tema utama REPUBLIKA ● AHAD, 23 JANUARI 2011 123MUSLIM.COM B6 WIKIMEDIA tema utama etelah Islam berkembang di kawasan sub-Sahara, raja-raja di Afrika mulai menerima kaum Muslim. Bahkan, tak sedikit raja-raja itu memeluk Islam dan mengubahnya menjadi kerajaan Islam. Dengan munculnya dinasti-dinasti Islam, perkembangan Islam dan peradabannya semakin pesat di kawasan Afrika Barat. S SULTAN MALI, MANSA MUSA MEMBANGUN MASJID ISLAM MENYEBAR DI AFRIKA BARAT SECARA BERTAHAP DAN KOMPLEKS. UFLIB.UFL.EDU.COM Oleh Heri Ruslan frika Barat. Wilayah yang terletak di bagian barat benua hitam Afrika itu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Kawasan Afrika Barat yang memiliki luas sekitar 5 juta kilometer persegi terbagi dalam 16 negara, yakni Benin, Burkina Faso, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Liberia, Mali, Niger, Nigeria, Pantai Gading, Senegal, Sierra Leone, Togo, Mauritania, dan Cape Verde. Secara geografis, wilayah Afrika Barat berbatasan dengan Samudra Atlantik di sebelah barat dan selatan, Gurun Sahara di utara, dan Gunung Kamerun hingga Danau Chad di timur. Pada abad pertengahan, Afrika Barat merupakan salah satu wilayah yang makmur dan maju—berbeda dengan kondisi saat ini. Di kawasan itu, peradaban Islam sempat mencapai puncak kejayaannya. Tak heran sejarah negara-negara di Afrika Barat didominasi oleh kisah-kisah kejayaan Islam. Prof A Rahman I Doi dalam tulisannya bertajuk Spread Islam in West A Africa, memaparkan tentang pencapaian peradaban Islam di wilayah sub-Sahara itu. Menurut Prof Rahman, kejayaan peradaban Islam di Afrika Barat telah dibuktikan para geografer dan sejarawan Muslim dengan sejumlah bukti dan fakta sejarah. Sejumlah ilmuwan dan sejarawan Muslim, seperti Al-Khawarzimi, Ibnu Munabbah, Al-Masudi, Al-Bakri, Abul Fida, Yaqut, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Ibnu Fadlallah al-’Umari, Mahmud al-Kati, Ibnu al-Mukhtar, dan Abd al-Rahman al-Sa’di adalah saksi mata yang sempat menyaksikan dan mencatat era keemasan peradaban Islam di wilayah itu. Sejak kapan Islam masuk ke Afrika Barat? Prof Rahman menuturkan, Islam mencapai wilayah Savannah pada abad ke8 M. “Ajaran Islam mulai diterima oleh Dinasti Dyaogo dari Kerajaan Tekur pada awal 850 M,” ungkap guru besar pada berbagai universitas di Afrika itu. Margari Hill, sejarawan dari Stanford University, dalam tulisannya The Spread Islam in West Africa, mengungkapkan, Islam menyebar di Afrika Barat secara bertahap dan kompleks. “Islam hadir di wilayah Afrika Barat DI DJENNE DAN dinasti dan kerajaan Islam. Kerajaan atau dinasti Islam yang terkenal dan memberi pengaruh yang sangat besar bagi peradaban, antara lain, Kerajaan Ghana, Mali, Songhay, dan Kanem Bornu. “Pada awal abad ke-11, Ghana mencapai puncak kemajuan dan secara ekonomi kerajaan Islam itu sangat makmur,” papar sejarawan Muslim, Al-Bakri. Selain itu, ia juga mencatat pada abad ke-13 M peradaban Islam di Mali begitu hebat. Bahkan, kata Al-Bakri, pengaruh peradaban Islam Mali di era kepemimpinan Mansa Musa sampai ke Sudan, Afrika Utara, bahkan Eropa. Di era keemasan Islam di wilayah Afrika Barat, jalur perdagangan antarkerajaan dan wilayah terbuka. Menurut Prof Rahman, rute perdagangan yang terkenal di wilayah itu, seperti dari Sijilmasa ke Taghaza, Awdaghast, menuju ke Kekaisaran Ghana. Selain itu, ada pula rute perjalanan dari Sijilmasa ke Tuat, Gao, dan Timbkutu. Ada pula rute lain yang menghubungkan Nigeria dengan Tripoli melalui Fez ke Bornu dan Tunisia serta Nigeria melalui Ghadames, Ghat, dan Agades ke tanah Hausa. “Rute-rute itu merupakan tempattempat pusat perdagangan yang terkenal. Pusat-pusat perdagangan selalu menjadi pusat pembelajaran Islam dan peradaban,’’ ujar Prof Rahman. Ide-ide dan pemikiran baru datang melalui para pedagang. Itulah mengapa peradaban Islam sempat mencapai puncak kejayaannya di Afrika