ANALISIS DATA MAGNETIK UNTUK MENGETAHUI POSISI BATUAN SEDIMEN TERHADAP BATUAN BEKU DAN BATUAN METAMORF DI DAERAH WATUPERAHU PERBUKITAN JIWO TIMUR BAYAT KLATEN Desy Hanisa Putri Program Studi Fisika FKIP Universitas Bengkulu, Jl Raya Kandang Limun Bengkulu, Telp (0736) 21186, e-mail : [email protected] Abstrak Daerah Watuperahu Perbukitan Jiwo merupakan daerah yang relatif sempit namun memiliki kondisi geologi yang kompleks. Semua jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf dapat dijumpai di daerah ini. Adanya kompleksitas batuan yang terdapat pada daerah penelitian mendorong dilakukannya survei geofisika menggunakan metode magnetik. Penelitian ini bertujuan Menggambarkan kondisi bawah permukaan dan menentukan posisi atau kedudukan batuan sedimen terhadap batuan beku dan batuan metamorf berdasarkan kontur anomali medan magnet. Pengambilan dilaksanakan selama 8 hari dengan luas area 0.2 km x 1.4 km dan bervariasi antara 5 m - 50 m. Pemrosesan data dimulai dengan koreksi IGRF dan koreksi variasi harian untuk mendapatkan anomali medan magnet. Kemudian dilakukan kontinuasi ke atas sampai ketinggian 398 m. Hasilnya kemudian direduksi ke kutub dan ditransformasi psedogravitasi serta dicari nilai mutlak dari gradien horisontal. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan menganalisa grafik gradien vertikal dan anomali medan magnet perlintasan survei, kontur gradien vertikal medan magnet total, kontur anomali medan magnet total yang telah direduksi ke kutub dan hasil tranformasi pseudogravitasi serta kontur harga mutlak gradien horisontal. Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan pemodelan benda anomali menggunakan program Mag2DC for Windows. Hasil dari interpretasi kualitatif adalah posisi horisontal dari benda penyebab anomali, yaitu batuan sedimen terhadap batuan beku diorit berkisar antara 360 m – 430 m, batuan beku diorit terhadap batuan sedimen Watuperahu berkisar antara 620 m- 660 m, batuan sedimen Watuperahu terhadap batuan metamorf berkisar antara 730 m – 800 m.Hasil dari interpretasi kuantitatif adalah model struktur geologi berupa batas dan penyebaran batuan berdasarkan harga suseptibilitas. Batuan metamorf mempunyai suseptibilitas 0.0002 emu, batuan sedimen Watuperahu dengan suseptibilitas 0.0005 emu, batuan beku diorit dengan suseptibilitas 0.0011 emu dan batuan sedimen (lempung tuffan dan pasir kering) dengan suseptibilitas 0.0016 emu. Arah strike batuan cenderung mengarah ke timur – barat dan arah perbatasan litologi juga cenderung memanjang ke timur – barat. PENDAHULUAN Daerah Perbukitan Jiwo merupakan daerah yang relatif sempit tetapi memiliki kondisi geologi yang kompleks. Adanya kompleksitas dan pencapaian yang mudah, menjadikan daerah Perbukitan Jiwo merupakan daerah yang tepat untuk melakukan penelitian lapangan. Semua jenis batuan yaitu batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf dapat Analisis Data …………. (Desi Hanisa Putri) 120 dijumpai di daerah ini pada tempattempat singkapan yang mudah dicapai. Salah satu batuan yang tertua di Jawa, berupa batuan metamorf dan batuan paleogen yang banyak mengandung fosil tersingkap di daerah ini. Secara tidak selaras di atas batuan metamorf terdapat seri batuan klastikal dan karbonat yang kaya akan kandungan fosil foraminifera. Bothe (1929) menyebutkan batuan ini sebagai Wungkal Beds untuk bagian bawah dan Gamping Beds di bagian atas. Perbedaan