cover compendium.indd

advertisement
PENGGUNAAN
HUKUM INTERNASIONAL
OLEH
PENGADILAN-PENGADILAN
DOMESTIK
Rangkuman Ringkasan
Putusan Pengadilan
Organisasi Perburuhan Internasional
2011
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Copyright © International Labour Organization 2012
Cetakan Pertama 2012
Publikasi-publikasi International Labour Ofce memperoleh hak cipta yang dilindung oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta
Universal. Meskipun demikian, kutipan-kutipan singkat dari publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama
terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke ILO
Publications (Rights and Permissions), International Labour Ofce, CH-1211 Geneva 22, Switzerland, or by email: pubdroit@
ilo.org. International Labour Ofce menyambut baik permohonan-permohonan seperti itu.
Perpustakaan, lembaga dan pengguna lain yang terdaftar di Inggris Raya dengan Copyright Licensing Agency, 90 Tottenham
Court Road, London W1T 4LP [Fax: (+44) (0)20 7631 5500; email: [email protected]], di Amerika Serikat dengan Copyright
Clearance Center, 222 Rosewood Drive, Danvers, MA 01923 [Fax: (+1) (978) 750 4470; email: [email protected]] arau di
negara-negara lain dengan Reproduction Rights Organizations terkait, dapat membuat fotokopi sejalan dengan lisensi yang
diberikan kepada mereka untuk tujuan ini.
ISBN
978-92-2-826339-8 (print)
978-92-2-826340-4 (web pdf)
ILO
Penggunaan Hukum Internasional oleh Pengadilan-Pengadilan Domestik: Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan/Kantor
Perburuhan Internasional – Jakarta: ILO, 2012
214 p
Diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris:: Use of International Law by Domestic Courts: Compendium of Court Decisions.
English. 2011. No ISBN. Published by the ITC Turin
ILO Katalog dalam terbitan
Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktik-praktik Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang ada di dalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi International
Labour Ofce mengenai status hukum negara, wilayah atau teritori manapun atau otoritasnya, atau mengenai batas-batas
negara tersebut.
Tanggung jawab aas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi, dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan
tanggunjawab penulis, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari International Labour Ofce atas opini-opini
yang terdapat di dalamnya.
Rujukan ke nama perusahaan dan produk komersil dan proses tidak menunjukkan dukungan dari International Labour
Ofce, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan tanda
ketidaksetujuan.
Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor lokal ILO di berbagai negara, atau secara langsung dari
ILO Publications, International Labour Ofce, CH-1211 Geneva 22, Switzerland; atau Kantor ILO Jakarta, Menara Thamrin,
Lantai 22, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta 10250, Indonesia. Katalog atau daftar publikasi tersedia secara cuma-cuma dari
alamat di atas, atau melalui email: [email protected]
Kunjungi halaman web kami: www.ilo.org/publns
Dicetak di Indonesia
2
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengantar
Dokumen ini adalah sebuah rangkuman putusan pengadilan atau badan peradilan domestik yang
mengandung elemen-elemen hukum internasional untuk menyelesaikan kasus-kasus yang mereka tangani.
Sejumlah putusan pengadilan internasional juga disertakan dalam dokumen ini. Rangkuman ini sebagian
besar terdiri dari kasus-kasus yang masuk dalam wilayah hukum ketenagakerjaan dan secara umum juga
putusan-putusan mengenai hak asasi manusia yang paling dasar. Putusan ditampilkan dalam bentuk
ringkasan yang menggarisbawahi penggunaan hukum internasional dalam setiap kasus yang spesik.
Dokumen ini bertujuan untuk memberikan informasi tambahan dalam kegiatan-kegiatan pelatihan
hakim dan juri dalam hukum ketenagakerjaan internasional. Tujuan utamanya adalah mendorong hakim,
pengacara, professor hukum untuk memberikan pemikiran mengenai keanekaragaman hipotesa dan tehnik
di mana instrumen internasional dapat digunakan untuk penyelesaian di tingkat nasional. Rangkuman ini
tidak mengklaim telah memberikan gambaran yang mendalam dan lengkap mengenai tren kasus hukum
di negara-negara yang dikutip. Sebaliknya, mengingat tujuan yang ingin dicapai, dokumen ini hanya
ingin menggarisbawahi putusan-putusan yang terbuka terhadap prinsip-prinsip dan semangat hukum
ketenagakerjaan internasional dan hak asasi manusia yang mendasar.
Selanjutnya juga harus ditekankan bahwa penerjemahan dari kutipan putusan-putusan yang
diintegrasikan dalam rangkuman ini dilakukan oleh Program ILO tentang Standar-standar dan Prinsipprinsip Dasar di Tempat Kerja (Standards and Fundamental Principles at Work Programme) dan karenanya
dokumen ini bersifat tidak resmi. Naskah lengkap putusan-putusan tersebut tersedia dalam bahasa aslinya
berdasarkan permintaan. Dan terakhir, indeks yang mengklasikasikan putusan-putusan di tiap negara,
subyek dan bagaimana hukum internasional digunakan disediakan di bagian awal Rangkuman ini.
Kami mengharapkan komentar Anda untuk memperbaiki ketidakakuratan, dan kami juga mengucapkan
terimakasih kepada Anda semua. Selanjutnya, setiap informasi mengenai putusan nasional yang baru yang
merujuk pada hukum internasional akan secara khusus diterima dengan tujuan untuk memperkaya dan
memperbaharui penelitian ini.
Turin, 2011
3
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Daftar Isi
Afrika Selatan
18
Lesotho
144
Jerman
24
Lithuania
149
Argentina
28
Madagaskar
151
Australia
46
Malawi
157
Azerbaijan
54
Mexico
160
Belgia
57
Maroko
161
Benin
58
Mauritius
164
Botswana
62
Niger
166
Brazil
68
Nigeria
167
Bulgaria
72
Norwegia
169
Burkina Faso
74
Selandia Baru
171
Kanada
80
Paraguay
174
Cile
89
Belanda
179
Wilayah Administratif Khusus
Hong Kong, Cina
Peru
181
93
Filipina
186
Kolombia
95
Romania
189
Kosta Rika
101
Rwanda
191
Kroasia
107
Slovenia
193
Spanyol
110
Taiwan
196
Estonia
114
Trinidad dan Tobago
197
Amerika Serikat
117
Ukraina
199
Ethiopia
118
Uruguay
201
Federasi Rusia
120
Zambia
203
Perancis
123
Zimbabwe
204
Honduras
131
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa
206
India
133
Pengadilan HAM Inter-Amerika
209
Italia
138
Pengadilan Uni Eropa
212
Kenya
142
4
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Kriteria pengklasifikasian putusan-putusan pengadilan dalam
Rangkuman Ringkasan ini.
Penjelasan:
Setiap putusan diklasikasikan menurut empat kriteria berikut ini:
1.
Negara tempat putusan itu dikeluarkan;
2.
Subyek utama di mana hukum internasional dirujuk;
3.
Peranan hukum internasional (putusan langsung dari perselisihan atas dasar hukum internasional;
penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik; penetapan
prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional; rujukan pada hukum internasional untuk
memperkuat putusan berdasarkan hukum domestik); dan
4.
Jenis instrumen internasional yang digunakan dalam putusan (perjanjian internasional yang diratifkasi;
perjanjian internasional yang tidak diratikasi; instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi; perundangundangan asing; kasus hukum internasional; kasus hukum asing; laporan Kantor Perburuhan
Internasional; putusan publik internasional).
Meskipun klasikasi menurut kategori 1,2 dan 4 cukup jelas, tapi tidaklah demikian dengan kategori
nomer 3. Tujuan mengklasikasikan putusan berdasarkan penggunaan hukum internasional adalah untuk
menggarisbawahi berbagai peranan di mana peradilan nasional dapat melengkapi hukum internasional.
Setelah menganalisa putusan-putusan yang digunakan dalam penelitian ini, kami membuat empat kategori
peran utama hukum internasional, yang dapat dideniskan sebagai berikut:
Putusan langsung atas perselisihan berdasarkan hukum internasional
Standar internasional menjadi acuan utama untuk menyelesaikan perselisihan. Penerapan langsung
hukum internasional memungkinkan dua hal, yakni mengesampingkan hukum domestik yang kurang
melindungi hak-hak pekerja atau individu, dan untuk mengisi kekosongan dalam perundang-undangan
nasional.
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan hukum nasional
Peran utama untuk menyelesaikan perselisihan berada di tingkat nasional. Namun, dalam
pelaksanaannya mengasumsikan bahwa isi dan lingkupnya dapat diklarikasi dengan menggunakan
instrumen internasional.
Penetapan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Dengan mengingat kekurangan atau ketidakcukupan dalam hukum konstitusi domestik, hakim
bergantung pada standar internasional (yang umumnya belum diratikasi atau tidak tunduk pada
ratikasi) untuk mengembangkan aturan yudisial di mana perselisihan dapat diselesaikan.
Rujukan pada hukum internasional untuk memperkuat putusan berdasarkan hukum domestik
Perselisihan dapat diselesaikan atas dasar hukum domestik, tapi dengan rujukan alternatif pada hukum
internasional. Dengan metode itu, seorang hakim dapat menggarisbawahi sifat fundamental dari prinsip
atau hak yang telah diakui oleh hukum domestik atau mendukung penafsiran hukum nasional yang dia
buat dalam putusannya.
5
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Berbagai penjelasan di atas tidak bisa dianggap benar-benar akurat karena dalam beberapa penyelesaian
hukum, mereka bisa saling tumpang tindih dan sulit untuk membuat pembedaan yang jelas. Namun, dengan
mengingat tujuan pembelajaran dari dokumen ini, kami meyakini bahwa pengklasikasian ini berguna
sebagai cara untuk menekankan berbagai peranan yang dapat dimainkan oleh hukum internasional dalam
tindakan nasional secara lebih spesik.
Dan akhirnya, apapun sistem hukum negara-negara yang dimasukkan dalam Rangkuman ringkasan
ini menetapkan bagaimana hukum internasional dapat dimasukkan ke dalam hukum nasional atau otoritas
yang melekat padanya. Putusan negara-negara tersebut yang berlaku, dengan menyisipkan berbagai
ketentuan yang relevan.
6
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Indeks Putusan
Indeks putusan menurut negara (dalam urutan abjad Prancis)
Afrika Selatan
1.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, NUMSA vs Bader Pop, 13 Desember 2002, Kasus No. CCT
14/02
2.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Jacques Charl Hoffman vs Afrika Selatan Airways, 28 September
2000, Kasus No. CCT 17/00
3.
Pengadilan Banding Ketenagakerjaan, Modise and Others vs Steve’s Spar, 15 Maret 2000, Kasus No.
JA 29/99
4.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Afrika Selatan National Defence Union vs Minister of Defence, 26
May 1999, Kasus No. CCT 27/98
Jerman
5.
Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman, Putusan tanggal 18 November 2003, 1 BvR 302/96
6.
Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman, 1 Juli 1998, 2 BvR 441/90
7.
Pengadilan Administrasi Federal, Keputusan tanggal 28 Mei 1991, BVerwG1C 20.89
Argentina
8.
Mahkamah Agung, Adriana María Rossi vs National State – Argentine Navy, 9 Desember 2009, R. 1717.
XLI
9.
Mahkamah Agung , Aníbal Raúl Pérez vs Disco SA., 1 September 2009, P. 1911. XLII
10. Mahkamah Agung , Association of State Workers vs the Ministry of
A. 201. XL
Labour, 11 November 2008,
11. Pengadilan Banding Nasional, Kamar kelima, Parra Vera Maxima vs San Timoteo SA conc., 14 Juni
2006, Kasus No. 144/05 s.d. 68536
12. Mahkamah Agung , Aquino, Isacio vs Cargo Servicios Industriales S.A., 21 September 2004, A. 2652.
XXXVIII
13. Pengadilan Banding Perburuhan Nasional, Kamar keenam, Balaguer, Catalina T. vs Pepsico de Argentina
S.R.L., 10 Maret 2004
14. Pengadilan Perburuhan Tingkat Pertama di Pengadilan Negeri Bagian Selatan, Susana Elena Ordóñez
vs Pemerintah Provinsi Tierra del Fuego,mengenai perselisihan administrasi, 29 Agustus 2000, Putusan
Interim No. 787
15. Pengadilan No. 20, Asociación de Trabajadores del Estado (A.T.E.) and others vs Government of
Argentina (Executive Branch), 29 Agustus 2000, Putusan No. 19.896
16. Pengadilan Perburuhan Tingkat Pertama di Pengadilan Negeri Bagian Selatan, Vargas, Bernardo Silenio
vs Provincial Executive Branch, Provincial Ministry of Health and Social Welfare,mengenai perselisihan
administratif, 30 September 1998, Kasus No. 556, Putusan Final No. 565
17. Mahkamah Agung, Ekmekdjian, Miguel A. vs Sofovich, Gerardo and others, 7 Juli1992, E.64.XXIII
7
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Australia
18. Mahkamah Konstitusi Australia, The Commonwealth of Australia vs HumanRights & Equal Opportunity
Commission, 15 Desember 2000, [2000] FCA 1854
19. Pengadilan Federal Australia, Konrad vs Victoria Police & Ors, 6 Agustus 1999, [1999] FCA 988
20. Pengadilan Tinggi Australia, Qantas Airways Limited vs Christie, 19 Maret 1998, [1998] HCA 18
21. Peradilan Hubungan Industrial, Vera Sapevski, Velika Trajkosta,Cvetanka Levnarovska, Todonka
Ristevska, Mirian Morales, Rosa Sagredo and Myriam Araneda vs Katies Fashions, 8 Juli 1997, IRC No.
219/97
22. Pengadilan Tinggi Australia, Minister for Immigration and Ethnic Affairs vs Teoh, 7 April 1995, (1994)
128 A.L.R. 353
23. Komisi Konsiliasi dan Arbitrasi Australia, Kasus pemutusan hubungan kerja, perubahan kerja dan
pengurangan pekerja, 2 Agustus 1984, [1984] 8 I.R. 34
Azerbaijan
24. Mahkamah Konstitusi Republik Azerbaijan,mengenai konsistensi Pasal 143.1 terhadap Undang-undang
Perburuhan Republik Azerbaijan Pasal 25, 37 dan Pasal 149.1 Konstitusi Republik Azerbaijan, 23
Februari 2000
25. Mahkamah Konstitusi Republik Azerbaijan, mengenai konsistensi Pasal 109 UU Pemeliharaan Pensiun
Warga Negara dengan Pasal 25, 38 dan 71 Konstitusi Republik Azerbaijan, 29 Desember 1999
Belgia
26. Pengadilan Perburuhan Brusel, Kamar keduapuluh, D.D vs SA Vanduc-Toplm, 20 Februari 1992, Roll
No. 79-759/91
Benin
27. Pengadilan Perburuhan Tingkat Pertama, Kelas Pertama, 7 Desember 2009, Kasus No. 05-2005
28. Pengadilan Perburuhan Tingkat Pertama, Kelas Pertama, 20 Juli 2009, Kasus No. 54-2002
29. Mahkamah Konstitusi Benin, 11 Januari 2001, Putusan No. DCC 01-009
Botswana
30. Pengadilan Industrial Botswana, Sarah Diau vs Botswana Building Society, 19 Desember 2003, No. IC
50/ 2003
31. Pengadilan Industrial Botswana, Joel Sebonego vs News Paper Editorial and Management Services Ltd,
23 April 1999, No. IC 64/98
32. Pengadilan Banding, Attorney-General vs Dow, 3 Juli 1992, BLR 119 (CA)
Brazil
33. Pengadilan Perburuhan Regional Wilayah Ketiga, Rogério Ferreira Gonçalves (1) Infocoop Servíços
– Cooperativa de Prossionais de Prestação de Servíços Ltda (2) Caixa Económica Federal CEF
(Responsável Subsidiária), 30 September2003, 00652-2003-017-03-00-0RO
8
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
34. Pengadilan Perburuhan Regional Wilayah Ketiga, Lacir Vicente Nunes vs SandovalAlves Da Rocha and
others, 7 Mei 2003, TRT-RO-3951/03
35. Pengadilan Tinggi Perburuhan, Sub-seksi 1 khusus untuk perselisihan individual, São Paulo Transporte
S.A. vs. Gilmar Ramos Da Silva, 5 Maret 2003
Bulgaria
36. Mahkamah Konstitusi Republik Bulgaria, 27 Juli 1992, Putusan 8, Kasus Konstitusi No. 7
Burkina Faso
37. Pengadilan Perburuhan Koudougou, J.B. K. Sankara vs Orphelinat Pèdg Wendé, 5 Februari 2009, No.
003
38. Pengadilan Banding Bobo - Dioulasso, Kamar Sosial, Messrs. Karama and Bakouan vs Société
Industrielle du Faso (SIFA), 5 Juli 2006, No. 035
39. Pengadilan Perburuhan Ouagadougou, Zongo and others vs owner of the Bataille du Railmobil garage,
17 Juni 2003, No. 090
40. Pengadilan Perburuhan Ouagadougou, Compaore vs Sitarail, 25 Maret 2003, No. 037
41. Pengadilan Perburuhan Ouagadougou, Savadogo Zonabo vs Grands moulins du Burkina,10 September
2002, No. 140
Kanada
42. Mahkamah Agung Kanada, Health Services and Support – Facilities Subsektor Bargaining Assn. vs
British Columbia, 8 Juni 2007, 2007 SCC 27; [2007] 2S.C.R. 391
43. Mahkamah Agung Kanada, Dunmore vs Ontario (Attorney General),
SCC 94; [2001] 3 S.C.R. 1016
20 Desember 2001, 2001
44. Peradilan Hak Asasi Manusia Quebec, Human Rights and Youth Rights Commission vs University of
Laval, 2 Agustus 2000, No. 200-53-000013-982, 2000 CanLII 3 (QC T.D.P.)
45. Mahkamah Agung Kanada,Baker vs The Minister of Citizenship
[1999] 2 S.C.R. 817
and Immigration, 9 Juli 1999,
46. Mahkamah Agung Kanada,Slaight Communication Incorporated vs
[1989] 1 S.C.R. 1038
Ron Davidson, 4 Mei 1989,
Cile
47. Mahkamah Agung Cile, Carlos Castro Cortés vs Wackenhut - Chile, 1 Agustus 2001, Kasus No. 254901
48. Pengadilan Banding Santiago, José Patricio Olivares Tapia and Carlos Octavio Abarca González vs María
Soledad Hurtado Gálvez, 6 November 2000, Kasus No. 2840-2000
49. Mahkamah Agung Cile, Víctor Améstida Stuardo and others vs Santa Isabel S.A., 19 Oktober 2000,
Kasus No. 10.695
9
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Wilayah Administratif Khusus Hong Kong, Cina
50. Pengadilan Banding wilayah Administratif Khusus Hong Kong, Banding
keputusan HCAL No. 30/2003)
Sipil No. 218 of 2005 (banding
Kolombia
51. Mahkamah Konstitusi Kolombia, Sidang Umum, Benjamín Ochoa Moreno re publik action of
unKonstitusiality, 17 Mei 2000, C-567/00
52. Mahkamah Konstitusi Kolombia, 5 April 2000, C-385/00
53. Mahkamah Konstitusi Kolombia, Fourth Appellate Supervisory Chamber, Sindicato de las Empresas
Varias de Medellín vs Ministry of Labour and Social Security, the Ministry of Foreign Relations, the
Municipio of Medellin and Empresas Varias de Medellín E.S.P., 10 Agustus 1999, T-568/99
54. Mahkamah Konstitusi Kolombia, Kamar Banding Ketujuh, Alfonso Ruiz and others vs Empresa Sucesores
de José de Jesús Restrepo and Cía. S.A., 13 Maret 1995, T-102/95
Kosta Rika
55. Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional, Antonio Blanco Rodríguez and others vs The President of
the Republik, the Minister of Government and Politics, the Institute of Agrarian Development and the
National Commission of Indigenous Affairs, 11 Agustus 1999, Putusan No. 06229-aa
56. Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional, Hernán Oconitrillo Calvo vs The Municipality of San José, 23
April 1999, Putusan No. 1999-02971
57. Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional,José Manuel Paniagua Vargas and other civil servants of the
National Commission for Indigenous Affairs vs The Ministry of Culture, Youth and Sport and the
National Commission for Indigenous Affairs (CONAI), 16 Januari 1998, Putusan No.0241-98
58. Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional, 8 Oktober 1993, Putusan No. 5000-93
Kroasia
59. Mahkamah Konstitusi Kroasia, 10 Januari 2001, No. U-III 727-1997
60. Mahkamah Konstitusi Kroasia, 8 November 2000, No. U-I 745-1999
Spanyol
61. Mahkamah Agung Spanyol, Secundino C.R. vs TOVIC S.L., 2 Oktober 1989
62. Mahkamah Konstitusi Spanyol, Kamar kedua, 23 November 1981, Kasus No.38/1981
Estonia
63. Pengadilan Negeri Tallin, Divisi Administratif, Ly Kovanen vs Ownership Reform Department of the City
of Tallin, 6 November 2000, Kasus No. II-3-286/2000
64. Mahkamah Agung Estonia, Kamar Kajian Konstitusi, 27 Mei 1998, No. 3-4-1-4-98
Amerika Serikat
65. Mahkamah Agung New Hampshire, The State of New Hampshire vs Robert H., 30 Oktober 1978, No.
78-090
10
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Ethiopia
66. Pengadilan Banding Addis Ababa, 31 Juli 2006, File No. 48008
Federasi Rusia
67. Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia,Mengenai Konstitusionalitas Klausul 2 dan 3 Pasal 11 (1) UU
Federasi Rusia, Juni 1993 mengenai Badan-badan Federal kebijakan Perpajakan, 17 Desember
1996
68. Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia, Kasus tentang verikasi konstitusionalitas Pasal 12 UU Republik
Federasi Rusia (USSR) tanggal 9 Oktober 1989 “Mengenai perintah penyelesaian perselisihan
perburuhan kolektif (Konik)”, 17 Mei 1995
Perancis
69. Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, 4 Juni 2009, Banding No. 08-41.359
70. Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, Syndicat des producteurs de miel de Prancis
vs Syndicat national de l’apiculture et Union nationale de l’apiculture française, 13 Januari 2009,
Banding No. 07-17.692
71. Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, Mr. Samzun vs Ms deWee, 1 Juli 2008, Banding
No. F 07-44.124
72. Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, 29 Maret 2006, Banding No. 04-46.499
73. Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, 25 Januari 2005, Banding No. 04-41.012
74. Dewan Negara (“Conseil d’Etat”), Layanan Litigasi, Ms. Cinar, 22 September 1997, No. 161364
75. Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Castanié vs Widow Hurtado, Permintaan tanggal 27 Februari
1934
Honduras
76. Pengadilan banding Perburuhan, Hugo Humberto Rodríguez Rojas and others vs. Wackenhut de
Honduras S. A. de C. VS re ordinary labour claim, 10 Oktober 2006
India
77. Mahkamah Agung India, Vishaka and others vs State of Rajasthan and others, 13 Agustus 1997,
[1997] 6 SCC 241
78. Mahkamah Agung India, Gaurav Jain vs Union of India and others, 9 Juli 1997, [1997] 8 SCC 114
79. Mahkamah Agung India, Nilabeti Behera alias Lalita Behera vs State of Orissa and others, 24 Maret
1993, [1993] 2 SCC 746
80. Mahkamah Agung India, Mackinnon Mackenzie vs Audrey D’Costa and another, 26
[1987] 2 SCC 469
Maret 1987,
Italia
81. Pengadilan Tinggi Milan, Vitali-Airoldi vs Maserati Spa and ofcine Aleri Maserati, 21 Juli 1994
82. Pengadilan Tinggi Milan, AMSA vs Miglio, 28 Maret 1990
11
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
83. Pengadilan Tinggi Savona, Fiumanò Rossotti vs società Fiat, 8 November 1982
84. Pengadilan Banding Turin, Lanicio Tallia Gruppo vs Ceria Mary, 29 Mei 1964
Kenya
85. Pengadilan Industrial, 6 Desember 2004, Kasus No. 79/2002
Lesotho
86. Pengadilan Perburuhan Lesotho, Serame Khampepe vs Muela Hydropower Project Contractors and
four others, 2 September 1999, Kasus No. LC 29/97
87. Pengadilan Perburuhan Lesotho, Matete and Bosiu vs Lesotho Highlands Development Authority and
the Chief Executive, 9 Februari 1996, Kasus No. LC 131/95
88. Pengadilan Perburuhan Lesotho, Maisaaka’Mote vs Lesotho Flour Mills, 9 November1995, Kasus No.
LC 59/95
89. Pengadilan Perburuhan Lesotho, Palesa Peko vs The National University of Lesotho, 1 Agustus 1995,
Kasus No. LC 33/95
Lithuania
90. Mahkamah Konstitusi Republik Lithuania, 14 Januari 1999, No. 8/98
Madagaskar
91. Pengadilan Perburuhan Antsirabe, 22 Mei 2006, Kasus No. 13/RG/TT/06
92. Pengadilan Perburuhan Antsirabe, Ramiaranjatovo Jean-Louis vs Fitsaboana Maso, 7 Juni 2004,
Putusan No. 58
93. Mahkamah Agung Madagaskar, Dugain and others vs Compagnie Air Madagaskar, 5 September
2003, Putusan No. 231
94. Pengadilan Tinggi Konstitusi, 14 Februari 2001, Putusan No. 01-HCC/D2
95. Pengadilan Tinggi Konstitusi, 7 Mei 1997, Putusan No. 07-HCC/D3
Malawi
96. Mahkamah Banding Malawi, Blantyre, Malawi Telecommunications Ltd vs Makande and another, 7 Mei
2007
97. Pengadilan Hubungan Industrial Malawi, Davison Tchete vs Safeguard Services, 1 April 2002, No. 6 of
2000
Mexico
98. Mahkamah Agung, Kamar Kedua, Democratic Federation of Unions of Publik Servants, 4 Maret 2005,
Amparo en revisión 1878/2004
Maroko
99. Pengadilan Tingkat Pertama Sidi Slimane, Mounir Ouharro C. vs Ismaïl
58/2005
12
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Alaoui, 25 May 2005, No.
Mauritius
100. Mahkamah Agung Mauritius, Kamar Konstitusi, Pointu vs The Minister of Education and Science, 27
Oktober 1995, No. S.C.J. 350
Niger
101. Mahkamah Konstitusi Niger, 16 Januari 2002, Putusan No. 2002-004/CC
Nigeria
102. Mahkamah Agung Nigeria, Abacha vs Fawehinmi, 28 April 2000, No. SC45/1997
Norwegia
103. Mahkamah Agung Norwegia, Diasos vs the Diakonhjemmet Senior Administrative Ofcer, 27 November
1986
Selandia Baru
104. Pengadilan Banding Wellington, Tavita vs Minister of Immigration, 17 Desember1993, [1994] 2 NZLR
257
105. Mahkamah Agung Selandia Baru, Van Gorkom vs Attorney General and another, 10 Februari 1977,
[1977] 1 NZLR 535
Paraguay
106. Mahkamah Agung Paraguay, Application of unconstitusiality raised by the Central Unitaria de
Trabajadores (CUT) and the Central Nacional de Trabajadores (CNT) vs Presidential decree No.
16769, 23 September 2000, Kasus No. 35
107. Pengadilan Banding Perburuhan, Kamar Kedua, Inca S.A.C.I. vs Virgilio Villalba, mengenai justikasi
alasan pemecatan, 30 May 2000, Perjanjian dan putusan No. 41
108. Pengadilan Banding Perburuhan, Kamar Kedua, Carmen Sachelaridi Knutson vs Cooperativa
Santísimo Redentor Ltda. Mengenai pembayaran jaminan untuk beberapa hal, 26 Mei 2000,
Perjanjian dan putusan No. 40
Belanda
109. Pengadilan Banding Pusat, 29 Mei 1996, LJN: AL0666
Peru
110. Mahkamah Konstitusi, 17 April 2006, Kasus No. 4635-2004-AA/TC
111. Mahkamah Konstitusi, The United Workers Union of Telefónica del Peru SA and Fetratel, 11 Juli 2002,
Kasus No. 1124-2001-AA/TC
Filipina
112. Mahkamah Agung Republik Filipina, Internasional School Alliance of Educators vs Hon Leonardo A.
Quisumbing and others, 1 Juni 2000, G.R. No. 128845
113. Mahkamah Agung Republik Filipina, UST Faculty Union and others vs Dir Benedicto Ernesto R. Bitonio,
Jr, and others, 16 November 1999, G.R. No. 131235
13
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Romania
114. Mahkamah Konstitusi Romania, 25 Februari 1993, Putusan No. 6
Rwanda
115. Mahkamah Agung Rwanda, Kamar Mahkamah Konstitusi, 19 Februari 2002, Putusan No.
009/11.02/02
Slovenia
116. Mahkamah Konstitusi Slovenia, Independent Trade Unions of Slovenia vs the Act on Representativeness
of Trade Unions, 5 Februari 1998, No. U-I57/95
117. Mahkamah Konstitusi Slovenia, Slovenian Railway Workers’ Union, 7 Desember 1995, No. U-I92/94
Taiwan
118. Pengadilan Yuan, 2 Agustus 2002, No. 549
Trinidad dan Tobago
119. Pengadilan Industrial Trinidad dan Tobago, Bank and General Workers Union vs Publik Service
Association of Trinidad and Tobago, 27 April 2001, Perselisihan serikat pekerja No. 15 of 2000
120. Pengadilan Industrial Trinidad dan Tobago, Bank and General Workers Union vs Home Mortgage Bank,
3 Maret 1998, No. 140 of 1997
Ukraina
121. Mahkamah Konstitusi, 18 Oktober 2000, Kasus No. 1-36/2000
Uruguay
122. Pengadilan Banding Perburuhan Tingkat Pertama, CHH vs TSA for payment of leave not taken and
vacation salary, 12 Maret 1993, Keputusan No. 475
Zambia
123. Mahkamah Agung Zambia, Jurisdiksi Perdata, Standard Chartered Bank Zambia Limited vs Peter Zulu
and 118 others, 13 November 1997, No. 59 of 1996
Zimbabwe
124. Pengadilan Hubungan Perburuhan, Frederick Mwenye vs Textile Investment Company, 8 Mei 2001, No.
LRT/MT/11/01
14
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Indeks putusan menurut pengadilan internasional (dalam urutan abjad Perancis)
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa
125. Pengadilan hak Asasi Manusia Eropa, Bagian Ketiga, Enerji Yapi-Yol Sen vs Turkey, 21 April 2009,
penerapan No. 68959/01
126. Pengadilan HAM Eropa, Kamar Utama, Demir and Baykara vs Turkey, 12 November 2008, Penerapan
No. 34503/97
Pengadilan HAM Inter-Amerika
127. Pengadilan HAM Inter-Amerika, Huilca Tecse Vs. Peru, 3 Maret 2005
128. Pengadilan HAM Inter-Amerika, Baena Ricardo and others vs Panama, 2 Februari 2001
Pengadilan Uni Eropa
129. Pengadilan Uni Eropa, Gerhard Schultz-Hoff vs Deutsche Rentenversicherung Bund and Stringer and
Others v Her Majesty’s Revenue and Customs (rujukan untuk penetapan awal dari Landesarbeitsgericht
Düsseldorf and the House of Lords), 20 Januari 2009, Joined Kasuss No. C-350/06 and C-520/06.
Indeks Putusan berdasarkan subyek (dalam urutan abjad Perancis)
Kontrak kerja: kondisi kerja, kondisi pemutusan hubungan kerja (PHK)
Š
Syarat dan ketentuan kerja pelaut: 64
Š
Hari libur yang dibayar: : 24/ 34/ 81/ 82/ 83/ 122
Š
Pemecatan: 3/ 11/ 16/ 19/ 20/ 23/ 26/ 27/ 28/ 30/ 31/ 39/ 46/ 47/ 49/ 53/ 58/ 59/ 61/ 62/ 63/
66/ 69/ 71/ 72/ 73/ 86/ 87/ 88/ 92/ 96/ 97/ 99/ 107/ 111/ 119/ 120
Š
Perlindungan upah: 9/ 85
Š
Klasikasi hubungan kerja: 33/ 91
Š
Upah minimum: 39
Š
Kesehatan dan keselamatan kerja: 12/ 110
Š
Jam kerja: 110/ 129
Hak atas perlindungan kesehatan: 12/ 56
Hak-hak dasar yang umum dan kebebasan sipil
Š
Kewenangan pengasuhan: 65
Š
Syarat penahanan: 29/ 102
Š
Martabat manusia: 17/ 35
Š
Hak-hak anak: 22/ 45/ 74/ 78/ 104/ 118
Š
Hak kepemilikan: 60/ 67
15
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Š
Hak untuk menjawab: 17
Š
Hak atas tempat tinggal: 22/ 45/ 104
Š
Kebebasan berekspresi: 17/ 46/ 59
Kesetaraan kesempatan dan perlakuan
Š
Hak masyarakat adat dan suku: 55/ 57
Š
Pengupahan yang setara: 40/ 41/ 44/ 80/ 84/ 105
Š
Pelecehan seksual: 77/ 108/ 124
Š
Prinsip-prinsip kesetaraan yang umum: 14/ 32/ 35/ 78/ 100/ 114/ 117/ 118
Š
Perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan: 2/ 5/ 18/ 20/ 21/23/ 27/ 30/ 35/
36/ 37/ 40/ 41/ 43/ 44/ 54/ 77/ 80/ 84/ 92/ 93/ 95/ 103/ 105/ 108/112
Š
Pekerja dengan tanggung jawab keluarga: 89
Aturan hukum
Š
Akses terhadap keadilan: 13/ 14/ 73
Š
Hak atas ganti rugi yang efektif: 12/ 13/ 94/ 101
Š
Hak atas kerusakan: 2/ 12/ 79
Š
Imunitas dari jurisdiksi: 73
Š
Kemandirian peradilan: 115
Kebebasan berserikat dan perundingan bersama
Š
Hak mogok: 1/ 4/ 38/ 53/ 68/ 125
Š
Kebebasan berserikat: 1/ 4/ 8/ 10/ 11/ 16/ 42/ 43/ 47/ 48/ 49/ 51/ 52/ 54/58/ 61/ 62/ 70/ 76/
90/ 98/ 106/ 111/ 113/ 116/ 117/ 121/ 125/ 126/ 127/ 128
Š
Perundingan bersama: 1/ 15/ 42/ 126
Š
Perlindungan terhadap diskriminasi anti serikat pekerja: 8/ 11/ 13/ 63/ 76
Larangan pekerja paksa: 6/ 123
Perlindungan persalinan: 5/ 27/ 28/ 109
Perlindungan sosial: 25/ 75/ 109
Pekerja migran: 7/ 50/ 52
16
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Indeks putusan berdasarkan peranan hukum internasional
Putusan langsung atas perselisihan berdasarkan hukum internasional: 7/ 8/ 9/ 12/ 13/15/ 17/ 27/ 34/
41/ 50/ 51/ 52/ 53/ 55/ 57/ 58/ 60/ 64/ 63/ 66/ 69/ 71/ 72/ 73/ 74/ 75/76/ 82/ 83/ 89/ 92/ 93/
96/ 101/ 109/ 122/ 124
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan hukum domestik: 1/ 4/ 5/ 6/
10/ 14/18/ 19/ 20/ 21/ 22/ 32/ 38/ 39/ 42/ 45/ 46/ 49/ 56/ 58/ 61/ 62/ 68/ 70/ 77/ 78/ 80/ 85/
86/87/ 88/ 90/ 97/ 100/ 102/ 103/ 104/ 107/ 110/ 111/ 113/ 114/ 116/ 117/ 118/ 123/ 125/126/
127/ 128/ 129
Penetapan prinsip jurisprudensi berdasarkan hukum internasional: 3/ 11/ 23/26/ 31/ 35/ 85/ 91/ 119/
120
Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat putusan berdasarkan hukum domestik: 2/5/
16/ 24/ 25/ 28/ 29/ 30/ 31/ 33/ 34/ 36/ 37/ 39/ 40/ 43/ 44/ 47/ 48/ 54/ 59/ 65/ 67/ 79/ 81/84/
90/ 94/ 95/ 98/ 99/ 105/ 106/ 108/ 112/ 115/ 121/126
17
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Afrika Selatan
Konstitusi Republik Afrika Selatan
Pasal 39, Ayat 1
Ketika menafsirkan Bill of Rights, pengadilan, persidangan, atau forum
(a) harus mengedepankan nilai-nilai yang menggarisbawahi masyarakat yang terbuka dan demokratis
berdasarkan martabat manusia, kesetaraan, dan kebebasan;
(b) harus mempertimbangkan hukum internasional; dan
(c)
dapat mempertimbangkan hukum asing.
Pasal 233
Ketika menafsirkan perundang-undangan, setiap pengadilan harus mengutamakan penafsiran
perundang-undangan yang selaras dengan hukum internasional dan bukan penafsiran alternatif yang tidak
konsisten dengan hukum internasional.
1.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, NUMSA vs Bader Pop, 13 Desember 2002,
Kasus No. CCT 14/02
Subyek: Kebebasan berserikat; perundingan bersama; hak mogok
Peranan hukum internasional: Penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian internasional yang diratikasi;1 Kasus hukum internasional2
Mekanisme aksi serikat-serikat pekerja minoritas/ Pentingnya Konvensi-konvensi ILO dan pelaksanaan
badan pengawas ILO dalam menafsirkan hukum nasional/Penggunaan hukum internasional sebagai
panduan untuk menafsirkan hukum domestik
Serikat pekerja minoritas ingin melakukan pemogokan dalam rangka melaksanakan hak mereka
untuk memiliki pengurus di tempat kerja. Perundang-undangan di Afrika Selatan mensyaratkan bahwa
serikat pekerja yang cukup terwakili dapat menuntut haknya untuk berserikat melalui mediasi, arbitrasi,
atau pemogokan, tetapi undang-undang tidak menyatakan bagaimana mekanisme aksi bagi serikat pekerja
minoritas. Perusahaan harus mengambil tindakan untuk melarang pemogokan. Menurut penafsiran atas
Hukum Ketenagakerjaan dari Pengadilan Banding, serikat pekerja minoritas tidak memiliki hak untuk mogok.
Serikat Pekerja membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi.
Sebelum mempertimbangkan alasan-alasan untuk kasus tersebut, Mahkamah Konstitusi menjelaskan
aturan hukum yang berlaku untuk perselisihan tersebut, dan menganggap bahwa undang-undang serikat
1
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak
untuk Berserikat dan Berunding Bersama, 1949.
2
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi; Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat.
18
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
pekerja di Afrika Selatan bertujuan untuk memenuhi kewajiban Afrika Selatan sebagai negara anggota
Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan karenanya perundang-undangan nasional seharusnya
ditafsirkan sesuai dengan kewajiban negara menurut hukum internasional publik. Pengadilan menganggap
bahwa dalam hal ini, Konvensi ILO No. 87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berserikat dan No. 98 tentang Hak untuk Berserikat dan Berunding Bersama harus diperhitungkan.3
Setelah merujuk pada pasal-pasal yang relevan dalam dua Konvensi ini, Mahkamah Konstitusi
menjelaskan fungsi dari Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Komite Ahli ILO tentang Penerapan
Konvensi dan Rekomendasi. Pengadilan Tinggi menganggap bahwa:
“Putusannya adalah pengembangan yang sah atas prinsip-prinsip kebebasan berserikat yang
terdapat dalam Konvensi-konvensi ILO. Kasus hukum yang ditangani oleh Komite ini juga akan
menjadi sumber yang penting dalam mengembangkan hak-hak pekerja yang ada dalam Konstitusi
kita.”
Mahkamah kemudian memeriksa “kasus hukum” dari dua badan pengawas yang terkait dengan mogok
dan cara-cara tindakan yang tersedia bagi serikat pekerja dan menunjukkan bahwa:
“Prinsip-prinsip ini dikumpulkan dari kasus hukum yang ditangani oleh dua komite ILO yang terkait
secara langsung dengan penafsiran ketentuan-ketentuan Undang-undang dan Konstitusi yang
relevan.”
Dalam pandangan Mahkamah, mengizinkan mekanisme aksi bagi serikat-serikat pekerja minoritas
lebih sesuai dengan “kasus hukum” dari dua badan pengawas ILO. Selanjutnya, juga ditemukan bahwa
penafsiran ini memiliki kelebihan karena tidak membatasi hak-hak yang dilindungi oleh Konstitusi.
Oleh karena itu, Mahkamah menganggap bahwa penafsiran Pengadilan Perburuhan atas Undangundang Perburuhan cukup beralasan, tapi tidak cukup mempertimbangkan panduan hukum internasional:
“Namun, pengadilan gagal memasukkan pertimbangan-pertimbangan yang muncul dari diskusidiskusi mengenai Konvensi-konvensi ILO yang disebutkan di atas, dan secara khusus, tidak
menghindari pembatasan hak-hak konstitusional. Oleh karenanya, pertanyaan yang harus kita
jawab adalah apakah Undang-undang mampu membuat penafsiran yang menghindari pembatasan
hak-hak konstitusional.”
Mahkamah Konstitusi secara konsekuen mencari penafsiran yang membatasi pelanggaran hak-hak
konstitusional dan menyimpulkan bahwa serikat-serikat pekerja minoritas dapat memulihkan hak-haknya
melalui perundingan bersama. Mahkamah memutuskan bahwa:
“Pemahaman yang lebih baik bisa dilihat pada bagian 204 sebagai konrmasi yang tegas atas hakhak serikat-serikat pekerja yang diakui secara internasional untuk mendapatkan akses ke tempat
kerja, pengakuan atas pengurus mereka, serta fasilitas organisasi lainnya melalui tehnik-tehnik
perundingan bersama.”
Maka diputuskan apabila pengusaha dan serikat-serikat pekerja memiliki hak untuk bernegosiasi atas
suatu isu, maka secara alamiah dapat diasumsikan bahwa serikat-serikat pekerja juga memiliki hak mogok
atas isu yang sama.
3
Mahkamah Konstitusi juga menyebutkan Konvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan Pekerja, 1971, dan Konvensi ILO No. 154 tentang
Perundingan Bersama, 1981, tetapi tidak mendasarkan pada konvensi tersebut karena Afrika Selatan belum meratikasi konvensi-konvensi
tersebut.
4
Bagian 20 Undang-undang Perburuhan yang merupakan bagian dari Bab III, Bagian A, tentang perundingan bersama: “Tidak satu pun dalam
bagian ini yang melarang kesepakatan dalam perundingan bersama yang mengatur mengenai hak-hak organisasional.”
19
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan memutuskan bahwa pemahaman Undang-undang Perburuhan
sejalan dengan penafsiran standar perburuhan internasional yang mengakui bahwa serikat-serikat pekerja
minoritas dapat meminta pemulihan hak-haknya melalui perundingan bersama, dan bahwa jika negosiasi
gagal, mereka berhak untuk mogok. Mahkamah membatalkan putusan yang dibuat oleh Pengadilan
Banding.
2. Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Jacques Charl Hoffman vs South African
Airways, 28 September 2000, Kasus No. CCT 17/00
Subyek: Perlindungan melawan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; hak atas kerugian
Peranan hukum internasional: Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi5
Penolakan untuk mempekerjakan orang yang positif HIV/ Banding di Mahkamah Konstitusi atas
dugaan diskriminasi/ Pengujian kewajiban internasional negara/ Kewajiban untuk menghapuskan
efek-efek diskriminasi/ Perintah Pengadilan untuk mempekerjakan orang yang mengajukan banding
(pemohon)
Pada akhir proses seleksi, pemohon dianggap sebagai kandidat yang paling cocok untuk dipekerjakan
sebagai awak kabin perusahaan penerbangan. Pengikatan kerja mensyaratkan adanya tes medis sebelum
hubungan kerja. Tes medis menyatakan bahwa dia secara klinis t dan karenanya cocok untuk pekerjaan
tersebut. Namun tes darah menunjukkan bahwa dia positif HIV. Perusahaan memberitahunya bahwa dia
tidak bisa dipekerjakan karena statusnya yang positif HIV. Pengadilan Perburuhan memutuskan praktik
perusahaan penerbangan tersebut tidak tergolong sebagai tindakan diskriminasi yang tidak sah. Oleh
karenanya, pemohon merujuk kasusnya kepada Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan dengan dugaan
bahwa penolakan tersebut merupakan diskriminasi yang tidak sah, dan melanggar hak-hak konstitusional
mengenai kesetaraan, martabat manusia dan praktik perburuhan yang sah.6
Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa penolakan oleh perusahaan penerbangan untuk
mempekerjakan pemohon melanggar haknya atas kesetaraan sebagaimana dijamin dalam bagian 9
Konstitusi. Mahkamah memutuskan untuk memberikan ganti rugi yang seharusnya diterima oleh pemohon;
Konstitusi Afrika Selatan mengatur bahwa apabila hak yang terdapat dalam Undang-undang Hak telah
dilanggar, Pengadilan dapat mengabulkan ganti rugi yang sesuai.
Mahkamah menjelaskan bahwa dalam menghapuskan diskriminasi yang tidak sah, Konstitusi tidak
hanya mencegah diskriminasi yang tidak sah, tetapi juga menghapuskan efek-efek yang ditimbulkannya.
Dalam konteks hubungan kerja, pencapaian tujuan tidak hanya berkaitan dengan penghapusan praktikpraktik hubungan kerja yang diskriminatif, tetapi juga mensyaratkan jika seseorang yang telah mengalami
tindakan yang salah sebagai hasil dari diskriminasi yang tidak sah, sebisa mungkin, ia harus dikembalikan
ke posisi di mana seharusnya dia mendapatkannya bila tidak ada diskriminasi yang tidak sah tersebut.
Dalam rangka memperkuat argumen tersebut, Mahkamah merujuk kepada kewajiban internasional
Afrika Selatan tentang diskriminasi:
5
Piagam Afrika tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Masyarakat, 1981; Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan),
1958.
6
Prinsip-prinsip martabat manusia ditegaskan dalam Bagian 1 (4) Konstitusi Afrika Selatan, prinsip kesetaraan dalam Bagian 9, dan praktikpraktik perburuhan yang sah dalam Bagian 23 (1) undang-undang yang sama.
20
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
“Kebutuhan untuk menghapuskan diskriminasi yang tidak sah, tidak hanya muncul dalam Bab
2 Konstitusi kita. Juga muncul dalam kewajiban internasional. Afrika Selatan telah meratikasi
banyak konvensi anti diskriminasi, termasuk Piagam Afrika tentang Hak-hak asasi manusia
dan masyarakat. Dalam pembukaan Piagam Afrika, Negara anggota wajib, antara lain, untuk
menghilangkan segala bentuk diskriminasi. Pasal 2 melarang segala bentuk diskriminasi. Dalam
Pasal 1, Negara anggota memiliki kewajiban untuk memberikan efek terhadap hak-hak dan
kebebasan yang dikandung dalam Piagam tersebut. Dalam konteks hubungan kerja, Konvensi ILO
111, Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958 melarang diskriminasi yang memiliki
efek membatalkan atau melanggar kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan dan
jabatan. Dalam Pasal 2, Negara anggota memiliki kewajiban untuk membuat kebijakan nasional
yang dirancang untuk mengedepankan kesetaraan kesempatan dan perlakuan dalam bidang
ketenagakerjaan, dengan tujuan untuk menghilangkan setiap diskriminasi.”
Merujuk pada Konstitusi nasional dan hukum internasional, Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan
menyimpulkan bahwa agar secara efektif dapat menghapuskan diskriminasi, ganti rugi yang sesuai dalam
kasus ini adalah secara langsung memerintahkan perusahaan penerbangan itu untuk mempekerjakan
pemohon sebagai awak kabin.
3.
Pengadilan Banding Perburuhan, Modise and others vs Steve’s Spar, 15 Maret 2000,
Kasus No. JA 29/99
Subyek: Pemecatan
Peranan hukum internasional: Menetapkan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian internasional yang belum diratikasi7
Partisipasi pekerja dalam pemogokan yang tidak sah/ pemecatan tanpa wawancara terlebih dahulu/
cara-cara banding pekerja terhadap praktik-praktik perburuhan yang tidak sah/ kekurangan dalam
perundang-undangan nasional/ rujukan kepada ketentuan Konvensi ILO No. 158 untuk memperluas
cakupan sidang sebelum pemecatan
Pekerja mengambil bagian dalam suatu pemogokan di mana pengadilan telah menyatakan pemogokan
itu tidak sah. Setelah mengultimatum pekerja untuk kembali bekerja, pengusaha memecat pekerja yang
tidak mematuhinya tanpa memberikan mereka atau perwakilan mereka, kesempatan untuk menjelaskan
kasus mereka. Pengadilan pada awalnya telah memutuskan bahwa pemutusan hubungan kerja tersebut
sah. Menghadapi kekosongan dalam perundang-undangan nasional, dan kontradiktifnya kasus hukum,
Pengadilan Banding Perburuhan harus memutuskan apakah dalam suatu pemogokan yang tidak sah,
pengusaha tetap harus mematuhi aturan tentang pelaksanaan sidang dengar pendapat dengan pekerja
atau perwakilannya sebelum melakukan PHK.
Dengan seraya mengakui adanya kewajiban sidang dengar pendapat dengan pekerja sebelum pemecatan
meskipun tidak ada ketentuan internal mengenai isu ini, Hakim Zondo mendasarkan keputusannya pada
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja8 dalam sebagian besar keputusannya, meskipun
faktanya Afrika Selatan belum meratikasi Konvensi tersebut.
7
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
8
Pasal 7 Konvensi No. 158: “Hubungan kerja pekerja tidak boleh diputuskan untuk alasan yang terkait dengan perilaku atau kinerja pekerja
sebelum dia diberikan kesempatan untuk membela dirinya terhadap dugaan yang dibuat, kecuali pengusaha tidak dapat diharapkan secara
layak bisa memberikan kesempatan ini.”
21
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
“Pendekatan audi adalah untuk menjaga (hukum nasional) sesuai dengan standar internasional.
Hal ini tidak bisa dikatakan bahwa pendekatan ini adalah non-audi. Saya menyampaikan hal ini
karena cukup jelas bahwa Konvensi ILO No. 158 tahun 1982 mengenai Pemutusan Hubungan
Kerja berisi aturan umum bahwa pengusaha tidak boleh memecat pekerja karena alasan perilaku
atau kinerja pekerjaan tanpa terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada pekerja tersebut
untuk membela dirinya terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukannya. Dalam hal ini, Konvensi
tidak mengatakan bahwa aturan ini tidak berlaku dalam kasus di mana pekerja dipecat karena
mogok. Sebaliknya, penafsiran hal ini juga harus diberlakukan dalam hal seorang pekerja dipecat
akibat mogok karena hal tersebut termasuk dalam pemecatan karena alasan perilaku pekerja.
Konvensi ini memat ketentuan pengecualian yang cukup luas, yaitu merujuk kepada semua
pengecualian yang berlaku normal terhadap aturan audi. Pendekatan non-audi secara langsung
bertentangan dengan konvensi atau sekurang-kurangnya tidak selaras dengan konvensi.”
Merujuk kepada ketentuan Konvensi ILO No. 158, Pengadilan Banding Perburuhan mempertimbangkan
bahwa aturan yang mewajibkan pekerja didengar keterangannya berlaku terhadap pemecatan pekerja yang
telah mengambil bagian dalam suatu pemogokan yang tidak sah. Dalam kasus ini, pekerja dipekerjakan
kembali.
4.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, South African National Defence Union vs
Minister of Defence, 26 Mei 1999, Kasus No. CCT 27/98
Subyek: Kebebasan berserikat; hak mogok
Peranan hukum internasional: Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi9
Secara konstitusional, perundang-undangan nasional melarang kebebasan berserikat untuk personil
angkatan bersenjata/ pentingnya menafsirkan perundang-undangan nasional sejalan dengan
Konvensi-konvensi internasional ILO
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan harus memutuskan apakah ketentuan yang melarang anggota
angkatan bersenjata berpartisipasi dalam tindakan protes publik dan bergabung dengan serikat pekerja
tergolong kategori membatasi hak-hak konstitusional. Jika ya, Mahkamah harus memutuskan apakah
pembatasan tersebut bisa dibenarkan.
Pasal 23 (2) Konstitusi Nasional menyatakan:
“Setiap pekerja mempunyai hak: 1) untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja;
2) untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan dan program-program serikat pekerja; 3) untuk
mogok.”
Untuk dapat memutuskan apakah undang-undang membatasi hak-hak yang dilindungi oleh Konstitusi,
Mahkamah harus memutuskan apakah personil angkatan bersenjata termasuk dalam kategori “pekerja”
sebagaimana diatur dalam Bagian 23 (2) Konstitusi. Untuk menasrkan Pasal 23 Konstitusi, Mahkamah
mendasarkan pertimbangannya pada Konvensi dan Rekomendasi ILO:
9
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak untuk
Berserikat dan Perundingan Bersama, 1949.
22
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
“Bagian 39 Konstitusi mengatur bahwa ketika pengadilan menafsirkan Bab 2 Konstitusi, maka
harus mempertimbangkan hukum internasional. Dalam pandangan saya, konvensi-konvensi dan
rekomendasi-rekomendasi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) –salah satu organisasi
internasional tertua – adalah sumber yang penting untuk mempertimbangkan arti dan lingkup
“pekerja” sebagaimana digunakan dalam bagian 23 Konstitusi kita.”
Mahkamah merujuk pada Pasal-pasal 210, dan 9 (1)11 Konvensi ILO No. 87 dan menyimpulkan bahwa:
“Oleh karenanya, ketentuan ini cukup jelas bahwa Konvensi memasukkan “angkatan bersenjata
dan polisi” dalam lingkup “pekerja”, tetapi sejauh mana ketentuan-ketentuan dalam Konvensi
yang berlaku untuk layanan-layanan tersebut adalah kewenangan hukum nasional, dan tidak
diatur secara langsung dalam Konvensi.”
Memperhatikan bahwa Konvensi ILO No. 98 mengadopsi pendekatan yang sama, Mahkamah Konstitusi
menyimpulkan:
“ILO memasukkan personil angkatan bersenjata dan polisi sebagai pekerja untuk tujuan Konvensikonvensi ini, namun mempertimbangkan bahwa posisi mereka bersifat khusus, maka Konvensi
menyerahkan kepada negara anggota untuk menentukan sejauh mana ketentuan-ketentuan
dalam Konvensi diberlakukan pada personil angkatan bersenjata dan polisi.”
Mengadopsi pendekatan yang sama dengan Konvensi-konvensi ILO No. 87 dan 98, Mahkamah
menganggap bahwa kata “pekerja” dalam Pasal 23 (2) Konstitusi harus ditafsirkan untuk memasukkan
personil angkatan bersenjata. Namun, hak-hak konstitusional yang dilindungi dalam Pasal ini dapat dibatasi
oleh perundang-undangan nasional, sepanjang pembatasan tersebut logis dan bisa dibenarkan dalam
masyarakat yang terbuka dan demokratis sebagaimana diatur dalam bagian 36 Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan kemudian menyimpulkan bahwa larangan total terhadap serikat
pekerja untuk angkatan bersenjata adalah tidak logis dan tidak bisa dibenarkan untuk mencapai tujuan
negara yang sah tentang kedisiplinan angkatan militer. Oleh karenanya, Mahkamah menyatakan bahwa
ketentuan nasional tidak konstitusional. Sebaliknya, Mahkamah memutuskan larangan hak mogok bagi
angkatan bersenjata tidak melanggar Konstitusi.
10
Pasal 2 Konvensi No. 87: “Pekerja dan pengusaha, tanpa pembedaan apapun, harus memiliki hak untukmendirikan dan, tunduk hanya
pada aturan organisasi yang bersangkutan, untuk bergabung dengan organisasi yang mereka pilih sendiri tanpa perlu otorisasi authosiasi
sebelumnya.”
11
Pasal 9 (1) Konvensi No. 87: “Sejauh mana jaminan yang diatur dalam Konvensi ini seharusnya berlaku untuk angkatan bersenjata dan polisi
harus ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan nasional.”
23
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Jerman
Konstitusi Republik Federal Jerman
Pasal 25: Hukum Internasional Publik
Aturan umum hukum internasional publik merupakan satu kesatuan dari hukum federal. Hukum
internasional publik memiliki preseden terhadap undang-undang dan secara langsung menciptakan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi penduduk wilayah federal.
5.
Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman, Keputusan tanggal 18 November
2003, 1 BvR 302/96
Subyek: Perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, perlindungan persalinan
Peranan hukum internasional: Penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik, rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum domestik
Jenis-jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;12 Perjanjianperjanjian internasional yang belum diratikasi.13
Perundang-undangan mewajibkan pengusaha memberikan tunjangan tunai yang dibayarkan selama
cuti melahirkan/ Hak atas kebebasan dalam pekerjaan harus dibaca bersama-sama dengan ketentuanketentuan Undang-undang Dasar tentang kesetaraan gender/ Perlunya penghapusan diskriminasi
dalam praktik/ Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum
domestik/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum
domestik.
Perundang-undangan Jerman mengatur bahwa perempuan yang sedang menjalani masa cuti persalinan
berhak atas tunjangan persalinan yang berasal dari dana publik (asuransi kesehatan). Selain itu, pengusaha
juga diwajibkan membayarkan kepada perempuan tersebut selisih antara tunjangan persalinan dengan
upah rata-rata pekerja perempuan tersebut. Jumlah yang ditanggung pengusaha meningkat setiap waktu,
dikarenakan meningkatnya upah, sedangkan tunjangan yang dibayarkan oleh asuransi kesehatan tetap
berada pada tingkat yang sama. Dalam hal ini, harus diperhatikan bahwa dalam rangka menghapuskan
beban bagi perusahaan kecil (yang memiliki pekerja sampai dengan 30 orang), telah ditetapkan sebuah
skema asuransi wajib di mana pembayaran selisih itu menjadi tanggungan pengusaha.14
Perusahaan Jerman memasukkan keluhan konstitusional dengan dugaan bahwa kewajiban pengusaha
untuk berpartisipasi dalam pembayaran tunjangan tunai selama masa persalinan adalah pelanggaran
terhadap hak konstitusional mengenai kebebasan dalam pekerjaan (Pasal 12 (1) Undang-undang Dasar).15
12
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan, 1958; Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan, 1979.
13
Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Persalinan (Maternitas), 2000.
14
Kontribusi pengusaha terhadap skema diperhitungkan berdasarkan jumlah total orang yang dipekerjakan dalam perusahaan tersebut.
15
Pasal 12 (1) Undang-undang Dasar menyatakan: “Semua orang Jerman memiliki hak untuk secara bebas memilih pekerjaan atau profesi,
tempat kerja mereka, tempat pelatihan mereka. Praktik pekerjaan atau profesi dapat diatur lebih lanjut melalui atau menurut suatu undangundang.”
24
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mahkamah menganggap bahwa, secara prinsipil, berbagi biaya antara negara dan pengusaha dalam
perlindungan persalinan sesuai dengan Konstitusi. Namun Mahkamah memutuskan bahwa dalam kasus ini,
pengaturan yang dibuat tidak konstitusional karena mereka melanggar ketentuan kesetaraan dalam Undangundang Dasar yang diatur dalam Pasal 3 (2) sebagai berikut: “Laki-laki dan perempuan harus memiliki
hak yang setara. Negara harus mengedepankan implementasi hak-hak yang setara bagi perempuan dan
laki-laki dan mengambil langkah-langkah untuk menghapuskan kerugian-kerugian yang ada.” Mahkamah
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan ini bertujuan untuk mewujudkan kesetaraan dalam masyarakat
dan pelaksanaan kesetaraan gender dalam praktik. Menurut Pengadilan, hal ini sesuai dengan kewajiban
internasional Jerman, khususnya yang sesuai dengan Konvensi ILO No.111 mengenai Diskriminasi
(Pekerjaan dan Jabatan) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang
keduanya mensyaratkan penghapusan diskriminasi langsung dan diskriminasi dalam praktik. Mahkamah
menganggap bahwa, menurut konvensi-konvensi ini, meskipun negara memiliki batasan yang luas untuk
menentukan bagaimana mengedepankan kesetaraan, diskriminasi dalam praktik sebagai konsekuensi dari
tindakan-tindakan yang diambil, haruslah dihindari.
Mahkamah juga mengamati bahwa kewajiban nansial yang meningkat di sisi pengusaha sehubungan
dengan perlindungan persalinan dapat membatasi kesempatan kerja bagi perempuan. Posisi ini didukung
dengan rujukan pada Pasal 8 (6) Konvensi ILO No. 183 mengenai Perlindungan Persalinan,16 yang belum
diratikasi Jerman, yang menurut Mahkamah, didasarkan pada kepercayaan bahwa kewajiban individual
pengusaha atas pembayaran tunjangan tunai dapat menjadi hambatan untuk kesempatan kerja bagi
perempuan. Oleh karenanya, Pengadilan menganggap bahwa tidak perlu membuat putusan mengenai
probabilitas tunjangan tunai secara terpisah yang berkontribusi terhadap tiadanya kesempatan kerja bagi
perempuan.
Mahkamah Konstitusi Jerman kemudian menilai bahwa skema asuransi yang ada bagi perusahaan
yang mempekerjakan 30 orang atau kurang adalah langkah yang memadai untuk mencegah diskriminasi
tidak langsung terhadap perempuan dalam pasar kerja, sesuai dengan Pasal 3 (2) Undang-undang Dasar.
Sebaliknya, mendasarkan alasannya pada hukum internasional, Mahkamah memutuskan bahwa sepanjang
situasi perusahaan dengan lebih dari 30 orang pekerja, ketentuan-ketentuan perundang-undangan tersebut
sianggap tidak konstitusional. Persyaratan bahwa perusahaan yang lebih besar membayar tambahan upah
dianggap tidak konstitusional karena melanggar hak-hak yang dijamin secara konstitusional untuk memilih
pekerjaan atau profesi.
16
Pasal 6(8), Konvensi No. 183 menyatakan: “Untuk melindungi situasi perempuan dalam pasar kerja, tunjangan yang terkait dengan cuti yang
dirujuk dalam Pasal 4 dan 5 harus diberikan melalui asuransi sosial wajib atau dana publik, atau dengan cara yang ditentukan oleh perundangundangan dan praktik nasional. Pengusaha tidak secara individual bertanggungjawab untuk biaya langsung dari tunjangan keuangan tersebut
terhadap pekerja perempuan tanpa adanya perjanjian khusus dengan pengusaha kecuali jika: (a) hal tersebut diatur dapam perundangundangan dan praktik nasional di negara anggota sebelum tanggal adopsi Konvensi ini oleh Konferensi Perburuhan Internasional; atau (b) hal
tersebut selanjutnya disetujui di tingkat nasional oleh pemerintah dan perwakilan organisasi pekerja dan pengusaha”.
25
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
6.
Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman, 1 Juli 1998, 2 BvR441/90
Subyek: Larangan kerja paksa
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi17
Mempekerjakan tahanan di perusahaan-perusahaan swasta tanpa persetujuan tahanan/ Kasus
diajukan ke Mahkamah Konstitusi atas dugaan pelanggaran Konvensi ILO No. 29/ Penafsiran Konstitusi
sehubungan dengan Konvensi yang telah ada sebelum Konstitusi diadopsi
Mahkamah Konstitusi Federal harus memutuskan apakah Hukum Jerman mengenai hubungan kerja
tahanan sesuai dengan undang-undang dasar atau tiidak. Permasalahannya di sini adalah mempekerjakan
tahanan pada perusahaan-perusahaan swasta tanpa persetujuan tahanan. Pekerja paksa diatur dalam
Pasal 12 Konstitusi Jerman, yang bunyinya sebagai berikut:
“(1) Setiap warga negara Jerman memiliki hak untuk secara bebas memilih usaha atau profesinya,
tempat kerjanya dan tempat pelatihannya. Praktik usaha atau profesi dapat diatur dengan
undang-undang.
(2) Tidak boleh ada seorang pun yang diwajibkan melaksanakan suatu pekerjaan dalam kerangka
layanan publik wajib yang tradisional yang berlaku secara umum dan sama ke semua orang.
(...)
(4) Pekerjaan paksa dapat dikenakan hanya dalam hal seseorang tidak memiliki kebebasan
karena hukuman pengadilan.”
Orang-orang yang memasukkan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi menganggap bahwa
Hukum Jerman telah melanggar Konvensi ILO No. 29 tentang Pekerja Paksa. Mahkamah pertama-tama
mengakui bahwa Konstitusi dapat ditafsirkan sejalan dengan hukum internasional:
“Standar-standar hukum internasional telah lama dipertentangkan terhadap mempekerjakan
tahanan tanpa syarat. Pasal 2 Ayat 2 (c) Konvensi ILO No. 29 tanggal 28 Juni1930 memperbolehkan
adanya pengecualian bagi kerja paksa atau wajib dari larangan dasar, hanya “Jika pekerjaan
atau layanan tersebut dilaksanakan dibawah pengawasan dan kontrol otoritas publik”. Standar
internasional ini, yang telah ada pada saat pembahasan Undang-undang Dasar, memberikan
dasar untuk tujuan dari pembuat undang-undang dan juga merupakan bantuan untuk menafsirkan
Undang-undang Dasar.”
Meskipun Mahkamah Konstitusi Jerman mendasarkan pada Konvensi ILO No. 29 untuk menafsirkan
ketentuan-ketentuan domestik, mahkamah menetapkan bahwa dalam kasus ini, ketentuan “mempekerjakan”
dalam undang-undang bukan termasuk tidak konstitusional, karena dilaksanakan dalam pengawasan dan
kontrol otoriitas publik.18
17
Konvensi ILO No.29 mengenai Pekerja Paksa, 1930
18
Namun harus digarisbawahi bahwa dalam pengamatan individual tahun 1999 mengenai penerapan Konvensi No. 29 di Jerman, Komite Ahli
ILO tentang Konvensi dan Rekomendasi menganggap bahwa: “(…) hanya ketika pekerjaan dilakukan dengan sukarela dalam kondisi yang
menjamin adanya upah yang normal, jaminan sosial, dsb., pekerjaan oleh tahanan untuk perusahaan-perusahaan swasta dapat dianggap
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1(1) dan Pasal 2(1) dan (2)(c).”
19
Konvensi ILO No. 97 tentang Migrasi untuk Pekerjaan (Revisi), 1949.
26
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
7. Pengadilan Administratif Federal, Putusan tanggal 28 Mei 1991, BVerwG 1 C 20.89
Subyek: pekerja migran
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi19
Pekerja migran yang tidak bekerja/ Perintah untuk kembal ike negara asal/ Kriteria untuk menentukan
penerapan langsung atas ketentuan perjanjian internasional/ Penerapan langsung Pasal 8 Konvensi
ILO No. 97/ Arti istilah “izin secara permanen” dalam hal Pasal 8 Konvensi ILO No. 97/ ketiadaan
pelanggaran Konvensi ILO
Penggugat adalah warga negara asing yang bekerja di Jerman sejak tahun 1968 sampai dia menjadi
pengangguran pada tahun 1981. Dia memegang izin tinggal permanen tetapi sejak tahun 1984 tidak memiliki
izin kerja. Penggugat menerima pembayaran bantuan sosial sejak tahun 1985. Dalam permohonannya ke
Pengadilan Administratif, dia menggugat pembatasan atas status izin tinggal permanennya dan perintah
untuk kembali ke negara asalnya, mengingat pada Konvensi No. 97. Pasal 8 (1) yang mengatur bahwa,
“Seorang pekerja migran yang telah memperoleh izin permanen dan anggota keluarganya yang telah diberi
wewenang untuk menemani atau bergabung dengannya, tidak boleh dikembalikan ke tempat asalnya atau
tempat darimana dia pergi karena pekerja migran tersebut tidak dapat mengikuti pekerjaannya karena alasan
sakit atau terluka yang berkelanjutan, setelah dia masuk ke negara tersebut, kecuali yang bersangkutan
memang menginginkannya, atau ada perjanjian internasional di mana negara anggota menjadi pihak dalam
perjanjian tersebut.”
Pengadilan menegaskan ada putusan kasus hukum sebelumnya yang menetapkan bahwa ketentuan
dalam perjanjian-perjanjian internasional menjadi langsung berlaku jika kata-kata, tujuan dan isinya sesuai
dan memadai untuk menentukan efek hukum tanpa tindakan legislatif lebih lanjut. Hal ini yang terjadi dalam
Pasal 8 Konvensi No. 97. Oleh karenanya, penggugat dapat menuntut hak-hak individual dalam Pasal 8.
Pengadilan Administratif Federal menganggap bahwa pembatasan lanjutan atas izin tinggal penggugat
tidak bertentangan dengan Konvensi No. 97 karena, menurut penafsiran pengadilan, pekerja migran hanya
dapat dianggap sebagai “diizinkan secara permanen” dalam arti Pasal 8, yakni jika dia telah mendapatkan
status izin tinggal permanen serta izin kerja permanen.20
20
Harus digarisbawahi bahwa penafsiran pengadilan ini tidak sejalan dengan posisi Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan
Rekomendasi, sebagaimana dinyatakan dalam Permintaan langsung kepada Jerman tahun 2001: “komite ingin merujuk pada permintaan
langsung sebelumnya dan mengingatkan penjelasan yang diberikan dalam Ayat 458 Survei Umum tahun 1980 tentang pekerja migran,
di mana dikatakan bahwa izin permanen secara ekslusif terkait dengan status izin tinggal permanen, di mana Pemerintah menyatakan
bahwa (setidak-tidaknya masuknya sebelum berlakunya UU orang Asing tahun 1990) menurut hukum nasional status izin permanen dianggap
memiliki dua makna, yakni memiliki izin tinggal permanen dan izin kerja permanen.”
27
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Argentina
Konstitusi Negara Argentina
Pasal 31
Konstitusi ini, hukum negara yang diundangkan oleh Kongres secara sah, dan perjanjian-perjanjian
dengan kekuasaan asing, adalah supremasi hukum di Negara; dan otoritas setiap provinsi terikat
olehnya, meskipun ketentuan bertentangan dengan hukum atau konstitusi provinsi, kecuali Provinsi
Buenos Aires, perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi setelah Pakta tanggal 11 Nopember
1859.
Pasal 75, Ayat 22
(…) Perjanjian-perjanjian dan kesepakatan-kesepakatan internasional mempunyai hierarki yang lebih
tinggi dari undang-undang.
Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia; Deklarasi Universal tentang
Hak Asasi Manusia; Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia; Pakta Internasional tentang Hakhak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; Pakta Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik dan Protokol
Pemberdayaannya; Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman untuk Genocide (pemusnahan
massal); Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; Konvensi
tentang penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Konvensi tentang Penyiksaan
dan Kekejaman Lain, Ketidakmanusiaan atau Perlakuan dan hukuman yang Menghinakan; Konvensi
atas Hak-hak Anak; dengan segala kekuatan hukum atas ketentuan-ketentuannya, semua itu memiliki
hierarki konstitusional; tidak ada pencabutan seksi manapun juga dalam Bagian Pertama Konstitusi
dan semua itu untuk dipahami sebagai pelengkap hak-hak dan jaminan-jaminan yang diakui di negara
ini. (…)
8.
Mahkamah Agung, Adriana María Rossi vs National State-Argentina Navy, 9
Desember 2009, R. 1717. XLI
Subyek: kebebasan berserikat; perlindungan terhadap diskriminasi anti serikat pekerja
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi21; Kasus hukum
internasional22
Kebebasan berserikat/ Kondisi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan serikat pekerja/ perlindungan
serikat pekerja/ perlindungan serikat pekerja hanya untuk perwakilan serikat pekerja dengan personería
gremial (status resmi)/ penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Penggugat, perwakilan serikat pekerja, memohon pencabutan ketentuan mengenai tindakan disipliner
sebagai alasan untuk skorsing dan perubahan tempat kerja yang ditetapkan majikannya, yaitu Angkatan Laut
21
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat, 1948; Konvensi Amerika tentang Hak Asasi
Manusia (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969; Protokol Tambahan terhadap Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia dalam Bidang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (“Protokol San Salvador”),1988.
22
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat.
28
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Argentina, tanpa ada otorisasi hukum sebelumnya. Penggugat menduga bahwa otorisasi tersebut diperlukan
karena sebagai Presiden dari Asosiasi Rumah Sakit Angkatan Laut untuk Profesi Kesehatan dan anggota
tituler dari Dewan Federal dari Federasi Serikat Pekerja Medis, dia seharusnya mendapatkan perlindungan
serikat pekerja sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi dan dijunjung oleh hukum yang menjamin bahwa:
“pekerja dilindungi oleh jaminan-jaminan yang disebutkan dalam Pasal 48. Pasal ini memberikan jaminan
kepada pekerja yang melaksanakan tugas-tugas perwakilan yang secara resmi diakui oleh serikat
pekerja, tidak boleh dipecat atau diskors, serta kondisi kerja mereka tidak boleh diubah kecuali melalui
keputusan pengadilan sebelumnya yang mengeluarkan mereka dari jaminan tersebut [...]”.
Baik pengadilan di tingkat pertama dan tingkat Banding menetapkan bahwa tidak mungkin
melaksanakan perlindungan serikat pekerja karena pemohon terkait dengan serikat pekerja yang yang
sudah digantikan oleh serikat yang lain, yang diakui secara resmi, dan menjadi perwakilan dari serikat
pekerja yang belakangan yang memperoleh perlindungan serikat pekerja sesuai dengan Pasal 52 Undangundang Organisasi Serikat Pekerja.
Mahkamah Agung menyelesaikan kasus ini dengan merujuk pada tempat pertamanya, karena kasus
“Association of State Workers vs Ministry of Labour” tertanggal 11 Nopember 2008 merupakan preseden
yang penting dalam pemeriksaan kasus ini. Dalam kasus ini, Pengadilan menetapkan bahwa Pasal 41.a
hukum 23.551 tidak konstitusional karena memberikan keistimewaan kepada serikat-serikat pekerja yang
paling terwakili dan merugikan serikat-serikat pekerja lain yang juga terdaftar dan melindungi seluruh atau
sebagian kegiatan yang sama seperti yang dilakukan serikat-serikat yang paling terwakili.
Mahkamah merujuk pada kasus hukum Pengadilan Inter-Amerika tentang HAM yang menekankan
bahwa kebebasan berserikat wajib mendapatkan perlindungan dari negara. Membandingkan kasus tersebut
dengan ketentuan dalam Pasal 52 Undang-undang Organisasi Serikat Pekerja yang menyimpulkan bahwa
kewajiban tersebut tidak sesuai dengan:
“Pengadilan Inter-Amerika tentang HAM menyatakan dengan tegas bahwa kebebasan serikat
pekerja dan kebebasan berserikat diatur dalam Pasal 16 Konvensi Amerika tentang HAM, bahwa
kewajiban ‘negatif’ negara untuk tidak campur tangan disejajarkan dengan kewajiban ‘positif’
negara. Dengan kata lain bahwa ketika mengadopsi suatu tindakan yang tepat untuk melindungi
dan memelihara pelaksanaan kegiatan serikat pekerja “tanpa rasa takut” di pihak perwakilan
serikat, pada saat yang sama hal itu bisa mengakibatkan “kemampuan kelompok untuk
berorganisasi dalam rangka melindungi kepentingan mereka dapat menurun”.
Dalam membatasi lingkup perlindungan yang diberikan dalam Pasal 52 kepada perwakilan yang
secara resmi diakui oleh serikat pekerja, undang-undang 23.551 mengatur dengan jelas kebebasan
serikat pekerja yang diakui secara konstitusional, dan tidak bisa membenarkan terjadinya
pelanggaran di mana pembuat undang-undang secara langsung memberikan keutamaan hanya
kepada organisasi yang paling terwakili.”23
Terakhir, dalam menyimpulkan pernyataannya tentang inskonstitusionalitas Pasal 52 Undang-undang
Serikat Pekerja dan Asosiasi, Mahkamah juga merujuk pada ketentuan dalam Konvensi No. 87. Komite
Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, juga yang telah berulangkali memperingatkan
Pemerintah Argentina bahwa Pasal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi 87:
“Hal ini dilengkapi dengan kontribusi dari Konvensi ILO No 87, yang sangat fundamental dalam
kasus ini, (…) instrumen ini berperan penting karena mewajibkan negara untuk “mengambil
tindakan yang diperlukan dan sesuai guna memastikan bahwa pekerja […] dapat secara bebas
melaksanakan hak untuk berserikat” (Pasal 11), [...] dan juga untuk “menghilangkan setiap
campur tangan yang akan membatasi […] atau menghambat pelaksanaan yang sah” dari hak23
Pembukaan No. 4 dari Putusan.
29
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
hak organisasi pekerja“ untuk berserikat […] kegiatan-kegiatan mereka dan membuat programprogram mereka” (Pasal 3.1 and 2). (…)
Dalam hal ini, kita harus secara khusus memperhatikan pengamatan Komite Ahli ILO tentang
Penerapan Konvensi dan Rekomendasi karena keterkaitan yang khusus dengan masalah dalam
perselisihan ini. Kesimpulan yang ekstrem yang diambil oleh badan ini (2008) secara efektif
menganggap bahwa meskipun ada perlindungan umum yang diberikan dalam Pasal 47 Undangundang 23.551, “Pasal 48 dan 52 undang-undang tersebut menetapkan suatu ketentuan yang bias
yang hanya menguntungkan perwakilan organisasi yang diakui secara resmi di dalam tindakan anti
diskriminasi serikat yang berada di luar keistimewaan yang mungkin diberikan kepada organisasi
paling mewakili” (…).
Sejak dari awal, pada tahun 1989, Komite Ahli ILO tentang PenerapanKonvensi dan Rekomendasi
telah melihat ketidakadilan atas kompatibilitas undang-undang 23.551, tahun 1988, dengan
Konvensi No 87 (…).
Doktrin Komite Kebebasan Berserikat ILO menunjukkan hasil yang sama ketika mengamati
paragraf sebelumnya, dan keputusan Mahkamah seringkali menyebut kasus-kasus asosiasi
pekerja negara.”24
Begitu undang-undang tersebut dinyatakan tidak konstitusional dengan berbagai alasan yang disebutkan
di atas, Mahkamah Agung membatalkan keputusan banding dan merujuk pada kasus dalam Pengadilan
Banding, sehingga keputusan yang baru dapat diberikan sesuai dengan ketentuannya. Dengan kata lain,
mengakui hak status serikat pekerja tanpa menghiraukan apakah perwakilan tersebut milik serikat pekerja
yang diakui secara resmi atau yang hanya terdaftar.
9.
Mahkamah Agung, Aníbal Raúl Pérez vs Disco S.A., 1 September 2009, P. 1911.XLII
Subyek: perlindungan upah
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi25; instrumeninstrumen yang tidak tunduk pada ratikasi26; kasus hukum internasional27
Konsep dan sifat hukum remunerasi/ Kupon makanan sebagai bagian dari remunerasi/ Tunjangan
sosial kepada pekerja/ Penyelesaian langsung peselisihan berdasarkan hukum internasional
Seorang pekerja mengajukan gugatan hukum karena majikannya memasukkan kupon makanan
dalam perhitungan paket kompensasi yang dibayarkan dalam sebuah pemutusan hubungan kerja
(PHK) karena sebelumnya kupon makanan tersebut menjadi bagian dari paket remunerasi. Keputusan
di pengadilan pertama dimenangkan sang pekerja, namun Pengadilan Banding Perburuhan Nasional
24
Pembukaan No. 6 dari Putusan.
25
Pembukaan Perjanjian Organisasi Negara Amerika, 1948; Konvensi ILO No. 95 tentang Perlindungan Upah, 1949; Perjanjian Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Konvensi Amerika tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969; protocol Tambahan
terhadap Konvensi Amerika tentang HAM dalam Bidang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (“Protokol San Salvador”), 1988.
26
Deklarasi Philadelphia ILO, 1944; Deklarasi Universal tentang HAM, 1948; Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kkewajiban
Manusia, 1948; Deklarasi ILO tetnang keadilan Sosial dan Globalisasi yang Adill, 2008.
27
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi
30
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
membatalkan putusan tersebut. Pengadilan ini memutuskan bahwa perhitungan itu telah didasarkan pada
undang-undang yang disahkan Kongres. Undang-undang ini mengizinkan pengusaha untuk memberikan
tunjangan sosial tertentu kepada pekerja dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup mereka tanpa
memperhitungkan remunerasi mereka. Pengadilan juga menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak
melanggar Konstitusi.
Namun, Mahkamah agung mengambil jarak dengan premis di atas, dan menjelaskan bahwa masalah
tersebut tidak bergantung pada apakah pembuat undang-undang tidak memberikan peluang penyediaan
“manfaat sosial”, tapi lebih pada apakah hal ini tidak dipakai untuk mengubah “dasar hukum intrinsik dari
pengupahan”.
Mahkamah memeriksa keabsahan konstitusional Pasal 131 Undang-undang 24.700, yang digunakan
sebagai dasar untuk tunjangan sosial dan untuk mengeluarkannya dari bagian paket remunerasi. Untuk
melaksanakan pemeriksaannya, Mahkamah merujuk pada Pasal 14 Konstitusi dan prinsip perlindungan
yang diatur di dalamnya serta keterkaitannya dengan berbagai instrumen internasional. Dari pemeriksaan
itu, Mahkamah menunjukkan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut berisi hak-hak yang seharusnya dihormati
oleh pembuat undang-undang. Mahkamah menyatakan bahwa “sifat hukum lembaga harus secara mendasar
dijelaskan oleh elemen-elemen konstituen, tanpa menghiraukan nama yang diberikan oleh pembuat undangundang atau individual” dan merujuk pada 3 sumber, termasuk Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan
Kewajiban-kewajiban Manusia, Deklarasi Univesal tentang HAM, Perjanjian Internasional tentang Hakhak ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), khususnya Pasal 6 dan 7, dan Deklarasi Philadelphia ILO tahun
1944. Mahkamah menyimpulkan dari analisa ini bahwa kupon makanan secara efektif merupakan
bagian dari remunerasi untuk pekerja:
“Perhatian harus difokuskan pada Pasal 6 dan 7 ICESCR karena ‘saling bergantung’28,
mereka diposisikan, dengan segala kesederhanaan dan kejelasan, sebagai panduan yang
menentukan untuk menjelaskan masalah kategorisasi ini, dan karenanya bisa digunakan untuk
menyelesaikan kasus yang diperselisihkan. Konsekuensinya, ada dua hal. Ketentuan pertama
menyatakan bahwa hak untuk bekerja “termasuk hak bagi setiap orang atas kesempatan untuk
mendapatkan kehidupannya melalui pekerjaan [...]” (poin 1, huruf miring ditambahkan). Kedua,
yang diklasikasikan sebagai ‘upah’ atau ‘remunerasi’ yang harus dibayarkan oleh pengusaha
kepada pekerja pada kesempatan yang disebutkan di atas adalah dalam konteks hubungan kerja;
Karena itu, harus disimpulkan bahwa tidak mudah menggambarkan bahwa setiap pembayaran,
seperti kupon makanan, yang menjadikan jumlah yang jelas terhadap “pendapatan” bagi pemohon
dan secara setara jelas bahwa hal tersebut termotivasi atau timbul sebagai konsekuensi dari
kontrak atau hubungan kerja tersebut, berada di luar lingkup kondisi-kondisi di atas.”
