Hukum Nikah dalam Keadaan Hamil

advertisement
BAB II
PEMBAHASAN
Pernikahan adalah sesuatu yang sangat bermakna bagi setiap umat manusia baik lakilaki maupun perempuan yang dilakukan sekali dalam seumur hidup. Pada dasarnya
pernikahan adalah sarana terbaik bagi penyaluran insting (naluri manusia) dan untuk
keberlangsungan keturunan manusia. Pernikahan menghasilkan sikap kasih sayang diantara
anggota keluarga sehingga akan timbul kenyamanan, keserasian dan ketentraman. Hal
tersebut terdapat dalam firman Allah SWT QS.Ar-Rum : 21
ً ً ‫َو ِم ْن آ َيا ِت ِه أ َ ْن َخلَقَ لَ ُك ْم ِم ْن أَنفُ ِس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا ِلت َ ْس ُكنُوا ِإلَ ْي َها َو َج َع َل َب ْينَ ُك ْم َم َوَّة‬
ٍ ‫َو َر ْح َمةً ِإ ةن فِي ذَ ِل َك ََليَا‬
َ‫ت ِلقَ ْو ٍم َيتَفَ ةك ُرون‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteriisteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Akan tetapi dalam kenyataan sekarang ini banyak terjadi kasus penyimpanganpenyimpangan seputar pernikahan akibat dari perkembangan peradaban manusia dan
kemajuan jaman. Akibatnya pernikahan tidak lagi mempunyai makna yang mendalam &
sakral. Berikut adalah beberapa persoalan dan pembahasan seputar problematika pernikahan.
A. NIKAH DALAM KEADAAN HAMIL
1. Perempuan yang dinikahi dalam keadaan hamil ada dua macam :
a) Perempuan yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan hamil.
Perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya, tidak boleh dinikahi sampai lepas
'iddah nya. Dan 'iddah-nya ialah sampai ia melahirkan sebagaimana dalam firman Allah :
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
Dan hukum menikah dengan perempuan hamil seperti ini adalah haram dan nikahnya batil
tidak sah sebagaimana dalam firman Allah :
1
Dan janganlah kalian ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah sebelum habis
'iddahnya. (QS. Al-Baqarah : 235).
Ibnu Katsir berkata dalam tafsir-nya tentang makna ayat ini yaitu : “Jangan kalian
melakukan akad nikah sampai lepas 'iddah-nya.” Kemudian beliau berkata : “Dan para
‘ulama telah sepakat bahwa akad tidaklah sah apabila masih dalam masa ‘iddah.”
b) Perempuan yang hamil karena melakukan zina
Adapun perempuan hamil karena zina dan menyebabkan dia hamil atau tidak, dalam
hal bolehnya melakukan pernikahan secara global para ‘ulama berbeda pendapat dalam
persyaratan dua perkara untuk sahnya nikah dengan perempuan yang berzina.
Syarat yang pertama : Bertaubat dari perbuatan zinanya yang nista.
Menikahi perempuan pezina adalah haram sampai ia bertaubat, apakah yang
menikahinya itu adalah yang menzinahinya atau selainnya. Ini berdasarkan firman Allah :
Laki-laki yang berzina tidak menikahi melainkan perempuan yang berzina atau
perempuan yang musyrik. Dan perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh lakilaki yang berzina atau laki-laki musyrik. Dan telah diharamkan hal tersebut atas kaum
mu`minin. (QS. An-Nur : 3).
Maka yang benar adalah ia bertaubat atas perbuatan zinanya sebagaimana ia bertaubat
kalau melakukan dosa besar yang lainnya. Yaitu dengan lima syarat :
1. Ikhlas karena Allah.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Meninggalkan dosa tersebut.
4. Ber’azam dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulanginya.
5. Pada waktu yang masih bisa bertaubat
Syarat Kedua : Telah lepas ‘iddah atau wajib ‘iddah. ‘Ulama Hasan Al-Bashry, AnNakha’iy, Rabi’ah bin ‘Abdurrahman, Imam Malik, Ats-Tsaury, Imam Ahmad dan Ishaq bin
Rahawaih berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena melakukan zina diharamkan
sebelum ia telah wajib ‘iddah berdasarkan dalil-dalil berikut :
1. Hadits Abu Sa'id Al-Khudry radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda tentang tawanan perang Authos :
"Jangan dipergauli perempuan hamil sampai ia melahirkan dan jangan (pula) yang
tidak hamil sampai ia telah haid satu kali”. (HR. Ahmad 3/62,87, Abu Daud no. 2157, AdDarimy 2/224 Al-Hakim 2/212, Al-Baihaqy 5/329, 7/449, Ath-Thobarany dalam Al-Ausath
2
no. 1973 dan Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 307 dan di dalam sanadnya ada rowi yang
bernama Syarik bin 'Abdullah An-Nakha'iy dan ia lemah karena hafalannya yang jelek tapi
hadits ini mempunyai dukungan dari jalan yang lain dari beberapa orang shohabat sehingga
dishohihkan dari seluruh jalan-jalannya oleh Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa` no. 187).
2. Hadits Ruwaifi' bin Tsabit radhiyallahu 'anhu dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala
alihi wa sallam, beliau bersabda :
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka jangan ia menyiramkan
airnya ke tanaman orang lain”. (HR. Ahmad 4/108, Abu Daud no. 2158, At-Tirmidzi no.
1131, Al-Baihaqy 7/449, Ibnu Qoni' dalam Mu'jam Ash-Shohabah 1/217, Ibnu Sa'ad dalam
Ath-Thobaqot 2/114-115, Ath-Thobarany 5/no.4482 dihasankan oleh Syeikh Al-Albany
dalam Al-Irwa` no. 2137).
