MAKALAH KIMIA MEDISINAL I DIURETIK FARMASI S1 REGULER 2006 DEPARTEMEN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2008 Diuretik Diuretik didefinisikan sebagai suatu bahan kimia yang meningkatkan kecepatan pembentukan urin. Kerja utama dari kebanyakan diuretik adalah penghambatan langsung transport Na+ pada satu atau lebih dari empat daerah anatomi utama sepanjang saraf di mana terjadinya reabsorbsi Na+. Karena sistem transportasi Na+ pada setiap daerah unik, ada sebuah perbedaan keistimewaan struktur relatif yang kaku yang harus dimiliki oleh diuretik untuk menghambat reabsorbsi pada masing-masing daerah. Tambahan penting adalah peristiwa yang lain atau tidak langsung yang dicetuskan sebagai hasil dari kerja utama diuretik. Sifat dan besar dari banyak pengamatan efek yang kedua tergantung tempat kerja diuretik dan respon dari daerah saraf “downstream” untuk mempertinggi penghantaran cairan, Na+, atau zat terlarut lainnya. Peristiwa lainnya cukup khas untuk tiap kelas dari diuretik dan sering dapat diprediksi jika pembaca telah mengetahui proses fisiologi normal dari ginjal. Secara bersama, efek utama dan efek kedua disebabkan pola sekresi elektrolit yang ditentukan oleh diuretik. Diuretik biasanya memiliki beberapa kombinasi dari natriuretik, kloruretik, saluretik, kaliuretik, bikarbonaturetik atau kalsiuretik, tergantung apakah diuretik yang mempertinggi ekskresi ginjal terhadap Na+, Cl-, Na+/Cl-, K+, HCO3-, atau Ca2+. Pada bagian ini, fungsi normal dari saraf dihadirkan, termasuk empat daerah reabsorbsi Na+ dan zat terlarut lainnya dan peristiwa fisiologis ginjal yang terjadi ketika Na+ dan air direabsorpsi diubah oleh kondisi pasien baik hidrasi, penyakit, atau ambilan diuretik. Ini diikuti oleh diskusi dari masing-masing kelas diuretik yang sekarang digunakan. Pengetahuan dari keistimewaan dan daerah kerja dari tiap-tiap kelas diuretik harus memberikan pembaca pengertian yang lebih baik dari faktor yang mengatur sifat dan besar dari antisipasi diuresis dan penggabungan efek kedua. ANATOMI DAN FISIOLOGI DARI NEFRON Bagian yang berfungsi dari ginjal adalah nefron dengan dibantu glomerulus (Gambar 18-1). Ada sekitar jutaan nefron di masing-masing ginjal. 1 Darah (atau, lebih tepatnya plasma), dari yang mana semua urin dibentuk, dibawa ke setiap nefron melalui jaringan kapiler glomerular (Gambar 18-2). Banyak komponen plasma disaring ke dalam ruang Bowman. Selama proses pembentukan urin, hasil dari filtrat glomerular mengalir melalui bagian lurus dan berliku-liku dari tubulus proksimal, menuruni cabang lengkung Henle, bagian yang tipis dan tebal dari cabang yang menaik dari lengkung Henle, daerah dari sel makula densa, tubulus distal yang berliku (juga biasa disebut tubulus distal pertama), menghubungkan tubulus (juga biasa disebut tubulus distal terakhir), dan kumpulan tubulus kortikal dan medular. Setiap bagian nefron terdiri dari tipe-tipe sel yang mempunyai fungsi dan struktur yang khas. Peranan fisiologi dari glomerulus dan setiap bagian nefron bekerja sama berkaitan untuk menangani pelarut penting dan air dalam hidrat normal (normovolemik) dan dehidrat (hipovolemik) orang-orang dan pasien yang mengidap bermacam-macam penyakit edema (contoh: gagal jantung kongestif, sirosis hati dengan asites, dan sindrom nefrotik ) FUNGSI 1. Fungsi dari Nefron ketika Volume Plasma Normal (Normovolemia atau Euvolemia) Ketika darah dihantarkan ke setiap glomerulus, banyak (tetapi tidak semua) dari komponen disaring ke dalam ruang Bowman melalui pori-pori dalam lingkaran kapiler glomerular. Beberapa ciri fisika-kimia dari setiap komponen darah adalah mengatur banyaknya bagian yang dihilangkan dari darah oleh saringan glomerular. Hal ini mencakup massa relatif molekul (Mr), seluruh bentuk (termasuk paling sederhana sampai molekul besar), dan kadar dan kealamian pengikatan ke protein plasma. Sebagai contoh, protein plasma dengan Mr lebih dari 50,000 Da dan sel darah merah tidak dapat disaring, sedangkan Mr rendah, komponen terikat non protein (contoh : Na+, K+, Cl-, HCO3-, glukosa dan asam amino) dapat tersaring. Laju penyaringan komponen plasma yang memiliki Mr kurang dari 50,000 Da dan tidak terikat dalam protein plasma 2 ● Tergantung secara langsung pada tekanan hidrolik (hidrostatik) di renal vaskulatur (dibuat oleh pompa jantung), yang cenderung mengatur air dan zat terlarut keluar dari kapiler glomerular ke dalam ruang Bowman ● Kebalikan dari atas yaitu tekanan onkotik plasma (tekanan osmotik dibuat oleh protein plasma di dalam vaskulatur), yang cenderung untuk mengadakan atau mencegah penyaringan air dan zat terlarut melintasi kapiler glomerular ke dalam ruang Bowman ● Mengikuti sinyal intrarenal yang memungkinkan setiap nefron untuk menyesuaikan laju filtrasi melalui jaringan kapiler glomerular dirinya (disebut sebagai umpan balik tubuloglomerular) Jelasnya, status fungsional kardiovaskular dan renal dari setiap individu juga akan mempengaruhi laju filtrasi komponen plasma melalui glomeruli. Sebagai tambahan, neonatus dan orang lanjut usia biasanya mengalami penurunan laju filtrasi glomerular (GFR), meskipun untuk alasan yang berbeda. Fraksi dari total aliran plasma renal yang difiltrasi secara kolektif oleh glomeruli per unit waktu (disebut fraksi filtrasi) yaitu sekitar seperlima. Hal ini berarti bahwa hanya seperlima (atau 20%) dari plasma yang masuk ke ginjal dalam periode yang diberikan mengalami fltrasi pada glomeruli (sekitar 650 mL aliran plasma melalui ginjal setiap menit, rata-rata 125 mL/menit yang difiltrasi melalui kapiler glomerulus). Sisa empat per lima-nya (atau 80%) dari aliran plasma renal langsung menuju kapiler peritubular. Hanya 1 mL urin terbentuk dari 125 mL filtrat glomerulus untuk setiap menitnya. Sebagai hasilnya, 99% filtrat glomerulus direabsorpsi secara normal. Jumlah mutlak (absolute quantity) dari masing-masing komponen plasma yang dapat difiltrasi yang mencapai kapsula Bowman—massa terfiltrasi dari zat— bergantung langsung pada GFR dan konsentrasi dalam plasma dari porsi zat yang dapat terfiltrasi yang tidak terikat pada protein plasma. Oleh karena itu, massa terfiltrasi dari suatu zat sebanding dengan GFR (dalam milliliter per menit) dikalikan konsentrasi zat dalam plasma yang dapat terfiltrasi yang tidak terikat (dalam jumlah per mililiter). Filtrat glomerulus yang mengandung massa terfiltrasi dari suatu zat terlarut yang diberikan disebut sebagai cairan luminal (luminal fluid), karena ia masuk ke lumen dari setiap nefron pada saat meninggalkan 3 kapsula Bowman. Pada diskusi selanjutnya, perhatian difokuskan pada persentase massa terfiltrasi dari Na+ dan zat terlarut lainnya yang direabsorpsi (diangkut dari cairan luminal ke sel-sel tubulus renal, dengan jalur berikutnya menuju interstitium dan akhirnya menuju sistem vaskular renal pada berbagai tempat di nefron. Terdapat empat site anatomi utama di sepanjang nefron yang bertanggung jawab penting untuk reabsorpsi Na+ (Gambar 18-1): site 1,bagian yang lengkung dan lurus dari tubulus proksimal; site 2, cabang ascending yang tebal dari lengkung ansa henle; site 3, lengkung tubulus distal; dan site 4, yang menghubungkan tubulus dan tubulus kortikal pengumpul. Proses pengangkutan sebenarnya berbelit-belit dalam reabsorpsi Na+ pada tiap-tiap dari tempat pokok dalam Gambar 18-3 terus 18-6 dan dibicarakan dalam urutan. SITE 1 Bagian yang lengkung dan lurus dari tubulus proksimal yang bertanggung jawab untuk reabsorpsi dari ● Hampir 65% dari penyaring memuat Na+, Cl-, Ca2+ dan air. ● 80-90% dari penyaring memuat HCO3-, fosfat dan urat ● Pada dasarnya 100% dari penyaring memuat glukosa, asam amino, dan protein rendah –Mr Demikian, di bawah keadaan normal, tubulus proksimal mempunyai kemampuan reabsorpsi yang hebat sekali. Di mana terutama dua kekuatan menggerak untuk meningkatkan aktivitas reabsorpsi. Pertama, karena plasma dalam kapiler peritubular (Gambar 18-1) dapat menurunkan tekanan hidrolik dan meningkatkan tekanan onkotik dari pada cairan luminal atau pengantar plasma ke glomerulus (karena pemindahan air tetapi bukan protein dari plasma selama filtrasi glomerulus), yaitu dimana gerakan jaring dari isi cairan luminal dalam arah reabsorpsi. Kedua, Na+/K+-ATPase, terletak sangat strategis dalam membran antiluminal (kadang memisah sebagai basolateral, peritubular, atau membran contraluminal) dari sel tubulus proksimal. Katalisis kootransport dari Na+ intraselluler ke dalam interstisium dan K+ ekstraselluler ke dalam sel tubulus proksimal (Gambar 18-3). Perbandingan dari kootransport ini yaitu 3 Na+: 2 K+. 4 Aktivitas ini menimbulkan kekurangan dari Na+ intraselluler, dari pada dari K+ intraselluler. Dan tegangan mengarah negatif dalam sel tubulus proksimal. Sebagai respon aksi dari Na+/K+-ATPase, Na+ di cairan luminal bergerak menuruni gradien konsentrasi ke sel-sel tubulus proksimal melalui kombinasi dari setidaknya tiga proses yang berbeda. Mekanisme pertama dari reabsorpsi pada situs 1 melibatkan karbonik anhidrase (CA), yang terletak di sitoplasma dan di brush border sel-sel tubulus proksimal. H+, yang dihasilkan dari kerja CA intrasel, diubah (yaitu dikontertransport) untuk Na+ yang terfiltrasi di cairan luminal. Na+ yang memasuki sel-sel tubulus proksimal selama perubahan H+ kemudian dipompa ke dalam interstisium oleh Na+/K+-ATPase pada membran anti luminal. H+ disekresi (yaitu ditransport melawan gradiennya) ke dalam cairan luminal bereaksi dengan HCO3- yang terfiltrasi menghasilkan asam karbonat. Asam karbonat ini mengalami dekomposisi, baik secara spontan maupun dengan bantuan CA terikat brush border, menjadi karbondioksida dan air. Karbondioksida berdifusi ke dalam sel-sel tubulus proksimal dan diubah kembali pada HCO3-, yang kemudian melewati sel-sel tubulus proksimal, menyeberangi membran anti luminal, dan ke dalam interstisium dengan jalan Na+/HCO3+ simporter pada membran anti luminal. CA sangat berlimpah dalam bagian yang kusut dari tubulus proksimal manusia namun tidak terdapat pada bagian yang lurus. Oleh karena itu, proses yang telah dijelaskan tadi terutama terjadi pada bagian yang kusut dari tubulus proksimal dan memiliki nilai reabsorpsi 20-25% muatan Na+ terfiltrasi (atau sekitar sepertiga dari muatan Na+ terfiltrasi yang direabsorpsi pada situs 1) dan sekitar 80-90% muatan HCO3- yang terfiltrasi. Mekanisme kedua Na+ keluar dari cairan luminal pada situs 1 melibatkan cotransportnya ke dalam sel-sel tubulus proksimal bersama dengan glukosa, asam amino atau fosfat. Tiga larutan terakhir yang memasuki sel-sel tubulus proksimal melawan gradien konsentrasinya. Reabsorpsi Na+ yang memasuki sel-sel tubulus proksimal dengan proses ini dilengkapi ketika Na+ kemudian dipompa ke dalam intertisium oleh Na+/K+-ATPase terikat membran antiluminal dan kemudian melewati kapiler peritubular yang berbatasan. Jumlah Na+ yang direabsorpsi dengan tipe cotransport ini bervariasi dan bergantung pada muatan tiga larutan yang terfiltrasi. Namun demikian, beberapa cotransport merupakan mekanisme 5 dimana 100% glukosa dan asam amino yang terfiltrasi serta 80-90% fosfat yang terfiltrasi secara normal dipindahkan dari cairan luminal dan kemudian direabsorpsi. Ketiga, Na+ direabsorpsi pada situs 1 bersama dengan Cl-. Karena reabsorpsi Na+ yang terjadi di awal tubulus proksimal kusut disertai oleh bikarbonat, glukosa, asam amino dan fosfat, konsentrasi Cl- dalam cairan luminal cenderung meningkat. Akibatnya konsentrasi Cl- di tengah dan akhir cairan luminal tubulus proksimal melebihi konsentrasinya di interstisium, dan Clbergerak secara paraselular (yaitu diantara sel-sel tubulus proksimal) ke dalam interstisium, dan Na+ mengikuti. Na+/Cl- tambahan direabsorpsi secara transeluler (yaitu melewati sel-sel) di tubulus proksimal dengan kombinasi antiporter Na+/H+ dan satu atau lebih antiporter Cl-/anion. Bagian menurun dari lengkung Henle bertanggung jawab terhadap konsentrasi cairan luminal (contohnya penghilangan air dan penambahan Na+), sedangkan bagian yang menaik bertanggung jawab terhadap pengenceran cairan luminal (contohnya