Integrasi Sosial dalam Masyarakat Pluralitas Agama (Tinjauan Kritis

advertisement
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
2.1 Pengantar
Integrasi merupakan salah satu topik menarik sosiologi, yang menjelaskan bagaimana
berbagai elemen masyarakat menjaga kesatuan dan terintegrasi satu dengan yang lain. 15 Hakikat
integrasi dalam lingkungan komunitas terjadi melalui cara membangun solidaritas sosial dalam
kelompok dan dapat menjalani kehidupan dalam kebersamaan. Dan Integrasi sosial mengacu
pada suatu keadaan dalam masyarakat di mana orang-orang saling berhubungan.16
Masyarakat sebagai suatu tatanan sistem yang kompleks dalam berbagai kebutuhan
memberi ruang bagi terciptanya integrasi sosial bagi kelangsungan hidup anggota masyarakat itu
sendiri. Integrasi sosial tercipta dalam masyarakat karena rasa Solidaritas sosial. Rasa solidaritas
sosial diperlukan dalam masyarakat pluralitas agama. Masyarakat merupakan basis bagi integrasi
sosial dalam pluralitas agama. Dengan demikian, Teori Emile Durkheim mengenai masyarakat
yang di dalamnya terdapat salah satu unsur, yaitu agama dalam hubungannya dengan integrasi
sosial akan menjadi pembahasan bab ini.
2.2 Riwayat Hidup Emile Durkheim
Emile Durkheim dilahirkan di kota Epinal (Perancis Timur Laut) tanggal 15 April 1858.
Durkheim berasal dari latar belakang keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang Rabbi Yahudi.
Sejak awal dia telah dipersiapkan ayahnya untuk meneruskan tradisi keluarga mereka. Namun,
Durkheim yang sangat dipengaruhi oleh gurunya seorang penganut Katolik malah mengalihkan
perhatiannya ke agama Katolik. Pengaruh inilah yang menambah ketertarikannya terhadap
masalah-masalah agama, meskipun gurunya tidak dapat menjadikannya seorang yang beragama,
15
16
Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, Kamus Sosiologi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 284.
Abercrombie, Kamus Sosiologi,510.
sebab sejak muda Durkheim telah menyatakan dirinya sebagai seorang agnostis.17 Kemudian
Durkheim menempuh pendidikan di sekolah menengah dan pada usia 21 tahun ia diterima di
Ecole Normale Superiure, di sekolah ini ia diterima setelah tiga kali mengikuti ujian masuk.
Pengalamannya selama belajar di sekolah tersebut tidak selalu menyenangkan karena pada
dasarnya ia tidak suka program pendidikan yang kaku. Durkheim merasa tidak puas dengan
sistem pengajaran di Ecole Normale yang terlalu fokus pada kesusateraan klasik. Harapannya
ialah pengajaran tentang doktrin-doktrin moral dan ajaran-ajaran yang bersifat ilmiah. Hal ini
menurutnya lebih relevan untuk Perancis pada masa itu.18
Setelah menyelesaikan studi di Ecole Normale, Durkheim kemudian mengajar di
beberapa sekolah menengah yang ada di sekitar Paris. Dia juga pernah belajar ke Jerman selama
satu tahun untuk mendalami psikologi kepada Wilhem Wundt. Pada Tahun 1887, Durkheim
menikahi Louise Dreyfus, seorang wanita yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk karir
Durkheim. Mereka dikaruniai dua orang anak Marie dan Andre.19 Setelah kunjungan Durkheim
ke Jerman, ia menerbitkan beberapa karya yang melukiskan pengalamannya di Jerman. Publikasi
tersebut membantunya memperoleh posisi di departemen filsafat di Universitas Bordeaux, di
tahun yang sama ia diangkat sebagai profesor.20
Tahun-tahun berikutnya, sambil bekerja di Bordeaux, Durkheim melakukan riset sosial
dan menerbitkan buku The Division of Labor in Society (1893) yang merupakan tesisnya. Buku
yang terbit berikutnya The Rules of Sociological Method (1895), disusul oleh penerapan metodemetode tersebut dalam studi empiris dalam buku Sucide. Tahun 1896, Durkheim menjadi guru
besar penuh di Bordeaux dalam ilmu sosial. inilah pengangkatan guru besar ilmu sosial pertama
dalam sejarah Perancis. Jabatan tersebut dijabat Durkheim sampai ia pindah ke Sarbonne di
17
Daniel Pals, Dekonstruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003),131.
Hanneman Samuel, Emile Durkheim: Riwayat Pemikiran, dan Warisan Bapak Sosiologi Modern (Jakarta:
Kepik Ungu, 2010),11.
19
Samuel, Emile Durkheim, 5.
20
Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 132, bnd. George Ritzer dan Douglas Goodman, Teori Sosiologi
(Yogyakarta: Kreasi Wacana,2008), 90.
18
tahun 1902. Dalam waktu singkat yakni 4 tahun, pada tahun 1906 ia menjadi guru besar resmi
untuk ilmu pendidikan, yang pada tahun 1913 diubah menjadi guru besar ilmu pendidikan dan
sosiologi. Tahun 1912 karya Durkheim The Elementary Forms of Religious Life diterbitkan.21
Durkheim aktif dalam berbagai kegiatan di luar kampus. Ia menjadi salah satu pembela utama
Alfred Dreyfus, seorang kapten muda keturunan Yahudi yang dijebloskan ke penjara yang
dituduh membocorkan rahasia militer Perancis kepada Jerman. Sedangkan dalam bidang
pendidikan, Durkheim merupakan tokoh penting dalam penataan kembali sistem pendidikan
tinggi. ia menadi penasehat Kementrian Pendidikan dan memperkenalkan sosiologi untuk
menjadi kurikulum sekolah. Dan mengusahakan sosiologi menjadi salah satu landasan
pendidikan kewarganegaraan. Setelah pecah perang antara Perancis dan Jerman, Durkheim aktif
menjadi sekretaris Komite Penerbitan Hasil Penelitian dan Dokumentasi Perang.22
Diakhir hidupnya karir Durkheim memudar, keika menjelang Natal tahun 1915 ia
dikabari bahwa puteranya Andre meninggal karena luka perang di sebuah rumah sakit di
Bulgaria. Kematian puteranya membuat luka yang dalam bagi diri Durkheim. Sebab puteranya
yang memiliki potensi untuk menjadi ilmuwan besar dalam bidang sosiologi bahasa,
dipersiapkan meneruskan jejak ayahnya. Dan akhirnya Durkheim meninggal pada 15 November
1917 dalam usia 59 tahun.23
2.2.1 Konsep Durkheim mengenai Masyarakat
Pemikiran Durkheim mengenai masyarakat merupakan pengembangan dari pemikirpemikir sebelumnya seperti Montesqueieu (filosof Perancis abad ke-18), Saint Simon (seorang
pemikir sosialis abad ke-18), Auguste Comte (1798-1857). Dari pemikiran Comte, Durkheim
21
George Ritzer dan Douglas Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan
Teori Sosial Postmoderm (Yogyakarta: Kreasi Wacana,2008), 90.
