Opini Publik dan Kebijakan Luar Negeri Amerika

advertisement
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
Opini Publik dan Kebijakan Luar Negeri Amerika
Review Mata Kuliah Hubungan Luar Negeri dan Keamanan Amerika
Ole R. Holsti, “Public Opinion and Foreign Policy: Challenges to the Almond—Lippman
Consensus”, dalam Robert J. Lieber (ed.), Eagle Rules? Foreign Policy and American
Primacy in the Twenty-First Century (Prentice Hall, 2002), 361-
Esai Ole R. Holsti membahas tentang debat antara pendekatan liberal-demokratis dan
realis terhadap peran opini publik dalam kebijakan luar negeri. Tradisi liberal-demokratis
memandang bahwa kebijakan luar negeri negara-negara demokratis lebih damai (daripada
kebijakan negara-negara nondemokratis) salah satunya karena akuntabilitas terhadap publik
membuat publik memiliki peran konstruktif dalam membatasi para pembuat kebijakan;
sementara tradisi realis memandang bahwa opini publik adalah rintangan terhadap diplomasi
yang bijaksana dan koheren, karena “syarat-syarat rasional kebijakan luar negeri yang baik
pada permulaannya tak dapat memperhitungkan dukungan opini publik yang memiliki
preferensi yang lebih emosional daripada rasional” (Hans J. Morgenthau, 1978:558). Pada
masa Perang Dunia I, Presiden Wilson dan Menteri Luar Negeri Elihu Root, yang
berpandangan liberalis klasik, menyambut prospek diplomasi rakyat. Namun, pada masa
pasca-Perang, jurnalis Walter Lippman mengkritik premis sentral pandangan liberal klasik
bahwa 1) publik tidak memiliki gambaran yang sesuai tentang hubungan internasional yang
nyata, serta bahwa 2) media tidak memiliki kemampuan efektif untuk menyajikan sumber
informasi valid tentang dunia nyata kepada publik. Peristiwa pada 1930-an dan pecahnya
Perang Dunia II seakan membenarkan pandangan skeptis tradisi realis dalam hal ini.
Konsensus Almond-Lippman yang disebutkan Holsti dalam judul esainya merujuk
kepada konsensus yang dicapai pasca-Perang Dunia II, melalui berbagai karya tentang opini
publik dan kebijakan luar negeri, seperti publikasi Lippman, esai The Man in the Street
Thomas Bailay (1948), dan esai The American People and Foreign Policy Gabriel Almond
(1950). Dalil konsensus tersebut adalah sebagai berikut.

Opini publik sangat mudah berubah pendirian sehingga menjadi dasar yang
meragukan bagi kebijakan luar negeri.

Sikap publik terhadap urusan luar negeri kurang memiliki struktur dan koherensi
sehingga lebih tepat tidak disebut sebagai sikap.

Pada akhirnya, opini publik hanya memiliki pengaruh yang sangat terbatas terhadap
1
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
pelaksanaan kebijakan luar negeri.
Holsti kemudian memaparkan penjelasan tiap-tiap dalil dan fakta-fakta yang
mendukungnya. Hingga titik ini, Holsti tampak seakan mendukung skeptisisme realis karena
fakta-fakta tersebut membuktikan konsensus Almond-Lippman tersebut. Namun, Holsti
kemudian masuk kepada pembahasan tentang bangkitnya perhatian opini publik terhadap
kebijakan luar negeri, yang terjadi pada era Perang Vietnam. Mereka yang percaya bahwa
eksekutif secara relatif bebas dari publik pun menguji kembali pandangan mereka. Beberapa
pun mengkritik bahwa berbagai polling komersial mendistorsi sikap publik terhadap perang.
Hal ini mendorong timbulnya berbagai survey independen, yang pada akhirnya
menghadirkan tantangan sistematis terhadap tesis Almond-Lippman. Tantangan paling
komprehensif terhadap dalil pertama, bahwa opini publik mudah berubah pendirian, muncul
dari kajian Benjamin Page dan Robert Shapiro (1988) yang menemukan bahwa opini massa
secara agregat tercirikan dengan suatu stabilitas (baik pada kebijakan luar negeri maupun
pada isu domestik), serta bahwa ketika sikap publik berubah, hal tersebut tidak terjadi secara
acak maupun 180 derajat, namun merupakan reaksi masuk akal yang berdasarkan peristiwa
dunia nyata.