adalah penghilangan zat-zat terlarut dari cairan luminal tanpa penghilangan air). Oleh sebab itu, secara keseluruhan, kerja dari kedua bagian nefron ini adalah pengurangan jumlah air dan kandungan zat terlarut. Yang menarik, osmolaritas dari cairan luminal pada bagian terminal dari bagian menaik lengkung Henle tidak jauh berbeda dengan cairan yang masuk pada bagian menurun dari lengkung Henle (melalui perubahan drastis yang terjadi pada bagian menurun dan menaik lengkung Henle). SITE 2 Setelah cairan luminal meninggalkan bagian menaik dari lengkung Henle, kemudian cairan luminal mengadakan kontak dengan sel makula densa, kelompok sel tubuli yang terspesialisasi yang berhubungan dengan sel granular dari arteriol aferen. Sel makula densa seperti sel pada bagian menaik dari lengkung Henle, tempatnya adalah pada membran antiluminal-loncatan Na+/K+ – ATPase dan sistem kotranspor membran luminal-loncatan 1Na+/1 K+/2 Cl-. Keunikannya adalah dapat mendeteksi perubahan, baik pada rata-rata jumlah cairan luminal yang mengalir atau komposisi zat terlarut dalam cairan luminal, jika dideteksi 6 adanya terlalu banyak zat terlarut, maka zat-zat tersebut akan dihilangkan dari cairan luminal. Selanjutnya sinyal ditransmisikan melalui sel granular, lalu ke arteriol aferen. Ketika cairan/zat terlarut yang melewati makula densa meningkat, zat-zat turunan akan menyebabkan konstriksi pada arteriol aferen yang akan mensuplai cairan/zat terlarut ke nefron dan mempengaruhi reduksi pada GFR. Sebaliknya, ketika cairan/zat terlarut yang melalui sel makula densa menurun, sinyal dikirimkan dari sel ini dan ke sel granular yang mengelilingi arteriol aferen, yang pada akhirnya menghasilkan pembebasan renin. SITE 3 Berikut adalah persinggahan terakhir setelah melalui makula densa, cairan luminal mengadakan kontak dengan tempat ketiga dari reabsorpsi Na+, relatif pendek, impermeable terhadap air, tubuli distal. Yang terjadi pada reabsorpsi Na+ dari cairan luminal pada tempat ketiga ini melibatkan defisiensi dari Na+ intraselular yang diproduksi karena kerja dari membran antiluminal-loncatan Na+/K+ – ATPase. Pada kejadian ini, sistem membran luminal-loncatan Na+/Clkotranspor memindahkan cairan luminal Na+ dan cairan luminal Cl- ke sel tubulus distal. Reabsorpsi Na+ menjadi lengkap ketika membran luminal terikat Na+/K+ATPase secara aktif memompanya ke dalam interstitium dengan jalur berikutnya ke vaskulatur di sekitarnya; Cl- intraselular masuk ke interstitium melalui kanalkanal pada membran antiluminal. Rata-rata 5 hingga 8% dari muatan Na+ yang terfiltrasi direabsorpsi di site 3. SITE 4 Tubulus penghubung (misalnya tubulus distal akhir) dan tubulus pengumpul di korteks merupakan site keempat dan site akhir terbesar dari reabsorpsi Na+ dari cairan luminal. Sejumlah nefron terdiri dari 2 tipe sel yang berbeda, sel utama (principal cell) dan sel antara (intercalated cell). Sel utama penting dalam reabsorpsi Na+ dan sekresi K+, sementara sel antara (subtipe A) berperan penting dalam merangsang dan mensekresi H+. Sel antara hanya memiliki sedikit Na+/K+ATPase pada membran luminalnya, namun meiliki banyak CA intraselular, yang 7 mengkatalisis pembentukan asam karbonat dari CO2 dan air. Asam karbonat kemudian terionisasi membentuk H+ dan HCO3-. Ion H+ kemudian dipompa secara aktif ke cairan luminal oleh H+ATPase yang terikat di membran luminar. Tekanan yang mengendalikan reabsorpsi Na+ di sel utama adalah karena terjadinya defisit Na+ intraselular karena Na+/K+-ATPase pada membran antiluminal. Pompa ini mentranspor 3 Na+ naik dari sel utama ke interstisium dan 2 K+ naik dari interstisium ke sel utama. Sebagai respon atas defisit ion Na+ di sel utama, Na+ di cairan luminal akan bergerak turun menuju sel utama melalui kanal Na+ pada membran luminal dan selanjutnya dipompa secara aktif menuju interstisium oleh Na+/K+-ATPase yang terikat pada mebran anti luminal. Kejadian ini mengakibatkan tegangan transepitelial negatif pada lumen. Dengan adanya perbedaan tegangan ini, timbul kombinasi dari dari tiga proses berikut : o Cl- bergerak paraselular dari lumen menuju interstisium o K+ di sel utama bergerak turun menuju cairan luminal melalui kanal K+ pada membran luminal. o H+ yang terbentuk di sel antara bergerak menuju cairan luminal Karena 2 proses yang terakhir lebih mendominasi, salah satunya kemungkinan menunjukkan aktivitas pada situs 4 sebagai pertukaran Na+ cairan luminal dengan K+ sel utama dan H+ sel antara. Pertukaran Na+ cairan luminal dengan H+ atau K+ intraselular biasanya dihubungkan dengan 2 – 3% reabsorpsi dari kapasitas filtrasi Na+, dan lokasi distal dalam sistem pertukaran ini menentukan keasaman akhir dan jumlah K+ di urin. Jumlah Na+ yang direabsorpsi pada situs 4 dan jumlah H+ serta K+ yang terdapat di urin diatur oleh o Kadar mineralokortikoid dari plasma dan ginjal, misalnya aldosteron. Semakin tinggi kadar aldosteron, semakin banyak jumlah Na+ yang direabsorpsi dan semakin banyak H+ dan K+ yang disekresi. o Laju alir cairan luminal dan persentase kapasitas filtrasi Na+ pada situs pertukaran. Semakin tinggi laju alir dan jumlah Na+, semakin banyak jumlah pertukaran. 8 o Statuas asam basa masing-masing individu. Kemungkinan asidosis terjadi pada pertukaran Na+ dan H+, sementara alkalosis mungkin terjadi pada pertukaran Na+ dan K+. Golongan-golongan diuretik yang menghambat reabsobsi Na+ pada site 1, 2, atau 3 (misalnya site proksimal untuk situs 4) akhirnya meningkatkan, pada derajat yang berbeda-beda, laju alir cairan luminal dan persentase penyaringan Na+ yang dikirimkan ke site 4. Dengan demikian, diuretik sangat meningkatkan hilangnya K+ dalam urin dan mungkin dapat dihubungkan dengan induksi hipokalemia ( misalnya penurunan abnormal level K+ dalam sirkulasi darah) 9 Gambar 18-6. Site 4: Sistem transport Na+ bertanggung jawab atas reabsorpsi Na+ pada tubulus yang terhubung dan berkumpul pada korteks. Reabsorpsi Na+ dan sekresi K+ terjadi pada sel utama; pembentukan dan sekresi H+ terjadi pada sel interkalasi. Spironolakton menghambat reabsorpsi Na+ dengan mengantagonis secara kompetitif efek dari aldosteron pada sel utama. Triamteren dan amilorid ”menutup” kanal Na+ pada membran luminal sel utama, sehingga mencegah reabsorpsi Na+ serta sekresi K+ dan H+. Oleh karena itu, saat memproduksi natriuresis sederhana, obat-obat ini mencegah kehilangan K+ dan umumnya disebut sebagai diuretik hemat K+. 2. Fungsi Nefron Selama Terjadinya Penurunan Volume Plasma (hipovolemia) Ketika volume darah pasien turun di bawah normal (hipovolemia) yang dikarenakan berbagai sebab, seperti hemorrhage (perdarahan), diare, muntah, keringat yang berlebih, atau terlalu sering menggunakan diuretik, terjadi suatu aliran sinyal intrarenal dan ekstrarenal yang menurunkan pengeluaran urin dan elektrolit sebagai usaha untuk memulihkan volume plasma dan tekanan arteri ratarata. Sinyal-sinyal ini mengakibatkan : ● Menurunnya aliran darah di ginjal dan GFR ● Meningkatnya reabsorbsi tubulus proksimal terhadap zat terlarut dan air ● Meningkatnya sekresi renin dari sel granular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi angiotensin II (suatu vasokonstriktor yang kuat) dan aldosteron ● Meningkatnya sekresi antidiuretik hormon (ADH), yang mana bertindak dalam mengumpulkan tubulus untuk meningkatkan reabsorbsi air Ketika terjadi hypovolemia karena terlalu sering menggunakan diuretik, terjadi reduksi pengganti pada produksi cairan urin dan elektrolit yang biasanya dikenal sebagai “diuretic braking phenomenon”. Penggantian yang telah disebutkan di atas adalah berdasarkan pengereman kerja diuretik dalam menginduksi peningkatan eksresi air dan elektrolit. Dengan demikian, kemanjuran dari diuretik secara signifikan menjadi berkurang. Tidak ada diuretik yang 10 menginduksi kehilangan urin yang memiliki komposisi yang sama dengan cairan ekstraseluler. Oleh karena itu, penggunaan zat ini secara berlebihan mengakibatkan pasien-pasien hipovolemia dengan gangguan elektrolit dan/atau gangguan asam-basa. 3. Fungsi Nefron Selama Penyakit Dihubungkan dengan Retensi Cairan Tubuh (Edematosus States) Secara berkala, ginjal dari orang dengan gagal jantung kongestif, sirosis hati dengan asites, atau sindrom nefrotik menerima sinyal yang diinterpretasikan bahwa ginjal tersebut sedang mengalami hipoperfusi. Hal ini dapat muncul baik pada saat terjadi atau tidak terjadinya reduksi volume plasma aktual. Ginjal berusaha menjaga cairan tubuh dan solut dengan mengombinasi proses-proses yang telah didiskusikan pada paragraf sebelumnya. Akhirnya terjadilah edema. PENGENALAN TERHADAP DIURETIK Sebelum memasuki pembahasan mengenai berbagai kelas diuretik, satu hal yang perlu dimengerti adalah perbedaan antara istilah potensi dan efikasi, dan kelemahan dari studi hubungan aktivitas-struktur (SAR) yang melibatkan diuretik. Penggunaan istilah potensi dan efikasi harus dibedakan dengan jelas. Potensi diuretik dihubungkan dengan jumlah nyata obat (contohnya mg atau mg/kg) yang diperlukan untuk menghasilkan suatu efek. Potensi relatif adalah cara yang tepat untuk membandingkan dua diuretik dan dinyatakan sebagai rasio dosis ekuiefektif. Potensi diuretik dipengaruhi oleh absorpsi, distribusi, biotransformasi, ekskresi, dan kemampuan inheren dari diuretik tersebut untuk bergabung dengan reseptornya. Potensi diuretik penting untuk menetapkan dosis tetapi sebaliknya hal ini merupakan karakteristik yang relatif tidak penting. Efikasi berhubungan dengan efek diuretik maksimal yang dapat dicapai (biasanya diukur dengan volume urin per satuan waktu atau kehilangan Na/NaCl per satuan waktu). Ada banyak faktor yang mempengaruhi efikasi diuretik. Pertama situs anatomik dari aksi dan kapasitas situs absorpsi Na+ dihilir memegang peranan penting dalam menentukan efikasi total. Artinya, efikasi diuretik ditentukan sebagian oleh aksi diuretik tersebut pada situs 1, 2, 3, atau 4. Diuretik yang 11 menghambat reabsorpsi Na+ pada situs anatomik yang sama biasanya bersifat ekuiefikasi (yaitu menimbulkan respon maksimal yang serupa) tetapi bervariasi dalam hal potensi (yaitu jumlah diuretik yang diperlukan untuk menghasilkan efek serupa). Diuretik yang bekerja pada situs 1 dengan cara menghambat CA dapat mengahambat reabsorpsi 20-50% muatan Na+ yang tersaring namun tidak semanjur yang dipikirkan, karena tiga situs utama reabsorpsi Na+ dihilir (situs 2, 3, dan 4) dikompensasi dengan mereabsorpsi hampir semua kelebihan Na+ yang dipaparkan kepadanya. Diuretik yang menghambat reabsorpsi Na+ pada situs 2 adalah yang paling manjur karena situs 2 secara normal bertanggung jawab terhadap reabsorpsi hingga 30% dari muatan Na+ yang tersaring, dan dua situs reabsorptif Na+ dihilir (situs 3 dan 4) merupakan situs dengan kapasitas yang relatif rendah. Yang dimaksud diuretik yang bekerja secara berulang pada situs 2 adalah diuretik loop atau high-ceiling. Diuretik yang bekerja pada situs 3 atau 4 kurang manjur karena dua situs ini hanya bertanggung jawab terhadap reabsorpsi 5-8% dan 2-3% muatan Na+ yang terfiltrasi secara berturut-turut. Kedua, keefisienan dari diuretik berdasarkan konsentrasinya pada tempat dimana transport Na+ dihambat. Dalam beberapa kasus, diuretik mengalami gangguan pada proses yang bertanggung jawab dalam reabsorpsi Na+ yang berada pada membran luminal, dan karenanya, konsentrasi intraluminalnya juga menjadi bagian yang sangat penting. Konsentrasi dari agen diuretik yang pada akhirnya diperkenalkan pada bagian luminal ditentukan oleh bagaimana baiknya agen tersebut di filtrasi pada glomerulus, apakah agen diuretik tersebut melalui sekresi tubular aktif pada tubula proximal, dan apakah agen tersebut juga melalui difusi balik nonionik pada bagian distal nephron. Semua proses diuretik memasuki cairan luminal melalui proses filtrasi glomerular tetapi dengan bermacam-macam kadarnya. Jumlah yang masuk dalam cairan luminal dengan proses filtrasi berdasarkan pada GFR, konsentrasi plasma dari agen diuretik, dan secara luas dimana diuretik diikat pada predominan plasma protein yang tidak difiltrasi, albumin. Dalam