesies seperti model pertumbuhan satu spesies, model
kompetisi dua atau lebih spesies, model predator-prey dua atau lebih spesies
dan sebagainya.
Dalam
model
dinamik,
diperkenalkan
model
pertumbuhan
eksponensial yang mengasumsikan populasi tumbuh secara eksponensial
seperti pada Boulanouar (2014) yang meneliti pertumbuhan populasi bakteri
yang
diasumsikan
tumbuh
secara
eksponensial.
Namun
dalam
perkembangannya, model pertumbuhan tidak hanya diterapkan pada masalah
populasi bakteri, namun pada populasi spesies lainnya. Pada beberapa kasus
tertentu, model exponensial tidak lagi relevan terhadap pertumbuhan populasi
lainnya. Oleh karena itu diperkenalkan suatu model pertumbuhan populasi
oleh Verhulst (1838, 1841, 1845, 1847) yaitu model logistik yang
mengasumsikan bahwa dalam kasus tertentu, pertumbuhan suatu populasi
terbatas oleh daya dukungnya. Dalam perkembangannya, model ini tidak
hanya digunakan dalam pertumbuhan populasi, namun juga dalam bidang
lainnya seperti Cai (2010) dan Juratoni et.al (2010) yang menerapkan model
logistik dalam model pertumbuhan ekonomi
Perkembangan model logistik juga tidak hanya dalam bidang ilmu
lainnya, namun juga mengalami perkembangan dalam model itu sendiri.
Dalam beberapa kasus, terjadi modifikasi pada model logistik seperti yang
dilakukan oleh Arugaslan (2015) yang memodifikasi model logistik dengan
waktu tunda dan pemanenan. Modifikasi juga dilakukan oleh Lumi et.al
(2014) yang mengasumsikan daya dukung (carrying capacity) berubah
terhadap waktu dengan perubahannya di sebut size-dependent carrying
capacity. Modifikasi model logistik ini dikenal dengan model Von Foerster.
Modifikasi terhadap daya dukung juga dilakukan oleh Meyer et.al (1999)
yang mengasumsikan bahwa daya dukung juga tumbuh secara logistik.
268
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Dalam paper ini, penulis mengkaji tentang modifikasi yang dilakukan
oleh Meyer et.al (1999) namun dengan memberikan perlakuan terhadap
populasi tersebut yakni pemanenan proposional terhadap populasi tersebut.
Dalam paper ini difokuskan untuk melihat pengaruh dari pemanenan
proposional terhadap kestabilan model dan eksistensi dari populasi.
FORMULASI SISTEM
Model Pertumbuhan Logistik Populasi
Model Logistik pertama kali diperkenalkan oleh Verhulst (1838, 1841, 1845,
1847) yang menyatakan bahwa setiap populasi akan tumbuh dengan daya
dukung lingkungannya. Model ini dituliskan dalam:
𝑥
𝑥̇ = 𝑟𝑥 (1 − 𝐾)
(1)
Dimana 𝑥(𝑡) ≥ 0 sepanjang 𝑡 ≥ 0, dan 𝑟, 𝐾 bilangan real positif. 𝑥(𝑡)
menyatakan jumlah populasi pada waktu 𝑡, 𝑟 merupakan laju pertumbuhan
intrinsik populasi dan 𝐾 adalah daya dukungnya. Model ini memiliki solusi
khusus:
𝑥(𝑡) =
𝐾
𝐾
( −1)𝑒 −𝑟𝑡 +1
𝑥0
(2)
Model ini memiliki 2 titik ekuilibrium yaitu 𝑥̅1 = 0 dan 𝑥̅2 = 𝐾 dengan tipe
kestabilan yang berbeda. Titik ekuilibrium 𝑥̅1 = 0
merupakan titik
269
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ekuilibrium tidak stabil sedangkan titik ekuilibrium 𝑥̅2 = 𝐾 merupakan titik
ekuilibrium stabil. Hal ini mengakibatkan nilai awal 0 < 𝑥(0) < 𝐾 akan
menjauhi titik ekuilibrium 𝑥̅1 = 0 dan mendekati titik ekuilibrium 𝑥̅2 = 𝐾.
Dengan demikian maka populasi akan tumbuh dan mencapai nilai daya
dukungnya. Dengan demikian model ini menjamin bahwa tidak akan terjadi
kepunahan terahadap populasi tersebut. Pergerakan potret fase dari solusi
dapat dilihat pada gambar (1) berikut:
Gambar 1. Potret Fase Model Logistik
Model Pertumbuhan Logistik Populasi dengan Pertumbuhan Logistik
Daya Dukung
Dalam Meyer et.al (1999) diperlihatkan bahwa pada beberapa kasus model
logistik tidak lagi relevan dengan keadaan sebenarnya. Modifikasi kemudian
dilakukan oleh Meyer et.al (1999) yaitu dengan mengasumsikan bahwa daya
dukung (carrying capacity) tumbuh secara logistik. Dengan kata lain, asumsi
ini mengakibatkan model pertumbuhan logisitik memiliki daya dukung yang
juga tumbuh secara logistik (model logistik di dalam logistik). Pertumbuhan
logistik daya dukung dituliskan sebagai:
270
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐾
𝐾̇ = 𝛼𝐾 (1 − 𝜅 )
(3)
Asumsi model logistik dari daya dukung ini dianggap masih tidak realistik
mengingat model ini mengakibatkan daya dukung 𝐾(𝑡) ≥ 0 sepanjang 𝑡.
Oleh karena itu model logistik untuk daya dukungnya dimodifikasi sehingga
daya dukungnya dimulai dari suatu daya dukung awal 𝜅1 dan tumbuh
mencapai daya dukung 𝜅1 + 𝜅2 . Asumsi oleh Meyer et.al (1999) ini
mengakibatkan persamaan (3) dimodifikasi menjadi:
𝐾−𝜅
𝐾̇ = 𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 − 𝜅 1 )
(4)
2
Model ini pada akhirnya menjadi sistem persamaan diferensial yang dapat
dituliskan sebagai:
𝑥
𝑥̇
=
𝑟𝑥 (1 − 𝐾)
𝐾̇
=
𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 −
𝐾−𝜅1
𝜅2
)
(5)
Sistem (5) memiliki potret fase sebagai berikut:
271
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2.
Potret Fase Model Logistik dengan perubahan daya
dukung yang tumbuh secara logistik
Sistem (5) memiliki 4 titik ekuilibrium yaitu:
𝐸1 = (0, 𝜅1 ),
𝐸3 = (0, 𝜅1 + 𝜅2 ),
𝐸2 = (𝜅1 , 𝜅1 ), 𝐸4 = (𝜅1 + 𝜅2 , 𝜅1 + 𝜅2 ).
Sistem (5) memiliki 3 titik ekuilibrium tidak stabil dan satu titik ekuilibrium
stabil. Titik ekuilibrium 𝐸1 merupakan titik ekuilibrium tidak stabil asimtotik,
titik ekuilibrium 𝐸2 dan 𝐸3 merupakan titik ekuilibrium tidak stabil tipe
saddle, dan titik ekuilibrium 𝐸4 merupakan titik ekuilibrium stabil asimtotik.
Dapat dilihat pada gambar (2) bahwa jika nilai awal 𝜅1 < 𝑥(0) < 𝜅1 + 𝜅2 ,
maka solusi akan selalu bergerak mencapai 𝐾 = 𝜅1 + 𝜅2 . Dengan demikian
kondisi dengan nilai awal ini akan mengakibatkan eksistensi dari populasi
tetap terjaga.
272
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Model Pertumbuhan Logistik Populasi dengan Modifikasi daya dukung
dan Pemanenan Proposional terhadap Populasi
Modifikasi selanjutnya yaitu dengan memberikan perlakuan terhadap sistem
(5) yakni pemanenan secara proposional sehingga sistem menjadi:
𝑥
𝑥̇
=
𝑟𝑥 (1 − 𝐾) − ℎ𝑥
𝐾̇
=
𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 −
𝐾−𝜅1
𝜅2
)
(6)
dengan ℎ adalah laju pemanenan yang bergantung pada jumlah dari 𝑥(𝑡).
Model inilah yang menjadi fokus pembahasan dari paper ini. Analisis yang
dilakukan difokuskan dalam mengamati kestabilan dari sistem (6) terhadap
perubahan kestabilan dari sistem.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Titik Ekuilibrium
Titik ekuilibrium didapatkan dari:
𝑥
𝑟𝑥 (1 − 𝐾) − ℎ𝑥
𝛼(𝐾 − 𝜅1 ) (1 −
𝐾−𝜅1
𝜅2
=
0
) =
0
(7)
Dari persamaan (7) didapatkan solusi:
273
KNPM 6
𝐸3
=
𝐸4
=
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐸1
=
(0, 𝜅1 )
𝐸2
=
(𝜅1
𝑟−ℎ
(0, 𝜅1 + 𝜅2 )
((𝜅1 + 𝜅2 )
𝑟−ℎ
𝑟
𝑟
, 𝜅1 )
(8)
, 𝜅1 + 𝜅2 )
Eksistensi Titik Ekuilibrium
Untuk melihat solusi (8) sebagai titik ekuilibrium, perhatikan teorema
berikut:
Teorema 1. Perhatikan solusi (8). Untuk ℎ, 𝑟 > 0, dan ℎ, 𝑟 bilangan real, 𝐸1
dan 𝐸3 merupakan titik ekuilibrium, sedangkan:
a. Jika ℎ < 𝑟 maka 𝐸2 dan 𝐸4 merupakan titik ekuilibrium sistem (6)
b. Jika ℎ ≥ 𝑟 maka 𝐸2 dan 𝐸4 bukan merupakan titik ekuilibrium sistem
(6).
Bukti. Perhatikan bahwa untuk menjadi titik ekuilibrium sistem (6),
berdasarkan kondisi biologis maka titik ekuilibrium 𝐸𝑖 dengan 𝑖 = 1. .4 harus
merupakan anggota dari himpunan 𝐸 ≔ {(𝑥, 𝐾)|𝑥 ≥ 0, 𝐾 > 0, 𝑑𝑎𝑛 𝑥, 𝐾 ∈
ℝ}. Perhatikan bahwa 𝐸1 ∈ 𝐸, dan 𝐸3 ∈ 𝐸 sehingga 𝐸1 dan 𝐸3 merupakan
