EFEK PEMBERIAN SERBUK KUNYIT, BAWANG PUTIH DAN MINERAL ZINK TERHADAP PROTEIN TOTAL, ALBUMIN DAN GLOBULIN PADA AYAM BROILER HERLINA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 EFEK PEMBERIAN SERBUK KUNYIT, BAWANG PUTIH DAN MINERAL ZINK TERHADAP PROTEIN TOTAL, ALBUMIN DAN GLOBULIN PADA AYAM BROILER HERLINA B04104073 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK HERLINA. Efek Pemberian Serbuk Kunyit, Bawang Putih dan Mineral Zink Terhadap Protein Total, Albumin dan Globulin Pada Ayam Broiler. Dibimbing oleh SUS DERTHI WIDHYARI dan ANITA ESFANDIARI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian serbuk kunyit, bawang putih dan mineral zink (Zn) terhadap kadar protein total, albumin dan globulin plasma pada ayam broiler. Penelitian ini menggunakan ayam umur sehari (day old chick) sebanyak 100 ekor. Ayam dipelihara selama 6 minggu dan dibagi secara acak ke dalam 5 perlakuan, yaitu R0: pakan basal (kontrol); R1: pakan basal + serbuk bawang putih 2.5% + serbuk kunyit 1.5%; R2: pakan basal + serbuk bawang putih 2.5% + ZnO 120 ppm; R3: pakan basal + serbuk kunyit 1.5% + ZnO 120 ppm; R4: pakan basal + serbuk bawang putih 2.5% + serbuk kunyit 1.5% + ZnO 120 ppm. Pengambilan sampel darah dilakukan pada saat ayam berumur 3 dan 6 minggu. Pemeriksaan terhadap protein total, albumin dan globulin menggunakan plasma darah yang mengandung antikoagulan ethylene diamine tetra acetate (EDTA). Protein total diperiksa dengan metode Biuret dan albumin dengan metode Bromcresol Green. Konsentrasi globulin ditentukan dengan mengurangkan secara langsung konsentrasi protein total dengan konsentrasi albumin. Rasio albumin - globulin (A/G) merupakan konsentrasi albumin dibagi dengan konsentrasi globulin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein total dan globulin pada umur 6 minggu cenderung lebih tinggi dibandingkan umur 3 minggu. Pemberian serbuk kunyit 1.5% dan mineral ZnO 120 ppm mampu meningkatkan kadar albumin ayam broiler pada umur 3 minggu. Pemberian serbuk bawang putih 2.5% dan mineral ZnO 120 ppm mampu meningkatkan kadar globulin ayam broiler. LEMBAR PENGESAHAN Judul : Efek Pemberian Serbuk Kunyit, Bawang Putih dan Mineral Zink Terhadap Protein Total, Albumin dan Globulin Pada Ayam Broiler Nama : Herlina NIM : B04104073 Disetujui Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, MSi Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi Pembimbing I Pembimbing II Diketahui Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH IPB Tanggal Lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Makale, Tana Toraja pada tanggal 20 September 1986 dari pasangan Bapak Marthen Pamasi dan Ibu Agnes Ruruk. Penulis merupakan putri bungsu dari dua bersaudara (Herlan Pamasi). Tahun 1998 penulis lulus dari SD Negeri 113 Tiromanda dan melanjutkan pendidikan di SLTP Katolik Makale dan lulus pada tahun 2001. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri I Makale dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif diberbagai kepanitiaan dan organisasi. Organisasi yang diikuti oleh penulis adalah Himpunan dan Minat Profesi (HIMPRO) Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (HKSA), Persekutuan Fakultas (PF) Kedokteran Hewan IPB, dan OMDA Ikatan Pemuda Toraja Bogor (IPTOR). KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Efek Pemberian Serbuk Kunyit, Bawang Putih dan Mineral Zink Terhadap Protein Total, Albumin dan Globulin Pada Ayam Broiler. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang mendukung hingga terselesaikannya tugas akhir ini, khususnya kepada: 1. Orang tua tercinta: Ayahanda Marthen Pamasi dan Ibunda Agnes Ruruk, Kakak Herlan yang senantiasa memberikan perhatian, doa, kasih sayang, bimbingan, saran, dukungan semangat, kepercayaan dan kesabaran selama hidup penulis. 2. Dr. drh. Sus Derthi Widhyari, MSi dan Dr. drh. Anita Esfandiari, MSi selaku dosen pembimbing atas segala bantuan saran, motivasi dan diskusi yang diberikan. 3. Dr. drh. Gunanti, MS selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing, mengarahkan dan memberikan motivasi selama penulis menjadi mahasiswa. 4. Dr. drh. Sri Murtini, MSi selaku dosen penguji yang telah bersedia meberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini. 5. drh. Endang Rahman, MS selaku dosen penilai yang telah meberikan saran demi kesempurnaan skripsi ini. 6. Ibu Sri Purwanti, MSi atas segala bantuan dan arahannya. Teman - teman penelitian Wahyu, Bagus, Kanda, Eka-popon, Ulil, Upik, M’Ratna dan Ami atas segala kerjasama dan bantuannya. 7. Sahabat dan teman - teman (Ina, Ai, Vonti, Rita, Sio, Nova, Uya, Elsi, Erlina, Asri, Monez, Loreng, Teteq) untuk segala bantuan, kebersamaan, doa dan dukungannya selama ini. Seluruh Asteroidea’41, teman - teman di Griya Agriyanti, PF-FKH dan IPTOR (Nining, Obed, Dian, Anni, K’Lady, K’Jun, K’Evi, K’Asman). 8. Seluruh keluarga di Panaikang, Maros, Jakarta dan Toraja atas dukungan, doa dan bantuannya. 9. Bapak Jajat di Lab. Patologi Klinik dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan. Bogor, September 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………….. ix DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..... x DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xi PENDAHULUAN Latar Belakang……………………………………………………………... 1 Tujuan Penelitian…………………………………………………………... 2 Manfaat Penelitian…………………………………………………………. 2 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler………………………………………………………………. 3 Kunyit (Curcuma domestica Val.)…………………………………………. 4 Bawang Putih (Allium sativum Linn.)……………………………………... 6 Zink………………………………………………………………………… 8 Darah………………………………………………………………………. 10 Plasma Darah………………………………………………………….... 12 Protein Plasma…………………………………………………………... 13 Albumin ………………………………………………………………... 16 Globulin………………………………………………………………… 17 MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian……………………………………………... 20 Materi Penelitian Hewan Coba…………………………………………………………….. 20 Kandang dan Peralatan…………………………………………………. 20 Perlakuan Kunyit dan Bawang Putih………………………………….... 20 Ransum………………………………………………………………….. 21 Pakan dan Vaksinasi……………………………………………………. 22 Metode Penelitian Perlakuan Ransum………………………………………………………. 22 Pengambilan Sampel Darah…………………………………………….. 22 Pemeriksaan Protein Total, Albumin dan Globulin…………………….. 23 Analisis Data……………………………………………………………….. 24 HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Protein Total………………………………………………………... 25 Kadar Albumin…………………………………………………………….. 28 Kadar Globulin…………………………………………………………….. 30 Rasio Albumin - Globulin (A/G)…………………………………………... 32 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan………………………………………………………………… 35 Saran……………………………………………………………………….. 35 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………… 36 LAMPIRAN…………………………………………………………………... 40 DAFTAR TABEL Halaman 1 Komposisi ransum penelitian…………………………………………..... 21 2 Rataan kadar protein total plasma ayam broiler umur 3 dan 6 minggu yang diberi perlakuan ransum…………………………………………………………………… 25 3 Rataan kadar albumin plasma ayam broiler umur 3 dan 6 minggu yang diberi perlakuan ransum…………………………………………………. 28 4 Rataan kadar globulin plasma ayam broiler umur 3 dan 6 minggu yang diberi perlakuan ransum…………………………………………………. 30 5 Rasio albumin - globulin (A/G) ayam broiler umur 3 dan 6 minggu yang diberi perlakuan ransum…………………………………………………. 33 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kunyit (Curcuma domestica Val.)……………………………………….. 5 2 Bawang putih (Allium sativum Linn.)……………………………………. 7 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis data rataan kadar protein total, albumin dan globulin ayam broiler umur 3 minggu…............................................................................ 40 2 Analisis data rataan kadar protein total, albumin dan globulin ayam broiler umur 6 minggu…………………………………………………… 42 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang dengan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Namun hal ini tidak diikuti oleh kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan dengan nilai gizi yang baik. Rendahnya konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia per kapita per tahun disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterbatasan ekonomi. Kualitas pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia akan menentukan tingkat petumbuhan fisik termasuk kecerdasan sumber daya manusia. Konsumsi daging masyarakat Indonesia sebesar 7.10 kg per kapita per tahun, konsumsi telur 3.48 kg per kapita per tahun dan konsumsi susu 6.50 kg per kapita per tahun (Anonimus 2008). Hal ini mendorong pemerintah dan kalangan terkait untuk meningkatkan kesadaran masyarakat serta menyediakan bahan pangan, termasuk protein yang memiliki kualitas dan kuantitas yang baik. Salah satu sumber protein hewani yang memiliki nilai gizi yang baik dan memiliki nilai ekonomis sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat adalah produk asal ayam. Dunia perunggasan di Indonesia saat ini berusaha untuk bangkit dari keterpurukan akibat wabah flu burung. Selain flu burung, peternak juga sering diresahkan oleh penyakit unggas yang lain seperti koksidiosis, gumboro, tetelo, dan marek. Usaha para peternak dalam mengatasi masalah yang muncul di peternakan adalah dengan menggunakan senyawa - senyawa kimia misalnya antibiotik. Penggunaan senyawa kimia tersebut akan menurunkan kualitas produksi ternak dan memberikan efek yang buruk bagi konsumen karena mengandung residu. Oleh sebab itu diperlukan alternatif lain yang mampu mengatasi masalah tersebut dan aman bagi konsumen. Salah satu alternatif yang saat ini dikembangkan adalah penggunaan bahan - bahan alami seperti herbal. Penggunaan herbal di dunia peternakan memberikan manfaat ekonomis karena relatif murah, mudah diperoleh dan aman. Salah satu contoh herbal yang memiliki efek farmakologis adalah kunyit dan bawang putih. Penggunaan herbal kunyit dan bawang putih secara tunggal telah banyak dilakukan, akan tetapi penggunaan dengan mengkombinasikan kedua herbal tersebut dengan mineral zink belum ada penelitian yang melaporkan. Penggunaan kombinasi herbal kunyit dan bawang putih dengan mineral zink merupakan salah satu usaha yang diharapkan mampu meningkatkan status kesehatan pada unggas, sehingga kejadian penyakit dapat dihindari dan kerugian yang ditimbulkan dapat ditekan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek pemberian bawang putih, kunyit dan mineral zink di dalam ransum terhadap status kesehatan ayam brolier. Status kesehatan dapat dilihat dari berbagai aspek, salah satunya adalah melihat kadar protein plasma terutama albumin dan globulin (Walker et al. 1990). Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek pemberian serbuk kunyit, bawang putih dan mineral zink terhadap kadar protein total, albumin dan globulin pada ayam broiler. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi tentang gambaran protein total, albumin dan globulin ayam broiler setelah pemberian serbuk kunyit, bawang putih dan mineral zink pada ayam broiler. TINJAUAN PUSTAKA Ayam Broiler Budidaya unggas tercatat sejak tahun 1000 SM di India. Unggas domestik diklasifikasikan ke dalam empat ordo yaitu Corinitae (unggas bertulang lunas), Anseriformes (itik dan angsa), Galliformes ( ayam, kalkun, ayam mutiara, dan burung kuau), serta Columbiformes (burung tekukur dan merpati). Ordo Galliformes misalnya ayam broiler memiliki peranan yang besar dalam dunia ekonomi (Amrullah 2004). Ayam broiler (ayam pedaging) dikembangkan sejak 50 tahun silam. Peternakan broiler di Indonesia baru berkembang pada tahun 1979 (Amrullah 2004). Broiler merupakan ayam ras yang memiliki keunggualan berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan ayam buras. Ayam jenis ini merupakan hasil budidaya teknologi peternakan melalui berbagai perkawinan silang dan seleksi yang rumit yang diikuti dengan upaya perbaikan manajemen pemeliharaan secara terus menerus (Abidin 2002). Broiler juga dikenal dengan sebutan ’’Rock Chornish’’ karena berasal dari persilangan antara galur White Cornish jantan dengan betina galur Barred Rock dengan ciri khas berbulu putih dan tidak memiliki naluri untuk bertarung. Hasil persilangan tersebut mulai diperkenalkan pada tahun 1930-an. Broiler yang berkembang saat ini merupakan generasi ketiga hasil persilangan ulang antara Cornish x Rock hybrid (Leeson dan Summers 2000). Performa ayam broiler berbeda menurut tempat dimana ayam broiler tersebut dipelihara. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan ketinggian atau suhu lingkungan sekitar kandang. Broiler memiliki sistem perasa berupa gustative atau taste buds untuk mengenali rasa makanannya, namun indra penciuman (olfactory system) tidak berkembang (Amrullah 2004). Broiler memiliki karakteristik ekonomi dengan ciri khas pertumbuhan cepat, sebagai penghasil daging dengan konversi pakan yang rendah dan siap dipotong pada usia yang relatif muda. Pada umumnya broiler siap dipanen pada usia 35 - 45 hari dengan bobot badan antara 1.2 - 1.9 kg/ekor (Priyatno 2003). Dalam kurun waktu 6 - 7 minggu ayam broiler akan tumbuh 40 - 50 kali dari bobot awal dan pada minggu terakhir broiler tumbuh 50 - 70 g/hari. Kekurangan pada ayam broiler adalah banyaknya struktur perlemakan pada serat - serat daging dan sangat rentan terhadap penyakit (Amrullah 2004). Kunyit (Curcuma domestica Val.) Kunyit merupakan salah satu tanaman rempah dan obat asli dari Asia Tenggara. Pusat penyebaran di daerah Semenanjung Melayu, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, kemudian menyebar ke India, Australia, Cina, Kepulauan Salomon, Haiti, Pakistan, Taiwan, Jamaika bahkan Afrika (Winarto 2003). Tanaman ini awalnya diperkenalkan ke dunia pengetahuan dengan nama Curcuma longa. Pada tahun 1918, Valenton mengusulkan nama baru yaitu Curcuma domestica (Purseglove et al. 1981). Kata Curcuma berasal dari bahasa Arab yaitu ’’kurkum” dan bahasa Yunani ’’karkom” yang berarti kuning. Pada tahun 77 - 78 SM, Dioscarides menyebut tanaman ini sebagai cyperus yang menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, sedikit pedas dan tidak beracun. Tanaman ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya India, Cina Selatan, Taiwan, Indonesia khususnya Pulau Jawa, dan Filipina (Darwis et al. 1991). Dalam taksonomi tumbuhan menurut Winarto (2003), kunyit dikelompokkan sebagai: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma Spesies : Curcuma domestica Val. Kunyit merupakan tanaman semak yang berumur musiman yang memiliki ciri khas tumbuh berkelompok membentuk rumpun. Tinggi tanaman antara 40 100 cm. Tumbuhan ini tidak berbulu, batang pendek berupa batang semu yang tersusun dari kelopak daun yang berpalutan. Daun kunyit tersusun dari pelepah daun, gagang daun dan helai daun yang berbentuk bulat telur dan tersusun secara berselang - seling. Bunga kunyit berbentuk kerucut runcing berwarna putih atau kuning dengan pangkal berwarna kuning. Rimpang kunyit bercabang - cabang membentuk rumpun. Bagian luar rimpang berwarna kecoklatan, sedangkan bagian dalam berwarna jingga cerah atau kuning tua (Winarto 2003). Menurut Syukur dan Hernani (2002), kunyit dapat tumbuh baik di daerah tropis maupun subtropis yang memiliki curah hujan antara 2000 - 4000 mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian 240 - 2000 meter di atas permukaan laut (dpl). Jenis tanah yang cocok untuk tanaman kunyit adalah tanah ringan dengan bahan organik yang tinggi, seperti tanah lempung berpasir yang terbebas dari genangan air. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah yang memiliki intensitas cahaya matahari penuh atau di daerah yang ternaungi. Kunyit dapat pula ditanam tumpang sari dengan padi gogo, jagung, singkong, kacang merah, atau palawija lainnya. Gambar 1 Kunyit (Curcuma domestica Val.) Bagian kunyit yang memiliki peranan penting adalah rimpang/rhizoma. Rimpang kunyit mengandung senyawa - senyawa penting diantaranya minyak atsiri, pati, protein, lemak, vitamin A dan C, zat pahit, resin, selulosa, mineral, zat warna (kurkumin, monodesmetoksikurkumin, dan biodesmetoksikurkumin). Minyak atsiri kunyit terdiri dari: d-α-phellandrene, d-sabinene, cineol, borneol, zingiberene, turmerone, sesquiterpene alcohol, α-atlantone, γ-atlantone, curcumene, champhene, champhor, sesquiterpene, caprilid acid, metoxinamic acid, dan tholymethyl carbinol (Syukur dan Hernani 2002). Pigmen kurkumin yang terkandung di dalam kunyit bekerja sebagai antiinflamasi dengan menghambat pelepasan asam arakidonat dari membran phospholipid sehingga sekresi enzim 5-lipoksigenase dan siklooksigenase berkurang. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya produksi leukotrien dan prostaglandin yang merupakan mediator peradangan. Kurkumin juga memberikan efek antimikroba. Kurkumin dapat menghambat bakteri gram positif (B. cereus, B. subtilis, B. megaterium). Kurkumin sebagai senyawa fenolik mampu merusak dan menembus dinding sel bakteri kemudian mengendapkan protein sel mikroba (Mills dan Bone 2000). Efek lain dari senyawa kurkumin adalah sebagai penghambat perkembangan serangga hama gudang (Sitophilus zeamais), repellant dan antifeedant. Efek farmakologis dari kunyit adalah meningkatkan kekebalan tubuh, antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, antidota, merangsang pengeluaran getah empedu, mencegah sekresi asam lambung yang berlebih, mengurangi peristaltik usus, desinfektan, dan adstringentsia. Di bidang peternakan khususnya peternakan ayam, kunyit juga memiliki peran penting. Penambahan kunyit ke dalam ransum dapat menambah cerah atau warna kuning kemerahan pada kuning telur, dapat menghilangkan bau kotoran, serta mampu menambah berat badan ayam (Winarto 2003). Bawang Putih (Allium sativum Linn.) Bawang putih merupakan tanaman musiman yang dimanfaatkan sebagai bumbu masakan maupun sebagai obat. Tanaman ini berasal dari bagian barat daya Siberia kemudian menyebar ke Eropa Selatan, Amerika Latin dan Mediterania. Bawang putih masuk ke Indonesia dibawa oleh para pelaut India dan Cina (Holladay 2004). Bawang putih merupakan tanaman yang tumbuh baik di dataran tinggi maupun dataran rendah. Jenis bawang putih dataran tinggi dapat tumbuh pada ketinggian 600 - 1000 meter dpl dengan suhu 200 C, sedangkan untuk dataran rendah pada ketinggian 200 - 250 m dpl dengan suhu 27 - 300 C. Tanaman ini dapat tumbuh pada jenis tanah regosol, latosol dan alluvial dengan tekstur lempung berpasir atau berdebu dengan pH sekitar enam. Bawang putih merupakan tanaman berumpun dengan daun yang panjang berbentuk pipih rata. Bagian tanaman ini yang memiliki peranan adalah umbi. Umbi tersebut terdiri dari beberapa siung (Wibowo 1999). Menurut Wibowo (1999), bawang putih merupakan keturunan bawang liar Allium longicorpis Regel. Klasifikasi bawang putih menurut Syamsuhidayat dan Hutapea (1991) adalah: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Liliales Famili : Liliaceae Genus : Allium Spesies : Allium sativum Linn. Gambar 2 Bawang putih (Allium sativum Linn.) Efektivitas bawang putih erat kaitannya dengan zat kimia yang terkandung di dalamnya. Bawang putih mengandung air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin B-kompleks dan C, mineral (kalsium, fosfor, magnesium, kalium, belerang selenium, dan besi), serta minyak atsiri yaitu dialildisulfida dan alilpropildisulfida (Palungkun dan Budiarti 1997). Bau khas bawang putih ditentukan oleh keberadaan senyawa allisin. Senyawa ini berperan sebagai antibakteri, baik bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif (Mazza dan Oomah 1998). Allisin dapat membunuh Salmonella typhimurium, Helicobacter pylori, Mycobacterium tuberculosis, serta mampu membasmi jamur Erytococcus neofarmans dan Candida albicans (Rabinowitch dan Currah 2002). Scordinin merupakan senyawa lain pada bawang putih yang terdiri dari kompleks thioglosida yang memiliki efek seperti enzim oksido - reduktase. Senyawa ini berperan dalam proses pertumbuhan dan bersama mineral selenium berperan sebagai antioksidan. Selain itu bawang putih mampu