View/Open - Repository | UNHAS

advertisement
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umur simpan merupakan suatu informasi tentang ketahanan
produk selama penyimpanan (daya awet). Keterangan umur simpan
produk pangan merupakan salah satu informasi yang wajib dicantumkan
oleh produsen pada label kemasan produk pangan. Pencantuman
informasi umur simpan menjadi sangat penting karena terkait dengan
keamanan produk pangan untuk memberikan jaminan mutu pada saat
produk sampai ke tangan konsumen. Informasi umur simpan produk juga
sangat penting bagi banyak pihak, baik produsen, konsumen, penjual dan
distributor.
Penelitian mengenai umur simpan di Indonesia relatif kurang
dibanding dengan potensi dan keragaman produk pangan yang ada
(Herawati,
2008).
mencantumkan
Masih
batas
atau
banyak
produk
umur
simpan
pangan
produk
yang
belum
tersebut
pada
kemasannya, seperti dodol rumput laut. Sedang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa umur simpan merupakan hal yang cukup penting
karena salah satu ciri produk bermutu tinggi dan berdaya saing adalah
memiliki umur simpan yang jelas.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukanlah penelitian mengenai
“Pendugaan Umur Simpan Dodol Rumput Laut (Euchema cottoni L.)
menggunakan Metode Accelerated Shelf Life Testing”.
2
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada bagian latar belakang, permasalahan
pokok yang dihadapi dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya umur
simpan pada dodol rumput laut. Sedangkan diketahui bersama bahwa
informasi mengenai umur simpan produk merupakan hal yang penting
karena terkait lansung dengan tingkat keamanannya.
C. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dilakukan penelitian ini, untuk menduga umur simpan dodol
rumput laut.
Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi
kepada produsen, distributor, konsumen dan stakeholder yang memiliki
kepentingan mengenai umur simpan dari dodol rumput laut.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dodol Rumput Laut
Dodol adalah salah satu jenis makanan tradisional yang termasuk
kelompok pangan semi basah. Dodol mempunyai sifat-sifat umum yaitu
plastis, padat, dan mempunyai kisaran aw 0,60 hingga 0,90 dan kadar air
sekitar 10 hingga 40% (Haliza, 1992).
Dodol rumput laut dibuat dengan menambahkan rumput laut untuk
meningkatkan nilai guna dari rumput laut. Dodol rumput laut memiliki
prospek-prospek yang baik untuk dikembangkan. Banyak manfaat yang
diperoleh dari dodol rumput laut diantaranya adalah mengandung banyak
dietary fiber, yaitu serat makanan yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan manusia. Dodol rumput laut diolah dengan menggunakan
bahan utama rumput laut jenis Eucheuma cottoni. Dodol rumput laut
berwarna cokelat kemerahan dan kenyal (Gambar 1) (Hambali, 2004).
Gambar 1. Dodol rumput laut
4
Kandungan nutrisi rumput laut (Euchema cottoni L.) yaitu terdiri dari
air 27,8%, protein sebesar 5,4%; karbohidrat 33,3%; lemak 8,6%; serat
kasar 3%; abu sebesar 22,25%. Selain itu rumput laut juga mengandung
enzim, asam nukleat, asam amino, vitamin (A,B,C,D, E dan K) dan makro
mineral seperti nitrogen, oksigen, kalsium dan selenium serta mikro
mineral seperti zat besi, magnesium dan natrium. Kandungan asam
amino, vitamin dan mineral rumput laut mencapai 10-20 kali lipat
dibandingkan dengan tanaman darat (Hambali, 2004). Sedangkan
kandungan nutrisi dodol rumput laut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi kimia dodol rumput laut
Komposisi
Kadar abu
Kadar air
Kadar protein
Kadar lemak
Kadar karbohidrat
Kadar serat kasar
Kadar iodium
Nilai (%)
0,22
15,85
1,56
0,95
76,92
3,10
3,18
Sumber: Abdullah, (2002).
Dodol umumnya memiliki sifat plastis, padat, dan daya awet
bervariasi. Karakteristik dodol ditentukan oleh komposisi bahan-bahan
yang dikandungnya dan proses pemasakannya. Bahan-bahan yang
digunakan untuk pembuatan dodol rumput laut kering adalah gula dan
bahan tambahan lainnya seperti serbuk kayu manis. Diagram alir
pembuatan dodol rumput laut disajikan pada Gambar 2.
5
Rumput laut kering
Pencucian
Perendaman + jeruk nipis
Penghancuran dengan blender (1000 mL)
Penambahan gula merah (500 mL) &
serbuk kayu manis (5g)
Pemasakan hingga kalis
Pencetakan
Pendinginan
Pengeringan
Dodol rumput laut
Pengemasan
Gambar 2.
Diagram alir pembuatan dodol rumput laut
6
Tabel 2. Syarat mutu dodol berdasarkan SNI Dodol 01- 2986 -1992
Kriteria Uji
Satuan
Keadaan :
1.1 Bau
1.2 Rasa
1.3 Warna
Air, %, b/b
Jumlah gula sebagai sakarosa,
%, b/b
Protein (N x 6,25), %, b/b
Lemak, %, b/b
Bahan Tambahan Makanan
Pemanis Buatan
Cemaran Logam :
8.1. Timbal (Pb), mg/kg
8.2. Tembaga (Cu), mg/kg
8.3. Seng (Zn), mg/kg
Arsen (As), mg/kg
Cemaran Mikroba :
10.1. Angka lempeng total
10.2. E.coli
10.3. Kapang dan Khamir
Persyaratan
Normal
Normal, khas
Normal
Maks.20
Min. 45
Min.3
Min.7
Sesuai SNI.0222-M dan
Peraturan
Men
Kes.
No.722/Men.Kes/Per/IX/88
Tidak ternyata
Maks.1,0
Maks. 10,0
Maks. 40,0
Maks. 0,5
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Maks. 5,0 x 102
<3
Maks. 1,0 x 102
Sumber: Departemen Perindustrian (1992).
Kriteria dodol yang baik berdasarkan pengamatan dari tabel di atas
adalah aroma khas bahan yang digunakan dan tidak tengik, rasa pada
umumya manis, gurih dan khas bahan yang digunakan serta warna pada
umumnya
berwarna
coklat
yang
merupakan
warna
khas
dodol
(Departemen Perindustrian, 1992).
B. Kemasan
Kemasan merupakan suatu wadah atau pembungkus yang
digunakan untuk melindungi produk yang ada di dalamnya. Jenis-jenis
bahan kemasan yang umum digunakan untuk bahan pangan adalah
7
kemasan gelas, kemasan logam, kemasan plastik, kemasan kertas dan
karton. Kemasan plastik adalah jenis kemasan yang paling banyak
digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif lebih murah,
lebih ringan, transparan, kuat, mudah dibentuk, warna dan bentuk relatif
lebih disukai konsumen (Buckle et al. 2007). Fungsi kemasan antara lain
menjaga produk agar tetap bersih dari berbagai kotoran dan pencemaran
lainnya; melindungi produk dari kerusakan fisik dan kontaminasi luar;
memberi kemudahan dalam proses distribusi dan penyimpanan; serta
memberi identifikasi dan informasi mengenai isi produk yang dikemas
kepada konsumen (Robertson, 2010).
Kemasan yang digunakan dapat mempengaruhi mutu bahan
pangan yang dikemas, yaitu terjadinya perubahan fisik dan kimia karena
migrasi zat-zat kimia dari bahan pengemas ke makanan, perubahan
aroma, perubahan warna, serta perubahan tekstur yang disebabkan oleh
perpindahan uap air dan oksigen (Syarief, 1990).