hal ini, beberapa dari diuretik telah mencapai konsentrasi tinggi secara relatif dalam cairan luminal pada tubula proximal melalui 2 cara dalam proses yang biasanya telah diketahui sebagai active tubular secretion. Membran antiluminal dari tubula proximal terdapat sekumpulan bidirectional sistem 12 transport aktif yang juga berpartisipasi dalam langkah pertama dari sekresi aktif tubular pada diuretik. The organic anion transport system (OATS) mentransport anion organik endogen dan eksogen; the organic cation transport system (OCTS) mengontrol kation organik endogen dan eksogen. Karena banyaknya diuretik yang merupakan asam organik lemah (contoh: asam karboksil atau sulfonamida) atau basa organik lemah (contoh: amin), yang berada dalam bentuk organik anion atau kation, berturut-turut, dan kemungkinan dikontrol oleh OATS atau OCTS. Walaupun OATS dan OCTS tergolong bidirectional, dapat mentransport terutama diuretik dalam mensekresi signal (misalnya dari usus ke sel-sel tubula proximal). Bahkan diuretik yang secara ekstensif berikatan dengan protein plasma dapat disekresi dengan lancar.Yang terpenting adalah baik OATS maupun OCTS memiliki syarat struktural yang sukar selama anion organik atau kation masingmasingnya di transport. Cara kedua adalah sekresi aktif tubular dari diuretik yang merupakan bagian dari sel-sel tubula proximal didalam cairan luminal, kemungkinan dilakukan dengan kombinasi difusi pasif dan transport aktif. Pada proses filtrasi dan sekresi, konsentrasi diuretik cairan luminal pada beberapa segmen distal pada tubulus ditentukan oleh koefisien partisi lipid atau air dan pKa yang sama seperti pH pada cairan luminal distal. Faktor-faktor tersebut mengatur konsentrasi diuretik pada site 3 dan 4. Diuretik asam lemah, yang memiliki bentuk tidak berdiasosiasi dapat menyeimbangkan kelarutan antara lipid dan air, dapat pula melewati difusi yang bergantung pH (disebut pula Difusi Kembali Nonionik) dari cairan luminal tubulus distal kembali ke aliran darah. Seringkali terjadi penurunan konsentrasi cairan luminal dan rata-rata ekskresi ginjal pada diuretik tetapi dapat memperpanjang waktu paruh di dalam plasma. Zat-zat diuretik yang bersifat basa lemah memiliki sifat sama jika pH urin dalam keadaan basa, yang menyerupai jenis obat yang tidak bermuatan. Asam atau basa lemah organik yang bentuk tak bermuatannya memiliki koefisien partisi lipid/air yang tidak cocok, tidak akan melalui difusi kembali ionik. Diuretik ini akan disimpan pada cairan luminal dan akan disekresikan. Dengan demikian, agen diuretik dapat mencapai konsentrasi tinggi di cairan luminal yang diikuti filtrasi glomerulus, pengaktifan sekresi tubulus dengan sedikit atau tidak ada subsekuen difusi kembali nonionik. Diuretik yang bekerja pada site 2 dan 3 sama seperti 13 beberapa yang bekerja pada site 4 penghambat transport Na+ yang bekerja pada membran luminal dan konsentrasi cairan luminal harus mencapai nilai relatif yang tinggi. Sedangkan, CA(Carbonic Anhydrase)-penghambat diuretik yang bekerja pada site 1 harus mencapai konsentrasi yang adekuat dalam cairan luminal sama seperti intraselular, dan aldosteron yang berantagonis dengan spironolakton harus mencapai konsentrasi intraseluler yang adekuat pada site 4. Akhirnya, kemampuan dari diuretik juga ditentukan oleh volume plasma pasien dan keadaan fungsi ginjal bersamaan administrasi obat yang menurunkan GFR dan berikatan kompetitif pada OATS atau OCTS serta menurunkan sekresi tubulus aktif dan konsentrasi cairan luminal dari diuretik. Banyak penelitian SAR sebelumnya mengenai diuretik dilakukan pada semua hewan, dan hasilnya dapat disalahartikan kecuali jika penyebabnya dipelajari. Umumnya, campuran macam-macam struktur kimia dilakukan pada hewan dan diurutkan berdasarkan kemampuan mereka menghasilkan perubahan volume urin atau keluaran Na+ selama periode yang ditentukan. Kesimpulan kemudian diambil mengenai grup fungsional yang mana yang paling penting untuk aktivitas diuretik yang optimal. Peneliti baru harus mengingat bahwa hasil dari beberapa penelitian tidak perlu diartikan sebagai urutan aktivitas intrinsik dan agen di bawah penelitian. Penelitian SAR diuretik yang dilakukan pada semua hewan memberikan hasil berupa gabungan absorpsi, ikatan protein plasma, distribusi, biotransformasi, ekskresi, sekresi tubular aktif, aktivasi intrinsik, dan efek sekunder (misalnya peruahan dalam GFR) dari bermacam-macam agen. Secara kebetulan, sebagian besar, jika tidak semuanya, dari variabel-variabel tersebut diabaikan selama prosedur skrining inisial diuretik; oleh karena itu dapat disalah asumsikan bahwa perbedaan dalam aktivitas diuretik berkaitan dengan perbedaan aktivitas intrinsik. Jika salah satu diperhatikan dari aktivitas intrinsik anggota grup diuretik, perkiraan yang lebih dekat dapat dicapai dengan mempelajari agen segmen nefron yang diisolasi yang prototipik diuretiknya atau yang berkaitan diketahui beraksi. Beberapa penelitian tersebut telah dilakukan. Tidak seharusnya menjadi kejutan ketika hasil dari penelitian SAR in vivo dan in vitro berbeda. Ini terjadi karena efek saling mempengaruhi antara sejumlah parameter dalam penelitian in vivo (misalnya absorpsi, distribusi, dan lain 14 sebagainya) yang dapat dieliminasi dalam desain penelitian in vitro yang tepat. Hampir semua dari keseluruhan struktur data aktivtas akan disebutkan dalam bagian chapter ini yang akan datang dari investigasi hewan sampai manusia. SITE 1 DIURETICS : KARBONIK ANHIDRASE INHIBITORS (CAINHIBITORS) Meskipun memiliki kemampuan diuretik, CA-inhibitor jarang digunakan, CA-inhibitor tidak hanya memegang peranan penting dalam pengembangan golongan utama diuretik lainnya yang penggunaannya tersebar luas tapi juga membantu kita memahami fisiologi dasar ginjal. Singkatnya setelah sulfanilamid dikenal dapat mengobati infeksi bakteri, sulfanilamide juga diteliti berkemampuan diuresis ringan dengan adanya diuresis Na+ dan substansi yang mengandung HCO3-. Ditunjukkan juga bahwa sulfanilamide menginduksi efek ini hingga menginhibisi CA di ginjal. Namun demikian, efek ini relatif lemah dan membutuhkan dosis yang cukup adekuat, hal ini nantinya berkaitan dengan beberapa efek sampingnya. Untuk meningkatkan kemampuan CA-inhibitor dari sulfanilamide, banyak komponen sulfamoyl (-SO2NH2) disintesis dan dibatasi khusus untuk diuresis in vivo dan kemampuannya sebagai CA-inhibitor in vitro. Dua jenis CA-inhibitor yang timbul : heterosiklik sulfonilamid sederhana dan turunan meta-disulfamoylbenzen. HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIFITAS SAR mempelajari kemajuan dari heterosiklik sulfonilamid sederhana dari prototipe CA-inhibitor, asetazolamid. Gugus sulfamoylnya esensial untuk aktivitas CA-inhibitor secara in vitro dan produksi diuresis in vivo. Atom Nitrogen dari Sulfamoyl tidak boleh disubstitusi dengan tujuan untuk menahan aktivitasnya secara in vitro dan in vivo. Hal ini dapat menjelaskan mengapa semua antibakteri golongan sulfonamide kecuali sulfanilamide tidak dapat menghambat CA ataupun untuk mempercepat diuresis. Berbeda dengan substitusi metil pada cincin nitrogen asetazolamid yang menghasilkan metazolamid, sebuah produk yang dapat menahan aktivitas CA-inhibitor. Pada gugus dimana gugus sulfamoyl ditambahkan harus memiliki sifat aromatik. Sekarang, dalam pemberian seri 15 heterosiklik sulfonilamid, turunan dengan koefisien partisi lemak/air yang tinggi dan nilai pKA yang rendah memiliki aktivitas CA-inhibitor dan aktivitas diuresis yang tinggi. Penelitian SAR yang meliputi meta-disulfamoylbenzen menyatakan bahwa induk 1,3-disulfonilbenzen kurang mempunyai aktivitas diuretik, namun substitusi kunci membiarkan persenyawaan dengan diuretik. Analog komersial utama, diklorfenamid, mirip dengan aktivitas CA-inhibitor asetazolamid namun diklorfenamid juga merupakan agen kloruretik. Kloraminofenamid jika diberikan secara IV memiliki aktivitas CA-inhibitor yang rendah, namun aktivitas kloruretik lebih tinggi. Rendahnya aktivitas diuresis mengikuti pemberian oral kloraminofenamid menghalangi penyebarannya. FARMAKOKINETIK Ketersediaan inhibitor CA secara klinis diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan didistribusikan ke wilayah penghambatan CA yang paling penting, bekerja sedikit, dan jika ada beberapa biotranmasformasi, dan diekskresi terutama di ginjal. Semua inhibitor CA relatifnya mencapai konsentrasi yang tinggi pada cairan renal luminal (dengan kombinasi filtrasi glomerular dan sekresi aktif tubular) dan pada sel-sel tubulus proximal. LOKASI DAN MEKANISME AKSI Karbonik anhidrase (CA) terletak pada intraselular (CA tipe II) dan permukaan bebas membran lumen (CA tipe IV) dari sel tubulus liku proksimal (Gambar 18-3A). Kedua lokasi ini, yang termasuk dalam site 1, merupakan sasaran utama penghambat karbonik anhidrase. Kelompok diuretik ini juga menghambat karbonik anhidrase intrasel pada sel antar sambungan dan tubulus pengumpul kortikal (i.e., site 4; Gambar 18-6). Selama 4 hingga 7 hari pertama terapi berkelanjutan dengan penghambat karbonik anhidrase, beberapa hal signifikan terjadi yang mengakibatkan peningkatan ekskresi Na+ dan HCO3- : (a) penghambatan CA intrasel pada sel tubulus proksimal menurunkan ketersediaan H+ yang normalnya bertukar dengan Na+ cairan lumen, sehingga menurunkan reabsorpsi Na+ pada tubulus proksimal; 16 dan (b) penghambatan CA pada permukaan bebas membran lumen dari sel tubulus proksimal menyebabkan penurunan produksi karbon dioksida di dalam cairan lumen dan penurunan pengambilan karbon dioksida oleh tubulus proksimal. Hasil akhirnya adalah penurunan reabsorpsi HCO3-. Dapat juga diperkirakan bahwa diuresis berlebihan akan menjadi akibat dari penghambatan reabsorpsi Na+ oleh tubulus proksimal dibawah kontrol CA (contoh : sepertiga dari 65% Na+ hasil filtrasi, normalnya direabsorpsi dari cairan lumen proksimal, atau sekitar 22% dari Na+ hasil filtrasi). Bagaimanapun, aliran tempat reabsorpsi Na+ (khususnya site 2) menggantikan reabsorpsi Na+ tambahan yang diberikan pada mereka. Sebagian HCO3- cairan lumen direabsorpsi pada alirannya oleh sistem mediasi non-CA. Oleh karena itu, aksi dari penghambat CA pada akhirnya berujung pada hilangnya Na+ hasil filtrasi sebesar 2% hingga 5% dan hilangnya hasil filtrasi HCO3- hingga 30%. Kedua, penghambat CA meningkatkan ekskresi sejumlah K+ pada urin. Kehilangan K+ pada urin meningkat karena aksi penghambat CA tubulus proksimal menjadikan presentase Na+ hasil filtrasi yang lebih besar ke site 4. Ketiga perubahan meningkatkan pertukaran Na+ cairan lumen dengan K+ intrasel pada site 4. Konsentrasi Cl- pada urin sebenarnya menurun setelah penggunaan penghambat CA. Oleh karena itu, penghambat CA umumnya adalah agen natriuretik, bikarbonaturetik, dan kaliuretik. Saat akhir minggu pertama penggunaan atau terapi berkelanjutan dengan penghambat CA, berkembang resistensi sebagai efek diuretiknya. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, adanya pengurangan pada HCO3hasil filtrasi karena inhibitor CA menjadikan pengurangan GFR sebesar 20% melalui mekanisme timbal balik tubuloglomerular, dan pengurangan konsentrasi HCO3- pada plasma. Saat HCO3- cairan lumen lebih sedikit, maka lebih sedikit pula reabsorpsi HCO3- untuk dihambat. Kedua, asidosis metabolik yang disebabkan oleh diuretik ini menghasilkan jumlah yang cukup dari H+ intrasel untuk bertukar dengan Na+ cairan lumen yang bukan diinduksi oleh CA. Reabsorpsi Na+ pada site 1 secara bertahap kembali pada tingkatan normal dan diuresis berkurang. 17 EFEK SAMPING Empat efek samping yang sangat mungkin terjadi yang berkaitan dengan penghambat karbonik anhidrase adalah sebagai berikut, 1. Terjadi asidosis metabolik karena lepasnya HCO3 dari ginjal. 2. Hipokalemia karena hilangnya K+ dari ginjal 3. Penurunan Glomerulus Filtration Rate (GFR) sebanyak 20% yang terjadi di bagian juxtaglomerular karena peningkatan aliran cairan luminal yang melewati sel makula densa atau peningkatan reabsorpsi cairan lain yang berada pada sel makula densa. 