menurunkan kadar glukosa darah, dan antikanker. Komponen yang berperan sebagai antikanker adalah senyawa - senyawa yang mengandung sulfur (dialildisulfida). Senyawa lain yang terdapat dalam bawang putih adalah enzim germanium (zat yang mencegah rusaknya eritrosit), antiarthritik factor, methylallyl trisulfida (zat yang mencegah perlekatan eritrosit), serta allilthiamin yang merupakan hasil reaksi allisin dengan thiamin dan dapat bereaksi dengan sistein. Fungsi senyawa ini sama dengan vitamin B1 (Palungkun dan Budiarti 1997) yaitu sebagai kokarboksilase terutama dekarboksilase protein (Guyton dan Hall 1997). Zink Zink (Zn) merupakan mikromineral yang diperlukan untuk kehidupan hewan dan manusia. Sejak tahun 1934, zink ditetapkan sebagai salah satu mineral yang sangat esensial yang terlibat dalam berbagai aktifitas enzimatik (Tillman et al. 1989). Mineral ini menduduki urutan kedua setelah besi dalam tubuh. Zink terikat pada komponen plasma yaitu pada albumin, -1 globulin, dan -2 globulin. Konsentrasi zink plasma mendekati 1 µg/ml (100 mg/dl) dengan standar deviasi kurang lebih 10 mg/dl. Secara keseluruhan darah mengandung Zn sekitar 10 kali lebih tinggi karena adanya enzim karbonik anhidrase dalam sel darah merah (Linder 1992). Zn menyebar secara luas pada jaringan tubuh, terutama pada hati, tulang, ginjal, otot, pankreas, mata, kelenjar prostat, kulit, rambut, bulu, kuku, dan wol. Selain itu Zn dapat ditemukan di dalam susu dan kolostrum. Zn akan diekskresikan melalui pankreas, empedu, keringat dan urin. Mikromineral Zn dapat ditemukan dalam bentuk terikat dengan unsur lain seperti zink oksida, zink karbonat, dan zink sulfat (Cheeke 2005). Kebutuhan zink pada ayam umur diatas 8 minggu adalah 30 mg/kg berat badan. Ketersediaan Zn dalam ransum dapat diperoleh dari tepung daging atau tepung ikan, tetapi bahan tersebut tidak menyediakan cukup zink bagi ayamayam muda sehingga dapat digantikan dengan zink nonorganik seperti zink oksida atau zink karbonat (Anggorodi 1985). Zn berfungsi dalam metabolisme melalui dua cara yaitu sebagai komponen dari enzim dan mempengaruhi konfigurasi struktur ligand - ligand organik nonenzim tertentu. Zn diperlukan untuk aktivitas lebih dari 90 enzim yang berhubungan dengan metabolisme karbohidrat dan energi, degradasi/sintesis protein, sintesis asam nukleat, biosintesis heme, dan transport CO2 (Linder 1992). Selain itu Zn juga berperan dalam metabolisme hormon reproduksi, terutama perubahan testosteron menjadi dehidrotestosteron yang aktif serta membantu pelepasan vitamin A dari hati dan membantu proses persembuhan luka (Kanarek dan Kaufman 1991). Enzim - enzim yang diaktifkan oleh Zn adalah alkohol dehidrogenase, karbonik anhidrase, alkalin dehidrogenase, karboksipeptidase, alkaline fosfatase, laktat dehidrogenase, glutamat dehidrogenase, RNA polymerase, DNA polymerase, dan timidinkinase (Tillman et al. 1989; Sandstead dan Evans 1988). Mineral Zn dapat mengaktifkan beberapa enzim dan memiliki peranan pada konfigurasi DNA dan RNA serta sebagi kofaktor pada beberapa enzim. Selain itu beberapa ligand non-enzim akan membentuk senyawa kompleks seperti alpha-2makro-globulin yaitu glikoprotein serum yang akan mengikat sekitar 30% Zn dalam plasma, albumin akan mengikat sekitar duapertiga Zn dalam plasma, dan asam amino tertentu mengikat sekitar 2%. Zn juga mengikat ferritin dan nukleoprotein. Fungsi lain dari Zn adalah berperan dalam proses penyembuhan luka, meningkatkan respon imunitas, merangsang perkembangan fetus dan meningkatkan laju pertumbuhan (Linder 1992). Kemampuan hewan untuk menyerap Zn tergantung pada struktur kimia dan kombinasinya. Rendahnya penyerapan Zn dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) adanya interaksi antara Zn dengan beberapa ion metal transisi (Ca, Cd, Pb, Cu, Fe, Mg, P, dan S); (2) adanya chelating agent seperti EDTA; (3) adanya asam fitat (inositol hexaphosphate) yang terdapat dalam biji - bijian serealia; (4) makanan dengan kadar protein yang tinggi (Cheeke 2005; Underwood 1981). Mineral Zn yang masuk ke dalam saluran pencernaan sekitar 4 - 5 mg akan dibebaskan dari enzim - enzim proteolitik pankreas dan juga dari empedu. Setelah penyerapan dan pemindahan Zn ke dalam plasma, Zn akan terikat dalam tiga komponen yang satu dengan yang lainnya dalam keadaan equilibrum. Dari darah Zn akan diambil oleh jaringan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Zn yang berlebih akan terikat pada metallothionin dalam hampir semua sel tubuh (Linder 1992). Defisiensi Zn dalam tubuh akan menimbulkan dampak yang luas. Defisiensi Zn dapat disebabkan oleh rendahnya kandungan Zn dalam ransum dan meningkatnya pengeluaran Zn dari tubuh akibat adanya gangguan metabolisme dan penyakit seperti pada keadaan kelaparan, luka bakar, diabetes mellitus, ketoasidosis, proteinuria, infeksi parasit, malabsorbsi, gastroenteritis, sirosis hati, nephrosis, hypothyroidism, myocardial infarction, dan porfiria. Pengobatan dengan menggunakan preparat hormon kortikosteroid dan diuretik akan mempercepat penurunan kadar mineral Zn dalam serum. Menurut Anggorodi (1985) dan Tillman et al. (1989), gejala yang terlihat pada ayam yang kekurangan zink meliputi: gangguan pertumbuhan, parakeratosis terutama pada kaki, pembengkakan persendian tarsometatarsus, pembesaran sendi siku, kehilangan nafsu makan, produksi telur menurun, kelemahan, gangguan pertumbuhan bulu, dan dalam keadaan parah menyebabkan mortalitas yang tinggi. Defisiensi Zn juga dapat menyebabkan terjadinya hypogonadism, kelainan pada indera pengecap dan indera penciuman, hiperfungsi kelenjar adrenal, white muscle disease (pada sapi), dan liver necrosis (pada babi). Secara keseluruhan proses - proses yang terganggu akibat defisiensi Zn adalah metabolisme DNA, RNA, protein, dan mukosakarida. Keracuana Zn dapat terjadi jika kadar Zn mencapai 2000 mg/kg pakan. Darah Darah terdiri atas unsur - unsur padat, yaitu eritrosit, leukosit serta platelet yang tersuspensi di dalam media cair yang disebut plasma. Darah merupakan cairan yang sangat penting pada hewan tingkat tinggi karena berfungsi sebagai alat transportasi berbagai zat seperti oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, bahan hasil metabolisme tubuh, sebagai pertahanan tubuh terhadap virus dan bakteri (Murray et al. 2003). Darah terdiri dari sel - sel yang terendam di dalam plasma. Sebagian besar sel - sel darah berada di dalam pembuluh darah, kecuali leukosit yang dapat bermigrasi melintasi dinding pembuluh darah untuk melawan infeksi (Frandson 1992). Darah merupakan 7% dari total cairan tubuh yang mengandung 55% plasma yang terdiri atas air, zat - zat elektrolit dan protein. Sedangkan 45% merupakan sel - sel darah (Colville dan Bassert 2002). Menurut Swenson (1984), total volume darah pada ayam adalah 83 ml/kg berat badan dan volume plasma sebesar 55 ml/kg berat badan. Menurut Colville dan Bassert (2002), darah memiliki tiga fungsi penting yaitu: 1. Darah sebagai sistem transportasi: Mengangkut oksigen, zat makanan (glukosa, asam amino dan asam lemak) dan berbagai senyawa esensial yang sangat diperlukan untuk kelangsungan sel dalam tubuh. Oksigen diikat oleh hemoglobin yang terdapat pada eritrosit, sedangkan zat makanan dan senyawa esensial diangkut oleh plasma darah. Mengangkut sisa metabolisme seperti karbondioksida, urea, asam laktat dari jaringan menuju organ ekskresi. Mengangkut hormon dari kelenjar endokrin menuju organ target. Mengangkut leukosit dari sumsum tulang menuju jaringan yang mengalami infeksi. Mengangkut platelet menuju pembuluh darah yang mengalami kerusakan untuk mencegah kehilangan darah yang berlebihan 2. Darah sebagai sistem regulasi: Membantu menjaga suhu tubuh dengan cara mengangkut panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh. Menjaga keseimbagan cairan tubuh (homeostatis). Menjaga keseimbangan asam basa di dalam tubuh (sistem buffer) dengan adanya ion bikarbonat yang akan mempertahankan pH yang konstan pada jaringan dan cairan tubuh. Kisaran pH normal adalah 7.35 - 7.45 dan ideal pada pH 7.4. 3. Darah sebagai sistem pertahanan: Leukosit berperan dalam fagositosis dan memberikan respon iminutas terhadap kehadiran agen infeksi. Memiliki 13 faktor penggumpalan darah yang berperan dalam proses pembekuan darah. Faktor tersebut akan teraktivasi saat terjadi luka pada pembuluh darah sehingga kehilangan darah yang berlebihan dapat dicegah. Darah merupakan cairan kompleks yang berasal dari sel stem hematopoietik pluripoten. Darah bergerak terus menerus dari tempat yang satu ke tempat yang lain di dalam tubuh agar semua sel dan jaringan tetap mendapatkan suplai oksigen dan zat makanan sehingga tetap melaksanakan fungsinya (Guyton dan Hall 1997). Senyawa - senyawa yang terdapat di dalam darah antara lain glukosa, protein (albumin, globulin dan fibrinogen), nonprotein nitrogen (NPN), urea nitrogen (BUN), amonia, asam urat, kreatinin, asam amino nitrogen, asam laktat, kolesterol, asam lemak, fosfolipid, bilirubin, mineral (natrium, kalium, klor, kalsium, fosfor, besi, iodine, magnesium, tembaga, dan zink), enzim (amylase, lipase, alkalin phosphatase, dan asam phosphatase), serta vitamin (Swenson 1984). Darah dapat digunakan untuk kepentingan diagnostik, dengan melihat susunan kimiawi darah. Analisis darah dapat menggunakan serum, plasma atau whole blood. Serum merupakan cairan plasma yang tidak mengandung fibrinogen dan faktor - faktor penggumpalan darah, sedangkan plasma dan whole blood mengandung zat antikoagulan (Frandson 1992). Plasma Darah Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam darah berupa cairan berwarna kuning. Plasma dikatakan sebagai ’’lingkungan interna” yang secara langsung maupun tidak langsung merendami semua sel tubuh dan melindungi dari pengaruh luar. Plasma terdiri dari air sebanyak 92% dan zat - zat lain sebanyak 8%. Ginjal bertanggung jawab pada usaha untuk mempertahankan proporsi yang konstan antara air dan zat - zat lainnya itu melalui filtrasi selektif dan absorbsi selektif atas air dan