MODUL PERKULIAHAN Psikologi Sosial 1 Pengaruh Sosial Fakultas Program Studi Psikologi Psikologi Tatap Muka 11 Kode MK Disusun Oleh 61017 Filino Firmansyah, M.Psi Abstract Kompetensi Materi tentang konformitas, compliance dan kepatuhan Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan kembali mengenai konformitas, compliance dan kepatuhan Pengaruh Sosial Materi ini diambil dari tulisan Nurlyta Hafiyah (Sarlito dan Mainarno, 2009) yang akan membahas mengenai pengaruh sosial. Bahasannya meliputi konformitas, compliance dan kepatuhan. Pengaruh sosial adalah usaha untuk mengubah sikap, kepercayaan (belief), persepsi, atau pun tingkah laku satu atau beberapa orang lainnnya (Cialdini, 1994 dalam Baron, Branscombe, Byrne, 2008). Seperti namanya, pengaruh sosial amat kuat dan pervasive terhadap individu. Begitu kuatnya, sehingga orang yang berusaha mempertahankan control atas dirinya, dalam mengalami penderitaan luar biasa karena ia tidak dapat membebaskan dirinya dari lingkungan yang membelenggu. Sekuat apa pun seorang individu, ternyata tidak bisa menolak pengaruh sosial dari lingkungannya. Sebaliknya, ia dipengaruhi oleh lingkungan dalam mengambil keputusan dalam hidupnya. Pada bagian awal akan dibahas mengenai konformitas. Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Byrne dan Branscombe, 2008). Kemudian beberapa teknik pemenuhan keinginan (compliance) agar orang lain dapat mengikuti keinginan atau permintaan yang kita ajukan. Kita juga akan membahas tentang kepatuhan (obedience), jenis lain dari pengaruh sosial, dimana individu menaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsur kekuatan (power). Konformitas Manusia cenderung mengikuti aturan-aturan yang ada dalam lingkungannya. Hal tersebut dicontohkan ketika kita hendak mengambil uang di ATM atau menaruh uang di bank, kita menunggu giliran dengan mengantri, begitu pun ketika ibu-ibu hendak pergi ke pengajian, mereka akan mengenakan kerudung atau jilbab yang kurang lebih serasi dengan pakaiannya. Sama halnya ketika kita menengok orang sakit, kita membawakan buah atau makanan lainnya. Masih ada sederet contoh perilaku sehari-hari yang menunjukkan bahwa manusia tidak terlepas dari aturan sosial. Bila diperhatikan lebih luas, kebanyakan manusia mengikuti aturan tersebut. ‘13 2 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Aturan-aturan yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya kita bertingkah laku, disebut norma sosial (social norms). Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan agar dapat bertahan hidup. Cara yang termudah adalah melakukan tindakan yang sesuai dan diterima secara sosial. Melakukan tindakan yang sesuai dengan norma sosial dalam psikologi sosial dikenal sebagai konformitas. Konformitas adalah suatu bentuk pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan norma sosial (Baron, Branscombe, Byrne, 2008). Norma sosial, dapat berupa injuctive norms, yaitu hal apa yang seharusnya dilakukan atau descriptive norms, apa yang kebanyakan orang lakukan. Injunctive norms biasanya dinyatakan secara eksplisit. Misalnya, peraturan pemerintah mewajibkan bahwa setiap penduduk Indonesia harus punya kartu tanda penduduk (KTP), kendaraan harus berhenti saat lampu lalu lintas yang menyala adalah lampu merah, atau dosen meminta mahasiswa mematikan telepon selulernya selama kuliah berlangsung dalam di dalam kelas. Sedangkan descriptive norms biasanya bersifat implicit, tidak dinyatakan secara tegas atau tertulis. Misalnya, menghormati tuan rumah dengan berpakaian rapi, menghormati orang tua dengan bersikap sopan, atau saling mengungkapkan permintaan maaf di saat Hari Raya Lebaran. Norma juga bisa jadi mendetail dan eksplisit. Contohnya pada norma hukum (rukun) nikah. Dalam Islam, pernikahan itu dapat diresmikan apabila ada calon suami, calon istri, wali, dilakukan akad (perjanjian) nikah, dan dihadiri minimal dua orang saksi. Isi dari norma nikah ini memiliki detail yang tidak banyak dalam hal unsur-unsur yang terlibat di dalamnya. Coba dibandingkan dengan norma nikah dalam adat jawa yang lebih detai dan eksklusif dalam hal prosesi pernikahan. Sebelum pernikahan, ada malam midodeni dan siraman. Saat siraman, air yang digunakan harus terdiri atas tujuh macam bunga bagi kedua