22
Samuel, Emile Durkheim,15.
23
Samuel, Emile Durkheim,16.
menyadari bahwa kebutuhan utama manusia akan selalu terikat kepada satu komunitas.24
Durkheim membangun kerangka berpikirnya berdasarkan ide-ide para pemikir sebelumnya itu.
Namun, situasi dan kondisi Perancis modern juga sangat berpengaruh baginya. Pada akhir tahun
1800-an, terjadi revolusi besar di Perancis dan Eropa. Awalnya revolusi industri (ekonomi), dan
kemudian revolusi politik di Perancis. Bagi Durkheim, peradaban Barat telah dirubah oleh dua
peristiwa ini. Dapat dipahami bahwa stabilitas Eropa masa lalu dibentuk dari kehidupan
masyarakat petani, sistem pembagian kelas sosial yang mapan, kepemilikan berdasarkan
aristokrasi dan monarki, serta ikatan antar masyarakat kota dan desa yang kuat. Juga didukung
oleh lingkungan kepercayaan, tradisi dan struktur gereja Kristen. Perubahan yang terjadi dengan
adanya revolusi tersebut tidak akan pernah lagi sama dengan sebelumnya.25 Pengaruh perubahanperubahan tersebut menyebabkan terjadinya perpindahan masyarakat ke daerah pabrik dan kotakota, berpindahnya kekayaan dari tangan para bangsawan ke tangan para pedagang dan
penguasa. Kekuasaan beralih dari hak istimewa kelas-kelas lama kepada gerakan radikal atau
peristiwa-peristiwa mendadak. Hal ini pula yang mempengaruhi sehingga agama masyarakat
menjadi kacau.26
Kondisi tersebut mempengaruhi kehidupan masyarakat Eropa, sehingga untuk
memahaminya dalam pandangan Durkheim, ia membagi kondisi saat itu dalam empat pola:
Pertama, tatanan sosial masyarakat Eropa tradisional yang dulu terikat dengan sistem
kekeluargaan, komunitas dan agama, sekarang tergantikan dengan munculnya “kontrak sosial”
baru, yang kelihatan lebih berkuasa dengan individualisme dan kepentingan uang. Kedua,
mengenai perilaku dan moral, nilai-nilai sakral dan keyakinan keagamaan yang disetujui gereja,
sekarang ditantang dengan kepercayaan baru dengan menentang rasionalitas. Manusia memiliki
hasrat untuk hidup bahagia di dunia lebih tinggi dari pada keinginan masuk sorga. Ketiga,
24
Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 134. Bnd. Samuel, Emile Durkheim, 15-16.
Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, 135.
26
Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 135.
25
mengenai bidang politik, munculnya masa demokratis dalam masyarakat bawah dan pusat
kekuasaan yang kuat pada masyarakat atas telah mengubah kontrol sosial alami masyarakat.
Situasi ini menyebabkan hubungan individu telah terputus dengan tuntunan moral lama yaitu
keluarga, kampung halaman dan gereja sehingga masyarakat dibiarkan memilih partai politik,
pergerakan masa dan negara sebagai tuntunan yang baru. Keempat, mengenai urusan pribadi,
kebebasan individual yang terlepas dari paradigma lama telah menjanjikan kesempatan besar
dengan resiko yang tidak ringan untuk mewujudkan kemakmuran dan aktualisasi diri. Berbagai
perubahan yang terjadi pada masyarakat Eropa sehingga menurut Durkheim, ada satu cara untuk
mendekatinya secara ilmiah yaitu dengan pendekatan sosiologi dapat membantu memahami
gejolak masyarakat yang mereka alami.27
Masyarakat dilihat Durkheim sebagai sebuah tatanan moral yang berupa kenyataan ideal
dari tuntutan normatif yang terdapat dalam kesadaran individu, dan dalam cara tertentu berada di
luar individu.28 Durkheim memandang masyarakat juga sebagai tempat yang paling sempurna
dan memiliki potensi untuk terhimpunnya kehidupan bersama antara manusia seiring dengan
perkembangan masyarakat. Hal-hal yang paling dalam pada jiwa manusia berada di luar diri
manusia sebagai individu, seperti kepercayaan keagamaan, kehendak, alam berpikir, bahkan
hasrat untuk bunuh diri. Hal-hal ini bersifat sosial dan terdapat dalam masyarakat,29 sehingga
Durkheim sampai pada esensi yang paling penting dari pandangannya mengenai masyarakat
yaitu memahami suatu masyarakat harus didasarkan pada realitas objektif dan fakta sosial.
Dalam The Rules of Sociological Method: objek Sosiologi adalah fakta sosial, dan semua fakta
sosial termasuk masyarakat harus diperlakukan sebagai benda (thing).30
27
Pals, Dekonstruksi Kebenaran,136.
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 178.
29
Djuretna Imam Muhni, Moral dan Religi: Menurut Emile Durkheim & Henri Bergson (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), 28-29.
30
Samuel, Durkheim, 19.
28
Dua konsep penting yang berhubungan untuk menjelaskan fakta sosial yaitu conscience
collective (kesadaran kolektif) dan representation collective (gambaran kolektif). Kesadaran
kolektif merupakan sebuah konsensus normatif yang mencakup kepercayaan keagamaan atau
kepercayaan lain yang mendukungnya. Gambaran kolektif merupakan simbol-simbol yang
mempunyai makna yang sama bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka
untuk sama dengan yang lain sebagai anggota-anggota kelompok. Gambaran kolektif juga
memperlihatkan cara anggota-anggota kelompok melihat diri mereka dalam hubungan dengan
objek yang mempengaruhi mereka seperti totem suku, buku-buku suci. Karena itu, dapat
dipahami bahwa gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif. Durkheim
menyatakan bahwa keseluruhan kepercayaan normatif yang dianut bersama dengan implikasinya
untuk hubungan-hubungan sosial membentuk sebuah sistem yang mengatur kehidupan dalam
masyarakat.31 Masyarakat merupakan pikiran dan perasaan yang kompleks, yang terdiri dari
intelektual dan kerangka moral khusus dalam kelompok. Karena itu, yang paling terpenting
dalam masyarakat ialah kesadaran kolektif.32
2.2.2 Bentuk Integrasi Sosial
Dalam buku The Division of Labour in Society Durkheim menegaskan tentang kesadaran
kolektif, di mana kehidupan sosial telah membentuk corak-corak paling mendasar dalam
kebudayaan manusia.33 Eksistensi masyarakat tidak tergantung pada anggota-anggota, tetapi
terdiri dari suatu struktur adat istiadat, kepercayaan, sebagai suatu lingkungan yang terorganisasi.