zat - zat lain. Zat lain tersebut 90% berupa protein dan 0.9% berupa bahan anorganik, sedangkan sisanya adalah bahan organik yang bukan protein (Frandson 1992). Zat - zat selain air yang menyususun 8% dari plasma dapat dibagi berdasarkan berat molekulnya. Berat molekul lebih dari 50.000 g/molekul adalah protein berupa albumin, globulin dan fibrinogen. Protein merupakan 7/8 dari fraksi plasma (7 g/100 ml). Berat molekul kurang dari 50.000 g/molekul meliputi glukosa, lipid, asam amino, hormon, NaCl dan elektrolit lain, garam - garam mineral anorganik, produk buangan metabolik seperti urea, asam urat dan kreatinin. Plasma darah juga mengandung gas oksigen, nitrogen dan karbondioksida, enzim, gliserin dan kolesterol (Frandson 1992). Semua fungsi sel kecuali fungsi seluler yang spesifik (seperti pengangkutan oksigen dan pertahanan imunologik yang diperantarai sel) dilaksanakan oleh plasma dan unsur - unsurnya (Murray et al. 2003). Plasma darah berfungsi mengangkut zat makanan menuju sel dan jaringan serta membawa sisa metabolisme menuju organ ekskresi. Fungsi lain plasma adalah menghasilkan antibody. Plasma merupakan 20% dari cairan ekstraseluer, merupakan bagian darah nonselular dan terus menerus berhubungan dengan cairan interstitial melalui celah - celah membran kapiler. Celah tersebut bersifat sangat permiabel untuk hampir semua zat terlarut dalam plasma kecuali protein. Hal ini mengakibatkan komposisi ionik plasma dan cairan interstitial sama, kecuali protein yang lebih tinggi pada plasma. Plasma mengandung ion natrium, klorida dan bikarbonat dalam jumlah besar, tetapi hanya sedikit ion kalium, kalsium, magnesium, fosfat, dan asam organik (Guyton dan Hall 1997). Protein Plasma Protein plasma merupakan bagian utama plasma darah dan terdiri dari campuran yang sangat kompleks, yaitu protein sederhana dan protein konjugasi seperti glikoprotein dan berbagai bentuk lipoprotein (Girindra 1989). Tipe utama protein yang terdapat dalam plasma adalah fibrinogen, albumin dan globulin. Albumin, fibrinogen dan 50 - 80% globulin disintesis di hati, sedangkan sisa globulin lainnya dibentuk di jaringan limfoid. Kecepatan pembentukan protein plasma oleh hati sangat tinggi, sekitar 30 mg/hari (Guyton dan Hall 1997). Protein lain yang ada dalam plasma berupa hormon eritripoetin, enzim, C-reaktive protein, seruloplasmin, haptoglobin, lipoprotein (kilomikron, VLDL, LDL, HDL), hemopeksin, protein pengikat retinol, transferin, transiterin, α1-asam glikoprotein, α1-fetoprotein, antitrombin, α1-antitripsin dan antikimotripsin (Murray et al. 2003). Protein plasma berfungsi menjaga tekanan osmotik, sebagai sumber asam amino bagi jaringan, berperan dalam transportasi lipid, bilirubin, vitamin A, D dan E, hormon tiroksin dan steroid, mineral seperti besi yang terikat pada transferin, kalsium yang diangkut oleh seruloplasmin dan albumin, tembaga dan zink yang diangkut oleh albumin (Murray et al. 2003). Plasma juga berperan dalam transportasi agen terapi seperti sulfonamide, streptomisin, barbiturate, dan digoxin menuju organ target (Swenson 1984). Protein plasma juga berperan penting mencegah terjadinya perubahan - perubahan besar dalam pH darah (sistem buffer). Fungsi buffer tersebut dapat berlangsung karena protein memiliki gugus amida dan karboksil yang mengion, dan dapat menerima kelebihan ion hidrogen di dalam plasma atau memberikan ion hidrogen ke dalam plasma. Fraksi gammaglobulin dari protein plasma terkait dengan imunitas dan resistensi terhadap penyakit (sistem imunitas). Fraksi gammaglobulin menyajikan respon kekebalan misalnya antobodi yang bereaksi terhadap antigen, seperti bakteri atau protein - protein asing (Frandson 1992). Protein plasma berperan menyediakan faktor - faktor koagulasi seperti fibrinogen, protrombin, antihemophilic factor, faktor V dan VII, plasma thromboplastin complement (PTC), plasma thromboplastic antecedent (PTA). Selain itu plasma juga mengandung enzim. Sebagian besar dari faktor koagulasi darah berperan sebagai enzim dalam tubuh. Enzim lain yang terkandung dalam plasma seperti enzim proteidase, peptidase, amylase, asam dan alkalin fosfatase, deoksiribonuklease, histaminase, kolinesterase, β-glukoronidase, transaminase dan dehidrogenase (Raphael 1983). Plasma juga berperan mempertahankan tekanan darah yang normal dan stabilitas eritrosit (Swenson 1984). Penurunan konsentrasi protein plasma akan menyebabkan cairan tidak ditarik kembali ke dalam kompartemen intravaskular tetapi tertimbun di dalam ruang jaringan ekstravaskular sehingga terjadi keadaan edema. Dengan kata lain protein plasma berperan dalam menjaga konsentrasi cairan di dalam jaringan (Murray et al. 2003). Protein total plasma merupakan hasil penjumlahan albumin dan globulin. Menurut Sturkie (1954), kadar protein total pada ayam sekitar 4.83 g/dl dengan rasio albumin - globulin sebesar 0.68. Perbandingan yang ideal antara albumin : globulin adalah 2 : 1. Menurut Swenson (1984) protein total pada ayam berkisar antara 4.0 - 5.2 g/dl. Hiperproteinemia terjadi pada keadaan hipofungsi korteks adrenal, gangguan hati, rheumathoid arthritis, systemic lupus, skleroderma, reaksi hipersensitif, sarkoidosis, dehidrasi (diabetes asidosis, diare kronis), gangguan respirasi, hemolisis, krioglobulinemia dan leukemia. Sedangkan hipoproteinemia terjadi pada malabsorbsi, diare, hipoalbuminemia, hipoglobulinemia, dan keadaan bunting (Jain 1993). Protein total plasma yang abnormal merupakan gejala dari hipertensi, endokarditis, tuberkulosis dan gangguan pada gastrointestinal (Prewitt et al. 2007). Protein total pada hewan jantan lebih rendah dibandingkan hewan betina. Hal ini disebabkan kadar hormon estrogen yang berbeda. Hormon estrogen dapat meningkatkan kadar protein plasma (Sturkie 1954). Penurunan kadar protein total plasma secara drastis dapat dijumpai pada penyakit hati, kekurangan asam amino dan gastroenteritis (Girindra 1989). Peningkatan dan penurunan kadar protein plasma pada hewan dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Perubahan kadar protein total plasma dapat terjadi jika salah satu fraksinya mengalami perubahan, misalnya pada kejadian plasma cell myeloma dan piometra terjadi keadaan hiperproteinemia karena terjadi peningkatan level globulin. Kadar protein plasma akan meningkat pada hewan yang mengalami dehidrasi atau hemokonsentrasi (misalnya dalam keadaan diare, muntah, diuresis), shock, peradangan dan penyakit neoplasia. Penurunan kadar protein plasma dapat terjadi karena produksi protein plasma menurun akibat malnutrisi protein atau kalori yang berat, malabsorbsi, insufisiensi pankreas dan adanya gangguan pada hati. Penurunan level protein total plasma juga terjadi akibat tubuh kehilangan protein plasma dalam jumlah berlebihan. Hal ini dapat terjadi pada keadaan luka bakar yang luas, kejadian albuminuria pada keadaan nefrosis serta kehilangan melalu gastrointestinal (Raphael 1983; Guyton dan Hall 1997) Pada keadaan sirosis hati, kadar protein total plasma menurun. Hal ini disebabkan oleh hancurnya sel - sel hati, sehingga mengurangi kemampuan hati untuk mensintesis protein plasma yang cukup. Sirosis juga berhubungan dengan infiltrasi jaringan fibrosa pada seluruh sel parenkim hati yang akan menghambat aliran darah portal abdominal saat melalui hati sebelum pengosongan kembali ke sirkulasi umum. Hambatan pada aliran vena porta akan meningkatkan tekanan hidrostatik kapiler di seluruh daerah gastrointestinal dan selanjutnya meningkatkan filtrasi cairan keluar dari plasma ke dalam rongga abdominal. Jika hal ini terjadi, kombinasi efek penurunan konsentrasi protein plasma dan tekanan kapiler porta yang tinggi menyebabkan transudasi sejumlah besar cairan dan protein ke dalam rongga abdominal. Keadaan tersebut dikenal dengan asites (Guyton dan Hall 1997). Pada kasus sindrom nefrotik, kapiler - kapiler glomerulus membocorkan protein dalam jumlah besar ke dalam filtrat dan urin akibat peningkatan permiabilitas glomerulus. Bila kehilangan ini melebihi kemampuan tubuh untuk mensintesis protein maka akan terjadi penurunan konsentrasi protein plasma Kehilangan protein plasma melalui urin setiap hari mencapai 30 - 50 g dan dapat menyebabkan penurunan konsentrasi protein plasma sampai kurang dari sepertiga konsentrasi normal. Edema generalisata dapat terjadi apabila kadar protein plasma turun di bawah 2.5 g/100 ml. Penurunan konsentrasi protein plasma akibat kegagalan untuk menghasilkan protein dalam jumlah yang cukup maupun karena kebocoran protein dari plasma akan menimbulkan penurunan tekanan osmotik koloid plasma sehingga kapiler - kapiler seluruh tubuh menyaring sejumlah besar cairan ke dalam berbagai jaringan, yang kemudian menyebabkan edema ekstraseluler dan penurunan volume plasma. Saat cairan dan protein hilang dari sirkulasi maka ginjal akan terus menahan garam dan air samapai volume plasma dan tekanan arterial kembali normal (Guyton dan Hall 1997). Albumin Albumin merupakan polipeptida tunggal yang dapat larut di dalam air dan mengandung 585 asam amino (Neligan 1998). Menurut Murray et al. (2003), albumin merupakan protein utama yang ada di dalam plasma dengan berat molekul 69 kDa dan menyusun sekitar 60% dari protein total plasma. Sekitar 40% dari albumin terdapat dalam plasma, dan 60% lainnya ditemukan dalam ruang ekstraselular. Hati menghasilkan 12 g albumin per hari yang merupakan 25% dari total sintesis protein hepatik dan separuh dari seluruh protein yang disekresikan oleh organ tersebut. Albumin memiliki kemampuan untuk mengikat berbagai ligand. Ligand ini mencakup asam lemak bebas, kalsium, tembaga, zink, metheme, hormon, steroid, bilirubin, dan sebagian triptofan plasma (Murray et al. 2003). Di samping itu, albumin juga berperan penting dalam mengikat obat golongan warfarin, digoxin, NSAIDS (non steroid anti-inflamantory drugs), midazolam, dan thiopentone (Neligan 1998). Albumin bertanggung jawab pada 80% tekanan osmotik. Hal ini disebabkan karena albumin dan protein - protein lain dengan berat molekul tinggi, tidak