titik ekuilibrium. Perhatikan jika ℎ < 𝑟 mengakibatkan 𝜅1
(𝜅1 + 𝜅2 )
𝑟−ℎ
𝑟
𝑟−ℎ
𝑟
> 0 dan
> 0. Karena 𝜅1 > 0, 𝜅2 > 0 dan 𝜅1 + 𝜅2 > 0 maka 𝐸2 ∈ 𝐸
dan 𝐸4 ∈ 𝐸. Dengan demikian 𝐸2 dan 𝐸4 merupakan titik ekuilibrium dari
sistem (6). Untuk ℎ > 𝑟 mengakibatkan 𝐸2 ∉ 𝐸 dan 𝐸4 ∉ 𝐸 sehingga 𝐸2 dan
𝐸4 bukan merupakan titik ekuilibrium dari sistem (6). Perhatikan bahwa jika
ℎ = 𝑟 mengakibatkan 𝐸1 = 𝐸2 dan 𝐸3 = 𝐸4 dengan 𝐸1 ∈ 𝐸, dan 𝐸3 ∈ 𝐸
sehingga hanya akan ada dua titik ekuilibrium di sistem (6) yaitu 𝐸1 dan 𝐸3 .
274
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kestabilan Titik Ekuilibrium
Untuk mempelajari kestabilan titik ekuilibrium, kita lakukan pelinearan
̅ ) terhadap sistem (6) sehingga didapatkan
disekitar titik ekuilibrium 𝐸(𝑥̅ , 𝐾
matriks jacobian sebagai berikut:
̅) = [
𝐽( 𝑥̅ , 𝐾
(𝑟 − ℎ) −
0
2𝑟𝑥̅
̅
𝐾
−
𝑟𝑥̅ 2
̅2
𝐾
̅ −𝜅2 −2𝜅1 )]
𝛼(2𝐾
(9)
𝜅2
Sehingga pelinearan disekitar solusi titik ekuilibrium (8) memberikan matriks
jacobian:
𝐽(𝐸1 ) = [
[−(𝑟 − ℎ)
0
𝑟−ℎ
0
0
],
𝛼
𝐽(𝐸2 ) =
𝑟−ℎ
0
0
],
−𝛼
𝐽(𝐸4 ) =
(𝑟−ℎ)2
]
𝑟
𝛼
𝐽(𝐸3 ) = [
[−(𝑟 − ℎ)
0
(𝑟−ℎ)2
𝑟
]
−𝛼
Dengan masing-masing nilai eigen:
a. 𝐽(𝐸1 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = 𝑟 − ℎ dan 𝜆2 = 𝛼.
b. 𝐽(𝐸2 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = −(𝑟 − ℎ) dan 𝜆2 = 𝛼.
275
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
c. 𝐽(𝐸3 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = 𝑟 − ℎ dan 𝜆2 = −𝛼.
d. 𝐽(𝐸4 ) memiliki nilai eigen 𝜆1 = −(𝑟 − ℎ) dan 𝜆2 = −𝛼.
Berdasarkan teorema (1) maka pada saat ℎ < 𝑟 maka ada 4 titik
ekuilibrium dimana 𝐸1 tidak stabil asimtotik, 𝐸2 dan 𝐸3 tidak stabil tipe
saddle dan 𝐸4 stabil asimtotik. Untuk ℎ > 𝑟 maka hanya ada dua titik
ekuilibrium yaitu 𝐸1 yang merupakan titik ekuilibrium tidak stabil tipe saddle
dan 𝐸3 yang merupakan titik ekuilibrium stabil asimtotik. Untuk ℎ = 𝑟 juga
akan memberikan kondisi titik ekuilibrium seperti pada saat ℎ > 𝑟.
Perhatikan potret fase pada gambar berikut:
a) ℎ < 𝑟
b) ℎ > 𝑟
c) ℎ =
𝑟
Gambar
2.
Potret Fase Model Logistik dengan perubahan daya
276
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dukung yang
tumbuh secara logistik dan perlakuan berupa
pemanenan proposional
Berdasarkan analisis dan simulasi diatas, perhatikan bahwa jika laju
pemanenan proposional lebih besar atau sama dengan laju pertumbuhan
intrinsik akan mengakibatkan populasi akan mendekati kepunahan atau
dengan kata lain eksistensi dari populasi tersebut akan terancam. Satu-satunya
harapan agar eksistensi dari populasi tetap terjaga yaitu ketika laju
pemanenan proposional lebih kecil dari laju pertumbuhan intrinsik dengan
nilai awal populasi lebih besar dari daya dukung awalnya (𝜅1 ).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dalam model pertumbuhan logistik dengan daya dukung tumbuh secara
logisitik, eksistensi populasi akan tetap terjaga apabila nilai awal dari
populasi berada diatas dari daya dukung awal populasi tersebut. Namun
apabila diberikan perlakuan berupa pemanenan secara proposional, maka
kondisi ini akan tercapai apabila laju pemanenan proposional lebih kecil dari
laju pertumbuhan intrinsik. Laju pertumbuhan intrinsik yang lebih kecil atau
sama dengan laju pemanenan proposional akan mengakibatkan seluruh
kondisi dari nilai awal populasi menuju kepunahan. Dengan demikian agar
eksistensi dari populasi terjaga maka laju pemanenan proposional yang
dilakukan tidak boleh lebih besar dari laju pertumbuhan intrinsik.
Saran
Pada beberapa kasus, daya dukung populasi tidak hanya tumbuh secara
logistik, misalkan daya dukung yang mengalami peluruhan dan sebagainya.
277
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Oleh karena itu lebih lanjut lagi dapat dikaji masalah serupa namun dengan
beberapa modifikasi baru pada model disesuaikan dengan konteks masalah
yang ada.
DAFTAR RUJUKAN
Arugaslan, D. 2015. Dynamics of a Harvested Logistic Type Model with
Delay and Piecewise Constant Argument. J. Nonlinear Sci. Appl. 8.
pp.507-517.
Boulanouar, M. 2014. Asynchronous Exponential Growth of a Bacterial
Population. Electronic Journal of differential Equations. Vol 2014,
No.06. pp.1-12.
Cai, D. 2010. Multiple Equilibria and Bifurcations in an Economic Growth
Model with Endogenous Carrying Capacity. International Journal of
Bifurcation an Chaos. Vol.20, No.11. pp.3461-3472.
Juratoni, A. & Bundau, O. 2010. Hopf Bifurcation Analysis of The
Economical Growth model with Logistic Population Growth and
Delay. Proceedings of the 21st International DAAAM Symposium,
Vol.21, No.1. Viennam Austria.
Kuznetsov, Y.A. 1998. Elements of applied bifurcation theory. SpringerVerlag. New York.
Lumi, N., Ainsaar, A. and Mankin, R. 2014. Noise-Induced Transitions in a
Population Growth Model Based on Size-Dependent Carrying
Capacity. Journal of Mathematical Problems in Engineering. Volume
2014. Article ID 120624. pp.1-8.
Lynch, S. 2010. Dynamical Systems with Applications using Maple, 2nd
Edition. Springer, New York.
Meyer, P.S. & Ausubel, J.H. 1999. Carrying Capacity: A Model with
Logistically Varrying Limits. Tecnological Forecasting \& Social
Change: pp.209-2014.
Perko, L. 1991. Differential Equations and Dynamical Systems. SpringerVerlag. New York.
Purnomo, K. D. 2000. Model Pertumbuhan Populasi dengan Menggunakan
Model Pertumbuhan Logistik. Majalah Matematika dan Statistika,
Vol.1, No.1, pp.21–29.
Verhulst, F. 1996. Nonlinear Differential Equations and Dynamical Systems.
Spinger-Verlag, Berlin Heidelberg.
278
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Verhulst, PF. 1838. Notice sur la loi que la population poursuit dans son
accroissement. Correspondance mathématique et physique 10: 113–
121. Retrieved 2013-02-18.
Verhulst, PF. 1841. Traité élémentaire des fonctions elliptiques : ouvrage
destiné à faire suite aux traités élémentaires de calcul intégral.
Bruxelles: Hayez. Retrieved 2013-02-18.
Verhulst, PF. 1845. Recherches mathématiques sur la loi d'accroissement de
la population [Mathematical Researches into the Law of Population
Growth Increase]. Nouveaux Mémoires de l'Académie Royale des
Sciences et Belles-Lettres de Bruxelles 18: 1–42. Retrieved 2013-0218.
Verhulst, PF. 1847. Deuxième mémoire sur la loi d'accroissement de la
population. Mémoires de l'Académie Royale des Sciences, des Lettres
et des Beaux-Arts de Belgique 20: 1–32. Retrieved 2013-02-18.
279
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
MODEL LOGISTIK DENGAN PEMANENAN
KONSTAN TERHADAP POPULASI:
FENOMENA BIFURKASI AKIBAT PEMANENAN
Hasan S. Panigoro1
1
Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo
Jln. Jendral Sudirman No. 6 Kota Gorontalo, [email protected]
Abstract. Tulisan ini merupakan kajian terhadap model pertumbuhan logistik dengan
pemanenan konstan pada populasi. Diperlihatkan bahwa model ini memiliki maksimum
dua titik ekuilibrium dengan tipe kestabilan berbeda, dan minimum tidak memiliki titik
ekuilibrium. Salah satu fenomena yang menarik pada model ini adalah terjadinya
bifurkasi. Fenomena ini terjadi ketika perubahan satu atau lebih parameter pada model
mengakibatkan perubahan struktur kestabilan model tersebut. Bifurkasi yang terjadi
pada model ini adalah bifurkasi saddle-node dimana model yang mula-mula memiliki