Mahkamah menegaskan bahwa isi dari jaminan yang bersifat konstitusional tidak dapat diubah oleh
keinginan pembuat undang-undang atau pengusaha. Mahkamah menunjukkan bahwa kerangka timbal-balik
kontrak kerja harus diatur oleh prinsip keadilan sosial, dan segala sesuatu yang terkait dengan pengupahan
harus mengikuti aturan pasar kerja dan membuat pengupahan tunduk pada kebutuhan yang lebih tinggi
atas perlindungan martabat seseorang dan kebaikan bersama. Mahkamah membuat komentar mengenai
keadilan sosial yang merujuk pada Deklarasi ILO tentang Keadilan Sosial:
“Nilai yang senantiasa memandu ILO dari sejak pendiriannya (Perjanjian Versailles, Bagian I, Ayat
pertama) sampai saat ini dan ditegaskan kembali dalam Deklarasi ILO tentang Keadilan Sosial
untuk Globalisasi yang Adil (diadopsi di Jenewa, 10-06-2008) sebagai cara untuk menghadapi
tantangan abad ke-21 tidak lain adalah keadilan sosial.”
28
Sebagaimana ditetapkan dalam Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Komentar Umum No 18, Hak untuk Bekerja, 2005,
E/C.12/GC/18, Paragraf 8.
31
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Mahkamah menambahkan bahwa denisi remunerasi menurut sistem hukum Argentina “tidak boleh
dipahami kurang dari denisi yang ada dalam Pasal 1 Konvensi ILO No. 9529 tentang perlindungan upah”
dan untuk alasan ini dianggap layak untuk merujuk pada komentar yang berulangkali disampaikan kepada
pemerintah oleh Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi sejak tahun 1995, yang
telah secara spesik dirujuk pada Pasal yang bersangkutan:
“(…) Selain itu, badan internasional, secara terus menerus diikuti melalui kritik yang telah diangkat
pada tahun 1995, tentang tunjangan non-remunerasi dalam keputusan No. 1477 dan No. 1478
tahun 1989, serta No. 333 tahun 1993, “untuk meningkatkan nutrisi pekerja dan keluarganya
“, menyimpulkan bahwa “ada hubungan antara tunjangan yang dirancang untuk memperbaiki
nutrisi pekerja dan keluarganya dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan menurut kontrak kerja.
“Tunjangan” ini – terus menerus – diberikan jangka waktu tertentu (bonus, tunjangan tambahan,
dsb). Semua itu merupakan komponen remunerasi menurut Pasal 1 Konvensi. (…)
Dalam komentar yang telah diberikan sebelumnya pada tahun 1998 dan 1999, badan internasional
menyatakan bahwa “mencatat dengan penyesalan bahwa perundang-undangan baru [Pasal 103bis
LCT (Undang-undang Kontrak Kerja) menurut teks dari Undang-undang No 24.700) membawa
situasi kembali pada ketidaksesuaian dengan persyaratan dalam Konvensi”, yang telah berulang
kali disebutkan sehubungan dengan keputusan No. 1477 dan No. 1478 tahun 1989, dan No. 333
tahun1993.”
10.
Mahkamah Agung, Association of State Workers vs the Ministry of Labour, 11
Nopember 2008, A. 201. XL
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi30; instrumeninstrumen yang tidak tunduk pada ratikasi31; kasus hukum internasional32
Organisasi pekerja/ Keputusan yang sesuai dengan konstitusi/ Kebebasan berserikat/ Hak-hak
pekerja/ Kebebasan serikat pekerja/ Status hukum serikat pekerja/ Penggunaan hukum internasional
sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Dalam hukum domestik Argentina, Pasal 41, Bagian A, Undang-undang 23.551 (UU Serikat Pekerja)
menyatakan bahwa staf perwakilan dan anggota komisi internal dan badan serikat pekerja yang sejenis
yang diatur dalam UU harus beraliasi dengan asosiasi serikat pekerja yang diakui secara hukum dan dipilih
dalam pemillihan.
29
Pasal 1: “Dalam konvensi, istilah upah berarti remunerasi atau pendapatan, yang dibuat atau diperhitungkan, dan dapat dinyatakan dalam
bentuk uang atau bentuk tetap lain melalui kesepakatan bersama atau hukum atau peraturan nasional, yang dibayarkan menurut kontrak
kerja tertulis atau tidak tertulis oleh pengusaha kepada orang yang dipekerjakan untuk pekerjaan yang dilakukan atau akan dilakukan atau
untuk jasa yang diberikan atau akan diberikan”.
30
Konvensi Amerika tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
1966; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Protokol Tambahan terhadap Konvensi Amerika tentang HAM dalam
Bidang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (“Protokol San Salvador”); Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan perlindungan
Hak untuk Berserikat, 1948.
31
Konstitusi ILO, 1919; Deklarasi Philadelphia ILO, 1944; Deklarasi Universal tentang HAM, 1948; Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan
Kewajiban-kewajiban Manusia, 1948; Deklarasi ILO tentangPrinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, 1998.
32
Komite tentang Hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya; Pengadilan Intern Amerika tentang HAM; Komite Ahli ILO tentang Kebebasan Berserikat;
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi.
32
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Model serikat pekerja di Argentina memperbolehkan keberadaan beberapa serikat pekerja dengan
kegiatan yang sama, dengan ketentuan mereka harus terdaftar pada Kementerian Perburuhan, tetapi hanya
satu serikat pekerja (yang memiliki keterwakilan yang paling banyak) yang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai serikat yang berhak untuk menjalankan secara penuh keterwakilan serikat pekerja.
Dalam kasus ini, serikat pekerja tanpa kedudukan hukum – Asosiasi Pekerja Negara (ATE) – memohon
agar penunjukan perwakilan itu dilakukan melalui pemilihan. Permohonan ini ditentang oleh serikat
pekerja yang memiliki kedudukan hukum – Serikat Personel Sipil Angkatan Bersenjata (PECIFA) – dan
dinyatakan tidak sah oleh Kantor Nasional Serikat Pekerja, yang kemudian diperkuat oleh Kementerian
Perburuhan. Pengadilan Banding Perburuhan Nasional menguatkan apa yang telah diputuskan oleh
Kementerian Perburuhan dan kasus tersebut berakhir di Mahkamah Agung Nasional sebagai lembaga
Banding Luar Biasa.
Mahkamah menganalisa isi hak kebebasan berserikat yang diatur dalam Pasal 14 Konstitusi, serta
dimensi individual dan kolektifnya. Dalam melakukan hal tersebut, mereka merujuk kasus hukum
Pengadilan Inter-Amerika tentang HAM:
“Sebagaimana telah diputuskan oleh Pengadilan HAM Inter-Amerika, syarat dalam Pasal 16.1
Konvensi Amerika menetapkan “secara literal” bahwa “mereka yang dilindungi oleh Konvensi
tidak hanya memiliki hak untuk berserikat secara bebas, tanpa intervensi dari otoritas publik
untuk membatasi atau menghalangi pelaksanaan hak-hak yang bersangkutan. Oleh karenanya,
ini adalah hak atas setiap individual”, tetapi ”mereka juga memiliki hak dan kebebasan untuk
mencari hasil bersama atas tujuan yang sah, tanpa tekanan atau campur tangan yang mungkin
mengubah atau merevisi tujuannya “(Kasus Huilca Tecse vs Peru, cit., para. 69 dan kutipannya).
Kebebasan berserikat dalam “istilah perburuhan”, oleh karenanya dalam dimensi individualnya,
“tidak terbatas pada pengakuan teoritis atas hak untuk membentuk serikat, tetapi juga termasuk,
yang tidak terpisahkan, hak untuk menggunakan segala cara yang pantas untuk melaksanakan
kebebasan tersebut; “dalam dimensi sosialnya hal tersebut membuktikan menjadi “cara yang
membuat kelompok atau pekerja secara kolektif mampu mencapai tujuan tertentu bersama-sama
dan untuk menikmati manfaat-manfaatnya (…)”
Mahkamah memutuskan bahwa hukum domestik Argentina yang diprotes tersebut (Pasal 41, Bagian
A, UU 23.551) melanggar hak atas kebebasan serikat pekerja baik secara individual dan kolektif. Sehingga,
Mahkamah menganggap bahwa ketentuan ini secara tidak sah membatasi:
“Pertama-tama, kebebasan pekerja yang secara individual ingin menjadi kandidat, karena hal ini
memaksa mereka, meskipun secara tidak langsung, untuk bergabung dengan asosiasi serikat
pekerja yang memiliki kedudukan hukum, tanpa menghiraukan keberadaan serikat yang lain
dalam bidang yang sama yang hanya sekadar terdaftar. Kedua, kebebasan yang belakangan
[serikat pekerja yang terdaftar tanpa status hukum], mencegah mereka dari pelaksanaan kegiatan
mereka dalam satu aspek yang paling mendasar dan tujuan mengapa mereka dibentuk.”
Mengenai aspek kolektif dari hak atas kebebasan berserikat, Mahkamah menafsirkan bahwa hak
konstitusional merujuk pada standar-standar perburuhan internasional dan kasus hukum dari badan-badan
pengawas ILO, khususnya sehubungan dengan isu prerogatif yang dapat diberikan kepada serikat pekerja
yang paling mewakili tanpa melanggar hak pekerja untuk bergabung dengan serikat yang mereka pilih dan
hak serikat pekerja untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan mereka dan memilih perwakilan mereka
secara bebas:
“Perintah konseptual ini sesuai dengan penafsiran Konvensi No. 87 dan hasil pekerjaan kedua
badan-badan pengawas internasional ILO. [...] Tentu saja, Komite Ahli baru-baru ini telah
“mengingatkan” pemerintah Argentina bahwa “untuk serikat yang memperolehnya, status “yang
paling mewakili” tidak boleh dijadikan sebuah keistimewaan, selain dari untuk memprioritaskan
33
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
keterwakilan dalam perundingan bersama, berkonsultasi dengan otoritas yang berwenang dan
penunjukan delegasi badan-badan internasional” (pengamatan individual mengenai Konvensi
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat, 1948 (No. 87), Argentina (ratikasi:
1960), 2008). [...] (Dan), di tahun1989, mengomentari tentang UU 23.551, Komite Ahli mencatat
bahwa hal tersebut kelihatannya tidak sesuai dengan Konvensi No. 87 di mana menurut Konvensi
itu “hak untuk mewakili pekerja dalam hanya dapat dilakukan oleh anggota dari serikat yang
memiliki status serikat pekerja”. […]
Kriteria Komite Ahli ini tidak disangsikan seluruhnya sesuai dengan Komite kebebasan Berserikat;
sedangkan sehubungan dengan diskusi mengenai draft Konvensi 87 dan Konstitusi ILO (Pasal
5.3), “fakta bahwa UU Negara membuat pembedaan antara organisasi serikat pekerja yang paling
mewakili dan organisasi serikat pekerja lainnya bukanlah hanya masalah kritik”, pembedaan tidak
boleh menghasilkan situasi di mana “organisasi yang paling mewakili mendapatkan keutamaan
yang melebihi di luar prioritas dalam perwakilan […] untuk tujuan perundingan bersama atau
konsultasi dengan pemerintah, atau untuk tujuan menominasikan delegasi ke badan-badan
internasional. […] (Kebebasan Berserikat: Intisari keputusan-keputusan dan prinsip-prinsip Komite
Kebebasan Berserikat dari Badan Pimpinan ILO, Jenewa, ILO, Edisi ke-4revisi,1996, para. 309).”
Menafsirkan Konstitusi sehubungan dengan Konvensi ILO No. 87 dan yurisprudensi Komite Ahli ILO
serta Komite Kebebasan Berserikat ILO, Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut tidak konstisional
dan kalimat yang dipersoalkan agar dicabut.
11.
Pengadilan Banding Nasional, kamar Kelima, Parra Vera Maxima vs San Timoteo
SAconc., 14 Juni 2006, Kasus No. 144/05 s.d. 68536
Subyek: pemecatan; kebebasan berserikat; perlindungan terhadap diskriminasi anti serikat
Peranan hukum internasional: menetapkan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi;33 kasus hukum
internasional34
Pemecatan/ Diskriminasi anti serikat/ / Penyelesaian pelanggaran kebebasan dan hak-hak dasar
(“recurso de amparo”)/ Pembuktian terbalik/ Penetapan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum
internasional
Pekerja yang dipecat karena program restrukturisasi, membawa kasusnya ke pengadilan, mengklaim
bahwa dia menjadi korban diskriminasi anti serikat pekerja. Pemohon mengajukan banding atas keputusan
pengadilan tingkat pertama, yang menolak tuntutannya, menolak dia untuk dipekerjakan kembali, dan
menolak tuntutan pembayaran gaji yang terhutang sejak tanggal pemecatan. Pengadilan menolak gugatannya
atas dasar pernyataan saksi-saksi yang tidak memungkinkan hakim untuk menentukan apakah pemecatan
tersebut terkait dengan perilaku diskriminasi dari termohon. Pengadilan pada tingkat pertama menyatakan
bahwa untuk membatalkan pemecatan yang dianggap diskriminatif, pemohon harus menyerahkan bukti
yang tidak bisa disangkal melalui penelitian yang sangat ketat terhadap fakta-fakta, suatu kondisi yang
menurut pengadilan tidak bisa dipenuhi dalam kasus ini.
33
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi
(Pekerjaan dan Jabatan), 1958; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Konvensi Amerika tentang HAM (“Pakta San
José, Kosta Rika”), 1969.
34
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi; Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat; Pengadilan Inter-Amerika tentang
HAM.
34
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengadilan Banding kemudian memutuskan apakah pemecatan pemohon adalah tindakan diskriminatif
sebagai balasan atas kegiatan-kegiatan keserikatannya.
Dalam memutuskan kasus ini, pengadilan banding menekankan relevansi hukum internasional dan
menyatakan bahwa hal itu harus menjadi dasar untuk semua keputusan pengadilan Argentina karena
keutamaan Konstitusi yang menggunakan instrumen internasional dalam sistem hukum Argentina:
“hanya menggunakan ketentuan-ketentuan UU kontrak kerja yang mengatur hak atas perlindungan
terhadap pemecatan yang sewenang-wenang dan hak untuk bekerja, untuk menolak tuntutan
pemohon, tidak hanya tidak sah dipandang dari sudut sistem hukum nasional, tetapi juga akan
sangat serius mengkompromikan tanggung jawab internasional Argentina.”35
Khususnya, hakim pada tingkat kedua memberikan keputusan yang penting terhadap hasil kerja dari
badan-badan pengawas ILO dengan menyatakan bahwa:
“Reformasi Konstitusi Argentina pada tahun 1994 memberikan status konstitusional terhadap
beberapa perjanjian internasional, deklarasi dan kesepakatan internasional mengenai HAM dan
khususnya Konvensi Amerika tentang HAM (…) Laporan, penelitian dan pandangan lain yang
membentuk bagian dari doktrin badan-bdan pengawas Organisasi Perburuhan Internasional, dan
secara umum, opini dan keputusan yang diadopsi oleh badan-badan internasional yang bertugas
untuk memonitor penerapan perjanjian internasional, kesepakatan dan deklarasi universal
tentang HAM yang memiliki nilai konstitusional dan supralegal menjadi panduan yang penting
untuk penafsiran dan penerapannya dalam pengadilan-pengadilan di Argentina.”36
Lebih khusus, Pengadilan menyatakan bahwa “kasus hukum” dari Komite Ahli ILO tentang Penerapan
Konvensi dan Rekomendasi dan Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat menyatakan bahwa “pengetahuan
tentang kasus hukum sangat penting untuk mengapresiasi lingkup berbagai ketentuan yang termuat dalam
Konvensi.”37
Atas dasar sumber-sumber tersebut, Keputusan Pengadilan Banding berbeda dengan pengadilan di
tingkat pertama, yaitu bahwa kesulitan pembuktian merupakan salah satu hambatan yang paling besar untuk
mendapatkan perlindungan yang efektif terhadap tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh pihak swasta.
Pengadilan memutuskan bahwa ketika seorang pekerja menganggap dirinya sebagai korban diskriminasi,
untuk memenuhi persyaratan perlindungan atas hak dasarnya, dan kesulitan pembuktian atas fakta awal,
harus ada transfer atas aturan yang tradisional atas distribusi beban pembuktian ketika pekerja dapat
“menyediakan petunjuk yang beralasan bahwa tindakan perusahaan melanggar hak-hak dasarnya. Dengan
kata lain, bukti prima facie bertujuan untuk mengeluarkan alasan tersembunyi dari tindakan perusahaan,
bila memang ada”.
Dalam rangka mekonrmasikan kebijaksanaan atas pembuktian terbalik, yang dianggap menjadi hal
yang menentukan dalam kasus ini, Pengadilan Banding merujuk pada Survei Umum Komite Ahli Penerapan
Konvensi dan Rekomendasi tentang Konvensi ILO No.111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan).38
Atas dasar prinsip tersebut, Pengadilan Banding menganggap bahwa sifat diskriminatif atas pemecatan
pekerja telah terbukti. Sedangkan untuk sanksi pemecatan tersebut, Hakim merujuk pada beberapa
ketentuan, termasuk Pasal 1 Konvensi ILO No. 98, yang mengatur bahwa pekerja harus mendapatkan
perlindungan yang cukup terhadap tindakan-tindakan diskriminasi anti serikat pekerja. Dalam hal ini,
Pengadilan menyebutkan posisi Komite Kebebasan Berserikat, “yang menekankan bahwa kelihatannya tidak
35
Halaman 25 Keputusan.
36
LIhat halaman 10 keputusan.
37
Lihat halaman 7 keputusan
38
ILO: Kesetaraan dalam Pekerjaan dan Jabatan,survei Umum Komite Ahli Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, Konferensi Perburuhan
Internasional, Sesi ke-75, Jenewa, 1988, Laporan III(4B).
35
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
cukup perlindungan terhadap tindakan-tindakan anti serikat pekerja, yang menjadi obyek dari Konvensi No.
98, yang dijamin oleh hukum yang memperbolehkan pengusaha, dalam praktik, menurut kondisi pembayaran
kompensasi yang diatur oleh hukum untuk semua kasus pemecatan yang tidak sah, untuk memecat pekerja
jika alasan sesungguhnya adalah keanggotaannya atau kegiatan serikat pekerja.”
Mengambil inspirasi dari pekerjaan badan pengawas ILO, Pengadilan Banding Argentina memutuskan
untuk menolak keputusan di tingkat pertama, menyatakan bahwa pemecatan tidak sah dan mengembalikan
pekerja ke pekerjaannya, dengan mempertimbangkan fakta-fakta sebelum PHK, sebenarnya terdapat
tindakan anti serikat pekerja.
12.
Mahkamah Agung, Aquino, Isacio vs Cargo Servicios Industriales S.A.,
21 September2004, A. 2652. XXXVIII
Subyek: kesehatan dan keselamatan di tempat kerja; hak atas perlindungan kesehatan; hak atas ganti rugi
hukum yang efektif; hak atas kerugian
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi39; instrumen
yang tidak tunduk pada ratikasi40; kasus hukum internasional41; kasus hukum asing42
Kecelakaan kerja/ Tindakan sipil/ Penyedia asuransi kecelakaan kerja/ Konstitusi nasional/
Konstitusionalitas/ Kerugian dan kerusakan/ Ganti rugi/ Kerusakan di tempat kerja/ Perbaikan yang
penuh/ Tanggung jawab sipil/ Penilaian kerugian/ Penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan
hukum internasional.
Pekerja mengalami kecelakaan yang serius di tempat kerja ketika jatuh dari atap seng setinggi sepuluh
meter, ketika sedang bekerja, setelah mengikuti instruksi dari pengusahanya, tanpa ada perlengkapan
keselamatan, atau jaring pelindung yang dipasang bila ada yang jatuh. Pada saat kecelakaan, usia pemohon
adalah 29 tahun.
Akibat kecelakaan di tempat kerja tersebut, pemohon dinyatakan 100 persen tidak mempunyai
kemampuan untuk bekerja lagi.
Dalam sistem hukum Argentina, kecelakaan dan penyakit di tempat kerja diatur dalam UU Risikorisiko di Tempat Kerja (LRT), No. 24.557. Dalam UU ini diatur sistem kompensasi (penggantian) kerugian
berdasarkan asuransi: pengusaha mengontrak asuransi untuk menanggung pekerjanya dengan Asuransi
Risiko Kerja (ART), dan ART memenuhi tugas pencegahan risiko dan pembayaran ganti rugi jika pekerja
mengalami kecelakaan atau penyakit di tempat kerja.
LRT hanya memberikan ganti rugi material, dan itu artinya hanya penggantian pendapatan yang hilang.
Jika dihitung, pada akhirnya, jumlahnya sangat terbatas.
39
Perjanjian Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan, 1979; Konvensi tentang Hak-hak atas Anak, 1989; Konvensi Amerika tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969;
Pembukaan Perjanjian Organisasi Negara-negara Amerika, 1948; Deklarasi Social-Perburuhan Mercosur, 1998.
40
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948; Pembukaan terhadap Konstitusi.ILO, 1919.
41
Komite Hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya; Pengadilan Inter-Amerika tentang HAM.
42
Pengadilan Arbitrasi Belgia, Arrêt No. 33792, 7-5-1992, IV, B.4.3; Arrêt No. 40/94, 19-5-1994, IV, B.2.3, Mahkamah Konstitusi Portugal,
Acórdão No. 39/84; Mahkamah Konstitusi Prancis, Putusan No. 94-359 DC of 19-1-1995; Pengadilan HAM Eropa, James and others, Putusan
tanggal 21-2-1986.
36
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Dalam sistem LRT, dengan mengikuti asuransi ART, pengusaha dibebaskan dari semua tanggung jawab
yang disebabkan oleh kecelakaan atau penyakit di tempat kerja yang diderita oleh pekerja. Pekerja hanya
menerima pembayaran tunjangan dari LRT melalui ART. Karena itu, pekerja tidak memiliki kesempatan
untuk mengklaim ganti rugi sesuai dengan UU Sipil Argentina.
Mahkamah berpendapat bahwa sistem kompensasi LRT yang diterapkan dalam kasus ini tidak
mencukupi dan tidak kondusif untuk perbaikan yang penuh dan menyeluruh yang seharusnya dijamin untuk
pekerja sesuai dengan prinsip konstitusi yang melarang orang melanggar hak-hak pihak ketiga (Pasal 19).
Mahkamah juga berpendapat bahwa sistem tersebut tidak cocok dengan prinsip “perlindungan pekerja”
dan jaminan ”kondisi kerja yang layak dan sejahtera” yang diatur dalam Pasal 14bis Konstitusi nasional43
dan aturan lain dalam berbagai instrumen internasional atas status konstitusional (khususnya Kovenan
Internasional mengenai Hak-hak atas Ekonomi, Sosial dan Budaya) yang dimuat dalam Pasal 75, Bagian
22, sebelumnya.
Mahkamah juga menyimpulkan bahwa LTR tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial:
“[...] Sistem LRT tidak sesuai dengan prinsip mendasar lainnya dalam Konstitusi nasional
kita dan hukum internasional tentang HAM: keadilan sosial, yang memiliki penerapan yang
penting dalam bidang hukum perburuhan dan termaktub dalam permulaan dari abad terakhir
Pembukaan Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional sebagai cara untuk menciptakan
kedamaian universal, tetapi juga sebagai tujuan. Di antara banyak instrumen internasional,
Pembukaan Piagam Organisasi Negara-negara Amerika dan Konvensi Amerika tentang HAM,
tidak menghilangkan pernyataan dan penegasan mengenai prinsip ini, yang juga muncul dalam
pasal 34 Piagam di atas (Sebagai Protokol Buenos Aires). Namun, tidak perlu untuk merujuk
pada konvensi-konvensi di atas, karena sebagaimana dijelaskan oleh Mahkamah dalam kasus
tambahan “Berçaitz”, pengaturan mengenai hal itu sudah ada dalam Konstitusi kita sejak dari
awal.”
Konsekuensinya, Mahkamah menyatakan bahwa pembatasan yang dikenakan kepada pekerja atas
klaim untuk mendapatkan ganti rugi dari pengusaha atas kerugian yang diderita akibat kecelakaan di tempat
kerja sebagai tidak konstitusional dan karenanya mengecualikan pengusaha dari tanggung jawab sipil.
43
Konstitusi Argentina, Pasal 14 bis: “Pekerjaan dalam berbagai bentuknya harus menikmati perlindungan hukum, yang menjamin pekerja
atas: kondisi kerja yang bermartabat dan sejahtera, libur dan istirahat yang dibayar, upah yang adil, upah untuk kehidupan, upah yang
setara untuk pekerjaan yang setara nilainya, bagian dalam pendapatan perusahaan, kontrol atas produksi dan kolaborasi dalam manajemen,
perlindungan terhadap pemecatan yang sewenang-wenang, stabilitas ketenagakerjaan publik, organisasi serikat pekerja yang bebas dan
demokratik, pengakuan hanya dengan mendaftarkan dalam pendafataran khusus.”
Serikat pekerja dengan ini dijamin haknya; untuk membuat perjanjian kerja bersama, untuk berkonsiliasi dan arbitrasi, untuk mogok.
Perwakilan serikat pekerja harus memiliki jaminan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas serikat dan yang berkenaan dengan
stabilitas pekerjaan.
Negara harus menjamin tunjangan jaminan sosial, yang harus menjadi bagian yang satu dan tidak terpisahkan. Khususnya, UU harus
menetapkan: asuransi sosial wajib, yang akan dilaksanakan oleh badan-badan di tingkat nasional dan provnsi dengan otonomi keuangan dan
ekonomi, dikelola oleh orang-orang yang memiliki partisipasi publik, tanpa tumpang tindih dalam kontribusi, pensiun, perlindungan keluarga
penuh, perlindungan perumahan, tunjangan keluarga dan akses ke perumahan.”
37
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
13.
Pengadilan Banding Perburuhan Nasional, kamar Keenam, Balaguer, Catalina T. vs
Pepsico de Argentina S.R.L., 10 Maret2004
Subyek: akses pada keadilan; hak atas ganti rugi hukum yang efektif; perlindungan terhadap diskriminasi
anti serikat pekerja
Role of internasional law: direct resolution of a dispute on the basis of internasional law
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi44; instrumen yang
tidak tunduk pada ratikasi45
“Amparo”/ Hak atas non diskriminasi/ Perintah atas alasan-alasan umum pemecatan/ Prinsip
kebebasan serikat pekerja/ Pekerja bekerja kembali/ Penyelesaian langsung perselisihan atas dasar
hukum internasional
Pemohon adalah pekerja yang bukan pengurus serikat pekerja dan karenanya tidak menikmati hak atas
jaminan pekerjaan (ketidakmungkinan dipecat atau diskors atau mendapatkan kontrak kerja dengan syaratsyarat yang dimodikasi tanpa penilaian terlebih dahulu atas pengecualian dari perlindungan) yang dijamin
oleh hukum Argentina kepada pimpinan serikat pekerja menurut peraturan domestik: UU Serikat Pekerja
No. 23.551. Namun, Pemohon adalah istri dari pemimpin serikat pekerja yang mendapatkan perlindungan
hukum tersebut, dan dia juga melakukan pembelaan atas hak-hak teman sekerjanya secara regular.
Kemudian, setelah ada perselisihan kolektif di mana pemohon secara aktif berpartisipasi, perusahaan
memberitahu Ny. Balaguer bahwa dia dipecat karena kinerja yang buruk. Ny. Balaguer menolak pemecatan
tersebut, menyatakan bahwa alasan pemecatannya yang sebenarnya adalah kegiatan dia dalam membela
hak-hak pekerja dan karena dia adalah istri dari pimpinan serikat pekerja, dan dia memulai proses hukum
untuk perlindungan (amparo), menuntut dipekerjakan kembali karena sifat diskriminatif dalam pemecatan
tersebut.
Undang-undang perburuhan Argentina yang spesik, dalam aspek hukum perburuhan individual, tidak
secara langsung mengatur pemecatan yang bersifat diskriminatif (meskipun faktanya peraturan tersebut
melarang diskriminasi), dan dalam hukum perburuhan kolektif, UU Serikat Pekerja tidak mengatur soal
pengembalian pekerjaan setelah muncul perilaku anti serikat yang dilakukan pengusaha.
Pada tingkat pertama, hakim mengabulkan tuntutan Ny. Balaguer, mensahkan perlindungan atas
hak-hak sipilnya dan memerintahkan perusahaan untuk mempekerjakan kembali, berdasarkan aturan
umum hukum Argentina (tidak secara spesik dalam hukum perburuhan) yang melarang segala tindakan
diskriminasi, memperhatikan ketidakabsahannya (Undang-undang 23592).
Pada tingkat banding, Pengadilan Banding Perburuhan Nasional menguatkan putusan tersebut. Dalam
putusannya, Pengadilan menganalisa pemberitahuan pemecatan, menyatakan bahwa perintah berdasarkan
alasan-alasan umum yang luas (dalam kasus ini “kinerja yang buruk”), tidaklah memadai untuk memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang perburuhan Domestik Argentina untuk mensahkan
pemecatan tersebut. Dan karena tidak adanya alasan pemecatan, diskriminasi yang diajukan oleh pemohon
adalah sah, dan perlindungan yudisial atas hak-hak sipilnya pantas diberikan.
Tentang alasan atas keputusannya tersebut, Pengadilan Banding Perburuhan Nasional merujuk tidak
hanya pada undang-undang anti diskriminasi domestik Argentina (Undang-undang 23551), tetapi juga pada
44
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan perlindungan Hak untuk Berserikat, 1948; Konvensi ILO No.98 tentang Hak untuk
Berserikat dan Perundingan Bersama, 1949; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya; Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segla Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965; Konvensi
Amerika tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan, 1979; Konvensi tentang Hak-hak Anak, 1989.
45
Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia, 1948.
38
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
instrumen internasional yang diratikasi oleh Argentina: sistem Amerika dan PBB untuk perlindungan HAM
yang menjadi dasar hak anti diskriminasi.
Mengenai perlindungan terhadap pekerja yang menjalani kegiatan-kegiatan serikat pekerja namun
tanpa posisi formal dalam serikat pekerja, Pengadilan mendasarkan keputusannya pada Konvensi-konvensi
ILO No. 87 dan 98, yang memperluas dasar atas subyek-subyek yang dilindungi oleh perundangan-undangan
Domestik Argentina. Pengadilan menyatakan:
“[Bahwa] Pasal 1 Konvensi No. 98, pada Ayat 1, menyatakan bahwa “Pekerja harus memiliki
perlindungan yang memadai terhadap diskriminasi anti-serikat sehubungan dengan pekerjaan”,
dan Ayat 2, bagian (b) mengatur bahwa perlindungan tersebut harus berlaku khususnya terhadap
tindakan-tindakan yang dimaksudkan “yang bisa menimbulkan alasan pemecatan kepada atau
mempunyai prasangka terhadap pekerja karena keanggotaannya dalam serikat atau partisipasi
dalam kegiatan-kegiatan serikat di luar jam kerja atau dalam jam kerja”.
Karena pemecatan dianggap sebagai tindakan diskriminasi, yang disebabkan oleh kegiatan serikat
pekerja dari pemohon, dinyatakan tidak sah, maka mempekerjakan pekerja kembali adalah keputusan yang
benar.
“Dalam kasus ini, tidak relevan bagi posisi termohon bahwa Balaguer tidak memiliki posisi
yang stabil dalam serikat pekerja dan karenanya Pasal 47 UU 23551 tidak memperbolehkan
mempekerjakan kembali, karena legislasi menyebutkan bahwa perlindungan terhadap perilaku
diskriminatif lebih luas daripada perlindungan yang diatur dalam UU 23 551, di situ diatur hukuman
untuk setiap perlakuan yang tidak setara berdasarkan kondisi-kondisi yang berbeda, termasuk ide
atau kegiatan serikat pekerja. Menjelaskan hal ini, harus ditunjukkan bahwa pemecatan bersifat
diskrimiantif menurut UU 23592 dan perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku (cf. pasal
75, bagian 22 Konstitusi), mengatakan bahwa diskriminasi harus “hilang”, dan menurut pendapat
saya, cara untuk mencapai hal ini adalah dengan mengembalikan pekerja pada pekerjaannya,
karena pemecatan diskriminatif adalah tidak sah.”
14.
Pengadilan Perburuhan Tingkat Pertama dari Pengadilan Negeri Bagian Selatan,
Susana Elena Ordóñez vs Government of the Province of Tierra del Fuego, concerning
an administrative dispute, 29 Agustus 2000, Keputusan Interim No. 787
Subyek: akses ke keadilan; prinsip umum kesetaraan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menerjemahkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi46
Akses ke keadilan/ Prinsip kesetaraan/ Hukum yang menetapkan pembayaran atas biaya hukum
bagi pekerja di sektor publik/ Prinsip konstitusional tentang akses gratis dan jaminan kesetaraan/
Penafsiran jaminan kesetaraan konstitusional sehubungan dengan hukum internasional untuk
mengklarikasi denisi istilah
Pemohon mempertanyakan suatu UU47 yang dianggapnya tidak konstitusional karena dalam undangundang itu diatur tentang keharusan pekerja di sektor publik untuk membayar biaya hukum jika ia berperkara
46
Konvensi ILO No. 151 mengenai Hubungan Perburuhan (Layanan Publik), 1978.
47
Pasal 41 UU mengenai Biaya Hukum No. 460, yang diadopsi tanggal 27 Desember 1999.
39
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
dengan pemberi kerja. Undang-undang ini dianggap melanggar ketentuan konstitusi di tingkat provinsi48
yang menetapkan, sebagai jaminan kepada pekerja, prinsip pembebasan biaya administratif atau litigasi
hukum, terutama buruh, pekerja professional atau serikat pekerja.
Untuk menentukan apakah undang-undang tersebut melanggar konstitusi provinsi, Pengadilan
Perburuhan Tingkat Pertama mempelajari ketentuan konstitusional yang mengakui prinsip akses gratis
terhadap pengadilan, untuk menentukan apakah hal tersebut juga berlaku bagi pekerja pemerintah. Dalam
melakukah hal itu, Pengadilan merujuk pada Konvensi ILO No. 151 untuk menafsirkan arti dari istilah
“pekerja” yang dimasukan dalam ketentuan konstitusional.
Pengadilan mempertimbangkan bahwa penafsiran mengkonrmasikan bahwa ketika prinsip akses
gratis merujuk pada pekerja, maka tidak ada pembedaan antara pegawai pemerintah dan pekerja swasta.
Oleh karena itu, manfaat atas akses gratis terhadap litigasi merujuk pada kedua kategori pekerja, dan
pekerja di sektor publik tidak boleh dikecualikan dari manfaat ini.
Pengadilan merujuk pada “(…) Ayat 9 Pasal 16 Konstitusi Provinsi berlaku bagi pekerja di kedua sektor
dan bahwa dalam kasus ini kata “pekerja” harus dipahami sebagai merujuk pada pertanyaan yang terkait
dengan pekerjaan seseorang dalam hubungan ketergantungan melalui kontrak kerja atau kontrak hubungan
kerja publik dan tidak untuk kasus-kasus yang diatur secara ekslusif oleh hukum perburuhan. Penafsiran
ini sejalan dengan penggunaan kata “pekerja” yang dibuat oleh Organisasi Perburuhan Internasional, yang
membedakan pekerja di sektor publik dengan pekerja di sektor privat hanya dalam kasus tertentu yang
memerlukan perlakuan berbeda atau khusus karena kekhususan yang berasal dari sifat hukum pemberi
kerja (lihat Konvensi ILO No. 151).”
Penafsiran konstitusi tingkat provinsi terkait dengan Konvensi ILO No. 151, Pengadilan Perburuhan
Negeri bagian Selatan menunjukkan bahwa manfaat akses gratis ke pengadilan berlaku kepada pekerja
baik di sektor publik and privat dan, oleh karenanya hukum yang meminta pembayaran biaya olehpekerja di
sektor publik dinyatakan tidak konstitusional.
15.
Pengadilan No. 20, Asociación de Trabajadores del Estado (A.T.E.) and others
vs Government of Argentina (Executive Branch), 29 Agustus 2000,
Putusan No. 19.896
Subyek: perundingan bersama
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;49instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi50
Perundingan bersama dalam sektor publik/ Pengurangan upah melalui keputusan eksekutif/ Penerapan
langsung hukum internasional untuk mengesampingkan hukum nasional yang lebih rendah
Badan eksekutif menerbitkan beberapa keputusan yang mengurangi remunerasi pekerja di sektor
publik atau pegawai pemerintah, jumlahnya telah disetujui melalui perundingan bersama. Sebagai hasilnya,
pekerja disektor publik mengajukan litigasi terhadap Pemerintah atas pelanggaran hak-hak dan kebebasan
48
Pasal 16(9) Konstitusi tingkat Provinsi: ‘Pekerjaan adalah hak dan kewajiban sosial, itu adalah cara yang sah dan penting untuk memenuhi
kebutuhan spiritual dan material dari seseorang dan masyarakat. Tierra del Fuego, Antarctica dan the Islands di Atlantik Selatan adalah
provinsi yang mendasarkan pekerjaan mengakui hak-hak berikut untuk semua penduduknya: akses gratis untuk mendapatkan litigasi
administratif dan hukum atas urusan perburuhan, professional dan serikat pekerja.”
49
Konvensi ILO No. 95 tentang Perlindungan Upah, 1949; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 1966.
50
Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia, 1948.
40
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
mendasar, meminta keputusan itu dinyatakan tidak konstitusional dan pembatalan keputusan tersebut
karena melanggar kesepakatan bersama.51
Untuk menentukan apakah keputusan pengurangan remunerasi pekerja di sektor public itu sah,
Pengadilan merujuk pada Konvensi ILO No. 95 tentang perlindungan upah.52 Pengadilan memutuskan
bahwa Konvensi mengakui hak pekerja untuk menerima gaji sebagaimana telah disepakati.
Mengenai penerapan Konvensi ILO No. 95, Pengadilan memutuskan sebagai berikut:
“(…) hak pekerja untuk menerima remunerasi mereka pada tingkat yang dicapai sebelum keputusan
baru itu ditetapkan, secara nyata dilindungi oleh Konvensi ILO No. 95 mengenai perlindungan
upah53 (diratikasi oleh perintah eksekutif 11.594/56), yang berlaku bagi semua orang yang
dibayar atau harus dibayar gajinya.”
Pengadilan mempertimbangkan dua perjanjian internasional tambahan:
“(…) pengurangan yang diatur dalam keputusan 430/00 dan 461/00 sangat jelas melanggar
ketentuan khusus dari konvensi internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya54 yang
juga diketahui memiliki pengaruh dalam Konstitusi Argentina Pasal 75 (22).
(…) Bahwa Pasal XIV Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia
(mengenai hak untuk bekerja dan retribusi yang adil) menetapkan bahwa setiap orang memiliki
hak untuk menerima remunerasi yang adil yang menjamin standar hidup yang layak untuknya dan
bagi keluarganya.”
Oleh karena itu, Pengadilan No. 20 secara langsung memberlakukan Konvensi ILO No. 95 untuk
menyatakan ketidakkonstitusionalan dan pembatalan keputusan yang mengurangi remunerasi pekerja di
sektor publik yang telah disepakati melalui perjanjian bersama. Selanjutnya, Pengadilan memerintahkan
pembayaran upah yang belum dibayarkan.
51
Menurut sistem hukum Argentina, pekerja sektor publik diatur oleh hukum publik untuk aspek formal hubungan kerja dan oleh hukum
privat untuk dimensi domestik hubungan tersebut. Menurut hukum privat, terdapat kemungkinan menentukan kondisi-kondisi kerja melalui
perundingan bersama.
52
Sesuai dengan Pasal 75 (22) Konstitusi Argentina, perjanjian-perjanjian internasional memiliki preseden terhadap undang-undang.
53
Pasal 8 Konvensi memperbolehkan pengurangan-pengurangan hanya dalam kondisi yang ditentukan oleh “hukum nasional atau ditetapkan
oleh perundingan bersama atau keputusan arbitrasi”. Sehubungan dengan ketentuan ini, Pengadilan memutuskan ketidakmungkinan
menetapkan pengurangan dalam remunerasi melalui suatu keputusan. Konvensi yang diratikasi tersebut, sesuai dengan keetentuan Pasal
75 (22) Ayat 1 Konstitusi Argentina memiliki rangking yang lebih tinggi (supralegal).
54
Pasal 7 Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: “Pihak Negara dalam Perjanjian ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati
keadilan dann kondisi yang menguntungkan dalam pekerjaan yang menjamin, khususnya: (a) remunerasi yang memberikan semua pekerja,
pada tingkat minimum: (i) upah yang adil dan remunerasi yang setara untuk pekerjaan yang setara nilainya tanpa pembedaan apapun,
khususnya perempuan yang dijamin kondisi kerjanya tidaklebih rendah daripada yang didapatkan oleh laki-laki, dengan kesetaraan upah
untuk pekerjaan yang setara; (…)”.
41
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
16.
Pengadilan Perburuhan pada Tingkat Pertama pada Pengadilan Negeri bagian
Selatan, Vargas, Bernardo Silenio vs Provincial Executive Branch, Provincial Ministry of
Health and Social Welfare, mengenai perselisihan administratif, 30 September 1998,
Kasus No. 556, Keputtusan Final No. 565
Subjects: kebebasan berserikat; pemecatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: kasus hukum internasional55
Pemecatan/ Kebebasan berekspresi dalam kerangka kebebasan berserikat/ Rujukan kepada hukum
internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Seorang pekerja yang bertanggungjawab untuk manajemen sumber daya manusia berada di rumah
sakit. Karena kurangnya mesin, pekerjaan karyawan tersebut tidak dapat dilakukan secara layak, dan
pekerja memperlihatkan kepada serikat pekerja foto-foto tidak berfungsinya mesin, yang berlawanan dengan
ketentuan kesehatan. Serikat pekerja kemudian mendistribusikan foto-foto tersebut ke media.
Kejadian tersebut kemudian mengakibatkan pemecatan terhadap pekerja. Alasan pemecatan itulah
yang mendorong pekerja meminta agar pemecatan itu dibatalkan. Pekerja itu merasa bahwa sanksi yang
diperolehnya tidak sebandingkan apa yang dilakukannya. Ia mengklaim bahwa telah terjadi pelanggaran
atas kebebasan berekspresi dan kebebasan berserikat.
Untuk menentukan apakah pemecatan tersebut berlawanan dengan kebebasan berekspresi dalam
kerangka kebebasan berserikat, Pengadilan Perburuhan pada Tingkat Pertama menggunakan “kasus
hukum” dari Komite ILO tentang kebebasan berserikat yang menggunakan prinsip yang telah dimasukkan
dalam UU yang mengatur mengenai serikat pekerja56 berdasarkan prinsip bahwa pekerja dan organisasinya
harus menikmati kebebasan beropini dan berekpresi dalam rapat, publikasi, dan kegiatan lain.
Pengadilan memutuskan sebagai berikut:
“Dalam hal ini, temuan saya adalah bahwa aksi tersebut tidak bisa dinyatakan sebagai penghinaan,
ketidakloyalan, atau memiliki niat politis seperti yang dianggap oleh termohon, dan bahwa,
sebagai hasil dari publikasi foto-foto tersebut, perubahan telah dibuat di rumah sakit di mana fotofoto tersebut dihasilkan (penyediaan alat pembakar sampah baru dan perubahan dalam sistem
pembuangan sampah). Publikasi ini, oleh karenanya sah menurut doktrin yang menetapkan
bahwa “pelaksanaan penuh atas hak-hak serikat pekerja membutuhkan aliran yang bebas
atas informasi, opini dan ide (ILO 1985 Digest, Ayat 175)”57 dan bahwa “kebebasan berserikat
berarti tidak hanya hak pekerja dan pemberi kerja untuk secara bebas mendirikan organisasi yang
mereka pilih, tetapi juga hak untuk berorganisasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang sah
untuk membela kepentingan pekerjaan mereka (ILO 1985 Digest, Ayat 345).”58
55
Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat.
56
UU yang mengatur serikat pekerja No. 23551, diadopsi tanggal 14 April 1988. Pasal 1: “Kebebasan berserikat harus dijamin oleh semua
peraturan yang mengatur tentang organisasi dan kegiatan-kegiatan serikat pekerja.” Pasal 3: “Dalam kepentingan pekerja, artinya segala
sesuatu yang terkait dengan kehidupan dan kondisi kerja. Kegiatan-kegiatan serikat pekerja harus mempromosikan penghapusan semua
hambatan yang menghalangi perwujudan potensi seluruh pekerja.” Pasal 5 (d): “Serikat pekerja memiliki hak-hak berikut: untuk menerapkan
program kegiatan mereka dan melaksanakan segala kegiatan hukum untuk membela kepentingan pekerja dan khususnya untuk melaksanakan
hak berunding bersama, untuk berpartisipasi, mogok dan mengadopsi segala tindakan yang sah bagi kegiatan serikat pekerja.”
57
ILO: Kebebasan Berserikat, Intisari keputusan dan prinsip- prinsip dari Komite Kebebasan Berserikat dari Badan Pimpinan ILO, edisi ketiga
(Geneva, 1985), para. 175. Dalam versi terbaru dari Intisari tersebut (edisi revisi kelima tahun 2006), lihat para. 154.
58
ILO: Kebebasan Berserikat, Intisari keputusan dan prinsip- prinsip dari Komite Kebebasan Berserikat dari Badan Pimpinan ILO, op. cit., para.
345. Dalam versi terbaru dari Intisari tersebut (edisi revisi kelima tahun 2006), lihat para. 495.
42
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Sebagai hasilnya, berdasarkan UU yang mengatur serikat pekerja dan rujukan pada prinsip-prinsip yang
dianut dalam “kasus hukum” Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat mengenai kebebasan berekpresi
dalam rangka kebebasan berserikat, Pengadilan Perburuhan pada Pengadilan Negeri Bagian Selatan
membatalkan keputusan administratif yang menyebabkan terjadinya pemecatan tersebut.
17.
Mahkamah Agung, Ekmekdjian, Miguel A. vs Sofovich, Gerardo and others, 7 Juli
1992, E.64.XXIII
Subyek: kebebasan berekpresi, martabat manusia, hak jawab
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi;59 Kasus hukum
internasional60
Kebebasan pers/ martabat manusia/ Hak jawab/ Superioritas perjanjian internasional yang telah
diratikasi atas hukum domestik/ Penerapan langsung ketentuan perjanjian internasional
Berdasarkan hak jawab, yang dia merasa dapat gunakan atas dasar Pasal 14 Ayat 1 Konvensi Amerika
tentang HAM yang diratikasi oleh Argentina, pemohon mengajukan petisi untuk mendapatkan perlindungan
karena pelanggaran atas kebebasan sipil mendasar dan hak untuk mengajukannya kepada Pengadilan
Banding Nasional terhadap seorang pembawa acara program televisi, yang menolak membacakan surat
selama program acaranya. Surat tersebut berisi jawaban kepada pernyataan seorang jurnalis yang dibuat
sebelumnya. Hal ini dianggap sebagai penghinaan oleh pemohon.
Permintaan pemohon ditolak pada tingkat pertama atas dasar bahwa, antara lain, hak jawab tidak
dapat diterapkan karena Konvensi Amerika tentang HAM menetapkan ”dalam kondisi yang diatur menurut
hukum”, yang mencegahnya dari pelaksanaan yang otomatis selama aturan dasarnya tidak diatur, dan tidak
ada prosedur untuk melaksanakannya, di mana Kongres Argentina memang belum menetapkannya pada
saat itu.
Pemohon kemudian mengajukan penolakan tersebut kepada Mahkamah Agung, yang tidak hanya
memutuskan apakah hak jawab adalah balasan yang efektif untuk menggantikan ketidakmampuan dalam
membela martabat manusia yang dialami seseorang ketika berkonfrontasi dengan media, tetapi juga
memeriksa apakah hak jawab yang ditetapkan dalam Konvensi Amerika tentang HAM, bisa secara langsung
diterapkan dalam hukum domestik Argentina atau perlu ada peraturan pelengkap.
Pada saat pembahasan putusan tersebut, sedang terjadi reformasi konstitusional pada 1994, di mana
ketika itu belum ada pengakuan secara tegas bahwa status perjanjian-perjanjian internasional yang telah
diratikasi berada di atas hukum. Sehingga, sampai keputusan dibuat, kasus hukum Mahkamah Agung
Argentina menganut pendekatan dualisme. Telah diputuskan dalam beberapa putusannya bahwa penerapan
perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi dalam hukum domestik tetap berada di bawah
(subordinasi), sampai isinya dimasukkan ke dalam hukum (UU) oleh Kongres.
Dalam kasus ini, Mahkamah memperkenalkan perubahan dasar dengan mengabaikan pendekatan
dualisme dan mengakui hierarki superior atas perjanjian internasional yang telah diratikasi di atas legislasi
domestik, dan mengadopsi penafsiran yang luas atas penerapan secara langsung ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian internasional yang telah diratikasi.
59
Konvensi Amerika tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969; Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969.
60
Pengadilan Inter-Amerika tentang HAM.
43
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Seraya mengakui superioritas perjanjian internasional yang telah diratikasi di atas hukum domestik,
dan mempertimbangkan tidak adanya ketegasan dalam ketentuan konstitusional mengenai hal ini,
Mahkamah mendasarkan keputusan pada Konvensi Vienna mengenai Hukum Perjanjian Internasional yang
telah diratikasi oleh Argentina dan menyatakan:
“Konvensi Vienna tentang Perjanjian Internasional, diadopsi oleh UU 19865, diratikasi melalui
keputusan eksekutif pada tanggal 5 Desember 1972 dan dibelakukan sejak 27 Januari 1980,
memberikan keutamaan pada konvensi internasional di atas hukum domestik. Oleh karena
itu, prioritas hirarki telah menjadi satu bagian dari sistem hukum Argentina. Konvensi adalah
perjanjian internasional, secara konstitusional sah, yang memberikan prioritas kepada perjanjian
internasional di atas hukum domestik dalam kerangka hukum domestik. Ada pengakuan di sini
tentang keutamaan hukum internasional di atas hukum domestik.”
Konvensi tersebut memodikasi situasi sistem hukum Argentina yang sebelumnya berlaku dalam
keputusan-keputusan 257:99 and 271:7 (UU 43-458 dan 131-773), karena menurutnya, hipotesa hukum
bahwa “tidak ada dasar hukum untuk memberikan prioritas” terhadap suatu perjanjian internasional di
atas legislasi domestik, tidak lagi menjadi benar. Dasar hukum ini bisa ditemukan dalam Pasal 27 Konvensi
Vienna, di mana dikatakan “suatu pihak tidak bisa menggunakan hukum internalnya sebagai justikasi
atas kegagalannya dalam menerapkan perjanjian internasional”. Dalam hal ini, Mahkamah menyatakan
“bahwa penerapan Pasal 27 Konvensi Vienna mewajibkan organ pemerintah Argentina untuk memberikan
keutamaan kepada perjanjian-perjanjian internasional dalam kasus yang bertentangan dengan ketentuan
Domestik atau dalam hal penghapusan draft ketentuan tersebut, di mana efeknya adalah sebanding dengan
pelanggaran atas perjanjian internasional menurut ketentuan dalam Pasal 27 seperti yang disebutkan di
atas.”
Prinsip umum tersebut telah dikemukakan, namun masih penting untukmenentukan apakah Pasal 14
(1) Konvensi Amerika tentang HAM mengakui hak untuk secara langsung menerapkannya dalam pengadilan
Argentina, bahkan bila isinya belum dimasukkan ke dalam legislasi domestik.
Untuk menentukan posisinya, Mahkamah merujuk pada pandangan dari Pengadilan Inter-Amerika
tentang HAM, yang menganggap bahwa Pasal 14, Ayat 1, bisa secara langsung diterapkan. Pengadilan
Inter-Amerika, sebagai badan yang berwenang untuk menafsirkan Konvensi Amerika mengenai HAM,
menyatakan dalam salah satu pandangannya bahwa Pakta mengakui hak dan kebebasan seseorang dan
tidak memberikan wewenang kepada negara untuk melakukannya, selanjutnya menyatakan ketika Pakta
menetapkan hak jawab berlaku “dalam kondisi-kondisi yang diatur dalam hukum”, hal tersebut merujuk
hanya pada prosedur yang ketat (publikasi atas jawaban, jangka waktu dalam melaksanakan hak tersebut)
yang spesik kepada sistem hukum nasional.
Berdasarkan hal tersebut diatas, Mahkamah Agung menyatakan:
“Ketika Argentina meratikasi perjanjian internasional yang juga telah ditandatangani oleh negara
lain, diasumsikan bahwa untuk melaksanakan kewajiban pada tingkat internasional, badanbadan administratif dan peradilan akan menerapkannya untuk situasi-situasi yang diatur dalam
perjanjian internasional tersebut, selama hal tersebut mengandung ketentuan yang cukup tepat
mengenai situasi-situasi yang membuatnya menjadi berlaku dengan segera. Ketentuannya bisa
berlaku sejak saat diperkirakan adanya situasi yang nyata di mana ketentuan tersebut bisa belaku
segera, tanpa memerlukan Kongres untuk melembagakannya.61(…)
Penasiran tekstual dari “setiap orang memiliki hak untuk” menghapuskan keraguan tentang
hakekat pemberlakuan ketentuan ini.”62
61
Halaman 8 Keputusan.
62
Halaman 9 Keputusan.
44
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Atas dasar Konvensi Vienna dan kasus hukum dalam Pengadilan Inter-Amerika tentang HAM, Mahkamah
Agung Argentina tidak hanya mengubah posisinya tentang keputusan sebelumnya yang telah menolak
pemberlakuan karakter atas hak jawab dalam hukum domestik, tetapi juga secara radikal mengubah
kasus hukum mengenai nilai perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi dalam sistem hukum
Argentina. Mahkamah menerima tuntutan pemohon, mencabut keputusan Pengadilan Banding dan meminta
termohon untuk membacakan surat yang ditulis oleh pemohon dalam program televisinya.
45
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Australia
18.
Pengadilan Federal Australia, The Commonwealth of Australia vs Human Rights &
Equal Opportunity Commission, 15 Desember 2000, [2000] FCA 1854
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;63 Kasus hukum
internasional64
Perwira tidak dipilih untuk promosi/ Banding karena diskriminasi atas dasar usia/ Penggunaan hukum
internasional untuk menentukan apakah diskriminasi tidak langsung diatur dalam hukum nasional
Perwira angkatan laut Australia, berusia empat puluh tujuh tahun, tidak lolos untuk promosi ke tingkat
senior di Badan Promosi. Dia menyatakan banding atas keputusan tersebut dengan dugaan diskriminasi
atas dasar usia yang melanggar Pasal 3(1) Undang-undang HAM dan Kesetaraan Kesempatan, 1986.65
Hukum nasional tidak secara tegas menetapkan bahwa istilah “diskriminasi” dari Pasal 3 (1) Undangundang mencakup “diskriminasi tidak langsung”. Pengadilan Federal Australia menggunakan instrumen
internasional untuk menyelesaikan permasalahan penafsiran ini. Merujuk pada Konvensi ILO No. 111
tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), dan juga dokumen-dokumen badan-badan pengawas ILO
untuk menjelaskan arti dari Konvensi.
Hakim pengadilan menyatakan bahwa:
“Undang-undang disahkan untuk menjadi kendaraan di mana kewajiban-kewajiban Australia
menurut (…) Konvensi (…) dilaksanakan. Karenanya tidaklah mengejutkan bahwa dua Ayat dari
Pasal 1 Konvensi di mana saya kutip dalam Ayat sebelumnya atas alasan ini harus menjadi sumber
denisi “diskriminasi” dalam bagian 3 (1) Undang-undang, di mana denisinya secara substansial
menghasilkan dua Ayat tersebut. Dalam Kasus ini, denisi “diskriminasi” dalam Undang-undang
harus dikonstruksikan sesuai dengan hukum internasional mengenai denisi “diskriminasi” dalam
Konvensi.66(…)
Sebagai hasilnya, bagi saya terlihat seperti dukungan yang sangat kuat, terutama dalam pernyataan
pendapat oleh Komite Ahli, termasuk tahun 1996,67 tetapi juga dalam laporan Komisi Pemeriksaan
mengenai Rumania, di mana kesimpulan yang dihasilkan oleh Komisi dalam masalah ini denisi
“diskriminasi” di Konvensi dan karenanya bagian 3(1) dari Undang-undang bisa digolongkan
sebagai diskriminasi tidak langsung.68
63
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan jabatan), 1958.
64
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi; Komisi ILO menetapkan untuk memeriksa pengaduan mengenai Pengamatan
oleh Romania atas Konvensi Diskriminasi (pekerjaan dan Jabatan) (No.111), 1958.
65
Pasal ini mendenisikan diskriminasi sebagai berikut: “(a) setiap pembedaan,pengecualian atau keutamaan yang dibuat atas dasar ras, warna
kulit, jenis kelamin, agama, pendapat politik, asal kewarganegaraan dan asal sosial yang memiliki efek membatalkan atau merusak kesetaraan
kesempatan dan perlakuan; dan (b) setiap pembedaan, pengecualian atau keutamaan lainnya yang: (i) memiliki efek membatalkan atau
merusak kesetaraan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan;dan (ii) telah dinyatakan oleh peraturan sebagai diskriminasi
untuk tujuan UU ini, tetapi tidak setiap pembedaan, pengecualian atau keutamaan; (c) sehubungan dengan pekerjaan tertentu berdasarkan
persyaratan yang nyata untuksuatu pekerjaan.”.
66
Ayat 30 dan 31 Keputusan.
67
Hakim merujuk pada Survei khusus tahun 1996 dari Komite Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, yang memberi perhatian
pada kesetaraan dalam pekerjaan dan jabatan, dan khususnya pada Ayat 25 dan 26 dari Survey (ILO: Kesetaraan dalam pekerjaan dan
jabatan, Survei Khusus Komite Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, Laporan III(4B), Konferensi Perburuhan Internasional,
Sesi ke-83, Geneva, 1996).
68
Ayat 45 keputusan.
46
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Dalam Survei Umum tentang Kesetaraan dalam Pekerjaan dan Jabatan di tahun 1988, Komite Ahli
mengatakan bahwa ”konsep diskriminasi tidak langsung merujuk pada situasi di mana peraturan
dan praktik netral yang sangat jelas menghasilkan ketidaksetaraan terhadap orang-orang dengan
karakteristik tertentu atau yang termasuk dalam kelas tertentu dengan karakteristik khusus
(contohnya ras, warna kulit,jenis kelamin, agaman).”69
Menggunakan Konvensi ILO No. 111 dan pernyataan-pernyataan terkait lainnya dari badan-badan
pengawas ILO, Pengadilan Federal Australia menyimpulkan bahwa perundang-undangan nasional tentang
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan mencakup diskriminasi tidak langsung. Atas dasar tersebut,
Pengadilan menetapkan adanya diskriminasi dalam keputusan Badan Promosi.
19.
Pengadilan Federal Australia, Konrad vs Victoria Police & Ors, 6 Agustus 1999,
[1999] FCA 988
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi;70 Kasus hukum
asing71
Tindakan oleh petugas polisi dalam pemecatan yang tidak sah/ Penggunaan instrumen hukum
internasional dan kasus hukum asing sebagai panduan dalam menafsirkan istilah “pekerja” yang
dimuat dalam perundang-undangan nasional
Petugas polisi mengajukan tuntutan untuk mendapatkan sebuah penetapan bahwa pemecatan
terhadap dirinya tidak sah. Dia mengklaim bahwa pemecatan tersebut melanggar Bagian 170 DE72 Undangundang Hubungan Industrial tahun 1988 (Cth) (selanjutnya disebut “UU”).
Dalam rangka mengadili gugatan tersebut, Pengadilan Federal Australia memeriksa apakah Bagian
170 DE dari UU bisa diterapkan dalam kasus ini, yaitu apakah istilah “pekerja” yang dimuat dalam bagian
tersebut meliputi petugas polisi. Pengadilan merujuk pada instrumen internasional yang mendasari UU, yaitu
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, juga pada kasus hukum asing dalam rangka
memberikan putusannya.
Pengadilan pertamakali merujuk pada Bagian 3 UU [bagian yang berisi seksi 170 DE] yang telah
diadopsi dalam rangka menerapkan Konvensi ILO No. 158 dan Rekomendasi No.166 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja dan konsekuensinya, hal termasuk harus ditafsirkan sesuai dengan kedua instrumen tadi:
“Bagian 3 diundangkan untuk mengefektifkan pemberlakuan Konvensi ILO No. 158 (1982) dan
Rekomendasi No. 166. Ketika Undang-undang melaksanakan perjanjian internasional, maka
hal tersebut menjadi konstruksi yang dapat diterima bahwa parlemen mengharpkan ketentuan
69
ILO: Kesetaraan dalam pekerjaan dan jabatan, Survey Umum Komite Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, laporan III (4B),
Konferensi Perburuhan Internasional, sesi ke-75, Geneva, 1988, Ayat 28, catatan 1, dikutip dalam Ayat 37 Keputusan.
70
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
71
Amerika Serikat dan Kanada
72
Bagian 170 DE UU: “Seorang pengusaha tidak boleh memutuskan hubungan kerja kecuali ada alasan yang sah, yang terkait dengan kapasitas
atau perilaku pekerja atau berdasarkan persyaratan operasional perusahaan atau layanan.”
47
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
tersebut memiliki efek yang sama dengan perjanjian internasional yang bersangkutan (…). Efek ini
secara jelas dimuat dalam UU Hubungan Industrial bagian 170CB yang menyatakan bahwa:
“pernyataan bahwa Bagian ini artinya sama dengan Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja. Oleh
karena itu, untuk menentukan apakah petugas polisi adalah “pekerja” untuk tujuan Bagian 3,
maka dalam kasus ini setelah konstruksi yang tepat dari Konvensi, pantas untuk dipertimbangkan
bahwa petugas tersebut adalah “orang yang dipekerjakan”, kepada siapa Konvensi ini memang
dimaksudkan untuk diberlakukan.”73
Untuk menentukan apakah petugas polisi adalah seorang pekerja dalam arti yang dimaksudkan
oleh Konvensi, Pengadilan membatasi analisanya pada “arti yang biasa yang diberikan dalam istilah
perjanjian internasional dalam konteks mereka dan terkait dengan maksud dan tujuannya”.74 Hakim tidak
menggantungkan pada cara-cara lain untuk penafsiran (kerja persiapan dan/atau penjelasan arti dan
lingkup instrumen yang diberikan oleh badan-badan pengawas ILO), karena mereka menganggap bahwa
analisa atas ketentuan-ketentuan Konvensi memperbolehkan mereka untuk menentukan secara jelas arti
dari istilah “pekerja” sebagaimana digunakan dalam instrumen.75
“Tidak ada keraguan bahwa Konvensi berlaku untuk orang yang dipekerjakan di sektor publik atau
swasta. (…) Beralih ke naskah dalam Konvensi, tanpa melihat pada bahan persiapan, bahasa
dari Pasal 2(1) secara mencukupi mencakup secara umum pekerja di sektor publik; pernyataan
“semua orang yang dipekerjakan” layak untuk mencakup orang yang dipekerjakan pada sektor
publik. Penasiran ini dikonrmasi dengan konteks yang dipakai. Konteksnya termasuk fakta bahwa
ketentuan ini dibuat untuk pengecualian kategori pekerja sehubungan bila mereka mempunyai
“masalah khusus” (Pasal 2 (4)) dan fakta bahwa penerapan standar-satndar umum (diatur dalam
Bagian II) juga berlaku untuk pekerja di sektor publik dan swasta.”76
Pengadilan kemudian menetapkan bahwa “sekali ditetapkan bahwa Konvensi meliputi pekerja di sektor
publik (kecuali dikecualikan), maka ini juga meliputi anggota kepolisian sebagai satu kategori pekerja di
sektor publik”.77 Pengadilan juga mengutip contoh-contoh lain dalam kasus hukum di Amerika78 dan Kanada79
dalam mendukung argumennya bahwa petugas polisi termasuk dalam istilah “pekerja” sebagaimana dimuat
dalam UU.
Bergantung pada Konvensi ILO No. 158 sebagai cara menafsirkan akan mendorong Pengadilan Federal
untuk mengkhususkan bahwa perundang-undangan domestik Australia tentang pemutusan hubungan
kerja berlaku pada petugas polisi.
73
Hakim Finkelstein, Ayat 71 keputusan.
74
Pasal 31(1) Konvensi Vienna tentang Perjanjian Internasional, 1969.
75
Untuk bisa memproses dalam cara ini para hakim bergantung pada prinsip-prinsip penafsiran Pasal 31 dan 32 dari Konvensi Vienna tentang
Perjanjian Internasional, 1969. Lihat juga Ayat 72 sampai 77 keputusan.
76
Hakim Finkelstein, Ayat 76 Keputusan.
77
Hakim Finkelstein, Ayat 78 Keputusan. Harus dilihat bahwa Hakim Ryan dan North setuju dengan argumen/pengamatan dari Hakim
Finkelstein.
78
Lihat Ayat 90 sampai 93 Keputusan.
79
Lihat Ayat 94 sampai 99 Keputusan.
48
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
20.
Pengadilan Tinggi Australia, Qantas Airways Limited vs Christie,
19 Maret 1998, [1998] HCA 18
Subyek: pemecatan; perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi;80 instrumen
yang yang tidak tunduk pada ratikasi81
Pemecatan pilot/ Tindakan hukum atas dasar diskriminasi berdasarkan usia/ Rujukan kepada hukum
internasional untuk menjelaskan arti pemberlakuan ketentuan-ketentuan nasional
Seorang pilot yang dipecat pada ulang tahunnya yang ke-60 menuntut perusahaannya, Qantas Airways
Ltd (selanjutnya disebut “Qantas”), mengklaim bahwa pemecatannya adalah tindakan diskriminatif atas
dasar usia yang melanggar UU Hubungan Industrial tahun 1988 (Cth) (selanjutnya disebut “UU”), yang
mengatur bahwa perusahaan tidak boleh memutuskan hubungan kerja atas alasan usia.82
Untuk menentukan apakah UU bisa diterapkan dalam kasus perselisihan, Pengadilan Tinggi Australia
harus menentukan terlebih dahulu apakah ada kasus tentang “pemutusan hubungan kerja” dalam
pemahaman UU. Pengadilan kemudian mengklarikasi bahwa arti dari istilah “persyaratan yang jelas”,
karena berdasarkan hukum domestik, pemutusan hubungan kerja atas dasar usia dinyatakan sah jika usia
pekerja dianggap sebagai persyaratan yang jelas untuk posisi tersebut.83
Sehubungan dengan kedua poin diatas, tiga dari lima hakim Pengadilan merujuk pada hukum
internasional untuk menafsirkan perundang-undangan domestik dan kemudian menyelesaikan perselisihan.
Mengomentari secara umum mengenai penafsiran ketentuan legislasi nasional sehubungan dengan
intrumen internasional, Hakim Kirby menyatakan bahwa:
“Seperti disini, di mana hukum nasional berisi kata-kata yang berasal sumber-sumber
internasional, adalah sah bagi pengadilan untuk memperhatikan sumber-sumber tersebut dalam
menegaskan arti dari kata-kata tersebut. Tidak hanya hal ini adalah sebagai pendekatan yang
pantas yang dimandatkan oleh otoritas yang berwenang pada pengadilan. Dalam kasus ini, hal
tersebut mendatangkan pengesahan yang khusus dari ketentuan UU di mana pernyataannya
harus memiliki “arti yang sama dengan Konvensi, sejauh yang menjadi perhatian dari Konvensi
Pemutusan Hubungan Kerja”.84
Para hakim kemudian merujuk pada hukum internasional untuk menafsirkan ketentuan-ketentuan
nasional yang mengatur penyelesaian perselisihan.
Mengenai pertanyaan apakah PHK merupakan obyek dari perselisihan tunduk pada ketentuan hukum
nasional mengenai PHK, Hakim Gummow berpendapat bahwa:
“Bagian 170CB mengatur bahwa pernyataan memiliki arti yang sama dalam Bagian 3 seperti
yang dimaksud dalam Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja 1982, yang diatur dalam Bag. 10
80
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958; Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982;
Konvensi tentang Penerbangan Sipil Internasional, 1944.
81
Rekomendasi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958.
82
Bagian 170 DF(1)(f) UU: “Seorang pengusaha tidak boleh memutuskan hubungan kerja untuk satu atau lebih alasan berikut ini, atau alasan
termasuk : (…) (f) usia.”
83
Bagian 170 DF(2) UU: “Sub Bagian 1 (UU) tidak mencegah alasan yang disebutkan dalam Ayat (1)(f) dari menyatakan alasan yang sah untuk
PHK jika merupakann kualikasi yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan.”
84
Hakim Kirby, Ayat 152(3) Keputusan.
49
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
UU. Pasal 3 menyatakan: “Untuk tujuan Konvensi istilah “pemutusan” dan “pemutusan hubungan
kerja” berarti pemutusan hubungan kerja atas insiatif dari pengusaha.””85
Merujuk pada sumber hukum tertentu, hakim menyimpulkan bahwa Qantas telah mem-PHK pilot dalam
pemahaman UU dan bahwa UU berlaku terhadap perselisihan.
Sehubungan dengan istilah “persyaratan yang jelas”, Hakim McHugh menyatakan bahwa:
“Meskipun bagian 170 DF(1)(f) melarang PHK karena alasan usia, bagian 170 DF(2) membuat
larangan ini tidak berlaku di mana alasan PHK didasarkan pada “persyaratan yang jelas untuk
posisi tertentu”, frase yang berarti harus ditentukan melalui rujukan terhadap artinya dalam
ketentuan Konvensi yang menjadi dasar ketentuan PHK dalam UU. Ketentuan Konvensi yang
relevan adalah Pasal 1(2) Konvensi ILO No. 111. Mengatur: Setiap pembedaan, pengecualian
atau pengutamaan sehubungan dengan pekerjaan tertentu berdasarkan persyaratan yang nyata
tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi.”86
Hakim menetapkan bahwa dalam hal ini usia pilot dapat menjadi persyaratan yang jelas untuk
posisinya, karena dia tidak lagi secara sah dianggap mampu untuk menjadi pilot bagi mayoritas penerbangan
internasional yang dioperasikan oleh Qantas karena usianya yang telah mencapai 60. Di luar pengecualian
di tiga negara, semua negara di mana Qantas mengoperasikan penerbangan adalah pihak-pihak dalam
Konvensi penerbangan Sipil Internasional, yang melarang pilot yang berusia di atas 60 tahun untuk
melakukan penerbangan internasional.
Merukuk pada Konvensi ILO No. 158 memungkinkan Pengadilan Tinggi Australia untuk mengklarikasi
arti hukum domestik yang berlaku dalam perselisihan, dan karenanya menetapkan bahwa dalam kasus ini
kontrak kerja telah diakhiri namun alasan usia merupakan persyaratan yang jelas dalam kasus pilot pesawat
udara. Atas dasar ini, Pengadilan menetapkan bahwa PHK tersebut tidaklah bersifat diskriminatif.
21.
Pengadilan Hubungan Industrial, Vera Sapevski, Velika Trajkosta, Cvetanka
Levnarovska,
Todonka Ristevska, Mirian Morales, Rosa Sagredo and Myriam Araneda vs Katies
Fashions,
8 Juli 1997, IRC No. 219/97
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi;87 kasus hukum
internasional88
Pekerja dipecat/ Tuntutan hukum terhadap pemecatan yang bersifat diskriminatif/ Penggunaan hukum
internasional untuk menentukan apakah hukum nasional melarang diskriminasi tidak langsung
Beberapa pekerja perempuan telah dipecat setelah adanya relokasi pusat distribusi suatu perusahaan ke
85
Ayat 96 dan 97 Keputusan.
86
Hakim McHugh, Ayat 70 Keputusan.
87
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958.
88
Komite ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi.
50
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
tempat yang dekat dengan pabrik dan peralatan yang membuat pekerjaan lebih cepat dan esien. Beberapa
perempuan berkeberatan terhadap pemecatan mereka, mengklaim bahwa itu bersifat diskriminatif atas
dasar jenis kelamin dan karenanya melanggar bagian 170 DF(1) Undang-undang Hubungan Kerja 1996
(selanjutnya disebut “UU”).89
Untuk mengadili kasus ini, Pengadilan Hubungan Industrial pertama-tama harus menentukan apakah
bagian 170 DF(1) UU melarang diskriminasi tidak langsung. Untuk menjawab pertanyaan ini, pengadilan
mendasarkan pada penafsiran dari Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan),
karena 170 CA(1) UU menetapkan bahwa UU diadopsi untuk memberi efek pada Konvensi ini. Pengadilan
juga mendasarkan pada Survei Umum Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi yang
mengklarikasi tujuan dari instrumen itu. Peneliti menetapkan bahwa Konvensi ILO No. 111 melarang baik
diskriminasi langsung dan tidak langsung” “setiap diskriminasi – dalam hukum dan praktik, langsung dan
tidak langusng – berada dalam lingkup instrumen tahun 1958.”90
Menarik kesimpulan dari berbagai elemen-elemen hukum internasional, Pengadilan Hubungan
Industrial menyimpulkan bahwa UU Hubungan Industrial melarang diskriminasi tidak langsung. Pemecatan
tersebut dinyatakan tidak sah.
22.
Pengadilan Tinggi Australia, Minister for Immigration and Ethnic Affairs vs Teoh,
7 April 1995, (1994) 128 A.L.R. 353
Subyek: hak atas tempat tinggal; hak atas anak
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi91
Permintaan status residen oleh seorang imigran/Pertimbangan untuk meratikasi Konvensi belum
masuk dalam legislasi nasional
Warga Negara Malaysia, dengan izin masuk sementara, menikahi warga negara Australia dan memiliki
anak. Permohonannya untuk menjadi residen ditolak oleh Menteri Imigrasi atas dasar pelanggaran
penggunaan obat-obatan berbahaya yang serius. Pemohon membanding keputusan administratif tersebut.
Pengadilan Tinggi Australia harus memutuskan apakah pemerintah mempertimbangkan prinsip-prinsip
dalam Konvensi tentang Hak atas Anak akan memiliki dampak yang positif terhadap keputusan, ketika
memutuskan status residen pemohon.92
Konvensi tersebut diratikasi oleh Australia tetapi belum menjadi bagian dari hukum Australia.
89
Bagian 170 DF (1) UU: “Seorang pengusaha tidak boleh memutuskan hubungan kerja untuk satu atau lebih alasan berikut ini: (…) jenis
kelamin, (…).”
90
ILO: Kesetaraan dalam Pekerjaan dan Jabatan, Survei Khusus Komite Ahli Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, 1996, op.cit., Ayat 25.
91
Konvensi tentang Hak-hak Anak, 1989.
92
Pasal 3(1) Konvensi tentang Hak-hak Anak, 1989: “Dalam semua tindakan mengenai anak-anak, baik dilakukan oleh lembaga sosial publik
atau privat, pengadilan, otoritas pemerintahan atau badan legislasi, kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang
paling utama.”
Pasal 9 (1) dari Konvensi yang sama: “Pihak Negara harus memastikan bahwa anak tidak boleh dipisahkan dari orangtuanya sesuai kehendak
mereka, kecuali jika otoritas yang berwenang berdasarkan pemeriksaan pengadilan memutuskan, sesuai dengan hukum dan prosedur yang
berlaku, bahwa pemisahan tersebut diperlukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak. Penentuan tersebut mungkin diperlukan dalam
kasus yang khusus yang melibatkan kekerasan atau kelalaian terhadap anak oleh orangtuanya, atau ketika orangtuanya hidup terpisah dan
keputusan harus dibuat mengenai tempat tinggal anak.”
51
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan menyatakan bahwa pemerintah harus memeriksa kembali permohonan sehubungan dengan
prinsip-prinsip dalam Konvensi.
Untuk dapat menyimpulkan, beberapa hakim di Pengadilan mengelaborasi nilai hukum, dalam hukum
nasional, dari perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi tapi belum dimasukkan ke dalam
legislasi nasional. Hakim menyatakan bahwa dalam kasus tidak dimasukkannya perjanjian-perjanjian
internasional dalam hukum Australia, instrumen-instrumen tersebut dapat mempengaruhi hukum Australia
dalam dua cara yang berbeda: sebagai alat untuk menafsirkan perundang-undangan dan sebagai panduan
yang sah dalam membuat hukum (common law).“
“Sebagaimana telah ditetapkan bahwa ketentuan perjanjian internasional di mana Australia
menjadi salah satu penandatangan, perjanjian itu belum menjadi bagian hukum Australia, kecuali
ketentuan tersebut telah secara sah dimasukkan dalam hukum induk kita oleh undang-undang.
(…) Tetapi fakta bahwa Konvensi belum dimasukkan dalam hukum Australia tidak berarti bahwa
ratikasi ini tidak signikan bagi hukum Australia. Ketika undang-undang atau peraturan yang lebih
rendah bersifat ambigu; Pengadilan harus memutuskan konstruksi yang sesuai dengan kewajiban
Australia dalam perjanjian internasional atau konvensi internasional di mana Australia menjadi
pihak penandatangan, paling tidak dalam kasus ini di mana legislasi diundangkan setelah
atau sehubungan dengan, ditandatanganinya, atau diratikasinya instrumen internasional
yang relevan. Hal tersebut karena parlemen, prima facie, bermaksud untuk memberikan efek
atas kewajiban Australia menurut hukum internasional. (…) Jika bahasa legislasi tunduk pada
konstruksi yang konsisten dengan instrumen internasional dan kewajiban yang dikenakan kepada
Australia, maka konstruksi tersebut yang harus berlaku.”
Mengenai peranan konvensi-konvensi internasional yang telah diratikasi oleh Australia tetapi belum
dimasukkan dalam putusan peradilan internal atau panduan yang sah dalam membuat hukum, para hakim
menambahkan:
“ketentuan-ketentuan konvensi internasional di mana Australia menjadi pihak penandatangan,
khususnya yang menyatakan hak-hak mendasar universal, dapat digunakan oleh pengadilan
sebagai panduan yang sah dalam membuat hukum. Tetapi pengadilan harus melakukannya
dengan hati-hati ketika parlemen melihat ketentuan-ketentuan dalam konvensi itu tidak sesuai
untuk dimasukkan dalam hukum domestik. Pengembangan judisial (common law) itu juga tidak
boleh dilihat sebagai cara memasukkan konvensi internasional ke dalam hukum Australia melalui
pintu belakang.”
Pengadilan Tinggi Australia menyimpulkan bahwa pemerintah harus memeriksa kembali permohonan
status residen yang dibuat oleh pemohon, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip Konvensi tentang
Hak-hak atas Anak.
23.
Komisi Konsiliasi dan Arbitrasi Australia, Termination, Kasus Perubahan dan
Pengurangan Pekerja, 2 Agustus 1984, [1984] 8 I.R. 34.R. 34
Subyek: pemecatan; perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: penetapan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian yang telah diratikasi93
93
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958; Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja,
1982.
52
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Perselisihan kolektif/ Penerbitkan keputusan Komisi / Rujukan pada hukum internasional dalam
membuat keputusan/ Penetapan prinsip yurispredensi berdasarkan hukum internasional
Dalam konteks pengujian perselisihan ketenagakerjaan yang melibatkan serikat pekerja dan beberapa
perusahaan oleh Komisi Konsiliasi dan Arbitrasi Australia, Dewan Serikat Pekerja Australia (selanjutnya
disebut “ACTU”) memohon kepada Komisi untuk membuat keputusan94 yang mengakui hak jaminan kerja
pekerja dan, khususnya perlindungan dari PHK yang tidak sah.
Untuk menentukan daftar alasan PHK yang dianggap tidak sah, Komisi merujuk pada dua Konvensi
ILO, yaitu Konvensi No. 111 mengenai Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) dan Konvensi No. 158 tentang
pemutusan Hubungan Kerja:
“Dalam hal ini, kami memutuskan untuk bertindak sesuai dengan Kasus Dewan Kota Rockhampton
City, Undang-undang Diskrimiansi rasial 1975, dan Undang-undang Diskriminasi Jenis Kelamin
1984 serta dengan Konvensi-konvensi ILO dan untuk memasukan daftar alasan yang tidak sah
untuk PHK. Instrumen tersebut merujuk pada Konvensi ILO No. 158, yaitu: “ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, status perkawinan, tanggung jawab keluarga, kehamilan, pandangan politik,
kewarganegaraan dan asal sosial”. Sesuai dengan keputusan Dewan Kota Rockhampton dan
Konvensi ILO 111 kami harus memasukkan pengecualian mengenai pembedaan, pengecualian
atau pengutamaan berdasarkan persyaratan yang jelas dari jenis pekerjaan tertentu.”
94
Salah satu peranan dari Komisi Hubungan Industrial Australia adalah untuk membuat keputusan yang menetapkan kondisi kerja yang
minimum untuk pekerja yang tidak dalam posisi untuk menegosiasikan kondisi kerja mereka sendiri. Keputusan tersebut dikenal sebagai
“Keputusan/award”.
53
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Azerbaijan
Konstitusi Republik Azerbaijan
Pasal 12, ayat 2: Tujuan Tertinggi Negara
Hak-hak dan kebebasan asasi manusia dan sipil yang diatur dalam Konstitusi harus dilaksanakan
sesuai dengan perjanjian internasional di mana Republik Azerbaijan menjadi pihak penandatangan.
Pasal 148, ayat 2: Undang-undang Dimasukkan ke dalam Sistem Legislatif Republik
Azerbaijan
Perjanjian-perjanjian internasional, di mana Republik Azerbaijan menjadi pihak penandatangan, harus
menjadi bagian dari sistem legislatif Republik Azerbaijan.
Pasal 151:Kekuatan Hukum Undang-undang Internasional
Ketika timbul perselisihan antara undang-undang normatif-legislatif yang ada dalam sistem legislasi
Republik Azerbaijan dengan perjanjian-perjanjian internasional, di mana Republik Azerbaijan menjadi
pihak penandatangan, maka yang terakhir yang berlaku. Pasal ini mengecualikan Konstitusi Republik
Azerbaijan dan Undang-undang yang disahkan melalui referendum.
24.
Mahkamah Konstitusi Republik Azerbaijan, Mengenai kesesuaian Pasal 143.1 UU
Perburuhan Republik Azerbaijan dengan Pasal 25, 37, dan 149.1 Konstitusi
Republik Azerbaijan, 23 Februari 2000
Subyek: hari libur yang dibayar
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;95 perjanjian internasional
yang belum diratikasi;96 instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi97
Pembatasan hak libur yang dibayar pada akhir kontrak kerja/ Lembaga proses sebelum diserahkan
kepada Mahkamah Konstitusi/ Rujukan kepada hukum internasional untuk menggarisbawahi sifat
mendasar dari hak-hak yang telah dilanggar
Undang-undang Perburuhan Republik Azerbaijan mengatur bahwa ketika terjadi PHK, pekerja berhak
untuk mendapatkan pembayaran atas hari-hari libur yang belum diambil. Namun ketentuan ini tidak berlaku
jika PHK dilakukan sebagai akibat likuidasi perusahaan atau kegagalan pekerja untuk memenuhi tanggung
jawab atau kewajibannya. Ketua Mahkamah Agung merujuk kasus ini ke Mahkamah Konstitusi untuk
keputusan mengenai konstitusionalitas undang-undang.
95
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966.
96
Konvensi ILO No. 132 tetnang hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970.
97
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
54
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan ini tidak konsisten dengan Pasal 37 (1) dan 37 (2)
Konstitusi dan berbagai instrumen hukum internasional.
Untuk menunjukkan sifat mendasar dari hak atas hari libur yang dibayar, Mahkamah Konstitusi merujuk
pada pasal-pasal dalam beberapa instrumen internasional:
“Hak bagi setiap pekerja untuk hari libur regular yang dibayar juga direeksikan pada Pasal
24 Deklarasi Universal tentang hak Asasi Manusia,98 Pasal7 (d) Pakta Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya99, serta Pasal 3100 Konvensi ILO mengenai hari libur yang
dibayar.”101
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa perselisihan antara ketentuan yang ada dalam undangundang mengenai hari libur yang dibayar dengan pasal-pasal pada instrumen internasional yang disebutkan
di atas, telah melanggar prinsip kesetaraan yang ditetapkan dalam Konstitusi.