dapat melintasi dinding pembuluh atau dinding kapiler sehingga membantu mempertahankan cairan tetap berada di dalam sistem vaskular (Frandson 1992). Penurunan tekanan koloid ekstraselular akan merangsang sintesis albumin. Hormon pertumbuhan, tiroid, kortikosteroid dan insulin dapat meningkatkan sintesis albumin (Walker et al. 1990). Penurunan level albumin plasma disebabkan oleh penurunan sintesis di hati, peningkatan katabolisme, kehilangan albumin yang berlebih dari dalam tubuh (pada sindrom nefrotik, luka bakar, hemoragi dan melalui gastrointestinal) serta redistribusi akibat hemodilusi dan peningkatan permiabilitas kapiler. Hipoalbuminemia dijumpai pada keadaan malnutrisi dan malabsorbsi, disfungsi hati, penyakit pada ginjal, hipergammaglobulinemia dan hipotiroidism (Neligan 1998). Hiperalbuminemia terjadi pada keadaan dehidrasi, gagal jantung (congestive heart failure), kurangnya asupan protein, dan hiperglukokortikoid (Jain 1993). Kadar albumin pada ayam sekitar 1.95 g/dl, dan lebih rendah dibanding dengan kadar globulin (Sturkie 1954). Menurut Swenson (1984), kadar albumin pada ayam berkisar 1.6 - 2.0 g/dl Globulin Globulin merupakan protein yang diklasifikasikan berdasarkan migrasi atau separasinya melalui elektroporesis yaitu α-1-globulin, α-2-globulin, β-1globulin, β-2-globulin, dan γ-globulin. Alfa dan betaglobulin disintesis di hati, sedangkan gammaglobulin disintesis oleh sel plasma dan limfosit pada saat sel sel ini dirangsang oleh antigen (Frandson 1992). Kadar globulin ayam sebesar 2.86 g/dl (Sturkie 1954) atau berkisar antara 2.3 - 3.3 g/dl (Swenson 1984). Menurut Kaneko (1980) α1-globulin terdiri dari α1-fetoprotein, α1antitripsin, α1-asam glikoprotein (orosomukoid), dan α1-lipoprotein (HDL = high density lipoprotein). α2-globulin terdiri atas α2-lipoprotein (VLDL = very low density lipoprotein atau pre-β-lipoprotein), α2-lipoprotein (LDL = low density lipoprotein atau β-lipoprotein), α2-makroglobulin, α2-globulin (prealbumin), seruloplasmin dan haptoglobin. α2-makroglobulin, haptoglobulin dan seruloplasmin merupakan petunjuk diagnosis yang penting untuk penyakit inflamasi. α-globulin berperan dalam transport T4, tembaga, lemak, tripsin inhibitor serta mengikat hemoglobin dan insulin. Peningkatan fraksi α-globulin terjadi pada keadaan hepatoma, inflamasi akut, sindrom nefrotik, dan penyakit hati yang aktif. Sedangkan level α-globulin menurun pada keadaan penyakit hati dan paru yang kronis serta pada anemia hemolitik. β-globulin terdiri atas transferin, hemopexin, C3, C4, plasminogen dan fibrinogen. Peningkatan level β-globulin dijumpai pada penyakit hati yang akut, hewan bunting, defisiensi besi, anemia, sindrom nefrotik, inflamasi akut, dermatitis atopik dan disseminated intravascular coagulation (DIC). Penurunan level β-globulin terjadi pada keadaan penyakit hati kronis, anemia hemolitik, penyakit hati yang aktif, autoimmune disease, dan DIC (Kaneko 1980). Gammaglobulin berperan sebagai antibodi yang dikenal sebagai imunoglobulin (Ig). Imunoglobulin terdiri atas IgM, IgG, IgA, IgD dan IgE. IgG merupakan komponen antibodi paling utama dalam respon sekunder yang mampu melakukan opsonisasi bakteri sehingga mudah difagositosis, memfiksasi komplemen yang berperan dalam fagositosis dan menetralkan toksin yang dihasilkan mikroorganisme. IgG dapat ditemukan dalam darah, jaringan tubuh maupun pada plasenta (Murray et al. 2003). IgE berperan dalam reaksi alergi (hipersensitivitas). Imunoglobulin ini memperantarai hipersensitivitas dengan menstimulasi pelepasan histamin oleh basofil dan sel mast. IgE juga memobilisir pelepasan enzim dari eosinofilia jika terjadi infeksi helmin. IgA merupakan glikoprotein yang terdapat pada sekresi kelenjar lakrimalis, saliva dan kolostrum. IgA sangat berperan dalam mengeliminasi mikroorganisme di mulut dan gastrointestinal. IgM diproduksi dalam respon primer terhadap suatu antigen serta mampu memfiksasi komplemen. Sedangkan IgD dijumpai pada permukaan limfosit-B (Swenson 1984). Level γ-globulin meningkat pada keadaan penyakit kronis, penyakit hati, myeloma, alergi, reaksi anafilaksis, makroglobulinemia primer, dan gammopati monoklonal. Penurunan level γ-globulin terjadi akibat agammaglobulinemia (Kaneko 1980; Jain 1993). MATERI DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli - Desember tahun 2007 di kandang B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pemeriksaan protein total, albumin dan globulin dilaksanakan di Laboratorium Patologi Klinik, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Materi Penelitian Hewan Coba Penelitian ini menggunakan 100 ekor ayam broiler strain Ross 1 Super Jumbo 747 yang diproduksi oleh PT. Cibadak Indah Sari Farm Sukabumi, berumur sehari (day old chick). Kandang dan Peralatan Ayam broiler dipelihara di dalam 20 kandang yang terbuat dari kawat dan bambu, beralaskan semen yang dilapisi sekam. Masing - masing kandang berukuran 1 m x 1 m dan berisi 5 ekor ayam. Kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan air minum serta lampu wolfram 60 watt sebagai sumber panas. Peralatan lain yang digunakan adalah alat semprot untuk desinfektan, mikropipet 10 µl, tabung mikro 2 cc, vakutainer 3 cc, cooling box, disposable syringe 3 cc, tabung reaksi dan rak, alat sentrifuge, label kertas, pipet tetes, kapas dan spektrofotometer. Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan sampel darah adalah plasma darah ayam broiler, aquabidestilata, antikoagulan EDTA dan alkohol 70%. Perlakuan Kunyit dan Bawang Putih Pembuatan serbuk kunyit dan bawang putih diawali dengan pencucian kunyit segar hingga bersih dan pemisahan bawang putih dari kulit luar. Selanjutnya kedua bahan tersebut dipotong tipis dan dijemur di bawah sinar matahari hingga kering. Kunyit dan bawang putih yang telah kering dihaluskan untuk memudahkan pencampuran dengan pakan dan siap digunakan sesuai perlakuan. Ransum Penyusunan ransum dilakukan secara iso - protein dan iso - energi. Ransum perlakuan terdiri dari ransum basal yang diperoleh dari PT. INDOFEED yang ditambah dengan serbuk kunyit, bawang putih dan mineral zink dalam bentuk zink oksida (ZnO) sebagai feedadditive dan dibuat dalam bentuk crumble. Ransum tersebut dianalisis proksimat di laboratorium. Ransum perlakuan diberikan pada ayam broiler setelah pengacakan. Komposisi ransum penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Komposisi ransum penelitian Bahan Makanan R0 R1 R2 R3 R4 ----------------------------%--------------------------Jagung 51 51 51 51 51 Dedak 3 3 3 3 3 Minyak 5.5 5.5 5.5 5.5 5.5 Tepung ikan 12 12 12 12 12 26.3 26.3 26.3 26.3 26.3 1 1 1 1 1 DCP 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 Premiks 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 Lysin 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 Methionin 0.1 0.1 0.1 0.1 0.1 Total 100 100 100 100 100 Kunyit 0 1.5 0 1.5 1.5 Bawang putih 0 2.5 2.5 0 2.5 ZnO 0 0 0.012 0.012 0.012 Bungkil kedelai CaCO3 Keterangan: Berdasarkan kebutuhan zat makanan NRC (1994) Pakan dan Vaksinasi Pakan dan air minum diberikan secara ad libitum sedangkan pemberian vitamin dilakukan melalui air minum. Vitamin yang digunakan adalah vita stressī. Vaksinasi sebagai tindakan pencegahan penyakit dilakukan dengan pemberian vaksin ND (New Castle Disease) dan vaksin Gumboro. Vaksin ND I diberikan melalui tetes mata pada saat ayam berumur 4 hari, vaksin Gumboro diberikan saat ayam berumur 10 hari melalui air minum dan vaksin ND II diberikan pada saat ayam berumur 21 hari melalui mulut (cekok). Metode Penelitian Perlakuan Ransum Ayam dipelihara selama 6 minggu dan dibagi secara acak ke dalam 5 kelompok perlakuan. Masing - masing perlakuan terdiri dari 4 ulangan. Jenis perlakuan ransum yaitu:. R0 : Pakan basal (kontrol) R1 : Pakan basal + serbuk bawang putih 2.5% + serbuk kunyit 1.5% R2 : Pakan basal + serbuk bawang putih 2.5% + ZnO 120 ppm R3 : Pakan basal + serbuk kunyit 1.5% + ZnO 120 ppm R4 : Pakan basal + serbuk bawang putih 2.5% + serbuk kunyit 1.5% + ZnO 120 ppm Pengambilan Sampel Darah Sampel darah berasal dari satu ekor ayam pada setiap ulangan sehingga diperoleh 20 sampel. Pengambilan sampel darah dilakukan pada umur 3 dan 6 minggu. Sampel darah diambil melalui vena axillaris yang terletak pada bagian ventral sayap ayam. Lokasi pengambilan darah sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70%. Volume darah yang diambil sebanyak 3 ml dengan menggunakan disposable syringe. Selanjutnya sampel darah segera dimasukkan ke dalam vakutainer yang mengandung antikoagulan EDTA untuk mencegah proses pembekuan darah dan segera dibawa ke laboratorium dengan menggunakan cooling box. Sampel tersebut kemudian disentrifugasi selama 15 menit dengan kecepatan 1500 rpm. Hal ini bertujuan untuk memisahkan plasma darah dengan komponen darah lainnya. Plasma yang dihasilkan digunakan untuk analisis protein total, albumin dan globulin. Pemeriksaan Protein Total, Albumin dan Globulin Pemeriksaan protein total dan albumin menggunakan spektrofotometer. Prinsip dari spektrofotometer adalah dengan mengukur jumlah penyerapan panjang gelombang spesifik dari larutan yang digunakan. Tingkat kemampuan molekul untuk menyerap panjang gelombang cahaya utama menyebabkan terjadinya penyerapan banyaknya jumlah cahaya yang ada. Energi yang timbul berasal dari dorongan elektron dari batas rendah dan tinggi. Derajat konsentrasi warna yang dihasilkan akan dibaca oleh spektrofotometer sesuai dengan jumlah protein yang terikat. Protein total diperiksa dengan menggunakan metode Biuret. Prinsip pemeriksaan adalah protein di dalam sampel akan bereaksi dengan ion cuprum (Cu++) pada medium alkalis membentuk kompleks warna yang akan diukur oleh spektrofotometer. Pemeriksaan protein total diawali dengan memipet reagen blanko ke dalam tiga tabung reaksi masing - masing sebanyak 3 ml. Tabung I (tabung blanko) bisa dilakukan penambahan atau tanpa penambahan 0.l ml aquades, tabung II (tabung standar) ditambah dengan 0.1 ml protein standar, dan tabung III (tabung sampel) ditambah dengan 0.1 ml sampel. Ketiga campuran tersebut dihomogenkan, kemudian diinkubasi selama 30 menit pada suhu 20 - 250 C. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi sampel (As) dan absorbansi standar (Ast) dengan memasukkan larutan tersebut ke dalam cuvette spektrofotometer. Hasil akan tampak dalam bentuk angka yang dapat langsung dibaca. Setelah pengukuran, maka konsentrasi protein total dapat dihitung (dengan panjang gelombang 546 nm), yaitu: C (g/dl) = 6 x (As : Ast) atau C (g/l) = 60 x (As : Ast). Kadar albumin diperiksa dengan metode Bromcresol Green. Prinsip pemeriksaan adalah albumin di dalam sampel akan bereaksi dengan Bromcresol Green pada medium asam membentuk warna kompleks yang dapat diukur oleh spektrofotometer. Pemeriksaan albumin dilakukan dengan memipet reagen blanko ke dalam tiga tabung reaksi masing - masing sebanyak 3 ml. Pada tabung II (tabung standar) ditambah dengan 0.1 ml albumin standar, tabung III (tabung sampel) ditambah dengan 0.1 ml sampel, sedangkan tabung I (tabung blanko) bisa ditambah atau tanpa penambahan 0.1 ml aquades. Campuran pada ketiga tabung tersebut dihomogenkan dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu 20 - 250 C. Selanjutnya dilakukan pengukuran absorbansi sampel dan standar dengan menggunakan spektrofotometer. Hasil yang diperoleh dihitung dengan cara: C (g/dl) = 4 x (As : Ast) atau C (g/l) = 40 x (As : Ast) Konsentrasi globulin ditentukan dengan analisis langsung, yaitu dengan mengurangkan secara langsung konsentrasi protein total dengan konsentrasi albumin. Rasio albumin - globulin (A/G) merupakan konsentrasi albumin dibagi dengan konsentrasi globulin. Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam (Analysis of Variance/ANOVA), dan jika terdapat perbedaan dilanjutkan dengan Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test). HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Protein Total Hasil pengamatan kadar protein total plasma darah ayam broiler pada umur 3 dan 6 minggu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rataan kadar protein total plasma ayam broiler umur 3 dan 6 minggu yang diberi perlakuan ransum Perlakuan ransum R0 Kadar protein total plasma (g/dl) 3 minggu 6 minggu a 4.65±0.66a 4.28±0.34 R1 4.30±0.12a 4.70±0.23a R2 R3 R4 4.45±0.57a 4.23±0.44a 4.05±0.10a 4.93±0.25a 4.80±0.16a 4.55±0.25a Huruf yang sama antar baris menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (P>0.05). R0 = ransum basal, R1 = R0 + bawang putih + kunyit, R2 = R0 + bawang putih + ZnO, R3 = R0 + kunyit + ZnO, R4 = R0 + bawang putih + kunyit + ZnO Tabel 2 memperlihatkan bahwa hasil uji statistik kadar protein total plasma ayam broiler umur 3 dan 6 minggu tidak berbeda nyata pada semua kelompok perlakuan (P>0.05). Pada umur 3 minggu, kelompok perlakuan R3 (4.23±0.44 g/dl) dan R4 (4.05±0.10 g/dl) memperlihatkan kadar protein total sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0) (4.28±0.34 g/dl). Kelompok perlakuan R1 (4.30±0.12 g/dl) dan R2 (4.45±0.57 g/dl) menunjukkan kadar protein plasma lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Pada umur 6 minggu, kelompok perlakuan R4 (4.55±0.25 g/dl) menunjukkan kadar protein total lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0) (4.65±0.66 g/dl). Kelompok perlakuan R1 (4.70±0.23 g/dl), R2 (4.93±0.25 g/dl) dan R3 (4.80±0.16 g/dl) memperlihatkan kadar protein total lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein total plasma pada semua kelompok perlakuan masih berada dalam kisaran normal, yaitu 4.83 g/dl (Sturkie 1954) atau berkisar antara 4.0 - 5.2 g/dl (Swenson 1984). Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar protein plasma tertinggi pada umur 3 dan 6 minggu dihasilkan oleh kelompok perlakuan R2. Menurut Guyton dan Hall (1997), perubahan kadar protein plasma dapat dijadikan petunjuk penting untuk diagnosis maupun prognosis suatu penyakit. Status nutrisi dari seekor hewan mempunyai pengaruh dalam sintesis protein plasma. Kekurangan diet protein dalam pakan akan mempengaruhi kadar protein total plasma, yaitu mempengaruhi level gammaglobulin dan albumin plasma. Kadar protein total plasma menggambarkan kadar protein jaringan tubuh. Menurunnya protein plasma mengindikasikan adanya gangguan metabolisme protein, dalam hubungannya dengan aktivitas organ - organ tertentu misalnya hati, ginjal dan pankreas. Kadar protein total plasma yang tinggi pada kelompok perlakuan R2 diduga terkait dengan komposisi ransum perlakuan yang mengandung kombinasi bawang putih dan Zn oksida. Bawang putih mengandung komponen aktif allisin yang berperan sebagai antimikrobial dan antiinflamasi. Allisin mampu melawan infeksi oleh bakteri gram negatif maupun positif serta mampu mencegah kerusakan pada usus halus (Rabinowitch dan Currah 2002), sehingga proses absorbsi protein dari usus lebih optimal. Peningkatan protein total juga dipengaruhi oleh status nutrisi (Kaneko 1980). Suharti (2004) melaporkan bahwa pemberian serbuk bawang putih 2.5% dalam ransum dapat menurunkan koloni bakteri S. typhimurium dan meningkatkan konversi ransum sehingga intake protein meningkat yang diikuti dengan peningkatan protein total plasma. Bawang putih mengandung komponen aktif gurwitchrays yang merangsang pertumbuhan sel tubuh dan mempunyai daya peremajaan (rejuvenating effect) pada semua fungsi tubuh (Karossi et al. 1993), termasuk hati. Fungsi hati yang optimal akan diikuti oleh peningkatan protein plasma, karena sebagian besar protein plasma disintesis di hati (Murray et al. 2003). Penambahan Zn dalam ransum memberikan pengaruh terhadap kadar total protein plasma. Menurut Linder (1992), Zn mengaktifkan berbagai enzim yang berhubungan dengan metabolisme termasuk sintesis protein dan asam amino. Peningkatan aktivitas enzim dalam metabolisme protein akan menyebabkan peningkatan protein plasma. Selain itu Zn juga berperan dalam menjaga fungsi pankreas yang akan mensekresikan enzim protease yang dibutuhkan dalam saluran pencernaan untuk metabolisme protein. Meningkatnya sekresi enzim protease dan aktivitas enzim yang berkaitan dengan metabolisme protein menyebabkan laju metabolisme protein di hati meningkat sehingga kadar protein total plasma meningkat. Widhyari (2005) melaporkan bahwa pakan yang mengandung Zn 60 mg/kg memberikan perbaikan kimiawi darah termasuk peningkatan protein total plasma pada kambing PE periode sekitar partus. Menurut Kaneko (1980), kadar protein plasma dipengaruhi oleh intake protein, laju sintesis protein dan pengeluaran protein dari tubuh. Alsuhendra (2004) melaporkan bahwa suplementasi Zn 16.7 mg/kg/hari dan 50.1 mg/kg/hari tidak meperlihatkan pengendapan protein yang berlebihan di dalam glomerulus. Hal ini menunjukkan bahwa protein diserap kembali ke dalam darah sehingga hilangnya protein plasma melalui ginjal dapat dicegah. Menurut Klasing (2002), defisiensi Zn dapat menurunkan nafsu makan. Ali et al. (2003) melaporkan bahwa suplementasi Zn 120 mg/kg pada pakan broiler akan meningkatkan konversi pakan termasuk protein sehingga protein total meningkat. Kelompok perlakuan R3 juga memperlihatkan kadar protein total yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lain pada umur 6 minggu. Hal ini diduga disebabkan oleh ransum yang mengandung kunyit dan zink. Kunyit memiliki komponen aktif kurkumin. Chattopadhyay et al. (2004) melaporkan bahwa kurkumin mampu meningkatkan sekresi musin yang berperan sebagai gastroprotektan dan memiliki aktivitas sebagai anti ulser. Kurkumin berperan melindungi aktivitas sel hepatosit, meningkatkan sekresi enzim pankreas yang berperan dalam metabolisme protein, antiinflamasi, antibakteri, antiprotozoa, dan antiviral. Hal ini diduga dapat meningkatkan aktivitas traktus gastrointestinal dan hati dalam absorbsi dan metabolisme pakan termasuk protein sehingga kadar protein total plasma meningkat. Damayanti (2005) melaporkan bahwa minyak atsiri dan kurkumin meningkatkan relaksasi usus, sehingga pakan lebih lama di dalam usus. Hal ini akan mengakibatkan absorbsi pakan lebih optimal sehingga protein plasma meningkat. Kadar protein total plasma meningkat seiring dengan bertambahnya umur (Sturkie 1954). Gambaran protein total plasma pada kelima kelompok perlakuan memperlihatkan terjadinya peningkatan kadar protein total plasma pada umur 6 minggu dibandingkan umur 3 minggu, walaupun peningkatannya tidak berbeda secara signifikan. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kandungan protein tubuh akibat intake protein yang meningkat dan semakin optimalnya kerja fungsi organ untuk metabolisme protein (Sturkie 1954). Kadar Albumin Kadar albumin plasma darah ayam broiler pada umur 3 dan 6 minggu ditampilkan pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan kadar albumin plasma ayam broiler umur 3 dan 6 minggu yang diberi perlakuan ransum Perlakuan ransum R0 R1 R2 R3 R4 Kadar albumin plasma (g/dl) 3 minggu 6 minggu a 1.25±0.06 1.30±0.08a 1.33±0.10ab 1.38±0.15a 1.28±0.10a 1.28±0.10a 1.45±0.17b 1.43±0.19a a 1.20±0.08 1.23±0.10a Huruf superskrip yang berbeda antar baris menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf 5% (P>0.05) R0 = ransum basal, R1 = R0 + bawang putih + kunyit, R2 = R0 + bawang putih + ZnO, R3 = R0 + kunyit + ZnO, R4 = R0 + bawang putih + kunyit + ZnO Kadar albumin plasma setelah diuji secara statistik memperlihatkan hasil yang berbeda nyata pada umur 3 minggu (P<0.05) sedangkan pada umur 6 minggu tidak berbeda nyata (P>0.05). Pada umur 3 minggu, kelompok perlakuan R4 (1.20±0.08 g/dl) menunjukkan kadar albumin yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0) (1.25±0.06 g/dl). Kelompok perlakuan R1 (1.33±0.10 g/dl), R2 (1.28±0.10 g/dl) dan R3 (1.45±0.17 g/dl) memperlihatkan kadar albumin lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Pada umur 6 minggu, kelompok kontrol (R0) (1.30±0.08 g/dl) memperlihatkan kadar albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan R2 (1.28±0.10 g/dl) dan R4 (1.23±0.10 g/dl). Kelompok perlakuan R1 (1.38±0.15 g/dl) dan R3 (1.43±0.19 