BAB II PEMBAHASAN Pernikahan adalah sesuatu yang sangat bermakna bagi setiap umat manusia baik lakilaki maupun perempuan yang dilakukan sekali dalam seumur hidup. Pada dasarnya pernikahan adalah sarana terbaik bagi penyaluran insting (naluri manusia) dan untuk keberlangsungan keturunan manusia. Pernikahan menghasilkan sikap kasih sayang diantara anggota keluarga sehingga akan timbul kenyamanan, keserasian dan ketentraman. Hal tersebut terdapat dalam firman Allah SWT QS.Ar-Rum : 21 ً ً َو ِم ْن آ َيا ِت ِه أ َ ْن َخلَقَ لَ ُك ْم ِم ْن أَنفُ ِس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا ِلت َ ْس ُكنُوا ِإلَ ْي َها َو َج َع َل َب ْينَ ُك ْم َم َوَّة ٍ َو َر ْح َمةً ِإ ةن فِي ذَ ِل َك ََليَا َت ِلقَ ْو ٍم َيتَفَ ةك ُرون “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. Akan tetapi dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi kasus penyimpanganpenyimpangan seputar pernikahan akibat dari perkembangan peradaban manusia dan kemajuan jaman. Akibatnya pernikahan tidak lagi mempunyai makna yang mendalam & sakral. Berikut adalah beberapa persoalan dan pembahasan seputar problematika pernikahan. A. NIKAH DALAM KEADAAN HAMIL 1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam : a) Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil. Perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas 'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah : Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4). Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil tidak sah sebagaimana dalam firman Allah : 1 Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis 'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235). Ibnu Katsir berkata dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini yaitu : “Jangan kalian melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya.” Kemudian beliau berkata : “Dan para ‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah apabila masih dalam masa ‘iddah.” b) Perempuan yang hamil karena melakukan zina Adapun perempuan hamil karena zina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam hal bolehnya melakukan pernikahan secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam persyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina. Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista. Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Ini berdasarkan firman Allah : Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh lakilaki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum mu`minin. (QS. An-Nur : 3). Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat : 1. Ikhlas karena Allah. 2. Menyesali perbuatannya. 3. Meninggalkan dosa tersebut. 4. Ber’azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya. 5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah atau wajib ‘iddah. ‘Ulama Hasan Al-Bashry, AnNakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahawaih berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena melakukan zina diharamkan sebelum ia telah wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut : 1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda tentang tawanan perang Authos : "Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, AdDarimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath 2 no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187). 2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau bersabda : “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan airnya ke tanaman orang lain”. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no. 1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 2137). 3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam : Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath. Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab : Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya sedang ia tidak halal baginya. Dalam hadits ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak), syubhat (yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamarsamaran) atau karena zina. Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib 'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy, Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia). Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah : Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4). 3 Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang berzina. Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan 'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang ditalak. Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu : Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu) selama tiga kali quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228). B. NIKAH MUT’AH Nikah mut’ah menjadi sebuah keyakinan beragama yang harus dilakukan oleh orangorang syi’ah. Ajaran ini sangat menggiurkan bagi para muda-mudi terutama mahasiswa dan mahasiswi untuk melampiaskan hasrat nafsunya. Orang-orang bodoh selain Syi’ah juga banyak melakukan perbuatan ini karena besarnya nafsu mereka kemudian tertipu dengan indahnya syari’at buatan syi’ah ini. Apalagi jika yang melakukannya adalah orang-orang Arab yang berkunjung ke Indonesia pada musim liburan ditambah dengan kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat menjadikan mereka semakin bersemangat ketika ditawari menikah dengan orang Arab yang secara ekonomi lebih mampu dari mereka. Selain itu, masih banyak kalangan umat Islam yang terpengaruh syubhat bahwa nikah mut’ah dibolehkan pada masa Rasulullah SAW dan baru diharamkan oleh khalifah Umar bin Khathab melalui ijtihadnya. Berikut adalah penjelasan tentang nikah mut’ah. 1. Pengertian Nikah Mut’ah Nikah secara bahasa artinya berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syari’at secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual) menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata nikah dalam Al-Qur’an kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan). 4 Kata mut’ah secara bahasa adalah pengambilan manfaat atau keuntungan. Jadi menurut istilah, nikah mut’ah adalah seseorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan sesuatu dari harta untuk jangka waktu tertentu, pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut tanpa adanya perceraian, juga tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal serta tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal sebelum berakhirnya masa pernikahan. Pernikahan ini juga tidak mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari bapak atau wali, dan status wanitanya sama dengan wanita sewaan atau budak. 2. Dalil - Dalil yang Mengharamkan Nikah Mut’ah a. Al-Qur’an “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mu’minun: 5 – 7 dan QS. Al-Ma’arij: 29 – 31) Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah mengharamkan atas orang-orang mu’min segala macam kemaluan kecuali kemaluan yang telah Allah SWT halalkan melalui akad pernikahan yang syar’i atau budak yang dimiliki. Sedangkan apabila seseorang berada diatas seorang wanita secara mut’ah maka wanita tersebut bukanlah istrinya yang sah karena tidak dinikahi. Ada 20 perbedaan yang disebutkan Yusuf Jabir alMuhammady dalam Tahrimul Mut’ah fil Kitabi was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak yang dimiliki. Perbedaan tersebut adalah : 1. Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan 2. Tidak ada waris-mewarisi di antara pasangan mut’ah 3. Boleh mut’ah lebih dari 4 wanita bahkan ribuan 4. Mut’ah selesai (jika habis masanya) tanpa ada perceraian 5. Pasangan mut’ah boleh kembali ke pasangan pertamanya sesuai kehendaknya walaupun sudah pernah diselingi pasangan lain ataupun tidak 6. Boleh mut’ah dengan wanita musyrik 7. ‘Iddah mut’ah sama dengan ‘iddah wanita sewaan 5 8. Wanita yang dimut’ah mendapat upah pada hari-hari yang ia datang pada pasangannya 9. Orang yang mut’ah tidak dianggap sebagai orang yang sudah menikah (muhshan) 10. Boleh mut’ah dengan wanita yang memiliki suami 11. Boleh mut’ah dengan pelacur 12. Boleh mut’ah dengan gadis selama tidak merusak kegadisannya karena dikhawatirkan akan menjadi aib bagi keluarganya (bahkan dengan bayi yang masih menyusui) 13. Tidak ada li’an dalam mut’ah 14. Tidak ada dhihar dalam mut’ah 15. Tidak ada ila’ dalam mut’ah 16. Tidak ada nafkah bagi wanita yang dimut’ah 17. Tidak ada tempat tinggal bagi wanita dalam mut’ah 18. Boleh