36 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Uji Pendahuluan 1. Substrat Kulit Buah Kakao Pada penelitian ini, kulit buah kakao yang digunakan terlebih dahulu dikeringkan hingga diperoleh berat kering yang konstan. Berat awal kulit buah kakao sebesar 14,750 kg dan berat akhir diperoleh sebesar 3,7 kg. Penggilingan dilakukan untuk memperoleh kulit buah kakao dalam bentuk bubuk. Proses ini tidak dapat menghilangkan lignin, namun bertujuan untuk memperkecil ukuran substrat dan meningkatkan luas permukaan bidang penyerapan untuk meningkatkan kontak antara substrat dengan asam sehingga lebih mudah dihidrolisis (Balat et al., 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Kamara et al., (2007) menunjukkan bahwa partikel substrat berukuran 100 mesh merupakan substrat yang paling baik untuk produksi glukosa dengan kadar gula pereduksi 0,331 µg/ml, dibandingkan dengan substrat berukuran 20 mesh yang menghasilkan gula pereduksi kurang dari 0,20 µg/ml. Untuk mengetahui kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa kulit buah kakao, dilakukan pengujian sampel di Balai Besar Pulp dan Kertas (BBPK) Bandung, hasil pengujian ditunjukkan pada Tabel 4.1 : 36 37 Tabel 4.1 Kandungan Karbohidrat Kulit Buah Kakao No. Komponen Kadar (%) 1. Selulosa 43,37 2. Pentosan (hemiselulosa) 11,71 3. Lignin 36,84 Berdasarkan Tabel 4.1, bahwa kulit buah kakao mengandung senyawa kompleks lignoselulosa yang terdiri dari 43,37% selulosa, 11,71% pentosan (hemiselulosa), dan 36,84% lignin. Kandungan total selulosa sebesar 43,37%, merupakan senyawa untuk pembuatan alkohol. Selulosa ini dapat dipecah menjadi gula sederhana seperti glukosa melalui proses hidrolisis (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Kandungan hemiselulosa sebesar 11,71%, menurut Balat et al., (2008) bahwa hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula serta lebih mudah dihidrolisis daripada selulosa. Hemiselulosa lebih mudah dipecah menjadi komponen penyusunnya seperti pentosa, heksosa, asam heksuronat, dan deoksiheksosa karena bersifat hidrofilik (Anindyawati, 2009). Gula-gula sederhana dari selulosa dan hemiselulosa tersebut dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan menghasilkan produk primer seperti etanol. Kadar lignin dari kulit buah kakao sebesar 36,84%. Lignin tersusun atas jaringan polimer fenolik yang berfungsi merekatkan serat selulosa dan hemiselulosa sehingga menjadi sangat kuat. Menurut Taherzadeh dan Karimi (2007), proses hidrolisis pada suhu tinggi dapat membantu melepaskan lignin dari selulosa dan hemiselulosa serta memecah lignin menjadi partikel yang lebih kecil. 38 Lepasnya lignin dari matriks selulosa dan hemiselulosa tersebut menyebabkan selulosa dan hemiselulosa lebih cepat terhidrolisis, sehingga kandungan gula pada kulit buah kakao bertambah. 2. Penentuan Kadar Optimum H2SO4 Uji pendahuluan dilakukan dengan menggunakan larutan asam sulfat encer pada konsentrasi 0,5%, 1%, 1,5% dan 2% (v/v). Penggunaan asam sulfat pada konsentasi yang berbeda bertujuan untuk mencari konsentrasi yang tepat untuk menghasilkan gula pereduksi paling tinggi dari substrat kulit buah kakao. Pada penelitian ini, hidrolisis dilakukan hingga mendidih selama 120 menit. Menurut Fenei et al., (2008), bahwa waktu hidrolisis selama 120 menit merupakan waktu yang optimum dalam menghasilkan gula pereduksi terbanyak. Hasil hidrolisis uji pendahuluan ditunjukkkan pada Tabel 4.2, gula pereduksi tersebut diukur menggunakan metode Somogyi-Nelson, yaitu metode untuk mengetahui kadar gula sederhana karena sebelumnya tidak dianalisis di BBPK. Hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk menyediakan glukosa yang akan dipergunakan sebagai sumber substrat mikroba. Pada dasarnya prinsip hidrolisis adalah memutuskan rantai polimer bahan menjadi unit-unit monomer yang lebih sederhana. Pemutusan rantai tersebut dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu enzimatis, kimiawi, ataupun kombinasi keduanya (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Pada penelitian ini, proses hidrolisis dilakukan secara kimiawi yakni menggunakan larutan H2SO4. Keuntungan dari hidrolisis asam ini yaitu reaksi lebih