3. Hadits Abu Ad-Darda` riwayat Muslim dari Nabi shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa
sallam :
Beliau mendatangi seorang perempuan yang hampir melahirkan di pintu Pusthath.
Beliau bersabda : Barangkali orang itu ingin menggaulinya ?. (Para sahabat) menjawab :
Benar. Maka Rasulullah shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : Sungguh saya
telah berkehendak untuk melaknatnya dengan laknat yang dibawa ke kuburnya. Bagaimana
ia mewarisinya sedangkan itu tidak halal baginya dan bagaimana ia memperbudakkannya
sedang ia tidak halal baginya.
Dalam hadits ini ada dalil yang sangat jelas akan haramnya menikahi perempuan
hamil, apakah hamilnya itu karena suaminya, tuannya (kalau ia seorang budak), syubhat
(yaitu nikah dengan orang yang haram ia nikahi karena tidak tahu atau karena ada kesamarsamaran) atau karena zina. Nampaklah dari sini kuatnya pendapat yang mengatakan wajib
'iddah dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syinqithy,
Syaikh Ibnu Baz dan Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Saudi Arabia).
Nampak dari dalil-dalil yang disebutkan di atas bahwa perempuan hamil karena zina
tidak boleh dinikahi sampai melahirkan, maka ini 'iddah bagi perempuan yang hamil karena
zina dan ini juga ditunjukkan oleh keumuman firman Allah :
Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu 'iddah mereka sampai mereka
melahirkan kandungannya. (QS. Ath-Tholaq : 4).
3
Adapun perempuan yang berzina dan belum nampak hamilnya, 'iddahnya
diperselisihkan oleh para 'ulama yang mewajibkan 'iddah bagi perempuan yang berzina.
Sebagian para 'ulama mengatakan bahwa 'iddahnya adalah istibro` dengan satu kali haid. Dan
'ulama yang lainnya berpendapat : tiga kali haid yaitu sama dengan 'iddah perempuan yang
ditalak.
Dan yang dikuatkan oleh Imam Malik dan Ahmad dalam satu riwayat adalah cukup
dengan istibro` dengan satu kali haid. Dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah
berdasarkan hadits Abu Sa'id Al-Khudry di atas. Dan 'iddah dengan tiga kali haid hanya
disebutkan dalam Al-Qur'an bagi perempuan yang ditalak (diceraikan) oleh suaminya
sebagaimana dalam firman Allah Jalla Sya`nuhu :
Dan wanita-wanita yang dithalaq (hendaknya) mereka menahan diri (menunggu)
selama tiga kali quru`(haid). (QS. Al-Baqarah : 228).
B. NIKAH MUT’AH
Nikah mut’ah menjadi sebuah keyakinan beragama yang harus dilakukan oleh orangorang syi’ah. Ajaran ini sangat menggiurkan bagi para muda-mudi terutama mahasiswa dan
mahasiswi untuk melampiaskan hasrat nafsunya. Orang-orang bodoh selain Syi’ah juga
banyak melakukan perbuatan ini karena besarnya nafsu mereka kemudian tertipu dengan
indahnya syari’at buatan syi’ah ini. Apalagi jika yang melakukannya adalah orang-orang
Arab yang berkunjung ke Indonesia pada musim liburan ditambah dengan kemiskinan yang
dialami sebagian besar masyarakat menjadikan mereka semakin bersemangat ketika ditawari
menikah dengan orang Arab yang secara ekonomi lebih mampu dari mereka. Selain itu,
masih banyak kalangan umat Islam yang terpengaruh syubhat bahwa nikah mut’ah
dibolehkan pada masa Rasulullah SAW dan baru diharamkan oleh khalifah Umar bin
Khathab melalui ijtihadnya. Berikut adalah penjelasan tentang nikah mut’ah.
1. Pengertian Nikah Mut’ah
Nikah secara bahasa artinya berkumpul atau bercampur, sedangkan menurut syari’at
secara hakekat adalah akad (nikah) dan secara majaz adalah al-wath’u (hubungan seksual)
menurut pendapat yang shahih, karena tidak diketahui sesuatupun tentang penyebutan kata
nikah dalam Al-Qur’an kecuali untuk makna at-tazwiij (perkawinan).
4
Kata mut’ah secara bahasa adalah pengambilan manfaat atau keuntungan. Jadi
menurut istilah, nikah mut’ah adalah seseorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
sesuatu dari harta untuk jangka waktu tertentu, pernikahan ini berakhir dengan berakhirnya
waktu tersebut tanpa adanya perceraian, juga tidak ada kewajiban nafkah dan tempat tinggal
serta tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal sebelum
berakhirnya masa pernikahan. Pernikahan ini juga tidak mensyaratkan adanya saksi, tidak
disyaratkan adanya ijin dari bapak atau wali, dan status wanitanya sama dengan wanita
sewaan atau budak.
2. Dalil - Dalil yang Mengharamkan Nikah Mut’ah
a. Al-Qur’an
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka
atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui
batas. (QS. Al-Mu’minun: 5 – 7 dan QS. Al-Ma’arij: 29 – 31)
Ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah mengharamkan atas
orang-orang mu’min segala macam kemaluan kecuali kemaluan yang telah Allah SWT
halalkan melalui akad pernikahan yang syar’i atau budak yang dimiliki. Sedangkan apabila
seseorang berada diatas seorang wanita secara mut’ah maka wanita tersebut bukanlah istrinya
yang sah karena tidak dinikahi. Ada 20 perbedaan yang disebutkan Yusuf Jabir alMuhammady dalam Tahrimul Mut’ah fil Kitabi was Sunnah sebagai bukti bahwa wanita yang
dimut’ah bukanlah istri atau budak yang dimiliki. Perbedaan tersebut adalah :
1.