4. Reaksi hipersensitif akibat sulfonilamida seperti urtikaria, demam, kelainan pada darah dan radang pada interstitial sel nefron. Penghambat karbonik anhidrase bisa juga mengakibatkan paresthesia (sakit tertusuk-tusuk akibat tekanan atau kerusakan saraf perifer), pusing, lelah yang amat sangat (fatigue), anoreksia, gangguan saluran pencernaan, dan urinary calculi. Yang terakhir terjadi karena penurunan ekskresi sitrat, komponen normal urin yang membantu garam Ca2+ tetap dalam bentuk terlarut. Penghambat CA dapat memperburuk gejala yang berhubungan dengan sirosis hati. Akibatnya, penggunaan penghambat CA harus dihindari pada pasien dengan gangguan hati. Penghambat CA menyebabkan alkalinisasi dari pengurangan urin cairan luminal normal menjebak ammoniak (NH3) dalam bentuk ion ammonium (NH4+). Hal ini menimbulkan pengurangan kembali ekskresi ion ammonium dalam urin. Pada keaadaan ini, ammonium dengan daya difusi yang tinggi dialihkan dari cairan luminal ke sirkulasi sistemik, dimana hal ini bisa mendorong berkembangnya hepatic encephalophathy. 18 19 KEGUNAAN PENGHAMBAT CA Kegunaan utama dari penghambat CA adalah dalam pengobatan glaukoma. CA merupakan enzim fungsional yang penting pada mata, dimana penghambat CA mempunyai peranan penting dalam formasi agueous humor. Penghambatan enzim untuk penglihatan mengakibatkan penurunan tingkat formasi dari aqueous humor, sehingga menurunkan tekanan intraokular yang berhubungan dengan glaukoma. Menariknya, penurunan tekanan intraokular biasanya berlangsung pada saat perlawanan telah dilakukan ginjal sebagai efek terhadap penghambat CA. Penghambat CA telah digunakan secara prophylactically untuk menyembuhkan/menetralkan puncak terjadinya penyakit akut, bertindak sebagai adjuvant untuk pengobatan epilepsi, dan digunakan untuk menghasilkan urin yang basa dalam usaha untuk mempercepat ekskresi asam-asam lemah tertentu yang berbahaya melalui ginjal atau untuk mempertahankan kelarutan urin terhadap zatzat yang sukar larut, asam lemah endogen (misalnya asam urat). PRODUK Asetazolamida, USP. Asetazolamida, N-[5-(aminosulfonil)1,3,4-tiadiazol2-il] asetamida (Diamox), diperkenalkan tahun 1953 sebagai sediaan oral pertama yang efektif, diuretik non-merkuri tersedia pada dokter. Saat ini, penggunaannya dilarang karena khasiatnya yang terbatas dan kerusakan yang berkembang pada aksi diuretiknya dalam minggu pertama terapi yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, obat ini menjadi penghambat CA paling penting yang tersedia dan bekerja sebagai agen dasar (prototype) pada kelasnya. Asetazolamida diserap dengan baik pada saluran gastrointestinal, diikat secara ekstensif pada protein plasma, dan tidak dibiotransformasikan. Level plasma puncak dicapai dalam 2 hingga 4 jam. Onset dicapai sekitar satu jam dan durasinya dicapai dalam rentang 6 hingga 12 jam. Asetazolamida dihilangkan secara total dari plasma oleh ginjal dalam 24 jam. Penanganan ginjal terhadap asetazolamida meliputi, filtrasi pada glomerulus, sekresi tubular aktif secara eksklusif pada tubulus proksimal, dan difusi kembali nonionik pH dependen pada berbagai derajat dalam segmen distal pada nefron. Metazolamida, USP. Walaupun penelitian in vitro telah menunjukkan bahwa Metazolamida, N-[5-(aminosulfonil)-3-metil-1,3,4-tiadiazol-2(3H)- 20 ylidene] asetamida (Neptazene) adalah penghambat CA yang lebih potensial dibanding dengan bentuk dasar (prototype) Asetazolamida, obat ini jarang dipakai sebagai diuretik (karena alasan yang sama seperti Asetazolamida). Metazolamida menunjukkan penetrasi yang membaik ke dalam mata, khasiat yang berkontribusi pada kegunaannya dalam pengobatan glaukoma. Dichlorphenamide, USP. Seperti inhibitor CA lainnya, dichlorphenamide, 4,5-dchloro-1,3-benzenedisulfonamide (Daranide)(gambar 18.8), jarang digunakan sebagai diuretik. Sedikit keterangan mengenai farmakokinetiknya. Seperti inhibitor CA lainnya. diklorofenamida dapat menurunkan tekanan intraokular dan dapat digunakan pada pengobatan glaukoma. Hal penting dari diklorofenamida dan kloraminofenamida adalah pada akhirnya mereka digunakan sebagai batu loncatan dari CA-inhibiting diuretik ‘murni’ kearah pembentukan thiazida dan thiazida-seperti diuretik, yang merupakan agen natriuretik dan klorouretik efektif dengan aktifitas penghambat CA minimum SITE 3 DIURETIK: THIAZID DAN DIURETIK MIRIP THIAZID Chloraminophenamid menjadi kunci logis pada pengembangan dari kekurangan diuretic dalam hal sifat yang tidak menyenangkan bagi CA inhibitor. Ketika Chloraminophenamid ditambah dengan acylating reagen dihasilkan siklik pada bentuk dari 1,2,4- benzothiadiazin- 1,1 – dioksida. Penggunaan aldehid atau keton pada acylating reagen menghasilkan turunan dihidro yang sesuai. Produk dari reaksi ini dikenal sebagai Thiazid dan Hidrothiazid. Thiazid yang pertama kali efektif pada penggunaan oral adalah agen saluretic yang aktifitas diuretiknya tidak berpengaruh pada status asam-basa pasien. HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIFITAS Penyelidikan yang mendalam tentang SAR dengan diuretik Thiazid telah dilakukan. Singkatnya, posisi no.2 dapat tahan terhadap adanya grup alkil pendek seperti CH3-. Posisi no.3 adalah yang paling penting dari modifikasi struktur ini. Substituen pada posisi no.3 mempunyai peran dominan dalam menentukan potensi dan durasi aksi dan diuretik Thiazid. Sehingga, substituen pada posisi no.3 menghasilkan senyawa inhibitor spesifik terhadap aksi diuretik pada Thiazid. 21 Kehilangan ikatan rangkap antara posisi no.3 dan no.4 dari benzothiadiazin -1,1dioksida meningkatkan potensi diuretiknya sekitar 3-10 kali lipat. Substitusi langsung dari posisi no.4, 5, atau 8 dengan grup alkil selalu akan mengurangi aktifitas diuretik. Substitusi pada posisi no.6 dengan grup ”aktifasi” sangat diperlukan bagi aktifitas diuretik. Substituen yang terbaik meliputi Cl-, Br-, CF3-, dan grup NO2-. Grup Sulfamoyl pada posisi no.7 adalah prasyarat bagi aktifitas diuretik. Tabel 18-1 menggambarkan ketersediaan diuretik turunan dari banyak pengubahan dari inti benzothiadiazin -1,1- dioksida. Ketika ditemukan bahwa grup Sulfamoyl pada letak para dan grup aktifasi pada letak meta dari disulfamoylbenzen dapat digantikan dengan beberapa grup elektronegatif lain mengingat tentang aktifitas diuretiknya (gambar 18.8), kelompok ini kemudian dikenal sebagai diuretik mirip Thiazid. Diuretik yang ditampilkan pada gambar 18-10 menghadirkan kelompok yang paling aktif dari kelompok tersebut. Diuretik tersebut bukan benzothiadiazin, tapi mempunyai tempat aksi, efek letak ekskresi elektrolit dan efek yang tidak diinginkan menyerupai Thiazid. Karena alasan tersebut, Thiazid dan diuretik mirip Thiazid dibahas dalam satu kelompok. FARMAKOKINETIK Sebagian besar thiazid dan senyawa diuretik seperti thiazid diserap baik setelah pemberian oral, kecuali klorothiazid (hanya sekitar 10% yang diserap). Onset dari obat ini biasanya terjadi dalam 1-2 jam, dan efek puncak diuretic terjadi dalam 3-6 jam. Sebagian besar diuretic dalam golongan ini banyak terikat pada protein plasma (atau pada sel darah merah CA untuk klorthiazid dan metolazon), mengalami sedikit biotransformasi (kecuali mefrusid dan metolazon), dan diekresikan terutama melalui ginjal. Konsentrasi cairan luminal yang relatif tinggi dapat tercapai, biasanya dengan kombinasi filtrasi glomerulus dan sekresi tubular aktif oleh OATS di tubulus proximal. Konsentrasi cairan luminal dari obat ini berpengaruh pada diuresis. Obat-obat diuretik pada golongan ini dibedakan berdasarkan potensi dan durasi. Perbedaan pada potensi (dapat dilihat dari dosisnya) ditentukan berdasarkan sifat kimia yang terletak pada posisi 3 dari inti benzothiazid, yang 22 mengatur lipofilik dari obat tersebut. Perbedaan pada durasi ditentukan berdasarkan tingkatan ikatan protein plasma (atau ikatan sel darah merah) dan koefisien partisi lipid/air. Nilai akhir pKa dan pH cairan luminal menentukan tingkatan reabsorpsi obat pada tubulus distal dengan difusi balik nonionik. Banyak diuretik dalam golongan ini mempunyai waktu paruh yang panjang, akibat dari difusi balik nonionik. Data farmakologi dari thiazid dan senyawa diuretic mirip thiazid dapat dilihat pada table 18-2 dan 18-3. TEMPAT KERJA DAN MEKANISME AKSI Tempat kerja tiazid dan diuretik mirip tiazid sedikit berbeda antara satu spesies dengan yang lainnya. Pada manusia tidak masalah untuk menyimpulkan bahwa semua diuretik ini memblok reabsorbsi Na+ (dan oleh karena itu, reabsorbsi Cl-) pada tubulus distal dengan menghambat sistem kotranspor ikatan membran Na+/Cl- pada luminal. Oleh karena itu, semua diuretik dalam kelas ini bertanggung jawab terhadap hilangnya urin sekitar 5-8% dari muatan Na+ yang terfiltrasi. Meskipun mereka berbeda dalam potensi masing-masing (contohnya sejumlah obat dibutuhkan untuk menghasilkan pemberian respon diuretic), mereka sama efikasinya (contohnya mereka dapat mendesak respon diuretic maksimal yang serupa). Sebagai hasil dari kerja mereka pada “site 3”, tiazid dan diuretic mirip tiazid secara sekunder mengubah kecepatan ekskresi ion-ion penting ginjal seperti Na+ dan Cl-. Penghambatan reabsorbsi Na+ dan Cl- pada “site 3” pada akhirnya mengakibatkan penghantaran sejumlah hasil filtrasi Na+ ke “site 4”. Sebagai hasilnya, terdapat pertukaran yang tinggi dari cairan luminal Na+ untuk sel penting K+, yang hasilnya adalah peningkatan ekskresi K+ pada urin. Kebanyakan dari tiazid dan diuretic mirip tiazid memiliki aktivitas residual CAinhibitory yang dapat dikaitkan dengan peningkatan yang kecil dari kecepatan ekskresi ginjal terhadap HCO3-. Tidak seperti CA-inhibitory aslinya, tiazid dan diuretic mirip tiazid tidak selalu menimbulkan pengembangan resisten terhadap obat terinduksi yang mengacaukan keseimbangan asam-basa. Karena itu, diuretic kelas ini ditujukan sebagai natriuretic, cloruretic, saluretic, kaliuratic, dan bicarbonaturetic agent sangat lemah. Yang penting, terapi jangka pendek dengan 23 tiazid atau diuretic mirip tiazid menghasilkan sedikit atau tidak ada perubahan dalam ekskresi Ca2+, bagaimanapun, terapi jangka panjang dengan agen ini dapat memperlihatkan penurunan ekskresi Ca2+. EFEK SAMPING Empat efek samping berkaitan dengan diuretik tiazid dan seperti tiazid sangat dapat diprediksi karena karakteristik kimia atau tempat kerja mereka di sepanjang nefron. 1. Semua diuretik ini memiliki sulfamoyl moiety, yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas serperti urtikaria, demam obat, diserasias darah, dan nefritis interstitial. Orang yang hipersensitif terhadap 1 dari agen-agen dalam kelas ini kemungkinan besar akan menjadi hipersensitif terhadap semua agen. Cross hypersensitivity juga dapat terjadi antara diuretik tiazida dan turunannya, inhibitor CA, dan diuretik yang mengandung lingkaran sulfamoyl seperti furosemid dan bumetanid. 2. Hipokalemia adalah hasil dari peningkatan induser diuretik pada ekskresi kalium dalam ginjal. 3. Pada awalnya, diuretik ini menyebabkan sedikit penurunan curah jantung. Sedikit penurunan volume plasma dan tekanan darah terjadi pada penggunaan secara terus menerus. Perubahan ini sering berkaitan dengan peningkatan reabsorpsi air, larutan, pelepasan renin, formasi angiotensin II dan sekresi aldosteron. Kombinasi peristiwa-peristiwa itu dikenal sebagai diuretic braking phenomenon. Perubahan-perubahan ini biasanya membantu mengurangi efek diureti, tapi penurunan tekanan darah tetap berlangsung. 