LAPORAN KAJIAN POLIFARMASI Disusun oleh: Adam Prabata 0906487676 Ade Ilyas Mukmin 0906487682 Ariseno 0906487700 Danang Setyo Nugroho 0906487732 Dessy Framita Sari 0906487751 MODUL PRAKTIK KLINIK GERIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA 2012 SURAT PERNYATAAN Kami yang bertanda tangan di bawah ini Dengan sebenarnya menyatakan bahwa tugas kuliah ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya. Jakarta, 12 November 2012 DATA PASIEN (per 7 November 2012) Nama : Ny. A Alamat Usia : 69 tahun Pasien rawat inap Agama : Islam Berat badan Suku : Sunda Tinggi badan : 158 m Pendidikan : SD IMT : 22 kg/m2 Pembayaran : Askes Caregiver : Ny. J (anak) No Masalah/Diagnosis : Jl. Patriot KMP II, Bekasi Barat : 55 kg Terapi, dosis, waktu pemberian IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam 1 CAP dd TB paru relaps dengan infeksi sekunder Imipenem-Cilastatin 2x1 gram iv Fluimucyl 3xCI Inhalasi V:B:NS = 1:1:1 per 24 jam 2 Nyeri akibat fraktur tertutup intertrochanter femur dekstra Ketorolac 3x10 mg iv 3 Diabetes Mellitus Tipe 2 tidak terkontrol Insulin Novorapid 3x12 unit Diet DM 1700 kkal 4 Hipertensi dengan HHD Clonidin 2x0,15 mg Adalat oros 1x30 mg p.o 5 Iskemia anterior ekstensif Ascardia 1x80 mg Heparin 2x500 SC 6 Dyspepsia Omeprazole 1x40 mg iv 7 Hiperkolesterolemia Simvastatin 1x80 mg No Sindrom Geriatri Keterangan 1 Infection Pasien didiagnosis CAP, dengan batuk kering berulang, disertai sesak napas. 2 Insomnia Pasien terkadang tidak bisa tidur malam dengan nyenyak, terutama apabila sedang sesak. 3 Intellectual Impairment Pasien mengeluh sudah mulai pikun. 4 Impairment of hearing Pasien sudah berkurang pendengarannya. Penglihatan and vision pasien sudah berkurang akibat adanya katarak di kedua mata yang belum dioperasi hingga sekarang. 5 Impaction Sejak dirawat, pasien buang air besar tidak teratur. 6 Immobility Sejak jatuh, pasien hanya dapat berbaring saja. Kajian Obat 1. Ketorolak Farmakodinamik Ketorolak merupakan analgesik poten dengan efek anti-inflamasi sedang. Sebagai analgesik, ketorolak digunakan untuk meredakan nyeri sedang sampai parah seperti nyeri post-operasi, nyeri kronik, nyeri ginekologi, nyeri karena kolik ginjal, nyeri kanker, nyeri saat bedah mulut, dan terapi ajuvan untuk anastesia. Ketorolak adalah obat golongan non-steroid anti-inflamatory drugs (NSAID) yang selektif menurunkan aktivitas enzim COX-1, sehingga menghambat sintesis prostaglandin.1,2 Farmakokinetik Farmakokinetik ketorolak telah diuji coba pada hewan, dari uji coba ini diketahui bahwa kadar ketorolak dalam darah akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis. Absorbsi oral dan intramuskular mencapai puncak setelah 30-50 menit dan bioavailabilitas oral obat ini mencapai 80%. Hampir seluruhnya terikat dengan protein plasma. Onset kerjanya 30-60 menit (oral dan 10 menit (IM). Durasi kerja obat ini adalah 6-8 jam (oral/IM). Melalui sebuah penelitian diketahui bahwa, masa paruh ketorolak pada pasien lanjut usia (6578 tahun) lebih panjang (berkisar 5-7 jam) daripada ketika dikonsumsi dewasa muda.1,2 Konsumsi ketorolak bersama-sama dengan makanan dapat menurunkan rate penyerapan namun tidak mengurangi jumlah obat yang diserap. Ketorolak tidak dimetabolisme secata extensive, sekitar 58% obat ini masih tetap dalam bentuk utuh yang tidak diubah, hanya 42% ketorolak yang diubah menjadi metabolit polar dengan cara berkonjugasi dengan asam glukoranik dan 12% dari 42% metabolit polar ketorolak akan diubah menjadi p-hidroksiketorolak. Ketorolak umumnya akan diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam, hanya 6% yang dikeluarkan melalui feces.1,2 Dosis dan Cara Penggunaan Ketorolak dapat digunakan secara parenteral maupun oral. Dosis intramuskular 30-60 mg, intravena 15-30 mg dan oral 5-30 mg. Ketorolak yang disuntikkan intramuskular (IM) pasca bedah memiliki efektivitas yang sama dengan morfin/meperidin dengan masa kerja ketorolak lebih panjang dan efek samping yang lebih ringan. Selain, disuntikkan IM, ketorolak juga bisa diberikan per oral.1,2 Efek Samping dan Kontraindikasi Efek samping ketorolak yang dirasa seringkali mengganggu adalah nyeri di tempat suntikan (jika IM atau IV), gangguan GI, kantuk, dan nyeri kepala. Ketorolak dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap aspirin atau NSAID lainnya, asma, hipovolemik atau dehidrasi. Sebaiknya tidak diberikan pada pasien post-operasi dengan risiko perdarahan tinggi, memiliki riwayat ulkus peptikum atau kelainan koagulasi.1,2 Potensi Interaksi Interaksi ketorolak dengan obat ACE inhibitor atau angiotensin II reseptor antagonis dapat menyebabkan penurunan efektivitas obat-obatan antihipertensi tersebut. Selain itu, ketorolak dapat menyebabkan kemungkinan peningkatan toksisitas renal bila dikonsumsi bersama ACE inhibitor dan diuretik. Efek samping ketorolak dapat meningkat jika konsumsinya digabung dengan aspirin atau NSAID lainnya. Terdapat efek samping fatal yang terjadi jika pemberian ketorolak digabung dengan warfarin, yaitu: perdarahan saluran pencernaan. Ketorolak juga dapat menyebabkan halusinasi jika digunakan bersama dengan fluoxentin, thiothixene, dan alprazolam. Obat ini juga menyebabkan peningkatan toksisitas methotrexate dan litium serta dapat terjadi peningkatan kadar ketorolak dalam serum jika digabung dengan probenecid.1,2 2. Inhalasi Ventolin: Bisolvon: Nedocromil Sodium Salbutamol Sulfat (Ventolin) Indikasi Salbutamol sulfat diperuntukkan bagi pasien yang mengalami kondisi sesak akibat terjadinya bronkokonstriksi, seperti