Pengaruh Sosial - Universitas Mercu Buana

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Psikologi Sosial 1
Pengaruh Sosial
Fakultas
Program Studi
Psikologi
Psikologi
Tatap Muka
11
Kode MK
Disusun Oleh
61017
Filino Firmansyah, M.Psi
Abstract
Kompetensi
Materi tentang konformitas, compliance
dan kepatuhan
Mahasiswa mampu memahami dan
menjelaskan kembali mengenai
konformitas, compliance dan kepatuhan
Pengaruh Sosial
Materi ini diambil dari tulisan Nurlyta Hafiyah (Sarlito dan Mainarno, 2009)
yang akan membahas mengenai pengaruh sosial. Bahasannya meliputi konformitas,
compliance dan kepatuhan.
Pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief),
persepsi, atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnnya (Cialdini, 1994
dalam Baron, Branscombe, Byrne, 2008). Seperti namanya, pengaruh sosial amat
kuat dan pervasive terhadap individu. Begitu kuatnya, sehingga orang yang
berusaha mempertahankan control atas dirinya, dalam mengalami penderitaan luar
biasa karena ia tidak dapat membebaskan dirinya dari lingkungan yang
membelenggu. Sekuat apa pun seorang individu, ternyata tidak bisa menolak
pengaruh sosial dari lingkungannya. Sebaliknya, ia dipengaruhi oleh lingkungan
dalam mengambil keputusan dalam hidupnya.
Pada bagian awal akan dibahas mengenai konformitas. Konformitas adalah
suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya
agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Byrne dan Branscombe, 2008). Kemudian
beberapa teknik pemenuhan keinginan (compliance) agar orang lain dapat mengikuti
keinginan atau permintaan yang kita ajukan. Kita juga akan membahas tentang
kepatuhan (obedience), jenis lain dari pengaruh sosial, dimana individu menaati dan
mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena
adanya unsur kekuatan (power).
Konformitas
Manusia cenderung mengikuti aturan-aturan yang ada dalam lingkungannya.
Hal tersebut dicontohkan ketika kita hendak mengambil uang di ATM atau menaruh uang di
bank, kita menunggu giliran dengan mengantri, begitu pun ketika ibu-ibu hendak pergi ke
pengajian, mereka akan mengenakan kerudung atau jilbab yang kurang lebih serasi dengan
pakaiannya. Sama halnya ketika kita menengok orang sakit, kita membawakan buah atau
makanan lainnya. Masih ada sederet contoh perilaku sehari-hari yang menunjukkan bahwa
manusia tidak terlepas dari aturan sosial. Bila diperhatikan lebih luas, kebanyakan manusia
mengikuti aturan tersebut.
‘13
2
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya kita bertingkah
laku, disebut norma sosial (social norms). Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan
lingkungan agar dapat bertahan hidup. Cara yang termudah adalah melakukan tindakan
yang sesuai dan diterima secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma
sosial dalam psikologi sosial dikenal sebagai konformitas. Konformitas adalah suatu bentuk
pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan
norma sosial (Baron, Branscombe, Byrne, 2008). Norma sosial, dapat berupa injuctive
norms, yaitu hal apa yang seharusnya dilakukan atau descriptive norms, apa yang
kebanyakan orang lakukan. Injunctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit.
Misalnya, peraturan pemerintah mewajibkan bahwa setiap penduduk Indonesia harus punya
kartu tanda penduduk (KTP), kendaraan harus berhenti saat lampu lalu lintas yang menyala
adalah lampu merah, atau dosen meminta mahasiswa mematikan telepon selulernya
selama kuliah berlangsung dalam di dalam kelas. Sedangkan descriptive norms biasanya
bersifat implicit, tidak dinyatakan secara tegas atau tertulis. Misalnya, menghormati tuan
rumah dengan berpakaian rapi, menghormati orang tua dengan bersikap sopan, atau saling
mengungkapkan permintaan maaf di saat Hari Raya Lebaran.
Norma juga bisa jadi mendetail dan eksplisit. Contohnya pada norma hukum
(rukun) nikah. Dalam Islam, pernikahan itu dapat diresmikan apabila ada calon suami, calon
istri, wali, dilakukan akad (perjanjian) nikah, dan dihadiri minimal dua orang saksi. Isi dari
norma nikah ini memiliki detail yang tidak banyak dalam hal unsur-unsur yang terlibat di
dalamnya. Coba dibandingkan dengan norma nikah dalam adat jawa yang lebih detai dan
eksklusif dalam hal prosesi pernikahan. Sebelum pernikahan, ada malam midodeni dan
siraman. Saat siraman, air yang digunakan harus terdiri atas tujuh macam bunga bagi kedua
mempelai dan sebagaian ari disiram pada mempelai putri harus diantarkan ke mempelai
putra untuk kemudian dignakan untuk oleh sang mempelai putra. Pada saat akad nikah,
orang tua calon pengantin pria/wanita tidak hadir. Sedangkan saat prosesi menuju
pelaminan ada kegiatan injak telur, balangan (lempar sirih) dan kacar-kucur.