4. Kadang-kadang, seorang pasien dapat mengalami hiperkalsemia atau hiperurisemia setelah penggunaan jangka panjang diuretik tiazid atau seperti tiazid. Ini merupakan hasil dari penurunan induser diuretik pada volume plasma pasien bersamaan dengan peningkatan pada reabsorsi cairan luminal dan larutan dalam tubulus proksimal. Dalam beberapa keadaan, kelebihan Ca2+ dan asam urat dari biasanya akan diabsorpsi 24 secara proksimal. Keseriusan dari 2 efek samping ini bergantung pada durasi dan tingkat penurunan volume plasma. Mekanisme dari beberapa efek yang tidak diinginkan dari tiazid dan diuretik mirip tiazid tidak diketahui secara pasti. Efek tersebut meliputi penurunan akut pada GFR (terutama setelah pemakaian i.v) dan hiperglikemia. Penurunan GFR tidak terkait dengan mekanisme feedback tubuloglomerular karena tempat kerja dari diuretik ini pada bagian distal hingga sel makula densa. Beberapa peneliti menyarankan bahwa tiazid dan diuretik mirip tiazid bekerja langsung pada pembuluh darah di ginjal untuk menurunkan GFR. Semua diuretik yang termasuk dalam golongan ini dapat menurunkan GFR, kecuali metolazone dan indapamide. Hal ini amat penting untuk individu dengan kelainan fungsi ginjal yang memerlukan terapi diuretik. Individu dengan GFR di bawah 15-25 ml/menit tidak efektif jika diberikan tiazid atau diuretik mirip tiazid. Dalam kasus tersebut, metolazone dan indapamide dapat memberikan hasil yang lebih baik. Tiazid dan diuretik mirip tiazid dapat berinteraksi dengan beberapa obat menyebabkan efek yang berpotensi membahayakan. Salah satunya adalah pemberian Li+ dengan dosis yang tidak disesuaikan terlebih dahulu pada pasien yang sedang diterapi jangka panjang dengan diuretik golongan ini. Tubulus proksimal mereabsorpsi Li+ dan Na+ dengan porsi yang sama. Pada terapi jangka panjang dengan tiazid dan diuretik mirip tiazid, penurunan volume plasma memicu kompensasi dengan meningkatkan reabsorpsi tubulus proksimal terhadap cairan dan zat terlarut. Hal ini menyebabkan Li+ akan direabsorpsi lebih banyak daripada jumlah normal. Jumlah Li+ yang meningkat pada plasma darah dapat menimbulkan keracunan Li+. Kombinasi tiazid dan diuretik mirip tiazid dengan senyawa yang mengandung Ca2+ dalam dosis besar dapat menyebabkan hiperkalsemia karena efek diuretik yang menahan ekskresi Ca2+. Penggunaan tiazid dan diuretik mirip tiazid dengan dengan obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS), yang menghambat sintesis prostaglandin, dapat mengantagonis efek diuresis. Selain itu, AINS dapat meningkatkan resiko gagal ginjal pada pasien yang fungsi marjinal ginjalnya diatur oleh prostaglandin yang dilepaskan intrarenal. Tiazid dan diuretik mirip tiazid dengan glikosida jantung (misalnya 25 digoxin atau digitoxin) pada penderita gagal jantung kongestif dapat mengakibatkan keracunan jika terjadi hipokalemia. KEGUNAAN Thiazide dan diuretic mirip thiazide sangat berguna dalam pengobatan edema yang menyertai gagal jantung kongestif, sirosis hati, atau sindrom nefrotik. Karena edema adalah gejala yang mendasari suatu penyakit dan bukan merupakan penyakit tunggal, maka penyakit dasar tersebut harus diatasi pertama kali jika memungkinkan. Jika pengobatan awal tidak menghilangkan cairan edema, terapi dengan diuretic dianjurkan. Perhatian diperlukan ketika thiazide atau diuretic mirip thiazide diberikan bersama glikosida jantung untuk pengobatan edema yang menyertai gagal jantung kongestif. Diuretic ini cenderung mengakibatkan hypokalemia, suatu kondisi yang dapat meningkatkan toksisitas dari glikosida jatung. Terapi kombinasi diuretic (seperti thiazid atau diuretic mirip thiazide ditambah diuretic hemat kalium) dapat mencegah kehilangan K+ pada keadaan ini. Jika terapi kombinasi diuretic diberikan, resep disarankan tidak memberi suplemen K+ untuk mencegah hyperkalemia yang serius. Thiazide dan diuretic mirip thiazide juga berguns dalam pengobatan kelainan nonedema tertentu, meliputi hipertensi, diabetes insipidus (nefogenik atau neurohypophyseal), renal tubuli asidosis tipe II, dan hipercalciuria. Diuretic ini sebagai agen utama pengobatan hipertensi, tunggal atau kombinasi dengan obat lain, bergantung pada parahnya kondisi. Thiazide biasanya dapat menurunkan tekanan darah 10-15 mmHg dalam 3-4 hari pertama pengobatan kontinyu. Setelah kira-kira seminggu pengobatan (ketika terjadi reduksi plama volume secara bersamaan), ginjal kembali mengatasi efek awal diuretic, dan efek tersebut menurun sementara penurunan tekanan darah dinormalkan. Hal ini terjadi karena persediaan intake natrium tidak meningkat. Beberapa individu dengan hipercalciuria (tingginya konsentrasi kalsium dalam urin) cenderung membentuk batu kalsium dalam saluran kemihnya. Karena penggunaan thiazide dan diuretic mirip thiazide jangka panjang dapat menurunkan eksresi Ca2+, maka dapat membantu mencegah pembentukan batu kalsium. 26 SITE 2 DIURETIK : HIGH CEILING OR LOOP DIURETICS Diuretik pada kelas ini mempunyai bermacam-macam struktur kimia. Walaupun telah dijelaskan terbuat dari organomerkurial diuretik, tetapi lebih difokuskan pada agen yang kegunaannya untuk klinis, contohnya furosemide (asam 5-sulfamoyl-2-aminobenzoic atau turunan asam antranilik), bumetanide (asam 5-sulfamoyl-3-aminobenzoik atau turunan asam metanilik), torsemide (4amino-3-piridinsulfonilurea), dan asam etakrinik (turunan asam fenoksiasetat). ORGANOMERCURIALS Organomerkuri adalah senyawa utama dari terapi diuretik dari 1920 sampai awal 1950. Diuresis diobati dengan menghambat reabsorpsi Na+ pada site 2 dan mengganti sekuens Na+ dengan K+ pada site 4. Jadi bisa meminimalkan natriuretik, kloruretik, dan kaliuretik. Organomerkuri mempunyai beberapa keterbatasan : 1. Tidak bisa mengobati diuresis ketika diberikan oral karena absorpsi yang tidak bagus. 2. Ketika diberikan secara parenteral, hanya 1 sampai 2 jam dalam onset untuk mengobati diuresis. 3. Kemampuan dari organomerkuri untuk menyebabkan respon diuretik tergantung dari status asam-basa tiap individu. 4. Organomerkuri bersifat kardiotoksik dan nefrotoksik. Maka dari itu, organomerkuri tidak lagi diproduksi dengan munculnya thiazid, dan diuretik mirip thiazid, furosemide, bumetanide, dan asam etakrinik. Lima agen di atas efektif bila diberikan oral, sama efektifnya bila diberikan dalam keadaan asidosis atau alkalosis, mampu menginduksi diuresis ketika diberikan secara parenteral, dan relatif nontoksik. Asam 5-sulfamoil-2-aminobenzoat dan deivat asam 5-sulfamoil-3-amino benzoate Bumetanide, USP. Struktur bumetanide, asam 3-(butilamino)-4-phenoxy5-sulfamoilbenzoat. 27 Furosemide, USP. Struktur furisemide, 4-chloro-N-furfuril-5- sulfamoilanthranilic acid (lasix). HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS Perkembangan dari loop diuretic adalah hasil dari penelitian yang meliputi thiazide dan turunannya. Terdapat syarat penting dalam struktur yang sama dengan Asam 5-sulfamoil-2-aminobenzoat dan derivate Asam 5-sulfamoil-2aminobenzoat (gambar 1). Pertama, substituent pada posisi 1 marus asam, tetapi gugus lain seperti tetrazole dapat memberikan aktifitas diuretic yang cukup baik. Kedua, gugus sulfamoil pada posisi 5 adalah prasyarat untuk aktivitas high-ceiling diuretic yang optimal. Ketiga, gugus (-X) yang “aktif” pada posisi 4 dapat berupa Cl¯ atau CF3¯, seperti pada tiazid dan derivatnya, atau seperti gugus fenoksi, alkoksi, aniline, benzyl dan benzoate. Yang menarik adalah penggantian satu dari 5 gugus fungsi yang disebutkan terakhir untuk gugus Cl¯ atau CF3¯ pada tiazid dan derivatnya dapat mengurangi aktivitas diuretiknya. Dua macam asam 5-sulfamoilbenzoat ini sangat berbeda pada gugus fungsi yang dapat disubstitusi pada posisi 2 dan 3 dengan aktivitas penyimpanan diuretic yang maksimal (gambar 1). Substituent yang dapat ditoleransi pada gugus 2-amino dari asam 5-sulfamoil-2-aminobenzoat sangat terbatas dan tidak boleh ada penyimpangan. Subsituen yang diperbolehkan pada gugus 3-amino pada asam 5-sulfamoil-3-aminobenzoat dapat berbeda-beda tanpa mengancam aktivitas diuretic yang optimal. High-ceiling diuretics yang timbul dari jenis asam 5sulfamoil-2-aminobenzoat termasuk furosemide dan azosemide, yang tibul dari jenis asam 5-sulfamoil-3-aminobenzoat seperti bumetanide dan piretanide. Hanya furosemide dan bumetanide yang secara komersial tersedia di USA. FARMAKOKINETIK Furosemide dan bumetanide berbeda secara farmakologi terutama dari potensi dan bioavalaibilitas. Bumetanide lebih poten dari furosemide. Dia menghasilkan efek diuretic pada 1/40 dosis. Bioavailabilitas dari furosemide ketika diberikan secara oral sekitar 60-69% pada pasien normal tetapi hanya 4346% pada pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir. Bioavailabilitas bumetadine pada orang normal sekitar 80-90%. 28 Setelah pemberian parenteral, furosemide dan bumetanide mempunyai onset yang sangat cepat (2 sampai 3 menit). Durasi dari terapi parenteral tersebut 2 jam untuk furosemide dan 3.5 sampai 4 jam untuk bumetanide. Keuanya mempunyai onset sekitar 30 sampai 60 menit setelah diberikan per oral tetapi furosemide mempunyai durasi sedikit lebih panjanhdari bumetanide (6 sampai 8 jam versus 4 sampai 6 jam) ketika zat aktif mencapai saluran darah, mereka berikatan dengan protein plasma (93-95%). Kadar plasma yang terikat membatasi jumlah obat yang dapat dilepas dari plasma oleh filtrasi glomerulus, tetapi tidak dapat mencegah obat mencapai konsentrasi cairan luminal ginjal yang tinggi karena sekresi tubular yang aktif. Kedua obat tersebut adalah asam organic lemah dan disekresi ke dalam cairan luminal di tubulus proksimal. Hal itu penting untuk 2 alasan. Pertama, bertanggung jawab terhadap sekresi ginjal yang relative tinggi (karena durasi yang cepat) dari kedua obat tersebut; dan kedua, menyediakan penghantaran sejumlah obat tersebut ke dalam situs luminalnya. Faktor-faktor yang didiskusikan diatas menentukan konsentrasi luminal diuretic yang pernting ketika obat tersbut digunakan oleh pasien dengan uremia. Pasien dengan uremia mempunyai GFR yang rendah dengan level sirkulasi yang tinggi dari asam organic endogen yang lemah, keduanya menurunkan konsentrasi cairan luminal pada metabolism diuretic. Asam endogen endogen yang lemah pada sekresi tubular aktif ke dalam cairan luminal tubulus proksimal. Seringkali efek dari asam endogen yang lemah ini dapat dihilangkan dengan meningkatkan dosis obat diuretic. Peringatan harus diperhatikan karena terjadi peningkatanefek samping sejalan dengan peningkatan dosis. Sedikit furosemide diubah menjadi glukoronide dan 88% dari obat yang terdistribusi di ekskresi oleh ginjal. Bumetanide mengalami biotransformasi yang lebih luas pada manusia dan 81% diekskresi dalam urin (45% sebagai bentuk utuh). 29 Gambar1. Hasil dari studi hubungan antara struktur dengan aktivitas untuk mengembangkan furosemide dan bumetanide. WILAYAH DAN MEKANISME AKSI Kejadian yang berkontribusi terhadap efektifitas furosemide dan bumetanide adalah bermacam-macam. Pertama, diuretik ini menghambat system kotranspor 1Na+/1K+/2Cl- yang berlokasi pada membran luminal sel pada bagian asending lengkung henle. Hal yang terpenting adalah gugus karboksilat dari furosemide dan bumetanide dimaksudkan untuk berkompetisi dengan Cl- untuk menduduki sisi Cl- pada system kotransport 1Na+/1K+/2Cl- . Karena site 2 adalah merupakan sisi reabsorpsi Na+ dalam kapasitas yang besar, mencapai 30 % Na+ yang difiltrasi secara normal dan yang direabsorpsi pada segmen nefron ini mungkin diekskresikan ke dalam urin. Sebagai tambahan, reabsorpsi 30 % Na+ yang difiltrasi (termasuk Cl-) diperlukan untuk mempertahankan hipertonisitas dari interstisium medullar. Kondisi hipertonik interstisium medular menyebabkan kita dapat memproduksi urin pekat dengan cara membuang air keluar dari bagian descending lengkung henle melalui mekanisme osmosis dan juga keluar dari duktus pengumpul jika terdapat ADH. Jadi, ketika diuretik ini menghambat 30 reabsorpsi Na+ sampai 30% pada site 2, dalam hitungan menit mereka pun merusak hipertonisitas interstisium medular. Hasilnya adalah ketika Na+ dan Cltidak direabsorpsi pada site, maka air tidak dipindahkan melalui mekanisme osmosis dari bagian menurun lengkung henle atau dari duktus pengumpul. Sejumlah besar air, Na+, dan Cl- diekskresikan. Kedua, konsentrasi furosemide dan butenamide yang tinggi dicapai di cairan luminal proksimal dengan jalan OATS dan dikirim ke system kotranspor 1Na+/1K+/2Cl- pada site 2. Ketiga, walaupun diuretik ini mempercepat aliran cairan luminal melewati sel macula densa, perkiraan penurunan GFR (yang secara normal mengurangi diuresis) ternyata tidak terjadi. Hal ini disebabkan karena kemampuan diuretik menghambat system kotransport 1Na+/1K+/2Cl- pada membran luminal dari sel makula densa dan juga menurunkan pengambilan solut, yang pada akhirnya menghambat mekanisme umpan balik negatif tubuloglomerular untuk menurunkan GFR. Keempat, diuretik ini meningkatkan total aliran darah ke ginjal dengan mempertinggi pelepasan prostaglandin vasodilator intrarenal. Kelima, mereka menginduksi redistribusi aliran darah intrarenal yang berpengaruh positif pada besarnya diuresis. Semua diuretik yang beraksi pada site 2 adalah sama efektifnya dan lebih efektif daripada diuretik yang bekerja pada site 1,3 dan 4. Seperti yang disebutkan diatas, karena sisi aktifnya dan kemanjurannya, agen ini umumnya menunjuk kepada loop dan diuretik kuat(high-ceiling diuretic). Diuretik kuat dapat pula mempertinggi kehilangan K+ dan H+ dala proses urinasi. Pertama, dengan menghambat kompleks kotransport 1Na+/1K+/2Cl- pada site 2, sehingga diuretik mencegah pembentukan voltase dari trasepithelial lumenpositif dan oleh sebab itu menghambat reabsorpsi paraselular dar K+ dan kation lain. Kedua, penghambatan dari reabsorpsi Na+ pada site 2 pada akhirnya mengirimkan lebih banyak ion Na+ yang difilter pada kecepatan yang lebih tinggi ke site 4. Hal ini menyebabkan peningkatan pertukaran ion Na+ pada cairan luminal untuk K+ dan sel prinsipal dan ion H+ dalam sel interkalasi. Ketika diuretik digunakan dalam dosis submaksimal untuk mengobati hipertensi, mereka diharapkan mampu menciptakan efek diuresis yang sama besarnya dengan efek yan dihasilkan oleh thiazide atau diuretik mirip thiazide. 