IDENTIFIKASI TINGKAT KEMURNIAN GENETIK SAPI BALI DI KABUPATEN BONE DENGAN MENGGUNAKAN MARKER MIKROSATELIT LOKUS INRA035 (Identification of Genetic Purity Bali Cattle In Bone Province using INRA035 Locus Mikrosatelite Marker) Hendra Setiawan1, Muhammad Ihsan Andi Dagong1 dan Lellah Rahim1 Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014. Email : [email protected] ABSTRAK Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemurnian sapi bali dengan menggunakan penciri Mikrosatelit (Lokus INRA035). Sebanyak 121 sampel darah dikoleksi dari Kabupaten Bone. Sampel darah utuh diekstraksi dengan menggunakan Kit DNA ekstraksi Genjet Genomic DNA Extraction (Thermo Scientific) dengan mengikuti protokol ekstraksi yang diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan DNA penciri mikrosatelit lokus INRA035, kemudian hasil amplifikasi dapat divisualisasikan pada gel polyacrylamide kemudian dilakukan dengan pewarnaan perak dan penentuan posisi pita DNA. Hasil penilitian ini menunjukkan persentase pola warna normal pada sapi Bali jantan yaitu 100% dan pada betina yaitu 96,30% sedangkan pola warna menyimpang hanya ditemukan pada sapi Bali betina yaitu 3,70%. Bentuk tanduk sapi Bali jantan yaitu silak congklok sedangkan sapi Bali betina yaitu silak manggulgangsa. Kemurnian genetik yang polimorfik karena ditemukan tiga alel pada populasi tersebut. Frekuensi Alel A 0,5083, B 0,4876 dan C 0,0041. Frekuensi genotipe AA 0,0248, AB 0,9670 dan BC 0,0082. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) yaitu 0,9752 dan nilaiheterozigositas harapan (He) yaitu 0,5060. Nilai Chi-square pada populasi sapi Bali di Kabupaten Bone berada dalam ketidakseimbangan HardyWeinberg. Kata kunci : Sapi Bali, Mikrosatelit, INRA035, Alel dan Genotipe,Heterozigositas PENDAHULUAN Sapi Bali merupakan salah satu ternak khas Indonesia dengan nilai ekonomis yang cukup tinggi dan menempati posisi penting dalam industri peternakan Indonesia. Sapi Bali adalah aset nasional yang ikut memperkaya dan memperbanyak keanekaragaman ternak di Indonesia yang harus kita jaga kelestariannya. Sebagai generasi bangsa harusnya kita sadar untuk memperhatikan dan menjaga kelestariannya. Apalagi untuk saat ini, tidak dipungkiri bahwa populasi sapi bali itu sendiri sangat banyak, namun kemurnian genetiknya masih dipertanyakan. Seiring dengan perkembangan bioteknologi dibidang peternakan, telah terjadi persilangan dengan bangsa sapi lain sehingga berpengaruh terhadap kemurnian genetik sapi Bali yang ada di Indonesia. Jika dilihat dari potensi genetik bisa dikatakan bahwa sapi Bali mempunyai keunggulan komparatif dibandingkan dengan ternak lain, dikarenakan diberbagai lingkungan pemeliharaan di Indonesia sapi Bali dapat memperlihatkan kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik. Sapi Bali memiliki keunggulan 51 dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap lingkungan yang kurang baik, dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah, fertilitas dan conception rate yang sangat baik,presentase karkas yang tinggi, memiliki daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah, dan tahan terhadap penyakit parasit internal dan eksternal. Adanya berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut dan mengingat Indonesia merupakan pusat sapi Bali di dunia maka sangat memungkinkan sapi Bali dilestarikan. Pemerintah telah lama memberikan perhatian yang cukup besar bagi pelestarian plasma nutfah dengan menetapkan program nasional pemuliaan untuk sapi Bali. Program Nasional meliputiprogram pemurnian dan peningkatan mutu genetik sapi Bali. Program pemuliaan sapi Bali yang ditetapkan diberbagai daerah di Indonesia yaitu salah satunya kabupaten Bone di Provinsi Sulawesi Selatan yang sekaligus