dua titik ekuilibrium dengan tipe kestabilan berbeda, kemudian setelah dilakukan
variasi nilai parameter yakni parameter pemanenan, maka dua titik ekuilibrium melebur
menjadi satu kemudian hilang. Dalam tulisan ini juga diperlihatkan bahwa eksistensi
populasi dapat terjaga (tidak punah) apabila memenuhi syarat-syarat tertentu.
Keywords: Bifurkasi, Ekuilibrium, Logistik, Pemanenan, Populasi, Saddle-Node
PENDAHULUAN
Masalah populasi adalah salah satu masalah yang sangat penting mengingat
masalah ini dapat mempengaruhi keadaan yang lain pada populasi tersebut.
Misalkan masalah populasi manusia dalam suatu negara yang dapat mempengaruhi
keadaan politik, ekonomi dan sebagainya dari populasi tersebut. Oleh karena itu
masalah populasi merupakan masalah yang sangat menarik dibahas dalam bidang
ilmu matematika. Salah satu metode untuk mempelajari masalah populasi yaitu
dengan membuat model matematika yang sesuai dengan masalah ini. Model
matematika adalah himpunan dari rumus dan atau persamaan berdasarkan
fenomena nyata dan dibuat dengan harapan bisa merepresentasikan dengan baik
fenomena nyata tersebut menurut ilmu yang melatarbelakanginya.
Salah satu model matematika yang mempelajari model pertumbuhan
populasi adalah model logistik. Model logistik merupakan suatu persamaan
diferensial yang memodelkan pertumbuhan suatu populasi. Populasi yang
dimaksud adalah sekumpulan spesies yang sama yang menempati tempat tertentu.
Model pertumbuhan ini mengasumsikan bahwa pertumbuhan suatu populasi
280
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
bergantung pada daya dukung lingkungan seperti ruang dan makanan. Model
logistik adalah salah satu model yang popular tidak hanya dalam bidang
matematika, namun juga dalam bidang-bidang lainnya (Fory’s:2003). Model
pertumbuhan logistik dibangun menggunakan kaidah logistik (logistic law) bahwa
persediaan logistik ada batasnya, model ini mengasumsikan pada masa tertentu
jumlah
populasi
akan
mendekati
titik
kesetimbangan
(ekuilibrium)
(Purnomo:2000). Model logistik pertama kali diperkenalkan oleh Verhulst (1838,
1841, 1845, 1847). Dalam perkembangannya model ini kemudian dimodifikasi agar
sesuai dengan kondisi populasi yang dipelajarinya. Beberapa modifikasi pada daya
dukungnya dapat dilihat pada Arugaslan (2015), Cai (2010), Juratoni (2010), dan
Lumi (2014). Selain itu, model pertumbuhan logistik juga dipelajari dalam bidang
ilmu lainnya seperti model pertumbuhan ekonomi (Cai:2010, Juratoni:2010),
model pertumbuhan tumor (Forry et.al:2003), dan sebagainya. Dalam tulisan ini
dipelajari model logistik dengan perlakuan berupa pemanenan secara konstan
terhadap suatu populasi. Modifikasi ini termotivasi dari kondisi bahwa dalam
beberapa kasus suatu populasi seperti ikan, rumput laut dan populasi lainnya
merupakan salah satu kebutuhan dari manusia sehingga manusia melakukan
perburuan atau pemanenan terhadapnya. Dalam tulisan ini, diasumsikan
pemanenan yang dilakukan yaitu pemanenan secara konstan sepanjang 𝑡 ≥ 0.
FORMULASI SISTEM
Perhatikan persamaan diferensial biasa berikut:
𝑥
𝑥̇ = 𝑟𝑥 (1 − 𝐾)
(1)
Dimana 𝑥(𝑡) ≥ 0 sepanjang 𝑡 ≥ 0, dan 𝑟, 𝐾 bilangan real positif. 𝑥(𝑡) menyatakan
jumlah populasi pada waktu 𝑡, 𝑟 merupakan laju pertumbuhan intrinsik populasi
dan 𝐾 adalah daya dukungnya. Model ini memiliki solusi khusus:
𝑥(𝑡) =
𝐾
(
𝐾
−1)𝑒 −𝑟𝑡 +1
𝑥0
(2)
Model ini dikenal dengan model logistik yang mengasumsikan pertumbuhan suatu
281
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
populasi dibatasi oleh daya dukungnya. Model (1)
memperlihatkan bahwa
eksistensi populasi akan selalu terjaga dan tumbuh secara logistik dengan jumlah
awal populasi bertambah mencapai kondisi daya dukungnya (carrying capacity).
Potret Fase model ini dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1. Potret fase model logistik
Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita melihat bahwa eksistensi
populasi suatu spesies bergantung pada campur tangan manusia. Misalkan
perburuan terhadap harimau, perburuan ikan paus dan hiu, dan perburuan terhadap
spesies lainnya oleh manusia yang akhirnya mengancam eksistensi dari populasi itu
sendiri. Dengan demikian pada paper ini diasumsikan ada perlakuan berupa
pemanenan terhadap populasi pada model logistik ini. Pemanenan yang diberikan
diasumsikan dilakukan secara konstan sepanjang waktu 𝑡. Dengan demikian model
logistik setelah pemanenan secara kosntan menjadi:
𝑥
𝑥̇ = 𝑟𝑥 (1 − 𝐾) − ℎ
(3)
Dimana ℎ merupakan laju pemanenan secara konstan terhadap populasi.
Model inilah yang dikaji pada paper ini. Kajian utama yang dipelajari adalah
melihat pengaruh dari pemanenan secara konstan terhadap populasi dengan model
logistik. Akan diperlihatkan bagaimana eksistensi dari populasi apabila diberikan
perlakuan berupa pemanenan secara konstan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
282
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Titik Ekuilibrium
𝑥̅ adalah titik ekuilibrium (3) jika:
𝑥̅
𝑟𝑥̅ (1 − 𝐾) − ℎ = 0 ,
(4)
atau:
𝑥̅ 2 − 𝐾𝑥̅ +
ℎ𝐾
𝑟
=0,
(5)
sehingga diperoleh:
𝑥̅ =
dimana Δ = 𝐾 2 −
4ℎ𝐾
𝑟
.
Berdasarkan
𝐾±√Δ
(6)
2
kondisi
biologis
maka
kita hanya
memperhatikan solusi di daerah Ω ≔ {𝑥|𝑥 ≥ 0, 𝑥 ∈ ℝ}. Untuk selanjutnya
perhatikan teorema berikut:
Teorema 1. Ekuilibrium dari model (3) adalah sebagai berikut:
𝑟𝐾
(i)
Model (3) tidak memiliki titik ekuilibrium di 𝛺 jika ℎ >
(ii)
Model (3) Memiliki satu titik ekuilibrium 𝑥̅1 di 𝛺 jika ℎ =
𝑥̅1 =
(iii)
2ℎ
𝑟
4
(gambar 2a).
𝑟𝐾
4
, dimana
(gambar 2b).
Model (3) Memiliki dua titik ekuilibrium 𝑥̅2 dan 𝑥̅ 3 di 𝛺 jika ℎ <
𝑟𝐾
4
,
dimana:
𝑥̅2 =
𝐾+√Δ
2
dan 𝑥̅ 3 =
𝐾−√Δ
(7)
2
(perhatikan gambar 2c)
Bukti. Perhatikan bahwa untuk ℎ >
𝑟𝐾
4
mengakibatkan Δ < 0 sehingga persamaan
(4) tidak memiliki akar real sehingga model (3) tidak akan memiliki titik
ekuilibrium di Ω. Selanjutnya untuk ℎ =
𝑟𝐾
4
persamaan (4) memiliki satu akar real yaitu 𝑥̅1 =
mengakibatkan Δ = 0
2ℎ
𝑟
. Karena
2ℎ
𝑟
sehingga
> 0 maka 𝑥̅1 berada
283
KNPM 6
didaerah Ω. Untuk ℎ <
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝑟𝐾
mengakibatkan Δ > 0 sehingga persamaan (4) memiliki
4
dua akar real yaitu 𝑥̅2 =
𝐾+√Δ
2
dan 𝑥̅3 =
𝐾−√Δ
2
. Eksistensi 𝑥̅2 dan 𝑥̅3 di Ω dapat
dilihat pada proposisi berikut:
Proposisi 1.1. Jika Δ > 0 maka 𝑥̅2 , 𝑥̅3 ∈ Ω atau 𝑥̅ 2 , 𝑥̅3 adalah titik ekuilibrium.
Bukti. Karena Δ > 0 dan 𝐾 > 0 maka
𝐾+√Δ
2
> 0 sehingga 𝑥̅2 ∈ Ω atau dengan kata
lain 𝑥̅2 adalah titik ekuilibrium model (3). Perhatikan bahwa 𝑟, ℎ, 𝐾 > 0 sehingga
4ℎ𝑘
𝑟
> 0:
4ℎ𝐾
𝑟
4ℎ𝐾
𝐾2 −
𝑟
Δ
−
<
0
<
𝐾2
<
𝐾2
<
√Δ
𝐾 − √Δ >
𝐾 − √Δ
>
2
𝐾
0
0
Dengan demikian maka 𝑥̅3 ∈ Ω atau 𝑥̅ 3 adalah titik ekuilibrium dari model (3).
Kestabilan Titik Ekuilibrium
Untuk menganalisa kestabilan titik ekuilibrium yaitu dengan melakukan
pelinearan. Jika diketahui suatu persamaan diferensial biasa 𝑥̇ = 𝑓(𝑥) dengan titik
ekuilibrium 𝑥̅ , maka pelinearan dilakukan dengan melakukan transformasi
koordinat (Wiggins:1990);
𝑦 = 𝑥 − 𝑥̅ .
Hasil pelinearan akan memberikan persamaan diferensial:
𝑟(𝐾𝑥̅ −𝑥̅ 2 )−ℎ𝐾
𝑦̇ = (
𝐾
𝑟
𝑟
) + 𝐾 (𝐾 − 2𝑥̅ )𝑦 − 𝐾 𝑦 2 ,
(8)
284
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
namun untuk mempelajari kestabilan titik ekuilibrium 𝑥̅ maka menurut Wiggins
(1990) kita cukup mempelajari:
𝑟
𝑦̇ = 𝐾 (𝐾 − 2𝑥̅ )𝑦,
(9)
Teorema 2. Ekuilibrium (3) memiliki tipe kestabilan sebagai berikut:
(i)