pada asma dan anafilaksis. Salbutamol sulfat dapat digunakan pada kondisi akut dan sebagai obat preventif untuk asma.3 Dosis dan Cara Penggunaan Salbutamol sulfat memiliki durasi kerja 4-6 jam. Terdapat perdebatan seputar efektivitas salbutamol sulfat yang diberikan dengan nebuliser atau metered dose inhaler (MDI). Namun pemberian dengan MDI terbukti dapat memperkecil partikel dan memperlambat kecepatan hantaran obat sehingga obat dapat dihantarkan sampai ke saluran pernapasan yang ukurannya lebih kecil. Selain itu, pemberian secara MDI juga meminimalkan kemungkinan tercemarnya obat oleh penyakit infeksi. Jika digunakan sebagai obat nebulisasi, ventolin sebaiknya tidak diencerkan, kecuali jika durasi nebulisasi ingin diperpanjang (>10 menit) pengenceran dengan larutan salin dapat dilakukan. Ventolin nebul dapat diberikan melalui sungkup atau endotracheal tube. Jika pasien berpotensi mengalami anoxia atau hipoventilasi selama proses nebulisasi berlangsung, dapat digunakan oksigen nasal kanul sebagai tambahan.4 Farmakodinamik Salbutamol sulfat berfungsi untuk merelaksasi otot polos di saluran pernapasan, terutama bronkial. Salbutamol sulfat merupakan agonis selektif β2-adrenoreseptor. Dalam dosis terapi, obat ini bekerja di β2-adrenoreseptor yang ada di otot bronkial dan memiliki aktivitas yang minim pada β1-adrenoreseptor di otot jantung. Selain itu, obat ini juga berfungsi menstabilkan membran sel mast, sehingga mencegah kemungkinan rupturnya membran tersebut dan release-nya mediator-mediator yang mengeksaserbasi kondisi yang menyebabkan sesak.3,4 Farmakokinetik Salbutamol sulfat dimetabolisme di liver dan diekskresikan sebagian besar melalui urin setelah 72 jam dengan masa paruh 3,5-5 jam. Onset kerja obat ini adalah 5 menit dan puncak kadar obat dicapai setelah 30 menit-sampai 2 jam. Sementara itu, durasi kerja obat ini adalah selama 3-6 jam. Sepuluh persen salbutamol terikat pada protein plasma.1,2 Penggunaan salbutamol dengan cara inhalasi seringkali meninggalkan deposit di bagian orofaring. Fraksi yang terdeposit ini nantinya akan diabsorbsi oleh jaringan paru dan bersirkulasi namun tidak dimetabolisme olah paru. Ketika telah mencapai sirkulasi, fraksi deposit tersebut akan dimetabolisme hati dan kemudian diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh dan/atau debagai fenolik sulfat. Setelah diinhalasi, 10-20% obat akan mencapai saluran pernapasan bawah.4 Potensi Interaksi Salbutamol dan obat β-bloker yang non-selektif (seperti: propanolol) tidak boleh diresepkan bersama.4 Bromheksin HCl (Bisolvon) Farmakodinamik Bromheksin adalah derivat sintetik vasicine yang merupakan zat aktif Adhatoda vasica. Obat ini berperan sebagai mukolitik dan digunakan secara lokal di bronkus guna membantu pengeluaran dahak, dapat digunakan oral. Bromheksin adalah agen mukolitik yang meningkatkan volume sputum dan menurunkan viskositas sputum menjadi lebih serosa. Obat ini diketahui menginduksi depolimerisasi serat-serat mukoprotein dan menstimulasi kerja silia epitel saluran pernapasan sehingga memudahkan pengeluaran dahak.5,6 Farmakokinetik Obat ini jika diberikan secara oral dapat diabsorbsi dengan baik dan konsentrasi puncak di plasma dicapai setelah 1 jam. Dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin sebagai metabolit (85-90%) dan sebagian kecil dalam keadaan utuh.6 Efek Samping Pemberian obat ini (secara oral) pada pasien dengan riwayat ulkus peptikum harus dilakukan dengan hati-hati. Dan pemberian obat ini pada pasien dengan gangguan hepar dan renal perlu mendapat perhatian khusus. Efek samping yang mungkin terjadi pada pemberian bromheksin secara inhalasi adalah batuk yang berlebihan dan bronkospasme. Sementara itu, efek samping yang mungkin terjadi pada pemberian oral adalah peningkatan enzim transaminase.6 Nedocromil Sodium Farmakodinamik Nedokromil merupakan senyawa yang mirip dengan kromolin. Nedokromil bekerja menghambat pelepasan mediator dari sel mast bronkus dan diindikasikan untuk mencegah serangan asma pada pasien asma bronkial ringan sampai sedang dan pasien penderita asma kronik.7 Farmakokinetik Durasi kerja obat ini adalah 2 jam dengan bioavaibilitas 2-17% (secara inhalasi). Delapan puluh sembilan persen obat terikat dengan protein plasma dan 70% obat diekskresikan melalui urin sementara 30% melalui feses dalam bentuk utuh. Masa paruh eliminasinya adalah 1,5-3,3 jam.7 Indikasi Nedokromil hanya diindikasikan untuk pasien asma yang berusia 12 tahun ke atas. Dosis untuk anak dan dewasa 12 tahun ke atas adalah 2-4 kali 4 mg/hari secara inhalasi.7 Efek Samping Beberapa efek samping yang perlu menjadi perhatian dalam pemberian secara inhalasi adalah infeksi saluran pernapasan atas, iritasi mukosa, dan kongesti nasal.7 3. Omeprazol (Proton-pump inhibitor)8,9 Farmakokinetik Absorpsi. Obat ini tidak langsung mengalami aktivasi di lambung sehingga bioavailabilitasnya lebih baik. Obat ini sebaiknya diberikan dalam sediaan salut enterik untuk mencegah degradasi zat aktif tersebut dalam suasana asam. Sediaan yang terbungkus oleh enteric coating akan larut pada suasana basa lumen usus setelah melewati lambung, dan kemudian menjadi bentuk aktifnya yang diabsorpsi oleh usus. Bioavailabilitasnya akan menurun sampai dengan 50% karena makanan. Oleh sebab itu sebaiknya diberikan 30 menit sebelum makan. Namun jika diberikan dalam bentuk IV, maka hal ini tidak akan mempengaruhi biavailabilitas obat. Distribusi. 