Barat. Peradaban Islam di Afrika Barat mulai surut seiring berkuasanya penjajah Barat di wilayah itu. Kini, sebagian besar negara di kawasan itu yang dulunya sempat mencapai puncak kejayaan di era Kerajaan Islam, malah mengalami kemunduran dan bahkan tertinggal. ■ MASJID AGUNG DI Kekaisaran Ghana Salah satu kerajaan pertama yang bisa menerima Islam di Afrika Barat adalah Kekaisaran Ghana (830-1235 M). Kerajaan itu berada Mauritania dan Mali bagian barat. Menurut Prof A Rahman I Doi, keberadaan Kekaisaran Ghana sempat ditulis oleh geografer Muslim bernama al-Bakri dalam kitab Fi Masalik wal Mamalik. Menurut al-Bakri, pada 1068 M Kerajaan Ghana telah mencapai kemajuan. Secara ekonomi, negara itu begitu kaya dan makmur. Raja Kekaisaran Ghana sudah mempekerjakan Muslim sebagai penerjemah. Tak hanya itu, sebagian besar menteri dan bendahara negara adalah umat Islam. Al-Bakri pun melukiskan perkembangan Islam di Kekaisaran Ghana pada abad ke-11 M dengan seuntai kata. “Kota Ghana memiliki dua kota yang terletak pada sebuah dataran, salah satunya dihuni umat Islam dalam jumlah yang banyak. Komunitas ini memiliki 12 masjid yang biasa digunakan untuk shalat Jumat. Setiap masjid memiliki imam, muazin, serta para pembaca Alquran. Kota Muslim itu banyak memiliki ahli hukum, pengacara, dan orang-orang pintar”. GAO (1324-1325 M). WIKIMEDIA RPMEDIA.ASK Dinasti Za Dinasti Za berbasis di Kota Kukiya dan Gao di Sungai Niger River—sekarang dikenal sebagai Mali modern. Dinasti itu didirikan Za Alayaman pada abad ke-11 M. Pendiri raja itu berasal dari Yamen dan menetap di Kota Kukiya. Dinasti itu berubah menjadi kerajaan Islam setelah pada 10091010 M, Za Kusoy penguasa ke-15 memeluk Islam. Kerajaan itu ditaklukkan Kekaisaran Mali pada awal abad ke-13 M. Kekaisaran Mali Menurut sejarawan Margari Hill dari Stanford University, Kerajaan Mali didirikan oleh Raja Sunjiata Keita. Ia bukanlah seorang Muslim. Raja Mali pertama yang masuk Islam adalah Mansa Musa (1307-1332). “Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan,” ujar Hill. M .CO DU A.E INI DE.ACADEMIC.COM G VIR Oleh Heri Ruslan Tiga Tahap Perkembangan Islam di sub-Sahara jaran dan peradaban Islam tumbuh dan berkembang di kawasan Afrika Barat secara gradual (bertahap). Margari Hill, sejarawan dari Stanford University, dalam tulisannya The Spread Islam in West Africa, menyebutkan, ada tiga tahap sejarah yang telah dilalui Islam di wilayah sub-Sahara. Ketiga tahap sejarah itu, menurut Hill, adalah penahanan, pembauran, dan reformasi. Pada tahap pertama, raja-raja Afrika menahan atau membendung pengaruh Muslim dengan memisahkan komunitas Muslim. “Pada tahap kedua, penguasa Islam Afrika mencampur Islam dengan tradisi lokal,’’ ujar Hill. Pada tahap ketiga, lanjut Hill, Muslim Afrika ditekan untuk melakukan reformasi untuk menyingkirkan masyarakat dari kebiasaan mencampur tradisi lokal dengan Syariah. A Tahap penahanan: Ghana dan Tekur Di awal kehadirannya, ajaran Islam hanya dianut oleh komunitas tertentu yang terhubung dengan jalur perdagangan trans-Sahara. Pada abad ke-11 M, menurut Hill, geografer Andalusia bernama Al-Idrisi mencatat, di wilayah Ghana dan Tekur terdapat sejumlah orang Arab dan imigran dari Afrika utara. “Beberapa faktor yang menghambat perkembangan Islam di Afrika Utara adalah keberadaan kerajaan non-Muslim,” ungkap Hill. Menurut dia, para saudagar dan ulama berperan besar dalam penyebaran agama Islam di kawasan Afrika Barat. Para pedagang Muslim yang terpelajar, ungkap Hill, banyak membantu kerajaan-kerajaan non-Muslim dalam bidang administrasi kerajaan tersebut. “Mereka memfasilitasi perdagangan jarak jauh dengan membuatkan aturan kontrak, kredit, dan informasi jaringan,’’ paparnya. WIKIMEDIA Dari abad ke-8 hingga 13 M, hubungan antara Muslim dan penduduk Afrika Barat mulai meningkat. Sejak saat itu, negara Muslim mulai muncul dan berkembang di Sahel. Menurut Hill, sejak itu raja-raja Afrika mulai mengizinkan Muslim untuk berintegrasi. “Pada abad ke-11 M, dilaporkan sudah ada kerajaan Islam bernama Tekur di pertengahan lembah Senegal,’’ papar Hill. Tahap percampuran Setelah Islam berkembang pesat di subSahara, menurut Hill, penguasa Afrika mulai mengadopsi Islam. Meskipun, penduduk kerajaan itu memiliki kepercayaan dan budaya yang berbeda. “Banyak penguasa yang kemudian mencampur Islam dengan budaya dan ajaran lokal. Inilah fase yang disebut para ahli sebagai periode pencampuran.’’ Kekaisaran Mali (1215-1450 M) merupakan kerajaan yang mengadopsi Islam. Wilayah kekuasaannya mencapai Mali modern, Senegal, sebagian Mauritania, dan Guinea. Menurut Hill, kekaisaran Mali merupakan negara yang terdiri atas berbagai agama dan kelompok budaya. Kaum Muslim memiliki peranan yang penting di pengadilan sebagai pengacara dan penasihat. Di era kepemimpinan Mansa Musa, Kekaisaran Mali mengalami masa keemasan. Pada 1325 M, Timbuktu mulai dikuasai Kaisar Mali, Mansa Mussa (13071332). Raja Mali yang terkenal dengan sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan dengan warisan Islam di Timbuktu. Sepulang menunaikan haji di Makkah, Sultan Musa membawa seorang arsitek terkemuka asal Mesir bernama Abu Es Haq Es Saheli. Sang sultan menggaji arsitek itu dengan 200 kilogram emas untuk membangun Masjid Jingaray Ber, yakni masjid untuk shalat Jumat. Sultan Musa juga membangun istana kerajaannya atau Madugu di Timbuktu. Pada masa kekuasaannya, Musa juga membangun masjid di Djenne dan masjid agung di Gao (1324-1325) M. Kini tinggal tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali mulai dikenal di seluruh dunia ketika Sultan Musa menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, Makkah pada 1325 M. Sebagai penguasa yang besar, dia membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap pegawai membawa tiga kilogram emas. Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di Negeri Piramida itu langsung anjlok. Pesiar yang dilakukan sultan itu membuat Mali dan Timbuktu mulai masuk dalam peta pada abad ke-14 M. Kesuksesan yang dicapai Timbuktu membuat seorang kerabat Sultan Musa, Abu Bakar II, menjelajah samudra dengan menggunakan kapal. Abu Bakar dan tim ekspedisi maritim yang dipimpinnya meninggalkan Senegal untuk berlayar ke Lautan Atlantik. Pangeran Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan benua Amerika. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi, dan adat Mandika di Brasil. Kekaisaran Songhay Islam mulai menyebar ke wilayah Kekaisaran Songhay pada abad ke-11 Sejatinya, pendiri Kerajaan Mali bernama Sunjiata Keita bukanlah seorang Muslim. Raja Mali pertama yang masuk Islam adalah Mansa Musa (1307-1332). “Ia menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Pada 1324, Raja Mali sempat menunaikan haji ke Tanah Suci.” Kabar perjalanan haji Raja Mansa Musa ke Makkah sempat tersiar hingga ke Eropa karena kekayaan dan dana yang dikeluarkan untuk perjalanan itu begitu besar. Menurut Hill, pengeluarannya selama perjalanan ke Makkah sempat mendevaluasi harga emas di Mesir selama beberapa tahun. M. Menurut Prof Rahman, negara Songhay amat kaya karena pengaruh perdagangan dengan Gao. Pada abad ke13, kerajaan itu sempat dikuasai Kekaisaran Mali. Namun, pada akhir abad ke-14 bisa melepaskan diri ketika dipimpin oleh Sunni Ali. Di bawah kepemimpinan Raja Sunni Ali, pada periode 1464-1492 wilayah barat Sudan pun sempat dikuasai Kekaisaran Songhay. Kota Timbuktu dan Jenne yang dikenal sebagai pusat peradaban Islam juga dikuasai Sunni Ali pada 1471-1476. Sunni Ali adalah seorang Muslim. Namun, ia tetap mempraktikkan tradisi lokal dan magis. Ia kerap menghukum ulama dan cendekiawan Muslim yang mengkritisinya karena mempraktikkan kepercayaan pagan. Umat Islam dan ulama Muslim di Timbuktu