Jika ℎ =
(ii)
Jika ℎ <
𝑟𝐾
4
𝑟𝐾
4
, maka titik ekuilibrium 𝑥̅1 adalah titik ekuilibrium stabil.
, maka titik ekuilibrium 𝑥̅2 adalah titik ekuilibrium stabil
sedangkan titik ekuilibrium 𝑥̅3 adalah titik ekuilibrium tidak stabil.
Bukti. Untuk ℎ =
𝑟𝐾
4
𝑟2
mengakibatkan persamaan (8) menjadi 𝑦̇ = − 4ℎ 𝑦 2 sehingga
titik ekuilibrium 𝑥̅1 titik ekuilibrium stabil. Untuk ℎ <
𝑟𝐾
4
, perhatikan persamaan
(9). Agar titik ekuilibrium ini stabil, berdasarkan persamaan (9) maka 𝐾 − 2𝑥̅ <
0. Dengan demikian titik ekuilibrium stabil jika 𝑥̅ >
Dengan aljabar sederhana didapatkan 𝑥̅ 2 =
𝐾+√Δ
2
>
𝐾
2
𝐾
2
𝐾
dan tidak stabil jika 𝑥̅ < 2 .
dan 𝑥̅3 =
𝐾−√Δ
2
<
𝐾
2
sehingga
𝑥̅2 adalah titik ekuilibrium stabil dan 𝑥̅3 adalah titik ekuilbrium tidak stabil.
285
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
a) ℎ >
𝑟𝐾
b) ℎ =
4
𝑟𝐾
4
c) ℎ <
𝑟𝐾
4
Gambar 2. Potret fase model logistik dengan pemanenan konstan
Dari simulasi dan analisis diatas dapat di interpretasikan bahwa:
a. Untuk ℎ >
b. Untuk ℎ =
𝑟𝐾
4
𝑟𝐾
4
mengakibatkan populasi pada 𝑡 tertentu mencapai kepunahan.
mengakibatkan populasi akan mengalami kepunahan apabila
nilai awal 𝑥(0) < 𝑥̅1 . Namun untuk 𝑥(0) ≥ 𝑥̅1 maka eksistensi dari
populasi tetap terjaga dengan jumlah populasi akan mendekati 𝑥̅1 .
c. Untuk ℎ <
𝑟𝐾
4
, jika nilai awal 0 < 𝑥(0) < 𝑥̅3 mengakibatkan populasi akan
mencapai kepunahan, dan jika 𝑥(0) > 𝑥̅3 mengakibatkan eksistensi
populasi akan terjaga dengan jumlah populasi akan bergerak mendekati 𝑥̅2 .
Bifurkasi Saddle-Node
Dari teorema (1), perubahan parameter pemanenan mengakibatkan
perubahan jumlah titik ekuilibrium dan kestabilannya. Dapat dilihat ketika nilai
pemanenan ℎ melewati titik
𝑟𝐾
4
mengakibatkan titik ekuilibrium di Ω dari tidak ada
menjadi dua titik ekuilibrium. Hal ini mengindikasikan terjadinya bifurkasi saddlenode. Dalam Kuznetsov (1998) telah dibuktikan bahwa bentuk umum bifurkasi
saddle-node (fold) adalah:
𝜂̇ = 𝛽 ± 𝜂2 + 𝑂(𝜂3 ).
286
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Selanjutnya akan dibuktikan bahwa model (3) juga mengalami bifurkasi saddle-node dengan cara melakukan transformasi koordinat dan penskalaan waktu
𝐾
𝑡. Misalkan 𝜂 = 𝑥 − 2 maka:
𝑟𝐾
𝑟
𝜂̇ = ( 4 − ℎ) − 𝐾 𝜂2
(10)
𝐾
Dengan melakukan penskalaan 𝑡 → 𝑟 𝑡 maka persamaan (10) menjadi:
𝐾2
𝜂̇ = ( 4 −
ℎ𝐾
𝑟
) − 𝜂2 .
(11)
Karena persamaan (11) merupakan bentuk umum bifurkasi saddle-node,
maka model (3) juga mengalami bifurkasi saddle-node dengan titik bifurkasinya
adalah
𝐾2
4
−
ℎ𝐾
𝑟
= 0 atau ℎ =
𝑟𝐾
4
. Fenomena bifurkasi saddle-node dapat dilihat
pada simulasi berikut:
Gambar 3. Diagram bifurkasi saddle-node pada model (3)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Model logistik dengan pemanenan secara konstan adalah model yang
mengalami suatu fenomena yang disebut dengan bifurkasi. Bifurkasi yang dialami
oleh model ini adalah bifurkasi saddle-node dimana dalam model ini perubahan
287
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
parameter pemanenan konstan akan mengakibatkan model yang semula memiliki
dua titik ekuilibrium dengan kestabilan yang berbeda kemudian kedua titik
ekuilibrium tersebut melebur menjadi satu dan selanjutnya menghilang. Bufurkasi
ini terjadi ketika nilai parameter pemanenan bergerak melewati titik ℎ =
Eksistensi dari populasi dapat terjaga apabila ℎ ≤
𝑟𝐾
4
𝑟𝐾
4
.
dengan nilai awalnya 𝑥(0) >
𝑥̅3 atau 𝑥(0) ≥ 𝑥̅1 .
Saran
Mengingat bahwa dalam beberapa kasus ternyata daya tampung mengalami
perubahan, maka model ini dapat dikaji lebih lanjut dengan melakukan modifikasi
pada daya dukungnya disesuaikan dengan kondisi daya dukung populasi tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Arugaslan, D. 2015. Dynamics of a Harvested Logistic Type Model with Delay and
Piecewise Constant Argument. J. Nonlinear Sci. Appl. 8. pp.507-517.
Boulanouar, M. 2014. Asynchronous Exponential Growth of a Bacterial
Population. Electronic Journal of differential Equations. Vol 2014, No.06.
pp.1-12.
Cai, D. 2010. Multiple Equilibria and Bifurcations in an Economic Growth Model
with Endogenous Carrying Capacity. International Journal of Bifurcation
an Chaos. Vol.20, No.11. pp.3461-3472.
Fory's, U. Marciniak-Czochra, A. 2003. Logistic Equation in Tumour Growth
Modelling. Int. J. Appl. Math. Comput. Sci. Vol.13, No.3. pp.317–325.
Juratoni, A. & Bundau, O. 2010. Hopf Bifurcation Analysis of The Economical
Growth model with Logistic Population Growth and Delay. Proceedings of
the 21st International DAAAM Symposium, Vol.21, No.1. Viennam
Austria.
Kuznetsov, Y.A. 1998. Elements of applied bifurcation theory. Springer-Verlag.
New York.
Lumi, N., Ainsaar, A. and Mankin, R. 2014. Noise-Induced Transitions in a
Population Growth Model Based on Size-Dependent Carrying Capacity.
Journal of Mathematical Problems in Engineering. Volume 2014. Article ID
120624. pp.1-8.
Lynch, S. 2010. Dynamical Systems with Applications using Maple, 2nd Edition.
Springer, New York.
288
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Purnomo, K. D. 2000. Model Pertumbuhan Populasi dengan Menggunakan Model
Pertumbuhan Logistik. Majalah Matematika dan Statistika, Vol.1, No.1,
pp.21–29.
Verhulst, F. 1996. Nonlinear Differential Equations and Dynamical Systems.
Spinger-Verlag, Berlin Heidelberg.
Verhulst, PF. 1838. Notice sur la loi que la population poursuit dans son
accroissement. Correspondance mathématique et physique 10: 113–121.
Retrieved 2013-02-18.
Verhulst, PF. 1841. Traité élémentaire des fonctions elliptiques : ouvrage destiné à
faire suite aux traités élémentaires de calcul intégral. Bruxelles: Hayez.
Retrieved 2013-02-18.
Verhulst, PF. 1845. Recherches mathématiques sur la loi d'accroissement de la
population [Mathematical Researches into the Law of Population Growth
Increase]. Nouveaux Mémoires de l'Académie Royale des Sciences et
Belles-Lettres de Bruxelles 18: 1–42. Retrieved 2013-02-18.
Verhulst, PF. 1847. Deuxième mémoire sur la loi d'accroissement de la population.
Mémoires de l'Académie Royale des Sciences, des Lettres et des Beaux-Arts de
Belgique 20: 1–32. Retrieved 2013-02-18.
Wiggins, S. 1990. Introduction to Applied Nonlinear Dynamical System and Chaos.
Springer-Verlag, New York.
289
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
KESTASIONERAN DAN SIFAT STATISTIK DARI
MODEL GARCH (1,1) DAN EGARCH (1,1)
Isran K. Hasan1, Khreshna Syuhada2
1
Universitas Negeri Gorontalo, [email protected]
2
Institut Teknologi Bandung, [email protected]
Abstrak. Model deret waktu heterokedastik merupakan salah satu kajian menarik
dan istimewa dalam ilmu statistika. Dalam artikel ini, model-model GARCH (1,1)
dan EGARCH (1,1) akan dibahas, khususnya mengenai kestasioneran, kurtosis
bernilai tinggi, dan perilaku fungsi autokorelasi.
Kata Kunci: autoregresif, fungsi autokorelasi, mean tak bersyarat, kurtosis,
volatilitas.
PENDAHULUAN
Analisis deret waktu merupakan salah satu bagian ilmu statistika yang
mempelajari perilaku data (dan model) dengan memperhatikan waktu pengamatan
data tersebut. Dua ukuran utama dalam analisisi ini adalah mean dan variansi
bersyarat (volatilitas). Berdasarkan jenis volatilitasnya, model deret waktu dapat
bersifat homokedastik atau heterokedastik. Artikel ini membahas model-model
heteroskedastik Generalised ARCH atau GARCH orde (1,1) dan Eksponensial