95-96% obat terikat pada protein. Obat ini akan mencapai konsentrasi puncak antara ½ sampai 3,5 jam. Metabolisme. Obat ini dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 (CYP) terutama CYP2C19 dan CYP3A4. Ekskresi. 77% obat ini diekskeresikan lewat urin, dan 16-19% lewat feses, terutama bilier. Farmakodinamik PPI adalah suatu prodrug yang membutuhkan suasana asam untuk aktivasinya. Setelah diabsorpsi dan masuk ke sirkulasi sistemik, obat ini akan berdifusi ke sel parietal lambung, terkumpul di kanalikuli sekretoar dan mengalami aktivasi di situ menjadi bentuk sulfonamid trisiklik. Bentuk aktif ini berikatan dengan gugus sulfihidril enzim H+, K+, ATPase (enzim ini dikenal sebagai pompa proton) dan berada di membran sel apikal sel parietal. Ikatan ini menyebabkan terjadinya penghambatan enzim tersebut. Produksi asam lambung terhenti 80-95% setelah pengambatan pompa proton tersebut. Penghambatan berlangsung lama antara 24-48 jam dan dapat menurunkan sekresi asam lambung basal atau akibat stimulasi. Hambatan ini sifatnya ireversibel, produksi asam baru dapat kembali terjadi setelah 3-4 hari pengobatan dihentikan. Interaksi Obat PPI dapat mempengaruhi eliminasi beberapa obat yang mempunyai jalur metabolisme sama dengannya, antara lain warfarin, diazepam dan siklosporin. Di antara PPI, hanya omeprazol yang dapat menghambat aktivitas enzim CYP2C19 (sehingga menurunkan klirens disulfiram, fenitoin dan beberapa obat lain yang dimetabolisme oleh enzim tersebut) serta menginduksi CYP1A2 (sehingga meningkatkan klirens imipramin, beberapa obat antipsikotik, takrin dan teofilin). Efek Samping Efek samping yang umum terjadi adalah mual, nyeri perut, konstipasi, flatulence dan diare. Dilaporkan pula terjadi myopati subakut, atralgia, sakit kepala dan ruam kulit. Hipergastrinemia yang dapat menyebabkan rebound hipersekresi asam lambung pada penghentian terapi PPI, akibatnya dapat menginduksi tumor gastrointestinal. 4. Fluimucyl (N-acetylcysteine)8,10 Farmakokinetik Absorpsi. Fluimucyl diabsorbsi dengan cepat oleh saluran gastrointestinal, konsentrasi plasma meningkat setelah 0,5-1 jam. Distribusi. 50% obat terikat pada protein plasma. Metabolisme. Obat ini dimetabolisme di hepar. Ekskresi. Obat ini diekskeresikan lewat urin. Farmakodinamik Obat ini menurunkan viskositas sekret paru pada pasien radang paru. Aktivitas mukolitik zat ini langsung terhadap mukoprotein dengan melepaskan ikatan disulfidanya, sehingga menurunkan viskositas sputum. Aktivitas mukolitik terbesar pada pH 7-9. Setelah inhalasi, sputum menjadi encer dalam waktu 1 menit, dan efek maksimal dicapai dalam waktu 5-10 menit. Selain sebagai mukolitik, obat golongan N-asetilsistein juga mempunyai fungsi antioksidan. N-asetilsistein merupakan sumber glutation, yaitu sumber yang bersifat antioksidan. Interaksi Obat Asetilsistein memiliki peran aditif pada isosorbid dinitrat (ISDN) dengan cara meningkatkan vasodilatasi akibat peningkatan asam guasinilat siklik. Efek Samping Bronkospasme, gangguan GI, stomatitis, rinorea, sakit kepala, tinitus, urtikaria, menggigil, demam, hemoptisis, dan reaksi anafilaksis pada kasus yang sangat jarang. 5. Novorapid (Insulin Aspart) Farmakodinamik Insulin merupakan hormon yang berperan dalam homeostasis glukosa, dan melibatkan berbagai jaringan, di antaranya liver, otot, dan lemak. Insulin juga merupakan hormon utama yang mengatur pengambilan, penggunaan, dan penyimpanan berbagai nutrisi seluler. Kerja anabolik insulin, di antaranya stimulasi penggunaan dan penyimpanan glukosa, asam amino, dan asam lemak, serta menghambat proses-proses katabolik, seperti pemecahan glikogen, lemak, dan protein. Fungsi tersebut dapat terjadi melalui stimulasi transport substrat dan ion ke dalam sel, memicu translokasi protein antar kompartemen seluler, mengaktifkan dan menonaktifkan enzim-enzim tertentu, serta mengubah jumlah protein dengan mempengaruhi transkripsi gen dan translasi mRNA tertentu (gambar 1).11 Gambar 1. Jalur persinyalan insulin.11 Beberapa efek insulin terjadi hanya dalam beberapa detik atau menit, di antaranya aktivasi sistem transport glukosa dan ion, modifikasi kovalen (misalnya fosforilasi atau defosforilasi) enzim, dan beberapa efek pada transkripsi gen (misalnya inhibisi gen fosfoenolpiruvat karboksikinase). Efek lainnya, seperti sintesis protein dan transkripsi gen, memerlukan waktu sampai beberapa jam. Efek insulin terhadap proliferasi dan diferensiasi sel bahkan memerlukan waktu sampai berhari-hari. Sampai saat ini, penyebab perbedaan kinetik tersebut masih belum jelas apakah akibat perbedaan jalur mekanistik atau dari kinetika intrinsik berbagai proses.11 Gambar 2. Gambaran umum farmakodinamik insulin.11 Insulin menstimulasi penyimpanan glukosa di liver sebagai glikogen dan di jaringan adipose sebagai trigliserida, serta penyimpanan asam amino di otot sebagai protein. Insulin juga memicu penggunaan glukosa di otot untuk dijadikan energi. Selain itu, insulin menghambat pemecahan trigliserida, glikogen, dan protein, serta konversi asam amino menjadi glukosa (glukoneogenesis). Jalur ini meningkat selam puasa dan pada kondisi diabetik. Konversi asam amino menjadi glukosa , dan glukosa menjadi asam lemak terjadi terutama di liver (gambar 2).11 Farmakokinetik Berbagai sediaan insulin komersial memiliki beberapa perbedaan, di antaranya dalam hal teknik produksi DNA rekombinan, sekuens asam amino, konsentrasinya, kelarutannya, serta onset kerja dan durasinya.12 Saat ini tersedia empat tipe utama insulin injeksi berdasarkan onset dan durasi kerjanya (gambar 3), yaitu rapid-acting (sangat cepat), short-acting (cepat), intermediateacting, dan long-acting (lambat). Sediaan inhalasi insulin rapid-acting juga telah dipasarkan. Insulin injeksi rapid-acting dan short-acting merupakan larutan jernih pada pH netral, dan mengandung zink dalam jumlah kecil untuk meningkatkan stabilitasnya dan masa penyimpanannya. Sementara itu, insulin inhalasi rapid-acting tersedia dalam bentuk bubuk untuk absorpsi alveolar. Insulin NPH merupakan insulin injeksi intermediate-acting, berupa suspensi keruh pada pH netral dengan protamin pada buffer fosfat. Tujuan terapi insulin subkutan adalah menjaga gula darah dalam range normal, baik pada kondisi basal (malam hari, puasa, dan di antara dua waktu makan) maupun prandial (pada saat makan). Oleh karena itu, regimen yang diberikan biasanya menggunakan insulin long-acting untuk menjaga kondisi basal, dan rapid-acting untuk menjaga glukosa pada saat makan.12 Gambar 3. Berbagai sediaan insulin dengan onset dan durasi kerjanya.12 Toksisitas dan Interaksi Obat Selain akibat insulin dan obat-obatan hipoglikemik, kondisi hipoglikemik akibat obat juga dapat terjadi pada penggunaan etanol, antagonis reseptor adrenergik, dan salisilat. Kerja utama etanol adalah dengan menghambat glukoneogenesis. Reaksi tersebut bukanlah reaksi idiosinkrasi, tetapi terjadi pada semua individu. Pada pasien diabetes, antagonis reseptor adrenergic juga memiliki risiko hipoglikemia karena kapasitasnya dalam menghambat efek katekolamin pada glukoneogenesis dan glikogenolisis. Agen ini juga dapat menutupi gejalagejala simpatik yang berkaitan dengan penurunan glukosa darah (misalnya tremor dan palpitasi). Sementara itu, salisilat, menimbulkan efek hipoglikemik dengan meningkatkan sensitivitas sel pankreas terhadap glukosa dan meningkatkan sekresi insulin. Agen ini juga memiliki kerja insulin-like yang lemah di perifer. Pentamidin, agen anti-protozoa yang digunakan untuk tata laksana infeksi akibat Pneumocystiis carinii, ternyata juga dapat menyebabkan hipoglikemia, tetapi penggunaan jangka panjang justru menyebabkan hiperglikemia. Efek hipoglikemik tersebut terjadi akibat destruksi sel dan pelepasan insulin, tetapi penggunaan jangka panjang akan menyebabkan hipoinsulinemia sekunder dan pada akhirnya menyebabkan hiperglikemia.11 Sejumlah besar obat-obatan juga dapat menyebabkan hiperglikemia pada individu normal, dan mengganggu kontrol metabolik pada pasien diabetes. Agen-agen tersebut sebagian besar memiliki efek langsung pada jaringan perifer yang memang merupakan tempat kerja insulin, misalnya epinefrin, glukokortikoid, obat-obatan antipsikotik atipik seperti clozapin dan olanzapin, serta obat-obatan yang digunakan pada terapi infeksi HIV (terutama protease inhibitor). Obat-obatan lainnya dapat menyebabkan hiperglikemia dengan menghambat sekresi insulin, baik secara langsung (misalnya fenitoin, clonidin, dan calcium channel blocker), maupun secara tidak langsung melalui deplesi K+ (diuretik).11 6. Adalat Oros (Nifedipin) Farmakodinamik Kanal kalsium tipe L merupakan tipe kanal yang dominan di otot jantung dan otot polos, dan dikenal sebagai reseptor beberapa obat. Nifedipin dan golongan dihidropiridin lainnya diketahui terikat pada situs tersebut, sementara verapamil dan diltiazem terikat pada reseptor yang sangat berkaitan tetapi tidak identik pada regio lain.2 Obat-obatan calcium channel blocker bekerja pada sisi dalam membran dan terikat lebih efektif pada membran yang mengalami depolarisasi. Pengikatan oleh obat tersebut akan menurunkan frekuensi pembukaan kanal sebagai respon terhadap depolarisasi. Akibatnya, terjadi penurunan arus kalsium transmembran yang signifikan, sehingga otot polos mengalami relaksasi dalam waktu yang lebih lama, dan otot jantung mengalami penurunan kontraktilitas, penurunan SA node rate, dan penurunan kecepatan konduksi AV node.12 Tipe kanal kalsium lainnya kurang sensitif terhadap blokade oleh golongan calcium channel blocker ini. Oleh karena itu, jaringan yang kerjanya terutama diperankan oleh tipe kanal lain, seperti neuron dan sebagian besar kelenjar, kurang terpengaruh oleh obat-obatan ini daripada otot polos dan otot jantung.12 Farmakokinetik Walaupun absorpsi agen ini hampir sempurna setelah pemberian secara oral, bioavailabilitasnya menurun secara signifikan pada saat metabolisme hepatik pertama. Efek obat ini terlihat dalam waktu 30-60 menit pada dosis oral, kecuali agen-agen long-acting yang lebih lambat diabsorpsi, misalnya amlodipin, isradipin, dan felodipin. Agen-agen tersebut terikat pada protein plasma secara ekstensif (70%-98%), dengan waktu paruh yang sangat bervariasi, mulai dari 1,3-64 jam. Pada pemberian oral yang berulang, bioavailabilitas dan waktu paruh dapat meningkat akibat saturasi metabolisme hepatik. Metabolit dihidropiridin bersifat inaktif atau aktif lemah. Pada pasien sirosis hati, bioavailabilitas dan waktu paruh calcium channel blocker dapat meningkat, sehingga perlu penyesuaian dosis. Waktu paruh agen-agen tersebut juga dapat menjadi lebih lama pada pasien usia lanjut.11 Penggunaan Klinis dan Interaksi Obat Pilihan agen calcium channel blocker tertentu harus didasarkan pada potensi efek samping setiap agen dan sifat farmakologinya. Nifedipin tidak menurunkan konduksi atrioventrikuler, sehingga lebih aman digunakan daripada verapamil atau diltiazem pada pasien dengan gangguan konduksi atrioventrikuler. Pada pasien gagal jantung, semua agen golongan ini dapat menyebabkan perburukan gagal jantung tersebut akibat efek inotropik negatifnya. Meskipun demikian, amlodipin tidak meningkatkan mortalitas pasien dengan gagal