Setelah merujuk pada hukum internasional untukmenggarisbawahi sifat mendasar hak-hak yang telah
dilanggar, Mahkamah Konstitusi Azerbaijan memutuskan bahwa ketentuan-ketentuan dari UU Perburuhan
yang menghapuskan hak-hak pekerja atas hari libur yang dibayar adalah tidak konstitusional.
25.
Mahkamah Konstitusi Republik Azerbaijan, Mengenai Kesesuaian Pasal 109 UU
Pemeliharaan Pensiun Warga Negara dengan Pasal-pasal 25, 38, dan71 Konstitusi
Republik Azerbaijan, 29 Desember 1999
Subyek: perlindungan sosial
Peranan hukum internasional: rujukan pada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;102 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi103
Pengurangan pensiun orang-orang yang menjalani hukuman penjara/ Lembaga proses sebelum
diserahkan ke Mahkamah Konstitusi /Rujukan pada hukum internasional untuk menggarisbawahi sifat
mendasar dari ketentuan-ketentuan Konstitusi yang telah dilanggar
Hukum memperbolehkan warga negara yang menjalani hukuman penjara menerima hanya 20 persen
dari tunjangan pensiun mereka. Jaksa Penuntut Umum merujuk kasus ini ke Mahkamah Konstitusi Azerbaijan
untuk memeriksa konstitusionalitas hukum tersebut. Mahkamah berpendapat bahwa pembatasan tersebut
tidak konsisten dengan pasal dalam Konstitusi yang menjamin hak-hak atas perlindungan sosial dan juga
menambahkan bentuk hukuman baru di mana ketentuan tersebut tidak diatur dalam Hukum Pidana.
98
Pasal 24 Deklarasi Universal tentang HAM: “setiap orang berhak untuk beristirahat dan berlibur, termasuk pembatasan jam kerja yang layak
dan hari libur periodik yang dibayar.”
99
Pasal 7 (d) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: “Pihak Negara dalam perjanjian ini mengakui hak setiap
orang untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan nyaman, yang memastikan, khususnya: (…) d) istirahat, liburan dan pembatasan jam kerja
yang layak dan hari libur berkala yang dibayar, juga remunerasi untuk hari libur publik.”
100
Pasal 3 Konvensi No. 132: “1. Setiap orang di mana konvensi ini berlaku harus berhak atas hari libur tahunan yang dibayar untuk jangka waktu
tertentu. 2. Setiap Anggota yang meratikasi Konvensi ini harus mengatur secara spesik jangka waktu hari libur dalam bentuk pernyataan
yang dilampirkan dalam ratikasi. 3. Hari libur tidak boleh kurang dari tiga hari kerja untuk satu tahun bekerja. (…).”
101
Mahkamah Konstitusi Republik Azerbaijan tidak menyebutkan Konvensi ILO mengenai hari libur yang dibayar yang mereka jadikan rujukan. Kami
mengira Konvensi tersebut adalah Konvensi Hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970 (No. 132), di mana Azerbaijan belum meratikasinya.
102
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,1966.
103
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
55
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Untuk menunjukkan sifat mendasar dari hak-hak perlindungan sosial, Mahkamah merujuk pasal-pasal
yang relevan dalam Deklarasi Universal HAM dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya:
“Dalam Deklarasi Universal tentang HAM dan Pakta Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya, pembatasan hak untuk pemeliharaan sosial pensiunan yang menjadi terhukum tidak
diatur. Pasal 22 Deklarasi Universal tentang HAM menyatakan “Setiap orang, sebagai anggota
masyarakat, memiliki hak terhadap jaminan sosial dan berhak atas perwujudannya, melalui
upaya nasional dan kerjasama internasional, dan sesuai dengan organisasi dan sumber-sumber
setiap negara, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari martabatnya dan kebebasan perkembangan personalitasnya.”
Dalam Pasal 9 Pakta Internasional “Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial d an Budaya” ditetapkan
bahwa setiap orang memiliki hak atas kesejahteraan sosial, termasuk asuransi sosial. Mahkamah
Konstitusi Republik Azerbaijan menganggap penting rujukan pada praktik internasional yang
tidak mengakui orang yang dihukum sebagai alasan untuk merampas hak atas pemeliharaan
sosialnya.”
Setelah merujuk pada hukum internasional untuk menggarisbawahi sifat mendasar hak perlindungan
sosial, Mahkamah Konstitusi Azerbaijan menetapkan bahwa hukum yang membatasi pensiun bagi orang
yang menjalani hukuman penjara adalah melanggar Konstitusi.
56
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Belgia
26.
Brussels Labour Court, 20th Chamber, D.D. vs SA Vanduc-Topfilm, 20 Februari
1992, Roll No. 79-759/91
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penetapan yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang tidak diratikasi104
Pemecatan tanpa wawancara terlebih dahulu/ Kesenjangan dalam legislasi domestik/ Rujukan pada
Konvensi ILO No. 158 untuk menetapkan prinsip yurisprudensi yang menegaskan hak pekerja untuk
wawancara terlebih dahulu
Seorang pekerja telah dipecat atas kesalahan berat. Pengusaha menuduhnya melakukan kesalahan
dalam pekerjaannya. Dalam mengajukan kasus pemecatan kepada Pengadilan Perburuhan, pekerja tersebut
mengaku bahwa dia tidak mendapatkan kesempatan bersidang guna menjawab tuduhan yang dialamatkan
kepadanya.
Dalam keadaan Kekosongan ketentuan dalam hukum Belgia yang mensyaratkan pekerja diwawancara
sebelum pemecatan, Pengadilan Perburuhan mengambil inspirasi dari Pasal 7 Konvensi ILO No. 158 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja, meskipun Konvensi ini belum diratikasi oleh Belgia.
Setelah mempelajari ketentuan yang dimuat dalam Pasal 7 Konvensi ILO No. 158, Pengadilan
menegaskan bahwa, meskipun Konvensi ini belum diratikasi oleh Belgia, dan karenanya aturan yang
terdapat di dalamnya tidak memiliki kekuatan hukum di dalam negeri, namun tetap saja menjadi:
“Suatu sumber inspirasi untuk Pengadilan sejauh hal tersebut mengandung konsensus tertentu
di tingkat internasional mengenai hak dan kewajiban minimum yang seimbang antara pengusaha
dan pekerja”.
Mendasarkan pada kerja persiapan atas Konvensi ILO No. 158, Pengadilan menjelaskan bahwa
penerapan konvensi semuanya lebih bisa dijustikasi:
“Bahwa konvensi telah disetujui oleh keempat delegasi Belgia (pemerintah, pengusaha dan
pekerja) pada Rapat Umum ILO105, yang sekurang-kurangnya mengindikasikan bahwa, pada satu
sisi Belgia mengakui ILO dan, di sisi lain, bahwa peraturan yang ditetapkan dalam Konvensi tidaklah
bertentangan secara luas dengan sistem hukum Belgia”.
Dengan melihat pada ketentuan Pasal 7 Konvensi ILO No. 158, Pengadilan Perburuhan menganggap
bahwa, dengan tidak memberikan kesempatan bersidang sebelum memecat pekerja karena kesalahan
berat, maka hal itu telah menyebabkan kerugian di pihak pekerja dan karenanya harus diberikan ganti rugi
dengan pembayaran kompensasi. Alasannya adalah apa yang dituduhkan kepada pekerja tersebut belum
tentu seperti disangka oleh pengusaha.
104
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
105
Berita Acara Rapat Sesi ke-68 Konferensi Peburuhan Internasional ILO, Geneva, 1982, hal. 36/15 dan 36/20.
57
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Benin
Konstitusi Republik Benin
Pembukaan
(…) Kami menyatakan kepatuhan kami pada prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM)
sebagaimana dijelaskan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tahun 1945 dan Deklarasi
Universal tentang HAM tahun 1948, Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat, yang
diadopsi tahun 1981 oleh Organisasi Persatuan Afrika dan diratikasi di Benin pada tanggal 20 Januari
1986, dan di mana ketentuan-ketentuan tersebut menjadi satu kesatuan dengan Konstitusi ini dan
Hukum Benin serta memiliki kewenangan yang lebih tinggi daripada hukum domestik; (…)
Pasal 7
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dinyatakan dan dijamin oleh Piagam Afrika tentang Hak-hak
Manusia dan Masyarakat yang diadopsi tahun 1981 oleh Organisasi Persatuan Afrika dan diratikasi di
Benin pada tanggal 20 Januari 1986, menjadi satu kesatuan dengan Konstitusi ini dan Hukum Benin.
Pasal 147
Perjanjian atau kesepakatan internasional yang telah diratikasi melalui prosedur yang telah ditetapkan
harus, setelah dipublikasikan, memiliki kewenangan yang lebih tinggi daripada undang-undang,
dengan syarat bahwa setiap perjanjian atau kesepakatan internasional telah diterapkan oleh pihak
yang lainnya.
27.
Pengadilan pada Tingkat pertama (Cotonou Court of First Instance), Kelas Pertama,
7 Desember 2009, Kasus No. 05-2005
Subyek: pemecatan, perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, perlindungan
persalinan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi106
Diskriminasi berdasarkan jenis kelamin/ Perlindungan Persalinan/ Pemecatan yang tidak sah/
Larangan mem-PHK perempuan selama masa kehamilan, cuti melahirkan/ Persalinan atau periode
setelahnya/ Penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Seorang perempuan menjadi korban kecelakaan lalu lintas dan dinyatakan tidak mampu bekerja hampir
selama dua tahun. Hubungan kerja antara dirinya dengan pengusaha tidak dibuat dalam bentuk tertulis.
Selama masa ketidakmampuannya, perempuan tersebut hamil dan memberitahukan kepada pengusaha.
106
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958.
58
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Meskipun pengusaha tahu akan kondisi perempuan tersebut, pengusaha menghentikan pembayaran
kepada perempuan tersebut, dengan menyatakan bahwa dia secara sah memecat pekerja karena pekerja
tersebut telah melalaikan tempat kerjanya, ketidakhadiran yang tidak sah, dan menolak melaksanakan
perintah.
Setelah melahirkan, perempuan tersebut kembali dan berbicara kepada pengusaha dan menuntut
bahwa dia harus menandatangani perjanjian agar dia “dipekerjakan kembali” dalam hubungan kerja.
Pemohon menganggap bahwa hal ini adalah pelanggaran terhadap kewajiban pengusaha dan perlindungan
persalinan, di luar fakta bahwa dia tidak dibayar selama 6 bulan upah.
Hakim memperlakukan kasus tersebut sebagai masalah diskriminasi dan segera merujuk pada
Konvensi ILO No.111. Hakim kemudian mengkaji legislasi domestik dan menemukan bahwa hal tersebut
sangat sejalan dengan standar perburuhan internasional. Dia menjelaskan bahwa dia akan mendasari
putusannya pada hukum perburuhan internasional dan hukum domestik:
“Mengingat bahwa diskriminasi melanggar hak-hak individu yang mendasar dan keadilan sosial;
bahwa Konvensi No. 111 dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tentang diskriminasi,
yang berlaku efektif pada tanggal 15 Juni 1960 dan telah diratikasi oleh Benin, melarang setiap
pembedaan, pengecualian atau pengistimewaan berdasarkan kriteria seperti jenis kelamin, ras
atau pandangan politik, yang memiliki efek pembatalan atau melanggar kesetaraan kesempatan
dan perlakuan dalam pekerjaan dan jabatan; bahwa legislasi sosial yang berlaku di Benin, yaitu
Hukum Perburuhan dan Perjanjian Kerja Bersama Umum, mereeksikan komitmen terhadap
Organisasi Perburuhan Internasional; bahwa Pasal 171 Hukum Perburuhan menyatakan bahwa
tidak seorang pegusaha pun dapat memecat perempuan yang sedang hamil, bila kehamilannya
terlihat nyata atau ditegaskan secara medis; bahwa selanjutnya Perjanjian Kerja Bersama
Umum tertanggal 17 Mei 1974 menyatakan dalam Pasal 44 Ayat 2 bahwa “pengusaha harus
mempertimbangkan status kehamilan perempuan terkait dengan kondisi kerja. Kehamilan
tidak bisa menjadi alasan untuk pemecatan’.”
Dalam mengkaji kasus ini, hakim menemukan bahwa fakta-fakta berikut ini telah terbukti: bahwa
ketidakmampuan dan kehamilan didokumentasikan dalam surat keterangan medis yang sah dan telah
secara layak diberitahukan kepada pengusaha, dan hal ini kemudian diikuti dengan penghapusan
pembayaran dan alasan untuk mengakhiri hubungan kerja adalah fakta bahwa kehamilan berada dalam
periode berturut-turut dengan ketidakmampuan dari pekerja. Mendasarkan putusannya pada Konvensi ILO
No. 111 dan legislasi domestik, maka dia menyatakan bahwa pengusaha tidak memenuhi kewajibannya
dan tidak memberikan perlindungan untuk kehamilan perempuan, dan pemecatan dalam kondisi tersebut
merupakan diskriminasi atas dasar jenis kelamin, yang juga pekerja, sesuai dengan undang-undang di
Benin. melibatkan persalinan, status perkawinan dan situasi keluarga. Karena hubungan kerja diputuskan
secara tidak sah, hakim menetapkan bahwa kompensasi harus diberikan untuk PHK tersebut dan juga
kompensasi karena kerugian yang dialami
59
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
28.
Pengadilan Tingkat Pertama (Cotonou Court of First Instance), Kelas Pertama,
20 Juli 2009, Kasus No. 54-2002
Subyek: perlindungan persalinan; pemecatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang tidak diratikasi107
Perlindungan persalinan/ PHK yang tidak sah/ Larangan untuk memecat perempuan selama masa
kehamilan/ Cuti melahirkan atau periode setelahnya/ Rujukan pada hukum internasional untuk
memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Setelah melahirkan, seorang perempuan didiagnosa menderita penyakit yang membuatnya untuk
sementara waktu tidak bisa membuat segala jenis gerakan yang akan memberikan dampak pada tubuhnya.
Pekerjaan sebelumnya mengharuskan dia berpergian dengan sepeda motor setiap hari. Mengingat hal ini,
pengusaha mengirimkan surat pada masa cuti melahirkan yang diperpanjang, yang menyatakan bahwa dia
diputuskan hubungan kerjanya atas dasar ketidakmampuan sik dan mengatakan bahwa tidak mungkin
merelokasi dia ke pekerjaan lain karena status kesehatannya.
Pemohon menuduh bahwa hal ini merupakan PHK yang tidak sah dan meminta pembayaran
kompensasi.
Hakim pada tingkat pertama merujuk pada Pasal 8 Konvensi ILO No. 183 dan pada Pasal170 sampai
172 UU Perburuhan Benin:
“(…) Pasal 8 Konvensi No. 183 Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) (…) tentang perlindungan
persalinan menyatakan bahwa tidaklah sah bagi pengusaha untuk memecat perempuan selama
masa kehamilannya, cuti melahirkan atau periode sesudah dia kembali dari cuti, kecuali untuk
alasan-alasan yang tidak terkait dengan kehamilan, kelahiran anak, dan konsekuensinya serta
perawatan anak. Beban pembuktian bahwa PHK tidak terkait dengan kehamilan, kelahiran anak,
dan konsekuensinya serta perawatan anak, berada pada pihak pengusaha. Setelah cuti melahirkan,
perempuan harus dijamin untuk bisa kembali bekerja pada posisi yang sama atau setara dan
dibayar dengan upah yang sama. (…) [Hukum di Benin mengatur perlindungan persalinan yang
identik dengan yang diatur secara internasional melalui UU Perburuhan, UU No. 98-004 tanggal
27 Januari 1998, Pasal 170-172.”
UU Perburuhan Benin mengatur hak cuti melahirkan sebelum dan setelah melahirkan anak dalam
jangka waktu tertentu, yang bisa diperpanjang dalam kasus terdapat surat keterangan medis akibat dari
kehamilan atau kelahiran anak. Tidak ada pengusaha yang dapat memecat perempuan selama periode
ini.
Atas dasar ini, hakim menyatakan bahwa memecat perempuan selama periode cuti setelah melahirkan
anak berarti pemecatan tersebut tidak sah, Hakim menghukum pengusaha untuk membayar sejumlah uang
sebagai kompensasi atas pemecatan yang tidak sah dan untuk kerugian yang ditimbulkan.
107
Konvensi ILO No.183, Perlindungan Persalinan, 2000.
60
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
29.
Mahkamah Konstitusi Benin, 11 Januari 2001, Keputusan No. DCC 01-009
Subyek: Kondisi-kondisi dalam penahanan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi108
Penahanan yang tidak sah dan perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak bermartabat/ Gugatan
ke Mahkamah Konstitusi atas pelanggaran Konstitusi/ Penggunaan Piagam Afrika tentang Hak-hak
Manusia dan Masyarakat
Seorang warga negara Benin telah ditahan tanpa alasan dan tidak mendapatkan air, makanan, dan
kunjungan selama empat hari. Dia mengatakan bahwa dia telah dipukuli oleh tahanan lain dan menerima
penghinaan dan ancaman kematian dari inspektur polisi. Dia membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi
Benin agar Mahkamah menyatakan tindakan tersebut sebagai tindakan yang tidak konstitusional.
Mahkamah Konstitusi merujuk pada pasal-pasal yang relevan dalam Konstitusi; dinyatakan bahwa
Pasal 18109 Konstitusi telah dilanggar dan merujuk pada Pasal 5110 Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia
dan Masyarakat untuk menegaskan adanya pelanggaran serius.
“Bahwa muncul dari analisa unsur-unsur dalam kasus ini bahwa pemohon dibawa ke dalam
tahanan dengan kejam, yang merupakan tindakan penahanan yang sewenang-wenang dan
tidak layak sebagai akibat dari niat yang terbaca dari Inspektur Polisi (…) untuk “menghilangkan
kebebasannya dalam rangka memperbaikinya”; bahwa, konsekuensinya, meskipun ada penolakan
dari pengawas, kondisi di mana pemohon ditahan dan dibawa dalam tahanan merupakan perlakuan
yang tidak manusiawi dan merendahkan seperti yang termaktub dalam Pasal 18 Konstitusidan
Pasal 5 Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat.”
Atas dasar ini Mahkamah Konstitusi Benin menetapkan bahwa Tindakan inspektur polisi merupakan
pelanggaran atas Konstitusi dan Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat.
108
Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat, 1981.
109
Pasal 18 Konstitusi Benin: “Tidak seorangpun boleh menjadi obyek penyiksaan atau perlakuan yang sadis atau kejam, tidak manusiawi
dan tidak berrmartabat. Tidak seorangpun memiliki hak untuk mencegah tahanan atau tertuduh untuk menjalankan pemeriksaan oleh
dokter atas pilihannya sendiri. Tidak seorang pun boleh ditahan dalam suatu lembaga penahanan kecuali dia masuk dalam lingkup Hukum
pidana yang berlaku. Tidak seorangpun boleh ditahan dalam waktu lebih dari 48 jam kecuali atas perintah hakim, di mana perintah itu harus
ditunjukkan kepadanya. Jangka waktu ini hanya bisa diperpanjang dalam kasus-kasus yang dikecualikan yang diatur oleh hukum dan tidak
boleh lebih dari delapan hari.”
110
Pasal 5 Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat: “setiap individu memiliki hak yang menhormati martabat sebagai manusia
dan untuk diakui status hukumnya. Segala bentuk eksploitasi dan merendahkan martabat manusia, khususnya perbudakan, perdagangan
budak, penyiksaan, kekejaman, ketidakmanusiawian atau hukuman dan perlakuan yang merendahkan harus dilarang.”
61
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Botswana
30.
Pengadilan Industrial Botswana, Sarah Diau vs Botswana Building Society,
19 Desember 2003, No. IC 50/ 2003
Subyek: pemecatan; perlindungan dari diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: rujukan pada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi111; instrumen yang tidak tunduk
pada ratikasi112
Status HIV sebagai bagian dari pemeriksaan medis/ Pemecatan/ Hak kerahasiaan/ perlindungan
martabat manusia/ Rujukan pada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum domestik
Pada Februari 2002, pemohon mendapatkan penawaran kerja dengan enam bulan masa percobaan
sebagai asisten keamanan di Building Society, Termohon dalam kasus ini. Penawaran hubungan kerja
menyatakan bahwa hubungan kerja permanen akan diperoleh jika Pemohon lolos dari pemeriksaan medis
yang dilakukan oleh dokter yang dipilih dan dibayar oleh Building Society. Pemohon memulai bekerja pada
bulan yang sama dan pada Agustus 2002, dia diminta Building Society, melalui pernyataan tertulis, untuk
menyerahkan sertikat status HIV-nya, sebagai bagian dari pemeriksaan medis. Pemohon menjawab melalui
surat, bahwa dia menolak untuk memberikan dokumen tersebut. “Sejauh yang saya ketahui, status HIV
adalah hak personal, dan tidak untuk diketahui atau prasyarat untuk mendapatkan pekerjaan”. Pada Oktober
2002, pemohon menerima surat dari Building Society yang memberitahukan bahwa dia tidak mendapatkan
hubungan kerja permanen. Tidak ada alasan yang diberikan dalam pemutusan hubungan kerja tersebut.
Dalam pernyataannya atas kasus ini, Pemohon meminta penyelesaian untuk “Dipekerjakan kembali
atau pembayaran atas pemecatan yang tidak sah” termasuk:
1.
Perintah Termohon kepada Pemohon untuk menjalani tes HIV adalah tidak sah, karena
melanggar hak konstitusi Pemohon mengenai kerahasiaan.
2.
Perintah Pemohon untuk mengakhiri hubungan kerja dengan alasan bahwa Termohon
kemungkinan terjena HIV sebagai diskriminasi atas dasar kecacatan, dan diskriminasi tersebut
merupakan pengingkaran atas perlindungan yang setara atas hukum sebagaimana dimuat
dalam Konstitusi, dan juga sebagai perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan.
3.
Perintah yang menyatakan bahwa kegagalan oleh Termohon untuk menyediakan konseling
pra-tes dan post-tes merupakan perlakuan yang merendahkan.
4.
Perintah yang meminta Termohon untuk mempekerjakan kembali Pemohon dan membayar
kompensasi sebesar enam bulan kompensasi.
Karena tidak ada peraturan perundang-undangan tentang HIV/AIDS dan ketenagakerjaan, Pengadilan
Perburuhan berargumen bahwa Konstitusi, sebagai Hukum tertinggi, relevan untuk memeriksa kasus HIV/
AIDS di tempat kerja karena mencakup jaminan kepada setiap orang atas kesetaraan didepan hukum dan
kesetaraan perlindungan hukum dan martabat manusia, dan karena Konstitusi melarang diskriminasi.
111
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958.
112
Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat kerja, 1998.
62
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengadilan juga merujuk bahwa ada kebijakan HIV/AIDS nasional yang menangani masalah ini yang
sejalan dengan panduan internasional. Pengadilan menganggap bahwa penghapusan terhadap diskriminasi
yang tidak sah dan promosi non-diskriminasi adalah tujuan utama dari kebijakan ini, dan mereka memberi
efek atas kewajiban internasional Botswana. Pengadilan juga mengkaji bahwa prinsip konstitusional atas
penghapusan diskriminasi di tempat kerja sejalan dengan Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hakhak Mendasar di Tempat Kerja, yang menegaskan prinsip konstitusional ILO atas penghapusan diskriminasi
di tempat kerja. Hal ini juga ditemukan sejalan dengan nilai-nilai dalam Konvensi ILO No. 111, yang
telah diratikasi oleh Botswana. Pengadilan mencatat bahwa ketentuan yang relevan perlu diakui ketika
menafsirkan ketentuan mendasar yang serupa menurut Konstitusi.
Merujuk pada ketentuan bagian 3 (a) dan 7 (1) Konstitusi Botswana, Pengadilan menyimpulkan
bahwa persyaratan penyerahan dokumen status HIV adalah pelanggaran atas hak kebebasan, dan bahwa
pemutusan hubungan kerja adalah tidak sah.
Pengadilan memerintahkan Termohon mempekerjakan kembali Pemohon, dan membayar
kompensasi.
31.
Pengadilan Industrial Botswana, Joel Sebonego vs News Paper Editorial and
Management Services Ltd, 23 April 1999, No. IC 64/98
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: menetapkan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional; rujukan
kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang belum diratikasi113; legislasi asing114; kasus
Hukum asing115
Pemecatan atas dasar alasan sakit/ Kekurangan dalam legislasi nasional/ Penetapan prinsip
yurisprudensi berdasarkan konvensi ILO No. 158 dan legislasi Afrika Selatan/ Rujukan kepada hukum
internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Seorang editor dua surat kabar menderita sakit selama beberapa bulan berturut-turut dan tidak pernah
memberitahu perusahaan alasan sebenarnya atas ketidakhadirannya. Setelah beberapa lama, Pimpinan
Redaksi memutuskan untuk memecat editor tersebut karena “ketidakhadiran yang terus menerus dengan
alasan sakit”. Pemecatan dilakukan tanpa pemberitahuan. Redaktur tersebut menganggap pemecatannya
tidak fair dan illegal.
Pengadilan Perburuhan menemukan bahwa legislasi di Botswana tidak memiliki ketentuan mengenai
pemecatan karena alasan medis. Oleh karenanya, Pengadilan harus melihat pada sumber hukum yang lain,
termasuk hukum internasional, untuk menentukan panduan yang berlaku dalam perselisihan ini:
“Pengadilan harus mencari panduan dalam laporan ini. Karena pemecatan dengan alasan sakit
mirip dengan pemecatan karena ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan, pengadilan
akan menetapkan prinsip internasional mengenai keadilan dalam kasus pemecatan karena
ketidakmampuan melakukan pekerjaan.”
113
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
114
Afrika Selatan
115
Inggris
63
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan kemudian menetapkan kompetensinya dalam mempertimbangkan Konvensi-konvesi
perburuhan internasional:
“Karena Pengadilan Industrial tidak cuma pengadilan hukum tetapi juga pengadilan untuk
keadilan, maka dia menerapkan aturan keadilan alamiah atau aturan keadilan, ketika menentukan
perselisihan. Aturan-aturan keadilan ini berasal dari hukum (common law) dan juga dari Konvensi
dan Rekomendasi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Persyaratan mendasar untuk PHK
yang sah secara substansial, yang akan termasuk PHK karena ketidakmampuan bekerja dengan
alasan kesehatan, dinyatakan secara ringkas dalam Pasal 4 Konvensi ILO No. 158 tahun 1982,
yang mengatur:
“Hubungan kerja dengan pekerja tidak boleh diakhiri kecuali dengan alasan yang sah untuk PHK
tersebut yang berhubungan dengan kapasitas atau perilaku pekerja atau berdasarkan persyaratan
operasional perusahaan, atau layanan tersebut.”
“Alasan yang juga tercakup dalam Konvensi ILO No. 158 adalah mengenai ketidakmampuan yang
disebabkan oleh sakit karena menggarisbawahi kata “kemampuan”, di mana dalam konteks itu
juga termasuk ketidakmampuan.”
Merujuk pada Konvensi No. 158 (Pasal 4116 dan 6),117 kasus Hukum di Inggris dan legislasi di Afrika
Selatan, Pengadilan Industrial Botswana menetapkan aturan hukum yang berlaku untuk pemecatan
berdasarkan alasan medis, merangkum prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut:
“Untuk meringkas prinsip-prinsip ini, yang pertama kali dan yang utama adalah harus ada alasan
medis yang sah untuk menyatakan ketidakmampuan seorang pekerja melakukan pekerjaan,
yaitu sakit di mana pekerja tidak dapat lagi, sebagai akibat dari sakit tersebut, melakukan tugas
di mana dia dipekerjakan. Ketidakhadiran sementara dari pekerjaan karena sakit bukanlah
alasan yang sah untuk PHK. Pengusaha harus terlebih dahulu menilai apa penyakit yang diderita
pekerjanya tersebut, kemudian menilai seberapa serius penyakit tersebut, dan dia harus membuat
prognosis. Semua hal ini harus dilakukan dengan berkonsultasi dengan pekerja dan jika
dimungkinkan juga dengan dokter. Jika pengusaha yakin bahwa pekerja tidak mampu untuk
melakukan pekerjaan yang seharusnya dia kerjakan dan tidak ada alternatif pekerjaan lain
untuknya, pengusaha diizinkan secara sah memecat pekerja karena ketidakmampuan dalam
melaksanakan pekerjaan. Hal ini menjadi alasan yang sah untuk pemecatan.”
Dapat dilihat bahwa terkait dengan alasan ketidakhadiran sementara dari pekerjaan karena alasan
kesehatan, Pengadilan merujuk pada Pasal 6 konvensi ILO No. 158, yang menetapkan bahwa “ketidakhadiran
sementara dari pekerjaan karena penyakit atau terluka bukan merupakan alasan yang sah untuk PHK.”
Kondisi yang lainnya untuk keabsahan PHK yang berasal dari kasus Hukum Afrika Selatan dan kemudian
dimasukkan dalam Hukum Perburuhan Afrika Selatan.
Sehubungan dengan pemberitahuan, Pengadilan menganggap bahwa pasal-pasal dalam Hukum
Perburuhan Botswana yang terkait dengan pemecatan karena kesalahan tidak bisa diberlakukan atas
alasan sakit. Pengadilan menganggap bahwa pekerja yang sakit tidaklah bersalah karena kesalahan berat.
Pengadilan merujuk pada keputusan sebelumnya di mana ditetapkan bahwa pengusaha harus memiliki
alasan yang sah bila gagal memberikan pemberitahuan PHK. Pengadilan merujuk pada Konvensi ILO No.
158 yang mendukung pengamatannya:
116
Pasal 4 Konvensi No. 158: “Hubungan kerja seorang pekerja tidak boleh diakhiri kecuali terdapat alasan yang sah untuk PHK tersebut
berhubungan dengan kapasitas atau perilaku pekerja atau berdasarkan persyaratan operasional perusahaan, atau layanan tersebut.”
117
Pasal 6 Konvensi No. 158: “1. Ketidakhadiran sementara dari bekerja karena sakit atau terluka bukan merupakan alasan yang sah untuk
mengakhiri hubungan kerja. 2. Denisi apa yang merupakan ketidakhadiran sementara dari bekerja, sejauh surat keterangan medis diperlukan
dan kemungkinan pembatasan penerapan Ayat 1 dari Pasal ini harus ditetapkan sesuai dengan metode pelakasanaan yang dirujuk dalam
Pasal 1 Konvensi.”
64
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
“Konrmasi atas kesimpulan mengenai alasan yang sah dapat ditemukan dalam Pasal 4 Konvensi
ILO 158, yang dirujuk di atas. Dan konrmasi mengenai kesimpulan mengenai pemberitahuan
dapat ditemukan dalam Pasal 11 Konvensi ILO 158118(…).”
Merujuk pada Konvensi No. 158 Pengadilan Industrial Botswana menetapkan prinsip-prinsip yang
berlaku untuk PHK karena alasan sakit dan mengenai justikasi PHK pada satu sisi dan di sisi lain hak
pekerja atas pemberitahuan. Pengadilan menganggap dalam kasus ini, meskipun PHK dapat dibenarkan,
penolakan untuk memberitahukan kepada pekerja adalah illegal. Pengusaha diperintahkan untuk membayar
kompensasi kepada pekerja.
32.
Pengadilan Banding, Attorney-General vs Dow, 3 Juli 1992, BLR 119 (CA)
Subyek: prinsip umum kesetaraan
Jenis penggunaan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam
menafsirkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi119
Hukum tidak memberikan kewarganegaraan Botswana bagi anak-anak dari pernikahan antara
perempuan Botswana dan suami orang asing/ Tindakan tidak konstitusional/ Ketentuan konstitusional
tidak secara tegas melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin/ Penafsiran dari Konstitusi
sehubungan dengan hukum internasional
Seorang perempuan Botswana yang menikah dengan warga negara Amerika meminta Pengadilan untuk
menyatakan bahwa Bagian 4 Undang-undang Kewarganegaraan Botswana tidak konstitusional. Bagian ini
telah digunakan sebagai dasar untuk menolak pemberian kewarganegaraan Botswana kepada anak-anak
yang lahir dari pernikahan perempuan Botswana dengan suami orang asing. Sebaliknya, jika sang ayah
warga negara Botswana, anak-anaknya akan diakui sebagai warga negara Botswana. Pemohon menduga
bahwa ketentuan ini mengakibatkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin terhadap dua anaknya, yang
lahir di Botswana tetapi menjadi ”orang asing di tanah sendiri”.
Tuntutan hukum dalam kasus ini adalah apakah Konstitusi Botswana dapat diartikan memperbolehkan
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Sangat jelas ada kontradiksi yang sangat nyata antara Bagian 3
dan Bagian 15 dalam Konstitusi mengenai hal ini. Pada Bagian 3 terdapat pengakuan akan salah satu hak
dasar, yakni hak tanpa diskriminasi atas dasar jenis kelamin, sementara itu Bagian 15 yang secara khusus
mengatur soal diskriminasi malah tidak memasukkan jenis kelamin dalam daftar alasan diskriminasi yang
secara tegas dilarang.
Pengadilan pada tingkat pertama menyatakan bahwa Konstitusi tidak bisa diartikan telah
memperbolehkan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, dan menyatakan bahwa bagian yang menyangkut
hal itu dalam UU Kewarganegaraan dinyatakan tidak konstitusional. Untuk menyokong argumennya,
pengadilan mengindikasikan bahwa penafsiran yang utama dari Konstitusi sesuai dengan kewajiban
internasional negara mengenai non-diskriminasi.
118
Pasal 11 Konvensi No. 158: “Seorang pekerja yang hubungan kerjanya diakhiri berhak atas pemberitahuan dalam jangka waktu yang layak
atau kompensasi sebagai penggantinya, kecuali bila dia telah melakukan kesalahan berat, sehingga tidak layak meminta perusahaan
meneruskan hubungan kerja selama masa pemberitahuan.”
119
Charter Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat, 1981; Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan, 1979.
65
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Keputusan tersebut dibanding oleh Menteri Kehakiman. Ia menyatakan bahwa larangan jenis kelamin
sebagai alasan diskriminasi telah dihapuskan dari Bagian 15 oleh Majelis Rakyat untuk mereeksikan sifat
patrilineal dari budaya tradisional Botswana120.
Pada sidang banding, dan untuk menentukan apakah Konstitusi memang memperbolehkan diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin, Pengadilan Banding pertama-tama melihat logika internal dari naskah Konstitusi
dan prinsip-prinsip umum penafsiran untuk dipertimbangkan dalam menyelesaikan kontradiksi antara
bagian 3 dan 15 dari naskah tersebut. Pengadilan mengemukakan tiga argumen yang membuat hakim
memutuskan bahwa Undang-undang Kewarganegaraan tidak konstitusional.
Pertama, Pengadilan menunjukkan bahwa dari daftar hak-hak dasar, Bagian 3 mengakui hak atas
kesetaraan perlindungan di hadapan Hukum. Seperti halnya hak-hak lain yang disebutkan dalam ketentuan
tersebut, kesetaraan perlindungan di hadapan Hukum harus dijamin tanpa diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin. Pengadilan Banding oleh karenanya menyimpulkan bahwa Bagian 3 adalah larangan umum atas
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.
Kedua, Pengadilan menyatakan bahwa Bagian 3 adalah prinsip umum yang dirancang untuk menjelaskan
tujuan penafsiran dari seluruh ketentuan dalam Konstitusi bagian hak-hak dasar individu. Oleh karenanya,
Bagian 15 tidak bisa dibaca secara terpisah dari bagian 3.
Terakhir, Pengadilan mencatat bahwa Bagian 15 yang membatasi perlindungan yang diberikan pada
Bagian 3 vis-à-vis perbedaan-perbedaan perlakuan berdasarkan jenis kelamin, pembatasannya harus jelas
dan tidak ambigu. Dalam kasus ini tidaklah demikian, karena Bagian 15 tidak secara tegas mengeluarkan
diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dari cakupannya.
Untuk memperkuat penafsiran Konstitusi, Pengadilan kemudian membuat rujukan pada kewajiban
internasional Botswana tentang non-diskriminasi. Pengadilan mencatat bahwa Botswana telah meratikasi
Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat, serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Pengadilan mengesahkan perlunya mengambil instrumen
internasional untuk dipertimbangkan dalam menafsirkan Konstitusi, dan memutuskan untuk membatalkan
Bagian 4 UU Kewarganegaraan:
“(...) terdapat kewajiban yang jelas dari negara ini seperti halnya negara-negara Afrika yang lain
sebagai penandatangan Piagam untuk memastikan penghapusan setiap diskriminasi terhadap
warganegara perempuan. Dalam pandangan saya cukup jelas tugas pengadilan ini ketika kita
menghadapi tugas yang sulit untuk menafsirkan ketentuan Konstitusi, kita harus mengingat
kewajiban internasional. Jika ketentuan-ketentuan Konstitusional bisa ditafsirkan untuk
memastikan dipenuhinya kewajiban internasional oleh negara, maka konstitusi harus ditafsirkan.
Atau mungkin sebaliknya, jika kita tahu kewajiban internasional negara di bawah ketentuan yang
membuat perjanjian internasional, konvensi, perjanjian atau protokol, negara secara hati-hati dan
dalam bahasa yang jelas harus mengundangkan hukum dari perjanjian internasional, konvensi,
perjanjian atau protokol tersebut. Namun dalam kasus ini, ketentuan yang jelas dari Bagian 3
Konstitusi sesuai dengan kewajiban internasional negara, sedangkan menafsirkan Bagian 15 dalam
cara yang dimohonkan oleh termohon akan menyebabkan kegagalan negara untuk menyesuaikan
diri dengan kewajiban internasionalnya menurut ketentuan internasional yang dibuat oleh PBB
dan Organisasi Negara-negara Afrika (OAU). Dalam hal ini, saya terikat untuk menerima posisi
bahwa negara ini tidak akan mengundangkan hukum yang bertentangan dengan kewajiban
internasionalnya menurut ketentuan tersebut. Oleh karena itu, Pengadilan harus menafsirkan
perundang-undangan domestik dalam cara yang cocok dengan tanggung ajawab negara untuk
tidak melanggar hukum internasional(...).
120
Bagian 15 Konstitusi diubah pada tahun 2004 untuk memasukkan alasan pelarangan berdasarkan jenis kelamin.
66
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mengingat hal-hal tersebut diatas, maka Konstitusi harus dilaksanakan dengan tidak memperbolehkan
diskriminasi atas dasar jenis kelamin yang merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional. Oleh
karena itu, Bagian 4 UU Kewarganegaraan harus dianggap melampaui kekuatan hukum (ultra vires)
Konstitusi dan karena itu dinyatakan batal dan tidak sah.”
67
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Brazil
Konstitusi Brazil
Pasal 5
(1) Norma-norma yang mendenisikan hak-hak dan jaminan-jaminan mendasar harus dengan segera
berlaku.
(2) Hak-hak dan jaminan-jaminan yang secara tegas dimuat dalam Konstitusi ini tidak mengecualikan
hak-hak lain yang dibatasi dalam sistem dan prinsip yang diadopsi oleh teks di sini atau dibatasi
oleh perjanjian-perjanjian internasional di mana Republik Federal Brazil menjadi penandatangan.
(3) Perjanjian-perjanjian dan konvensi-konvensi internasional mengenai hak-hak individual yang
disahkan oleh Kongres dan DPR, dalam dua putaran sidang, dan oleh tiga perlima jumlah suara
anggota Kongres dan DPR, akan setara dengan perubahan Konstitusional
33.
Pengadilan Perburuhan Regional Wilayah Ketiga, Rogério Ferreira Gonçalves (1)
Infocoop Servíços – Cooperativa de Profissionais de Prestação de Servíços Ltda (2) Caixa
Económica Federal CEF (Responsável Subsidiária), 30 September 2003, 00652-2003017-03-00-0RO
Subyek: klasikasi hubungan kerja
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat putusan berdasarkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi121
Seorang pekerja melakukan kegiatannya dalam kerangka koperasi yang memberikan layanan untuk
pemerintah / Tuntutan atas adanya hubungan kerja/ Keberadaan hubungan subordinasi/ Penggunaan
Rekomendasi ILO untuk mensahkan posisi Pengadilan
Seorang operator kcomputer bergabung dengan koperasi yang menyediakan layanan bagi sebuah
lembaga pemerintah. Dalam kerangka kerja sama tersebut, dia bekerja untuk lembaga pemerintah, namun
sebagai anggota koperasi, ia digaji oleh koperasi.
Kolaborasi dengan koperasi berakhir setelah 20 bulan. Pekerja merujuk kasusnya kepada Pengadilan
agar bisa memperoleh pengakuan bahwa faktanya dia terhubung dengan koperasi karena adanya hubungan
kerja yang tergolong legal, yang mengharuskan adanya pemberian manfaat dan kompensasi dalam jumlah
tertentu.
Pengadilan pada tingkat pertama memenangkan operator dan mengklasikasi ulang hubungan
kontraktual yang menghubungkan pekerja tersebut koperasi. Koperasi mengajukan banding atas putusan
tersebut. Koperasi berargumen bahwa operator adalah anggota penuh dari koperasi, sehingga ia menerima
manfaat atas bagiannya dalam organisasi dan menekankan juga bahwa hubungan kontraktual yang mengikat
koperasi dan badan pemerintah benar-benar bersifat perdata, dan tidak ada bukti adanya hubungan kerja
yang bergantung dengan operator.
121
Rekomendasi ILO No. 193 mengenai Koperasi, 2002.
68
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Sebelum memeriksa fakta-fakta dalam perselisihan, Pengadilan Perburuhan Regional menganggap
pasal dalam legislasi perburuhan Brazil mengindikasikan bahwa anggota koperasi tidak terikat hubungan
kerja dengan koperasi. Pengadilan pada tingkat kedua menekankan bahwa aturan memiliki satu dugaan
sederhana dari ketiadaan hubungan kerja yang saling bergantung dan tidak bisa mencegah klasikasi ulang
dari ikatan kontraktual yang menghubungkan anggota dengan koperasi, khususnya dalam hal pemalsuan
yang bertujuan untuk menghindari penerapan legislasi perburuhan.
Untuk memperkuat penasiran atas legislasi perburuhan di atas, Pengadilan Perburuhan Regional
merujuk pada Rekomendasi ILO No. 193 tentang Promosi Koperasi. Mengutip Ayat 8 (b) instrumen tersebut,122
Pengadilan menyatakan: “sehingga, ketika mempromosikan pembentukan koperasi, ILO telah menunjukkan
kekhawatirannya bahwa instrumen hukum tidak digunakan untuk melanggar hak-hak pekerja. Dalam tiap
kasus, perlu untuk memeriksa cara di mana ketentuan layanan terjadi untuk menentukan kualikasi hukum
yang benar.”
Pengadilan Banding menerapkan prinsip di atas dalam kasus ini dan memutuskan bahwa remunerasi
bagi operator komputer sama sekali tidak berbeda dengan yang biasanya dibayarkan kepada pekerja, dan
tidak ada pekerjaan yang dilakukan oleh operator dalam organisasi yang membuatnya mungkin dianggap
sebagai pekerja mandiri.
Atas dasar tersebut, hakim pada Pengadilan Perburuhan Regional memutuskan: “Sehingga,
mendasarkan argumen saya pada prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, dan juga rekomendasi
dari ILO dan mengadopsi posisi yang sama dengan keputusan pada pengadilan tingkat pertama, saya
mencapai kesimpulan atas keberadaan hubungan kerja, kondisi-kondisi dari Pasal 3 hukum perburuhan
yang terkonsolidasi, telah terpenuhi.”
34.
Pengadilan Perburuhan Regional wilayah Ketiga, Lacir Vicente Nunes vs Sandoval
Alves Da Rocha and others, 7 Mei 2003, TRT-RO-3951/03
Subyek: hari libur yang dibayar
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional; rujukan
pada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi123
Pemutusan hubungan kerja sebelum pekerja mengambil hari libur yang dibayar/ Permintaan
kompensasi/ Ketentuan yang berbeda antara hukum domestik dan konvensi internasional yang telah
diratikasi/ Penerapan ketentuan yang lebih menguntungkan pekerja
Setelah dipecat sesudah bekerja delapan bulan, seorang pekerja rumah tangga menuntut pemberian
kompensasi atas hari libur dibayar yang belum diambil selama masa hubungan kerja. Pengadilan pada
tingkat pertama menolak tuntutan tersebut, menyatakan bahwa pekerjaan rumah tangga tidak dilindungi
oleh ketentuan mengenai kompensasi untuk hari libur dibayar. Pekerja mengajukan banding ke pengadilan
perburuhan regional.
Pengadilan perburuhan regional pertama-tama melihat penerapan aturan hukum perburuhan yang
umum mengenai hari libur dibayar bagi pekerja rumah tangga. Pengadilan awalnya merujuk pada Konstitusi
122
Ayat 8 (b) Rekomendasi No. 193: “Memastikan bahwa koperasi tidak menetapkan untuk, atau menggunakan, ketidakpatuhan pada peraturan
perburuhan atau menggunakan untuk menciptakan hubungan kerja yang tidak jelas, dan menghapuskan koperasi palsu (pseudo) yang
melanggar hak-hak pekerja, dengan memastikan bahwa legislasi perburuhan berlaku di semua perusahaan.”
123
Konvensi ILO No. 132 tentang Hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970.
69
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Brazil pasal 7 yang telah memiliki efek memperluas ketentuan “Hukum perburuhan yang terkonsolidasi”
mengenai hari libur dibayar untuk pekerja rumah tangga. Untuk memperkuat keputusannya, Pengadilan
merujuk pada Konvensi ILO No. 132, yang diratikasi oleh Brazil pada tahun 1999, yang dalam teksnya
hanya mengecualikan pelaut dari lingkup penerapannya.124
Namun ada dua unsur yang dapat menghambat pemohon memperoleh kompensasi untuk hari libur
dibayar. Pertama, Pasal 130 “Hukum perburuhan yang terkonsolidasi” mengatur periode dua belas bulan
bekerja untuk memperoleh hak hari libur yang dibayar. Kedua, Pasal 147 dari naskah yang sama mengatur
bahwa orang yang kontrak kerjanya berakhir sebelum 12 bulan memiliki hak kompensasi hari libur dibayar,
kecuali pengusaha memutuskan kontrak tersebut “karena alasan yang sah”. Dalam kasus ini, pekerja
dipecat tanpa menolak keabsahan pemutusan kontrak tersebut.
Kendati demikian, Pengadilan mengakui isi Konvensi ILO No. 132 dan menyatakan bahwa konik harus
diselesaikan atas dasar prinsip “aturan yang paling menguntungkan” bagi pekerja. Dalam hal ini, pengadilan
mengatakan:
“Harus dicatat bahwa prinsip aturan yang paling menguntungkan berlaku dalam Hukum Perburuhan.
Adalah keputusan hakim untuk menerapkan aturan yang paling menguntungkan pekerja. Dalam
hal ini, Pasal 11 bersama Pasal 5 dari Konvensi tersebut diatas, menetapkan periode untuk
mendapatkan hari libur dibayar, dikurangi enam bulan, apapun alasan pemutusan kontrak.”
Melihat penerapan “prinsip aturan yang paling menguntungkan”, pengadilan perburuhan regional wilayah
ketiga mendasarkan keputusannya pada Konvensi ILO No. 132, mengakui hak pemohon atas kompensasi
untuk hari libur dibayar, jumlah yang dihitung sesuai dengan ketentuan dalam hukum domestik.
35.
Pengadilan Tinggi Perburuhan, Sub-bagian 1 spesialis perselisihan individual, São
PauloTransporte S.A. vs Gilmar Ramos Da Silva, 5 Maret 2003
Subyek: martabat manusia; prinsip umum kesetaraan; perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan
dan jabatan
Peranan hukum internasional: menetapkan prinsip yurisprudensl berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi;125 instrumeninstrumen yang tidak tunduk pada ratikasi126
Diskriminasi/ HIV-AIDS/ Konstitusi/ Martabat individu/ Penetapan prinsip yurisprudensi berdasarkan
hukum internasional
Perusahaan São Paulo Transporte S.A., mengetahui ada seorang pekerja yang terkena HIV/AIDS, dan
memecat orang tersebut, dengan alasan teknis. Pekerja tersebut kemudian mengajukan tuntutan hukum,
menuntut dipekerjakan kembali dan pembayaran ganti rugi oleh perusahaan.
Pengadilan pada tingkat pertama menerima tuntutan pemohon, dan setelah serangkaian banding,
kasus ini masuk ke PengadilanTinggi Perburuhan.
124
Pasal 2(1) Konvensi No. 132: “Konvensi ini berlaku untuk semua orang yang dipekerjakan, dengan pengecualian untuk pelaut.”
125
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958; Konvensi ILO No. 117 tentang Kebijakan Sosial (Tujuan dan
Standar Dasar), 1962.
126
Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, 1998.
70
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Perusahaan menolak gugatan pekerja, berargumen bahwa sistem hukum Brazil tidak mengandung
ketentuan hukum yang mengakui hak pekerja atas stabilitas, dan ketentuan dalam Konstitusi Federal
mengenai aturan hukum demokratik atas hukum dan martabat manusia bersifat terlalu umum dalam
penyusunannya, untuk menyokong hak dipekerjakan kembali, khususnya bila tidak ada kecelakaan di tempat
kerja atau penyakit akibat kerja yang terjadi. Perusahaan berargumen bahwa pekerja yang terkena penyakit
lain dengan dampak sosial yang sama seperti HIV/AIDS tidak mendapatkan hak atas jaminan kerja.
Pengadilan menganggap bahwa perbuatan perusahaan yang tetap memecat pekerjanya meskipun
mengetahui penyakitnya adalah bertentangan dengan upaya menjunjung tinggi martabat manusia –yang
merupakan prinsip mendasar di Republik Federal Brazil, dan juga ada dalam Konstitusi Federal tahun
1988.
Sebagai tambahan, Pengadilan menyadari bahwa ini bukanlah kasus mengenai keseriusan penyakit yang
bisa membuat pekerja tetap bekerja di perusahaan meskipun perilaku tersebut tidak diperbolehkan. Namun
dalam kasus ini, perusahaan yang telah diinformasikan tentang penyakit pekerja, kemudian memecatnya
atas dasar alasan teknis, yang gagal dibuktikan dalam persidangan, yang membawa pada kesimpulan bahwa
perusahaan tidak memiliki alasan untuk memecat pemohon selain karena alasan penyakit tersebut.
Pengadilan berargumen bahwa sistem hukum Brazil memiliki aturan hukum yang memadai yang
melarang perilaku diskriminasi. Aturan hukum ini tidak hanya terdapat dalam Konstitusi Federal, tetapi juga
dalam Konvensi No. 111, dan 117, serta dalam Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar
di Tempat kerja, 1998. Oleh karenanya, Pengadilan menilai, dengan perhatian global kini tercurah pada
upaya penghapusan praktik-praktik diskriminasi, tidaklah mungkin bagi hakim untuk menolak perlindungan
pengadilan kepada pekerja dengan HIV/AIDS, bahkan jika pun ada kevakuman perundang-undangan.
Dalam menjawab argumen perusahaan mengenai kekosongan ketentuan Hukum untuk mempekerjakan
kembali pekerja, Pengadilan menganggap bahwa hak untuk dipekerjakan kembali timbul dari ketidaksahan
tindakan diskriminatif. Menurut Hukum Perdata, tidak ada tindakan yang tidak sah yang memiliki efek
Hukum.
Sebagai hasilnya, Pengadilan menganggap pemecatan tersebut sewenang-wenang dan diskriminatif.
Karena itu, Pengadilan mengabulkan permohonan pemohon dan memerintahkan dia dipekerjakan kembali
dan mendapatkan pembayaran ganti kerugian dari perusahaan.
71
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Bulgaria
Konstitusi Republik Bulgaria
Pasal 5, Ayat 4
Setiap instrumen internasional yang telah diratikasi dengan prosedur secara konstitusional,
diundangkan dan berlaku efektif dalam Republik Bulgaria, harus dianggap sebagai bagian dari aturan
hukum domestik. Berbagai instrumen itu akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari legislasi
domestik kecuali ditetapkan lain.
36. Mahkamah Konstitusi Bulgaria, 27 Juli 1992, Keputusan 8, Kasus Konstitusial No. 7
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi127
Larangan mantan pemimpin partai komunis menduduki jabatan eksekutif di bank/ Tindakan di hadapan
Mahkamah Konstitusi atas pelanggaran Konstitusi/ Supremasi hukum internasional terhadap hukum
nasional
UU baru, Law on Banks and Credit (LBC),128 melarang orang yang sebelumnya memegang jabatan
eksekutif dalam organ-organ partai komunis untuk memegang jabatan yang serupa dalam bank-bank.
Anggota Parlemen memasukkan proses hukum ke Mahkamah Konstitusi meminta peraturan tersebut
dinyatakan tidak konstitusional dan tidak sesuai dengan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik dan juga dengan Konvensi ILO No. 111.
Mahkamah menegaskan status dari dua instrumen internasional tersebut di atas dalam sistem hukum
domestik:
“Sesuai dengan Pasal 5(4) Konstitusi, Perjanjian Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik,
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Konvensi ILO No. 111
tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, serta Konvensi Vienna tentang Hukum
Perjanjian Internasional membentuk bagian yang tidak terpisahkan dari hukum nasional kita setelah
diratikasi, diundangkan, dan diumumkan. Oleh karenanya mereka juga memiliki supremasi atas
undang-undang kita.”
Setelah menegaskan supremasi dari standar internasional di atas hukum domestik, Mahkamah
Konstitusi Bulgaria menguji ketentuan undang-undang yang baru dengan instrumen internasional dan
menyimpulkan bahwa:
127
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966;
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958.
128
UU tentang Bank dan Kredit (Law on Banks and Credit), diundangkan dalam Lembaran Negara, terbit No. 25/1992.
72
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
“(…) Ini adalah kasus pembatasan hak untuk memegang jabatan eksekutif di bank-bank milik
pemerintah, yang merupakan diskriminasi mengenai akses terhadap jabatan tertentu sesuai
Pasal 1 Konvensi ILO No. 111. UU jug atidakkonsisten dengan Pasal 2 (2) dan Pasal 6 (1) Pakta
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dan dengan Pasal 2 dan 25 Pakta
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Berdasarkan hal diatas, teks dari Ayat 9 ketentuan Provisional dan Ketentuan LBC tidak konsisten
dengan Pasal 6 (2) Konstitusi129 dan dengan konvensi internasional yang disebutkan di atas.
Konvensi-konvensi ini dianggap sebagai satu kesatuan dengan hukum nasional dan memiliki
supremasi di atas standar nasional yang tidak selaras dengannya. Konsekuensinya, berbagai
ketentuan di atas seharusnya mengikuti ketentuan Konstitusi dan supremasi standar internasional
di atas Hukum nasional yang harus diakui bahwa (…) [Pasal yang salah dari UU yang baru] diadopsi
dengan melanggar Pasal 6 (2) Konstitusi dan konvensi-konvensi internasional yang disebutkan di
atas.”
Atas dasar ini, Mahkamah Konstitusi Bulgaria menetapkan bahwa ketentuan legislatif yang melarang
akses seseorang yang sebelumnya memegang jabatan eksekutif dalam organ-organ Partai Komunis adalah
tidak konstitusional dan tidak konsisten dengan konvensi-konvensi internasional tersebut di atas.
129
Pasal 6 (2) Konstitusi Bulgaria: “Semua warga negara memiliki kesetaraan di hadapan hukum. Tidak boleh ada pengutamaan atau pembatasan
atas hak-hak berdasarkan ras, warga negara, etnis, identitias diri, jenis kelamin, asal muasal, agama, pendidikan, opini, aliasi politik, status
personal atau sosial, atau status properti.”
73
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Burkina Faso
Konstitusi Burkina Faso
Pasal 151
Perjanjian atau kesepakatan internasional yang telah diratikasi secara sah atau diadopsi, setelah
diumumkan, akan memiliki wewenang yang lebih tinggi daripada undang-undang. Dengan syarat
kesepakatan atau perjanjian internasional tersebut telah diberlakukan oleh negara lain.
37.
Pengadilan Perburuhan Koudougou, J.B. K. Sankara vs Orphelinat Pèdg Wendé,
5 Februari 2009, No. 003
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi130
Perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan/ Pemecatan/ Pembedaan tidak
berdasarkan kualikasi yang khusus/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat
keputusan berdasarkan hukum domestik
Seorang guru bekerja di panti asuhan telah dipecat atas dasar dia tidak hadir ke gereja secara berkala,
dan kondisinya sebagai orang yang tidak menikah namun memiliki anak tidak sejalan dengan nilai-nilai yang
dijunjung oleh tempatnya kerjanya. Yakin bahwa pemecatannya melanggar hukum dan bersifat diskriminatif,
dia membawa kasus ini ke Pengadilan Perburuhan. Panti asuhan tetap beranggapan bahwa guru tersebut,
ayah dari empat orang anak yang tidak menikah, tidak berperilaku seperti yang seharusnya dilakukan
orang Kristen, yang amat diperlukan bila dia membantu anak-anak yatim piatu. Namun, pengadilan tidak
menerima argumen ini.
Setelah merujuk pada Pasal 4 Hukum Perburuhan yang melarang diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan, dan Pasal 71, Ayat 2 dari UU yang sama, Pengadilan menyatakan bahwa pemecatan berdasarkan
diskriminasi adalah melanggar Hukum. Pengadilan juga merujuk pada Konvensi ILO No. 111. Dan
menegaskan bahwa:
“Meskipun hak tersebut benar bahwa, sesuai dengan Ayat 2 Pasal pertama Konvensi ILO No. 111,
agama bisa dikeluarkan dari persyaratan dalam itikad baik untuk pelaksanaan suatu pekerjaan
atau jabatan. Dalam kasus ini, jabatan sebagai guru sekolah dasar di Panti Asuhan tidak
membutuhkan pengetahuan khusus tentang agama, karena pengajaran Injil tidak masuk dalam
bagian kurikulum, ataupun dalam agenda yang dilampirkan dalam dokumen, ataupun disebutkan
dalam Konstitusi yayasan”.
130
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjan dan Jabatan), 1958.
74
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Untuk memperkuat keputusannya, pengadilan merujuk pada Ayat 2 Pasal pertama Konvensi ILO No.
111, yang mengecualikan dari denisi diskriminasi pembedaan, pengecualian atau keutamaan berdasarkan
kualikasi yang dibutuhkan untuk suatu pekerjaan. Merujuk pada teks ini, Mahkamah mencoba menetapkan
apakah kualikasi tertentu dalam agama diperlukan untuk guru yang dipekerjakan di Panti Asuhan. Dan
ditemukan bahwa hal itu tidak diperlukan.
Dengan mendasarkan pemikirannya pada legislasi nasional yang melarang diskriminasi dalam
pekerjaan dan jabatan dan ketentuan khusus dalam Pasal 1 & 2 Konvensi ILO No. 111, Pengadilan
Perburuhan menetapkan bahwa Panti Asuhan, dengan menerapkan perlakuan yang mengutamakan pemeluk
agama Kristen Protestan milik gereja tertentu ketika mempekerjakan orang, adalah melanggar kesetaraan
kesempatan dan perlakuan. Oleh karenanya, Pengadilan menyatakan bahwa pemecatan pemohon tidak
sah, karena berdasarkan diskriminasi.
38.
Pengadilan Banding Bobo – Dioulasso, Social Chamber, Messrs. Karama and
Bakouan vs Société Industrielle du Faso (SIFA), 5 Juli 2006, No. 035
Subyek: hak mogok
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;131 kasus hukum
internasional132
Pemogokan umum/ Legalitas pemogokan/ Rujukan kepada Konvensi ILO No. 87/ Penafsiran ketentuan
hukum nasional sehubungan dengan intisari keputusan Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat
Atas inisiatif beberapa serikat pekerja di Burkina Faso, pemberitahuan rencana pemogokan tingkat
nasional selama 48 jam oleh pekerja di sektor publik dan swasta disampaikan kepada Kepala Negara
dan Direktur Jenderal Hubungan Kerja, Perburuhan dan Jaminan Sosial. Meskipun perusahaan telah
diberitahukan, dua pekerja sektor swasta dipecat karena mengambil bagian dalam pemogokan ini.
Ketika Pengadilan Perburuhan Bobo-Dioulasso menetapkan bahwa pemecatan tersebut sah, pekerja
tersebut membawa kasusnya ke Pengadilan Banding, dengan berargumen bahwa pemogokon sektor swasta
adalah pemogokan solidaritas, disahkan oleh pemogokan di sektor swasta yang mereka dukung. Perusahaan
mengklaim sebaliknya bahwa ketentuan dalam Hukum Perburuhan melarang setiap pemogokan yang bukan
muncul dari perusahaan itu sendiri dan bahwa dalam kasus ini, pemogokan dimotivasi oleh faktor-faktor
eksternal, yang menjadikannya tidak sah.
Pengadilan Banding, mencatat bahwa pemogokan tersebut adalah pemogokan nasional yang
melibatkan seluruh sektor dan mengenai sejumlah keluhan yang terkait dengan upah, pajak dan hak-hak
pekerja, merujuk pada Konvensi ILO No. 87. Menjelaskan dasar alasannya, Pengadilan menunjukkan pada
satu sisi bahwa:
“Prinsip kecocokan penafsiran mengasumsikan bahwa pembuat undang-undang tidak
melanggar atau berniat untuk melanggar semangat perjanjian-perjanjian internasional yang telah
diratikasi”
131
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi, 1948.
132
Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat.
75
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Dan disisi lain:
“bahwa hakim dapat merujuk pada instrumen internasionaldan komentar ahli ketika terjadi
kontradiksi, kekurangan, kesenjangan atau kemunduran sehubungan dengan kemajuan yang
diadvokasi perjanjian-perjanjian internasional”.
Menerapkan prinsip-prinsip ini, Pengadilan Banding menganggap bahwa pemogokan, yang merupakan
pemogokan umum berdasarkan kepentingan profesional dan ekonomi bertujuan untuk mencari penyelesaian
terhadap isu-isu kebijakan sosial, adalah sah dan tidak melawan Hukum sesuai dengan pernyataan dari Komite
Kebebasan Berserikat dari badan Pimpinan ILO sebagaimana dinyatakan dalam Intisari Keputusan.133
Pengadilan kemudian memutuskan bahwa, meskipun pembuat undang-undang nasional tidak secara
jelas mengatur mekanisme untuk memulai pemogokan dalam kasus ini, pemogokan yang dimulai dalam
sektor swasta mengambil keabsahannya dari pemogokan yang dimulai di sektor publik sesuai dengan hukum
nasional. Untuk mendukung analisa ini, Pengadilan merujuk pada pernyataan Komite Kebebasan Berserikat
Badan Pimpinan ILO,134 yang menunjukkan bahwa dalam kasus ini tidak ada pengadilan atau lembaga
pemerintah yang independen (pihak yang berkepentingan dalam pemogokan) telah dibanding untuk menilai
apakah pemogokan tersebut sah atau tidak.
Menafsirkan ketentuan-ketentuan hukum nasional mengenai pemogokan dengan dipandu Konvensi ILO
No. 87 dan Intisari Keputusan Komite Kebebasan Berserikat, Pengadilan Banding kemudian menetapkan
bahwa pemogokan tersebut sah menurut hukum dan menyatakan bahwa pemecatan terhadap para
pemohon telah melawan hukum.
39.
Pengadilan Perburuhan, Zongo and others vs owner of the Bataille du Rail Mobil
garage, 17 Juni 2003, No. 090
Subyek: pemecatan; upah minimum
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik; penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi135
PHK yang tidak sah/ Kegagalan untuk mematuhi upah minimum yang telah ditetapkan/ Rujukan kepada
hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik/ Penggunaan hukum
internasional sebagai panduan untuk menafsirkan hukum domestik
Tiga pemohon dipekerjakan oleh termohon sebagai penjaga pompa bensin. Pada tanggal 30 April
2001, termohon memberitahukan mereka, melalui catatan individual, bahwa kontrak kerja mereka diakhiri,
tanpa penjelasan atau pemberitahuan sebelumnya. Para pemohon menganggap bahwa PHK tersebut tidak
sah, dan meminta Pengawas Perburuhan untuk membantu penyelesaiannya. Namun upaya tersebut tidak
berhasil, dan mereka membawa kasusnya ke Pengadilan Perburuhan.
133
ILO, Kebebasan Berserikat, Intisari Keputusan dan Prinsip Komite Kebebasan Badan Pimpinan ILO, edisi revisi keempat, (Geneva, 1996),
para. 494. Dalam versi terbaru dari intisari tersebut (edisi revisi kelima tahun 2006), lihat para. 543.
134
Op. cit., para. 522 ff. Dalam versi terbaru dari intisari tersebut (edisi revisi kelima tahun 2006), lihat para.. 628 ff.
135
Konvensi ILO No. 26 tentang Mekanisme Penetapan Upah Minimum, 1928; Konvensi ILO No. 131 tentang penetapan Upah Minimum, 1970.
76
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Setelah memutuskan bahwa PHK tidak sah, Pengadilan melihat pada berbagai macam tuntutan yang
berbeda-beda dari para pemohon, termasuk hak untuk mendapatkan upah yang belum dibayar karena tidak
dipatuhinya upah minimum yang telah ditetapkan untuk jenis pekerjaan yang mereka lakukan. Pengadilan
melihat bahwa upah yang dibayarkan kepada para pemohon di bawah upah minimum yang ditetapkan
oleh keputusan Komite Gabungan Interprofesional tertanggal 12 Maret 1997 dan 24 Mei1999. Pengadilan
menyimpulkan bahwa Pasal 20 (5) UU Perburuhan telah dilanggar. Pasal tersebut menyatakan: “Pengusaha
harus membayar upah dan tunjangan yang ditetapkan dalam peraturan, perjanjian, dan kontrak.”
Selanjutnya, untuk mengkonrmasi pemahamannya atas Pasal 20 (5) dan mengingat sifat wajib dari
upah minimum, Pengadilan merujuk pada Konvensi ILO No. 26 dan 131 tentang cara-cara menetapkan
upah minimum. Burkina Faso telah meratikasi kedua Konvensi teresebut.
Pengadilan mencatat bahwa Pasal 3 (3) Konvensi ILO No. 26 mewajibkan pengusaha dan pekerja
untuk mematuhi tingkat upah minimum yang telah ditetapkan:
“Pasal 3 (3) Konvensi ILO No. 26 tentang mekanisme penetapan upah minimum (…) menetapkan
bahwa tingkat upah minimum yang telah ditetapkan harus mengikat pengusaha dan pekerja
yang bersangkutan; tidak boleh diturunkan oleh mereka, baik melalui perjanjian individual
maupun perjanjian bersama, kecuali dengan persetujuan dari otoritas yang berkompeten.”
Pengadilan juga merujuk pada Pasal 2 (1) Konvensi ILO No. 131, yang menetapkan bahwa “upah
minimum harus berlaku efektif dan tidak boleh dikurangi”.
Terakhir, untuk memastikan para pemohon menerima jumlah yang terhutang kepada mereka,
Pengadilan juga merujuk pada Konvensi ILO No. 26 dan 131:
“[Menimbang] bahwaPasal 4 [Konvensi No. 26] mengatakan (…) bahwa pekerja di mana upah
minimum diberlakukan kepadanya dan mereka telah dibayar dengan upah yang lebih rendah
dari upah minimum, berhak untuk mendapatkan kekurangannya, dan hal ini harus diputuskan
melalui peradilan atau proses hukum lainnya, tunduk pada pembatasan waktu sebagaimana
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan nasional. Juga ditambahkan bahwa Konvensi
No. 131, mengenai penetapan upah minimum, dengan rujukan khusus kepada Negara-negara
berkembang, tahun 1970, yang diratikasi melalui keputusan 74-42 tanggal 4 Maret 1974,
menetapkan dalam Pasal 2 (1) bahwa kegagalan dalam menerapkan upah minimum, maka akan
membuat orang yang bersangkutan bertanggungjawab atas hukuman atau sanksi yang pantas.”
Pengadilan Perburuhan Ouagadougou menyimpulkan bahwa hukum domestik, ditafsirkan sesuai
dengan perjanjian-perjanjian internasional di mana Burkina Faso telah meratikasinya, tidak mengizinkan
secara kontraktual penurunan upah minimum yang telah ditetapkan oleh Komite Gabungan Interprofesional.
Selanjutnnya, ketika upah minimum tidak dipatuhi, korban pelanggaran tersebut memiliki hak untuk meminta
pembayaran kekurangan, dan pengusaha harus membayar hak-hak hasil dari pelanggaran tersebut.
77
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
40.
Pengadilan Perburuhan Ouagadougou, Compaore vs Sitarail, 25 Maret 2003,
No. 037
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; remunerasi yang setara
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memeperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi136
Pemecatan yang mealawan Hukum/ Catatan pekerjaan/ Diskriminasi antara pekerja nasional dan
asing/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum
domestik
Seorang pekerja di perusahaan kereta api Sitarail telah mendapatkan tiga kali penugasan berturutturut dengan hasil gajinya dikurangi secara substansial. Dia menolak penugasan yang ketiga dan kemudian
dipecat. Setelah memutuskan bahwa pemecatan tersebut tidak sah, Pengadilan Perburuhan Ouagadougou
menangani kompensasi yang akan diberikan kepada pekerja. Hakim kemudian memeriksa catatan pekerjaan
pemohon, dan kemudian menyadari bahwa terdapat perbedaan upah antara pekerja berkewarganegaraan
Burkina Faso dengan pekerja asing.
Setelah memastikan bahwa perbedaan perlakuan ini tidak sejalan dengan perjanjian bersama yang
berlaku dalam perusahaan dan dengan legislasi nasional yang melarang diskriminasi, Pengadilan Perburuhan
Ouagadougou merujuk kepada Konvensi ILO Convention No. 111 untuk memperkuat keputusannya:
“menimbang bahwa perusahaan kereta api Sitarail telah salah menilai semangat dari instrumen
tersebut, dengan membuat diskriminasi antara para pekerja dengan dua kewarganegaraan yang
berbeda dan tidak ada aturan yang menetapkan prosedur tersebut, tapi tetap membiarkan hal
itu terjadi. Selanjutnya, menimbang bahwa Konvensi ILO No. 111 meminta negara anggota yang
telah meratikasinya untuk melarang segala bentuk diskriminasi dalam pekerjaan dan pelatihan,
dan menimbang bahwa Burkina Faso dan Pantai Gading terikat oleh Konvensi tersebut, dengan
membuat pekerja dengan keahlian jabatan yang sama untuk menerima perlakuan yang berbeda
di Sitarail adalah telah melanggar semangat dan isi dari Konvensi No. 111.”
Mempertimbangkan bahwa perusahaan Sitarail telah melanggar hukum nasional dan Konvensi ILO
No. 111, Pengadilan Perburuhan Ouagadougou memerintahkan perusahaan untuk membayar perbedaan
dalam remunerasi kepada pekerja yang bersangkutan.
136
Konvensi ILO No.111 tentang Diskriminasi (pekerjaan dan Jabatan), 1958
78
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
41.
Pengadilan Perburuhan Ouagadougou, Savadogo Zonabo vs Grands Moulins du
Burkina, 10 September 2002, No. 140
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; remunerasi yang setara
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi137
Praktik perusahaan dengan menempatkan pekerja yang dipromosikan ke satu tingkat manajerial
dalam kategori yang lebih tinggi/ Tindakan hukum pekerja perempuan yang hanya mendapatkan satu
kesempatan perubahan tingkat/ Penerapan langsung Konvensi ILO No. 100 dan 111
Pemohon telah ditunjuk dalam jabtan eksekutif di mana terdapat praktik tidak tertulis bahwa setiap
orang yang ditunjuk dalam jabatan tersebut dinaikkan ke kategori yang lebih yang tinggi. Beberapa hari
setelah pengangkatannya, manajemen memutuskan bahwa pemohon hanya akan mendapatkan perubahan
dalam tingkat dan bukan kategori. Namun beberapa bulan kemudian, salah satu dari rekan pekerja lakilaki yang ditunjuk untuk jabatan eksekutif dinaikkan ke kategori yang lebih tinggi seperti praktik manajerial
sebelumnya. Perusahaan mengkaim bahwa perubahan tingkat pemohon telah mendapatkan kenaikan gaji
yang lebih tinggi daripada kenaikan gaji kalau dia mengikuti praktik sebelumnya.
Pengadilan Perburuhan Ouagadougou menganggap bahwa argumen tersebut tidak tepat dan pengadilan
mengikuti Konvensi ILO No.100 tentang Kesetaraan Pengupahan dan No. 111 tentang Diskriminasi
(Pekerjaan dan jabatan) secara langsung:
“Menimbang bahwa Konvensi No. 100, yang telah diratikasi oleh Burkina Faso, melarang segala
bentuk diskriminasi dalam pengupahan antara laki-laki dan perempuan;
Menimbang dalam kasus Ms Savadogo Zonabo [pemohon] telah menjadi korban diskriminasi
dalam perlakuan pengupahannya oleh les Grands Moulins du Burkina [perusahaan] karena fakta
dia adalah perempuan pertama yang mendapatkan jabatan eksekutif tersebut; (...)
Menimbang, dengan menolak meningkatkan kategori Ms Zonabo (…) meskipun faktanya dia
memenuhi semua kondisi untuk peningkatan kategori, les Grands Moulins du Burkina, telah
melanggar konvensi-konvensi No. 100 and 111.”
Atas dasar konvensi-konvensi No. 100 dan 111 Pengadilan Perburuhan Ouagadougou memerintahkan
perusahaan untuk memberikan kepada pemohon hak-haknya dengan menaikkannya ke kategori yang
relevan dan untuk membayar perbedaan gaji plus kompensasi dan ganti rugi.
137
Konvensi ILO No.100 tentang Kesetaraan Pengupahan,1951; Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan), 1958.
79
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Kanada
42.
Mahkamah Agung Kanada, Health Services and Support – Facilities Subsektor
Bargaining Assn. vs British Columbia, 8 Juni 2007, 2007 SCC 27; [2007] 2 S.C.R.391
Subyek: kebebasan berserikat; perundingan bersama
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;138 kasus hukum
internasional139
Piagam Kanada tentang Hak dan Kebebasan / Kebebasan Berserikat/ Hak untuk berunding bersama/
Apakah jaminan konstitusional atas hak berserikat termasuk hak untuk berunding bersama/
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menerjemahkan hukum domestik
Banding diajukan kepada Mahkamah Agung Kanada di mana para pemohon mempertanyakan
kekonstitusionalan Bagian 2 UU Peningkatan Penyampaian Layanan Kesehatan dan Sosial SBC 2002 karena
mereka menganggap UU tersebut melanggar Piagam Kanada tentang Hak dan Kebebasan.
Bagian 2 UU memberikan pengusaha keleluasaan yang lebih luas dalam menyelenggarakan hubungan
dengan pekerja dan bahkan dalam beberapa kasus memperbolehkan mereka melakukan dalam cara
yang tidak mungkin diterapkan sesuai dengan perjanjian bersama sebelumnya dan saat ini. Pengusaha
memperkenalkan perubahan dalam hak-hak mutasi dan penugasan multi-tempat kerja (bagian 4 dan
5), subkontrak (bagian 6), status pekerja dalam perjanjian subkontrak (bagian 6), program jaminan kerja
(bagian 7 dan 8), dan PHK dan hak mogok (bagian 9). Bagian 10 juga membatalkan setiap bagian perjanjian
bersama saat ini atau yang di masa depan yang tidak sesuai dengan UU yang baru, dan juga setiap perjanjian
kerja yang bertujuan untuk mengubah pembatasan-pembatasan ini.
Persoalan hukum yang dihadapi oleh Mahkamah adalah untuk menentukan apakah jaminan kebebasan
berserikat yang dimuat dalam bagian 2 (d) Piagam Kanada melindungi hak berunding bersama dan, jika
memang demikian, untuk menentukan apakah hak-hak ini telah dilanggar oleh UU yang telah disetujui. Dalam
menetapkan poin yang pertama, mahkamah membuat perubahan signikan dalam kasus hukumnya karena
alasan-alasan yang dipakai di masa lalu dengan mengecualikan hak untuk berunding bersama dari jaminan
kebebasan berserikat, tidak bisa lagi didukung karena tidak sejalan dengan pengakuan historis Kanada
mengenai pentingnya perundingan bersama. Selanjutnya, Mahkamah menyatakan bahwa perundingan
bersama sudah menjadi satu kesatuan dengan kebebasan berserikat dalam hukum internasional, yang
dapat digunakan untuk menafsirkan jaminan dalam Piagam Kanada:
“Menurut sistem pemerintahan federal Kanada, penggabungan perjanjian-perjanjian internasional
ke dalam hukum domestik adalah peran dari parlemen federal atau pembuat undang-undang
di tingkat provinsi. Namun, kewajiban internasional Kanada dapat membantu pengadilanpengadilan menafsirkan jaminan-jaminan dalam Piagam Kanada (lihat Suresh vs Kanada (Menteri
Kewarganegaraan dan Imigrasi) […]). Menerapkan alat penafsiran di sini menyokong pengakuan
atas proses perundingan bersama sebagai bagian jaminan kebebasan berserikat dalam Piagam.
138
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1996.
139
Komite Kebebasan Berserikat ILO; Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi; Komisi Pencari Fakta dan Konsiliasi ILO
tentang Kebebasan Berserikat.
80
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Kepatuhan Kanada kepada dokumen-dokumen internasional yang mengakui hak berunding
bersama mendukung pengakuan hak dalam bagian 2(d) Piagam. […]”140
Mahkamah menyatakan bahwa sumber-sumber yang paling penting untuk memahami bagian 2 (d)
Piagam adalah Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), dan Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan Hak Berserikat. Karena Kanada telah meratikasi ketiganya, Mahkamah mengakui bahwa
dokumen-dokumen ini mereeksikan tidak hanya konsensus internasional, tetapi juga prinsip-prinsip bahwa
Kanada telah berkomitmen untuk menjunjung:
“ICESCR, ICCPR, dan Konvensi No. 87 memberikan perlindungan atas berfungsinya serikat pekerja
dalam menjalankan hak berunding bersama adalah bagian dari kebebasan berserikat. Penasiran
ketiga konvensi ini, di Kanada dan secara internasional, tidak hanya mendukung usulan bahwa
ada hak berunding bersama dalam hukum internasional, tetapi juga menyarankan bahwa hak
tersebut harus diakui dalam konteks Kanada bagian 2(d).”141
Mahkamah menganalisa isi Konvensi No. 87 dengan rujukan kepada penafsiran oleh badan-badan
pengawas ILO:
“Konvensi No. 87 juga telah dipahami untuk melindungi perundingan bersama sebagai bagian dari
kebebasan berserikat. Bagian I Konvensi, berjudul “Kebebasan Berserikat”, menetapkan hak-hak
pekerja untuk secara bebas membentuk organisasi yang beroperasi menurut Konstitusi dan aturan
yang ditetapkan oleh pekerja dan memiliki kemampuan untuk beraliasi secara internasional.
Dickson C.J., menyatakan ketidaksetujuan (dissenting opinion) dalam Referensi Alberta, hal. 355,
yang merujuk pada Konvensi No. 87 untuk prinsip bahwa kemampuan “untuk membentuk dan
menyelenggarakan serikat, bahkan dalam sektor publik, harus memasukkan kebebasan untuk
mendorong kegiatan-kegiatan serikat, seperti perundingan bersama dan mogok, tunduk pada
pembatasan yang pantas”.
Konvensi No. 87 telah menjadi subyek dari sejumlah besar penafsiran Komite Kebebasan
Berserikat ILO, Komite Ahli dan Komisi Penyelidikan. Penafsiran-penafsiran ini telah dijelaskan
sebagai “batu pijakan hukum internasional tentang kebebasan berserikat dan perundingan
bersama”. […] Meskipun tidak mengikat, mereka menjelaskan lingkup bagian 2(d) Piagam karena
mereka memiliki maksud untuk menerapkan perundingan bersama […]”142
Mahkamah kemudian menyimpulkan bahwa bagian 2 (d) harus dipahami untuk memasukkan
perlindungan hak-hak pekerja untuk berserikat dengan tujuan memajukan tujuan-tujuan yang terkait
pekerjaan melalui proses perundingan bersama, dan mencatat tugas negosiasi dengan itikad baik.
Ditambahkan bahwa perlindungan ini mencakup campur tangan yang substansial dari negara dan sekali
lagi mencatat bahwa campur tangan substansial tersebut harus ditentukan setelah mempertimbangkan
pentingnya masalah-masalah dipengaruhi oleh proses perundingan bersama dan kapasitas anggota serikat
untuk mencapai tujuan, dan cara di mana dampak yang terukur dari hak kolektif bernegosiasi dan konsultasi
dengan itikad baik.. Mahkamah menyimpulkan bahwa:
“[B] 4, 5, 6 (2), 6 (4) dan 9, sejalan dengan bagian 10, campur tangan dengan proses perundingan
bersama, baik dengan mengabaikan proses perundingan bersama di masa lalu, dengan
mengabaikan proses perundingan bersama di masa depan, atau keduanya. Hal ini mensyaratkan
140
Ayat 69 dan 70 Keputusan.
141
Ayat 72 Keputusan.
142
Ayat 75 dan 76 keputusan.
81
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
kita untuk menentukan apakah perubahan-perubahan ini secara substansial mencampurtangani
hak asosiasi pekerja untuk menangani perundingan bersama di tempat kerja dan syarat-syarat
kerja.[…]
Ketentuan yang berhubungan dengan kontrak dengan pihak luar (bag. 6 (2) dan 6 (4)), PHK
(bag. 9 (a), 9 (b) dan 9 (c)) dan mogok (bag. 9 (d)) berhubungan dengan masalah-masalah utama
kebebasan berserikat. Pembatasan dalam perjanjian bersama membatasi kewenangan pengusaha
untuk mem-PHK pekerja mempengaruhi kapasitas pekerja untuk mempertahankan jaminan kerja,
salah satu perlindungan yang paling penting yang disediakan kepada pekerja oleh serikatnya.
Begitu juga, pembatasan-pembatasan dalam perjanjian bersama pada hak-hak pengusaha untuk
melakukan subkontrak, akan membuat pekerja memperoleh jaminan kerja. Akhirnya, hak mogok
merupakan satu kesatuan dari sistem senioritas yang biasanya ditetapkan dalam perjanjian
bersama, yang merupakan perlindungan yang signikan bagi serikat. […]
Hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk mutasi dan penugasan kembali seperti dimuat dalam
bagian 4 dan 5 UU. Ketentuan-ketentuan ini (…) berhubungan denga modikasi yang minor
terhadap skema di tempat kerja untuk mutasi dan penugasan kembali pekerja. Perlindungan yang
siginikan tetap dipertahankan. Adalah benar bahwa UU menempatkan isu-isu ini bisa dibicarakan
di luar meja perundingan bersama di masa depan. Namun, untuk menyeimbangkan bagian 4
dan 5 tidak bisa dikatakan jumlah campur tangan yang substansial dengan kemampuan serikat
untuk terlibat dalam perundingan bersama sehingga menarik perlindungan menurut bagian 2(d)
Piagam.”143
Mahkamah menyimpulkan dengan menyatakan bagian 6 (2), 6 (4) dan 9 bagian 2 (dibaca berkaitan
dengan bagian 10) UU adalah tidak konstitusional karena mereka secara substansial dan tidak sah melanggar
hak berunding bersama yang dilindungi oleh bagian 2 (d) Piagam Kanada, dan menyatakan ketentuanketentuan lain yang dipertanyakan tetap konstitusional karena pelanggarannya tidak substantial.
