B6 tema utama B7 tema utama

advertisement
tema utama
REPUBLIKA ● AHAD, 23 JANUARI 2011
123MUSLIM.COM
B6
WIKIMEDIA
tema utama
etelah Islam berkembang di
kawasan sub-Sahara, raja-raja
di Afrika mulai menerima
kaum Muslim. Bahkan, tak
sedikit raja-raja itu memeluk
Islam dan mengubahnya
menjadi kerajaan Islam. Dengan munculnya dinasti-dinasti Islam, perkembangan
Islam dan peradabannya semakin pesat di
kawasan Afrika Barat.
S
SULTAN MALI,
MANSA MUSA
MEMBANGUN MASJID
ISLAM MENYEBAR DI
AFRIKA BARAT SECARA
BERTAHAP DAN
KOMPLEKS.
UFLIB.UFL.EDU.COM
Oleh Heri Ruslan
frika Barat. Wilayah yang
terletak di bagian barat
benua hitam Afrika itu
identik dengan kemiskinan
dan keterbelakangan.
Kawasan Afrika Barat yang
memiliki luas sekitar 5 juta kilometer
persegi terbagi dalam 16 negara, yakni
Benin, Burkina Faso, Gambia, Ghana,
Guinea, Guinea Bissau, Liberia, Mali, Niger,
Nigeria, Pantai Gading, Senegal, Sierra
Leone, Togo, Mauritania, dan Cape Verde.
Secara geografis, wilayah Afrika Barat
berbatasan dengan Samudra Atlantik di
sebelah barat dan selatan, Gurun Sahara di
utara, dan Gunung Kamerun hingga Danau
Chad di timur. Pada abad pertengahan,
Afrika Barat merupakan salah satu
wilayah yang makmur dan maju—berbeda
dengan kondisi saat ini. Di kawasan itu,
peradaban Islam sempat mencapai puncak
kejayaannya.
Tak heran sejarah negara-negara di
Afrika Barat didominasi oleh kisah-kisah
kejayaan Islam. Prof A Rahman I Doi dalam
tulisannya bertajuk Spread Islam in West
A
Africa, memaparkan tentang pencapaian
peradaban Islam di wilayah sub-Sahara itu.
Menurut Prof Rahman, kejayaan
peradaban Islam di Afrika Barat telah
dibuktikan para geografer dan sejarawan
Muslim dengan sejumlah bukti dan fakta
sejarah. Sejumlah ilmuwan dan sejarawan
Muslim, seperti Al-Khawarzimi, Ibnu
Munabbah, Al-Masudi, Al-Bakri, Abul Fida,
Yaqut, Ibnu Batutah, Ibnu Khaldun, Ibnu
Fadlallah al-’Umari, Mahmud al-Kati, Ibnu
al-Mukhtar, dan Abd al-Rahman al-Sa’di
adalah saksi mata yang sempat menyaksikan dan mencatat era keemasan
peradaban Islam di wilayah itu.
Sejak kapan Islam masuk ke Afrika
Barat? Prof Rahman menuturkan, Islam
mencapai wilayah Savannah pada abad ke8 M. “Ajaran Islam mulai diterima oleh
Dinasti Dyaogo dari Kerajaan Tekur pada
awal 850 M,” ungkap guru besar pada
berbagai universitas di Afrika itu.
Margari Hill, sejarawan dari Stanford
University, dalam tulisannya The Spread
Islam in West Africa, mengungkapkan,
Islam menyebar di Afrika Barat secara
bertahap dan kompleks. “Islam
hadir di wilayah Afrika Barat
DI DJENNE DAN
dinasti dan kerajaan Islam. Kerajaan atau
dinasti Islam yang terkenal dan memberi
pengaruh yang sangat besar bagi peradaban, antara lain, Kerajaan Ghana, Mali,
Songhay, dan Kanem Bornu.
“Pada awal abad ke-11, Ghana mencapai puncak kemajuan dan secara ekonomi
kerajaan Islam itu sangat makmur,” papar
sejarawan Muslim, Al-Bakri. Selain itu, ia
juga mencatat pada abad ke-13 M
peradaban Islam di Mali begitu hebat.
Bahkan, kata Al-Bakri, pengaruh peradaban Islam Mali di era kepemimpinan Mansa
Musa sampai ke Sudan, Afrika Utara,
bahkan Eropa.