Setiap individu lahir dan hidup dalam satu lingkungan, berbicara satu bahasa, memiliki satu
lembaga.34 Masyarakat bukan sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang nyata dan konkrit
yang mengikat misalnya bahasa, susunan kelembagaan dan simbol-simbol. Durkheim
31
32
33
34
Campbell, Tujuh Teori Sosial, 128-129.
Pickering, Durkheim’s Sociology of Religion (London:Routledge & Kegan Paul,1975),248.
Pals, Dekonstruksi Kebenaran, 136.
Muhni, Moral dan Religi, 32.
mengelompokkan masyarakat menjadi dua macam yaitu masyarakat sederhana dan masyarakat
kompleks. Masyarakat sederhana bersifat solidaritas mekanik sedangkan masyarakat kompleks
bersifat solidaritas organik.35 Menurut Durkheim, studi solidaritas merupakan dasar yang kuat
bagi sosiologi. Hal ini merupakan fakta sosial yang penting dalam pengaruh sosial.36
 Solidaritas Mekanik
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas mekanik menjadi kesatuan karena seluruh
orang adalah generalis. Pada dasarnya, ikatan dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka
terlibat dalam aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama. Solidaritas mekanik
lahir dari kesadaran kolektif masyarakat, dengan adanya kesamaan-kesamaan pada anggota
masyarakat.37 Ciri-ciri masyarakat mekanik ialah bersifat primitif, masyarakat dibentuk oleh
hukum represif,38 tingkat individual rendah dan kesadaran kolektif kuat pada masyarakat ini.
Komunitas sosial berperan dalam menghukum orang yang menyimpang dalam masyarakat. Hal
ini karena masyarakat mekanik bersifat kesadaran kolektif yang kuat sehingga pada kesadaran
ini, masyarakat membuat kesepakatan mengenai yang benar dan salah dalam seluruh aspek
kehidupan mereka.39
35
Muhni, Moral dan Religi, 33.
Emile Durkheim, The Devision of Labor In Society, (New York: The Free Press,1933),67.
37
Muhni, Moral Dan Religi, 33
38
Hukum represif pada masyarakat sederhana yang bersifat solidaritas mekanik yaitu anggota masyarakat
memiliki kesamaan satu dengan yang lain, mereka sangat percaya pada moralitas bersama sehingga apabila ada
anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran, maka pelanggar tersebut harus dihukum berdasarkan pelanggaran
terhadap sistem moral kolektif. Misalnya: pencurian akan mengakibatkan hukum yang berat, seperti potong tangan;
penghinaan akan dihukum dengan potong lidah (Ritzer, 2008:93).
39
Ritzer, Teori,93 bnd Pals, Dekonstruksi,138.
36
 Solidaritas Organik
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organik dapat bertahan karena perbedaan yang
ada untuk saling melengkapi.40 Solidaritas organik terdapat dalam masyarakat modern dengan
tingkat kemajuan yang lebih dari masyarakat sederhana. Masyarakat dengan ciri solidaritas
organik ialah masyarakat bersifat industrial, masyarakat dibentuk oleh hukum restitutif, 41 tingkat
individual tinggi dengan kesadaran kolektif yang rendah. Pada masyarakat ini, lembaga-lembaga
sosial sangat berperan dalam menghukum orang yang menyimpang, berbeda dengan masyarakat
mekanik yang berperan ialah komunitas sosial atau masyarakat itu sendiri.42
2.2.3 Pandangan Durkheim mengenai Agama
Integrasi dapat terjadi karena nilai-nilai bersama sesuai teori fungsionalisme, hal tersebut
menitikberatkan pada fungsi di dalam suatu masyarakat. Menurut Durkheim, praktik keagamaan
dapat dipahami sebagai peran bagi integrasi dan stabilitas masyarakat.43 Solidaritas sosial dan
integrasi merupakan permasalahan substantif yang diperhatikan Durkheim dalam karya
utamanya.44
Karakteristik yang paling mendasar ditemukan Durkheim dari setiap kepercayaan agama
yaitu tidak terletak pada yang supranatural, tetapi pada konsep tentang “yang sakral”. Pada
hakikatnya dalam kehidupan beragama manapun, orang-orang religius selalu membagi dunia
menjadi dua bagian yang terpisah; “dunia yang sakral” dan “dunia yang profan”. Hal-hal yang
sakral diidentikkan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, selalu dihormati, tidak tersentuh.
40
Ritzer, Teori Sosiologi, 90-91.
Hukum restitutif, pada masyarakat kompleks yang bersifat solidaritas organik yaitu kurangnya moral
bersama dalam masyarakat sehingga pelanggaran dilihat sebagai serangan terhadap individu tertentu dari
masyarakat bukannya terhadap sistem moral itu sendiri. ketika pelanggar hukum dijatuhkan hukuman, maka dia
dapat membuat restitusi untuk siapa saja yang telah diganggu oleh perbuatan mereka. (Ritzer,2008:94). Bnd Emile
Durkheim, The Devision, 69.
42
Ritzer, Teori Sosiologi,93.
43
Nicholas Abercrombie, Kamus Sosiologi (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), 284& 222.
44
Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern 1 (Jakarta: Gramedia,1988), 166.
41
Sebaliknya, hal-hal yang profan diidentikkan dengan keseharian hidup dan bersifat biasa-biasa
saja. Konsentrasi utama agama terletak pada yang sakral.45
Durkheim bertolak dari fakta sosial yaitu kesatuan masyarakat dari pada fakta agama.
Agama dapat dipahami sebagai ekspresi dari suatu masyarakat yang terintegrasi dari pada
sebagai sumber integrasi masyarakat sehingga individu-individu yang merasa dirinya satu,
sebagian disebabkan oleh ikatan darah, tetapi juga terikat karena merupakan satu komunitas
dengan kepentingan dan tradisi yang sama, kemudian menyatu menjadi collective consciousness.