Bagaimana cara manusia dapat mengikuti norma sosial, sebenarnya, tidak
terlepas dari adanya tekanan-tekanan untuk bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai
dengan aturan sosial. Tekanan tersebut bisa dinyatakan secara eksplisit dan implicit. Dua
orang yang sudah sepakat untuk menikah dengan cara yang sederhana tanpa rumit dan
repotnya adat tertentu dapat berubah sikap menjelang pernikahan karena adanya tekanan
orang tua dan keluarga besarnya. Dosen tidak selalu mengingatkan di awal kuliah, agar
mahasiswa mematikan telepon selularnya, akan tetapi saat terdengar dering telepon, bukan
hanya dosen yang berhenti bicara, banyak mata mahasiswa lain yang melirik tajam karena
merasa tergangggu.
‘13
3
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh
yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha
untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya
(Baron, Branscombe dan Byrne, 2008), seperti yang kita lihat dalam pengalaman hidp
Anissa di film yang diulas di awal materi ini. Contoh lain, bila anda berkunjung ke kota-kota
kecil di Jawa, seperti Banjarnegara di Jawa Tengah, hampir seluruh perempuan yang anda
lihat mengenakan jilbab. Banjarnegara dikenal sebagai kota santri karena terdapat sebuah
pesantren besar penghafal Al Qur’an yang terkenal ketiga setelah Kudus dan Yogyakarta
dan masih ada beberapa pesantren kecil lainnya. Norma menutup kepala bagi perempuan
yang pada awalnya hanya ditemui di kompleks pesantren, menyebar ke penjuru kota seperti
udara. Para pemimpin agama, guru dan orang tua semua menganjurkan anak
perempuannya berjilbab. Pada akhirnya, bukan hanya di kompleks pesantren saja ditemui
perempuan mengenakan jilbab, di sekolah biasa dan di pasasr pun para perempuan banyak
yang di sana mengenakannya. Di daerah lain, seperti di Tasikmalaya dan Aceh, perempuan
bahkan wajib mengenakan jilbab dan dikenai hukuman bila tidak melakukannya.
A
B
C
Kuatnya pengaruh sosial yang ada dalam konformitas dibuktikan secara
ilmiah dalam penelitian Solomon Asch (1951, 1955 dalam Baron, Branscombe dan Byrne,
2008). Asch melakukan eksperimen dengan memberikan tugas persepsi sederhana kepada
seorang partisipan pada penelitiannya untuk menjawab pertanyaan “Mana garis yang sama
dengan ‘garis standar’?” (perhatikan gambar). Ketika menjawab pertanyaan yang sama.
Namun, sebenarnya 7 orang diantaranya merupakan confederates, yaitu asisten peneliti
‘13
4
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
yang bertugas “membelokkan” jawaban si partisipan. Para confederates diminta Asch untuk
memberikan jawaban dengan suara lantang sebelum partisipan memberikan jawabannya.
Para confederates harus memberikan jawaban yang salah yaitu memilih “B” sebagai
jawaban, sementara partisipan sendiri memilih “C” (jawaban yang memang benar). Hal ini
dilakukan berulang kali hingga 18 kali. Pada waktu tertentu, partisipan yang tadinya
memberikan jawaban yang benar mengubah jawabannya mengikuti jawaban mayoritas
orang yang ada disekelilingnya. Dari seluruh partisipan yang terlibat dalam eksperimen ini,
76% mengikuti jawaban salah dari confederates. Eksperimen Asch ini menunjukkan bahwa
orang cenderung melakukan konformitas, mengikuti penilaian orang lain, di tengah tekanan
kelompok yang mereka rasakan. Bila ditilik lebih jauh, kehidupan sehari-hari penuh dengan
dilemma semacam ini, dimana kita dihadapkan dengan tekanan kelompok yang
mempengaruhi agar mengikuti perilaku yang diinginkan oleh kelompok. Eksperimen ini
memberikan masukan bahwa saat individu menemukan bahwa penilaian, tindakan, dan
kesimpulannya berbeda dengan orang, ia cenderung akan mengubah dan mengikuti norma
yang dikemukakan oleh kebanyakan orang.
