PCR

advertisement
JITV Vol. 13 No.2 Th. 2008
Uji Konfirmasi Isolat Lokal Terduga Mycobacterium avium Subspecies
Paratuberculosis Menggunakan Polymerase Chains Reaction (PCR) F57
WIDAGDO SRI NUGROHO1, RAHMAT SETYA ADJI2 dan AETH WAHYUNI3
1
Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta
2
Laboratorium Bakteriologi, Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor
3
Bagian Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada Yogyakarta
(Diterima dewan redaksi 08 Maret 2008)
ABSTRACT
NUGROHO, W.S., R. SETYA ADJI and A. WAHYUNI. 2008. Confirmation test of suspected Mycobacterium avium subspecies
paratuberculosis (MAP) isolated using PCR F57. JITV 13(2): 127-132.
Seropositive and isolate suspected as Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) was detected at dairy cows
in West Java. This bacteria causes Johne’s disease (JD) and potentially becomes a new emerging disease for Indonesian dairy
cows. The aim of this study was to confirm the suspected local isolate as a MAP distinctively by PCR. Reculture of MAP
reference isolate, suspected local isolate done by resuspending bacteria in PBS 0.5% and inoculating it in Herrold’s egg yolk
medium with mycobactin J (HEYM) and than inoculating it in 37oC for 16 weeks. The cultures grew in various time,
Mycobacterium avium subspecies avium was detected in 3rd week, MAP reference was detected in 7th week, and local isolate
was detected in 14th week. The confirmation test was carried out by PCR with primer F57. The PCR F57 result showed that
MAP suspected isolate was not a Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis.
Key Words: Local Isolate, Mycobacterium avium Subspecies Paratuberulosis, PCR F57
ABSTRAK
NUGROHO, W.S., R. SETYA ADJI dan A. WAHYUNI. 2008. Uji Konfirmasi Isolat Lokal Terduga Mycobacterium avium Subspecies
Paratuberculosis Menggunakan Polymerase Chains Reaction (PCR) F57. JITV 13(2): 127-132.
Seropositif dan satu isolat terduga terhadap Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis (MAP) ditemukan pada sapisapi di daerah Jawa Barat. Bakteri ini menyebabkan penyakit Johne (JD) dan berpotensi menjadi penyakit baru pada sapi perah
di Indonesia. Penelitan ini bertujuan untuk memastikan isolat yang diduga kuat sebagai bakteri MAP dengan menggunakan PCR.
Pembiakan ulang isolat MAP referensi, isolat terduga MAP, dan Mycobacterium avium subspecies avium dilakukan dengan
melarutkan bakteri ke dalam PBS 0,5% kemudian diinokulasikan ke herrold’s egg yolk medium yang diperkaya mycobactin
(HEYM) dan diinkubasi pada suhu 370C selama 16 minggu. Biakan bakteri tumbuh dengan waktu yang bervariasi, isolat MAV
terdeteksi mulai minggu ke-3, isolat MAP referensi mulai minggu ke-7 dan isolat lokal terdeteksi mulai minggu ke-14. Uji
konfirmasi dilakukan dengan uji reaksi polimer berantai (PCR) dengan menggunakan primer F57. Hasil uji PCR F57 tehadap
isolat lokal terduga MAP menunjukkan bahwa isolat tersebut bukan Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis.
Kata Kunci: Isolat lokal, Mycobacterium avium Subspecies Paratuberulosis, PCR F57
PENDAHULUAN
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis
(MAP) termasuk bakteri dalam keluarga Mycobacteria,
spesies Mycobacterium avium complex (MAC) (HARRIS
dan BARLETTA, 2001). Mikroba ini merupakan bakteri
yang dapat ditemui di alam, tergolong Gram positif,
berbentuk batang dengan ukuran 0,2-0,7 X 1-10 µm,
non motil, tahan asam dan alkohol, suhu pertumbuhan
25-45oC dengan suhu optimal 39oC, tumbuh lambat 424 minggu (SCAHAW, 2000). Bakteri MAP memerlukan
mycobactin yaitu senyawa hidroksimat pengikat besi
untuk metabolisme sel, selain itu bakteri juga mampu
tumbuh pada konsentrasi garam < 5% pada pH 5,5 atau
lebih (GRIFFITHS, 2003). Bakteri ini juga memiliki
kemampuan bertahan di dalam makrofag meskipun
sifatnya fakultatif (BANNANTINE dan STABEL, 2002).