Durkheim menghubungkan agama dan integrasi bukan berarti agama menghasilkan masyarakat
yang kohesif tetapi lebih kepada fenomena kohesi yang memiliki kualitas keagamaan.46
Agama menurut Durkheim adalah suatu sistem kepercayaan yang berkaitan dengan yang
sakral. Yang sakral memiliki pengaruh yang besar sedangkan yang profan tidak memiliki
pengaruh yang besar, hanya refleksi dari kehidupan keseharian individu.47 Agama yang dimiliki
oleh masyarakat dengan sistem sosial paling sederhana dianggap sebagai “bentuk agama paling
dasar”. Oleh karena itu, Durkheim tertarik untuk melakukan riset terhadap agama masyarakat
suku Arunta di Australia dengan meneliti mengenai totemisme. Kehidupan sosial masyarakat
Arunta dilandaskan pada sistem klan yang bersifat homegen. Sistem klan berkaitan erat dengan
totemisme sehingga penting memahami ciri-ciri dari sistem klan. Pada dasarnya sebuah klan
terdiri dari individu-individu yang saling terikat dalam hubungan kekerabatan. Maksud dari
hubungan kekerabatan ini, bukan pada hubungan darah tetapi setiap individu terikat karena
memiliki kesamaan nama, merasa memiliki kewajiban yang sama dan sebagainya.48
Totemisme sebagai kepercayaan adalah hal paling penting bagi masyarakat yang paling
sederhana dan merupakan bentuk agama yang paling dasar dan asli. Seluruh aspek kehidupan
45
Pals, Dekonstruksi,145.
Robert N. Bellah dan Philip E. Hammond, Varietes of Civil Religion (Yogyakarta: IRCiSoD) terj oleh
Imam Khoiri,dkk dari buku Varietes of Civil Religion (San Fransisco: Harper & Row Publishers,1980),208-209.
47
Pals, Dekonstruksi Kebenaran,145
48
Samuel, Emile Durkheim,77-78.
46
masyarakat Arunta dipengaruhi oleh totem-totem tersebut. Pentingnya totem49 bagi masyarakat
tersebut, sehingga konsep totem sendiri telah membentuk persepsi dasar mereka tentang alam,
hal ini tidak hanya berlaku bagi kelompok-kelompok manusia yang dibagi berdasarkan totem
yang dimiliki klan, seluruh alam semesta pun dibagi menurut pembagian tersebut. Seperti,
matahari ditempatkan pada klan Kakak Tua Putih, sedangkan bulan dan bintang ditempatkan
pada klan Kakak Tua Hitam.50
Totemisme menjadi sumber segala jenis keyakinan keagamaan baik agama yang
meyakini roh, dewa-dewa, binatang, planet atau bintang-bintang.51 Totemisme sering dipahami
sebagai bentuk pemujaan terhadap binatang atau tumbuhan tertentu. Namun, hal ini berbeda dari
anggapan tersebut. Para penganut kepercayaan totem sebenarnya tidak memuja seekor anjing,
katak, kakak tua putih tetapi yang disembah mereka adalah kekuatan yang anonim dan
impersonal yang dapat ditemukan melalui binatang-binatang tersebut. Dalam kepercayaan totem,
terdapat Tuhan yang disembah, Tuhan berbentuk impersonal, Tuhan yang tanpa nama dan
terjewantah ke berbagai benda yang ada di alam ini. masyarakat harus menghormatinya dan
merasa bertanggung jawab secara moral untuk melaksanakan upacara-upacara penyembahan.
Dengan upacara tersebut, masyarakat merasa semakin mempunyai ikatan yang kuat antara satu
dengan yang lain.52 Sehingga totemisme merupakan fenomena keagamaan yang menunjuk
kepada hubungan kesatuan antara satu suku bangsa atau klan dengan satu spesies tertentu dalam
wilayah binatang atau tumbuhan. Hal tersebut dilukiskan sebagai sistem kepercayaan dan praktik
keagamaan yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan “sakral” dalam ritual antara
49
Kata “totem” baru muncul dalam etnografi menjelang akhir abd ke-18. Pertama kali istilah ini muncul
dalam buku penafsir Indian, J.Long yang diterbitkan di London tahun 1791. Selama stengah abad totemisme dikenal
eksklusif sebagai institusi Amerika. (Emile Durkheim, Sejarah Agama. Yogyakarta: IRCiSoD,2003), 136-137
diterjemahkan oleh Inyiak Ridwan Muzir dari buku The Elementary Forms of the Religious Life. New York:Free
Press,1992.
50
Pals, Dekonstruksi,149.
51
Pals, Dekonstruksi Kebenaran,150.
52
Pals, Dekonstruksi,150.
anggota-anggota kelompok sosial dalam dalam suatu jenis binatang atau tumbuhan.53 Sebelum
masyarakat memutuskan untuk meyakini Tuhan, terdapat sesuatu yang mendasar yaitu perasaan
akan adanya sesuatu yang impersonal, maha kuasa.54
Dalam buku The Elementary Forms of the Religious Life, Durkheim memaparkan
mengenai penyelenggaran ritual-ritual dari agama bagi masyarakat suku Arunta. Pengamatan
Durkheim yang paling awal ialah perasaan keagamaan pertama kali muncul bukan dari situasi
pribadi individu, tetapi dari upacara-upacara klan yang bersifat kolektif. Pemujaan berkaitan
dengan perasaan dari peserta klan yang timbul pada waktu upacara dilakukan. Perasaan yang
muncul dan perilaku anggota klan saat melakukan upacara adalah hal yang paling penting yang
mereka alami. Perasaan yang satu antar anggota kelompok inilah yang disebut Yang Sakral.55
Pemujaan terbagi menjadi dua bentuk dalam praktek-praktek totemisme yaitu negatif dan
positif disamping itu terdapat bentuk ketiga ialah piacular (bahasa Latin, piaculum yang artinya
penebusan dosa/kesalahan). Hal utama ritual yang tergabung dalam pemujaan negatif ialah
menjaga Yang Sakral agar selalu terpisah dari Yang Profan. Pemujaan negatif terdiri dari
larangan-larangan atau taboo (tabu-tabu). Maksud dari tabu ialah suatu tempat yang tabu akan
menjaga kesakralan dari tempat tersebut, biasanya batu atau gua-gua. Konsep mengenai tempat
yang tabu, terdapat dalam agama-agama yang lebih maju adalah sumber keyakinan bahwa kuil
atau gereja harus didirikan di tempat yang suci (sakral). Pemujaan negatif menentukan hari-hari
tertentu yang disiapkan bagi upacara yang sakral. Bentuk umum dari tabu yang sering terjadi
dalam kehidupan masyarakat ialah larangan pada waktu-waktu tertentu misalnya waktu diadakan
upacara ritual, maka pekerjaan sehari-hari dan permainan dilarang. Kegiatan yang bersifat sakral
saja yang diperbolehkan fungsi dari aturan–aturan tersebut agar supaya individu dapat merasakan
penderitaan demi kepentingan klan. Tujuan dari pemujaan negatif adalah menjaga agar larangan
53
Mariasussai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1995),74.
Pals, Dekonstruksi Kebenaran,151.
55
Pals, Dekonstruksi Kebenaran,156.