jantung akibat disfungsi sistolik ventrikuler, sehingga lebih aman digunakan pada pasien tersebut. Pada pasien dengan tekanan darah yang relatif rendah, dihidropiridin dapat menyebabkan tekanan darah semakin rendah lagi. Verapamil dan diltiazem kurang menyebabkan hipotensi, sehingga dapat lebih ditoleransi pada kondisi tersebut. Pada pasien yang menggunakan digitalis, verapamil harus digunakan dengan hati-hati, karena dapat meningkatkan kadar digoksin dalam darah melalui interaksi farmakokinetik. Peningkatan kadar digoksin dalam darah juga terjadi pada penggunaan diltiazem dan nifedipin, tetapi interaksi tersebut kurang signifikan jika dibandingkan dengan verapamil.12 7. Clonidine Farmakodinamik Penurunan tekanan darah oleh clonidin terjadi melalui penurunan kardiak output akibat penurunan heart rate dan resistensi vaskuler perifer, terutama ketika pasien dalam posisi berdiri (ketika tonus simpatik meningkat secara normal).12 Meskipun demikian, mekanisme pasti clonidin dalam menurunkan tekanan darah tidak sepenuhnya dipahami. Efek tersebut tampaknya sebagian disebabkan oleh aktivasi reseptor α2 pada daerah batang otak bagian bawah.11 Penurunan tekanan darah arteri tersebut disertai dengan penurunan resistensi vaskuler renal, sehingga aliran darah renal dapat terjaga. Seperti halnya metildopa, clonidin menurunkan tekanan darah pada posisi supine, sehingga dapat menyebabkan hipotensi postural, meskipun jarang terjadi.12 Farmakokinetik Clonidin dapat diabsorpsi dengan baik pada pemberian oral, dan bioavailabilitasnya mendekati 100%. Konsentrasi maksimal dalam plasma dan efek hipotensif maksimalnya dapat terlihat dalam 1-3 jam setelah pemberian dosis oral. Waktu paruh obat ini berkisar antara 6 sampai 24 jam, dengan rata-rata sekitar 12 jam. Sekitar 50% obat dari dosis yang diberikan dapat ditemukan dalam urin tanpa ada perubahan, sehingga waktu paruh obat ini dapat meningkat pada kondisi gagal ginjal. Terdapat korelasi yang baik antara konsentrasi plasma clonidin dengan efek farmakologisnya. Transdermal delivery patch, yang dapat memasukkan obat secara terus menerus, saat ini telah tersedia sebagai alternatif terapi oral. Sediaan tersebut melepaskan obat secara konstan selama satu minggu, tetapi memerlukan 3-4 hari untuk mencapai konsentrasi plasma yang stabil. Ketika patch dilepaskan, konsentrasi plasma tetap stabil selama sekitar 8 jam, dan kemudian menurun secara perlahan selama beberapa hari. Penurunan ini disertai dengan peningkatan tekanan darah.11 Toksisitas dan Interaksi Obat Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien yang berisiko mengalami depresi mental, dan harus dihentikan jika terjadi depresi selama terapi. Jika clonidin diberikan bersama dengan antidepresan trisiklik, efek anti-hipertensif clonidin justru akan terhambat. Interaksi tersebut diyakini terjadi akibat penghambatan α-adrenoreseptor oleh trisiklik.12 Penghentian clonidin setelah penggunaan jangka panjang, terutama dengan dosis tinggi (lebih dari 1 mg/hari), dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat mengancam nyawa. Kondisi tersebut terjadi akibat peningkatan aktivitas simpatik. Pasien akan mengalami kegelisahan, takikardia, nyeri kepala, dan berkeringat, setelah melewatkan satu atau dua dosis obat. Oleh karena itu, penghentian obat harus dilakukan secara perlahan-lahan, sambil memberikan agen anti-hipertensif pengganti.12 8. Ascardia Farmakodinamik Ascardia merupakan obat yang memiliki kandungan asam asetilsalisilat. Asam asetilsalisilat di Indonesia juga dikenal dengan nama aspirin. Obat ini merupakan golongan obat antitrombotik, yaitu obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan thrombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis tromboksan A2 (TXA2) di dalam trombosit dan prostasiklin (PGI2) di pembuluh darah dengan menghambat enzim siklooksigenasi secara irreversibel, dengan cara mengasetilasi enzim tersebut. Pemberian dosis kecil obat ini, 80-320 mg/hari, hanya akan menekan TXA2, sehingga hanya bersifat antitrombotik. Pemberian dosis lebih tinggi dapat meningkatkan toksisitas, terutama perdarahan, juga menjadi kurang efektif kerjanya sebagai antitrombotik karena dapat juga menghambat pembentukan prostasiklin. Akibat kerja obat tersebut yang berpotensi menimbulkan perdarahan, maka obat tersebut dikontraindikasikan terhadap pasien dengan ulkus peptic aktif dan gangguan perdarahan.13,14 Farmakokinetik Asam asetilsalisilat cepat diserap di lambung dan usus halus, kemudian mencapai kadar puncak di darah dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian obat. Setelah diserap, asam asetilsalisilat akan dihidrolisasi menjadi asam asetat dan salisilat oleh enzim esterase di darah dan jaringan tubuh. Salisilat kemudian akan berikatan dengan albumin di darah. Waktu paruh asam salisilat berkisar antara 3-5 jam. Alkalinisasi urin meningkatkan jumlah salisilat yang diekskresikan tubuh, baik dalam bentuk salisilat bebas maupun konjugatnya.15 Efek Samping Efek samping yang biasanya muncul pada penggunaan asam asetilsalisilat adalah rasa tidak enak di perut, mual, dan perdarahan saluran cerna. Efek samping tersebut biasanya dapat dihindarkan apabila dosis per harinya tidak lebih dari 325 mg.14 Selain itu sekarang sudah terdapat sediaan yang enteric-coated yang membuat zat aktif obat baru akan dilepaskan di usus sehingga menurunkan risiko terjadinya perdarahan lambung.13 Interaksi Obat Asam asetilsalisilat dapat berkurang efek antitrombolitiknya apabila diberikan bersama obat yang dapat meningkatkan pH