wilayah tersebut ditetapkan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional (Soehadji, 1990). Terlepas dari hal tersebut maka untuk mengetahui lebih jauh tingkat kemurnian genetik sapi Bali khusus di Kabupaten Bone perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan marker mikrosatelite Lokus INRA035 untuk mengidentifikasi tingkat kemurnian genetik sapi Bali di kabupaten Bone. Mikrosatelite merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotipe untuk karakter yang diinginkan. Mikrosatelite tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat efektif, yakni sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida (dikenal sebagai motif) yang tersebar dan meliputi seluruh genom (Lumban dkk, 2013). MATERI DAN METODE Identifikasi Fenotipe Identifiksi fenotipe sapi Bali dilakukan dengan mengidentifikasi sifat kualitatif khas yang dimiliki sapi Bali. Adapun sifat – sifat kualitatif yang di identifikasi antara lain pola warna bulu, struktur tubuh, bentuk dan ukuran tanduk, serta ciri–ciri fisik khusus pada sapi Bali seperti bulu hitam yang membentuk garis (garis belut) pada bagian punggung dan warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas, sifat kuantitatif seperti bobot badan badan, panjang badan, lingkar dada, dan tinggi badan. Koleksi Sampel Darah& Ekstraksi DNA Sampel darah diperoleh dari Kabupaten Bone. Sebanyak 121sampel yang terdiri 81 sampel sapi betina dan 40 sampel sapi jantan. Pengambilan darah melalui vena jugularis ditampung pada tabung vacutainer yang telah berisi antikoagulan EDTA untuk mencegah penggumpalan darah.DNA diisolasi dan dimurnikan dengan menggunakan Kit DNA ekstraksi (Genjet Genomic DNA ExtractionThermo Scientific) PCR Amplifikasi HEL9 menggunakan primer (5’-ATCCTTTGCAGCCTCCACATTG -3’) dan (5’-TTGTGCTTTATGACACTATCCG -3’) Komposisi reaksi PCR dikondisikan pada volume reaksi 25 µl yang terdiri atas 100 ng DNA, 0.25 mM masing-masing primer, 150 µM dNTP, 2.5 mM Mg2+, 0.5 µl Taq DNA polymerase dan 1x buffer. Kondisi mesin PCR dimulai dengan denaturasi awal pada suhu 94oC x 2 menit, diikuti 52 dengan 35 siklus berikutnya masing-masing denaturasi 94 oC x 45 detik, dengan suhu annealing yaitu : 55oC x 60 detik, yang dilanjutkan dengan ekstensi : 72 oC x 60 detik, yang kemudian diakhiri dengan satu siklus ekstensi akhir pada suhu 72 oC selama 5 menit dengan menggunakan mesin PCR (SensoQuest, Germany). Produk PCR kemudian dielektroforesis pada gel polyacrylamide dan pewarnaan dengan perak mengikuti metode Tegelstrom (1992). Penentuan alel dilakukan dengan cara menginterpretasi pita (band) yang terbentuk paling jauh migrasinya ke kutub anoda sebagai alel "a", berikutnya alel "b" dan seterusnya. Analisa Data Keragaman alel mikrosatelit ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada gel dari masing-masing individu sampel. Karena alel mikrosatelit adalah kodominan maka genotip ditentukan berdasarkan variasi pita alel yang ada. Kemudian dihitung frekuensi masing-masing alel setiap lokus. Keseimbangan Hardy- Weinberg di uji dengan test chi-square (Nei dan Kumar, 2000). HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fenotip Sapi Bali Sifat kualitatif merupakan sifat yang tampak dari luar dan tidak dapat dihitung. Yang termasuk dalam sifat kualitatif, seperti bentuk tanduk, warna bulu, dan warna kaos kaki. Hasil analisis karakteristik sapi Bali berdasarkan warna bulu dan warna kaos kaki dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik warna Bulu dan Kaos Kaki Parameter Warna Bulu Kaos Kaki Jenis Kelamin Jantan Betina Jantan Betina Warna Normal 40 78 37 53 Menyimpang 0 3 3 28 Persentase Normal 100 96,30 92,50 65,43 Menyimpang 0 3,70 7,50 34.57 Tabel 1. memperlihatkan bahwa warna bulu pada sapi jantan seutuhnya normal100% sedangkan pada sapi Bali betina 96,30%. Sedangkan warna kaos kaki yang normal pada sapi Bali jantan 92,50% begitu pula dengan sapi Bali betina warna kaos kaki yang normal sekitar 65,43%. Sapi Bali mempunyai ciri-ciri khusus antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam. Ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, (Hardjosubroto, 1994).Hasil pengamatan karakteristik sapi Bali berdasarkan bentuk tanduk dapat dilihat pada Tabel 2. 53 Tabel 2. Karakteristik Bentuk Tanduk Sapi Bali Jumlah Paramete Karakteristi r k Jantan Betina Tanduk SM 0 54 SC 31 1 SA 2 25 SO 0 0 SB 2 1 SP 5 0 Total 40 81 Keterangan: SM: Silak Manggulgangsa SC: Silak Congklok SB: Silak Bajeg Persentase Jantan Betina 0 66,67 77,50 1,23 5 30,87 0 0 5 1,23 12,50 0 100 100 SO: Silak Cono SA: Silak Anoa SP: Silak Pendang Berdasarkan Tabel 2. memperlihatkan bahwa terdapat 6 macam bentuk tanduk yaitu Silak Manggulgangsa, Silak Congklok, Silak Anoa, Silak Cono, Silak Bajeg, Silak Pendang. Bentuk tanduk yang paling dominan pada sapi jantan adalah Silak Congklok (77,50%) sedangkan pada sapi betina yaitu Silak Manggulgangsa (66,67%). Pada penelitian yang dilakukan Handiwirawan (2003) bahwa bentuk tanduk yang dominan pada jantan adalah Silak Congklok (74,5%) dan pada sapi benita adalah Silak Manggulgangsa (31,9%). Sapi Bali jantan umumnya memiliki bentuk tanduk Silakcongklokyaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggulgangsayaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto, 1994). Sifat Kuantitatif Sifat kuantitatif dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan ditemukan pengaruh interaksi keduanya (genetik dan lingkungan). Sifat kuantitatif sapi Bali yang berada di Kabupaten Bone dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat Kuantitatif Sapi Bali Data Kuantitatif Umur (tahun) Berat Badan (kg) Lingkar Dada (cm) Panjang Badan (cm) Jantan 2,56+0,46 177,78+37,59 143,20+14,30 101,93+6,72 Betina 4,37+2,69 206,65+68,11 149,97+18,06 105,17+11,29 Tinggi Badan (cm) 108,45+5,28 108,97+9,90 Berdasarkan hasil pengamatan diatas menunjukkan bahwa rataan umur sapi Bali yang ada di kabupaten Bone yaitu pada sapi jantan sekitar 2,56 tahun dan betina sekitar 4,37 tahun, rataan berat badan sapi jantan sekitar 177,78 kg dan betina 206,65 kg, rataan lingkar dada pada sapi jantan sekitar 143,20 cm dan betina 149,97 cm, rataan panjang badan pada sapi jantan sekitar 101,93 cm dan betina sekitar 105,17 cm dan 54 rataan tinggi badan pada sapi jantan sekitar 108,45 cm dan betina sekitar 108,97 cm. Adanya perbedaan sifat kuantitatif pada penilitian ini kemungkinan disebabkan karena beberapa faktor diantaranya pengaruh dari lingkungan yang beragam, umur, manajemen pemeliharaan, jenis kelamin dan jenis pakan. Amplifikasi dan Genotip Mikrosatelit Lokus HEL9 pada Sapi Bali Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa Mikrosatelit Lokus INRA035 berhasil di amplifikasi pada mesin PCR SensQuest Germany dengan suhu annealing 54oC. Hasil amplifikasi dapat divisualisasikan pada gel polyacrylamide 30% pada lokus INRA035 dapat dilihat pada Gambar 4. M 1 2 3 4 5 6 M 1 2 3 200 bp 100 bp 4 5 6 AA BC AB Gambar 4. Alel yang teridentifikasi melalui gel polyacrylamide 30 % pada lokus INRA035. (M) Marker 100 pb. (1-15) sampel sapi Bali Gambar 4 memperlihatkan alel yang teramplikasi melalui proses PCR pada lokus INRA035 pada sapi Bali. Sekuen alel mikrosatelit INRA035 panjangnya berukuran 120 pb (Vaitman et al., 1994). Pada penilitian ini terdapat 3 jenis alel yang ditemukan yaitu alel A yang berukuran + 113 pb, alel B yang berukuran + 117 pb dan alel C yang berukuran + 121 pb. Dengan demikian sapi Bali yang panjang fragmen ± 113 pb bergenotipe AA, sementara sapi Bali yang panjang kedua