54
tidak dilanggar dan juga memisahkan Yang Sakral dari Yang Profan sehingga dengan batasan
tersebut individu dapat berhubungan erat dengan yang sakral. Pemujaan positif yang
digambarkan Durkheim ialah ketika suatu kelompok klan yang akan melakukan ritual sudah ada
pada tempat dan waktu yang tepat serta seluruh anggota klan bergerak menuju kepada Yang
Sakral, kemudian mereka melakukan ritual-ritual. Hal inilah yang disebut pemujaan positif. 56
Perbedaan antara kedua hal tersebut ialah pemujaan negatif merupakan suatu cara untuk
mencapai tujuan. Pemujaan negatif dapat berupa pra kondisi untuk dapat berhubungan dengan
pemujaan positif. Pemujaan positif tidak berfungsi untuk melindungi hal-hal yang sakral dari
kontak dengan hal-hal yang profan, tetapi hal ini berpengaruh bagi anggota kelompok yang
melakukan ritual dan merubah kesadarannya secara positif.
Dengan demikian, Totem melambangkan kesatuan dari klan mereka, sehingga
pengelompokan masyarakat dalam klan dianggap suci sehingga totem mereka pun dianggap
suci.57 Menurut Durkheim, pemujaan terhadap totem bagi masyarakat suku Arunta di Australia
memberi arti bahwa pemujaan terhadap masyarakat itu sendiri sehingga yang dimaksud dengan
sakral ialah masyarakat sendiri.58
2.3 Pluralitas Agama: Suatu Realitas Sosial
2.3.1 Realitas Keberagamaan Orang Maluku
Dalam Buku Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri59 menjelaskan
bahwa hidup keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang
memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksi-interaksi keagamaan pada
masyarakat Maluku telah terjadi pada zaman agama-agama asli (agama suku yang adaptis
56
Pals, Dekonstruksi Kebenaran,157-158.
Dhavamony, Fenomenologi Agama,74.
58
Pals, Dekonstruksi Kebenaran,153.
59
Aholiab Watloly, Maluku Baru: Bangkitnya Mesin Eksistensi Anak Negeri (Yogyakarta: Kanisius,2005).
57
dengan pemisahan negeri, pulau, adat dan keturunan) yang beragam maupun zaman penyebaran
agama-agama modern (Islam-Kristen) yang bersifat “ekspansif”, dan menujukan kemajuan yang
terus bergerak sampai tahap-tahap internalisasi dan kontekstualisasi agama (Islam-Kristen) pada
dasar-dasar realitas genealogis (kekerabatan atau keturunan) serta geokultural (keutuhan wilayah
budaya/adat), yang menampilkan pola keberagamaan Salam-Sarane dalam bingkai “hidup
beragama” yang khas dari masyarakat Maluku.60
Pilihan-pilihan hidup beragama masyarakat Maluku di era globalisasi masih tetap ada dan
bertahan walaupun gelombang-gelombang kehidupan masih terus mendera. Masyarakat Maluku
dalam realitas pasca konflik tetap berusaha mengembalikan kehidupan keberagamaannya sebagai
agama orang basudara.61 Menurut Aholiab Watloly, hal ini dilakukan dengan cara menjadikan
dalih atau paham kolektivisme (collective consciousness) keagamaan yang trans-suku, solidaritas
yang universal untuk meng-adudomba serta membawa masyarakat Maluku dalam konflik orang
basudara.
Keberagamaan masyarakat Maluku sebagai agama orang basudara, dikenal dengan
sebutan Salam-Sarane (Islam-Kristen) Yang telah menghadirkan dunia keberagamaan yang lebih
menyatu di tengah konteks hidup yang plural, serba dikotomi, dan berwarna-warni, baik dari sisi
perbedaan kepercayaan, adat istiadat, bahasa, negeri, pulau, maupun warna kulit.62 Pandangan ini
Watloly dasarkan pada nenek-moyang atau para leluhur Maluku (founders Salam-Sarane) telah
memiliki genuisitasnya sendiri yang memadukan perbedaan-perbedaan pilihan agama (agama
suku, Islam dan Kristen) di dalam sebuah titik harmoni-dialektis. Menurutnya, leluhur Maluku
ternyata mampu membuktikan bagi dunia keberagamaan secara global bahwa agama bukan
sekedar pewahyuan yang hampa tanpa wujud, tetapi lebih dari pada itu, ia dapat terinternalisasi
60
Watloly, Maluku Baru,168.
Pelafalan kata basudara oleh orang Maluku, untuk menyebut kata bersaudara.
62
Watloly, Maluku Baru,170.
61
dalam realitas konteks sosial (socio-religi) yang khas, dan Salam-Sarane merupakan salah satu
yang khas dari padanya.
Watloly menegaskan bahwa bagi leluhur Maluku, Salam-Sarane bukanlah agama, tetapi
cara hidup orang beragama dalam konteks agama-agama orang basudara. Struktur dasar SalamSarane ialah pada nilai-nilai dasar ke-Islaman dan ke-Kristenan sebagai pembawa salam damai
sejahtera dan karenanya mereka terpanggil untuk memaknakan tugas dan panggilan ke-Islaman
atau ke-Kristenannya dalam tatanan kearifan lokal (local wisdom) untuk menyapa sejarah
kebersamaannya sebagai agama-agama orang basudara di bumi Maluku yang satu.
Dalam kerangka pikir semacam itu, menjadi hal menarik yang disampaikan Watloly
mengenai eksistensi Salam-Sarane perlu dipahami dalam sebuah tatanan filsafat yang dialektika,
bukan filsafat “dualisme” atau “monisme”. Filsafat dialektika menunjukan bahwa Islam dan
Kristen di Maluku adalah khas karena keduanya menemui eksistensinya yang kokoh di dalam
konteks ke-Maluku-an, yang secara de facto memiliki perbedaan, tetapi sekaligus berada dalam
ikatan kekeluargaan yang kuat. Hal ini berwujud baik di dalam ikatan-ikatan genealogi (garis
keturunan) dan geokultural (kesatuan wilayah dan budaya maupun adat) maupun geohistoris
(kesatuan sejarah) yang khas. Kekuatan pemikiran itulah yang telah mengangkat bagi budaya,
peradaban, dan keberagamaan masyarakat Maluku sebuah martabat yang khas dan
mengantarkannya ke dalam sebuah tata peradaban dunia yang memiliki bobot kesejajaran
dengan agama, budaya maupun sistem peradaban lain di dunia.63 Bahkan sejarah menyaksikan
bahwa perkembangan budaya dan keberagamaan Maluku tersebut telah menemukan titik
maknanya yang mendalam pada titik konsentris-dialektis (harmoni-dialektis) yang khas.