cepat, menghasilkan gula pereduksi yang lebih banyak, suhu dapat 39 dikondisikan dalam berbagai kisaran, serta biaya lebih murah dibandingkan dengan penggunaan enzim. Hidrolisis asam encer juga memiliki kelemahan yaitu bisa menghasilkan senyawa-senyawa tertentu yang bisa mengurangi kadar gula dan menghambat fermentasi. Senyawa tersebut bisa berupa asam asetat dan fenolik yang merupakan degradasai dari lignin. Selain itu, senyawa seperti furfural dapat menghambat enzim piruvat dehidrogenase sehingga akan menghambat sel dalam pembentukan etanol (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Tabel 4.2 Rata-rata Kadar Gula Pereduksi Setelah Perlakuan Konsentrasi H2SO4 (%) 0,5 1,0 1,5 2,0 Kadar Gula Pereduksi (µg/ml) 106,63 24,45 4,28 4,28 106,63 102,90 28,19 28,19 4,28 4,28 3,53 4,28 102,90 28,19 5,03 4,28 Rata-rata (µg/ml) 104,76 ± 2,15 27,25 ± 1,86 4,47 ± 0,37 4,09 ± 0,37 Berdasarkan Tabel 4.2 tersebut diketahui bahwa kadar gula paling tinggi dihasilkan dari hidrolisis menggunakan H2SO4 0,5%. Kadar gula yang terkandung sebesar 104,76 µg/ml, sedangkan kadar gula terendah sebesar 4,09 µg/ml diperoleh dari hasil hidrolisis menggunakan H2SO4 2%. Hasil tersebut berbeda disebabkan perbedaan konsentrasi asam yang digunakan. Pada konsentrasi asam yang berbeda, tentu saja kandungan air juga berbeda. Menurut Balat et al., (2008), pada proses hidrolisis H2SO4 akan bereaksi membentuk gugus H+ dan SO4-. Gugus H+ dapat memecah ikatan glikosidik pada selulosa maupun hemiselulosa, sehingga akan terbentuk monomer-monomer gula sederhana. Monomer gula yang dihasilkan masih dalam gugus radikal bebas, namun dengan adanya OH- dari air akan berikatan dengan gugus radikal membentuk gugus glukosa. Dalam hal ini air 40 berfungsi sebagai penstabil gugus radikal bebas. Semakin banyak air yang terkandung dalam larutan asam, maka semakin banyak juga yang menyetabilkan gugus radikal, sehingga glukosa-glukosa yang terbentuk akan semakin banyak. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi konsentrasi asam, maka kandungan airnya sedikit sehingga glukosa yang terbentuk akan sedikit. Kadar gula pereduksi paling tinggi yang diperoleh pada uji pendahuluan sebesar 104,76 µg/ml, dapat dikatakan cukup tinggi apabila dibandingkan dengan gula pereduksi sebesar 4,5 µg/ml yang diperoleh pada penelitian Fanaei et al., (2008). Perbedaan gula pereduksi yang diperoleh dapat disebabkan oleh kadar selulosa dan hemiselulosa pada substrat yang digunakan dan kondisi hidrolisis. Substrat yang digunakan oleh Fanaei et al., (2008) berupa serbuk kayu yang mengandung 45% selulosa dan 25% hemiselulosa, sedangkan limbah kulit buah kakao mengandung 43,34% selulosa dan 11,71% hemiselulosa. Menurut Balat et al., (2008), menyatakan bahwa kadar gula yang akan dikonversi menjadi etanol tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan hemiselulosa, namun dipengaruhi juga oleh konsentrasi asam yang digunakan untuk hidrolisis. Hidrolisis yang dilakukan oleh Fanaei et al., (2008) yaitu menggunakan asam sulfat pada konsentrasi 5%, sedangkan pada penelitian ini menggunakan asam sulfat pada konsentrasi 0,5%. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 7), bahwa penggunaan H2SO4 pada konsentrasi yang berbeda terhadap gula pereduksi yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang signifikan. Dapat disimpulkan bahwa konsentrasi H2SO4 yang berbeda-beda menghasilkan kadar gula pereduksi dengan jumlah yang berbeda. 41 Hal tersebut dapat terlihat dari nilai Sig. pada tabel menunjukkan nilai dibawah taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%. Untuk mengetahui perlakuan yang memberikan kadar alkohol yang terbanyak, akan dilakukan uji lanjutan atau posthoc test. Uji post-hoc menunjukkan bahwa yang memiliki selisih terbesar adalah pada konsentrasi H2SO4 0,5%. Artinya pada konsentrasi H2SO4 0,5%, kadar gula pereduksi yang dihasilkan lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi lainnya. Terlihat pada kolom Mean Difference bahwa H2SO4 0,5% memiliki selisih paling besar. Perbedaan ini pun signifikan, dapat dilihat dari kolom Sig. pada tabel yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%. 