g/dl) memperlihatkan kadar albumin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Tabel 3 memperlihatkan bahwa kadar albumin plasma ayam relatif stabil dari umur 3 minggu dan 6 minggu. Dari hasil penelitian diperoleh kadar albumin tertinggi umur 3 dan 6 minggu terdapat pada kelompok perlakuan R3. Peningkatan albumin pada kelompok perlakuan R3 terkait dengan penambahan kunyit dalam ransum. Menurut Mills dan Bone (2000), pigmen kurkumin yang terkandung di dalam kunyit bekerja sebagai antiinflamasi dengan menghambat pelepasan asam arakidonat dari membran phospholipid. Hal ini mengakibatkan sekresi enzim 5-lipoksigenase dan siklooksigenase berkurang. Kurkumin merangsang sekresi hormon glukokortikoid yang berperan menekan timbulnya infeksi. Chattopadhyay et al. (2004) melaporkan bahwa kurkumin berperan sebagai gastroprotektan dan melindungi sel hepatosit dari senyawa-senyawa yang dapat merusak sel hepatosit seperti karbon tetraklorida dan peroksida. Aktivitas kurkumin tersebut diharapkan dapat mencegah proses peradangan pada gastrointestinal dan hati. Albumin sepenuhnya disintesis di dalam hati (Murray et al. 2003). Fungsi hati yang optimal akan meningkatkan sintesis protein sehingga kadar albumin juga meningkat. Kunyit juga berperan mempercepat proses persembuhan luka sehingga kehilangan albumin melalui luka dapat ditekan. Manfaat lain dari kurkumin menurut Chattopadhyay et al. (2004) adalah sebagai antibakteri, antifungi, antiprotozoa, antiviral, dan meningkatkan aktivitas pankreas dalam sekresi enzim tripsin dan kimotropsin. Enzim tripsin dan kimotripsin berperan dalam proses metabolisme protein. Peningkatan sekresi kedua enzim tersebut akan meningkatkan proses metabolisme protein sehingga kadar albumin meningkat. Kelompok perlakuan R3 juga mendapat suplementasi Zn oksida di dalam ransum. Pengaruh Zn terhadap metabolisme protein akan memberikan pengaruh terhadap kadar albumin plasma. Pemberian Zn dalam ransum memberikan efek pemanfaatan nutrisi yang lebih efisien karena Zn mampu meperbaiki laju metabolisme terutama protein. Peningkatan metabolisme protein akan diikuti oleh meningkatnya kadar protein plasma termasuk albumin. Penurunan kadar albumin akan memberikan efek yang besar pada protein total plasma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar albumin plasma pada semua kelompok perlakuan lebih rendah dari kisaran normal. Kadar albumin normal pada ayam sekitar 1.95 g/dl (Sturkie 1954) atau berkisar antara 1.6 - 2.0 g/dl (Swenson 1984). Penurunan kadar albumin di bawah kisaran normal kemungkinan disebabkan oleh kadar globulin yang tinggi atau adanya gangguan pada gastrointestinal dan hati serta intake protein berkurang sehingga produksi albumin berkurang. Menurut Sturkie (1954), protein plasma pada ayam lebih didominasi oleh globulin. Peningkatan kadar albumin dalam darah jarang terjadi. Pada keadaan dehidrasi konsentrasi albumin plasma meningkat tetapi kadar globulin juga ikut meningkat sehingga tidak diperoleh perbedaan rasio albumin - globulin (Girindra 1989). Pada keadaan hiperglukokortikoid, kortisol mengurangi sintesis protein dan meningkatkan katabolisme protein pada jaringan ekstrahepatik. Selanjutnya kortisol akan memobilisasi protein dan asam amino dari jaringan ke dalam sel sel hati. Meningkatnya protein di hati akan meningkatkan konsentrasi protein plasma (Guyton dan Hall 1997). Kadar Globulin Hasil pengamatan kadar globulin plasma darah ayam broiler pada umur 3 dan 6 minggu ditampilkan pada Tabel 4. Tabel 4 Rataan kadar globulin plasma ayam broiler umur 3 dan 6 minggu yang diberi perlakuan ransum Perlakuan ransum Kadar globulin plasma (g/dl) 3 minggu 6 minggu R0 R1 R2 R3 R4 3.35±0.71a 3.33±0.39a 3.65±0.31a 3.38±0.34a 3.33±0.29a 3.03±0.39 2.98±0.05a 3.18±0.52a 2.78±0.32a 2.85±0.06a Huruf superkrip yang sama antar baris menyatakan tidak berbeda nyata pada taraf 5% (P>0.05) R0 = ransum basal, R1 = R0 + bawang putih + kunyit, R2 = R0 + bawang putih + ZnO, R3 = R0 + kunyit + ZnO, R4 = R0 + bawang putih + kunyit + ZnO Hasil uji statistik terhadap kadar globulin plasma ayam broiler pada umur 3 dan 6 minggu tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Pada umur 3 minggu, kelompok perlakuan R1 (2.98±0.05 g/dl), R3 (2.78±0.32 g/dl) dan R4 (2.85±0.06 g/dl) memperlihatkan kadar globulin sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0) (3.03±0.39 g/dl). Kelompok perlakuan R2 (3.18±0.52 g/dl) memperlihatkan kadar globulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (R0). Pada umur 6 minggu, kelompok perlakuan R2 (3.65±0.31 g/dl) dan R3 (3.38±0.34 g/dl) menunjukkan kadar globulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0) (3.35±0.71g/dl). Kelompok perlakuan R1 (3.33±0.39 g/dl) dan R4 (3.33±0.29 g/dl) memperlihatkan kadar globulin yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Kadar globulin menunjukkan tingkat imunitas ternak. Tabel 4 memperlihatkan peningkatan kadar globulin pada umur 6 minggu dibandingkan dengan umur 3 minggu pada semua kelompok perlakuan. Hal ini terkait dengan peningkatan sintesis protein yang akan diikuti oleh peningkatan protein plasma termasuk globulin. Peningkatan globulin plasma diduga terkait dengan fungsi organ limfoid yang semakin optimal. Kadar globulin plasma tetinggi umur 3 dan 6 minggu dihasilkan oleh kelompok perlakuan ransum R2. Tingginya kadar globulin yang terlihat pada kelompok perlakuan R2 diduga terkait dengan komposisi ransum yang mengandung bawang putih dan Zn oksida. Suharti (2004) melaporkan bahwa penambahan 2.5% serbuk bawang putih dalam ransum dapat meningkatkan gammaglobulin. Mekanisme kerja allisin yang terkandung di dalam bawang putih sebagai imunostimulan menurut Suharti (2004), adalah dengan adanya ikatan antara komponen gula alinase dengan Co A membentuk kompleks bawang mannose-spesifik lektin. Ikatan tersebut akan menstimulasi sistem imun natural dengan mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur lektin. Serangkaian reaksi pada jalur lektin akan memicu pembelahan komplemen menjadi kompleks makromolekul yang akan merusak membran sel bakteri. Menurut Palungkun dan Budiarti (1997), bawang putih juga mengandung senyawa aktif scordinin yang berperan dalam meningkatkan daya tahan tubuh Penambahan Zn dalam ransum mampu memberikan pengaruh terhadap fungsi imunitas. Penambahan Zn 60 mg/kg pakan dapat meningkatkan kapasitas fagositosis pada kambing PE periode sekitar partus (Widhyari 2005). Zn dapat meningkatkan aktivitas sel limfoid (Pond et al. 2005). Peningkatan aktivitas sel limfoid akan menyebabkan peningkatan konsentrasi komponen - komponen yang terkait dengan sistem imun termasuk globulin. Hosea et al. (2003) melaporkan bahwa defisiensi Zn dapat menurunkan persentase sel CD90+ di dalam darah dan limpa yang akan disertai dengan penurunan sel T. Menurut Guyton dan Hall (1997), sel T merupakan pengatur utama bagi seluruh fungsi imun dengan cara membentuk serangkaian mediator protein yang disebut limfokin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar globulin semua kelompok perlakuan masih dalam kisaran normal, bahkan pada umur 6 minggu kelompok perlakuan R2 memperlihatkan kadar globulin sedikit diatas normal. Kadar globulin ayam sekitar 2.86 g/dl (Sturkie 1954) atau berkisar antara 2.3 - 3.3 g/dl (Swenson 1984). Peningkatan kadar globulin diduga disebabkan oleh meningkatnya aktivitas sel limfoid dalam memproduksi globulin untuk meningkatkan imunitas sebagai pertahanan tubuh. Pada kejadian inflamasi sistemik yang berlangsung kronis, kadar globulin meningkat sebagai respon pertahanan tubuh. Peningkatan kadar globulin bertujuan untuk melawan agen penyebab inflamasi. Selain itu kadar globulin juga meningkat pada keadaan neoplasia yang melibatkan organ limfoid (limfosarkoma, plasma cell myeloma). Pada keadaan neoplasia, daya mitotik organ limfoid meningkat sehingga menyebabkan produksi globulin yang berlebihan. Penurunan kadar globulin dapat terjadi jika salah satu fraksi globulin mengalami penurunan produksi. Penurunan produksi dapat terjadi pada salah satu kelas imunoglobulin atau keseluruhan. Penurunan sintesis pada salah satu kelas imunoglobulin karena kelainan genetik akan menimbulkan penyakit imunodefisiensi, misalnya pada keadaan agammaglobulinemia yang ditandai dengan penurunan yang nyata pada produksi IgG akibat adanya gangguan pada sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme (Murray et al. 2003). Rasio Albumin - Globulin (A/G) Hasil pengamatan rasio albumin - globulin (A/G) pada ayam broiler umur 3 dan 6 minggu ditampilkan pada Tabel 5. Table 4 Rasio albumin - globulin (A/G) ayam broiler umur 3 dan 6 minggu Perlakuan ransum R0 R1 R2 R3 R4 Rasio albumin - globulin (A/G) 3 minggu 6 minggu 0.41 0.39 0.45 0.41 0.40 0.35 0.52 0.42 0.42 0.37 R0 = ransum basal, R1 = R0 + bawang putih + kunyit, R2 = R0 + bawang putih + ZnO, R3 = R0 + kunyit + ZnO, R4 = R0 + bawang putih + kunyit + ZnO Kelompok perlakuan R2 pada umur 3 minggu memperlihatkan rasio albumin - globulin yang sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Kelompok perlakuan R1, R3 dan R4 menunjukkan rasio albumin globulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Pada umur 6 minggu, rasio albumin - globulin kelompok perlakuan R2 dan R4 lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (R0). Kelompok perlakuan R1 dan R2 memperlihatkan rasio albumin - globulin yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (R0). Pemeriksaan terhadap rasio albumin - globulin dapat memberikan informasi penting tentang fungsi hati. Peningkatan rasio albumin - globulin terjadi pada keadaan hipotiroidism, peningkatan diet protein dan hiperglukokortikoid. Sedangkan penurunan rasio albumin - globulin terjadi pada keadaan disfungsi hati (Jain 1993). Hal ini akan menurunkan produksi protein plasma, khususnya albumin, sehingga rasio albumin - globulin menurun. Widhyari (2005) melaporkan bahwa peningkatan rasio albumin - globulin dapat disebabkan karena meningkatnya albumin disertai kadar globulin yang tetap