GARCH(1,1). Secara khusus, kajian dibatasi pada kestasioneran, kurtosis tinggi,
dan perilaku fungsi autokorelasi.
Model GARCH(1,1) diperkenalkan oleh Bollerslev (1986) sebagai
pengembangan model ARCH (Autoregressive Conditional Heteroskedastik) yang
memiliki sifat volatilitas berubah menurut waktu (Engle, 1982). Pada model
GARCH, fungsi volatilitas tidak hanya memperhatikan nilai observasi sebelumnya
namun juga volatitas pada waktu yang lalu. Model EGARCH (Nelson, 1991)
merupakan salah satu varian dari model GARCH.
MODEL GARCH (1,1) dan EGARCH(1,1)
Misalkan {𝑋𝑡 , 𝑡 ≥ 0} menyatakan proses stokastik dari return suatu aset
pada waktu 𝑡. {𝑋𝑡 , 𝑡 ≥ 0} dikatakan mengikuti model GARCH(1,1) jika
𝑋𝑡 = 𝜎𝑡 𝜀𝑡 ,
(1)
290
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2
2
𝜎𝑡2 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1
+ 𝛽1 𝜎𝑡−1
,
dengan asumsi
1. 𝜀𝑡 ∼ iid 𝐹(0,1),
2. 𝜎𝑡 dan 𝜀𝑡 saling bebas,
3. 𝑋𝑡−1 dan 𝜀𝑡 saling bebas,
4. 𝛼0 > 0, 𝛼1 ≥ 0 dan 𝛽1 ≥ 0.
Meskipun model GARCH(1,1) sangat baik dalam memodelkan volatilitas, tetapi
jika diperhatikan pada persamaan (1) terlihat bahwa nilai 𝜎𝑡2 hanya bergantung dari
besarnya nilai dari data, sehingga data yang bernilai positif maupun negatif akan
memiliki dampak yang sama untuk nilai 𝜎𝑡2 . Hal ini kurang sesuai dengan fakta
yang dikemukakan oleh Black (1976) bahwa untuk data finansial, volatilitas
cenderung naik ketika terjadi bad news dan cenderung turun ketika terjadi good
news (efek asimetris). Salah satu model yang mampu menangkap fenomena ini
adalah model Exponential GARCH (EGARCH).
Model EGARCH(1,1) yang didefinisikan sebagai berikut:
𝑋𝑡 = 𝜎𝑡 𝜀𝑡 ,
2
ln 𝜎𝑡2 = 𝜔 + 𝑔(𝜀𝑡−1 ) + 𝜓1 ln 𝜎𝑡−1
,
(2)
Tidak seperti model GARCH (1,1) yang membatasi parameter agar 𝜎𝑡2 positif,
model EGARCH tidak perlu membatasi parameter. Hal ini karena model EGARCH
pada persamaan (2) adalah persamaan dalam bentuk persamaan logaritma sehingga
nilai 𝜎𝑡2 akan selalu positif.
KESTASIONERAN MODEL
Agar data yang kita miliki dapat dimodelkan dengan model time series dibutuhkan
asumsi kestasioneran. Prinsip utama dalam konsep kestasioneran adalah sifat-sifat
statistik pada suatu model atau proses tidak berubah terhadap waktu.
Model GARCH (1,1)
Syarat kestasioneran lemah dapat diperoleh dengan menggunakan proposisi
berikut:
Proposisi 1. Misalkan 𝑋𝑡 memenuhi persamaan (1). Misalkan pula 𝜂𝑡 = 𝑋𝑡2 − 𝜎𝑡2
maka:
291
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
i.
𝜂𝑡 adalah white noise (w.n.) lemah
ii.
Model GARCH (1,1) pada persamaan (1) dapat ditulis kembali sebagai
berikut:
2
𝑋𝑡2 = 𝛼0 + (𝛼1 + 𝛽1 )𝑋𝑡−1
− 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡
Bukti 1.
(3)
i. Perhatikan bahwa
𝐸(𝜂𝑡 ) = 𝐸[𝜎𝑡2 𝐸(𝜀𝑡2 ) − 𝐸(𝜎𝑡 )|𝐹𝑡−1 ] = 0
dan
2
2
2
𝐶𝑜𝑣(𝜂𝑡 , 𝜂𝑡+𝑙 ) = 𝐸(𝜂𝑡 𝜂𝑡+𝑙 ) = 𝐸[(𝜎𝑡2 𝜀𝑡2 − 𝜎𝑡2 ) 𝐸(𝜎𝑡+𝑙
𝜀𝑡+𝑙
− 𝜎𝑡+𝑙
)] = 0
ii.
Jika disubtitusikan 𝜂𝑡 ke persamaan \eqref{GARCH11} maka diperoleh
2
2
𝜎𝑡2 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1
+ 𝛽1 𝜎𝑡−1
2
2
𝑋𝑡2 − 𝜂𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1
+ 𝛽1 (𝑋𝑡−1
− 𝜂_(𝑡 − 1))
2
2
𝑋𝑡2 − 𝜂𝑡 = 𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1
+ 𝛽1 (𝑋𝑡−1
) − 𝛽1 (𝜂𝑡−1 )
2
𝑋𝑡2 = 𝛼0 + (𝛼1 + 𝛽1 )𝑋𝑡−1
− 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡 ∎
Persamaan (3) merupakan bentuk model ARMA dalam bentuk 𝑋𝑡2 . Jadi, model
GARCH (1,1) dapat dipandang sebagai representasi dari model ARMA untuk 𝑋𝑡2 .
Selanjutnya, Persamaan tersebut dapat ditulis dalam kembali menjadi
(1 − (𝛼1 + 𝛽1 )𝐿)𝑋𝑡2 = 𝛼0 + (1 + 𝛽1 𝐿)𝜂𝑡
2
dimana 𝐿 𝑋^2_{𝑡} = 𝑋𝑡−1
dan 𝐿 𝜂_(𝑡) =\𝑒𝑡𝑎_{𝑡 − 1}
Dari sini dapat diperoleh polinomial karakteristik
(1 − (𝛼1 + 𝛽1 )𝑧) = 0
sehingga proses ini akan stasioner jika|𝑧| > 1. Akibatnya, |𝛼1 + 𝛽1 | < 1. sehingga
diperoleh bahwa model GARCH (1,1) akan stasioner jika 0 < 𝛼1 + 𝛽1 < 1.
Sebagai ilustrasi akan disimulasikan dengan program MATLAB model GARCH
(1,1) dengan dengan berbagai parameter.
Gambar 1 Ilustrasi dengan 𝛼0 = 1, 𝛼1 = 0.2, dan 𝛽_1 = 0.3 (model stasioner)
292
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Gambar 2 Ilustrasi dengan 𝛼0 = 1, 𝛼1 = 0.5, dan 𝛽1 = 0.6 (model tidak stasioner)
Model EGARCH (1,1)
Kestasioneran lemah dari model EGARCH (1,1) dengan mudah dapat ditentukan
dengan memperhatikan 𝑉𝑡 = ln 𝜎𝑡2 sehingga persamaan (2) dapat ditulis sebagai
berikut
𝑉𝑡 = 𝜔 + 𝜓1 𝑉𝑡−1 + 𝑔(𝜀𝑡−1 )
sehingga syarat kestasioneran
ln 𝜎𝑡2
(4)
adalah |𝜓1 | < 1.Sebagai ilustrasi perhatikan
gambar berikut:
Gambar 3 Ilustrasi variansi dan mean model EGARCH (Kiri) 𝜔 = 0.5, 𝜓 = 0.4,
𝛿 = −0.2 dan 𝜃 = −0.3; (Kanan) 𝜔 = 0.5, 𝜓 = 1, 𝛿 = −0.2 dan 𝜃 = −0.3
SIFAT KURTOSIS TINGGI DAN PERILAKU FUNGSI AUTOKORELASI
Kurtosis
Proposisi 2. Misalkan Misalkan 𝑋𝑡 memenuhi persamaan (1). maka kurtosis dari
𝑋𝑡 adalah
2
𝜅𝜀 (1 − (𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 ))
𝜅 =
1 − (𝛼12 𝑚4 + 2𝛼1 𝛽1 𝑚2 + 𝛽12 )
dengan 𝜅𝜀 adalah kurtosis dari 𝜀𝑡 dan 𝑚2 dan 𝑚4 masing-masing adalah 𝐸(𝜀𝑡2 ) dan
𝐸(𝜀𝑡4 ).
Bukti 2. Perhatikan bahwa 𝜅 =
𝐸(𝑋𝑡4 )
2
[𝐸(𝑋𝑡2 )]
=
𝜅𝜀 (𝐸(𝜎𝑡4 ))
2
[𝐸(𝑋𝑡2 )]
dengan 𝜅𝜀 adalah kurtosis
293
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dari 𝜀𝑡 , sehingga
2
2 ]2
𝐸(𝜎𝑡4 ) = 𝐸([𝛼0 + 𝛼1 𝑋𝑡−1
+ 𝛽1 𝜎𝑡−1
4
4
2
2
= 𝐸(𝛼02 + 𝛼12 𝑋𝑡−1
+ 𝛽12 𝜎𝑡−1
+ 2𝛼0 𝛼1 𝑋𝑡−1
+ 2𝛼0 𝛽1 𝜎𝑡−1
2
2
+ 2𝛼1 𝛽1 𝑋𝑡−1
𝜎𝑡−1
)
4
4
2
2
= 𝛼02 + 𝛼12 𝐸(𝑋𝑡−1
) + 𝛽12 𝐸(𝜎𝑡−1
) + 2𝛼0 𝛼1 𝐸(𝑋𝑡−1
) + 2𝛼0 𝛽1 𝐸(𝜎𝑡−1
)
2
2
+ 2𝛼1 𝛽1 𝐸(𝑋𝑡−1
𝜎𝑡−1
)
Perhatikan bahwa
4
𝐸(𝜎𝑡4 ) = 𝐸(𝜎𝑡−1
)
Karena 𝑋𝑡 = 𝜎𝑡 𝜀𝑡 maka
𝐸(𝑋𝑡4 ) = 𝐸(𝜎𝑡4 )𝐸( 𝜀𝑡4 ) = 𝑚4 𝐸(𝜎𝑡4 )
2
2
4
𝐸(𝑋𝑡−1
𝜎𝑡−1
) = 𝐸(𝜎𝑡−1
)𝐸( 𝜀𝑡2 ) = 𝑚2 𝐸(𝜎𝑡4 )
dan
𝛼0 𝑚2
1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1
𝛼0
2
𝐸(𝜎𝑡−1
)=
1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1
2
𝐸(𝑋𝑡−1
)=
dengan 𝑚2 = 𝐸(𝜀𝑡2 ) dan 𝑚4 = 𝐸(𝜀𝑡4 ). Dari sini diperoleh
𝐸(𝜎𝑡4 ) =
𝛼02 (1 + 𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 )/(1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1 )
1 − 𝛼1 𝑚4 − 2𝛼12 𝛽1 𝑚_2 − 𝛽12
Sehingga diperoleh kurtosis untuk model GARCH(1,1) adalah
𝛼02 (1 + 𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 )/1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1 (1 − 𝛼1 𝑚2 − 𝛽1 )2
𝜅 =
×
1 − 𝛼1 𝑚4 − 2𝛼12 𝛽1 𝑚2 − 𝛽12
𝛼02
2
𝜅𝜀 (1 − (𝛼1 𝑚2 + 𝛽1 ))
=
∎
1 − (𝛼12 𝑚4 + 2𝛼1 𝛽1 𝑚2 + 𝛽12 )
Misalkan 𝑋𝑡 mengikuti model EGARCH (1,1) pada persamaan (2) maka kurtosis
dari 𝑋𝑡 adalah (Terasvirta, 2006)
(𝛿 + 𝜃)2
𝜅 = 3 exp {
}×
1 − 𝜓2
294
KNPM 6
∞
× ∏
𝑖=1
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Φ(2𝜓 𝑖−1 (𝛿 + 𝜃)) + exp{−8𝜓2𝑖−2 𝛿𝜃} Φ(2𝜓𝑖−1 (𝛿 − 𝜃))
[Φ(2𝜓𝑖−1 (𝛿 + 𝜃)) + exp{−2𝜓 {2𝑖−2}𝛿𝜃 } Φ(2𝜓𝑖−1 (𝛿 − 𝜃))]
2
dengan Φ(. ) adalah fungsi distribusi kumulatif dari distribusi Gaussian. Jika nilai
𝛿 = 0 maka persamaan diatas menjadi lebih sederhana yaitu
𝜅 = 3 exp{𝜃 2 (1 − 𝜓 2 )−1 }
Fungsi Autokorelasi
Proposisi 3. Misalkan Misalkan 𝑋𝑡 memenuhi persamaan (1) maka fungsi
autokorelasi return kuadrat dari 𝑋𝑡 dan 𝑋𝑡−1 adalah
𝑙=0
1,
𝜌𝑙 = {
𝛼1 (1−𝛼1 𝛽1 −𝛽12 )
(1−2𝛼1 𝛽1 −𝛽12 )
(𝛼1 + 𝛽1
)𝑙−1
,
𝑙=1
𝜌1 ,
𝑙>1
Bukti 3. Fungsi Autokorelasi dari model GARCH (1,1) dapat dilihat pada
𝛼
persamaan (\eqref{ARMA11}). Perhatikan bahwa 𝐸(𝑋𝑡2 ) = 𝜇 = 1−(𝛼 0+𝛽 ),
1
1
sehingga persamaan \eqref{ARMA11} dapat ditulis kembali
2
𝑋𝑡2 − 𝜇 = (𝛼1 + 𝛽1 )(𝑋𝑡−1
− 𝜇) − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡
2
jika kedua ruas dikalikan dengan 𝑋𝑡−𝑙
− 𝜇 kemudian diekspetasikan maka
diperoleh