Karakter lain yang menonjol adalah kemampuan tahan
terhadap panas. Hal ini terbukti dengan masih
ditemukannya bakteri MAP dari beberapa susu
pasturisasi yang dijual di berbagai supermarket di
Inggris (GRANT et al., 2002) dan Irlandia (O’REILLY et
al., 2004).
Pertumbuhan
bakteri
MAP
yang
lambat
mempengaruhi perkembangan penyakit dan imunitas di
dalam tubuh inang. Fase infeksi ini berpengaruh pada
tanggap kebal dan pengeluaran bakteri dari tubuh
hewan. Perkembangan penyakit ini juga mempengaruhi
sensitivitas dan spesifisitas alat diagnostik. Pengujian
terhadap keberadaan MAP dibagi menjadi 2 kelompok
127
NUGROHO et al. Uji konfirmasi isolat lokal terduga Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis
yaitu pengujian untuk mengidentifikasi agen dan
pengujian terhadap tanggap kebal hewan. Identifikasi
MAP dapat dilakukan dengan beberapa uji seperti
pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan ZiehlNeelsen, media isolasi, dan polymerase chain reaction
(PCR). Diagnosis MAP berdasarkan respon imun
humoral dapat dilakukan dengan ELISA, complement
fixation test (CFT), agar gel immuno difussion (AGID)
dan uji hipersensitivitas. Deteksi dengan metoda CFT
dan ELISA paling sering digunakan karena lebih cepat
memberikan hasil dibandingkan dengan metoda isolasi.
Kelemahan metoda ini adalah sensitivitas diagnosis
yang rendah pada fase infeksi awal, namun pada fase
klinis metoda ini memberi hasil yang sangat baik
(SCAHAW, 2000).
Saat ini metoda PCR banyak dipakai untuk
mendeteksi MAP. Sekuen IS 900 sebagai primer MAP
untuk diagnosis dengan PCR, pertama kali
diperkenalkan oleh GREEN et al. (1989). Primer ini
dapat membedakan MAP dari M. avium complex, M.
silvaticum, dan bakteri lainnya. Ukuran sekuen IS 900
cukup panjang mencapai 1451 bp sehingga beberapa
peneliti merancang primer dari sekuen tertentu IS 900
sehingga ukurannya lebih pendek. Ketepatan pemilihan
sekuen ini ternyata mempengaruhi hasil PCR dan
memungkinkan adanya positif palsu. Primer IS 900
komersil ternyata memiliki sekuen yang tumpang tindih
dengan IS1626 dari Mycobacterium avium subspecies
avium (MAV) (HARRIS dan BARLETTA, 2001).
Beberapa peneliti menggunakan sekuen lain dari IS900
dan mendapatkan hasil dengan kemampuan deteksi
mencapai 1 sel/ml dan daya pembeda yang tinggi
sehingga primer inipun memiliki kinerja yang baik
untuk mendeteksi MAP (BULL et al., 2003)
COCITO et al. (1994) merancang primer lain yang
dikloning dari vektor transkripsi DNA MAP. Ukuran
sekuen ini sebesar 620 bp dengan komposisi G+C
mencapai 58%. Pengembangan primer F57 ini
dilakukan oleh VANSNICK et al. (2004) dengan primer
F57 (forward) yang memiliki posisi annealing pada
151-176 (F57) dan primer R57 (reverse) dengan posisi
annealing 558-580 yang akan menghasilkan produk
sekuensing 432 bp (VANSNICK et al., 2004). Ukuran
sekuen ini jauh lebih pendek dibandingkan dengan total
sekuen IS 900 (GREEN et al., 1989) dan terbukti
memiliki akurasi yang lebih baik.