mensyaratkan dalam mut’ah untuk tidak melakukan jima’ 19. Boleh melakukan ‘azl dalam mut’ah tanpa harus izin kepada wanita yang dimut’ah 20. Tidak ada khulu’ dalam mut’ah 21. Boleh mut’ah dengan saudari istri sendiri (ipar) Banyaknya perbedaan antara wanita yang dimut’ah dengan wanita yang dinikahi atau budak yang dimiliki memperjelas bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak, sehingga mut’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan orang yang melakukannya termasuk melampaui batas. Oleh karena itu sejak ayat tersebut di atas diturunkan (ketika Rasulullah SAW hidup) maka hukum nikah mut’ah menjadi haram. b. As-Sunnah Hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa mut’ah haram sejak Rasulullah SAW hidup sangat banyak. Diantara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut. Hadits pertama. ” أن رسول هللا صلى هللا عليه وعلى آله وسلم: عن محمد بن علي عن علي بن أبي طالب وعن أكل لحوم الحمر اإلنسية، نهى عن متعة النساء يوم خيبر 6 Dari Muhammad bin ‘Ali dari ‘Ali bin Abi Thalib: “bahwa Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- melarang mut’ah dengan wanita pada hari (perang) Khaibar, dan juga melarang memakan daging keledai jinak.” Riwayat tersebut di atas selain diriwayatkan oleh para imam ahli hadits Ahlus Sunnah, juga telah diriwayatkan dalam kitab-kitab Syi’ah. Husain al-Musawi, seorang ulama Syi’ah yang telah bertaubat menulis kesaksiannya dalam kitab Lillah tsumma lit Tarikh, tentang riwayat tersebut di atas dalam kitab-kitab Syi’ah. Riwayat tersebut berbunyi: )حرم رسول هللا صلى هللا عليه وآله يوم:قال أمير المؤمنين صلوات هللا عليه (االستبصار،)186/2 خيبر لحوم الحمر األهلية ونكاح المتعة ( انظر (التهذيب .)441/14 (وسائل الشيعة،)142/2 Berkata Amirul Mu’minin shalawatullah ‘alaih : “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- telah mengharamkan pada hari (perang) Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut’ah” (Lihat at-Tahdzib 2/186, al-Istibshar 2/142, Wasailus Syi’ah 14/441) Perang khaibar terjadi pada Bulan Muharram tahun 7 H dan termasuk perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Maka tidak samar lagi bahwa keharaman mut’ah telah disampaikan langsung oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Bahkan Imam terbesar Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib sendiri yang menyampaikan riwayat tersebut dari Rasulullah. Hadits kedua. سو ُل ة ام ُ ص َر ِ ََع ْن إِي َ َسلَ َمة َ اس ب ِْن َ ع ْن أَبِي ِه قَا َل َر ةخ َ َع-صلى هللا عليه وسلم- ِاَّلل َ أ َ ْو .اس ِفى ْال ُمتْ َع ِة ثَالَثًا ث ُ ةم نَ َهى َع ْن َها ٍ ط Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya, ia berkata: “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- telah memberi rukhshakh (keringanan) pada tahun Authas tentang mut’ah sebanyak 3 kali kemudian melarang atasnya” Nikah mut’ah pada masa jahiliyyah hukumnya adalah mubah. Pada masa awal Islam hal ini masih diperbolehkan, kemudian datang syari’at Islam yang sempurna untuk menghapus hukum tersebut. Lafadz ( )رخصmenunjukkan bahwa pada dasarnya mut’ah itu 7 terlarang, kemudian dibolehkan secara rukhshakh (darurat). Hal ini disebabkan para sahabat dalam peperangan yang melelahkan tidak dapat melampiaskan hajatnya, sehingga sebagian mereka berkeinginan untuk mengebiri diri mereka sendiri. Ibaratnya adalah seperti orang yang kelaparan dan ia tidak mendapatkan sesuatu apapun untuk dimakan selain daging babi, maka dalam kondisi darurat ini dibolehkan baginya memakan babi tersebut. Oleh karena itu nikah mut’ah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dilaksanakan sama seperti pernikahan syar’i pada umumnya, hanya saja disana ada pembatasan waktu pernikahan. Kemudian Rasulullah mencabut rukhshakh tersebut dengan lafadz ()ثم نها عنها. Hadits ketiga سو ِل ة صلى هللا عليه- ِاَّلل ُ ى أ َ ةن أ َ َباهُ َحدةثَهُ أَنةهُ َكانَ َم َع َر َع ْن ة َ الر ِبي ُع ب ُْن ُّ ِسب َْر ً َ ْال ُج َهن اء َو ِإ ةن ة ِ س ِ اس ِإنِى قَ ْد ُك ْنتُ أ َ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم فِى ُ فَقَا َل « يَا أَيُّ َها النة-وسلم َاَّلل َ ِاال ْستِ ْمتَاعِ ِمنَ الن سبِيلَهُ َوالَ تَأ ْ ُخذُوا ِم ةما َ َى ٌء فَ ْليُخ َِل ْ قَ ْد َح ةر َم ذَ ِل َك إِلَى يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة فَ َم ْن َكانَ ِع ْندَهُ ِم ْن ُه ةن ش ».