43.
Mahkamah Agung Kanada, Dunmore vs Ontario (Attorney General), 20 Desember
2001, No. 2001 SCC 94; [2001] 3 S.C.R. 1016
Subyek: kebebasan berserikat; perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: rujukan internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum
domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi;144 Perjanjian-perjanjian
internasional yang tidak diratikasi;145 Kasus hukum internasional146
Kebebasan berserikat/ Pengecualian pekerja pertanian dari kerangka hukum hubungan kerja/
kewajiban positif negara untuk melindungi kebebasan berserikat/ Pelanggaran Piagam Kanada tentang
Hak dan Kebebasan/ Rujukan pada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum domestik
143
Ayat 128, 130 dan 131 Keputusan.
144
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948.
145
Konvensi ILO No. 11 tentang Hak Berserikat (Pertanian), 1921; Konvensi ILO No. 141 tentang Organisasi Pekerja di daerah Pedalaman,
1975.
146
Komite Kebebasan Berserikat ILO
82
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pada tahun 1995, Bagian 80 UU Perubahan atas UU Hubungan Kerja dan Ketenagakerjaan (LRESLAA),
menghapuskan UU Hubungan Kerja di Bidang pertanian (ALRA) tahun 1994. Padahal, UU ALRA untuk
pertama kalinya, secara tegas mengakui hak pekerja pertanian Ontario untuk berserikat. Bersama-sama,
Bagian 80 UU tersebut di atas dan Bagian 3 (b) UU Hubungan Kerja tahun 1995 (LRA) mengakhiri perjanjian
bersama terhadap perundingan bersama dalam sektor pertanian, menghapuskan hak-hak serikat yang
telah diakreditasi, dan mengecualikan pekerja pertanian dari perlindungan yang diatur dalam LRA terhadap
larangan umum untuk berserikat dan terhadap praktik-praktik anti serikat dari pengusaha.
Pekerja pertanian, atas nama mereka sendiri dan atas nama Serikat Internasional Pekerja Makanan
dan Komersial (the United Food and Commercial Workers Internasional Union), mengajukan banding, baik
atas penghapusan ALRA, maupun pengecualian mereka dari LRA ke pengadilan Ontario. Mereka berargumen
bahwa ketentuan-ketentuan tersebut melanggar kebebasan berserikat dan hak mereka atas kesetaraan
menurut Piagam Kanada tentang Hak dan Kebebasan (selanjutnya disebut “Piagam”), yang merupakan
bagian dari Konstitusi. Setelah Pengadilan pada Tingkat Pertama dan Pengadilan Banding Ontario menolak
tuntutan mereka, pemohon menyerahkan kasusnya kepada Mahkamah Agung Kanada.
Setelah menetapkan bahwa perundingan bersama dan pelaksanaan hak mogok tidak berada dalam
lingkup tuntutan, Mahkamah Agung memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran bagian 2 (d) Piagam,
yang memberikan setiap orang kebebasan berserikat yang mendasar.
Dalam analisanya, Mahkamah melihat secara khusus apakah kegiatn-kegiatan kolektif serikat secara
efektif dilindungi oleh bagian 2 (d) Piagam, dan apakah bagian mengenai kewajiban positif bagi negara untuk
melindungi kebebasan berserikat yang berlaku setara untuk pekerja di sektor pertanian. Atas kedua poin
ini, Mahkamah Agung merujuk pada hukum perburuhan internasional untuk mendukung dan memperkuat
alasannya.
Pertama-tama, Mahkamah menetapkan untuk menentukan apakah bagian 2 (d) terbatas pada
pelaksanaan hak-hak dan kebebasan-kebebasan individual, atau apakah hal tersebut juga melindungi
kegiatan-kegiatan kolektif serikat yang tidak bisa dilaksanakan secara individual. Mahkamah tiba pada
penafsiran yang luas atas lingkup bagian ini, dan merujuk pada hukum perburuhan internasional untuk
memperkuat kesimpulannya. Mahkamah secara khusus mencatat keputusan dari Komite Kebebasan
Berserikat ILO yang menunjukkan bahwa pengakuan penuh atas kebebasan berserikat mewajibkan
perlindungan yang efektif untuk kegiatan-kegiatan dengan dimensi kolektif yang dilaksanakan oleh serikat.
Mahkamah kemudian melihat pertanyaan hukum utama yang ada dalam kasus, yaitu apakah, menurut
bagian 2 (d) Piagam, negara memiliki kewajiban positif untuk melindungi kebebasan berserikat bagi pekerja
di sektor pertanian. Peraturan dalam kasus ini tidaklah secara nyata melarang pekerja pertanian untuk
berserikat; hanya tidak memberikan perlindungan kepada mereka seperti perlindungan yang diberikan
kepada pekerja yang lain terhadap praktik-praktik anti serikat.
Mendasarkan alasannya pada kasus hukumnya sendiri, Mahkamah menyimpulkan bahwa manakala
dapat dibuktikan bahwa ada penolakan terhadap perlindungan kelompok yang diberikan oleh UU yang
membuatnya tidak mungkin menjalankan kebebasan yang diakui oleh Piagam, negara harus memperluas
cakupan perlindungan hukum. Untuk mendukung pengakuan atas kewajiban negara untuk memperluas
sistem perlindungan kebebasan berserikat kepada pekerja pertanian, Mahkamah merujuk kepada beberapa
konvensi ILO. Mahkamah menggunakan Pasal 2 dan 10 Konvensi No. 87, Konvensi No. 11, dan Konvensi
No. 141 untuk menekankan sifat utama atas prinsip non-diskriminasi dalam pengakuan yang efektif atas
kebebasan berserikat.
Setelah mengumpulkan bukti bahwa pengecualian pekerja pertanian dari perlindungan hukum
mengurangi pelaksanaan yang efektif dari kebebasan berserikat, Mahkamah Agung Kanada, menggunakan
Konvensi-konvensi ILO untuk mengkonrmasikan alasannya, menyatakan bahwa Bagian 80 LRESLAA dan
Bagian 3(b) LRA tidak konstitusional.
83
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
44.
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Quebec, Human Rights and Youth Rights
Commission vs University of Laval, 2 Agustus 2000, No. 200-53-000013-982, 2000
CanLII 3 (QC T.D.P.)
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; kesetaraan pengupahan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;147 instrumen yang
tidak tunduk pada ratikasi148
Penetapan kesetaraan sistem penguapan di Universitas/ Banding sifat diskriminasi dalam sistem/
Rujukan pda hukum internasional oleh pengadilan domestik sebagai argumen hukum tambahan
Komisi HAM dan hak-hak kaum muda membawa kasus ke Pengadilan HAM menuntut bahwa Universitas
Laval telah memperkenalkan kesetaraan sistem pengupahan namun dengan efek diskriminatif berdasarkan
jenis kelamin. Lebih khususnya, di mana pekerjaan dilaksanakan oleh para pekerja dalam kelompok kerja
yang berbeda tapi telah dinilai kesetaraan kondisinya, pekerja di sektor administratif, yang kebanyakan
adalah perempuan, mendapatkan struktur gaji yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan sektor
layanan yang didominasi kaum pria.149
Pengadilan merujuk pada hukum internasional untuk memperkuat argumannya berdasarkan Pasal
19 Piagam HAM dan Kebebasan Quebec tahun 1975 bahwa sistem pengupahan yang ditetapkan oleh
Universitas melanggar hak untuk memperoleh kesetaraan upah untuk pekerjaan yang setara.150
Pengadilan HAM Quebec merujuk pada Konvensi ILO No.100, Rekomendasi ILO No. 90 dan perjanjianperjanjian internasional PBB lainnya dalam menentukan bahwa hukum domestik harus ditafsirkan sejalan
dengan kewajiban internasional negara.
Pengadilan merujuk pada denisi Konvensi ILO No. 100 tentang Prinsip Kesetaraan Pengupahan dalam
arti sebagai berikut:
“Pengadopsian prinsip ini dijadikan dasar untuk menjamin kesetaraan perlakuan antara laki-laki
dan perempuan dan membuatnya mungkin untuk menangani masalah pekerjaan yang dinilai
rendah karena pekerjaan itu secara tradisional dilakukan oleh perempuan .[…]
Menurut Konferensi Perburuhan Internasional, klasikasi pekerjaan harus dipisahkan jika upah
ditentukan menurut prinsip kesetaraan pengupahan seperti termuat dalam Konvensi No.100.
Proses yang harus melibatkan metode yang membuatnya mungkin untuk melakukan penilaian
yang obyektif terhadap pekerjaan yang bersangkutan. Konvensi No.100 dan Rekomendasi No.
90 membuat perbedaan atas pengakuan sebab-sebab diskriminasi upah terhadap perempuan.
Dengan menempatkan prinsip “upah yang setara untuk pekerjaan yang setara” dengan prinsip
yang lebih rinci “upah yang setara untuk pekerjaan yang setara nilainya”, ILO mengakui basis
147
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrriminasi
terhadap Perempuan, 1979.
148
Rekomendasi ILO No. 90 tentang Kesetaraan Pengupahan, 1951.
149
Lihat Ayat 1 keputusan.
150
Pasal 19 Piagam HAM dan Kebebasan Quebec menyatakan bahwa: “setiap pengusaha harus, tanpa diskriminasi, memberikan gaji atau upah
yang setara kepada anggota stafnya yang melakukan pekerjaan yang setara di tempat yang sama. Perbedaan pada upah atau gaji berdasarkan
pengalaman, senioritas, lama bekerja, kebijaksanaan, produktitas atau lembur tidak dianggap sebagai diskriminasi jika kirterianya berlaku
umum untuk semua anggota staf, Penyesuaian dalam kompensasi dan rencana kesetaraan pengupahan dianggap tidak diskriminatif atas
dasar jender jika mereka ditetapkan sesuai dengan UU Kesetaraan Pengupahan (Chapter E-12.001).”
84
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
sistemik atas diskriminasi pengupahan yang berasal dari berbagai komponen-komponen dari
sistem pengupahan.”151
Karena Pasal 19 Piagam HAM dan Kebebasan, dan merujuk pada hukum internasional untuk
memberlakukan kasusnya, Pengadilan menetapkan bahwa Universitas Laval telah melanggar hak atas
kesetaraan perlakuan pekerja di sektor administratif dengan tidak membayar mereka remunerasi yang
setara dengan sejawat mereka di sektor spesialis dan layanan, mengingat mereka melakukan pekerjaan
yang setara nilainya.
45.
Mahkamah Agung Kanada, Baker vs The Minister of Citizenship and Immigration, 9
Juli 1999, [1999] 2 S.C.R. 817
Subyek: hak domisili; hak anak
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi tetapi belum dimasukkan ke
dalam legislasi domestik;152 instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi;153 kasus hukum asing154
Tindakan mengusir ibu dengan empat orang anak dari suatu wilayah/ Gugatan ke Mahkamah Agung
agar perintah pengusiran dinyatakan ilegal/ Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam
menafsirkan hukum domestik/ Pendapat yang tidak berbeda (dissenting)
Perintah pengusiran telah dikeluarkan terhadap warga negara Jamaika yang menderita kelainan mental
yang parah dan seorang ibu dari empat anak yang berkebangsaan Kanada. Ibu tersebut meminta agar
perintah tersebut ditolak. Karena UU Imigrasi mengatur bahwa dalam hal pengusiran, prosedur administratif
harus mempertimbangkan alasan-alasan kemanusiaan, Nyonya Baker menegaskan bahwa pengusiran itu
akan menyebabkan penderitaan yang permanen baik kepada anak-anaknya maupun kondisi mentalnya
sendiri.
Dalam pendapat yang berbeda (dissenting opinion),155 Hakim L’heureux-Dubé mendasarkan bahwa
Konvensi PBB tentang Hak Anak harus dipertimbangkan dalam menentukan alasan kemanusiaan yang
berlaku dalam kasus ini, meskipun Konvensi telah diratikasi oleh Kanada, namun belum dimasukkan
dalam legislasi domestik:
“Indikasi yang lain akan pentingnya pertimbangan kepentingan anak-anak ketika membuat
keputusan yang bernada simpati dan berperikemanusiaan adalah ratikasi atas Konvensi tentang
Hak Anak, dan pengakuan pentingnya hak anak-anak dan kepentingan terbaik bagi anak-anak
dalam instrumen internasional yang telah diratikasi oleh Kanada. Perjanjian-perjanjian dan
konvensi-konvensi internasional bukanlah bagian dari Hukum Kanada kecuali mereka telah
151
Ayat 122, 125 dan 126 keputusan.
152
Konvensi tentang Hak Anak, 1989.
153
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948; Deklarasi tentang Hak Anak, 1959.
154
Selandia baru dan India.
155
Meskipun anggota lainnya, menerima pendapat Hakim L’heureux-Dubé atas kebijaksanaan, mereka menganggap bahwa, “Prinsip bahwa
konvensi internasional telah diratikasi oleh eksekutif tidak memiliki kekuatan atau efek dalam sistem hukum Kanada sampai dimasukkan
ke dalam hukum domestik tidaklah mempertahankan kesatuan prinsip hukum yang memperbolehkan rujukan kepada konvensi yang belum
dimasukkan selama proses penafsiran perundang-undangan.”
85
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
dilaksanakan melalui UU (…). Oleh karenanya ketentuan-ketentuannya tidak bisa diterapkan
langsung dalam Hukum Kanada.156
“Nilai-nilai yang direeksikan dalam Hukum HAM internasional dapat membantu menginformasikan
pendekatan kontekstual penafsiran perundang-undangan dan uji material undang-undang. (…)
Pembuat undang-undang diasumsikan menghormati nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang ada dalam
hukum internasional, baik yang bersifat kebiasaan maupun konvensi. Hal ini merupakan bagian
dari konteks hukum di mana legislasi diundangkan dan dibaca. Oleh karenanya, sejauh mungkin
penafsiran-penafsiran yang mereeksikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini diutamakan. (…)
Peranan penting dari Hukum HAM internasional sebagai bantuan dalam menafsirkan hukum
domestik juga telah ditekankan oleh negara-negara lain: lihat, contohnya, Tavita vs Menteri
Imigrasi, [1994] 2 N.Z.L.R. 257 (C.A.), at p. 266; Vishaka vs Rajasthan, [1997] 3 L.R.C. 361 (S.C.
India), pada hal. 367. Hal tersebut juga merupakan pengaruh yang kritisl atas penafsiran lingkup
hak-hak yang dimasukkan dalam Piagam: Slaight Communications, supra; R. vs Keegstra, [1990]
3 S.C.R. 697.
“Nilai-nilai dan prinsip-prinsip Konvensi mengakui pentingnya memperhatikan hak-hak dan
kepentingan anak-anak ketika keputusan dibuat yang terkait dengan dan akan mempengaruhi
masa depan mereka. Selanjutnya, Pembukaan dalam Deklarasi Universal tentang HAM, mengakui
bahwa ”masa kanak-kanak perlu mendapatkan perawatan dan bantuan khusus”. Penekanan
yang serupa tentang pentingnya menempatkan nilai yang mempertimbangkan perlindungan anakanak serta kebutuhan dan kepentingan mereka, juga termuat dalam instrumen internasional
lain. Deklarasi PBB tentang Hak Anak (1959), dalam Pembukaannya menyatakan “kebutuhan
penjagaan dan perawatan khusus”. Prinsip-prinsip Konvensi dan instrumen internasional lain
menempatkan kepentingan khusus atas perlindungan anak-anak dan masa kanak-kanak, dan
khususnya pertimbangan atas kepentingan, kebutuhan dan hak-hak mereka. Mereka membantu
menunjukkan nilai-nilai yang penting dalam menentukan apakah keputusan ini praktik yang wajar
dari kekuasaan H & C.”157
Hakim L’heureux-Dubé menganggap bahwa, meskipun Konvensi tentang Hak Anak belum dimasukkan
ke dalam hukum domestik, pemerintah seharusnya mempertimbangkan tindakan pengusiran. Mahkamah
Agung Kanada kemudian membatalkan perintah pengusiran.
156
Ayat 69 keputusan.
157
Ayat 70 Keputusan.
86
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
46.
Mahkamah Agung Kanada, Slaight Communication Incorporated vs Ron Davidson, 4
Mei 1989, [1989] 1 S.C.R. 1038
Subyek: pemecatan; kebebasan berekspresi
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi158
PHK tanpa alasan yang sah/ Perintah oleh arbitrer kepada perusahaan untuk memberikan pengusaha
potensial pekerja dengan informasi tertentu/ tindakan karena pelanggaran kebebasan berekspresi/
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Seorang pekerja telah dipecat oleh pengusaha karena ketidakcukupan profesional dan seorang arbitrer
telah ditunjuk untuk menyelesaikan perselisihan. Diketahui bahwa pemecatan tersebut sebagai hasil dari
intrik yang diciptakan pengusaha agar bisa memecat pekerja. Arbiter memerintahkan pengusaha untuk
membayar sejumlah uang kepada pekerja. Dia juga meminta bahwa dalam setiap korespondensi antara
pengusaha yang lama dengan pengusaha lain yang ingin mempekerjakan pekerja tersebut, pengusaha
yang lama harus menyebutkan kinerja pekerja di perusahaan yang lama. Dan terakhir, pengusaha yang
lama diperintahkan untuk menginformasikan kepada pengusaha lain itu bahwa keputusan arbitrasi
memerintahkan bahwa pemecatan pekerja dibatalkan atas dasar yang sah. Tujuan dari tindakan ini
adalah untuk mencegah pengusaha yang lama merusak karir pekerja. Pengusaha mengajukan banding
atas tindakan tersebut, mengingat bahwa keputusan arbitrer melanggar hak mendasarnya atas kebebasan
berekspresi sebagaimana diakui dalam Piagam Kanada tentang Hak-hak dan Kebebasan.
Untukmenentukan apakah hak pekerja untuk mencari pekerjaan baru dapat dibatasi secara sah
oleh kebebasan berekspresi bekas majikannya, hakim utama di Mahkamah mendasarkan pada hukum
internasional, dan mayoritas anggota mengikutinya.
“Terdapat berbagai nilai yang beraneka ragam atas hak perlindungan dalam masyarakat yang
bebas dan demokratik seperti Kanada, tapi hanya beberapa yang secara tegas diatur dalam
Piagam Kanada. Nilai-nilai yang mendasari masyarakat yang bebas dan demokratik, baik yang
menjamin hak-hak dalam Piagam, dan dalam kondisi yang layak, mensahkan pembatasanpembatasan atas hak-hak tersebut. Sebagaimana dikatakan di Oakes, supra, (…) di antara nilainilai yang mendasari masyarakat kita yang bebas dan demokratik adalah “martabat manusia yang
nyata” dan “komitmen terhadap keadilan sosial dan kesetaraan”. Khususnya sehubungan dengan
ratikasi Kanada atas Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(1966), dan komitmen di dalamnya untuk melindungi, inter alia, hak bekerja dalam berbagai
dimensi yang ditemukan dalam Pasal 6 Perjanjian, tak bisa disangkal bahwa tujuan dalam kasus
ini sangat penting. Dalam rujukan Hubungan Kerja Layanan Publik (Alta.), supra, Saya memiliki
kesempatan untuk mengatakan:
“Isi kewajiban HAM internasional Kanada, menurut pendapat saya adalah indikasi yang penting
akan arti “manfaat penuh dari perlindungan Piagam”. Saya percaya bahwa Piagam Kanada harus
secara umum diasumsikan memberikan perlindungan sekurang-kurangnya setingkat dengan yang
diberikan oleh ketentuan yang sama dalam dokumen-dokumen HAM internasional yang telah
diratikasi olehKanada.”
158
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966.
87
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
(…) kewajiban HAM internasional Kanada harus menginformasikan tidak hanya penafsiran isi hakhak yang dijamin oleh Piagam, tetapi juga penafsiran apa yang dapat merupakan penekanan dan
substansial Bagian 1 tujuan yang mungkin mensahkan pembatasan-pembatasan atas hak-hak
ini. Selanjutnya, untuk tujuan tahap permohonan ini, fakta bahwa suatu nilai memiliki status HAM
internasional atau di bawah perjanjian internasional di mana Kanada adalah negara anggota,
harusnya secara umum mengindikasikan derajat kepentingan yang tinggi yang melekat pada tujuan
tersebut. Hal ini sejalan dengan kepentingan yang telah ditetapkan Mahkamah atas perlindungan
pekerja sebagai kelompok yang riskan dalam masyarakat.””
Alasan yang sama juga ditemukan pada keputusan Mahkamah Agung:
“Secara ringkas, hakim tidak menelaah lebih lanjut seperti yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan di atas. Akhirnya, efek-efek atas tindakan tersebut tidak berbahaya untuk menjadikannya
lebih penting daripada tujuan gugatan. Tujuan dalam kasus ini amat penting, khususnya terkait
dengan komitmen perjanjian internasional Kanada untuk melindungi hak bekerja dalam berbagai
dimensinya. Untuk tujuan tahap akhir atas permohonan ini, fakta bahwa suatu nilai memiliki status
HAM internasional, baik dalam hukum internasional kebiasaan atau dalam perjanjian internasional
di mana Kanada adalah pihak penandatangan, harus secara umum diindikasikan bahwa derajat
yang tinggi dari kepentingan yang melekat pada tujuan teresbut.”
Mahkamah Agung Kanada menetapkan bahwa fakta internasional mengakui hak bekerja menunjukkan
sifat mendasar dari hak dan bahwa, konsekuensinya perlindungan hak tersebut dapat mensahkan
pembatasan kebebasan berekspresi pengusaha. Dalam hal ini, Mahkamah menolak membatalkan
keputusan arbitrasi.
88
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Cili
Konstitusi Politik Republik Cili
Pasal 5, Ayat 2
Pelaksanaan kedaulatan mengakui pembatasan penghargaan hak-hak mendasar yang berasal dari
sifat manusiawi. Adalah kewajiban pemerintah untuk menghormati dan mempromosikan hak-hak
tersebut, yang dijamin oleh Konstitusi ini dan perjanjian internasional yang diratikasi oleh Cili dan
berlaku di negara ini.
47.
Mahkamah Agung Cili, Carlos Castro Cortés vs Wackenhut - Cili, 1 Agustus 2001,
Kasus No. 2549-01
Subyek: kebebasan berserikat; pemecatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi159
Pemecatan pimpinan serikat pekerja/ tindakan diskriminasi anti serikat/ Rujukan kepada hukum
internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Seorang pekerja mengajukan permohonan terhadap pengusahanya yang telah memecatnya dengan
kondisi dia sebagai pemimpin serikat pekerja, meminta agar dia dipekerjakan kembali dalam hubungan
kerja. Pengadilan pada tingkat pertama menerima permohonan ini dan begitu juga dengan Pengadilan
Banding yang memperkuat keputusan tersebut. Setelah itu, pengusaha membuat permohonan, meminta
Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan tersebut.
Untuk menentukan apakah pemecatan pemimpin serikat pekerja dapat dikualikasikan sebagai
diskriminasi anti serikat, Mahkamah Agung menerapkan UU Perburuhan160 dan Konstitusi Nasional.161
Selanjutnya, Mahkamah membuat referensi pada Konvensi-konvensi ILO No. 87 dan 98 untuk menekankan
karakter mendasar dari otonomi serikat pekerja dan larangan pemecatan yang diskriminatif terhadap serikat
pekerja, menyatakan bahwa pemimpin serikat pekerja dilindungi oleh keutamaan serikat pekerja.
Pengadilan menggarisbawahi instrumen internasional untuk menelaah persoalan ini:
“Bahwa Pasal 1 Konvensi ILO No. 98 tentang Penerapan Prinsip-prinsip atas hak Berserikat dan
Perundingan Bersama mengatur bahwa pekerja harus mendapatkan perlindungan yang memadai
terhadap tindakan-tindakan diskriminasi anti serikat sehubungan dengan pekerjaan mereka. (…)
Norma hukum internasional ini berlaku terhadap pemecatan karena diskriminasi anti serikat, di
mana tidak boleh menghasilkan efek yang mengakibatkan terjadi PHK. Telah diperingatkan bahwa
ketentuan ini penting dan tidak terpisahkan dalam melengkapi otonomi serikat pekerja, sesuai
159
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat dan
Perundingan Bersama, 1949.
160
Pasal 243 UU Perburuhan Cili menetapkan keutamaan yang diberikan kepada pemimpin serikat yang telah dipilih, dari tanggal pemilihan
sampai enam bulan setelah dia meninggalkan jabatannya.
161
Pasal 19 (19) Konstitusi Cili menyatakan bahwa UU harus memberikan mekanisme yang memastikan otonomi serikat pekerja.
89
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
dengan ketentuan dalam Konvensi ILO No. 87, di mana Pasal 3 menyatakan prinsip dasar di mana
organisasi pekerja memiliki hak untuk memilih secara bebas perwakilan mereka.”
Sebagai hasilnya, Mahkamah Agung Cili, setelahmendasarkan keputusannya pada kasus hukum
domestik, merujuk pada Konvensi-konvensi ILO No. 87 dan 98 untuk menekankan karakter dasar
perlindungan terhadap perwakilan serikat atas diskriminasi anti serikat. Atas dasar ini, Pengadilan menolak
banding dan menguatkan keputusan pembatalan pemecatan.
48.
Pengadilan Banding Santiago, José Patricio Olivares Tapia and Carlos OctavioAbarca
González vs María Soledad Hurtado Gálvez, 6 November 2000, Kasus No. 2840-2000
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi;162 kasus hukum
internasional163
Kebebasan berserikat/ Banding serikat pekerja/ Otonomi serikat pekerja/ Rujukan terhadap hukum
internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Dua direktur federasi pegawai negeri sipil di Cili mengajukan permohonan perlindungan jaminan
konstitusional terhadap pengawas perburuhan, berargumen bahwa pengawas tidak mematuhi tugasnya
dengan mempertanyakan persyaratan legalitas untuk pemilihan direktur Asosiasi Federasi Nasional Pegawai
Negeri Sipil Cili.
Untuk menentukan apakah penolakan pengawas untuk memeriksa legalitas pemilihan adalah sejalan
dengan prinsip kebebasan berserikat, Pengadilan Banding mendasarkan keputusannya pada legislasi
domestik164 dan memutuskan bahwa petugas telah menghormati otonomi serikat pekerja dengan tidak
campur tangan dalam pemilihan, karena otoritas untuk menilai pemilihan ada pada Pengadilan Pemilihan
Regional dan bukan pada otoritas administratif. Begitupun, untuk menekankan bahwa pemilihan benarbenar bebas, yang merupakan elemen dasar otonomi serikat pekerja dalam kerangka kebebasan berserikat,
Pengadilan mempertimbangkan Pasal 19 (19) Konstitusi Nasional165 dan membuat rujukan pada Konvensi
ILO No. 87166 dan menjadi “Kasus hukum” Komite Kebebasan Berserikat ILO.167
162
Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948.
163
Komite Kebebasan berserikat ILO.
164
Pasal 10(2) UU 18593 yang diundangkan tanggal 5 Januari 1987: “Pengadilan Pemilihan Regional adalah untuk (…) menilai klaim yang dibuat
sebagai hasill pemilihan serikat pekerja dan kelompok intermediari lainnya.”
165
Pasal 19 (19) Konstitusi Cili: “Konstitusi memastikan (…) hak berserikat dalam kasus-kasus dan bentuk khusus menurut hukum kepada
semua orang. Keanggotaan serikat pekerja harus selalu sukarela. Serikat pekerja akan memiliki status hukum hanya dengan mendaftarkan
anggaran dasar mereka dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. UU akan mengatur mekanisme dalam mengikuti
kegiatan-kegiatan politik.”
166
Pasal 3 (1) Konvensi No. 87: “Organisasi pekerja dan pengusaha harus memiliki hak untuk membuat konstitusi dan aturan mereka sendiri,
untuk memilih perwakilannya secara bebas, untuk menyelenggarakan administrasi dan kegiatan-kegiatannya dan untuk memformulasikan
program-program mereka.”
Pasal 3 (2) Konvensi yang sama: “otoritas pemerintah harus menahan diri dari campur tangan yang akan membatasi hak atau menghambat
pelaksanaan yang sah.”
167
“(…) dalam kasus-kasus di mana hasil pemilihan serikat pekerja dipertanyakan, pertanyaan ini harus diserahkan kepada otoritas peradilan,
yang harus menjamin prosedur yang tidak berpihak, obyektif dan cepat.” Lihat ILO: Laporan Komite Kebebasan Berserikat, Kasus No. 1305,
Laporan ke-239, Ofcial Bulletin, Vol. LXVIII, 1985, Series B, No. 2, para. 297(a).
90
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengadilan memutuskan sebagai berikut:
“(…) peraturan memperbolehkan hanya penerapan nyata dari otonomi serikat pekerja
dikonrmasikan sebagai jaminan konstitusional dalam Pasal 19 (19) Konstitusi, dan kekuatan
yang lebih luas, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Konvensi No. 87 yang berlaku di negara
kita sejak 1 Februari 1999.”168
Selanjutnya Pengadilan menyatakan:
“(…) bahwa dalam penerapan Konvensi ILO No. 87 dalam menantang pemilihan serikat pekerja,
Komite Kebebasan Berserikat, bagian dari organisasi internasional, telah mengamati kasus di
mana hasil pemilihan serikat pekerja dipertanyakan, pertanyaan-pertanyaan ini harus dirujuk
kepada otoritas pengadilan, yang harus menjamin prosedur yang tidak memihak, obyektif, dan
cepat.”
Dengan itu, Pengadilan Banding Santiago, sesuai dengan legislasi Domestik dan dengan rujukan pada
Konvensi ILO No. 87 dan ‘kasus Hukum” Komite Kebebasan Berserikat menolak permintaan otonomi serikat
pekerja sebagai jaminan non-intervensi dari otoritas publik dalam kegiatan-kegiatan serikat pekerja.
49.
Mahkamah Agung Cili, Víctor Améstida Stuardo and others vs Santa Isabel S.A., 19
Oktober 2000, Kasus No. 10.695
Subyek: kebebasan berserikat; pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi169
Kebebasan berserikat/ Pemecatan pekerja dengan keutamaan serikat pekerja/ UU diskriminasi anti
serikat/ Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Beberapa pekerja, yang telah ditunjuk sebagai perwakilan pekerja sebelum pembentukan serikat
pekerja, mengajukan permohonan karena telah dipecat dengan tidak adil. Pengadilan pada tingkat
pertama menilai bahwa para pemohon telah dilindungi oleh keutamaan serikat pekerja dan menganggap
pemecatan mereka tidak sah. Namun, pengadilan banding menolak keputusan yang pertama. Maka, para
pekerja meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan Pengadilan Banding dan memberikan
keputusan yang baru yang mengkonrmasikan keputusan di tingkat pertama.
Untuk menentukan apakah perlindungan keutamaan serikat pekerja bisa diberlakukan kepada
pekerja yang menjadi kandidat perwakilan pekerja, bahkan sebelum serikat pekerja terbentuk, Mahkamah
memeriksa UU Perburuhan dan menemukan bahwa teks yang terdapat dalam ketentuan dapat bertentangan
karena, pada satu sisi, menetapkan bahwa keutamaan serikat pekerja diciptakan pada saat mengadakan
rapat pembentukan, dan di sisi lain, prinsip keutamaan melindungi kandidat dar waktu sebelum pemilihan,
yakni dari saat komunikasi tertulis mengenai tanggal pemilihan.
168
Kebanyakan spesialis di Cili dan Kasus Hukum Pengadilan Cili menafsirkan Pasal 5 Konstitusi berargumen bahwa perjanjian internasional
yang telah dimasukkan ke dalam peraturan perundang-undangan Cili memiliki kekuatan hukum dan mengandung HAM yang penting, yang
diratikasi oleh Cili dan yang berkekuatan hukum, memiliki status Konstitusional.
169
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No.98 tentang Hak Berserikat dan
Perundingan Bersama, 1949; Konvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan Pekerja,197
91
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Melihat situasi ini, Mahkamah Agung menafsirkan ketentuan-ketentuan domestik yang terkait dengan
Konvensi-konvensi ILO No. 87, 98 dan 135, dan menyimpulkan, sebagai jaminan atas hak memilih secara
bebas perwakilan mereka, dan untuk dapat memiliki efek yang penuh, keutamaan serikat pekerja harus
mencakup periode sebelum pembentukan serikat pekerja, karena secara berlawanan, kasus ini tidak akan
memastikan hak yang sama dari asosiasi.
Sehingga Mahkamah memutuskan sebagai berikut:
“(…) cukup jelas bahwa, menghadapi berbagai keraguan yang dapat ditawarkan hukum domestik
kita, ketentuan norma-norma internasional yang terdapat dalam Konvensi Perburuhan Internasional
No. 87, 98 dan 135 harus dipertimbangkan, khususnya memperhitungkan ketentuan Pasal 5
Konstitusi Republik.170
Pasal 3 Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat merujuk
pada otonomi organisasi ini, satu aspeknya adalah secara bebas memilih perwakilannya. Sangat
jelas terlihat bahwa jika karena pembentukan serikat pekerja dan pemilihan pemimpinnya,
pemimpin mereka dipecat melalui keputusan perusahaan, dan tidak berkelanjutan, peraturan kita
jelas tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan internasional.”
Begitupun, mahkamah merujuk pada Pasal 1 (1) dan Pasal 1 (2a) Konvensi ILO No. 98 tentang Hak
Berserikat dan Perundingan Bersama,171 dan Pasal 1 Konvensi No. 135 tentang Perwakilan Pekerja.172
Selanjutnya, Mahkamah Agung Cili menyatakan bahwa pemecatan tersebut tidak sah karena
diskriminasi anti serikat. Mahkamah menafsirkan UU Perburuhan sehubungan dengan Konvensi-konvensi
ILO No. 87, 98, dan 135, menunjukkan bahwa untuk membuatnya memiliki efek penuh atas otonomi serikat
pekerja, keutamaan serikat pekerja juga dilindungi segera sebelum pembentukan serikat pekerja.
170
Pasal 5 Konstitusi Cili: “Kewajiban Pemerintah untuk menghormati dan mempromosikan hak-hak tersebut, dijamin oleh Konstitusi ini serta
perjanjian internasional yang telah diratikasi oleh Cili dan memiliki kekuatan hukum.”
171
Pasal 1 (1) Konvensi No. 98: “Pekerja harus memperoleh perlindungan yang memadai terhadap tindakan diskriminasi anti serikat sehubungan
dengan pekerjaan mereka.”
Pasal 1 (2a) Konvensi No. 98: “Perlindungan tersebut harus berlaku khususnya atas tindakan yang diperhitungkan untuk: (a) membuat
hubungan kerja pekerja tunduk pada kondisi bahwa dia tidak boleh bergabung dengan serikat atau harus melepaskan keanggotaan serikat
pekerja.”
172
Pasal 1 Konvensi No. 135: “Perwakilan pekerja dalam perusahaan harus mendapatkan perlindungan efektif terhadap setiap tindakan yang
diduga kepada mereka, termasuk pemecatan, berdasarkan status atau kegiatan mereka sebagai perwakilan pekerja atau anggota serikat
atau partisipasi dalam kegiatan serikat, sejauh tindakan mereka sejalan dengan UU yang berlaku atau perjanjian bersama atau pengaturan
lainnya yang disepakati bersama.”
92
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Cina, Wilayah Administratif Khusus Hong Kong
Hukum Dasar Wilayah Administratif Khusus Hong Kong
Pasal 39
Ketentuan PerjanjianInternasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Perjanjian Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Konvensi-konvensi perburuhan internasional yang berlaku
di HongKong tetap memiliki kekuatan dan harus dilaksanakan melalui undang-undang Wilayah
Administratif Khsusus Hong Kong.
Hak-hak dan kebebasan yang dimiliki oleh penduduk Hong Kong tidak boleh dibatasi kecuali dimuat
dalam undang-undang. Pembatasan tersebut tidak boleh bertentangan dengan Ayat sebelumnya dari
Pasal ini.
50.
Pengadilan Banding Wilayah Administrasi Khusus Hong Kong, Banding Sipil
No. 218 of 2005 (keputusan banding HCAL No. 30/2003)
Subyek: pekerja migran
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi;173 kasus hukum
internasional174
Pekerja migran/ pengenaan pajak kepada pengusaha yang merekrut pekerja asing/ dugaan
pelanggaran prinsip kesetaraan perlakuan antara pekerja nasional dan non-nasional yang diakui
oleh Konvensi ILO No. 97/ Pemberlakuan Konvensi ILO No. 97 dalam hukum domestik/ Ketiadaan
pelanggaran Konvensi
Pekerja asing dipekerjakan sebagai pekerja rumah tangga, merujuk masalah ini kepada pengadilan
Hong Kong, mempertanyakan pengenaan pajak pada pengusaha yang merekrut pekerja asing. Pemohon
mendasarkan tuntutannya, dengan argumen antara lain bahwa pajak menciptakan perbedaan dalam
perlakuan antara pekerja asing dan pekerja domestik, pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan perlakuan
yang ada dalam Pasal 6 (1) Konvensi ILO No. 97 tentang Migrasi untuk Pekerjaan, yang berlaku di Hong
Kong.
Sebelum memutuskan akar permasalahan kasus ini, Pengadilan harus menilai pemberlakuan konvensi
ILO No. 97 dalam hukum domestik. Untuk itu, pengadilan menyatakan sebagai berikut:
Saran telah diberikan atas nama responden bahwa kekosongan legislasi lokal yang sejalan dengan
Konvensi, sehingga tidak ada efek domestik di Hong Kong, meskipun dipahami bahwa penerapannya di
Hong Kong sebagai hukum internasional memberikan harapan yang sah yang mungkin menguntungkan bagi
mereka yang berada dalam posisi termohon yang mencari bantuan. Kelihatannya bagi kami bisa diterima
bahwa Konvensi memiliki efek domestik sejauh jika ada ketentuan dalam hukum di Hong Kong yang tidak
173
Konvensi ILO No. 97 tentang Migrasi untuk Pekerjaan (Revisi), 1949.
174
Komite Ahli ILO tentang Penerapan konvensi dan Rekomendasi.
93
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
membatasi hak-hak pekerja dalam cara yang dilarang oleh Konvensi yang berlaku di Hong Kong, bahwa
pembatasan akan bertentangan dengan Pasal 39 melalui persyaratan pasal bahwa pembatasan atas hakhak yang dimiliki oleh penduduk Hong Kong tidak boleh bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 39 (1);
tetapi perlu untuk memutuskan poin ini, karena pemohon menerima bahwa sekurang-kurangnya diciptakan
pengharapan yang sah di mana kita akan merujuknya.
Setelah memutuskan bahwa Konvensi ILONo. 97 berlaku dalam hukum domestik, Pengadilan memeriksa
isu utama kasus ini untuk menentukan apakah pajak rekrutmen atas pekerja asing melanggar Pasal 6
(1) Konvensi. Pengadilan menemukan bahwa kesetaraan perlakuan yang diatur dalam ketentuan tersebut
berlaku kepada pekerja migran yang telah memperoleh hak bekerja di suatu negara yang telah meratikasi
Konvensi. Pajak yang dipertanyakan adalah prasyarat dan suatu kondisi untuk memberikan izin kerja kepada
pekerja asing, dan tidak masuk dalam lingkup penerapan Konvensi. Sebagai dasar alasannya, pengadilan
merujuk pada Survei Umum Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi mengenai
pekerja migran dan dipublikasikan tahun 1999: “Konvensi-konvensi ini memiliki tujuan perlindungan kondisi
pekerja migran yang telah sah tinggal di negara penerima untuk menjalankan pekerjaan di mana mereka
direkrut. Mereka tidak memiliki tujuan untuk mendikte siapa yang seharusnya dan tidak seharusnya direkrut
atau orang yang seharusnya menerbitkan visa.”175
Sehingga, setelah mempertimbangkan Konvensi ILO No. 97 berlaku dalam hukum domestik, Pengadilan
Banding Wilayah Adminisratif Khusus Hong Kong merujuk pada hasil kerja Komite ahli untuk memutuskan
bahwa pajak yang terkait dengan rekrutmen pekerja asing tidak bertentangan dengan Konvensi dan
karenanya menjadi sah.
175
ILO: Pekerja migran,Survei Umum Komite Ahli tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, ILC, sesi ke-87, Geneva, 1999, laporan III
(1B).
94
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Kolombia
Konstitusi Politik Republik Kolombia
Pasal 53
(...) Konvensi-konvensi perburuhan internasional, yang telah secara sah diratikasi, merupakan bagian
dari legislasi domestik (…).
Pasal 93, Ayat 1
Perjanjian-perjanjian internasional dan konvensi-konvensi yang diratikasi oleh Kongresyang mengakui
hak asasi manusia dan melarang pembatasannya dalam keadaan darurat berlaku dalam aturan
domestik.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Piagam ni harus ditafsirkan sesuai dengan
perjanjian-perjanjian internasional tentang hak-hak asasi manusia yang telah diratikasi oleh
Kolombia.
51.
Mahkamah Konstitusil Kolombia, Plenary Session, Benjamín Ochoa Moreno republik
action of unKonstitutionality, 17 Mei 2000, C-567/00
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi176
Kebebasan berserikat/ beragam serikat pekerja/ pendaftaran serikat/ penerapan langsung konvensi
ILO No. 87
Pemohon mempertanyakan konstitusionalitas hukum Kolombia yang tidak mengizinkan lebih dari satu
serikat pekerja dalam satu perusahaan dan meminta pencatatan serikat pekerja dalam daftar negara.
Pada awalnya, pemohon mengklaim bahwa larangan lebih dari satu serikat pekerja melanggar
kebebasan serikat pekerja dengan membatasi kemungkinan mendirikan serikat pekerja baru jika telah ada
satu serikat dalam perusahaan.
Kementerian Perburuhan, ketika menjawab tuntutan tersebut, mendukung konstitusionalitas hukum,
berargumen bahwa mengizinkan hanya satu serikat pekerja memastikan kesatuan dalam perwakilan serikat
pekerja dan karenanya berkontribusi atas suksesnya kegiatan serikat pekerja.
Atas dasar pasal 39 Konstitusi Kolombia yang menjamin hak seluruh pekerja untuk mendirikan serikat
pekerja, dan pasal 2 Konvensi No. 87 ILO, yang membentuk bagian yang dinamakan “blok konstitusionalitas”,
Mahkamah menetapkan bahwa pembatasan pembentukan serikat pekerja membatasi kebebasan serikat
pekerja dan tidak konstitusional.
176
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No.98 tentang Hak Berserikat dan
Perundingan Bersama, 1949.
95
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Kedua, pemohon menyatakan bahwa persyaratan atau keharusan untuk mendaftarkan serikat pekerja
dalam daftar negara melanggar kebebasan berserikat. Tuntutan administratif tersebut dikenakan karena
pengakuan dan pengaturan kegiatan serikat pekerja berimplikasi pada penyeleksian melalui otoritas
negara.
Pemohon mendasarkan tuntutannya pada Konstitusi Kolombia dan Konvensi ILO No. 87, sebagai
hukum yang menjamin hak untuk mendirikan serikat pekerja tanpa campur tangan negara.
Mahkamah mengamati bahwa sistem hukum Kolombia mengatur kegiatan serikat pekerja dalam dua
tahapan. Pertama, pada saat pembentukan serikat pekerja dan bagaimana mereka memperoleh status
hukum; dan kedua, ketika serikat pekerja sudah dibentuk dan memiliki kapasitas hukum, dan diminta untuk
mendaftarkan diri ke dalam daftar publik untuk tujuan memastikan publisitas keberadaan badan serikat
pekerja kepada pihak ketiga. Pengaturan itu bukanlah pelanggaran terhadap Konstitusi atau Konvensi ILO
No. 87.
Menganalisa proses pendaftaran, Mahkamah memperhatikan bahwa legislasi mengatur kapan otoritas
pemerintah dapat menolak pendaftaran, dengan menyatakan alasan “praktik yang baik”. Untuk Mahkamah,
hal ini bersifat subyektif dan kriteria yang luas tidaklah konstitusional, karena hal ini menjadi campur tangan
negara yang melebihi kewenangannya dalam pembentukan serikat pekerja dengan membatasi pelaksanaan
hak, bertentangan dengan isi Pasal 39 Konstitusi, dan Konvensi ILO No. 87. Selanjutnya, aturan hukum
juga dinilai tidak konstitusional dalam hal lemhanya proses pendaftaran, penundaan atau pembatalan
pendafataran serikat pekerja yang datang dari keputusan administratif, dan hal itu melanggar persyaratan
bahwa sanksi-sanksi ini hanya bisa diputuskan melalui ketetapan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal
39, Bagian tiga Konstitusi dan Pasal 4 Konvensi ILO No. 87.
Konsekuensinya, Mahkamah, berdasarkan Konstitusi Kolombia dan Konvensi ILO No. 87, menyatakan
kekuasaan pemerintah untuk menolak, menunda, atau membatalkan pendaftaran serikat pekerja karena
alasan “praktik yang baik” dan tanpa intervensi hukum adalah tidak konstitusional.
52.
Mahkamah Konstitusi Kolombia, 5 April 2000, C-385/00
Subyek: kebebasan berserikat; pekerja migran
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;177 instrumen yang
tidak tunduk pada ratikasi178
Kebebasan berserikat/ hak-hak sipil orang asing/ Diskriminasi terhadap pekerja asing dan pengecualian
dari posisi perwakilan serikat
Mengajukan tuntutan hukum atas ketidakkonstitusionalan, dua warga negara mempertanyakan
beberapa pasal dalam UU Perburuhan, menganggap bahwa pasal-pasal tersebut melangggar Konstitusi,
berbagai instrumen internasional, dan khususnya Konvensi-konvensi ILO No. 87, 98, dan 111.179 Pasal-
177
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat dan
Perundingan Bersama, 1949; Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958; Perjanjian Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965.
178
Deklarasi Universal HAM, 1948; Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1963.
179
Pasal 384, 388, 422, dan 432 UU Perburuhan Kolombia.
96
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
pasal tersebut mensyaratkan serikat pekerja terdiri dari sekurang-kurangnya dua pertiga anggotanya
berkebangsaan Kolombia dan melarang orang asing menduduki posisi perwakilan serikat pekerja.180
Penyelesaian kasus ini perlu mempertimbangkan Pasal 100 Konstitusi Kolombia, yang menyatakan
bahwa “undang-undang dapat, untuk alasan ketertiban publik, menolak atau mengsubordinasikan kondisikondisi khusus pelaksanaan hak-hak sipil tertentu untuk orang asing. Sehingga, di Kolombia, orang
asing harus mendapatkan manfaat yang sama atas jaminan seperti warga negara Kolombia, kecuali ada
pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh Konstitusi atau oleh undang-undang.”
Pada awalnya, Mahkamah mencatat bahwa Kongres tidak dapat membatasi pelaksanaan hak-hak sipil
orang asing dengan mengajukan alasan yang abstrak tentang ketertiban umum, tapi “pembatasan hakhak dasar harus dinyatakan, diperlukan, dan sangat vital, serta harus mengarah pada pencapaian tujuan
konstitusional yang sah dalam masyarakat demokratik, dan untuk menjamin harmoni dalam masyarakat.”
Selanjutanya, Mahkamah memutuskan bahwa:
“sesuai dengan Pasal 53 (4),181 93,182 dan 94183 Konstitusi, isi dan lingkup kebebasan berserikat
harus sejalan dengan konvensi-konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional tentang HAM di
tempat kerja.”184
Mahkamah secara eksplisit merujuk pada Pasal-pasal 2, 3, 6, dan 8 Konvensi ILO No. 87 tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat185 dan menyatakan:
“bahwa tidak terdapat keraguan atas ketentuan-ketentuan yang dipertanyakan bertentangan
dengan Konvensi-konvensi yang dikutip sebelumnya, yang tidak mengatur satu contoh pun atas
kemungkinan bahwa kebebasan berserikat bagi pekerja asing dapat dibatasi.”186
Sehubungan dengan penjelasan di atas dan berdasarkan Konstitusi nasional serta Konvensi ILO No.
87, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa ketentuan-ketentuan hukum domestik yang membatasi
kebebasan berserikat pekerja asing adalah tidak sah.
180
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi telah mempertimbangkan ketentuan ini bertentangan dengan Konvensi ILO
No. 87. Lihat pengamatan oleh Komite Ahli mengenai penerapan oleh Kolombia atas Konvensi ILO No. 87, diterbitkan tahun 2000.
181
Pasal 53 (4) Konstitusi Kolombia: “Kongres harus mengadopsi UU Perburuhan. UU tersebut akan mempertimbangkan sekurangnya prinsipprinsip minimum sebagai berikut: (…) konvensi-konvensi perburuhan internasional yang telah secara sah diratikasi sebagai bagian dari
legislasi domestik.”
182
Pasal 93 (1) Konstitusi Kolombia: perjanjian dan konvensi internasional, yang diratikasi oleh Kongres, yang mengakui HAM dan melarang
pembatasannya pada saat keadaan darurat, memiliki preseden atas urutan legislasi Domestik. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dikonrmasikan dalam Piagam ini harus ditafsirkan sesuai dengan perjanjian internasional tentang HAM yang diratikasi oleh Kolombia.
183
Pasal 94 Konstitusi Kolombia: “daftar hak-hak dan jaminan-jaminan yang dimuat dalam Konstitusi dan dalam konvensi-konvensi internasional
yang berlaku tidak mengabaikan hak-hak lain yang tidak secara tegas dinyatakan di sini namun nyata bagi semua manusia.
184
Halaman 13 Keputusan.
185
Pasal 2 Konvensi No. 87: “Pekerja dan pengusaha tanpa pembedaan apapun, harus memiliki hak untuk membentuk dan, tunduk hanya pada
aturan organisasinya, untuk bergabung dengan organisasi yang mereka pilih sendiri tanpa otorisasi sebelumnya.”
Pasal 3 No. 87: “Organisasi pekerja dan pengusaha harus memiliki hak untuk membuat Konstitusi dan aturan, untuk memilih perwakilan
mereka dengan kebebasan penuh, untuk menyelenggarakan administrasi dan kegiatan-kegiatan mereka dan memformulasikan programprogram mereka. Otoritas publik harus menahan diri dari setiap campur tangan yang akan membatasi hak ini atau mengganggu pelaksaan
yang sah atas hak-hak ini.”
Pasal 6 Konvensi No. 87: “ketentuan-ketentuan dari Pasal 2, 3 dan 4 berlaku kepada federasi dan konfederasi organisasi pekerja dan
pengusaha.”
Pasal 8 (2) Konvensi No. 87: “Hukum tidak boleh mengganggu, atau berlaku untuk mengganggu jaminan yang diatur dalam Konvensi ini.”
186
Halaman 14 keputusan. Harus ditunjukkan bahwa Komite Kebebasan Berserikat ILO menpertimbangkan legislasi yang bisa diterima yang
memungkinkan akses bagi pekerja asing untuk posisi di serikat sekurangnya dibatasi dengan periode (lamanya) tinggal yang di negara
penerima. Lihat ILO: Intisari keputusan dan prinsip kebebasan berserikat dari badan Pimpinan ILO, edisi kelima (revisi) (Geneva, 2006), Ayat
420.
97
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
53.
Mahkamah Konstitusi Kolombia, Kamar Supervisi Banding Keempat, Sindicato
de las Empresas Varias de Medellín vs Ministry of Labour and Social Security, the
Ministry of Foreign Relations, the Municipio of Medellin and Empresas Varias de
Medellín E.S.P., 10 Agustus 1999, T-568/99
Subyek: hak mogok; pemecatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;187 instrumen yang
tidak tunduk pada ratikasi;188 kasus hukum internasional189
Hak mogok/ Pemecatan anti serikat sebagai hasil pernyataan mogok illegal oleh otoritas pemerintah/
Penerapan langsung hukum internasional untuk mengabaikan ketentuan nasional yang kurang
melindungi pekerja
Pekerja mengajukan permohonan keadilan setelah dipecat karena berpartisipasi dalam pemogokan
yang dinyatakan ilegal oleh otoritas pemerintah, dan menuntut dipekerjakan kembali pada pekerjaannya.
Kasus ini telah dipelajari oleh Komite Kebebasan Berserikat ILO, yang membuat rekomendasi mendesak
pemerintah untuk mengembalikan pekerja ke pekerjaannya, pekerja yang telah dipecat karena berpartisipasi
dalam mogok sebagaimana disebutkan sebelumnya.190 Untuk membenarkan tuntutan mereka, pemohon
menyerahkan rekomendasi Komite Kebebasan Berserikat.
Namun, permohonan tersebut ditolak dan dianggap tidak sah, berargumen bahwa serikat pekerja telah
menggunakan semua upaya yang biasa dilakukan. Selanjutnya Pengadilan menolaknya, dengan alasan
Rekomendasi ILO tidak wajib diikuti. Menghadapi situasi ini, pekerja berkeras pada tuntutan mereka dan
membuat permohonan untuk perlindungan.
Untuk menentukan apakah pemecatan karena berpartisipasi dalam pemogokan yang telah dinyatakan
ilegal oleh otoritas pemerintah bisa dikategorikan sebagai pemecatan karena anti serikat yang melanggar
Konstitusi Nasional,191 Mahkamah Konstitusional menerapkan konvensi-konvensi ILO No. 87, dan 98.192
Mahkamah menganggap bahwa para pekerja telah kehilangan kan jaminan atas imparsialitas dan
perlindungan terhadap diskriminasi anti serikat.
Pada saat yang sama, Mahkamah yang menyatakan bahwa Rekomendasi dari Komite Kebebasan
Berserikat mengikat, menyimpulkan bahwa rekomendasi yang dibuat dan diserahkan ke Badan Pimpinan ILO
merupakan perintah tegas mengikat Pemerintah Kolombia dan menyatakan sebagai berikut “(…) [Komite]
adalah badan yang dapat membuat rekomendasi dengan karakter yang mengikat menurut norma-norma
yang mengatur organisasi.”
187
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No.98 tentang hak berserikat dan
Perlindungan Bersama,1949; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Konvensi Amerika tentang HAM
(“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969.
188
Konstitusi ILO, 1919; Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
189
Komite Kebebasan Berserikat ILO
190
Keluhan terhadap Pemerintah Kolombia diajukan oleh Serikat Pekerja Medellín
Municipal Enterprises (EEVVMM) (Lihat ILO: Laporan Komite Kebebasan Berserikat), Kasus No.1916, Report No. 309, Ofcial Bulletin, Vol.
LXXXI, 1998, Series B, No. 1, para. 105).
191
Pasal 39 dan 56 Konstitusi Kolombia secara tegas menetapkan hak berserikat, pembentukan serikat pekerja dan pemogokan, sedangkan
Pasal 53 dan 93 Konstitusi secara tegas menyatakan bahwa Konvensi-konvensi Perburuhan Internasional merupakan bagian dari legislasi
domestik yang memberikan preseden dalam urutan domestik kepada perjanjian internasional tentang HAM.
192
Menurut Konstitusi Kolombia, Konvensi Perburuhan Internasional yang secara sah telah diratikasi merupakan bagian dari legislasi domestik
(Pasal 53) dan perjanjian dan konvensi internasional yang diratikasi oleh Kongres, yang mengakui HAM dan melarang pembatasan mereka
dalam keadaan darurat, harus berlaku dalam urutan hukum domestik (Pasal 93). Seperti dapat dilihat, perjanjian internasional mengenai
HAM adalah kesatuan dalam peraturan domestik dengan hierarki yang lebih tinggi.
98
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Dengan demikian, Mahkamah menambahkan bahwa “dalam kasus ini, dewan menerima laporan
dari Komite dan rekomendasinya dan menerbitkan laporan itu sebagai bagian dari laporan resmi (…).”193
“Kolombia berkewajiban, karena posisinya sebagai negara anggota dari Konstitusi ILO, untuk menghormati
rekomendasi Badan Pimpinan.”
Mahkamah, dalam upayanya mendasarkan putusannya mengenai pemecatan karena anti serikat,
menyatakan sebagai berikut:
“(…) serikat pekerja dikecualikan dari verikasi pemogokan yang dilaksanakan oleh Kementerian
Perburuhan dan Jaminan Sosial dengan kepesertaan dari pengusaha, tetapi bukan pekerja.
(…) tindakan tersebut melanggar hak partisipasi dari pekerja yang beraliasi dengan serikat
pekerjat (baik yang berpartisipasi dalam mogok maupun yang tidak), dan untuk pemohon serikat
pekerja, serta Konvensi-konvensi No. 87 dan 98, yang merupakan bagian dari pengeblokan
konstitusionalitas.
(…) Konstitusi dan Konvensi No.87 dan 98 ILO tentang Kebebasan Berserikat (perjanjian dan
konvensi internasional yang secara sah diratikasi oleh Kongres, yang menjelaskan hak-hak yang
tidak bisa ditunda, bahkan dalam keadaan darurat), harus juga dimasukkan, sebagai tambahan
dari pasal-pasal Deklarasi Universal tentang HAM, PerjanjianInternasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Konvensi Amerika tentang HAM. Mereka dihadapkan pada Pasal
430 dan 450 UU Perburuhan di mana pemecatan didasarkan, dan tentu saja, rekomendasi Komite
Kebebasan Berserikat Organisasi Perburuhan Internasional.”
Sebagai hasilnya, Mahkamah Konstitusi Kolombia menerapkan Konvensi-konvensi ILO No. 87 dan 98,
serta Rekomendasi Komite Kebebasan Berserikat, mempertimbangkan bahwa hal tersebut mengikat untuk
menentukan pelanggaran terhadap Konstitusi nasional. Atas dasar ini, Mahkamah menyatakan pemecatan
tersebut tidak sah dan memerintahkan pekerja yang dipecat dikembalikan ke pekerjaannya dan ia berhak
atas pembayaran atas gaji dan tunjangan yang belum diterimanya.
54.
Mahkamah Konstitusi Kolombia, Kamar Banding Ketujuh, Alfonso Ruiz and others
vs Empresa Sucesores de José de Jesús Restrepo and Cía. S.A., 13 Maret 1995, T-102/95
Subyek: kebebasan berserikat; perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi;195 instrumen yang tidak tunduk
pada ratikasi196
Kebebasan berserikat/ Diskriminasi upah antara pekerja yang berserikat dan tidak berserikat/ Rujukan
kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Pekerja yang tidak berserikat dalam suatu perusahaan menerima kenaikan gaji sebesar 28 persen pada
bulan Februari 1992. Menghadapi situasi ini, pekerja yang berserikat memulai perundingan bersama untuk
menuntut kenaikan gaji. Namun, perundingan itu gagal menghasilkan perjanjian bersama. Mendapatkan
fakta bahwa konik tetap tidak terselesaikan, pekerja yang berserikat mengajukan permohonan pada bulan
193
ILO: Laporan Komite Kebebasan Berserikat, Kasus No. 1916, Laporan No. 309, op. cit.
194
Kovensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958.
195
Konstitusi ILO, 1919.
99
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Oktober 1992, meminta gaji mereka dinaikkan dengan persentase yang sama dengan yang diterima oleh
pekerja yang tidak berserikat. Permintaan tersebut ditolak pada tingkat pertama dan kedua. Namun pekerja
yang berserikat terus melanjutkan prosedur dan membuat permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Untuk menentukan apakah pekerja yang berserikat memiliki hak untuk menerima kenaikan gaji yang
diberikan secara sepihak oleh perusahaan kepada pekerja yang tidak berserikat, Mahkamah Konstitusi
mengacu kepada Konstitusi ILO dan kasus hukum domestik (suatu keputusan dari Kamar yang sama dalam
kasus yang serupa) di mana Konvensi ILO No. 111 diterapkan.
Dalam hal ini, Mahkamah menyatakan sebagai berikut:
“Semua orang sama di hadapan hukum, dan tidak boleh ada diskriminasi karena alasan jender,
ras, kebangsaan, asal keluarga, bahasa, agama, pandangan politik atau loso. Daftar ini ada
dalam Pasal 13 Konstitusi Nasional Kolombia tidaklah ekslusif. Sebagai tambahan, karena
aspek-aspek ini terkait dengan pekerjaan, Pasal 53 menyatakan bahwa harus ada kesetaraan
kesempatan untuk semua pekerja (…).
Selanjutnya, Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional, yang diadopsi tahun 1919, secara
tegas menyatakan dalam Pembukaannya pengakuan atas prinsip kesetaraan pengupahan untuk
“pekerjaan yang setara nilainya” dan Konvensi ILO No. 111, yang diadopsi oleh UU 22/67, merujuk
secara konkrit kepada non-diskriminasi mengenai kesempatan dan perlakuan dalam pekerjaan
dan jabatan.”196 (…)
Prinsip konstitusi atas kesetaraan pekerja telah dikembangkan oleh Konvensi Perburuhan
Internasional No. 111 mengenai diskriminasi sehubungan dengan pekerjaan dan jabatan. Sebagai
hasilnya, di Kolombia Konvensi teresebut adalah sumber hukum untuk diterapkan langsung sesuai
dengan Pasal 53 Konstitusi Nasional Kolombia, yang menetapkan bahwa “Konvensi Perburuhan
Internasional yang diratikasi secara sah merupakan bagian dari legislasi domestik.” Selanjutnya,
isinya adalah norma penafsiran dari hak konstutisional sesuai dengan Pasal 93 Konstitusi
Nasional.”
Berdasarkan Konstitusi Nasional Kolombia dan rujukan pada Konstitusi ILO dan Konvensi ILO No. 111,
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pekerja yang berserikat harus menerima kenaikan upah seperti
yang diberikan kepada pekerja yang tidak berserikat. Jika hal tersebut bukan menjadi kasusnya, pembedaan
yang jelas harus dibuat berkaitan dengan prinsip non-diskriminasi.
196
Pasal 1 (3) Konvensi No. 111: “Untuk tujuan Konvensi ini, isitilah pekerjaan dan jabatan termasuk akses kepada pelatihan kejuruan, akses ke
pekerjaan, dan khususnya kepada jabatan dan syarat dan kondisi kerja.”
100
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Kosta Rika
Konstitusi Politik Republik Kosta Rika
Pasal 7, Ayat 1
Perjanjian internasional, kesepakatan dan kesepahaman- perjanjian-perjanjian lain yang telah disahkan
oleh Dewan Legislatif harus memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada undang-undang setelah mereka
diumumkan pada hari mereka disahkan.
55.
Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional, Antonio Blanco Rodríguez and others
vs The President of the Republik, the Minister of Government and Politics, the Institute
of Agrarian Development and the National Commission of Indigenous Affairs,
11 Agustus 1999, Decision No. 06229-aa
Subyek: hak masyarakat dan suku adat
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi197
Hak-hak masyarakat dan suku adat/ Hak kepemilikan/ Penerapan hukum internasional untuk
mengabaikan ketentuan nasional yang lebih rendah
Tempat tinggal yang menjadi lokasi konservasi masyarakat adat yang dilestarikan, luas wilayahnya telah
dikurangi melalui keputusan pemerintah, telah mengajukan perlindungan kepada pengadilan atas hak-hak
mendasar mereka (recurso de amparo), karena adanya dugaan pelanggaran atas hak wilayah mereka.
Setelah menetapkan bahwa Konstitusi hanya berisi ketentuan-ketentuan umum tentang kepemilikan,198
Kamar Konstitusional Mahkamah Agung merujuk pada ketentuan-ketentuan Konvensi ILO No. 107 untuk
menentukan apakah pengurangan ukuran daerah pelestarain masyarakat adat yang diputuskan oleh
pemerintah melanggar hak-hak mendasar pemohon. Salah satu kewajiban negara penandatangan menurut
Konvensi adalah mengadopsi tindakan-tindakan untuk melindungi hak milik masyarakat hukum adat dan
untuk mengakui hak-hak mereka atas kepemilikan tanahyang mereka kuasai secara tradisional.
Mahkamah menganggap bahwa pengurangan ukuran wilayah pelestarian bagi masyarakat Hukum
adat oleh keputusan eksekutif tidak sesuai dengan Konvensi ILO No. 107 dan melanggar hak kepemilikan
masyarakat hukum adat, yang dilindungi oleh instrumen internasional.
Mahkamah menetapkan sebagai berikut:
“Keputusan No. 7962 mengatur dalam Pasal 1 bahwa batas-batas pelestarian masyarakat
hukum adat Guatuso telah diubah. Pengurangan luas wilayah pelestarian masyarakat hukum adat
sekitar 250 hektar sehinga mengubah Keputusan No. 5904-G tanggal 10 April 1996, merupakan
faktor yang melanggar larangan yang ditetapkan dalam UU No. 6172, yang telah berlaku sejak
197
Konvensi ILO No. 107 tentang Masyarakat dan Suku Adat,1957; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966.
198
Menurut Pasal 7 Konstitusi Kosta Rika, Konvensi Internasional yang telah diratikasi oleh Kosta Rika memiliki otoritas yang lebih tinggi dari
perundang-undangan domestik.
101
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
20 Desember 1977.(…) Ketika keputusan yang dipertanyakan tersebut diterbitkan, Konvensi No.
107 mengenai Perlindungan dan Integrasi Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Suku lain dan
Semi Suku199 berlaku dan telah diadopsi melalui Dewan Legislatif Kosta Rika melalui UU No. 2330
tanggal 9 April 1959. Sesuai dengan Pasal 7 Konstitusi, bahwa Konvensi memiliki otoritas yang
lebih tinggi daripada UU dan juga dari keputusan reformasi. (...)
Pasal 11 Konvensi tersebut mengatur bahwa kewajiban negara untuk mengakui hak kepemilikan
bersama atau individual dari anggota masyarakat hukum adat terhadap tanah yang mereka
kuasasi secara tradisional (…) Pemerintah Kosta Rika mengakui penguasaan secara tradisional
wilayah oleh kelompok-kelompok ini dalam Keputusan No.5904-G dengan menentukan batasbatas pelestarian masyarakat hukum Guatuso. Setiap perubahan yang merugikan area asli akan
bertentangan dengan ketentuan Pasal 11 Konvensi Internasional, di mana Kosta Rika telah
meratikasinya.”
Sebagai kesimpulan, Mahkamah Agung Kosta Rika memberlakukan Konvensi ILO No. 107, yang
mengakui hak kepemilikan masyarakat Hukum adat terhadap wilayah yang mereka kuasai secara tradisional.
Atas dasar ini, Keputusan Eksekutif yang mengurangi ukuran wilayah pelestarian masyarakat hukum adat
akan diabaikan atas dasar pelanggaran standar hukum dengan otoritas yang lebih tinggi, dan pelanggaran
hak-hak mendasar masyarakat yang bersangkutan.
56.
Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional, Hernán Oconitrillo Calvo vs
the Municipality of San José, 23 April 1999, keputusan No. 1999-02971
Subyek: hak perlindungan kesehatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;200 perjanjian
internasional yang tidak diratikasi;201 instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi202
Pelanggaran hak perlindungan kesehatan/ kurangnya penghargaan atas rekomendasi dari Kementerian
Kesehatan dan Perburuhan/ Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Seorang pekerja mengajukan proses amparo (recurso de amparo) karena pelanggaran atas hak-haknya
terhadap perlindungan kesehatan, karena pemerintah daerah San José tidak mematuhi rekomendasi
Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perburuhan mengenai kondisi-kondisi yang tidak sehat di tempat
kerja di mana petugas-petugas kesehatan telah memeriksa pekerjaannya dan mengapa para pekerja
menderita penyakit yang serius.
199
Pasal 3 Konvensi No. 107: “Selama kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang bersangkutan mencegah mereka dari memiliki
keuntungan atas ketentuan-ketentuan umum negara di mana mereka berada, langkah khusus harus diadopsi untuk memberikan perlindungan
atas lembaga, hak milik, dan pekerja populasi ini.”
200
Konvensi Amerika tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969; Protokol Tambahan terhadap Konvensi Amerika tentang HAM dalam
bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (“Protocol San Salvador”), 1988.
201
Konvensi ILO No. 155 tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja,1981.
202
Deklarasi Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1948; Rekomendasi ILO No. 97 tentang Perlindungan Kesehatan Pekerja, 1953.
102
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Untuk menentukan apakah amparo harus diberikan, Mahkamah Agung mencatat pengakuan umum
atas hak perlindungan kesehatan dalam Konstitusi nasional.203
Namun, dikonrmasikan bahwa tidak ada UU yang berkaitan dengan perlindungan kesehatan di tempat
kerja. Sebagai hasilnya, Mahkamah menafsirkan prinsip yang dimuat dalam Konstitusi Nasional sehubungan
dengan instrumen internasional instrumen regional, dan Konvensi ILO No. 155204 serta Rekomendasi ILO
No. 97.205 Instrumen-instrume tersebut berisi ketentuan yang mewajibkan pengusaha untuk menjamin
lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi semua pekerja.
Mahkamah kemudian memutuskan sebagai berikut:
“Sesuai dengan semangat kebajikan dalam karakter programatik dari norma konstitusional yang
dikutip, perlu untuk mengembangkan yurisprudensi melalui analisa kasuistis untuk menentukan
tindakan atau penghapusan yang mana yang diduga mempengaruhi kebebasan, martabat,
stabilitas, dan upah yang memadai yang didenisikan sebagai elemen dasar dari hak untuk
bekerja.”
Mahkamah menambahkan:
“Mengenai hakekat amparo sebelum kami, harus ditunjukkan bahwa, cukup jelas, perlindungan
kesehatan pekerja adalah tidak terpisahkan dari upaya menjamin penghargaan atas martabat
mereka. Dari penafsiran yang harmonis dari Pasal-pasal 21, dan 56 Konstitusi, Pasal 1, 11, dan 14
Deklarasi Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia, Pasal 4 Konvensi Amerika tentang HAM
dan Pasal 10 Protokol Tambahan terhadap Konvensi Amerika tentang HAM dalam bidang Ekonomi,
Sosial dan Budaya, Pengadilan menyimpulkan bahwa pekerja memiliki hak untuk mejalankan
fungsinya dalam lingkungan yang layak, yang menjamin perlindungan atas hak kesehatannya.
Dalam hal ini, Mahkamah mempertimbangkan Pasal 16 Konvensi ILO No. 155.”
Di sisi lain, Mahkamah membuat rujukan pada Rekomendasi ILO No. 97 tentang Perlindungan
Kesehatan Pekerja.206
Menimbang kekosongan hukum domestik yang mengatur perlindungan kesehatan di tempat kerja,
Mahkamah Agung Kosta Rika menafsirkan ketentuan dalam Konstitusi sejalan dengan instrumen
internasional, khususnya Konvensi ILO No. 155, dan Rekomendasi No. 97, untuk menyatakan pelanggaran
hak atas lingkungan kerja yang sehat oleh pemerintah daerah.
203
Pasal 56 Konstitusi Kosta Rika: “Pekerjaan adalah hak individu dan kewajiban masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa semua
orang memiliki pekerjaan yang jujur dan berguna, diupah secara layak dan pencegahan dari kondisi-kondisi yang tercipta dari penurunan
kebebasan atau martabat manusia atau penurunan pekerjaannya ke kondisi yang produk sederhana. Pemerintah menjamin kebebasan
memilih pekerjaan.”
204
Pasal 16(1) Konvensi No. 155: “Pengusaha harus diminta untuk memastikan bahwa, sejauh praktik yang pantas, tempat kerja, mesin,
peralatan dan proses di bawah kontrol mereka adalah aman tanpa risiko kesehatan.”
205
Ayat 1 Rekomendasi No. 97: “UU atau peraturan nasional harus menyediakan metode-metode pencegahan, pengurangan, atau penghapusan
risiko-risiko kesehatan di tempat kerja, termasuk metode yang diperlukan dan layak yang akan diterapkan sehubungan dengan risiko-risiko
khusus terhadap bahaya kesehatan (…)”
206
Mahkamah menunjukkan bahwa Rekomendasi menetapkan tindakan-tindakan teknis dari perlindungan terhadap risiko-risiko yang
mengancam kesehatan pekerja.
103
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
57.
Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional, José Manuel Paniagua Vargas and other
civil servants of the National Commission for Indigenous Affairs vs The Ministry of
Culture, Youth and Sport and the National Commission for Indigenous Affairs (CONAI),
16 Januari 1998, Keputusan No. 0241-98
Subyek: hak masyarakat dan suku adat
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;207 kasus hukum
internasional208
Hak masyarakat dan suku adat/ Pengurangan 85 persen dari anggaran yang dialokasikan untuk
Komisi Nasional Urusan Masyarakan Adat/ Penerapan hukum Internasional untuk mengesampingkan
ketentuan domestik yang lebih rendah tingkatnya
Mengikuti pemotongan anggaran Komisi Nasional Urusan Masyarakat Adat (CONAI) yang drastis,
beberapa anggota Komisi mengajukan proses amparo yang meminta Mahkamah memberikan perlindungan
atas hak-hak dasar (recurso de amparo), dengan dugaan pelanggaran hak-hak mendasar dari masyarakat
adat.
Mahkamah Agung menerapkan Konvensi ILO No. 169 untuk menentukan apakah pengurangan
anggaran Komisi Nasional untuk Urusan Masyarakat Adat yang diputuskan oleh pemerintah melanggar hakhak dasar masyarakat hukum adat. Instrumen ini mensyaratkan semua negara yang telah meratikasinya
untuk mengembangkan program untuk menjaga lembaga-lembaga, hak milik, pekerja, budaya dan
lingkungan dari masyarakat adat, dan menetapkan bahwa masyarakat adat harus dimintai pendapatnya
sebelum pemerintah mengambil keputusan yang khusus mengenai mereka.
Atas dasar kewajiban-kewajiban umum yang ditetapkan dalam Konvensi internasional, Mahkamah
menganggap bahwa pengurangan anggaran CONAI secara tidak sah melanggar peranan lembaga yang
mengembangkan inisiatif-inisiatif untuk keuntungan masyarakat adat. Situasi ini merupakan pelanggaran
kewajiban yang disepakati oleh negara Kosta Rika menurut Konvensi No. 169 dan karenanya melanggar
prinsip itikad baik atas dasar di mana perjanjian internasioal seharusnya diterapkan.
Mahkamah juga menunjuk pada kewajiban yang dimuat dalam Konvensi untuk meminta pendapat
masyarakat adat sebelum mengambil keputusan yang khusus tentang mereka, dalam kasus ini, tidak
dipatuhi.
Mahkamah menetapkan sebagai berikut:
“(…) Telah dapat dibuktikan bahwa pengurangan anggaran untuk CONAI secara substansial dari
satu tahun ke tahun berikutnya, melibatkan pembatasan yang tidak sah terhadap lembaga atau
mekanisme untuk pembangunan lembaga dan inisiatif masyarakat adat di negara kita.;
Mengingat, menurut Pasal 33 Konvensi ILO No. 169, pengurangan anggaran lembaga tersebut
telah melanggar prinsip itikad baik di mana perjanjian internasional harus diterapkan;
Mengingat situasi internal pada kenyataannya cenderung membenarkan ketidakpatuhan pada
syarat perjanjian internasional, seperti contohnya dalam kasus ini, padahal lembaga itu seharusnya
bertugas menjaga, inter alia, kepentingan, pekerja dan budaya masyarakat adat (Pasal 26 dan 27
Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian Internasional);
207
Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969; Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat dan Suku Adat,1989.
208
Pengadilan HAM Inter-Amerka: Pendapat Nasihat OC-2/82, 24 September 1982.
104
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mengingat, mengenai kewajiban umum atas penafsiran perjanjian internasional Konvensi ILO No.
169 Pasal 6, Ayat 2 yang berisi kewajiban khusus untuk berkonsultasi dengan masyarakat hukum
adat tentang pengurangan anggaran CONAI tidaklah terjadi; (...)
Karena Kosta Rika telah meratikasi instrumen internasional tersebut, negara Kosta Rika telah
mengambil tindakan-tindakan khusus, menurut Pasal 4. Komitmen ini harus ditafsirkan sebagai
kegiatan yang terus menerus yang bertujuan untuk melindungi kelompok etnis minoritas dan,inter
alia, lembaga, hak milik, pekerja, dan lingkungan mereka dari pengaruh masyarakat kita dan
budayanya;
Tindakan khusus ini mengindikasikan bahwa negara dilarang mengabaikan atau meninggalkan
lembaga publik yang memiliki tujuan menjadi forum diskusi dan inisiatif mengenai isu-isu
masyarakat adat dalam negeri.”
Mahkamah kemudian merujuk pada pendapat Pengadilan HAM Inter-Amerika (Pendapat nasihat OC2/82 tanggal 24 September 1982), di mana Mahkamah merujuk pada perjanjian internasional HAM, yang
menyatakan:
“(…) bukan perjanjian internasional multilateral dari jenis tradisional yang disepakati untuk
mencapai pertukaran hak-hak secara resiprokal untuk keuntungan bersama dari negara anggota.
Maksud dan tujuan mereka adalah perlindungan hak-hak dasar dari manusia individu tanpa
menghiraukan kebangsaan mereka dan semua negara anggota lainnya.”
Mahkamah Agung menyatakan, sebagai konsekuensi atas aturan yang ditetapkan dalam Konvensi
ILO No. 169, pengurangan anggaran CONAI yang diputuskan oleh pemerintah telah melanggar kewajibankewajiban yang disepakati oleh negara Kosta Rika untuk melindungi masyarakat adat, dan atas dasar itu,
Mahkamah mengakui recurso de amparo dan memerintahkan negara untuk mengembalikan anggaran
CONAI.
58.
Mahkamah Agung, Kamar Konstitusional, 8 Oktober 1993, Keputusan No.5000-93
Subyek: kebebasan berserikat; pemecatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional;
penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional;209 instrumen yang tidak tunduk pada
ratikasi210
Kebebasan Berserikat/ Pemecatan/ Ganti rugi pelanggaran kebebasan dan hak dasar – Banding
atas dasar inskonstitusionalitas (”Recurso de amparo”)/ Perlindungan status perwakilan serikat/
Dipekerjakan kembali dalam pekerjaan
Banding atas dasar ketidakkonstitusionalan (“recurso de amparo”) diajukan ke Kamar Konstitusional
Mahkamah Agung untuk kepentingan tiga anggota komite permanen pekerja di suatu perusahaan di mana
209
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat
dan Perundingan Bersama,1949; Konvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan Pekerja, 1971; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, 1966; Konvensi Amerika tentang HAM (Pakta San José, Kosta Rika”), 1969.
210
Deklarasi Amerka tentang Hak dan Kewajiban Manusia,1948; Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
105
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
mereka telah dipecat pada saat mereka mengambil langkah untuk menegosiasi-ulang perjanjian bersama
yang sedang berlaku. Pemohon mengklaim telah terjadi PHK yang tidak sah, yang menghalangi kebebasan
berserikat dan hak berunding bersama dari seluruh pekerja di perusahaan. Sedangkan untuk termohon,
perusahaan mendasarkan pembelaannya pada penjelasan bahwa PHK tidak didasarkan pada kegiatankegiatan serikat pekerja, tetapi, dijustikasi karena alasan-alasan ekonomi dan bahwa pengakhiran kontrak
kerja dibarengi dengan pembayaran kompensasi sebagaimana disyaratkan dalam UU.
Masalah timbul dari kenyataan bahwa legislasi Kosta Rika pada saat itu tidak memiliki aturan khusus
yang bertujuan untuk melindungi perwakilan pekerja, situasi yang mengarah pada kemungkinan pemecatan
perwakilan pekerja tanpa alasan seperti halnya pekerja lain melalui pembayaran kompensasi yang sederhana
sebagaimana diatur oleh UU.211
Setelah menunjukkan bahwa Konstitusi Kosta Rika mengakui kebebasan berserikat dan hak berserikat,
Mahkamah mempelajari isi dari instrumen internasional yang melindungi pelaksanaan kebebasan berserikat,
yang berfokus khususnya pada Pasal 1 Konvensi ILO No. 135,212 Pasal 1 Konvensi ILO No. 98213, dan Pasal
8 (2) Konvensi ILO No. 87.214
Kamar Konstitusional menganggap bahwa berbagai instrumen itu menciptakan kebutuhan untuk
menetapkan perlindungan khusus bagi perwakilan pekerja dari PHK yang tidak sah. Dalam kasus ini,
pemutusan hubungan kerja tidaklah sah kecuali dapat dibuktikan bahwa perwakilan pekerja telah melanggar
kewajiban khusus dan umumnya.215
Menggunakan Pasal 7 Konstitusi Kosta Rika, yang melengkapi keutamaan perjanjian-perjanjian
internasional yang telah diratikasi, atas hukum domestik, Mahkamah menekankan bahwa Konvensikonvensi internasional yang dirujuk seharusnya berlaku. Mahkamah kemudian menentukan bahwa pasalpasal yang sifatnya umum dari Konstitusi216 dan UU Perburuhan Kosta Rika,217 yang mengakui kebebasan
berserikat dan melarang pengusaha memprovokasi pekerja untuk menarik diri dari serikat pekerja, adalah
sejalan dengan yang diatur dalam instrumen internasional.
Utamanya atas dasar Konvensi-konvensi ILO No. 87, 98, dan 135 Kamar Konstitusional Mahkamah
Agung Kosta Rika membatalkan pemecatan atas ketiga perwakilan pekerja dan memerintahkan mereka
dipekerjakan kembali di posisinya dan fungsinya sebagai perwakilan pekerja. Mahkamah memutuskan juga
bahwa argumen hukum yang sama juga berlaku kepada PHK pekerja biasa ketika kontrak diakhiri karena
keanggotaan mereka, secara tegas atau tidak, dalam suatu perkumpulan atau serikat pekerja.
211
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi menganggap bahwa situasi ini bertentangan dengan Konvensi ILO No. 98.
Lihat pengamatan Komite Ahli yang dipublikasikan tahun 1991: “Komite khususnya ingin menekankan bahwa legislasi yang berlaku tidak
mengatur perlindungan bagi anggota serikat pekerja dan juga tidak menjamin keamanan yang pasti dari pengurus serikat pekerja dan anggota
serikat ketika keputusan untuk memecat mereka didasarkan pada partisipasi dalam kegiatan-kegiatan serikat, karena pemecatan yang tidak
dijelaskan, “atas kehendak pengusaha” dibenarkan, hanya melalui pembayaran kompensasi yang diatur dalam UU (Pasal 85 UU Perburuhan),
yang tidak sesuai dengan Pasal 1 Konvensi.”
212
Pasal 1 Konvensi No. 135: “Perwakilan pekerja di perusahaan harus mendapatkan perlindungan yang efektif terhadap setiap tindakan yang
ditujukan kepada mereka, termasuk pemecatan, berdasarkan atas status atau kegiatan-kegiatan mereka sebagai perwakilan pekerja atau
atas keanggotaan serikat atau partisipasi dalam kegiatan-kegiatan serikat, sejauh mereka bertindak sesuai dengan perundang-undangan
atau perjanjian bersama atau pengaturan yang disepakati bersama.”
213
Pasal 1 Konvensi No. 98: “1. Pekerja harus mendapatkan perlindungan yang memadai terhadap tindakan-tindakan anti diskriminasi
sehubungan dengan pekerjaan mereka. 2. Perlindungan tersebut harus berlaku khususnya sehubungan dengan tindakan-tindakan yang
diperhitungkan untuk (a) membuat pekerjaan pekerja tunduk pada kondisi bahwa dia tidak boleh bergabung dengan serikat atau harus
melepaskan keanggotaanya dari serikat; (b) membuat PHK atau praduga kepada pekerja atas alasan keanggotaan serikat atau karena
partisipasi dalam kegiatan-kegiatan serikat di luar jam kerja atau dalam jam kerja dengan persetujuan pengusaha.”
