pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan

advertisement
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Oleh:
ERNA SOFYAN SYUKRIE, SH.
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
ERNA SOFYAN SYUKRIE, SH.
PENDAHULUAN
Dalam era reformasi ini terbuka Iebar bagi setiap warga negara untuk memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dengan adanya pembaharuan hukum, pemberdayaan perempuan dalam
pembangunan dibidang politik telah diwujudkan dengan terpilihnya seorang
perempuan sebagai Presiden yang juga selaku Kepala Negara memegang pimpinan
bangsa dan negara Republik Indonesia yang kita cintai ini merupakan kebanggan kita
bersama.
Perkembangan peradaban di dunia Barat dan Timur yang semula tumbuh dalam
lingkup budaya dan ideologi patriarkis telah terkikis dengan meninggalkan dampak
negatif diberbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta telah menciptakan
ketimpangan gender.
Kebudayaan global tengah mendesak kepentingan kesetaraan gender keseluruh
penjuru dunia termasuk Indonesia. Tidaklah mungkin diingkari, kita telah melepaskan
pemahaman kuno yang memandang perempuan secara kodrati hanyalah "konco
wingking" belaka, tetapi masih diharapkan "kewajiban domestik" dapat tertanggulangi
bersama secara kemitrasejajaran serta dengan berbagi peran dalam keluarga yang
sejahtera.
Bahwa kemampuan sama sekali tidak terkait dengan jenis kelamin, tetapi
kehidupan publik mensyaratkan kualifikasi tersebut bilamana kesempatan di mungkinkan.
Prinsip dasar dalam Konvensi Wanita adalah persamaan substantif, non
diskriminasi, dan prinsip kewajiban negara.
Peraturan Hukum yang bersifat diskriminatir pada zaman kolonial telah
menghambat perkembangan bagi pemberdayaan perempuan. Bias gender masih terasa
dalam substansi hukum positif, meskipun pemerintah sudah menandatangani sejumlah
konvensi yang mengatur hak-hak perempuan. Memperbaharui perundang-undangan
warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif termasuk ketidakadilan gender
sudah menjadi arah kebijakan hukum pemerintah. Perubahan nilai sosial yang diawali
dengan berkembangnya proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi
membawa dampak positif menuju kesetaraan gender.
Peran yurisprudensi yang berperspektif gender, seharusnya dimanfaatkan secara
optimal untuk pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan dalam
rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Keberhasilan pemberdayaan
perempuan dimaksud, sepenuhnya tergantung pada pelaksanaan penerapan dan
penegak hukum yang diperankan oleh aparat penyelenggara negara dan oleh kaum
perempuan sendiri.
Denpasar, 14-18 Juli 2003
BAB I
DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN SEBAGAI
KETIMPANGAN GENDER
A. BUDAYA DAN IDEOLOGI PATRIARKI
Sebagaimana kita ketahui bersama di dunia Barat ataupun di Timur,
perkembangan peradaban manusja tumbuh dalam lingkup budaya dan ideologi
patriarki. Dinegara-negara Barat, Amerika Serikat, dan Eropa Barat, budaya tersebut
terlebih dahulu terkikis sejalan dengan perkembangan tehnologi, demokrasi dan lain-lain
yang mendudukan persamaan dan keadilan sebagai nilai yang sentral. Di negara-negara
Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, budaya dan ideologi tersebut masih sangat kental dan
mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat serta menciptakan
ketimpangan-ketimpangan gender.
Budaya dan ideologi bukan satu hal yang turun dari langit. la di bentuk oleh
manusia dan disosialisasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Koentjaraningrat
mengatakan nilai budaya adalah faktor mental yang menentukan perbuatan seseorang
atau masyarakat (Koentjaraningrat, 1974). Dalam budaya kita, seperti juga di banyak
negara dunia ketiga lain, budaya patriarki masih sangat kental. Dalam kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan terlebih lagi dalam budaya, keadaan ketimpangan, asimetris dan
subordinatif terhadap perempuan tampak sangat jelas. Dalam kondisi yang seperti itu
proses marjinalisasi terhadap perempuan terjadi pada gilirannya perempuan kehilangan
otonomi atas dirinya. Eksploitasi serta kekerasan terjadi terhadap perempuan, baik di
wilayah domestik maupun publik. Dalam situasi demikian, maka perbedaan, diskriminasi,
dan ketidakadilan gender tumbuh dengan suburnya. Meskipun secara formal, dalam UUD
1945, hak laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, tetapi dalam kenyataannya sangat
berbeda.
Bagi masyarakat tradisional, patriarki di pandang sebagai hal yang tidak perlu
dipermasalahkan, karena hal tersebut selalu dikaitkan dengan kodrat dan kekuasaaan
adikodrat yang tidak terbantahkan. Kepercayaan bahwa Tuhan telah menetapkan adanya
perbedaan laki-laki dan perempuan, sebingga perbedaan dalam kehidupan manusia pun
diatur berdasarkan perbedaan tersebut. Tambah lagi, faktor agama telah digunakan untuk
memperkuat kedudukan kaum laki-laki. Determinise biologis juga telah memperkuat
pandangan tersebut. Artinya. karena secara biologis perempuan dan laki-laki berbeda
maka fungsi-fungsi sosial ataupun kerja dengan masyarakat pun di ciptakan berbeda.
Laki-laki selalu dikaitkan dengan fungsi dan tugas di luar rumah, sedangkan perempuan
yang berkodrat melahirkan ada di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik saja.
Perempuan bertugas pokok membesarkan anak, laki-laki bertugas mencari nafkah.
Perbedaan tersebut di pandang sebagai hal yang alamiah. Itu sebabnya ketimpangan
yang melahirkan subordinasi perempuan pun dipandang sebagai hal yang alamiah pula.
Hal tersebut bukan saja terjadi dalam keluarga, tetapi telah melebar ke dalam kehidupan
masyarakat.
Dalam pendidikan yang merupakan proses yang sangat penting bagi pertumbuhan
nalar seseorang, juga masih sangat patriarkis. Satu keluarga biasanya akan lebih
memberikan prioritas kepada anak laki-Iaki karena ia adalah penerus keluarga sedangkan
anak perempuan akan pindah dan masuk ke dalam keluarga lain. Pendidikan dalam
keluarga pun mensosialisasikan bahwa bapak adalah sentral, sehingga secara tidak
disadari akan mengecilkan peran perempuan dalam keluarga. Anak perempuan jarang
dilibatkan dalam pembicaraan kebijakan keluarga sehingga sosialisasi pada norma-norma
yang semacam itu akan berdampak pada pembentukan kepribadian dan sikapnya yang
cenderung tidak terbuka.
Dalam bidang teknologi, hingga sekarang tidak cukup ramah terhadap
perempuan. Anggapan bahwa tehnologi merupakan tugas laki-Iaki saat ini trend dunia
tehnologi masih male dominated, padahal dalam kemampuan perempuan tidak kalah,
tetapi apakah masyarakat memberi peluang, kesempatan kepada perempuan, selain
kaum perempuan diposisikan dipinggir "dikelas dua", karenanya harus ada perjuangan
keras melawan ideologi patriarkhi yang mengungkung perempuan.
Ketimpangan hubungan dalam keluarga juga tampak melalui pengaturan
kehamilan. Menerima atau tidaknya untuk ber-KB lebih sering ditentukan oleh suami,
yang "mengijinkan" isterinya menjadi akseptor. Menolak hubungan badan dengan suami
jarang terjadi karena doktrin agama yang menganggap isteri akan berdosa bila menolak.