mempelai dan sebagaian ari disiram pada mempelai putri harus diantarkan ke mempelai putra untuk kemudian dignakan untuk oleh sang mempelai putra. Pada saat akad nikah, orang tua calon pengantin pria/wanita tidak hadir. Sedangkan saat prosesi menuju pelaminan ada kegiatan injak telur, balangan (lempar sirih) dan kacar-kucur. Bagaimana cara manusia dapat mengikuti norma sosial, sebenarnya, tidak terlepas dari adanya tekanan-tekanan untuk bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan sosial. Tekanan tersebut bisa dinyatakan secara eksplisit dan implicit. Dua orang yang sudah sepakat untuk menikah dengan cara yang sederhana tanpa rumit dan repotnya adat tertentu dapat berubah sikap menjelang pernikahan karena adanya tekanan orang tua dan keluarga besarnya. Dosen tidak selalu mengingatkan di awal kuliah, agar mahasiswa mematikan telepon selularnya, akan tetapi saat terdengar dering telepon, bukan hanya dosen yang berhenti bicara, banyak mata mahasiswa lain yang melirik tajam karena merasa tergangggu. ‘13 3 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Tekanan yang ada dalam norma sosial sesungguhnya memiliki pengaruh yang besar. Tekanan-tekanan untuk melakukan konformasi sangat kuat, sehingga usaha untuk menghindari situasi yang menekan dapat menenggelamkan nilai-nilai personalnya (Baron, Branscombe dan Byrne, 2008), seperti yang kita lihat dalam pengalaman hidp Anissa di film yang diulas di awal materi ini. Contoh lain, bila anda berkunjung ke kota-kota kecil di Jawa, seperti Banjarnegara di Jawa Tengah, hampir seluruh perempuan yang anda lihat mengenakan jilbab. Banjarnegara dikenal sebagai kota santri karena terdapat sebuah pesantren besar penghafal Al Qur’an yang terkenal ketiga setelah Kudus dan Yogyakarta dan masih ada beberapa pesantren kecil lainnya. Norma menutup kepala bagi perempuan yang pada awalnya hanya ditemui di kompleks pesantren, menyebar ke penjuru kota seperti udara. Para pemimpin agama, guru dan orang tua semua menganjurkan anak perempuannya berjilbab. Pada akhirnya, bukan hanya di kompleks pesantren saja ditemui perempuan mengenakan jilbab, di sekolah biasa dan di pasasr pun para perempuan banyak yang di sana mengenakannya. Di daerah lain, seperti di Tasikmalaya dan Aceh, perempuan bahkan wajib mengenakan jilbab dan dikenai hukuman bila tidak melakukannya. A B C Kuatnya pengaruh sosial yang ada dalam konformitas dibuktikan secara ilmiah dalam penelitian Solomon Asch (1951, 1955 dalam Baron, Branscombe dan Byrne, 2008). Asch melakukan eksperimen dengan memberikan tugas persepsi sederhana kepada seorang partisipan pada penelitiannya untuk menjawab pertanyaan “Mana garis yang sama dengan ‘garis standar’?” (perhatikan gambar). Ketika menjawab pertanyaan yang sama. Namun, sebenarnya 7 orang diantaranya merupakan confederates, yaitu asisten peneliti ‘13 4 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id yang bertugas “membelokkan” jawaban si partisipan. Para confederates diminta Asch untuk memberikan jawaban dengan suara lantang sebelum partisipan memberikan jawabannya. Para confederates harus memberikan jawaban yang salah yaitu memilih “B” sebagai jawaban, sementara partisipan sendiri memilih “C” (jawaban yang memang benar). Hal ini dilakukan berulang kali hingga 18 kali. Pada waktu tertentu, partisipan yang tadinya memberikan jawaban yang benar mengubah jawabannya mengikuti jawaban mayoritas orang yang ada disekelilingnya. Dari seluruh partisipan yang terlibat dalam eksperimen ini, 76% mengikuti jawaban salah dari confederates. Eksperimen Asch ini menunjukkan bahwa orang cenderung melakukan konformitas, mengikuti penilaian orang lain, di tengah tekanan kelompok yang mereka rasakan. Bila ditilik lebih jauh, kehidupan sehari-hari penuh dengan dilemma semacam ini, dimana kita dihadapkan dengan tekanan kelompok yang mempengaruhi agar mengikuti perilaku yang diinginkan oleh kelompok. Eksperimen ini memberikan masukan bahwa saat individu menemukan bahwa penilaian, tindakan, dan kesimpulannya berbeda dengan orang, ia cenderung akan mengubah dan mengikuti norma yang dikemukakan oleh kebanyakan orang. Seberapa kuatkan pengaruh norma dalam kelompok? Bagaimana suatu norma dapat muncul dalam kelompok? Penelitian Sherif (1937 dalam Baron, Branscombe, Byrne, 