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan
pangan antara lain sifat bahan pangan, kondisi lingkungan, dan jenis
bahan pengemas yang digunakan. Hubungan jenis bahan pengemas
dengan daya awet bahan pangan yang dikemas ditentukan berdasarkan
permeabilitasnya. Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas
melalui kemasan baik dari produk ke lingkungan ataupun sebaliknya.
Permeabilitas uap air kemasan merupakan kecepatan atau laju transmisi
uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu akibat
8
adanya perbedaan tekanan uap air antara produk dengan lingkungan
pada suhu dan kelembaban tertentu. Semakin luas permukaan kemasan
yang digunakan maka uap air yang masuk ke lingkungan akan semakin
tinggi dan akan tersebar lebih meluas di dalam kemasan, sehingga kadar
air kritis produk pun akan segera tercapai dan umur simpan produk tidak
lama (Robertson, 2010).
Polipropilena berasal dari monomer propilena yang diperoleh dari
pemurnian minyak bumi. Polipropilena merupakan jenis bahan baku
plastik yang ringan, densitas 0,90 – 0,92, memiliki kekerasan dan
kerapuhan yang paling tinggi dan bersifat kurang stabil terhadap panas
dikarenakan adanya hidrogen tersier. Penggunaan bahan pengisi dan
penguat memungkinkan polipropilena memiliki mutu kimia yang baik
sebagai bahan polimer dan tahan terhadap pemecahan karena tekanan
(stress-cracking) walaupun pada temperatur tinggi. Plastik polypropylene
merupakan jenis plastik yang baik sebagai barrier terhadap uap air pada
produk karena memiliki permeabilitas uap air yang rendah (Manley, 2000).
Jenis plastik oriented polypropilene memiliki permeabilitas sebesar
0,0739 gH2O/m2.hari.mmHg (Nugroho, 2007). Plastik jenis ini merupakan
jenis plastik yang baik sebagai barrier terhadap uap air pada karena
memiliki permeabilitas uap air yang cukup rendah. Semakin kecil nilai
permeabilitas uap air kemasan, maka umur simpan produk pangan yang
dikemasa akan semakin lama (Manley, 2000).
9
Sifat-sifat kemasan polypropylene (PP) menurut Buckle et al.,
(2007) antara lain sebagai berikut:
1. Mengkilap dan tidak mudah sobek.
2. Plastik polypropylene lebih kaku daripada polyethylene.
3. Memiliki daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah.
4. Memiliki ketahanan yang baik terhadap lemak.
5. Tahan terhadap suhu tinggi.
C. Umur Simpan
Definisi umur simpan (shelf life) berdasarkan Institute of Food
Technology (1974) adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat
konsumsi, sedang kondisi produk masih memuaskan pada sifat-sifat:
penampakan, rasa-aroma, tekstur, dan nilai gizi. National Food Processor
Association (1978) menyatakan bahwa suatu produk dikatakan berada
pada kisaran umur simpannya bila kualitas produk secara umum dapat
diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan konsumen dan selama
bahan pengemas masih memiliki integritas memproteksi isi kemasan.
Sedangkan Floros dan Gnanasekharan (1993) menyatakan bahwa umur
simpan adalah waktu yang diperlukan oleh produk pangan dalam suatu
kondisi penyimpanan untuk sampai pada suatu level (Suswini, 2009).
Pengolahan pangan pada industri komersial umumnya bertujuan
memperpanjang
masa simpan, meningkatkan karakteristik produk,
mempermudah penanganan dan distribusi, memberikan lebih banyak
pilihan dan ragam produk pangan di pasaran, meningkatkan nilai
10
ekonomis bahan baku, serta mempertahankan atau meningkatkan mutu.
Kriteria atau komponen mutu yang penting pada komoditas pangan
adalah keamanan, kesehatan, flavor, tekstur, warna, umur simpan
kemudahan, kehalalan, dan harga (Andarwulan dan Hariyadi, 2004).
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi dalam
bahan
pangan
bersifat
kumulatif
dan
tidak
dapat
balik
penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi
selama
tersebut
mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu
akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak dapat
diterima lagi disebut waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak
apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui
masa simpan optimumnya (Syarief & Halid, 1993).
Peraturan mengenai penentuan umur simpan bahan pangan telah
dikeluarkan oleh Codex Allimentarius Commission pada tahun 1985
tentang Food Labelling Regulation. Di Indonesia, peraturan mengenai
penentuan umur simpan bahan pangan terdapat dalam UU Pangan No. 7
tahun 1996 dan PP No.69 tahun 1999 (Herawati, 2008).
Penetapan umur simpan dan parameter sensori sangat penting pada
tahap penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Pada skala
industri besar atau komersial, umur simpan ditentukan berdasarkan hasil
analisis di laboratorium yang didukung hasil evaluasi distribusi di
lapangan. Berkaitan dengan berkembangnya industri pangan skala usaha
kecil-menengah, dipandang perlu untuk mengembangkan penentuan
11
umur simpan produk sebagai bentuk jaminan keamanan pangan.
Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha kecil
menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas,
dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Herawati, 2008).
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada
produk
pangan
menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur
simpan. Titik kritis ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat
sensitif serta dapat menimbulkan terjadinya perubahan mutu pangan
selama distribusi, penyimpanan hingga siap konsumsi (Herawati, 2008).
Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan
Produk
Teh kering
Susu bubuk
Makanan
beku
laut
Mekanisme Penurunan
Mutu
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air dan
oksidasi
kering Oksidasi
dan
fotodegradasi
Makanan bayi
Makanan kering
Sayuran kering
Kol kering
Tepung biji kapas
Tepung tomat
Biji-bijian
Keju
Bawang kering
Buncis hijau
Keripik kentang
Udang kering beku
Tepung Gandum
Minuman ringan
Penyerapan uap air
Penyerapan uap air
Kriteria Kadaluarsa
Peningkatan kadar air
Pencoklatan dan laju
konsumsi O2
Aktivitas air
Konsentrasi
asam
askorbat
Off flavor- perubahan
warna
Penyerapan uap air
Pencoklatan
Penyerapan uap air
Pencoklatan
Penyerapan uap air
Konsentrasi
asam
askorbat
Penyerapan uap air
Peningkatan kadar air
Penyerapan uap air
Tekstur
Penyerapan uap air
Pencoklatan
Penyerapan uap air
Konsentrasi klorofil
Penyerapan uap air
Laju oksidasi
Penyerapan uap air dan Laju konsumsi O2
oksidasi
Oksidasi
Konsentrasi karoten
Penyerapan uap air dan Konsentarsi
asam
Oksidasi
askorbat
Pelepasan CO2
Perubahan tekanan
Sumber: Herawati (2008).
12
Penggunaan indikator mutu dalam menentukan umur simpan (shelf
life) produk siap masak atau siap saji bergantung pada kondisi saat
penentuan umur simpan tersebut dilakukan (Kusnandar 2004).
Hasil
percobaan
penentuan
umur
simpan
hendaknya
dapat
memberikan informasi tentang umur simpan pada kondisi ideal, umur
simpan pada kondisi tidak ideal, dan umur simpan pada kondisi distribusi
dan penyimpanan normal dan penggunaan oleh konsumen. Suhu ekstrim
atau tidak normal akan mempercepat terjadinya penurunan mutu produk
dan sering diidentifikasi sebagai suhu pengujian umur simpan produk
(Hariyadi, 2004). Pengendalian suhu, kelembapan, dan penanganan fisik
yang tidak baik dapat dikategorikan sebagai kondisi distribusi pangan
yang tidak normal. Kondisi distribusi dan suhu akan menentukan umur
simpan produk pangan (Herawati, 2008).
1. Prinsip Pendugaan Umur Simpan
Salah satu kendala yang sering dihadapi industri pangan dalam
penentuan masa kedaluwarsa produk adalah waktu. Pada praktiknya,
menurut Hariyadi (2004), ada lima pendekatan yang dapat digunakan
untuk menduga masa kedaluwarsa, yaitu:
a. Nilai pustaka (literature value). Nilai pustaka sering digunakan
dalam penentuan awal atau sebagai pembanding dalam penentuan
produk pangan karena keterbatasan fasilitas yang dimiliki produsen
pangan.