3. Kurva Tumbuh Saccharomyces cerevisiae Pembuatan kurva tumbuh Saccharomyces cerevisiae dilakukan dengan menghitung jumlah sel dari biakan cair (medium PDB) menggunakan haemocytometer. Jumlah sel dihitung setiap 2 jam selama 10 jam pada pengenceran 10-1. Pertambahan jumlah sel ditentukan dengan menghitung absorbansi setiap 2 jam selama 14 jam pada panjang gelombang 625 nm (Hatmanti, 2000). Setelah 14 jam pengamatan, diperoleh kurva pertumbuhan yang merupakan hubungan antara waktu dengan absorbansi (jumlah sel) yang ditunjukan pada Gambar 4.1. 42 Kurva Tumbuh Saccharomyces cerevisiae 1.6 1.4 absorbansi 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 2 4 6 8 10 12 14 jam ke- Gambar 4.1 Kurva Tumbuh Saccharomyces cerevisiae Dari Gambar 4.1 terlihat bahwa terjadi fase lag, fase logaritmik (eksponensial), dan fase statis. Fase lag merupakan fase penyesuian S. cerevisiae terhadap lingkungan medium yang ditempatinya. Fase lag terjadi pada jam ke-0 hingga jam ke-2, pada fase ini umumnya mikroba tidak mengalami pertambahan populasi yang berarti dan sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi. Pada jam ke-2 hingga jam ke-6, terjadi fase logaritmik yang ditandai dengan bertambahnya massa sel menjadi dua kali lipat. Fase statis terjadi pada jam ke-8 hingga jam ke-12, pada fase ini jumlah sel hidup menjadi tetap dan tidak terjadi penambahan jumlah sel karena sumber nutrisi mulai berkurang (Pelczar dan Chan, 2006). Fase kematian terlihat pada jam ke-14, ditandai dengan menurunnya jumlah sel. Menurut Pelczar dan Chan (2006) bahwa pada fase kematian terjadi karena nutrisi pada medium pertumbuhan berkurang bahkan habis, selain itu 43 adanya penimbunan sisa metabolisme dapat menjadi racun bagi sel yang masih hidup sehingga laju kematian akan meningkat. Tujuan pembuatan kurva tumbuh pada penelitian ini yaitu untuk menemukan fase logaritmik, yang akan digunakan sebagai starter dalam fermentasi. Fase logaritmik ini terjadi pada jam ke-2, ke-4, dan ke-6. Dari fase logaritmik tersebut, log jumlah sel tertinggi terdapat pada jam ke-6 yaitu sebesar 8,020 sel/ml (Lampiran 5b). Inokulum S. cerevisiae yang digunakan dalam fermentasi kulit buah kakao diambil dari fase logaritmik jam ke-6. Penggunaan inokulum S. cerevisiae pada fase logaritmik didukung oleh penelitian Hasanah (2008), dalam memfermentasi ketan hitam dan singkong juga memenggunakan inokulum S. cerevisiae pada fase logaritmik. S. cerevisiae merupakan mikroorganisme yang paling banyak digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan aktivitasnya pada suhu 25-300C (Ajuzie dan Atuanya, 2009). 4. Kurva Baku Saccharomyces cerevisiae Berdasarkan kurva tumbuh (Gambar 4.1), bahwa fase logaritmik terjadi pada jam ke-2 hingga jam ke-6. Dari data tersebut, dilakukan pembuatan kurva baku yang menunjukkan hubungan antara nilai absorbansi suspensi S. cerevisiae dengan log jumlah sel yang terhitung pada usia tersebut. Perhitungan log jumlah sel S. cerevisiae diambil pada jam ke-2, ke-4, dan ke-6 (Lampiran 5a). 44 Berdasarkan analisis data menggunakan SPSS 16.0 for window diperoleh kurva baku S. cerevisiae (Gambar 4.2), yang menunjukkan hubungan antara nilai absorbansi yang telah diukur sebelumnya dengan log jumlah sel S. cerevisiae. Log jumlah sel S. cerevisiae dapat diketahui melalui suatu persamaan regresi linier yang dinyatakan dalam y = bx + a, dimana y adalah jumlah log sel dan x adalah nilai absorbansi. Log Jumlah Sel Gambar 4.2 Kurva Baku Saccharomysec cerevisiae Kurva baku S. cerevisiae (Gambar 4.2) menunjukkan suatu garis lurus yang dapat digunakan dalam perhitungan jumlah sel S. cerevisiae. Persamaan regresi yang diperoleh yaitu y = 0,364 x + 7,511 dengan R2 = 0,962. Koefisien determinasi dari kurva baku tersebut sebesar 0,962 yang atinya 96,2% absorbansi mempengaruhi log jumlah sel. Dengan persamaan tersebut, maka dapat diketahui log jumlah sel S. cerevisiae pada berbagai absorbansi (Lampiran 5b). 