Seberapa kuatkan pengaruh norma dalam kelompok? Bagaimana suatu
norma dapat muncul dalam kelompok? Penelitian Sherif (1937 dalam Baron, Branscombe,
Byrne, 2008) tentang autokinetic phenomenon menjelaskan bahwa norma sosial
berkembang dala situasi ambigu. Ketika situasi ambigu, situasi menjadi tidak jelas atas apa
yang harus dilakukan, maka individu cenderung mencari kejelasan dalam situasi ambigu.
Ketika situasi ambigu, situasi menjadi tidak jelas apa yang harus dilakukan, maka individu
cenderung mencari kejelasan lewat kelompok dengna mengikuti apa yang diharapkan oleh
kelompok. Dengan kata lain, ia melakukan konformitas terhadap norma kelompok. Ada
kebutuhan kuat dalam diri manusia untuk bertindak benar atau tepat sehingga bisa diterima
dan disukai oleh orang lain. Bagaimanakah Sherif (1937) dapat sampai pada kesimpulan
ini? Ia melakukan eksperimen dimana sejumlah subjek diminta masuk satu per satu ke
ruangan yang gelap gulita.
Tiba-tiba di depan mereka menyala sebuah sinar yang statis tetapi Nampak
bergerak. Sebenarnya, yang bergerak adalah pupil mata mereka sendiri, namun karena
tidak tampak sama sekali ada benda lain yang dapat dijadikan patokan (benchmark),
sehingga gerakan mata dipersepsikan sebagai gerakan sinar. Setelah semua subjek melihat
sinar, satu per satu diminta memperkirakan berapa sentimeter gerakan sinar tadi. Jawaban
yang diberikan bervariasi, misalnya dari 0,5—5 cm. berikutnya, sebagian subjek (kelompok
A) diminta berdiskusi. Kelompok A berkonsensus bahwa gerakannya adalah 3,5 cm.
Selanjutnya seluruh subjek diminta melihat sinar dalam kamar gelap sekali lagi tetap denan
cara satu per satu lagi, dan diminta memperkirakan kembali berapa cm gerak sinar itu.
‘13
5
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hasilnya, kelompok A mengubah jawabannya mendekati 3,5 cm (terjadi konformitas),
sementara anggota kelompok B tetap pada perkiraan semula (tidak terjadi konformitas).
Dari eksperimen klasik di atas, dapat disimpulkan betapa kuatnya pengaruh
sosial dalam kelompok terhadap individu. Apakah itu berarti setiap orang selalu dan pasti
melakukan konformitas? Tidak setiap orang melakukan konformitas terhadap norma
kelompok. Ada faktor-faktor tertentu yang menentukan sejauhmana individu melakukan
konformitas atau justru menolaknya. Baron, Branscombe dan Byrne (2008) menjelaskan tiga
faktor yang mempengaruhi konformitas: kohensivitas kelompok, besar kelompok, dan tipe
dari norma sosial. Kohesivitas adalah sejauhmana kita tertarik pada kelompok sosial tertentu
dan ingin menjadi bagian darinya. Semakin menarik suatu kelompok, maka semakin besar
kemungkinan orang untuk melakukan konformitas terhadap norma-norma dalam kelompok
tersebut. Begitu juga dengan ukuran kelompok, berarti semakin banyak orang yang
berperilaku dengan cara-cara tertentu, sehingga semakin banyak yang mau mengikutinya.
Terakhir, norma yang bersifat injunctive cenderung diabaikan, sementara yang descriptive
cenderung diikuti. Misalnya, semua orang tahu bahwa melanggar lampu merah tidak tidak
boleh, tetapi banyak orang melakukannya. Oleh karena itu, sekarang kita melihat banyak
sekali pengendara yang melanggar lampu merah. Orang juga akan lebih patuh terhadap
suatu norma relevan dan signifikan untuk orang tersebut, dan cenderung tidak dilakukan bila
sebaliknya.
Bila tidak setiap orang melakukan konformitas terhadap norma kelompok,
mengapa orang tersebut tidak memilih untuk melakukan konformitas? Hal ini bisa dipahami
karena individu kadang memiliki kebutuhan untuk mempertahankan control terhadap
hidupnya (Baron, Branscombe, Byrne, 2008). Kelompok remaja punk, misalnya, adalah
remaja yang mencoba mempertahankan control terhadap dirinya dari lingkungan yang
dirasa tidak aman (secure) dan tidak selalu menerima mereka. Dengan berpakaian dan
berpenampilan berbeda dari kebanyakan orang, mereka berusaha tampil beda dari norma
sosial.