diantara dua Beds tersebut bukan atas dasar perbedaan litologinya, melainkan lebih didasarkan pada perbedaan kandungan fosilnya, sehingga Wungkal Gamping pada dasarnya adalah nama untuk satuan biostratigafi. Batuan tersebut diterobos oleh tubuh batuan beku terutama mikrodiorit. Penerobosan ini diduga terjadi pada Paleogen Akhir. Walaupun batuan paleogen ini tersingkap di beberapa tempat, namun posisi stratigrafi satu terhadap yang lain sangat sukar untuk ditetapkan. Singkapan utama batuan ini berada di daerah Watuprahu-Padasan, lereng selatan G. Pendul, di dekat desa Gamping Gede dan daerah Dowo. Keempat daerah ini terletak di kawasan Perbukitan Jiwo Timur. Dengan adanya keragu-raguan tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menentukan posisi atau kedudukan batuan sedimen terhadap batuan beku dan batuan metamorf di daerah Watuperahu. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui posisi batuan sedimen terhadap batuan beku dan batuan metamorf di daerah Watuprahu Perbukitan Jiwo Timur yang meliputi area sekitar 1.4 x 0.2 km2, dapat dirinci sebagai berikut : Exacta, Vol. VI, No 1, Juni 2008 : 120-127 1. Mendapatkan peta sebaran anomali medan magnet di daerah Watuperahu Perbukitan Jiwo Timur. 2. Menggambarkan kondisi bawah permukaan berdasarkan kontur anomali medan magnet. 3. Menentukan posisi atau kedudukan batuan sedimen terhadap batuan beku dan batuan metamorf. METODE PENELITIAN Peralatan Penelitian Peralatan utama yang digunakan di dalam penelitian medan magnetik di daerah Watuperahu Perbukitan Jiwo Timur ini adalah : 1. Dua unit PPM (Proton Precission Magnetometer) merk Geometrics model G-856, dilengkapi sensor, tongkat, dan batere kering. 2. Satu set Global Positioning System (GPS) Trimble 4600TM LS frekuensi tunggal yang terdiri dari: a. Satu buah Trimble survey controller 1 (TSC1). b. Empat buah baterai eksternal GPS Trimble. c. Charger baterai dan controller GPS. d. Tripot base dan bipot rover. Peralatan penunjang yang digunakan di dalam penelitian ini, meliputi : 1. Kompas Geologi, digunakan untuk mengetahui arah utara sebagai orientasi sensor PPM. 2. Peta topografi daerah Perbukitan Jiwo untuk menentukan lintasan pengambilan data. 3. Peta geologi daerah Perbukitan Jiwo untuk melihat penyebaran jenis batuan daerah penelitian. 4. Buku kerja, digunakan untuk mencatat nilai intensitas medan magnetik total, hari, tanggal, jam, kondisi cuaca dan lingkungan saat pengambilan data. 5. Jam, untuk mengetahui waktu pengambilan data. 121 6. Unit komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magmap2000, GPS Survey, Surfer, Magpick dan Mag2DC, digunakan untuk mengolah data intensitas medan magnet total dan data posisi dari GPS yang diperoleh dari lapangan. Prosedur Penelitian Pengambilan data meliputi dua macam yaitu pengambilan data medan magnet total dengan menggunakan PPM dan pengambilan data posisi titik awal dan akhir lintasan dengan menggunakan GPS. Studi pendahuluan mengenai kondisi daerah penelitian dilakukan terlebih dahulu yang bertujuan untuk membuat perencanaan survei yaitu jalur lintasan yang akan ditempuh, lokasi titik ikat magnetik (base station) dan posisi titik ikat. Tahapan selanjutnya adalah pengambilan data langsung di lapangan. Pengambilan data dilakukan selama 8 hari dengan spasi antar lintasan 50 m dan spasi antar titik pengukuran diterapkan berdasarkan kondisi geologi di lapangan yaitu 5, 10, 20, 30, 50 