Dalam masyarakat Jawa, umpamanya, masih berlaku nilai-nilai yang mencerminkan
subordinasi perempuan, seperti ungkapan "kanca wingking" (teman pendamping) atau
swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka terbawa). Ungkapan tersebut
mengandung arti bahwa perempuan tidak dapat melampaui suaminya dan perempuan
tidak berdaya dan tidak berkuasa atas dirinya.
Pada pola asimetris/ketidaksetaraan antara suami isteri, mengasumsikan satu
pihak sebagai kepala/pemimpin, pelindung, penanggungjawab, oleh karena ia yang kuat.
memiliki akses keluar, pemilik kuasa (informasi, ekonomi) sekaligus kontrol, pengambilan
keputusan. Sementara pihak lain dianggap lemah, sub-ordinat, yang harus
dikepalai/pengikut (karenanya harus patuh), dilindungi, dibatasi ruang lingkupnya. Maka,
dengan pola hubungan seperti ini akan memberi peluang munculnya kekerasan terhadap
perempuan, terutama bila salah satu pihak mengikuti atau keluar dari pola yang ada.
Dalam hukum waris pengaruh adat dan agama tidak dapat diabaikan. Salah satu
aturan gender dalam adat dapat kita lihat dalam soal pewarisan di tiga bentuk sistem
masyarakat adat, yakni patrilineal, matrilineal dan bilateral.
Dalam masyarakat patrilineal, seperti diwakili oleh suku Batak, Lampung dan juga
di Flores dalam kasus di atas, anak laki-laki akan tetap menuntut rumah keluarga sebagai
bagian warisan. Sekalipun dalam kenyataannya saudara perempuanlah yang mengurus
rumah, bahkan ikut bekerja keras membantu orang tua guna menghidupi saudara lakilakinya, termasuk membiayai sekolah/ perantauannya.
Sedangkan dalam masyarakat matrilineal, yang diwakili oleh suku Minangkabau,
warisan "pusaka tinggi" diwariskan kepada anggota keluarga menurut garis ibu. Sekalipun
demikian mamaklah (paman laki-laki) yang memiliki kekuasaan pengaturannya. Seringkali
mamak juga ikut mengambil bagian dari warisan tersebut, dan bahkan menguasainya.
Adapun dalam masyarakat bilateral, seperti di Jawa, pembagian warisan antara anak laki-
laki dan perempuan adalah 2:1, atau di kenal dalam istilah "sepikul segendong". Namun
sering kali anak perempuan yang terkecil di biarkan menguasai rumah keluarga dan kelak
dijadikan sebagai miliknya. Terhadap hal ini, saudara laki-akinya tidak akan menuntut.
Di bidang ekonomi, krisis ekonomi telah memarjinalkan perempuan dengan
berbagai kebijakan pemerintah yang lebih ditujukan kepada kaum laki-laki dengan
anggapan bahwa mereka adalah pencari nafkah. Sebagai contoh, kebijakan pekerjaan
padat karya yang hanya melibatkan kaum laki-laki saja. Contoh lain, dalam data statistik,
kita tidak menjumpai pendapatan selalu yang diciptakan oleh perempuan seperti menjahit,
katering, atau pekerjaan dalam sektor informal. Selama ini data pendapatan selalu diambil
dari para suami sebagai kepala keluarga, baik yang memiliki kerja formal ataupun
informal. Padahal kita tahu banyak perempuan yang berhasil mendapatkan uang dengan
cara kerja informal. Semestinya Biro Pusat Statistik memiliki data-data tersebut supaya
kerja perempuan pun di hargai oleh negara dan masyarakat.
Reformasi yang sedang berlangsung ini bukan hanya gerakan memerangi
penindasan, otoritarianisme, ketidakadilan, dan sebagainya, yang bersifat non demokratis,
tetapi kita harus melihatnya sebagai proses transisi menuju demokrasi. Sekarang inilah
kesempatan bagi kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri, serta segala bentuk
subordinasi dan marjinalisasi bukan waktunya lagi tetap melekat pada diri kaum
perempuan. ldeologi patriarkhis telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan gender
dalam berbagai bidang.
B. UU NO. 7 TAHUN 1984. TENTANG KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN
SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CEDAW).
Dukungan Pemerintah RI terhadap tujuan Konvensi Mengenai Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi Wanita) yang dikemukan dalam
keterangan Pemerintah di DPR Jakarta, 27 Februari 1984 antara lain menghapuskan
diskriminasi dalam segala bentuk-bentuknya terhadap wanita dan mungkin dalam
terwujudnya prinsip-prinsip persamaan hak bagi wanitadi bidang politik, hukum, ekonomi,
dan sosial budaya.
MASIH KONSISTENKAH PEMERINTAH RI TERHADAP TUJUAN TERSEBUT HINGGA
KINI ?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus diketahui terlebih dahulu apakah pengertian
"Diskriminasi" yang dimaksud dalam Konvensi tersebut?
Pasal 1 : Untuk tujuan Konvensi yang sekarang ini, istilah "DISKRIMINASI TERHADAP
WANITA" berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat
atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan
hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok dibidang politik,
ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas
dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.
Konvensi Wanita secara konkrit menekankan :
Kesetaraan dan keadilan antara Perempuan dan Laki-laki (genderequality and
equity), persamaan hak dan kesempatan serta perlakukan adil disegala bidang dalam
semua kegiatan meskipun diakui adanya perbedaan:
1. Perbedaan biologi/kodrati antara perempuan dan laki-laki.
2. Perbedaan perlakuan terhadap perempuan berdasarkan gender dengan akibat
dimana perempuan dirugikan:
-
perempuan sebagai subordinasi laki-Iaki baik dalam keluarga maupun
masyarakat.
-
pembatasan kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang
ada untuk tumbuh berkembang secara optimal, menyeluruh dan terpadu
Peluang untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil
pembangunan.
3. Perbedaan kondisi dan posisi perempuan terhadap laki-Iaki dimana perempuan
berada dalam kondisi dan posisi yang lemah karena sejak semula sudah dipolakan
adanya diskriminasi dalam budaya adat atau karena lingkungan keluarga,
masyarakat yang tidak mendukung adanya kesetaraan dan kemandirian
perempuan.
4. Prinsip dasar dari Konvensi Wanita yang kita buat yaitu :
a. Prinsip persamaan substantif
b. Prinsip non diskriminasi
c. Prinsip kewajiban negara.
a. Prinsip Persamaan Subtantif.
Prinsip Persamaan Substantif meliputi :
Pendekatan yang terdiri atas langkah-langkah khusus agar perempuan mempunyai
akses yang sama dan dapat menikmati manfaat yang sama dengan laki-laki terhadap
kesempatan dan peluang yang ada.
Contoh: secara formal ditetapkan serta berasumsi perempuan dan laki-laki adalah
sama, dengan akibat harus diperlakukan sama dan mempunyai kesempatan yang sama
serta masing-masing akan melaksanakan kinerja yang sama pula, namun faktanya tidak
demikian. Misalnya: kesempatan kerja malam hari bagi laki-laki dan perempuan adalah
sama secara de jure, ternyata bagi perempuan belum tentu dapat memanfaatkan
kesempatan kerja malam tersebut, karena harus menghadapi lingkungan sosial yang
tidak sama, sebab fakta dalam masyarakat mengkondisikan bahwa perempuan tidak pada
tempatnya bekerja diluar rumah pada malam hari karena menghindari pelecehan atau
keadaan tidak aman bagi dirinya, sehingga perempuan kalau toh keluar rumah pada
waktu malam untuk bekerja akan menanggung resiko sendiri bila terjadi sesuatu
terhadap dirinya. Kondisi semacam ini tidak akan terjadi pada laki-laki. Maka diperlukan
pendekatan koreksi dimana perusahaan harus menyediakan transportasi antar jemput
bagi pegawai perempuan, Hal ini biasanya akan menambah pengeluaran (budget)
perusahaan, maka lebih baik perusahaan tidak menerima pegawai perempuan.