Di era keemasan Islam di wilayah Afrika
Barat, jalur perdagangan antarkerajaan
dan wilayah terbuka. Menurut Prof
Rahman, rute perdagangan yang terkenal
di wilayah itu, seperti dari Sijilmasa ke
Taghaza, Awdaghast, menuju ke
Kekaisaran Ghana.
Selain itu, ada pula rute perjalanan dari
Sijilmasa ke Tuat, Gao, dan Timbkutu. Ada
pula rute lain yang menghubungkan
Nigeria dengan Tripoli melalui Fez ke
Bornu dan Tunisia serta Nigeria melalui
Ghadames, Ghat, dan Agades ke tanah
Hausa.
“Rute-rute itu merupakan tempattempat pusat perdagangan yang terkenal.
Pusat-pusat perdagangan selalu menjadi
pusat pembelajaran Islam dan peradaban,’’
ujar Prof Rahman. Ide-ide dan pemikiran
baru datang melalui para pedagang. Itulah
mengapa peradaban Islam sempat mencapai puncak kejayaannya di Afrika Barat.
Peradaban Islam di Afrika Barat mulai
surut seiring berkuasanya penjajah Barat
di wilayah itu. Kini, sebagian besar negara
di kawasan itu yang dulunya sempat mencapai puncak kejayaan di era Kerajaan
Islam, malah mengalami kemunduran dan bahkan tertinggal. ■
MASJID AGUNG DI
Kekaisaran Ghana
Salah satu kerajaan pertama yang bisa
menerima Islam di Afrika Barat adalah
Kekaisaran Ghana (830-1235 M). Kerajaan
itu berada Mauritania dan Mali bagian
barat. Menurut Prof A Rahman I Doi, keberadaan Kekaisaran Ghana sempat ditulis
oleh geografer Muslim bernama al-Bakri
dalam kitab Fi Masalik wal Mamalik.
Menurut al-Bakri, pada 1068 M
Kerajaan Ghana telah mencapai kemajuan. Secara ekonomi, negara itu begitu
kaya dan makmur. Raja Kekaisaran Ghana
sudah mempekerjakan Muslim sebagai
penerjemah. Tak hanya itu, sebagian
besar menteri dan bendahara negara
adalah umat Islam.
Al-Bakri pun melukiskan perkembangan Islam di Kekaisaran Ghana pada abad
ke-11 M dengan seuntai kata. “Kota
Ghana memiliki dua kota yang terletak
pada sebuah dataran, salah satunya
dihuni umat Islam dalam jumlah yang
banyak. Komunitas ini memiliki 12 masjid
yang biasa digunakan untuk shalat Jumat.
Setiap masjid memiliki imam, muazin,
serta para pembaca Alquran. Kota Muslim
itu banyak memiliki ahli hukum, pengacara, dan orang-orang pintar”.
GAO (1324-1325 M).
WIKIMEDIA
RPMEDIA.ASK
Dinasti Za
Dinasti Za berbasis di Kota Kukiya dan
Gao di Sungai Niger River—sekarang
dikenal sebagai Mali modern. Dinasti itu
didirikan Za Alayaman pada abad ke-11 M.
Pendiri raja itu berasal dari Yamen dan menetap di Kota Kukiya. Dinasti itu berubah
menjadi kerajaan Islam setelah pada 10091010 M, Za Kusoy penguasa ke-15
memeluk Islam. Kerajaan itu ditaklukkan
Kekaisaran Mali pada awal abad ke-13 M.
Kekaisaran Mali
Menurut sejarawan Margari Hill dari
Stanford University, Kerajaan Mali
didirikan oleh Raja Sunjiata Keita. Ia
bukanlah seorang Muslim. Raja Mali
pertama yang masuk Islam adalah Mansa
Musa (1307-1332). “Ia menjadikan Islam
sebagai agama resmi kerajaan,” ujar Hill.
M
.CO
DU
A.E
INI
DE.ACADEMIC.COM
G
VIR
Oleh Heri Ruslan
Tiga Tahap
Perkembangan
Islam di
sub-Sahara
jaran dan peradaban Islam tumbuh
dan berkembang di kawasan Afrika
Barat secara gradual (bertahap).
Margari Hill, sejarawan dari Stanford
University, dalam tulisannya The Spread
Islam in West Africa, menyebutkan, ada tiga
tahap sejarah yang telah dilalui Islam di
wilayah sub-Sahara.