meter. Hal ini dilakukan berdasarkan target survei yaitu untuk menentukan posisi dan batas kontak antara batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf, maka spasi pengukuran diperkecil apabila lintasan mendekati batas kontak batuan sedimen dengan batauan beku. Spasi yang lebih kecil diharapkan memberikan anomali yang lebih jelas saat melewati batas kontak batuan tersebut. Pengukuran saat melewati batas kontak ini dicatat dan diberi tanda pada buku lapangan untuk memudahkan dalam interpretasi. Pengukuran intensitas medan magnet total dilakukan menggunakan peralatan PPM, merupakan portable magnetometer yang dilengkapi dengan alat perekam data. Data-data yang terukur berupa intensitas medan magnet total, waktu dan tanggal pengukuran. Alat ini juga dilengkapi dengan sensor noise yang akan berbunyi jika banyak gangguan di sekitar lokasi pengukuran seperti pengukuran dekat pagar kawat, jaringan listrik, rumah, mobil dan lainlain. Pengukuran dilakukan menggunakan dua buah PPM. PPM dengan satu sensor dipasang di basecamp sebagai basestation dan dioperasikan secara otomatis merekam data medan magnet total dengan selang waktu dua menit. Tujuannya adalah untuk mendapatkan data variasi harian. Sedangkan PPM dengan dua sensor digunakan untuk pemetaan medan magnet total dan variasi gradien vertikal medan magnet di lapangan. Pada setiap stasiun pengukuran intensitas medan magnet total dilakukan pada 5 titik yang berbeda. Jarak antara satu titik dengan titik yang lain dibuat kira-kira 1 meter. Data posisi titik awal dan akhir lintasan diukur menggunakan GPS Trimble 4600TM LS frekuensi tunggal, berfungsi sebagai titik ikat lintasan. Metode pengukuran menggunakan metode Faststatik dengan waktu pengamatan sekitar 15 sampai 20 menit. Pengukuran posisi dilakukan oleh tim kerja praktek GPS yang terpisah dari metode magnetik.. HASIL DAN PEMBAHASAN Studi pendahuluan mengenai kondisi daerah penelitian dilakukan terlebih dahulu yang bertujuan untuk membuat perencanaan survei yaitu jalur lintasan yang akan ditempuh, lokasi titik ikat magnetik (base station) dan posisi titik ikat. Pengambilan data dilakukan menggunakan spasi antar lintasan 50 m dan spasi antar titik pengukuran diterapkan berdasarkan Analisis Data …………. (Desi Hanisa Putri) 122 kondisi geologi di lapangan yaitu 5, 10, 20, 30, 50 meter. Hal ini dilakukan berdasarkan target survei yaitu untuk menentukan posisi dan batas kontak antara batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf, maka spasi pengukuran diperkecil apabila lintasan mendekati batas kontak batuan sedimen dengan batauan beku. 14 0 00 100 200 300 400 600 550 500 12 450 00 400 350 10 300 00 250 200 80 150 0 100 50 60 0 0 -50 -100 -150 0 40 -200 20 0 0 10 0 20 0 0 Gambar peta kontur anomali medan magnet pada sensor atas (a) dan bawah (b). Gambar diatas Merupakan kontur penyebaran anomali medan magnet yang terukur oleh sensor atas dan sensor bawah di daerah Watuperahu. Keduanya memiliki pola penyebaran yang relatif sama, menunjukkan bahwa pola tersebut merupakan nilai anomali medan magnet terukur yang sebenarnya. Dari perbandingan antara pola penyebaran nilai anomali medan magnet dan topografi daerah penelitian tidak menunjukkan kesamaan sehingga dapat dikatakan bahwa nilai anomali medan magnet tersebut sangat kecil terpengaruh oleh faktor ketinggian. Kontinuasi ke atas Pola anomali medan magnet di daerah selatan banyak terdapat