Wanita yang dimut’ah adalah wanita sewaan
2.
Tidak ada waris-mewarisi di antara pasangan mut’ah
3.
Boleh mut’ah lebih dari 4 wanita bahkan ribuan
4.
Mut’ah selesai (jika habis masanya) tanpa ada perceraian
5.
Pasangan mut’ah boleh kembali ke pasangan pertamanya sesuai kehendaknya
walaupun sudah pernah diselingi pasangan lain ataupun tidak
6.
Boleh mut’ah dengan wanita musyrik
7.
‘Iddah mut’ah sama dengan ‘iddah wanita sewaan
5
8.
Wanita yang dimut’ah mendapat upah pada hari-hari yang ia datang pada
pasangannya
9.
Orang yang mut’ah tidak dianggap sebagai orang yang sudah menikah
(muhshan)
10.
Boleh mut’ah dengan wanita yang memiliki suami
11.
Boleh mut’ah dengan pelacur
12.
Boleh mut’ah dengan gadis selama tidak merusak kegadisannya karena
dikhawatirkan akan menjadi aib bagi keluarganya (bahkan dengan bayi yang
masih menyusui)
13.
Tidak ada li’an dalam mut’ah
14.
Tidak ada dhihar dalam mut’ah
15.
Tidak ada ila’ dalam mut’ah
16.
Tidak ada nafkah bagi wanita yang dimut’ah
17.
Tidak ada tempat tinggal bagi wanita dalam mut’ah
18.
Boleh mensyaratkan dalam mut’ah untuk tidak melakukan jima’
19.
Boleh melakukan ‘azl dalam mut’ah tanpa harus izin kepada wanita yang
dimut’ah
20.
Tidak ada khulu’ dalam mut’ah
21.
Boleh mut’ah dengan saudari istri sendiri (ipar)
Banyaknya perbedaan antara wanita yang dimut’ah dengan wanita yang dinikahi atau
budak yang dimiliki memperjelas bahwa wanita yang dimut’ah bukanlah istri atau budak,
sehingga mut’ah termasuk kemaluan yang diharamkan dan orang yang melakukannya
termasuk melampaui batas. Oleh karena itu sejak ayat tersebut di atas diturunkan (ketika
Rasulullah SAW hidup) maka hukum nikah mut’ah menjadi haram.
b. As-Sunnah
Hadits-hadits shahih yang menyatakan bahwa mut’ah haram sejak Rasulullah SAW
hidup sangat banyak. Diantara hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut.
Hadits pertama.
‫ ” أن رسول هللا صلى هللا عليه وعلى آله وسلم‬: ‫عن محمد بن علي عن علي بن أبي طالب‬
‫ وعن أكل لحوم الحمر اإلنسية‬، ‫نهى عن متعة النساء يوم خيبر‬
6
Dari Muhammad bin ‘Ali dari ‘Ali bin Abi Thalib: “bahwa Rasulullah -Shalallahu
alaihi wa salam- melarang mut’ah dengan wanita pada hari (perang) Khaibar, dan juga
melarang memakan daging keledai jinak.”
Riwayat tersebut di atas selain diriwayatkan oleh para imam ahli hadits Ahlus
Sunnah, juga telah diriwayatkan dalam kitab-kitab Syi’ah. Husain al-Musawi, seorang ulama
Syi’ah yang telah bertaubat menulis kesaksiannya dalam kitab Lillah tsumma lit Tarikh,
tentang riwayat tersebut di atas dalam kitab-kitab Syi’ah. Riwayat tersebut berbunyi:
‫ )حرم رسول هللا صلى هللا عليه وآله يوم‬:‫قال أمير المؤمنين صلوات هللا عليه‬
‫ (االستبصار‬،)186/2 ‫خيبر لحوم الحمر األهلية ونكاح المتعة ( انظر (التهذيب‬
.)441/14 ‫ (وسائل الشيعة‬،)142/2
Berkata Amirul Mu’minin shalawatullah ‘alaih : “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa
salam- telah mengharamkan pada hari (perang) Khaibar daging keledai jinak dan nikah
mut’ah” (Lihat at-Tahdzib 2/186, al-Istibshar 2/142, Wasailus Syi’ah 14/441)
Perang khaibar terjadi pada Bulan Muharram tahun 7 H dan termasuk perang yang
dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW. Maka tidak samar lagi bahwa keharaman mut’ah
telah disampaikan langsung oleh Rasulullah kepada para sahabatnya. Bahkan Imam terbesar
Syi’ah, ‘Ali bin Abi Thalib sendiri yang menyampaikan riwayat tersebut dari Rasulullah.
Hadits kedua.
