"Badai" di Bursa Saham, Apa Selanjutnya?

advertisement
"Badai" di Bursa Saham, Apa Selanjutnya?
Kompas : Selasa, 14 Oktober 2008 | 01:09 WIB
Adler Haymans Manurung
Dalam dua minggu terakhir, kita menyaksikan drama mencekam di sektor keuangan, baik di
Indonesia maupun di dunia. Awalnya, DPR Amerika Serikat tidak menyetujui dana talangan
sebesar 700 miliar dollar AS yang diusulkan Menteri Keuangan Henry Paulson (bekas CEO JP
Morgan). Akan tetapi, dana talangan tersebut akhirnya disetujui juga.
Tidak disetujuinya dana talangan tersebut membuat bursa NYSE drop 777 poin dan semua
dunia ikut jatuh. Kejadian jatuhnya bursa dunia tidak terjadi di Indonesia karena selama lima
hari bursa tutup dikarenakan perayaan Lebaran sehingga Bursa Efek Indonesia (BEI)
diuntungkan. Kemudian, BEI dibuka dan satu hari penuh bursa jatuh di atas 10 persen. Esok
harinya, BEI tetap buka, tetapi kembali bursa dunia drop karena ada informasi banyak
perusahaan bakal bangkrut.
Hari ketiga, BEI dibuka dan kembali bursa disuspen pada pukul 11.06 dengan Indeks drop 10,8
persen dan bursa tidak dibuka sampai Jumat, 10 Oktober, sehingga banyak investor yang
dirugikan ataupun diuntungkan. Suspen bursa ini sebenarnya telah merusak integritas pasar.
Kasus ini sebenarnya kepanikan di manajemen bursa karena tidak mempunyai pengalaman
yang cukup lama atau bukan lahir di bursa.
Bila diperhatikan secara saksama, sejak 26 September sampai dengan hari jumat 10 Oktober,
telah terjadi penurunan indeks bursa di hampir semua pasar (lihat tabel). Jika BEI tidak
disuspen dan ditutup selama dua hari, indeks bursa akan drop lebih tajam.
Kejadian krisis keuangan tersebut membuat pemerintah kerja keras menyediakan obat agar
tidak terjadi di Indonesia. Berbagai rekomendasi dikeluarkan menyangkut industri dan
perdagangan, tetapi belum termasuk untuk bursa.
Kemudian pemerintah (cq Bank Indonesia) mengeluarkan kebijakan menaikkan tingkat bunga
SBI 25 basis poin dari 9,25 persen menjadi 9,5 persen. Tindakan ini banyak disayangkan
berbagai pihak karena likuiditas semakin dikuras habis dan tingkat bunga naik sehingga
akhirnya pertumbuhan ekonomi akan melamban. Padahal, berbagai bank sentral di dunia
melakukan pemotongan tingkat bunga agar terjadi pelonggaran dan bursa akan mengalami
kenaikan karena secara teori penurunan tingkat bunga akan membuat bursa mengalami
kenaikan.
Berbagai tanda
Tanda-tanda memburuknya sektor keuangan bisa dilihat mulai dari penerbitan Obligasi Ritel
Indonesia kelima (ORI-5) di mana tingkat kupon yang diberikan sebesar 11,45 persen.
Penerbitan ORI-5 ini diharapkan dapat menarik dana masyarakat karena ORI sebelumnya telah
menarik dana masyarakat Rp 31,985 triliun. Namun, ORI-5 mempunyai permintaan yang cukup
kecil karena pada saat ORI ditawarkan bank-bank juga menawarkan deposito dengan tingkat
bunga yang lebih tinggi, sekitar 13 persen. Akibatnya, bank-bank dipanggil datang ke Bank
Indonesia untuk tidak melakukan penawaran bunga sebesar itu.
Tindakan Pemerintah membuat tingkat bunga ORI-5 sebesar 11,45 persen sebenarnya
merupakan tindakan sangat gegabah karena ORI-4 saja mempunyai tingkat bunga sebesar 9,5
persen. Adanya perbedaan jatuh tempo enam bulan terjadi perbedaan tingkat bunga 2 persen,
berarti pemerintah sendiri sudah menyatakan dirinya tidak bagus atau tindakan ini karena advis
lembaga lain, seperti IMF.
Bursa yang drop tersebut juga diikuti kejadian lain, yaitu dana di SBI mulai berkurang di mana
selama satu bulan terjadi penarikan sebesar Rp 21 triliun. Dana penarikan dari SBI ini
digunakan untuk membeli dollar AS sehingga rupiah mengalami pelemahan secara perlahan.
Tingkat bunga yang dinaikkan tidak memengaruhi minat investor, berarti dana itu merupakan
dana untuk spekulasi atau biasa disebut dana hedge fund.