Dugaan
keberadaan
MAP
di
Indonesia
diindikasikan berdasarkan reaksi serologis (ELISA)
positif terhadap Mycobacterium avium subspecies
paratoberculosis (MAP) pada sapi perah di wilayah
Jawa Barat. Tiga ekor dari 180 sapi perah terdeteksi
seropositif MAP dan diperoleh 1 isolat yang diduga
kuat sebagai bakteri MAP (ADJI, 2004). Konfirmasi
terhadap isolat bakteri ini belum dilakukan mengingat
tidak adanya bakteri MAP referensi dan penyakit ini
termasuk kategori baru (emerging disease) di Indonesia.
128
Penelitan ini bertujuan untuk konfirmasi isolat yang
diduga kuat sebagai bakteri MAP yang diperoleh dari
Indonesia dengan uji PCR menggunakan primer F57.
MATERI DAN METODE
Pembiakan ulang isolat terduga MAP
Isolat bakteri yang digunakan adalah isolat yang
diduga sebagai MAP (paratb 38) (ADJI, 2004), isolat
referensi MAP (paratb A) dan isolat Mycobacterium
avium subspecies avium (MAV) yang diperoleh dari
Institut fǜr Tierarzlitches Nahrungsmittelkunde der
Justus-Liebig Universitat, Giessen, Germany. Masingmasing sediaan diambil satu ose dan dilarutkan ke
dalam 1000 µl PBS 0,5% dalam tabung reaksi dan
dihomogenkan menggunakan vorteks. Suspensi
sebanyak 250 µl diinokulasikan ke dalam Herrold’s egg
yolk medium yang diperkaya mycobactin j (HEYM) ke
dalam 4 tabung. Media HEYM diinkubasi pada suhu
370C selama 16 minggu. Bakteri yang tumbuh
selanjutnya disiapkan untuk karakterisasi molekuler
dengan metoda PCR dengan primer spesifik F57.
Ektraksi asam deoksiribonukleat (DNA).
Isolat bakteri yang tumbuh pada media HEYM
diambil menggunakan ose dan dilarutkan ke dalam
1000 µl PBS 0,5% dalam tabung Ependorf selanjutnya
dihomogenkan menggunakan vorteks hingga larutan
tampak sedikit keruh. Semua sediaan disentrifus pada
kecepatan 13.000 spm selama 30 menit. Supernatan
dibuang sebanyak 950 µl dan pelet dilarutkan kembali
dengan larutan penyangga TE 180 µl untuk selanjutnya
dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 370C selama 1
jam. Suspensi dipanaskan dengan penangas air pada
suhu 1000C selama 10 menit dan dilanjutkan dengan
menambahkan 30 µl proteinase K (Qiagen Kit,
Germany) dan 200 µl AL Buffer (Qiagen Kit,
Germany) dikocok lembut dan diinkubasi pada suhu
560C selama 2 jam. Tahap ekstraksi selanjutnya
mengikuti prosedur dari produsen DNeasy® Tissue Kit
(Qiagen Kit, Germany).
Amplifikasi menggunakan fragmen DNA spesifik
F57
Prosedur amplifikasi PCR fragmen DNA spesifik
F57 menggunakan oligonukleotida primer F57/R57
(VANSNICK et al., 2004). Amplifikasi PCR F57
dilakukan dalam 50 µl larutan reaksi yang mengandung
1,5 µl masing-masing primer (10 pmol/µl), 1,5 µl
dNTP-mix (10 mmol/µl) (MBI Fermentas, St. LeonRot, Germany), 5 µl GeneAmp 10x PCR Gold Buffer
JITV Vol. 13 No.2 Th. 2008
(150 mM Tris-HCL, 500 mM KCL, pH 8,0) (Applied
Biosystem, Darmstadt, Germany), 2,0 µl MgCl2 (25
mM) (Applied Biosystem), 0,35 µl AmpliTaq Gold®
polymerase (5 U/µl, Applied Biosystem), 33,15 µl
aquades steril, dan 5,0 µl DNA template ditambahkan
kemudian. Program amplifikasi untuk F57 dilakukan
dengan urutan 1 siklus pada suhu 94°C selama 10
menit, 40 siklus pada suhu 95°C selama 1 menit, 58°C
selama 1 menit dan pada suhu 72°C selama 3 menit,
dan dilanjutkan dengan 1 siklus pada suhu 72°C selama
7 menit dengan menggunakan mesin PCR Gene Amp
PCR System 9700 (Applied Biosystem, Singapore).