Langkah-langkah untuk merealisasikan hak perempuan ialah dengan menghapus
adanya perbedaan, disparitas/kesenjangan atau keadaan yang merugikan perempuan
misalkan: keharusan adanya perubahan pola pikir dan tingkah laku sosial budaya
terhadap perempuan, menghapuskan prasangka serta kebiasaan dan praktek yang
bersifat diskriminatif (untuk tidak mengganggu perempuan yang jalan sendiri di malam
hari).
Kewajiban Pemerintah untuk mengembangkan kebijaksanaan dan peraturan
berkaitan dengan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai persamaan
substantif, hak yang sama dan persamaan legal standard antara laki-laki dan perempuan
(misalnya; hak yang sama dalam keluarga, peluang kerja yang sama, pemberian gaji
yang sama, kewarisan, kewarganegaraan, kesempatan di bidang politik).
b. Prinsip Non Diskriminasi
Selain sudah jelas apa pengertian diskriminasi dalam Pasal 1 , dapat disimak
dalam pasal 4, bahwa yang tidak dianggap diskriminasi ialah tindakan yang disebut
affirmative action yaitu tindakan khusus yang bersifat sementara dengan tujuan untuk
mendapatkan persamaan kesempatan dan perlakuan sama yang nyata antara
perempuan dan laki-Iaki.
Misalnya : perlindungan kehamilan bagi perempuan (cuti hamil, cuti haid) hal ini
tidak dapat dianggap sebagai pemberian kesempatan yang diskriminatif bagi pekerja lakilaki.
c. Prinsip Kewajiban Negara
Menjamin hak-hak perempuan di bidang hukum dan kebijaksanaan serta jaminan
kepada perempuan agar dapat menikmati hasil pelaksananya. Negara tidak saja wajib
menjamin persamaan hak secara de jure (substansi hukumnya) tetapi juga dari segi de
facto yaitu dengan mendorong realisasi terwujudnya hak perempuan (Pasal 2)
Misalnya : mencabut/mengamandir peraturan, kebijaksanaan, kekuasaan praktek
yang diskriminatif terhadap perempuan dan mengadakan pembaharuan-pembaharuan
yang sensitif gender.
Secara ringkas kewajiban negara meliputi: mencegah diskriminasi terhadap
perempuan, melarang diskriminasi perempuan, melakukan identifikasi adanya
diskriminasi terhadap perempuan dan menjalankan langkah-langkah untuk mengatasinya,
melaksanakan sanksi atas tindakan diskriminatif terhadap perempuan, memberikan
dukungan pada penegakan hak-hak perempuan dan mendorong persamaan, kesetaraan
dan keadilan melalul langkah proaktif, dan meningkatkan persamaan de facto perempuan
dan laki-Iaki.
Rincian yang ada dalam konvensi menggambarkan bahwa perubahan sosial
budaya dan ekonomi serta politik harus terjadi dan diwujudkan dalam hampir semua
penghidupan yang berarti merubah peraturan termasuk mengubah pola tingkah laku yang
semula diskriminatif yang telah lama dilegitimasi oleh adat dan budaya menuju pola
kesetaraan dan keadilan gender. Untuk memberdayakan perempuan, sumber daya
manusia adalah faktor penting yang perlu ditingkatkan.
C. PERUBAHAN SOSIAL MENUJU KE MITRASEJAJARAN GENDER
Proses industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi membawa dampak pada
perubahan sosial pada peranan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Jumlah
kaum perempuan yang bekerja di luar rumah (di publik, sebagai Pegawai Negeri, di
bidang Pemerintahan, Legislatif dan Yudikatif), semakin meningkat, di ikuti juga oleh
fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang menjadi kepala rumah tangga (Biro
statistik "Strategi Kehidupan Perempuan Kepala Rumab Tangga").
Fenomena meningkatnya jumlah perempuan yang bekerja memang diharapkan
bahkan memang diharapkan bahkan didorong oleh negara lewat konsep ke mitrasejajaran
pria dan wanita dalam GBHN . Diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi
dalam pembangunan untuk peningkatan pemberdayaan perempuan tidak saja untuk
masa kini tetapi juga untuk masa yang akan datang agar tetap berkesinambungan dalam
pembangunan berkelanjutan.
Dapat dikemukan disini tentang data-data pemberdayaan perempuan dalam
bidang Penegakan Hukum antara lain:
Data Hakim wanita di seluruh Indonesia:
-
Peradilan Umum :
481 orang, antara lain 41 orang menjabat Ketua/Wakil Ketua.
-
Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) :
21 orang, antara lain 1 orang menjabat Ketua PT TUN
-
Pengadilan Agama :
-
Mahkamah Agung :
6 orang, 1 orang menjabat sebagai Ketua Muda Mahkamah Agung bidang
Pengawasan
462 orang
Data Polisi wanita di seluruh lndonesia.
-
Kepala Divisi Penerangan Polda Bali.
-
KAPOLRES Subang.
-
Wakil POLRES :
6 orang, antara lain ; Jakarta Selatan, Jakarta Timur.
-
KAPOLSEK :
20 orang, antara lain ; Bandara Soekarno Hatta, Jakarta Selatan
-
Kepala Sekolab Polisi Wanita.
Pada struktur paling bawah, yaitu desa, telah mulai bermunculan perempuan Kepala
Desa di beberapa desa di Jawa dan Kalimantan dan juga Bupati Kebumen (Jawa Tengah)
yang dipimpin seorang perempuan itupun merupakan hasil perjuangan yang sangat keras
karena mereka harus membuktikan diri mampu dan disamping itu harus berhadapan
dengan kultur yang masih enggan menerima perempuan sebagai pemimpin desa ataupun
kabupaten.
Reformasi yang merupakan transisi menuju demokrasi telah membuka peluang bagi
kaum perempuan untuk mengubah isu personal menjadi politis (the personal is political).
Perubahan politik ini sangat penting bagi gerakan perempuan untuk mulai mengikis
pandangan-pandangan patriarkis yang merugikan perempuan.
BAB II
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM HUKUM POSITIF
A. PERATURAN-PERATURAN
KOLONIAL.
HUKUM
YANG
DISKRIMINATIF
PADA
ZAMAN
Sejak semula pada umumnya sudah dirasakan sebagai suatu keganjilan, bahwa di
Indonesia, meskipun telah merupakan suatu negara merdeka, masih saja berlaku banyak
undang-undang yang sifat dan bertujuan untuk pemenuhan kepentingan kaum penjajah.
Mengingat bahwa Burgerlijk Wetboek (BW), sengaja disusun sebagai tiruan belaka
dari BW di Negeri Belanda (dengan sebutan Azas Konkordansi). Timbul pertanyaan,
masih pada tempatnyakah memandang BW sejajar dengan Undang-undang yang secara
resmi berlaku di Indonesia ?
Bahwa selain pasal-pasal tersebut bersifat kolonial, dipandang amat diskriminatif
dan merugikan bagi penduduk Indonesia khususnya bagi perempuan dalam perkawinan.
Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi
antara lain pasal 108, 110 dan 284 ayat 3 BW Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
No.3 Tahun 1963 yaitu:
Pasal-pasal 108 dan 110 BW:
tentang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk
menghadap di muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami.