214
Pasal 8 (2) Konvensi No. 87: “UU Negara tidak boleh melanggar, atau dalam penerapannya melanggar, jaminan-jaminan yang diberikan dalam
Konvensi ini.”
215
Harus ditekankan bahwa keputusan Mahkamah dikonrmasikan oleh UU No. 7360 tanggal 4 November 1993.
216
Pasal 60 Konstitusi Kosta Rika.
217
Pasal 70 UU Perburuhan Kosta Rika.
106
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Kroasia
Konstitusi Republik Kroasia
Pasal 140
Perjanjian-perjanjian internasional yang ditandatangani dan diratikasi sesuai dengan Konstitusi dan
telah dipublikasikan, merupakan satu kesatuan dengan sistem Hukum Republik Kroasia dan memiliki
supremasi hukum atas hukum nasional. Ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional itu dapat
diubah atau dibatalkan hanya dengan kondisi dan dengan cara tertentu yang dimuat di dalamnya
sesuai dengan aturan umum hukum internasional.
59.
Mahkamah Konstitusi Kroasia, 10 Januari 2001, No. U-III 727-1997
Subyek: pemecatan; kebebasan berekspresi
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi218
Pemecatan/ Gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas dugaan pelanggaran kebebasan berekspresi/
Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Seorang pengemudi pada Kementerian Dalam Negeri telah dipecat oleh pemerintah karena dinilai
tidak profesional. Setelah serangkaian proses hukum, pemohon mengajukan gugatan ke Mahkamah
Konstitusi Kroasia, menyatakan bahwa kontrak kerjanya telah diakhiri karena dia mengemukakan pendapat
pribadinya selama masa tugasnya. Dia berargumen karena pengadilan tidak mempertimbangkan fakta-fakta
penting dalam kasusnya (dan khususnya alasan sebenarnya dari pemecatan itu), mereka tidak memberikan
kesempatan kepadanya untuk membela diri dan mendapatkan penyelesaian hukum yang efektif.
Untuk mendukung tindakannya, pemohon merujuk pada pelanggaran Konstitusi, Perjanjian Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar.
Mahkamah Konstitusi Kroasia menganalisa ketentuan-ketentuan yang terkait dengan Konstitusi untuk
menentukan apakah kebebasan berekpresi pemohon telah dilanggar. Mahkamah juga menetapkan bahwa
hak kebebasan berekspresi yang tidak hanya terdapat dalam Pasal 38 (1) Konstitusi, tapi juga beberapa
instrumen internasional telah dilanggar:
“Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pekerjaan seseorang tidak dapat diputuskan karena
mengemukakan pendapat pribadinya, dan juga bukan dalam kapasitas pemohon sebagai pegawai
218
Konvensi Eropa untuk Perlindungann HAM dan Kebebasan Dasar, 1950; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966.
107
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Kementerian Dalam Negeri. Hak atas kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 38 Ayat 1 Konstitusi, Pasal
10 Konvensi Eropa219, dan Pasal 19 Perjanjian Internasional,220 dan dapat dibatasi hanya pada kasus-kasus
tertentu (demi kepentingan keamanan negara, kesatuan wilayah, ketertiban umum, mencegah kejahatan
atau sejenisnya), dan mereka bukan alasan untuk memutuskan kontrak pekerja dalam kasus ini, ataupun
didiskusikan atau ditetapkan dalam pengadilan.”
Mahkamah Konstitusi kemudian menetapkan bahwa pengadilan pada tingkat yang lebih rendah
belum memeriksa alasan PHK si supir dan menemukan bahwa pemecatan tersebut bertentangan dengan
pasal-pasal dalam Konstitusi yang menjamin kesetaraan di hadapan hukum, hak banding, dan hak atas
pengadilan yang adil. Hal tersebut memberikan kekuatan atas penyelesaiannya dengan menggarisbawahi
hak-hak ini yang juga dimuat dalam Konvensi Eropa bagi Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar dan
dalam Perjanjian Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik.
“Atas dasar alasan yang sama yang menjadi dasar pelanggaran dari ketentuan Konstitusional,
penetapan yang diperselisihkan juga melanggar ketentuan dalam Pakta Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik dan Konvensi Eropa untukPerlindungan HAM dan Kebebasan Dasar.”
Setelah menetapkan bahwa hak-hak yang dijamin oleh Konstitusi telah dilanggar, Mahkamah Konstitusi
Kroasia mendasarkan pada kedua instrumen internasional tersebut untuk memperkuat keputusannya dan
menekankan kepentingan hak-hak dasar yang telah dilanggar. Oleh karenanya Mahkamah menetapkan
bahwa kebebasan berekspresi tidak dapat menjadi alasan PHK dan fakta bahwa alasan sebenarnya dari PHK
tidak diungkapkan telah melanggar hak atas penyelesaian hukum yang efektif. Mahkamah membatalkan
keputusan seperti yang diminta oleh pemohon.
219
220
Pasal 10 Konvensi Eropa bagi Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar:
“1.
Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berekspresi. Hak ini harus termasuk kebebasan memiliki pendapat dan untuk menerima
dan memberikan informasi dan ide-ide tanpa campur tangan otoritas publik dan mengabaikan batasan-batasannya. Pasal ini tidak
boleh mencegah negara untuk mensyaratkan izin penyiaran, televisi atau perusahaan sinema.
2.
Karena tugas dan tanggung jawabnya, pelaksanaan kebebasan dapat tunduk pada formalitas, kondisi, pembatasan, atau hukuman
tertentu sebagaimana diatur dalam UU dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratik, demi kepentingan keamanan nasional,
kesatuan wilayah, atau keamanan publik, untuk pencegahan pelanggaran kriminal, perlindungan kesehatan dan moral, perlindungan
reputasi atau hak-hak orang lain, untuk menyajikan informasi yang diterima secara rahasia, atau untuk menjaga otoritas dan
ketidakberpihakan lembaga peradilan.”
Pasal 19 Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik:
“1.
Setiap orang memiliki hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan.
2.
Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berekspresi; hak ini harus termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, memberikan
segala jenis informasi dan ide, tanpa menghiraukan batasannya, baik secara oral, tertulis atau tercetak, dalam bentuk seni, atau media
lain yang menjadi pilihannya.
3.
Pelaksanaan hak-hak yang diatur dalam Ayat 2 dibarengi dengan tugas dan tanggung jawab. Oleh karenanya tunduk pada pembatasan
tertentu, tapi ini hanya sebatas yang diatur oleh UU dan dipandang perlu:
(a) untukmenghormati hak atau reputasi orang lain;
(b) Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan dan moral.”
108
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
60.
Mahkamah Konstitusi Kroasia, 8 November 2000, No. U-I 745-1999
Subyek: hak kepemilikan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: Perjanjian internasional yang telah diratkasi;221 kasus hukum
internasional222
Penyitaan/ Kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk memverikasi kepatuhan hukum atas perjanjian
internasional/ Penerapan hukum internasional untuk mengabaikan ketentuan hukum domestik yang
lebih rendah tingkatnya
Seorang warga negara menganggap UU Penyitaan223 melanggar Konvensi Eropa untuk Perlindungan
HAM dan Kebebasan Dasar serta protokolnya. Dia menegaskan fakta bahwa tata cara penyitaan yang tidak
tunduk pada pengawasan pengadilan telah melanggar Pasal 6224 Konvensi serta Protokol No. 1, 4, 6, 7, dan
11. Dia mengajukan permintaan uji materi ke Mahkamah Konstitusi untuk menjadikan UU yang dikenakan
padanya dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi.
Karena Konstitusi tidak mengatur kompetensi Mahkamah Konstitusi untuk menilai apakah hukum
memenuhi instrumen internasional, Mahkamah pertama-tama harus menjawab pertanyaan tersebut. Untuk
menemukan yuridiksinya, Mahkamah menganggap bahwa Konstitusi menugaskannya untuk memastikan
bahwa hierarki standar dipenuhi dan karenanya menganggap bahwa: “Keputusan Mahkamah Konstitusi
adalah mengenai kepatuhan peraturan lain kepada Konstitusi dan UU, bahkan keputusan mengenai
kepatuhan peraturan yang lebih rendah tingkatnya kepada Konstitusi, sebagai peraturan yang tertinggi
tingkatnya. Mahkamah Konstitusi mengkaji kepatuhan UU pada hukum internasional adalah konsekuensi
yang logis di mana perjanjian internasional, yang telah diratikasi dan dipublikasikan menjadi bagian dari
sistem hukum domestik dan kekuatan hukumnya lebih tinggi daripada UU.”225
Mahkamah Konstitusi Kroasia kemudian memeriksa pasal-pasal Konvensi Eropa untuk Perlindungan
HAM dan Kebebasan Dasar dan kasus Hukum Pengadilan HAM Eropa.226 Pada yang belakangan, Mahkamah
menemukan bahwa pengadilan yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan perselisihan mengenai hak
atau kewajiban sipil harus membuat penemuan fakta-fakta yang bersifat mandiri dan prosedur harus
dilaksanakan secara oral dan salah satu pihak harus didengarkan keterangannya. Mahkamah menganggap
bahwa prosedur administratif yang diatur dalam UU Penyitaan tidak memenuhi kondisi ini.
Mahkamah Konstitusi Kroasia menetapkan bahwa UU Penyitaan bertentangan dengan konvensi Eropa
untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar dan juga Konstitusi.
221
Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar 1950.
222
Pengadilan HAM Eropa.
223
UU Penyitaan, Lembaran Negara Republik Kroasia No. 9/94 dan 35/94.
224
Pasal 6 (1) Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar; “Dalam menentukan Hak dan kewajiban sipil atas setiap tuntutan
pidana yang dikenakan padanya, setiap orang berhak atas sidang yang adil dan terbuka dengan waktu yang memadai oleh pengadilan yang
mandiri dan tidak berpihak. Keputusan harus diumumkan secara terbuka namun pers dan publik dapat dikecualikan dari seluruh atau
sebagian persidangan untuk kepentingan moral, ketertiban umum, atau keamanan nasional dalam masyarakat yang demokratik, di mana
ada kepentingan dari anak-anak atau perlindungan terhadap kehidupan pribadi para pihak diperlukan, atau dalam pandangan pengadilan
ada keadaan khusus yang perlu di mana publik akan membuat praduga atas kepentingan peradilan.”
225
Pasal 140 Konstitusi Kroasia mengatur bahwa perjanjian-perjanjian internasional yang telah ditandatangani dan diratikasi memiliki supremasi
atas hukum nasional.
226
Pengadilan HAM Eropa: Le Compte, Van Leuven and De Meyere v. Belgium, 18 Oktober 1982 A 54;
109
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Spanyol
Konstitusi Spanyol
Pasal 10, Ayat 2
Ketentuan yang terkait dengan hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar diakui oleh Konstitusi harus
ditafsirkan sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia serta perjanjian dan kesepakatan
internasional yang diratikasi oleh Spanyol.
Pasal 96, Ayat 1
Perjanjian internasional yang ditandatangani secara sah, bila telah dipublikasikan di Spanyol, harus
menjadi satu kesatuan dengan sistem hukum. Ketentuan-ketentuan mereka hanya dapat dibatalkan,
diubah, atau ditunda dengan cara yang diatur dalam perjanjian internasional itu sendiri, sesuai dengan
norma-norma umum hukum internasional.
61.
Mahkamah Agung of Spanyol, Secundino C.R. vs TOVIC S.L., 2 Oktober 1989
Subyek: kebebasan berserikat; pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi227
Pemecatan/ Kebebasan berkumpul/ Durasi waktu yang diperuntukkan sebagai perwakilan serikat
pekerja/ Penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan hukum domestik
Sebuah perusahaan memecat pekerja, dengan dugaan melanggar itikad baik yang telah disepakati
karena tidak hadir di tempat kerja. Pekerja membuat permohonan untuk penolakan karena pemecatan
tersebut dianggap tidak pantas karena dugaan kesalahan tidak hadir di tempat kerja dijustikasi dengan
kehadirannya pada rapat-rapat komisi negosiasi perjanjian bersama pada sektor metalurgi. Keputusan
Pengadilan pada Tingkat Pertama menerima argumen perusahaan, di mana menurut perusahaan pekerja
harus kembali menunaikan tugas-tugasnya ketika pekerjaannya sebagai perwakilan serikat telah selesai,
daripada tetap tinggal di rumah atau berkunjung ke bar, yang merupakan penyelewengan atas waktu yang
semestinya didedikasikan untuk kegiatan serikat pekerja.
Menimbang situasi ini, pemohon membuat banding, dengan berargumen bahwa waktu yang
didedikasikan untuk perwakilan serikat pekerja seharusnya dipertimbangkan dengan menggunakan kriteria
yang luas, termasuk bertukar pikiran dengan sejawat. Oleh karenanya, perilakunya telah sesuai dengan
UU.
227
Konvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan Pekerja, 1971.
110
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Untuk menentukan apakah pemecatan untuk penggunaan waktu yang diberikan kepada perwakilan
serikat pekerja dalam menjalankan kegiatan-kegiatan serikat pekerja yang tidak benar adalah tidak layak,
Mahkamah Agung menafsirkan UU Dasar Kebebasan Serikat Pekerja228 sejalan dengan Konstitusi nasional
dan Konvensi ILO No. 135. Mahkamah menganggap bahwa Konvensi mengatur konsesi cuti yang dibayar
yang diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan negosiasi oleh perwakilan serikat pekerja yang memadai.
Mahkamah menganggap bahwa, dalam kerangka Konvensi, penggunaan cuti seharusnya tidak menjadi
subyek atas kontrol yang berlebihan dan harus mempertimbangkan kriteria yang masuk akal.
Mahkamah menyatakan sebagai berikut:
(…) penafsiran yang tidak sesuai dengan tujuan aturan, di mana tujuannya adalah memfasilitasi
fungsi negosiasi perwakilan, seharusnya tidak mengganggu esiensi operasional perusahaan yang
bersangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 (3) Konvensi ILO No. 135.229 Oleh karena itu,
perlunya justikasi diatur dalam Pasal 37(3) UU Pekerja230 harus masuk dalam kasus-kasus ini,
tidak hanya untuk aktitas yang mengarah pada cuti tetapi juga justikasi untuk kegiatan dengan
waktu yang digunakan sesuai dengan kriteria yang layak.
“(…) Tidak bisa meminta catatan perhitungan waktu yang digunakan, yang seharusnya eksibel dan
harus menjaga kemandirian perwakilan, (…) perwakilan pekerja memiliki hak untuk melaksanakan
fungsi mereka tanpa harus diawasi scara ketat, karena hal itu akan menghalangi atau membatasi
hak mereka atas kebebasan atau pelaksanaan bebas dari tanggung jawab, kesimpulan yang
diperoleh sehubungan dengan Pasal 28(1) Konstitusi231 dan Konvensi ILO No. 135.”
Kesimpulannya, Mahkamah Agung Spanyol menafsirkan peraturan domestik dengan rujukan pada
Konvensi ILO No. 135 untuk menunjukkan bahwa cuti untuk kegiatan serikat pekerja tidak seharusnya
tunduk pada kontrol yang ketat, memutuskan bahwa perilaku pemohon tidak membenarkan adanya sanksi
ataupun pemecatan.
228
Pasal 9 (2) UU Dasar Kebebasan Serikat Pekerja No. 11/1985 tanggal 2 Agustus 1985: “Perwakilan serikat pekerja yang berparrtisipasi dalam
komisi negosiasi perjanjian bersama, memelihara ikatan mereka sebagai pekerja aktif di perusahaan, harus memiliki hak atas konsesi cuti
yang dibayar yang dianggap perlu untuk melaksanakan tugas mereka secara cukup sebagai negosiator, sepanjang perusahaan dipengaruhi
oleh negosiasi tersebut.”
229
Pasal 2(3) Konvensi No. 135: “Pemberian fasilitas-fasilitas tersebut tidak boleh mengganggu esiensi operasional perusahaan yang
bersangkutan.”
230
Pasal 37(3) UU Pekerja: “Seorang pekerja, setelah menyampaikan pemberitahuan dan dengan justikasi, dapat tidak hadir di pekerjaannya,
dengan tetap menerima remunerasi, karena alasan dan dalam waktu sebagai berikut: (…) (e) dalam rangka menjalankan fungsi serikat
pekerja atau perwakilan staf dalam syarat yang ditentukan oleh UU atau perjanjian.”
231
Pasal 28(1) Konstitusi Spanyol: “Semua orang memiliki hak untuk secara bebas bergabung dengan serikat pekerja. UU dapat membatasi
atau mengecualikan pelaksanaan hak ini pada angkatan bersenjata atau lembaga atau badan militer lainnya, dan harus menetapkan kondisi
khusus atas pelaksanaannya untuk pegawai negeri sipil. Kebebasan serikat pekerja termasuk hak untuk mendirikan dan bergabung dengan
serikat pilihannya sendiri, serta hak serikat pekerja untuk membentuk konfederasi atau menemukan organisasi serikat pekerja internasional,
atau menjadi anggotanya. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk bergabung dengan serikat pekerja.”
111
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
62.
Mahkamah Konstitusi Spanyol, Kamar Kedua, 23 November 1981,
Kasus No.38/1981
Subyek: kebebasan berserikat; pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasionalsebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang diratikasi;232 instrumen yang
tidak tunduk pada ratikasi;233 kasus hukum internasional234
Pemecatan/ kebebasan Berserikat/ Penyelesaian pelanggaran kebebasan dan hak-hak dasar –
banding atas dasar ketidakkonstitusionalan (“Recurso de amparo”)/ Beban pembuktian terbalik/
Pengembalian ke pekerjaan/ Pengadilan menggunakan instrumen internasional yang tidak mengikat
Beberapa pekerja telah dipecat karena alasan ekonomi, satu hari setelah memberitahukan pencalonan
mereka sebagai fungsionaris perwakilan serikat pekerja. Mereka mempertanyakan pemecatan ke Pengadilan
Perburuhan, dan setelah banding ke Pengadilan Perburuhan Pusat. Pengadilan telah membatalkan tuntutan
pemohon, karena meskipun diskriminasi anti serikat tidak terbukti, pengadilan tetap menyatakan bahwa
pemecatan tersebut tidak sah karena tidak dipatuhinya aturan tentang tata cara pemecatan. Karena legislasi
yang berlaku saat itu, pembatalan tersebut memberikan pengusaha kesempatan untuk memberikan kepada
pekerja suatu kompensasi sebagai penyelesaian pengganti dan bukan mempekerjakan kembali. Pada saat
itu, kewajiban mempekerjakan kembali pekerja hanya untuk kasus-kasus pemecatan yang tidak sah dari
perwakilan serikat pekerja.
Menjawab keputusan tersebut, Pekerja kemudian melakukan banding atas dasar ketidakkonstitusionalan
(“recurso de amparo”) di hadapan Mahkamah Konstitusi Spanyol, menduga adanya pelanggaran atas prinsip
kebebasan berserikat dan menuntut mereka dipekerjakan kembali secepatnya.
Penyelesaian kasus ini mengharuskan Mahkamah Konstitusi memutuskan dua isu hukum utama:
yang pertama, memutuskan mengenai apakah perlindungan konstitusional dari kebebasan berserikat
memberikan implikasi pembuktian terbalik dalam kasus dugaan diskriminasi anti serikat, dan kedua,
menentukan apakah perlindungan konstitusional atas prinsip tersebut mengharuskan pengembalian ke
pekerjaan mereka (batal dan tidak sah) dalam hal pemecatan karena alasan anti serikat kepada kandidat
untuk posisi perwakilan pekerja.
Menemukan bahwa “sesuai dengan Pasal 10, Ayat 2 Konstitusi, teks internasional yang diratikasi oleh
Spanyol adalah instrumen yang sah untuk menentukan pengertian dan ruang lingkup hak-hak yang ditetapkan
dalam Konstitusi”,235 Mahkamah membuat rujukan pada instrumen ILO untuk menafsirkan bahwa Pasal
Konstitusi Spanyol mengakui kebebasan berserikat. Mahkamah mempertimbangkan tidak hanya konvensikonvensi ILO yang diratikasi oleh Spanyol, yang merupakan instrumen hukum yang mengikat, tetapi juga
sumber-sumber tidak mengikat, seperti Rekomendasi Perburuhan internasional dan keputusan-keputusan
Komite Kebebasan Berserikat ILO. Mengenai nilai dari Rekomendasi ILO, Mahkamah menyatakan bahwa
“teks ini dapat memberikan panduan sebagai kriteria untuk penafsiran atau klarikasi konvensi, namun
tidak mengikat sifatnya.”236
232
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat dan
Perundingan Bersama, 1949; Konvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan Pekerja,1971.
233
Rekomendasi ILO No. 143 tentang Perwakilan Pekerja, 1971.
234
Komite Kebebasan Berserikat ILO
235
Konvensi ILO yang diratikasi oleh Spanyol adalah naskah yang mungkin dikutip mengenai hak-hak yang diakui dalam Pasal-pasal 14 and 28,
1) yang merupakan bagian dari sistem hukum nasional. Hak individual yang timbul dari norma-norma ini. Lihat hal.1 keputusan.
236
Halaman 2 keputusan.
112
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Sedangkan untuk kewajiban pembuktian dalam kasus diskriminasi anti serikat, Mahkamah
mendasarkan keputusannya pada “kasus hukum” Komite Kebebasan Berserikat dan Rekomendasi ILO No.
143 untuk menafsirkan Konstitusi nasional. Mahkamah menyatakan bahwa:
“kesulitan pembuktian diskriminasi anti serikat dapat dihindari dengan memindahkan beban
pembuktian atas adanya alasan yang pantas untuk pemecatan kepada pengusaha, tanpa
menghiraukan justikasi resminya dan “viabilitas substansial” atas PHK. Solusi ini muncul dari
keputusan Komite Kebebasan Berserikat ILO yang mendasarkan pada Rekomendasi ILO No. 143,
Pasal 6, Ayat 2 (e), dalam kerangka umum “tindakan yang diperlukan dan pantas untuk menjamin
kebebasan berserikat pekerja”, dijadikan kewajiban oleh Konvensi ILO No. 87 (Pasal 11), 98 (Pasal
1) dan 135 (Pasal 1).”
Selanjutnya, Mahkamah mempertimbangkan bahwa kekosongan aturan hukum yang menyatakan
bahwa jaminan dan fakta bahwa legislasi yang protektif tidak berlaku bagi kandidat perwakilan pekerja
tidak menjadikan hambatan untuk mengakui, dalam kasus kebebasan berserikat, bahwa pengusaha harus
membuktikan bahwa PHK yang diduga bersifat diskriminatif terkait dengan sebab yang pantas, dan tidak
ada kaitannya dengan diskriminasi anti serikat.
Sedangkan untuk deklarasi pembatalan dan pernyataan tidak sah (dengan konsekuensi pekerja
dipekerjakan kembali) sebagai sanksi atas pemecatan karena anti serikat terhadap kandidat perwakilan
pekerja, Mahkamah mendasarkan keputusannya pada penafsirannya atas Pasal 28 Konstitusi Spanyol,
yang melindungi kebebasan berserikat. Mahkamah menegaskan bahwa kebebasan berserikat adalah hak
subyektif dari seluruh pekerja dan manfaat ini tidak hanya terbatas kepada perwakilan mereka. Mahkamah
menambahkan bahwa pelanggaran hak dasar akan mensyaratkan pengembalian penuh atas hak-hak korban.
Oleh karenanya, setiap pekerja yang dipecat karena kegiatan serikat memiliki hak untuk dikembalikan ke
pekerjaannya. Untuk mendukung putusannya, Mahkamah mengutip Ayat 7 (1) Rekomendasi ILO No. 143,
yang menyarankan pemberian perlindungan tambahan kepada kandidat perwakilan pekerja.
Dengan menggunakan Konvensi-konvensi ILO serta instrumen yang tidak mengikat untuk memperkaya
penafsiran ketentuan-ketentuan konstitusional, Mahkamah Konstitusi Spanyol menyatakan bahwa
pemecatan anti serikat adalah batal dan tidak sah meskipun para korban bukan perwakilan serikat dan
menetapkan pembuktian terbalik dalam kasus dugaan diskriminasi anti serikat.
113
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Estonia
Konstitusi Republik Estonia
Pasal 3
Kekuasaan negara harus dilaksanakan semata-mata sesuai dengan Konstitusi dan undang-undang
yang sesuai dengannya. Prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional yang diakui adalah
bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem Hukum Estonia. (…)
Pasal 123
Republik Estonia tidak boleh menandatangani perjanjian internasional yang bertentangan dengan
Konstitusi.
Jika undang-undang atau peraturan lain di Estonia bertentangan dengan perjanjian-perjanjian
internasional yang diratikasi melalui Parlemen, maka ketentuan dalam perjanjian internasional yang
akan berlaku.
63.
Pengadilan Negeri Tallinn, Divisi Administratif, Ly Kovanen vs Ownership Reform
Department of the City of Tallinn, 6 November 2001, Kasus No. II-3-286/2000
Subyek: pemecatan; perlindungan terhadap diskriminasi anti serikat
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasr hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi237
Pemecatan wakil serikat/ Tidak adanya otorisasi dari pengawas perburuhan/ Penentuan status wakil
serikat/ Penerapan Konvensi-konvensi ILO No. 87 dan 135
Nona Ly Kovanen, yang merupakan wakil serikat dalam administrasi telah dipecat. Pengusaha
memecatnya tanpa melalui prosedur dan tanpa otorisasi dari pengawas perburuhan. Masalah hukum
timbul dari fakta administrasi bahwa Nona Kovanen dianggap bukan perwakilan pekerja, karena pada hari
pemohon dipilih sebagai wakil serikat, serikat pekerjanya belum memiliki anggaran dasar dan pemilihannya
tidak dimasukkan dalam berita acara yang resmi. Pertanyaannya, apakah pemecatan tanpa otorisasi oleh
pengawas perburuhan adalah sah dan apakah pemecatan tersebut tidak merujuk pada penetapan apakah
Nona Kovanen telah memiliki kapasitas sebagai perwakilan pekerja.
Divisi Administratif dari Pengadilan Negeri Tallinn menyatakan dalam keputusannya bahwa fakta Nona
Kovanen telah ditolak statusnya sebagai wakil tidaklah sah dan bahwa pengakuan status pekerja yang
dilindungi tidak boleh dibuat bersyarat atas pengujian yang amat mendalam dari formalitas administratif
tetapi tergantung pada kinerja yang efektif atas tugas-tugas perwakilan staf.
237
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; KOnvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan
Pekerja, 1971.
114
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mahkamah Administratif mendasarkan keputusannya secara langsung pada hukum internasional:
“Pertimbangan ini tidak akan sesuai dengan bagian 29238 Konstitusi Republik Estonia dan instrumen
internasional yang relevan yang memberikan pekerja jaminan tambahan dalam mewujudkan
kebebasan berserikat mereka.
Menurut Pasal 2 Konvensi ILO No. 87 (diratikasi oleh Republik Estonia pada tanggal 22 September
1993) pengusaha dan pekerja berhak untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi
tanpa otorisasi terlebih dahulu atas pilihan mereka sendiri, tanpa pengecualian, menurut aturan
organisasi yang bersangkutan.
Sejalan dengan Pasal 3 Konvensi di atas, organisasi yang dimaksud berhak membuat aturan
mereka sendiri dan secara bebas memilih perwakilan mereka.
Pasal 3 Konvensi ILO No. 135 menetapkan bahwa untuk tujuan Konvensi, perwakilan pekerja
adalah orang yang diakui sebagai perwakilan pekerja oleh undang-undang dan praktik negara
yang bersangkutan dan yang mungkin menjadi perwakilan serikat pekerja.
Pasal 1 Konvensi di atas menyatakan bahwa perwakilan tersebut akan dilindungi dari tindakan
yang berbahaya, inter alia, terhadap pemecatan.”
Atas dasar ini, pengadilan Negeri Tallinn menganggap bahwa pemohon pada kenyataannya diakui
sebagai perwakilan serikatnya baik oleh administrasinya maupun serikatnya. Untuk menetapkan hal ini,
Pengadilan mendasarkan pada korespondensi antara administrasi Nona Kovanen dengan serikat dan
menyimpulkan bahwa perlindungan yang diberikan pada perwakilan serikat pekerja harus diterapkan
kepada pemohon, karena ia secara efektif menjalankan tugas-tugasnya. Pemecatan yang telah dilakukan
tanpa otorisasi dari pengawas perburuhan adalah tidak sah. Pengadilan mendasarkan keputusannya secara
langsung pada aturan yang ditetapkan dalam kedua konvensi ILO yang disebut di atas. Pengadilan tidak
mengembalikan Nona Ms Kovanen kepada pekerjaannya, karena dia tidak ingin dipekerjakan kembali, tapi
memberikan dia kompensasi nansial.
64.
Mahkamah Agung Estonia, Kamar Uji Konstitusional, 27 Mei 1998, No. 3-4-1-4-98
Subyek: Syarat dan kondisi kerja pelaut
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi239
Kewajiban pelaut asing untuk memiliki dokumen administratif Estonia untuk bekerja di kapal Estonia/
Tindakan di hadapan Kamar Uji Material Konstitusional atau ketidakpatuhan pada Konvensi ILO No.
108/ Penerapan Konvensi ILO No. 108
Peraturan yang berlaku di Estonia240 mengatur bahwa pelaut asing yang ingin bekerja pada kapal Estonia,
harus mendaftar untuk mendapatkan sertikat pendaftaran kerja. Mereka tidak dapat meninggalkan wilayah
238
Ayat yang terkait dengan kebebasan berserikat dalam Pasal 29 Konstitusi Estonia adalah Ayat 5: “Pengusaha dan pekerja dapat secara bebas
bergabung dengan serikat dan asosiasi. Serikat dan asosiasi pekerja dan pengusaha dapat menggunakan segala cara yang tidak dilarang
oleh undang-undang untuk melindungi hak-hak dan kepentingan hukum mereka(…)”
239
Konvensi ILO No. 108 tentang Dokumen Identitas Pelaut, 1958.
240
Peraturan No. 414 Pemerintah Republik tanggal 3 November 1994: “Amendemen sebagian terhadap peraturan No. 268 Pemerintah Republik
tanggal 16 September 1992.”
115
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
di atas kapal Estonia tanpa dokumen tersebut meskipun mereka telah memasukkan kapalnya secara sah
di Estonia. Pengadilan Administratif Tallinn menemukan bahwa peraturan ini bertentangan dengan prinsip
Konstitusi tentang kebebasan memilih pekerjaan, prinsip perlakuan yang sama atas kebangsaan asal dan
orang asing, serta Konvensi ILO No. 108 tentang Dokumen Identitas Pelaut; Pengadilan merujuk pada isu
Konstitusionalitas dari peraturan kepada Mahkamah Agung untuk pengujian.
Kamar Uji Material Konstitusional Mahkamah Agung memeriksa ketentuan dalam peraturan dan
membandingkan dengan ketentuan dalam Konvensi ILO No. 108:
“Perlakuan yang tidak setara kepada orang asing (…) tidak sejalan dengan Pasal 5 Konvensi
No.108, di mana menurut Konvensi itu, setiap pelaut yang memegang dokumen identitas pelaut
yang sah yang dikeluarkan oleh otoritas yang kompeten dari suatu wilayah di mana Konvensi
berlaku, harus diakui dalam wilayah itu, tanpa menghiraukan apakah dia telah dimasukkan dalam
daftar ABK yang berbendera Estonia.
Menurut Pasal 6 Konvensi, setiap negara anggota harus mengizinkan pelaut masuk ke dalam
wilayah di mana Konvensi ini berlaku sepanjang pelaut tersebut memegang dokumen identitas
pelaut yang sah. Dokumen itu diperlukan ketika ia masuk ke suatu negara untuk meninggalkan
pantai sementara waktu ketika kapalnya berlabuh di pelabuhan.
Konvensi tidak mengatur isu-isu soal pelaut yang meninggalkan wilayah negara anggota. Hak ini,
khususnya terkait dengan lepas jangkar, adalah tidak secara tegas diatur dan proses dari tujuan
Konvensi, yaitu untuk meyederhanakan formalitas yang terkait dengan perjalanan pelaut untuk
dan dari kapal.”
Merujuk pada tujuan Konvensi ILO No. 108, Mahkamah Agung Estonia menganggap bahwa ketentuan
dari instrumen tersebut harus mengatur tidak hanya hak masuk ke negara dalam Konvensi, tetapi juga
hak untuk meninggalkan negara. Karena Konstitusi mengatur bahwa perjanjian internasional yang telah
diratikasi memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada UU, Mahkamah menjunjung keputusan ini lebih tinggi
dari Pengadilan Administratif Tallinn, dan menyatakan peraturan yang dibanding tidak konstitusional.
116
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Amerika Serikat
65.
Mahkamah Agung New Hampshire, The State of New Hampshire vs Robert H.,
30 Oktober 1978, No. 78-090
Subyek: wewenang orangtua
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi241
Tindakan oleh seorang ayah yang hak asuh tiga anaknya dicabut / Analisa peraturan yang berlaku/
Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Hak pengasuhan seorang ayah atas ketiga anaknya telah dicabut, karena lembaga layanan sosial
menganggap bahwa setelah melihat keadaan keuangannya dan keadaan keluarganya, dan untuk kepentingan
anak-anaknya, mereka diminta untuk tidak tinggal bersama ayahnya lagi. Sang ayah membanding keputusan
tersebut ke Mahkamah Agung New Hampshire.
Mahkamah menganalisa prinsip-prinsip dasar yang mengatur hubungan antara keluarga dan negara,
yang menetapkan aturan bahwa orangtua memiliki wewenang atas anak-anaknya tanpa campur tangan
negara, karena hal itu nyata dalam kapasitas mereka sebagai orang tua. Untuk menambah kekuatan analisa
ini mahkamah merujuk pada hukum internasional yang menyatakan bahwa:
“Pada tingkat Internasional, Konvensi PBB tentang Hak-hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa
“keluarga adalah bagian yang alami dan mendasar dari masyarakat dan negara” Pasal 23, Bag.
1, (1966). Begitu juga, Konvensi PBB tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengakui
bahwa “perlindungan dan bantuan yang luas harus merujuk kepada keluarga sebagai bagian yang
alamiah dan fundamental dari masyarakat”, Pasal 10, bag. 1 (1966).”
Rujukan kepada kedua Konvensi memperkuat pandangan Mahkamah Agung New Hampshire bahwa
keputusan untuk mencabut hak pengasuhan atas anak-anak dari orang tua harus didasarkan pada bukti yang
jelas dan meyakinkan. Mahkamah menganggap bahwa dalam kasus ini kondisi tersebut tidaklah dipenuhi
dan menetapkan bahwa pemohon harus mendapatkan kembali hak pengasuhan atas anak-anaknya.
241
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
1966.
117
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Ethiopia
Konstitusi Republik Democratik Federal Ethiopia
Pasal 9, Ayat 4
Semua perjanjian internasional yang telah diratikasi oleh Ethiopia merupakan satu kesatuan tak
terpisahkan dari hukum negara
Pasal 13: Lingkup penerapan dan penafsiran
Semua legislasi Federal dan Negara, organ eksekutif dan yudikatif pada semua tingkatan memiliki
tanggung jawab dan tugas untuk menghormati dan melaksanakan ketentuan dalam bab ini.
Hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar yang disebutkan dalam bab ini harus ditafsirkan dengan
menyesuaikan terhadap prinsip-prinsip dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Perjanjian
Internasional tentang hak Asasi Manusia dan instrumen internasional lainnya yang diadopsi oleh
Ethiopia.
66.
Pengadilan Banding Addis Ababa, 31 Juli 2006, Berkas No. 48008
Subyek: Pemecatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi242
PHK karena menolak melakukan tugas-tugas tertentu dan meninggalkan pekerjaan/ Tuduhan yang
dibanding oleh pekerja/ Kesulitan pembuktian/ Penerapan Konvensi ILO No. 158 yang mengarahkan
tugas pembuktian dibebankan kepada pengusaha
Seseorang yang dipekerjakan sebagai perawat mempertanyakan pemutusan kontrak kerjanya ke
pengadilan. Menurut pengusaha, kontraknya diakhiri karena fakta bahwa pemohon meninggalkan posisinya
setelah menolak melakukan tugas bersih-bersih. Pekerja menyatakan bahwa dia dipecat secara verbal
setelah mengindikasikan kepada pengusaha bahwa tugas membersihkan bukanlah bagian tugasnya yang
ditetapkan dalam kontrak kerjanya. Di pengadilan tingkat pertama, saksi yang dihadirkan oleh pemohon dan
termohon dianggap oleh pengadilan tidak memenuhi unsur pembuktian yang memadai untuk menyelesaikan
konik. Pengadilan menganggap bahwa PHK tersebut sah karena pekerja menolak melaksanakan tugas
yang ditetapkan dalam kontraknya.
Setelah pekerja membanding keputusan tersebut, pengadilan banding menunjukkan bahwa pengadilan
pada tingkat pertama telah secara langsung memutuskan perselisihan dan bukan menegaskan ketiadaan
bukti, baik atas isi kontrak kerja dan mengenai pekerja meninggalkan pekerjaan.
242
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
118
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengadilan Banding mengingatkan pada legislasi domestik dan Pasal 4 Konvensi ILO No. 158 yang
telah diratikasi oleh Ethiopia yang menganggap pelaksanaan tugas yang tidak memadai oleh seorang
pekerja adalah alasan yang sah untuk pemecatan.
Pengadilan Banding kemudian mengkaji pertanyaan mengenai penugasan beban pembuktian dalam
kasus pemecatan. Karena peraturan perburuhan Ethiopia tidak mengatur hal ini, Pengadilan merujuk pada
Konvensi ILO No. 158 dan menyatakan:
“… pengusaha harus memberikan bukti yang cukup untuk membuktikan kedua fakta. Posisi beban
pembuktian ada pada pengusaha sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 9/2//a/ Konvensi
di atas, di mana Ethiopia telah meratikasinya. Oleh karena itu, sebagaimana berkas perkara
menunjukkan bahwa pengusaha tidak memberikan bukti untuk menunjukkan alasan yang sah
untuk PHK, pemohon banding tidak bisa diminta untuk memberikan bukti yang mendukung
tuduhan kepadanya.”
Setelah merujuk pada Konvensi ILO No. 158 untuk menugaskan beban pembuktian atas alasan
pemecatan kepada pengusaha dan setelah mencatat ketiadaan bukti yang diberikan kemudian, Pengadilan
Banding Addis Ababa menyatakan bahwa pemecatan ini tidak sah.
119
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Federasi Rusia
Konstitusi Federasi Rusia
Pasal 15, Ayat 4
Secara universal mengakui bahwa prinsip-prinsip dan norma-norma hukum internasional serta
perjanjian-perjanjian internasional harus menjadi satu kesatuan dengan sistem hukum Federasi Rusia.
Jika perjanjian internasional federasi Rusia menetapkan aturan, yang berbeda dengan yang ditetapkan
undang-undang, maka aturan perjanjian internasional yang harus berlaku
Pasal 17, Ayat 1
Dalam federasi Rusia, hak-hak dan kebebasan-kebebasan sipil dan manusia harus diakui dan dijamin
menurut prinsip-prinsip dan norma-norma yang diakui secara universal oleh hukum internasional dan
Konstitusi ini.
67.
Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia, tentang Konstitusionalitas Klausul 2 dan 3
Pasal 11 (1) UU Federasi Rusia Juni,1993 “Tentang Badan Polisi Pajak Federal
Rusia”, 17 Desember 1996
Subyek: hak kepemilikan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi;243 instrumen yang tidak tunduk
pada ratikasi244
Prosedur administratif untuk mengumpulkan pajak dari perusahaan/ Pelembagaan proses di hadapan
Mahkamah Konstitusi untuk inskonstitusionalitas undang-undang/ Rujukan pada hukum internasional
untuk memperkuat penafsiran ketentuan Konstitusi/ Rujukan pada hukum internasional untuk
memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Menurut UU,245 organ polisi pajak dapat memungut pajak terhutang langsung ke perusahaan,
sedangkan dalam kasus individual, prosedur ini hanya dapat dilakukan melalui cara pengadilan. Pendiri
kelompok badan perusahaan mengajukan uji material ke Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia menuntut
bahwa prosedur administratif pemungutan pajak dan tidak melalui pengadilan melanggar hak konstitusional
mereka mengenai kepemilikan, yang diakui dalam Pasal 35 Konstitusi Federasi Rusia.246
243
Perjanjian Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966.
244
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, 1948.
245
UU Federasi Rusia tanggal 24 Juni 1993 tentang Organ-organ Polisi Pajak.
246
Pasal 35 Konstitusi Federasi Rusia:
1. Hak kepemilikan pribadi dilindungi oleh UU.
2. Setiap orang memiliki hak atas properti, memiliki, menggunakan atau melepasnya, baik secara pribadi maupun bersama-sama dengan
orang lain.
3. Tidak seorangpun dapat diambil propertinya kecuali menurut perintah pengadilan. Pengambilan secara paksa properti untuk
kepentingan negara hanya dapat terjadi dengan melalui pemberian kompensasi dan yang adil.(…)”
120
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mahkamah Konstitusi memutuskan ruang lingkup hak ini dan kemungkinan pembatasannya. Untuk
menjawab pertanyaan ini, Mahkamah merujuk tidak hanya pada pasal-pasal dalam Konstitusi tetapi juga
dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya:
“Pada saat yang sama, hak atas kepemilikan pribadi tidaklah mutlak dan tidak termasuk hakhak yang tidak dapat dibatasi menurut Pasal 56 (3) Konstitusi Federasi Rusia. Oleh karena itu,
sesuai dengan arti Pasal 55 (3) Konstitusi Federasi Rusia, Pasal 35 dapat dibatasi oleh UU Federal
tetapi hanya sejauh diperlukan untuk melindungi sifat mendasar dari sistem konstitusional, moral,
kesehatan, serta hak dan kepentingan yang sah dari orang lain, dan untuk membela negara dan
memastikan keamanan negara. Hal ini sesuai dengan prinsip dan aturan yang diakui secara
umum dari hukum internasional, khususnya Deklarasi Universal HAM, tertanggal 10 Desember
1948, bahwa semua orang memiliki tugas untuk masyarakat yang memungkinkan kebebasan dan
pengembangan diri (Pasal 29 (1)); dalam pelaksanaan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya,
semua orang tunduk tidak hanya pada pembatasan-pembatasan tersebut sebagaimana ditentukan
oleh UU semata-mata untuk kepentingan mengamankan pengakuan yang sah dan menghormati
hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi persyaratan keadilan atas moralitas, ketertiban
umum, dan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratik (Pasal 29(2)). Ketentuan yang
serupa tentang diperbolehkannya pembatasan hak-hak manusia dan warga negara juga ditetapkan
dalam Pakta Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tertanggal 19 Desember
,1966 (Pasal 4).”247
Setelah memperkuat pendapatnya dengan merujuk pada ketentuan dalam Deklarasi Universal HAM
dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia menilai
bahwa, meskipun prosedur untuk menagih pajak tertunggak termasuk dalam kekuasaan administratif,
badan-badan perusahaan dapat mengajukan banding dengan membawa proses Hukum sebagaimana
diatur dalam Pasal 46 Konstitusi dan bahwa, konsekuensinya, hak konstitusional mereka atas pelindungan
kepemilikan pribadii tidaklah dilanggar.
68.
Mahkamah Konstitusi Federasi Rusia, Kasus mengenai Verifikasi atas
Konstitusionalitas Pasal 12 UU USSR tanggal 9 Oktober, 1989 “tentang Perintah
Penyelesaain Perselisihan Perburuhan Kolektif (Konflik)”, 17 Mei 1995
Subyek: hak mogok
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumenyang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi248
UU yang membatasi pelaksanaan hak mogok/ Pelembagaan proses ke Mahkamah Konstitusi untuk
ketidakkonstitusionalan UU? Analisa ketentuan nasional dan internasional yang terkait/ Penggunaan
hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan konstitusionalitas UU
247
Pasal 4 Perjanjian Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: “Pihak negara dalam perjanjian ini mengakui bahwa,
dalam mendapatkan hak-hak yang disediakan oleh negara sesuai dengan perjanjian ini, negara dapat membatasi hak-hak tersebut hanya
dengan pembatasan yang ditentukan dalam UU sejauh hal ini sesuai dengan sifat dari hak dan semata-mata untuk tujuan mempromosikan
kesejahteraan umum dalam masyarakat yang demokratik.”
248
Perjanjian Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966.
121
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Awak pesawat beberapa perusahaan penerbangan melakukan pemogokan, tetapi pemogokan tersebut
dianggap tidak sah oleh pengadilan negeri, karena dinilai telah melanggar UU tentang Tata Cara Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan di Rusia249 Proses uji material diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan
bahwa UU tersebut tidak konstitusional.
Mahkamah Konstitusi pertama-tama merujuk pada ketentuan Konstitusi, yang mengakui keabsahan
hak mogok tetapi yang disahkan oleh legislator untuk membatasinya untuk kategori-kategori tertentu250
dan ditambahkan bahwa ketentuan Konstitusi ini sesuai dengan hukum internasional dan yang belakangan
dimaksudkan untuk menjadi panduan bagi legislator dalam menentukan setiap pembatasan yang mungkin
dibuat terhadap hak mogok:
“Tidak ada pembatasan hak mogok yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan aturan umum
hukum internasional. Sehingga, proses dari peraturan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak
ekonomi, Sosial dan Budaya, larangan atas hak mogok diperbolehkan, sejauh berhubungan
dengan orang yang bekerja pada angkatan bersenjata, kepolisian, dan pemerintahan (Bagian dua
Pasal 8),251 dan juga yang diberlakukan atas orang-orang lain yang dimungkinkan jika diperlukan
dalam masyarakat demokratik untuk kepentingan keamanan negara atau ketertiban sosial atau
untuk perlindungan hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain (Ayat “c” Bagian satu Pasal
8). Selanjutnya, hukum internasional atas HAM menganggap peraturan atas hak mogok berasal
dari legislasi internal. Tetapi legislasi ini tidak boleh melebihi pembatasan-pembatasan yang
diperbolehkan oleh aturan ini.”
Setelah mempertimbangkan sumber-sumber hukum nasional dan internasional, Mahkamah Tinggi
Konstitusi menganggap bahwa setiap pembatasan atas hak mogok para staf penerbangan adalah tidak
sah. Pasal yang dipermasalahkan dalam legislasi adalah tidak konstitusional, namun di dalamnya tidak
menyebutkan perbedaan-perbedaan yang memadai antara berbagai kategori staf yang bekerja dalam
penerbangan sipil dan karenanya secara berlebihan memberikan lingkup pembatasan atas hak mogok.
Mahkamah Konstitusi mendesak Dewan Federal Federasi Rusia untuk memperbaiki teks dalam pasal
undang-undang yang terkait dengan pembatasan hak mogok, dengan mempertimbangkan pasal-pasal
yang relevan dalam Konstitusi252 dan prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang diterima secara umum untuk
menentukan lingkup pembatasan yang mungkin dibuat terhadap hak mogok.
249
UU tanggal 9 Oktober 1989 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Kolektif.
250
Pasal 37 (4) Konstitusi Federasi Rusia: “Hak atas perselisihan perburuhan individu dan kolektif dengan penggunaan metode untuk
penyelesaiannya, yang diatur oleh hukum federal, termasuk hak mogok, harus diakui.”
251
Pasal 8 (1) (d) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: “1. Pihak Negara dalam Perjanjian ini berkewajiban
untuk memastikan: (…) (d) Hak mogok, dengan syarat pelaksanaannya sesuai dengan undang-undang di negara yang bersangkutan.”
Pasal 8 (2) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: “Pasal ini tidak boleh menghalangi pemberlakuan
pembatasan menurut hukum atas pelaksanaan hak-hak ini oleh anggota angkatan bersenjata atau polisi atau pemerintahan.”
252
Pasal 55 (2) Konstitusi Federasi Rusia: “Tidak ada UU yang menyangkal atau merendahkan hak-hak asasi manusia dan sipil yang bisa
dikeluarkan oleh Federasi Rusia.”
Pasal 55 (3) Konstitusi Federasi Rusia: “Hak-hak dan kebebasan asasi manusia dan sipil dapat dibatasi oleh UU Federal hanya sepanjang
diperlukan untuk perlindungan mendasar dari sistem konstitusi, moral, kesehatan, hak dan kepentingan yang sah dari orang lain, untuk
memastikan pertahanan negara dan keamanan negara.”
122
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Prancis
Konstitusi Prancis
Pasal 54
Jika Dewan Konstitusi, atas permintaan Presiden Republik, Perdana Menteri, Presiden salah satu
atau dewan lain atau enam puluh wakil atau enam puluh senator, telah menyatakan bahwa komitmen
internasional berisi klausul yang bertentangan dengan Konstitusi, kewenangan untuk meratikasi atau
menyetujui komitmen Internasional tersebut hanya dapat diberikan setelah perubahan Konstitusi.
Pasal 55
Perjanjian atau kesepakatan internasional yang telah secara sah diratikasi atau disetujui, setelah
diundangkan, harus berlaku di atas undang-undang yang diterbitkan Parlemen, menjadi subyek dalam
kaitannya dengan masing-masing perjanjian atau kesepakatan tersebut, untuk penerapannya oleh
pihak lain.
.
69.
Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, 4 Juni 2009,
Banding No.08-41.359
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi253
PHK sepihak/ Masa percobaan
Seorang pria direkrut untuk posisi manajemen di suatu perusahaan. Menurut aturan perjanjian bersama
perusahaan, kontraknya menyatakan bahwa dia wajib menyelesaikan masa “percobaan”254 selama 12 bulan.
Perjanjian yang sama juga menyebutkan kewajiban yang mirip untuk posisi dalam kategori lainnya, tetapi
hanya enam bulan. Kontrak juga menetapkan bahwa selama masa ini, aturan pemecatan tidak berlaku
karena periode ini diperlukan untuk melihat kinerja pekerja, dan untuk memutuskan apakah kontrak kerja
akan diberikan atau tidak.
Pengusaha memecat pekerja sebelum periode “percobaan” berakhir, dan pekerja menggugat kasus ini
ke pengadilan dan meminta pengadilan untuk menetapkan bahwa lamanya masa percobaan itu berlebihan
dan dia berhak atas pembayaran kompensasi karena durasi dalam periode ini tidak layak, berlawanan
dengan kondisi yang ditetapkan dalam Konvensi ILO No. 158 yang mengecualikan pekerja dalam masa
percobaan dari aturan PHK sepihak.
253
Konvensi ILO No. 158 tentang pemutusan Hubungan Kerja,1982.
254
Menurut Pasal 10 perjanjian bersama, pekerja yang direkrut harus menyelesaikan pekerjaan pada periode pertama yang disebut “percobaan”.
Jika “percobaan” memuaskan, pekerja tersebut akan mendapatkan status permanen dan fungsi mereka dikonrmasikan. Kalau tidak,
manajemen akan mengakhiri kontraknya.
123
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan banding tidak menerima tuntutan pemohon karena menganggap bahwa perjanjian bersama
tidak melanggar hukum dan durasi masa “percobaan” juga sah. Pemohon mengajukan kasasi atas keputusan
tersebut, dengan menyatakan bahwa apapun nama yang diberikan untuk posisi tersebut, faktanya adalah
hal tersebut mensyaratkan masa percobaan yang sangat panjang. Dia membandingkan situasi ini dengan
periode masa percobaan enam bulan yang berlaku pada pekerja dalam kategori lain, dalam perusahaan
yang sama yang membuat perjanjian bersama, tanpa membuat alasan untuk pembedaan tersebut. Dasar
Hukum atas banding pemohon diatur dalamPasal 2 (b) 255 Konvensi ILO No.158.
Mahkamah Agung memberikan keputusan, dengan mempertimbangkan prinsip yang ditetapkan dalam
Konvensi ILO No. 158 dan dalam Pasal 2 Ayat 2 b. Mahkamah menyatakan bahwa:
“jangka waktu satu tahun untuk masa percobaan menurut perjanjian bersama nasional Crédit
Agricole untuk agen Kelas III, dalam suatu kontrak yang tidak terbatas waktunya adalah tidak
layak mengingat tujuan dari masa percobaan dan pengecualian aturan pemecatan selama masa
tersebut”.
Mahkamah menyatakan bahwa, di sisi lain, penetapan masa percobaan selama enam bulan sesuai
dengan peraturan internasional. Mahkamah menetapkan bahwa perjanjian bersama tersebut tidak sesuai
dengan Konvensi No. 158 dan Pengadilan Banding telah melanggar Konvensi di atas dalam keputusannya.
Oleh karenanya Cour de Cassation membatalkan keputusan tersebut dan merujuknya pada keputusan
baru.
70.
Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, Syndicat des producteurs
de miel de Prancis vs Syndicat national de l’apiculture et Union nationale de
l’apiculture française, 13 Januari 2009, Appeal No. 07-17.692
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi256
Kebebasan berserikat/ Kondisi untuk membentuk serikat pekerja atau kesatuan serikat pekerja/
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Serikat pekerja dari produsen madu mengajukan gugatan untuk mencegah dua organisasi pemelihara
lebah lain menjadikan diri mereka sebagai serikat pekerja atau kesatuan serikat pekerja. Mereka menganggap
bahwa kedua organisasi profesional tersebut tidak bisa dianggap sebagai serikat pekerja karena keanggotaan
mereka tidak secara ekslusif terdiri dari orang-orang yang terbiasa menjalankan kegiatan profesional sebagai
pemelihara lebah sebagaimana didenisikan dalam peraturan pajak Prancis.257 Organisasi-organisasi yang
bersangkutan utamanya hanya terdiri dari pemelihara lebah “amatir” yang memelihara lebah hanya sebagai
“hobi” dan hanya memberikan penghasilan tambahan. Mereka memenangkan kasus sebelumnya di
pengadilan banding, yang telah menolak permohonan untuk penolakan status sebagai serikat pekerja yang
255
Pasal 2: “Setiap anggota dapat mengecualikan kategori pekerja berikut ini dari seluruh atau beberapa ketentuan dalam Konvensi ini: a)
pekerja yang bekerja menurut kontrak kerja untuk waktu tertentu, yang ditentukan di muka selama periode yang layak atau tugas tertentu; b)
pekerja yang dalam masa percobaan; c) pekerja yang bekerja berdasarkan kasualitas (borongan) untuk periode yang singkat.”
256
Konvensi ILO No. 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak berserikat,1948.
257
UU pajak Prancis membedakan antara penjaga tawon professional dengan pemelihara lebah non-profesional atau amatir. Hanya pemelihara
lebah yang mengelola lebih dari sepuluh sarang yang tunduk pada pajak.
124
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
dibuat oleh serilat pekerja saingannya. Serikat pekerja saingan tersebut kemudian mengajukan banding ke
Mahkamah Agung.
Untuk menyelesaikan perselisihan ini, Mahkamah Agung menafsirkanPasal L. 411-2 UU Perburuhan
Prancis258 dengan panduan dari Konvensi ILO No. 87. Mahkamah Agung Prancis menunjukkan bahwa
menurut Pasal 2 dan 5 Konvensi ini, pekerja dan pengusaha tanpa pembedaan apapun, memiliki hak untuk
membentuk organisasi atas pilihan mereka sendiri. Artinya, mereka bebas untuk membentuk kelompokkelompok lain.
Oleh karenanya, Mahkamah mempertimbangkan bahwa Pasal L. 411-2 UU Perburuhan Prancis, yang
mengasumsikan bahwa keberadaan kegiatan-kegiatan yang dibayar atas pengecualian kegiatan yang tidak
berkepentingan atau lantropis, harus ditafsirkan seperti tidak membedakan apakah kegiatan tersebut
dijalankan secara ekslusif, tambahan atau musiman, atau apakah penghasilan yang didapat merupakan
penghasilan utama atau tambahan.
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik membawa
Mahkamah Agung untuk memutuskan bahwa semua produsen madu lebah dapat membentuk serikat
pekerja dan pemelihara lebah yang memasarkan produk-produknya dapat dianggap sebagai serikat, tanpa
menghiraukan apakah kegiatannya hanya tambahan atau musiman. Kedua organisasi, karenanya, diakui
memiliki hak untuk membentuk serikat pekerja atau kesatuan serikat.
71.
Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, Mr. Samzun vs Ms. DeWee,
1 Juli 2008, Appeal No. F 07-44.124
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang diratikasi259
Kontrak kerja/ Pemecatan/ Alasan/ Penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum
internasional
Seorang pekerja direkrut sebagai sekretaris dalam kontrak kerja waktu tertentu. Kontrak ini diakhiri
oleh tanda tangan kontrak yang diciptakan oleh legislator nasional, yang disebut “kontrak baru”(“contrat
nouvelles embauches”). Satu bulan kemudian, pengusaha tanpa alasan mengakhiri kontraknya.
Pekerja menuntut pengusaha ke pengadilan. Dia mengklaim bahwa “kontrak baru”, sebagaimana yang
ditetapkan dalam “Ordonansi tanggal 2 Agustus 2005, tidak sesuai dengan Konvensi ILO No. 158 di
mana Ordonansi memperbolehkan pengusaha untuk mengakhiri kontrak tanpa alasan dalam dua tahun
setelah penandatangan. Pengadilan pada tingkat pertama dan pengadilan banding mendukung posisinya,
menetapkan bahwa “kontrak baru” tidak sesuai dengan ketentuan Konvensi.
Pengusaha mengajukan banding atas keputusan tersebut ke Mahkamah Agung. Dalam forum ini, dia
berargumen bahwa Konvensi ILO No. 158 tidak bisa diterapkan kepada “kontrak baru”, yang dimasukkan
dalam pengecualian yang diatur dalam Pasal 2 § 2 dan § 5 dari Konvensi. Argumennya tidak diterima.
Mahkamah Agung kemudian memutuskan perselisihan ini dengan menerapkan secara langsung Pasal
4, 7 dan 9 Konvensi ILO No. 158. Mahkamah menetapkan bahwa Pasal 2 Ordonansi tanggal 2 Agustus 2005
258
Setelah reorganisasi UU Perburuhan Prancis di tahuan 2008, Pasal L. 411-2 menjadi Pasal L. 2131-2 UU Perburuhan yang sama.
259
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
125
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
yang melembagakan “kontrak baru”260 tidak memenuhi persyaratan-persyaratan dalam kombinasi ketentuan
Konvensi internasional karena mengesampingkan ketentuan umum yang terkait dengan prosedur sebelum
pemecatan, yakni perlu adanya alasan yang nyata dan serius, dan dengan cara apa pekerja diberitahu dan
diawasi, memberikan hak pada pekerja untuk pembelaan sebelum pemecatan; dan mewajibkan pekerja
membuktikan bahwa pemecatan tersebut tidak sah.
Mendasarkan pertimbangannya pada Pasal 4, 7 dan 9 Konvensi ILO No. 158, Mahkamah Agung
mengesampingkan ketentuan dalam teks nasional, menyatakan bahwa ketentuan itu bertentangan dengan
legislasi internasional, dan menyatakan bahwa PHK tunduk pada peraturan publik yang diatur dalam UU
Perburuhan dan bahwa pemecatan terhadap pekerja tidak sah karena dilakukan tanpa sebab yang nyata
dan serius. Pengusaha diperintahkan untuk membayar kompensasi yang diatur untuk kasus pemecatan
yang tidak sah.261
Ketentuan “kontrak baru” dibatalkan oleh undang-undang tertanggal 26 Juni 2008.262
260
Pasal 2 Ordonansi No. 2005-893 tertanggal 2 Agustus 2005: “Kontrak kerja didenisikan dalam Pasal 1 harus dibuat tanpa jangka waktu
tertentu. Harus dibuat secara tertulis. Kontrak ini harus tunduk pada ketentuan UU Perburuhan, tanpa pengecualian selama dua tahun
pertama, dari ketentuan Pasal L. 122-4 sampai L. 122-11, L.122-13 sampai L. 122-14-14 dan L. 321-1 sampai L. 321-17 dari UU yang
bersangkutan. Kontrak ini dapat diakhiri atas inisiatif dari pengusaha atau pekerja, selama masa dua tahun pertama, dengan syarat sebegai
berikut:
1° Pemberitahuan pengakhiran harus diberikan melalui surat terdaftar dengan permintaan tanda terima;
2° Ketika pengusaha yang berinisiatif atas pengakhiran, kecuali dalam kasus kesalahan berat atau tidak dalam keadaan memaksa, dalam
memberikan surat terdaftar, jika pekerja sudah bekerja di perusahaan sekurang-kurangnya selama satu bulan, harus memperhatikan jangka
waktu pemberitahuan. Jangka waktu ini adalah dua minggu dalam kasus kontrak yang telah berlaku kurang dari enam bulan sejak tanggal
pemberian surat terdaftar, atau satu bulan dalam kasus kontrak yang berlaku telah berjalan selama enam bulan atau lebih;
3° Ketika pengusaha berinisiatif mengakhiri, kecuali dalam kasus kesalahan berat, dia harus membayar pekerja, sekurang-kurangnya pada
saat berakhirnya periode pemberitahuan dan tambahan atas jumlah yang masih terhutang dari gaji dan hari libur yang dibayar, suatu ganti
kerugian sebesar 8% dari gaji kotor yang terhutang kepada pekerja sejak kontraknya berlaku. Skema skal dan sosial yang berlaku terhadap
ganti kerugian ini adalah untuk ganti kerugian yang disebutkan dalam Pasal L. 122-9 UU Perburuhan. Ganti kerugian yang dibayarkan kepada
pekerja harus ditambahkan kepada konstribusi pengusaha sebesar 2% dari remunerasi kotor yang terhutang kepada pekerja sejak permulaan
kontrak. Kontribusi ini harus diambil kembali oleh badan yang disebutkand alam Ayat pertama Pasal L. 351-21 UU Perburuhan sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal L. 351-6 dan L. 351-6-1 UU tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk mendanai kegiatan dukungan tambahan kepada
layanan penempatan kerja publik untuk membantu pekerja mendapatkan kembali pekerjaan. Hal ini tidak boleh dianggap sebagai komponen
gaji sebagaiamana didenisikan dalam Pasal L. 242- 1 UU Jaminan Sosial.”
261
Confédération générale du travail Force ouvrière menyerahkan kepada Kantor Perburuhan Internasional, menurut Pasal 24 Konstitusi ILO,
dugaan bahwa Ordonansi No. 2005-892, menyesuaikan aturan untuk perhitungan angkatan kerja dalam perusahaan, dan No. 2005-893,
terkait dengan “kontrak baru” melanggar beberapa ketentuan Konvensi yang telah diratikasi oleh Prancis, termasuk Konvensi ILO No.
158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Sehubungan dengan Konvensi ini, Komite menetapkan untuk memeriksa keluhan dan mencatat
bahwa::
“[71] (…) tujuan dari Konvensi dalam Pasal 2, Ayat 2 (b), adalah untuk memastikan bahwa setiap pengecualian dari perlindungan Konvensi
untuk pekerja yang menjalani masa percobaan atau periode tertentu adalah dalam jangka waktu yang pantas. Alasan utamanya adalah
kepantasan dapat dilihat seperti dikaitkan dengan pengecualian dari perlindungan. Oleh karenanya, dasar pertimbangan kebijakan merujuk
pada hal di atas, juga langkah-langkah yang diambil untuk menyeimbangkan pengecualian dari perlindungan atau untuk membatasi lingkup
pengecualian, dapat membantu untuk menjustikasi periode yang relatif panjang dari pengecualian. Namun, kekhawatiran utama adalah untuk
memastikan bahwa durasi pengecualian dari manfaat Konvensi dibatasi terhadap apa yang pantas untuk dipertimbangkan bila diperlukan
sehubungan dengan tujuan di mana periode yang diperbolehkan ditetapkan, yaitu khususnya (untuk memampukan) pengusaha untuk
mengukur viabilitas ekonomi dan prospek pengembangan perusahaan dan untuk memampukan pekerja yang bersangkutan mendapatkan
keahlian atau pengalaman. Komite mencatat bahwa panjangnya durasi yang umumnya dianggap pantas di Prancis untuk periode kerja yang
diperbolehkan adalah tidak melebihi enam bulan. Komite tidak akan mengecualikan kemungkinan bahwa periode yang lebih lama dapat
dijustikasi untuk memampukan pengusaha mengukur viabilitas dan perkembangan ekonomi, tetapi Komite tidak dapat menyimpulkan, dari
pertimbangan-pertimbangan yang diperhitungkan oleh Pemerintah dalam menetapkan durasi tersebut, bahwa periode selama dua tahun
bisa dianggap pantas.
[72] Oleh karenanya Komite menyimpulkan bahwa tidak ada dasar yang mencukupi untuk mempertimbangkan periode konsolidasi kerja
sebagai periode yang diperbolehkan dari durasi yang pantas, dalam arti Pasal 2, Ayat 2 (b), menjustikasi pengecualian pekerja dari manfaat
Konvensi selama periode tersebut”. Selanjutnya, Komite mencatat bahwa sesuai dengan Pasal 4 Konvensi (dibaca berkaitan dengan Pasal
7 Konvensi), sebelum waktu pemecatan, pekerja harus diberikan alasan yang sah, setidak-tidaknya dalam kasus ini mengenai perilaku
kerja dari pekerja, bahkan juga hal ini hanya berlaku untuk pemecatan karena disiplin. Komite mencatat bahwa “77. Dalam situasi di atas,
Komite menyimpulkan bahwa ordonansi No. 2005-893 secara signikan meninggalkan persyaratan dalam Pasal 4 Konvensi No. 158, yang
diindikasikan oleh Komite Ahli sebagai batu pijakan bagi Konvensi 78.Pada saat yang sama, Komite mencatat bahwa ketentuan-ketentuan
dalam Konvensi telah dinyatakan oleh Conseil d Etat dan Cour de Cassation untuk secara langsung berlaku menurut Hukum Prancis dan
bahwa beberapa keputusan pengadilan No. 158. Oleh karenanya Komite menganggap bahwa pada saat ini, Prancis tidak menjamin kepatuhan
yang efektif dari Konvensi No.158, mungkin saja tapi tidak pasti pada saat ini bahwa ganti rugi yang mencukupi tersedia bagi pekerja yang
bersangkutan dari Pengadilan Prancis.”
Laporan komite menetapkan untuk memeriksa keluhan atas dugaan ketidakpatuhan Prancis atas Konvensi Kebebasan Berserikat dan
Perlindungan Hak Berserikat, 1948 (No. 87), Konvensi Hak Berserikat dan Perlindungan Bersama, 1949 (No. 98), Konvensi Diskriminasi
(Pekerjaan dan Jabatan), 1958 (No. 111), dan Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982 (No. 158), yang dibuat dalam Pasal 24 Konstitusi
ILO oleh General Confederation of Labour -- Force ouvrière, para. 71 dan 72.
262
Undang-undang No. 2008-596 tanggal 26 Juni 2008
126
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
72.
Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, 29 Maret 2006,
Banding No. 04-46.499
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;263 Kasus hukum
internasional264
Pemutusan kontrak kerja tanpa pemberitahuan sebelumnya/ hukum domestik mensyaratkan manfaat
masa pemberitahuan sebelumnyamengarah pada lamanya bekerja/ Penerapan langsung ketentuan
Konvensi ILO No. 158/ Kesesuaian ketentuan domestik dengan Konvensi ILO No. 158
Kontrak kerja seorang pekerja telah diputuskan tanpa pemberitahuan sebelumnya, tiga bulan setelah
dia direkrut. Pekerja memasukkan tuntutan kompensasi untuk periode masa pemberitahuan meskipun
faktanya UU Perburuhan Prancis menetapkan kewajiban periode pemberitahuan hanya untuk pekerja yang
telah bekerja sekurang-kurangnya enam bulan. Untuk mendukung tuntutannya, pekerja merujuk pada
Konvensi ILO No. 158, yang telah diratikasi oleh Prancis, di mana dalam Pasal 11 diatur bahwa pekerja
yang telah dipecat masih memiliki hak untuk periode pemberitahuan yang pantas.
Mempertimbangkan kasus ini dalam banding, Pengadilan Banding menerima tuntutan pekerja dan
mengabulkan kompensasinya untuk kekurangan periode pemberitahuan atas dasar Konvensi ILO No.158.
Pengusaha mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Untuk menyelesaikan perselisihan, Kamar Sosial Mahkamah Agung pertama-tama menetapkan daftar
aturan hukum yang mengatur soal perselisihan, sehingga bisa menjawab pertanyaan tentang pemberlakuan
ketentuan Konvensi ILO No. 158 oleh pengadilan domestik. Dalam hal ini, Mahkamah menyatakan sebagai
berikut:
“Pasal 1, Pasal 2, Ayat 2 (b), dan Pasal 11 Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja
atas inisiatif pengusaha, yang diadopsi di Jenewa pada tanggal 22Juni 1982 dan diberlakukan di
Prancis pada tanggal 16 Maret 1990, berlaku secara langsung di pengadilan-pengadilan domestik,
bersama dengan Pasal L. 122-5 dan L. 122-6 UU Perburuhan.”
Poin pertama terselesaikan, Mahkamah kemudian mengkaji pertanyaan apakah ketentuan UU
Perburuhan menurunkan hak atas periode pemberitahuan untuk jangka waktu kerja minimum enam bulan
sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan Konvensi ILO No. 158. Pengadilan menunjuk pada Pasal 2, Ayat
2 (b), dari Konvensi yang memperbolehkan pihak negara untuk mengecualikan kategori-kategori pekerja
tertentu dari lingkup penerapannya, baik sebagian atau seluruh Konvensi, yaitu mereka yang tidak memiliki
periode kerja yang disyaratkan menurut kondisi bahwa lamanya hubungan kerja adalah pantas dan telah
ditetapkan di muka. Mahkamah Agung menganggap bahwa masa kerja enam bulan yang diatur dalam UU
Perburuhan untuk mendapatkan manfaat dari adanya periode pemberitahuan sebelum PHK merupakan
periode yang pantas sesuai dengan Konvensi ILO No. 158. Atas dasar tersebut, Mahkamah Agung Prancis
memutuskan bahwa pasal-pasal dalam UU Perburuhan adalah sesuai dengan ketntuan dalam Konvensi dan
keputusan Pengadilan Banding tidak benar:
263
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
264
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi. Bahkan jika sumber hukum ini tidak secara tegas dikutip dalam keputusan
Pengadilan Banding, siaran pers yang diterbitkan oleh Pengadilan mengenai keputusan tersebut membuat rujukan kepada Survei Umum
Komite Ahli tahun 1995 mengenai pemecatan yang tidak sah untuk memperkuat argumen pengadilan terhadap Konvensi ILO No. 158.
127
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
“Dengan memutuskan seperti yang telah dilakukan, meskipun dengan reservasi atas periode
pemberitahuan hasil dari penerapan Pasal-pasal L. 122-5 dan L. 122-6 UU Perburuhan, hak atas
periode pemberitahuan dikecualikan dalam kasus hubungan kerja yang memiliki durasi kurang
dari enam bulan, yang merupakan periode kerja yang pantas sesuai dengan yang dimaksud dalam
Pasal 2 Konvensi, Pengadilan Banding telah melanggar naskah yang tertulis di atas.”
73.
Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Kamar Sosial, 25 Januari 2005,
Banding No. 04-41.012
Subyek: pemecatan; imunitas dari jurisdiksi; akses ke pengadilan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;265 Ketertiban publik
internasional
Pekerja yang dipekerjakan oleh organisasi internasional/ Pemutusan kontrak kerja/ Imunitas dari
jurisdiksi/ Ketiadaan di organisasi atas peradilan internal/ Akses ke pengadilan sebagai aturan
ketertiban publik internasiona/ penyelesain langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Setelah pemutusan kontrak kerja oleh African Development Bank, seorang staf berkebangsaan Prancis
mengajukan tuntutan dalam pengadilan perburuhan Prancis untuk mendapatkan pembayaran kompensasi
dan bonus. Meskipun ada perjanjian di kantor pusat yang ditandatangani oleh Prancis dan African
Development Bank yang mengatur imunitas Bank terhadap jurisdiksi, Pengadilan Banding tetap menggelar
sidang atas kasus tersebut, mengakui jurisdiksinya berdasarkan Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM
dan Kebebasan Dasar, di mana Pasal 6 mengakui hak semua orang atas persidangan yang adil.266
African Development Bank mengajukan banding atas keputusan tersebut, khususnya mengklaim
bahwa Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar tidak berlaku dalam perselisihan
karena pekerja telah bekerja di Afrika.
Kamar Sosial Mahkamah Agung diminta untuk memutuskan kompetensi pengadilan Prancis mengenai
perselisihan yang melibatkan hubungan kerja antara African Development Bank dan pekerja Prancis.
Pengadilan memutuskan bahwa imunitas dari jurisdiksi yang diatur dalam perjanjian kantor pusat hanya dapat
berlaku jika staf Bank memilih persidangan sebelumnya di mana mereka bisa menyerahkan perselisihan
mereka, hal ini adalah kondisi yang penting untuk memastikan akses ke pengadilan, mendenisikan aturan
ketertiban publik internasional dihormati:
“Namun mengingat bahwa African Development Bank tidak dapat menuntut imunitas dari jurisdiksi
dalam perselisihan dengan pekerja yang telah dipecatnya, ketika dia tidak menciptakan peradilan
internal dengan jurisdiksi untuk menyidangkan konik, ketidakmungkinan bagi suatu pihak untuk
memiliki akses ke pengadilan yang bertanggungjawab guna memutuskan tuntutannya dan untuk
melaksanakan haknya yang timbul dari ketertiban publik internasional merupakan pengingkaran
terhadap keadilan, memberikan juridiksi ke pengadilan Prancis ketika ada hubungan dengan
Prancis.”
265
Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Dasar, 1950.
266
Perjanjian Khartoum ditandatangani pada tanggal 4 Agustus 1963 antara African Development Bank dan Prancis.
128
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Setelah mempertimbangkan bahwa akses ke pengadilan adalah aturan ketertiban publik internasional,
Mahkamah Agung Prancis memutuskan bahwa dalam ketiadaan peradilan internal di Bank, Pengadilan
Prancis memiliki kompetensi untuk menyidangkan konik antara African Development Bank dan pekerja
Prancis.
74.
Dewan Negara (“Conseil d’Etat”), Seksi Litigasi, Ms. Cinar, 22 September 1997,
No. 161364
Subyek: hak atas anak
Peranan hukum internasional: penerapan langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi267
Seseorang berkebangsaan Turki yang tinggal secara sah di Prancis/ Masuknya anaknya ke Prancis
tanpa kewenangan administratif/ keputusan administratif untuk pengusiran/ Kepentingan terbaik
bagi anak/ Penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Seorang warga Negara Turiki, Ny. Cinar, telah memperoleh izin tinggal di Prancis setelah reunikasi
keluarga dengan orang tuanya, membawa anaknya yang berusia empat tahun ke Prancis tanpa meminta
otorisasi untuk izin tinggal. Permintaannya untuk izin tinggal ditolak oleh Prefect (otoritas resmi di Prancis)
karena pelanggaran atas aturan masuk ke Prancis, dan Prefect memerintahkan pengusiran atas anak kecil
atas dasar tersebut.
Ny. Cinar membanding keputusan Prefect –yang dikuatkan oleh peradilan administratif pada tingkat
pertama. Berdasarkan Konvensi Hak atas Anak yang diratikasi oleh Prancis, Ny.Cinar membanding
keputusan tersebut dan banding tersebut akhirnya sampai ke Dewan Negara.
Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, Dewan Negara pertama-tama mempertimbangkan konvensi
internasional terhadap kewenangan administratif dan kemungkinan membatalkannya pada tingkat banding
di hadapan peradilan administratif. Dewan Negara memutuskan sebagai berikut:
“Mempertimbangkan bahwa ketentuan dalam Pasal 3 (1) Konvensi tentang Hak atas Anak tertanggal
26 Januari 1990, diterbitkan oleh undang-undang pada tanggal 8 Oktober 1990, dalam semua
keputusan mengenai anak-anak, baik yang berasal dari lembaga perlindungan sosial pemerintah
atau swasta, pengadilan, kewenangan administratif atau badan legislatif, kepentingan terbaik
anak harus menjadi pertimbangan yang paling penting. Sebagai hasil dari keputusan ini, yang
dapat dimanfaatkan untuk mendukung tuntutan atas tindakan ultra vires (“recours pour excès
de pouvoir”), otoritas administratif, dalam pelaksanaan kekuasaannya, harus memperhatikan
kepentingan terbaik si anak dalam pengambilan semua keputusan yang terkait dengan mereka.”
Poin tersebut telah disebutkan, dan Dewan Negara mendasarkan keputusannya secara langsung pada
Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak untuk menilai validitas keputusan Prefect:
“Catatan dalam kasus ini menunjukkan bahwa si anak tidak diketahui siapa ayahnya, yang tidak
pernah memberikan bantuan untuk pendidikannya, maupun anggota keluarga dekat lainnya yang
bisa menerima si anak di Turki. Dengan kondisi seperti itu, keputusan Prefect untuk mengusir
267
Konvensi tentang Hak atas Anak, 1989.
129
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Tolga muda ke Turki dan memisahkannya, bahkan untuk sementara waktu, dengan ibunya,
merendahkan kepentingan terbaik bagi anak dan harus dianggap bertentangan dengan Pasal 3
(1) Konvensi Hak atas Anak.”
Atas dasar pelanggaran Pasal 3 (1) Konvensi Hak atas Anak, Dewan Negara Prancis menolak keputusan
pengadilan pada tingkat pertama dan membatalkan keputusan Prefect yang menjadi alasan banding.
75.
Mahkamah Agung (“Cour de cassation”), Castanié vs Widow Hurtado,
Request of 27 Februari 1934
Subyek: perlindungan sosial
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi268
Kecelakaan kerja/ Hukum domestik menurunkan penerapan penuhnya kepada pekerja asing terhadap
keberadaan perjanjian bilateral/ Konvensi ILO mengatur kesetaraan perlakuan untuk penduduk negara
lain yang telah meratikasi Konvensi/ Penerapan langsung hukum internasional
Seorang janda pekerja Spanyol yang meninggal setelah kecelakaan kerja yang terjadi di Prancis
memasukan klaim ke pengadilan untuk mendapatkan kompensasi yang serupa dengan yang berlaku bagi
pekerja Prancis. Atas dasar Konvensi ILO No. 19, yang telah diratikasi oleh Prancis, Pengadilan Banding
setuju dengan argumennya. Mendasarkan keputusannya pada fakta bahwa legislasi domestik mengenai
kecelakaan yang menimpa pekerja asing menyerahkan penanganannya sepenuhnya berdasarkan perjanjian
bilateral dengan negara di mana pekerja berasal, perusahaan asuransi pengusaha menyerahkan kasus ini
ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung Prancis mengesampingkan legislasi domestik tentang kompensasi
untuk kecelakaan kerja, secara langsung menerapkan pasal 1 (1) Konvensi ILO No. 19 tentang Kesetaraan
Perlakuan (Kompensasi kecelakaan). Pasal tersebut menetapkan bahwa negara yang meratikasi Konvensi
setuju untuk memberikan perlakuan yang sama kepada korban warga negara asing yang mengalami
kecelakaan kerja jika negara tersebut juga menandatangani Konvensi, seperti yang diberikan kepada warga
negara Prancis.
“Bahwa keputusan yang dibanding merupakan keputusan yang tepat karena didasarkan pada
ratikasi ganda dan layak [yaitu dari Prancis dan Spanyol], atas ketentuan Pasal 3 Undang-undang
tanggal 29 April1898, telah diabaikan di Prancis, dan bahwa dalam hal terjadi kecelakaan yang
terkait dengan pekerjaan setelah tanggal 22 Februari 1929, semua pekerja Spanyol atau ahli
warisnya yang sah harus mendapatkan manfaat atas perlakuan yang sama dengan pekerja
Prancis, tanpa syarat tempat tinggal, bahkan jika pun tidak ada perjanjian khusus [antara kedua
negara].”
Atas dasar Konvensi ILO No. 19, Mahkamah Agung Prancis menguatkan keputusan Pengadilan Banding
dan memberikan kompensasi yang serupa dengan yang berlaku untuk warga Negara Prancis kepada janda
pekerja Spanyol.
268
Konvensi ILO No. 19 tentang Kesetaraan Perlakuan (Kompensasi Kecelakaan),1925.
130
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Honduras
76.
Pengadilan Banding Perburuhan, Hugo Humberto Rodríguez Rojas and others
vs. Wackenhut de Honduras S. A. de C. VS re ordinary labour claim, 10 Oktober 2006
Subyek: kebebasan berserikat; perlindungan terhadap diskriminasi anti serikat pekerja
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi269; instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi270
Proses membentuk serikat pekerja di perusahaan pengamanan swasta/ Pemecatan pengurus
serikat sementara tanpa otorisasi peradilan/ Banding oleh pengusaha atas hak pekerja di
perusahaan pengamanan untuk berserikat/ Penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum
internasional
Empat puluh dua pekerja perusahaan pengamanan swasta meluncurkan prosedur pendaftaran serikat.
Sebelum organisasi mereka secara formal mendapatkan status hukum, beberapa anggota pengurus
sementara dari serikat dipecat setelah mereka menolak untuk bekerja di salah satu klien perusahaan.
Beberapa dari pekerja ini memasukkan kasusnya ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan bahwa
pemecatan mereka tidak sah, atas dasar bahwa mereka dilindungi oleh UU Perburuhan Honduras, yang
mengatur bahwa pemecatan pengurus serikat termasuk serikat yang belum resmi memiliki status hukum,
harus didasarkan pada keputusan pengadilan sebelumnya.
Pengusaha mengklaim bahwa dokumen pendaftaran serikat belum lengkap dan karenanya serikat
belum terbentuk pada saat pemecatan, dan penunjukan pengurus serikat sementara hanya bisa berlaku
selama tiga puluh hari, sehingga penunjukan tersebut telah kedaluarsa pada saat pemecatan. Pengusaha
juga menyangkal hak berserikat pekerja pada perusahaan pengamanan swasta atas dasar “Undang-undang
Polisi” dan Pasal 534 UU Perburuhan, yang mengecualikan korps dan layanan polisi atas hak kebebasan
berserikat. Pengusaha menunjuk bahwa kontrak kerja pekerja dengan perusahaan berisi ketentuan
menyerahkan pelaksanaan kebebasan berserikat.
Mendasarkan keputusannya pada perjanjian internasional yang diratikasi oleh Honduras terkait
dengan kebebasan berserikat, pengadilan pada tingkat pertama menyidangkan kasus dan mengakui
hak kebebasan berserikat pemohon dan memberikan mereka kompensasi keuangan dan ganti rugi yang
diklaim. Baik pengusaha dan pekerja membanding keputusan tersebut. Pekerja banding karena mereka
tidak mendapatkan semua yang mereka klaim.
Di depan pengadilan tingkat kedua, pengusaha sekali lagi menolak hak pekerja perusahaan pengamanan
swasta untuk berserikat dan pemberlakuan perlindungan khusus terhadap pemecatan yang diatur oleh UU
Perburuhan kepada anggota serikat yang belum memperoleh status hukum. Terakhir, dia meminta hasil
pengawasan administrasi perburuhan, yang mencatat bahwa beberapa pekerja telah meninggalkan serikat,
untuk dipertimbangkan dalam menganalisa kasus ini.
269
Konvensi Amerika tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969; Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak Berserikat, 1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat dan Perundingan Bersama, 1949.
270
Deklarasi Amerika tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1948.