ش ْيئًا َ آت َ ْيت ُ ُمو ُه ةن Dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwa bapaknya menceritakan kepadanya bahwasanya dia pernah bersama Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- maka beliau bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan bagi kalian mut’ah dengan wanita, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan mut’ah tersebut sampai hari kiamat. Barang siapa yang memiliki sesuatu (ikatan mut’ah) dengan wanitawanita maka hendaknya ia lepaskan jalannya dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa yang telah kalian berikan kepada mereka.” Hadits di atas semakin menguatkan bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Allah SWT melalui Rasulullah SAW mengumumkan larangan tersebut pada hari Fathu Makkah. Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap shahih Muslim menjelaskan panjang lebar tentang pendapat para Ulama dalam masalah ini. Ringkasnya adalah mut’ah pada awal Islam diperbolehkan, kemudian diharamkan pada perang Khaibar, kemudian dibolehkan lagi selama 3 hari pada perang Fathu Makkah yaitu pada hari Authas kemudian diharamkan pada hari itu juga dengan pengharaman selama-lamanya sampai hari kiamat. Dan penegasan keharaman ini disampaikan lagi oleh Rasulullah SAW pada haji wada’. 8 C. NIKAH DIBAWAH UMUR Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta dicontohkan Nabi Muhammad. kemudian pertanyaan yang timbul dari pernyataan diatas, “tepatkah asumsi tersebut?”. Berikut adalah penguraiannya. 1. Usia Nikah Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan. Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit, syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis. Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan, kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama. 2. Dorongan adanya kesetaraan Dalam fikih, ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun pertimbangan kafa’ah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan agama). 9 Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu). Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut. 3. Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak pernah mendorong dan menganjurkan untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut: Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul, ”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali, Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim); Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah Islam; Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah. Dikarenakan kecakapan dan kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang zaman; Keempat: masyarakat Islam saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik 10 maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam masyarakat. Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda (di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang. 4. Usia Nikah menurut Undang-Undang Negara Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia. Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan Suriah, pasal 16). D. NIKAH SIRI Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat; Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan 11 melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya. Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya. Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut. 1. Hukum Pernikahan Tanpa Wali Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda; ال نكاح إال بولي “Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648]. Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: فنكاحها باطل, فنكاحها باطل,أيما امرأ ً نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل “Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649]. Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: ال تزوج المرأ ً المرأ ً ال تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها 12 ”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibnu Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649) Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah SWT, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. 2. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil Ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni hukum pernikahannya; dan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat. Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil. Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut. Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah 13 sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satusatunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut. Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis. Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah; 14 س ًّمى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم َ ي ََاأَيُّ َها الةذِينَ َءا َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن إِلَى أ َ َج ٍل ُم ب َك َما َعلة َمهُ ة اَّللُ فَ ْل َي ْكتُبْ َو ْليُ ْم ِل ِل الةذِي َعلَ ْي ِه ْال َح ُّق ٌ ب َكا ِت ٌ َكا ِت َ ُ ب أ َ ْن َي ْكت َ ْ ب ِب ْال َع ْد ِل َو َال َيأ ق ة ض ِعيفًا أ َ ْو َال َ َُس ِم ْنه ْ اَّللَ َربةهُ َو َال يَ ْبخ َ س ِفي ًها أ َ ْو َ ش ْيئًا فَإ ِ ْن َكانَ الةذِي َعلَ ْي ِه ْال َح ُّق ِ َو ْل َيت ة ش ِهيدَي ِْن ِم ْن ِر َجا ِل ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم َ يَ ْست َ ِطي ُع أ َ ْن يُ ِم ةل ُه َو فَ ْليُ ْم ِل ْل َو ِليُّهُ ِب ْال َع ْد ِل َوا ْست َ ْش ِهد ُوا ُّ ض ْونَ ِمنَ ال ض ةل إِ ْحدَا ُه َما فَتُذَ ِك َر ِ َش َهد َ ت َ ْر ِ َ اء أ َ ْن ت يرا أ َ ْو ُ ُ َّ ِإذَا َما ً ص ِغ َ ُعوا َو َال ت َ ْسأ َ ُموا أ َ ْن ت َ ْكتُبُوه ان ِم ةم ْن ِ َ يَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َو ْام َرأَت ُّ ب ال ش َهدَا ُء َ ْ ِإ ْحدَا ُه َما ْاأل ُ ْخ َرى َو َال َيأ ُ س اَّللِ َوأ َ ْق َو ُم ِلل ة ط ِع ْندَ ة َش َهاََّ ًِ َوأ َ َّْنَى أ َ ةال ت َ ْرتَابُوا ِإ ةال أ َ ْن ت َ ُكون ً َك ِب َ يرا ِإلَى أ َ َج ِل ِه ذَ ِل ُك ْم أ َ ْق ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ةال ت َ ْكتُبُوهَا ُ ِيرونَ َها بَ ْينَ ُك ْم تُد ُ اض َر ً ً تُد ِ ار ً ً َح َ تِ َج َ ِيرونَ َها بَ ْينَ ُك ْم فَلَي ٌ س وق بِ ُك ْم َواتةقُوا ة َ ب َو َال ٌ ِار َكات ُ ُش ِهيدٌ َوإِ ْن ت َ ْفعَلُوا فَإِنةهُ ف ض ة َ َُوأ َ ْش ِهدُوا إِذَا تَبَايَ ْعت ُ ْم َو َال ي َاَّلل اَّللُ َو ة َويُ َع ِل ُم ُك ُم ة َيءٍ َع ِلي ٌم ْ اَّللُ ِب ُك ِل ش ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit15 menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[QS Al-Baqarah : 282] Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya. Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara padahal negara telah menetapkan aturan tersebut telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan. Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati 16 dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka. Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara. Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda; ًٍ َحدةثَنَا أَ ْو ِل ْم َولَ ْو بِشَا “Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim] Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalanpersoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum. Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai 17 persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah. 3. Bahaya Terselubung Surat Nikah Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah; Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri. Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri (padahal mereka sudah bercerai), maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah. Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, pemerintah tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum 18 syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalah gunakan. E. NIKAH BEDA AGAMA Pada prinsipnya sebuah perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi kedua syaratnya, baik syarat materiil maupun formil. Di Indonesia, syarat sahnya perkawinan di atur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang ini, tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Syarat materiil dari sebuah perkawinan yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa perkawinan yang akan dilakukan sah menurut agama masing-masing pihak. Jika kemudian perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali lihat kepada hukum agama masing-masing pihak. Dalam hal ini perlu sedikit penjelasan tentang perbedaan pemahaman tentang kebolehan perkawinan beda agama dalam masing-masing ajaran agama. 