lambung, misalnya antasida atau antagonis H2. Obat ini juga meningkatkan risiko perdarahan, terutama perdarahan saluran cerna, bahkan intraserebral, apabila diberikan bersama obat antikoagulan, misalnya heparin atau warfarin.13,14 9. Imipenem/Silastatin Farmakodinamik Imipenem merupakan salah satu golongan obat karbapenem, yaitu betalaktam yang struktur kimianya berbeda dengan penisilin dan sefalosporin dengan spectrum aktivitas yang lebih luas. Imipenem dipasarkan dalam kombinasi dengan silastatin (imipenem/silastatin), dengan tujuan agar imipenem tidak didegradasi oleh enzim dipeptidase di tubuli ginjal.16 Imipenem merupakan suatu turunan tienamisin, senyawa yang diproduksi oleh streptomyces cattleya, yang mengandung cincin betalaktam. Imipenem bekerja dengan cara mengikat PBP2 dan menghambat sintesis dinding sel kuman. Sifat obat ini adalah bakteriosidal. Obat ini berspektrum sangat luas, mulai dari kuman gram positif dan negative, baik aerobic maupun anaerobic. Obat ini biasanya digunakan untuk pengobatan infeksi berat, termasuk infeksi nosokomial yang resisten terhadap antibiotic lain, misalnya infeksi saluran napas bawah, intraabdominal, obstetric-ginekologi, osteomielitis, dan endokarditis. Selain itu, obat ini juga dapat digunakan untuk infeksi berat oleh Pseudomonas aeruginosa dengan kombinasi dengan aminoglikosida.16,17 Silastatin merupakan obat penghambat enzim dihidropeptidase-1, suatu enzim yang terdapat di brush border tubuli ginjal, yang memetabolisme imipenem menjadi suatu metabolit yang nefrotoksik. Silastatin tidak memiliki aktivitas antibakteri. Bila diberikan dengan imipenem dalam perbandingan yang sama, silastatin akan meningkatkan kadar imipenem aktif dalam urin dan mencegah efek nefrotoksik, dengan cara mencegah termetabolismenya imipenem.16,17 Farmakokinetik Imipenem dan silastatin tidak dapat diabsorpsi melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara suntikan. Setelah pemberian masing masing 1g imipenem/silastatin dengan infuse 30 menit, kadar puncak rata-ratanya mencapai 52 dan 65 µg/mL. Kadar puncak imipenem dicapai dalam 2 jam, sedangkan silastatin dicapai 1 jam sesudah pemberian. 20% imipenem dan 40% silastatin terikat protein plasma, dengan distribusi obat merata ke pelbagai jaringan tubuh. Obat ini dimetabolisme minimal di hepar dan diekskresi melalui filtrasi glomerulus dan sekresi tubuli ginjal, dengan waktu paruh sekitar 1 jam.16,18 Efek Samping Obat ini memiliki banyak efek samping, antara lain kemerahan di kulit, urtikaria, mual, muntah, diare, dermatitis, dll. Efek samping paling fatal yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan obat ini adalah Steven-Johnson syndrome dan nekrosis toksik epidermis.17 Interaksi Obat Interaksi obat yang cukup sering dan penting dari penggunaan obat ini antara lain penggunaan obat ini bersamaan dengan probenecid yang dapat meningkatkan waktu paruh silastatin dan peningkatan risiko kejang apabila digunakan bersamaan dengan ganciclovir.17 10.Simvastatin Farmakodinamik Simvastatin merupakan obat golongan statin yang digunakan untuk menurunkan kolesterol. Obat ini bekerja dengan cara menghambat sintesis kolesterol dalam hati dengan menghambat enzim HMG CoA reduktase. Akibatnya, SREBP yang terdapat pada membrane dipecah oleh protease, lalu diangkut ke nucleus sehingga terjadi pengaktivan gen reseptor LDL. Peningkatan jumlah reseptor LDL pada hepatosit akan menurunkan kadar kolesterol darah. Penurunan LDL juga diikuti oleh penurunan VLDL danIDL, sedangkan HDL meningkat.19 Farmakokinetik Simvastatin merupakan prodrug dalam bentuk lakton dan harus dihidrolisis untuk menjadi bentuk aktif asamβ-hidroksi. Simvastatin diabsorpsi sekitar 40-75% dan mengalami metabolism lintas pertama di hati. Waktu paruh berkisar 1-3 jam dan sebagian besar terikat oleh protein plasma. Sebagian besar obat diekskresikan oleh hati ke empedu dan sebagian kecil lewat ginjal.19 EfekSamping Pemberian simvastatin umumnya ditolerasi baik oleh pasien, tetapi dapat juga meingkatkan enzim transaminase hingga melebihi 3 kali normal pada 1-2% pasien. Efek berbahaya statin adalah miopati dan rabdomiolisis, meningkat jika diberikan bersama fibrat, asam nikotinat dan mempengaruhi metabolisme statin. Efek samping lain adalah gangguan saluran cerna, sakit kepala, rash, neuropati perifer dan sindrom lupus.19 Interaksi Obat Simvastatin dimetabolisme oleh CYP3A4. Obat ini akan berakumulasi dalam plasma jika diberikan dengan obat yang menghambat atau berkompetisi untuk CYP3A4 seperti antibiotic makrolid, siklosporin, ketokonazol, penghambat protease HIV, takrolimus, nefazodon, fibrat, dll. Peningkatan risiko myositis juga terjadi bila digunakan bersama amiodaron atau verapamil. Sebaliknya, obat-obat yang menstimulasi CYP3A4 seperti fenitoin, barbiturate, griseofulvin dan rifampisin akan mengurangi kadar plasma statin.20 11.Heparin Farmakodinamik Heparin berikatan dengan AT-III yang berfungsi menghambat protease faktor pembekuan, termasuk faktorIIa (thrombin), IXa, dan Xa. Heparin berfungsi mempercepat pembentukan kompleks AT-III-protease. Setelah kompleks tersebut terbentuk, heparin selanjutnya dilepaskan untuk membentuk ikatan baru dengan antirombin. Heparin berat molekul tinggi (5.000 – 30.000) memiliki afinitas kuat dengan antitrombin dan memiliki efek penghambat pembekuan darah yang nyata. Heparin berat molekul rendah menghambat faktor Xa oleh antitrombin.21 Heparin bersifat lipotrofik, akan memperlancar transfer lemak darah ke dalam depot lemak. Aksi ini terjadi karena heparin