Pasal 284 ayat 3 BW:
mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan
Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak tidak lagi berakibat putusnya
perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hak ini tidak ada
lagi perbedaan di antara semua warga negara Indonesia.
Dengan tidak berlakunya Pasal 108 dan 110 BW, maka perempuan Indonesia
dalam ikatan perkawinan dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (dianggap
bekwaam), pasal tersebut menjadi dasar pembentukan Pasal 31 ayat 2 UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan.
Sedangkan dengan tidak berlakunya Pasal 284 ayat 3 BW maka anak diluar
perkawinan dari perempuan warga negara Indonesia untuk mendapatkan status hukum
tidak perlu pengakuan lagi dari ibu kandungnya (sebagai pemikiran bahwa moeder maakt
geen bastaard). Pasal ini adalah sebagai dasar, pembentukan Pasal 43 ayat 1 bahwa
anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
Masih ada beberapa pasal dari BW yang bersifat kolonial dan sangat bias gender
namun hingga sekarang belum pernah terjamah atau di cabut antara lain :
Pasal 287 : Menyelidiki soal siapakah bapak seorang anak adalah terlarang. Sementara
itu, apabila terjadi salah satu kejahatan tersebut dalam Pasal 285 sampai
dengan 288, 294 atau 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan saat
berlangsungnya kejahatan itu bersesuaian dengan saat kehamilan
perempuan terhadap siapa kejahatan itu dilakukan, maka tuntutan mereka
yang berkepentingan, bolehlah si tersalah dinyatakan sebagai bapak si
anak.
Pasal 288 : Menyelidiki soal siapakah ibu seorang anak luar kawin adalah di
perbolehkan. Dalam hal yang demikian, si anak harus membuktikan bahwa
ia adalah anak yang dilahirkan oleh si ibu. Si anak tak diperbolehkan
membuktikannya, dengan saksi kecuali, kiranya telab ada bukti permulaan
dengan tulisan.
B. BIAS GENDER DALAM SUBSTANSI HUKUM POSITIF
Pada dasarnya prinsip persamaan telah menjadi bagian dari sistem hukum kita
sebagaimana tercermin secara umum dalam Pasal 27 UUD 1945. Dalam rangka
memperkokoh prinsip tersebut pemerintah pada masa itu telah meratifikasi berbagai
konvensi internasional seperti :
- Konvensi tentang Pemakaian Tenaga Kerja Perempuan Dalam Pekerjaan di Bawah
Tanah dalam Segala Jenis Pertambangan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1950.
-
Konvensi tentang Hak-hak Politik Perempuan, diratifikasi tanggal 12 Juni 1958.
-
Konvensi tentang Pengupahan yang Sama bagi Laki-Iaki dan Perempuan untuk
Pekerjaan yang Sama Nilainya, diratifikasi tanggai 8 Nopember 1958.
-
Konvensi tentang Anti Diskriminasi dalam Pendidikan, diratifikasi tanggal 1 Oktober
1967.
-
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. (UU No.7
Tahun 1984).
Memang benar, sementara itu Pemerintah telah mengadakan perubahan
peraturan-peraturan yang bertujuan untuk meningkatkan status perempuan dan keluarga
dalam masyarakat dengan menerbitkan UU Perkawinan No.1 tahun 1974 yang telah
memberikan kepada perempuan beberapa hak yang sama dengan laki-laki yakni samasama menjadi subjek hukum, perempuan bisa memiliki dan menguasai harta benda
sendiri, membuat perjanjian karena mampu melakukan perbuatan hukum sendiri
(bekwaam), tidak dapat dipaksa kawin bahkan dapat mengajukan perceraian terhadap
suaminya, hak-hak mana tidak diakui dalam peraturan yang berlaku sebelumnya. Namun
demikian, UU ini mengandung kelemahan dan ada beberapa ambivalensinya, karena
dipihak lain menetapkan peran yang berbeda bagi laki-Iaki dan perempuan dimana lakilaki di definisikan berperan di sektor publik (pencari nafkah) dan perempuan di sektor
privat/domestik (rumah tangga). Bahkan UU ini masih memungkinkan seorang suami
untuk beristeri lebih dari satu (Pasal 3 dan 4).
Perhatikan pula Pasal 41 UU Perkawinan mengenai putusnya perkawinan karena
perceraian. Tidak ada sanksi apabila ayah tidak memberikan biaya pemeliharaan dan
pendidikan bagi anak-anaknya. Itu berarti perempuan sering harus memikul beban
tanggungjawab itu, bila ibunya diberikan hak penguasaan anak. Dalam hal ini laki-laki dan
perempuan tidak dibedakan secara jelas seperti dalam Pasal 31 dan 34 UU Perkawinan,
tetapi kepentingan janda cerai dalam pemeliharaan anak tidak terjangkau oleh hukum.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku
mengenai perlindungan hukum pada perempuan terhadap tindak kekerasan, baik dalam
keluarga maupun dalam masyarakat. Walaupun pemerkosaan memang ditentukan
sebagai tindakan pidana dan ada sanksi hukumnya, tetapi ketentuan yang mengharuskan
adanya "bukti" mempersulit seorang perempuan untuk menyeret pelakunya ke
pengadilan, karena biasanya tidak ada saksi saat pemerkosaan terjadi dan membuktikan
pemerkosaan melalui visum et repertum dokter belum tentu berhasil bilamana peristiwa
sudah lama terjadi. Lagipula memaksa isteri untuk berhubungan badan belum diakui
sebagai "pemerkosa" (marital rape) menurut hukum. Dengan demikian KUHP belum
sepenuhnya menampung kepentingan perempuan atas perlindungan terhadap kekerasan
seksual karena peraturan-peraturan tersebut tidak memadai dan tepat guna.
Pengertian "kekerasan" dalam Pasal 89 KUHP mempunyai pengertian yang sempit
(meskipun dalam penjelasannya karangan R. Susilo Hal 84: mengurung seseorang dalam
ruang tertutup termasuk perbuatan kekerasan).
Bahwa kekerasan menurut Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan (Majelis Umum PBB 1993) pengertiannya diperluas termasuk kekerasan
secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi dalam keluarga, di masyarakat dan
dilakukan serta dibenarkan oleh negara.
Penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351, 353, 354 bilamana dilakukan antara
lain terhadap ibu-nya, isterinya, hukumannya ditambah dengan 1/3-nya (pasaI 356
KUHP), namun oleh Penegak Hukum jarang di terapkan. Dalam hal ini peraturannya
memadai tetapi tergantung dari para pelaksana dan para Penegak Hukum, karena
bilamana tidak didakwakan oleh Jaksa maka Hakim tidak dapat memutuskan atas dasar
pemberatan berdasarkan pasal tersebut. Dalam kondisi yang demikian para penegak
hukumlah yang belum sensitif gender.
Pengaturan tentang perdagangan perempuan dan eksploitasi anak dalam
KUHP hanya dimasukkan dalam kategori kejahatan terhadap kesopanan yang
maksimum hukumnya hanya 6 tahun. Di tinjau dari segi keadilan gender hukuman
tersebut tidak setimpal dengan pengorbanan, tidak dapat dirasakan adanya penderitaan
kehormatan dan martabat perempuan yang menjadi korban.
Pengaturan tentang Mucikari (Germo) dalam KUHP Pasal 506 termasuk
klasifikasi Pelanggaran Terhadap Ketertiban Umum dengan hukuman maksimum 3 bulan,
benar-benar dirasakan tidak memadai dibandingkan dengan tindak pidana yang
dilakukannya, kekejaman lahir maupun batin yang dilakukan terhadap korban, sebaliknya
besarnya keuntungan yang diterima oleh mucikari terhadap penderitaan korban.