Dibandingkan yang tidak melakukan konformitas, tentu lebih banyak individu
yang melakukan konformitas terhadap norma sosial. Bila tidak bayangkan kacaunya
lingkungan sosial. Tidak ada keteraturan, tidak ada kesepakatan tentang apa yang harus
dan sebaiknya dilakukan. Syukurnya, seperti disinggung di awal bab ini, manusia cenderung
mengikuti aturan-aturan yang ada dalam lingkungannya, dan kebanyakan manusia mengkuti
aturan tersebut. Hal ini bisa dipahami karena adanya motif untuk disukai oleh orang lain
(normative social influence), sehingga bisa diterima oleh lingkungan, dan adanya motif akan
‘13
6
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kepastian mengenai kebenaran akan perilaku yang hendak ditampilkan (informational social
influence).
Namun, kecenderungan untuk melakukan konfirmitas tidak selalu berarti
hanya mengikuti pada hal-hal yang positif saja. Manusia juga dapat melakukan konformitas
pada bentuk-bentuk perilaku negatif. Salah satunya adalah perkelahian pada pelajar.
Telah dilakukan penelitian di Jakarta dengan melibatkan 60 responden.
Sampel penelitian ini adalah siswa SMU pelaku perkelahian pelajar, dengan rentang usia
15-19 tahun, dan pernah terlibat dalam perkelahian pelajar dalam 6 bulan terakhir. Rambe
menyusun alat ukur konformitas dan menggunakan self-esteem inventory dari Coopersmith.
Hasil penelitian Rambe (1997) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara bentuk konformitas dengan tingkah harga diri yang dimiliki individu. Tidak selalu
pelajar dengan hraga diri rendah menampilkan konformitas compliance, begitu juga tidak
selalu pelajar dengan harga diri tinggi menampilan konformitas acceptance.
Meskipun penelitian Rambe (1997) tidak menunjukkan adanya hubungan
antara konformitas dengan harga diri. Namun, penelitian ini menarik untuk dilakukan analisis
faktor-faktor penyebab tingkah laku dilakukannya konformitas pada pelajar pelaku
perkelahian remaja dengan melakukan perhitungan analisis faktor. Dari hasil perhitungan,
dengan melihat 69,9% varian, ditemukan lima faktor yang menggambarkan atau menjadi
penyebab tingkah laku konformitas. Faktor pertama adalah alasan pribadi, antara lain
melupakan sejenak masalah personal, membangun perasaan lebih percaya diri,
menghilangkan beban pelajaran yang terlalu banyak, melampiaskan kekesalan dan
menambah pengalaman. Faktor kedua adalah kesenangan, antara lain senang terlibat
dalam perkelahian pelajar karena perkelahian mengasikkan dan seru, suka berkelahi
walaupun dapat membuat terluka. Faktor ketiga adalah keterpaksaan dengan alasan, antara
lain merasa membuang-buang waktu dan merasa takut atau was-was akan kenal pukul.
Faktor keempat adlaah ketidaksetujuan, antara lain tidak setuju menyelesaikan masalah
dengan berkelahi. Faktor kelima adalah kesetiakawanan, yaitu ingin membantu teman yang
dipukul oleh siswa sekolah lain. Memperhatikan isi dari tiap-tiap faktor, Rambe (1997)
menyimpulkan bahwa faktor pertama, kedua, kelima beracuan pada konformitas
acceptance, sementara faktor ketiga dan keempat beracuan pada konformitas compliance.
Pernahkan Anda mengikuti tawuran? Jika ya, faktor apa yang mendorong Anda ketika
mengikutinya? Jika tidak, semoga saja tidak, amati teman-teman Anda yang pernah
mengikuti tawuran. Faktor apa yang mendorong mereka melakukannya? Perhatikanlah
kemungkinan dari faktor penyebab mereka melakukannya sudah atau belum termasuk ke
dalam faktor-faktor penyebab tawuran yang dikemukakan Rambe.
‘13
7
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Compliance
Sering kali perilaku kita dipengaruhi oleh permintaan langsung orang lain, hal
tersebut merupakan suatu bentuk pengaruh sosial yang disebut dengan pemenuhan
keinginan (compliance). Contoh pengaruh sosial dengan bentuk compliance misalnya
adalah ketika teman kita memohon agar dipinjamkan uang, ketika pramuniaga menawarkan
barangnya, perilaku calon anggota legislative meminta agar dipilih ketika pemilu, permintaan
sang pacar untuk dijemput, rengekan anak saat meminta izin pergi ke suatu tempat atau
saat meminta uang kepada orang tua. Pemintaan-permintaan ini mengharuskan individu
memilih dua hal, apakah menolak atau mengiyakannya. Sering kali kita lebih sering
mengiyakan, padahal sebenarnya hendak menolak permintaan tersebut. Bagaimanakan
cara seseorang mempengaruhi orang lain agar mau memenuhi permintaannya? Faktorfaktor apa yang dapat meningkatkan atau menurunkan kepatuhan individu untuk melakukan
tindakan yang diminta? Pertanyaan ini dipelajari oleh para psikolog sosial dengan cukup
mendalam. Seorang tokohnya yang terkenal adalah Robert C. Cialdini. Dalam serangkaian
penelitiannnya yang dilakukan lewat observasi langsung, ia menyimpulkan ada banyak
teknik compliance yang sebenarnya didasari oleh prinsip dasar. Prinsip dasar compliance
adalah sebagai berikut (Cialdini, 1994, 2006 dalam Baron, Branscombe dan Byrne, 2008).