bergembira setalah Sunni Ali meninggal. Dinasti Asykiya Posisinya diganti oleh Sunni Barou. Askia Muhammad Toure (Towri), seorang jenderal Songhay, meminta Barou untuk mengucap sumpah dengan cara Islam sebelum memimpin kerajaan, namun menolaknya. Muhammad Toure menggulingkannya dan mendirikan Dinasti Askiya. Pada masa kepemimpian Muhammad Toure, Islam kembali berjaya. Ia menerapkan hukum Islam, juga melatih dan mengangkat hakim-hakim baru. Muhammad Toure melindungi dan membiayai para ilmuwan, ulama, dan cendekiawan Muslim. Mereka yang berprestasi dalam bidang intelektual dan agama diberi hadiah yang melimpah. Sultan Muhammad Toure pun sangat dekat dengan ulama dan cendekiawan terkemuka Muhammad al-Maghilli. Sang sultan juga mendukung pengembangan Universitas Sankore—universitas Islam pertama di Afrika Barat. Sama seperti Mansa Musa—Sultan Mali, Askia Muhammad juga sempat menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia dikenal memiliki kedekatan dengan ulama dan penguasa di negara-negara Arab. Di Makkah, ia disambut penguasa Arab. Ia juga mendapat hadiah pedang dan gelar Khalifah Sudan Barat. Sekembalinya dari Makkah pada 1497, ia menggunakan gelar al-Hajj pada namanya. ■ Cahaya Ilmu dari Bilad al-Sudan FLICKR Oleh Heri Ruslan ada masa keemasan Kekaisaran Mali, di Timbuktu telah berdiri sebuah perguruan tinggi berkelas dunia, Universitas Sankore. Lembaga pendidikan itu menjadi salah satu incaran para pelajar Muslim dari berbagai negara di dunia. Universitas Sankore sempat menjadi obor peradaban dari Afrika Barat. Pada abad ke-12, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Dibandingkan Universitas New York di era modern sekalipun, jumlah mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sankore pada sembilan abad yang lampau masih jauh lebih banyak. Padahal, jumlah penduduk Kota Timbuktu di masa itu hanya berjumlah 100 ribu jiwa. Penulis asal Prancis, Felix Dubois, dalam bukunya bertajuk Timbuctoo the Mysterious mengungkapkan, Universitas Sankore telah menerapkan standar dan persyaratan yang tinggi bagi para calon mahasiswa dan alumninya. Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas dunia karena lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip. Jumlah risalah sebanyak itu dengan tema yang beragam dinilai kalangan sejarawan sungguh sangat fenomenal. “Koleksi risalah kuno yang ditinggalkan kepada kita di Universitas Sankore membuktikan daya tarik dan kehebatan institusi pendidikan tinggi itu,” papar sejarawan Runoko Rashidi. “Fakta ini juga mampu mematahkan mitos selama ini yang menyatakan bahwa masyarakat Afrika lebih dominan dengan budaya tutur,” cetus Emad al-Turk, pimpinan dan salah satu pendiri Internasional Museum of Muslim Cultures (IMMC). Hal itu juga membuktikan bahwa masyarakat Afrika memiliki budaya baca dan kebudayaan yang sangat tinggi, apalagi pada abad ke-12 hingga 16 M. ■ P CDN.WN.COM TIMBUKTU, KOTA PERADABAN Tahap Reformasi pada abad ke-19 Pada abad ke-19 M, menurut Hill, terjadi gerakan jihad di Afrika Barat. Inilah fase ketiga perkembangan Islam di sub-Sahara. Para pemikir, ulama, dan Muslim terpelajar mulai menyadari pentingnya melakukan reformasi. Umat Muslim mulai mengubah praktik keagamaan mereka yang sempat dicampurbaurkan penguasa Afrika dengan budaya dan kepercayaan lokal dengan mengadopsi nilai-nilai Islam yang sesuai syariah. Gerakan reformasi ini melahirkan kekhalifahan Sokoto di Tanah Hausa dan negara Umarian di Senegambia. ■ FLICKR Oleh Heri Ruslan KEKUASAANNYA, Menapak Jejak Islam di Afrika Barat B7 Dinasti-dinasti Islam di Afrika Barat FLICKR PADA MASA (Senegal, Gambia, Guinea, Burkina Faso, Niger, Mali, dan Nigeria) pada abad ke-8,’’ tuturnya. Menurut Prof Rahman, Dinasti Dya’ogo merupakan orang Negro pertama yang menerima Islam di Afrika Barat. Karenanya, para sejarawan Muslim menyebut wilayah Kerajaan Tekur dengan