Juga kejahatan susila seperti perkosaan pasal 285, pencabulan pada pasal 286,
287 ,289, dan 290 yang akhir-akhir ini marak baik dilakukan oleh keluarga maupun remaja
ataupun orang tua yang sangat memprihatinkan biasanya justru terjadi di Iingkungan
sendiri yang dilakukan terhadap korban, itupun hanya mendapatkan hukuman maksimum
12 th, 9 th. Kembali kepada para Penegak Hukum yang sebenarnya dapat menjerat
dengan pemberatan pasal 291 (bila dimungkinkan), tetapi karena adanya faktor Sumber
Daya Manusia, moral atau mungkin adanya KKN, maka pasal tersebut dihindari.
Dengan memperhatikan pasal-pasal dari bidang Hukum perdata maupun Pidana
tersebut diatas, amat sangat dirasakan adanya ketidakadilan gender, yang benar-benar
merugikan tidak saja fisik tapi terutama psikis selain juga martabat dan kehormatan
perempuan serta keluarganya.
Menyadari terdapatnya ketimpangan? keganjilan dan ketidakadilan gender
tersebut, sekarang Pemerintah sedang gigih berusaha untuk melakukan tindakan dengan
membentuk peraturan atau kebijakan yang non-diskriminasi, meningkatkan kesetaraan
gender menuju kepada keadilan gender.
BAB III
PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
UNTUK MEWUJUDKAN KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER
Diharapkan adanya komitmen bersama terhadap upaya mengatasi masalahmasalah yang dihadapi perempuan dalam menghapuskan kendala-kendala yang
menghalangi terwujudnya Kesetaraan dan keadilan gender.
Perlu menyadari hal-hal apakah yang harus diubah untuk memungkinkan
terwujudnya keadilan gender yang operasional? Rincian yang ada dalam Konvensi
Wanita menggambarkan bahwa perubahan sosial budaya dan ekonomi serta politik harus
terjadi dalam hampir semua bidang kehidupan dan kegiatan.
Dalam mewujudkan keadilan gender diperlukan kebijakan pemerintah dengan
mengadakan pembaharuan hukum, perubahan dan pembentukan undang-undang yang
berperspektif gender.
A. HUKUM YANG BERPERSPEKTIF GENDER.
1. Arah Pemerintah di bidang Hukum yang tercantum dalam GBHN (TAP NO.
IV/MPR/1999) 1999-2004 adalah sebagai berikut:
Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui
dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif,
termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi
melalui program legislasi.
2. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 Tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional Tanggal 19 Desember 2000. Dalam pedoman
Instruksi Presiden tersebut diatur:
a. Maksud dari pengertian :
-
Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk
mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional.
-
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung
jawab laki-Iaki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah
oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
-
Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial
budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam
menikmati hasil pembangunan tersebut.
-
Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki
dan perempuan.
-
Analisa Gender adalah proses yang dibangun secara sistematik untuk
mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan
perempuan, akses dan kontrol terhadap sumber-sumber daya
pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat yang
mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
timpang, yang di dalam pelaksanaannya memperhatikan faktor-faktor
lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa.
b. Tujuan
Pengarusutamaan gender bertujuan terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan
program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat. Berbangsa, dan bernegara.
c. Pengarusutamaan gender diinstruksikan kepada instansi dan lembaga
pemerintah ditingkat Pusat dan Daerah adalah instansi dan lembaga
pemerintah yang dipimpin oleh:
-
Menteri,
-
Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen,
-
Pimpinan Kesekretariatan, Lembaga Tertinggi/tinggi Negara,
-
Panglima Tentara Nasional lndonesia,
-
Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
-
Jaksa Agung Republik Indonesia,
-
Gubernur, dan
-
Bupati / Walikota.
3. Undang-undang Dasar 1945 yang telah diamandemen dengan ketentuanketentuan yang memperhatikan azas-azas non-diskriminasi dan lebih
menyetarakan gender :
a. Pasal 27 (1)
-
Azas non diskriminasi
b. Pasal 28 C
-
Hak untuk mengembangkan diri, meningkatkan kwalitas
hidup dan hak mendapatkan pendidikan.
-
Hak untuk bekerja dan mendapat imbalan serta
perlakuan adit dan layak dalam hubungan kerja.
c. Pasal 28 D (3)
-
Hak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.
d. Pasal 28 G
-
Hak atas perlindungan pribadi keluarga.
Hak atas rasa aman.
Perlindungan dari ancaman ketakutan.
Hak jaminan sosial.
e. Pasal 38 H
-
Hak memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama
guna mencapai persamaan keadilan.
Hak jaminan sosial.
d. Pasal 38 I
-
Hak perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Hak perlindungan HAM
4. Diterbitkannya UU Hak Asasi Manusia No.39 Tahun 1999
Mengatur hak-hak wanita dalam pasal 45 s/d 57.
5. UU Pengadilan Hak Asasi Manusia No.26 Tahun 2000 dan Peraturan
Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Terhadap Korban
dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Azasi Manusia yang berat.
6. Atas inisiatif DPR sudah terbentuk
-
RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
-
RUU Perlindungan Saksi dan Korban.
7. Sudah terbentuk Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana
Aksi Penghapusan Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak, dimana
ditentukan bahwa trafficking perempuan dan anak merupakan pelanggaran berat
terhadap HAM.
Bahwa Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan (Trafficking)
Perempuan dan Anak (RAN P3A) dibentuk dengan maksud sebagai landasan dan
pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan penghapusan
perdagangan perempuan dan anak.
Adapun hakekat dan tujuan RAN-P3A adalah untuk :
a. Menjamin peningkatan dan pemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap
korban perdagangan (trafficking) orang, khususnya perempuan dan anak.
b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif
dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas
praktek-praktek perdagangan (trafficking) orang khususnya terhadap
perempuan dan anak.
c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan perdagangan (trafficking)
orang khususnya terhadap perempuan dan anak.
8. Undang-undang RI. Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Pasal 73 (1) Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah kediaman meliputi tempat kediaman
Penggugat,
kecuali
apabila
Penggugat
dengan
sengaja
meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin Tergugat.
Pasal 86 (1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri dan harta
bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh
kekuatan hukum tetap.
-
Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka Pengadilan menunda
terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada
putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu.
9. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
Pasal 53 (1)
Seorang wanita yang hamil diluar nikah dapat dinikahkan dengan
pria yang menghamilinya.
(2)
Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anak.
Pasal 99 (b)
Anak yang sah adalah anak hasil pembuahan suami istri yang sah
diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. (Pemikiran yang
amat maju mengenai pengaturan bayi tabung).
Pasal 105 :
Dalam hal terjadinya perceraian :
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah ibunya (mutlak).
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz: diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaannya ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 171 (c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk
menjadi ahli waris.
Dari ketentuan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah tersebut,
merupakan fakta dan terjawab sudah bahwa konsistensi pemerintah masih tetap
berusaha melaksanakan dan menghapuskan diskriminasi dalam segala bentuk
terhadap perempuan dan tetap berusaha mewujudkan prinsip-prinsip persamaan hak
bagi perempuan di bidang politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya.
B. PERAN YURISPRUDENSI
KEADILAN GENDER.
DALAM
MEWUJUDKAN
KESETARAAN
DAN
Sistem Hukum Indonesia sudah mengatur persamaan kedudukan dalam Hukum,
perlakuan sama di depan hukum dan hak memperoleh keadilan.
UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 17 menyebutkan :
Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan
mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana,
perdata, maupun administrasi serta di adili melalui proses peradilan yang bebas
dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan
yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang
adil dan benar.