Artinya, kebijakan pemerintah tidak bisa menggunakan metode biasa dengan menaikkan tingkat
bunga. Pemerintah sebaiknya memerhatikan pemain yang menaikkan dollar AS tersebut. Salah
satu yang harus dipelajari pemerintah adalah pemain forward dalam dollar AS. Kenaikan dollar
AS saat ini tidak terlepas dari pemain forward dan pemilik dana yang ingin menghancurkan
perekonomian Indonesia. Masih kuat dalam ingatan kita harga minyak mentah yang
melambung sampai 160 dollar AS per barrel dikarenakan adanya forward minyak mentah.
Pada sisi lain, transaksi forward yang tidak perlu diserahkan, yang dikenal dengan nondelivery
forward (NDF), juga sudah mulai marak. Hampir setiap pagi, para pemilik dana atau
perusahaan besar mempunyai informasi NDF ini. Sebaiknya pemerintah memerhatikan
transaksi ini karena transaksi ini bisa membuat harga dollar AS meningkat dan membuat panik.
Intervensi pemerintah
Tindakan para spekulan dan pemilik dana harus dihadapi bersama. Salah satu tindakan positif
pemerintah (Bank Indonesia) adalah selalu masuk pasar dengan melakukan intervensi untuk
menjaga pasar dengan langsung membeli dollar AS. Berbagai pihak banyak menyambut baik
tindakan BI ini karena dollar AS tetap stabil. Namun, ada juga pihak yang tidak setuju karena
kekuatan BI terbatas.
Menurut BI, cadangan devisa sebesar 57,47 miliar dollar AS.
Tindakan lain yang harus cepat dilaksanakan pemerintah adalah menutup sumber dana para
spekulan tersebut. Para investor tersebut umumnya dari Singapura dan banyak pihak
menyatakan bahwa dana tersebut milik orang Indonesia.
Dana ini pernah diakui Pemerintah Singapura ada sebanyak Rp 900 triliun dan tidak tercatat
sehingga dana yang parkir pasti melebihi angka tersebut. Pemerintah meminta para pengusaha
dan pemilik dana ini membawa uangnya kembali ke Indonesia. Akibatnya, dana para spekulan
tersebut tidak ada untuk memainkan bursa atau sektor keuangan Indonesia.
Sektor obligasi
Bursa saham dan dollar AS sudah terganggu, sektor keuangan mana lagi yang akan
terganggu? Sektor yang belum banyak diekspos adalah sektor obligasi kita. Obligasi yang telah
diterbitkan pemerintah sudah mencapai Rp 534,29 triliun untuk surat utang negara (SUN), Rp
34,7 triliun untuk ORI, dan 11,2 miliar dollar AS untuk surat utang berdenominasi dollar AS.
Saat ini juga ada sekitar Rp 90 triliun untuk obligasi swasta. Obligasi swasta ini sangat tipis
likuiditasnya dan biasanya banyak dipegang para manajer investasi karena kupon yang tinggi.
Para manajer investasi membeli obligasi swasta ini dengan tujuan meningkatkan tingkat
pengembalian portofolio yang dikelola.
Obligasi pemerintah ini mempunyai yield yang cukup tinggi saat ini, di mana ORI telah sekitar
12 persen dan SUN mempunyai yield minimum 12,5 persen dan 17,5 persen yang paling
panjang.
Apabila perdagangan obligasi di pasar tidak dijaga dengan baik, harga yang jatuh dan yield
akan menjadi lebih tinggi. Yield obligasi yang tinggi membuat sovereign risk naik lebih tinggi
dari sebelumnya sehingga perusahaan pemeringkat melakukan down grade obligasi
pemerintah. Untuk menurunkan harga obligasi pemerintah, bisa dilakukan seperti pada harga
saham karena besaran obligasi kita secara dollar AS hanya sebanyak 70 miliar dan besaran ini
cukup kecil untuk para pemain di pasar.
Saat ini, selain para spekulan yang ingin menghancurkan pasar Indonesia, para hedge fund
yang punya dana kelolaan cukup besar pun sedang mencari tempat baru untuk mendapatkan
tingkat pengembalian yang tinggi. Mereka akan masuk ke pasar keuangan yang masih baru
berkembang, seperti Indonesia, Rusia, Brasil, India, dan China serta Amerika Latin. Apabila
para hedge fund ini masuk ke Indonesia, pasar keuangan kita terutama pasar obligasi
pemerintah akan mengalami guncangan.
Tindakan yang harus dilakukan adalah semua sektor harus bersatu padu untuk mengatasinya.
Para pemilik dana yang menempatkan dananya di bank-bank asing agar memindahkan/menarik
untuk berinvestasi pada obligasi pemerintah supaya kredibilitas negara ini tetap bertahan.
Lehman Brothers jatuh tidak dibangun karena investornya umumnya dari Asia sehingga
selayaknya kita membuat tindakan pencegahan seperti yang dilakukan Amerika.
Pemerintah sebaiknya mempersiapkan yang matang atas kebijakan yang dibuat untuk
mengatasi persoalan. Bila tidak diatasi dengan saksama, krisis ini mau tidak mau akan
merembet ke sektor riil.
Adler Haymans Manurung, Pengamat Pasar Modal
Download