Sayangnya, dalam pembahasan tentang tantangan pertama ini, Holsti tidak membahas
bagaimana publik yang hanya memiliki pengetahuan faktual terbatas tentang urusan luar
negeri dapat bereaksi terhadap urusan luar negeri secara rasional berdasarkan peristiwa,
sebagaimana ditekankannya pada akhir pembahasannya. Dalam hal ini, Charles W. Kegley,
Jr. dan Eugene R. Wittkopf (1996) mengungkapkan bahwa perhatian dan informasi tidak
begitu penting, karena kebanyakan warga Amerika tetap dapat membedakan berbagai isu dan
mengidentifikasi isu penting; publik memiliki opini yang kuat atas isu-isu yang
dipedulikannya dan opini tersebut seringkali stabil dari masa ke masa, namun apabila kondisi
tersebut berubah, opini publik juga berubah. Hal ini diistilahkan Kegley-Wittkopf sebagai the
American people learn (rakyat Amerika belajar).1
Tantangan terhadap dalil kedua, bahwa opini publik kurang memiliki struktur dan
koherensi, merupakan klaim bahwa terdapat peningkatan konsistensi ideologis di antara
publik antara 1960-an dan 1970-an. Berbagai literatur penelitian terakhir menunjukkan dua
poin umum terkait struktur kepercayaan, bahwa 1) walaupun publik kurang memiliki
informasi, sikap mereka tentang urusan luar negeri terstruktur dalam cara yang cukup
Charles W. Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf, American Foreign Policy, Fifth Edition
(New York: St. Martin’s Press, 1996), 273-276
1
2
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
moderat, serta bahwa 2) dimensi tunggal isolasionis-internasionalis tidak cukup untuk
menjelaskan dimensi utama opini publik atas urusan internasional. Terkait poin kedua, E.R.
Wittkopf (1986, 1990) menyumbangkan dua dimensi deskripsi sikap kebijakan luar negeri:
“mendukung-menentang internasionalisme militant” (MI) dan “mendukung-menentang
internasionalisme koperatif” (CI). Dari dikotomi ini, muncul empat tipe, yaitu garis-keras
(mendukung MI, menentang CI), internasionalis (mendukung MI, mendukung CI),
isolasionis (menentang MI, menentang CI), dan akomodasionis (menentang MI, mendukung
CI). Skema MI/CI ini cocok dengan pendekatan realisme dan liberalisme, dan juga dibahas
lebih komprehensif sebagai sistem kepercayaan kebijakan luar negeri oleh Kegley-Wittkopf
(1996)2. Selain itu, terdapat juga pembedaan unilateralisme dan multilateralisme, serta
koherensi hierarkis postur yang dibatasi kumpulan nilai inti yang diajukan Jon Hurwitz dan
Mark Peffley.
Tantangan terhadap dalil ketiga, bahwa opini publik kurang memiliki pengaruh terhadap
kebijakan luar negeri, muncul dari berbagai analisis kuantitatif/korelasional dan studi kasus.
Satu unsur tesis yang memandang bahwa pemilihan umum hanya ditentukan oleh isu-isu
domestik dipatahkan oleh suatu kajian sistematik yang menunjukkan bahwa pada lima dari
sembilan pemilu antara 1952 dan 1984, isu kebijakan luar negeri memiliki efek yang besar.
L.A. Kusnitz mengungkapkan bahwa selama tiga dekade pascapendirian pemerintahan Mao
Tse-tung di Cina 1949, terdapat kesesuaian tinggi antara preferensi publik dan kebijakan
Amerika Serikat. W.E. Miller-D.E. Stokes (1963) mengungkapkan bahwa pada awal
pembangunan pertahanan pada pemerintahan Reagan, opini publik memiliki kekuatan
mengubah kebijakan. Terdapat berbagai kemungkinan tentang kesesuaian sikap publik dan
pembuat keputusan: 1) arah kausalitas sebenarnya adalah dari para pembuat kebijakan kepada
publik, bukan sebaliknya, atau 2) pemerintahan memanipulasi peristiwa, yang menjadi bagian
informasi yang tersedia bagi publik, yang kemudian menghasilkan perubahan opini, yang
diikuti perubahan kebijakan yang sesuai dengan opini tersebut. Selain itu, penelitian T.W.
Graham (1989) menunjukkan bahwa dalam kebijakan arms control Amerika, opini publik
memiliki pengaruh penting atas keputusan pada seluruh jenjang proses kebijakan, dari
negosiasi pengagendaan, ratifikasi, dan implementasi.