13
b. Distribution turn over. Distribution turn over merupakan cara
menentukan umur simpan produk pangan berdasarkan informasi
produk sejenis yang terdapat di pasaran. Pendekatan ini dapat
digunakan pada produk pangan yang proses pengolahannya,
komposisi bahan yang digunakan, dan aspek lain sama dengan
produk sejenis di pasaran dan telah ditentukan umur simpannya.
c. Distribution abuse test. Distribution abuse test merupakan cara
penentuan umur simpan produk berdasarkan hasil analisis produk
selama penyimpanan dan distribusi di lapangan, atau mempercepat
proses penurunan mutu dengan penyimpanan pada kondisi ekstrim.
d. Consumer complaints. Pada penentuan umur simpan berdasarkan
komplain konsumen, produsen menghitung nilai umur simpan
berdasarkan komplain atas produk yang didistribusikan.
e. Accelerated Shelf Life Testing (ASLT). Untuk mempersingkat
waktu, penentuan umur simpan dapat dilakukan dengan ASLT di
laboratorium.
2. Accelarated Shelf Life Testing (ASLT)
Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS atau
sering
disebut
dengan
ASLT
dilakukan
dengan
menggunakan
parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses
penurunan mutu produk pangan. Salah satu keuntungan metode ASLT
yaitu waktu pengujian relatif singkat dengan ketepatan dan akurasi
tinggi. Hal ini diterjemahkan dengan menetapkan asumsi-asumsi yang
14
mendukung model. Variasi hasil prediksi antara model yang satu
dengan yang lain pada produk yang sama dapat terjadi akibat ketidaksempurnaan model dalam mendiskripsikan sistem, yang terdiri atas
produk, bahan pengemas, dan lingkungan (Arpah, 2007).
Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi
normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur
simpan dapat ditentukan (Arfah dan Syarief, 2000).
Penentuan umur simpan produk dengan metode Accelerated
Shelf Life Testing (ASLT) dapat dilakukan dengan dua pendekatan,
yaitu: 1) pendekatan kadar air kritis dengan teori difusi dengan
menggunakan perubahan kadar air dan aktivitas air sebagai kriteria
kadaluwarsa, dan 2) pendekatan semiempiris dengan bantuan
persamaan Arrhenius (Koswara, 2004).
Kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh adanya
penyerapan air oleh produk selama penyimpanan. Kerusakan produk
dapat diamati dari penurunan kekerasan atau kerenyahan, dan atau
peningkatan kelengketan atau penggumpalan. Laju penyerapan air oleh
produk pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air
murni pada suhu udara tertentu, permeabilitas uap air dan luasan
kemasan yang digunakan, kadar air awal produk, berat kering awal
produk,
kadar
air
kritis,
kadar
air
kesetimbangan
pada
RH
penyimpanan, dan slope kurva isoterm sorpsi air, faktor-faktor tersebut
diformulasikan oleh Labuza (1982) menjadi
model matematika dan
15
digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model
matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan yang
memiliki kurva isotermis sorpsi air berbentuk sigmoid. Labuza (1982)
memformulasikan persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut:
𝜃=
(Me−Mi)
ln
(Me−Mc)
k A Po
( )
x Ws b
Keterangan:
Θ
= Waktu perkiraan umur simpan (hari)
Me
= Kadar air keseimbangan produk (g H2O/g padatan)
Mi
= Kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
b
= Slove kurva sorpsi isotermis
Mc
= Kadar air kritis (g H2O/g padatan)
𝑘
= Permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
𝑥
A
= Luas permukaan kemasan (m2)
Ws
= Berat kering produk dalam kemasan (g padatan)
Po
= tekanan uap jenuh (mmHg)
(03)
16
D. Aktivitas Air (aw)
Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan
dengan sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat
digunakan sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan.
Karena itulah muncul istilah aktivitas air (water activity, aw) yang
digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam
suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi (Syarief
dan Halid, 1993).
Aktivitas air (aw) merupakan faktor utama yang mempengaruhi
keamanan pangan dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan
untuk menjabarkan air yang tidak terikat dalam bahan pangan. Kadar air
dan aktivitas air berpengaruh besar terhadap laju reaksi kimia dan laju
pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan yang pada akhirnya
berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan produk pangan
selama penyimpanan (De man, 2007). Kadar air dan aktivitas air akan
mempengaruhi sifat-sifat fisik dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahanperubahan kimia, kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis
terutama pada makanan yang tidak diolah (Fennema, 1985).
Secara matematis Labuza (1982) diacu dalam Arfah (2007)
mendefinisikan bahwa aktivitas air (aw) dari suatu bahan pangan sebagai
perbandingan antara tekanan uap air pada bahan pangan (P f) dengan
tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama:
aw =
Pf
Po
(1)
17
Aktivitas air ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban relatif
keseimbangan (Equilibrium Relatif Humidity, ERH) dibagi dengan 100
(Labuza, 1982 diacu pada Arpah, 2007):
aw =
ERH
(2)
100
Aktivitas air (aw) menunjukkan sifat bahan itu sendiri, sedangkan
ERH menggambarkan sifat lingkungan di sekitarnya yang berada dalam
keadaan seimbang dengan bahan tersebut. Dengan kata lain, peranan air
dalam bahan pangan biasanya dinyatakan dalam kadar air dan aktivitas
air sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam kelembaban relatif
dan kelembaban mutlak. Bertambah atau berkurangnya kandungan air
suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan sangat tergantung
pada ERH lingkungannya (Dasa, 2011).
E. Kadar Air Keseimbangan (Moisture Equilibrium, Me)
Kadar air keseimbangan suatu bahan didefinisikan sebagai tingkat
kadar air dari bahan tersebut setelah berada pada suatu kondisi
lingkungannya dalam periode waktu yang lama (Brooker et al., 1992).
Sedangkan menurut Heldman dan Singh (1981), kadar air kesetimbangan
suatu bahan adalah kadar air bahan tersebut saat tekanan uap air dari
bahan
tersebut
dalam
kondisi
seimbang
dengan
lingkungannya,
sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar keseimbangan
tersebut disebut kelembaban relatif keseimbangan.
18
Kadar air keseimbangan berguna untuk menentukan bertambah
atau berkurangnya kadar air pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu.
Penentuan kadar air keseimbangan dapat menggunakan dua metode
yaitu, metode statistik dan metode dinamik. Pada metode statistik, kadar
air keseimbangan bahan yang diperoleh pada keadaan udara diam.
Metode statistik digunakan untuk keperluan penyimpanan karena pada
umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Sedangkan pada
metode dinamik, kadar air keseimbangan bahan diperoleh pada udara
bergerak. Metode ini biasanya digunakan pada proses pengeringan
(Brooker et al., 1992).
F. Sorpsi Isotermis
Karakteristik hidratasi bahan pangan diartikan sebagai karakteristik
fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air di
udara sekitarnya. Sedangkan proses yang terjadi selama penyimpananan
sampel di berbagai RH adalah proses absorpsi dan desorpsi. Absorpsi
adalah proses penyerapan uap air oleh bahan dari lingkungan dan
desorpsi adalah pelepasan uap air bahan ke lingkungan. Secara umum
sifat-sifat hidratasi ini dapat digambarkan dalam sebuah kurva isotermis,
yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan pangan
dengan kelembaban relatif seimbang ruang tempat penyimpanan atau
aktivitas air (aw) pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Hubungan
antara keadaan air dalam bahan pangan dan aktivitas air disajikan pada
Tabel 4.
19
Tabel 4.