atau kadar albumin tetap dan globulin menurun atau meningkatnya kadar albumin disertai menurunnya kadar globulin. Sedangkan rendahnya rasio albumin - globulin mencerminkan terjadinya peningkatan kadar globulin disertai penurunan atau tetapnya kadar albumin. Tabel 4 menunjukkan rasio albumin - globulin mengalami penurunan dari umur 3 minggu hingga umur 6 minggu pada semua kelompok perlakuan. Hal ini terkait dengan meningkatnya kadar globulin pada umur 6 minggu. Peningkatan kadar globulin menunjukkan terjadi peningkatan daya tahan tubuh. Pada umur 3 dan 6 minggu, kelompok perlakuan R3 memperlihatkan rasio albumin - globulin yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok perlakuan lain. Hal ini disebabkan karena kelompok perlakuan R3 memiliki kadar albumin yang lebih tinggi. Pada kelompok R2 memperlihatkan rasio albumin - globulin yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar globulin disertai dengan tetapnya kadar albumin. Rasio albumin - globulin berkisar antara 0.5 -1.5, dan ideal pada ayam sebesar 0.68 (Sturkie 1954). Rendahnya rasio albumin - globulin yang diperoleh pada penelitian ini terkait dengan kadar albumin yang rendah serta kadar globulin yang cukup tinggi sehingga memberikan hasil perbandingan albumin - globulin yang rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Kadar protein total dan globulin plasma ayam broiler lebih tinggi pada umur 6 minggu dibandingkan pada umur 3 minggu, 2. Pemberian serbuk kunyit 1.5% dan mineral ZnO 120 ppm mampu meningkatkan kadar albumin ayam broiler pada umur 3 minggu, 3. Pemberian serbuk bawang putih 2.5% dan mineral ZnO 120 ppm mampu meningkatkan kadar globulin ayam broiler. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan serbuk kunyit, bawang putih, dan mineral zink pada ayam petelur dengan waktu pengamatan yang lebih lama, 2. Perlu dilakukan pengamatan efek pemberian serbuk kunyit, bawang putih dan mineral zink terhadap kadar protein total, albumin dan globulin pada ayam yang diuji tantang terhadap infeksi bakteri. DAFTAR PUSTAKA Abidin Z. 2002. Meningkatkan Produktivitas Ayam Ras Pedaging. Jakarta: Agromedia Pustaka. Ali SA, Sayed MAM, El-Wafa SA, Abdallah AG. 2003. Performance and immune response of broiler chicks as affected by methionine and zinc or commercial zinc-methionine supplementation. Egyptian Poultry Science Journal 23 (3): 523 - 540. Alsuhendra. 2004. Daya anti-arterosklerosis Zn-turunan klorofil dari daun singkong (Manihot esculenta Crantz) pada kelinci percobaan [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Broiler. Bogor: Lembaga Satu Gunung Budi. Anggorodi R. 1985. Ilmu Makanan Ternak Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Anonimus. 2008. Konsumsi protein rakyat Indonesia. http://www.p3gizi.litbang.depkes.go.id/index.php?option=com_content&task =view&id=36&Itemid=2. [8 Mei 2008]. Chattopadhyay I, Biswas K, Bandyopadhyay U, Banerjee RK. 2004. Turmeric and curcumin: biological action and medicinal applications. Current Science 87 (1): 44 - 53. Cheeke PR. 2005. Applied Animal Nutrition. 3rd edition. New Jersey: Pearson Education Inc. Colville T, Bassert JM. 2002. Clinical Anatomy and Phisiology for Veterinary Technicians. United States of America: Mosby Inc. Damayanti D. 2005. Pengaruh penambahan kunyit (Curcuma domestica Val.) atau temulawak (Curcuma xanthorhiza Roxb) dalam ransum terhadap persentase karkas dan potongan karkas komersial broiler [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Darwis SN, Madjo ABD, Hasiyah S. 1991. Tanaman Obat Famili Zingiberaceae. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Edisi 4. Srigandono B, Praseno K, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Girindra A. 1989. Biokimia Patologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Setiawan I, Tengadi LMAKA, Santoso A, penerjemah; Setiawan I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Phisiology. Holladay S. 2004. Garli: the great protector. http://botanical.com/site/column_poudhia/52_files/flowchart_files/site/by_yo u/article_greatprotector/garlic.html. [12 Sep 2004]. Hosea HJ, Rector ES, Taylor CG. 2003. Zinc-deficient tars have fewer recent thymic emigrant (CD90+) T lymphocytes in spleen and blood. Nutrition Immunology Journal 133 (12): 4239 - 4242. Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia: Lea & Febiger. Kanarek RB, Kaufman RM. 1991. Nutrition and Behavior. New York: Van Nostrand Reinhold. Kaneko JJ. 1980. Clinical Biochemistry of Domestic animals. 3rd edition. New York: Academic Press Inc. Karossi AT, Hanafi M, Sutedja L. 1993. Isolation and antibacterial test of garlic oil. J of App. Chem. 3 (2): 49 - 53. Klasing KC. 2002. Comparative Avian Nutrition. London: CAB International. Leeson S, Summers JD. 2000. Broiler Breeder Production. Canada: University Books. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism. Mazza G, Oomah BD. 1998. Herbs, Botanicals, and Teas. New York: CRC Press. Mills S, K Bone. 2000. Principles and Practice of Phytotherapy. Toronto: Chrurchill Livingstone. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Hartono A, penerjemah; Bani AP, Sikumbang TMN, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Terjemahan dari: Harper’s Boichemistry. Neligan P. 1998. What’s all this fuss about albumin?. http://www.4um.com/tutorial/currents/albumin.htm. [15 Juli 2008]. Palungkun R, Budiarti A. 1997. Bawang Putih Dataran Rendah. Jakarta: Penebar Swadaya. Pond WG, Church DC, Pond KR, Schoknecht PA. 2005. Basic Animal Nutrition and Feeding. 5th edition. United States of America: Wiley. Prewitt K, Elhendy A, Sacher M. 2007. Total serum protein. http://yourtotahealth.invillage.com/total-serum-protein.html. [15 Juli 2008]. Priyatno MA. 2003. Mendirikan Usaha Pemotongan Ayam. Jakarta: PT. Penebar Swadaya. Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robinson SRJ. 1981. Spices. Vol 2. New York: Longman Inc. Raphael SS. 1983. Lynch’s Medical Laboratory Technology. 4th edition. Philadelphia: W. B. Saunders Company. Robinowitch HD, Currah L. 2002. Allium Crop Science: Recent Advances. United Kingdom: CABI Publishing. Sandstead HH, Evans SRJ. 1988. Pengantar Gizi Mutakhir: Mineral. Nasution AH, penerjemah. Jakarta: Gramedia. Terjemahan dari: Present Knowledge in Nutrition. Sturkie PD. 1954. Avian Phisiology. New York: Cornell University Press. Suharti. 2004. Kajian antibakteri temulawak, jahe dan bawang putih terhadap bakteri Samonella typhimurium serta pengaruh bawang putih terhadap performans dan respon imun ayam pedaging [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Swenson MJ. 1984. Duke’s Physiology of Domestic Animals. 10th edition. London: Cornell University Press. Syamsuhidayat SS, Hutapea JR. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia 1. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Syukur C, Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Underwood EJ. 1981. The Mineral Nutrition Commonwealth Agricultural Bureaux. of Livestock. London: Walker HK, Hall WD, Hurst JW, Butterworths.. 1990. Clinical methods: the history, physical and laboratory examination. http://www.ncb.nlm.nih.gov/books/bv.fcgi?rid=cm.chapter.3167. [4 Maret 2008]. Wibowo S. 1999. Budidaya Bawang Putih, Bawang Merah dan Bawang Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya. Widhyari SD. 2005. Patofisiologi sekitar partus pada kambing peranakan etawah: kajian peran suplementasi Zincum terhadap respons imunitas dan produktivitas [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Winarto WP. 2003. Khasiat dan Manfaat Kunyit. Jakarta: Agromedia Pustaka. LAMPIRAN Lampiran 1 Analisis data rataan kadar protein total, albumin dan globulin ayam broiler umur 3 minggu Analisis Sidik Ragam (ANOVA) untuk rataan kadar protein total, albumin dan globulin ayam broiler umur 3 minggu Sum of Squares total protein albumin globulin Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Mean Square df ,333 4 ,083 1,975 2,308 15 19 ,132 ,145 4 ,036 ,175 ,320 15 19 ,012 ,388 4 ,097 1,580 1,968 15 19 ,105 F Sig. ,632 ,647 3,107 ,048 ,921 ,477 Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk rataan kadar protein total ayam broiler umur 3 minggu Subset for alpha = .05 perlakuan 3R4 3R3 3RO 3R1 3R2 Sig. N a 4 4,0500 4 4,2250 4 4,2750 4 4,3000 4 4,4500 ,178 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk rataan kadar albumin ayam broiler umur 3 minggu N Subset for alpha = .05 a b 4 1,2000 4 1,2500 4 1,2750 4 1,3250 1,3250 4 1,4500 ,151 ,123 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk rataan kadar globulin ayam broiler umur 3 minggu Subset for alpha = .05 perlakuan 3R3 3R4 3R1 3RO 3R2 Sig. N a 4 2,7750 4 2,8500 4 2,9750 4 3,0250 4 3,1750 ,135 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. Lampiran 2 Analisis data rataan kadar protein total, albumin dan globulin ayam broiler umur 6 minggu Analisis Sidik Ragam (ANOVA) untuk rataan kadar protein total, albumin dan globulin ayam broiler umur 6 minggu Sum of Squares total protein albumin globulin Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Mean Square df ,330 4 ,082 1,968 15 ,131 2,298 19 ,102 4 ,026 ,250 15 ,017 ,352 19 ,307 4 ,077 2,863 15 ,191 3,170 19 F Sig. ,629 ,649 1,530 ,244 ,402 ,804 Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk rataan kadar protein total ayam broiler umur 6 minggu Subset for alpha = .05 perlakuan 6R4 6R0 6R1 6R3 6R2 Sig. N a 4 4,5500 4 4,6500 4 4,7000 4 4,8000 4 4,9250 ,204 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk rataan kadar albumin ayam broiler umur 6 minggu Subset for alpha = .05 perlakuan 6R4 6R2 6R0 6R1 6R3 Sig. N a 1,2250 1,2750 1,3000 1,3750 1,4250 ,065 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. 4 4 4 4 4 Uji Wilayah Berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test) untuk rataan kadar globulin ayam broiler umur 6 minggu Subset for alpha = .05 perlakuan 6R1 6R4 6R0 6R3 6R2 Sig. N a 3,3250 3,3250 3,3500 3,3750 3,6500 ,355 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4,000. 4 4 4 4 4