2008) tentang autokinetic phenomenon menjelaskan bahwa norma sosial berkembang dala situasi ambigu. Ketika situasi ambigu, situasi menjadi tidak jelas atas apa yang harus dilakukan, maka individu cenderung mencari kejelasan dalam situasi ambigu. Ketika situasi ambigu, situasi menjadi tidak jelas apa yang harus dilakukan, maka individu cenderung mencari kejelasan lewat kelompok dengna mengikuti apa yang diharapkan oleh kelompok. Dengan kata lain, ia melakukan konformitas terhadap norma kelompok. Ada kebutuhan kuat dalam diri manusia untuk bertindak benar atau tepat sehingga bisa diterima dan disukai oleh orang lain. Bagaimanakah Sherif (1937) dapat sampai pada kesimpulan ini? Ia melakukan eksperimen dimana sejumlah subjek diminta masuk satu per satu ke ruangan yang gelap gulita. Tiba-tiba di depan mereka menyala sebuah sinar yang statis tetapi Nampak bergerak. Sebenarnya, yang bergerak adalah pupil mata mereka sendiri, namun karena tidak tampak sama sekali ada benda lain yang dapat dijadikan patokan (benchmark), sehingga gerakan mata dipersepsikan sebagai gerakan sinar. Setelah semua subjek melihat sinar, satu per satu diminta memperkirakan berapa sentimeter gerakan sinar tadi. Jawaban yang diberikan bervariasi, misalnya dari 0,5—5 cm. berikutnya, sebagian subjek (kelompok A) diminta berdiskusi. Kelompok A berkonsensus bahwa gerakannya adalah 3,5 cm. Selanjutnya seluruh subjek diminta melihat sinar dalam kamar gelap sekali lagi tetap denan cara satu per satu lagi, dan diminta memperkirakan kembali berapa cm gerak sinar itu. ‘13 5 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Hasilnya, kelompok A mengubah jawabannya mendekati 3,5 cm (terjadi konformitas), sementara anggota kelompok B tetap pada perkiraan semula (tidak terjadi konformitas). Dari eksperimen klasik di atas, dapat disimpulkan betapa kuatnya pengaruh sosial dalam kelompok terhadap individu. Apakah itu berarti setiap orang selalu dan pasti melakukan konformitas? Tidak setiap orang melakukan konformitas terhadap norma kelompok. Ada faktor-faktor tertentu yang menentukan sejauhmana individu melakukan konformitas atau justru menolaknya. Baron, Branscombe dan Byrne (2008) menjelaskan tiga faktor yang mempengaruhi konformitas: kohensivitas kelompok, besar kelompok, dan tipe dari norma sosial. Kohesivitas adalah sejauhmana kita tertarik pada kelompok sosial tertentu dan ingin menjadi bagian darinya. Semakin menarik suatu kelompok, maka semakin besar kemungkinan orang untuk melakukan konformitas terhadap norma-norma dalam kelompok tersebut. Begitu juga dengan ukuran kelompok, berarti semakin banyak orang yang berperilaku dengan cara-cara tertentu, sehingga semakin banyak yang mau mengikutinya. Terakhir, norma yang bersifat injunctive cenderung diabaikan, sementara yang descriptive cenderung diikuti. Misalnya, semua orang tahu bahwa melanggar lampu merah tidak tidak boleh, tetapi banyak orang melakukannya. Oleh karena itu, sekarang kita melihat banyak sekali pengendara yang melanggar lampu merah. Orang juga akan lebih patuh terhadap suatu norma relevan dan signifikan untuk orang tersebut, dan cenderung tidak dilakukan bila sebaliknya. Bila tidak setiap orang melakukan konformitas terhadap norma kelompok, mengapa orang tersebut tidak memilih untuk melakukan konformitas? Hal ini bisa dipahami karena individu kadang memiliki kebutuhan untuk mempertahankan control terhadap hidupnya (Baron, Branscombe, Byrne, 2008). Kelompok remaja punk, misalnya, adalah remaja yang mencoba mempertahankan control terhadap dirinya dari lingkungan yang dirasa tidak aman (secure) dan tidak selalu menerima mereka. Dengan berpakaian dan berpenampilan berbeda dari kebanyakan orang, mereka berusaha tampil beda dari norma sosial. Dibandingkan yang tidak melakukan konformitas, tentu lebih banyak individu yang melakukan konformitas terhadap norma sosial. Bila tidak bayangkan kacaunya lingkungan sosial. Tidak ada keteraturan, tidak ada kesepakatan tentang apa yang harus dan sebaiknya dilakukan. Syukurnya, seperti disinggung di awal bab ini, manusia cenderung mengikuti aturan-aturan yang ada dalam lingkungannya, dan kebanyakan manusia mengkuti aturan tersebut. Hal ini bisa dipahami karena adanya motif untuk disukai oleh orang lain (normative