Ketiga tahap sejarah itu, menurut Hill,
adalah penahanan, pembauran, dan reformasi.
Pada tahap pertama, raja-raja Afrika menahan
atau membendung pengaruh Muslim dengan
memisahkan komunitas Muslim. “Pada tahap
kedua, penguasa Islam Afrika mencampur
Islam dengan tradisi lokal,’’ ujar Hill.
Pada tahap ketiga, lanjut Hill, Muslim
Afrika ditekan untuk melakukan reformasi
untuk menyingkirkan masyarakat dari
kebiasaan mencampur tradisi lokal dengan
Syariah.
A
Tahap penahanan: Ghana dan Tekur
Di awal kehadirannya, ajaran Islam hanya
dianut oleh komunitas tertentu yang terhubung dengan jalur perdagangan trans-Sahara.
Pada abad ke-11 M, menurut Hill, geografer
Andalusia bernama Al-Idrisi mencatat, di
wilayah Ghana dan Tekur terdapat sejumlah
orang Arab dan imigran dari Afrika utara.
“Beberapa faktor yang menghambat
perkembangan Islam di Afrika Utara adalah
keberadaan kerajaan non-Muslim,” ungkap
Hill. Menurut dia, para saudagar dan ulama
berperan besar dalam penyebaran agama
Islam di kawasan Afrika Barat.
Para pedagang Muslim yang terpelajar, ungkap Hill, banyak membantu kerajaan-kerajaan
non-Muslim dalam bidang administrasi kerajaan
tersebut. “Mereka memfasilitasi perdagangan
jarak jauh dengan membuatkan aturan kontrak,
kredit, dan informasi jaringan,’’ paparnya.
WIKIMEDIA
Dari abad ke-8 hingga 13 M, hubungan
antara Muslim dan penduduk Afrika Barat
mulai meningkat. Sejak saat itu, negara
Muslim mulai muncul dan berkembang di
Sahel. Menurut Hill, sejak itu raja-raja Afrika
mulai mengizinkan Muslim untuk berintegrasi. “Pada abad ke-11 M, dilaporkan sudah
ada kerajaan Islam bernama Tekur di pertengahan lembah Senegal,’’ papar Hill.
Tahap percampuran
Setelah Islam berkembang pesat di subSahara, menurut Hill, penguasa Afrika mulai
mengadopsi Islam. Meskipun, penduduk kerajaan itu memiliki kepercayaan dan budaya
yang berbeda. “Banyak penguasa yang kemudian mencampur Islam dengan budaya dan
ajaran lokal. Inilah fase yang disebut para ahli
sebagai periode pencampuran.’’
Kekaisaran Mali (1215-1450 M) merupakan kerajaan yang mengadopsi Islam.
Wilayah kekuasaannya mencapai Mali
modern, Senegal, sebagian Mauritania, dan
Guinea. Menurut Hill, kekaisaran Mali merupakan negara yang terdiri atas berbagai
agama dan kelompok budaya.
Kaum Muslim memiliki peranan yang penting
di pengadilan sebagai pengacara dan penasihat.
Di era kepemimpinan Mansa Musa,
Kekaisaran Mali mengalami masa
keemasan. Pada 1325 M, Timbuktu mulai
dikuasai Kaisar Mali, Mansa Mussa (13071332). Raja Mali yang terkenal dengan
sebutan Kan Kan Mussa itu begitu terkesan
dengan warisan Islam di Timbuktu.
Sepulang menunaikan haji di Makkah,
Sultan Musa membawa seorang arsitek
terkemuka asal Mesir bernama Abu Es
Haq Es Saheli. Sang sultan menggaji
arsitek itu dengan 200 kilogram emas
untuk membangun Masjid Jingaray Ber,
yakni masjid untuk shalat Jumat.
Sultan Musa juga membangun istana
kerajaannya atau Madugu di Timbuktu.
Pada masa kekuasaannya, Musa juga
membangun masjid di Djenne dan masjid
agung di Gao (1324-1325) M. Kini tinggal
tersisa fondasinya saja. Kerajaan Mali
mulai dikenal di seluruh dunia ketika
Sultan Musa menunaikan ibadah haji di
Tanah Suci, Makkah pada 1325 M.
Sebagai penguasa yang besar, dia
membawa 60 ribu pegawai dalam perjalanan menuju Makkah. Hebatnya, setiap
pegawai membawa tiga kilogram emas.