Untuk 𝑙 = 0
2
𝐸[(𝑋𝑡2 − 𝜇)(𝑋𝑡2 − 𝜇)] = (𝛼1 + 𝛽1 )𝐸[(𝑋𝑡−1
− 𝜇)(𝑋𝑡2 − 𝜇)
−𝛽1 E[ηt−1 (Xt2 − μ)] + E[ηt (Xt2 − μ)]
𝛾0
= (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾1 − 𝛽1 𝐸[𝜂𝑡−1 (𝑋𝑡2 − 𝜇)]
+ 𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡2 − 𝜇)]
Perhatikan bahwa
2
𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡2 − 𝜇)] = 𝐸[𝜂𝑡 ((𝛼1 + 𝛽1 )(𝑋𝑡−1
− 𝜇) − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡 )]
= 𝜎𝜂2
dan
2
𝐸[𝜂𝑡−1 ( 𝑋𝑡2 − 𝜇)] = 𝐸[𝜂_(𝑡 − 1)((𝛼1 + 𝛽1 )(𝑋𝑡−1
− 𝜇) − 𝛽1 𝜂𝑡−1 + 𝜂𝑡 )]
= [(𝛼1 + 𝛽1 ) − 𝛽1 ]𝜎𝜂
= 𝛼1 𝜎𝜂
295
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dari sini diperoleh
𝛾0 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾1 + (1 − 𝛼1 𝛽1 )𝜎𝜂