social influence), sehingga bisa diterima oleh lingkungan, dan adanya motif akan ‘13 6 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id kepastian mengenai kebenaran akan perilaku yang hendak ditampilkan (informational social influence). Namun, kecenderungan untuk melakukan konfirmitas tidak selalu berarti hanya mengikuti pada hal-hal yang positif saja. Manusia juga dapat melakukan konformitas pada bentuk-bentuk perilaku negatif. Salah satunya adalah perkelahian pada pelajar. Telah dilakukan penelitian di Jakarta dengan melibatkan 60 responden. Sampel penelitian ini adalah siswa SMU pelaku perkelahian pelajar, dengan rentang usia 15-19 tahun, dan pernah terlibat dalam perkelahian pelajar dalam 6 bulan terakhir. Rambe menyusun alat ukur konformitas dan menggunakan self-esteem inventory dari Coopersmith. Hasil penelitian Rambe (1997) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bentuk konformitas dengan tingkah harga diri yang dimiliki individu. Tidak selalu pelajar dengan hraga diri rendah menampilkan konformitas compliance, begitu juga tidak selalu pelajar dengan harga diri tinggi menampilan konformitas acceptance. Meskipun penelitian Rambe (1997) tidak menunjukkan adanya hubungan antara konformitas dengan harga diri. Namun, penelitian ini menarik untuk dilakukan analisis faktor-faktor penyebab tingkah laku dilakukannya konformitas pada pelajar pelaku perkelahian remaja dengan melakukan perhitungan analisis faktor. Dari hasil perhitungan, dengan melihat 69,9% varian, ditemukan lima faktor yang menggambarkan atau menjadi penyebab tingkah laku konformitas. Faktor pertama adalah alasan pribadi, antara lain melupakan sejenak masalah personal, membangun perasaan lebih percaya diri, menghilangkan beban pelajaran yang terlalu banyak, melampiaskan kekesalan dan menambah pengalaman. Faktor kedua adalah kesenangan, antara lain senang terlibat dalam perkelahian pelajar karena perkelahian mengasikkan dan seru, suka berkelahi walaupun dapat membuat terluka. Faktor ketiga adalah keterpaksaan dengan alasan, antara lain merasa membuang-buang waktu dan merasa takut atau was-was akan kenal pukul. Faktor keempat adlaah ketidaksetujuan, antara lain tidak setuju menyelesaikan masalah dengan berkelahi. Faktor kelima adalah kesetiakawanan, yaitu ingin membantu teman yang dipukul oleh siswa sekolah lain. Memperhatikan isi dari tiap-tiap faktor, Rambe (1997) menyimpulkan bahwa faktor pertama, kedua, kelima beracuan pada konformitas acceptance, sementara faktor ketiga dan keempat beracuan pada konformitas compliance. Pernahkan Anda mengikuti tawuran? Jika ya, faktor apa yang mendorong Anda ketika mengikutinya? Jika tidak, semoga saja tidak, amati teman-teman Anda yang pernah mengikuti tawuran. Faktor apa yang mendorong mereka melakukannya? Perhatikanlah kemungkinan dari faktor penyebab mereka melakukannya sudah atau belum termasuk ke dalam faktor-faktor penyebab tawuran yang dikemukakan Rambe. ‘13 7 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Compliance Sering kali perilaku kita dipengaruhi oleh permintaan langsung orang lain, hal tersebut merupakan suatu bentuk pengaruh sosial yang disebut dengan pemenuhan keinginan (compliance). Contoh pengaruh sosial dengan bentuk compliance misalnya adalah ketika teman kita memohon agar dipinjamkan uang, ketika pramuniaga menawarkan barangnya, perilaku calon anggota legislative meminta agar dipilih ketika pemilu, permintaan sang pacar untuk dijemput, rengekan anak saat meminta izin pergi ke suatu tempat atau saat meminta uang kepada orang tua. Pemintaan-permintaan ini mengharuskan individu memilih dua hal, apakah menolak atau mengiyakannya. Sering kali kita lebih sering mengiyakan, padahal sebenarnya hendak menolak permintaan tersebut. Bagaimanakan cara seseorang mempengaruhi orang lain agar mau memenuhi permintaannya? Faktorfaktor apa yang dapat meningkatkan atau menurunkan kepatuhan individu untuk melakukan tindakan yang diminta? Pertanyaan ini dipelajari oleh para psikolog sosial dengan cukup mendalam. Seorang tokohnya yang terkenal adalah Robert C. Cialdini. Dalam serangkaian penelitiannnya yang dilakukan lewat observasi langsung, ia menyimpulkan ada banyak teknik compliance yang sebenarnya didasari oleh prinsip dasar. Prinsip dasar compliance adalah sebagai berikut (Cialdini, 1994, 2006 dalam Baron, Branscombe dan Byrne, 2008). 