I I . TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan mangrove Hutan mangrove merupakan vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tiunbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2001). Menurut Supriharyono, (2000) mengatakan bahwa mangrove tumbuh subur pada daerah tropis dekat ekuator, tetapi mangrove juga dapat tumbuh di daerah subtropis yaitu 35 LU - 35 LS. Karakteristik hutan mangrove yaitu umumnya mampu tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempimg, atau berpasir, daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pumama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove, menerima pasokan air tawar yang cukup dari air darat, terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil) (Bengen, 2001) Karakteristik hewan mangrove: hewan yang menetap di kawasan mangrove kebanyakan hidup pada substrat keras sampai limipur. Hewan mangrove hidup pada substrat dengan cara berendam pada lubang lumpur, yang berada pada permukaan substrat maupun yang menempel pada perakaran pepohonan. Ketika air surut hewan tersebut turun untuk mencari makan. Hewan-hewan tersebut yaitu krustacea, policaeta, amphibia, moluska dan hewan-hewan lain. Kehidupan berbagai jenis hewan ini menunjang keberadaan unsur hara yang berupa detritus, diantara berbagai jenis hewan ini, dapat berperan sebagai dekomposer awal. 4 Menurut Nontji, (1993) sumbangan terpenting dari hutan mangrove melalui luruhan daunnya yang akan menjadi serasah. Serasah ini akan terdekomposisi sehingga akan menghasilkan bahan organik. Kandungan organik pada hutan mangrove ini merupakan nutrien bagi hewan-hewan yang hidup didalamnya sehingga memungkinkan untuk tempat asuhan {nursery ground), daerah mencari makan {feeding ground) dan daerah pemijahan {spawning ground). Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, perkebunan, pembangunan industri, sarana transportasi, dll). Tekanan ekologis terhadap ekosisitem pesisir khususnya hutan mangrove meningkat pula. Meningkatnaya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konservasi lahan) maupun secara tidak langsimg (misalnya pencemaran oleh limbah dan penggunaan pestisida pada pembuatan tambak). Tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir selain memberikan dampak pada ekosistem mangrove juga berpengaruh terhadap hewan-hewan yang hidup di dalamnya sebab menurut Arif, (2001) mangrove yang telah rusak dapat memusnakan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makan, asuhan dan pemijahan). Keadaan ini dapat mengurangi populasi hewan-hewan mangrove tersebut. 2.2. Moluska Moluska berasal dari bahasa Romawi yaitu Molis yang berarti lunak. Jenis moluska yang umum dikenal adalah siput, kerang, dan cumi-cumi. Moluska memiliki tubuh simetri bilateral, tertutup mantel, mempunyai cangkang dan mempunyai kaki ventral. Saluran pencemaan lengkap dan di dalam rongga mulut terdapat radula kecuali 5 pada pelecypoda. Mulut berhubungan dengan eosofagus, perut dan usus melingkar. Anus terletak pada tepi dorsal rongga mantel di bagianposterior. Jantung moluska terdiri dari dua serambi dan satu bilik. Alat pemafasan pada moluska berupa sepasang insang "ctenidia", beberapa jenis mempunyai "paru-paru" atau keduanya. Alat indra moluska terletak pada rongga mantel yang disebut osphradium, yang berfungsi sebagai chemoreceptor dan juga mendeteksi jumlah sedimen yang terbawa aliran air masuk. Kebanyakan moluska mempunyai kaki yang besar dan datar untuk hidup sebagai hewan bentik. Sistem syaraf terdiri dari cicin syaraf, yang sepasang berhubungan dengan kaki dan sepasang lagi berhubungan dengan mantel serta organ-organ dalam (Suwigyo et al., 2005). Menurut Nontji, (1993) sebagian besar moluska hidup di air laut, tetapi banyak yang ditemukan di air tawar dan beberapa di darat. Filum ini terbagi dalam 5 kelas besar, yaitu Amphineura, Gastropoda, Bivalva, Chepalopoda dan Scapopoda. 2.2.1 Kelas Amphineura Kelas Amphineura yang dalam istilah Inggris dikenal dengan nama chiton dengan bentuk tubuh oval dan cangkang yang terbagi menjadi delapan lempengan dorsal. Chiton mempunyai kaki berotot yang dapat digimakan untuk merangkak perlahan-lahan diatas permukaan batuan dan mempunyai radula untuk memotong dan menelan alga (Campbell et al., 1987). Menurut Nontji, (1978) chiton juga memiliki kaki lebar yang berfungsi untuk melekat dengan kuat pada batu-batu karang pantai. Menurut Suwigyo et al., (2005) chiton bergerak sangat lambat dan betah menempati suatu lokasi untuk waktu yang lama apabila persediaan makanan cukup banyak. Makanannya adalah ganggang dan organisme kecil lain yang melekat di permukaan batu yang dikerok melalui radula. Rongga mulut 6 berhubungan dengan esophagus, kemudian perut usus yang melingkar dan anus. Sisa pencemaan keluar dari anus. 2.2.2 Kelas Gastropoda Gastropoda berarti kaki perut (Y: Gaster = perut; podus = kaki) (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Kelas gastropoda lebih umum dikenal dengan keong. Di Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 1500 jenis. Hampir seluruh gastropoda tertutupi oleh lapisan mantel yang tipis yang biasanya dilindungi oleh cangkang yang mengandung kalsium