‫سو ُل ة‬
‫ام‬
ُ ‫ص َر‬
ِ َ‫َع ْن إِي‬
َ َ‫سلَ َمة‬
َ ‫اس ب ِْن‬
َ ‫ع ْن أَبِي ِه قَا َل َر ةخ‬
َ ‫ َع‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ِ‫اَّلل‬
َ ‫أ َ ْو‬
.‫اس ِفى ْال ُمتْ َع ِة ثَالَثًا ث ُ ةم نَ َهى َع ْن َها‬
ٍ ‫ط‬
Dari Iyas bin Salamah dari bapaknya, ia berkata: “Rasulullah -Shalallahu alaihi wa
salam- telah memberi rukhshakh (keringanan) pada tahun Authas tentang mut’ah sebanyak 3
kali kemudian melarang atasnya”
Nikah mut’ah pada masa jahiliyyah hukumnya adalah mubah. Pada masa awal Islam
hal ini masih diperbolehkan, kemudian datang syari’at Islam yang sempurna untuk
menghapus hukum tersebut. Lafadz (‫ )رخص‬menunjukkan bahwa pada dasarnya mut’ah itu
7
terlarang, kemudian dibolehkan secara rukhshakh (darurat). Hal ini disebabkan para sahabat
dalam peperangan yang melelahkan tidak dapat melampiaskan hajatnya, sehingga sebagian
mereka berkeinginan untuk mengebiri diri mereka sendiri. Ibaratnya adalah seperti orang
yang kelaparan dan ia tidak mendapatkan sesuatu apapun untuk dimakan selain daging babi,
maka dalam kondisi darurat ini dibolehkan baginya memakan babi tersebut. Oleh karena itu
nikah mut’ah yang terjadi pada masa Rasulullah SAW dilaksanakan sama seperti pernikahan
syar’i pada umumnya, hanya saja disana ada pembatasan waktu pernikahan. Kemudian
Rasulullah mencabut rukhshakh tersebut dengan lafadz (‫)ثم نها عنها‬.
Hadits ketiga
‫سو ِل ة‬
‫صلى هللا عليه‬- ِ‫اَّلل‬
ُ ‫ى أ َ ةن أ َ َباهُ َحدةثَهُ أَنةهُ َكانَ َم َع َر‬
‫َع ْن ة‬
َ ‫الر ِبي ُع ب ُْن‬
ُّ ِ‫سب َْر ً َ ْال ُج َهن‬
‫اء َو ِإ ةن ة‬
ِ ‫س‬
ِ ‫اس ِإنِى قَ ْد ُك ْنتُ أ َ ِذ ْنتُ لَ ُك ْم فِى‬
ُ ‫ فَقَا َل « يَا أَيُّ َها النة‬-‫وسلم‬
َ‫اَّلل‬
َ ِ‫اال ْستِ ْمتَاعِ ِمنَ الن‬
‫سبِيلَهُ َوالَ تَأ ْ ُخذُوا ِم ةما‬
َ ‫َى ٌء فَ ْليُخ َِل‬
ْ ‫قَ ْد َح ةر َم ذَ ِل َك إِلَى يَ ْو ِم ْال ِقيَا َم ِة فَ َم ْن َكانَ ِع ْندَهُ ِم ْن ُه ةن ش‬
».‫ش ْيئًا‬
َ ‫آت َ ْيت ُ ُمو ُه ةن‬
Dari ar-Rabi’ bin Sabrah al-Juhani bahwa bapaknya menceritakan kepadanya
bahwasanya dia pernah bersama Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- maka beliau
bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengijinkan bagi kalian
mut’ah dengan wanita, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan mut’ah tersebut
sampai hari kiamat. Barang siapa yang memiliki sesuatu (ikatan mut’ah) dengan wanitawanita maka hendaknya ia lepaskan jalannya dan jangan kalian ambil sedikitpun dari apa
yang telah kalian berikan kepada mereka.”
Hadits di atas semakin menguatkan bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Allah
SWT melalui Rasulullah SAW mengumumkan larangan tersebut pada hari Fathu Makkah.
Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap shahih Muslim menjelaskan panjang lebar tentang
pendapat para Ulama dalam masalah ini. Ringkasnya adalah mut’ah pada awal Islam
diperbolehkan, kemudian diharamkan pada perang Khaibar, kemudian dibolehkan lagi
selama 3 hari pada perang Fathu Makkah yaitu pada hari Authas kemudian diharamkan pada
hari itu juga dengan pengharaman selama-lamanya sampai hari kiamat. Dan penegasan
keharaman ini disampaikan lagi oleh Rasulullah SAW pada haji wada’.
8
C. NIKAH DIBAWAH UMUR
Isu nikah muda sering menjadi polemik dan kontroversi dalam masyarakat
dikarenakan masih adanya asumsi bahwa hal itu dianjurkan agama, didorong serta
dicontohkan Nabi Muhammad. kemudian pertanyaan yang timbul dari pernyataan diatas,
“tepatkah asumsi tersebut?”. Berikut adalah penguraiannya.
1. Usia Nikah
Istilah dan batasan nikah muda (nikah di bawah umur) dalam kalangan pakar hukum
Islam sebenarnya masih simpang-siur yang pada akhirnya menghasilkan pendapat yang
berbeda. Maksud nikah muda menurut pendapat mayoritas, yaitu, orang yang belum
mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi perempuan.
Syariat Islam tidak membatasi usia tertentu untuk menikah. Namun, secara implisit,
syariat menghendaki orang yang hendak menikah adalah benar-benar orang yang sudah siap
mental, pisik dan psikis, dewasa dan paham arti sebuah pernikahan yang merupakan bagian
dari ibadah, persis seperti harus pahamnya apa itu salat bagi orang yang melakukan ibadah
salat, haji bagi yang berhaji, transaksi dagang bagi pebisnis.
Tidak ditetapkannya usia tertentu dalam masalah usia sebenarnya memberikan
kebebasan bagi umat untuk menyesuaikan masalah tersebut tergantung situasi, kepentingan,
kondisi pribadi keluarga dan atau kebiasaan masyarakat setempat, yang jelas kematangan
jasmani dan rohani kedua belah pihak menjadi prioritas dalam agama.