1. Pertemanan atau rasa suka. Kita cenderung lebih mudah memenuhi permintaan teman atau orang yang kita sukai daripada permintaan orang yang tidak kita kenal atau kita benci 2. Komitmen atau konsistensi. Saat kita telah mengikatkan diri pada satu posisi atau tindakan, kita akan lebih mudah memenuhi permintaan akan suatu hal yang konsisten dengan posisi atau tindakan sebelumnya. 3. Kelangkaan. Kita lebih menghargai dan mencoba mengamankan objek yang langka atau berkurang ketersediaannya. Oleh karena itu, kita cenderung memenuhi permintaan yang menekankan kelangkaan daripada yang tidak. 4. Timbal balik. Kita lebih mudah memenuhi permintaan dari seseorang yang sebelumnya telah memberikan bantuan kepada kita. Dengan kata lain, kita merasa wajib membayar utang budi atas bantuannya. 5. Validasi sosial. Kita lebih mudah memenuhi permintaan untuk melakukan suatu tindakan jika tindakan itu konsisten dengan apa yang kita percaya orang lain akan melakukan juga. Kita ingin bertingkah laku benar, dan satu cara untuk memenuhinya adalah dengan bertingkah laku dan berpikir seperti orang lain. ‘13 8 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 6. Otoritas. Kita lebih mudah memenuhi permintaan orang lain yang memiliki otoritas yang diakui, atau setidaknya tampak memiliki otoritas. Prinsip-prinsip ini mendasari beragam teknik atau taktik dalam compliance. Teknik-teknik tersebut digunakan oleh para professional, yaitu orang-orang yang inti tugasnya adalah menjual barang atau jasa, juga kebanyakan orang biasa dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan prinsip pertemanan atau rasa suka, bisa digunakan taktik ingratiation. Ingratiation adalah suatu cara dimana kita berusaha membuat orang lain menyukai kita agar kemudian mau mengubah tingkah lakunya sesuai dengan yang kita inginkan. Caranya dengan menunjukkan rasa suka, apakah dengan pujian atau penguatan atas perilaku orang lain. Misalnya, saat seorang pegawai ingin menarik perhatian bosnya agar menyetujui proposal yang ia susun, ia memulai pembicaraan dengan memuji penampilan sang bos, ia lalu mulai menggali pendapat atasannya dan menyatakan persetujuan dengan antusias baru kemudian menyampaikan gagasannya. Dalam penelitianpenelitian tentang self-presentation, ditemukan bahwa ingratiation akan efektif apabila tidak digunakan secara berlebihan. Dalam dunia kerja, pegawai dinilai lebih baik oleh rekan kerja dan atasannya apabila ia menggunakan ingratiation dibandingkan jika ia menggunakan selfpromotion (Schlenker, 2003). Ada taktik-taktik lainnya untuk mendapatkan keinginan kita agar dipenuhi oleh orang lain. Berdasarkan prinsip komitmen atau konsistensi, dikenal taktik foot in the door dan the law ball. Taktik the foot in the door adalah dengan memulai suatu permintaan dengan permintaan kecil, kemudian setelah didapatkan permintaan menjadi semakin besar dari sebelumnya. Misalnya, jika awalnya hanya berniat menumpang sementara, lama-lama membawa keluarga, akhirnya tidak mau jika disuruh pergi. Dalam istilah sehari-hari, taktik ini dikenal dalam peribahasa “dikasih jantung, minta hati”. Namun, bedanya dengan peribahasa tersebut, tidak selalu permintaan dengan teknik ini tidak melibatkan pengalaman yang tidak menyenangkan. Misalnya, seorang mahasiswa yang merasa bahwa ia lemah dalam mata kuliah statistic meminta mahasiswa lain yang dinilai menguasai mata kuliah tersebut untuk menjelaskan kepadanya. Ia kemudian meminta bantuan sang teman yang berbakat statistic itu agar bersedia menjadi mentor dalam beberapa pertemuan. Pada kasus ini, bisa saja mahasiwa yang dimintai bantuan merasa tersanjung dengan permintaan tersebut dan merasa mengajari teman sebagai pengalaman yang menyenangkan. ‘13 9 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Taktik lain berdasarkan prinsip komitmen yang sering kali digunakan dalam dunia pemasaran (marketing) adalah the law ball. Taktik dilakukan dengan memulai permintaan dengan penawaran yang sangat baik, lalu penawaran berubah jadi kurang baik, sehingga banyak yang yang menolak, tapi banyak juga yang tetap menerima kondisi tersebut. Misalnya, penyedia jasa (provider) telepon seluler menawarkan layasan