Hubungan antara aktivitas air (aw) dan keadaan fisik air dalam
bahan pangan
aw
0,00 – 0,35
0,35 – 0,60
0,60 – 1,00
Sumber:
Keadaan air di dalam bahan pangan
Adsorpsi air pada lapisan tunggal (monolayer)
Adsorpsi air pada lapisan tambahan (multilayer)
Air terkondensasi pada kapiler/pori-pori yang dilanjutkan
dengan disolusi padatan terlarut
Gunasekharan dan John (1993)
Pengetahuan tentang sopsi isotermis suatu bahan pangan akan
sangat membantu dalam penentuan jenis bahan pengemas yang
dibutuhkan dan memprediksi karakteristik kondisi penyimpanan yang
sesuai
serta
masa
simpannya
(Mir
dan
Nath,
1995)
sehingga
pertumbuhan mikroba yang menyebabkan kerusakan pada bahan pangan
dapat dihindari (Boente et al., 1996). Selain itu berguna juga untuk
menghitung waktu pengeringan, memprediksi kondisi keseimbangan
dalam suatu campuran produk dengan nilai a w yang berbeda (Chirife dan
Iglesias, 1978).
G. Model Persamaan Sorpsi Isotermis
Model matematika mengenai sorpsi isotermis telah banyak
ditemukan oleh para ahli. Namun model-model matematika yang
dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakup keseluruhan kurva
sorpsi isotermis. Kesesuaian tiap model sorpsi isotermis produk pangan
tergantung pada kisaran aw dan bahan penyusun produk (Arpah, 2007).
Beberapa
kendala
yang
dihadapi
dalam
menyusun
suatu
persamaan yang dapat menjelaskan kurva sorpsi isotermis pada
keseluruhan selang aw yang ada dan dapat diaplikasikan untuk berbagai
20
jenis bahan pangan menurut Chirife dan Iglesias (1978) adalah sebagai
berikut:
1. Perubahan aw pada bahan pangan dipengaruhi oleh kombinasi
berbagai macam faktor yang masing-masing mendominasi dalam
selang-selang aw berbeda.
2. Sorpsi isotermis suatu bahan pangan menggambarkan kemampuan
higroskopis yang kompleks dan dipengaruhi oleh interaksi baik fisik
maupun kimia antara komponen-komponen bahan pangan tersebut
yang diinduksi oleh proses pemanasan atau perlakuan awal lainnya.
3. Pada saat bahan pangan menyerap air dari lingkungannya, bahan
tersebut pada umumnya akan mengalami perubahan, baik perubahan
fisik maupun perubahan kimia dan lainnya.
Penggunaan model sorpsi isotermis juga sangat bergantung dari
tujuan pemakaian, jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi
maka model yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya yang
dievaluasi akan lebih mudah penggunaannya (Labuza, 1982).
Ada beberapa model matematika yang umumnya digunakan untuk
menentukan
kurva
sorpsi
isotermis
bahan
pangan,
yaitu
model
Henderson, Caurie, Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris,
Henderson mengemukakan persamaan yang menggambarkan hubungan
antara kadar air kesetimbangan bahan pangan dengan kelembaban relatif
ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk bahan pangan pada semua
aktivitas air. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan bahan pangan pada
21
selang aw 0,0-0,85 dan model Oswin berlaku untuk bahan pangan pada
RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi kurva sorpsi isotermis yang
berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen Clayton berlaku untuk bahan
pangan
pada
semua
aktivitas
air.
Pada
percobaanya
Hasley
mengemukakan suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses
kondensasi pada lapisan multilayer.
Persamaan tersebut dapat
digunakan untuk bahan makanan dengan kelembaban relatif 10-81%
(Arpah 2007). Adapun persamaan dari model-model tersebut disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan
Model
Henderson
Caurie
Oswin
Chen Clayton
Hasley
Sumber: Dasa, (2011)
Persamaan
1-aw = exp (-KMen)
ln Me = ln P1 – P2*aw
Me =P1[aw/(1-aw)]P2
aw = exp [-P1/exp(P2*Me)]
aw=exp [-P1/(Me)P2]
22
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Pendugaan umur simpan dodol rumput laut (Euchema cottoni L.)
dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama merupakan tahap
observasi langsung proses pembuatan dodol rumput laut, dilaksanakan
pada tanggal Januari 2012 di tempat produksi UKM. Sinar Laut, Jalan
Hambali No.162, Tangga-Tangga, Kecamatan Bisappu, Kabupaten
Bantaeng. Tahap kedua yaitu tahap perhitungan nilai parameter umur
simpan pada Januari hingga Maret 2012 di Laboratorium Analisa Kimia
dan Pengawasan Mutu
Pangan, Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan
Teknologi Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
 desikator
 stoples modifikasi (humidic chambers)
 cawan
 termometer
 oven
 timbangan analitik Sartorius TE214S
 penjepit,
(Readibilitas 0,0001g)
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
 dodol
rumput
laut
UKM. Sinar Laut
produksi
 potasium klorida
 barium klorida
 natrium hidroksia
 aquades
 magnesium klorida

plastisin,
23
 kemasan
 potasium karbonat
 natrium klorida
produk
(oriented
polipropylene)
C. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode Accelerated Shelf Life Testing
(ASLT). Prosedur kerjanya antara lain:
1. Pengukuran Kadar Air Awal (Moisture Initial, Mi)
a. Cawan bersih kosong dikeringkan dalam oven bersuhu kurang lebih
105oC selama satu jam
b. Didinginkan dalam desikator selama kurang lebih 15 menit dan
ditimbang (W 1).
c. Sejumlah 2 gram sampel (W 2) dalam cawan dimasukkan dalam oven
bersuhu 105oC selama enam jam sampai mencapai berat konstan.
d. Cawan yang berisi sampel didinginkan dalam desikator lalu
ditimbang (W 3). Kadar air awal dihitung dengan rumus:
KA Mi =
(𝑊2 )− (𝑊3 −𝑊1 )
(𝑊3 −𝑊1 )
gH2 O/gsolid
(04)
2. Pengukuran Kadar Air Kritis (Moisture Critical, Mc)
a. Sampel disimpan pada kondisi RH 76% dengan menggunakan
larutan NaCl jenuh.
b. Secara periodik (tiap 24 jam) dilakukan uji penerimaan panelis
terhadap kenampakan produk.
24
c. Setiap hari dilakukan perhitungan rata-rata skor uji penerimaan,
hingga rata-rata mencapai nilai 2 (tidak suka) ditetapkan bahwa
produk telah berapa pada kondisi kritis.
d. Dilakukan pengukuran kadar air kritis dengan metode oven seperti
yang dilakukan pada poin 1 di atas. Kemudian kadar air kritis
dihitung dengan rumus:
KA Mc =
(𝑊2 )− (𝑊3 −𝑊1 )
(𝑊3 −𝑊1 )
gH2 O/gsolid
(05)
3. Penentuan Kurva Sorpsi Isotermis
a. Dilakukan preparasi larutan garam jenuh.
b. Ditimbang sejumlah garam dan dimasukkan ke dalam humidic
chamber. Jumlah garam dan air yang diperlukan disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah garam dan air untuk preparasi larutan garam jenuh
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Jenis Garam
NaOH (H2O)
MgCl2.6H2O
K2CO3
KI
NaCl
KCl
BaCl2.2H2O
RH
(%)
7
32
43
69
76
84
90
Kuantitas
Garam
Air (mL)
(gram)
150
85
200
25
200
90
200
50
200
60
200
80
250
70
Sumber: Agus (2004)
c. Diaduk dan ditambahkan sejumlah air sampai jenuh untuk menjaga
kejenuhan larutan sehingga kelembaban relatif yang dihasilkan tetap
dan tidak mengganggu proses sorpsi.
d. Humidic chambers ditutup dan dibiarkan selama 24 jam pada kondisi
suhu 30oC.