Didalam UUD 1945 hasil amandemen, pasal 28 H (2) menyebutkan;
Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.
Pasal 28 I (2) :
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar
apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Hakim dapat menciptakan hukum melalui putusan-putusannya berdasarkan Pasal 27
UU No.14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman:
"Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat" Dalam penjelasan
disebutkan bahwa masyarakat masih mengenal hukum tak tertulis, serta dalam
masa pergolakan dan peralihan. Hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ketengahtengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian Hakim
dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Karenanya apabila hukum dan Undang-undang tidak jelas atau ada masalah
hukum yang belum diatur maka Hakim dapat menafsirkan melalui pasal 27 tersebut atau
dengan metoda penafsiran yang lazim berlaku dalam ilmu hukum dan Hakim harus
mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat, kemajuan perkembangan tehnologi
yang dapat menyelesaikan masalah hukum dengan bijaksana dan adil.
Bahwa bukan hanya peraturan-peraturan perundang-undangan saja yang dapat
digunakan untuk memberdayakan perempuan, tetapi juga putusan-putusan Hakim yang
mempakan Yurisprudensi tetap adalah salah satu sumber hukum yang dapat
dipergunakan sebagai hukum terapan yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dan pada
saatnya dapat menjadi Undang-undang.
Misalnya : Pengangkatan anak perempuan yang semula dilarang menurut Stb
1917 No. 129, tetapi dengan Putusan Hakim No.907/1963 P, tanggai 29 Mei 1963, telah
menjadi Yurisprudensi tetap karena diikuti oleh putusan-putusan Hakim yang lain dan
putusan tersebut dilaksanakan dan dipatuhi oleh masyarakat, dengan berlakunya UU
No.23 Tahun 2002 syarat-syarat tentang Pengangkatan Anak sudah menjadi peraturanperaturan yang tercantum dalam pasal-pasal 39-41 dalam Undang-undang tersebut.
Dalam bidang Yudikatif, pendapat dan pertimbangan Mahkamah Agung yang
dituangkan demi keputusan-keputusan berupa Yurisprudensi nampak sangat
mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender.
Misalnya masalah-masalah kehadiran pendamping di persidangan yang belum ada
pengaturannya :
1. Dalam KUHAP tidak tercantum larangan atas kehadiran seorang pendamping bagi
saksi korban pada waktu pemeriksaan di persidangan.
2. Menurut Ketentuan, Pemeriksaan terhadap Tindak Pidana Kesusilaan harus
dilakukan dalam sidang tertutup dengan ancaman batal demi hukum pasal 153 (3)
KUHAP.
3. Beberapa pengalaman pemeriksaan di persidangan :
•
Bagi saksi korban kekerasan seksual yang masih dibawah umur biasanya
selalu didampingi oleh orang tua/walinya atau orang tua asuhnya, dan Hakim
akan mendengar keterangan korban secara kekeluargaan di ruang terpisah,
karena baik berdasarkan Undang-Undang maupun secara kejiwaan anak tidak
dibenarkan didengar keterangannya sebagai saksi di persidangan.
•
Bagi saksi korban kekerasan seksual dewasa tidak pula ada larangan bila
akandidampingi oleh seorang Pendamping karena fungsi pendamping di
persidangan khusus hanya untuk mendampingi saja, agar saksi korban lebih
terjamin rasa aman dan tenteram dari segi kejiwaannya.
Untuk tidak dilupakan bagi seorang perempuan korban kekerasan terutama
kekerasan seksual telah mengalami kegoncangan jiwa dan tekanan batin yang
amat sangat dan trauma yang memerlukan kesembuhan dalam waktu yang lama
dan korban masih harus memikirkan biaya yang harus dipikulnya "sendiri", karena
belum adanya peraturan yang melindungi saksi korban juga tentang belum adanya
peraturan yang mengatur ganti rugi dan atas penderitaannya.
Penderitaan seseorang yang menjadi korban kekerasan/ kejahatan/ perlakuan
salah tidak berhenti pada saat selesainya kejahatan dilakukan. Bukan saja
korban harus berusaha sendiri untuk menyembuhkan lukanya (baik fisik maupun
psikologis) dengan biaya sendiri pula dan harus menggantikan barang-barang yang
rusak/hilang karena kejahatan tersebut, akan tetapi ia harus pula menyediakan
waktu dana dan upaya untuk turut berperan dalam proses peradilan pidana
terhadap kasus yang menimpa dirinya.
Sehingga menurut hemat saya, tidak ada alasan untuk melarang pendamping
saksi dan korban menghadap persidangan, dalam menyandang tugasnya (hal
Ini pernah dilaporkan secara lisan kepada Mahkamah Agung/TUADA Pidum
Mahkamah Agung RI yang dapat membenarkan hadirnya pendamping saksi dan
korban dipersidangan - September 1999).
*
Meskipun sidang Tindak Pidana Kesusilaan bersifat tertutup untuk umum,
Hakim dapat memberikan izin kepada orang yang sangat berkepentingan untuk
hadir dalam persidangan tertutup tersebut, misalnya:
- Orang Tua korban
- Pendamping
- Peneliti Ilmiah / Ilmuwan
- Mahasiswa untuk membuat skripsi
- Saksi ahli / Dokter / Spesialis
- Rohaniawan
Ternyata putusan-putusan Hakim yang dalam proses persidangan dengan
menghadirkan pendamping bagi saksi tidak pernah dibatalkan oleb Mahkamah Agung,
dengan demikian putusan Hakim yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat dapat diterima
sebagai Yurisprudensi.
Beberapa Yurisprudensi tetap yang merupakan Putusan Hakim yang berkeadilan
gender :
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
A. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3l91K/Pdt/1984, Jo putusan Pengadilan
Tinggi Nusa Tenggara Barat di Mataram Nomor 65/pdt/1984/PT.NTB Jo Putusan
Pengadilan Negeri Nomor 073/PN. Mtr/Pdt/1983 tentang Perbuatan Melawan
Hukum.
Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI 1987 Bahwa dengan tidak
terpenuhinya janji Tergugat asal (pria) untuk mengawini Penggugat asal
(wanita) telah melanggar norma kesusilaan dan kepatuhan dalam masyarakat
serta perbuatan Tergugat asal/merupakan perbuatan melawan hukum sehingga
menimbulkan kerugian terhadap diri penggugat asal, maka tergugat asal wajib
membayar kerugian.
B. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 30-6-1971 No.415 K/Sip/1970, Jo Putusan
Pengadilan Tinggi Medan No.327/1968, Jo Putusan Pengadilan Negeri
Padangsidempuan No.47/1966 Pdt.Ps.
-
Menurut Hukum Adat, "Pembaean" (penyeraban tanpa melepaskan hak
milik) harus dianggap sebagai usaba untuk memperlunak Hukum Adat
dimasa sebelum perang Dunia ke II, dimana seorang anak perempuan
mempunyai hak waris. Hukum adat didaerah Tapanuli juga telah
berkembang kearah hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak
lelaki, perkembangan dimana sudah diperkuat pula dengan suatu
yurisprudensi tetap mengenai hukum waris di daerah.
C. Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 9 Februari 1978 No. :435/Kr/1979, Jo
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Denpasar
tanggal
30
Januari
1974
No.223/PTD/1968/Perdata, Jo Putusan Pengadilan Negeri Mataram tanggal 4 Mei
1968 No.42/r968/PN/Perdata.
-
Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap anak perempuan
di Tapanuli, juga di Lombok adanya anak perempuan dijadikan ahli waris,
sehingga dalam perkara ini penggugat untuk kasasi sebagai satu-satunya
anak, mewarisi seluruh harta peninggalan dari bapaknya.
D. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 2 November 1976 No. 284 K/Sip/ 1975, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal 8 Februari 1973 No.
98/Perd/21/PT.Mdn., Jo Putusan Pengadilan Negeri Tingkat I Pematang Siantar
tanggal 29 September 1970 No. 197/1970/Perd.
-
Menurut Hukum Adat waris baru, isteri dari anak-anak perempuan adalah ahli
waris.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No. 3190 K/Pdt/1985, Jo Putusan Pengadilan Tinggi
Surabaya tanggal 9 Januari 1985 No.6371984, Jo Putusan Pengadilan Negeri
Kediri tanggal 22 0ktober 1983 No. 38/1983/G.
-
“Seorang janda tanpa keturunan anak telah digugat di Pengadilan oleh
saudara-saudara kandung dari almarhum suaminya atas harta peninggalan
Almarhum suaminya yang saat ini dikuasai oleh janda tersebut. Saudara
kandung Almarhum suaminya menuntut agar harta peninggalan tersebut dibagi
waris antara janda disatu pihak dan saudara kandung Almarhum suaminya di
lain pihak. Harta peninggaian tersebut terdiri dari harta asal dan harta
pencaharian”.
-
Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung telah membatalkan Putusan Judex
Facti yang dinilai telah salah dalam menerapkan hukum. Putusan ini didasari
oleh pertimbangan yuridis yang pada intinya sebagai berikut:
•
Bahwa sesuai dengan yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung RI telah
ditetapkan bahwa janda adalah ahli waris Almarhum suaminya yang
kedudukannya sejajar dengan ahli waris anak-anak. Karena itu janda
merupakan ahli waris dan kelompok keutamaan bersama-sama dengan
anak-anaknya.
•
Bahwa hal tersebut membawa konsekuensi, yaitu :
o Bila janda ini tidak mempunyai keturunan, maka janda akan menutup ke
ahli warisan kelompok penggantinya, yaitu saudara Almarhum suaminya.
o Janda, karena itu berhak mewarisi seluruh harta peninggalan Almarhum
suaminya, baik harta pencaharian maupun harta asal.
E. Putusan Mahkamah Agung RI No.2216 K/Pdt/1999 Jo Putusan PT. Tanjungkarang
No.20/Pdt/1998/PT.TK, Jo Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang No.
50/Pdt.G/1997/PN.TK.
-
Antara Penggugat (istri) dan Tergugat (suami) telah terjadi perceraian.
Penggugat mengajukan gugatan pembagian harta gono gini berupa 2 buah
Ruko, 2 buah mobil yang selama ini dikuasai oleh Tergugat, karena Penggugat
menderita tekanan batin yang dalam hingga dirawat di Rumah Sakit Jiwa, oleh
Pengadilan Negeri dikabulkan tetapi menolak permohonan Sita jaminannya.
Sementara itu Tergugat tanpa hak telah menghibahkan 1 buah Ruko kepada 2
anak perempuan hasil perkawinanya dan Tergugat kawin Iagi dengan
perempuan lain serta tinggal dirumah yang diperoleh Penggugat dan Tergugat
sebagai harta bersama.
-
Bahwa Penggugat pernah menanda tangani surat perjanjian, bahwa, setelah
menerima Rp. 10.000.000,- sebagai perhitungan pembayaran harta campur dan
biaya tunjangan hidup anak, karenanya Penggugat tidak lagi berhak atas harta
campur.
-
Pengadilan Tinggi Tanjungkarang dengan Putusan Sela No.20/Pdt/1998/PT.
TK., memerintahkan Pengadilan Negeri Tanjungkarang meletakkan "Sita harta
bersama" atas seluruh harta gono gini yang belum dibagi, yang seharusnya 1/2
bagiannya adalah menjadi hak Penggugat berdasarkan pasal 35 (1) UndangUndang No.1 tahun 1974 dan dalam putusan akhir; membatalkan surat
perjanjian yang bertentangan dengan Undang-Undang, berlawanan dengan
kesusilaan dan ketertiban hukum pasal 1337 BW., dan Undang-Undang No. 1
tahun 1974 pasal 35 ayat (1), dan menyatakan hibah dimaksud batal demi
hukum pasal 1335 BW, Jo pasal 1337 BW., dan pasal 36 ayat (1) UndangUndang No. 1 tahun 1974, menghukum Tergugat menyerahkan 1/2 bagian dari
harta bersama tersebut.
-
Mahkamah Agung RI menyatakan permohonan Kasasi tidak dapat diterima.
F. Putusan Mahkamah Agung RI No. 368.K/AG/1995 tanggal 16Juli 1998 Jo Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta No. 14/Pdt.G/1994/PTA Jo Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat No. 377/Pdt/1993/PAJP.
-
Putusan tersebut diperbaiki oleh Mahkamah Agung bahwa Anak kandung
perempuan yang bukan beragama Islam status hukumya bukan ahli waris,
namun ia berhak mendapatkan bagian dari harta warisan dari kedua orang
tuanya berdasarkan WASIAT WAJIBAH dengan kadar bagian yang sama
dengan bagian anak perempuan ahli waris Almarhum Ayah dan Ibunya yang
beragama Islam.
H. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Februari 1985 No.666 K/Pid/1984, Jo
Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu tanggal 9 April 1984 No.
6/Pjd/1984/PT.Patu, Jo Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No.27/Pjd/1983.
“Terdakwa, pemuda 30 tahun, telah menjalin hubungan cinta dengan gadis (24
tahun). Pemuda ini berjanji pada gadis bahwa dia akan mengawininya. Dalam
hubungan cinta yang makin mesra, si pemuda (terdakwa) telah berhasil
menyetubuhi si gadis berulang kali, sehingga si gadis menjadi hamil karenanya.
Terdakwa dengan dalih bahwa antara mereka berlainan agama, menolak
mengawini gadis tersebut. Si gadis bersedia beralih agama asal pemuda tersebut
bersedia mengawininya sesuai janjinya semula. Pemuda tersebut menolak.
Kemudian ternyata bahwa pemuda tersebut telah mengawini gadis lainnya. Gadis
pertama ditinggaikan dalam keadaan hamil.”
-
Di dalam Putusan Kasasinya berpendirian bahwa Judex Facil tidak salah
menerapkan hukum, hanya kurang tepat merumuskan kualifikasinya, sehingga
amar Putusan Judex Pacti harus diperbaiki oleh Mahkamah Agung, yaitu :
Terdakwa terbukti bersalah melakukan TlNDAK PIDANA ADAT : "ZINAH".
I. Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 19 Juli 1990 No.661 K/Pid/1988, Jo Putusan
Pengadilan Negeri di Baturaja, Sumatera Selatan tanggal 30 Desember 1987
No.190/Pid/B/1987/PN .BTA.
-
Dari Putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, maka kita dapat mengangkat
diri darinya "Abstrak Hukum" sebagai berikut:
Bahwa keterangan Saksi "dibawah sumpah" yang diberikannya dihadapan
Penyidik Kepolisian (karena saksi ini nantinya tidak akan dapat hadir di
sidang Pengadilan) dan oleh Penyidik keterangan saksi dibawah sumpah
itu, kemudian dituangkan dalam "Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan".
Bilamana keterangan saksi inidibacakan didalam sidang Pengadilan, maka
keterangan saksi tersebut, "disamakan nilainya" dengan keterangan saksi
dibawah sumpah yang diberikan di dalam Persidangan Pengadilan. Karena
itu adalah sah sebagai alat bukti menurut Undang-undang (KUHAP).