2. Dorongan adanya kesetaraan
Dalam fikih, ada yang disebut kafa’ah (baca kesetaraan). Kafa’ah di sini bukan berarti
agama Islam mengakui adanya perbedaan (kasta) dalam masyarakat. Kafa’ah bukan pula
suatu keharusan dan sama sekali bukan menjadi syarat dalam akad ikatan perkawinan, namun
pertimbangan kafa’ah hanya sebagai anjuran dan dorongan agar perkawinan berjalan dengan
keserasian dan saling pengertian antara kedua belah pihak dus demi langgengnya bahtera
rumah tangga. Di antaranya, kesetaraan dalam hal ketakwaan, sebaiknya orang yang sangat
takwa dan sangat rajin menjalankan ibadah agama, tidak dianjurkan bahkan tidak dibolehkan
untuk dinikahkan dengan seorang yang rusak agamanya (sama sekali tidak memikirkan
agama).
9
Juga seorang perempuan intelektual tidak dianjurkan dan tidak cocok nikah dengan
suami yang bodoh. Juga masalah umur, tidaklah setara (imbang) antara laki-laki yang
berumur 50 tahun dengan gadis berusia 13 tahun (apalagi lebih muda dari umur itu).
Ketidaksetaraan seperti ini serta perbedaan yang mencolok antara kedua belah pihak tidak
didukung syariat karena dikhawatirkan akan kuatnya timbul benturan-benturan antara kedua
belah pihak dikarenakan perbedaan yang sangat mencolok tersebut.
3. Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah
Ada yang berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi yang patut ditiru.
Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi tidak pernah mendorong dan menganjurkan
untuk melakukan pernikahan di bawah umur. Akad pernikahan antara Rasul dengan Sayidah
Aisyah yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak bisa dijadikan sandaran dan dasar
pegangan usia perkawinan dengan alasan sebagai berikut:
Pertama: perkawinan itu merupakan perintah Allah sebagaimana sabda Rasul,
”Saya diperlihatkan wajahmu (Sayidah Aisyah) dalam mimpi sebanyak dua kali,
Malaikat membawamu dengan kain sutera nan indah dan mengatakan bahwa ini adalah
istrimu”. (HR Bukhari dan Muslim);
Kedua: Rasul sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga kalaulah bukan karena
desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah Khawlah binti Hakim yang masih
merupakan kerabat Rasul, di mana mereka melihat betapa Rasul setelah wafatnya Sayidah
Khadijah, istri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam mengemban dakwah
Islam;
Ketiga: Perkawinan Rasul dengan Sayidah Aisyah mempunyai hikmah penting dalam
dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukunya dalam berbagai aspek
kehidupan khususnya yang berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para
kaum perempuan bertanya kepada Nabi melalui Sayidah Aisyah. Dikarenakan kecakapan dan
kecerdasan Sayidah Aisyah sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan
sepanjang zaman;
Keempat: masyarakat Islam saat itu sudah terbiasa dengan masalah nikah muda dan
sudah biasa menerima hal tersebut. Walaupun terdapat nikah muda, namun secara fisik
10
maupun psikis telah siap sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam
masyarakat.
Islam dalam prinsipnya tidak melarang secara terang-terangan tentang pernikahan
muda usia, namun Islam juga tak pernah mendorong atau mendukung perkawinan usia muda
(di bawah umur) tersebut, apa lagi dilaksanakan dengan tidak sama sekali mengindahkan
dimensi-dimensi mental, hak-hak anak, psikis dan pisik terutama pihak perempuannya, dan
juga kebiasaan dalam masyarakat, dengan dalih bahwa Islam sendiri tidak melarang.
4. Usia Nikah menurut Undang-Undang Negara
Bab II pasal 7 ayat satu menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun. Juga tentang Usia Perkawinan Dalam Bab IV Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 15 menyebutkan bahwa demi untuk kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga perkawinan hanya beleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang
ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Dalam UU perkawinan di sejumlah negara Arab hampir sama dengan UU Indonesia.
Seperti di Suriah, yang menjelaskan batas usia pernikahan untuk pria adalah jika telah
mencapai 18 tahun dan untuk perempuannya jika sudah berusia 16 tahun (UU Perkawinan
Suriah, pasal 16).
D. NIKAH SIRI
Definisi dan Alasan Melakukan Pernikahan Siri
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan
tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali
perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya
karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan
syariat; Kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan
pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak
mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan
11
melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya
karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu
pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang
untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut.
1. Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan
semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra;
bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
‫ال نكاح إال بولي‬
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An
Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak
sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna
semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,
bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
‫ فنكاحها باطل‬, ‫ فنكاحها باطل‬,‫أيما امرأ ً نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل‬
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya
batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy.
Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
bersabda:
‫ال تزوج المرأ ً المرأ ً ال تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها‬
12
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak
berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang
wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibnu Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat,
Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali
adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah SWT, dan berhak
mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi
bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
2. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni hukum pernikahannya; dan
hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan
pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi
sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi
sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang
haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan
kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan
kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara dianggap sebagai
tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia.
Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang
digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali,
(2) dua orang saksi, dan (3) ijab qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan
seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan
negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil
adalah agar seseorang memiliki alat bukti untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar
telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah
13
sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh
negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah
memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di
hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun
sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan
lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satusatunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang
menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy.
Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan
pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan
alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar),
dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang
menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain
yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan
siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak
kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan
lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang
dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang
mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga
pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan
pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat
itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya
sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum
Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan
tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen
tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan
riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para
shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis
(mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah;
14
‫س ًّمى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم‬
َ ‫ي ََاأَيُّ َها الةذِينَ َءا َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن إِلَى أ َ َج ٍل ُم‬
‫ب َك َما َعلة َمهُ ة‬
‫اَّللُ فَ ْل َي ْكتُبْ َو ْليُ ْم ِل ِل الةذِي َعلَ ْي ِه ْال َح ُّق‬
ٌ ‫ب َكا ِت‬
ٌ ‫َكا ِت‬
َ ُ ‫ب أ َ ْن َي ْكت‬
َ ْ ‫ب ِب ْال َع ْد ِل َو َال َيأ‬
‫ق ة‬
‫ض ِعيفًا أ َ ْو َال‬
َ ُ‫َس ِم ْنه‬
ْ ‫اَّللَ َربةهُ َو َال يَ ْبخ‬
َ ‫س ِفي ًها أ َ ْو‬
َ ‫ش ْيئًا فَإ ِ ْن َكانَ الةذِي َعلَ ْي ِه ْال َح ُّق‬
ِ ‫َو ْل َيت ة‬
‫ش ِهيدَي ِْن ِم ْن ِر َجا ِل ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم‬
َ ‫يَ ْست َ ِطي ُع أ َ ْن يُ ِم ةل ُه َو فَ ْليُ ْم ِل ْل َو ِليُّهُ ِب ْال َع ْد ِل َوا ْست َ ْش ِهد ُوا‬
ُّ ‫ض ْونَ ِمنَ ال‬
‫ض ةل إِ ْحدَا ُه َما فَتُذَ ِك َر‬
ِ َ‫ش َهد‬
َ ‫ت َ ْر‬
ِ َ ‫اء أ َ ْن ت‬
‫يرا أ َ ْو‬
ُ ُ َّ ‫ِإذَا َما‬
ً ‫ص ِغ‬
َ ُ‫عوا َو َال ت َ ْسأ َ ُموا أ َ ْن ت َ ْكتُبُوه‬
‫ان ِم ةم ْن‬
ِ َ ‫يَ ُكونَا َر ُجلَي ِْن فَ َر ُج ٌل َو ْام َرأَت‬
ُّ ‫ب ال‬
‫ش َهدَا ُء‬
َ ْ ‫ِإ ْحدَا ُه َما ْاأل ُ ْخ َرى َو َال َيأ‬
ُ ‫س‬
‫اَّللِ َوأ َ ْق َو ُم ِلل ة‬
‫ط ِع ْندَ ة‬
َ‫ش َهاََّ ًِ َوأ َ َّْنَى أ َ ةال ت َ ْرتَابُوا ِإ ةال أ َ ْن ت َ ُكون‬
ً ‫َك ِب‬
َ ‫يرا ِإلَى أ َ َج ِل ِه ذَ ِل ُك ْم أ َ ْق‬
‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجنَا ٌح أ َ ةال ت َ ْكتُبُوهَا‬
ُ ‫ِيرونَ َها بَ ْينَ ُك ْم تُد‬
ُ ‫اض َر ً ً تُد‬
ِ ‫ار ً ً َح‬
َ ‫تِ َج‬
َ ‫ِيرونَ َها بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬
ٌ ‫س‬
‫وق بِ ُك ْم َواتةقُوا ة‬
َ ‫ب َو َال‬
ٌ ِ‫ار َكات‬
ُ ُ‫ش ِهيدٌ َوإِ ْن ت َ ْفعَلُوا فَإِنةهُ ف‬
‫ض ة‬
َ ُ‫َوأ َ ْش ِهدُوا إِذَا تَبَايَ ْعت ُ ْم َو َال ي‬
َ‫اَّلل‬
‫اَّللُ َو ة‬
‫َويُ َع ِل ُم ُك ُم ة‬
‫َيءٍ َع ِلي ٌم‬
ْ ‫اَّللُ ِب ُك ِل ش‬
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang
penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi
mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai
batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah
mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di
antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit15
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.[QS Al-Baqarah : 282]
Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan
sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara
(dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk
menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum
ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas,
pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang
mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh
khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh
rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia
telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat.
Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum,
dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian
meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi
kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja
menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya,
aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di
lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan
dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak
mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara padahal negara telah menetapkan
aturan tersebut telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat
diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan
sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang
yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak
memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala
negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak
absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati
16
dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan
taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat
(in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban
untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah
para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat
justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus
semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada
pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan
ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas
kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan
wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu
mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan
pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah,
walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah
muakkadah). Nabi saw bersabda;
ًٍ ‫َحدةثَنَا أَ ْو ِل ْم َولَ ْو بِشَا‬
“Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan
Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di
antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2)
memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalanpersoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi
apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau
dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan
yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap
perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai
17
persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam
semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan
sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk
mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan
kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya
fitnah.
3. Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi
masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi
munculnya praktek-praktek menyimpang di
tengah masyarakat.
Lebih-lebih lagi,
pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan
hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali.
Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak
melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih
memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain,
salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan
menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak
lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau
hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami
isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama,
sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan
suami isteri (padahal mereka sudah bercerai), maka mereka akan terus merasa aman dengan
perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia
tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka
masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, pemerintah
tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga
pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum
18
syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat
penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak
justru disalah gunakan.
E. NIKAH BEDA AGAMA
Pada prinsipnya sebuah perkawinan sah secara hukum apabila memenuhi kedua
syaratnya, baik syarat materiil maupun formil. Di Indonesia, syarat sahnya perkawinan di atur
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam Undang-undang ini,
tepatnya dalam pasal 2 diatur bahwa sebuah perkawinan sah secara hukum apabila dilakukan
menurut hukum agama dan kepercayaan dari masing-masing pihak yang akan menikah dan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat materiil dari sebuah perkawinan yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa
perkawinan yang akan dilakukan sah menurut agama masing-masing pihak. Jika kemudian
perkawinan akan dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali lihat kepada
hukum agama masing-masing pihak. Dalam hal ini perlu sedikit penjelasan tentang
perbedaan pemahaman tentang kebolehan perkawinan beda agama dalam masing-masing
ajaran agama.