Hasil PCR (12 µl) dicampur dengan 3 µl larutan blue
loading dye (MBI Fermentas) dan diseparasi dalam 2%
agarose gel electroforesis (Biozym, HessischOldendorf, Germany) pada tegangan 130 volt dalam
larutan penyangga 1x TAE (0,04 mol/l Tris; 0,001 mol/l
EDTA; pH 7,8). Marker yang digunakan adalah 100 bp
DNA ladder (MBI Fermentas, St. Leon-Rot, Germany).
Hasil elektroforesis diwarnai dengan larutan etidium
bromide (Sigma, Taufkirchen, Germany) dan
divisualisasi menggunakan UV transluminator dan
difoto (Pollaroid Corp).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan bakteri dari isolat MAV mulai
ditemukan pada minggu ke-3 dan isolat paratb A mulai
ditemukan pada minggu ke-7 (Gambar 1). Tampak
koloni MAP referensi (paratb A) berbentuk lingkaran
dengan tepi tidak rata, berwarna krem dan mengkilap.
Sementara isolat paratb 38 belum terlihat
pertumbuhannya. Hingga minggu ke-10 bakteri isolat
paratb 38 juga belum memperlihatkan pertumbuhan.
Sedikit koloni kecil paratb 38 (<7 koloni) baru terlihat
pada minggu ke-14 dari satu tabung HEYM.
Daya tumbuh isolat paratb 38 tidak secepat isolat
referensi meskipun ditumbuhkan pada media yang telah
diperkaya dengan mycobactin. Sejak diperoleh tahun
2004, isolat lokal (paratb 38) tersebut baru pertama kali
dibiak-ulangkan dalam penelitian ini sedangkan isolat
MAP referensi (paratb A) sudah dibiak-ulangkan
beberapa kali secara rutin. Isolat bakteri MAP yang
sudah dipelihara dengan baik di laboratorium
membutuhkan waktu tumbuh lebih singkat karena
kecukupan nutrisi (SCAHAW, 2000). Isolat lapang
sangat membutuhkan mycobactin untuk daya hidup
yang lebih baik karena keterbatasan nutrisi pada media
hidup sebelumnya. Mycobacterium avium subspecies
paratuberculosis merupakan bakteri yang tidak mampu
Gambar 1. Pertumbuhan bakteri MAP pada Media HEYM minggu ke-7
129
NUGROHO et al. Uji konfirmasi isolat lokal terduga Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis
menghasilkan mycobactin sendiri meskipun mampu
menghasilkan eksoselin. Kedua senyawa siderofor
tersebut dibutuhkan untuk mengkelasi zat besi dari
lingkungan ke dalam sel bakteri, namun pada MAP
peran mycobactin lebih dominan daripada eksoselin
(BARCLAY dan RATLEDGE, 1983).
Penurunan kualitas nutrisi pada media yang
digunakan sejak isolasi pertama kali menjadi faktor
penghambat
pertumbuhan
isolat
paratb
38.
Pertumbuhan MAP lebih lambat dari spesies lain
sehingga kalah bersaing dengan bakteri Mycobacterium
lingkungan yang tumbuh lebih cepat. Kondisi ini
mengakibatkan sifat isolat paratb 38 kembali seperti
isolat lapang karena mengalami defisiensi nutrisi dan
senyawa siderofor. Penambahan Mycobactin pada
media menjadi faktor utama yang dapat membantu
isolat tersebut tumbuh setelah berada dalam kondisi
nutrisi yang jelek.