1. Pertemanan atau rasa suka. Kita cenderung lebih mudah memenuhi permintaan
teman atau orang yang kita sukai daripada permintaan orang yang tidak kita kenal
atau kita benci
2. Komitmen atau konsistensi. Saat kita telah mengikatkan diri pada satu posisi atau
tindakan, kita akan lebih mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang
konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya.
3. Kelangkaan. Kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang langka
atau berkurang ketersediaannya. Oleh karena itu, kita cenderung memenuhi
permintaan yang menekankan kelangkaan daripada yang tidak.
4. Timbal balik. Kita lebih mudah memenuhi permintaan dari seseorang yang
sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Dengan kata lain, kita merasa
wajib membayar utang budi atas bantuannya.
5. Validasi sosial. Kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu
tindakan jika tindakan itu konsisten dengan apa yang kita percaya orang lain akan
melakukan juga. Kita ingin bertingkah laku benar, dan satu cara untuk memenuhinya
adalah dengan bertingkah laku dan berpikir seperti orang lain.
‘13
8
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
6. Otoritas. Kita lebih mudah memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas
yang diakui, atau setidaknya tampak memiliki otoritas.
Prinsip-prinsip ini mendasari beragam teknik atau taktik dalam compliance.
Teknik-teknik tersebut digunakan oleh para professional, yaitu orang-orang yang inti
tugasnya adalah menjual barang atau jasa, juga kebanyakan orang biasa dalam kehidupan
sehari-hari.
Berdasarkan prinsip pertemanan atau rasa suka, bisa digunakan taktik
ingratiation. Ingratiation adalah suatu cara dimana kita berusaha membuat orang lain
menyukai kita agar kemudian mau mengubah tingkah lakunya sesuai dengan yang kita
inginkan. Caranya dengan menunjukkan rasa suka, apakah dengan pujian atau penguatan
atas perilaku orang lain. Misalnya, saat seorang pegawai ingin menarik perhatian bosnya
agar menyetujui proposal yang ia susun, ia memulai pembicaraan dengan memuji
penampilan sang bos, ia lalu mulai menggali pendapat atasannya dan menyatakan
persetujuan dengan antusias baru kemudian menyampaikan gagasannya. Dalam penelitianpenelitian tentang self-presentation, ditemukan bahwa ingratiation akan efektif apabila tidak
digunakan secara berlebihan. Dalam dunia kerja, pegawai dinilai lebih baik oleh rekan kerja
dan atasannya apabila ia menggunakan ingratiation dibandingkan jika ia menggunakan selfpromotion (Schlenker, 2003).
Ada taktik-taktik lainnya untuk mendapatkan keinginan kita agar dipenuhi oleh
orang lain. Berdasarkan prinsip komitmen atau konsistensi, dikenal taktik foot in the door
dan the law ball. Taktik the foot in the door adalah dengan memulai suatu permintaan
dengan permintaan kecil, kemudian setelah didapatkan permintaan menjadi semakin besar
dari sebelumnya. Misalnya, jika awalnya hanya berniat menumpang sementara, lama-lama
membawa keluarga, akhirnya tidak mau jika disuruh pergi. Dalam istilah sehari-hari, taktik ini
dikenal dalam peribahasa “dikasih jantung, minta hati”. Namun, bedanya dengan peribahasa
tersebut, tidak selalu permintaan dengan teknik ini tidak melibatkan pengalaman yang tidak
menyenangkan. Misalnya, seorang mahasiswa yang merasa bahwa ia lemah dalam mata
kuliah statistic meminta mahasiswa lain yang dinilai menguasai mata kuliah tersebut untuk
menjelaskan kepadanya. Ia kemudian meminta bantuan sang teman yang berbakat statistic
itu agar bersedia menjadi mentor dalam beberapa pertemuan. Pada kasus ini, bisa saja
mahasiwa yang dimintai bantuan merasa tersanjung dengan permintaan tersebut dan
merasa mengajari teman sebagai pengalaman yang menyenangkan.