(5)
Untuk 𝑙 = 1
2
2
2
𝐸[(𝑋𝑡2 − 𝜇)(𝑋𝑡−1
− 𝜇)] = (𝛼1 + 𝛽1 )𝐸[(𝑋𝑡−1
− 𝜇) (𝑋𝑡−1
− 𝜇)]
2
2
−𝛽1 𝐸[𝜂𝑡−1 (𝑋𝑡−1
− 𝜇)] + 𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡−1
− 𝜇)
dari sini langsung diperoleh
𝛾1 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾0 − 𝛽1 𝜎𝜂

(6)
Untuk 𝑙 ≥ 2
2
2
2
𝐸[(𝑋𝑡2 − 𝜇)(𝑋𝑡−𝑙
− 𝜇)] = (𝛼1 + 𝛽1 )𝐸[(𝑋𝑡−𝑙
− 𝜇) (𝑋𝑡−𝑙
− 𝜇]
2
2
−𝛽1 𝐸[𝜂𝑡−1 (𝑋𝑡−𝑙
− 𝜇)] + 𝐸[𝜂𝑡 (𝑋𝑡−𝑙
− 𝜇)]
dari sini langsung diperoleh
𝛾𝑙 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝛾𝑙−1
Selanjutnya dengan menyelesaikan persamaan (5) dan (6) diperoleh
(1 − 2𝛼1 𝛽1 − 𝛽12 )𝜎𝜂2
𝛾0 =
1 − (𝛼1 + 𝛽1 )2
[𝛼1 (1 − 𝛼1 𝛽1 − 𝛽 2 )]𝜎𝜂2
𝛾1 =
1 − (𝛼1 + 𝛽1 )2
Dari hasil sebelumnya diperoleh
𝜌1 =
𝛾1 𝛼1 (1 − 𝛼1 𝛽1 − 𝛽12 )
=
𝛾0
(1 − 2𝛼1 𝛽1 − 𝛽12 )
dengan meneruskan proses ini diperoleh fungsi autokorelasi dari 𝜌𝑙 untuk 𝑙 ≥ 2
yaitu
𝜌𝑙 = (𝛼1 + 𝛽1 )𝑙−1 𝜌1 ∎
Proposisi 4. Misalkan 𝑉𝑡 = ln 𝜎𝑡2 memenuhi persamaan (4). Persamaan ini dapat
ditulis lagi sebagai berikut:
𝑖−1
𝑉𝑡 = (𝑃𝑖 )𝜔 + (𝑄𝑖 )𝑉𝑡−𝑖 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )
𝑗=0
dimana 𝑖 ∈ ℕ, 𝑃1 = 1dan 𝑄1 = 𝜓1 . Untuk 𝑖 ≥ 2 berlaku
296
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝑃𝑖 = 𝑃𝑖−1 + 𝑄𝑖−1
𝑄𝑖 = 𝑄(𝑖−1) 𝑄1
Bukti 4. Pertama akan dibuktikan untuk 𝑖 = 2 benar. Dari persamaan (2) dapat
diperoleh
𝑉𝑡−1 = 𝜔 + 𝜓1 𝑉𝑡−2 + 𝑔(𝜀𝑡−2 )
sehingga untuk 𝑉𝑡 dapat ditulis lagi sebagai berikut
𝑉𝑡 = (1 + 𝜓1 )𝜔 + 𝜓12 𝑉𝑡−2 + 𝜓1 𝑔(𝜀𝑡−2 ) + 𝑔(𝜀𝑡−1 )
Misalkan 𝑃1 = 1 dan 𝑄1 = 𝜓1 maka diperoleh 𝑃2 = 𝑃1 + 𝑄1 = 1 + 𝜓1 dan
𝑄2 = 𝑄1 𝑄1 = \𝑝𝑠𝑖12 . Dari sini terlihat bahwa
1
𝑉𝑡 = (𝑃2 )𝜔 + (𝑄2 ) 𝑉_(𝑡 − 𝑖) + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )
𝑗=0
Jadi untuk 𝑖 = 2 pernyataan benar.
Selanjutnya, Misalkan untuk 𝑖 = 𝑘 benar maka akan dibuktikan untuk 𝑖 =
𝑘 + 1 benar. Untuk 𝑖 = 𝑘 berlaku
𝑘−1
𝑉𝑡 = (𝑃𝑘 )𝜔 + (𝑄𝑘 )𝑉𝑡−𝑘 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )
𝑗=0
Dimana
𝑃𝑘 = 𝑃𝑘−1 + 𝑄𝑘−1 = 1 + 𝜓1 +. . . +𝜓1𝑘−1
𝑄𝑘 = 𝑄𝑘−1 𝑄1 = 𝜓1𝑘
Dari persamaan (2) dapat diperoleh
𝑉𝑡−𝑘 = 𝜔 + 𝜓1 𝑉𝑡−𝑘+1 + 𝑔(𝜀𝑡−𝑘+1 )
untuk 𝑉_𝑡 dapat ditulis lagi sebagai berikut
𝑘
𝑉𝑡 = (1 +
𝜓1 +. . . +𝜓1𝑘−1
+
𝜓1𝑘 )𝜔
+
𝜓1𝑘+1 𝑉𝑡−𝑘+1
+ ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )
𝑗=0
Misalkan 𝑃1 = 1 dan 𝑄1 = 𝜓1 maka diperoleh
𝑃_(𝑘 + 1) = 𝑃𝑘 + 𝑄𝑘 = 1 + 𝜓1 +. . . +𝜓1𝑘−1 + 𝜓1𝑘
𝑄_(𝑘 + 1) = 𝑄1 𝑄1 = 𝜓1𝑘+1
dari sini terlihat bahwa
297
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝑘
𝑉_𝑡 = (𝑃𝑘+1 )𝜔 + (𝑄𝑘+1 )𝑉𝑡−𝑘+1 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )
𝑗=0
Jadi untuk 𝑖 = 𝑘 + 1 pernyataan benar. ∎
Fungsi autokorelasi dari 𝑋𝑡2 untuk model EGARCH dapat ditulis sebagai berikut:
𝐶𝑜𝑣(𝑋_𝑡^2, 𝑋_{𝑡 − 𝑙}^2) 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) − (𝐸(exp{𝑉𝑡 }))
𝜌𝑙 =
=
𝑉𝑎𝑟(𝑋_𝑡^2)
𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 )
2
Proposisi 5. Misalkan 𝑉𝑡 memenuhi proposisi 4 dengan 𝑉𝑡 ∼ 𝑁(𝜇𝑣 , 𝜎𝑣2 ) maka
1
a. 𝐸(exp{𝑉𝑡 }) = exp {𝜇𝑣 + 2 𝜎𝑣2 }
2
b. 𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = exp{2𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 } [𝐸(𝜀𝑡4 ) − (𝐸(𝜀𝑡2 )) ]
1
c. 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) = exp{𝑃𝑙 𝜔} exp{(1 + 𝑄𝑙 )𝜇𝑣 } exp {2 (1 + 𝑄𝑙 )𝜎𝑣 } ×
𝑘−1
× 𝐸 (∏ exp{𝑄1𝑖 𝑔(𝜀𝑡−𝑖+1 )})
𝑖=0
Bukti 5.
a. Karena 𝑉𝑡 ∼ 𝑁(𝜇𝑣 , 𝜎𝑣2 ) maka 𝐸(exp{𝑉𝑡 }) adalah fungsi pembangkit
moment dari 𝑉𝑡 sehingga langsung diperoleh
1
𝐸(exp{𝑉𝑡 }) = exp {𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 }
2
b. Perhatikan bahwa
𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = 𝐸(𝑌𝑡4 ) − 𝐸(𝑌𝑡2 )2
Sehingga diperoleh
2
𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = 𝐸(exp{2𝑉𝑡 } 𝐸(𝜀𝑡4 ) − 𝐸(exp {2𝑉𝑡 })(𝐸(𝜀𝑡2 )) \\
2
= exp{2𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 } [𝐸(𝜀𝑡4 ) − (𝐸(𝜀𝑡2 )) ]
c. Dengan menggunakan proposisi (4) dapat diperoleh
𝑖−1
𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 = (𝑃𝑙 )𝜔 + (1 + 𝑄𝑙 )𝑉𝑡−𝑙 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )
𝑗=0
sehingga dengan menggunakan hasil (a) maka diperoleh
298
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 } = 𝐸(exp{(𝑃𝑙 )𝜔})𝐸(exp{(1 + 𝑄𝑙 )𝑉𝑡−𝑙 }) ×
𝑖−1
× 𝐸(exp {∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )}
𝑗=0
1
= exp{𝑃𝑙 𝜔} exp(1 + 𝑄𝑙 )𝜇𝑣 exp{ (1 + 𝑄𝑙 )𝜎_𝑣 } ×
2
𝑘−1
× 𝐸(∏ exp{𝑄1𝑖 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )}) ∎
𝑖=0
KESIMPULAN
1. Model GARCH (1,1) dapat dinyatakan dalam bentuk model ARMA (1,1)
dalam bentuk 𝑋𝑡2 . Oleh karena itu, syarat kestasioneran model GARCH(1,1)
dapat diperoleh dari model ARMA (1,1) yaitu 0 < 𝛼1 + 𝛽1 < 1.
2. Syarat Kestasioneran Model EGARCH (1,1) dapat diperoleh dengan
memrepresentasikan model EGARCH (1,1) dalam bentuk model AR (1)
sehingga diperoleh syarat kestasioneran ln\𝑠𝑖𝑔𝑚𝑎^2_𝑡 adalah |𝜓1 | < 1.
3. Fungsi autokorelasi return kuadrat dari model GARCH (1,1) adalah
𝑙=0
1,
𝜌𝑙 = {
𝛼1 (1−𝛼1 𝛽1 −𝛽12 )
(1−2𝛼1 𝛽1 −𝛽12 )
(𝛼1 + 𝛽1 )𝑙−1 𝜌1 ,
,
𝑙=1
𝑙>1
4. Fungsi autokorelasi return kuadrat untuk model EGARCH sulit diperoleh
karena dalam bentuk logaritma. Oleh karena itu, untuk mempermudah
kalkulasi maka model EGARCH dapat dinyatakan dalam bentuk rekursif,
yaitu;
𝑖−1
𝑉𝑡 = (𝑃𝑖 )𝜔 + (𝑄𝑖 )𝑉𝑡−𝑖 + ∑(𝑄1 )𝑗 𝑔(𝜀𝑡−𝑗+1 )
𝑗=0
dimana 𝑖 ∈ ℕ, 𝑃1 = 1dan 𝑄1 = 𝜓1 . Untuk 𝑖 ≥ 2 berlaku
𝑃𝑖 = 𝑃𝑖−1 + 𝑄𝑖−1
𝑄𝑖 = 𝑄(𝑖−1) 𝑄1
5. Fungsi autokorelasi dari $X_t^2$ untuk model EGARCH dapat ditulis
sebagai berikut:
299
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
𝐶𝑜𝑣(𝑋_𝑡^2, 𝑋_{𝑡 − 𝑙}^2) 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) − (𝐸(exp{𝑉𝑡 }))
𝜌𝑙 =
=
𝑉𝑎𝑟(𝑋_𝑡^2)
𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 )
2
Dengan
1
a. 𝐸(exp{𝑉𝑡 }) = exp {𝜇𝑣 + 2 𝜎𝑣2 }
2
b. 𝑉𝑎𝑟(𝑋𝑡2 ) = exp{2𝜇𝑣 + 𝜎𝑣2 } [𝐸(𝜀𝑡4 ) − (𝐸(𝜀𝑡2 )) ]
1
c. 𝐸(exp{𝑉𝑡 + 𝑉𝑡−𝑙 }) = exp{𝑃𝑙 𝜔} exp{(1 + 𝑄𝑙 )𝜇𝑣 } exp {2 (1 + 𝑄𝑙 )𝜎𝑣 } ×
𝑘−1
× 𝐸 (∏ exp{𝑄1𝑖 𝑔(𝜀𝑡−𝑖+1 )})
𝑖=0
Referensi
Bollerslev, T. (1986). Generalized autoregressive conditional heteroskedasticity.
Journal of Econometrics, 31, 307-327.
Engle, R.F. (1982). Autoregressive Conditional Heteroscedasticity with Estimates
of the Variance of United Kingdom Inflation. Econometrica, 50,
987-1007
Hasan, I.K. (2015). Model GARCH (1,1) dan EGARCH (1,1): Fakta Empiris Return
dan Volatilitas. Tesis. Bandung: Fakultas MIPA, Institut Teknologi
Bandung.
Nelson, D.B. (1991). Conditional heteroskedasticity in asset returns: A new
approach. Econometrica , 59, 347-370.
300
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ANALISIS SENSITIVITAS PENGARUH EDUKASI, SKRINING
DAN TERAPI ANTIRETROVIRAL PADA MODEL
PENYEBARAN HIV/AIDS
Marsudi1, Noor Hidayat2, RatnoBagus E.W.3
1
Universitas Brawijaya, e-mail: [email protected]
2
Universitas Brawijaya, e-mail: [email protected]
3
Universitas Brawijaya, e-mail: [email protected]
Abstrak. Sebuah model matematika nonlinear telah digunakan untuk mengkaji
pengaruh edukasi, skrining dan terapi antiretroviral pada model penyebaran HIV/AIDS.
Dalam model penyebaran HIV/AIDS, populasi dibagi menjadi enam subpopulasi:
susceptibles, educated susceptibles, unaware infectives, aware infectives dan AIDS
population. Model telah dianalisis eksistensi dari titik kesetimbangan dan kestabilannya
serta analisis sensitivitas dari angka reproduksi efektif. Hasil analisis menunjukkan
bahwa titik kesetimbangan bebas penyakit adalah stabil asimtotik jika angka reproduksi
efektif lebih kecil dari satu dan tidak stabil jika angka reproduksi efektif lebih besar dari
satu. Dari analisis keempat keadaan epidemiologi dalam populasi disimpulkan bahwa
endemisitas HIV dapat direduksi menggunakan skrining pada unaware infectives,
program edukasi pada susceptible dan program terapi antiretroviral pada screened
infectives dalam populasi. Menggunakan data simulasi, angka reproduksi efektif lebih
besar satu (infeksi HIV/AIDS bertahan dalam populasi). Analisis sensitivitas dan kajian
numerik dari model mendukung dan memverifikasi hasil analisis secara analitik dalam
memeriksa pengaruh parameter-parameter kunci dalam penyebaran infeksi HIV/AIDS.
Kata Kunci : HIV/AIDS, angka reproduksi efektif, analisis sensitivitas, edukasi, dan
skrining.
PENDAHULUAN
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang dan
menghancurkan sistem kekebalan dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan
merupakan sistem pertahanan tubuh yang alami untuk melawan segala jenis infeksi
dan penyakit. Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kondisi
pada pengidap HIV yang mengalami sakit serius karena sistem kekebalan tubuhnya
tidak dapat lagi berfungsi secara efektif melawan penyakit. Penderita AIDS
kehilangan begitu banyak sel darah putih (sel CD4). Jika sel CD4 yang tersedia
200 sel/mm3 darah, maka tubuh tidak cukup terlindungi.
Sepanjang sejarah epidemi infeksi HIV/AIDS, program pencegahan ditujukan
terutama untuk menurunkan resiko penularan pada individu yang negatif HIV atau
individu yang tidak mengetahui status HIVnya. Salah satu program pencegahan
301
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
HIV/AIDS adalah sosialisasi pencegahan melalui media komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) HIV/AIDS. Sampai saat ini, banyak penelitian menggunakan
program atau srategi-strategi untuk pengendalian penyebaran HIV/AIDS, misalnya
Naresh et al. [1] mengkaji efek vaksinasi pada penyebaran HIV/AIDS dalam
populasi homogen, Safiel et al. [2] mengkaji pengaruh skrining dan trietmen pada
penyebaran infeksi HIV/AIDS dalam populasi. Hussaini et al. [5] mengkaji
program edukasi kesehatan publik dalam penyebaran HIV. Salah satu permasalahan
yang timbul adalah bagaimana mengukur efektifitas dari program-program
pengendalian tersebut. Saat ini, perkembangan efektifitas layanan edukasi, VCT
(Voluntary Counseling and Testing)
memadai meskipun
cakupan
dan terapi antiretroviral (ARV) belum
program
meningkat.
Banyak
aspek
penanggulangan yang belum diketahui, misalnya fenomena penyebaran epidemik
HIV/AIDS.
Analisis sensitivitas mengkaji variasi output dari model yang disebabkan oleh
variasi dalam input. Pada dasarnya, analisis sensitivitas menentukan parameterparameter dan kondisi awal mana (input) mempengaruhi kuantitas yang
diperhatikan (output) dari model. Chitnis et al. [3], Marsudi [4] mengkaji
sensitivitas model epidemiologi HIV dengan edukasi dan Marsudi dkk. [5] telah
mengevaluasi indeks-indeks sensitivitas dari angka reproduksi efektif terhadap
parameter-parameter model penyebaran HIV/AIDS dengan pengaruh skrining dan
pengobatan (terapi). Dalam artikel ini akan difokuskan pada analisis sensitivitas
pengaruh edukasi, skrining dan terapi anteretroviral dalam penyebaran HIV/AIDS
dalam populasi menggunakan model matematika nonlinear.
MODEL PENYEBARAN HIV/AIDS
Model penyebaran HIV/AIDS dengan edukasi, skrining dan terapi antiretroviral
dideskripsikan menggunakan model kompartemen di mana secara demografi
populasi dibagi menjadi enam subpopulasi: susceptibles (S), educated susceptibles
(E) unaware infectives (I1), screened infectives (I2), therapy infectives (T) dan AIDS
patients (A). Diasumsikan bahwa: Laju penyebaran proporsional dengan
302
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
susceptibles dan rasio antara anggota-anggota populasi terinfeksi dengan total
populasi, unaware infectives menjadi screened infectives dengan laju  , unaware
infectives, screened infectives dan unaware infectives menjadi AIDS patients
dengan laju masing-masing  1 ,  2 dan  (   2   1 ), hanya individu-individu
screened infectives yang menjadi unaware infectives dan menerima terapi HIV
dengan laju  dan unaware infectives, screened infectives dan unaware infectives
dapat menginfeksi populasi unaware infectives dengan laju
1 ,  2 dan  3
( 3   2  1 ). Ada rekruitmen educated susceptible dengan proporsi p. Edukasi
HIV/AIDS pada susceptible mereduksi laju infeksi dengan faktor (1   ), di mana
 mengukur keefektifan edukasi HIV/AIDS (0    1).  adalah laju rekruitmen
susceptible,  adalah laju kematian karena penyakit dan  adalah laju kematian
alami. Berdasarkan asumsi di atas, transisi antara keenam subpopulasi dapat
disajikan dalam model matematika berbentuk sistem persamaan diferensial
nonlinear
dS
 (1  p)  E  (     ) S
dt
dE
 p  S  [(1   )     ]E
dt
dI1
 S  (1   )E  (   1   ) I 1
dt
dI 2
 I 1  (   2   ) I 2
dt
dT
 I 2  (   )T
dt
dA
  1 I 1   2 I 2  T  (   ) A
dt
di mana  
(1)
c1 1 I 1  c 2  2 I 2  c3  3T
, N  S  E  I1  I2  T  A dengan kondisi awal
N
S (0)  S 0 , E (0)  E0 , I 1 (0)  I 10 , I 2 (0)  I 20 , T (0)  T0 , A(0)  A0 .
(2)
Himpunan solusi fisibel dari sistem (1) adalah