45 B. Pengaruh Konsentrasi Inokulum terhadap Kadar Alkohol, Kadar Gula Pereduksi dan pH pada Hasil Fermentasi Alkohol 1. Kadar Alhokol Tertinggi Berdasarkan hasil uji pendahuluan, diketahui bahwa kadar H2SO4 terbaik adalah 0,5% (v/v), sehingga pada penelitian utama proses hidrolisis dilakukan menggunakan larutan H2SO4 0,5% (v/v). Hidrolisat yang diperoleh langsung difermentasi selama enam hari. Parameter yang diukur selama fermentasi yaitu kadar alkohol, kadar gula pereduksi, dan pH. Pengukuran parameter tersebut dilakukan setiap dua hari sekali. Sebelum dilakukan fermentasi, hidrolisat tersebut diatur keasamannya pada pH 5 dan semua perlakuan ditambahkan gula awal 5% (v/v) dan disimpan dalam inkubator pada kisaran suhu 28-300C. Kadar gula awal, pH, dan suhu inkubasi diatur demikian, kerena sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan S. cerevisiae, mikroba yang digunakan dalam penelitian ini. Keasaman ini diatur pada pH 5 karena merupakan pH yang baik pertumbuhan S. cerevisiae dalam fermentasi alkohol. Penambahan gula awal berfungsi sebagai sumber karbon S. cerevisiae untuk lebih cepat menyesuaikan diri terhadap medium kompleks, sehingga biomassa sel dapat bertambah. Suhu inkubator tidak selalu tepat dan berkisar pada suhu 28-300C, namun hal ini tidak mempengaruhi S. cerevisiae karena mikroba ini dapat tumbuh optimum pada kisaran suhu tersebut (Hidayat et al., 2006). Analisis hasil dari penelitian ini terdapat pada Tabel 4.3 yang meliputi hasil rata-rata kadar alkohol, kadar gula pereduksi, dan pH. 46 Tabel 4.3. Rata-rata Kadar Alkohol, Kadar Gula Pereduksi dan pH dengan konsentrasi inokulum 0%, 1%, 3%, 5%, 7% (v/v), Inkubasi selama enam hari Konsentrasi Inokulum (%) 0 1 3 5 7 Kadar Alkohol (%) Kadar Gula Pereduksi (µg/ml) pH Hari ke- Hari ke- Hari ke- 0 2 4 6 0,00 ±0,00 0,00 ±0,00 0,00 ±0,00 0,00 ±0,00 0,00 ±0,00 7,31 ±0,98 19,22 ±1,21 17,05 ±1,27 19,94 ±1,61 18,68 ±1,17 9,47 ±0,11 18,14 ±1,48 19,58 ±0,98 21,38 ±0,98 22,47 ±1,56 10,92 ±0,98 18,50 ±1,02 23,91 ±1,87 22,29 ±1,17 23,73 ±2,35 0 2 4 6 0 2 4 6 129,39 161,92 167,15 151,46 5,00 4,60 4,00 4,00 129,39 180,60 148,47 99,91 5,00 4,60 4,00 4,00 129,39 177,61 146,98 119,33 5,00 4,00 4,20 4,20 129,39 167,89 135,02 84,22 5,00 4,00 4,20 4,60 129,39 174,62 132,78 90,20 5,00 4,20 4,60 4,40 Waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu selama enam hari, merupakan waktu yang umum digunakan dalam fermentasi sampah organik menjadi alkohol (Kusnadi et al., 2009). Tabel 4.3 menunjukan kadar alkohol, gula pereduksi, dan pH selama enam hari pengamatan dengan konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, 1%, 3%, 5%, dan 7% (v/v). Secara umum, selama enam hari inkubasi, rata-rata kadar etanol mengalami peningkatan dari hari ke-2 hingga hari ke-6, sedangkan kadar gula pereduksi dan pH mengalami penurunan. Pada konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, yang merupakan perlakuan kontrol juga terdapat alkohol sebesar 7,31-10,92 %. Kadar alkohol pada kontrol ini dapat dikatakan cukup tinggi, seharusnya pada perlakuan kontrol tidak terdapat alkohol, karena tidak diinokulasikan S. cerevisiae yang menguraikan substrat. Kadar alkohol yang terdapat pada kontrol diduga merupakan produk mikroba pengurai selain S. cerevisiae. Mikroba tersebut dapat berasal dari alat-alat yang digunakan pada saat pengambilan sampel hasil fermentasi, kontaminasi pada alat penelitian bisa terjadi karena di lingkungan sekitar banyak terdapat jasad-jasad renik. 47 Menurut Pelczar dan Chan (2005), bahwa beberapa jasad renik dari lingkungan bisa masuk ke dalam substrat selama penanganan, pengolahan, dan penyimpanan. Pernyataan tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian ini, terjadi kontaminasi pada substrat fermentasi diduga karena adanya jasad renik yang terbawa melalui alat penelitian, walaupun sudah diupayakan untuk meminimalkan kontaminasi. Menurut Setyowati (2008) bahwa terdapat mikroba pengurai pada limbah organik yaitu seperti Actinomycetes, bakteri Selulotik, dan bakteri Proteolitik. Dugaan adanya mikroba pengurai pada kontrol pjuga ditandai dengan pengurangan kadar gula pereduksi dan perubahan pH. Pada perlakuan S. cerevisiae 1%, 3%, 5%, dan 7% benar-benar terdapat etanol, namun pada kontrol belum tentu terdapat etanol, bisa saja merupakan alkohol jenis lain selain etanol. Jenis alkohol pada kontrol tidak dapat ditentukan karena tidak diuji dengan GCMS. Pada konsentrasi inokulum S. cerevisiae 1%, 3%, 5%, dan 7%, kadar akohol tetap mengalami peningkatan. Produksi alkohol yang terus meningkat mengindikasikan bahwa S. cerevisiae dalam fase logaritmik, karena pada fase ini sel aktif melakukan metabolisme dan sintesis bahan sel sangat cepat sehingga menghasilkan metabolit berupa etanol (Pelczar dan Chan, 2006). Peningkatan kadar alkohol yang diproduksi oleh S. cerevisiae disebabkan karena masih tersedianya substrat yang dikonversi menjadi alkohol. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pramanik (2003) bahwa untuk fermentasi alkohol, substrat harus memiliki konsentrasi kadar gula pereduksi minimal sebesar 50 µg/ml. Artinya konsentrasi gula pereduksi yang digunakan dalam penelitian ini masih sesuai dengan kondisi tumbuh S. cerevisiae, dapat dilihat pada tabel 4.3 48 kadar gula pereduksi yang tersedia paling rendah sebesar 84,22 µg/ml pada hari ke-6 fermentasi. Oleh karena itu, kadar alkohol terus mengalami peningkatan hingga hari ke-6 fermentasi. Pada proses fermentasi alkohol, glukosa merupakan sumber karbon dan sumber energi utama bagi khamir. Dalam fermentasi alkohol satu molekul glukosa hanya dapat menghasilkan 2 molekul ATP. Secara singkat reaksi tersebut berlangsung melalui jalur glikolisis yaitu pemecahan gula (C6H12O6) menjadi asam piruvat, kemudian terjadi dekarboksilasi asam piruvat menjadi asetaldehid dengan bantuan enzim piruvat dekarboksilase. Tahap akhir yaitu perubahan asetaldehid menjadi alkohol (etanol) oleh enzim alkohol dehidrogenase (Zhang et al., 1995). Pada penelitian ini kadar alkohol tertinggi dihasilkan pada hari ke-6. Hal ini sesuai pernyataan Effendi dalam Budhiutami (2010), bahwa semakin lama fermentasi, kadar alkohol yang dihasilkan akan meningkat dan mencapai keadaan yang optimun sebelum mengalami penurunan. Waktu fermentasi yang optimum pada kulit buah kakao ini diperoleh pada hari ke-6 dengan kadar alkohol rata-rata sebesar 23,73%, hasil ini didukung oleh hasil pengolahan statistik (Lampiran 8), bahwa hari ke-6 memiliki selisih terbesar bila dibandingkan dengan hari ke-0, 2, dan 4 dan perbedaannya pun signifikan, dapat dilihat dari kolom Sig. pada tabel yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%. 49 2. Konsentrasi Inokulum Saccharomyces cerevisiae Optimum Pada proses fermentasi digunakan mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae, mikroba ini memiliki daya konversi sangat tinggi dalam mengubah gula menjadi etanol (Taherzadeh dan Karimi, 2007). Waktu yang diperlukan untuk mencapai hasil optimal pada fermentasi ini adalah enam hari. Rata-rata kadar alkohol dengan konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, 1%, 3%, 5%, dan 7% (v/v) setelah pengamatan selama enam hari hari terdapat pada Gambar 4.3. 30 Kadar Alkohol (%) 25 20 S. cerevisiae 0 % 15 S. cerevisiae 1 % 10 S. cerevisiae 3 % 5 S. cerevisiae 5 % S. cerevisiae 7 % 0 Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-6 Lama Fermentasi Gambar 4.3 Rata-rata Kadar Alkohol Selama Enam Hari Pengamatan Bertambah besarnya waktu inkubasi yang digunakan pada proses fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kenaikan produksi alkohol yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.3, bahwa masingmasing konsentrasi S. cerevisiae, kadar akohol terus meningkat dengan semakin lamanya fermentasi. Semua variasi konsentrasi inokulum menghasilkan etanol dalam jumlah yang berbeda. Konsentrasi inokulum S. cerevisiae yang menghasilkan alkohol tertinggi yaitu pada 7%. Hasil ini sesuai dengan pernyataan 50 Ajuzie dan Atuanya (2009), bahwa konsentrasi inokulum sangat mempengaruhi produksi etanol. Konsentrasi inokulum yang rendah akan memperlambat proses penggunaan glukosa dalam substrat sehingga jumlah alkohol yang dihasikan sedikit. Berbeda halnya dengan penggunaan inokulum dalam konsentrasi tinggi, akan terjadi persaingan dalam memperoleh sumber karbon sehingga berpengaruh terhadap jumlah metabolit primer (alkohol) yang dihasilkan. Alkohol yang dihasilkan bisa dalam jumlah yang banyak ataupun sedikit, karena produksi etanol juga dipengaruhi oleh suhu, pH, dan substrat. Hidrolisat yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan digunakan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi untuk menghasilkan etanol. Pada penelitian ini fermentasi dilakukan oleh S. cerevisiae, sehingga diperlukan kondisi konsentrasi inokulum yang optimum agar perombakan glukosa menjadi etanol dapat berlangsung dengan baik. Hasil pada Gambar 4.3 menujukkan bahwa konsentrasi S. cerevisiae 7 % merupakan konsentrasi yang optimum menghasilkan kadar alkohol terbanyak, hasil ini didukung oleh pengujian statistik (Lampiran 8). Hasil tersebut menunjukkkan konsentrasi S. cerevisiae 7 % memiliki selisih paling besar bila dibandingkan dengan konsentrasi inokulum lainnya dan perbedaannya pun signifikan, dapat dilihat dari kolom Sig. pada tabel yang bernilai 0.000 dan nilai tersebut kurang dari taraf signifikansi penelitian yaitu 5%. 3. Kadar Gula Pereduksi Pengukuran kadar gula peduksi dilakukan dengan metode SomogyiNelson (Somogyi, 1952). Rata-rata kadar gula pereduksi dengan konsentrasi 51 inokulum S. cerevisiae 0%, 1%, 3%, 5%, dan 7% (v/v) setelah pengamatan selama enam hari dapat dilihat pada Gambar 4.4. Kadar Gula Pereduksi (µg/ml) 200 150 S. cerevisiae 0% 100 S. cerevisiae 1% 50 S. cerevisiae 3% S. cerevisiae 5% 0 1 2 3 4 S. cerevisiae 7% Lama Fermentasi (Hari ke-) Gambar 4.4 Rata-rata Kadar Gula Pereduksi Selama Enam hari Pengamatan Pengukuran ini dilakukan untuk melihat kecenderungan pengurangan glukosa yang dikonversi menjadi alkohol oleh S. cerevisiae. Pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.4 menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi mengakibatkan nilai rata-rata gula pereduksi yang diukur menggunakan metode Somogyi-Nelson mengalami penurunan. Penurunan kadar gula pereduksi pada substrat selama fermentasi mengindikasikan adanya penggunaan glukosa oleh S. cerevisiae. Glukosa merupakan sumber karbon utama dan adanya penyerapan glukosa ini menyebabkan penurunan kadar glukosa turun selama fermentasi. Gula pereduksi mengalami peningkatan pada hari ke-2. Peningkatan kadar gula ini terjadi akibat masih adanya peristiwa hidrolisis pada subsrat, hal ini diketahui bahwa substart awal masih memiliki pH yang rendah yaitu pH 1, pH yang demikian menunjukkan bahwa pada substrat masih ada kandungan H2SO4. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Taherzadeh dan Karimi (2007), bahwa hidrolisis asam akan menghasilkan hidrolisat yang cukup asam dan bisa meningkatkan kadar gula 52 preduksi karena aktivitas asam terus memecah ikatan glikosidik pada selulosa dan hemiselulosa. Gula pereduksi pada hari ke-2 hingga hari ke-6 mengalami penurunan diikuti dengan meningkatnya kadar alkohol yang dihasilkan, hal ini mengindikasikan bahwa gula tersebut diubah menjadi alkohol oleh S. cerevisiae, seperti yang dinyatakan oleh Pelczar dan Chan (2006) bahwa penurunan kadar gula ini disebabkan karena digunakan untuk pertumbuhan dan membentuk metabolit primer berupa alkohol. Penurunan kadar gula pereduksi ini terjadi pada semua konsentrasi inokulum yakni 1%, 3%, 5% dan 7% (v/v). Indikasi penggunaan gula pereduksi menjadi alkohol oleh S. cerevisiae didukung oleh hasil uji korelasi (Lampiran 8). Nilai korelasi antara kadar alkohol dan kadar gula adalah sebesar -0.394. Tanda negatif menunjukkan terdapatnya hubungan yang berbanding terbalik antara kadar alkohol dan kadar gula. Angka korelasi tersebut adalah signifikan, dapat dilihat dari nilai sig. pada tabel yaitu 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%. 4. pH Medium Derajat keasaman (pH) larutan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses fermentasi. Menurut Hidayat et al., (2006), pH yang baik untuk fermentasi alkohol yaitu berlangsung pada pH 4-5. Perubahan pH selama proses fermentasi disebabkan oleh adanya asam-asam tertentu. Keasaman larutan disebabkan karena pengaruh pembentukan produk oleh S. cerevisiae yaitu karbondioksida, dan disebabkan oleh asam-asam yang merupakan produk samping fermentasi etanol seperti asam asetat dan asam piruvat. Adanya asam 53 tersebut karena sebagian S. cerevisiae tidak mengkonversi asam piruvat menjadi etanol, sehingga asam akan terakumulasi dan menambah keasaman larutan (Rhem dan Reed dalam Didu, 2010). . Rata-rata pH larutan dengan konsentrasi inokulum S. cerevisiae 0%, 1%, 3%, 5%, dan 7% (v/v) setelah pengamatan selama enam hari hari terdapat pada pH Gambar 4.5. 