‘13
9
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Taktik lain berdasarkan prinsip komitmen yang sering kali digunakan dalam
dunia pemasaran (marketing) adalah the law ball. Taktik dilakukan dengan memulai
permintaan dengan penawaran yang sangat baik, lalu penawaran berubah jadi kurang baik,
sehingga banyak yang yang menolak, tapi banyak juga yang tetap menerima kondisi
tersebut. Misalnya, penyedia jasa (provider) telepon seluler menawarkan layasan pesan
singka (short messaging service- SMS) gratis lewat iklan. Setelah konsumen membeli kartu
perdananya, ternyata masa gratis sudah lewat walaupun pada sampul sim card tertulis
bahwa tariff SMS murah. Setelah digunakan ternyata SMS tersebut juga tidak terlalu murah,
tetapi pada akhirnya konsumen menerima saja karena sudah terlanjut murah, tetapi pada
akhirnya konsumen menerima saja karena sudah terlanjur membeli. Contoh lain, staf
penjualan (sales) digaleri mobil menawarkan mobil baru dengan harga yang menarik dan
berhasil membujuk orang untuk membeli dan membayar uang muka (down payment-DP).
Mobil yang hendak dibeli bersifat indent, artinya calon pembeli harus menunggu dalam
waktu yang cukup lama untuk mendapatkan mobil yang dipesan karena pabrik membuatnya
berdasarkan pesanan. Setelah beberapa waktu, staf tersebut menghubungi pembeli dan
mengatakan bahwa harga mobil tersebut naik karena adanya kenaikan biaya impor bahan
baku dan krisis global. Pembeli yang yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan mobil itu
mungkin rela mengeluarkan sedikit lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Sementara
konsumen yang merasa “dibohongi” langsung menolak permintaan sales itu dan
membatalkan pesanannya.
Adakah taktik compliance yagn sulit ditolak? Kalau kita menggunakan taktik
the door in the face dan taktik that’s not all approach, permintaan kita akan sulit ditolak oleh
target yang kita tuju. Taktik ini dibangun atas dasar prinsip timbal-balik. Dalam taktik the
door in the face, permintaan dilanjutkan dengan sesuatu yang lebih kecil yang
sesungguhnya menjadi target yang diminta. Misalnya, sekompok pengunjuk rasa berorasi di
depan DPR dan bertemu dengan ketua DPR. Namun, setelah negosiasi dilakukan dengan
pihak polisi, ternyata yang diijinkan masuk gedung DPR dan bertemu dengan ketua DPR.
Namun, setelah negosiasi dilakukan dengan pihak polisi, ternyata yang diijinkan masuk
hanya 10 orang delegasi saja. Hal ini disetujui oleh para pengujuk rasa, karena targetnya
memang demikian. Sementara dalam taktik that’s not all approach, seseorang menawarkan
keuntungan tambahan sebelum orang lain menolak atau menerima permintaan tersebut.
Misalnya, dalam penawaran apartemen, seseorang mungkin saja akan berpikir tentang
pemotongan harga yang ditawarkan pengembang, namum pihak pemasaran langusung
mengajak calon pembelinya dengan informasi tentang fasilitas kolem renang, gym dan spa,
lokasi apartemen yang menghadap ke arah taman, penjagaan keamanan selama 24 jam,
sekolah yang bagus untuk anak-anak, sehingga orang tersebut langsung tertarik dan
‘13
10
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
memberikan DP untuk membeli unit di apartemen itu sebelum ia benar-benar berpikir
dengan mantap.
Taktik lain yang juga sulit ditolak adalah playing hard to get dan the fast
approaching deadline. Kedua taktik ini dibangun atas prinsip kelangkaan dan sering
digunakan oleh para penjual di toko, retail dan pusat perbelanjaan. Dalam taktik playing hard
to get, seseorang member tahu target bahwa benda yang ditawarkan adalah langka dan
sulit untuk ditemukan. Misalnya, pramuniaga memberitahu bahwa sepatu model tertentu
adalah stock terakhir, dimana stock baru tidak ada yang model seperti itu, sehingga pembeli
pun tertarik untuk membeli. Di pasar tradisional, penjual ikan membeli harga yang cukup
mahal. Ketika ditawarkan oleh pembeli, sang penjual mengatakan bahwa ikan yang ia jual
adalah barang bagus dan sedang sulit dicari oleh nelayan. Pembeli yang ingin sekali
membeli ikan itu pun tidak bisa lagi menawarkan dan membeli dengan harga yang cukup
mahal.
Pernahkan anda membaca iklan di media massa bahwa pusat perbelanjaan
tertentu menggelar diskon besar-besaran di akhir minggu sementara minggu depan sudah
harga baru? Marketing pusat perbelanjaan itu sebenarnya menggunakan teknik berdasarkan
prinsip kelangkaan yang dinamakan the fast approaching deadline. Pada taktik ini
mengusungkan bahwa kesempatan mendapatkan keuntungan untuk mendapatkan barang
waktunya sangat terbatas. Oleh karena itu, pembeli pun berbondong-bondong datang
karena keuntungan dengan mendapatkan bonus. Padahal, mungkin harga yang ditetapkan
sebenarnya lebih mahal, sehingga orang yang tadinya tidak berniat membeli menjadi tertarik
untuk datang dan membeli kembali.