membebaskan enzim-enzim yang menghidrolisis lemak, seperti lipase lipoprotein ke sirkulasi serta menstabilkan aktivitasnya.21 Farmakokinetik Heparin tidak diabsorpsi secara oral sehingga diberikan secara subkutan (SK) atau intravena (IV). Pemberian secara SK memiliki bioavailabilitas yang bervariasi, mula kerja lambat 1-2 jam tetapi masa kerjanya lebih lama. Heparin berat molekul rendah diabsorpsi lebih teratur. Pada pemberian IV, efek antikoagulan segera timbul, dan terjadi kira-kira 20-30 menit setelah suntikan SK. Heparin cepat dimetabolisme terutama di hati. Masa paruhnya tergantung dari dosis yang digunakan, suntikan IV 100, 400, atau 800 unit/kgBB memperlihatkan masa paruh masing-masing kira-kira 1, 2 ½ dan 5 jam. Masa paruh mungkin memendek pada pasien dengan emboli paru dan memanjang pada pasien sirosis hepatis atau penyakit ginjal berat. Heparin berat molekul rendah mempunyai masa paruh yang lebih panjang daripada heparin standar. Metabolit inaktif diekskresi melalui urin. Heparin diekskresi dalam bentuk utuh hanya pada pemberian heparin IV heparin dosis besar. Pasien emboli paru memerlukan dosis heparin lebih tinggi karena klirens yang lebih cepat. Terdapat variasi individual dalam efek antikoagulan yang ditimbulkan maupun dalam kecepatan klirens obat.21 EfekSamping Demam, sakitkepala, menggigil, muntah, konstipasi, epistaksis, lebam, hematuria, nekrosiskulit, osteoporosis, alopesia, priapism. Reaksi hipersensitivitas seperti urtikaria konjungtivitas, rhinitis, asma, angioedema, dan syok anafilaktik. Fatal: trombositopenia terinduksi heparin dengan atau tanpa trombosis; perdarahan. 22 InteraksiObat Kerja heparin dihambat oleh zinc. Pemberian bersama obat antiplatelet seperti aspirin dan diovridamole dapat memicu perdarahan. Fatal: pemberian bersama NSAIDS dapat meningkatkan risiko perdarahan. Peningkatan efek heparin saat diberikan bersama dextrans, asparaginase, streptokinase, dan beberapa media kontras.22 Diskusi Potensi Interaksi Obat Potensi interaksi obat yang dapat berakibat fatal bagi pasien adalah digunakannya ketorolac bersamaan dengan ascardia dan heparin. Penggunaan ketorolac bersamaan dengan ascardia dapat meningkatkan efek samping aspirin, yaitu menyebabkan perdarahan, terutama perdarahan di saluran gastrointestinal. Heparin, yang merupakan obat golongan antikoagulan, juga semakin meningkatkan risiko terjadinya perdarahan. Meskipun dosis asam asetilsalisilat yang digunakan merupakan dosis anti-trombotik, yang menurunkan risiko terjadinya perdarahan, tetapi potensi untuk munculnya efek samping tersebut tetap ada, apalagi bila ditambah golongan obat yang juga berefek samping menimbulkan perdarahan. Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan penggunaan adalat oros atau nifedipine dapat meningkatkan potensi efek samping ascardia. Potensi munculnya perdarahan semakin tinggi karena pasien memiliki dyspepsia. Penggunaan omeprazole, selain dapat mengatasi keluhan dyspepsia juga dapat menurunkan risiko terjadinya perdarahan di lambung. Pemberian obat yang dapat meningkatkan pertahanan mukosa lambung, misalnya sukralfat, kami sarankan untuk pasien ini. Pemberian novorapid bersama salisilat dapat meningkatkan risiko hipoglikemia, karena salisilat dapat meningkatkan sensitivitas sel pankreas terhadap glukosa dan meningkatkan sekresi insulin. Sementara itu, penggunaan clonidine dan nifedipine justru akan mengurangi efek novorapid, karena kedua obat ini memiliki efek hiperglikemia dengan menghambat sekresi insulin secara langsung. Omeprazole dan simvastatin merupakan obat yang sama-sama dimetabolisme oleh cyp3A4, yang secara tidak langsung akan saling mempengaruhi metabolismenya. Omeprazole lebih dapat dimetabolisme oleh cyp 3A4 dibandingkan dengan simvastatin, sehingga diperlukan penyesuaian dosis pemberian simvastatin, karena kadar simvastatin di darah akan lebih tinggi pada pemberian bersama dengan omeprazole. Makna Klinis Pasien perempuan, usia 69 tahun, didiagnosis antara lain CAP dd TB paru relaps dengan infeksi sekunder, nyeri akibat fraktur tertutup intertrochanter femur dekstra, DM tipe 2 tidak terkontrol, hipertensi dengan HHD, iskemia anterior ekstensif, dyspepsia, hiperkolesterolemia. Pasien diberikan imipenem-cilastatin 2x1 gr IV untuk mengatasi mikroorganisme penyebabnya, fluimucyl 3xCI sebagai agen mukolitik untuk mengencerkan dahak yang kental dan tertahan di tenggorokan, dan inhalasi V:B:NS = 1:1:1 dalam 24 jam untuk mengatasi sesak napas yang dialami oleh pasien. Pemberian imipenem/cilastatin sudah tepat karena merupakan antibiotic yang berspektrum luas, mencakup bakteri gram positif dan negative, baik yang aerobic maupun non-anaerobik. Pasien diberikan inhalasi karena sesak napas yang dialaminya cukup berat dan pasien juga memiliki riwayat asma. Pemberian fluimucyl selain untuk mengencerkan dahak juga diharapkan dapat membantu meringankan sesak napas yang dialami pasien akibat berkurangnya jumlah dahak di saluran napas. Nyeri akibat fraktur tertutup intertrochanter femur yang dirasakan oleh pasien diatasi dengan pemberian analgesic golongan NSAID yaitu ketorolac 3x10 mg iv. Pasien mengaku nyeri yang dialaminya memiliki VAS=7 sehingga dapat dikatakan termasuk ke dalam nyeri sedang. Pemberian obat ini bertujuan untuk mengurangi nyeri akibat fraktur yang dialami pasien. Obat ini dipilih karena memiliki efektivitas yang hampir sama dengan morfin dalam mengurangi nyeri namun memiliki efek samping yang lebih minimal jika dibandingkan dengan morfin. Pasien juga memiliki DM tipe 2 yang tidak