1. Agama Islam Dalam agama Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai hal ini. Aliran yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Hanya saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak perempuan beragama non-islam (Al Maidah(5):5). Jika kemudian kondisinya sebaliknya, maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al Baqarah(2):221). Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221). 2. Agama Kristen Dalam agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus 6 : 14-18). 19 3. Agama Katolik Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat dilakukan, Hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama. 4. Agama Buddha Dalam agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan nantinya dalam perkawinan itu sendiri. 5. Agama Hindu Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian baru dilaksanakan perkawinan (Ketentuan Seloka V89 kitab Manawadharmasastra). Dari penjelasan singkat diatas, maka dapat kita lihat apakah kemudian perkawinan beda agama yang akan dilakukan memenuhi persyaratan materiilnya (sesuai agama masingmasing pihak). Hal yang selanjutnya harus diperhatikan adalah apakah secara formil perkawinan beda agama tersebut telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, sebuah perkawinan wajib di daftarkan (di catat) di instansi yang telah ditentukan (KUA bagi pasangan beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang beragama Non-Islam). Dalam hal ini setiap pasangan yang akan mencatatkan perkawinannya wajib memilih salah satu instansi ini. Berdasarkan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia tidak dimungkinkan untuk melakukan perkawinan beda agama. Yang kemudian mungkin dapat dilakukan adalah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di KUA / Kantor Catatan Sipil. 20 Dalil-Dalil Haramnya Nikah Beda Agama 1. Al-Qur’an Adapun dalam Al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang menegaskan haramnya beda agama. Dalil Pertama: ت ح تلَ ِر َ َال لْ ح ا ح حالِك تال َ َال َ َّحِك حَ كَُ َ رالْ تال َْ َُ ح ِْ ح َّح ََ ح مح ُّ ح ٌَ رََ َ ََّ رِ َْ َُ ح ََ ح َو حل حِتَ رٌ َْ ح مح ُّ ر ٌَ رََ َ ََّ رِْ ََُ َ ْح ح تلَ ِر َ َال رَ َ ح حَّ حن َِِك تال َ َال كْ حَ كَُ َ رالْ تال َْ َُْْ ح َّح و حَ ََّحَ ََّ حل ل َِ ح ََّ حِ َْ َُ حََُ َع َّه ح رِر ِح َِ ر َ َ َهتَ َذ ح ِرِح َر رْ ِحََُّّ َذ ح َو حلِح رٌ َْ ر َ َّح َِ حَّ ِح َِورَلح ََّحَ َّ ل ََّّ َّحنحيل رْ َْ ِحتحلح ل رُ لح َ ََّي ل “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. AlBaqarah: 221) Dalil Kedua: َْ ح حم نر حَّ رْ لْ ح ْ َُّء ح َّْالت ح ََ رَ رن لْ لِر ح َويح ر َ ت ِح َ ِْحَّ حِت حَّْ َّللَِْح حال رَ َهح حءَّج ر رْ ََّ رِ َ َال حَّتر رال ح ْ ََّع َِ حَِّ َت َْ لْ ِح َ َل حو َي َِت ر رَِنر لْ رال َ َال ح َْ َّْه حم رن لْ َ ِن َّل ر َ ت ِح حو ُّ ح َُ َءنرَ رن لْ ََّحَ ََّ رٌُل َه رن لْ حِ ََيتَلح ُّرَنرْ لالَّ حتُحورَ ح حم رء حَّ حإ حو حي َ رٌ َْ حل ُّ ح ٌَ رََ رن لْ َهح ُّ ح َت ر رَِ رن لْ ر رء ح ٌْ َْ ََّ حٌ حَ َِ َُ ح َماحَّرَ حالَّ حتُح َوت ر َْ ح ََّ ح َماحَّرَ حالَّ حتُحورَ هح ََّ رٌ َْ ر ٌَ رْ لَِ ِح ََ ر َع َن ح ح لِر حو َي 21 ٌَرْ ح حم ُّ ر َِ َم ر َْ ٌكْ ح ٌَ كْعح َ ح ر “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10) 2. Ijma’ Selama berabad-abad lamanya, Umat Islam menjalankan agamanya dengan tenang dan tentram, termasuk dalam masalah ini, tidak ada satupun ulama yang membolehkan nikah beda agama, tetapi anehnya tiba-tiba sebagian kalangan mencoba untuk meresahkan umat dan menggugat hukum ini. Bebrapa ‘ulama ahli fiqh berpendapat mengenai nikah beda agama : a. Ibnul Jazzi mengatakan: “Laki-laki non Muslim haram menikahi wanita muslimah secara mutlak. Ketentuan ini disepakati seluruh ahli hukum Islam”. b. Ibnul Mundzir berkata: “Seluruh ahli hukum Islam sepekat tentang haramnya pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki beragama Yahudi atau Nasrani atau lainnya”. c. Ibnu Abdil Barr berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir”. Sebenarnya, masih banyak lagi ucapan ulama ahli fiqih dan ahli hadits tentang masalah ini. Lantas masihkah ada keraguan tentang kesesatan orang yang menyeleisihinya?!! 