25
e. Diambil 5 gram produk dodol rumput laut yang telah dikemas.
f. Dodol rumput laut digantungkan dalam humidic chamber yang berisi
larutan garam jenuh.
g. Sampel ditimbang bobotnya secara periodik (tiap 24 jam) sampai
diperoleh bobot yang konstan, berarti kadar air kesetimbangan terlah
tercapai.
h. Sampel yang telah mencapai berat konstan diukur kadar airnya
dengan menggunakan metode oven dan dinyatakan dalam basis
kering sepeprti pada poin 1.
i. Dibuat kurva sorpsi isotermis dengan memplotkan kadar air dan
aktivitas air keseimbangan. Aktivitas air (aw) dihitung dengan
membagi nilai RH masing-masing humidic chambers dengan 100.
4. Penentuan Model Sorpsi Isotermis
a. Nilai kadar air kesetimbangan (Moisture Equilibrium, Me) bersama
dengan aw, dimasukkan dalam model persamaan sorpsi isothermis
Chen Clayton, Henderson, Hasley, Caurie, dan Oswin.
b. Kelima model persamaan sorpsi isotermis dievaluasi nilai Mean
Relative Deviation (MRD). Jika nilai MRD <5 maka model sorpsi
isotermis tersebut dapat menggambarkan keadaan yang sebenarnya
atau sangat tepat. Jika 5<MRD <10 maka model tersebut agak tepat
menggambarkan keadaan sebenarnya dan jika MRD>10 maka
model tersebut tidak tepat menggambarkan kondisi sebenarnya.
MRD =
100
𝑛
∑𝑛𝑖=1 |
𝑀𝑖−𝑀𝑝𝑖
𝑀𝑖
|
(06)
26
Mi
= Kadar air percobaan
Mpi = Kadar air hasil perhitungan
n
= Jumlah data
5. Penentuan Parameter Pendukung
𝑘
a. Nilai permeabilitas kemasan (𝑥 ), diperoleh dari rujukan kepustakaan.
b. Nilai tekanan uap jenuh (Po) pada suhu 30oC diperoleh dari tabel
Labuza.
c. Nilai b (kemiringan kurva) diperoleh dari gradien kurva model
persamaan sorpsi isotermis yang terpilih.
d. Nilai luas penampang (A) diperoleh dengan mengalikan dimensi
kemasan.
e. Nilai total padatan (Ws) diperoleh dengan mengoreksi berat
keseluruhan sampel diperkurangkan dengan kadar air awal.
6. Pendugaan Umur Simpan
Semua parameter yang diukur dan ditetapkan pada tahap
sebelumnya, antara lain: Mi, Mc, Me, k/x, Po, b, A dan Ws
diintegrasikan ke dalam persamaan Labuza di bawah ini
(Me−Mo)
𝜃=
ln (Me−Mc)
k A Po
( )
x Ws b
Keterangan:
Θ
= Waktu perkiraan umur simpan (hari)
Me = Kadar air keseimbangan produk (g H2O/g padatan)
(07)
27
Mi = Kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
b
= Slove kurva sorpsi isotermis
Mc = Kadar air kritis (g H2O/g padatan)
𝑘
𝑥
A
= Permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
= Luas permukaan kemasan (m2)
Ws = Berat kering produk dalam kemasan (g padatan)
Po = tekanan uap jenuh (mmHg)
28
29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Parameter Pendugaan Umur Simpan
Umur simpan produk dodol rumput laut ditentukan dengan metode
Accelerated Shelf Life Testing dengan pendekatan model air kritis. Prinsip
utama dari model ini adalah menentukan kadar air kesetimbangan (Me)
produk dodol rumput laut yang disimpan pada berbagai RH. Hubungan
data kadar air kesetimbangan dodol rumput laut dengan RH penyimpanan
akan menghasilkan kurva isotermis. Kurva ini dapat digunakan untuk
mengetahui pola penyerapan uap air dodol rumput laut dari lingkungan,
sehingga umur simpan dodol rumput laut dapat ditentukan menggunakan
persamaan Labuza.
Umur simpan produk yang dihitung melalui persamaan Labuza,
adalah umur simpan pada RH 78%. Nilai RH ini dipilih untuk mewakili
kondisi penyimpanan produk dodol rumput laut oleh konsumen. Adapun
parameter-parameter yang harus dipenuhi untuk menentukan kadar umur
simpan produk dodol rumput laut dengan metode Accelerated Shelf Life
Testing adalah kadar air awal (Moisture Initial, Mi), kadar air kritis
(Moisture Critical, Mc), kadar air kesetimbangan (Moisture Equilibrium,
Me), penentuan kurva sorpsi isotermis, penentuan model sorpsi isotermis,
penentuan kemiringan kurva (b) sorpsi isotermis serta penentuan
𝑘
parameter pendukung lainnya seperti permeabilitas kemasan (𝑥 ), bobot
padatan per kemasan (Ws), luas permukaan kemasan (A) dan tekanan
uap murni pada ruang penyimpanan (Po).
30
1. Kadar Air Awal (Moisture Initial, Mi)
Kadar air awal merupakan persentase kandungan kadar air
mula-mula yang dimiliki oleh suatu bahan pangan, dihitung sesaat
setelah diproduksi. Kadar air awal ditentukan berdasarkan AOAC 2005,
yaitu dengan metode oven melalui perhitungan basis kering. Kadar air
awal produk dodol rumput ditentukan pada awal penyimpanan. Dodol
rumput laut merupakan makanan semi basah, yaitu makan yang
memiliki persentase kandungan air yang sedang. Berdasarkan hasil
penelitian diketahui bahwa kadar air awal dodol rumput laut adalah
sebesar 0, 2105 g H2O/g solid atau setara dengan 22,15% BK. Menurut
Robsons (1976), makanan semi basah yaitu suatu makanan yang
mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah
antara 15-55 % basis basah dengan kisaran aw antara 0,65-0,85.
2. Kadar Air Kritis (Moisture Critical, Mc)
Kadar air kritis merupakan besarnya kandungan air kritis yang
dimiliki oleh sebuah produk pada kondisi kritisnya. Kondisi kritis sendiri
diartikan sebagai kondisi dimana produk telah berda pada batas
penerimaan konsumen dengan kata lain telah mulai ditolak. Kadar air
kritis juga ditentukan dengan menggunakan metode AOAC 2005, yaitu
dengan metode oven melalui perhitungan basis kering. Berdasarkan
hasil survei pada pihak produsen dan distributor dodol rumput laut,
graining merupakan parameter kritis yang menentukan kerusakan
produk dodol rumput laut. Graining merupakan kondisi, dimana kristal
31
gula naik ke atas permukaan dan menyebabkan kenampakan dari
dodol rumput laut menjadi kusam bahkan tampak seperti berjamur
akibat terserapnya air di permukaan produk. Penentuan kadar air kritis
produk ditetapkan pada saat produk dodol rumput laut sudah tidak
diterima lagi oleh konsumen secara organoleptik.
Pada penelitian ini, produk dodol rumput laut, disimpan pada
suhu ruang (30±1oC) pada RH 76 dengan menggunakan larutan
Natrium Klorida. Setiap hari, produk diuji tingkat penerimaannya oleh
sepuluh panelis, dengan rentang skor 1-5. Skor 2 (tidak suka) dianggap
sebagai ambang batas penerimaan konsumen terhadap produk dodol
rumput laut. Dodol rumput laut mulai mengalami penolakan pada hari
ke-22. Grafik hubungan antara skor penerimaan panelis terhadap lama
penyimpanan disajikan pada Gambar 4.
Skor Uji Penerimaan
6
5
4
3
2
1
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Lama Penyimpanan (Hari)
Rerata
Gambar 4.