Pembuktian isolat paratb 38 yang tumbuh pada
media HEYM baru dan lama sebagai MAP dilakukan
dengan PCR menggunakan primer F57 dan hasilnya
tampak pada Gambar 2. Kolom 2-5 menunjukkan pita
DNA target dari primer F57 yang berasal dari isolat
referensi (paratb A). Pita DNA tidak ditemukan pada
kolom 6-8 yang merupakan isolat terduga MAP (paratb38) dan kolom 9-11 yang merupakan isolat MAV.
Kolom 12 menunjukkan gambar pita DNA dari kontrol
positif MAP dengan ukuran 432 bp. Hasil di atas
memperlihatkan secara jelas bahwa isolat paratb-38
yang diduga MAP (ADJI, 2004) terbukti bukan
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis.
Primer F57 merupakan satu alternatif yang sangat
baik untuk mendeteksi MAP bahkan mampu
1
2
3
4
5
6
mengidentifikasi MAP dengan baik dari jaringan hewan
penderita JD yang telah diparafin. Hingga saat ini
sekuen F57 tidak memiliki homologi dengan sekuen
lain (COETSIER et al., 2000). VANSNICK et al. (2004)
memperlihatkan kinerja primer F57 yang sangat baik
yaitu mampu mendeteksi MAP hingga 1 CFU dan tidak
mengamplifikasi DNA dari bakteri lain termasuk dari
MAV.
Isolat paratb 38 yang tumbuh pada media yang
diperkaya mycobactin dengan waktu tumbuh yang lama
tidak dapat diamplifikasi oleh primer F57 ini. Selain
MAP beberapa strain MAV diketahui memiliki sifat
ketergantungan terhadap mycobactin bahkan tidak
mampu menghasilkan sendiri senyawa tersebut
(BARCLAY and RATLEDGE, 1983). Hal ini membuka
kemungkinan bahwa isolat paratb 38 termasuk dalam
strain MAV yang tergantung pada mycobactin namun
hal ini perlu pembuktian lebih lanjut. Kedekatan genetis
MAV dan MAP diketahui cukup tinggi (97%) namun
demikian masih dapat dibedakan dengan melihat
multiple cluster divergent ORF-nya (PAUSTIAN et al.,
2005).
Hasil konfirmasi PCR ini juga tidak sejalan dengan
hasil uji ELISA yang memperlihatkan seropositif
terhadap MAP (ADJI, 2004). Hal ini dapat terjadi oleh
beberapa kemungkinan yaitu variasi sensitivitas uji
ELISA dan fase respon sistem kekebalan hopes dan
reaksi silang dengan M. avium complex (MAC).
Sensitivitas ELISA bervariasi mulai 42 - 88% sehingga
seringkali diperoleh hasil yang berbeda antara uji
serologis ini dengan hasil isolasi (COLLINS 2002;
7
8
9
10 11
12
13
600
bp
500
432
bp
400
bp
300
bp
200
Gambar 2.
Hasil uji konfirmasi PCR F57 isolat lokal terduga MAP
Keterangan: Kolom 1 dan 14: marker Generuler 100bp DNA Ladder (Fermentas, Germany), kolom 2-5:
DNA partb A, kolom 6-8: paratb-38, kolom 9-11: MAV, kolom 12: kontrol positif, kolom 13:
kontrol negatif
130
JITV Vol. 13 No.2 Th. 2008
McKENNA et al., 2005). Reaksi tanggap kebal humoral
mulai dapat terdeteksi pada fase pre-klinis tanpa disertai
pengeluaran bakteri MAP di dalam fesesnya (McKENNA
et al., 2005; ROUSSEL et al., 2007). McKENNA (2005)
menjelaskan bahwa fase perkembangan penyakit pada
hospes berkaitan erat dengan hasil uji ELISA. Pada fase
preklinis sensitivitas ELISA masih sangat rendah dan
akan meningkat pada fase klinis seiring reaksi tanggap
kebal hospes. Pendapat OSTERSTOCK et al. (2007)
sejalan dengan ROUSELL et al. (2007) yang
menyebutkan bahwa spesifisitas ELISA relatif tinggi
yaitu 91-95% dengan melakukan absorbsi serum
menggunakan M. Phlei. Namun demikian masih sering
terjadi reaksi silang dengan MAC khususnya M.
intraseluler sehingga dihasilkan reaksi positif palsu.