Itu berarti dia membawa 180 ribu kilogram emas. Saat Sultan Musa dan rombongannya singgah di Mesir, mata uang di
Negeri Piramida itu langsung anjlok.
Pesiar yang dilakukan sultan itu
membuat Mali dan Timbuktu mulai
masuk dalam peta pada abad ke-14 M.
Kesuksesan yang dicapai Timbuktu
membuat seorang kerabat
Sultan Musa, Abu Bakar II,
menjelajah samudra dengan
menggunakan kapal. Abu
Bakar dan tim ekspedisi
maritim yang dipimpinnya
meninggalkan Senegal
untuk berlayar ke Lautan
Atlantik. Pangeran
Kerajaan Mali itu kemungkinan yang menemukan
benua Amerika. Hal itu
dibuktikan dengan keberadaan bahasa, tradisi,
dan adat Mandika di
Brasil.
Kekaisaran Songhay
Islam mulai menyebar ke
wilayah Kekaisaran
Songhay pada abad ke-11
Sejatinya, pendiri Kerajaan Mali bernama
Sunjiata Keita bukanlah seorang Muslim. Raja
Mali pertama yang masuk Islam adalah Mansa
Musa (1307-1332). “Ia menjadikan Islam
sebagai agama resmi kerajaan. Pada 1324, Raja
Mali sempat menunaikan haji ke Tanah Suci.”
Kabar perjalanan haji Raja Mansa Musa ke
Makkah sempat tersiar hingga ke Eropa
karena kekayaan dan dana yang dikeluarkan
untuk perjalanan itu begitu besar. Menurut
Hill, pengeluarannya selama perjalanan ke
Makkah sempat mendevaluasi harga emas di
Mesir selama beberapa tahun.
M. Menurut Prof Rahman, negara
Songhay amat kaya karena pengaruh
perdagangan dengan Gao. Pada abad ke13, kerajaan itu sempat dikuasai
Kekaisaran Mali.
Namun, pada akhir abad ke-14 bisa
melepaskan diri ketika dipimpin oleh
Sunni Ali. Di bawah kepemimpinan Raja
Sunni Ali, pada periode 1464-1492
wilayah barat Sudan pun sempat dikuasai
Kekaisaran Songhay. Kota Timbuktu dan
Jenne yang dikenal sebagai pusat
peradaban Islam juga dikuasai Sunni Ali
pada 1471-1476.
Sunni Ali adalah seorang Muslim.
Namun, ia tetap mempraktikkan tradisi
lokal dan magis. Ia kerap menghukum
ulama dan cendekiawan Muslim yang
mengkritisinya karena mempraktikkan
kepercayaan pagan. Umat Islam dan
ulama Muslim di Timbuktu bergembira
setalah Sunni Ali meninggal.
Dinasti Asykiya
Posisinya diganti oleh Sunni Barou.
Askia Muhammad Toure (Towri), seorang
jenderal Songhay, meminta Barou untuk
mengucap sumpah dengan cara Islam
sebelum memimpin kerajaan, namun menolaknya. Muhammad Toure menggulingkannya dan mendirikan Dinasti Askiya.
Pada masa kepemimpian Muhammad
Toure, Islam kembali berjaya. Ia menerapkan hukum Islam, juga melatih dan mengangkat hakim-hakim baru. Muhammad
Toure melindungi dan membiayai para
ilmuwan, ulama, dan cendekiawan
Muslim. Mereka yang berprestasi dalam
bidang intelektual dan agama diberi
hadiah yang melimpah.
Sultan Muhammad Toure pun sangat
dekat dengan ulama dan cendekiawan
terkemuka Muhammad al-Maghilli. Sang
sultan juga mendukung pengembangan
Universitas Sankore—universitas Islam
pertama di Afrika Barat.
Sama seperti Mansa Musa—Sultan
Mali, Askia Muhammad juga sempat
menunaikan ibadah haji ke Makkah. Ia
dikenal memiliki kedekatan dengan ulama
dan penguasa di negara-negara Arab. Di
Makkah, ia disambut penguasa Arab. Ia
juga mendapat hadiah pedang dan gelar
Khalifah Sudan Barat. Sekembalinya dari
Makkah pada 1497, ia menggunakan
gelar al-Hajj pada namanya. ■
Cahaya Ilmu dari
Bilad al-Sudan
FLICKR
Oleh Heri Ruslan
ada masa keemasan Kekaisaran Mali, di Timbuktu telah
berdiri sebuah perguruan tinggi berkelas dunia,
Universitas Sankore. Lembaga pendidikan itu menjadi
salah satu incaran para pelajar Muslim dari berbagai
negara di dunia. Universitas Sankore sempat menjadi obor peradaban dari Afrika Barat.