31 Dalam kondisi ini diuretik biasanya diasosiasikan dengan rendahnya potensi hipokalemia daripada thiazide dan diuretik mirip thiazide karena durasinya yang pendek dan ginjal memiliki lebih banyak waktu untuk menyesuaikna ulang. Ketika diuretik digunakan untuk mengobati edema akut , biarpun sering digunakan dalam dosis tinggi kehilangan Na+ dan K+ berlebihan tetap lebih besar pada terapi dengan menggunakan thiazide. Ketika diuretik menghambat sistem kotransport 1Na+/1K+/2Cl- pada membran luminal pada sel dibagian asending, mereka menurunkan voltase transepithelial lumen positif yang menyebabkan pergerakan paraselular dari kation cairan luminal misalnya Ca2+ ke dalam interstisium (Gambar 18-4). Sebab itu diuretik mungkin menginduksi ekskresi Ca2+ yang telah difiltrasi sampai 20-30% sehingga volume plasma tidak menurun. Jika volume plasma menurun sebagai akibat dari diuresis, maka ada mekanisme kompensasi yang meningkatkan reabsorpsi caian dan zat terlarut pada tubulus proksimal. 60 % Ca2+ yang difiltrasi, direabsorpsi pada tubulus proksimal selama normovolemia dan persentasi Ca2+ yang direabsorpsi proksimal akan meningkat pada kondisi volume plasma menurun. Oleh karena itu, selama diuretik menginduksi hipovolemia, sedikit Ca2+ dikirim ke bagian asending oleh diuretik untuk dihambat, sehingga akan memperlemah efek kalsiuretik dari diuretik. EFEK TAK DIINGINKAN Empat efek tak diinginkan yang paling memungkinkan yang diasosiasikan dengan furosemid dan bumetanid : 1. Alkalosis hipokalemia dihasilkan dari peningkatan pertukaran ion Na+ dengan K+ atau H+ dari cairan luminal ke intraselular pada situs 4. Peringatan digunakan ketika terapi bersamaan dengan lengkung diuretik dan glikosida jantung diterapkan karena hipokalemia meningkatkan toksisitas dari glikosida jantung. 2. Dalam jangka pendek, kehilangan cairan dan elektrolit bisa saja tidak diikuti dengan perubahan GFR karena efek agen-agen tersebut pada mekanisme umpan balik negatif tubuloglomerular. 3. Karena pengurangan volume plasma yang diinduksi oleh diuretic menyebabkan peningkatan reabsopsi zat yang secara normal di atur oleh tubulus proksimal (misalnya asam urat), beberapa hiperurisemia 32 yang berbeda pada tiap individu dapat meningkatkan gejala rematik pada penggunaan lengkung diuretic jangka panjang. Dengan alasan serupa, penggunaan secara bersamaan dengan lengkung diuretic dan pemberian dosis Li+ yang tidak disesuaikan dapat menyebabakan keracunan Li+. 4. Furosemid dan Bumetanid serupa dengan inhibitor CA, thiazide, dan diuretik serupa thiazid, yakni sama-sama memiliki gugus sulfamoyl. Gugus fugsi ini telah dihubungkan oleh reaksi hipersensitifitas seperti urtikaria, demam, dyscrasia darah, dan nefritis interstitial. Beberapa efek samping tak terduga dihubungkan dengan lengkung diuretic. Sebagai contoh, ada keunikan di antara diuretic dalam menghasilkan autotoksisitas. Biasanya, gangguan pendengaran sementara, namun dapat menjadi permanent. Ototoksisitas dapat dihubungkan secara langsung dengan peningkatan konsentrasi plasma pada lengkung diuretik. Oleh karena itu, individu dengan dengan gangguan ginjal meningkatkan resiko karena penurunan kemampuan untuk mengeksresi obat diuretik. Meskipun dosis milligram bumetanid 1/40 kali furosemid, agen ini mempunyai potensi ototoksisitas yang serupa. Peringatan dibutuhkan jika lengkung diuretik digunakan bersama dengan antibiotic aminoglikosida. Ototoksisitas dari dua kelas obat ini dapat menyebabkan ketergantungan. Efek samping lain dari furosemid dan bumetanid termasuk hiperglikemia, mual, muntah, dan mialgia. AINS, yang menghambat sintesis prostaglandin, dapat mengurangi natriuresis yang disebabkan oleh lengkung diuretik. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal awal yang sedang dalam terapi lengkung diuretik, AINS dapat meningkatkan resiko kerusakan ginjal dengan memblok sintesis intrarenal prostaglandin vasodilator, satu-satunya yang dapat menahan aliran darah ginjal pada pasien tersebut. PENGGUNAAN Diuretik tingkat tinggi efektif untuk edema yang menyertai gagal jantung kongestif, sirrosis hati, dan sindrom nefrotik. Penggunaan penting furosemid dan bumetanid adalah untuk perawatan edema pulmonary yang dihubungkan dengan 33 gagal jantung kongestif. Tidak ada grup diuretik yang lebih efektif dari lengkung diuretik pada kondisi ini, tapi mereka harus digunakan dengan perhatian yang besar. Penggunaan secara berlebihan dapat mengurangi volume plasma secara besar yang menghasilkan pengurangan pengembalian vena dan cardiac output dan menyebabkan gagal jantung. Lengkung diuretik dapat digunakan untuk perawatan kelainan nonedema. Gejala hiperkalsemia dapat dihilangkan dengan lengkung plasma, menyebabkan tidak adanya pengurangan volume plasma dan cairan bebas kalsium yang digunakan untuk penggantian kehilangan pada urin. Sebagai tambahan, furosemid digunakan pada perawatan hipertensi. Beberapa peneliti percaya, meskipun furosemid mempunyai durasi yang pendek, masih kurang efektif dibandingkan diuretik thiazid atau diuretik serupa thiazid. Telah dianjurkan bahwa furosemid lebih cocok digunakan untuk pasien hipertensi dengan retensi cairan yang sukar disembuhkan daripada thiazid atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Secara umum, furosemid atau bumetanid lebih dipilih dibandingkan asam ethacrinat (diuretik situs 2 lain) karena mereka mempunyai kurva dosis yang lebih luas, kurang ototoksisitas, dan kurang toksik terhadap gastrointestinal. 4-Amino-3-Pyridinesulfonylurea Gambar2. Struktur dari Torsemide,1-isopropyl-3-14-(3-methylphenylamino)pyridine{-3sufonyl}urea (Demadex). 34 HUBUNGAN STRUKTUR DENGAN AKTIVITAS Permulaan dari penemuan senyawa-senyawa 4-amino-3- pyridinesulfonilurea menampakkan bahwa aktivitas diuretic maksimum telah dicapai oleh Torsemide. Torsemide secara struktur kimia memiliki hubungan dengan Triflocin., zat diuretic yang telah dipelajari secara luas pada akhir 1960an dan permulaan 1970an tetapi pada akhirnya ditinggalkan karena zat ini menghasilkan karsinoma sel transisi pada lebih dari 50% kandung kemih tikus yang diberikan dalam dosis tinggi. FARMAKOKINETIK Torsemide diperkirakan memiliki bioavailabilitas sebesar 80% setelah pemberian secara oral. Torsemide dapat terikat dengan protein plasma (98-99%), sama seperti diuretic lain pada umumnya.Konsentrasi serum tertinggi umumnya dicapai dalam 1 jam, dengan waktu paruh 3-4 jam. Ini lebih lama daripada Furosemide (2 jam) dan Bumetanide (1-1,5 jam). Torsemide dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 di hati. Produk utamanya dihasilkan dari reaksi oksidasi kelompok metil aromatic ke turunan hidroksi dan karboksil serta hidroksilasi pada posisi para dari metilfenilamino. Diperkirakan 20% dari dosis yang diberikan diekskresikan melalui urin tanpa mengalami perubahan. TEMPAT KERJA DAN MEKANISME AKSI Seperti pada Furosemide dan bumetanide, Torsemide merangsang diuresis dengan menghambat system Kotranspor 1Na+/1K+/2Cl- pada membrane luminal ascending. Dengan demikian torsemide memiliki level jangkauan yang cukup pada cairan luminal. Pada dosis yang lebih tinggi, seperti yang telah dipelajari pada segmen nefron yang diisolasi, juga dapat menghambat efflux dari Cl- dari ascending oleh Channel Cl- pada membran basolateral. EFEK TAK DIINGINKAN Torsemide dapat menyebabkan kelelahan (fatigue), pening, kram otot, nausea (mual), dan hipotensi ortostatik. Dari data terakhir, tidak ada bukti yang menguatkan adanya toksisitas zat ini pada manusia, tetapi secara in-vitro pada 35 kucing telah memperlihatkan bahwa torsemide sejenis/sama dengan Furosemide dalam hal potensinya untuk menyebabkan toksisitas. PENGGUNAAN Torsemide diunakan pada pengobatan hipertensi ringan hingga sedang dalam dosis 2,5-5 mg diberikan sekali sehari. Pada dosis ini tekanan darah akan menurun, sama baiknya dengan 25 mg hidroklortiazide tetapi tanpa menyebabkan diuresis. Pada dosis yang lebih tinggi (10-20 mg) dapat menyebaban diuresis yang penting dalam mengobati edema yang diikuti dengan gagal jantung congestive dan sirrosis hati. Asam Fenoksiasetat Kelompok asam fenoksiasetat denagn batas tertinggi penggunaan sebagai diuretic telah dikembangkan dan dikenalkan untuk terapi klinis seperti dengan Furosemide. Ethacrynic Acid. Nama lain dari asam Etakrinat adalah Asam 2,3-dikloro4-(2-metilen-1-oksobutil) fenoksi asetat. 36 Gambar3. Asam Ethacrynic adalah diuretic tertinggi yang bereaksi cepat dengan banyak nukleofil yang mengandung sulfhydril (Atas). Indacrinone, adalah struktur yang berhubungan dengan diuretic tertinggi, kehilangan reaktivitas sulfhydril (bawah). HUBUNGAN STRUKTUR DENGAN AKTIVITAS Seperti disebutkan di atas, organomercurials tertentu dapat memperoleh respon diuretic, tetapi karena zat ini mengandung logam berat, asam etakrinat terlalu toksik untuk penggunaan yang lebih luas. Akibatnya, penemuan diusahakan untuk zat tanpa kandungan merkuri sweperti pada organomercurials yang akan bereaksi dengan sulfihidril pada reseptor di kelenjar renal tetapi tanpa loam berat yang bersifat toksik. Karena salah satu dari produk komersial organomercurials yang cocok (mersalyl, salygran) mempengaruhi sumber reaksi kimia untuk pengembangan diuretic baru tanpa merkuuri. Ratusan asam Fenoksiasetat masih dalam tahap pemerikasaan. Aktivitas diuretik yang maksimal dapat dicapai ketika: a. Pergantian posisi no.1 oleh cincin benzene b. Akriloil sulfidril ditempatkan di posisi para pada kelompok asam oksiasetat. c. mengaktivasi Cl- maupun CH3- untuk mengubah posisi 3 atau posisi 2 dan 3 d. Substitusi alkyl dari 2 hingga 4 atom karbon pada posisi alpha dengan karbonil dan acryloil e. Atom Hidrogen menempati posisi terminal dariikatan rangkap antara 2 atooom karbon pada separuh acryloil FARMAKOKINETIK Disamping struktur kimianya yang unik dan kereaktifannya terhadap bermacam-macam nukleofil, asam ethacrynic memiliki kesamaan farmakologis dengan loop diuretics yang mengandung sulfamoyl. Setelah pemakaian oral, onsetnya keranya adalah sekitar 30 menit, dan durasinya adalah 6 sampai 8 jam. Setelah pemakaian parenteral, onset kerjanya adalah 3 sampai 5 menit dan durasinya adalah 2 sampai 3 jam. 37 Asam ethacrynic terikat kuat pada protein plasma (>95%). Asam ethacrynic dimetabolisme dan diekskresikan terutama di ginjal. Sangat sedikit dari obat ini dikeluarkan dari plasma melalui filtrasi glomerulus karena ikatannya yang kuat dengan protein plasma yang tak terfiltrasi seperti albumin. Bagaimanapun, obat ini disekresi ke dalam cairan luminal dari tubulus proksimal dengan bantuan dari OATS. Konsentrasi cairan luminal yang tinggi akan asam ethacrynic penting untuk kerja diuretic dan ekskresi utamanya. Asam ethacrynic dibiotransformasi melalui jalan yang sama sekali berbeda dengan furosemid dan bumetanid. Asam ethacrynic mengalkilasi kelompok thiol dari glutation in vivo, dan konjugat hasilnya diubah menjadi konjugat asam ethacrynic─sistein dan asam ethacrynic─N-asetilsistein (asam merkapturat). Asam ethacrynic─sistein agak tidak stabil pada in vivo dan in vitro, melepaskan sistein dan asam ethacrynic. Asam ethacrynic, asam ethacrynic─glutation, dan asam ethacrynic─sistein merupakan duiretik-diuretik yang memiliki efikasi yang sama karena interkonversi yang telah disebutkan sebelumnya. Sekitar dua per tiga dari asam ethacrynic terdapat di urin dalam bentuk beragam, sepertiga sisanya ditemukan di empedu. TEMPAT DAN MEKANISME KERJA Seperti furosemid dan bumetanid, asam ethacrynic: Menghalangi reabsorbsi hingga 30% dari muatan Na+ yang terfiltrasi pada situs2 melalui inhibisi sistem kotransport 1Na+/1K+/2Cl- yang terletak di membran luminal dari sel-sel pada bagian ascending Henle’s loop dan selsel macula densa. Mencapai level tinggi di cairan luminal karena sekresi tubularnya yang aktif oleh OAIS pada sel-sel tubulus proksimal. Menghalangi mekanisme feedback tubuloglomerular yang normalnya akan menghasilkan reduksi akut dari GFR saat aliran cairan luminal meningkat melalui segmen nefron yang berhubungan dengan sel-sel makula densa. Meningkatkan jumlah aliran darah renal secara cepat dengan cara meningkatkan pelepasan intrarenal dari prostaglandin vasodilator. 