klosur-klosur kecil dikarenakan adanya Exacta, Vol. VI, No 1, Juni 2008 : 120-127 anomali lokal. Untuk mendapatkan target anomali regional maka dilakukan operasi filter dengan cara kontinuasi ke atas nilai anomali medan magnet. Kontinuasi keatas dilakukan dengan cara mengangkat nilai anomali yang berada di suatu bidang datar dengan ketinggian tertentu ke suatu bidang datar dengan ketinggian yang diinginkan. Dengan asumsi bahwa nT kondisi topografi pada daerah penelitian relatif datar dengan ketinggian berkisar 115 m – 195 m sedangkan ketinggian daerah Watuperahu 148 meter. Maka kontinuasi ke atas dilakukan pada ketinggian daerah tersebut. Kontinuasi pada penelitian ini dilakukan dari ketinggian daerah survei yaitu 148 meter ke ketinggian 398 meter. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan pada ketinggian tersebut pengaruh dari anomali lokal sudah hilang. Sehingga kenampakan klosur yang disebabkan oleh anomali regional atau anomali utama terlihat dengan jelas. Gambar dibawah adalah pola anomali medan magnet pada ketinggian 398 meter, ditunjukkan dengan adanya pola kontur yang b memperlihatkan suatu dwikutub yaitu klosur utama negatif dan positif yang kemungkinan merupakan satu pasangan dipole sebagai target penelitian. 30 00 14 26 22 18 00 12 14 10 00 10 6 2 -2 0 80 -6 -10 -14 0 60 -18 -22 -26 400 200 0 20 0 50 100 150 0 10 200 0 0 Gambar Peta kontur anomali medan magnet pada ketinggian 398 m. Reduksi ke kutub Kontinuasi ke atas anomali medan magnet menghasilkan letak benda utama penyebab anomali medan 123 magnet tersebut relatif diantara dua klosur utama. Untuk melokalisasi daerah dengan anomali maksimum atau minimum tepat berada di atas tubuh benda penyebab anomali dilakukan reduksi ke kutub dengan cara melokalisasi kenampakan dipole menjadi kenampakan monopole dimana posisi benda menjadi tepat di bawah klosur utama. Reduksi ke kutub dilakukan dengan cara membawa posisi benda ke kutub utara medan magnet bumi sehingga kondisi medan magnet pada daerah penelitian menjadi seperti kondisi di kutub utara medan magnet. Proses ini akan mengubah parameter medan magnet bumi pada daerah penelitian yang memiliki deklinasi 1.10 dan inklinasi -33.620 menjadi kondisi di kutub yang memiliki deklinasi 00 dan inklinasi 900. Gambar dibawah adalah hasil reduksi ke kutub dari anomali medan magnet, dimana terlihat dua klosur utama yang dimungkinkan sebagai benda penyebab anomali terletak tepat di bawah klosur tersebut. Adanya kenampakan klosur terlihat separuh disebabkan oleh lebar daerah penelititan yang terlalu kecil. Gambar . Peta kontur anomali medan magnet hasil reduksi ke kutub. Interpretasi kualitatif Interpretasi kualitatif dilakukan dengan menganalisa kontur kontinuasi ke atas, kontur anomali medan magnet yang telah direduksi ke kutub, kontur pseudogravitasi, kontur gradien horisontal dan gradien vertikal. Selain itu juga dilakukan interpretasi pada grafik gradien vertikal dan anomali medan magnet perlintasan survei. Analisa juga mempertimbangkan informasi geologi terdapat pada daerah tersebut. Dari grafik anomali medan magnet telihat bahwa adanya suatu pola yang menunjukkan batas kontak suatu batuan. Batas kontak terlihat dengan jelas pada grafik gradien vertikal anomali medan magnet yaitu jika di bawah permukaan lintasan survei mempunyai jenis batuan sama maka gradien anomali akan menunjukkan nilai yang relatif sama, akan tetapi jika terdapat