1. Agama Islam
Dalam agama Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai hal
ini. Aliran yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama.
Hanya saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak
perempuan beragama non-islam (Al Maidah(5):5). Jika kemudian kondisinya sebaliknya,
maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al Baqarah(2):221).
Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun
kondisinya, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221).
2. Agama Kristen
Dalam agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan.
Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I
Korintus 6 : 14-18).
19
3. Agama Katolik
Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat
dilakukan, Hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai
sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang
memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama.
4. Agama Buddha
Dalam agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama tidaklah terlalu
bermasalah. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini disebabkan
pertimbangan kehidupan nantinya dalam perkawinan itu sendiri.
5. Agama Hindu
Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi
karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila
salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut
agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih
dahulu dan kemudian baru dilaksanakan perkawinan (Ketentuan Seloka V89 kitab
Manawadharmasastra).
Dari penjelasan singkat diatas, maka dapat kita lihat apakah kemudian perkawinan
beda agama yang akan dilakukan memenuhi persyaratan materiilnya (sesuai agama masingmasing pihak).
Hal yang selanjutnya harus diperhatikan adalah apakah secara formil perkawinan beda
agama tersebut telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, sebuah perkawinan wajib di
daftarkan (di catat) di instansi yang telah ditentukan (KUA bagi pasangan beragama Islam
dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang beragama Non-Islam). Dalam hal ini setiap
pasangan yang akan mencatatkan perkawinannya wajib memilih salah satu instansi ini.
Berdasarkan UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di Indonesia tidak
dimungkinkan untuk melakukan perkawinan beda agama. Yang kemudian mungkin dapat
dilakukan adalah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkan
perkawinan tersebut di KUA / Kantor Catatan Sipil.
20
 Dalil-Dalil Haramnya Nikah Beda Agama
1. Al-Qur’an
Adapun dalam Al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang menegaskan haramnya beda
agama.
Dalil Pertama:
‫ت ح تلَ ِر َ َال لْ ح ا ح حالِك تال َ َال‬
َ َّ‫حِك حَ كَُ َ رالْ تال َْ َُ ح ِْ ح َّح ََ ح مح ُّ ح ٌَ رََ َ ََّ رِ َْ َُ ح‬
ََ ‫ح َو حل حِتَ رٌ َْ ح مح ُّ ر ٌَ رََ َ ََّ رِْ ََُ َ ْح ح تلَ ِر َ َال رَ َ ح حَّ حن َِِك تال َ َال كْ حَ كَُ َ رالْ تال َْ َُْْ ح َّح‬
‫و حَ ََّحَ ََّ حل ل َِ ح ََّ حِ َْ َُ حََُ َع‬
‫َّه ح رِر ِح َِ ر‬
َ ‫َ َهتَ َذ ح ِرِح َر رْ ِحََُّّ َذ ح َو حلِح رٌ َْ ر َ َّح َِ حَّ ِح َِورَلح ََّحَ َّ ل‬
‫ََّّ َّحنحيل رْ َْ ِحتحلح ل رُ لح‬
َ ‫ََّي ل‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanitawanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. AlBaqarah: 221)
Dalil Kedua:
َْ ‫ح حم نر‬
‫حَّ رْ لْ ح‬
ْ ُ‫َّء ح‬
ْ‫َّالت ح ََ رَ رن لْ لِر ح َويح ر‬
َ ‫ت ِح‬
َ ْ‫ِحَّ حِت حَّْ َّللَِْح حال رَ َهح حءَّج ر رْ ََّ رِ َ َال حَّتر رال ح‬
ْ َّ‫َع َِ حَِّ َت َْ لْ ِح َ َل حو َي َِت ر رَِنر لْ رال َ َال ح‬
َْ ْ‫َّه حم رن لْ َ ِن َّل ر‬
َ ‫ت ِح حو ُّ ح َُ َءنرَ رن لْ ََّحَ ََّ رٌُل‬
‫َه رن لْ حِ ََيتَلح‬
‫ُّرَنرْ لالَّ حتُحورَ ح حم رء حَّ حإ حو حي َ رٌ َْ حل ُّ ح ٌَ رََ رن لْ َهح ُّ ح َت ر رَِ رن لْ ر رء ح‬
ٌ‫ْ َْ ََّ حٌ حَ َِ َُ ح َماحَّرَ حالَّ حتُح َوت ر َْ ح ََّ ح َماحَّرَ حالَّ حتُحورَ هح ََّ رٌ َْ ر ٌَ رْ لَِ ِح ََ ر‬
‫َع َن ح‬
‫ح لِر حو َي‬
21
ٌَ‫رْ ح حم ُّ ر َِ َم ر‬
َْ ٌ‫كْ ح ٌَ كْعح َ ح ر‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuanperempuan yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih
mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu Telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar
yang Telah mereka bayar. dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya. dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang Telah kamu
bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang Telah mereka bayar. Demikianlah
hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (QS. Al-Mumtahanah: 10)
2. Ijma’
Selama berabad-abad lamanya, Umat Islam menjalankan agamanya dengan tenang
dan tentram, termasuk dalam masalah ini, tidak ada satupun ulama yang membolehkan nikah
beda agama, tetapi anehnya tiba-tiba sebagian kalangan mencoba untuk meresahkan umat dan
menggugat hukum ini. Bebrapa ‘ulama ahli fiqh berpendapat mengenai nikah beda agama :
a. Ibnul Jazzi mengatakan: “Laki-laki non Muslim haram menikahi wanita muslimah
secara mutlak. Ketentuan ini disepakati seluruh ahli hukum Islam”.
b. Ibnul Mundzir berkata: “Seluruh ahli hukum Islam sepekat tentang haramnya
pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki beragama Yahudi atau Nasrani atau lainnya”.
c. Ibnu Abdil Barr berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa muslimah tidak halal menjadi
istri orang kafir”.