131
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Untuk menangani ketiga poin tersebut, Pengadilan banding merujuk pada Konvensi ILO No. 87 dan
98:
“Menimbang: pekerja yang berserikat bersama-sama dalam suatu dalam suatu serikat secara
otomatis mendapatkan perlindungan negara, tidak mungkin bagi pengusaha untuk memutuskan
kontrak kerja mereka tanpa terlebih dahulu berhubungan dengan pengadilan yang kompeten (...).
Setiap kegiatan oleh pengusaha dengan dukungan dari otoritas pemerintah yang mencari untuk
dalih menetapkan atau menjamin tindakan-tindakan penolakan bagi pekerja adalah bertentangan
dengan perlindungan yang harus diberikan oleh negara. Konvensi ILO No. 98, yang dikutip oleh
pengadilan pada tingkat pertama dalam keputusan yang dibanding, ditetapkan dalam Pasal 1.
Oleh karenanya, tidaklah mungkin untuk menerima bukti tersebut dalam cara yang ditetapkan
oleh pengusaha.”
“Menimbang: Konvensi ILO No. 87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berserikat, tidak membuat pembedaan apapun atas pekerja dan tidak membuat otorisasi
sebelumnya untuk syarat membentuk serikat, dikatakan bahwa perlindungan berlaku efektif
sejak pekerja mengkomunikasikan keputusannya untuk berserikat, tanpa memerlukan terlebih
dulu pengakuan status hukumnya. Mengenai jenis kegiatan yang dilakukan oleh pekerja dalam
kasus ini, prinsip perlindungan yang disebutkan di atas harus selalu ditafsirkan dalam cara yang
mendorong untuk menghormati hak-hak tersebut. Pasal 9 Konvensi tidak mengecualikan anggota
angkatan bersenjata negara dari hak atas kebebasan berserikat dan perlindungan hak berserikat.
Konvensi hanya meminta legislasi nasional untuk menentukan (vis-à-vis) lingkup Konvensi, yang
ditetapkan dalam Pasal 534 UU Perburuhan. Tidak ada keraguan bahwa pengawasan atas
perusahaan pengamanan swasta dilakukan oleh polisi nasional. Namun hal ini tidak mengubah
status pekerja dalam perusahaan tersebut menjadi polisi atau tidak berarti bahwa mereka secara
implisit dilindungi oleh ketentuan UU Perburuhan seperti dikutip di atas. Selanjutnya, bahkan jika
mereka demikian, karena kebebasan berserikat adalah hak dasar di mana kebebasan serikat
pekerja berasal, jika UU membatasi pelaksanaannya “untuk alasan apapun” (...) akan sangat
penting untuk menerapkan secara langsung ketentuan yang melindungi hak tersebut secara
penuh.”
Oleh karenanya Pengadilan Banding memutuskan bahwa Konvensi ILO No. 87 dimaksudkan bahwa
pekerja perusahaan pengamanan swasta tidak dapat dikecualikan dari lingkup kebebasan berserikat, dan
bahwa perlindungan terhadap pemecatan anggota pimpinan sementara dari serikat yang belum memiliki
status hukum adalah bentuk perlindungan yang sesuai dengan Konvensi ILO. Pengadilan pada tingkat
kedua menguatkan keputusan pengadilan tingkat pertama yang menyatakan pemecatan itu tidak sah
dan sebagaimana diminta oleh pemohon, pengadilan menaikkan kompensasi yang harus dibayarkan oleh
pengusaha.
132
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
India
77.
Mahkamah Agung India, Vishaka and others vs State of Rajasthan and others,
13 Agustus 1997, [1997] 6 SCC 241
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; pelecehan seksual
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;271 Kasus hukum
internasional.272
Pelecehan seksual/ Lacuna dalam legislasi nasional/ Penggunaan hukum internasional sebagai
panduan dalam menafsirkan hak konstitusional dan menentukan aturan yang berlaku dalam pelecehan
seksual
Sekelompok aktivis sosial dan organisasi non-pemerintah membuat petisi class action (tuntutan
bersama) berdasarkan Pasal 32 Konstitusi India yang merujuk pada kekuasaan Mahkamah Agung untuk
menerbitkan arahan bagi penegakan hak-hak dasar tertentu yang dimasukkan dalam Konstitusi yang telah
dilanggar oleh dugaan praktik pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja di India. Pasal 32
Konstitusi memberikan kekuasaan pada Mahkamah Agung untuk mengeluarkan panduan untuk penegakan
atas hak-hak yang dijamin secara konstitusional.
Karena hukum domestik tidak menangani isu-isu ini dan tidak membuat tindakan-tindakan yang efektif
untuk mencegah pelecehan seksual bagi pekerja perempuan di tempat kerja, Mahkamah memutuskan untuk
membuat prinsip-prinsip umum untuk mendenisikan konsep pelecehan seksual dan penghapusannya.
Untuk melakukan hal tersebut, Mahkamah merujuk pada Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan dan pernyataan dari Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan (badan internasional yang bertanggungjawab untuk mengawasi penerapan Konvensi
ini).
Untuk menjelaskan rujukannya pada hukum internasional, Mahkamah menyatakan sebagai berikut:
“Kesetaraan Jender termasuk perlindungan dari pelecehan seksual dan untuk memberi
kesempatan perempuan bekerja dengan penuh martabat, yang diakui secara universal sebagai
hak asasi manusia. Persyaratan minimum yang umum atas hak ini telah diterima secara global.
Oleh karenanya, Konvensi-konvensi dan norma-norma internasional menjadi rujukan yang sangat
penting dalam pembuatan panduan untuk mencapai tujuan ini.”
“(…). Pemerintah India meratikasi Resolusi di atas pada 25 Juni 1993 dengan beberapa syarat yang
tidak material dalam konteks saat ini. Pada Konferensi Perempuan Dunia Ke-4 di Beizing, Pemerintah
India juga membuat komitmen resmi, inter alia, untuk membuat dan mengoperasionalisasikan
kebijakan nasional tentang perempuan yang akan terus menerus memandu dan memberitahukan
tindakan pada setiap tingkat dan sektor; membentuk Komisi Hak-hak Perempuan untuk bertindak
sebagai pembela umum atas hak asasi perempuan; dan untuk melembagakan mekanisme di
tingkat nasional yang bertugas memonitor pelaksanaan Platform Aksi. Oleh karenanya, kami
tidak memiliki keraguan dalam menempatkan rujukan di atas untuk tujuan menafsirkan sifat dan
wilayah jaminan Konstitusional atas kesetaraan jender dalam Konstitusi kami.”
271
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, 1979.
272
Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
133
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Mahkamah menambahkan:
“Sekarang hal ini sudah menjadi aturan konstruksi hukum yang diterima bahwa konvensi-konvensi
dan norma-norma internasional harus diperhatikan ketika menafsirkan hukum domestik pada
saat terjadi inskonsistensi di antara aturan hukum domestik dan internasional dan ada hukumhukum domestik yang tidak sah.”
Mahkamah kemudian merujuk pada keputusan di Australia dan menyimpulkan:
“Tidak ada alasan mengapa konvensi-konvensi dan norma-norma internasional ini tidak bisa
digunakan untuk menafsirkan hak-hak dasar yang secara tegas dijamin dalam Konstitusi India
yang membentuk konsep dasar dari kesetaraan jender dalam semua bidang kegiatan manusia.”
Dengan adanya pembenaran terhadap rujukan kepada instrumen internasional, Mahkamah Agung India
sangat bergantung pada Rekomendasi Umum Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap
perempuan untuk mendenisikan tindakan dan situasi yang harus dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Selain itu, Mahkamah Agung mengikuti panduan yang diterbitkan oleh Komite PBB ketika mengelaborasi
tindakan-tindakan yang perlu diambil untuk melindungi perempuan dari pelecehan dan ganti rugi hukum
yang akan diberikan kepada korban pelecehan seksual.
78.
Mahkamah Agung India, Gaurav Jain vs Union of India and others, 9 Juli 1997,
[1997] 8 SCC 114
Subyek: prinsip umum kesetaraan; hak atas anak
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;273 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi274
Hak atas anak-anak pelacur/ Pengujian ketentuan internasional mengenai hak atas anak/ Penggunaan
hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Mahkamah Agung India harus menentukan hak atas anak-anak pelacur. Haruskah anak-anak itu
dipisahkan dari ibunya, atau mereka dapat tinggal bersama ibunya? Bila tinggal dengan ibunya, apa yang
menjadi syaratnya? Khususnya, Mahkamah harus mendenisikan panduan untuk tindakan pemerintah
dalam bidang ini.
Mahkamah pertama-tama melihat hukum internasional yang berisi hak-hak yang secara langsung
berlaku bagi pelacur dan anak-anaknya:
“Konvensi Hak atas Anak, Hak-hak Dasar dalam Bagian III Konstitusi, Deklarasi Universal tentang
HAM, Prinsip Arahan atas Kebijakan Negara sama-sama menyediakan dan membuat instrumen
yang berarti dan bertujuan memperbaiki kondisi mereka – sosial, pendidikan, ekonomi, dan
budaya, serta mengarahkan mereka ke dalam aliran sosial yang memberikan kesempatan yang
sama sebagaimana yang dimiliki anak-anak yang lain.”
273
Konvensi Hak atas Anak, 1989; Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,1979.
274
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948; Deklarasi tentang Hak atas Pembangunan, 1986.
134
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
“Mahkamah menganggap[dalam keputusan sebelumnyat] Ketentuan Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan menganggap hal tersebut
sebagai skema integral dari hak-hak dasar dan Prinsip Arahan.”
Setelah memeriksa situasi ekonomi dan sosial serta kondisi mental dari anak-anak pelacur, juga
tindakan yang diambil di seluruh negara bagian untuk membantu mereka, Mahkamah menyatakan sebagai
berikut:
“Pembentukan rumah penampungan bagi anak-anak menjadi kewajiban negara bagian yang
sesuai dengan ketentuan dalam Konstitusi, Konvensi Hak atas Anak yang sejalan dengan prinsip
Deklarasi PBB dan Kebijakan Nasional Pemerintah India (…).”
Dalam analisanya terhadap berbagai jenis tindakan yang telah diambil untuk melindungi anak-anak
pelacur, Mahkamah menggarisbawahi sebagai berikut:
“Sangat disayangkan rumah penampungan anak-anak yang didirikan dan dijalankan oleh
Pemerintah tidak secara efektif dikelola dan memberikan hasil yang diharapkan. Mereka
hanya menjadi hiasan untuk tujuan statistik yang merusak tujuan Konstitusional dan Konvensi
Internasional yang merupakan bagian dari hukum masyarakat.”
Mahkamah menyimpulkan dari analisa yang panjang yang mencakup aspek hukum, sosial, ekonomi
dan budaya, bahwa anak-anak pelacur seharusnya tidak dipisahkan dari ibunya kecuali hal ini merupakan
solusi yang terbaik. Mahkamah Agung menyarankan kepada pemerintah untuk melaksanakan tindakan
yang relevan, menunjuk pada:
“Hasil pengamatan yang dibuat dalam Perintah ini, ketentuan Konstitusi, Konvensi HAM dan
Konvensi Internasional lain yang merujuk pada Perintah ini dan kebijakan nasional akan membantu
Serikat India dan pemerintah negara bagian sebagai dasar dan panduan bagi mereka untuk
mendiskusikan masalah-masalah ini di konferensi di tingkat Kementerian dan Sekretariat dan
disarankan dalam Perintah ini untuk mengembangkan prosedur dan prinsip untuk memastikan
bahwa perempuan juga mendapatkan hak-hak dasar dan hak asasinya seperti yang disebutkan
dalam Perintah ini.”
Mahkamah Agung India kemudian memutuskan bahwa Konvensi-konvensi internasional harus
memberikan panduan untuk tindakan oleh pemerintah pusat dan federal untuk mengintegrasikan anakanak pelacur ke dalam masyarakat.
79.
Mahkamah Agung India, Nilabeti Behera alias Lalita Behera vs State of Orissa and
others, 24 Maret 1993, [1993] 2 SCC 746
Subyek: hak atas kerugian
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;275 legislasi asing276
275
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966.
276
Konstitusi Trinidad dan Tobago.
135
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Kematian laki-laki muda yang disebabkan oleh petugas polisi/ hak atas kerugian/ Rujukan kepada
ketentuan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik untuk menemukan juridiksi
pengadilan untuk memerintahkan kompensasi nansial
Seorang laki-laki muda ditemukan tewas di jalur kereta api setelah ditahan oleh polisi. Tubuhnya penuh
luka dan sayatan serius. Mahkamah Agung India menganggap bahwa kematiannya disebabkan oleh petugas
polisi dan keluarganya menuntut ganti rugi. Masalah Hukum terletak pada fakta bahwa prosesnya telah
diajukan ke Mahkamah277 dengan cara yang tidak secara tegas menyebutkan kemungkinan Mahkamah
memerintahkan pemberian ganti rugi nansial ketika prosedur untuk pengajuan gugatan ini telah dilakukan.
Untuk dapat menemukan jurisdiksi Mahkamah merujuk pada praktik nasional mengenai ganti rugi dan
kemudian merujuk pada Konstitusi Trinidad dan Tobago, yang berisi ketentuan serupa dengan Pasal 32
Konstitusi India dan yang mengatur kemungkinan bagi Mahkamah untuk memerintahkan pemberian
kompensasi nansial. Mahkamah kemudian merujuk pada hukum internasional untuk menambah kekuatan
pada kasus ini, dengan menyatakan sebagai berikut:
“Kita juga bisa merujuk pada Pasal 9 (5) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik,
1966 yang mengindikasikan bahwa pemberlakuan hak atas kompensasi bukanlah sesuatu yang
asing bagi konsep penegakan hak-hak yang dijamin.”
Dengan merujuk pada Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Mahkamah Agung India
menambahkan kekuatan pada kesimpulannya yang mengatakan bahwa Mahkamah memiliki kewenangan
untuk memerintahkan pemberian kompensasi nansial untuk menangani pelanggaran terhadap hak dasar
ketika gugatan diajukan menurut Pasal 32 Konstitusi. Keluarga laki-laki muda tersebut dapat mengambil
manfaat dari kesempatan ini.
80.
Mahkamah AgungIndia, Mackinnon Mackenzie vs Audrey D’Costa and another,
26 Maret 1987, [1987] 2 SCC 469
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; kesetaraan pengupahan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;278 kasus Hukum asing;279
kasus hukum internasional280
Kesetaraan pengupahan/ Perbedaan dalam pembayaran antara juru ketik steno perempuan dengan
sejawat laki-laki/ Rujukan kepada Konvensi ILO No. 100 sebagai aturan yang berlaku dalam kasus ini/
Penggunaan Konvensi ILO No. 100 sebagai panduan dalam menafsirkan Hukum nasional
Saat kontrak kerjanya telah selesai, juru ketik steno perempuan mempertanyakan sistem pengupahan
yang berlaku diperusahannya, berargumen bahwa telah terjadi diskriminasi antara perempuan dan laki-laki.
Diskriminasi tersebut telah diakui di tiga pengadilan. Perusahaan mengajukan keberatan ke Mahkamah
Agung untuk membatalkan manfaat yang diterima oleh Ny.D’Costa. Juru ketik steno adalah merujuk pada
“posisi rahasia” dalam perusahaan. Masalahnya adalah tidak ada laki-laki yang dipekerjakan dalam
277
Pasal 32 Konstitusi India mengatur ketentuan tentang kemungkinan memindahkan Mahkamah Agung untuk penegakan hak yang diberikan
dalam Konstitusi.
278
Konvensi ILO No.100 tentang Kesetaraan Pengupahan, 1951
279
Inggris
280
Pengadilan Masyarakat Eropa
136
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
pekerjaan yang serupa. Namun telah diakui bahwa juru ketik steno laki-laki akan dibayar lebih tinggi untuk
pekerjaan yang sama.
Mahkamah pertama-tama melihat pada Konvensi ILO No. 100 sebagai salah satu sumber hukum yang
berlaku dalam perselisihan:
“Sebelum menangani para pihak yang berselisih, Mahkamah perlu menetapkan ketentuan hukum
yang relevan terhadap kasus ini. Pasal 39 (d) Konstitusi India mengatur bahwa negara harus
mengarahkan kebijakannya untuk menjamin terciptanya kesetaraan pengupahan untuk pekerjaan
yang setara untuk laki-laki dan perempuan. Konvensi mengenai Kesetaraan Pengupahan untuk
Pekerja Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Setara Nilainya diadopsi dari Konferensi
Umum ILO pada tanggal 29 Juni 1951. India adalah salah satu pihak dari Konvensi tersebut.”
Setelah merujuk pada Pasal 2 Konvensi ILO No. 100,281 Mahkamah kemudian mencoba menjelaskan
situasi hukum negara-negara Eropa dalam bidang kesetaraan pengupahan:
“Di Inggris, Konvensi di atas memberikan pengaruh terhadap penerbitan UU Kesetaraan
Pengupahan, 1970. Hampir semua negara masyarakat Eropa menandatangani Konvensi ini.
Perjanjian Masyarakat Ekonomi Eropa juga mengatur bahwa “selama tahap pertama, yaitu sebelum
tanggal 31Desember 1961 setiap negara anggota harus memastikan dan selanjutnya menjaga
penerapan prinsip bahwa laki-laki dna perempuan harus menerima kesetaraan pengupahan
untuk pekerjaan yang setara.””
Dalam memeriksa kasus hukum Eropa, Mahkamah mencatat bahwa:
“Dalam kasus mengenai upah bagi perempuan yang mengklaim bahwa kesetaraan pengupahan
dengan pekerja sebelumnya, seorang laki-laki, Pengadilan Eropa menganggap bahwa konsep
kesetaraan pengupahan dan Perjanjian Masyarakat Ekonomi Eropa tidaklah terbatas pada kasus
di mana laki-laki dan perempuan dipekerjakan secara bersamaan, tetapi juga berlaku ketika
perempuan menerima upah yang lebih rendah dari laki-laki yang telah dipekerjakan sebelumnya
untuk pekerjaan yang setara.”
Menafsirkan legislasi nasional sehubungan dengan Konvensi ILO No. 100 dan praktik jurisprudensi
Eropa dalam bidang ini, Mahkamah Agung India menganggap bahwa Ny. D’Costa telah menerima upah
yang lebih rendah dibandingkan sejawat laki-laki yang melaksanakan pekerjaan yang setara nilainya. Fakta
bahwa tidak ada pekerja laki-laki dalam pekerjaan yang sama di dalam perusahaan tidaklah relevan,
karena prinsip kesetaraan pengupahan menganggap bahwa tingkat upah yang sama harus dijamin tidak
hanya untuk orang-orang yang melaksanakan pekerjaan yang sama tetapi juga untuk orang-orang yang
melaksanakan pekerjaan yang berbeda tetapi dianggap memiliki nilai yang sama. Mahkamah menolak
membatalkan tindakan perbaikan yang telah ditetapkan untuk keuntungan Ny. D’Costa.
281
Pasal 2 Konvensi No. 100:
“1. Setiap Anggota harus, melalui cara yang pantas dalam metode pengoperasian untuk menentukan tingkat pengupahan, promosi, dan
sejauh tetap konsisten dengan metode tersebut, memastikan penerapan kepada semua pekerja prinsip kesetaraan pengupahan untuk laikilaki dan perempuan untuk pekerjaan yang setara nilainya.
2. Prinsip ini dapat diterapkan dengan cara:
(a) peraturan perundang-undangan nasional;
(b) secara sah ditetapkan atau diakui mekanisme untuk penetapan upah;
(c) perjanjian bersama antara pengusaha dan pekerja; atau
(d) kombinasi dari berbagai cara-cara di atas.”
137
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Italia
Konstitusi Republik Italia
Pasal 10, Ayat 1
Sistem Hukum Italia menyesuaikan diri dengan aturan hukum internasional yang diakui secara umum.
81.
Pengadilan Negeri Milan, Vitali-Airoldi vs Maserati Spa and Officine Alfieri Maserati,
21 Juli 1994
Subyek: hari libur dibayar
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi282
Penentuan jumlah tunjangan hari libur yang dibayar/ Kekurangan dalam legislasi nasional/ Rujukan
kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Suatu perusahaan telah memindahkan sejumlah besar properti dan hubungan kerja ke perusahaan
lain. Namun, pekerja menuntut pembayaran upah yang terhutang. Pengadilan merujuk pada hukum
internasional untuk memperkuat penafsirannya atas perjanjian kerja bersama yang berlaku dalam kontrak
kerja, yang mengatur bahwa lembur regular harus diperhitungkan dalam perhitungan hari libur yang dibayar
dan menyatakan bahwa Pasal 7 Konvensi ILO No. 132 tahun 1970283 adalah alasan lain untuk menyetujui
argumen dari pemohon.
Setelah merujuk pada Konvensi ILO No. 132 untuk menambah kekuatan pada masalah ganti rugi,
Pengadilan Negeri Milan menetapkan bahwa lembur yang telah dikerjakan secara regular harus dihitung
dalam tunjangan yang dibayarkan sebagai hari libur yang dibayar.
282
Konvensi ILO No. 132 tentang Hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970.
283
Pasal 7 Konvensi No. 132:
“1. Setiap orang yang mengambil hari libur seperti yang tertera dalam Konvensi ini harus menerima, yang berkaitan dengan periode yang
penuh dari hari libur tersebut, upah sekurang-kurangnya yang jumlahnya normal atau rata-rata (termasuk uang tunai dalam bentuk yang
setara dengan upah tersebut yang dibayarkan dalam bentuk non-tunai dan bukan sebagai tunjangan permanen yang terus menerus, baik
orang itu mengambil libur atau tidak), yang dihitung dengan cara yang akan ditetapkan oleh otoritas yang kompeten atau melalui mekanisme
yang pantas dalam setiap negara.
2.Jumlah yang terhutang sesuai dengan Ayat 1 Pasal ini harus dibayarkan kepada orang yang bersangkutan di muka sebelum hari libur,
kecuali diatur lain dalam perjanjian yang berlaku antara pengusaha dan pekerja.”
138
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
82.
Pengadilan Negeri Milan, AMSA vs Miglio, 28 Maret 1990
Subyek: hari libur dibayar
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi284
Menghitung lembur dalam perhitungan hari libur yang dibayar/ Kekurangan dalam legislasi nasional/
Penerapan langsung hukum internasional untuk menggantikan kekurangan dalam legislasi nasional
Seorang pekerja terus secara konstan bekerja lembur dan mengklaim bahwa waktu tersebut seharusnya
dihitung dalam perhitungan hari liburnya yang dibayar. Karena tidak ada peraturan di Italia mengenai hal ini,
pengadilan secara langsung merujuk pada hukum internasional untuk menyelesaikan perselisihan itu:
“Sehubungan dengan pembayaran hari libur, Pengadilan menegaskan dalam kasus hukumnya
dan menganggap bahwa menghitung lembur regular dalam pembayaran hari libur secara langsung
didasarkan pada Pasal 7 Konvensi ILO No. 132 tanggal 24 Juni 1972, yang diberlakukan di Italia
melalui UU No. 157 tanggal 10 April 1981. Pasal tersebut menetapkan bahwa setiap orang harus
menerima sekurang-kurangnya upah normal atau rata-rata selama masa hari libur. Panduan
tersebut memberikan kita pemahaman bahwa dalam hal variabel pembayaran pengupahan dari
hari libur tidak boleh lebih rendah dari rata-rata upah, peraturan atas faktor-faktor lain (lamanya
hari libur, dsb) diserahkan kepada otoritas negara.”
Setelah mendasarkan pada Konvensi ILO No. 132, Pengadilan Negeri Milan menetapkan bahwa lembur
yang dikerjakan secara regular harus dihitung dalam perhitungan upah yang diterima selama periode hari
libur yang dibayar.
83.
Pengadilan Negeri Savona, Fiumanò Rossotti vs società Fiat, 8 November 1982
Subyek: hari libur dibayar
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi285
Efek dari penyakit pada hari libur yang dibayar/ Penggabungan terkini dari Konvensi ILO No. 132
dalam peraturan/ Penerapan langsung hukum internasional untuk mengganti kerugian dalam legislasi
nasional
Pengadilan Negeri Savona harus memutuskan apakah suatu penyakit yang terjadi selama hari libur
yang dibayar mengganggu masa hari libur yang dibayar tersebut atau tidak. Pengadilan pertama-tama
menganalisa hukum domestik yang berlaku, yang terutama didasarkan pada kasus hukum. Pada saat itu,
pengadilan kasasi menganggap bahwa di Italia suatu penyakit yang terjadi selama masa cuti yang dibayar
tidak mengganggu masa periode tersebut. Pengadilan Savona menjelaskan bahwa “permasalahan yang
harus ditangani ini akan diselesaikan dengan elemen hukum yang baru (…), di mana untuk sementara,
cukup untuk mendukung argumen bahwa penyakit yang menunda masa hari libur yang dibayar dan ketika
cukup untuk memaksakan argumen tersebut.”
284
Konvensi ILO No. 132 tentang Hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970.
285
Konvensi ILO No. 132 tentang Hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970.
139
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Italia baru saja meratikasi Konvensi ILO No. 132 tentang Hari Libur yang Dibayar, di mana dalam Pasal
6(2) menetapkan sebagai berikut:
“Menurut syarat-syarat yang akan ditentukan oleh Otoritas yang berkompeten atau melalui
mekanisme yang tepat di masing-masing negara, periode atas ketidakmampuan bekerja sebagai
akibat dari sakit atau kecelakaan tidak boleh dihitung sebagai bagian dari hari libur tahunan
minimum yang dibayar sebagaimana diatur dalam Pasal 3, Ayat 3, Konvensi.”
Pengadilan menganggap bahwa Konvensi No. 132 bukanlah merupakan pengulangan yang berlebihan
dari Konvensi ILO No. 52 tentang Hari Libur yang Dibayar, di mana Italia telah meratikasinya; pengadilan
menganggap bahwa instrumen yang baru diadopsi ini secara tegas mengatur efek dari faktor-faktor ini [hari
libur dan penyakit] mengenai masa jangka waktu hari libur.
Pengadilan kemudian menganalisa Konvensi dan menyimpulkan sebagai berikut: “Pernyataan
“ketidakmampuan untuk bekerja” yang digunakan dalam Konvensi bukanlah interupsi/gangguan, yang
digunakan dalam Konvensi sebelumnya, tidak hanya menekankan pada fakta bahwa tidak ada pekerjaan
yang dilakukan tetapi juga, dan khususnya, kondisi sik dari pekerja yang tidak mampu bekerja karena
sakit. Fakta bahwa hal itu diserahkan kepada pembuat UU di setiap negara untuk menetapkan syarat-syarat
di mana penyakit dapat dianggap sebagai sebab dari penundaan hari libur menekankan bahwa Konvensi
melarang untuk masa jangka waktu hari libur dihitung bersamaan dengan periode ketidakmampuan sik
pekerja. Tujuan atas jaminan ini adalah kesempatan untuk mengambil manfaat dari istirahat tahunannya.”
Pengadilan menetapkan bahwa:
“Justikasi untuk istirahat tahunan harus dipahami tidak hanya, atau sekurangnya tidak secara
ekslusif, sebagai memberikan pekerja cara untuk menyegarkan energi mental dan siknya
untuk kembali bekerja, tetapi juga penting untuk memberikan mereka periode di mana mereka
mempunyai waktu sendiri, yang bisa digunakan untuk keluarganya, kepentingan sosial, atau
budaya, dsb.”
Menerapkan secara langsung Konvensi ILONo. 132, Pengadilan Negeri Savona menetapkan bahwa
suatu penyakit yang terjadi selama hari libur yang dibayar menginterupsi masa cuti yang dibayar tersebut.
84.
Pengadilan Banding Turin, Lanificio Tallia Gruppo vs Ceria Mary, 29 May 1964
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; kesetaraan pengupahan
Peranan hukum internasional: rujukan terhadap hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi286
Perjanjian bersama mengatur upah yang lebih rendah bagi perempuan/ Tindakan yang dilakukan oleh
pekerja perempuan/ Penafsiran Konstitusi/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat
keputusan berdasarkan hukum domestik
Suatu perjanjian bersama mengatur perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan di suatu
perusahaan; pekerja perempuan mendapatkan upah sekitar 92.8% dari upah yang dibayarkan kepada
286
Konvensi ILO No. 100 tentang Kesetaraan Pengupahan,1951; Perjanjian yang menetapkan Masyarakat Ekonomi Eropa,1957.
140
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
pekerja laki-laki, meskipun faktanya mereka mempunyai keahlian yang sama. Menurut perusahaan,
perbedaan upah ini dibenarkan oleh perbedaan dalam produktitas.
Pengadilan Banding Turin mengemukakan bahwa perbedaan upah ini merupakan tindakan diskriminatif
karena didasarkan pada jenis kelamin. Keputusannya didasarkan pada Pasal 36 (1) dan 37 Konstitusi
Italia287 dan Pengadilan mendasarkan putusannya pada hukum internasional untuk menambah kekuatan
dalam kasusnya, menyatakan sebagai berikut:
“Di sisi lain, setiap evaluasi umum yang membedakan penghasilan pekerja laki-laki dan perempuan
akan tidak konsisten dengan hak individual pekerja perempuan untuk menerima upah yang
setara dengan yang dibayarkan kepada pekerja laki-laki dengan tugas yang serupa. Sebagaimana
dikonrmasi dalam penafsiran selanjutnya, dapat ditambahkan:
a)
bahwa Pasal 119 dari Perjanjian Internasional yang menetapkan (Masyarakat Ekonomi Eropa/
MEE), yang diratikasi oleh parlemen Italia melalui UU No. 1203 tanggal 14 Oktober 1957,
menyatakan bahwa “Upah yang setara tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin berarti:
a) bahwa upah untuk pekerjaan yang sama harus dihitung atas dasar unit pengukuran yang
sama; b) bahwa upah pekerjaan atas unit waktu yang sama harus sama untuk pekerjaan
yang sama;
b)
bahwa, setelah mendasarkan pada prinsip kesetaraan pengupahan untuk pekerja laki-laki
dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya, Konvensi ILO No.100, yang diadopsi
di Jenewa pada tanggal 29 Juni 1951 dan disetujui oleh Parlemen Italia melalui UU No.
741 tanggal 22 Mei 1956, menambahkan bahwa ‘istilah kesetaraan pengupahan untuk
pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang setara nilainya merujuk pada tingkat
pengupahan yang ditetapkan tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.””
Setalah merujuk pada hukum internasional untuk menambahkan kekuatan atas perbaikannya,
Pengadilan Banding Turin menetapkan bahwa pemohon berhak atas pengupahan yang sama sebagaimana
yang dibayarkan kepada pekerja laki-laki. Pengusaha diperintahkan untuk membayar kembali selama
periode di mana dia bekerja.
287
Pasal 36(1) Konstitusi Italia: “Pekerja memiliki hak atas upah yang didasarkan pada kuantitas dan kualitas pekerjaan mereka dan dalam
semua kasus terhadap pengupahan yang memadai yang memastikan pekerja dan keluarganya memiliki keberadaan yang bebas dan
bermartabat.”
Pasal 37(1) Konstitusi Italia: “Perempuan yang bekerja memiliki hak yang sama dan berhak atas upah yang setara untuk pekerjaan yang
setara. Kondisi kerja harus memperbolehkan perempuan memenuhi peran penting mereka dalam keluarga dan memastikan perlindungan
tepat yang khusus untuk ibu dan anak.”
141
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Kenya
85.
Pengadilan Industrial, 6 Desember 2004, Kasus No. 79/2002
Subyek: perlindungan upah
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menasirkan
hukum domestik; penetapan prinsip jurisprudensial berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang belum diratikasi;288 instrumen
yang tidak tunduk pada ratikasi;289 kasus hukum internasional;290 kasus hukum asing291
Usaha yang ditempatkan di bawah administrasi pemerintah/ Tuntutan upah yang tidak dibayar/
Kesenjangan dalam peraturan perburuhan dan kontradiksi antara hukum dagang dan hukum
perburuhan tentang perlindungan tuntutan upah/ Penetapan prinsip jurisprudensi berdasarkan hukum
internasional
Sebuah usaha yang sedang dalam kesulitan nansial diserahkan kepada pemerintah, dan administrator
yang ditunjuk memberhentikan sejumlah besar pekerja. Para pekerja tersebut mengajukan banding ke
pengadilan dan menuntut pembayaran upah, berbagai tuntutan lain yang belum dibayarkan, dan kompensasi
karena PHK sebagaimana diatur dalam perjanjian kerja bersama di perusahaan.
Administrator yang ditunjuk menyatakan kewajibannya untuk mendahulukan membayar hutang-hutang
perusahaan ketimbang menyelesaikan kewajibannya seperti yang dituntut di atas. Untuk mengesahkan
keutamaan hutang-hutang yang lain dibanding para pekerja, termohon mendasarkan pembelaannya pada
ketentuan hukum bisnis, membatasi keutamaan tuntutan upah maksimum sejumlah 4000 shilling Kenya
atau empat bulan upah, yang lebih rendah dari rujukan.
Setelah mengingatkan bahwa hukum bisnis telah cukup lama tidak diperbaharui, pengadilan
menekankan bahwa pada saat persidangan, 4000 shilling Kenya sebanding dengan kurang dari satu bulan
gaji. Pengadilan kemudian menunjukkan bahwa peraturan perburuhan yang diadopsi baru-baru ini tetap
tidak mengatur mengenai beberapa aspek mengenai perlindungan tuntutan upah. Namun, kesenjangan
tersebut tak mencegah terjadinya kontradiksi antara peraturan perburuhan dan hukum bisnis292. Meskipun
ketentuan yang bertentangan sudah diidentikasi oleh Pengadilan, namun tidak secara langsung berlaku
dalam kasus ini, mereka menyatakan pendekatan umum yang lebih menguntungkan untuk perlindungan
tuntutan upah dan sangat jelas tidak sesuai dengan pasal dalam Hukum Dagang seperti disebutkan di
atas.
Guna memperbaiki kontradiksi tersebut, untuk menafsirkan ketiadaan dalam peraturan perburuhan, dan
akhirnya untuk dapat menentukan sejauh mana tuntutan pekerja harus dilindungi, Pengadilan memutuskan
untuk memeriksa posisi hukum perburuhan internasional mengenai masalah ini. Dalam justikasi atas
pendekatannya, Pengadilan merujuk pada berbagai keputusan pengadilan dari negara-negara common law
yang merujuk pada hukum internasional dalam menghadapi kesenjangan dalam peraturan.293 Pengadilan
menguji Konvensi ILO No. 95 (Perlindungan Upah) dan 173 (Perlindungan Tuntutan Pekerja (Kebangkrutan
288
Konvensi ILO No. 95 tentang Perlindungan Upah,1949; Konvensi ILO No. 173 tentang Perlindungan Tuntutan Pekerja (Kebangkrutan
Pengusaha), 1992.
289
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
290
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi.
291
India dan Inggris
292
Pengadilan menunjukkan, contohnya, bahwa pengadilan yang memerintahkan pengusaha untuk membayar hutang-hutang usaha, hutanghutang tersebut tidak bisa dibayar sampai tuntutan upah telah dibayar.
293
Khususnya, kasus Vishaka Mahkamah Agung India
142
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengusaha)) meskipun belum diratikasi oleh Kenya. Pengadilan menekankan pada Pasal 7 Konvensi ILO
No. 173. Pasal tersebut menetapkan bahwa jika peraturan domestik membatasi keutamaan perlindungan
tuntutan upah sampai jumlah tertentu, batasan tersebut harus secara sosial diterima dan direvisi secara
berkala.
Dalam memperkuat analisanya mengenai hukum perburuhan internasional, Pengadilan merujuk pada
kerja dari Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, khususnya Survei Umum mengenai
kedua Konvensi yang disebutkan di atas.294 Dengan rujukan pada Komite Ahli, Pengadilan menyatakan
sebagai berikut:
“ILO juga memiliki Komite Kelompok Ahli yang terdiri dari ahli-ahli terkenal secara internasional
tentang hukum perburuhan dari negara-negara anggota yang menganlisa laporan tahunan
anggotanya dan sesuai dengan surveyidan laporan lain, membuat rekomendasi tentang
pelaksanaan yang tepat dari Konvensi tertentu. Rekomendasi ini kemudian secara luas digunakan
oleh pengadilan-pengadilan di seluruh dunia dan membentuk bagian dari jurisprudensi yang terus
berkembang di sekitar Konvensi-konvensi ILO, khususnya, dan Hukum HAM internasional secara
umum.”
Dari Survei Umum Komite Ahli, Pengadilan menunjukkan kebutuhan untuk menyediakan perlindungan
khusus bagi tuntutan pekerja merupakan prinsip yang diterima secara luas pada tingkat internasional,
mempertimbangkan kepentingan umum upah untuk pemeliharaan pekerja. Pengadilan juga menekankan
ayat penelitian yang menghubungkan perlindungan upah dan hak atas penghasilan yang layak, sebagaimana
diakui dalam Pasal 23 Deklarasi Universal tentang HAM.
Setelah mencatat orientasi dari hukum perburuhan internasional atas isu-isu ini, Pengadilan
menganggap bahwa pengadilan harus menafsirkan ketiadaan dan kontradiksi peraturan dengan cara yang
akan menjamin penerimaan secara sosial295 perlindungan pekerja dari kebangkrutan usaha. Pengadilan
menyatakan:
“Kita harus mengasumsikan bahwa jika UU tidak mengatur, maka UU harus menolak untuk
memberikan keutamaan, sebagaimana para Responde telah memberikan argumennya di hadapan
kita? Jika benar, (…) para pekerja (…) sekarang harus diperbolehkan untuk melanjutkan tanpa
perbaikan dalam UU? Berdasarkan tata urutan Konstitusi, kita tidak bisa mempertimbangkan
situasi seperti itu, untuk UU yang dibuat di bawahnya, penafsiran serta penerapannya harus
mengacu pada konteks hukum internasional.”
Mendasarkan alasannya pada Konvensi ILO No. 95 dan 173 dan berdasarkan pandangan Komite Ahli
mengenai instrumen-instrumen ini, Pengadilan Industrial Kenya memutuskan bahwa gaji dan tunjangan lain
yang terkait dengan periode sebelum PHK harus dijamin sampai batas empat bulan. Seluruh tuntutan lain
yang timbul dari UU, perjanjian bersama perusahaan, dan kontrak kerja, harus dijamin dalam batas yang
tidak melebihi jumlah yang setara dengan dua belas bulan gaji.
294
ILO: Upah Minimum, Survei Umum Komite Ahli Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, Laporan III (4B), Konferensi Perburuhan Internasional,
Sesi ke-79, Geneva, 1992.
295
Harus dicatat bahwa pengadilan mengulang syarat dalam Pasal 7 Konvensi ILO No. 173.
143
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Lesotho
Undang-undang Perburuhan Lesotho
Pasal 4. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam penafsiran dan administrasi UU
Berikut ini prinsip-prinsip yang harus digunakan dalam penafsiran dan administrasi Undang-undang:
(…)
(b) tidak ada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bawah UU yang harus ditafsirkan
atau diterapkan dengan cara yang bertentangan dengan Konvensi perburuhan internasional yang telah
berlaku di Kerajaan Lesotho;
(c) Dalam kasus terjadi ambigu, ketentuan-ketentuan dalam UU dan peraturan di bawahnya harus
ditafsirkan dalam cara yang sedekat mungkin dengan ketentuan Konvensi yang diadopsi oleh Konferensi
ILO dan Rekomendasi yang diadopsi oleh Konferensi ILO;(...)
86.
Pengadilan Perburuhan Lesotho, Serame Khampepe vs Muela Hydropower Project
Contractors and four others, 2 September 1999, No. LC 29/97
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang belum diratikasi;296 kasus hukum asing297
Pemecatan kolektif/ Hak konsultasi individual sebelum pemecatan/ Penggunaan hukum internasional
sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Suatu perusahaan melakukan prosedur pemecatan kolektif. Salah satu pekerja mengajukan banding
atas pemecatan tersebut, berargumen bahwa pengusaha seharusnya berkonsultasi dengan pekerja sebelum
PHK. Pengadilan perburuhan harus menentukan apakah pengusaha tunduk pada kewajiban tersebut.
Setelah mengkaji ketentuan UU Perburuhan mengenai konsultasi sebelum PHK, pengadilan merujuk
pada Konvensi ILO No. 158 sebagai panduan untuk menafsirkan hukum nasional:
“Sudah jelas bahwa sidang dengar pendapat sebagaimana diatur dalam Bagian 66 (4) UU
bukanlah persyaratan pra-pemecatan ketika pemecatan tersebut merupakan hasil persyaratan
operasional. Namun, Pengadilan mendasarkan pendapatnya pada instrumen ILO dan keputusan
negara-negara tetangga khususnya Afrika Selatan, mengembangkan preseden di mana pekerja
yang di-PHK dengan alasan esiensi (perampingan) harus diberitahukan dalam waktu yang baik
atas tindakan yang diniatkan dan dikonsultasikan mengenai alternatif-alternatif lain. (Lihat Pasal
13 (1) (a) Konvensi ILO No. 158 tahun 1982 mengenai Pemutusan Hubungan Kerja).298 Namun
296
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
297
Afrika Selatan.
298
Pasal 13 (1) (a) Konvensi No. 158:
“ketika pengusaha melaksanakan PHK karena alasan ekonomi, teknologi, struktural atau alasan yang serupa, pengusaha harus:
(a) memberitahukan kepada perwakilan pekerja informasi yang relevan termasuk alasan PHK, jumlah dan kategori pekerja yang kelihatannya
akan terpengaruh dan periode kapan PHK akan dilakukan dalam waktu yang baik;”
144
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
prinsip yang ditetapkan, adalah apakah pekerja anggota serikat pekerja atau badan bersama
lainnya di mana mereka berkomunikasi dengan pengusaha atau hal-hal mengenai kepentingan
bersama, cukup bagi pengusaha untuk berkonsultasi dengan serikat pekerja dan/atau badan
bersama tersebut.”
Dengan menafsirkan hukum nasional sesuai dengan Konvensi ILO No. 158, pengadilan perburuhan
Lesotho menemukan bahwa ketika pengusaha sudah mengajak perwakilan pekerja berkonsultasi mengenai
pemecatan kolektif, pengusaha tersebut tidak disyaratkan untuk melakukan konsultasi individual prapemecatan. Atas dasar ini, dan karena pemohon berasal dari suatu serikat yang telah diajak berkonsultasi
sebelum PHK, maka banding tersebut ditolak.
87.
Pengadilan Perburuhan Lesotho, Matete and Bosiu vs Lesotho Highlands
Development Authority and the Chief Executive, 9 Februari 1996, No. LC 131/95
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang belum diratikasi299
Pegawai negeri sipil (PNS) yang diperbantukan pada otoritas pemerintah/ Akhir kontrak perbantuan/
Kemungkinan mendapatkan beberapa tunjangan pesangon secara bersamaan/ Ketergantungan pada
Konvensi ILO No. 158 sebagai panduan untuk menafsirkan legislasi nasional
Pemerintah telah memperbantukan dua orang PNS pda otoritas pemerintahan (Selanjutnya disebut
“Otoritas”) dan kemudian memutuskan untuk mengakhiri tugas perbantuan tersebut dan mengembalikan
mereka pada tempat asalnya. Kedua PNS menganggap bahwa sebagai tambahan dari bonus akhir tugas
yang sudah ditetapkan dalam kontrak yang mengikat mereka dengan Otoritas, mereka juga seharusnya
menerima tunjangan pesangon yang diatur dalam UU perburuhan. Pengadilan kemudian harus memutuskan
apakah para pekerja berhak untuk mendapatkan kedua jenis tunjangan tersebut secara bersamaan.
Pengadilan merujuk pada Pasal 12 (1.a) dan 2 (4) Konvensi ILO No. 158300 untuk menafsirkan ketentuan
UU Perburuhan mengenai tunjangan pesangon dan selanjutnya menyelesaikan perselisihan.
“Dalam pandangan kami, kata-kata “tunjangan pesangon atau tunjangan perpisahan lainnya”
dalam 12 (1) adalah bersifat perintah. Sangat jelas dalam kata-kata ini bahwa uang pesangon
sebagaimana diatur dalam bagian 79 UU bukanlah tunjangan perpisahan yang mengikat
pengusaha secara hukum. Ada ruang untuk pembayaran tunjangan perpisahan lainnya sebagai
uang pesangon. Pasal 2 (4) memperbolehkan pengecualian bagi pengusaha dari kewajiban
membayar ketika pengusaha tersebut telah memiliki pengaturan yang memberikan tunjangan
perpisahan yang lebih baik, yaitu yang sekurang-kurangnya sama dengan yang diberikan dalam
UU.”
299
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
300
Pasal 12 (1) Konvensi No. 158: “Seorang pekerja yang hubungan kerjanya telah diakhiri berhak atas, sesuai dengan hukum dan praktik
nasional: (a) tunjangan pesangon atau tunjangan perpisahan lainnya, yang jumlahnya didasarkan pada inter alia lamanya masa kerja dan
tingkat upah, dan dibayarkan langsung oleh pengusaha atau melalui dana yang merupakan kontribusi pengusaha;”
Pasal 2 (4) Konvensi No. 158: “sejauh diperlukan, tindakan-tindakan dapat diambil oleh otoritas yang kompeten atau mekanisme yang tepat
di dalam negeri, setelah berkonsultasi dengan organisasi pengusaha dan pekerja, apabila ada, untuk mengecualikan Konvensi ini atau
beberapa ketentuan untuk keategori orang-orang yang dipekerjakan yang syarat dan kondisi kerjanya diatur dengan pengaturan khusus yang
memberikan perlindungan yang sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan yang diberikan dalam Konvensi.”
145
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan menyimpulkan bahwa perbedaan jenis tunjangan tidak bisa diperoleh secara bersamaan
dan bahwa kedua pekerja seharusnya hanya menerima tunjangan yang paling menguntungkan:
“Oleh karenanya, Otoritas, sejalan dengan Pasal 2 (4) Konvensi No.158 yang dikecualikan oleh
Bagian 4 (a) UU, dari kewajiban membayar tunjangan pesangon karena uang penghargaan
sebesar 25% yang berhak didapatkan pemohon menurut kontrak mereka merupakan tunjangan
perpisahan alternatif yang lebih menguntungkan bagi pemohon daripada tunjangan pesongan
yang diatur dalam bagian 79 UU.”
Dengan menafsirkan UU perburuhan sejalan dengan Konvensi ILO No. 158, Pengadilan Perburuhan
Lesotho menganggap bahwa PNS tidak berwenang untuk mendaparkan tunjangan pengakhiran kontrak
konvensional plus tunjangan pesangon wajib secara bersamaan, di mana kedua tunjangan tersebut memiliki
tujuan yang sama. Pengusaha telah memenuhi kewajibannya dengan membayarkan tunjangan yang diatur
dalam kontrak, yang jumlahnya lebih tinggi daripada tunjangan yang diatur dalam UU Perburuhan.
88.
Pengadilan Perburuhan Lesotho, Maisaaka’Mote vs Lesotho Flour Mills,
9 November 1995, No. LC 59/95
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi301
Kesalahan professional/ Wawancara disipliner/ Hak pekerja untuk dibantu/ Ketergantungan pada
Rekomendasi ILO sebagai panduan dalam menafsirkan hukum nasional untuk memutuskan jenis
perwakilan yang berhak didapatkan pekerja
Meskipun Pengadilan mengabaikan penerapan Pasal 4 (b) UU Perburuhan, Pengadilan merujuk pada
Rekomendari ILO No.166 sesuai dengan Pasal 4 (c) dari UU yang sama302 untuk menafsirkan ketentuan
dalam UU yang terkait dengan wawancara sebelum pemecatan. Pengadilan menyatakan sebagai berikut:
“Sangat penting bahwa Rekomendasi ILO No. 166 tahun 1982 tidak menspesikasikan jenis
perwakilan yang didapatkan pekerja pada sidang disipliner.”303
Pengadilan kemudian menemukan bahwa, meskipun pekerja berhak untuk dibantu pada saat
wawancara sebelum pemecatan, dia tidak memiliki kemungkinan untuk memilih jenis perwakilan yang bisa
didapatkan. Pengadilan menganggap bahwa:
“Sejalan dengan permohonan Baxter, dinyatakan dalam Dlali dan Lainnya vs Railit (Pty) Ltd (1989)
10 ILJ 353 bahwa jenis perwakillan yang diperbolehkan bagi pekerja pada sidang disipliner adalah
301
Rekomendasi ILO No.166 tentang Pemutusan Hubungan Kerja,1982 (Konvensi ILO No.158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja,1982 belum
diratikasi saat itu).
302
Pasal 4 (c) UU Perburuhan Lesotho: “Dalam kondisi terjadi ambiguitas, ketentuan UU dan peraturan lainnya yang dibuat di bawahnya harus
ditafsirkan dalam cara yang sedekat mungkin dengan Konvensi yang diadopsi dari Konferensi Perburuhan Internasional dan Rekomendasi
yang diadopsi dalam Konferensi Organisasi Perburuhan Internasional.”
303
Ayat 9 Rekomendasi No.166: “Seorang pekerja berhak mendapatkan bantuan dari orang lain ketika membela dirinya, sesuai dengan Pasal 7
Konvensi Pemutusan Hubungan Kerja, 1982, terhadap dugaan mengenai kewajiban perilaku atau kinerjanya yang mengakibatkan pemutusan
hubungan kerjanya; hak ini dapat dispesikasikan melalui metode pelaksanaan yang dirujuk dalam Ayat 1 Rekomendasi.”
146
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
atas kebijaksanaan pengusaha. Namun, hak pekerja atas perwakilan sebagaimana diatur dalam
panduan yang tersedia di Rekomendasi ILO 166 tahun 1982 tidak bisa dibantah.”
Bergantung pada Rekomendasi ILO No. 166, Pengadilan menganggap bahwa hak untuk dibantu selama
masa wawancara pra-pemecatan tidak bisa dibanding. Meskipun, pengusaha yang berhak menentukan
jenis perwakilan yang bisa didapatkan pekerja, pekerja bisa memilih perwakilan yang bisa membantunya.
Dalam hal ini, Pengadilan Perburuhan Lesotho menetapkan bahwa fakta pekerja tidak pernah dibantu
oleh pengacaranya tidak mempengaruhi validitas wawancara di mana dia mengambil bagian. Permohonan
pekerja ditolak.
89.
Pengadilan Perburuhan Lesotho, Palesa Peko vs The national university of Lesotho,
1 Agustus 1995, No. LC 33/95
Subyek: pekerja dengan tanggung jawab keluarga
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan atas dasar hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang belum diratikasi;301 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi305
Ketidakhadiran pekerja karena anaknya sakit/ Skorsing pekerja/ Kewajiban bagi pengadilan
untuk menerapkan aturan hukum internasional/ Penerapan langsung hukum internasional untuk
menggantikan kekurangan dalam legislasi nasional/ Pembatalan skorsing
Seorang pekerja perempuan tidak hadir dalam di tempat kerjanya selama dua minggu untuk menjaga
anaknya yang menjalani operasi usus buntu. Dia mengatakan bahwa dia sakit dan minta diperbolehkan
tinggal di rumah dan menjaga anaknya. Pengusaha telah menskorsnya dan memotong gajinya sejumlah hari
ketidakhadirannya.
Pengadilan Perburuhan menetapkan pertama-tama bahwa semua hal tersebut tidak diatur dalam
legislasi nasional dalam bidang ini:
“Menurut bagian 4 dari UU yang terkait dengan”prinsip-prinsip yang digunakan dalam penafsiran
dan administrasi UU”, diatur dalam Ayat (c) bahwa:
“Dalam kasus ambiguitas, ketentuan UU dan setiap peraturan di bawahnya harus ditafsirkan
dengan cara yang paling mendekati dengan ketentuan konvensi yang diadopsi dari Konferensi ILO
dan Rekomendasi yang diadopsi dari Konferensi ILO”.”
304
Konvensi ILO No. 156 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga,1981.
305
Rekomendasi ILO No. 165 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, 1981.
147
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan kemudian merujuk pada Konvensi ILO No. 156 mengenai Pekerja dengan Tanggung Jawab
Keluarga untuk menutupi kekurangan dalam legislasi nasional, bergantung khususnya pada Pasal 1, 2, 3
dan 4 (b) Konvensi.306
Dan akhirnya, Pengadilan menemukan otoritasnya untuk menerapkan Pasal 9 Konvensi:
“Berdasarkan Pasal 9 Konvensi, ketentuan konvensi dapat diberlakukan oleh peraturan perundangundangan, perjanjian bersama, aturan kerja, keputusan arbitrasi, keputusan pengadilan atau
kombinasi dari metode-metode ini. Oleh karenanya Pengadilan memberikan efek kepada ketentuan
Konvensi dan Rekomendasi.”
Atas dasar ini, Pengadilan Perburuhan Lesotho menerapkan ketentuan Konvensi ILO No.156 secara
langsung, menetapkan bahwa skorsing pemohon tidaklah sah dan memerintahkan pengusaha untuk
membayar gajinya sesuai dengan periode yang dia habiskan dengan anaknya.
306
Pasal 1 Konvensi No. 156: “
1. Konvensi ini berlaku untuk pekerja laki-laki dan perempuan sehubungan dengan tanggung jawab mereka kepada anak-anak yang
menjadi tanggungannya, di mana tanggung jawab tersebut membatasi kemungkinan mereka dalam menyiapkan, memasuki atau
berpartisipasi dalam atau memajukan kegiatan ekonomi.
2. Ketentuan Konvensi ini juga harus berlaku bagi pekerja laki-laki dan perempuan dengan tanggung jawab yang terkait dengan anggota
keluarga dekat lainnya yang sangat membutuhkan perawatan dan dukungan mereka, di mana tanggung jawab tersebut membatasi
kemungkinan mereka dalam menyiapkan, memasuki atau berpartisipasi dalam atau memajukan kegiatan ekonomi. (…)”
Pasal 2 Konvensi No. 156: “Konvensi ini berlaku untuk semua cabang kegiatan ekonomi dan semua kategori pekerja.”
Pasal 3 Konvensi No. 156:
“1. Dengan maksud untuk menciptakan kesetaraan kesempatan dan perlakuan yang efektif bagi pekerja laki-laki dan perempuan, setiap
negara anggota harus membuatnya sebagai tujuan dari kebijakan nasional untuk memampukan orang-orang dengan tanggung jawab
keluarga yang terlibat dalam ketenagakerjaan untuk melaksanakan hak mereka tanpa diskriminasi dan, sebisa mungkin, tanpa konik
antara tanggung jawab pekerjaan dan keluarga.
2. Untuk tujuan Ayat 1 pasal ini, istilah diskriminasi adalah diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan sebagaimana didenisikan dalam
Pasal 1 dan 5 Konvensi Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan) 1958.”
Pasal 4 Konvensi No.156:
“Dengan maksud untuk menciptakan kesetaraan kesempatan dan perlakuan yang efektif bagi pekerja laki-laki dan perempuan, semua
tindakan yang sesuai dengan kondisi nasional dan kemungkinnan yang bisa diambil:
Untuk memampukan pekerja dengan tanggung jawab keluarga melaksankan hak untuk bebas memilih pekerjaan; dan
Untuk memperhitungkan kebutuhan mereka dalam syarat dan kondisi kerja dan dalam jaminan sosial.”
148
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Lithuania
Konstitusi Republik Lithuania
Pasal 138, Ayat 3
(…) Perjanjian internasional yang diratikasi oleh Parlemen Republik Lithuania harus merupakan bagian
dari sistem Hukum Republik Lithuania.
90.
Mahkamah Konstitusi Republik Lithuania, 14 Januari 1999, No. 8/98
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik; rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi307
Proses disipliner/ Kemungkinan bagi serikat pekerja untuk membela pekerja yang bukan anggota/
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan hukum domestik/ Rujukan
kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Seorang pekerja yang berada dalam proses disipliner gagal melapor kepada komisi yang bertugas
dalam perselisihan perburuhan. Dia berpikir bahwa, karena status dari peraturan yang berlaku, tidak ada
serikat pekerja yang dapat mewakilinya untuk membela hak-haknya karena dia bukan anggota serikat
pekerja. Dia membawa tindakan agar tindakan disipliner yang dikenakan kepadanya bisa dibatalkan. Dia
menganggap fakta bahwa dia tidak bisa dibela oleh serikat pekerja, tidak konstitusional. Sesuai dengan
permintaan pekerja, Pengadilan pada Tingkat Pertama meminta Mahkamah Konstitusi, sebagai pembelaan,
untuk mengadili konstitusionalitas dari UU Serikat Pekerja. Mahkamah pertama memutuskan kapasitas
serikat pekerja untuk membela pekerja yang bukan anggota serikat dan kemudian memeriksa apakah
semua ketentuan dalam UU Serikat Pekerja konsisten dengan Konstitusi.
Menganalisa legislasi dan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi menemukan bahwa serikat pekerja
memiliki wewenang untuk mewakili semua pekerja. Khususnya dalam perundingan bersama, dan tidak
hanya anggota mereka.
Mahkamah kemudian mendasarkan pada hukum internasional untuk memperkuat alasan hukumnya:
“Tujuan serikat pekerja untuk membela, dalam cara berserikat, tidak hanya untuk anggota
mereka, tapi juga untuk seluruh pekerja, juga direeksikan oleh Konvensi-konvensi ILO yang telah
diratikasi oleh Republik Lithuania pada tanggal 23 Juni 1994. Contohnya, Pasal 5 dari Konvensi
Perundingan Bersama tanggal 23 Juni 1981 yang mengatur langkah-langkah yang diadaptasi
oleh kondisi-kondisi nasional yang harus diambil untuk meningkatkan perundingan bersama,
sedangkan tujuan dari langkah-langkah tersebut adalah: (a) perundingan bersama harus mungkin
didapatkan oleh semua kelompok pekerja dalam cabang-cabang kegiatan yang dilindungi oleh
Konvensi; (b) Perundingan bersama secara progresif diberikan untuk semua masalah yang diatur
307
Konvensi ILO No. 154 tentang Perundingan Bersama,1981; Konvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan Pekerja, 1971.
149
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
dalam sub-ayat (a), (b) dan (c) Pasal 2 Konvensi ( yaitu dalam kasus menentukan kondisi dan
syarat kerja, mengatur hubungan antara pengusaha dan pekerja, mengatur hubungan antara
pengusaha atau organisasi mereka dan pekerja atau organisasi pekerja).”
Mahkamah Konstitusi Lithuania kemudian menentukan apakah bagian-bagian lain dalam UU sesuai
dengan Konstitusi; di mana pemohon mengklaim perlindungan yang diberikan hanya untuk anggota serikat
pekerja; terutama terkait dengan legislasi Lithuania yang menjamin perwakilan pekerja menambahkan
perlindungan dari pemecatan.
Untuk menilai konstitusionalitas ketentuan ini, Mahkamah mendasarkan pada isi Konvensi ILO No.
135, sehingga menempatkan instrumen tersebut dengan peranan sebagai panduan untuk menafsirkan;
Mahkamah menyatakan hal berikut ini:
“Pasal 1 Konvensi 135 mengenai Perlindungan dan Fasilitas yang Diberikan kepada Perwakilan
Pekerja dalam Perusahaan yang diadopsi oleh ILO, yang juga diratikasi oleh Republik Lithuania
pada tanggal 23 Juni 1994, dibaca: “Perwakilan pekerja dalam perusahaan (menurut Pasal 3
Konvensi, mereka juga dianggap sebagai perwakilan serikat pekerja yang ditunjuk atau dipilih
oleh serikat pekerja atau anggota-anggota serikat pekerja) harus mendapatkan perlindungan
yang efektif terhadap setiap tindakan yang diprasangkai terhadap mereka, termasuk pemecatan,
berdasarkan status atau kegiatan sebagai perwakilan pekerja atau keanggotaan serikat atau
partisipasi dalam kegiatan serikat, sejauh mereka sesuai dengan perundangan yang berlaku dan
perjanjian bersama atau perjanjian lain yang disepakati bersama.
Sehingga ketentuan dalam Bagian 2,3,4,5 dan 6 Pasal 21 UU Serikat Pekerja sejalan dengan
persyaratan dalam Konvensi untuk melindungi perwakilan pekerja dari bahaya yang mungkin
terjadi sehubungan dengan kegiatan mereka dalam serikat pekerja.”
Mahkamah Konstitusi Lithuania, karenanya, merujuk pada Konvensi ILO No. 154 dan 135 untuk
mengkonrmasikan bahwa misi dari serikat pekerja adalah juga membela pekerja yang bukan anggota
dan menegaskan bahwa perluasan perlindungan yang diberikan kepada perwakilan serikat pekerja sejalan
dengan Konstitusi.
150
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Madagaskar
Konstitusi Republik Madagaskar
Pembukaan
(…) Mempertimbangkan situasi geopolitik di wilayah regional dan komitmen untuk berpartisipasi dalam
entitas internasional, serta mengadopsi:
-
Piagam Internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM);
-
Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat;
-
Konvensi-kovensi tentang Hak-hak Perempuan dan Anak, serta mempertimbangkan konvensikonvensi ini sebagai satu kesatuan dengan undang-undang, (…)
Pasal 82, Ayat 3 (VIII)
(…) Perjanjian atau kesepakatan internasional yang telah diratikasi secara sah, setelah dipublikasikan,
memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada UU, dengan ketentuan setiap perjanjian atau kesepakatan
internasional diberlakukan oleh pihak yang lain.
91.
Pengadilan Perburuhan Antsirabe, 22 Mei 2006, Kasus No. 13/RG/TT/06
Subyek: klasikasi hubungan kerja
Peranan hukum internasional: penetapan prinsip jurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: laporan Kantor Perburuhan Internasional308
Kontrak antara perusahaan keamanan dan seseorang untuk dipekerjakan sebagai penjaga/ Kontrak
dianggap oleh para pihak sebagai “layanan jasa”/ Pengakuan atas keberadaan prinsip keutamaan
fakta-fakta yang diinspirasi dari kerja ILO/ Klasikasi ulang kontrak sebagai kontrak kerja oleh
Pengadilan
Seseorang direkrut oleh perusahaan jasa keamanan untuk melaksanakan tugas-tugas sebagai penjaga
di bawah perjanjian jasa. Setelah lebih dari lima tahun bekerja, perusahaan secara sepihak memutuskan
kontrak kerja. Penjaga menanyakan kepada Pengadilan Perburuhan untuk mengkonrmasikan keberadaan
hubungan kerja dengan perusahaan dan untuk mendapatkan kompensasi atas PHK yang tidak sah.
Perusahaan jasa keamanan pertama-tama menyatakan bahwa Pasal 11 perjanjian yang ditandatangani
oleh pemohon secara tegas mengecualikan keberadaan hubungan kerja, dan bahwa tidak ada hubungan
kerja yang terus menerus dengan penjaga. Jasa yang diberikan oleh pemohon dikelompokkan dalam kategori
“berdasarkan kebutuhan klien”.
308
ILO: Hubungan Kerja, Laporan V (1), Konferensi Perburuhan Internasional, sesi ke-95, Jenewa, 2006. Harus dicatat bahwa laporan persiapan
menuju pada adopsi di Konferensi Perburuhan Internasional dari Rekomendasi No.198 tentang Hubungan Kerja pada bulan Juni 2006.
151
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Setelah mempertimbangkan denisi-denisi dari istilah “pengusaha” dan “pekerja” sebagaimana
didenisikan oleh UU Perburuhan Madagaskar, Pengadilan menunjuk keberadaan prinsip umum dari
keutamaan fakta-fakta sebagaimana didenisikan oleh Laporan Kantor Perburuhan Internasional tentang
hubungan kerja yang disajikan dalam Konferensi Perburuhan Internasional pada tahun 2006 di mana di
situ dituliskan: “keberadaan hubungan kerja harus ditentukan oleh realitas dari apa yang telah disepakati
dan dilaksanakan oleh para pihak dan tidak sesuai dengan cara di mana satu atau yang lainnya atau kedua
situasi yang dijelaskan.”
Atas dasar prinsip tersebut, Pengadilan menentukan apakah pemohon faktanya telah melaksanakan
kegiatan yang otonom dalam memberikan layanan jasa atau apakah sebaliknya, dia telah melaksanakan
kerja sebagai pekerja.
Setelah mencatat bahwa pemohon melaksanakan kegiatannya hanya semata-mata untuk keuntungan
termohon, pengadilan juga mencatat bahwa jam kerja ditetapkan secara sepihak oleh perusahaan jasa
keamanan dan perusahaan juga memiliki kekuatan penegakan disiplin atas penjaga, sebagaimana
ditunjukkan dalam surat peringatan.
Berdasarkan bukti tersebut, Pengadilan Perburuhan pada tingkat Pertama di Antsirabe menganggap
bahwa para pihak secara nyata telah memiliki kontrak hubungan kerja dan bahwa pemutusan kontrak yang
dilakukan perusahaan tidak sah karena ketentuan UU perburuhan tentang pemecatan tidak dipatuhi.
92.
Pengadilan Perburuhan Antsirabe, Ramiaranjatovo, Jean-Louis vs Fitsaboana Maso,
7 Juni 2004, Keputusan No. 58
Subyek: pemecatan; perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;309 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi310
Pemecatan berdasarkan perubahan agama pekerja yang bekerja pada lembaga agama/ Penilaian
oleh pengadilan tentang kualikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaannya/ Diskriminasi berdasarkan
agama/ Penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Seorang pekerja yang dipekerjakan sebagai staf statistik sebuah lembaga milik gereja Luther telah
dipecat karena menurut pengusaha dia tidak bisa dipercaya lantaran berbohong mengenai alasan atas
salah satu ketidakhadirannya. Pekerja meminta pengadilan untuk mendapatkan ganti rugi atas pemecatan
yang tidak adil tersebut, atas dasar alasan nyata dalam pemecatannya adalah karena dia meninggalkan
kepercayaan Luther dan mengganti dengan kepercayaan lain.
Pengadilan memutuskan bahwa alasan pemecatan yang sebenarnya adalah benar karena pemohon
berpindah agama. Oleh karenanya pengadilan harus memutuskan apakah pemecatan tersebut sah,
memperhatikan aturan internal lembaga tersebut, yang mempromosikan kepercayaan Lutheran, dan
keanggotaan dari kepercayaan tersebut menjadi syarat dalam rekrumen.
309
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958.
310
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
152
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Meskipun konstitusi nasional menetapkan prinsip melarang diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan
agama, secara umum, Pengadilan memilih untuk mendasarkan pada ketentuan yang lebih tepat dari
Konvensi ILO No. 111, di mana secara khusus menandai pembatasan diskriminasi dalam pekerjaan dan
jabatan. Dalam menyelesaikan perselisihan, keputusan pengadilan merujuk pada Pasal 1 (2) Konvensi, yang
mengatakan bahwa “Setiap pembedaan, pengecualian, atau keutamaan sehubungan dengan pekerjaan
tertentu berdasarkan atas persyaratan nyata yang dibutuhkan dari pekerjaan, tidak boleh dianggap sebagai
diskriminasi.”
Dalam menerapkan pasal ini, Pengadilan Perburuhan Antsirabe menganggap bahwa meskipun
sifat agama ada pada lembaga yang mempekerjakan, kepercayaan Luther tidak dapat dianggap sebagai
persyaratan nyata yang dibutuhkan untuk menjalankan pekerjaan sebagai petugas statistik. Mendasarkan
keputusannya secara langsung pada Konvensi ILO No. 111, Pengadilan Perburuhan menyatakan bahwa
pemecatan pekerja tidak sah, dan mengabulkan permohonan ganti rugi yang diajukan pekerja.
93.
Mahkamah Agung Madagaskar, Dugain and others c. Compagnie Air Madagaskar,
5 September 2003, Judgment No. 231
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi311, instrumenyang tidak
tunduk pada ratikasi312
Perjanjian bersama mengatur perbedaan usia pensiun antara pekerja laki-laki dan perempuan/
Tindakan yang dibawa karena alasan diskriminasi/ Penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan
hukum internasional
Perjanjian bersama di sebuah perusahaan penerbangan menetapkan usia pensiun bagi awak kabin
perempuan pada usia 45 tahun dan 50 tahun untuk awak kabin laki-laki. Pekerja perempuan yang telah
pensiun mengajukan proses hukum untuk membatalkan pasal dalam perjanjian bersama tersebut.
Pengadilan Banding menolak klaim mereka tanpa menetapkan apakah pasal tersebut bersifat diskriminatif
atau tidak. Kedua pekerja membawa kasusnya ke Mahkamah Agung, dengan berargumen bahwa aturan
umum undang-undang telah dilanggar.
Untuk menilai apakah ketentuan tersebut bersifat diskriminatif, Mahkamah Agung Madagaskar
mendasarkan pemikirannya pada Pembukaan Konstitusi313 dan juga instrumen internasional mengenai
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan di mana Madagaskar telah menyatukannya dalam hukum
domestik.
311
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, 1979; Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi
(Pekerjaaan dan Jabatan),1958.
312
Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja, 1998.
313
Berikut ini adalah yang dinyatakan dalam Pembukaan Konstitusi Madagaskar: “(…) Mempertimbangkan situasi geopolitik di wilayah regional
dan komitmen untuk berpartisipasi dalam entitas internasional, dan mengadopsi:
- Piagam Internasional tentang Hak asasi Manusia;
- Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat;
- Konvensi-konvensi Hak-hak Perempuan dan Anak, dan mempertimbangkan hal ini menjadi satu kesatuan dari undang-undang, (…)”
153
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan pertama-tama merujuk pada Pembukaan Konstitusi Madagaskar yang mengatakan:
“Aturan kesetaraan dan non-diskriminasi adalah aturan umum, aturan ketertiban umum di mana
hakim terikat untuk menerapkannya dalam tugas-tugasnya.”
Pengadilan melanjutkan kasusnya dengan merujuk pada instrumen internasional yang terkait dengan
diskriminasi yang telah dimasukkan ke dalam hukum domestik, seperti Pembukaan Konstitusi:
“(…) mempertimbangkan bahwa, konvensi-konvensi internasional tentang hak-hak pekerja
termasuk tidak hanya Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial (…) tetapi juga Konvensi ILO No.111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan;
(…) dan, akhirnya Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip dan Hak-hak Dasar di Tempat Kerja,
termasuk penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, yang berlaku secara otomatis;
mempertimbangkan bahwa, dalam arti, standar-standar internasional ini tidak cuma diskriminasi
untuk menetapkan batas usia atau pembatasan berdasarkan jenis kelamin, tetapi penetapan
tersebut hanya bisa dijustikasi bila pengusaha dapat membuktikan bahwa jenis kelamin pekerja
adalah persyaratan pekerjaan yang nyata, khususnya pekerjaan yang menimbulkan risikorisiko, persyaratan tersebut dijustikasi untuk alasan keselamatan, dan terbukti efek usia pada
keselamatan dengan mempertimbangkan jenis kelamin memang dibutuhkan; (…)”.
Utamanya mendasarkan pada Konvensi ILO No. 111 dan instrumen internasional lain, Mahkamah
Agung Madagaskar menetapkan bahwa klausul dalam perjanjian bersama yang terkait dengan usia pensiun
adalah diskriminatif dan Mahkamah membatalkan keputusan dari Pengadilan Banding.
94.
Pengadilan Tinggi Konstitusional, 14 Februari 2001, Keputusan No. 01-HCC/D2
Subyek: hak atas ganti rugi hukum yang efektif
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;314 perjanjian internasional
yang belum diratikasi;315 instrumenyang tidak tunduk pada ratikasi;316 kasus hukum internasional317
Pembelaan atas ketidakkonstitusionalan/ Hak kepemilikan/ Hak atas ganti rugi hukum yang efektif/
Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Sebuah perusahaan menuntut perusahaan lain dalam perselisihan sewa menyewa. Pengadilan
banding telah menolak permohonan tersebut, atas dasar bahwa kantor pusat pemohon tidak berlokasi di
tempat yang dinyatakan dan bahwa pemohon adalah perusahaan ktif tanpa status hukum dan karenanya
tidak bisa mengambil tindakan hukum. Pembelaan atas ketidakkonstitusionalan dimajukan di hadapan
Pengadilan Banding dan permohonan dimasukkan ke Pengadilan Tinggi Konstitusional. Perusahaan yang
permohonannya ditolak menganggap bahwa keputusan Pengadilan Banding mencegah perusahaan untuk
mendapatkan hak dasarnya untuk membawa proses hukum untuk melindungi hak kepemilikannya.
314
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966;
Protokol Tambahan untuk Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan
Masyarakat, 1981.
315
Protokol Tambahan Kedua untuk Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati,
1989.
316
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia,1948.
317
Pengadilan HAM Eropa
154
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Setelah menemukan jurisdiksinya, Pengadilan Tinggi Konstitusional menganggap bahwa penolakan dari
Pengadilan Banding atas hak menggugat bertentangan dengan Pasal 9, 13 (6), 13 (7), dan 34 Konstitusi318
dan Keputusan pengadilan melanggar aturan hukum.
Pengadilan Tinggi Konstitusional Madagaskar mendasarkan pada hukum internasional untuk
menambah kekuatan pada keputusannya:
“(…) bahwa keputusan (…) secara efektif melanggar hukum internasional tentang HAM319, dan
Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat yang menjadi satu kesatuan dengan sistem
hukum domestik di Madagaskar sebagaimana ditetapkan dalam Pembukaan Konstitusi Republik
Madagaskar; bahwa menurut Pasal 8 Deklarasi Universal tentang HAM: “Setiap orang memiliki
hak atas perbaikan yang efektif oleh pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan
yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh Konstitusi atau oleh UU; bahwa,
selanjutnya, Pasal Deklarasi menetapkan bahwa “setiap orang berhak atas kesetaraan penuh atas
keadilan dan sidang publik oleh peradilan yang mandiri dan imparsial, dalam menentukan hak-hak
dan kewajiban-kewajibanya dan atas setiap tuduhan kriminal yang dituduhkan kepadanya; bahwa,
selanjutnya, membaca Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, sidang yang adil
dapat ditafsirkan dalam konteks Ayat 1Pasal 14 Perjanjian yang mensyaratkan sejumlah kondisi
termasuk kesempatan untuk bersaing dalam syarat kesetaraan dan penghormatan atas proses
yang bertentangan; bahwa dengan mencegah perusahaan perseroan terbatas, X [perusahaan
pemohon] yang ingin membawa tindakan hukum, atas dasar penghindaran hukum, Pengadilan
Banding yang tidak mengabulkan adanya persidangan yang adil; bahwa Piagam Afrika tentang
Hak-hak Manusia dan Masyarakat menjelaskan hak-hak individual yang mendasar, khususnya
kesetaraan di hadapan hukum, kesetaraan perlindungan dari UU, hak atas sidang yang adil, dan
hak atas kepemilikan; (…)”
Setelah memperkuat alasannya dengan mendasarkan pada Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan
Masyarakat, dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, Pengadilan Tinggi Konstitusional
kemudian menetapkan bahwa Pengadilan Banding telah mengabaikan hak mendasar, yakni upaya gugatan
yang diajukan perusahaan itu dan keputusan Pengadilan Banding itu bertentangan dengan “sistem hukum
domestik, dan khususnya ketentuan UU Dasar, prinsip-prinsip konstitusional, dan komitmen yang diatur
dalam konvensi dan perjanjian internasional.”
Pengadilan Tinggi Konstitusional Madagaskar membatalkan keputusan Pengadilan Banding atas dasar
pelanggaran Konstitusi.
318
Pasal 9 Konstitusi Madagaskar: “Pelaksanaan dan perlindungan hak individual dan kebebasan mendasar harus diselenggarakan melalui
UU.”
Pasal 13 (6) Konstitusi Madagaskar: “UU harus menjamin setiap orang memiliki akses ke keadilan; kekurangan sumber-sumber tidak boleh
menjadi hambatan.”
Pasal 13 (7) Konstitusi Madagaskar: “Negara harus menjamin secara penuh hak atas pembelaan di seluruh jurisdiksi dan setiap tahap
prosedur, termasuk penyelidikan awal, peradilan, kepolisian dan pengadilan.”
Pasal 34 Konstitusi Madagaskar: “Negara harus menjamin hak atas milik pribadi. Tidak seorangpun bisa ditarik kepemilikannya kecuali untuk
penggunaan untuk kepentingan umum dan dengan kondisi yang adil dan dan harus ada kompensasi.”
319
Hukum Internasional tentang HAM terdiri dari: Dreklarasi Universal tentang HAM, 1948; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, 1966; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Protokol Tambahan untuk Perjanjian Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966;dan Protokol Tambahan Kedua untuk Perjanjian Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik,
bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati, 1989.
155
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
95.
Pengadilan Tinggi Konstitusional, 7 Mei 1997, Keputusan No. 07-HCC/D3
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi320; perjanjian internasional
yang belum diratikasi321; instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi322
Undang-undang baru yang mengatur kondisi akses kepada layanan sipil/ Verikasi konstitusionalitas/
Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Pengadilan Tinggi Konstitusional Madagaskar harus memeriksa konstitusionalitas perintah yang
menetapkan status umum personil parlemen.323 Aturan-aturan ini memperkenalkan kondisi-kondisi baru
atas akses ke layanan sipil: “masa kerja, layanan yang baik, perilaku yang baik, moralitas, produktitas, dan
keahlian khusus.”
Pengadilan merujuk pada Pasal 27 (2) Konstitusi324, serta Pembukaan Konstitusi325 dalam
pertimbangannya. Karena Pembukaan memberikan nilai konstitusional pada hukum internasional tentang
HAM, Pengadilan memeriksa ketentuan hukum untuk menetapkan apakah perintah tersebut melanggar
prinsip konstitusil dan menetapkan bahwa telah terjadi pelanggaran, tidak hanya terhadap Konstitusi,
tetapi juga pada Pasal 21 (2) Deklarasi Universal tentang HAM. Pengadilan menetapkan bahwa kriteria
yang ditetapkan dalam perintah tersebut merupakan “kondisi-kondisi baru yang telah ditambahkan secara
semena-mena melalui keputusan Presiden Majelis Nasional terhadap sejumlah hal yang diatur secara
eksklusif oleh Pasal 27 (2) Konstitusi dan terhadap kondisi-kondisi yang ditetapkan dalam Pasal 21 (2)
hukum internasional tentang HAM,326 yang telah diadopsi dalam Pembukaan Konstitusi”; dan bahwa
“suatu ketentuan yang membuka peluang terjadinya penyalahgunaan, ketidaksetaraan, dan diskriminasi,
padahal Pembukaan Konstitusi dengan tegas menyatakan “tindakan untuk menghapuskan ketidakadilan,
ketidaksetaraan dan segala bentuk diskriminasi”.”
Merujuk pada Deklarasi Universal tentang HAM yang menguatkan Pengadilan Tinggi Konstitusional
Madagaskar untuk menggarisbawahi pelanggaran yang serius atas prinsip kesetaraan yang dimuat dalam
Pembukaan Konstitusi dan dalam Pasal 27 (2) Konstitusi.Pengadilan menetapkan bahwa Pasal tersebut
tidak konstitusional.
320
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,1966; Perjanjian Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik,1966;
Protokol Tambahan untuk Perjanjian Internasional tentang hak-hak Sipil dan Politik, 1966.
321
Protokol Tambahan Kedua untuk Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, bertujuan untuk menghapuskan hukuman mati,
1989.
322
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948
323
Perintah No. 16-AN/P tertanggal 6 Mei 1997.
324
Pasal 27 (2) Konstitusi Madagaskar: “Akses ke lembaga publik harus terbuka kepada semua warga negara tanpa syarat selain keamampuan
dan perilaku.”
325
Pembukaan Konstitusi Madagaskar: “(…) dan mengadopsi:
- Piagam Internasional tentang HAM;
- Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat;
- Konvensi-konvensi hak-hak perempuan dan anak, dan mempertimbangkan hal ini menjadi satu kesatuan dengan UU, (…)”
326
Harus digarisbawahi bahwa Pasal yang terkait adalah Pasal 21 (2) dari Deklarasi Universal tentang HAM, yang dibaca sebagai berikut: “setiap
orang memiliki hak atas kesetaraan akses kepada layanan publik di negaranya.”
156
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Malawi
96.
Mahkamah Agung Malawi, Blantyre, Malawi Telecommunications Ltd vs Makande
and another, 7 Mei 2007
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi326; kasus hukum
komparatif327
Alasan pemecatan/ Persyaratan operasional Restrukturisasi/ Konsultasi/ Penggunaan kasus hukum
asing/ Penerapan langsung Konvensi ILO No. 158
Para pemohon adalah mantan pekerja termohon. Mereka diduga dipecat karena alasan restrukturisasi.
Para pemohon membanding pemecatan, menduga bahwa termohon masih membutuhkan jasa dari
para pemohon. Pengadilan pada tingkat pertama, Pengadilan Hubungan Industrial, menemukan bahwa
pemecatan tersebut tidak sah karena termohon tidak mengikuti tata cara yang sah sebelum memecat para
pemohon. Pengadilan Hubungan Industrial mendasarkan keputusannya pada Konvensi ILO No. 158, yang
mengatur panduan untuk menentukan prosedur yang disyaratkan dalam kasus pemecatan. Termohon
tidak puas dengan keputusan tersebut dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Pengadilan banding
menolak banding, dan menyetujui keputusan Pengadilan Hubungan Industrial.
Alasan kasasi ke hadapan Mahkamah Agung ada empat, yaitu: keputusan memiliki kesalahan hukum
“(a) dengan menyatakan bahwa hal itu adalah logis dan bisa diterima untuk mendapatkan panduan dari
hukum asing lain atau konvensi/perjanjian internasional sehingga bisa mengisi setiap kekurangan dalam
(…) hukum; (b) dengan menerapkan Konvensi ILO No. 158 (…) untuk tujuan transparansi di negara Malawi
yang demokratis tanpa perlu mempertimbangkan apakah Konvensi tersebut berlaku atau tidak di Malawi; (c)
dengan sepenuhnya mengadopsi keputusan dalam Kasus Bristol Channel Ship Repairs vs O’Keefe (…) tanpa
mempertimbangkan bahwa keputusan dalam kasus itu didasarkan pada ketentuan undang-undang yang
tidak berlaku di Malawi; dan (d) setelah menemukan dalam diri pemohon kedua (…) yang mengindikasikan
bahwa dia diberitahu melalui Serikat pekerja fakta bahwa pengurangan pekerja akan menargetkan orangorang yang tidak memiliki kinerja yang baik, namun hakim menolak bahwa ada konsultasi yang dilakukan
atau dibuat dengan para pekerja.”328 Termohon meminta keputusan dari pengadilan Tinggi bahwa pemecatan
yang tidak sah itu dibatalkan.
Menanggapi poin di atas, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Konvensi ILO No. 158 harus dianggap
berlaku di Malawi menurut bagian 211 (2) Konstitusi tahun 1994. Mahkamah mengamati bahwa tidak ada UU
dari Parlemen yang mengatur sebaliknya.330 Mahkamah menyatakan bahwa keputusan asing berdasarkan
ketentuan hukum asing dapat dipertimbangkan dalam menyelesaikan kasus ini, sepanjang hakim sadar
bahwa keputusan itu tidak memiliki kekuatan mengikat tetapi secara tegas diamati bahwa keputusan hanya
memiliki kekuatan persuasif atau otoritas. Akhirnya Mahkamah menyatakan bahwa konsultasi (sebelum
327
Konvensi ILO No. 158 tetnang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
328
Inggris
329
Halaman 2 Keputusan
330
Pasal 211 Konstitusi Malawi tahun 1994 mengatakan: “1) Setiap perjanjian internasional yang diratikasi oleh UU dari Parlemen harus
menjadi bagian dari hukum Republik jika diatur dalam UU dari Parlemen yang meratikasi Perjanjian
(2) Perjanjian Internasional yang ditandatangani sebelum berlakunya Konstitusi dan mengikat Republik harus menjadi bagian dari Hukum
Republik, kecuali Parlemen selanjutnya mengatur hal yang sebaliknya atau perjanjian tersebut berakhir sebelum waktunya.