Batas Kritis
Diagram hubungan skor uji penerimaan dodol
rumput laut dengan lama penyimpanan
32
Gambar 4 menunjukkan bahwa skor rata-rata uji penerimaan
tertinggi terdapat pada awal penyimpanan (hari ke-0) dengan skor 5
hingga penyimpanan hari ke-6. Semakin hari rerata skor uji penerimaan
semakin turun, meski secara perlahan. Hingga pada hari penyimpanan
ke-22, rerata skor uji penerimaan telah mencapai titk 2,1 yang
menandakan bahwa pada produk dodol rumput laut telah berada pada
kondisi kritis dari segi kenampakannya. Setelah ditentukan bahwa
dodol rumput laut telah berada pada kondisi kritis, langkah selanjutnya
adalah menghitung jumlah kadar airnya. Kadar air kritis dodol rumput
laut adalah 0,2329 g H2O/g solid atau 23,29% BK. Jika dikoreksi dari
kadar air awal maka dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan
jumlah kadar air pada produk dodol rumpul laut. Hal ini menandakan
bahwa telah terjadi proses penyerapan air dari lingkungan ke dalam
produk, sehingga bobot kadar air menjadi semakin bertambah. Hal ini
dikuatkan oleh Brooker et al., (1992) yang menyatakan bahwa jika
kelembaban udara relatif lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif
bahan maka bahan akan menyerap air.
3. Kadar Air Kesetimbangan (Moisture Equlibrium, Me)
Kadar air kesetimbangan (Me) digunakan untuk menggambarkan
kurva sorpsi isotermis suatu produk. Kadar air kesetimbangan menurut
Brooker, et al., (1992) adalah tingkat kadar air dari bahan setelah
berada pada suatu kondisi lingkungannya dalam periode waktu yang
lama. Kadar air kesetimbangan pada penelitian ini diperoleh dengan
33
mengondisikan produk dodol rumput laut ke dalam tujuh jenis larutan
jenuh
yang membentuk RH yang masing-masing berbeda. Larutan
garam jenuh dibuat dengan cara melarutkan sejumlah garam tertentu
hingga jenuh. Adapun 7 jenis garam yang digunakan adalah, NaOH,
MgCl2, K2CO3, KI, NaCl, KCl dan BaCl2. Menurut Agus (2004), secara
berturut-turut ketujuh jenis larutan garam jenuh tersebut memiliki nilai
kelembaban relatif (RH) pada suhu 30±1oC sebesar 7%, 32%, 43%,
69%, 76%, 84% dan 90%. Pemilihan nilai kelembaban relatif yang
bervariasi pada penelitian ini bertujuan untuk mewakilkan secara
keseluruhan rentang aktifitas air serta untuk memperoleh kurva sorpsi
isotermis yang paling mulus dan tepat untuk menentukan umur simpan
produk.
Selama penyimpanan pada berbagai RH akan terjadi interaksi
antara produk dengan lingkungannya. Uap air akan berpindah dari
lingkungan ke produk atau sebaliknya, hingga tercapai kondisi yang
seimbang. Kondisi dimana produk tidak lagi menyerap uap air ke
lingkungan ataupun mengeluarkan uap air. Sama halnya dengan
penentuan kadar air awal dan kadar air kritis, penentuan kadar air
kesetimbangan juga menggunakan metode oven (AOAC, 2005).
Menurut Lievonen dan Ross (2002) yang diacu pada Dasa (2011),
kadar air kesetimbangan pada suatu bahan pangan akan tercapai
ditandai dengan dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan dikatan
konstan jika selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut
34
tidak lebih dari 2 mg/g untuk kondisi RH ≤90% dan tidak lebih dari 10
mg/g untuk kondisi RH>90%. Adapun kadar air kesetimbangan produk
yang yang diperoleh dari hasil penelitian pada berbagai RH dan waktu
yang dibutuhkan untuk mencapai kadar air kesetimbangannya disajikan
pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7.
Kadar air kesetimbangan produk dodol rumput laut dan
waktu pencapaiannya pada berbagai kondisi RH
penyimpanan
RH (%)
Aw
7
0.07
Kadar Air Kesetimbangan
g H2O/ g solid
0,1525
32
0.32
0,1874
47
43
0.43
0,2150
44
69
0.69
0,2328
37
76
0.76
0,2392
37
84
0.84
0,2626
39
90
0.9
0,2730
41
Waktu (Hari)
54
Sumber: Data Hasil Penelitian, 2012
Selama penyimpanan, sampel yang disimpan pada RH 7, 32,
43, dan 69 mengalami kecenderungan pengurangan berat bahan.
Sedangkan sampel yang disimpan pada RH 76, 84 dan 90. Hal ini
disebabkan oleh nilai aktivitas air yang dimiliki adalah 0,73 sehingga,
untuk rentang RH 7 hingga 69 akan mengalami proses desorpsi
(pengurangan berat) dan untuk RH 76 hingga 90 terjadi proses
absorpsi,
untuk
mencapai
kondisi
kesetimbangan
dengan
lingkungannya. Berkatian dengan hal itu, maka lama penyimpanan
sampel hingga tercapai kondisi kesetimbangan dimulai dari RH ke-4
dan RH ke-5 yang merupakan RH terdekat dengan aktifitas air produk.
35
Sesuai dengan penyataan Syarief dan Halid (1993) bahwa sampel yang
disimpan akan mengalami penambahan ataupun penurunan berat. Ini
menunjukkan fenomena karakteristik hidratasi. Karakterisktik hidratasi
bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik fisik yang meliputi
interaksi antara bahan pangan dengan molekul air di udara sekitarnya.
Sedangkan proses yang terjadi selama penyimpanan sampel di
berbagai RH adalah proses absorpsi dan desorpsi. Absorpsi adalah
proses penyerapan uap air oleh bahan dari lingkungan dan desorpsi
adalah proses pelepasan uap air bahan ke lingkungan.
4. Kurva Sorpsi Isotermis
Kurva sorpsi isotermis adalah kurva yang menggambarkan
hubungan antara kandungan air dalam bahan pangan dengan aktivitas
air (aw) atau kelembaban relatif penyimpanan ERH ruang penyimpanan
(Syarief dan Halid, 1993). Kurva sorpsi isotermis produk dodol rumput
laut disajikan pada Gambar 5.
Pada penelitian ini, kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara
memplotkan nilai kadar air kesetimbangan hasil penelitian pada Tabel
06 dengan nilai aktivitas air (a w). Gambar 5 menunjukkan bahwa kurva
sorpsi isotermis produk dodol rumput laut menyerupai kurva sorpsi
isotermis tipe II dan berbentuk sigmoid meski tidak sempurna. Syarief
dan Halid (1993) menjelaskan bahwa setiap produk makanan memiliki
kurva ishotermis yang khas, tetapi pada umumnya berbentuk sigmoid.
Bentuk sigmoid ini disebabkan karena pada umumnya bahan makanan
36
terdiri dari campuran beberapa komponen. Serta didukung oleh
Winarno (2004), setiap bahan pangan memiliki bentuk kurva sorpsi
isotermis yang khas. Hal ini tergantung pola penyerapan uap air
masing-masing produk.
30
Kadar Air (%BK)
25
20
15
10
5
0
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Aw
Gambar 5. Kurva isotermis dodol rumput laut hasil penelitian
5. Model Persamaan Sorpsi Isotermis
Permodelan persamaan kurva sorpsi isotermis yang diperoleh dari
hasil penelitian dengan model-model yang telah ada dilakukan untuk
mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi. Banyak model persamaan
matematis yang telah dikembangkan untuk menjelaskan fenomena
sorpsi isotermis secara teoritis, namun dalam penelitian ini, hanya
dipilih
lima model persamaan
matematis yaitu
Chen
Clayton,
Henderson, Hasley, Caurie dan Oswin. Model-model persamaan ini
dipilih karena mampu menggambarkan kurva sorpsi isotermis pada
jangkauan nilai aktivitas air yang luas. Selain itu, model-model tersebut
37
juga
hanya
memiliki
dua
parameter
sehingga
mudah
dalam
penggunaannya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Labuza (1982),
yang menyatakan bahwa jika tujuan penggunaan kurva sorpsi isotermis
tersebut untuk mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi, maka
model-model persamaan yang dipilih adalah model
yang lebih
sederhana dan lebih sedikit parameternya.