perbedaan jenis batuan maka grafik anomali akan berubah naik atau turun tergantung dari suseptibilitas diantara kedua batuan tersebut. Titik-titik yang menunjukkan adanya perbedaan jenis batuan penyusun dibawa lintasan survei adalah lintasan 1 terdapat pada titik 420 m, 640 m, 740 m, lintasan 2 terdapat pada titik 360 m, 640 m, 760 m, lintasan 3 terdapat pada titik 420 m, 620 m, 730 m, lintasan 4 terdapat pada titik 410 m 630 m, 760 nT m, lintasan 5 terdapat pada titik 430 m, 660 m, 800 m. Titik-titik ini diinterpretasi sebagai m batas kontak batuan dari utara ke selatan yaitu batuan sedimen (pasir dan lempung tufan), batuan beku (diorit), batuan sedimen Watuperahu (batugamping nummulites dan batupasir), dan batuan metamorf (sekis-mika). Batuan diorit dimulai dari titik 360 m – 640 m, batuan sedimen Watuperahu dimulai titik 620 m – 800 m. Kanampakan batuan metamorf mempunyai berda setelah titik 740 m – 800 m yang menunjukkan nilai relatif yang konstan pada grafik Analisis Data …………. (Desi Hanisa Putri) 124 00 14 0 100 200 300 205 200 195 190 185 180 175 170 165 160 155 150 145 140 135 130 125 120 115 110 105 400 00 12 00 10 0 80 0 60 0 40 0 20 0 20 0 0 10 0 gradien vertikal dan anomali medan manget pada setiap lintasan. Selain interpretasi setiap lintasan juga dilakukan innterperaai terhadap kontur yang dibuat dari semua semua lintasan. Kontur anomali medan magnet pada ketinggian 398 meter menunjukkan dua pola klosur utama yang diperkirakan sebagai anomali. Pada kontur anomali medan magnet yang telah direduksi ke kutub memiliki tiga klosur, yaitu dua pola klosur utama di bagian tengah dan utara daerah penelitian, dan di bagian paling selatan terdapat potongan bagian klosur ketiga. Pola ini mengindikasikan bahwa penyebab anomali pada daerah penelitian lebih dari satu benda. Hal tersebut juga didukung oleh pola pada kontur hasil transformasi pseudogravitasi. Bentuk dari benda anomali cenderung bersejajar ke arah utara selatan dengan arah strike cenderung mengarah ke timur barat. Hal ini didukung dengan pola penyebaran nilai gradien horisontal pseudogravitasi yang juga cenderung memanjang ke arah timur barat. Informasi geologi memperlihatkan bahwa litologi paling utara berupa batuan metamorf, ke arah selatan berupa lapisan batuan sedimen (batupasir dan batugamping nummulites) yang bersentuhan dengan batuan beku diorit di sebelah selatannya, di bagian paling selatan berupa batuan sedimen (lempung tufan, batu pasir dan serpih) yang kesemuanya mempunyai strike cenderung mengarah ke timur barat. Jika analisa kontur dikorelasikan dengan informasi geologi tersebut maka anomali medan magnet diperkirakan disebabkan oleh kontak litologi batuan yang mengarah ke timur barat. Exacta, Vol. VI, No 1, Juni 2008 : 120-127 Interpretasi kuantitatif Interpretasi kuantitaif dilakukan dengan pemodelan benda anomali menggunakan metode Talwani dkk (1959) yang dibuat dalam suatu paket program Mag2DC for Windows. Untuk keperluan pemodelan dibuat sayatan pada kontur anomali medan magnet di ketinggian 398 m (gambar dibawah). Pembuatan sayatan berdasarkan hasil interpretasi kualitatif mengenai posisi horisontal dari benda anomali, yaitu berada di atas anomali utama yang melewati puncak klosur utama. 