(3) Hukum kebiasaan internasional, kecuali bila tidak konsisten dengan Konstitusi atau UU dari Parlemen, harus terus berlaku.” Harus dicatat
bahwa Malawi telah meratikasi Konvensi ILO No. 158 di tahun 1986.
157
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
pemecatan berdasarkan persyaratan operasional) harus menjadi “keterlibatan pekerja yang sungguhsungguh dalam proses restrukturisasi. Hal tersebut tidak hanya semata-mata untuk mencoba memberikan
efek atas pemberitahuan sepihak dari pengusaha kepada pekerja, dalam cara yang tidak mencari umpan
balik yang sama dari pekerja”.331
Sehubungan dengan penjelasan di atas, Mahkamah Agung menyetujui keputusan Pengadilan Industrial
sebagaimana ditegaskan kembali oleh Pengadilan tinggi bahwa termohon tidak mengikuti prosedur yang sah
sebelum memecat para pemohon, di mana prosedur yang ditentukan mempertimbangkan persyaratan yang
ditetapkan dalam Pasal 13 dan 14 Konvensi ILO No. 158. Sehingga, Mahkamah Agung menolak banding.
97.
Pengadilan Hubungan Industrial Malawi, Davison Tchete vs Safeguard Services,
1 April 2002, No. 6 of 2000
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi332
Pemecatan tanpa alasan yang sah/ Tidak dihormatinya hak pekerja untuk membela diri terhadap
tuduhan/ penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Pada bulan Juli 1999, Tuan Tchete, seorang pekerja pada perusahaan “Safeguard Services”, mengambil
cuti sakit selama tiga hari, memberitahukan perusahaan alasan ketidakhadirannya. Selama tiga hari
tersebut, Tuan Tchete mendapati bahwa saudara perempuannya meninggal dunia. Dia memberitahukan
perusahaan bahwa dia memperpanjang ketidakhadirannya karena alasan yang baru ini. Ketika dia kembali
bekerja, dia ditolak masuk dalam rapat dan beberapa hari kemudian dia menerima surat PHK.
Tuan Tchete membawa kasus itu ke pengadilan untuk mendapatkan uang pesangon, surat rujukan dari
tahun 1985 sampai 1989, dan lima hari cuti tahunan yang masih dimilikinya. Meskipun permohonannya
tidak meminta penetapan tentang keabsahan pemecatannya, Pengadilan melihat tetap melihat hal itu
karena kompetensi pengadilan dalam menangani isu keadilan. Pada saat itu terjadi, UU Ketenagakerjaan
(2000), yang mengatur syarat dan prosedur pemecatan belum berlaku. Oleh karenanya, untuk menentukan
keabsahan pemecatan, Pengadilan merujuk pada Pasal 31 Konstitusi Republik Malawi, yang menetapkan
bahwa ”setiap orang memiliki hak atas praktik perburuhan yang adil dan aman, serta untuk penghasilan
yang adil”. Untuk menafsirkan ketentuan mengenai praktik perburuhan yang adil, dan untuk memutuskan
apakah termasuk pemutusan hubungan kerja, Pengadilan melihat kepada Konvensi ILO No. 158 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja yang telah diratikasi oleh Malawi.
Pertama, Pengadilan melihat alasan pemecatan Tuan Tchete. Dalam melakukan hal tersebut, pengadilan
menafsirkan ketentuan “praktik perburuhan yang adil” dengan merujuk pada Pasal 4 Konvensi No. 158,
yang menyatakan bahwa “hubungan kerja pekerja tidak boleh diputuskan kecuali ada alasan yang sah atas
pemutusan tersebut yang terkait dengan kapasitas atau perilaku pekerja atau berdasarkan persyaratan
331
Pasal 10 Keputusan.
332
Konvensi ILO no.158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982
158
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
operasional perusahaan atau layanan.” Atas dasar ini, Pengadilan menganggap bahwa ketidakhadiran di
tempat karena sakit atau kematian saudara perempuan bukanlah alasan yang sah untuk pemecatan. Oleh
karenanya PHK tersebut dinyatakan tidak sah.
Kedua, Pengadilan melihat prosedur PHK yang diikuti oleh perusahaan. Pengadilan melihat bahwa
pemohon tidak memiliki kesempatan untuk menjelaskan sebelum dia dipecat. Untuk menentukan apakah
prosedur pemecatan tersebut sah, Pengadilan merujuk pada Pasal 7 Konvensi No. 158, yang menyatakan
bahwa “hubungan kerja pekerja tidak boleh diputuskan karena alasan yang terkait dengan perilaku atau
kinerja pekerja sebelum dia diberikan kesempatan untuk membela diri terhadap tuduhan yang dibuat,
kecuali pengusaha tidak dapat secara logis diharapkan untuk memberikan kesempatan ini.” Atas dasar ini,
Pengadilan menganggap bahwa ketiadaan kesempatan untuk didengar adalah bertentangan dengan hak
atas praktik perburuhan yang adil.
Dalam menafsirkan Pasal 31 Konstitusi nasional dengan rujukan pada Konvensi ILO No. 158 tentang
Pemutusan Hubungan Kerja, Pengadilan Hubungan Industrial Malawi menganggap bahwa pemecatan
pekerja, yang diputuskan tanpa kesempatan untuk didengar, dan hanya didorong oleh ketidakhadiran
pekerja yang sah, melanggar haknya atas praktik perburuhan yang adil, dan memberikan kepadanya hak
atas kerugian.
159
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Mexico
98.
Mahkamah Agung Kamar Kedua, Democratic Federation of Unions of Public Servants,
4 Maret 2005, Amparo en revisión 1878/2004
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi333; instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi334
Amparo/ Serikat pekerja/ Kebebasan berserikat/ Konstitusi Nasional/ Prinsip kesetaraan
Federasi Demokratik Serikat Pegawai Negeri memulai persidangan perlindungan Hukum dengan
mengklaim ketidakkonstitusionalan Hukum Federal mengenai Pekerja Sektor Publik, di mana hukum ini
hanya mengakui satu serikat pekerja (Federasi Serikat Pekerja Pelayanan Negara) sebagai satu-satunya
serikat pekerja di mana serikat-serikat pekerja bisa beraliasi, dan meminta perlindungan hukum terhadap
tindakan administratif yang menolak pendafataran mereka sebagai entitas serikat pekerja tingkat
sekunder.
Pemohon mendasarkan perlindungan atas hak kebebasan berserikatnya sesuai dengan Pasal 9, 14, 16,
dan 123, seksi B, Bagian X Konstitusi Politik dari Negara Serikat Mexico, Pasal 1 dan 2 Deklarasi Universal
PBB tentang HAM, dan Konvensi ILO No. 87, mengutip dukungan atas klaim mereka dari keputusan Komite
ILO tentang Kebebasan Berserikat dan komentar dari Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan
Rekomendasi.
Pengadilan pada tingkat pertama mengabulkan klaim dari pemohon, memerintahkan Pengadilan
Federal Konsiliasi dan Arbitrasi menyatakan bahwa tindakan penolakan pendaftaran adalah tidak sah, dan
memutuskan atas penerapan untuk pendaftaran Federasi Demokratik Serikat Pegawai Negeri. Federasi
Serikat Pekerja Pelayanan Negara membanding keputusan ini.
Pengadilan perburuhan menegaskan bagian keputusan tentang kompetensi dan memerintahkan
dokumen kasus ini dikirim ke Mahkamah Agung Nasional.
Mahkamah Agung menegaskan keputusan banding, yang menggunakan Konvensi ILO No. 87 dan
yurisprudensi dari Badan-badan Pengawas ILO untuk memperkuat alasan hukumnya, dan menetapkan bahwa
Hukum Federal tentang Pekerja Sektor Publik tidak konstitusional, di mana hak kebebasan berserikat juga
diatur untuk serikat pekerja dengan aspek positif dan negatif yang sama yang diakui untuk pekerja individual,
yaitu bahwa serikat pekerja dapat: 1) bergabung dengan federasi atau membentuk yang baru; 2) tidak
bergabung dengan federasi tertentu atau tidak begabung sama sekali; dan 3) bebas untuk memisahkan diri
atau menjadi bagian federasi. Oleh karenanya, pembuat UU tidak berwenang untuk melarang keberadaan
dari organisasi yang disahkan oleh pembuat UU335.
333
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948.
334
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, 1948.
335
Keputusan Mahkamah Agung sejalan dengan pandangan dari pengamatan Komite Ahli atas Penerapan Konvensi ILOn No. 87 di Mexico.
160
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Maroko
Konstitusi Kerajaan Maroko
Pembukaan
(…) Mengingat kebutuhan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya dalam kerangka organisasi
internasional di mana Maroko adalah anggota yang aktif dan dinamik, Kerajaan Maroko menjunjung
prinsip-prinsip, hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berasal dari perjanjian organisasi-organisasi
tersebut dan menegaskan pengakuannya atas hak-hak asasi manusia yang diakui secara universal.
(…)
Pasal 31, Ayat 3
Perjanjian internasional yang mungkin mempertanyakan ketentuan dalam Konstitusi, disetujui sesuai
dengan tata cara yang disediakan untuk membuat perubahan terhadap Konstitusi.
UU Perburuhan Kerajaan Maroko
Pembukaan
UU Perburuhan ini mematuhi prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam Konstitusi dan dengan
standar-standar internasional seperti yang termuat dalam konvensi-konvensi PBB dan agen khususnya
dalam bidang perbuurhan. (…)
Menetapkan hak-hak yang dilaksanakan dalam dan di luar kegiatan usaha yang dijamin dalam UU ini
termasuk hak-hak yang termuat dalam konvensi perburuhan internasional yang telah diratikasi dan
hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi inti ILO, termasuk yang berikut ini: (a) kebebasan
berserikat dan perlindungan hak berserikat dan perundingan bersama, (b) larangan atas segala bentuk
pekerja paksa, (c) penghapusan yang efektif atas pekerja anak, (d) larangan diskriminasi sehubungan
dengan pekerjaan dan jabatan dan (e) kesetaraan pengupahan.(…)
Ketika teks hukum bertentangan satu sama lain, prioritas harus diberikan kepada yang lebih
menguntungkan bagi pekerja. Dalam menyelesaikan perselisihan perburuhan individual atau kolektif,
urutan prioritas harus diberikan kepada: ketentuan yang terkait dengan UU ini dan konvensi dan piagam
internasional yang telah diratikasi, perjanjian bersama, kontrak kerja, keputusan arbitrase dan kasus
Hukum; (…)
161
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
99.
Pengadilan Tingkat Pertama Sidi Slimane, Mounir Ouharro C. vs Ismaïl Alaoui,
25 Mei 2005, No. 58/2005
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi336
PHK pekerja tanpa alasan pembenar yang sah; bukti dari pengusaha atas kelalaian pekerjaan/
Mengabaikan tata cara PHK, yaitu sidang yang diselenggarakan bagi pekerja untuk didengar
keterangannya, yang melanggar Hukum/ Penerapan langsung UU Perburuhan/ Penegakan ketentuan
UU Perburuhan mengenai PHK dengan menerapkan Konvensi ILO No. 158
Fakta-fakta terkait PHK terhadap seorang pekerja setelah tiga tahun bekerja di perusahaan jasa
telepon. Pekerja mengklaim PHK yang tidak sah karena ketiadaan alasan yang sah dan tidak dipatuhinya
ketentuan UU Perburuhan mengenai PHK. Sebagai tambahan dari kerugian, pekerja meminta pembayaran
atas perbedaan gaji yang dibayarkan kepadanya dengan yang seharusnya dia terima pada tingkat upah
minimum, ditambah kompensasi PHK, tunjangan senioritas, berbagai macam pembayaran lain sebagai
kompensasi atas hari libur dan ketidakhadiran yang dibayar karena dia ditolak dan kehilangan pekerjaan.
Pengadilan menunjuk pada sifat tidak sah dari PHK dan menerima sebagian besar argumen dari pemohon
berdasarkan ketentuan dalam UU Perburuhan, di mana pengadilan menggunakan rujukan pada konvensi
ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja.
Termohon menganggap bahwa pemohon adalah pekerja mandiri sementara waktu, yang mendapatkan
uang dari téléboutique dan secara sukarela meninggalkan pekerjaannya, namun setelah iitu ia menuntutnya
ke pengadilan. Pemohon mempertanyakan istilah “pemutusan kontrak kerja yang tidak sah”. Termohon
lalu meminta pengadilan untuk menunda keputusan menunggu hasil dari kasus pidana yang dituduhkan
kepada pekerja, sebagai yang utama dalam kasus ini, dan meminta pengadilan untuk menolak permohonan
pekerja karena kurangnya dasar hukum dan pertimbangan yang serius, sebagai masalah pelengkap.
Setelah memeriksa fakta-fakta dengan hati-hati, Pengadilan menetapkan bahwa ada hubungan kerja
antara para pihak dan bahwa perpisahan tersebut telah terjadi. Mengenai dugaan pengabaian pekerja,
Pegadilan mengingatkan bahwa menurut UU Perburuhan, pengusaha menanggung beban pembuktian.
Pengadilan merasa bahwa satu-satunya fakta yang menjadikan PHK itu tidak sah adalah tidak diterapkannya
prosedur hukum dalam PHK, yakni secara spesik memberitahukan soal PHK tersebut secara tertulis yang
disebabkan oleh kesalahan berat, dalam waktu 48 jam sejak keputusan, dan sebelum sidang dengar pendapat
dengan pekerja. Dalam hal ini, Pengadilan merujuk pada ketentuan-ketentuan dalam UU Perburuhan dan
Kovensi ILO No. 158 sebagai berikut:
“Dugaan atas pengabaian secara sukarela atas pekerjaan harus ditetapkan oleh pengusaha
sesuai dengan Pasal 63, Ayat 2; hal itu tidak dilakukan oleh termohon. Setiap kesalahan berat
yang dilakukan oleh pekerja, menurut termohon, seharusnya diberikan sanksi disiplin berupa
PHK sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 61 UU Perburuhan, di mana selanjutnya pengusaha
seharusnya pekerja kemungkinan untuk membela dirinya pada sidang dengar pendapat sesuai
dengan Pasal 62. Sama halnya dengan Pasal 63 yang mengatur bahwa pemberitahuan tertulis
PHK seharusnya diberikan kepada pekerja dalam waktu 48 jam sejak saat keputusan tersebut
336
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja,1982.
162
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
diambil. Termohon tidak melakukan hal tersebut. Akibatnya, PHK ini kurang memiliki dasar hukum,
bahkan jika pun pekerja telah melakukan dugaan pecurian, karena prosedur yang disebutkan di
atas untuk PHK tidak diikuti.
Juga harus dicatat dalam hal ini bahwa ketentuan UU Perburuhan di atas didukung oleh Konvensi
ILO No. 158 mengenai pemutusan hubungan kerja, yang diratikasi oleh Maroko pada tanggal 7
Oktober 1993, di mana dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa “hubungan kerja pekerja tidak boleh
diputuskan kecuali ada alasan yang sah atas pemecatan tersebut yang terkait dengan kapasitas
atau perilaku pekerja atau berdasarkan persyaratan operasional dari perusahaan, atau layanan”,
dan dalam Pasal 7 disebutkan bahwa “hubungan kerja pekerja tidak boleh diputuskan karena
alasan perilaku atau kinerja pekerja sebelum dia diberikan kesempatan untuk membela dirinya
terhadap dugaan yang dibuat, kecuali pengusaha secara pantas tidak dapat diharapkan untuk
memberikan kesempatan ini” (…)”
Atas dasar UU perburuhan, didukung dengan Konvesi ILO No. 158, Pengadilan Sidi Slimane kemudian
memutuskan bahwa, mempertimbangkan tidak adanya kesempatan untuk membela dirinya dan
pemberitahuan PHK secara tertulis, pemecatan pekerja dinyatakan tidak sah.
163
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Mauritius
100.
Mahkamah Agung Mauritius, Kamar Konstitusial, Pointu vs The Ministry of
Education and Science, 27 Oktober 1995, No. S.C.J. 350
Subyek: prinsip umum kesetaraan
Perana hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian interasional yang telah diratikasi;337 kasus hukum
internasional;338 kasus hukum asing339
Peraturan baru yang mengatur ujian kompetisi/ Tindakan atas pelanggaran prinsip kesetaraan/
Penggunaan kasus hukum asing dan internasional sebagai panduan dalam menafsirkan ketentuan
dalam Konstitusi
Para murid di Mauritius mengambil bagian dalam ujian kompetisi tahunan untuk masuk sekolah terbaik
kedua di negara itu. Jenis tes yag ditetapkan dalam ujian dan metode untuk menghitung nilai baru saja
diubah. Penduduk Mauritius mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung, mengklaim bahwa aturan baru
bertentangan dengan prinsip kesetaraan seperti yang ditetapkan dalam Pasal 3 dan 16 Konstitusi340 karena
mereka memperkenalkan koesien yang berbeda-beda tergatung pada mata pelajaran yang diambil para
murid dalam ujian.
Setelah menganalisa pasal-pasal terkait dalam Konstitusi, Mahkamah Agung Mauritius kemudian
menguji kemungkinan menafsirkan hak-hak dasar yang ditetapkan dalam Konstitusi berkaitan dengan
sumber-sumber asing dan internasional. Mahkamah mempelajari preseden yudisial dan mendapatkan
kesimpulan sebagai berikut:
“Menurut pendapat kami, pendekatan terbaik adalah bahwa Konstitusi, dan khususnya bagian
yang membentuk hak-hak dasar, harus ditafsirkan secara historis, sumber-sumbernya, dan apabila
mungkin, keputusan atau ketentuan sejenis baik oleh pengadilan nasional atau oleh lembaga
internasional.”
Melalui kasus ini, Pengadilan “mempertimbangkan, inter alia, standar hak asasi manusia di tingkat
internasional dari pandangan Komite Hak Asasi Manusia dalam Kasus Zwaan de Vries versus the Belanda,341
di mana Komite menganggap bahwa Pasal 26 [dari Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik] mewajibkan perilaku yang baik negara dalam melaksanakan fungsi legislatif, kepemerintahan, dan
yuridis.”
337
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966.
338
Komite PBB tentang Hak Asasi Manusia.
339
India dan Amerika
340
Pasal 3 Konstitusi Mauritius: “oleh karenanya diakui dan dinyatakan bahwa di Mauritius tidak boleh ada diskriminasi oleh alasan ras,
tempat asal, pendapat politik, warna kulit, jenis kelamin, tetapi tunduk pada penghormatan atas hak-hak dann kebebasan orang lain untuk
kepentingan umum, setiap dan semua hak asasi manusia dan kebebasan mendasar (…).”
Pasal 16 Konstitusi Mauritius: “1. Tunduk pada sub ayat (4),(5) da (7), tidak boleh ada UU yang membuat ketentuan yang diskriminatif baik
dalam UU itu sendiri ataupun efek dari UU.
2. Tunduk pada sub ayat (6), (7), dan (8) tidak seorangpun boleh diperlakukann secara diskriminatif oleh setiap orang yang bertindak dalam
ragka fungsi publik yag diberikan oleh UU atas lainnya dalam melakukan fungsi layanan publik atau otoritas publik.”
341
Komite HAM PBB, Komunikasi No. 182/1984: Zwaan de Vries v. the Belanda, 9 April 1987, CCPR/C/29/D/182/1984.
164
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mahkamah Agung kemudian memeriksa kasus hukum Amerika Serikat dan India, mengadopsi
pendekatan kategori dari yang belakangan.342 Atas dasar ini, Mahkamah menilai bahwa aturan baru
memperkenalkan perbedaan perlakuan antara para murid meskipun para murid tersebut sebenarnya berada
dalam kategori yang sama, itu bertentangan dengan “prinsip kesetaraan di depan hukum dan kesetaraan
perlindungan hukum343 yang diatur dalam Konstitusi kita.”
Merujuk pada kasus hukum internasional dan asing menjadikan Mahkamah Agung Mauritius mampu
menetapkan bahwa aturan ujian kompetisi adalah diskrimiatif karena memberikan perbedaan perlakuan
terhadap orang-orang yang memiliki kategori yang sama. Oleh karenanya aturan baru dinyatakan tidak
konstitusional.
342
Pendekatan kategori didenisikan oleh Mahkamah Agung India dalam putusannya tentang Kasus of R. K. Garg v.Union of India (1981): “Orangorang yang berada dalam situasi yang sama harus diperlakukan secara setara, dan orang-orang yang berbeda tidak boleh diperlakukan
secara setara.
Kedua kondisi berikut ini harus dipenuhi untuk menguji kategori yang sah secara sukses: (i) Kategorisasi harus berdasarkan perbedaan yang
teruji yang membedakan orang atau beda yang dikelompokkan bersama dari mereka yang tidak dalam kelompok dan (ii) perbedaan ini harus
secara logis dihubungkan dengan obyek hukum yang bersangkutan. Di mana kategorisasi berdasarkan beberapa criteria, faktor yang penting
adalah harus ada hubungan antara kategorisasi dengan obyek hukum.”
343
Pasal 26 Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik: “Semua orang setara di hadapan hukum dan berhak mendapatkan
kesetaraan perlindungan hukum tanpa diskriminasi. Dalam hal ini, hukum harus melarang setiap diskriminasi dan menjamin semua orang
mendapatkan perlindungan yang setara dan efektif terhadap diskriminasi atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pandangan politik atau lainnya, asal kebangsaan dan sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.”
165
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Niger
Konstitusi Niger
Pembukaan
(…) Kami, Rakyat Niger yang berdaulat: memproklamasikan kepatuhan kami kepada prinsip demokrasi
pluralisme dan terhadap Deklarasi hak Asasi Manusia tahun 1948, Piagam Afrika tentang Hak-hak
Manusia dan Masyarakat tahun 1948, sebagaimana dijamin olehKonstitusi saat ini; (…)
Pasal 132
Perjanjian atau kesepakatan internasional yang telah diratikasi secara sah, setelah diundangkan, akan
memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada undang-undang, dengan ketentuan bahwa setiap perjanjian
dan kesepakatan internasional diterapkan oleh pihak lain.
101.
Mahkamah Konstitusi Niger, 16 Januari 2002, Keputusan No. 2002-004/CC
Subyek: hak atas ganti rugi hukum yang efektif
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi344
Pengujian oleh Mahkamah Konstitusi atas undang-undang baru Mahkamah Agung/ Hak atas ganti
rugi hukum yang efektif/ Penerapan langsung instrumen internasional dengan nilai konstitusional
Mahkamah Konstitusi Niger harus memutuskan konstitusialitas undang-undang yang mengubah
komposisi, tugas, dan fungsi Mahkamah Agung. Salah satu pasal dalam UU mengatur bahwa dalam hal
tindakan terhadap nominasi ajudikasi harus dilakukan dalam waktu 60 hari. Dalam kondisi ketiadaan
ajudikasi, maka banding dianggap ditolak ipso jure dan penolakan bersifat nal.
Mahkamah menguji kesesuaian ketentuan ini dengan Deklarasi Universal HAM (yang dimasukkan dalam
apa yang disebut blok Konstitusialitas)345, dan menganggap bahwa pasal yang dibanding ini melanggar:
“ketentuan dalam Pasal 8 Deklarasi Universal tentang HAM (1948), yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap
orang memiliki hak atas ganti rugi yang efektif oleh pengadilan nasional yang kompeten atas tindakan yang
melanggar hak-hak mendasar yang diberikan oleh Konstitusiatau oleh UU.””
Atas dasar Deklarasi Universal tentang HAM, Mahkamah Konstitusi Niger menetapkan bahwa ketentuan
UU yang menetapkan bahwa banding terhadap nominasi ajudikasi dianggap ditolak dalam ketiadaan
ajudikasi dalam waktu 60 hari adalah tidak konstitutional.
344
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
345
Pembukaan Konstitusi Niger: (…) Kami, Rakyat Niger yang berdaulat: memproklamasikan kepatuhan kami kepada prinsip demokrasi pluralisme
dan terhadap Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948, Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat tahun 198, sebagaimana
dijamin oleh Konstitusi saat ini; (…)
166
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Nigeria
Konstitusi Republik Federal Nigeria
Pasal 12, Ayat 1
Perjanjian internasional antara Federasi dengan negara lain tidak memiliki kekuatan hukum, kecuali
perjanjian internasional tersebut telah diundangkan menjadi undang-undang oleh Majelis Nasional.
102.
Mahkamah Agung Nigeria, Abacha vs Fawehinmi, 28 April 2000, No. SC45/1997
Subyek: kondisi penahanan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan untuk menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;346 kasus hukum asing347
Penahanan sewenang-wenang/ Tindakan ke hadapan Mahkamah Agung/ Penentuan nilai dari Piagam
Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat dalam hukum domestik/ Penggunaan hukum
internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Seorang aktivis HAM telah ditahan di penjara selama seminggu tanpa ada surat penahanan dan
tanpa ada sebab. Selama periode tersebut dia diisolasi secara total sebelum dimasukkan ke penjara. Dia
mengajukan proses ini ke Pengadilan Tinggi Federal Lagos untuk menuntut penghormatan atas hak dasar,
dengan argumen inter alia, bahwa penahanannya bertentangan dengan Pasal 4, 5, 6, dan 12348 dari Piagam
Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat (di mana Nigeria telah meratikasinya).
346
Konvesi Vienna tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969; Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat, 1981.
347
Prancis dan Inggris
348
Pasal 4 Piagam Afrika tentang Hak-hak Mannusia dan Masyarakat: “Hak Asasi Manusia tidak bisa diganggu gugat. Setiap manusia berhak
atas penghormatan terhadap kehidupan dan integritasnya sebagai pribadi. Tidak seorangpun dengan sewenang-wenang bisa mencabut hak
ini.”
Pasal 5 Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat: “Setiap individu memiliki hak atas penghormatan keseluruhan martabatnya
sebagai manusia dan pengakuan atas status hukumnya. Segala bentuk eksploitasi dan penghinaan manusia, khususnya perbudakan,
perdagangan budak, penyiksaan, kekejaman, hukuman dan perlakuan yang tidak manusiawi dan menurunkan martabat harus dilarang.”
Pasal 6 Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat: “Setiap individu harus memiliki hak atas kebebasan dan keamanan pribadi.
Tidak seorangpun dapat dicabut kebebasannya kecuali dengan alasan dan kodisi yang ditetapkan oleh UU. Khususnya, tidak seorangpun bisa
secara sewenang-wenang ditangkap dan ditahan.”
Pasal 12 Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat:
“1.Setiap individu memiliki hak atas kebebasan bergerak dan tempat tinggal dalam batas-batas negara dengan syarat dia tunduk pada UU.
2. Setiap individu memiliki hak untuk meninggalkan negara termasuk negaranya sendiri, dan kembali ke negaranya. Hak ini hanya bisa tunduk
pada pembatasan yang diatur dalam undang-undang untuk perlindungan keamanan nasioal, ketertiban dan hukum, kesehatan publik dan
moralitas.
3. Setiap individu memiliki hak, ketika teraniaya, untuk mecari dan mendapatkan suaka di negara lain sesuai dengan hukum negara dan
kovensi internasional.
4. Seorang non-warga Negara yang secara hukum diakui dalam wilayah pihak negara dalam Piagam ini hanya dapat diusir dari negara
tersebut melalui keputusan yang diambil berdasarkan UU.
5. Pengusiran masal non-warga Negara harus dilarang. Pengusiran masal haruslah ditujukan pada kelompok nasional, rasial, etnis, atau
agama.”
167
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Masalah utama yang dihadapi oleh Mahkamah Agung Nigeria adalah nilai-nilai Piagam Afrika tentang
Hak-hak Manusia dan Masyarakat dalam sistem hukum domestik. Pada titik ini Mahkamah menemukan
bahwa penerapannya diperbolehkan.
Mahkamah Agung Nigeria pertama-tama mendenisikan istilah “perjanjian internasional” sesuai
dengan Konvensi Vienna tentang Hukum Perjanjian Internasional tahun 1969. Setelah merujuk pada kasus
hukum di Inggris tentang Perjanjian Internasional yang menetapkan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE)
dengan rujukan pada Inggris, salah satu hakim Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
“Sangat jelas dalam kebanyakan kasus hukum yag dirujuk di atas bahwa perjanjian internasional
saat ini bisa menciptakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban tidak hanya antara negara anggota
sendiri, tapi juga antara warga negara dan negara anggota dan antara warga negara biasa.”
Mahkamah kemudian menemukan bahwa:
“Semangat Konvensi atau perjanjian internasional menuntut bahwa penafsiran dan penerapan
ketentuannya harus memenuhi konsep hukum internasional dan beradab. Hal ini berarti konsepkonsep yang secara luas diterima dan pada saat yang sama, memiliki kepastian yang jelas dalam
penerapannya. Sehingga, Mahkamah tidak akan menafsirkan UU dan membawa konik ini pada
hukum internasional.”
Mahkamah melanjutkan kasusnya dengan mendasarkan penafsirannya pada kasus hukum Inggris.
Dia mengakui bahwa, sejak Nigeria memadukan perjanjian internasional ke dalam sistem hukum domestik
melalui UU, perjanjian internasional “menjadi mengikat dan pengadilan kita harus memberikan efek
kepadanya seperti hukum lain yang berada dalam kekuatan yudisial pengadilan.”
Sedangkan untuk tingkat Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat dalam hierarki
hukum di Nigeria, Mahkamah Agung menemukan bahwa karena Piagam tersebut telah diintegrasikan ke
dalam UU melalui sistem hukum domestik, maka itu adalah UU dengan rasa internasional. Oleh karenanya,
jika ada konik antara Piagam dengan UU lain, ketentuan Piagam akan berlaku karena diasumsikan bahwa
pembuat UU tidak berniat untuk melanggar kewajiban internasionalnya. Sehingga, Piagam memiliki kekuatan
yang lebih besar daripada UU domestik lainnya.”
Mahkamah lalu menemukan bahwa, karena Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat
adalah instrumen untuk melindungi hak asasi manusia, ketentuan ini dapat dirujuk oleh pengadilan Nigeria.
Menegaskan bahwa Mahkamah bergantung secara langsung pada pasal-pasal dalam Piagam yang mengatur
bahwa orang-orang yang haknya telah dilanggar berhak atas ganti rugi hukum untuk membuat hak mereka
diakui349
Sangat menarik untuk dicatat sebagai kesimpulan bahwa Mahkamah Agung Nigeria menganggap
bahwa fakta tidak adanya aturan ganti rugi yang spesik dalam legislasi tidaklah mencegah warga negara
untuk mendapatkan keuntungan dari adanya hak-hak yang ditetapkan dalam Piagam. Kemungkinan ini
bahkan dapat diterapkan menurut prosedur yang disediakan untuk menegakkan hak-hak dasar yang dimuat
dalam Konstitusi
Setelah menafsirkan hukum nasional sesuai dengan hukum internasional dan asing, Mahkamah Agung
Nigeria menganggap bahwa perjanjian internasional yang telah diratikasi dan diintegrasukan ke dalam
perundang-undangan domestik memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada hukum nasional lain. Atas dasar
ini, setelah mengabulkan banding dari aktivis hak asasi manusia, Mahkamah menetapkan bahwa ketentuan
Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat secara langsung diterapkan.
349
Pasal 7 (1) (a) Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Masyarakat: “Setiap individu harus memiliki hak untuk membuatnya didengar. Hal
ini terdiri dari:
(a) hak untuk banding ke badan nasional yang kompeten atas tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasarnya sebagaimana diakui dan
dijamin dalam Konvensi, UU, peraturan, dan kebiasaan yag berlaku;”
168
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Norwegia
Konstitusi Kerajaan Norwegia
Pasal 110, Ayat c
Adalah menjadi tanggung jawab Otoritas Negara untuk meghormati dan menjamin hak asasi manusia.
Ketentuan khusus mengenai pelaksanaan perjanjian internasional harus ditetapkan oleh hukum.
103.
Mahkamah Agung Norwegia, Diasos vs the Diakonhjemmet Senior Administrative
Officer, 27 November 1986
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yag telah diratikasi350
Diskriminasi berdasarkan agama di sekolah Kristen swasta/ Persyaratan nyata dari jabatan/ Penafsiran
legislasi nasional terkait dengan konvensi internasional yang telah diintegrasikan ke dalam sistem
hukum domestik
Sekolah menengah Kristen mengadopsi peraturan yang menetapkan bahwa orang-orang yang
dipekerjakan di sekolah dapat ditanya tentang kepercayaan agamanya. Ketentuan ini telah menyebabkan
pengunduran diri dari petugas administrasi senior sekolah. Kasus tersebut dibawa ke pengadilan negeri
dan diminta agar peraturan tersebut dibatalkan. Pengadilan menilai bahwa sekolah boleh mempertanyakan
keyakinan mereka untuk pekerja peneliti dan guru sekolah, tapi tidak dalam kasus petugas administrasi
senior. Dalam proses banding, Pengadilan menemukan bahwa aturan ini illegal sehubungan dengan semua
jabatan yang terkait. Sekolah melembagakan proses hukum di hadapan Mahkamah Agung Norwegia, tetapi
hanya untuk kasus bagi guru-guru.
Mahkamah Agung pertama-tama mengklarikasi makna bagian dalam hukum di Norwegia yang
terkait dengan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, menafsirkan bagian itu sesuai dengan hukum
internasional:
“Sebelum UU Perlindungan pekerja dan Lingkungan Kerja diterbitkan,351 Norwegia telah meratikasi
Konvesi ILO No. 111, dan harus diasumsikan bahwa Bagian §55A dalam UU352 tidak bertentangan
dengan kewajiban yang berkaitan dengan masa depan legislasi yang kemungkinan akan disahkan
oleh Norwegia melalui ratikasi. Saya juga merujuk pada apa yang telah dikatakan dalam kerja
persiapan (…) dari UU. Oleh karenanya, saya menganggap bahwa tidak bisa tidak, bahwa penafsiran
§ 55A sangat penting dan harus dilampirkan kepada Konvensi.
Menurut § 55A, ketentuan yang melarang perolehan informasi tidak berlaku jika informasi tersebut
dijustikasi oleh sifat dari pekerjaan. Pertanyaan hukum yang penting dalam kasus ini adalah
350
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958.
351
UU tahun 1977 tentang Perlindungan Pekerja dan Lingkungan Kerja.
352
UU tentang Perlindungan Pekerja dan Lingkungan Kerja tahun 1977 Bagian 55: “Seorang pengusaha tidak boleh, ketika mengumumkan
lowongan kerja atau dengan cara lain, meminta pelamar memberikan infromasi mengenai pandangan politik, agama, dan budaya mereka,
atau mengenai apakah mereka anggota dari serikat pekerja. Pengusaha juga tidak boleh mengambil langkah untuk memperoleh informasi
tersebut dengan cara-cara lain. Ketentuan ini tidak berlaku jika informasi tersebut dijustikasi karena sifat pekerjaannya.”
169
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
apakah klausul pengecualian ini dapat dimengerti dalam situasi di mana informasi yang dicari
harus secara mutlak terkait dengan kualikasi untuk posisi individual, atau jika mecukupi bahwa
kualitas yang dipertanyakan diperlukan dalam kategori posisi yang terkait.”
Mahkamah Agung kemudian memproses untuk menafsirkan Bagian 55 dari Hukum Norwegia, dan
menganggap bahwa:
“Tujuan umum dari posisi ini dapat dipertimbangkan sebagai faktor dalam penilaian posisi
individual.” Penafsiran ini memungkinkan adanya evaluasi posisi, tidak hanya sehubungan dengan
persyaratan nyata untuk posisi yg khusus tersebut, tetapi juga sehubungan dengan sifat dari posisi
tersebut secara umum.
Mahkamah Agung kemudian menguji apakah penafsirannya sesuai dengan Kovensi ILO No. 111:
“Penasran § 55A yang saya jadikan dasar di sini kelihatannya sesuai dengan apa yang mungkin
dikatakan sebagai konsekuensi alamiah dari ketentuan pengecualian dalam Konvensi ILO No.
111, pasal 1, ayat 2. Dalam teks Inggris ketentuan ini dibaca: “Setiap pembedaan, pengecualian,
atau keutamaan berkaitan dengan pekerjaan tertentu berdasarkan persyaratan nyata darinya,
tidak boleh dianggap sebagai diskriminasi.”
Pernyataan “persyaratan nyata” harus dipahami merujuk pada kualikasi yang yang jelas atau
secara alamiah melekat pada posisi tersebut. Oleh karenanya saya tidak dapat menafsirkan
ketentuan ini dengan cara yang mengakui pengecualian secara ekslusif, di mana kualitas
diperlukan untuk pelaksanaan pekerjaan yang melekat pada posisi individual tersebut.Saya
mencatat bahwa kerja persiapan atas Konvensi, yang telah dikutip oleh pengacara pemohon,
memberikan sedikit panduan tentang pernyataan “persyaratan nyata”. Dalam teks Prancis yang
sama kekuatan hukumnya dalam teks Inggris dibaca: “Les distinctions, exclusions ou préférences
fondées sur les qualication exigées pour un emploi déterminé ne sont pas considérées comme
des discriminations.”
Disini, kata-kata “les qualications exigées” digunakan. Dalam draft sebelumnya prasayarat yang
ada dalam pernyataan memperkuat kata “nécessairement”, yang kemudian dihapuskan dalam
penyusunan nal. Saya berpendapat bahwa perubahan ini mendukung penasiran saya atas
ketentuan Konvensi.”
Mahkamah Agung Norwegia kemudian menggunakan hukum internasional sebagai panduan untuk
menafsirkan legislasi nasional dan menetapkan bahwa tujuan umum posisi suatu pekerjaan dapat dijadikan
pertimbangan sebagai faktor untuk menilai persyaratan nyata untuk posisi tersebut. Mahkamah menekankan
bahwa penting untuk mempertimbangkan Konvensi ILO No. 111 dalam penafsiran legislasi nasional tentang
diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan.353
353
Sangat menarik untuk mencatat bahwa Serikat Pekerja Norwegia memasukkan keluhan (menurut Pasal 24 Konstitusi ILO) mengenai
Bagian 55 (A). Pernyataan berikut ini tercantum dalam laporan komite yang bertugas memeriksa klaim yang diajukan oleh federasi serikat
pekerja Norwegia: “Sehubungan dengan hukum di Norwegia tahun 1977 tentang Perlindungan Pekerja dan Lingkungan Kerja, di mana
diatur dalam Bagian 55A bahwa seorang pengusaha memiliki kasus yang meminta kandidat pekerja yang akan mengisi suatu lowongan
pekerjaan, memberikan informasi tentang pandangan politik, agama atau budaya. Jika hal ini diperlukan sehubungan dengan sifat dari
pekerjaan atau ketika tujuan dari kegiatan pengusaha tersebut adalah untuk mempromosikan pandangan politik, agama, atau budaya dan
posisi tersebut penting untuk mencapai tujuan, Komite menganggap bahwa untuk memenuhi Pasal 1, Ayat 2 Konvensi No. 111, perhatian
harus diberikan kepada tugas-tugas aktual dari pekerjaan tersebut dan jika diperlukan, terhadap tanggung jawab langsung dari tugas-tugas
tersebut bagi pencapaian tujuan lembaga. Secara alamiah, fakta bahwa suatu organisasi memiliki ideologi tertentu akan menjadi alasan bagi
organisasi mensyaratkan bahwa posisi tersebut harus diisi oleh orang yang memiliki ideologi yang sama. Namun untuk menjaga konsistensi
dengan Konvensi ini, tanggung jawab dari posisi ini harus terkait secara langsung dengan tujuan lembaga. Sebagai konsekuensinya, Komite
menyarankan bahwa dalam organisasi tertentu, pertimbangan atas “persyaratan nyata” dari suatu pekerjaan dapat melibatkan pertanyaan
apakah ada risiko yang akan menyebabkan tujuan lembaga menjadi terganggu, tergusur, atau ternodai dengan mempekerjaan seseorang
yang tidak memiliki ideologi yang sama dengan organisasi, untuk posisi tertentu. Jelaslah dari pandangan yang dikemukaan oleh Komite
Ahli, bahwa pembedaan yang dibuat dalam situasi ini hanya dapat dibenarkan menurut Konvensi, untuk pekerjaan-pekerjaan yang memiliki
tanggung jawab khusus.” (ILO:“Laporan komite yang bertugas dalam pemeriksaan keluhan yang dibuat oleh Federasi Serikat Pekerja Norwegia
(ILO) menurut Pasal 24 Konstitusi ILO, menduga ketidakpatuhan Norwegia atas Konvensi Diskriminasi (pekerjaan dan jabatan),1958 (No.
111)”, dalam Ofcial Bulletin, Vol. LXVI, Series B, 1983, No.1, para. 10 dan 29.)
170
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Selandia Baru
104.
Pengadilan Banding Wellington, Tavita vs Minister of Immigration,
17 Desember 1993, [1994] 2 NZLR 257
Subyek: Hak atas tempat tinggal; hak atas anak
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
Hukum
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjjian internasional yang telah diratikasi354; Kasus hukum
internasional355
Imigrasi/ Laki-laki asing yang menikah dengan warga negara Selandia Baru dan ayah dari seorang
anak yang terancam terusir dari wilayah/ Kewajiban otoritas administrasi untuk mempertimbangkan
standard hak asasi manusia internasional
Kementerian Imigrasi telah menetapkan perintah pengusiran bagi warga negara Kepulauan Samoa,
yang telah menikah dengan warga negara Selandia Baru. Pasangan ini memiliki seorang anak perempuan.
Dia memohon kasus ini dipertimbangkan ulang untuk alasan kemanusiaan, tapi dia gagal. Masalah utama
dalam gugatan yang diajukan ke Pengadilan Banding adalah apakah dalam keadaan kekosongan perundangundangan nasional yang berisi kewajiban yang tegas, otoritas pemerintah harus mempertimbangkan
instrumen internasional yang telah diratikasi oleh Selandia Baru dalam melaksanakan kekuasaan
mereka.
Pengadilan Banding Wellington pertama-tama memeriksa aturan yang relevan atas instrumen
internasional untuk menentukan apakah keputusan pengusiran dapat diubah bila otoritas pemerintah
mempertimbangkan hal tersebut. Pengadillan kemudian menyidangkan kasus ini untuk menguji ketentuan
dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 23 (1) dan 24 (1))356 dan Konvensi
tentang Hak atas Anak (Pasal 91),357 diikuti dengan kasus hukum yang relevan dari Pengadilan HAM
Eropa.358
Pengadilan mencatat bahwa dalam dua keputusan di Pengadilan Eropa telah ditemukan kansensus
ekstradisi terhadap warga negara asing untuk situasi mereka dan situasi keluarga mereka akan menjadi
tidak proporsional dengan tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang sama dapat diadopsi dari Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, dan Konvensi PBB tentang Hak atas Anak dan bahwa, atas
dasar tersebut, titik awal pemeriksaan kasus haruslah dimulai dari situasi keluarga dan anak.
354
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Protokol Pilihan terhadap Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan
Politik, 1966; Konvensi hak atas Anak, 1989.
355
Pengadilan HAM Eropa
356
Pasal 23 (1) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik: “Keluarga adalah kelompok alamiah dan mendasar dari umit masyarakat
dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara.”
Pasal 24 (1) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik: “Setiap anak harus memiliki, tanpa diskriminasi terhadap ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, asal kebangsaan atau sosial, properti atau kelahiran, hak atas perlindungan sebagaimana dibutuhkan
karena status minoritasnya, sebagai bagian dari keluarga, masyarakat, dan negara.”
357
Pasal 9 (1) Konvensi Hak atas Anak: “Negara anggota harus memastikan bahwa anak tidak boleh dipisahkan dari orangtuanya dan
berlawananan dengan keinginan mereka, kecuali jika otoritas yang kompeten berdasarkan tinjauan pengadilan, sesuai dengan hukum dan
tata cara yang berlaku, bahwa pemisahan tersebut diperlukan untuk kepentingan terbaik anak. Penentuan tersebut mungkin diperlukan
dalam kasus tertentu seperti adanya kekerasan atau pengabaian anak oleh orangtuanya atau bila orangtuanya hidup terpisah dan keputusan
harus dibuat mengenai tempat tinggal si anak.”
358
Pengadilan HAM Eropa: Berrehab v. the Belanda (1988) 11 EHRR 322; Beldjoudi v. Prancis (1992) 14 HRR 801.
171
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Setelah menetapkan bahwa pertimbangan dalan instrumen internasional dapat mengubah keputusan
pengusiran oleh pemerintah, Pengadilan banding kemudian meminta pemerintah untuk melihat instrumen
HAM internasional dalam pertimbangannya dalam melaksanakan kekuasaannya. Menurut Pengadilan
tidaklah meyakinkan untuk memberikan argumen yang bertentangan, karena ini berarti bahwa kepatuhan
Selandia Baru pada instrumen internasional hanyalah di permukaan saja.
Meskipun Pengadilan tidak menangani pengaruh konvensi HAM internasional terhadap legislasi
nasional secara umum, Pengadilan tetap menganggap bahwa ratikasi Selandia Baru atas Protokol Pilihan
terhadap Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik memiliki konsekuensi untuk pelaksanaan
kekuasaan pengadilan-pengadilan nasional.
“Karena kesepakatan Selandia Baru pada Protokol Pilihan Komite HAM PBB merupakan bagian
penting dari struktur Hukum Negara, maka individu-individu yang tunduk pada jurisdiksi Selandia
Baru memiliki hak langsung atasnya. Kegagalan memberikan efek praktis terhadap instrumen
internasional di mana Selandia Baru adalah anggotanya dapat menimbulkan kritik. Kritik yang sah
dapat dimasukkan pada pengadilan di Selandia Baru, jika mereka menerima argumen tersebut,
karena perundang-undangan nasional memberikan kekuasaan yang terbuka secara umum tidak
menyebutkan norma-norma atau kewajiban HAM internasional , pihak eksekutif bebas untuk
mengabaikannya.”
Pengadilan Banding Wellington kemudian menetapkan bahwa meskipun ketentuan dalam aturan
imigrasi tidak mengharuskan pemerintah mempertimbangkan kewajiban internasional Selandia baru
dalam pelaksanaan kekuasaannya, tidak berarti mereka dapat mengabaikannya. Atas dasar ini, Pengadilan
mendesak Kementerian Imigrasi untuk mempertimbangkan kembali keputusan pengusiran dengan melihat
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, serta Konvensi PBB tentang Hak atas Anak.
105.
Mahkamah Agung of Selandia Baru, Van Gorkom vs Attorney General and another,
10 Februari 1977, [1977] 1 NZLR 535
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; kesetaraan pengupahan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: instrumen yang tidak tunduk pada ratikasi358
Sistem pendidikan nasional/ Pemberian tunjangan pindah rumah hanya kepada guru laki-laki/
Pelembagaan proses di hadapan Mahkamah Agung/ Rujukan kepada hukum internasional untuk
memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Ketentuan dalam peraturan pemerintah mengatur bahwa pemberian tunjangan pindah rumah hanya
bisa diberikan dalam kasus laki-laki yang menikah. Mahkamah menemukan bahhwa perbedaan dalam
perlakuan adalah diskriminatif menurut legislasi nasional.
Untuk menambah kekuatan dalam keputusannya, Mahkamah merujuk pada hukum internasional,
menyatakan bahwa:
“(…) rujukan kepada dokumen internasional tertentu, meskipun tidak esensial, dimungkinkan.
Deklarasi Universal tentang HAM, yang diadopsi dan diundangkan pada tahun 1948 oleh Sidang
358
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948; Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan,1967.
172
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Umum PBB sebagai standar bersama pencapaian, termasuk dalam pernyataan dalam Pasal
2 dan 23 (2) bahwa setiap orang berhak atas semua hak yang disebutkan dalam deklarasi,
tanpa pembedaan apapun, seperti (antara lain) jenis kelamin, dan bahwa semua orang, tanpa
diskriminasi, memiliki hak atas upah yang setara untuk pekerjaan yang setara. Deklarasi tentang
Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, yang diadopsi oleh Sidang Umum pada tahun
1967, menyatakan dalam Pasal 10.1:
“Semua tindakan yang pantas harus diambil untuk memastikan perempuan, menikah atau
tidak, memiliki hak yang setara dengan laki-laki dalam bidang ekonomi dan kehidupan sosial,
dan khususnya (…): b) hak atas kesetaraan pengupahan dengan laki-laki dan kesetaraan dalam
perlakuan sehubungan dengan pekerjaan yang setara nilainya.”
Jelaslah bahwa pernyataan yang sangat umum ini tidak menunjukkan secara spesik terhadap
pertanyaan mengenai pembayaran tunjangan pindah rumah. Juga, tidak menjadi bagian dari
hukum domestik kami. Hal itu merepresentasikan tujuan di mana anggota PBB diharapkan untuk
bekerja. Tetapi, sehubungan dengan hak sosial yang dinyatakan dalam Deklarasi Universal PBB
tentang HAM, pendapat tersebut dinyatakan (…):
“Namun hal itu mungkin tetap dipertimbangkan sebagai mewakili kebijakan legislatif yang mungkin
mempengaruhi pengadilan dalam menafsirkan undang-undang”.”
Mahkamah Agung Selandia Baru menilai, dalam kasus ini, peraturan yang menetapkan perbedaan
perlakuan antara laki-laki dan perempuan adalah tidak sejalan dengan hukum nasional dan tidak sesuai
dengan semangat Deklarasi Universal tentang HAM, dan Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan. Mereka mengakui bahwa instrumen-instrumen ini memainkan peranan penting dalam
menafsirkan Hukum nasional. Oleh karenanya, Mahkamah menetapkan keputusan mengenai pemberian
tunjangan pindah rumah adalah diskriminatif.
173
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Paraguay
Konstitusi Nasional Paraguay
Pasal 137, Ayat 1
Hukum tertinggi Republik adalah Konstitusi. Disini, perjanjian, konvensi, dan kesepakatan internasional
yang diadopsi dan diratikasi, UU yang diadopsi oleh Kongres dan ketentuan hukum lain lebih rendah
hierarkinya, membuat hukum positif domestik untuk memberikan preseden.
Pasal 141
Perjanjian internasional yang dinegosiasikan secara sah, diadopsi oleh UU melalui Kongres dan
instrumen yang ratikasinya ditukar atau disimpan, membentuk bagian dari peratuan hukum domestik
dengan hierarki yang ditentukan dalam Pasal 137.
UU Perburuhan
Pasal 6
Kurangnya ketentuan hukum atau norma perburuhan kontraktual yang berlaku dalam suatu kasus,
maka kasus harus diselesaikan menurut keadilan, prinsip umum UU Perburuhan, ketentuan Konvensi
ILO yang berlaku terhadap Paraguay, prinsip hukum yang tidak bertentangan dengan UU Perburuhan,
doktrin dan kasus hukum dan kebiasaan atau penggunaan lokal.
106.
Mahkamah Agung Paraguay, Penerapan Ketidakkonstitusional yang diajukan
oleh Central Unitaria de Trabajadores (CUT) dan Central Nacional de Trabajadores
(CNT) vs Keputusan Presiden No. 16769, 23 September 2000, Kasus No. 35
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi359
Kebebasan berserikat/ Keputusan Presiden yang menetapkan prosedur pemilihan pemimpin organisasi
pekerja/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum
domestik
Pemohon serikat pekerja mengajukan permohonan atas ketidakkonstitusionalan keputusan presiden
yang mengatur soal pemilihan pemimpin serikat pekerja.360 Pemohon menduga bahwa keputusan presiden
melanggar Konstitusi terkait dengan prinsip kebebasan berserikat .
359
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948.
360
Keputusan No. 16769 tahun 1993.
174
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Untuk menentukan apakah ketentuan dalam keputusan presiden yang mengatur pemilihan pemimpin
serikat pekerja tidaklah konstitusional, Mahkamah Agung mempelajari Konstitusi Nasional361, dan
penggunaan Konvensi ILO No. 87,362 yang menjamin otonomi yang efektif dari organisasi untuk memilih
secara bebas perwakilan mereka dan menetapkan tidak adanya campur tangan dari otoritas publik.
Mahkamah menganggap bahwa, berdasarkan Konvensi internasional, keputusan presiden yang menjadi
norma spesik yang mengatur pemilihan serikat pekerja secara rinci merupakan pembatasan terhadap hak
serikat pekerja untuk secara bebas memilih pemimpin mereka, dan campur tangan yang tidak sah dari
otoritas publik.
Mahkamah Agung memutuskan sebagai berikut:
“Dengan judul yang diberikan dalam keputusan presiden, yaitu menetapkan aturan untuk
pemilihan pemimpin serikat pekerja, status serikat pekerja yang tidak memenuhi ketentuan dalam
aturan tersebut dibatalkan, badan baru dimasukkan dalam sistem pemilihan serikat pekerja,
otoritas pemerintah di bidang perburuhan diperbolehkan untuk mengintervensi pembentukan
badan tersebut, (…) cara untuk membuat aturan ditetapkan (…), tenggat waktu ditetapkan untuk
tugas-tugas dan klaim-klaim, cara untuk memaksa federasi atau konfederasi memberitahukan
sebelumnya kepada Menteri Peburuhan bahwa penggunaannya sudah ditetapkan, (…) tanggal
pembentukan ditetapkan, pemberitahuan dalam surat kabar dan kewajiban untuk menunjuk
perwakilan. Mengenai kandidat, dimungkinkan bagi otoritas pemerintah untuk mengambil alih
pemilihan menurut situasi tertentu (…)”
Selanjutnya Mahkamah Agung menyatakan:
“Keputusan presiden ini memang tidak bermaksud untuk tidak melaksanakan ketentuan
konstitusional, tetapi keputusan tersebut telah menghapuskan hak-hak yang dijamin dalam
Konstitusi dan dalam perjanjian internasional yang disepakati oleh Paraguay (Pasal 97 dan sesuai
dengan Konstitusi Nasional dan Konvensi ILO No. 87, Pasal 3, 4, 7).363 Selanjutnya mengenai
pelanggaran Konstitusi Nasional, keputusan presiden itu juga bertentangan dengan ketentuan
Konvensi ILO No. 87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat.”
Mahkamah secara tegas mengutip Pasal 2, dan 3 Konvensi.364
Hasilnya, Mahkamah Agung Paraguay mendasarkan keputusannya pada Konstitusi Nasional dan
membuat rujukan pda Konvensi ILO No. 87 menolak keputusan presiden, menyatakan tidak konstitusional,
karena menetapkan norma dan tata cara pemilihan pemimpin serikat pekerja, campur tangan dalam hak
berorganisasi untuk memilih secara bebas perwakilan mereka.
361
Pasal 97 Konstitusi Paraguay:Serikat Pekerja memiliki hak untuk mengedepankan perundingan bersama dan untuk membuat perjanjian
mengenai kondisi kerja. Pemerintah harus mempromosikan penyelesaian konsiliasi dari perselisihan perburuhan dan harmoni sosial. Arbitrasi
bersifat pilihan.”
362
Menurut Konstitusi Paraguay, Perjanjian internasional membentuk hukum domestik . Pasal 137 (1) Konstitusi: “UU tertinggi Republik adalah
Konstitusi. Disini, perjanjian, konvensi dan kesepakatan internasional yang diadopsi dan diratikasi, UU yang diadopsi oleh Kongres dan
ketentuan hukum lain yang lebih rendah hierarkinya, membuat hukum positif domestik untuk memberikan preseden.”
363
Pasal 3 (1) Konvensi No. 87: “Organisasi pekerja dan pengusaha memiliki hak untuk membuat Konstitusi dan aturan mereka sendiri, untuk
memilih perwakilan mereka dalam kebebasan penuh, untuk menyelenggarakan administrasi dan kegiatan dan menyusun program mereka.”
Pasal 3 (2) konvensi No. 87: “Otoritas publik harus menahan diri dari campur tangan yang akan membatasi hak atau menghalangi pelaksanaan
yang sah.”
Pasal 4 Konvensi No. 87: “Oragnisasi pekerja dan pengusaha tidakboleh dibubarkan atau dibekukan oleh otoritas pemerintah.”
Pasal 7 Konvensi No. 87: Perolehan status hukum organisasi pekerja dan pengusaha, federasi dan konfederasi tidak boleh tunduk pada syarat
yang membatasi penerapan dalam Pasal 2, 3 dan 4.”
364
Pasal 2 Konvensi No. 87: “Pekerja dan Pengusaha, tanpa pembedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan, tunduk pada satu-satunya
aturan dalam organisasi yang bersangkutan, untuk bergabung dengan organisasi pilihan mereka sendiri tanpa otorisasi sebelumnya.”
175
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
107.
Pengadilan Banding Perburuhan, Kamar Kedua, Inca S.A.C.I. vs Virgilio
Villalbatentang justifikasi alasan peemcatan, 30 Mei 2000,
Perjanjian dan keputusan No.41
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang belum diratikasi;365 kasus hukum asing366
Pemecatan karena penghinaan dan kecurangan dari pekerja/ Penggunaan hukum internasional
sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Untuk membenarkan pemecatan terhadap seorang pekerja, perusahaan mengajukan permohonan
penetapan. Permohonan tersebut untuk membenarkan pemecatan, yang terjadi karena pekerja tidak
menghormati, menghina, dan mencurangi atasannya dan tidak mematuhi perintah kerja.
Dugaan tidak menghormati dikarenakan penghinaan yang dibuat oleh pekerja kepada atasannya
selama diskusi yang mebahas perubahan tugas oleh perusahaan di mana pekerja terpengaruhi, dan pekerja
merasa tidak puas dengan hal tersebut. Hakim pada tingkat pertama menerima argumen dari pengusaha.
Mempertimbangkan situasi ini, pekerja mengajikan permohonan banding.
Untuk menentukan apakah justikasi pemecatan karena tidak adanya rasa hormat dari pemohon
kepada atasannya, Pengadilan Banding menggunakan kasus Hukum Spanyol367 untuk menafsirkan UU
Perburuhan.368 Pengadilan menganggap bahwa meskipun penghinaan adalah sebab yang sah untuk
pemecatan, diskusi sederhana yang dimulai oleh pekerja dengan atasannya mengenai ketidasetujuannya
dengan keputusan perusahaan bukanlah merupakan alasan pemecatan.
Dengan demikian, Pengadilan menafsirkan UU Perburuhan sesuai dengan Konvensi ILO No.158, untuk
menjelaskan bahwa keluhan pekerja tentang ketidaksetujuan dengan atasannya tidak bisa dimasukkan
sebagai tindakan yang tidak sopan, yang dapat mengarah pada pemecatan.
Pengadilan memutuskan sebagai berikut:
“Sedangkan untuk perlakuan yang salah, baik dalam kata-kata maupun tertulis, adalah sebab
yang potensial untuk pemecatan jika hal tersebut diikuti dengan tindakan kekerasan, ancaman,
penghinaan, ketidaksopanan dan berbagai tindakan lainnya yang tidak menyenangkan atau
mengganggu. Mahkamah Agung Spanyol memutuskan bahwa diskusi sederhana yang dimulai oleh
pekerja ketika manajer memberitahukannya atas skorsing dari pekerjaannya tidaklah tergolong
sebab untuk pemecatan. Karena untuk berdikusi, berdebat, atau mempertanyakan masalah adalah
hak personal yang tidak terpisahkan, kecuali telah melewati batas kesopanan, tidak ada tindakan
yang mengancam penghormatan yang seharusnya ditunjukkan oleh perwakilan pengusaha.
Tidak adanya rasa hormat yang bisa menuju pada pemecatan ketika pekerja menunjukkan
ketidaksepakatan atas pandangan atasannya, bila fakta bahwa dia melakukan penghinaan adalah
benar, sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi ILO No. 158, yang melarang pemecatan ketika
365
Konvensi ILO No.158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
366
Mahkamah Agung Spanyol.
367
Kumpulan Ringkasan Hukum Perburuhan, hal. 971: “Tidak termasuk sebab pemecatan yang konstitusional untuk kasus diskusi sederhana yang
dimulai oleh pekerja ketika diberitahukan oleh manajernya mengenai skorsing atas pekerjaannya, maka diskusi, debat, atau pemberitahuan
masalah atau pertanyaan tampaknya adalah hak personal yang tidak terpisahkan; dan kecuali di luar batasan sopan santun, tidak ada
tindakan yang bertentangan dengan rasa hormat yang seharusnya dipegang oleh perwakilan pengusaha.”
368
Pasal 81 (c) UU Perburuhan Paraguay: “(…) tindakan kekerasan, ancaman, penghinaan atau kecurangan oleh pekerja kepada pengusaha,
perwakilannya, atau keluarga atau kepala usaha, kantor atau tempat kerja yang dilakukan selama kerja.”
176
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
hal tersebut terkait dengan keluhan atau mempertanyakan prosedur pengusaha atas pelanggaran
perundang-undangan.”
Sebagai hasilnya, Pengadilan Banding Perburuhan menafsirkan peraturan domestik dengan merujuk
pada Konvensi ILO No.158 dan kasus hukum Spanyol untuk menyimpulkan bahwa diskusi antara pekerja
dengan pengusaha tidak bisa dikategorikan tindakan yang tidak memiliki rasa hormat, atau penghinaan atau
kecurangan, yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk melakukan pemecatan. Pengadilan
membatalkan hukuman bagi pekerja.
108.
Pengadilan Banding Perburuhan, kamar Kedua,Carmen Sachelaridi Knutson vs
Cooperativa Santísimo Redentor Ltda. Mengenai pembayaran Guaranis untuk beberapa
hal, 26 Mei 2000, Perjanjian dan keputusan No. 40
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan, pelecehan seksual
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;369 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi370
Diskriminasi/ Pelecehan seksual/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Tiga pekerja menuduhkan tindakan pelecehan seksual oleh manajer koperasi. Menghadapi tuduhan
ini, koperasi mengadakan pemeriksaan fakta-fakta, dengan hasil yang tidak menguntungkan para pemohon.
Mempertimbangkan situasi ini, para pekerja mengundurkan diri dari koperasi, tetapi salah satu dari mereka
mengajukan gugatan hukum. Pemohon mengatakan bahwa dia diajak ke suatu motel oleh manajer dan
memaksanya masuk ke dalam kamar, karena dia berteriak, manajer pergi. Permohonan tersebut dinyatakan
tidak layak karena kurangnya bukti. Pekerja kemudian mengajukan banding.
Untuk menentukan apakah ada pelecehan seksual, Pengadilan Banding menerapkan UU Perburuhan371.
Sesuai dengan hal itu, Pengadilan menafsirkan apa yang disebut dengan pelecehan seksual vertikal atau
pemerasan oleh posisi otoritas antara subyek yang aktif dan pasif. UU Perburuhan juga menspesikasikan
bentuk-bentuk di mana pelecehan seksual dapat terjadi: melalui ancaman, pelecehan, pemerasan, perlakuan
dengan niat seksual oleh atasan secara hierarki terhadap pekerja. Kerenanya Pengadilan berdasarkan UU
Perburuhan, menetapkan bahwa pekerja berhak mengakhiri kontrak kerja dengan mendapatkan pembayaran
yang terkait dengan tunjangan hukum.
369
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan Jabatan), 1958.
370
Resolusi ILO mengenai kesetaraan kesempatan dan pekerjaan untuk pekerja laki-laki dan perempuan di tempat kerja tanggal 27 Juni 1985.
371
Pasal 81 (w) UU Perburuhan Paraguay: “(…) sebagai justikasi pemutusan kontrak secara sepihak atas kehendak pekerja: tindakan pelecehan
seksual yang terdiri dari ancaman, tekanan, pelecehan, pemerasan atau perlakuan niat seksual terhadap pekerja dengan satu atau berlainan
jender oleh perwakilan pengusaha, kepala perusahaan, kantor, atau tempat kerja atau orang lain yang memiliki posisi hierarki sebagai
atasan.”
177
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Selanjutnya, Pengadilan membuat rujukan pada Konvensi ILO No. 111 untuk menekankan bahwa
pelecehan seksual merupakan bentuk khusus diskriminasi berdasarkan jender. Kamar pengadilan
mempelajari bahwa Konvensi menekankan pentingnya mencegah perilaku yang tidak pantas karena hal
tersebut merugikan lingkungan kerja dan hubungan kerja.
Pengadilan memutuskan kasusnya sebagai berikut:
“Paraguay telah meratikasi Konvensi ILO No.111 mengenai Diskriminasi sehubungan dengan
pekerjaan dan jabatan, yang melarang diskriminasi berdasarkan, antara lain karena alasan jender
dan memiliki efek mengubah atau membatalkan kesetaraan kesempatan atau perlakuan dari
pekerjaan dan jabatan, termasuk dalam kedua istilah ini adalah akses terhadap pelatihan dan
hubungan kerja yang profesional dan berbagai macam jabatan, karena tempat kerja memiliki
denisi yang sangat luas. Konsep pelecehan seksual diakui sebagai bentuk khusus dari diskriminasi
berdasarkan jender.
(…) Resolusi ILO mengenai kesetaraan kesempatan dan pekerjaan untuk pekerja laki-laki dan
perempuan dalam hubungan kerja, diadopsi pada tanggal 27 Juni 1985, dalam Ayat 5, pada
bagian kondisi dan lingkungan kerja, dinyatakan bahwa pelecehan yang bersifat seksual di tempat
kerja akan mengganggu kondisi kerja dan perspektif promosi pekerja (…)”
Sebagai kesimpulan, Pengadilan Banding Perburuhan menerapkan UU Perburuhan untuk menentukan
apakah ada pelecehan seksual melalui pemerasan oleh manajer terhadap pekerja. Selanjutnya, Pengadilan
membuat rujukan kepada Konvensi ILO No. 111 untuk menekankan bahwa pelecehan seksual merupakan
diskriminasi berdasarkan jender.
178
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Belanda
Konstitusi Belanda
Pasal 93
Ketentuan Perjanjian Internasional dan keputusan oleh badan hukum internasional publik yang
lingkupnya mencakup semua orang adalah mengikat setelah diundangkan.
Pasal 94
Ketentuan Hukum yang berlaku di Kerajaan tidak berlaku jika penerapannya tidak sesuai dengan
ketentuan perjanjian internasional atau keputusan oleh badan hukum internasional publik yang
lingkupnya mencakup semua orang.
109.
Pengadilan Banding Pusat, 29 Mei 1996, LJN: AL0666
Subyek: perlindungan persalinan; perlindungan sosial
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi372, kasus hukum
internasional373
Perlindungan persalinan/ Perawatan setelah melahirkan/ Jaminan sosial
Untuk mendorong melahirkan di rumah, peraturan perawatan dan kesehatan rumah sakit diubah
pada tahun 1980 untuk mengenalkan ketentuan (pasal 3a) yang menetapkan kontribusi pribadi atas biaya
perawatan paska melahirkan di rumah sakit, seperti yang dianjurkan oleh doeter. Ketentuan ini dibatalkan
pada tahun 1996 untuk memenuhi standar minimum yang ditetapkan dalam konvensi internasional.
Beberapa tertanggung sosial yang telah merasakan aturan sebelumnya mengajukan gugatan ke pengadilan.
Tuntutan mereka tidak dikabulkan. Karenanya mereka mengajukan banding. Mereka mngutip Konvensi ILO
No. 102 dan 103, UU Jaminan Sosial Eropa dan perjanjian internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
sebagai dasar atas tindakan mereka.
Pengadilan menetapkan bahwa menurut Pasal 93 dan 94 Konstitusi Belanda, ketentuan-ketentuan
tersebut secara hukum mengikat untuk semua dan pemohon sah mengajukan banding perlindungan
dari standar-satndar tersebut. Pengadilan secara tegas mengutip Pasal 10, Ayat 1 b) dan Pasal 49, Ayat
2, Konvensi No. 102 dan Pasal 1, 3 dan 4 Konvensi No. 103, yang menetapkan manfaat minimum yang
harus dijamin bagi perempuan hamil. Pengadilan juga mengutip permintaan langsung dari Komite Ahli
ILO di tahun 1988, 1990, dan 1999 kepada pemerintah Belanda tentang penerapan konvensi No.102,
dan103, di mana komite menekankan larangan yang termuat dalam Konvensi untuk mensyaratkan pasien
berkontribusi terhadap biaya perawatan setelah melahirkan yang disediakan di rumah sakit untuk alasan
medis. Pengadilan menetapkan bahwa Pasal 3a dari ketetapan tentang asuransi perawatan dan kesehatan
372
Konvensi ILO No.102 tentang Jaminan Sosial (standar minimum), 1952; Konvensi ILO No 103 tentang Perlindungan Persalinan (Revisi), 1952;
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966.
373
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi.
179
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
rumah sakit tidak konsisten dengan ketentuan yang mengikat secara universal dari Konvensi ILO No.102
dan 103, dan karena alasan tersebut, maka ketentuan itu menjadi tidak berlaku. Pengadilan karenanya
membatalkan keputusan sebelumnya.
180
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Peru
Konstitusi Peru
Pasal 3
Daftar hak yang tercantum dalam bab ini tidak mengecualikan hal-hal lain yang dijamin oleh Konstitusi,
yang serjalan atau didasarkan pada martabat manusia, prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, negara
demokrasi, dan bentuk pemerintahan republik.
Pasal 55
Perjanjian internasional yang diratikasi oleh Peru dan berlaku efektif menjadi bagian dari hukum
domestik.
Pasal 56
Perjanjian internasional harus diadopsi oleh Kongres sebelum diratikasi oleh Presiden Republik,
bilamana perjanjian internasional itu terkait dengan masalah berikut ini: 1.Hak asasi Manusia; 2
Kedaulatan bangsa, integritas willayah; 3. Pertahanan nasional; 4. Kewajiban Finansial Pemerintah.
Pasal 57, ayat 2
Bilamana perjanjian internasional memberikan pengaruh pada ketentuan konstitusional, maka
harus disetujui melalui tata cara yang sama dengan ketentuan yang mengatur mengenai reformasi
konstitusional sebelum diratikasi oleh Presiden Republik.
Ketentuan transisi final No. 4
Ketentuan mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diakui oleh Konstitusi harus ditafsirkan
sesuai dengan Deklarasi Universal tentang HAM dan dengan perjanjian dan kesepakatan internasional
yang berhubungan dengan isu-isu yang sama yang telah diratikasi oleh Peru.
110.
Pengadilan Konstitusional, 17 April 2006, Kasus No. 4635-2004-AA/TC
Subyek: jam kerja; keselamatan dan kesehatan kerja
Peranan hukum internasional: Penggunaan hukum Internasional sebagai panduan dalam menasirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan : perjanjian internasional yang telah diratikasi;374 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi;375 kasus hkum internasional;376 laporan Kantor Perburuhan Internasional377
374
Konvensi ILO No. 1 tentang jam kerja (Industri), 1919; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966; Protokol
Tambahan terhadap Konvensi Amerika tentang HAM dalam bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (“Protocol San Salvador”), 1988.
375
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
376
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi; pengamatan penerapan di Peru atas Konvensi ILO No. 1, diterbitkan tahun
2002.
377
Kantor Perburuhan Internasional, Equipo Técnico Multidisciplinario para los Países Andinos: Informe sobre las Condiciones de Trabajo,
Seguridad y Salud Ocupacional en la Minería del Perú (Lima, 2002).
181
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Perusahaan pertambangan/ Jam kerja 12 jam sehari dan 48 jam per minggu/ Penyelesaian secara
konstitusional atas pengaturan waktu kerja tersebut/ Penggunaan hukum internasional untuk
menafsirkan Konstitusi/ Penerapan penuh dan kumulatif dari berbagai instrumen internasional/ Prinsip
ketentuan yang paling menguntungkan/ Hubungan antara waktu kerja, kesehatan, dan keselamatan
kerja dan martabat manusia
Dua perwakilan serikat pekerja dari kelompok pertambangan meminta perintah pengadilan untuk
mendapatkan pelaksanaan perjanjian kerja bersama perusahaan yang mengatur delapan jam hari kerja
untuk penambang dan menetapkan apa yang disebut sistem “4x3” yang terdiri dari empat hari kerja dengan
durasi masing-masing 12 jam diikuti dengan tiga hari istirahat. Setelah kalah di pengadilan biasa, perwakilan
serikat kemudian merujuk kasusnya pada Pengadilan Konstitusional, mengklaim adanya pelanggaran waktu
kerja maksimum yang ditetapkan dalam Konstitusi Peru,378 penghinaan terhadap martabat manusia, dan
pelanggaran atas prinsip kesetaraan.
Pengusaha mengindikasikan bahwa pengaturan jam kerja yang ditetapkan oleh perusahaan
pertambangan sudah sesuai dengan Konstitusi Peru karena tidak melebihi 48 jam seminggu sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 25 Konstitusi. Termohon menekankan bahwa Pengadilan Konstitusi telah menyatakan
bahwa jenis pengaturan jam kerja seperti ini adalah konstitusional. Termohon juga menunjukkan bahwa
jadwal yang diberlakukan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan yang mengatur kegiatan pertambangan
dan perjanjian bersama perusahaan memperbolehkan pengusaha untuk mengubah jam kerja dalam situasi
tertentu.
Sebelum memulai mempelajari perselisihan, Pengadilan merujuk pada laporan Kantor Perburuhan
Internasional tentang kondisi kerja, kesehatan, dan keselamatan kerja di sektor pertambangan di Peru.
Pengadilan merujuk pada laporan tersebut yang menunjukkan bahwa pekerjaan di pertambangan dianggap
sebagai kegiatan beresiko tinggi yang membutuhkan perlindungan khusus, terutama karena upaya sik luar
biasa yang diperlukan oleh pekerja dan banyaknya penyakit akibat kerja yang ditimbulkan.
Pengadilan kemudian mempelajari pertanyaan mengenai kesesuaian sistem “4x3” dengan Pasal 25
Konstitusi mengenai jam kerja. Pengadilan menunjukan bahwa karena ketentuan transisi nal Konstitusi
No. 4, bahwa pasal tersebut harus ditafsirkan dengan melihat Deklarasi Universal tentang HAM dan
perjanjian internasional yang telah diratikasi oleh Peru yang terkait dengan pertanyaan tersebut. Sebagai
tambahan dari Deklarasi yang disebutkan di atas,379 Pengadilan menganggap bahwa instrumen berikut ini
patut dipertimbangkan: Konvensi ILO No. 1 tentang Jam Kerja (Industri),380 Perjanjian Internasional tentang
Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya381, dan Protokol Tambahan terhadap Konvensi Amerika tentang HAM
yang mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.382
Untuk menentukan rasionalitas dan ruang lingkup ketentuan konstitusional yang membatasi jam kerja,
Pengadilan menerapkan berbagai sumber internasional ini dengan cara yang terintegrasi, mengikuti prinsip
memilih aturan yang paling menguntungkan.
Pengadilan kemudian melihat ketentuan yang terkait dan aspek perlindungan dan menyatakan
bahwa:
(a) Jam kerja delapan jam per hari dan 48 jam per minggu sebagaimana didenisikan sebagai
periode maksimum. (b) Dimungkinkan untuk bekerja lebih dari delapan jam per hari dan 48 jam
378
Pasal 25 Konstitusi Peru: “Panjangnya jam kerja normal maksimum delapan jam sehari dan 48 jam per minggu. Dalam hal jam kerja bersifat
akumulatif atau tidak normal, rata-rata jam kerja selama periode tidak boleh melebihi batas maksimum tersebut.”
379
Pasal 24 Konstitusi Peru.
380
Pasal 2, 2 (c) dan 4 Konstitusi Peru.
381
Pasal 7 (d) Konstitusi Peru
382
Pasal 7 (g) Konstitusi Peru.
182
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
per minggu menurut situasi tertentu, dengan syarat rata-rata jumlah jam kerja, dihitung selama
periode tiga minggu atau periode yang lebih pendek, tidak melebihi delapan jam per hari dan
48 jam per minggu. Kemungkinan ini bergantung pada jenis pekerjaan yang dijalankan. (c) Hari
kerja harus mematuhi batasan yang rasional. (d) Jam kerja harus dikurangi untuk pekerjaan yang
berbahaya, tidak sehat dan malam hari. (e) Dalam hal di negara kami, Konstitusi mengenakan
periode maksimum waktu kerja adalah 48 jam per minggu. Ketentuan tersebut adalah ketentuan
yang paling maksimum menyediakan perlindungan dan menjadi preseden terhaden bagi semua
ketentuan perjanjian internasional yang mengenakan periode mingguan yang lebih banyak
(contohnya, Pasal 4 Konvensi No. 1).
Pertama, mempertimbangkan sifat bahaya dari pekerjaan di pertambangan, dan kedua ketentuan
konstitusional mengenai jam kerja, sebagaimana ditafsirkan dengan merujuk pada hukum internasional,
Pengadilan Konstitusi memutuskan bahwa jam kerja yang rasional di pertambangan tidak boleh melebihi
delapan jam per hari. Hal ini juga memastikan adanya kepatuhan pada ketentuan konstitusional mengenai
kesehatan dan prinsip “pekerjaan yang layak” yang dipromosikan oleh ILO. Pengadilan menyatakan
ketidakkonstitusionalan tidak hanya untuk sistem “4x3” bagi penambang, tetapi juga hukum mengenai
sektor pertambangan yang memungkinkan pengaturan jam kerja.
111.
Mahkamah Konstitusi, The United Workers Union of Telefónica del Peru SA and
Fetratel, 11 Juli 2002, File No. 1124-2001-AA/TC
Subyek: kebebasan berserikat; pemecatan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah dirattikasi383, Perjanjian internasional
yang belum diratikasi384
Kebebasan berserikat/ Proses yang pantas/ Perlindungan dari pemecatan yang sewenang-wenang/
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Permohonan luar biasa diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi setelah pengadilan pada tingkat
pertama dan kedua menolak ganti rugi amparo yang dimasukkan oleh serikat pekerja melawan perusahaan
Telefónica del Peru SAA dan Telefónica Peru Holding SA. Pemohon menuntut perusahaan ini harus
menghentikan ancaman dan pelanggaran hak konstitusional tentang kebebasan berserikat dan pekerjaan
dengan menerapkan rencana PHK massal yang termuat dalam ringkasan eksekutif yang disiapkan oleh
Departemen Sumber Daya Manusia termohon pertama. Daftar 77 pekerja yang akan dipecat dilampirkan
dalam pemohonan.
383
Konvensi No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948; Protokol Tambahan terhadap Konvensi Amerika
tentang HAM atas Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (“San Salvador”), 1988.
384
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
183
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Ketika kasusnya mencapai Mahkamah Agung, sejumlah PHK telah terjadi. Mahkamah menyidangkan
untuk menilai apakah pemecatan tersebut telah melanggar kebebasan berserikat dan hak untuk bekerja,
dan memeriksa kekonstitusionalan aturan yang memperbolehkan pemecatan ini.
Konstitusi Peru mengakui kebebasan berserikat dalam pasal 28, ayat 1). Mahkamah menganggap
bahwa pengakuan ini meliputi hak setiap orang untuk membentuk organisasi untuk tujuan membela
kepentingan pekerjaan dan hak untuk bergabung atau tidak bergabung dengan organisasi tersebut, yang
pada gilirannya, memberikan implikasi perlindungan pada pekerja yang teraliasi atau tergabung dalam
serikat pekerja dari tindakan-tindakan yang mungkin melanggar hak mereka. Itulah alasan sebenarnya
mengapa mereka bergabung atau tidak dengan suatu serikat atau organisasi sejenis. Untuk memeriksa
substansi hak ini secara mendalam, Mahkamah merujuk pada Konvensi ILO No. 87, sebagai berikut:
“Sesuai dengan Ketentuan Final Keempat dan transisi dari Konstitusi, hak konstitusional harus
ditafsirkan dalam konteks perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh Peru dalam
bidang ini. [...]
Aspek organik dari kebebasan berserikat secara tegas diakui dalam pasal 2 Konvensi No. 87
tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, yang menyatakan bahwa “hak
untuk mendirikan dan … untuk bergabung dengan organisasi pilihan mereka sendiri ...’. […] menurut
Pasal 1, ayat 2), huruf “b”, perlindungan kepada pekerja dari setiap tindakan yang melanggar
kebebasan berserikat, yakni “setiap tindakan yang bertujuan” memecat pekerja atau memiliki
efek yang merugikan dalam cara lain karena aliasi mereka dengan serikat atau partisipasinya
dalam kegiatan-kegiatan serikat [huruf miring dalam putusan].”385
Mahkamah mencatat hal itu merupakan kriteria keanggotaan serikat yang telah menentukan bahwa
penerapan ukuran pemecatan, dinyatakan sebagai pelanggaran kebebasan berserikat yang dilindungi
konstitusi, dan untuk memperkuat keputusan, Mahkamah menambahkan:
“... Lebih spesik, dalam kasus ini, kebebasan berserikat dilanggar melalui pemecatan orangorang yang memiliki status anggota serikat yang disebut di atas, suatu keadaan yang memicu
pelanggaran atas hak konstitusional tersebut, kesimpulannya menjadi jelas ketika seseorang
mempertimbangkan substansinya mulai dari, atau yang telah ditetapkan oleh, Konvensi yang
disebutkan di atas mengenai kebebasan berserikat.”386
Mahkamah, kemudian memeriksa apakah aturan tentang pemecatan yang akan mempengaruhi hak
bekerja hanya dengan menetapkan ganti rugi sebagai satu-satunya perbaikan untuk pemecatan yang
sewenang-wenang, dengan tidak ada ketentuan untuk mempekerjakan kembali. Mahkamah menyimpulkan
bahwa hak konstitusional tidak dihormati, karena penetapan tersebut merendahkan arti dari hak untuk
bekerja. Dinyatakan bahwa kompensasi dapat menjadi bentuk tambahan dari restitusi, jika pekerja
diberikan kebebasan untuk menentukan, tapi hak itu tidak bisa menjadi perbaikan dari tindakan yang
tidak konstitusional. Karena itu, Mahkamah menetapkan bahwa mendapatkan pekerjaan kembali adalah
konsekuensi yang penting dari pemecatan yang tidak sah.
Pada poin sebelumnya, Mahkamah juga merujuk pada hukum internasional untuk menunjukkan bahwa
hukum internasional menetapkan standar minimum perlindungan dan tidak ada yang menghalangi hukum
domestik memberikan perlindungan yang lebih baik dan menetapkan kompensasi dan mempekerjakan
kembali bagi pekerja:
“Bentuk perlindungan hanya dapat diserahkan kepada negara sebelum tindakan inkonstitusional
dilakukan, sehingga mempekerjakan kembali adalah hasil yang nyata dari tindakan yang tidak
385
Ayat 9 dan 10 Putusan.
386
Ayat 11 Putusan.
184
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
sah. Kompensasi akan menjadi bentuk tambahan atau alternatif dari perbaikan jika pekerja
menentukan secara bebas, tetapi hak tersebut bukan perbaikan dari tindakan yang tidak sah ab
initio (yang sejak semula) karena ketidakkonstitusionalan.
Meskipun, sebagaimana argumen yang disampaikan oleh Telefonica del Peru SAA, ayat “d” Pasal 7
Protokol Tambahan Konvensi Amerika tentang HAM dalam bidang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
mengatur kemungkinan ganti rugi perbaikan, serta dipekerjakan kembali, untuk pemecatan yang sewenangwenang, harus dicatat bahwa Hukum HAM internasional menetapkan hak-hak minimum, yang selalu dapat
ditambahkan dengan perlindungan yang lebih tinggi tingkatnya, dan tidak untuk merendahkan hak-hak yang
diberikan dalam Konstitusi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 Protokol [387], membiarkan ketika efeknya
merendahkan substansi inti dari hak konstitusional. Penafsiran yang terakhir harus selalu bertujuan pada
tingkat perlindungan yang lebih tinggi. Itulah sebabnya doktrin menganggap bahwa hak konstitusional harus
ditafsirkan sebagai mandat untuk optimalisasi.