  ( S , E , I 1 , I 2 , T , A)  R 6 S  E  I 1  I 2  T  A  N  


(3)
di mana  merupakan himpunan invarian positif dari sistem (1).
ANGKA REPRODUKSI EFEKTIF
303
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Angka reproduksi efektif, Re mengukur rata-rata jumlah infeksi baru yang
disebabkan oleh satu individu terinfeksi HIV dalam suatu populasi di mana program
edukasi HIV/AIDS, skrining dan terapi antiretroviral digunakan sebagai strategi
kontrol. Sistem (1) mempunyai titik kesetimbangan bebas penyakit
 [(1  p)(   )  p ] [(1  p)  p(   )]

E 0*  
,
, 0, 0, 0, 0  .
 (     )
 (     )


(4)
Angka reproduksi efektif dari sistem (1) diperoleh menggunakan metode
matriks generasi berikutnya. Angka reproduksi efektif (Re) dari sistem (1) adalah
Re 
c11 [ p(  (1   )(   ))  (1  p)(    (1   ) )]
(     )(   1   )

c2  2  [ p(  (1   )(   ))  (1  p)(    (1   ) )]
(     )(   1   )(   2   )

c3  3  [ p(  (1   )(   ))  (1  p)(    (1   ) )]
.
(     )(   1   )(   2   )(   )
(5)
Dari ekspresi angka reproduksi efektif (5) di mana Re merupakan jumlahan angka
reproduksi dari unaware infectives I1,
ReI1 
c1 1 [ p(  (1  )(   ))  (1  p)(    (1  ) )]
,
(     )( 1     )
(6)
angka reproduksi dari aware infectives I2,
ReI2 
c2  2 [ p(  (1  )(   ))  (1  p)(    (1  ) )]
(     )(   1   )(   2   )
(7)
dan angka reproduksi dari therapy infectives T,
ReT 
c3 3 [ p(  (1  )(   ))  (1  p)(    (1  ) )]
.
(     )(   1   )(   2   )(   )
(8)
Jadi,
Re  ReI1  ReI2  ReT .
(9)
Dari ekspresi persamaan-persamaan ReI1 , ReI 2 dan ReT di atas, tampak bahwa
ReI1  ReI2  ReT artinya: unaware infectives (I1) mempunyai kontribusi yang
signifikan pada penyebaran infeksi HIV/AIDS diikuti oleh screened infectives (I2)
dan mempertahankan endemik penyakit dalam populasi melalui c1 1 dan c2  2 .
304
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Kemudian diikuti oleh therapy infectives (T) melalui c3 3 . Dalam hal tidak ada
infeksi, ukuran populasi mendekati sebuah titik mantab (steady point)  /  .
Selanjutnya dianalisis empat keadaan dalam populasi:
(1) Model tanpa intervesi ( S 2  0, I 2  0, T  0)
Dalam hal ini, ekivalen dengan mengambil          2    0 .
Maka angka reproduksi efektif Re direduksi menjadi
R0 
c11
.
N ( 1   )
(10)
Perhatikan bahwa Re  R0 . Dengan demikian, intervensi seperti edukasi
kesehatan, skrining dan terapi antiretroviral mempunyai dampak positif pada
pereduksian penyebaran infeksi HIV dalam populasi.
(2) Model hanya dengan skrining ( S 2  0, T  0)
Dalam model ini terdapat skrining tetapi tanpa edukasi kesehatan dan terapi
antiretroviral. Oleh karena itu,         0 . Maka angka reproduksi
efektif Re direduksi menjadi
ReS 
c11 ( 2   )  c2  2 
.
( 1     )( 2   )
(11)
Jika   0, maka Res  R0 .
Ekspresi ReS dapat ditulis sebagai
ReS  R01  R02
(12)
di mana
R01 
c1 1
c2  2 
dan R02 
.
( 1     )
( 1     )( 2   )
Perhatikan bahwa R01  R02 , Dari ekspresi ReS (12), HIV dapat dieliminasi dari
masyarakat jika Res  1 dan ini hanya mungkin jika laju skrining  meningkat.
(3) Model hanya dengan skrining dan edukasi kesehatan (T  0)
Dalam kasus ini terdapat skrining dan edukasi kesehatan tetapi tidak ada
terapi antiretroviral. Oleh karena itu,     0 . Maka angka reproduksi
efektif Re direduksi menjadi
305
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
ReSE 
c11 [ p(  (1  )(   ))  (1  p)(    (1  ) )]
( 1     )(     )
c   [ p(  (1  )(   ))  (1  p)(    (1  ) )]
 2 2
.
( 1     )( 2   )(     )
(13)
Ekspresi dari ReSE dapat ditulis sebagai
ReSE  R03  R04
(14)
di mana
R03 
c11 [ p(  (1  )(   ))  (1  p )(    (1  ) )]
( 1     )(     )
R04 
c2  2 [ p(  (1  )(   ))  (1  p)(    (1  ) )]
.
( 1     )( 2   )(     )
Perhatikan bahwa R03  R04 . Jika laju edukasi kesehatan  turun, maka HIV
ada dan menjadi endemik dalam populasi.
(4) Model hanya dengan skrining dan terapi antiretroviral ( S 2  0)
Dalam kasusu ini terdapat skrining dan terapi antiretroviral tetapi tanpa
edukasi kesehatan. Hal ini ekivalen dengan mengambil p      0 . Maka
angka reproduksi efektif Re direduksi menjadi
ReST 
c11 ( 2     )(   )  c2  2 (   )  c3 3
.
( 1     )( 2     )(   )
(15)
Ekspresi dari ReST dapat ditulis sebagai
ReST  R01  R05  R06
(16)
di mana
R01 
c11
,
( 1     )
R06 
c3  3 
.
( 1     )( 2     )(   )
Perhatikan bahwa
R05 
c2  2 
,
( 1     )( 2     )
R01  R05  R06 , yang berarti bahwa edukasi kesehatan
kurang berkontribusi pada penyebaran infeksi HIV. Laju edukasi kesehatan 
sangat penting dalam mereduksi penyebaran infeksi dalam populasi. Nilai
parameter  besar akan menurunkan ReST dan akan mengeliminasi penyakit
jika ReST  1.
Angka reproduksi efektif, Re yang diperoleh dari metode matriks generasi
306
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
berikutnya menentukan kestabilan lokal dari titik kesetimbangan bebas
penyakit. Menggunakan teori kestabilan, diperoleh hasil sebagai berikut.
Teorema 1 Titik kesetimbangan bebas penyakit E0 dari sistem (1) adalah stabil
asimptotik lokal jika Re  1 dan tidak stabil jika Re  1.
ANALISIS SENSITIVITAS
Analisis sensitivitas dilakukan untuk menemukan parameter-parameter model
yang berpengaruh tinggi pada nilai ambang Re. Indeks sensitivitas dari nilai ambang
Re mengukur penyebaran penyakit awal dan untuk mengukur perubahan relatif
dalam Re jika suatu parameter berubah sementara parameter-parameter lain tetap.
Indeks sensitivitas pada parameter yang mempunyai pengaruh tinggi pada Re dapat
dijadikan sasaran dalam rangka mengendalikan penyebaran penyakit. Oleh karena
itu, perlu dihitung indeks sensitifitas dari nilai ambang Re menggunakan rumus
normalisasi maju dari Re yang bergantung diferensiasi pada
parameter p ,
didefinisikan dengan
I pRe 
Re
p

.
p Re
(17)
Menggunakan nilai-nilai parameter:
1  086 ,  2  0.15,  3  0.10,   0.6,   0.1,   0.99, c1  3, c2  2, c3  1, 1  0.20,  2  0.01,
  0.001,   0.32,   0.015 ,   0.99,   0.615, p  0.145 dan   700 diperoleh :
Re  1.9199 , ReS  4,6849 , ReST  3,6425 , ReSE  2,4693 dan R0  8,60 .
Menggunakan nilai-nilai parameter di atas, indeks sensitivitas dari Re terhadap
1 dan  adalah
I Re 
1
Re 1
 0.5519
1 Re
dan
IRe 
Re 
 1.4589
 Re
(18)
Indeks sensitifitas dari angka-angka reproduksi Re terhadap parameter-parameter
yang lain disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Indeks sensitivitas dari angka reproduksi
307
KNPM 6
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
Indeks sensitivitas
Parameter

1 and c1
3 and c3

1


 2 and c2

p

2

Re
-1.4589
0.5519
0.3431
ReSE
-1.4589
0.6119
-
ReST
0.7869
0.1631
ReS
0.6119
-
R0
1
-
-0.3242
-0.2222
-0.2186
-0.1983
0.1050
-0.0602
-0.0389
0.0309
-0.0041
-0.0034
-0.2966
-0.2222
-0.2786
-0.1983
0.3881
-0.0389
0.0309
-0.0353
-
-0.2919
-0.2222
-0.4537
0.1050
-0.0286
-0.0019
-0.0016
-0.4639
-0.2222
-0.2786
0.3881
-0.0353
-
-0.3333
-0.6666
-
Dari Tabel 1, secara umum menunjukkan bahwa parameter-parameter
1 ,  2 ,  3 , c1 , c2 , c3 dan  mempunyai indeks sensitifitas positif, artinya: jika
parameter-parameter 1 ,  2 ,  3 , c1 , c2 , c3 dan  dinaikkan (diturunkan) sementara
parameter yang lain konstan akan menaikkan (menurunkan) nilai dari Re.
Sedangkan parameter-parameter  , ,  1 ,  , ,  , p,  2 dan  mempunyai indeks
sensitifitas
negatif,
artinya:
jika
parameter-parameter
 , ,  1 ,  , ,  , p,  2 dan  dinaikkan (diturunkan) sementara parameter yang
lain konstan akan menurunkan (menaikkan) nilai dari Re . Tabel 1 kolom tiga
menunjukkan urutan parameter yang paling sensitif sampai yang kurang sensitif
terhadap perubahan Re. Parameter yang paling sensitif adalah laju keefektifan
edukasi  , diikuti oleh laju kontak (frekwensi hubungan) dari unaware infectives
dengan suscepribles (1 (c1 )), dan parameter yang kurang sensitif adalah laju
progresi dari therapy infectives ke AIDS patient (  ). Dalam hal ini, laju rekrutmen
(  ) dan laju kematian karena HIV/AIDS (  ) tidak berpengaruh terhadap Re.
Menggunakan nilai-nilai parameter di atas dan kondisi inisial:
N (0)  1000.000.000, S (0)  25.000.000, I1 (0)  1.000.000, I 2 (0)  125.000,
T (0)  25 .0000 dan A(0)  10 .0000 , diperoleh diagram variasi dari populasi
308
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
dalamkelas-kelas berbeda (Gambar 1) sebagai berikut:
7
Populasi
10
x 10
8
S
E
I1
6
I2
4
T
A
2
0
0
1
2
3
4
5
Waktu (Tahun)
6
7
8
9
10
Gambar 1. Diagram variasi dari populasi dalam kelas-kelas berbeda
Gambar 1 menunjukkan bahwa kurva prevalensi cenderung turun menuju nilai
konstan (titik kesetimbangan endemik), artinya dengan intervensi (edukasi
kesehatan, skrining dan terapi antiretroviral penyebaran HIV/AIDS dapat
diturunkan menuju nilai konstan.
KESIMPULAN
Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa dengan menaikkan laju keefektifan
laju edukasi, laju skrining dan laju terapi antiretroviral akan menurunkan
menurunkan penyebaran infeksit HIV. Sebaliknya, dengan menurunkan laju kontak
(frekwensi hubungan) antara unaware infectives, screened infectives dan therapy
infectives dengan susceptible akan menurunkan menurunkan penyebaran infeksit
HIV.
Mengingat program edukasi kesehatan, skrining dan terapi antiretroviral dapat
mereduksi penyebaran HIV/AIDS, maka program ini harus dipertahankan dan
ditingkatkan jangkauannya. Program edukasi kesehatan publik harus ditingkatkan
dan mencapai masyarakat untuk semua jenjang sosial untuk meningkatkan perilaku
positif dalam rangka mencegah penyebaran penyakit khusunya HIV/AIDS.
Parameter yang paling sensitif adalah laju keefektifan edukasi  , diikuti oleh
laju kontak (frekwensi hubungan) dari unaware infectives dengan suscepribles
(1 (c1 )), dan parameter yang kurang sensitif adalah laju progresi dari therapy
infectives ke AIDS patient (  ).
309
KNPM 6
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
DAFTAR PUSTAKA
Naresh, R. , Tripath, A. and Sharma, D. 2009. Modelling the Effect of Risky Sexual
Behavior on The Spread of HIV/AIDS, International Journal of Applied
Mathematics and Computation 1 (3), 132-147.
Safiel, R., Massawe, E. S. and Makinde, D. O. , 2012. Modelling the Effect
Screening and Treatment on Transmission of HIV/AIDS Infection in a
Population, American Journal of Mathematics and Statistics 2 (4), 75–88.
Chitnis, N., Hyman, J.M. and Cushing, J.M. 2008.Determining Important
Parameter in the Spread of Malaria Through the Sensitivity Analysis of
Mathematical Model, Department of Public Health and Epidemiology 70,
1272-1296.
Marsudi, 2014.Analisis Sensitivitas Model Epidemiologi HIV dengan Edukasi,
Prosiding KNM XVII 2014, ISBN:978-602-96426-3-6, 907-917.
310
Download