30 0 140 26 22 18 0 120 14 10 0 100 6 2 -2 0 80 -6 -10 -14 0 60 -18 -22 0 40 -26 0 20 200 0 50 100 150 0 10 200 0 0 Gambar Sayatan A-A’ pada kontur anomali medan magnet pada ketinggian 398 m. Hasil dari pemodelan menggunakan program Mag2DC for windows diperoleh 4 buah poligon dengan kesalahan 10.80% (gambar 5.20). Harga suseptibilitas poligon mulai dari kiri, poligon 1 (warna biru muda) sebesar 0.0002 emu, poligon 2 (warna biru agak tua) sebesar 0.0005 emu, poligon 3 (warna biru tua) sebesar 0.0011 emu dan poligon 4 (warna hijau) sebesar 0.0016 emu. Informasi geologi memperlihatkan bahwa litologi daerah penelitian terdiri dari 3 macam batuan yaitu batuan metamorf, batuan sedimen, dan batuan beku diorit. 125 Gambar Penampang vertikal A-A’ dengan menggunakan Mag2DC for windows. Dari informasi geologi di atas diperoleh kesimpulan bahwa poligon1 adalah batuan metamorf mempunyai suseptibilitas 0.0002 emu, poligon 2 adalah batuan sedimen Watuperahu dengan suseptibilitas 0.0005 emu, poligon 3 adalah batuan beku diorit dengan suseptibilitas 0.0011 emu dan poligon 4 adalah batuan sedimen (lempung tuffan dan pasir kering) dengan suseptibilitas 0.0016 emu. Batuan sedimen pada bagian selatan dapat mencapai kedalaman sekitar 180 meter. Sementara itu batuan beku mendominasi seluruh daerah pada kedalaman di bawah 250 meter. Lapisan metamorf terdapat sampai pada kedalaman 250 meter, sedang lapisan batuan sedimen yang kontak langsung terhadap batuan beku terdapat pada kedalaman 100 meter. KESIMPULAN 1. Anomali medan magnet disebabkan oleh kontak litologi yang berbeda berupa batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf. 2. Interpretasi perlintasan didapat bahwa batas antara batuan sedimen Analisis Data …………. (Desi Hanisa Putri) terhadapa batuan beku diorit berkisar antara 360 m – 430 m, batuan beku diorit terhadap batuan sedimen Watuperahu berkisar antara 620 m660 m, batuan sedimen Watuperahu terhadap batuan metamorf berkisar antara 730 m – 800 m. 3. Litologi daerah penelitian terdiri dari 4 macam batuan pokok, yaitu batuan metamorf dengan suseptibilitas 0.0002 emu, batuan sedimen dengan suseptibilitas 0.0005 emu, batuan beku dengan suseptibilitas 0.0011 emu, dan batuan gamping dengan suseptibilitas 0.0016 emu. 4. Dari pemodelan menggunakan software Mag2DC terdapat 3 buah batas litologi yakni batas antara batuan sedimen-batuan beku dititik 350 m, batuan beku – batuan sedimen dititik 550 m dan batuan sedimen – batuan metamorf pada titik 700 m. Titik nol/awal lintasan berada disebelah kanan. 5. Arah strike batuan cenderung mengarah ke timur – barat dan arah perbatasan litologi juga cenderung memanjang ke timur – barat. DAFTAR PUSTAKA Blakely,R.J.,1995,Potential Theory in Gravity and Magnetic Aplication, Cambridge University Press, USA Bothe, Ch. H., 1929, Djiwo Hills and Southern Ranges; Field Trip guide Book Prepoared for the Fourth Pacific Grant, F.S., and West, G.F., 1965, Interpretation Theory in Geophysics, Mc Graw Hill, New York. Katili, J.A., Marks, P., 1963 Geolog Departemen Urusan Riset Nasional, Jakarta Kunaratman, K., 1981, Simplified expressions for the magnetic 126 anomalies due to vertical rectanguar prism, Geophysical Prospecting, v 29, p. 883-890 Kurniawan, P., 1976, Penentuan Umur Batu Gamping di Desa Padasan Berdasarkan Kandungan Fosil Forminifera Besar; Skripsi jurusan T. Geologi Fak. Teknik, Universitas Gadjah Mada (tak diterbitkan) Radhakrisna, I. V., Swamy, K. V. And Rao, S. J., 2001 Aoutomatic inversion of magnetic anomalies of fault, Computer & Geosciences, 27,315-325 Exacta, Vol. VI, No 1, Juni 2008 : 120-127 127