3. Kaidah Fiqih Dalam kaidah fiqih disebutkan: 22 ََّْبَ َّت ل حَ َُ َِ ر َ اح ْ رن َِت ا ح َع ح Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram. Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang mengharamkan. Fatwa MUI Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M setelah menimbang: 1. Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama 2. Perkawinan beda agama bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, tetapi sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat 3. Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi dan kemaslahatan Dengan bertawakkal kepada Allah memutuskan dan menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.. 23 BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pada dasarnya pernikahan (munakahat) bersifat suci dan bertujuan untuk menghindari fitnah didalam masyarakat apabila antara dua orang yang bukan muhrim bercampur sehingga terjadi keterikatan antara dua belah pihak. Pernikahan dianggap sah apabila terpenuhi syarat sebagai berikut ; 1. Adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan 2. Wali bagi calon perempuan 3. Dua orang saksi 4. Mahar (mas kawin) 5. Ijab kabul Semua hal telah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis tentang masalah-masalah pernikahan ini. Namun seiring dengan kemajuan peradaban manusia, timbul penyalahgunaan dari sebuah makna pernikahan yang suci itu, walaupun juga pada masa Rasulullah SAW penyimpangan-penyimpangan tersebut sudah muncul. Nikah dalam keadaan hamil diharamkan oleh Rasulullah berdasarkan dalil-dalil yang telah diuraikan diatas. Seorang wanita yang hamil baru boleh dinikahi apabila ia telah melahirkan dan menunggu selama tiga kali quru’ (haid). Nikah mut’ah adalah nikah dimana seseorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan sesuatu dari harta untuk jangka waktu tertentu, tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal serta tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal sebelum berakhirnya masa pernikahan. Pernikahan ini juga tidak mensyaratkan adanya saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari bapak atau wali, dan status wanitanya sama dengan wanita sewaan atau budak. Pernikahan ini hukumnya haram meskipun Rasulullah sendir pernah mengisyaratkan. Nikah dibawah umur tidak dilarang dan juga tidak didukung dalam Islam, akan tetapi berdasarkan pasal 7 Undang-Undang (UU) Negara Nomor 1 tahun 1974 menegaskan bahwa calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun. Nikah siri adalah pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak dari salah satu wali tidak setuju. Dilihat dari segi kacamata Islam, pernikahan semacam ini tidaklah sah, karena tidak adanya wali. Namun 24 disisi lain Negara juga berhak untuk melarang dan memberikan sanksi apabila suatu pernikahan tidak dicatatkan atau dilaporkan kepada Lembaga Pencatatan Sipil karena hal tersebut merupakan kewajiban sebagai warga Negara yang harus ditaati. Nikah beda agama juga tidak diperbolehkan baik dalam Islam maupun dalam agama yang lain. Hal tersebut dikarenakan menyangkut dengan keyakinan dan dikhawatirkan akan mengganggu kehidupan rumah tangga dan tidak membawa kemaslahatan apabila pernikahan ini benar-benar terjadi. B. SARAN Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasat mata, namun lebih jauh lagi agama menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan meningkatkan ketakwaan. 25 DAFTAR PUSTAKA Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2004. Nikah Mut’ah = Zina. Poltangan: Maktabah Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. 1425 H/2004 M. Hartono, Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori. 2004. Menangkal Bahaya Jaringan Islam Liberal. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, cet pertama Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. 2007. Nikah Beda Agama Dalam Al-Qur’an dan Hadis, Jakarta : Pustaka Firdaus, cet kedua http://orgawam.wordpress.com/2008/11/05/nikah-muda-bawah-umur-sunnah-mubahmakruh-atau-haram/ http://www.vhrmedia.com/Pernikahan-Beda-Agama-konsultasi420.html http://www.gensyiah.com/nikah-mutah.html 26