38 Mereduksi redistribusi cepat dari aliran darah intrarenal, yang berperan positif terhadap kepentingan diuresis. Karena asam ethacrynic menginduksi peningkatan jangka pendek dari laju ekskresi Na+, Cl-, K+, dan Ca+ renal, maka asam ethacrynic merupakan agen natriuretik, kloruretik, saluretik, kaluretik, dan kalsiuretik. EFEK YANG TAK DIINGINKAN Asam etakrinik dapat menghasilkan semua efek tak diinginkan yang telah diketahui ada pada furosemid dan bumetanid, kecuali yang berkaitan dengan adanya golongan sulfomoyl. Penggunaan asam ethacrynic telah menurun karena lebih ototoksik daripada furosemid dan bumetanid dan juga menyebabkan efek gastrointestinal yang lebih serius (gastrointestinal homorrhage) daripada loop diuretic yang mengandung sulfamoyl. Seperti dengan furosemid dan bumetanid, interaksi obat yang serius bisa muncul saat asam ethacrynic digunakan bersamaan dengan Li+, glikosida-glikosida jantung, antibiotik aminoglikosida, atau NSAID. PENGGUNAAN Asam ethacrynic memiliki indikasi sama seperti yang ditetapkan pada furosemid dan bumetanid. Tapi saat diuretik high-ceiling diindikasikan pada pengobatan individu yang memiliki hipersensitivitas terhadap obat-obat yang mengandung sulfamoyl, asam ethacrynic dapat menjadi pengganti yang diperlukan. Macam-macam Diuretik Site 2 Tiga agen nondiuretik dibiotransformasi menjadi diuretik yang kuat secara in vivo dengan sulfasi gugus -OH mereka. Metabolit tersulfatasi memberikan memberikan efek diuresis dengan penghambatan sistem kotranspor 1Na+/1K+/2Cl- membran luminal pada sel-sel tebal bagian cabang. Agen-agen ini termasuk 2-(p-fluorofenoxi),1-(o-hidroksifenil)etana, 2-(aminomethyl)-4-(1,1- dimetiletil)-4-iodofenol, dan 6-kloro-2,3-dihidro-1-(1-oksopropil)-4(H)- quinolinon 4-oksim. Di tiap kasus, metabolit tersulfatasi mengalirkan sekresi tubulus aktif dengan OATS di sel tubulus proksima, dan dengan demikian, meningkatkan 39 cairan luminal. Gugus sulfat bermuatan negatif mungkin berikatan dengan sisi ikatan Cl- pada ikatan membran luminal-sistem kotranspor 1Na+/1K+/2Cl- pada sel-sel makula densa dan bagian cabang ke atas yang tebal. Sebagai tambahan, etozolin (hanya setelah terhidrolisis in vivo menjadi ozolinon, sebuah asam karboksilat) dan muzolimin memiliki aktivitas diuretik dengan aksi secara tidak langsung pada transport yang diproses dalam sel-sel tebal bagian cabang ke atas pada lengkung Henle. Ozolinon disekresi secara aktif ke cairan luminal tubulus proksimal oleh OATS. Ozolinon konsentrasi tinggi dikirim ke sel-sel bagian cabang ke atas yang tebal pada Lengkung Henle, menghambat ikatan membran luminal-sistem kotranspor 1Na+/1K+/2Cl-. Mekanisme pasti dari aktivitas diuretik muzolimin masih harus dicari. Namun, disugestikan bahwa muzolimin menghambat sistem kotranspor K+/Cl- pada membran basolateral sel bagian cabang yang tebal yang pada akhirnya menghambat sistem kotranspor 1Na+/1K+/2Cl-. 40 Gambar4. Banyak nampaknya senyawa yang tidak berhubungan yang dapat memblok reabsorpsi Na+ pada lengan tebal yang naik pada lengkung Henle. Mekanisme aksi yang tepat dari muzolimine belum diketahui. Semua senyawa lain yang inaktif harus dibiotransformasi menjadi metabolit aktif sebelum aktivitas diuretiknya dikirim dengan cepat.Di beberapa kasus, seperti furosemide, bumetanide, torsemide, dan asam ethacrinic, metabolit aktifnya memiliki molekul anionic yang mengikat tempat pengikatan Cl- pada system kotransport 1Na+/1K+/2Cl- di sel lengan tebal yang naik. SITE 4 DIURETICS : POTASSIUM-SPARING DIURETICS Karakteristik negatif dari diuretik yang sekarang ini digunakan adalah menaikkan tingkat ekskresi K+ pada ginjal yang selanjutnya dapat menginduksi hipokalemia. Setelah beberapa tahun, tiga senyawa kimia diuretic yang berbeda ditemukan dapat meningkatkan ekskresi Na+ dan Cl- tanpa menyebabkan kenaikkan ekskresi K+ pada urin. Agen-agen ini dikenal dengan nama potassiumsparing diuretics atau antikaliuretic. Walaupun potassium-sparing diuretics adalah turunan senyawa kimia yang berbeda, mereka bekerja pada site 4, mempunyai efikasi dan pola ekskresi elektrolit yang sama, dan mempunyai kesamaan dalam beberapa efek yang tidak diinginkan. Yang termasuk potassium-sparing diuretics adalah spironolakton, triamterene, dan amiloride. Spirolakton, Aldosteron Antagonis Spironolakton, USP. Struktur dari spironolaktone adalah 7-(acetylthio)17-hydroksy-3-oxopregn-4-ene-21-carboxylic acid -lactone (aldactone). HUBUNGAN STUKTUR_AKTIVITAS Pada pertengahan 1950, progesterone ditemukan menghambat efek antinatriuretik dan kaliuretik dari aldosteron (mineralkortikoid utama dalam manusia). Maka dicari cara untuk mengembangkan turunan steroidal yang hanya mempunyai aktivitas antimineralkortikoid dari progesterone. Spironolakton yang mempunyai banyak turunan ini dipilih untuk diteliti lebih jauh. FARMAKOKINETIK Spironolakton diabsopsi dengan baik setelah pemberian oral (bioavaibilitas, >90%), di biotransformasi dengan cepat dan luas oleh hati (~80%) menjadi kanrenon, metabolit aktifnya (gambar 18-14), berikatan secara luas dengan protein 41 plasma (mayoritas sebagai kanrenon), dan juga dieksresi terutama dalam bentuk metabolitnya. Onsetnya sangat lambat (12-72 jam), dan durasinya cukup panjang (2-3 hari). WILAYAH DAN MEKANISME AKSI Spironolakton menghambat reabsorpsi 2-3% dari beban saringan aldosteron (gambar 18-14). Dalam kondisi normal, aldosteron memasuki principal cells dari tubula penghubung. (misalnya ujung tubulus distal) dan tubulus pengumpul kortikal, dimana aldosteron akan berkombinasi dengan reseptor sitosolik. Senyawa kompleks tersebut masuk ke dalam nukleus, yang akan mengawali sintesis dari penambahan jumlah dari Na+/K+ ATPase dan channel membran luminal yang berkaitan dengan penukaran ion Na+ dengan K+. Intercalated cells H+-ATPase yang aktif memompa ion H+ ke dalam cairan luminal pada situs 4 juga dipengaruhi. Jadi, jalur dari cairan luminal Na+ yang masuk, serta K+ dan H+ yang keluar, sel tubula penghubung dan sel tubula pengumpul kortikal ditingkatkan. Peningkatan level Na+ intraselular diperoleh dari aksi aldosteron merangsang ikatan membran basolateral Na+/K+ ATPase. Karena spironolakton inhibitor kompetitif dengan aldosteron, maka spironolakton akan meningkatkan ekskresi air, Na+, Cl-. Oleh karena itu, sipronolakton disebut juga sebagai agen natriuretik, kloruretik, dan antikaliuretik. Tidak seperti diuretik hemat K+ lainnya, spironolakton memerlukan endogen aldosteron untuk mengeluarkan aksi diuretiknya. Karena spironolakton menghambat reabsorpsi hanya 2-3% dari hasil saringan Na+, spironolakton (dan situs 4 diuretik hemat K+) memiliki efek yang relatif rendah. EFEK SAMPING Harapan untuk menginhibisi pertukaran cairan luminal Na+ ke intraselular K+ dan H+ akan menyebabkan retensi dua ion terakhir pada individu tertentu. Efek samping utama spironolactone meliputi hiperkalemia dan asidosis metabolic, secara khusus bagi penderita kelainan fungsi ginjal. Oleh karena itu, pasien yang menggunakan spironolactone sebaiknya diperingatkan untuk tetap mengkonsumsi suplemen K+. Peringatan harus diperhatikan saat administrasi spironolactone 42 dengan obat lain, seperti angiotensin-mengubah enzim ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, dan adrenergic β blocker, menyebabkan timbulnya peningkatan [K+] plasma. Spironolactone juga menyebabkan gynecomastia pada laki-laki dan nyeri pada payudara serta gangguan menstruasi pada wanita karena adanya residu aktivitas hormone. Gynecomastia terjadi pada 6-10% laki-laki yang diberikan 50mg/hari atau lebih rendah, meningkat sampai 52% pada dosis di atas 150mg/hari. Efek samping lainnya berupa gejala minor gastrointestinal dan ruam. 43 Gambar 18-14 Aldosteron meningkatkan jalur ion Na+ dari cairan luminal ke dalam sel tubular dan jalur ion K+ intraselular ke dalam cairan luminal pada situs 4. Progesteron menghambat aksi dari aldosteron tapi memiliki efek hormon yang tidak diinginkan. Spironolakton dan kanrenon juga inhibitor kompetitif dari aksi aldosteron pada situs 4 dan dihubungkan dengan frekuensi rendah dari efek samping hormonal. KEGUNAAN Spyronolactone dapat digunakan tunggal sebagai obat diuretic dengan menghentikan edema pada individu penderita gagal jantung kongestif, sirosis hati dengan ascites, atau sindrom nefrotik. Spyronolactone dapat juga sebagai obat antihipertensi. Penggunaan utama pada kombinasi dengan diuretic menyebabkan pada site 2 atau 3 untuk mengurangi ekskresi ion K+ melalui urine. 2,4,7-Triamino-6-arylpteridines Struktur dari triamterene, 2,4,7-triamino-6-phenylpteridine (Dyrenium), ditunjukkan pada gambar dibawah ini. HUBUNGAN STRUKTUR DENGAN AKTIVITAS Triamterene merupakan senyawa utama yang dipilih dari analog pteridine sintetik. Meskipun memiliki struktur yang menyerupai asam folat dan inhibitor dihirofolat reduktase tertentu, triamterene mempunyai sedikit aktifitas dari kedua senyawa tersebut. 44 FARMAKOKINETIK Triamterene diabsorbsi dengan cepat tetapi tidak sempurna (30-70%)dari saluran gastrointestinal, terikat pada protein plasma untuk kira-kira 60%, biotransformasi secara cepat di dalam hati, dan terutama diekskresi dengan jalur saluran empedu dan jalur ginjal sebagai obat utuh (20%) dan metabolit (80%). Triamterene memasuki cairan luminal dari nefron melalui filtrasi glomerulus dan sekresi aktif tubulus dalm tuulus proksimal. Karena triamterene lemah terhadap zat organic, triamterene diasumsikan dapat diatasi melalui OCTS tubulus proksimal. Onset triamterene diikuti dengan pemakaian oral dosis tunggal adalah 2-4 jam, dan durasinya adalah 7-9 jam. MEKANISME KERJA Triamterene menyumbat saluran Na+ pada membran luminal dari sel utama pada sisi 4, dengan demikian menghambat pemasukan dari Na+ ke dalam sel tersebut sebanyak 2-3%. Karena triamterene menurunkan konsentrasi dari Na+ pada sel utama, aktivitas membran antiluminal yang mengelilingi Na+/K+ATPase juga menurun. Hal tersebut menyebabkan penurunan kadar Na+ dalam sel dan penurunan aktivitas seluler untuk mengambil kembali ion K+. Karena sekresi dari K+ dan H+ pada sisi 4 berhubungan dengan reabsorpsi Na+, maka terjadi pengurangan laju ekskresi dari K+ dan H+ secara bersamaan. Tidak seperti spironolakton, sifat diuretik triamterene tidak bergantung pada ada atau tidaknya aldosteron. Triamterene, seperti diuretik hemat K+ lainnya, mempunyai khasiat yang rendah dan merupakan agen natriuretic, chloruretic, saluretic dan antikaliuretic yang ringan. Keterangan : Natriuretic : peningkatan jumlah ekskresi Na+ dalam urin Chloruretic : peningkatan jumlah ekskresi Cl- dalam urin Saluretic : peningkatan jumlah sekresi salin dalam urin. Salin merupakan cairan hasil sekresi dari kelenjar parotid, sublingual, kelenjar ludah submandibular dan kelenjar mukosa dari rongga mulut. 