terkontrol yang diatasi dengan pemberian insulin novorapid 3x12 unit. Gula darah sewaktu pasien mencapai 338. Alasan pemberian insulin diperkirakan karena pasien memenuhi indikasi absolute berupa infeksi akut, yaitu pneumonia dan beberapa indikasi relative pemberian insulin pada pasien DM tipe 2 adalah bila gula darah di atas 200, sedang dirawat, danDM berlangsung lebih dari 15 tahun. Hipertensi dengan HHD yang dimiliki oleh pasien diatasi dengan pemberian clonidine 2x0,15 mg, yang merupakan golongan obat α-2 agonis dan adalat oros (nifedipine) 1x30 mg po, yang merupakan golongan calcium-channel blocker (CCB). Penggunaan kombinasi 2 obat tersebut diperkirakan karena tekanan darah pasien sistol >160mmHg dan/atau diastole>100mmHg, sehingga menurut JNC VII harus diberikan kombinasi 2 obat. Pemilihan kombinasi kedua obat tersebut karena diperkirakan masalahnya terdapat di jantung, sehingga dipilih obat yang situs kerjanya terutama di jantung, yaitu golongan CCB dan α-2 agonis. Pasien yang didiagnosa mengidap iskemia anterior ekstensif, diberikan ascardia 1x80 mg dan heparin 2x500 sc. Pemberian ascardia dimaksudkan sebagai agen antitrombotik, sedangkan heparin sebagai antikoagulan yang sama-sama ditujukan untuk mencegah berulangnya iskemia. Dyspepsia yang dialami pasien diatasi dengan pemberian omeprazole 1x40 mg iv yang merupakan obat golongan PPI dan dapat mengatasi dyspepsia dengan mengurangi jumlah asam lambung. Hiperkolesterolemia yang dialami pasien diatasi dengan simvastatin yang merupakan obat golongan statin, yang memiliki efek paling baik dalam menurunkan kadar LDL darah, dan cukup baik untuk meningkatkan kadar HDL juga menurunkan kadar trigliserida darah. Kesimpulan Secara keseluruhan penggunaan obat untuk pasien ini sudah cukup tepat dan sesuai dengan diagnosisnya. Akan tetapi, terdapat potensi interaksi obat yang perlu diperhatikan yaitu penggunaan ketorolak, heparin, dan ascardia secara bersamaan, risiko perdarahan pada pasien, terutama di lambung menjadi sangat tinggi, dan dapat berakibat fatal. Kami menyarankan untuk menambahkan obat yang dapat meningkatkan pertahanan mukosa lambung, misalnya sulkralfat. Daftar Pustaka 1. Wilmana F, Gan S. Analgetik-Antipiretik, Analgetik-Anti Inflamasi, Nonsteroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya. Di dalam: Gan S, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.244. 2. MIMS. Ketorolac. Diunduh 9 November 2012. Available on: https://www.mims.com/Indonesia/drug/info/ketorolac/?type=full&mtype=generic#Dosa ge 3. Setiawati A, Gan S. Obat Adrenergik. Di dalam: Gan S, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.75. 4. MIMS.Ventolin. Diunduh 9 November 2012. Available on: https://www.mims.com/Indonesia/drug/info/Ventolin%20Nebules/?type=full#Indication s 5. Estuningtyas A, Arif A. Obat Lokal. Di dalam: Gan S, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.p.532. 6. MIMS. Bromhexin HCl. Diunduh 9 November 2012. Available on: https://www.mims.com/Indonesia/drug/info/bromhexine/?type=full&mtype=generic#Act ions 7. MIMS.Nedocromil Sodium. Diunduh 9 November 2012. Available on: https://www.mims.com/Indonesia/drug/info/nedocromil/?type=full&mtype=generic#Dos age 8. Gunawan SG, Setiabudi R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2009. 9. Medsape Reference. Omeprazole. Diunduh dari http://reference.medscape.com/drug/prilosec-omeprazole-341997 10. Medscape Reference. N-acetylcysteine. Diunduh dari http://reference.medscape.com/drug/n-acetylcysteine-mucomyst-acetylcysteine-343425 11. Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman's the pharmacological basis of therapeutics, 11th Edition. The McGraw-Hill Companies; 2007. 12. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology, 10th Edition. The McGraw-Hill Companies; 2006. 13. Anonym. Ascardia - Concise Prescribing Information. Diunduh https://www.mims.com/Indonesia/drug/info/Ascardia/?q=ascardia&type=brief. dari At 7 Nov 2012 21.03. 14. Dewoto HR. Antikoagulan, antitrombotik, trombolitk, dan hemostatik. In: Gunawan SG (Editor). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011; p. 813. 15. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology. 10th ed. San Fransisco: McGraw-Hill. 2006; ch. 36. Nonsteroidal anti-inflammatroy drugs. 16. Istiantoro YH, Gan VHS. Penisilin, Sefalosporin, dan Antibiotik Betalaktam Lainnya. In: Gunawan SG (Editor). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011; p. 687-8. 17. Anonym. Imipenem + Cilastatin. Diunduh dari http://www.mims.com/Indonesia/interaction/Search/imipenem%20%2b%20cilastatin. At 8 Nov 2012 20.55. 18. Anonym. Imipenem/Cilastatin. Diunduh dari http://www.drugs.com/ppa/imipenemcilastatin.html. At 8 Nov 2012 20.57. 19. Suyatna FD. Hipolipidemik. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth editor, Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2009: h. 363-364. 20. Mahley RW, Bersot TP. Drug Therapy for Hypercholesterolemia and Dyslipidemia. Dalam: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL editors, Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics, 11th edition (e-book). New York: The McGrawHills Companies, Inc. 2006. 21. Dewoto HR. Antikoagulan, Antitrombotik, Trombolitik, dan Hemostatik. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth editor, Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Jakarta: BalaiPenerbit FKUI. 2009: h. 806-810. 22. MIMS. Heparin. Diakses dari http://www.mims.com/Indonesia/drug/info/heparin/?q=heparin&type=brief&mtype=gen eric, Sabtu 10 November 2012.