Secara keseluruhan, studi kasus-studi kasus tersebut menunjukkan bahwa pengaruh
opini publik telah meningkat selama dekade-dekade terakhir. Hal ini didukung oleh esai
Alexander L. George, yang mengungkapkan bahwa pandangan publik terhadap kebijakan
2
Charles W. Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf, op. cit., 273-276
3
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
luar negeri adalah suatu kekuatan yang menentukan pilihan dalam pemerintahan, di mana
para pejabat tinggi negara dapat menopang kebijakan luar negeri hanya ketika kebijakan
tersebut dikembangkan dalam suatu konsensus. Oleh karena itu, pemerintah membangun
dukungan bagi kebijakan mereka, hingga muncul istilah “legitimasi kebijakan”, yaitu derajat
sejauh mana presiden telah meyakinkan Kongres dan publik tentang pentingnya tujuan
kebijakannya. 3
Turut mendukung dalil bahwa opini publik tidak impoten terhadap kebijakan luar
negeri, Kegley-Wittkopf (1996) mengungkapkan berbagai fungsi sikap publik dalam proses
pembuatan kebijakan luar negeri: 1) opini publik dapat menjadi pembatas inovasi kebijakan
luar negeri, di mana pandangan publik terhadap politik internasional yang sulit berubah dan
tidak fleksibel membatasi modifikasi kebijakan karena persepsi para pembuat kebijakan
tentang infleksibilitas opini publik tersebut; 2) sebaliknya, opini publik juga dapat menjadi
stimulus inovasi kebijakan luar negeri, khususnya ketika isu spesifik dan publik termobilisasi,
sehingga mengubah gambaran opini publik; 3) opini publik dapat menjadi sumber dalam
perundingan internasional ketika berurusan dengan diplomat asing. 4
Holsti beralih kepada pembahasan tentang opinion leader. Ia beranggapan bahwa salah
satu celah besar dalam penelitian opini publik adalah pengabaian opinion leader. Salah satu
rintangan dan sumber konstroversi dalam kajian ini adalah identifikasi dan definisi opinion
leader. Berbagai kajian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan bukanlah ukuran yang cukup
bagi opinion leader. Kemudian, Holsti menyebutkan berbagai hasil kajian yang menunjukkan
bahwa terdapat kesamaan yang lebih besar daripada perbedaan dalam hal cara opinion leader
dan publik menstruktur kepercayaan politik mereka; namun, terdapat beberapa perbedaan
substansial dalam isi opini kebijakan mereka. Holsti menyimpulkan bahwa terdapat dua
kemungkinan debat tentang kebijakan luar negeri Amerika Serikat pasca-Perang Dingin: 1)
apabila para pejabat tinggi negara memiliki pengaruh besar sementara publik tidak terlalu
berpengaruh, debat akan berpusat pada bagaimana Amerika Serikat berpartisipasi (garis
keras vs. akomodasionis); 2) apabila preferensi publik memiliki peran, debat akan berfokus
pada apakah Amerika Serikat harus aktif dalam peran internasionalnya atau hanya berfokus
pada isu yang memiliki pengaruh domestik langsung (internasionalis vs. isolasionis). Holsti
menutup pembahasannya dengan mengungkapkan bahwa sekarang, pembuatan kebijakan
Alexander L. George, “The “Operational Code”: A Neglected Approach to the Study of
Political Leaders and Decision Making” dalam G. John Ikenberry, American Foreign Policy:
Theoretical Essays, Second Edition (New York: HarperCollins College Publishers: 1996), 372
4 Charles W. Kegley, Jr. dan Eugene R. Wittkopf, op. cit., 286-290
3
4
Tangguh 0706291426 Dept. Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia
luar negeri Amerika telah menjadi semakin politis, atau semakin partisan dan ideologis.
***
Seluruh fakta-fakta dan hasil kajian yang dipaparkan Holsti cukup untuk membuktikan
bahwa opini publik memang memainkan perannya dalam proses pembuatan kebijakan luar
negeri Amerika Serikat, walaupun masih banyak pertanyaan dan teka-teki yang tidak
terjawab dalam tiap-tiap pembahasan Holsti, sebagaimana yang ditekankan pada akhir tiaptiap pembahasannya tentang tantangan terhadap konsensus Almond-Lippman tersebut.
Periode ini menunjukkan peningkatan signifikansi hubungan antara opini publik dan
kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Namun, satu hal masih cukup mengganggu: premis
realis bahwa preferensi opini publik adalah lebih emosional daripada rasional tidak menjadi
objek bantahan di sini. Bahkan, pembahasan lebih diarahkan kepada bagaimana publik yang
hanya memiliki pengetahuan faktual terbatas tentang urusan luar negeri dapat memengaruhi
urusan luar negeri. Hal ini tidak menghilangkan kekhawatiran pihak yang menyetujui
pendapat Morganthau (1978): “syarat-syarat rasional kebijakan luar negeri yang baik pada
permulaannya tak dapat memperhitungkan dukungan opini publik yang memiliki preferensi
yang lebih emosional daripada rasional”. Kekhawatiran ini lebih tepat dibahasakan sebagai
berikut: Apakah pemerintah Amerika Serikat yakin bahwa kebijakan luar negeri mereka dapat
dipengaruhi oleh publik yang bahkan tidak tahu bahwa Cina dipimpin oleh pemerintahan
komunis, yang percaya bahwa Uni Soviet adalah anggota NATO, dan yang tidak mengetahui
negara apapun yang berbatasan dengan Samudera Pasifik? Apakah benar membiarkan urusan
luar negeri dipengaruhi oleh publik yang tidak mengetahui bahwa negaranya mendukung
Vietnam Selatan dalam Perang Vietnam, yang menelan korban 58.000 jiwa tentara Amerika?
Pengaruh publik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat adalah fakta sosial
sebagaimana dibuktikan oleh Holsti. Namun, penulis tidak menganggap kondisi tersebut
ideal. Pemerintah perlu memikirkan bagaimana agar di masa depan, keadaan dapat berubah
secara utuh, sebagaimana kalimat seorang pejabat Departemen Luar Negeri Amerika Serikat
yang dikutip dalam esai Holsti tersebut: “To hell with public opinion… We should lead, and
not follow” (Cohen, 1973:62).
5
Download