Dari banyak taktik compliance yang sulit untuk ditolak, muncul pertanyaan
benarkah sulit bagi individu untuk menolak permintaan dari orang lain? Apakah sebabnya?
Mudah atau sulitnya menolak suatu permintaan dipelajari lewat budaya dan konteks sosial.
Setiap individu melalui budaya mengembangkan beragam bentuk informasi yang memicu
compliance, yaitu informasi yang memberitahu kita kapankah sebuah permintaan dapat
menjadi benar dan menguntungkan. Cialdini (1993) menjelaskan bahwa manusia cenderung
berespons secara otomatis terhadap permintaan orang lain (automatic responding). Artinya,
manusia memiliki pola tingkah laku yang otomatis dipicu oleh adanya satu bentuk informasi
yang relevan dalam situasi tertentu. Informasi tersebut memicu individu untuk mengambil
tindakan tanpa menganalisis seluruh informasi yang ada dengan hati-hati. Dengan demikian,
kita tidak perlu menghabiskan banyak waktu, energi dan kapasitas mental untuk memikirkan
apakah sebuah permintaan dari sekian ratus permintaan yang kita hadapi harus dipenuhi
atau tidak. Namun, kecenderungan ini dapat menimbulkan kesalahan karena bisa jadi
‘13
11
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
seluruh informasi tidak diperhatikan dengan hati-hati. Kemungkinan melakukan kesalahan
dapat muncul lebih tinggi ketika orang lain mencoba mencari keuntungan lewat manipulasi
stimulus pemicu untuk mendapatkan tingkah laku yang diinginkan. Jadi, pikirkan dengan
benar ketika orang lain meminta sesuatu kepada Anda. Apalagi, jika menyangkut hal yang
besar dan signifikasn bagi Anda.
Obedience
Selain dipenuhi oleh konformitas dan compliance, perilaku kita dalam
kehidupan sehari-hari juga diwarnai dengan kepatuhan (obedience). Di kantor, atasan
memerintahkan bawahannya untuk mengerjakan tugas tertentu. Di sekolah, guru melarang
murid untuk membawa benda-benda tajam dan merokok. Di rumah, orang tua menyuruh
anaknya untuk beribadah. Dalam perilaku-perilaku di atas, apakah orang yang diperintah
akan memenuhi permintaan tersebut? Biasanya orang-orang cenderung mengikuti
permintaan atau perintah orang lain yang dianggap memiliki kekuatan (power). Perilakuperilaku ini, dalam psikologi sosial, disebut sebagai obedience atau kepatuhan dalam
psikologi sosial.
Obedience merupakan salah satu jenis dari pengaruh sosial, di mana
seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku
tertentu karena adanya unsure power (Baron, Branscombe dan Bryne, 2008). Power seperti
apakah yang harus ada sebagai syarat untuk mewujudkan kepatuhan? Penelitian Stanford
Milgram (1963) tentang obedience menunjukkan bahwa individu cenderung patuh pada
perintah orang lain meskipun orang itu relative tidak memiliki power yang kuat. Penelitian
Milgram (1963) juga menunjukkan bahwa individu dapat menuruti perintah yang sebenarnya
membahayakan jiwa orang lain.
Stanford Milgram adalah seorang psikolog sosial dari Yale University. Ia
melakukan studi tentang konflik antara kepatuhan terhadap atasan (obedience toward
authority) dan hubungannya dengan kesadaran individu. Dalam eksperimennya, partisipan
diminta berperan sebagai guru yang memberikan hukuman berupa kejutan listrik apabila
muridnya tidak bisa menjawab dengan benar. Para “guru” diberitahu bahwa penelitian
bertujuan menyelidiki efek hukuman dalam tingkah laku belajar. Murid sendiri sebenarnya
adalah “actor” yang berpura-pura kesakitan saat disetrum, dan kejutan listrik yang
sesungguhnya tidak ada. Kejutan listrik yang diberikan dimulai dari 15 volt hingga 450 volt.
Partisipan diminta untuk menaikkan voltase kejutan listrik setiap kali murid membuat
kesalahan. Ini artinya, murid yang sering membuat kesalahan akan mendapatkan kejutan
‘13
12
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
listrik dan merasakan rasa sakit yang meningkat. Dalam eksperimen ini, murid yang
sebenarnya asisten Milgram dan berpura-pura kesakitan, melakukan berulang kali, sehingga
partisipan mengalami dilemma. Apabila partisipan enggan memberikan hukuman, maka ia
akan ditekan oleh eksperimenter untuk melakukan eksperimen. Apakah para partisipan
mematuhi perintah eksperimenter? Ternyata 65% dari seluruh partisipan menunjukkan
kepatuhan total di mana mereka menyelesaikan eksperimen hingga selesai dan
memberikan hukuman kepada “murid” hingga 450 volt.