Sebenarnya, masih banyak lagi ucapan ulama ahli fiqih dan ahli hadits tentang
masalah ini. Lantas masihkah ada keraguan tentang kesesatan orang yang menyeleisihinya?!!
3. Kaidah Fiqih
Dalam kaidah fiqih disebutkan:
22
ْ‫ََّبَ َّت ل حَ َُ َِ ر‬
َ ‫اح‬
‫ْ رن َِت ا ح َع ح‬
Pada dasarnya dalam masalah farji (kemaluan) itu hukumnya haram.
Karenanya, apabila dalam masalah farji wanita terdapat dua hukum (perbedaan
pendapat), antara halal dan haram, maka yang dimenangkan adalah hukum yang
mengharamkan.
 Fatwa MUI
Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22
Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M setelah menimbang:
1.
Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama
2.
Perkawinan beda agama bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat
Islam, tetapi sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat
3.
Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan
beda agama dengan dalih hak asasi dan kemaslahatan
Dengan bertawakkal kepada Allah memutuskan dan menetapkan bahwa perkawinan
beda agama adalah haram dan tidak sah..
23
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pada dasarnya pernikahan (munakahat) bersifat suci dan bertujuan untuk menghindari
fitnah didalam masyarakat apabila antara dua orang yang bukan muhrim bercampur sehingga
terjadi keterikatan antara dua belah pihak. Pernikahan dianggap sah apabila terpenuhi syarat
sebagai berikut ;
1. Adanya kedua mempelai laki-laki dan perempuan
2. Wali bagi calon perempuan
3. Dua orang saksi
4. Mahar (mas kawin)
5. Ijab kabul
Semua hal telah diatur dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis tentang masalah-masalah
pernikahan ini. Namun seiring dengan kemajuan peradaban manusia, timbul penyalahgunaan
dari sebuah makna pernikahan yang suci itu, walaupun juga pada masa Rasulullah SAW
penyimpangan-penyimpangan tersebut sudah muncul.
 Nikah dalam keadaan hamil diharamkan oleh Rasulullah berdasarkan dalil-dalil yang
telah diuraikan diatas. Seorang wanita yang hamil baru boleh dinikahi apabila ia telah
melahirkan dan menunggu selama tiga kali quru’ (haid).
 Nikah mut’ah adalah nikah dimana seseorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan
sesuatu dari harta untuk jangka waktu tertentu, tidak ada kewajiban nafkah dan tempat
tinggal serta tidak ada waris-mewarisi diantara keduanya apabila salah satunya meninggal
sebelum berakhirnya masa pernikahan. Pernikahan ini juga tidak mensyaratkan adanya
saksi, tidak disyaratkan adanya ijin dari bapak atau wali, dan status wanitanya sama
dengan wanita sewaan atau budak. Pernikahan ini hukumnya haram meskipun Rasulullah
sendir pernah mengisyaratkan.
 Nikah dibawah umur tidak dilarang dan juga tidak didukung dalam Islam, akan tetapi
berdasarkan pasal 7 Undang-Undang (UU) Negara Nomor 1 tahun 1974 menegaskan
bahwa calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.
 Nikah siri adalah pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara
rahasia (siri) dikarenakan pihak dari salah satu wali tidak setuju. Dilihat dari segi
kacamata Islam, pernikahan semacam ini tidaklah sah, karena tidak adanya wali. Namun
24
disisi lain Negara juga berhak untuk melarang dan memberikan sanksi apabila suatu
pernikahan tidak dicatatkan atau dilaporkan kepada Lembaga Pencatatan Sipil karena hal
tersebut merupakan kewajiban sebagai warga Negara yang harus ditaati.
 Nikah beda agama juga tidak diperbolehkan baik dalam Islam maupun dalam agama yang
lain. Hal tersebut dikarenakan menyangkut dengan keyakinan dan dikhawatirkan akan
mengganggu kehidupan rumah tangga dan tidak membawa kemaslahatan apabila
pernikahan ini benar-benar terjadi.
B. SARAN
Agama sebaiknya tidak dipandang dengan kasat mata, namun lebih jauh lagi agama
menekankan maksud dan inti dari setiap ajarannya dan tuntunannya, dalam masalah
perkawinan ini, Islam mendorong hal-hal agar lebih menjamin kepada suksesnya sebuah
perkawinan. Yang diminta adalah kematangan kedua pihak dalam menempuh kehidupan
berkeluarga sehingga tercipta hubungan saling memberi dan menerima, berbagi rasa, saling
curhat dan menasihati antara suami-istri dalam mangarungi bahtera rumah tangga dan
meningkatkan ketakwaan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Abdat, Abdul Hakim bin Amir. 2004. Nikah Mut’ah = Zina. Poltangan: Maktabah
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. 1425 H/2004 M.
Hartono, Ahmad Jaiz dan Agus Hasan Bashori. 2004. Menangkal Bahaya Jaringan Islam
Liberal. Jakarta : Pustaka al-Kautsar, cet pertama
Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. 2007. Nikah Beda Agama Dalam Al-Qur’an dan Hadis,
Jakarta : Pustaka Firdaus, cet kedua
http://orgawam.wordpress.com/2008/11/05/nikah-muda-bawah-umur-sunnah-mubahmakruh-atau-haram/
http://www.vhrmedia.com/Pernikahan-Beda-Agama-konsultasi420.html
http://www.gensyiah.com/nikah-mutah.html
26
Download