Alasan ini dapat diberikan pada ketentuan Konvensi No.158 tentang pemutusan hubungan kerja,
di mana, meskipun tidak diratikasi dan dalam bentuk Rekomendasi, juga memperbolehkan ganti
rugi sebagai perlindungan terhadap pemecatan yang sewenang-wenang.”388
Berdasar Pasal 2 Konstitusi, dan penafsiran atas Konvensi ILO No. 87, Mahkamah menyatakan bahwa
pemecatan tidak sah dan memerintahkan pekerja untuk dipekerjakan kembali.
387
Pasal 4 Protokol Tambahan untuk Konvensi Amerika tentang HAM dalam bidang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: “Inadmissibility of
Restrictions – Suatu hak yang diakui atau berlaku dalam suatu negara melalui legislasi internal atau Konvensi internasional yang tidak
dibatasi atau dilindungi pada pre-teks Protokol yang tidak mengakui hak atau mengakuinya pada tingkat yang lebih rendah.”
388
Ayat 12, bagian (C) putusan.
185
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Filipina
Konstitusi RepublikFilipina
Pasal II, Bagian 2
Filipina menyerahkan perang sebagai instrumen kebijakan nasional, mengadopsi prinsip yang diterima
secara umum dari hukum internasional sebagai bagian dari hukum negara dan mematuhi kebijakan
perdamaian, kesetaraan, keadilan, kebebasan, kerja sama dan hubungan yang baik dengan semua
bangsa.
112.
Mahkamah Agung Republik Filipina, Internasional School Alliance of Educators vs
Hon Leonardo A. Quisumbing and others, 1 Juni 2000, G.R. No.128845
Subyek: perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan
Peranan hukum internasional: rujukan kepda hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;389 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi390
Diskriminasi antara pekerja lokal dan asing/ Tindakan untuk diskriminasi/ Rujukan kepada hukum
internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Sebuah sekolah internasional diFilipina mempekerjakan pekerja lokal dan asing, pekerja asing
mendapatkan upah yang lebih tinggi dan juga menerima tunjangan-tunjangan lain. Pekerja Filipina
mengajukan gugatan hukum dengan berargumen bahwa telah terjadi diskriminasi. Pengadilan menganggap
bahwa ketentuan yang memberikan pekerja asing upah yang lebih tinggi dan tunjangan lainnya adalah tidak
konstitusional dan memprosesnya dengan merujuk pada hukum internasional untuk menambah kekuatan
pada kasusnya:
“Hukum internasional, yang berasal dari prinsip-prinsip hukum umum, juga menyebutkan tentang
diskriminasi. Prinsip hukum umum termasuk prinsip keadilan, yaitu prinsip umum atas keadilan
dan kesetaraan, berdasarkan tes yang pantas. Deklarasi Universal tentang HAM, Perjanjian
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, Konvensi terhadap
Diskriminasi dalam Pendidikan, Konvensi (No. 111) tentang Diskriminasi yang berkaitan dengan
Pekerjaan dan Jabatan – semuanya membentuk prinsip umum melawan diskriminasi, yang
merupakan lawan dari keadilan dan kesetaraan. Filipina, melalui Konstitusinya, telah memasukkan
prinsip ini sebagai bagian dari hukum nasionalnya.”
389
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,1966; Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial,1965; Konvensi terhadap Diskriminasi dalam Pendidikan,1960; Konvensi ILO No.111 tentang Diskriminasi (Pekerjaan dan
Jabatan), 1958.
390
Deklarasi Universal tentang HAM, 1948.
186
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Mahkamah selanjutnya memeriksa ketentuan dari berbagai instrumen internasional ini secara lebih
rinci:
“Sangat jelas, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, supra, dalam
Pasal 7 mengatur:
“Pihak negara dalam Perjanjian ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati keadilan dan
kondisi kerja yang baik, yang memastikan khususnya:
a) Penghasilkan yang memberikan kepada semua pekerja, paling minimum dengan: Upah
yang adil dan penghasilan yang setara untuk pekerjaan yang nilainya setara tanpa pembedaan
apapun, khususnya perempuan dijamin dengan kondisi kerja yang tidak lebih rendah dengan yang
didapatkan dari laki-laki, dengan upah yang setara dengan pekerjaan yang setara.”
Ketentuan sebelumnya melembagakan dalam jurisdiksi sistem Hukum “kesetaraan upah untuk
pekerjaan yang setara nilainya”. Orang-orang yang bekerja dengan kualikasi yang secara
substansial setara, keahlian, upaya dan tanggung jawab yang setara, harus dibayar dengan gaji
yang setara. Aturan ini berlaku di sekolah, dengan “karakter internasional”.”
Setelah mendasarkan pada hukum nasional, Mahkamah Agung Filipina merujuk pada instrumen
internasional untuk menunjukkan sifat mendasar dari prinsip kesetaraan upah. Mahkamah menemukan
dalam kasus ini bahwa perbedaan perlakuan antara orang Filipina dengan pekerja asing adalah bersifat
diskriminatif tetapi pekerja asing dapat terus mendapatkan tunjangan yang terkait dengan kewarganegaraan
mereka seperti pembayaran atas pengeluaran perpindahan mereka.
113.
Mahkamah Agung Republik Filipina, UST Faculty Union and others vs Dir Benedicto
Ernesto R. Bitonio, Jr, and others, 16 November 1999, G.R. No131235
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi391
Pelanggaran aturan yang ditetapkan dalam konstitusi serikat pekerja untuk pemilihan perwakilannya/
Banding keputusan administratif yang telah membatalkan pemilihan/ Lingkup hak berserikat secara
bebas/ Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Para anggota serikat pekerja mengajukan banding atas pemilihan perwakilan mereka, dengan
berargumen bahwa prosedur yang telah diikuti tidak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Konstitusi
Serikat pekerja. Mereka membawa kasusnya ke hakim, yang menyatakan pemilihan perwakilan tidak sah, dan
keputusan ini didukung oleh otoritas yang kompeten dari Kementerian Perburuhan. Anggota serikat pekerja
yang telah dipilih sebagai perwakilan membanding keputusan tersebut, berargumen bahwa pembatalan
hasil pemilihan oleh otoritas eksternal di luar serikat pekerja adalah pelanggaran hak berserikat secara
bebas.
391
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat,1948.
187
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Mahkamah Agung mengklarikasi lingkup hak berserikat secara bebas, mengkaji dasar hukum prinsip
tersebut dan hasil dari hak dan kewajiban untuk para anggota serikat pekerja dan termasuk efek dari
keputusan, di mana hakim telah menafsirkan hukum nasional terkait dengan Konvensi ILO No. 87:
“Hak konstitusional lebih baik dipahami dalam konteks Konvensi ILO No. 87 (Kebebasan Berserikat
dan Perlindungan Hak Berserikat), di mana Filipina telah menandatanganinya. Pasal 3 Konvensi
mengatur bahwa organisasi pekerja harus memiliki hak untuk membentuk konstitusi dan aturan
mereka dan untuk memilih perwakilan mereka dengan kebebasan penuh, serta bebas dari semua
campur tangan otoritas publik. Kebebasan yang diberikan dalam ketentuan tersebut cukup luas;
tanggung jawab yang dikenakan kepada anggota serikat pekerja untuk menghormati konstitusi
dan aturan yang mereka buat sendiri juga secara setara diberikan. Poin yang ditekankan adalah
konstitusi dan anggaran rumah tangga serikat pekerja adalah hukum mendasar yang mengatur
hubungan antara para anggota serikat. Di mana hak, tugas, dan kewajiban, kekuasaan, fungsi
dan otoritas pengurus dan juga anggota didenisikan. Ini adalah hukum organik yang menentukan
validitas dari tindakan yang dilakukan oleh pengurus atau anggota serikat. Tanpa menghormati
konstitusi dan ART, serikat sebagai lembaga yang demokratik menurunkan nilainya menjadi
sekedar kelompok individu yang diatur oleh hukum rimba.”
Rujukan kepada Konvensi ILO No. 87 mendorong Mahkamah Agung Filipina untuk menekankan sifat
mengikat dari aturan yang terdapat dalam konstitusi serikat pekerja. Atas dasar ini, Mahkamah menetapkan
bahwa, karena aturan yang disediakan untuk pemilihan perwakilan serikat pekerja tidak dipatuhi, pemerintah
telah dibenarkan untuk membatalkan pemelihan mereka dan keputusan tersebut tidak mengurangi hak
berserikat secara bebas.392
392
Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat menyatakan pendapatnya tentang pertanyaan invaliditas pemilihan pengurus serikat pekerja oleh
otoritas pemerintah. Lihat, ILO: Kebebasan Berserikat, Intisari Keputusan dan Prinsip Komite Kebebasan Berserikat Badan Pimpinan ILO,
Edisi kelima (revisi) (Jenewa, 2006):
Ayat 431: “Terkait dengan perselisihan internal organisasi serikat pekerja antara dua kepengurusan, Komite menganggap bahwa, dengan
pandangan yang menjamin kenetralan dan obyektitas prosedur, pengawasan pemilihan pengurus serikat pekerja harus dipercayakan kepada
otoritas hukum yang kompeten.”
Ayat 440: “Tindakan yang diambil oleh otoritas pemerintah ketika hasil pemilihan dibanding mempunyai risiko kesewenang-wenangan. Di sini,
dan untuk memastikan prosedur yang netral dan obyektif, hal-hal yang terkait dengan masalah ini harus diperiksa oleh otoritas yudisial.”
Ayat 443: “Dalam rangka menghindari pembatasan yang serius atas hak-hak pekerja untuk memilih perwakilan mereka dengan kebebasan
penuh, kasusnya dibawa ke pengadilan oleh otoritas pemerintah yang melibatkan banding terhadap pemilihan pengurus serikat seharusnya
tidak – menunggu hasil akhir dari proses sidang – memiliki efek melumpuhkan kegiatan serikat pekerja.”
188
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Rumania
Konstitusi Rumania
Pasal 11: Perjanjian-perjanjian Internasional
(1) Negara Rumania menyepakati untuk mematuhi dan dalam itikad baik kewajiban-kewajibannya
yang timbul dari perjanjian internasional di mana dia menjadi pihak di dalamnya.
(2) Perjanjian internasional yang telah diratikasi oleh Parlemen, menurut hukum, adalah bagian dari
hukum nasional.
Pasal 20: Preseden Hak Asasi Manusia
(1) Ketentuan Konstitusi mengenai hak dan kebebasan warga negara harus ditafsirkan dan ditegakkan
sesuai dengan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, dengan perjanjian internasional
dan kesepakatan internasional lainnya di mana Rumania menjadi pihak di dalamnya.
(2) Ketika terjadi inkonsistensi antara perjanjian dan kesepakatan internasional tentang hak asasi
mendasar di mana Rumania adalah pihak di dalamnya dan menjadi hukum internal, peraturan
internasional harus menjadi preseden.
114.
Mahkamah Konstitusi Rumania, 25 Februari 1993, Keputusan No. 6
Subyek: prinsip umum kesetaraan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional untuk menafsirkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi393
Tingkat pajak naik untuk orang-orang tertentu yang memegang jabatan secara bersamaan/
pelembagaan proses di hadapan Mahkamah Konstitusi/ Penggunaan hukum internasional untuk
mendenisikan konsep diskriminasi
Proses yang dilembagakan di hadapan Mahkamah Konstitusi Rumania mengenai hukum yang membuat
aturan kenaikan 30% pajak penghasilan wajib untuk penghasilan yang berasal dari beberapa posisi yang
dipegang secara bersamaan. Aturan ini secara khusus terkait dengan politisi yang memegang mandat
pemilihan dan menerima gaji dari negara dan dari pengusaha pada waktu besamaan.
393
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
1966
189
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Mahkamah Konstitusi memeriksa aturan yang terkait dalam Konstitusi untuk menentukan apakah
aturan itu bersifat diskriminatif dan apakah ketentuan tersebut harus dilengkapi dengan instrumen
internasional yang telah diratikasi Rumania:
“Kriteria non-diskriminatif ditetapkan dalam Pasal 4 (2) Konstitusi: ras, kebangsaan, asal etnis,
bahasa, agama, jenis kelamin, opini, aliasi politik, properti, dan asal sosial. Namun, harus
ditekankan dalam konteks ini, bahwa ketentuan Konstitusi harus dilengkapi dengan instrumen
HAM internasional, karena in ini adalah satu-satunya cara bahwa prinsip kesetaraan hak dapat
memiliki dimensi hukum secara otentik. Hasil ini secara jelas terlihat dalam Ayat pertama Pasal
20 Konstitusi, yang mengatur bahwa “ketentuan konstitusil mengenai hak dan kebebasan warga
negara harus ditafsirkan dan dilaksanakan sesuai dengan Deklarasi Universal tentang HAM
dan dengan perjanjian dan kesepakatan internasional lain di mana Rumania menjadi pihak di
dalamnya.” Konsekuensinya, ketentuan Pasal 26 Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil
dan Politik, yang berlaku efektif pada tanggal 23 Maret 1976, harus berlaku dalam kasus ini.
Pasal ini menetapkan bahwa: “Semua orang adalah setara di hadapan hukum dan berhak tanpa
diskriminasi untuk mendapatkan kesetaraan perlindungan hukum. Dalam hal ini, hukum harus
melarang setiap diskriminasi dan jaminan kepada semua orang atas perlindungan yang setara dan
efektif atas diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan
politik atau lainnya, asal kebangsaan dan sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.”
Pasal 2 (2) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang berlaku
efektif sejak tanggal 3 Januari 1976, berisi ketentuan yang serupa.”
Setelah menggarisbawahi aturan umum bahwa ketentuan instrumen internasional melengkapi alasanalasan diskriminasi yang dilarang oleh Konstitusi, Mahkamah Konstitusi Rumania mendasarkan perbaikan
dalam kasus ini pada ketentuan Konstitusi. Mahkamah menganggap bahwa aturan itu berisi diskriminasi
antara kategori pegawai negeri sipil dan ini tidak sesuai dengan Pasal 16 (1)394 Konstitusi mengenai
kesetaraan di hadapan Hukum dan Pasal 53 (2)395 mengenai kesetaraan dalam perpajakan.
394
Pasal 16 (1) Konstitusi Rumania: “Warga negara setara di hadapan hukum dan otoritas publik, tanpa perlakuan istimewa atau diskriminasi.”
395
Pasal 53 (2) Konstitusi Rumania: “Sistem hukum perpajakan harus memastikan distribusi yang adil atas beban pajak.”
190
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Rwanda
Konstitusi Republik Rwanda
Pembukaan
(…) Menegaskan kepatuhan kami pada prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana didenisikan
dalam Piagam PBB tanggal 26 Juni 1945, Konvensi PBB tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan
Genocide tanggal 9 Desember 1948, Deklarasi Universal tentang HAM tanggal 10 Desember 1948,
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial tanggal 7 Maret
1966, Perjanjian Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya tanggal 19 Desember
1966, Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik tanggal 19 Desember 1966, Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tanggal 1 Mei 1980, Piagam
Afrika tentang Hak-hak manusia dan Masyarakat tanggal 27 Juni 1981, dan Konvensi tentang Hak-hak
Anak tanggal 20 November 1989; (…)
Pasal 190
Perjanjian atau kesepakatan internasional yang telah diratikasi atau secara sah harus, setelah
diundangkan, memiliki otoritas yang lebih tinggi daripada UU, dengan syarat setiap perjanjian atau
kesepakatan internasional diterapkan oleh pihak yang lain.
115.
Mahkamah Agung Rwanda, Kamar Pengadilan Konstitusi, 19 Februari 2002,
Keputusan No. 009/11.02/02
Subyek: kemandirian peradilan
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi.396
Keputusan yang menetapkan aturan peradilan/ Pelembagaan proses dihadapan Mahkamah Konstitusi
sebagai dasar bahwa aturan tersebut harus ditetapkan oleh UU/ Rujukan kepada hukum internasional
untuk memperkuat keputusan berdasarkan hukum domestik
Suatu UU397 menetapkan aturan personel angkatan bersenjata, polisi nasional, dan peradilan akan
ditetapkan melalui suatu keputusan. Presiden Majelis Nasional membanding validitas UU tersebut ke Kamar
Mahkamah Konstitusi pada Mahkamah Agung.
Kamar Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi menemukan fakta bahwa keputusan penetapan aturan
peradilan tidaklah sesuai dengan UU Otoritas Negara, yang mengatur bahwa aturan peradilan harus
ditetapkan melalui UU.
396
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, 1966.
397
UU tentang Peraturan Umum Layanan Sipil Rwanda.
191
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Untuk menambah kekuatan pada keputusannya, Mahkamah menambahkan bahwa keputusan
bertentangan dengan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Politik dan Sipil:
“(…) bahwa mereka [Pasal-pasal yang dibanding] melanggar prinsip kemandirian peradilan, yang
mengarah pada penetapan status khusus yang terdiri dari unsur-unsur individual dan lembaga
yang mandiri, prinsip yang dimuat dalam pasal yang sama dalam hukum dasar dan Pasal 14
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Politik dan Sipil”.398
Atas dasar ini, Mahkamah Agung Rwanda menetapkan bahwa keputusan yang menetapkan aturan
peradilan bertentangan dengan Konstitusi dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
398
Pasal 14 (1) Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik: “Semua orang harus setara di hadapan pengadilan dan peradilan.
Dalam menentukan tuduhan kriminal kepadanya, atau hak dan kewajibannya dalam suatu tuntutan hukum, setiap orang berhak atas
persidangan yang adil dan terbuka dari sebuah peradilan yang kompeten, mandiri, dan tidak memihak, sebagaimana ditetapkan oleh UU.”
192
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Slovenia
Konstitusi Republik Slovenia
Pasal 8
Perundang-undangan harus mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional yang diterima dan perjanjian
internasional yang mengikat Slovenia. Perjanjian internasional yang telah diratikasi dan diundangkan
harus berlaku secara langsung.
Pasal 153, Ayat 1 dan 2
Hukum, peraturan dan tindakan-tindakan hukum umum lainnya, harus sesuai dengan Konstitusi.
Undang-undang harus sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diterima dan perjanjian
internasional yang telah diratikasi secara sah oleh Majelis Nasional, dan peraturan dan tindakantindakna hukum umum lainnya juga harus sesuai dengan perjanjian internasional yang telah
diratikasi.
116.
Mahkamah Konstitusi Slovenia, Independent Trade Unions of Slovenia vs the Act on
Representativeness of Trade Unions, 5 Februari 1998, No. U-I-57/95
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;399 kasus hukum
internasional400
Hukum nasional menetapkan syarat untuk mendirikan serikat pekerja, kriteria yang menyangkut
kapasitas perwakilan mereka, dan keuntungannya/Tindakan oleh serikat pekerja karena ketidakpatuhan
dengan Konstitusi dan Konvensi ILO No. 87 dan 98/ Pengujian ketentuan legislatif/ Penggunaan hukum
internasional sebagai panduan dalam menafsirkan hukum domestik
Serikat pekerja Slovenia telah mengajukan permintaan uji meteriil ke Mahkamah Konstitusi, mengklaim
bahwa UU Slovenia tentang Serikat Pekerja401 melanggar Konvensi ILO No. 87 dan 98 dan juga Pasal 76
Konstitusi Slovenia.402 Mahkamah Konstitusi pertama-tama harus menentukan apakah membuat pengakuan
atas personalitas hukum serikat pekerja sebagai syarat pendaftaran atas konstitusinya pada otoritas yang
kompeten adalah tidak konsisten dengan prinsip kebebasan berserikat. Dan kedua, Mahkamah harus
memutuskan apakah yang paling mewakili serikat pekerja memperoleh jaminan atas hak-hak tertentu
dalam bidang perjanjian bersama.
399
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat,1948; Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat dan
Perundingan Bersama,1949; Piagam Sosial Eropa, 1961 (diratikasi, tetapi belum dimasukkan dalam legislasi domestik).
400
Pengadilan HAM Eropa
401
UU tentang Kapasitas Perwakilan Serikat Pekerja, Lembaran Negara Republik Slovenia No. 13/93.
402
Pasal 76 Konstitusi Slovenia: “Kebebasan untuk mendirikan, mengoperasikan, dan bergabung dengan serikat pekerja harus dijamin.”
193
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Untuk menilai validitas ketentuan yang terkait dengan pengakuan serikat pekerja, Mahkamah merujuk
pada Konvensi ILO No. 87 sebagai panduan dalam menafsirkan hukum nasional:
“Negara memiliki hak untuk mengaitkan pengakuan atas personalitas hukum dengan pemberian
status kepada badan pemerintah yang berwenang. Dalam melakukan hal itu, dengan persyaratan
lembaga itu tidak boleh secara tidak langsung mengintervensi hak untuk mendirikan serikat
pekerja secara bebas. Hal ini mengikutiPasal 7 Konvensi ILO No. 87.
ZRS [UU banding terhadap] dalam Pasal 2 dan 3 mengatur bahwa serikat harus menjadi subyek
hukum pada tanggal terbitnya keputusan penyerahan anggaran dasar atau akta pendirian lainnya.
Kondisi yang dimuat dalam rujukan dengan terbitnya keputusan dalam UU adalah penyerahan
anggaran dasar sebagaimana yang disyaratkan, penyerahan bukti bahwa serikat pekerja telah
berdiri, dan membuktikan fakta bahwa permohonan telah diserahkan oleh orang yang diberi
wewenang oleh serikat pekerja. Tidak ada dari ketiga kondisi ini mencampuri hak setiap orang
untuk membentuk serikat pekerja, untuk menyusun anggaran dasarnya dengan orang-orang lain,
dan untuk memilih perwakilan serikat pekerja, ataupun mencegah mereka mendirikan serikat
pekerja. Badan pemerintah hanya mencatat fakta-fakta tersebut dan, atas dasar ini, melalui
keputusan serikat pekerja menjadi subyek hukum.
Ketentuan Pasal 2 dan 3 ZRS in oleh karenanya bukanlah tidak sesuai dengan Pasal 76 Konstitusi,
ataupun tidak sesuai dengan Konvensi ILO No.87.”
Mahkamah Konstitusi Slovenia kemudian memeriksa bagian-bagian hukum mengenai peranan yang
diberikan kepada perwakilan yang paling mewakili serikat pekerja dalam bidang perundingan bersama.
Untuk membentuk pandangannya, Mahkamah merujuk baik pada keputusan Pengadilan HAM Eropa403
(Pasal 11 Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Mendasar)404 dan maupun Konvensi
ILO No. 98:
“Salah satu prinsip mendasar Konvensi ILO No. 98 adalah perundingan bersama (negosiasi) dan
menandatangani perjanjian bersama secara bebas dan sukarela. Konsekuensinya, perjanjian
bersama berlaku hanya untuk para pihak yang menandatanganinya, kecuali secara universal
diberlakukan menurut hukum. Namun titik awal prinsip ini berarti bahwa hak atas kebebasan
serikat pekerja tidak dapat ditafsirkan seperti bila hal tersebut juga menjamin hak untuk
menandatangani setiap perjanjian bersama. Untuk hak tersebut, serikat pekerja memerlukan
perkiraan kewajiban penandatanganan di pihak pengusaha: dan hal ini akan dilakukan secara
bebas dan sukarela tetapi atas permintaan pihak yang lain. Karena inilah Mahkamah Konstitusi
menganggap bahwa Pasal 76 Konstitusi tidak seharusnya ditafsirkan secara luas daripada yang
ada dalam kasus untuk menafsirkanPasal 11 Konvensi Eropa.”
Rujukan kepada instrumen internasional sebagai sumber untuk menafsirkan legislasi nasional
membuat Mahkamah Konstitusi Slovenia mampu menemukan bahwa negara dapat menetapkan aturan
yang mengatur subyek hukum serikat pekerja, dengan syarat bahwa hal ini tidak akan mengganggu hak
untuk secara bebas mendirikan organisasi. Mahkamah juga menetapkan bahwa negara dapat memberikan
peranan kepada perwakilan yang paling mewakili dari serikat pekerja dalam perundingan bersama.
403
Pengadilan HAM Eropa: Belgian National Police Union v. Belgium, 27 Oktober 1975; Swedish Engine Drivers’ Union v. Sweden, 6 Februari
1976; Kasus Schmidt and Dahlström v. Sweden, 6 Februari 1976.
404
Pasal 11 Konvensi Eropa untuk Perlindungan HAM dan Kebebasan Mendasar:
“1.Setiap orang memiliki hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan berserikat, termasuk hak untuk mendirikan dan
bergabung dengan serikat pekerja untuk perlindungan kepentingannya.
2. Tidak ada pembatasan yang ditempatkan pada pelaksanaan hak-hak ini selain yang dimuat dalam UU dan diperlukan dalam masyarakat
demokratik untuk kepentingan keamanan nasional atau keselamatan publik, untuk pencegahan kejahatan, untuk perlindungan kesehatan
atau moral atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Pasal ini tidak boleh menghalangi pemberlakuan pembatasan yang sah atas
pelaksanaan hak-hak ini oleh anggota angkatan bersenjata atau kepolisian atau badan pemerintah.”
194
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
UU Slovenia tentang Serikat Pekerja dianggap sudah sesuai dengan Konstitusi Slovenia dan dengan
instrumen internasional yang disebut di atas.
117.
Mahkamah Konstitusi Slovenia, Slovenian Railway Workers Union,
7 Desember 1995, No. U-I-92/94
Subyek: kebebasan berserikat; prinsip umum kesetaraan
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi405
UU mengubah keterwakilan pekerja dalam organ manajemen perusahaan kereta api nasional/
Pelembagaan proses dihadapan Mahkamah Konstitusi atas pelanggaran prinsip kesetaraan/
Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan legislasi yang dibanding
Undang-undang nasional khusus telah mengubah aturan mengenai partisipasi pekerja dalam organ
manajemen perusahaan kereta api nasional406 dengan mengurangi jumlah perwakilan pekerja yang duduk
dalam badan-badan tersebut. Serikat pekerja mengajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi Slovenia,
berargumen bahwa pengaturan ini tidak memberikan pekerja di perusahaan itu hak yang sama di perusahaan
publik lain, dan karenanya melanggar prinsip kesetaraan yang dimuat dalam Konstitusi Slovenia.
Mahkamah Konstitusi pada awalnya menganalisa isi dari peraturan khusus mengenai kereta api
nasional dan menguji apakah sesuai dengan Konstitusi, Mahkamah kemudian menafsirkan legislasi terkait
dengan hukum internasional:
“Oleh karenanya (…) ketentuan yang dibanding (…) merupakan manfaat yang didapatkan perwakilan
pekerja untuk secara cepat dan efektif melaksanakan fungsi mereka sebagai anggota dewan
pekerja, karenanya melaksanakan hak untuk berpartisipasi dalam manajemen sebagaimana
diatur dalam Konstitusi. Sesuai dengan Pasal 2 konvensi ILO yang telah diratikasi No. 135407
tentang Perlindungan dan Kebebasan Perwakilan Pekerja di Perusahaan (Lembaran Negara
SFRY, No. 14/82), kebebasan haruslah memadai baik dalam pandangan perusahaan maupun
pandangan perwakilan pekerja. Pengaturan kebebasan ini harus memperhitungkan karakteristik
sistem hubungan dalam industri di negara tersebut, juga kebutuhan, ukuran, dan kemungkinan
perusahaan tertentu dan esiensi kinerja perusahaan, yang mungkin tidak mengurangi hasil dari
kebebasan tersebut.”
Meskipun aturan umum telah diterapkan, jumlah pekerja dalam perusahaan kereta api yang duduk
dalam organ manajemen lebih banyak daripada yang rata-rata, dan akan memiliki konsekuensi nansial
yang besar bagi anggaran perusahaan. Berdasarkan penafsiran Konvensi ILO No. 135, Mahkamah Konstitusi
Slovenia menyimpulkan bahwa alasan pembuat UU adalah sah.
405
Konvensi ILO No. 135 tentang Perwakilan Pekerja, 1971.
406
UU tentang tindakan untuk pelaksanaan dan pembiayaan transportasi pada jaringan kereta api yang ada dan pada penyelenggaraan dan
perubahan kepemilikan perusahaan kereta api Slovenia, Lembaran Negara Republik Slovenia No. 71/93.
407
Kata-kata yang pasti dalam Pasal 2 Konvensi No. 135 adalah sebagai berikut:
“1. Fasilitas dalam perusahaan harus diberikan kepada perwakilan pekerja secara layak agar membuat mereka mampu melaksanakan
fungsinya dengan segera dan esien.
2. Dalam hal ini harus dipertimbangkan karakteristik sistem hubungan industrial negara dan kebutuhan, ukuran, dan kemampuan perusahaan
yang bersangkutan.
3. Pemberian fasilitas tersebut tidak boleh mengganggu esiensi operasional perusahaan yang bersangkutan.”
195
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Taiwan
118.
Pengadilan Yuan, 2 Agustus 2002, No. 549
Subyek: prinsip umum kesetaraan; hak atas anak
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi408
Asuransi kematian/ Hukum yang menghalangi anak-anak yang diadopsi dan telah didaftarkan kurang
dari 6 bulan menerima manfaat asuransi/ Penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam
menafsirkan hukum domestik
Ketentuan UU menetapkan bahwa anak-anak yang diadopsi dan baru didaftarkan kurang dari 6
bulan sebelum kematian orangtuanya tidak mendapatkan manfaat dari asuransi kematian orangtuanya,
ketentuan yang bertujuan untuk menghapuskan penipuan. Merujuk kepada konvensi-konvensi internasional
dan hukum asing, Pengadilan Yuan, badan yang berwenang untuk menafsirkan Konstitusi, menganggap
bahwa UU lebih sesuai dengan prinsip konstitusional jika anak-anak yang baru diadopsi dapat diakui oleh
pengadilan sebagai penerima manfaat yang dimungkinkan dalam asuransi kematian.
Pengadilan Yuan menemukan bahwa ketentuan legislatif mengenai anak-anak adopsi harus diubah,
dan bahwa” standar perburuhan internasional dan konvensi jaminan sosial yang relevan (…) harus
diperhitungkan.”
Hakim Yueh-Chin Huang memberikan pandangan terpisah sejalan dengan penafsiran ini, selanjutnya
menggarisbawahi pentingnya konvensi perburuhan internasional dalam menafsirkan legislasi nasional:
“Terdapat ratusan konvensi atau rekomendasi legislatif yang dibuat oleh ILO, yang memainkan
peranan penting di dunia untuk melindungi hak asasi manusia. Dalam penafsiran ini, konvensi
internasional digunakan sebagai sumber hukum. Ini merupakan fenomena yang menggembirakan
untuk tumbuhnya sistem penafsiran konstitusi kita. (…) Jika kita mengambil posisi dari pandangan
internasional, karena nilai-nilai yang dianut dunia adalah untuk melaksanakan tujuan konvensi,
tugas negara anggota terhadap konvensi adalah untuk secara tegas menyatakan niat baiknya
terhadap konvensi, oleh karenanya ruang untuk kebijakan legislatif sangat terbatas. (…)“Agen
Penafsiran Konstitusi” harus menggunakan konvensi sebagai sumber hukum untuk mengkaji UU
yang disahkan oleh Agen Legislatif [Parlemen Taiwan].”
408
Konvensi ILO No. 102 tentang Jaminan Sosial (standar minimum), 1952.
196
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Trinidad dan Tobago
119.
Industrial Court of Trinidad and Tobago, Bank and General Workers’ Union vs Publik
Service Association of Trinidad and Tobago, 27 April 2001, Trade disputeNo. 15 of
2000
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penetapan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang belum diratikasi409 instrumen yang tidak
tunduk pada ratikasi410
Pemecatan karena pelanggaran tugas/ Tidak adanya kesempatan untuk membela diri/ Penetapan
prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Seorang petugas keamanan dipecat tanpa melalui prosedur sidang. Pengusaha menuduh pekerja
melakukan pelanggaran atas tugasnya, baik yang secara terpisah maupun kumulatif, dianggap cukup serius
untuk memberikannya pemecatan segera. Pengadilan harus menetapkan apakah pekerja yang dipecat
tanpa didengarkan keterangannya bertentangan dengan praktik hubungan industrial yang baik.411
Untuk melakukan ini, Pengadilan mendasarkan pada beberapa kasus berdasarkan Rekomendasi ILO
No. 119 tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Dalam salah satunya (TD98/1997 Bank Barclays dan Serikat
pekerja Barclays) Pengadilan menyimpulkan bahwa:
“Prinsip mendasar dari keadilan alamiah dibangun menurut hukum umum bahwa seseorang
memiliki hak untuk didengarkan untuk melakukan pembelaan diri, dan rekomendasi ILo hanya
menyatakan prinsip ini.”
Pengadilan merujuk pada kasus sejenis lain dan menyimpulkan bahwa prinsip hubungan industrial
yang baik mensyaratkan pengusaha tidak hanya menginformasikan pekerja tentang pemecatan, tetapi juga
memberikan kesempatan yang adil untuk didengarkan dalam proses pemecatan dirinya. Prinsip-prinsip ini
berdasarkan keputusan pengadilan dan Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja:
“Efek dari keputusan yang banyak disebut pada Pengadilan (…), serta Konvensi ILO 158 (…), adalah
untuk menetapkan, bahwa dalam sistem hubungan industrial kita, setiap pekerja memiliki hak
atas kesempatan yang adil untuk membela diri terhadap setiap tuduhan atau dugaan kepadanya,
juga untuk didengarkan dalam mitigasi setiap kemungkinan hukuman (khususnya pemecatan)
oleh orang/ dalam manajemen yang bertanggungjawab atas keputusan tersebut, sebelum hal
tersebut diberlakukan. Hal ini bukanlah hal yang diambil secara gampang atau lebih teknis. Ini
adalah prinsip mendasar dari hubungan industrial yang baik.”
Mendasarkan pada Konvensi ILO No. 158, Pengadilan menetapkan bahwa pemecatan seorang pekerja
harus didahului dengan memberikan kepadanya kesempatan yang adil untuk didengarkan pembelaannya.
Penghapusan oleh pengusaha akan menyebabkan pelanggaran mendasar atas prinsip-prinsip hubungan
industrial yang baik. Pengusaha mencari cara agar pemecatan pekerja bisa dibenarkan dalam situasi seperti
409
Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja, 1982
410
Rekomendasi ILO No.119 tentang Pemutusan Hubungan Kerja,1963.
411
UU Hubungan Industrial Trinidad dan Tobago memberikan wewenang kepada pengadilan untuk menetapkan pekerja yang di-PHK dipekerjakan
kembali atau mendapatkan pembayaran kompensasi atau ganti rugi di mana pekerja telah dipecat dalam situasi yang “kasar dan/atau penuh
tekanan dan/atau tidak sesuai dengan prinsip hubungan industrial yang baik”
197
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
itu, beban pembuktian yang tidak bisa diberikan secara layak untuk memberikan pekerja412 kesempatan untuk
didengar, dan bahkan bila dia telah melakukannya, tidak akan memberikan perbedaan pada hasilnya.
Dalam kasus ini, Pengadilan Industrial Trinidad dan Tobago menemukan bahwa pengusaha tidak
memberikan bukti keadaan yang dapat secara pantas menghalanginya untuk menghormati audi rule.
Pengadilan memerintahkan bahwa pekerja berhak mendapatkan ganti rugi.
120.
Pengadilan Industrial Trinidad dan Tobago, Bank and General Workers’ Union vs
Home Mortgage Bank, 3 Maret 1998, No. 140 of 1997
Subyek: pemecatan
Peranan hukum internasional: penetapan prinsip yurisprudensi berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang belum diratikasi413
Kontrak hubungan kerja yang mengatur pemutusan hubungan kerja yang bebas oleh para pihak/
Pemutusan kontrak oleh pengusaha/ Pembentukan prinsip jurisprudensi yang diinspirasi dari Konvensi
ILO No. 158/ Tidak ada hubungan kerja yang bisa diakhiri kecuali dengan alasan yang sah
Pengusaha meminta jasa pekerja sebagai supir. Kontrak mengatur bahwa PHK dapat dilakukan pada
setiap saat oleh salah satu pihak. Beberapa bulan kemudian setelah penandatanganan kontrak, pengusaha
memberikan pekerja surat yang memberitahukan pemutusan hubungan kerja.
Pengadilan menetapkan bahwa menurut hukum, pengusaha tidak terikat untuk memberikan alasan
atas pemecatan pekerja. Namun, Pengadilan harus menyatakan apakah pemecatan tersebut sesuai dengan
prinsip hubungan industrial yang baik yang diakui dalam legislasi nasional.414
Untuk menentukan apakah prinsip hubungan industrial yang baik berlaku dalam pemecatan, Pengadilan
mendasarkan pada Konvensi ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja.
“Prinsip praktik hubungan industrial yang baik mengatakan bahwa tidak ada hubungan kerja
seorang pekerja dapat diakhiri kecuali dengan alasan yang sah yang terkait dengan kapasitasnya
untuk melakukan pekerjaan di mana dia telah dipekerjakan atau di mana didasarkan pada
persyaratan operasional dari usaha pengusaha. Prinsip ini dimuat secara tertulis dalam Konvensi
ILO No. 158 (Konvensi ILO No. 158). Konvensi ILO No. 158 telah menyatakan secara tertulis prinsip
hubungan industrial yang baik dan tidak ada konsekuensi bagi Konvensi yang belum diratikasi
oleh Trinidad dan Tobago. Hal ini tidak berlaku sebagai bagian dari hukum domestik Trinidad dan
Tobago tetapi sebagai bukti prinsip praktik hubungan industrial yang baik telah diterima pada
tingkat internasional.”
Menurut aturan yang diinspirasi oleh Konvensi ILO No.158, Pengadilan Industrial Trinidad dan Tobago
menyatakan bahwa pengusaha telah melanggar kewajibannya dalam memutuskan kontrak tanpa alasan
yang sah dan tidak memberikan pekerjaan kesempatan yang adil untuk menyampaikan pembelaannya.
412
Menarik untuk dicatat bahwa pengadilan menggunakan Pasal 7 Konvensi No. 158 mengutip hampir setiap kata per kata untuk menyusun
prinsip ini. Pasal ini dibaca sebagai berikut: “Hubungan kerja pekerja tidak boleh diakhiri karena alasan yang terkait dengan perilaku atau
kinerja pekerja sebelum dia diberikan kesempatan untuk membela dirinya terhadap tuduhan yang dibuat, kecuali pengusaha tidak dapat
secara layak diharapkan memberikan kesempatan ini.”
413
Konvensi ILO No. 158 tentang pemutusan Hubungan Kerja, 1982.
414
Pasal 10 (3)(b) UU Hubungan Industrial Trinidad dan Tobago: “Pengadilan (…) harus (…) bertindak sesuai dengan keadilan, kesadaran yang
baik, dan (…) mempertimbangkan prinsip dan praktik hubungan industrial yang baik.”
Pasal 10 (5) UU Hubungan Industrial mengatur bahwa dalam hak PHK pekerja, pengadilan harus menentukan apakah pekerja telah dipecat
dalam situasi yang “(…) tidak sesuai dengan prinsip praktik hubungan industrial yang baik”.
198
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Ukraina
Konstitusi Ukraina
Pasal 9
Perjanjian Internasional yang berlaku dan diakui oleh Verkhovna Rada (Parlemen) Ukraina adalah
bagian dari peraturan domestik Ukraina.
Penandatanganan perjanjian internasional yang bertentangan dengan Konstitusi Ukraina dimungkinkan
hanya setelah adanya perubahan yang relevan terhadap Konstitusi Ukraina.
Hukum perjanjian internasionalUkraina415
Pasal 17, Ayat 1 dan 2
(1) Perjanjian internasional yang ditandatangani dan diratikasi oleh Ukraina menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari hukum domestik Ukraina dan harus berlaku secara sama dengan ketentuan
dalam ketentuan Domestik.
(2) Jika Ukraina meratikasi perjanjian internasional melalui suatu UU yang berisi aturan selain dari
yang ditetapkan dalam peraturan Ukraina, maka aturan perjanjian internasional akan berlaku.
121.
Mahkamah Konstitusi, 18 Oktober 2000, Kasus No. 1-36/2000
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratikasi416
UU yang membatasi kemungkinan membentuk lebih dari satu serikat pekerja pada tingkat lokal dan
provinsi, serta pengakuan subordinasi organisasi baru atas kewenangan Kementerian Kehakiman/
Keputusan yang inkonstitusional/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat solusi
berdasarkan hukum domestik
Beberapa anggota parlemen Ukraina dan juga lembaga ombudsman (Komisioner Parlemen untuk HAM)
meminta kepada pengadilan untuk memutuskan isu inkonstitusionalitas mengenai UU Serikat Pekerja yang
baru saja diadopsi oleh parlemen, mengklaim bahwa naskah UU melanggar tidak hanya Pasal-pasal dalam
Konstitusi Ukraina yang mengakui kebebasan berserikat tetapi juga konvensi ILO No. 87 dan Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, keduanya telah diratikasi oleh Ukraina.
415
Hukum perjanjian internasional Ukraina tanggal 22 Desember 1993.
416
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat, dan Perlindungan Hak Berserikat,1948; Perjanjian Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966.
199
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pemohon meminta uji materiil atas Pasal 11 UU yang menyatakan syarat-syarat untuk pembentukan
serikat pekerja pada tingkat lokal, provinsi, dan nasional. Menurut pasal tersebut, untuk mendapatkan
status hukum, serikat pekerja lokal harus memiliki sekurang-kurangnya tiga bagian serikat lokal atau
sekurang-kurangnya sembilan anggota yang bekerja pada beberapa usaha. Akibatnya, asosiasi pekerja yang
berserikat dalam satu jenis usaha tidak mendapatkan status hukum dan mereka dipaksa untuk bergabung
dengan serikat pekerja yang lebih besar. Alasan lain membanding ketentuan Pasal 11, pemberian status
serikat pekerja pada tingkat provinsi hanya bisa pada organisasi dengan mayoritas anggota serikat pekerja
pada cabang atau wilayah. Pemohon menduga bahwa ketentuan tersebut menghalangi pluralisme serikat
pekerja pada tingkat provinsi.
Selain itu, pemohon juga mengajukan uji materiil atas validitas Pasal 16 UU tersebut mengenai tata
cara pendaftaran serikat pekerja. Menurut ketentuan tersebut, pendafataran organisasi pada Kementerian
Kehakiman adalah prasyarat untuk memperoleh status hukum, dan menteri dapat menolak pendaftaran
jika dia menganggap bahwa aturan Pasal 11 yang disebutkan di atas tidak dipenuhi.
Mahkamah mendasarkan keputusannya pada pasal 36 dan 37 Konstitusi Ukraina yang mengakui
kebebasan berserikat. Dinyatakan bahwa ketentuan tersebut melindungi pluralism serikat pekerja dan
ketentuan ini secara serius dihalangi oleh Pasal 11 UU yang menjadi obyek banding. Mahkamah Konstitusi
kemudian menyatakan bahwa Pasal 16 dari naskah UU tersebut memiliki efek merendahkan pembentukan
serikat pekerja karena adanya izin, suatu syarat yang secara tegas dilarang dalam Konstitusi.
Untuk memperkuat alasannya, Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa ketentuan tersebut juga
bertentangan dengan Konvensi ILO No. 87 dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya. Mahkamah menunjukkan bahwa jaminan, termasuk yang ada dalam kedua instrumen tersebut,
telah secara penuh dimasukkan dalam Konstitusi Ukraina. Mahkamah menyatakan sebagai berikut:
“Substansi dari ketentuan perjanjian internasional yang telah dimasukkan dalam naskah Konstitusi
Ukraina, khususnya dalam Pasal 36 dan 37, yang berisi jaminan dan perhatian yang serupa terkait
dengan pelaksanaan hak warga negara atas kebebasan berserikat, termasuk dalam serikat
pekerja. Memandang fakta bahwa ketentuan tertentu dalam UU ditemukan tidak konstitusional,
sehingga melanggar hak warga negara atas kebebasan berserikat. Mahkamah Konstitusi Ukraina
mencatat bahwa persyaratan yang ditetapkan dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya dan Konvensi ILO [No. 87] tidak secara memadai dimasukkan ke
dalam Undang-undang.”
Mendasarkan keputusannya pada naskah Konstitusi dan pada ketentuan perjanjian internasional yang
relevan, Mahkamah Konstitusi Ukraina memutuskan bahwa pasal-pasal dalam UU Serikat Pekerja tidak
konstitusional.
200
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Uruguay
122.
Pengadilan Banding Perburuhan pada Tingkat Pertama, CHH vs TSA untuk
pembayaran cuti yang tidak diambil dan gaji liburan, 12 Maret 1993, Keputusan No.
475
Subyek: Cuti yang dibayar
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi417
Cuti liburan/ Syarat untuk memperoleh hak cuti yang dibayar/ Keutamaan norma internasional
ketika hal itu lebih menguntungkan bagi pekerja/ Penerapan langsung hukum internasional untuk
mengesampingkan ketentuan Domestik yang lebih rendah
Seorang pekerja mengajukan permohonan untuk memperoleh pembayaran atas cuti yang belum
diambil dan gaji selama cuti setelah dipecat tanpa ada pembayaran atas hal-hal tersebut. Pemohon
berargumen bahwa dalam kasusnya dan terkait dengan perhitungan untuk menentukan haknya atas cuti,
perusahaan memperhitungkan hari kerja pemohon dan kemudian, sesuai dengan perjanjian bersama,
telah mempertimbangkan bahwa 30 hari pertama ketidakhadiran karena sakit telah didokumentasikan
dengan sah oleh pekerja, tetapi tidak untuk ketidakhadiran berikutnya. Harus ditunjukkan bahwa peraturan
domestik mengatur penyelesaian yang serupa dengan yang ada dalam perjanjian bersama.
Mempertimbangkan situasi ini, pemohon mengajukan banding, menyatakan bahwa, dalam kasusnya,
Konvensi ILO No. 132 harus berlaku sebagai norma yang paling menguntungkan pekerja. Pemohon
menyatakan bahwa Konvensi mengatur bahwa untuk terciptanya hak cuti, semua cuti sakit harus
diperhitungkan. Namun hakim pada tingkat pertama memilih solusi yang ada dalam perjanjian bersama.
Sebagai hasilnya, pemohon mengajukan banding.
Untuk menentukan bagaimana menghitung ketidakhadiran karena sakit, Pengadilan bandiing
mempelajari Konvensi ILO No. 132,418 membandingkannya dengan perjanjian bersama419, dan peraturan
domestik. Pengadilan mengindikasikan bahwa aturan yang pertama (Konvensi No. 132) bisa menjadi
preseden karena menetapkan manfaat yang lebih besar terkait dengan perhitungan cuti sakit.
Pengadilan memutuskan sebagai berikut:
“Pengadilan memutuskan bahwa pembelaannya dapat diterima, sesuai dengan ketentuan dalam
Konvensi Perburuhan Internasional No. 132, yang kewajiban hukumnya tidak bisa dikurangi oleh
ketentuan perjanjian bersama dan di mana tidak menjadi preseden terhadap norma heteronym
yang melanggar yang menetapkan manfaat yang lebih luas daripada yang ditetapkan dalam
konvensi bersama. Sehingga, konik antara Konvensi Perburuhan Internasional No. 132 dan
hukum domestik harus diselesaikan dalam norma yang paling menguntungkan pekerja: dalam
kasus ini adalah Konvensi, yang mengatur bahwa seluruh cuti sakit harus diperhitungkan untuk
menciptakan hak cuti, sedangkan hukum domestik (UU No. 12.290) mengatur bahwa cuti sakit
yang terdokumentasikan dengan sah tidaklah menciptakan pemotongan terhadap efek cuti,
417
Konvensi ILO No. 132 tentang Hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970.
418
Pasal 5(4) Konvensi No. 132: “Menurut syarat yang ditentukan oleh otoritas yang kompeten atau melalui mekanisme yang memadai di dalam
negeri, ketidakhadiran karena alasan yang di luar kontrol pekerja seperti sakit, kecelakaan, atau persalinan, harus dihitung sebagai bagian
dari masa kerja.”
419
Perjanjian bersama menyatakan bahwa: “Hari-hari ketidakhadiran karena sakit sampai maksimum 30 hari per tahun harus diperhitungkan.”
201
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
sampai dengan 30 hari. Sama halnya dengan Keputusan UU No. 14.407, yang menetapkan bahwa
hak cuti dan liburan yang dibayar harus ditetapkan dan dibayarkan secara proporsional dengan
periode bekerja.
Meskipun Konvensi No. 132 menerima bahwa negara yang berbeda-beda melaksanakan Konvensi
yang sama dapat mengadopsi ketentuan mereka sendiri (mereka bahkan bisa mengatur melalui
perjanjian bersama), karena meskipum peraturan adalah norma yang lebih rendah daripada
Konvensi, hal tersebut tidak dapat membatalkan seluruh atau sebagain, tapi hanya dapat
membuatnya lebih jelas untuk penerapannya.”
Sebagai hasilnya, Pengadilan Banding Perburuhan mendasarkan keputusannya atas penafsiran
Konvensi ILO No. 132, melindungi penerapan terpisah dari perjanjian bersama dan memerintahkan bahwa
seluruh ketidakhadiran karena sakit dihitung untuk menetapkan hak cuti.
202
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Zambia
123.
Mahkamah Agung Zambia, Yurisdiksi Sipil, Standard Chartered Bank Zambia
Limited vs Peter Zulu and 118 others, 13 November 1997, No. 59 of 1996
Subyek: Larangan kerja paksa
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum domestik
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;420 perjanjian internasional
yang belum diratikasi421
Transfer kontrak kerja dari satu perusahaan ke perusahaan lain tanpa persetujuan pekerja/ Perusahaan
dianggap melakukan kerja paksa pada tingkat banding/ Pengakuan Konvensi ILO oleh Mahkamah
agung sebagai sumber untuk menafsirkan Konstitusi Zambia
Pekerja bank mengambil tindakan hukum ketika kontrak kerja mereka ditransfer keperusahaan lain
tanpa persetujuan mereka. Pengadilan Banding menganggap bahwa transfer seperti ini bertentangan
dengan Pasal 14 Konstitusi Zambia, yang melarang kerja paksa, serta Konvensi ILO di mana Zambia telah
meratikasinya.
Perusahaan mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung Zambia, yang memutuskan inter alia legalitas
atas rujukan kepada konvensi-konvensi internasional:
“Zambia telah meratikasi konvensi-konvensi ini tetapi agar mereka menjadi bagian dari hukum
kami harus memenuhi syarat-syarat yang ada dalam Konstitusi (…). Konvensi yang telah diratikasi
dapat dipakai dalam penafsiran Pasal 14 (2) Konstitusi.Hal tersebut membicarakan kerja paksa.
Pasal 14 (2) mengatur:
“Seseorang tidak boleh diminta untuk melakukan kerja paksa.”
Pasal tersebut mencoba mendenisikan “kerja paksa” tetapi suatu keadaan dapat timbul ketika
denisi tidak mencakup situasi baru dan mungkin diperlukan atau diinginkan untuk melihat
konvensi di mana Zambia menjadi anggotanya.”
Setelah menyimpulkan bahwa hukum internasional dapat menjadi sumber hukum untuk menafsirkan
Konstitusi, Mahkamah Agung Zambia menolak argumen pemohon mengenai rujukan kepada hukum
internasional.
420
Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa, 1957; Konvensi ILO No. 122 tentang Kebijakan Ketenagakerjaan,1964; Konvensi
ILO No. 158 tentang Pemutusan Hubungan Kerja,1982.
421
Konvensi ILO No. 92 tentang Akomodasi Awak Kabin (Revisi), 1949.
203
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Zimbabwe
Konstitusi Zimbabwe
Pasal 111 (b): Pengaruh Konvensi-konvensi Internasional
Kecuali diatur lain dalam Konstitusi ini atau menurut UU yng ditetapkan parlemen, setiap konvensi,
perjanjian, atau kesepakatan internasional yang disetujui, ditandatangani, atau dilaksanakan oleh atau
menurut otoritas Presiden dengan satu atau lebih negara atau pemerintahan asing atau organisasi
internasional: (…)
(b) tidak akan membentuk Hukum Zimbabwe kecuali telah dimasukkan ke dalam UU atau menurut UU
yang ditetapkan oleh parlemen.
124.
Pengadilan Hubungan Perburuhan, Frederick Mwenye vs Textile Investment
Company, 8 Mei 2001, No. LRT/MT/11/01
Subyek: pelecehan seksual
Peranan hukum internasional: penyelesaian langsung perselisihan berdasarkan hukum internasional
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi;422 kasus hukum
internasional423
Pelecehan seksual/ Kekosongan dalam legislasi nasional/ Penerapan langsung hukum internasional
untuk mendenisikan pelecehan
Seorang sekretaris mengeluhkan kepada manajer umum perusahaan tempatnya bekerja bahwa salah
seorang manajer senior telah melakukan pelecehan seksual secara terus menerus kepadanya. Manajer
senior kemudian dipecat. Ia mengajukan banding atas keputusan tersebut, dia membawa kasusnya ke
pengadilan.
Pengadilan harus menilai apakah perilaku pemohon dapat dianggap sebagai pelecehan seksual. Karena
tidak ada ketentuan nasional yang menangani isu ini, Pengadilan bergantung pada hukum internasional.
Pengadilan kemudian menetapkan sebagai berikut:
“Saya tidak tahu kasus lokal yang telah diberikan denisi yuridis dari istilah pelecehan seksual.
Dalam arti bahasa biasa, istilah tersebut merujuk pada perbuatan atau perilaku seseorang yang
tidak menyenangkan secara seksual.
Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)424,
Rekomendasi Umum No. 19 tahun 1992 mendenisikan pelecehan seksual termasuk “perilaku
seksual yang tidak bisa diterima (seperti) kontak sik, tanda-tanda seksual, menunjukkan
422
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, 1979.
423
Komite PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan: Rekomendasi Umum No. 19.
424
Penting untuk mencatat bahwa Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan bukanlah Konvensi dan bahwa
Rekomendasi Umum No. 19 adalah Rekomendasi Umum No. 19 dari Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,
Badan pengawas dari Konvensi tersebut diatas.
204
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
pornogra, baik dengan kata-kata atau tindakan.” Dalam kasus ini bukti secara jelas menunjukkan
bahwa pemohon membuat tindakan seksual yang tidak diinginkan secara berulang-ulang kepada
Nona Gwelo yang menyebabkan dia merasa terganggu dan tidak nyaman. Meskipin dia telah
secara tegas berkeberatan, pemohon terus memaksakan perbuatannya. (…)
Pelecehan seksual adalah bentuk perilaku tidak bermoral yang mengganggu martabat dan
integritas manusia. Pelecehan merendahkan nilai kebebasan berserikat. (…). Rekomendasi
Umum CEDAW Nomer 12 tahun 1989 mengakui pelecehan seksual sebagai kekerasan terhadap
perempuan.”
Setelah menetapkan adanya kekosongan dalam hukum nasional, hakim secara langsung menerapkan
ketentuan Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan,
menetapkan bahwa perilaku penggugat merupakan pelecehan seksual dan menolak banding yang dia
ajukan.
205
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Eropa
125.
Pengadilan HAM Eropa, Bagian Ketiga, Enerji Yapi-Yol Sen vs Turkey, 21 April 2009,
Application No. 68959/01
Subyek: kebebasan berserikat; hak mogok
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan UU
HAM Eropa
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi425 kasus hukum
internasional426
Kebebasan berserikat/ Hak mogok/ Larangan bertemu/ Penafsiran Pasal 11 Konvensi Eropa tentang
HAM sehubungan dengan hukum internasional
Beberapa pegawai negeri Turki yang bekerja di badan pertanahan dan sektor energi dan infrastruktur,
serta departemen konstruksi jalan motor telah mendirikan serikat pekerja yang selanjutnya bergabung
dengan federasi serikat pekerja sektor publik. Pada tahun 1996, lima hari sebelum aksi yang direncanakan
oleh federasi ini untuk mencapai pengakuan atas hak berunding bersama bagi pegawai negeri, Pemerintah
Turki menerbitkan surat edaran yang melarang pegawai negeri ikut serta dalam pertemuan mengenai
rencana pemogokan. Beberapa anggota serikat pekerja, setelah mengambil bagian dalam pemogokan
dan membuat pernyataan di hadapan media, mendapatkan tindakan disipliner. Serikat pekerja meminta
surat edaran tersebut dibatalkan, Dewan Negara menolak petisi tersebut. Pada tingkat banding oleh serikat
pekerja, Majelis Umum Dewan Negara menyetujui aturan tersebut.
Serikat pekerja kemudian menyerahkan kasusnya kepada Pengadilan HAM Eropa, mengklaim bahwa
Pemerintah Republik Turki telah melanggar Pasal 11 dan 14 Konvensi Eropa tentang HAM.
Menerapkan prinsip penafsiran yang dimuat dalam kasus Demir vs Baykara/Turkey, Pengadilan
menyokong keputusannya dengan mempertimbangkan elemen-elemen hukum internasional yang diambil
dari sumber-sumber lain, selain Konvensi Eropa tentang HAM. Setelah menegaskan bahwa pemogokan,
yang membuat serikat pekerja dapat menyuarakan kepentingannya, adalah faktor penting bagi anggota
serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya, pengadilan merujuk pada Konvensi ILO No. 87. Pengadilan
mencatat bahwa hak mogok diakui oleh badan-badan pengawas ILO sebagai jaminan terhadap hak
kebebasan berserikat yang dilindungi oleh Konvensi ILO No. 87.
Menafsirkan Pasal 11 sejalan dengan prinsip ini, pengadilan menegaskan bahwa, meskipun larangan
untuk mogok mungkin berlaku untuk beberapa kategori pegawai negeri tertentu, larangan tersebut tidak
bisa diperluas untuk diberlakukan secara umum, sebagaimana dalam kasus ini, atau pun kepada pekerja
sektor publik dari perusahaan negara baik di sektor komersial maupun industrial. Pengadilan menambahkan
bahwa surat edaran yang dibuat secara umum, menempatkan larangan mutlak atas hak mogok untuk
semua pegawai negeri, tanpa ada alasan mengenai kebutuhan akan hal tersebut, dalam masyarakat yang
demokratik, atas pembatasan dan kriminalisasi kegiatan mogok.
425
Konvensi ILO No.87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948 (diratikasi oleh Turki pada tanggal 12 Juli
1993)
426
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi; Komite ILO tentang Kebebasan Berserikat.
206
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengadilan menggunakan elemen hukum internasional selain dari Konvensi Eropa tentang HAM yang
menuntun pengadilan untuk meyimpulkan bahwa pengadopsian surat edaran tahun 1996 dan penerapannya
oleh pemerintah Turki tidaklah untuk menjawab “kebutuhan sosial yang sangat dominan” dan telah
menghalangi hak yang efektif dari serikat pekerja sebagaimana dimuat dalam Pasal 11 Konvensi.
126.
Pengadilan HAM Eropa, Kamar Utama, Demir and Baykara vs Turkey, 12 November
2008, Penerapan No. 34503/97
Subyek: kebebasan berserikat; perundingan bersama
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan UU
Ham Eropa; rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan Konvensi
Eropa tentang HAM
Jenis instrumen yang digunkan: perjanjian internasional yang telah diratikasi427, Kasus hukum
internasional428
Kebebasan berserikat/ Hak berunding bersama/ Penggunaan hukum internasional dalam menafsirkan
Konvensi Eropa tentang HAM/ Rujukan kepada hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan Konvensi Eropa tentang HAM
Serikat pekerja yang didirikan di Turki pada tahun 1990 oleh pegawai pemerintah kota, telah mencapai
perjanjian bersama dengan pihak Walikota. Ketika pihak Walikota tidak memenuhi kewajibannya menurut
perjanjian ini, serikat pekerja mengajukan kasusnya ke pengadilan negeri. Penetapan dari pengadilan
menguntungkan bagi serikat pekerja, namun ditolak pada tingkat Mahkamah Agung. Mahkamah menolak
hak serikat pekerja untuk terlibat dalam perundingan bersama dengan pihak pemerintah kota.
Pengadilan Audit, meneruskan keputusan tersebut, memerintahkan anggota serikat pekerja untuk
membayar kembali penghasilan tambahan yang telah mereka terima menurut perjanjian bersama. Walikota
yang menandatangani perjanjian bersama ini disidangkan di pengadilan pidana dan perdata karena
penyalahgunaan kekuasaan.
Seorang anggota dan ketua serikat pekerja membawa kasus ini ke Pengadilan HAM Eropa. Setelah
penetapan awal, Pengadilan menemukan pelanggaran atas Pasal 11 Konvensi Eropa tentang HAM, dan
kasusnya kemudian dirujuk ke Kamar Utama Pengadilan atas permintaan pemerintah Republik Turki, yang
mengklaim bahwa pengadilan tidak dapat, bahkan dalam hal penafsiran, menentang pemerintah dengan
perjanjian-perjanjian internasional selain dari Konvensi Eropa tentang HAM. Argumen ini ditolak oleh Kamar
Utama.
Menjelaskan metode penafsirannya, Kamar Utama menunjukkan bahwa ketentuan dalam Konvensi
Eropa tentang HAM dapat ditafsirkan sejalan dengan perjanjian internasional yang terkait dengan subyek yang
dibahas, dan juga terkait dengan aturan hukum internasional yang relevan yang dianggap sebagai “prinsip
hukum umum yang diakui oleh negara-negara yang beradab” atau ‘prinsip yang ditetapkan melalui naskah
yang lingkupnya universal” atau ”norma yang diterima secara internasional”. Pengadilan menjelaskan bahwa,
427
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948 (diratikasi oleh Turki pada tanggal 12 Juli 1993);
Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat dan Berunding Bersama,1949 (diratikasi oleh Turki pada tanggal 23 Januari 1952); Konvensi
ILO No.151 tentang Hubungan Perburuhan (Layanan Publik),1978 (diratikasi oleh Turki pada tanggal 12 Juli 1993). Pengadilan HAM Eropa
juga merujuk pada instrumen internasional lain yang telah diratikasi oleh Turki, seperti Piagam Sosial Eropa, Perjanjian Internasional tentang
Hak-hak Sipil dan Politik,1966 dan Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, 1966.
428
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi: Komite Kebebasan Berserikat ILO.
207
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
dalam mencari persamaan di antara norma-norma hukum internasional, pengadilan tidak membedakan
sumber-sumber hukum, apakah mereka telah ditandatangani dan diratikasi oleh pemerintah.
Menerapkan prinsip ini bahwa hak pegawai pemerintah daerah untuk membentuk serikat pekerja
menjadi perhatian serius, Pengadilan, dalam penafsirannya atas Pasal 11 Konvensi, merujuk pada Konvensi
ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat. Pengadilan juga mendasarkan penafsirannya pada pendapat
Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, yang dalam pengamatannya membuat
perhatian untuk pemerintah Turki, menganggap bahwa satu-satunya pengecualian dalam hak berserikat
yang diatur oleh Konvesi No. 87 adalah terkait dengan angkatan bersenjata dan polisi, dan bukan anggota
pegawai negeri lainnya.429 Berkaitan dengan pegawai pemerintah daerah, pengadilan merujuk kepada
keputusan Komite Kebebasan Berserikat dari Badan Pimpinan ILO.430 Pengadilan mengasumsikan dari
berbagai elemen bahwa pembatasan yang diatur dalam 11§2 Konvensi Eropa tentang HAM meminta
penafsiran yang ketat: pegawai pemerintah daerah tidak bisa diperlakukan sebagai pegawai pemerintah
pusat, dan memiliki hak untuk berserikat dan membentuk serikat pekerja.
Atas isu pembatalan yang retroaktif atas perjanjian bersama sebagai hasil dari penetapan Mahkamah
Agung, Pengadilan mendasarkan putusannya pada Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berserikat dan
Berunding Bersama. Pengadilan melihat bahwa, melalui Konvensi ini, sebagaimana diindikasikan dalam
Pasal 6, tidak berhubungan dengan posisi pegawai negeri sipil, Komite Ahli ILO menafsirkan ketentuan ini
dengan pengecualian hanya kepada pegawai yang memiliki aktitas administrasi negara. Dengan rujukan
ini, dan juga Konvensi ILO No.151, Pengadilan menganggap bahwa yurisprudensinya, di mana hak berunding
dan mencapai perjanjian bersama bukanlah elemen yang nyata dalam Pasal 11, perlu untuk dikaji sehingga
mempertimbangkan evolusi yang ada, baik dalam hukum internasional dan sistem hukum nasional.
Mendasarkan pada Konvensi ILO No. 87, 98, dan 151, dan pada pengamatan badan-bdan pengawas
ILO, pengadilan menetapkan bahwa telah terjadi pelanggaran pada Pasal 11 Konvensi Eropa mengenai
HAM, karena campur tangan, maka pegawai pemerintah daerah harus menderita dalam melaksanakan hak
mereka untuk mendirikan serikat pekerja, dan juga karena pembatalan retroaktif dari perjanjian bersama
yang ditandatangani oleh serikat pekerja sebagai hasil dari perundingan bersama dengan pemerintah.
429
Komite Ahli ILO tentang penerapan Konvensi dan Rekomendasi: pengamatan penerapan oleh Turki atas konvensi ILO No. 87, diterbitkan tahun
2005.
430
Kebebasan Berserikat, Intisari Keputusan dan prinsip Komite Kebebasan Berserikat badan Pimpinan ILO, Edisi revisi keempat (Jenewa,
1996), Ayat 217. Dalam versi terbaru intisari (edisi revisikelima tahun 2006), Lihat Ayat 230.
208
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Inter-Amerika
127.
Pengadilan HAM Inter-Amerika, Huilca Tecse Vs. Peru, 3 Maret 2005
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum inter-Amerika
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi431 kasus hukum
internasional432
Kebebasan Berserikat/ Kebebasan Serikat Pekerja/ Hak hidup/ Hak dan kebebasan dari sekelompok
orang untuk berserikat secara bebas, tanpa takut terhadap intimidasi/ kewajiban negara untuk
memperbolehkan serikat pekerja, federasi, konfederasi untuk beroperasi secara bebas/ Kewajiban
negara secara Internasional/ Penggunaan hukum internasional untuk memperkuat keputusan
berdasarkan hukum inter-Amerika
Komisi HAM Inter-Amerika membawa kasus hukum kepada pengadilan Inter-Amerika terhadap
Pemerintah Peru atas eksekusi extrayudisial bagi pemimpin serikat pekerja Peru. Tn. Pedro Huilca Tecse,
yang pada saat kejadian selaku Sekretaris jenderal Konfederasi Pekerja Umum Peru. Komisi mengindikasikan
bahwa eksekusi ini mungkin dijalankan oleh anggota Grupo Colina, pasukan tembak yang terhubung
dengan Badan Intelijen Angkatan Bersenjata Peru. Tindakan Hukum juga merujuk pada dugaan kurangnya
penyelidikan yang penuh, tidak memihak, dan efektif atas kejadian tersebut.
Dalam jawaban terhadap tindakan hukum tersebut, negara menerima klaim pemohon dan juga rincian
perbaikan dan biaya sipil. Pengadilan menetapkan bahwa terdapat bukti yang cukup untuk menyimpulkan
bahwa eksekusi extrayudisial terhadap Tn Pedro Huilca Tecse adalah memiliki motif politis, yang timbul
dari operasi intelijen militer yang ditoleransi oleh berbagai otoritas dan lembaga nasional. Pengadilan
menyimpulkan bahwa hak hidup dan kebebasan berserikat yang dimuat dalam Konvensi Amerika tentang
HAM telah dilanggar. Sehubungan dengan hal tersebut, pengadilan menetapkan bahwa isi dari hak
kebebasan berserikat telah dilanggar terkait dengan kebebasan serikat pekerja, karena penembakan
dimotivasi oleh fakta bahwa korban adalah pemimpin serikat pekerja oposisi. Hal tersebut memperkuat
tidak hanya kebebasan berserikat individu yang telah dibatasi tetapi juga gerakan serikat pekerja Peru
karena efek intimidasi dari eksekusi Tn.Pedro Huilca Tecse. Untuk memperkuat keputusannya, Pengadilan
merujuk pada standar regional dan internasional dan kasus hukum:
“Pengadilan mengingatkan isi Protokol San Salvador tanggal 17November 1977, dan Konvensi ILO
No. 87 mengenai Kebebasan berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat tanggal 17 Juni 1948,
di mana dalam Pasal 8 (1)(a) dan 11, memasukkan kewajiban negara untuk mengizinkan serikat
pekerja, federasi, dan konfederasi untuk berfungsi secara bebas. Peru meratikasi Konvensi ILO
No. 87 pada tanggal 2 Maret 1960.
431
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berserikat, 1948 (diratifkasi oleh Peru tanggal 2 Maret 1960);
Konvensi Amerika tentang HAM “Pakta San José, Kosta Rika”, 1969 (diratikasi oleh Peru tanggal 8 Mei 1978); Protokol Tambahan terhadap
Konvensi Amerika tentang HAM dalam bidang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (“San Salvador Protocol”), 1988 (diratikasi oleh Peru
tanggal 28 Oktober 1992).
432
Komite Kebebasan Berserikat ILO; Pengadilan HAM Eropa.
209
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Komite Kebebasan Berserikat ILO menyatakan bahwa: “Kebebasan berserikat hanya dapat
dijalankan dalam situasi di mana hak asasi dasar dijamin secara penuh dan dihormati, khususnya
yang terkait dengan kehidupan dan keselamatan individual.”
Pengadilan HAM Eropa menyatakan bahwa pelaksanaan yang efektif dari kebabasan berserikat
tidak dapat: “dikurangi hanya karena kewajiban di pihak negara untuk tidak mencampuri, suatu
konsep negatif yang tidak sesuai dengan sasaran dan tujuan dari Pasal 11 [Konvensi Eropa, di
mana] tentang beberapa situasi yang mensyaratkan adopsi tindakan-tindakan positif, bahkan
dalam hubungan individual apabila kasusnya mempertimbangkan hal tersebut.”
[…]Negara harus memastikan bahwa orang-orang dapat secara bebas melaksanakan kebebasan
berserikat tanpa rasa takut atas suatu kekerasan; bila tidak, kemampuan suatu kelompok untuk
mengaorganisasi diri mereka untuk melindungi kepentingan mereka dapat dibatasi.”433
Atas dasar Konvensi Amerika tentang HAM, dan dengan rujukan pada Konvensi ILO No. 87 dan
yurisprudensi dari Komite kebebasan Berserikat ILO dan Pengadilan HAM Eropa, Pengadilan memandang
bahwa Pemerintah Peru memegang tanggung jawab internasional karena telah melanggar hak hidup dan
kebebasan berserikat, dan menetapkan cara untuk mengganti kerugian para koban.
128
Pengadilan HAM Inter-Amerika, Baena Ricardo and others vs Panama, 2 Februari
2001
Subyek: kebebasan berserikat
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional untuk memperkuat keputusan berdasarkan
hukum inter-Amerika
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang telah diratikasi434, kasus hukum
internasional435
Hak-hak pekerja/ Hak-hak serikat pekerja/ Kebebasan berekspresi/ Kebebasan berserikat/ Hak
atas akses ke keadilan/ Hak banding efektif/ Penggunaan hukum internasional untuk memperkuat
keputusan berdasarkan hukum inter-Amerika
Komite HAM Panama mengadukan Pemerintah Panama kepada Komisi HAM Inter- Amerika (IACHR)
atas pemecatan sewenang-wenang terhadap 270 pekerja publik dan pemimpin serikat pekerja yang
mengambil bagian dalam protes terhadap kebijakan pemerintah untuk menjunjung hak-hak perburuhan
mereka. Pemecatan dilakukan setelah pemerintah menuduh orang-orang ini ikut dalam demonstrasi protes
dan terlibat dalam kudeta militer. Setelah memecat pekerja, UU (No. 25) diterbitkan setelah kejadian
tersebut, yang menetapkan bahwa tindakan terhadap pekerja yang dilakukan sebagai akibat pemecatan
harus ditangani oleh pengadilan umum, dan bukan di pengadilan perburuhan, sebagaimana peraturan yang
sekarang berlaku.
433
Ayat 74 sampai 77 Keputusan.
434
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan hak Berserikat, 1948, yang diratikasi oleh Panama tanggal 03.06.1958;
Konvensi ILO No. 98 tentang hak Berserikat dan Berunding Bersama,1949, diratikasi oleh Panama tanggal 16.05.1966; Konvensi Amerika
tentang HAM (“Pakta San José, Kosta Rika”), 1969, diratikasi Panama tanggal 08.05.1978; Protokol Tambahan terhadap Konvensi Amerika
tentang HAM dalam Bidang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (“San Salvador Protocol”), 1988, diratikasi Panama tanggal 28.10.1992
435
Komite Kebebasan Berserikat ILO; Komite Ahli ILO tentang penerapan Konvensi dan Rekomendasi.
210
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Seluruh pekerja yang kasusnya dibawa kepada pengadilan umum di-PHK. Tiga tindakan mempertanyakan
konstitusionalitas UU 25 juga dibawa kepada Mahkamah Agung. Tindakan ini adalah akumulatif dan
Mahkamah menyatakan dalam keputusannya tanggal 23 Mei 1991 bahwa UU 25 adalah konstitusional
kecuali untuk satu ayat, seraya menambahkan bahwa tindakan inkonstitusional harus dibatasi pada yang
menyatakan apakah UU tersebut konstitusional atau tidak’ dan karenanya Mahkamah tidak menetapkan
keputusan yang terkait dengan situasi yang spesik atas pekerja yang dipecat.
IACHR mencoba untuk mencapai penyelesaian yang damai antara pekerja dan pemerintah, namun
tidak berhasil dan pada tanggal 10 Desember 1997, Pemerintah Panama menolak laporan Komisi, dan
memberikan sebagai bukti “hambatan, alasan dan dasar Hukum yang mencegahnya melaksanakan
rekomendasi yang dikeluarkan oleh Komisi”. Memandang hal ini, Komisi memutuskan untuk membawa
kasusnya ke Pengadilan HAM Inter-Amerika.
Pengadilan menemukan bahwa di antara pekerja pemerintah yang telah dipecat, terdapat serikat
pekerja yang terlibat dalam beberapa klaim. Lebih lanjut, pemimpin serikat pekerja dan pekerja yang dipecat
karena aksi –yang bukan merupakan dasar untuk pemecatan, menurut UU pada saat kejadian berlangsung.
Sehingga, Pengadillan menentukan bahwa tujuan dari pembuatan UU 25 yang retroaktif telah memberikan
dasar bagi pemecatan massal atas pemimpin serikat pekerja dan pekerja di sektor publik, suatu aksi yang
merusak aksi potensial organisasi serikat pekerja pada sektor tersebut diatas.
Pengadilan juga mempertimbangkan pendapat dari Komite Kebebasan Berserikat ILO, yang telah
mengeluarkan keputusan atas kasus tertentu (Kasus 1569), dan pada komentar Komite Ahli ILO:
“Komite Kebebasan Berserikat ILO, dalam menyelesaikan Kasus No. 1569 –keputusan yang
diserahkan sebagai bukti untuk kasus di hadapan pengadilan—menganggap bahwa “pemecatan
masal atas pemimpin serikat pekerja dan pekerja pada sektor publik karena pada tanggal 5
Desember 1990 menghentikan pekerjaan adalah tindakan yang dapat secara seius menggangu
kemungkinan aksi organisasi serikat pekerja sektor publik di lembaga di mana mereka berada”
dan konsekuensinya pemecatan tersebut adalah pelanggaran yang serius terhadap Konvensi No.
98 yang terkait dengan penerapan prinsip hak berserikat dan berunding bersama.
Atas bagiannya, Komite Ahli ILO tentang Penerapan Konvensi dan Rekomendasi, dalam meyatakan
pendapatnya dalam Kasus No. 1569, sebagaimana terlihat dalam keputusan Komite Kebebasan
Berserikat di atas, mempertanyakan Pemerintah yang telah mengeluarkan UU 25, “di mana
pemecatan masal didasarkan, karena Komite menganggap hal tersebut sebagai pelanggaran
yang serius terhadap asosiasi pekerja publik dalam melaksanakan hak berserikat dari kegiatan
mereka “”.436
Sehingga, merujuk pada pandangan Komite Kebebasan Berserikat ILO dan Komite Ahli ILO tentang
Penerapan Konvensi dan Rekomendasi untuk memperkuat keputusannya, pengadilan menetapkan bahwa
Pemerintah Panama telah melanggar hak kebebasan berserikat yang dimuat dalam Pasal 16 Konvensi
Amerika tentang HAM, dan juga hak atas jaminan yudisial dan perlindungan yudisial, bersama dengan
prinsip legalitas dan non-retroaktif UU yang merugikan 270 pekerja. Pengadilan, karenanya, menetapkan
bahwa pemerintah harus mempekerjakan kembali pekerja dalam pekerjaannya dan membayar mereka
sejumlah ganti rugi sesuai dengan penghasilan mereka yang hilang.
436
Ayat 162 dan 163 Putusan.
211
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Pengadilan Uni Eropa
129.
Pengadilan Uni Eropa, Gerhard Schultz-Hoff vs Deutsche Rentenversicherung Bund and
Stringer and Others v Her Majesty’s Revenue and Customs (rujukan pada penetapan
awal dari Landesarbeitsgericht Düsseldorf and the House of Lords), 20 Januari
2009, Kasus Bersama No. C-350/06 and C-520/06
Subyek: Jam Kerja
Peranan hukum internasional: penggunaan hukum internasional sebagai panduan dalam menafsirkan
hukum komunitas
Jenis instrumen yang digunakan: perjanjian internasional yang tidak diratikasi437
Syarat-syarat kerja/ Penyelenggaraan waktu kerja/ Petunjuk 2003/88/EC/ Hak cuti tahunan yang
dibayar/ Cuti sakit/ Cuti tahunan bersamaan dengan cuti sakit/ Kompensasi untuk cuti tahunan
yang belum diambil/ Sebelum akhir kontrak karena sakit/ Penggunaan hukum internasional sebagai
panduan dalam menafsirkan hukum komunitas
Seorang pekerja Jerman dan dua pekerja inggris, satu diakui memiliki cacat yang serius, yang lainnya
sakit, tidak bekerja selama beberapa bulan karena sakit. Tidak dapat mengambil cuti tahunan yang dibayar
selama periode tersebut, mereka mengklaim tunjangan cuti tahunan yang dibayar yang belum diambil. Ketika
ditolak oleh pengusahanya masing-masing, mereka mengambil tindakan hukum di negaranya masing-masing
untuk mendapatkan penetapan yang mensyaratkan pengusahanya untuk membayar tunjangan tersebut.
Permohonan mereka ditolak atas dasar bahwa hukum domestik masing-masing negara yang bersangkutan
tidak mengaturnya. Ketentuan hukum di Jerman dan Inggris menetapkan bahwa hari libur yang dibayar
harus diambil selama tahun berjalan, dan tidak ada kompensasi yang dibayarkan pada PHK dengan cara
memberikan tunjangan nansial.
Menanyakan aturan atas tiga isu tersebut kepada Landesarbeitsgericht Düsseldorf (Jerman) dan House
of Lords (Inggris) mengenai penafsiran Pasal 7 Petunjuk 2003/88/CE dari Parlemen dan Dewan Eropa
tanggal 4 November 2003 mengenai aspek-aspek tertentu dari penyelenggaraan waktu kerja, Pengadilan
Uni Eropa bergantung pada Konvensi ILO No. 132.
Menegaskan bahwa petunjuk 2003/88, dalam pembukaan paragraf keenam, telah mempertimbangkan
prinsip ILO mengenai penyelenggaraan waktu kerja,438 Pengadilan merujuk pada Pasal 5 Ayat 4 Konvensi ILO
No. 132 mengenai cuti tahunan yang dibayar. Pengadilan kemudian menafsirkan Petunjuk dengan melihat
ketentuan Konvensi No. 132. Pengadilan menyatakan bahwa, karena pekerja berada dalam cuti sakit yang
sah, hak atas cuti tahunan yang dibayar yang diberikan oleh Petunjuk 2003/88 kepada seluruh pekerja
tidak dapat dibuat tunduk pada negara anggota terhadap kewajiban yang berlaku secara efektif selama
periode yang ditetapkan oleh negara yang bersangkutan.439
Penggunaan Konvensi ILO No. 132 sebagai sumber untuk menafsirkan Petunjuk menunjukkan
Pengadilan Uni Eropa pada aturan bahwa:
437
Konvensi ILO No. 132 tentang Hari Libur yang Dibayar (Revisi), 1970.
438
Petunjuk 2003/88/CE Parlemen dan Dewan Eropa tanggal 4 November 2003 mengenai aspek-aspek tertentu dari penyelenggaraan waktu
kerja. Pembukaan No. 6 – Prinsip ILO perlu diperhitungkan atas penyelenggaraan waktu kerja, termasuk kerja malam.
439
Kesimpulan Pembelaan Umum Ny. Verica Trstenjak, disajikan pada tanggal 24 Januari 2008, menekankan bahwa:
- meskipun Masyarakat Eropa bukan anggota ILO, seluruh negara anggota masuk ke ILO,
- mempertimbangkan rujukan kepada prinsip ILO dalam Pembukaan Ke-6 Petunjuk adalah penting untuk memperhitungkan prinsip penting
dari Konvensi ILO No. 132, yang menetapkan rujukan pada standar internasional di bidang perburuhan.
212
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Pasal 7 §1 Petunjuk 2003/88 harus ditafsirkan dengan melihat bahwa hal itu melebihi
ketentuan hukum atau praktik nasional di mana hak atas cuti tahunan yang dibayar
berakhir pada periode cuti dan/atau periode yang dibawa yang ditetapkan dalam hukum
nasional, bahkan ketika pekerja sakit selama seluruh atau sebagian pada periode cuti dan
ketidakmampuannya untuk bekerja terus ada sampai pemutusan pada hubungan kerjanya,
sehingga dia tidak dapat melaksanakan hak atas cuti tahunan yang dibayar,
Pasal 7 §2 Petunjuk 2003/88 harus ditafsirkan dengan melihat bahwa hal itu melebihi
ketentuan hukum atau praktik nasional di mana, ketika hubungan kerja diakhiri, tidak
ada tunjangan atas cuti tahunan yang dibayar yang belum diambil bisa dibayarkan kepada
pekerja yanag sakit pada periode cuti dan/atau periode yang dibawa, sehingga dia tidak
dapat melaksanakan hak atas cuti tahunan yang dibayar. Remunerasi biasa pekerja, yaitu
remunerasi yang harus dijaga selama periode istirahat yang sesuai dengan cuti tahunan
yang dibayar, juga merupakan hal yang menentukan terkait dengan perhitungan tunjangan
tersebut.
213
PENGGUNAAN HUKUM INTERNASIONAL OLEH PENGADILAN-PENGADILAN DOMESTIK
Untuk komentar, perbaikan ketidakakuratan, atau informasi atas keputusan nasional yang
baru yang merujuk pada hukum internasional, silahkan menghubungi:
Standards and Fundamental Principles and Rights at Work Programme
Internasional Training Centre of the ILO, Viale Maestri del Lavoro 10,
10127 Turin, Italia.
Phone: +39 011 6936626
Fax: +39 011 6936906
E-mail: [email protected]
214
Rangkuman Ringkasan Putusan Pengadilan
Download