Eksperimen Milgram di atas adalah sebuah studi yang sangat controversial.
Namun, eksperimennya menunjukkan hasil yang sangat penting dalam studi tentang
pengaruh sosial. Ia menunjukkan bukti bahwa individu mematuhi perintah yang sebenarnya
merusak, menyakiti, dan menghancurkan orang lain ketika berada dalam situasi
diperintahkan untuk melakukannya. Bentuk kepatuhan ini dikenal sebagai distructive
obedience yang merupakan bentuk ekstrem dari pengaruh sosial. Contoh-contoh destructive
obedience dapat kita lihat di kehidupan nyata dan biasanya berkaitan dengan kekerasan.
Dari Ku Klux Klan di Amerika, Holocaust saat Perang Dunia II, Tragedi Semanggi tahun
1998, sampai insiden Monal oleh FPI tahun 2008, adalah contoh-contoh nyata terjadinya
kepatuhan buta yang merusak dan mengancam nyawa orang lain, bahkan orang banyak.
Ku Klux Klan merupakan sebuah kelompok rasialis ekstrem di Amerika
Serikat yang berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik. Mereka mendirikan
organisasi tersebut dengan maksud untuk berjuang memberantas kaum kulit hitam dan
minoritas lainnya. Mereka membunuh banyak sekali warga kulit hitam, juga menyerang
warga kulit putih yang dianggap sebagai pelindung kulit hitam. Jika pernah menonton film
“Missisipi Burning” Anda dapat melihat seseorang yang mendokumentasikan aksi kejam
kelompok rasialis mengenakan seragam tentara secara patuh tunduk untuk membunuh
jutaan warga yahudi yang sebelumnya disekap di Kamp Konsentrasi.
Di Indonesia, salah satu contoh destructive obedience adalah terjadinya
kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap warga sipil seperti dalam tragedy semanggi
di mana mahasiswa yang terkonsentrasi di universitas atmajaya menuju DPR waktu itu
ditembaki oelh tentara dengan menggunakan peluru tajam. Tentara yang kemudian diadili
mengatakan bahwa mereka melakukan itu atas perintah komandan. Contoh mutakhir adalah
insiden monas di mana aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan Untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada 1 Juni 2008 diserang oleh massa dari Front
Pembela Islam yang mengenakan seragam putih dan membawa bambu runcing.
‘13
13
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mengapa dan bagaimana destructive obedience terjadi? Baron, Branscombe
dan Byrne (2008) mengumpulkan bukti-bukti dari berbagai penelitian tentang obedience.
Pertama, faktor individu melepas tanggung jawab pribadi. Artinya, individu menilai bahwa
tanggung jawab ada pada orang yang memerintahkannya, bukan dirinya pribadi, misalnya
atasan atau orang lain yang dianggap memiliki wewenang. Kedua, individu yang member
perintah sering menggunakan symbol-simbol seperti seragam, lencana, topi yang berfungsi
mengingatkan orang yang diperintah akan kekuasaan serta peran yang diemban. Ketiga,
hal-hal yang terjadi secara gradual dapat menyebabkan obedience. Perintah dimulai dari hal
kecil, kemudian meningkat menjadi lebih besar. Pada eksperimen Milgram, proses ini
ditunjukkan lewat rentang kejutan listrik 15—450 volt dalam 30 tombol di kotal panel kejutan
listrik. Keempat, proses yang terjadi sangat cepat hingga individu tidak bisa merefleksikan
dan berpikir dengan mendalam tindakan yang semestinya ia lakukan atau tidak dapat
menjadi penyebab obedience.
Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas, maka untuk menolak perintah
yang buruk dan merusak diperlukan strategi tertentu (Baron, Branscombe dan Byrne, 2008).
Pertama, individu perlu diingatkan bahwa ia sendiri bertanggung jawab. Kedua, individu
diberi tahu secara jelas bahwa perintah-perintah yang destruktif tidak diperkenankan. Ketiga,
individu perlu meninjau ulang motif dari atasannya. Situasi sosial tidak selalu berkenaan
dengan norma-norma sosial yang menjadi acuan standar perilaku. Sering kali, ketika
individu berada dalam situasi sosial, ia “kehilangan” identitasnya sebagai pribadi dan
mengikuti pengaruh sosial yang ada disekelilingnya.
Daftar Pustaka
Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika
‘13
14
Psikologi Sosial 1
Filino Firmansyah, M.Psi
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download