Guna mempermudah perhitungan maka model-model persamaan
matematis yang digunakan diubah bentuknya dari persamaan nonlinear menjadi persamaan linear, sehingga nilai-nilai tetapannya dapat
ditentukan dengan model kuadrat terkecil. Persamaan linear untuk
produk dodol rumput laut dari model-model persamaan kurva sorpsi
isotermis disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8.
Model
Persamaan kurva sorpsi isotermis produk dodol rumput
laut dan Nilai Mean Relative Deviation (MRD)
Persamaan Linear
Nilai MRD
Chen Clayton
ln [ln(1/aw)]=5.24-25,97 Me
4,8
Henderson
log [ln(1/(1-aw]=-3,685+5,945 log Me
3,7
Hasley
log [ln(1/aw]=-3,801-5,398 log Me
5,8
Caurie
ln Me= -1,823+0,599 aw
5,7
Oswin
ln Me=-1,524+0,0110 ln [aw/(1-aw)]
13,4
Sumber: Data Hasil Penelitian, 2012.
Tabel 8 menunjukkan nilai MRD masing-masing persamaan
model sorpsi isotermis. Mean Relative Deviation (MRD) merupakan
suatu ukuran yang menunjukkan deviasi (nilai penyimpangan) rata-rata
data observasi terhadap rata-ratanya. Makin kecil harga deviasi ini,
berarti makin kecil dispersi (pemencaran) angka pada data tersebut
38
terhadap meannya (Cahyono, 2007). Kemulusan kurva tertinggi dari
kelima model persamaan dapat dievaluasi melalui evaluasi model
dengan cara menghitung nilai Mean Relatif Deviation. Terlihat bahwa
model-model tersebut dapat menggambarkan kurva secara tepat, agak
tepat dan kurang tepat. Berdasarkan nilai MRD yang diperoleh, maka
yang dijadikan acuan dalam pembuatan kurva isotermis selanjutnya
adalah model persamaan Henderson, meskipun model persamaan
Chen Clayton memiliki nilai 4,8. Secara teoritis, nilai tersebut
menggambarkan kurva isotermis secarat tepat karena nilai MRD-nya
lebih kecil dari 5. Hal ini sesuai dengan Tarigan et al., (2006) bahwa
model
sorpsi
isotermis
yang
dapat
menggambarkan
keadaan
sebenarnya dengan sangat tepat adalah model yang memiliki nilai MRD
di bawah 5%. Namun, nilai MRD model persamaan Henderson lebih
rendah, yang menandakan bahwa model Henderson lebih berimpit
dengan kondisi kesetimbangan sebenarnya (reliable). Hal ini sesuai
dengan Tarigan et.al., (2006) bahwa semakin kecil nilai MRD maka
semakin tepat pula model tersebut dalam menggambarkan fenomena
sorpsi isotermis yang terjadi.
Model persamaan Hasley dan Caurie, masing-masing dengan
nilai 5,87 dan 5,81 menggambarkan keseluruhan kurva isotermis
dengan kurang tepat (5<MDR<10). Sedangkan model persamaan
Henderson dan Oswin adalah 17,92 dan 13,44 yang berarti keduanya
menggambarkan keseluruhan kurva isotermis dengan tidak tepat.
39
Menurut Arpah (2007), kesesuaian setiap model isotermis terhadap
isotermis produk pangan tergantung pada kisaran a w dan jenis
penyusun produk
pangan. Perbandingan kurva sorpsi isotermis
penelitian dengan kurva sorpsi isotermis model persamaan Henderson
Kadar Air (g H2O/ g solid)
disajikan pada Gambar 6.
0.3000
0.2500
0.2000
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Aw
Me Percobaan
Gambar 6.
Henderson
Kurva sorpsi isotermis produk dodol rumput laut
hasil penelitian dan model Henderson
6. Nilai Kemiringan (b) Kurva Sorpsi Isotermis
Nilai kemiringan produk dodol rumput laut dapat dilihat pada
Gambar 7. Menurut Rahayu dan Arpah (2003), kemiringan (b) kurva
sorpsi isotermis ditentukan dari garis lurus yang terbentuk pada kurva
model persamaan sorpsi isotermis yang terbentuk pada model
Henderson. Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa titik-titik hubungan
antara aktivitas air dan kadar air kesetimbangan memiliki persamaan
linear y=a+bx. Nilai b dari persamaan linear tersebut merupakan nilai
kemiringan kurva sorpsi isotermis. Nilai kemiringan (b) kurva sorpsi
isotermis pada produk dodol rumput laut ini adalah 0,137.
Kadar Air ( gH2O/g solid)
40
0.3000
0.2500
0.2000
y = 0.137x + 0.152
R² = 0.984
0.1500
0.1000
0.0500
0.0000
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Aw
Henderson
Gambar 7.
Linear (Henderson)
Kemiringan kurva sorpsi isotermis model Henderson
produk dodol rumput laut
7. Parameter Pendukung
𝑘
Permeabilitas uap air kemasan (𝑥 ), luas permukaan kemasan
(A), bobot padatan (Ws) dan tekanan uap murni pada penyimpanan
(Po) merupakan parameter pendukung dalam pendugaan umur simpan
produk dodol rumput laut. Nilai permeabilitas uap air dari jenis kemasan
perlu diketahui untuk menduga umur simpan produk yang dihitung
melalui persamaan Labuza.
Setiap jenis kemasan memiliki permeabilitas uap air yang
berbeda. Menurut Robertson (2010) yang diacu pada Dasa (2011),
permeabilitas uap air kemasan merupakan laju transmisi uap air melalui
satu unit luasan dengan ketebalan tertentu akibat adanya perbedaan
tekanan uap air antara produk dengan lingkungannya. Kemasan yang
digunakan dapat mempengaruhi mutu bahan pangan yang dikemas,
yaitu terjadinya perubahan fisik dan kimia karena migrasi zat-zat kimia
41
dari bahan pengemas ke makanan, perubahan aroma, warna serta
perubahan tekstur yang disebabkan oleh perpindahan uap air dan
oksigen. Hubungan jenis bahan pengemas dengan daya awet bahan
pangan yang dikemas ditentukan berdasarkan permeabilitasnya.
Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas melalui
kemasan, baik dari produk ke lingkungan ataupun sebaliknya.
Permeabilitas uap air kemasan merupakan kecepatan laju transmisi
uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu
akibat adanya perbedaan tekanan uap air antara produk dengan
lingkungan pada suhu dan kelembaban tertentu (Robertson, 2010).
Jenis kemasan yang digunakan untuk mengemas produk dodol rumput
laut adalah plastik propilen. Menurut Nugroho (2007), jenis plastik ini
memiliki permeabilitas sebesar 0,0739 gH2O/m2.hari.mmHg. Hal ini
sesuai dengan Manley (2000), yang menyatakan bahwa plastik jenis
propilen merupakan jenis plastik yang baik sebagai barrier terhadap
uap air pada karena memiliki permeabilitas uap air yang cukup rendah.
Semakin kecil nilai permeabilitas uap air kemasan, maka umur simpan
produk pangan yang dikemas akan semakin lama.