karbonat (CaCOa) cangkangnya berbentuk tabung yang melingkar-lingkar seperti spiral, pertumbuhan cangkang yang melingkar-lingkar seperti spiral itu disebabkan karena pengendapan bahan cangkang di sebelah luar berlangsung lebih cepat dari yang sebelah dalam (Nontji, 1993). Cangkang gastropoda digunakan untuk melindungi diri jika berada dalam ancaman bahaya. Beberapa jenis gastropoda mempunyai lempeng yang keras dan bundar berzat kapur atau berzat tanduk di bagian belakang kakinya, lempeng ini disebut operculum untuk menutup lubang cangkang (Nontji, 1993). Menurut Kimball, (1991) untuk mencari makan gastropoda menggimakan radula berparut yang menyerupai lidah, hewan ini kepala yang jelas dengan dua mata yang seringkali terdapat diatas tangkai. Sebagian besar spesies gastropoda hidup dalam air laut tetapi beberapa diantaranya juga ditemukan dalam air tawar bahkan ada yang di darat, yang hidup di darat bemafas dengan menggunakan alat yang menyerupai paru-paru pada mantel. Alat pencemaan meliputi rongga mulut (cavum oris), oesophagus, kelenjar ludah, lambung, kelenjar pencemaan usus rectum dan anus. Makanan siput berupa tumbuh|\^|^J3uhan, ada juga yang menelan lumpur untuk mengambil partikel-partikel organik 7 yang ada di dalamnya. Darah gastropoda tidak berwama terdiri dari plasma darah, butirbutir darah. Alat ekresi berupa nefridia dan beberapa diantaranya adalah diocious dan monocious (Hegner dan Engemann, 1968). Menurut Kimball, (1991) fertilisasi secara internal, telur maupun individu yang masih muda dilindungi oleh bangunan semacam kapsul. 2.2.3 Kelas Bivalvia atau Pelecypoda Bivalvia atau yang lebih sering dikenal dengan kerang mempunyai dua keping cangkang yang setangkup, bentuk cangkangnya digunakan untuk identifikasi. Diperkirakan terdapat 1000 jenis kerang yang hidup di perairan Indonesia. Kerangkerangan ini ada yang hidup menetap di dasar laut, ada yang membenamkan diri dalam pasir atau lumpur bahkan ada pula yang membenamkan diri dalam karang-karang batu (Nontji, 1993). Bivalvia memiliki bentuk tubuh simetri bilateral (Kimball, 1991). Bivalvia bemafas dengan menggunakan insang yang terdapat di dalam rongga mantelnya. Insang umiminya berbentuk lembaran-lembaran yang berjumlah 1 atau 2 pasang (Dharma, 1988). Bivalvia tidak mempunyai kepala, tentakel yang nyata dan radula seperti gastropoda (Romimohtarto dan Juwana, 2001) Bivalvia yang membentmikan diri dalam pasir atau lumpur mempimyai tabung yang disebut sifon yang terdiri dari saluran-saluran untuk memasukkan air (inhalon siphon) dan saluran yang lainnya untuk mengeluarkan air (exhalon siphon). Semakin dalam bivalvia membenamkan diri dalam lumpur atau pasir maka semakin panjang siphonnya (Dharma, 1988). Pada imiumnya bivalvia memperoleh makanannya dengan menyaring partikel-partikel yang terdapat dalam air laut. Insangnya mempunyai rambut-rambut getar yang menimbulkan aras yang mengalir masuk ke dalam 8 mantelnya, sekaligus menyaring plankton makanannya dan memperoleh oksigen untuk respirasinya (Nontji, 1993). Menurut Hegner (1968), bivalvia mempunyai tiga macam otot yang terletak menempel pada dinding bagian dalam cangkang, yaitu otot retraktor, otot protraktor dan otot aduktor. Otot aduktor merupakan otot yang besar dan kuat berfungsi sebagai pembuka dan penutup cangkang. Sedangkan otot retraktor bentuknya lebih kecil dan berfungsi sebagi kaki penjulur dan penarik kaki. 2.2.4 Kelas Cephalopoda Romimohtarto dan Juwana, (2001) mengatakan bahwa kata Cephalopoda berasal dari kata (Y: cephale = kepala; podus = kaki), tubuh simetri bilateral, sebuah kaki yang terbagi menjadi lengan-lengan yang dilengkapi alat penghisap, dan sistem syaraf yang berkembang baik terpusatkan di kepala, mempxmyai mata yang mirip dan berfungsi seperti mata vertebrata, berenang dengan cepat, menunjukkan emosi dan dapat berenang merayap di dasar atau berenang di dekat dasar. Kelompok hewan ini berbadan lunak dan tidak mempunyai cangkang tebal seperti kelas yang lain. Mantelnya menyelimuti sekeliling tubuh. Sebuah siphon yang menyedot air untuk mengeluarkan semprotan air untuk mendorong hewan bergerak cepat. Termasuk dalam kelas ini adalah cumi-cumi, sotong, gurita dan nautilus. 2.2.5 Kelas Scaphopoda Meskipun tidak jarang di dapat, hewan ini tidak dikenal oleh sebagian besar masyarakat. Scaphopoda mempunyai ukuran tubuh yang kecil, hidup dalam pasir atau lumpur, terpendam di bawah permukaan dan umumnya disebut keong gigi dan sering terdampar di pantai. (Romimohtarto & Juwana, 2001) 9 Bentiik cangkangnya seperti gigi ular yang tipis dan panjang. Cangkangnya sering meruncing dari ujung depan sampai ke belakang, karenanya disebut cangkang gading (tusk shell). Cangkangnya agak melengkung dan bagian dalamnya berongga. Kedua ujungnya terbuka, satu lebih besar daripada yang lain. (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Makanan dari hewan ini adalah organisme mikroskopis, terutama foraminifera yang berada di sekitamya. Scaphopoda hidup sebagai deposit faeder. Partikel makanan yang kecil-kecil dialirkan oleh cilia sepanjang filamen ke mulut, sedangkan partikel besar ditangkap dan langsung dimasukkan ke mulut (Suwigyo et al., 2005). 10 I