Hal inilah yang menyebabkan seringkali diperoleh hasil
uji serologis yang tidak sesuai dengan isolasi bakteri
dari feses. Hal senada juga dikemukakan oleh WHIPPLE
et al. (1992) yang menyatakan bahwa secara umum,
analisis PCR seringkali tidak sesuai hasilnya dengan uji
serologis khususnya apabila hanya sedikit bakteri yang
ada pada feses.
Perkembangan penyakit MAP di Indonesia harus
mendapat perhatian lebih mengingat pada tahun 2007
dan 2008 ini semakin banyak ditemukan seropositif
berdasarkan uji ELISA pada sapi perah lokal maupun
eks impor (Balai Besar Veteriner Bogor, belum
dipublikasi). Informasi terakhir ini menjadi masukan
berharga untuk terus memonitor perkembangan kasus
sekaligus mengembangkan alat diagnostik di dalam
negeri mengingat harga alat uji MAP impor masih
sangat mahal.
KESIMPULAN
Isolat lokal terduga MAP yang diperoleh dari hewan
yang terdeteksi serologi posotif terhadap MAP tidak
memperlihatkan pita DNA target (432 bp), sehingga
dapat disimpulkan bahwa isolat tersebut bukan
Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih disampaikan kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan
Nasional yang telah mendanai penelitian ini melalui
Hibah Bersaing XV dengan no. Kontrak LPPMUGM/527/2007, Institut für Milchwissenschaften,
Justus Liebig University Germany yang telah
memberikan isolat MAP referensi kepada peneliti, sdr.
Agus Effendi dan sdri. Rina Dewayanti yang telah
membantu dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
ADJI,
R.S. 2004. Isolasi dan uji serologi terhadap
Mycobacterium paratuberculosis pada sapi perah. Di
dalam: Iptek Sebagai Motor Penggerak Pembangunan
Sistem dan Usaha Agribisnis Peternakan. Prosiding
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner;
Bogor, 4-5 Agustus 2004. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. hlm
281-284.
BANNANTINE, J.P. and J.R. STABEL. 2002. Killing of
Mycobacterium avium subsp. Paratuberculosis within
macrophages.
http://www.biomedcentral.com/14712180/2/2 (15 Juli 2005).
BARCLAY, R. and C. RATLEDGE. 1983. Iron-binding
compounds of Mycobacterium avium, M. intracellulare,
M. scrofolaceum, and mycobactin-dependent M.
paratuberculosis and M. avium. J. Bacteriol. 153: 11381146.
BULL, T.J., E.J. MCMINN, K.S. BOUMEDINE, A. SKULL, D.
DURKIN, P. NEILD, G. RHODES, R. PICKUP and J.
HERMON-TAYLOR. 2003. Detection and verification of
Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis in fresh
ileocolonic mucosal biopsy specimens from individuals
with and without Crohn’s disease. J. Clin. Microbiol.
41: 2915-2923.
COCITO, C, GILOT P, COENE M, M. DE KESEL, P. POUPART and
P. VANNUFFEL. 1994. Paratuberculosis. Clin. Microbiol.
Rev. 7: 328-345.
COETSIER, C., P. VANNUFFEL, N. BLONDEEL, J. DENEF, C.
COCITO and J. GALA. 2000. Duplex PCR for differential
identification of Mycobacterium bovis, M. avium, and
M. avium subsp. paratuberculosis in formalin-fixed
paraffin-embedded tissues from cattle. J. Clin.
Microbiol. 38: 3048–3054.
COLLINS, M.T. 2002. interpretation of commercial bovine
paratubercolosis enzyme-linked immunosorbent assay
by using likelihood ratios. Clin. Diag. Lab. Immunol. 9:
1367-1372.