Kekhasan tersebut dapat dijumpai dalam budaya Maluku, seperti Pela, Masohi, Lavurngabal,
budaya sarumah64, dsb. Yang mempertemukan sisi hidup yang berbeda dalam sebuah titik
63
64
Watloly, Maluku Baru,171.
Pelafalan orang Maluku untuk menyebut kata satu rumah.
harmoni yang dinamis. Falsafah hidup ini pula yang tergambar di dalam Patasiwa-Patalima,
Ursiwa-Urlima, Upu ama-Upu Ina, dan Salam-Sarane yang selalu bersifat “saling
bergandengan.”
Beberapa prinsip dasar yang Watloly kemukakan dan penting diperhatikan di dalam
konstruksi falsafah keberagamaan Salam-Sarane, yaitu:
1. Keterbukaan terhadap perbedaan dan kemajemukan.
Salam-Sarane merupakan dua realitas (bukan satu) “agama” yang bersifat terbuka
terhadap perbedaan, kemajemukan hidup yang dimiliki bersama sebagai orang basudara.
Keduanya memiliki sifat saling „menyapa‟ sebagai saudara bukan saling „memangsa‟ sebagai
musuh atau lawan. Oleh karena itu, Salam-Sarane terpanggil untuk saling membangun
kehidupan secara bersama dengan sapaan-sapaan yang kritis, jujur, dan saling terbuka sebagai
saudara.
2. Kemajemukan dalam kebersamaan hidup.
Falsafah hidup Salam-Sarane tidak hanya menegaskan sikap keterbukaan terhadap
pluralitas hidup, tetapi lebih dari itu, menatanya dalam sebuah manajemen kebersamaan. Tidak
hanya sebatas menghargai, mengakui, dan menjejerkan pluralitas atau perbedaan-perbedaan itu,
tetapi membangun, mengolah, dan menatanya secara utuh, fungsional, sinergis, dan mendalam.
Sehingga, Salam-Sarane benar-benar memiliki tanggung jawab sosio-teologis yang strategis
untuk membangun kehidupan yang nyata. Salam-Sarane memiliki dasar-dasar pemahaman
(kognitif) dan kesadaran kritis (reflektif) untuk mengolah pengetahuan, keyakinan, dan realita
dalam sebuah proses dialektis guna menjalankan kehidupan keberagamaan secara praksis
(afektif).
Salam-Sarane memilki cenceptional frame work dalam mencari dan mengolah
kandungan-kandungan kebenaran keagamaan yang bersifat rasional universal, yang juga secara
kontekstual menggerakkan aksi praksis (operasionalitas agama) untuk membangun bumi
Maluku, masyarakat Indonesia maupun dunia secara luas. Semangat keberagamaan itulah yang
oleh para pemimpin bangsa dicetuskan dalam berbagai falsafah kehidupan umat beragama yang
berpancasila, yaitu toleransi hidup beragama atau dialog hidup antarumat beragama.
3. Brothership atau bersaudara
Prinsip yang ketiga mengatakan bahwa falsafah keberagamaan Salam-Sarane menujukan
ke-Kristenan dan ke-Islaman Maluku adalah khas. Hal ini mengajarkan dan mewajibkan
masyarakat Maluku berkembang dalam tradisi hidup ke-Kristenan dan ke-Islaman yang memiliki
saudara, yang biasanya disebut gandong, kaka, atau bongso. Dengan demikian terlihat bahwa
Kristen Maluku adalah Kristen yang memiliki saudaranya dengan Muslim, begitu juga
sebaliknya Islam Maluku adalah khas karena memiliki hubungan tradisi kekeluargaan dengan
saudaranya yang Kristen.
Dalam realitas kehidupan masyarakat di Maluku, ikatan-ikatan kekeluargaan tersebut
dapat terlihat jelas antara lain; Islam di pulau Seram memiliki satu pancaran mata air atau satu
keturunan dengan saudaranya yang Kristen, hal yang sama juga terlihat di kepulauan Kei
Maluku Tenggara, di mana Islam dan Kristen memiliki hubungan persaudaraan atau garis
keturunan (geneologis) yang mendalam. Penghayatan tersebut oleh masyarakat Kei dimaknai
melalui ikatan Ain ni ain (satu dalam satu dalam kebersamaan yang menyatu). Selanjutnya
terlihat dalam kehidupan ke-Kristenan di Maluku Utara yang khas karena Kristen memiliki
sultan yang beragama Islam. Nilai kebatinan ini dimaknai dalam falsafah hidup masyarakat
Maluku Utara yaitu ”Marimoi ngone fo turu, marimoi ua ngone fo ruru, ma otu tara ngone fo
jaha” (bersatu kita kuat, tidak bersatu kita hanyut, pada akhirnya kita tenggelam). Kenyataan itu
bagi masyarakat Maluku adalah sebuah fakta ynag merupakan warisan kehidupan yang telah
terukir oleh sejarah yang panjang dan bukan sebuah wacana atau opini. Kenyataan tersebut,
kemudian dihargai sebagai prinsip hidup beragama yang hendak dijalani sebagai hak istimewa
bagi Islam dan Kristen di Maluku.
4. Membangun otonomi dan kesetiaan pada misi keagamaannya masing-masing.
Salam-Sarane bukanlah pengarifan atau “sinkritisme” agama. Hal ini dengan alasan
Salam-Sarane bukan hanya agama konvensional, dan bukan hanya sekedar berbicara tentang apa
itu agama dan apa arti agama tetapi lebih dari itu Salam-Sarane merupakan dua agama sejati dan
merupakan cara hidup beragama Islam-Kristen yang menyadari panggilan keagamaannya untuk
membangun salam damai sejahtera di Maluku.
5. Pro life atau memihak pada hidup
Salam-Sarane menujukan sebuah kekuatan keberagamaan yang pro life untuk
membangun hidup. Lebih dari itu, Salam-Sarane menunjukan inti keberagamaan Islam maupun
Kristen yang membawa dan menawarkan salam kehidupan di tengah ancaman kekacauan,
menegakkan kebersamaan dan persaudaraan di tengah ancaman egoisme dan keangkuhan hidup.
Prinsipnya, Islam maupun Kristen harus menjadi kekuatan dalam membangun, mempertahankan
dan membaharui hidup generasi Maluku (Islam-Kristen) dari godaan arogansi dan keangkuhan
kemanusiaan yang menggiringnya ke dalam jurang konflik dan kehancuran.