julukan Bilad al-Tekur atau “Tanah Muslim Hitam”. Ajaran Islam, menurut Prof Rahman— mengutip catatan Ibnu Munabbah yang bertarikh 738 M dan Al-Masudi pada 947—masuk dan berkembang di wilayah Afrika Barat melalui jalur perdagangan. Setelah memeluk Islam, penguasa Tekur pertama yang menjadi Muslim benama War-Jabi mulai menerapkan syariat Islam. Undang-undang kerajaan itu diubah sesuai dengan syariat. Tak heran kemudian Islam memberi dampak yang begitu hebat bagi penduduk negeri itu. Di era kejayaan Islam, Kerajaan Tekur adalah wilayah yang aman, damai, dan tenang. Geografer dan penjelajah Muslim bernama Al-Idrisi pada 1511 M pernah mengunjungi wilayah itu. Tekur, ibu kota kerajaan itu, menurut AlIdrisi, menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan. Para pedagang dari Maroko datang ke kota itu untuk menjual wol dan pulang membawa emas dan manik-manik. “Kita memiliki dokumen yang cukup tentang daerah itu (Tekur), sejak wilayah itu dikenal oleh sejarawan Arab sebagai Bilad al-Sudan (Tanah Orang-orang Hitam),” papar Rahman. Seiring berkembangnya agama Islam, menurut para sejarawan, di wilayah subSahara itu kemudian berdiri sejumlah REPUBLIKA ● AHAD, 23 JANUARI 2011 Oleh Heri Ruslan dan makmur. Sejarawan abad XVI, Leo Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu dalam buku yang ditulisnya. “Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang sangat memuaskan dari Raja Askia Muhammad—penguasa Negeri Songhay. Raja pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat AMAZONAWS.COM imbuktu, Mali merupakan kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di Afrika Barat. Pada abad ke-12 M, Timbuktu telah menjelma sebagai salah satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam termasyhur. Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat menjadi sentra perdagangan terkemuka di dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera T belajar,” tutur Africanus. Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan dan peradaban tumbuh sangat pesat di Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap orang berlomba membeli dan mengoleksi buku, sehingga perdagangan buku di kota itu menjanjikan keuntungan yang lebih besar dibanding bisnis lainnya. Tombouctou—begitu orang Prancis menyebut Timbuktu—adalah sebuah kota di negara Mali, Afrika Barat. Kota multietis itu dihuni oleh suku Songhay, Tuareg, Fulani, dan Moor. Secara geografis, Timbuktu terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Niger. Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi pelabuhan penting—tempat beragam barang dari Afrika Barat dan Afrika Utara FLICKR diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Di Timbuktu, garam dijual atau ditukar dengan emas. Kemakmuran kota itu menarik perhatian para sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam, dan saudagar Arab dari Afrika Utara. Garam, buku, dan emas menjadi tiga komoditas unggulan yang begitu tinggi angka permintaannya pada era itu. Garam berasal dari wilayah Tegaza dan emas diproduksi dari tambang emas di Boure dan Banbuk. Sedangkan, buku dicetak dan diproduksi para sarjana berkulit hitam dan ilmuwan dari Sanhaja. Proses pembangunan pertama kali berlangsung di Timbuktu pada awal abad ke-12 M. Para arsitek Afrika dari Djenne dan arsitek Muslim dari Afrika Utara mulai membangun kota itu. Pembangunan di Timbuktu berlangsung menandai berkembang pesatnya perdagangan dan ilmu pengetahuan. Saat itu, Raja Soso diserbu Kerajaan Ghana sehingga para ilmuwan dari Walata eksodus ke Timbuktu. Timbuktu pun menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Pada abad ke-12 M, Timbuktu telah memiliki tiga universitas serta 180 sekolah Alquran. Ketiga universitas Islam itu adalah Sankore University, Jingaray Ber University, dan Sidi Yahya University. Sayangnya, kini Timbuktu menjadi kota yang terisolasi. ■