5 4.6 4.2 3.8 3.4 3 S.cerevisiae 0% S.cerevisiae 3% S.cerevisiae 5% S.cerevisiae 7% Hari ke-0 Hari ke-2 Hari ke-4 Hari ke-6 S.cerevisiae 1% Lama Fermentasi Gambar 4.5 Rata-rata pH Selama Enam hari Pengamatan Gambar 4.5 menunjukkan bahwa selama proses fermentasi berlangsung keasaaman larutan semakin bertambah ditandai dengan penurunan nilai pH. Pada hari ke-0, pH larutan dikondisikan sama yaitu pada pH 5, namun sejalan dengan bertambahnya waktu fermentasi pH larutan menurun pada kisaran 4,6-4,0. Perubahan pH ini disebabkan oleh pembentukan produk yaitu karbondiosida (CO2), yang merupakan produk fermentasi selain alkohol. Dalam larutan uji, CO2 yang dihasilkan akan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (H2CO3). Semakin banyak CO2 yang dihasilkan, maka H2CO3 yang terbentuk juga semakin tinggi. H2CO3 bisa membentuk asam bikarbonat dan melepas ioh H+, tingginya ion H+ yang dihasilkan dapat mempengaruhi keasaman larutan uji ditandai dengan penurunan pH (Poedjiadi dan Supriyanti, 2006). 54 Penurunan pH pada semua perlakuan didukung oleh kadar alkohol yang dihasilkan. Pada proses fermentasi, mol alkohol yang dihasilkan berjumlah sama dengan mol CO2, apabila alkohol yang dihasilkan dalam kadar yang banyak, maka CO2 yang dihasilkan akan meningkat, gas ini akan mempengaruhi penurunan pH. Tabel 4.3 menunjukkan bahwa rata-rata kadar alkohol tertinggi dihasilkan pada konsentrasi inokulum S. cerevisiae 7% dengan rata-rata pH 4,4. Penurunan pH ini tidak sebanding dengan rata-rata pH 4 pada larutan kontrol, karena pada kontrol tidak diinkubasikan S. cerevisiae dan seharusnya pH larutan tidak mengalami perubahan. Perbedaan hasil ini diduga karena adanya mikroba pengurai yang berasal dari lingkungan sekitar. Hasil ini menerangkan bahwa pH berbanding terbalik dengan kadar alkohol yaitu ditunjukkan oleh hasil uji korelasi (Lampiran 8). Nilai korelasi antara kadar alkohol dan pH adalah sebesar -0,545. Tanda negatif menunjukkan terdapatnya hubungan yang berbanding terbalik antara kadar alkohol dan pH. Angka korelasi tersebut adalah signifikan, dapat dilihat dari nilai sig. pada tabel yaitu 0,000 lebih kecil dari taraf signifikansi penelitian ini yaitu 5%. 5. Hubungan antara Kadar Gula Pereduksi, pH, dan Kadar Alkohol Berdasarkan kondisi optimum fermentasi yaitu pada konsentrasi inokulum Saccharomyces cerevisiae 7% dengan lama fermentasi enam hari, dibuat grafik hubungan antara kadar gula pereduksi, pH, dan kadar alkohol seperti pada Gambar 4.6 berikut : 55 Gambar 4.6 Hubungan antara Kadar Gula Pereduksi, pH, dan Kadar Alkohol Pada umumnya proses fermentasi alkohol berlangsung melalui jalur glikolisis yaitu penggunaan gula (C6H12O6) untuk membentuk etanol dan karbondioksida. Pembentukan kedua senyawa ini dipengaruhi oleh kadar gula pereduksi yang digunakan oleh khamir. Gambar 4.6, menunjukkan bahwa kadar gula pereduksi berbanding terbalik dengan kadar alkohol, penurunan kadar gula pereduksi diikuti oleh peningkatan kadar alkohol. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa gula pereduksi digunakan oleh Saccharomyces cerevisiae untuk membentuk metabolit primer, dalam hal ini etanol. Hubungan berbanding terbalik didukung oleh nilai korelasi antara kadar gula pereduksi dan kadar alkohol sebesar -0,394 (Lampiran 8). 56 Produksi etanol oleh S. cerevisiae dapat mempengaruhi keasaaman substrat fermentasi. Berdasarkan Gambar 4.6, bahwa semakin tinggi kadar alkohol menyebabkan pH menurun, hal tersebut menunjukkan adanya hubungan berbanding terbalik didukung oleh nilai korelasi sebesar -0,545 (Lampiran 8). Hubungan antara kadar gula pereduksi dan pH menunjukkan hubungan berbanding lurus dengan nilai korelasi 0,073 (Lampiran 8). Penurunan kadar gula pereduksi diikuti dengan penurunan pH. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Pramanik (2003), bahwa penurunan kadar gula pereduksi diikuti oleh penambahan keasaaman substrat atau nilai pH semakin menurun. C. Hasil Pengujian Skala Pilot plan Pada penelitian fermentasi alkohol dari kulit buah kakao ini menunjukkan bahwa dengan dilakukan rekayasa bioproses seperti pengaturan konsentrasi inokulum Saccharomyces cerevisiae dan lama fermentasi menghasilkan etanol dengan produktivitas tinggi (alkohol yang dihasilkan tinggi) dan efisiensi yang tinggi ditandai dengan rendahnya kadar gula pereduksi pada hari terakhir fermentasi. Kondisi optimum dihasilkan pada konsentrasi inokulum S. cerevisiae 7% dengan lama fermentasi selama enam hari 1. Destilasi Substrat hasil proses fermentasi dipisahkan dengan cara disaring dan dimasukkan ke dalam labu dasar bulat kemudian didestilasi selama 5 jam (Ardi, 2009). Menurut Ajuzie dan Atuanya (2009), destilasi merupakan proses 57 pemisahan komponen berdasarkan titik didihnya, titik didih etanol murni sebesar 78,50C, sedangkan titik air adalah 1000C. Dengan pemanasan larutan pada rentang suhu 78-1000C akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan destilat. Dari hasil destilasi diperoleh destilat sebesar 87,6 ml dari 1 liter substrat. 2. Uji Gas Chromatograph-Mass Spectrometry (GC-MS) Untuk mengetahui kadar alkohol dalam destilat perlu dilakukan uji GCMS (Gas Chromatograph-Mass Spectrometry). GCMS merupakan alat yaang digunakan untuk pemisahan, alalisis kuantitatif, dan identifikasi jenis senyawa. Fase pembawa dari GCMS nerupa gas He. Untuk zat yang diuji dapat berbentuk cair maupaun gas, sampel GC yang digunakan harus mudah menguap sedangkan MS tidak memerlukan standar khusus. Supaya dapat menjadi gas, sampel dipanaskan dalam suhu tinggi sehingga akan bersatu dengan gas pembawa untuk masuk ke dalam kolom. GC berfungsi untuk memisahkan senyawa-senyawa yang ada pada sampel. Setelah zat terpisah kemudian akan masuk ke dalam MS, dan setiap puncaknya akan diidentifikasi untuk menentukan struktur senyawa tersebut (Surtikanti, 2009). Menurut Nurdyastuti (2008), bioetanol yang digunakan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan harus benar-benar kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga bioetanol harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% volume. Oleh karena itu, bioetanol hasil destilasi harus ditambahkan suatu bahan yang dapat menyerap atau menarik kandungan air yang masih terdapat dalam 58 bioetanol, bahan yang sering digunakan diantaranya yaitu, CaCO3, dan zeolit atau dilakukan destilasi vakum, sehingga dapat dihasilkan bioetanol yang lebih murni yang dapat dijadikan sebagai bahan bakar. Hasil uji GC-MS dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut : Tabel 4.4 Senyawa Hasil Uji GCMS No. Senyawa Hasil GCMS Kadar (%) 1. Etanol 74,944 2. Propanol 1,401 3. Etana 0,729 4. Isoamilalkohol 22,682 5. Asam Heksanoid 0,096 6. Asam Oktanoid 0,149 Berdasarkan Tabel 4.4, bahwa ditemukan enam senyawa pada destilat kulit buah kakao. Senyawa yang ditemukan terdiri dari kelompok alkohol (etanol, propanol, dan isoamilakohol), kelompok asam (asam heksanoid dan oktanoid), serta gas etana. Senyawa tersebut memiliki kadar yang berbeda-beda, total keberadaan kelompok alkohol sebesar 99,027%, sisanya merupakan senyawa lain sebesar 0,973%. Keberadaan senyawa yang ditemukan pada hasil fermentasi kulit buah kakao, didukung oleh hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Berovic et al., (2003) yang menemukan senyawa etanol, propanol, butanol dan isoamilalkohol pada fermentasi anggur. Menurut Schure et al., (1998) etanol, propanol, isoamilalkohol merupakan hasil metabolit dari S. cerevisiae yang 59 dibentuk melalui jalur metabolisme yang berbeda. Etanol diproduksi melalui jalur EMP, sedangkan isoamilalkohol dan propanol dihasilkan melalui jalur Ehrlich (Hazalwood, 2008). Asam heksanoind dan oktanoid merupakan produk lain yang dihasilkan oleh S. cerevisiae, namun kadarnya sangat rendah (dianggap tidak ada). Dari penelitian skala pilot ini, dapat dikatakan bahwa kulit buah kakao berpotensi menghasilkan bioetanol. Selain dari hasil GCMS, adanya etanol pada sampel ditunjukan oleh uji nyala yang telah dilakukan (Lampiran 13). Kondisi nyala yang dihasilkan didukung oleh pernyataan Nurdyastuti (2008), bahwa pada kadar 60-70% alkohol bisa menyala namum warna api masih merah, tidak berwarna biru seperti bahan bakan berkadar 80-100%.