6. Pro eksistensi atau memihak pada fakta keberadaan sebagai basudara.
Sebagai kekuatan pro eksistensi, hendak menegaskan bahwa Salam-Sarane dalam
struktur eksistensi kekeluargaan yang kokoh mendasar dalam menjalani pilihan-pilihan
keagamaan yang bebas, berbeda, mandiri dan dewasa. Masyarakat Maluku harus bebas dan
otonom dalam membangun pilihannya masing-masing, namun tidak pernah dapat melepaskan
diri satu dengan yang lain. Pada prinsipnya, hidup bersaudara adalah hal yang kodrati (kodrat
eksistensi) yang bernilai sakral, abadi, dan mutlak dalam keluhuran sejarahnya. Praktisnya, yang
Salam harus menjadi Islam yang baik dan taat kepada agama dan Tuhannya, untuk hidup
berdampingan dengan saudaranya yang Kristen. Sebaliknya, Sarane harus menjadi Kristen yang
baik, yang harus taat kepada Tuhannya dan menjadi Kristen yang baik bagi saudaranya yang
Islam. Kekuatan pro eksistensi nyata dalam falsafah orang Maluku; “potong di kuku rasa di
daging atau sagu salempeng dipatah dua”. 65
7. Manajemen pola kontras
Prinsip ini menunjukan bahwa falsafah keberagamaan Salam-Sarane terbangun dari
sebuah fondasi manajemen pola kontras dengan hidup beragama yang mendalam bagi
pergumulan dunia keberagamaan secara luas. Manajemen ini memberikan dasar konstruktif bagi
setiap generasinya dalam membangun interaksi dan tanggung jawab hidup beragama secara kritis
dan terbuka. Hal ini menjadi sumbangan besar yang berharga bagi manajemen kehidupan
beragama secara global.
Inti dari manajemen pola kontras ini adalah pada kejeniusan dan kemampuan dalam
mengolah dan menata prinsip-prinsip kepercayaan, ajaran, tradisi ibadah, dan aneka pilihan
hidup yang berbeda itu dalam sebuah sistem kekeluargaan (Salam-Sarane basudara). Dengan
ini, agama yang cenderung bersifat tertutup (esoteric) dan bersembunyi di balik klaim-klaim
kebenaran serta kemutlakan diri sendiri secara eksklusif (exsoteric) berubah menjadi agama yang
mampu hidup berdampingan (living together) secara damai, terbuka, kritis dan konstruktif.
8. Menunjukan esensi agama anak-anak Abraham (Abraham religion)
Fakta menunjukan bahwa agama Islam maupun Krsiten adalah agama dengan dasar
keturunan yang khas. Manajemen keberagamaan dalam Salam-Sarane adalah manajemen hidup
agama orang basudara.
9. Menegaskan kepercayaan yang otentik atas kesaksian kitab suci-nya masing-masing.
Salam-Sarane ingin menyuarakan isi penghayatan dan kepercayaan yang otentik atas
nilai-nilai kitab suci di tengah arus kehidupan yang cenderung mengabaikan substansial itu.
10. Memaknakan dimensi ketuhanan yang imanen.
65
Ungkapan bahasa tersebut bukan sekadar permainan kata, tetapi merupakan penyataan hidup mengenai arti
kehidupan beragama dan bermasyarakat yang sesungguhnya.
Keberagamaan masyarakat Maluku, dalam tataran local religion hendak menegaskan
dimensi ketuhanan yang bersifat imanen. Di mana Tuhan bukanlah Tuhan yang jauh untuk
dijangkau tetapi Tuhan sebagai gambaran seorang kakek (tete) yang setia, penyayang terhadap
cucu-cucunya. Ketuhanan itulah yang disebut Tete Manis, Uplera, Opolastala.
2.3.2 Realitas Sosial “Dialog” dalam Pluralitas Keberagamaan
Hubungan antarumat beragama dalam era baru ditandai oleh apa yang disebut dialog.
Dialog berarti percakapan tentang hal-hal yang esensial dan eksistensial.66 Membangun dialog
antar agama menjadi usaha bersama para teolog, para pemimpin agama, maupun siapa saja yang
merasa penting melakukan dialog antar agama bagi kehidupan bersama. Dialog tidak hanya
untuk meningkatkan rasa toleransi, melainkan juga pengalaman transformatif bagi pihak-pihak
yang terlibat. Tujuan dialog bukan hanya terbatas pada kehadiran individu, tetapi ikut secara
aktif menghidupkan dan mengembangkannya.67 Menurut Simatupang, dialog sebagai
pengungkapan rasa tanggung jawab mengenai masa depan dalam keberadaan hidup bersama
dengan tetap setia pada keyakinan dan identitas agama sendiri dan tetap terbuka terhadap
pandangan agama lain sehingga proses dilaog menjadi lebih bermakna.68
Menurut Hans Küng, sasaran dialog yang dilakukan bukan sekedar pada ko-eksistensi
secara damai, tetapi lebih dari itu ialah pro-eksistensi. Küng mengusulkan sasaran dialog yang
lebih terlibat, pragmatis dengan melibatkan semua perbedaan autentik. Küng hendak mengakhiri
fase ko-eksistensi dimana toleransi masih menjadi tujuan utama dari dialog dan mencoba
melangkah lebih jauh tanpa meremehkan pentingnya toleransi (sarana minimal untuk hidup
bersama) dalam Christianity and the world Religions, dia mengawali suatu eksperimen ilmiah di
bidang dialog yang berorientasi ke pro-eksistensi. Hal ini dilakukan bukan sekedar pengumpulan
unsur-unsur persamaan doktrin, tradisi, dsb. Ungkapan Küng merupakan tantangan bagi setiap
66
Olaf Schumann, Dialog Antarumat Beragama: Membuka Babak Baru dalam Hubungan Antarumat
Beragama, Pendahuluan Bagian II oleh Peter Latuihamallo (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 291.
67
Elga Joan Sarapung, “Pengantar: Menegaskan tentang Pluralisme Agama,” dalam Herry Mety & Khairul
Anwar (editor) Prospek Pluralisme Agama di Indonesia (Yogyakarta: Interfidei, 2009), xxiv.
68
Schumann, Dialog Antarumat Beragama,5
orang untuk mengenal agama-agama lain tanpa prasangka, tetapi juga kesempatan untuk
mengenal agamanya sendiri secara kritis melalui agama-agama lain.69
Dialog antarumat beragama di Indonesia tidak dapat dilakukan secara nyata tanpa
memahami Pancasila. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, sebagai tanda dimulainya
sejarah
baru,
Pancasila
mengiringi
setiap
langkah
agama-agama
serta
aliran-aliran
kepercayaan.70 Dialog yang terjadi antar agama menjadi hal penting dalam hubungan dan kerja
sama antar agama. Dialog bisa dilakukan dalam berbagai bentuk dengan berbagai sikap. Dikenal
empat macam dialog yaitu dialog hidup, dialog aksi, dialog teologis dan dialog pengalaman
keagamaan. Melalui dialog hidup, individu dapat membuka hidup terhadap kegembiraan,
kesusahan, keprihatinan dan kegelisahan hidup sesama. Dialog aksi, individu dapat bekerjasama
mengatasi pembatasan-pembatasan yang menghalangi untuk hidup secara bebas dan manusiawi.