pesan singka (short messaging service- SMS) gratis lewat iklan. Setelah konsumen membeli kartu perdananya, ternyata masa gratis sudah lewat walaupun pada sampul sim card tertulis bahwa tariff SMS murah. Setelah digunakan ternyata SMS tersebut juga tidak terlalu murah, tetapi pada akhirnya konsumen menerima saja karena sudah terlanjut murah, tetapi pada akhirnya konsumen menerima saja karena sudah terlanjur membeli. Contoh lain, staf penjualan (sales) digaleri mobil menawarkan mobil baru dengan harga yang menarik dan berhasil membujuk orang untuk membeli dan membayar uang muka (down payment-DP). Mobil yang hendak dibeli bersifat indent, artinya calon pembeli harus menunggu dalam waktu yang cukup lama untuk mendapatkan mobil yang dipesan karena pabrik membuatnya berdasarkan pesanan. Setelah beberapa waktu, staf tersebut menghubungi pembeli dan mengatakan bahwa harga mobil tersebut naik karena adanya kenaikan biaya impor bahan baku dan krisis global. Pembeli yang yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan mobil itu mungkin rela mengeluarkan sedikit lebih banyak dibandingkan sebelumnya. Sementara konsumen yang merasa “dibohongi” langsung menolak permintaan sales itu dan membatalkan pesanannya. Adakah taktik compliance yagn sulit ditolak? Kalau kita menggunakan taktik the door in the face dan taktik that’s not all approach, permintaan kita akan sulit ditolak oleh target yang kita tuju. Taktik ini dibangun atas dasar prinsip timbal-balik. Dalam taktik the door in the face, permintaan dilanjutkan dengan sesuatu yang lebih kecil yang sesungguhnya menjadi target yang diminta. Misalnya, sekompok pengunjuk rasa berorasi di depan DPR dan bertemu dengan ketua DPR. Namun, setelah negosiasi dilakukan dengan pihak polisi, ternyata yang diijinkan masuk gedung DPR dan bertemu dengan ketua DPR. Namun, setelah negosiasi dilakukan dengan pihak polisi, ternyata yang diijinkan masuk hanya 10 orang delegasi saja. Hal ini disetujui oleh para pengujuk rasa, karena targetnya memang demikian. Sementara dalam taktik that’s not all approach, seseorang menawarkan keuntungan tambahan sebelum orang lain menolak atau menerima permintaan tersebut. Misalnya, dalam penawaran apartemen, seseorang mungkin saja akan berpikir tentang pemotongan harga yang ditawarkan pengembang, namum pihak pemasaran langusung mengajak calon pembelinya dengan informasi tentang fasilitas kolem renang, gym dan spa, lokasi apartemen yang menghadap ke arah taman, penjagaan keamanan selama 24 jam, sekolah yang bagus untuk anak-anak, sehingga orang tersebut langsung tertarik dan ‘13 10 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id memberikan DP untuk membeli unit di apartemen itu sebelum ia benar-benar berpikir dengan mantap. Taktik lain yang juga sulit ditolak adalah playing hard to get dan the fast approaching deadline. Kedua taktik ini dibangun atas prinsip kelangkaan dan sering digunakan oleh para penjual di toko, retail dan pusat perbelanjaan. Dalam taktik playing hard to get, seseorang member tahu target bahwa benda yang ditawarkan adalah langka dan sulit untuk ditemukan. Misalnya, pramuniaga memberitahu bahwa sepatu model tertentu adalah stock terakhir, dimana stock baru tidak ada yang model seperti itu, sehingga pembeli pun tertarik untuk membeli. Di pasar tradisional, penjual ikan membeli harga yang cukup mahal. Ketika ditawarkan oleh pembeli, sang penjual mengatakan bahwa ikan yang ia jual adalah barang bagus dan sedang sulit dicari oleh nelayan. Pembeli yang ingin sekali membeli ikan itu pun tidak bisa lagi menawarkan dan membeli dengan harga yang cukup mahal. Pernahkan anda membaca iklan di media massa bahwa pusat perbelanjaan tertentu menggelar diskon besar-besaran di akhir minggu sementara minggu depan sudah harga baru? Marketing pusat perbelanjaan itu sebenarnya menggunakan teknik berdasarkan prinsip kelangkaan yang dinamakan the fast approaching deadline. Pada taktik ini mengusungkan bahwa kesempatan mendapatkan keuntungan untuk mendapatkan barang waktunya sangat terbatas. Oleh karena itu, pembeli pun berbondong-bondong datang karena keuntungan dengan mendapatkan bonus. Padahal, mungkin harga yang ditetapkan sebenarnya lebih mahal, sehingga orang yang tadinya tidak berniat membeli menjadi tertarik