GRANT, I.R., H.J. BALL and M.T. ROWE. 2002. Incidence of
Mycobacterium paratuberculosis in bulk raw and
commercially pasteurized cows milk from approved
dairy processing establishments in the United Kingdom.
Appl. Environ. Microbiol. 68: 2428-2435.
GREEN, E.P., M.L.V. TIZARD, M.T. MOSS, J. THOMPSON, D.J.
WINTERBOURNE, J.J. MCFADDEN and J. HERMONTAYLOR. 1989. Sequenc e and characteristics of IS900,
an isertion element identified in a human Crohn’s
disease isolate of Mycobacterium paratuberculosis.
Nucleid Acids Res. 17: 9063-9073.
GRIFFITHS, M. 2003. Mycobacterium paratuberculosis. In:
BLACKBURN CW. & MCCLURE PJ. (Ed). Food-borne
Pathogenes, Ed. ke-1. North America: Woodhead
Pub.Ltd. and CRC press. hlm 489-500.
131
NUGROHO et al. Uji konfirmasi isolat lokal terduga Mycobacterium avium subspecies paratuberculosis
HARRIS, N.B. and R.G. BARLETTA. 2001. Mycobacterium
avium subsp. paratuberculosis in veterinary medicine.
Clin. Microbiol. Rev. 14: 489-512.
O’REILLY, C.E., L. O’CONNOR, W. ANDERSON, P. HARVEY, I.R.
GRANT, J. DONAGHY, M.T. ROWE and P. O’MAHONY.
2004. Surveillance of bulk raw and commercially
pasteurized cows’ milk from approved Irish liquid-milk
pasteurization plants to determine the incidence of
Mycobacterium paratuberculosis. Appl. Environ.
Microbiol. 70: 5138-5144.
OSTERSTOCK, J.B., G.T. FOSGATE, B.O. NORBY, E.J.B.
MANNING, M.T. COLLINS and A.J. ROUSSELL. 2007.
Contribution of enveriontmental Mycobacteria to falsepositive serum ELISA results for Paratuberculosis, J.
Am. Vet. Med. Assoc. 230: 896-901.
McKENNA, S.L.B., D.C. SOCKET, G.P KEEFE, J. MCCLURE, J.A.
VANLEEUWEN and H.W. BARKEMA. 2005 Comparison of
two enzyme-linked immunosorbent assay for diagnosis
of Mycobcaterium avium subsp.paratuberculosis. J. Vet.
Diagn. Invest. 17: 426-466.
PASUTIAN, M.L., V. KAPUR and J.P. BANNANTINE. 2005.
Comparative genomic hybridizations reveal genetic
regions within the Mycobacterium avium complex that
132
are divergent from Mycobacterium avium subspecies
paratuberculosis isolates. J. Bacteriol. 187: 2406-2415.
ROUSSEL, A.J., G.T. FOSGATE, E.J.B. MANNING and M.T.
COLLINS. 2007. Association of fecal shedding of
Mycobcateria with ELISA-determined seroprevalence
for Paratubeculosis in beef herds. J. Am. Vet. Med.
Assoc. 230: 890-895.
SCAHAW (Scientific Committee on Animal Health and Animal
Welfare). 2000. Possible links between Crohn’s disease
and
Paratuberculosis.,
European
Commission,
Directorate-General Health & Consumer Protection.
VANSNICK, E., P. DE RIJK, F. VERCAMMEN, D. GEYSEN, L.
RIGOUTS and F. PORTAELS. 2004. Newly developed
primers for detection of Mycobacterium avium
subspecies paratuberculosis. Vet. Microbiol. 100: 197204.
WHIPPLE, D.L., P.A. KAPKE and P.R. ANDERSEN 1992.
Comparison of comercial DNA probe test and three
cultivation procedures for detection of Mycobacterium
paratuberculosis in bovine feces. J. Vet. Diagn.
Investig. 4: 23-27.
Download