Dalam dialog teologis, lapisan “elit” dari suatu agama membicarakan warisan-warisan
keagamaan dengan nilai-nilainya agar dapat memahami dan menghargai. Dalam dialog,
pengalaman keagamaan memberi kesempatan pada para partisipan untuk membagikan
pengalaman-pengalaman keagamaan yang berakar pada tradisi-tradisi agama masing-masing.71
Dialog yang spontan berkembang di dalam praktek kehidupan sehari-hari melalui lingkungan
keluarga, maupun lingkungan sekitar. Di mana orang-orang dari berbagai kepercayaan dan
ideologi bersama menjalani kehidupan sehari-hari sehingga dialog dapat dihubungkan dengan
kehidupan dan menjadi gaya hidup dalam pergaulan.72
Salah satu kasus dialog yang bertanggung jawab secara global menurut Knitter yaitu di
India dan Sri Lanka, „dialog aksi‟ atau dialog kehidupan yang merupakan bagian dari kehidupan
mereka. Dalam kehidupan di desa, ditandai dan dibentuk oleh beberapa kenyataan dominan; a)
69
Sunardi, “Dialog: Cara Baru Beragama”, dalam Abdurrahman Wahid, Dialog: Kritik dan Identitas Agama
(Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994),74-75.
70
Schumann, Dialog,291.
71
Th Sumartana, Pengantar:Menuju Dialog Antar Iman, dalam Abdurrahman Wahid, Dialog: Kritik dan
Identitas Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), xvi-xvii.
72
Schumann, Dialog,91.
upaya sesehari untuk makan, tidur, dan menjaga agar keluarga tetap sehat merupakan suatu
pergumulan memiluhkan; kehidupan sangat sulit, masalah bertumpuk, struktur sosial yang
menindas, b) orang kebanyakan memeluk agama berbeda-beda yang merupakan bagian dari
komunitas desa. Hal ini menunjukan bahwa kehidupan nyata bagi kebanyakan orang India
merupakan pergumulan sehari-hari dengan kemiskinan dan pluralitas agama. Dalam menghadapi
pergumulan hidup, mereka bekerja, dan pola kerja sama kuat dalam kehidupan mereka. Mereka
melakukan sebagai umat beragama yang patuh. Kegiatan memberi-menerima dalam kehidupan
desa di India dan Sri Langka pada umumnya merupakan kegiatan memberi-menerima secara
religius. Dalam kehidupan bersama, ada sejarah merayakan hari raya agama bersama-sama atau
paling tidak umat Hindu dan Muslim dan Kristen saling membantu dan bersama-sama
merayakan Divali atau Natal atau Idul Fitri. Contoh kasus di India dan Sri Langka merupakan
bagian dari dialog liberatif dan transformatif yang terjadi di antara berbagai komunitas majemuk
keagamaan. Suatu dialog yang bertanggung jawab secara global dan menjadi model bagi
kehidupan bersama umat beragama.73
Dialog tidak hanya meningkatkan rasa toleransi tetapi juga pengalaman transformatif dari
pihak-pihak yang terlibat.74 Karena itu, penting menuntut sikap terbuka satu agama dengan
agama yang lain. Dialog sebagai fungsi kritis beragama bukan sebagai wahana untuk
menentukan agama mana yang paling benar. Jika kata „agama‟ dipahami secara konkret dan
bukan secara metafis, maka dialog antar agama berarti dialog antar orang-orang yang beragama.
Dalam dialog, dapat dijadikan cerminan antar pihak-pihak yang terlibat sebagai cara untuk
membuka diri bagi komunitas lain. Proses tersebut sebagai respons yang baik untuk memahami
tradisi komunitas lain dalam berdialog.75 Hal ini berarti manusia mendapat tempat yang sentral
73
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 256-258.
Surnadi, Dialog,75.
75
Leonard Swidler, Death Or Dialogue?: From the Age of Monologue to the Age of Dialogue (London: SCM
Press,1990),62-63.
74
dalam dialog. Dan sebaliknya manusia tidak dipahami secara metafisis, tetapi sebagai manusia
yang konkret. Manusia kongkrit menunjuk orang-orang yang beriman dalam agama, budaya
tertentu. Dalam kongkrit inilah dialog mendapat tempat sebagai fungsi kritis.76
2.4 Kesimpulan
Masyarakat merupakan basis bagi integrasi sosial dalam pluralitas agama. Teori
Durkheim mengenai masyarakat berdasarkan penelitiannya pada masyarakat suku Arunta di
Australia dengan memahami masyarakat dalam dua tipe yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas
organik. Masyarakat sebagai fakta sosial dan harus diperlakukan sebagai benda (thing). Fakta
sosial berhubungan dengan dua hal penting yaitu conscience collective (kesadaran kolektif) dan
representation collective (gambaran kolektif). Gambaran kolektif merupakan bagian dari isi
kesadaran kolektif. Menurut Durkheim, keseluruhan kepercayaan yang dianut bersama menjadi
kekuatan untuk membentuk sistem yang mengatur kehidupan dalam masyarakat sehingga
masyarakat.
Pandangan Durkheim mengenai agama berdasar dari yang sakral. Baginya, bentuk agama
yang paling dasar ialah totemisme. Hal ini ditemukannya pada masyarakat suku Arunta di
Australia. kehidupan yang dilandaskan pada sistem klan yang berkaitan dengan totemisme.
Sistem klan yang terkait dengan hubungan kekerabatan antar individu. Hal ini bukan terjadi
karena hubungan darah tetapi lebih pada perasaan bersama (collective) yang dimiliki oleh
anggota dalam kelompok. Karena itu, Durkheim menegaskan bahwa yang sakral adalah
masyarakat itu sendiri.
Dalam kehidupan masyarakat modern, dengan realitas sosial yang kompleks seperti
pluralitas agama yang terdapat dalam masyarakat memberi ruang gerak bagi integrasi sosial. Hal
ini lahir dari dalam masyarakat sendiri dengan berbagai sistem kehidupan masyarakat tersebut.
76
Sunardi, Dialog,77.
Nilai-nilai budaya yang telah berakar dalam masyarakat mempengaruhi realitas sosial untuk
membentuk integrasi sosial. Realitas keberagamaan orang Maluku, yaitu Salam dan Sarane
menjadi nilai budaya juga sejarah bagi perkembangan keagamaan orang Maluku sendiri. Dan
untuk memelihara kehidupan keagamaan yang plural dibutuhkan tindakan yang konkrit dari
masyarakat sendiri. Hal ini terdapat dalam „dialog aksi‟ sebagai bentuk realitas sosial dari
pluralitas keberagamaan.
Download