Pada abad ke-12, jumlah mahasiswa yang menimba ilmu di
Universitas Sankore mencapai 25 ribu orang. Dibandingkan
Universitas New York di era modern sekalipun, jumlah mahasiswa asing yang belajar di Universitas Sankore pada sembilan
abad yang lampau masih jauh lebih banyak.
Padahal, jumlah penduduk Kota Timbuktu di masa itu hanya
berjumlah 100 ribu jiwa. Penulis asal Prancis, Felix Dubois, dalam
bukunya bertajuk Timbuctoo the Mysterious mengungkapkan,
Universitas Sankore telah menerapkan standar dan persyaratan
yang tinggi bagi para calon mahasiswa dan alumninya.
Universitas Sankore diakui sebagai perguruan tinggi berkelas
dunia karena lulusannya mampu menghasilkan publikasi
berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini
di Timbuktu, Mali ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain
itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20
juta manuskrip.
Jumlah risalah sebanyak itu dengan tema yang beragam
dinilai kalangan sejarawan sungguh sangat fenomenal. “Koleksi
risalah kuno yang ditinggalkan kepada kita di Universitas
Sankore membuktikan daya tarik dan kehebatan institusi pendidikan tinggi itu,” papar sejarawan Runoko Rashidi.
“Fakta ini juga mampu mematahkan mitos selama ini yang
menyatakan bahwa masyarakat Afrika lebih dominan dengan
budaya tutur,” cetus Emad al-Turk, pimpinan dan salah satu
pendiri Internasional Museum of Muslim Cultures (IMMC). Hal
itu juga membuktikan bahwa masyarakat Afrika memiliki
budaya baca dan kebudayaan yang sangat tinggi, apalagi pada
abad ke-12 hingga 16 M. ■
P
CDN.WN.COM
TIMBUKTU, KOTA PERADABAN
Tahap Reformasi pada abad ke-19
Pada abad ke-19 M, menurut Hill, terjadi
gerakan jihad di Afrika Barat. Inilah fase
ketiga perkembangan Islam di sub-Sahara.
Para pemikir, ulama, dan Muslim terpelajar
mulai menyadari pentingnya melakukan
reformasi. Umat Muslim mulai mengubah
praktik keagamaan mereka yang sempat
dicampurbaurkan penguasa Afrika dengan
budaya dan kepercayaan lokal dengan mengadopsi nilai-nilai Islam yang sesuai syariah.
Gerakan reformasi ini melahirkan kekhalifahan Sokoto di Tanah Hausa dan negara
Umarian di Senegambia. ■
FLICKR
Oleh Heri Ruslan
KEKUASAANNYA,
Menapak Jejak Islam
di Afrika Barat
B7
Dinasti-dinasti Islam di Afrika Barat
FLICKR
PADA MASA
(Senegal, Gambia, Guinea, Burkina Faso,
Niger, Mali, dan Nigeria) pada abad ke-8,’’
tuturnya.
Menurut Prof Rahman, Dinasti Dya’ogo
merupakan orang Negro pertama yang
menerima Islam di Afrika Barat.
Karenanya, para sejarawan Muslim menyebut wilayah Kerajaan Tekur dengan
julukan Bilad al-Tekur atau “Tanah Muslim
Hitam”.
Ajaran Islam, menurut Prof Rahman—
mengutip catatan Ibnu Munabbah yang
bertarikh 738 M dan Al-Masudi pada
947—masuk dan berkembang di wilayah
Afrika Barat melalui jalur perdagangan.
Setelah memeluk Islam, penguasa Tekur
pertama yang menjadi Muslim benama
War-Jabi mulai menerapkan syariat Islam.
Undang-undang kerajaan itu diubah
sesuai dengan syariat. Tak heran kemudian
Islam memberi dampak yang begitu hebat
bagi penduduk negeri itu. Di era kejayaan
Islam, Kerajaan Tekur adalah wilayah yang
aman, damai, dan tenang. Geografer dan
penjelajah Muslim bernama Al-Idrisi pada
1511 M pernah mengunjungi wilayah itu.
Tekur, ibu kota kerajaan itu, menurut AlIdrisi, menjadi pusat perdagangan dan
pemerintahan.