Besarnya luas permukaan kemasan juga mempengaruhi umur
simpan suatu produk. Penentuan luas kemasan dilakukan dengan cara
mengalikan panjang dan lebar kemasan yang digunakan. Menurut
Robertson (2010), semakin luas permukaan kemasan yang digunakan
maka uap air yang masuk ke lingkungan akan semakin tinggi dan akan
42
tersebar lebih meluas di dalam kemasan, sehingga kadar air kritis
produk pun akan segera tercapai. Luas permukaan kemasan yang
digunakan untuk mengemas produk adalah 0,0162 m 2.
Bobot padatan perkemasan diperoleh dengan mengoreksi bobot
keseluruhan dengan kadar air awal produk dodol rumput laut. Setiap
kemasan terdiri dari 6 buah dengan berat masing-masing 6 gram
sehingga berat keseluruhan adalah 36 gram. Bobot padatan yaitu
78,95% x 36 gram = 28,42 gram. Tekanan uap murni ada ruang
penyimpanan (suhu 30oC) berdasarkan tabel uap air Labuza (1982)
adalah 31,824 mmHg.
B. Pendugaan Umur Simpan Dodol Rumput Laut
Persamaan Labuza dapat mengintegrasikan unsur permeabilitas
kemasan, berat kering produk, luas bahan pengemas, perbedaan
tekanan uap air dan kurva sorpsi isotermis dengan baik (Arfah dan
Rahayu, 2003).
Tabel 9.
Parameter perhitungan umur simpan dodol rumput laut
Parameter
Nilai
Kadar Air Awal (Mi) gH2O/g solid
0.2105
Kadar Air Kritis (Mc) gH2O/g solid
0.2329
Slope Kurva Isotermis
0.137
Kadar Air Kesetimbangan (Me) gH2O/g solid
0.2589
Permeabilitas Kemasan gH2O/m2.hari.mmHg
0.0739
Luas Kemasan (m2)
0.0162
Berat Kering (gram)
28.42
Tekanan Uap Jenuh 30oC (mmHg)
31.824
Sumber: Data Hasil Penelitian, 2012
43
Nilai-nilai
yang
diperoleh
kemudian
diintegrasikan
dalam
persamaan Labuza
(Me − Mi)
(Me − Mc)
θ=
k A Po
x (Ws) b
ln
(0,2589 − 0,2105)
(0,2589 − 0,2329)
θ=
0,0162 31,824
(0,0739) ( 28,42 ) ( 0,137 )
ln
(0,0484)
(0,0260)
θ=
(0,0739)(0,0006)(232)
ln
θ=
ln 1,8629
(0,0739)(0,0006)(232)
θ=
0,6214
= 60,4 hari
0,0103
Berdasarkan
penjabaran
di
atas
dapat
diketahui
bahwa
pendugaan umur simpan produk dodol rumput laut adalah 60,4 hari
atau 2 bulan.
44
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Produk dodol rumput laut yang dikemas dengan plastik oriented
polypropilen dengan luas kemasan 0,0162 m2 pada tekanan uap jenuh
30oC dan RH 78% memiliki umur simpan selama 60,4 hari.
B. Saran
Produsen
dan
distributor
hendaknya
menerapkan
praktik
penanganan yang baik, agar umur simpan produk dapat dioptimalkan
dengan menekan faktor eksternal yang dapat menurunkan mutu produk,
seperti kemasan yang rusak.
45
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Spriadi. 2004. Optimasi Teknologi Pengolahan Kajian Sorpsi
Isothermik Beras Jagung Instan. Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB.
Bogor.
Andarwulan, N. dan P. Hariyadi. 2004. Perubahan Mutu (Fisik, Kimia,
Mikrobiologi) Produk Pangan selama Pengolahan dan
Penyimpanan Produk Pangan. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Arpah, 2007. Penentuan Kedaluwarsa Produk Pangan. Program Studi
Ilmu Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Arpah M, Syarief R. 2000. Evaluasi Model-model Pendugan Umur Simpan
Pangan dari Difusi Hukum Fick Undireksional. Buletin Teknologi
dan Industri Pangan.
Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wooton M. 2007. Ilmu Pangan.
Penerjemah: Hari Purnomo. UI Press. Jakarta.
Brooker DB, Bakker-Arkema FW, Hall CW. 1992. Drying and Storage of
Grains and Oilseeds. AVI Book. United States of America.
Cahyono, Try. 2007. Statistik Deskriptif. Jurusan Kesehatan Lingkungan.
Politeknik Kesehatan. Semarang.
Chirife, J. dan H.A. Iglesias. 1978. Equation for Fitting Water Sorption of
Foods. Journal Food Technology (13): 319-327.
Dasa Indah, Hilda. 2011. Pendugaan Umur Simpan Produk Cone Es Krim
dengan Metode Akselerasi Model Kadar Air Kritis. Departemen
Teknologi Hasil Perairan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
De Man JM. 2007. Principles of Food Chemistry 3rd Edition. Aspen
Publishers, Inc. United States of America.
Fennema OR. Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. New York.
Floros, J.D. dan V. Ganansekharan. 1993. Shelf Life Prediction in
Packages Food: Chemical, Biological, Physical and Nutritional
Aspect. Elsevier Pulb. London.
46
Hafizullah,
Ahmad.
2008.
http://ahmadhafizullahritonga.blog.usu.ac.id.
November 2011. Makassar.
Akses
Polipropilena.
tanggal
13
Haliza. 1992. Rancang Proses Pembuatan Dodol Kweni (Mangifera
adorata Griff). Penebar Swadaya. Jakarta.
Hambali, Erliza, Ani Suryani, Wadli. 2006. Membuat Aneka Olahan Rumput
Laut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Hariyadi, P. 2004. Prinsip-prinsip Pendugaan Masa Kedaluwarsa dengan
Metode Accelerated Shelf Life Test. Pusat Studi Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor.
Heldman , D. R. dan R. P. Singh. 1981. Food Process Engineering. AVI
Publ. Co. Connecticut.
Herawati, Heni. 2008. Penentuan Umur Simpan pada Produk Pangan.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa Tengah.
Koswara, S. 2004. Evaluasi Sensori dalam Pendugaan Umur Simpan
Produk Pangan. Pusat Studi Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor.
Kusnandar, Feri. 2011. Pendugaan Umur Simpan Produk Pangan dengan
Metode Accelerated Shelf Life Testing.
Labuza, T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutritions.
Press Inc. Connecticut.
Manley D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers, and Cookies 3rd
Edition. Cambridge: Woodhead PublishingLimited
Nugroho A. 2007. Kajian Metode Penentuan Umur Simpan Produk Flat
Wafer dengan Metode Akselerasi berdasarkan Pendekatan Model
Kadar Air Kritis. Departemen Teknologi Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Purnomo, Hari. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan
Pangan. Universitas Indonesia. UI Press. Jakarta.
Rahayu WP dan Arpah. 2003. Penuntun Teknis: Penetapan Kadaluarsa
Produk Industri Kecil Pangan. Departemen Teknologi. Bogor.
Robertson GL. 2010. Food Packaging and Shelf Life: A Pratical Guide.
CRC Press. Florida.
47
Robson, J. N. 1976. Some Introductory Thoughts on Intermediate
Moisture Foods. Mark and Spencer Ltd. England.
Suswini, S. 2009. Penentuan Kadaluwarsa Produk Pangan. Jurusan
Pendidikan Kimia. Universitas Pendidikan Indonesia.
Syarief, Rizal dan Halid Hariyadi. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan.
PAU. Ilmu Pangan. Bogor.
Syarief R. 1990. Peranan Pengemasan dalam Mempertahankan Mutu
Pangan. Pusat Pengembangan Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Tarigan E, Prateepchaikul G, Yamsaengsung R, Sirichote A, Tekasakul P.
2006. Sorption Isotherms of Shelled and Unshelled Kernels of
Candle Nuts. Journal of Food Engineering 75: 447-452.
Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pust
Download