untuk datang dan membeli kembali. Dari banyak taktik compliance yang sulit untuk ditolak, muncul pertanyaan benarkah sulit bagi individu untuk menolak permintaan dari orang lain? Apakah sebabnya? Mudah atau sulitnya menolak suatu permintaan dipelajari lewat budaya dan konteks sosial. Setiap individu melalui budaya mengembangkan beragam bentuk informasi yang memicu compliance, yaitu informasi yang memberitahu kita kapankah sebuah permintaan dapat menjadi benar dan menguntungkan. Cialdini (1993) menjelaskan bahwa manusia cenderung berespons secara otomatis terhadap permintaan orang lain (automatic responding). Artinya, manusia memiliki pola tingkah laku yang otomatis dipicu oleh adanya satu bentuk informasi yang relevan dalam situasi tertentu. Informasi tersebut memicu individu untuk mengambil tindakan tanpa menganalisis seluruh informasi yang ada dengan hati-hati. Dengan demikian, kita tidak perlu menghabiskan banyak waktu, energi dan kapasitas mental untuk memikirkan apakah sebuah permintaan dari sekian ratus permintaan yang kita hadapi harus dipenuhi atau tidak. Namun, kecenderungan ini dapat menimbulkan kesalahan karena bisa jadi ‘13 11 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id seluruh informasi tidak diperhatikan dengan hati-hati. Kemungkinan melakukan kesalahan dapat muncul lebih tinggi ketika orang lain mencoba mencari keuntungan lewat manipulasi stimulus pemicu untuk mendapatkan tingkah laku yang diinginkan. Jadi, pikirkan dengan benar ketika orang lain meminta sesuatu kepada Anda. Apalagi, jika menyangkut hal yang besar dan signifikasn bagi Anda. Obedience Selain dipenuhi oleh konformitas dan compliance, perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari juga diwarnai dengan kepatuhan (obedience). Di kantor, atasan memerintahkan bawahannya untuk mengerjakan tugas tertentu. Di sekolah, guru melarang murid untuk membawa benda-benda tajam dan merokok. Di rumah, orang tua menyuruh anaknya untuk beribadah. Dalam perilaku-perilaku di atas, apakah orang yang diperintah akan memenuhi permintaan tersebut? Biasanya orang-orang cenderung mengikuti permintaan atau perintah orang lain yang dianggap memiliki kekuatan (power). Perilakuperilaku ini, dalam psikologi sosial, disebut sebagai obedience atau kepatuhan dalam psikologi sosial. Obedience merupakan salah satu jenis dari pengaruh sosial, di mana seseorang mentaati dan mematuhi permintaan orang lain untuk melakukan tingkah laku tertentu karena adanya unsure power (Baron, Branscombe dan Bryne, 2008). Power seperti apakah yang harus ada sebagai syarat untuk mewujudkan kepatuhan? Penelitian Stanford Milgram (1963) tentang obedience menunjukkan bahwa individu cenderung patuh pada perintah orang lain meskipun orang itu relative tidak memiliki power yang kuat. Penelitian Milgram (1963) juga menunjukkan bahwa individu dapat menuruti perintah yang sebenarnya membahayakan jiwa orang lain. Stanford Milgram adalah seorang psikolog sosial dari Yale University. Ia melakukan studi tentang konflik antara kepatuhan terhadap atasan (obedience toward authority) dan hubungannya dengan kesadaran individu. Dalam eksperimennya, partisipan diminta berperan sebagai guru yang memberikan hukuman berupa kejutan listrik apabila muridnya tidak bisa menjawab dengan benar. Para “guru” diberitahu bahwa penelitian bertujuan menyelidiki efek hukuman dalam tingkah laku belajar. Murid sendiri sebenarnya adalah “actor” yang berpura-pura kesakitan saat disetrum, dan kejutan listrik yang sesungguhnya tidak ada. Kejutan listrik yang diberikan dimulai dari 15 volt hingga 450 volt. Partisipan diminta untuk menaikkan voltase kejutan listrik setiap kali murid membuat kesalahan. Ini artinya, murid yang sering membuat kesalahan akan mendapatkan kejutan ‘13 12 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id listrik dan merasakan rasa sakit yang meningkat. Dalam eksperimen ini, murid yang sebenarnya asisten Milgram dan berpura-pura kesakitan, melakukan berulang kali, sehingga partisipan mengalami dilemma. Apabila partisipan enggan memberikan hukuman, maka ia akan ditekan oleh eksperimenter untuk melakukan eksperimen. Apakah para partisipan mematuhi perintah eksperimenter? Ternyata 65% dari seluruh partisipan menunjukkan kepatuhan total di