45 EFEK SAMPING Seperti diuretik hemat K+ lainnya yang mekanisme kerja utamanya diperoleh pada sisi 4, efek samping utama dari triamterene adalah hiperkalemia. Oleh karena itu, pasien yang mengonsumsi triamterene harus diperingatkan untuk tidak mengonsumsi suplemen K+. Peringatan juga diperlukan ketika triamterene dikonsumsi bersama dengan obat lain, seperti ACE inhibitors, antagonis reseptor Angiotensin II, dan β-adrenergik blockers, yang juga dapat meningkatkan konsentrasi K+ dalam plasma. Sebagai tambahan, terdapat hubungan yang unik antara diuretik hemat K+ dengan pembentukan batu ginjal. Kira-kira 1 dari 1500 pasien yang mengonsumsi triamterene mengalami nephrolithiasis. Batu yang terbentuk mengandung triamterene (dengan atau tanpa metabolitnya) atau triamterene bersama dengan kalsium oksalat atau asam urat. Selain itu juga dapat terjadi nausea, muntah, kejang pada kaki, dan pusing. Keterangan Nephrolithiasis adalah suatu penyakit dengan gejala terdapatnya renal calculi (batu dalam tubuh yang terdapat di ginjal). KEGUNAAN Triamterene dapat digunakan secara tunggal pada pengobatan edema ringan yang dikaitkan dengan gagal jantung kongestif pada sirosis hati dengan asites, tetapi sebaiknya tidak diberikan kepada pasien yang memiliki gangguan fungsi ginjal. Triamterene tidak digunakan secara tunggal pada pengobatan hipertensi. Kegunaan utamanya adalah dalam bentuk kombinasi dengan hidroklorotiazid (atau diuretik lain yang bekerja pada site 2 dan 3) untuk mencegah hipokalemia. Pyrazinoyguanidines Amiloride Hydrochloride, USP. Struktur dari Amiloride Hydrochloride, 3,5-diamino-N-(aminoiminomethyl)-6-chloropyrazinecarboxamide monohydrochloride dehydrate (Midamor), ditunjukkan oleh gambar di bawah ini : 46 HUBUNGAN ANTARA STRUKTUR DENGAN AKTIVITAS Sebuah prosedur skrining yang ekstensif yang memeriksa 25000 agen dilakukan dalam usaha untuk menemukan agen antikaliuretik yang tidak memiliki aktivitas hormonal yang tumpang-tindih seperti misalnya spironolakton. Aktivitas yang menjanjikan ditemukan pada pyrazinoyguanidines yang tersubstitusi dengan tepat. Aktivitas diuretik yang optimal pada seri ini diobservasi ketika posisi 6 disubstitusi dengan chlorine, kelompok amino pada posisi 3 dan 5 tidak disubstitusi, dan nitrogen guanidine tidak disubstitusi ganda dengan kelompok alkyl. Amiloride merupakan senyawa yang paling efektif dalam seri tersebut. FARMAKOKINETIK Amilorida mengandung basa guanidin dan memiliki pKa 8,7. Dengan demikian, keberadaan amilorida yang utama adalah sebagai ion guanidium bermuatan di dalam kisaran pH sebagian besar jaringan tubuh dan cairan tubuh. Hal ini tidak mengejutkan jika amilorida diserap dengan tidak sempurna dan tidak menentu (15 – 20%) dari saluran pencernaan, terjadi melalui difusi pasif dari sebagian besar obat yang tidak bermuatan. Amilorida berikatan dengan protein plasma pada derajat menegah, tidak mengalami biotransformasi, dan diekskresi melalui urin (20 – 50%) dan melalui feses (40%). Di dalam feses ditemukan juga obat yang tidak diabsorbsi. Amilorida dapat mencapai cairan luminal melalui filtrasi glomerulus dan sekresi aktif tubular. Onset dapat tercapai setelah 2 jam pemberian oral, dan durasinya dapat mencapai 24 jam. 47 TEMPAT DAN MEKANISME KERJA Seperti triamterene, amilorida menghambat masuknya elektrogenik sebanyak 2–3% dari angkutan Na+ yang telah difiltrasi ke dalam sel yang berhubungan dengan tubulus, dengan “membunuh” kanal natrium dalam membran luminal. Sebaliknya, pengendalian secara paksa untuk sekresi K+ dikurangi atau dihilangkan. Seperti triamterene, amilorida tidak membutuhkan adanya aldosteron untuk menghasilkan diuresis. Ia menyebabkan hilangnya Na+, Cl-, dan air saat urinasi, karena itu merupakan natriuretik, kloruretik, saluretic, dan agen antialkaliuretik, meskipun dengan kemampuan yang lemah. EFEK OBAT YANG TIDAK DIINGINKAN Efek obat yang paling tidak diinginkan dari amiloride adalah hiperkalemia, yang juga dapat diamati pada diuretik hemat K+ lainnya yang bekerja pada site 4. maka pasien yang mengkonsumsi amiloride tidak boleh mengkonsumsi suplemen K+. Peringatan juaga diperlukan ketika menggunakan amiloride bersamaan dengan obat lain, misalnya ACE inhibitor, antagonis reseptor angiotensin II, dan penghambat ß-adrenergik, yang juga dapat meningkatkan kadar K+ dalam plasma. Efek obat yang tidak diinginkan lainnya adalah nausea, diare, dan sakit kepala. PENGGUNAAN Amiloride dapat digunakan secara tunggal untuk pengobatan edema ringan terkait dengan gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, atau pada pengobatan hipertensi. Amiloride biasanya digunakan secara kombinasi dengan obat yang bekerja pada site 2 atau 3. untuk menghindari kehilangan ion K+ di ginjal, biasanya dikombinasikan dengan Latter agents. Diuretik lain-lain Manitol, USP. D-manitol merupakan diuretik osmotik yang larut dalam air, tidak larut dalam lemak, dan berupa alkohol heksahidroksi. Karena tidak larut dalam lemak, anitol tidak bisa berdifusi melewati epitel gastrointestinal sehingga harus diberikan secara intravena untukmemberikan efek yang sistemik. Saat mencapai peredaran darah, sedikit manitol akan terikat dengan albumin plasma; 48 terdistribusi ke cairan ekstrasel, dan tidak mengalami biotransformasi. Manitol masuk ke dalam cairan luminal ginjal melalui filtrasi glomeolus, dan tidak mengalami baik sekresi maupun reabsorbsi. Ekskresi primer dari manitol terjadi melalui ginjal; dalam waktu 3 jam 80% dari 100 g dosis intravena sudah berada dalam urin. Konsentrasi manitol yang tinggi dalam cairan luminal ginjal akan memberikan efek osmotik, dan jumlah air yang sangat banyak dalam cairan luminal tersebut akan tertahan dalam lumen nefron. Efek dari osmotik ini akan mencegah proses reabsorbsi air yang difiltrasi sampai 28%. Manitol dapat digunakan secara profilaktik di rumah sakit untuk mencegah gagal ginjal akut dalam situasi tertentu dengan menjaga nefron agar tetap terbuka (mencegah nefron kolaps). Manitol juga bisa berguna untuk menurunkan jumlah dan tekanan cairan serebrosipal. Karena larutan intravena dari manitol dapat masuk ke cairan ekstrasel, manitol tidak boleh digunakan pada pasien dengan penyakit ginjal yang berat atau dekompensasi jantung yang tidak dapat mengekskresi kelebihan cairan tersebut sehingga dapat menyebabkan edema paru. Larutan manitol dalam air untuk penggunaan intravena tersedia dalam berbagai konsentrasi. Dosis dewasa untuk induksi diuretik kurang lebih 50-200 g/24 jam. Teofilin Teofilin dapat menyebabkan diuresis yang lemah melalui stimulasi fungsi jantung dan efek langsung pada nefron. Teofilin jarang digunakan sebagai diuretik, namun kemampuan diuresisnya muncul sebagai efek samping saat digunakan sebagai bronkodilator. PERKEMBANGAN PENGGUNAAN DIURETIK UNTUK MENGOBATI HIPERTENSI DAN GAGAL JANTUNG KONGESTIF Meskipun mekanisme pasti senyawa thiazida dan senyawa mirip thiazida, dan loop diuretic dalam menurunkan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi belum diketahui, ada ynag berpendapat bahwa hal ini melibatkan sedikit pengurangan pada volume plasma dan kardiak output selama terjadinya relaksasi pada pembuluh darah. Selama bertahun-tahun, efek samping akibat obat-obatan golongan ini tergolong ringan. Saat ini, beberapa efek samping obat menarik 49 perhatian karena munculnya efek samping tersebut ternyata lebih rumit dibandingkan apa yang telah diduga sebelumnya. Pertama, induksi-diuretik ekskresi K+ tidak hanya menyebabkan perubahan derajat hipokalemia tetapi juga menurunkan kosentrasi K+ jantung dan otot rangka. Perubahan pada konsentrasi K+ mengurangi kerja jantung dan merusak hati, otak dan pembuluh ginjal. Kedua, pengurangan penginduksi diuretik di dalam volum plasma yang terjadi meningkatkan tone simpatetik dan meningkatkan sekresi renin pada renal, dan, akhirnya, meningkatkan angiotensin II pada level plasma. Sebagai vasokonstriktor yang berpengaruh yang sangat besar menstimulasi sekresi aldosteron. Meskipun mekanisme aksi dari aldosteron di situs 4 pada nefron telah diketahui sejak lama, aksi pada ekstra renal telah lama tidak diberi perhatian.akhir-akhir ini telah diketahui bahwa penginduksi diuretik meningkatkan level aldosteron tidak hanya disebabkan oleh perubahan transpor electrolit pada situs 4 dengan kerusakan hipokalemia yang besar namun juga memproduksi efek pada receptor alosteron ekstrarenal pada vaskulatur yang menyebabkan penuaan vaskular dan pada jantung menyebabkan kardiak fibrosis. Peneltian ini membantu untuk menjelaskan mengapa penurunan penginduksi diuretik pada tekanan darah tidak perlu untuk melindungi seseorang mempunyai tekanan darah tinggi dari masalah kardiovaskular lainnya Laragh dan Sealey telah mengumpulkan bukti-bukti klinis bahwa Spironolakton, sebuah antagonis aldosteron nonselektif, ketika digunakan sendiri sama efektifnya dengan thiazid dalam perawatan hipertensi ringan tanpa menginduksi hipokalemia atau meningkatkan sekresi aldosteron. Lebih jauhnya, ketika spironolakton dikombinasikan dengan thiazid, yang kerjanya seperti thiazid, atau loop diuretic, dia melemahkan renal dan kerja extrarenal dalam meningkatkan kadar aldosteron disebabkan oleh diuretik ini. Di masa lalu, spironolakton tidak dapat dipakai secara luas karena ada beberapa alasan. Pertama, efektifitas maksimalnya biasanya tidak terlihat dari 3 hingga 5 minggu. Kedua efek sampingnya berupa hormon residual dapat mengakibatkan ginekomastia pada lak-laki dan menstruasi yang tidak teratur pada wanita, khususnya ketika dosis dilebihkan menjadi 50 hingga 100 mg per hari. 50 Efek samping hormonal ini dapat dicegah dengan memberikan spironolakton pada dosis berkisar antara 12,5 hingga 25 mg/hari. Eplerenone, antagonis losterone spesifik yang baru diakui oleh the Food and Drug Administration (FDA)memperlihatkan suatu afinitas yang lebih rendah terhadap reseptor androgen dan progesterone dibandingkan dengan spironolakton dan pengurangan insiden dari gangguan seksual. Jika penemuan ini dikonfirmasi dalam uji klinik tambahan, eplerenone atau obat-obat yang lain dengan spesifitas dari eplerenone dapat muncul sebagai agen yang sangat bermanfaat dan memperbaiki pengobatan dari hipertensi (juga gagal jantung kongestif) ketika digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan diuretik lain atau ACE inhibitor. RINGKASAN Sebagai penggerak utama dari reabsorpsi Na+ di empat situs direabsorpsinya adalah kekurangannya Na+ intraseluler yang dibuat oleh aktivitas pengikatan membran basolateral dengan Na+/K+-ATPase. Responnya, cairan luminal Na+ bergerak menuju sel yang kekurangan Na+ oleh adanya ikatan membran luminal dengan sistem transpor Na yang unik di empat situsnya. Kebanyakan diuretik harus mendapat konsentrasi yang cukup dalam cairan luminal untuk menghalangi ikatan antara membran luminal dengan sistem transpor Na; hal ini seringkali dicapai oleh kombinasi antara filtrasi glomerolus dan sekresi aktif tubular. Struktur kimia dari diuretik menentukan yang mana dari empat situs transpor Na yang akan dihambat. Situs yang dihambat merupakan salah satu faktor yang menentukan kemanjuran dari diuretik. Pengembangan historis dari banyak diuretik telah banyak terlibat modifikasi molekuler dari struktur kimia senya yang mengandung senyawa sulfamoil. Ini telah menghasilkan CA inhibitor yang menghambat reabsorpsi Na+/HCO-3 pada situs 1; thiazide dan diuretik mirip thiazide yang menghambat reabsorpsi Na+/Cl- pada situs 3; dan diuretik batas tinggi yang memblok reabsorpsi Na+/K+/Cl-/Ca+ pada situs 2. kemanjuran diuretik telah meningkat dengan perubahan yang sesuai pada situs aksi dari setiap kelas diuretik. Prediksi efek sekunder yang bergantung kepada situs aksi diuretik juga muncul ke permukaan. 51