Yurisprudensi tersebut dapat di pergunakan untuk memberdayakan perempuan
terutama untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan gender. Selanjutnya hal ini
tergantung sepenuhnya pada pelaksanaan penetapan dan penegakan hukum baik oleh
para aparat Penegak Hukum maupun oleh masyarakat, aparat penyelenggara negara
termasuk kaum perempuan sendiri.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Budaya dan ideologi patriarki, baik di dunia Barat maupun Timur masih sangat
mewarnai berbagai aspek kehidupan dan struktur masyarakat yang menciptakan
ketimpangan dan ketidakadilan gender, hubungan dalam keluarga, tehnologi,
kewarisan, ekonomi dan masih banyak bidang lainnya.
2. Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi terhadap Wanita sudah diratifikasi
dengan Undang-undang No.7 tahun 1984, sehingga menurut kenyataan Konvensi
tersebut sudah berusia 19 tahun.
3. Bahwa Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dibentuk 10 tahun sebelum
Indonesia meratifikasi Konvensi Wanita tersebut, karenanya meskipun oleh
Pemerintah telah diatur tentang adanya azas kesetaraan antara suami-isteri dalam
perkawinan dan isteri dapat melakukan perbuatan hukum sendiri (bekwaam). Undangundang ini adalah merupakan pembaharuan dari peraturan-peraturan zaman kolonial
yang sangat diskriminatif.
4. Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip yang dianut
Konvensi Wanita yaitu prinsip persamaan substantif, non diskriminasi dan prinsip
kewajiban negara dengan mengharmonisasikannya ke dalam hukum nasional sesuai
dengan azas kesetaraan dan keadilan gender.
5. Perubahan sosial menuju ke mitra sejajaran gender di awali dengan proses
industrialisasi dan kemajuan tehnologi informasi dengan fenomena meningkatnya
jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah. Melalui pengarahan pemerintah
diharapkan perempuan akan lebih banyak berpartisipasi dalam pembangunan dengan
tujuan utama memberdayakan perempuan tidak saja untuk masa kini tetapi juga untuk
masa mendatang agar supaya dapat berperan serta aktif dan mengefektifitaskan
dalam pembangunan yang berkelanjutan.
6. Hukum positif yang sekarang berlaku masih banyak tertinggal karena merupakan
warisan zaman kolonial yang tidak berkesetaraan gender di mana terdapat banyak
kejanggalan-kejanggalan yang bersifat diskriminatif dan tidak berkesetaraan gender
sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan perempuan secara tepat
guna.
7. Penerapan dan penegakan hukum belum sepenuhnya di laksanakan secara benar
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku, karena peraturan perundangundangan masih banyak yang rancu dan amat terkotak-kotak serta saling tumpang
tindih;
8. Peran yurisprudensi yang sudah mempertimbangkan kesetaraan dan keadilan gender
kurang disosialisasikan sehingga pemanfaatan bagi pemberdayaan perempuan belum
dapat dilaksanakan secara optimal-dalam pembangunan berkesinambungan.
B. SARAN
1. Diperlukan pembaharuan hukum dibidang Perdata antara lain; Hukum Acara Perdata,
Hukum Perkawinan, Hukum Waris maupun Hukum Pidana (pengertian tindak
kekerasan. pengaturan tindak pidana kesusilaan, perdagangan perempuan dan anak
sesuai dengan arah kebijaksanaan negara melalui program legislasi dengan
menuntaskan Rancangan Undang-undang menjadi Undang-undang yaitu:
a. Rancangan Undang-undang tentang KUHP yang disempurnakan.
b. Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
c. Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
d. Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking)
Perempuan dan Anak.
e. Rancangan Undang-undang tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar
negeri.
f. Rancangan Undang-undang tentang Anti Diskriminasi Suku, Agama dan Ras.
2. Untuk keberhasilan dan pembangunan berkelanjutan mengenai kemitrasejajaran
gender, hendaknya pemerintah dapat menegakkan hukum secara konsisten untuk
lebih menjamin kepastian hukum, mengembangkan peraturan-peraturan agar
pemberdayaan perempuan dapat dilaksanakan untuk meningkatkan kwalitas hidup.
kesejahteraan kehidupan keluargadan masyarakat.
3. Melaksanakan sepenuhnya Instruksi Presiden No. 9
Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
tahun
2000
tentang
4. Agar supaya menyempurnakan sistem peradilan pidana untuk mewujudkan Integrated
Criminal Justice System.
5. Menggalakkan sosialisasi peran yurisprudensi untuk lebih dapat dimanfaatkan bagi
pemberdayaan perempuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga dan
masyarakat dalam pembangunan yang berkesinambungan.
6. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan kaum perempuan dengan sistem
pendidikan biaya ringan, bila dimungkinkan dengan pemberian bea stswa.
7. Penerapan dan Penegakan Hukum serta budaya hukum dilaksanakan secara
konsekwen dengan kesadaran yang tinggi dari masyarakat dan kaum perempuan
termasuk para aparat penegak hukum serta aparat penyelenggara negara.
DAFTAR PUSTAKA
1. Achie Sudiart Luhulima, Analisis dan Pemikiran Pengembangan Produk dan
Proses Hukum yang Adil Gender, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk
Prof. Tapi Omas Ihromi, Jogjakarta, Galang Press.
2. Isbodroini Suyanto, Ideologi Patriarki yang Tercermin dalam Berbagai Struktur
Masyarakat. Jogjakarta, Benih Bertumbuh Kumpulan Karangan untuk Prof. Tapi
Omas Ihromi, Galang Press.
3. 10 tahun Pogram Studi Kajian Wanita (2000). Perempuan Indonesia Dalam
Masyarakat Yallg Tengah Bembah. Ratna Batara Munti. Aturan Hukum
tentangPerkawinan dan Implikasjnya pada Perempuan. Jakarta. Program Studi
Kajian Wanita.
4. Prof. Dr. Tapi Omas Ihromi (1995). Kajian Wanita dalam Pembangunan,
Penggunaan Hukum sebagai Alat dalam Upaya Perbaikan Kedudukan Wanita,
Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
5. AS Hikam, Tehnologi Masih diDominasi oleh Laki-Iaki, Jurnal Perempuan 18
(2001), Perempuan & Tehnologi Pembebasan? Jakarta. Yayasan Jurnal
Perempuan.
6. Erna Sofwan Sjukrie, SH. Makalah Peran Hakim dalam Mewujudkan Keadilan
Gender, Lokakarya ‘Hak Perempuan dan Peran Penegak Hukum’. Kerjasama
Mahkamah Agung RI dengan Kelompok Kerja Convention Watch, Jakarta 14-15
Agustus 2001.
7. Nursyahbani Katjasungkana, Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia.
8. Salahudin Wahid, Peran Politik Perempuan Indonesia, Antara Kesempatan dan
Kemampuan, Kompas Senin 30 Juni 2003.
PERATURAN - PERATURAN
1. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap
(Pertama 1999 - Keempat 2002).
2. GBHN TAP Mo. IV/MPR/1999, Arah Kebijakan Pemerintah di bidang Hukum;
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Karangan R, Susilo.
4. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
5. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Edisi Revisi.
6. UU RI No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
7. UU RI No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
8. UU RI No.7 Tahun 1984 tentang Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW).
9. UU RI No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
10. UU RI No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
11. UU RI No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
12. UU RI No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
13. Majelis Umum PBB Tahun 1993 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap
Perempuan.
14. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
15. Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional.
16. Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 2002 tentang Tatacara Perlindungan Terhadap
Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
17. Keputusan Presiden RI No.88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan
Perdagangan (Trafficking) Perempuan dan Anak (RANP3A).
Download