mana mereka menyelesaikan eksperimen hingga selesai dan memberikan hukuman kepada “murid” hingga 450 volt. Eksperimen Milgram di atas adalah sebuah studi yang sangat controversial. Namun, eksperimennya menunjukkan hasil yang sangat penting dalam studi tentang pengaruh sosial. Ia menunjukkan bukti bahwa individu mematuhi perintah yang sebenarnya merusak, menyakiti, dan menghancurkan orang lain ketika berada dalam situasi diperintahkan untuk melakukannya. Bentuk kepatuhan ini dikenal sebagai distructive obedience yang merupakan bentuk ekstrem dari pengaruh sosial. Contoh-contoh destructive obedience dapat kita lihat di kehidupan nyata dan biasanya berkaitan dengan kekerasan. Dari Ku Klux Klan di Amerika, Holocaust saat Perang Dunia II, Tragedi Semanggi tahun 1998, sampai insiden Monal oleh FPI tahun 2008, adalah contoh-contoh nyata terjadinya kepatuhan buta yang merusak dan mengancam nyawa orang lain, bahkan orang banyak. Ku Klux Klan merupakan sebuah kelompok rasialis ekstrem di Amerika Serikat yang berkeyakinan bahwa ras kulit putih adalah ras yang terbaik. Mereka mendirikan organisasi tersebut dengan maksud untuk berjuang memberantas kaum kulit hitam dan minoritas lainnya. Mereka membunuh banyak sekali warga kulit hitam, juga menyerang warga kulit putih yang dianggap sebagai pelindung kulit hitam. Jika pernah menonton film “Missisipi Burning” Anda dapat melihat seseorang yang mendokumentasikan aksi kejam kelompok rasialis mengenakan seragam tentara secara patuh tunduk untuk membunuh jutaan warga yahudi yang sebelumnya disekap di Kamp Konsentrasi. Di Indonesia, salah satu contoh destructive obedience adalah terjadinya kekerasan yang dilakukan oleh militer terhadap warga sipil seperti dalam tragedy semanggi di mana mahasiswa yang terkonsentrasi di universitas atmajaya menuju DPR waktu itu ditembaki oelh tentara dengan menggunakan peluru tajam. Tentara yang kemudian diadili mengatakan bahwa mereka melakukan itu atas perintah komandan. Contoh mutakhir adalah insiden monas di mana aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh Aliansi Kebangsaan Untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan pada 1 Juni 2008 diserang oleh massa dari Front Pembela Islam yang mengenakan seragam putih dan membawa bambu runcing. ‘13 13 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Mengapa dan bagaimana destructive obedience terjadi? Baron, Branscombe dan Byrne (2008) mengumpulkan bukti-bukti dari berbagai penelitian tentang obedience. Pertama, faktor individu melepas tanggung jawab pribadi. Artinya, individu menilai bahwa tanggung jawab ada pada orang yang memerintahkannya, bukan dirinya pribadi, misalnya atasan atau orang lain yang dianggap memiliki wewenang. Kedua, individu yang member perintah sering menggunakan symbol-simbol seperti seragam, lencana, topi yang berfungsi mengingatkan orang yang diperintah akan kekuasaan serta peran yang diemban. Ketiga, hal-hal yang terjadi secara gradual dapat menyebabkan obedience. Perintah dimulai dari hal kecil, kemudian meningkat menjadi lebih besar. Pada eksperimen Milgram, proses ini ditunjukkan lewat rentang kejutan listrik 15—450 volt dalam 30 tombol di kotal panel kejutan listrik. Keempat, proses yang terjadi sangat cepat hingga individu tidak bisa merefleksikan dan berpikir dengan mendalam tindakan yang semestinya ia lakukan atau tidak dapat menjadi penyebab obedience. Dengan memperhatikan faktor-faktor di atas, maka untuk menolak perintah yang buruk dan merusak diperlukan strategi tertentu (Baron, Branscombe dan Byrne, 2008). Pertama, individu perlu diingatkan bahwa ia sendiri bertanggung jawab. Kedua, individu diberi tahu secara jelas bahwa perintah-perintah yang destruktif tidak diperkenankan. Ketiga, individu perlu meninjau ulang motif dari atasannya. Situasi sosial tidak selalu berkenaan dengan norma-norma sosial yang menjadi acuan standar perilaku. Sering kali, ketika individu berada dalam situasi sosial, ia “kehilangan” identitasnya sebagai pribadi dan mengikuti pengaruh sosial yang ada disekelilingnya. Daftar Pustaka Sarwono, S.W., & Meinarno, E.A. (2009). Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika ‘13 14 Psikologi Sosial 1 Filino Firmansyah, M.Psi Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id