Para pedagang dari Maroko datang ke
kota itu untuk menjual wol dan pulang
membawa emas dan manik-manik. “Kita
memiliki dokumen yang cukup tentang
daerah itu (Tekur), sejak wilayah itu
dikenal oleh sejarawan Arab sebagai Bilad
al-Sudan (Tanah Orang-orang Hitam),”
papar Rahman.
Seiring berkembangnya agama Islam,
menurut para sejarawan, di wilayah subSahara itu kemudian berdiri sejumlah
REPUBLIKA ● AHAD, 23 JANUARI 2011
Oleh Heri Ruslan
dan makmur. Sejarawan abad XVI, Leo
Africanus, menggambarkan kejayaan Timbuktu
dalam buku yang ditulisnya.
“Begitu banyak hakim, doktor, dan ulama di
sini (Timbuktu). Semua menerima gaji yang
sangat memuaskan dari Raja Askia
Muhammad—penguasa Negeri Songhay. Raja
pun menaruh hormat pada rakyatnya yang giat
AMAZONAWS.COM
imbuktu, Mali merupakan kota terpenting dalam sejarah peradaban Islam di
Afrika Barat. Pada abad ke-12 M,
Timbuktu telah menjelma sebagai salah
satu kota pusat ilmu pengetahuan dan peradaban Islam termasyhur.
Di era kejayaan Islam, Timbuktu juga sempat
menjadi sentra perdagangan terkemuka di
dunia. Rakyat Timbuktu pun hidup sejahtera
T
belajar,” tutur Africanus.
Di era keemasan Islam, ilmu pengetahuan
dan peradaban tumbuh sangat pesat di
Timbuktu. Rakyat di wilayah itu begitu gemar
membaca buku. Menurut Africanus, permintaan buku di Timbuktu sangat tinggi. Setiap
orang berlomba membeli dan mengoleksi buku,
sehingga perdagangan buku di kota itu
menjanjikan keuntungan yang lebih besar
dibanding bisnis lainnya.
Tombouctou—begitu orang Prancis menyebut
Timbuktu—adalah sebuah kota di negara Mali,
Afrika Barat. Kota multietis itu dihuni oleh suku
Songhay, Tuareg, Fulani, dan Moor. Secara
geografis, Timbuktu terletak sekitar 15
kilometer dari Sungai Niger.
Sejak abad ke-11 M, Timbuktu mulai menjadi
pelabuhan penting—tempat beragam barang
dari Afrika Barat dan Afrika Utara
FLICKR
diperdagangkan. Pada era itu, garam merupakan produk yang amat bernilai. Di Timbuktu,
garam dijual atau ditukar dengan emas.
Kemakmuran kota itu menarik perhatian para
sarjana berkulit hitam, pedagang kulit hitam,
dan saudagar Arab dari Afrika Utara.
Garam, buku, dan emas menjadi tiga
komoditas unggulan yang begitu tinggi angka
permintaannya pada era itu. Garam berasal dari
wilayah Tegaza dan emas diproduksi dari
tambang emas di Boure dan Banbuk.
Sedangkan, buku dicetak dan diproduksi para
sarjana berkulit hitam dan ilmuwan dari
Sanhaja.
Proses pembangunan pertama kali berlangsung di Timbuktu pada awal abad ke-12 M.
Para arsitek Afrika dari Djenne dan arsitek
Muslim dari Afrika Utara mulai membangun
kota itu. Pembangunan di Timbuktu berlangsung menandai berkembang pesatnya perdagangan dan ilmu pengetahuan. Saat itu, Raja
Soso diserbu Kerajaan Ghana sehingga para
ilmuwan dari Walata eksodus ke Timbuktu.
Timbuktu pun menjelma menjadi pusat pembelajaran Islam serta sentra perdagangan. Pada
abad ke-12 M, Timbuktu telah memiliki tiga
universitas serta 180 sekolah Alquran. Ketiga
universitas Islam itu adalah Sankore University,
Jingaray Ber University, dan Sidi Yahya
University. Sayangnya, kini Timbuktu menjadi
kota yang terisolasi. ■
Download