fragmen +113 pb dan + 117 pb bergenotipe AB dan sapi Bali dengan panjang kedua fragmen + 117 pb dan + 121 pb bergenotipe BC. Hasil penilitian Handiwirawan (2003) menemukan bahwa alel yang teramplifikasi pada lokus INRA035 yaitu alel A yang berukuran + 113 pb dan alel B yang berukuran + 117 pb yang teramplifikasi pada sapi Bali dan Banteng serta diperoleh 2 jenis alel lain, yaitu alel C yang berukuran + 121 pb dan alel D yang berukuran + 138 pb. Vaitman et al. (1994) telah melaporkan bahwa pada lokus INRA035 telah ditemukan 7 jenis alel. Frekuensi Genotip, Alel dan Keseimbangan Hardy- Weinberg Hasil analisa frekuensi genotip mikrosatelit lokus INRA035 pada sapi Bali dapat dilihat pada Tabel 5. Polimorfisme dapat ditunjukkan dengan adanya dua alel atau lebih dalam satu populasi. Gen dikatakan polimorfik apabila salah satu alelnya mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei dan Kumar, 2000) 55 Tabel 5. Frekuensi genotipe Lokus INRA035 Populasi Lokasi Total Genotipe Sapi Bali Bone 121 Frekuensi AA AB BC AA AB BC 3 117 1 0,0248 0,9670 0,0082 Hasil identifikasi genotipe sapi Bali menunjukkan bahwa sapi Bali mempunyai 3 jenis genotipe berdasarkan lokus mikrosatelit INRA035 yaitu genotipe AA sebanyak 3 ekor, genotipe AB sebanyak 117 ekor dan genotipe BC sebanyak 1 ekor, sedangkan genotipe BB dan CC tidak ditemukan pada penelitian ini. Frekuensi genotipe pada sapi Bali memiliki genotipe AA yaitu 0,0248, AB yaitu 0,9625 dan frekuensi genotipe BC yaitu 0,0082. Hal ini dapat terjadi karena jumlah sampel diteliti sedikit dan juga kemungkinan adanya aliran gen dari luar atau bangsa sapi lain yang masuk kedalam populasi sapi Bali yang ada di Kabupaten Bone. Hasil penilitian Winaya (2000) mendapatkan hasil bahwa alel pada lokus INRA035 adalah monomorfik pada sapi Bali dimana seluruh sapi Bali bergenotipe AB, lokus tersebut merupakan kandidat yang diuji pada lokus dengan alel yang spesifik pada sapi Bali yaitu alel A dan B.Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Adapun keseimbangan Hardy-Weinbreg berhubungan erat dengan frekuensi genotipe dan frekuensi alel. Frekuensi alel dapat dihitung berdasarkan Nei dan Kumar (2000) dan Hardy-Weinbreg dengan uji Chi-square. Tabel 6.Frekuensi Alel dan Keseimbangan Hardy- Weinberg Populasi Lokasi Total Frekuensi Alel A B C Sapi Bali Bone 121 0,5083 0,4876 0,0041 tn : tidak nyata pada taraf 0,05% χ2 (HWE) 108.63tn Pada lokus INRA035 terdapat alel-alel yang mempunyai frekuensi cukup besar, dimana pada lokus INRA035 frekuensi alel A dan alel B terdapat lebih tinggi dibandingkan alel C. Frekuensi alel A yaitu 0,5083 dan alel B yaitu 0,4876 dan alel C yaitu 0,0041. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi alel A dan B yaitu 99,59% monomorfik pada sapi Bali karena memiliki kesamaan alel dengan Banteng. Hasil penilitian Handiwirawan (2003) mengemukakan bahwa pada lokus INRA035, frekuensi alel A dan B terdapat lebih tinggi yaitu 96,8%, masing-masing 52,6% untuk alel A dan 44,2% untuk alel B dan alel-alel tersebut adalah alel-alel yang juga terdapat pada Banteng. Hasil penilitian tersebut sejalan dengan anggapan bahwa Banteng merupakan leluhur dari sapi Bali karena adanya kesamaan alel yang dimiliki oleh Banteng dan alel yang umum pada populasi sapi Bali. Nilai Heterozigositas Keragaman genetik suatu populasi dapat diukur dengan nilai heterozigositas. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He) dihitung berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000) dapat dilihat pada Tabel 7. Dari hasil penilitian lokus INRA035 memiliki nilai heterozigositas pengamatan (Ho) yaitu 0,9752 dan nilai heterozigositas harapan (He) yaitu 0,5060. Hal ini menunjukkan bahwa Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih tinggi dari pada nilai heterozigositas harapan (He), kemungkinan disebabkan adanya ketidakseimbangan 56 genotipe pada populasi tersebut. Ketidakseimbangan kemungkinan terjadi karena tidak adanya perkawinan secara acak yang disebabkan terbatasnya jumlah pejantan. Menurut Tambasco et al. (2003) perbedaan antara nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat dijadikan sebagai indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang diamati yang diindikasikan bahwa sudah ada kegiatan seleksi yang dilakukan dan tidak adanya perkawinan acak. Tabel 7. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He) Populasi Lokasi Total Heterozigositas Ho He Sapi Bali Bone 121 0,9752 0,5060 Hubungan Sifat Fenotipe dan Genotipe Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sapi Bali, tidak diperoleh hubungan antara sifat fenotip dan genotip, karena lokus mikrosatelit INRA035 yang digunakan bukan untuk mendeteksi gen yang membawa sifat warna dan bentuk tanduk pada sapi Bali di Kabupaten Bone. Hal ini sesuai dengan pendapat Handiwirawan (2003) bahwa tidak ada kaitan antara penyimpangan warna bulu dan pola bentuk tanduk pada sapi Bali terhadap lokus mikrosatelit yang diuji yang menunjukkan bahwa lokus INRA035 tidak berdekatan ataupun berada di dalam gen penyandi untuk pola warna tubuh dan gen penyandi untuk pertumbuhan bentuk tanduk pada sapi Bali. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penilitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa secara kualitatif umumnya mempunyai pola warna tubuh yang normal yaitu 97, 52% sedangkan pola warna tubuh yang menyimpang dari normal yaitu 2,48%.Pola warna bulu dan bentuk tanduk tidak dapat dijadikan sebagai penanda kemurnian genetik sapi Bali berdasarkan mikrosatelit lokus INRA035.Bentuk tanduk sapi jantan pada umumnya berbentuk silak Congklok sedangkan pada sapi betina berbentuk silakmanggulgangsa.Tingkat kemurnian sapi Bali yang ada di kabupaten Barru sebanyak 96,70%.Hasil identifikasi genotipe pada sapi Bali yaitu persentase genotipe AA sebanyak 2,48%, genotipe AB sebanyak 96,70% dan BC sebanyak 0,82%. Menunjukkan bahwa frekuensi genotipe INRA035 dalam keadaan ketidakseimbangan pada hukum Hardy-Weinbreg. DAFTAR PUSTAKA Handiwirawan, E. 2003. Penggunaan Mikrosatelit HEL9 dan INRA035 sebagai Penciri Khas Sapi Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT GramediaWidiasarana Indonesia. Lumban G, A. D., Suatha, I. K., dan Wandina, I. N. 2013. Struktur Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang Di Alas Kedaton Menggunakan Marka Molekul Mikrosatelit D18S536. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus 2(1): 32 – 42. 57 National Research Council. 1983. Little-Known Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C.: National AcademicPress. Nei, M. and S. Kumar. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford University Press. Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle. World Anim. Rev. 7: 13-21. Soehadji. 1990. Kebijaksanaan pemuliaan ternak (breeding policy) khususnya sapi bali, dalam pembangunan peternakan. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September 1990. Denpasar : Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Hlm A 1- 9. Tambasco, D. D., C. C. P. Paz, M. Tambasco-Studart, A. P. Pereira, M. M. Alencar, A. R. Freitas, L. L. Countinho, I. U. Packer and L. C. A. Regitano. 2003. Candidate genes for growth traits in beef cattle Bos Taurus x Bos Indicus. J. Anim. Bred. Genet. 120: 51-60. Tegelstrom, H. 1992. Mitochondrial DNA in natural population: An improved routine for screening of genetic variation baed on sensitive silver staining. Electrophoresis.7:226-22 Vaitman, D., D. Mercier, K. Moazami – Goudarzi, A. Eggen, R. Ciampolini, A. Lepingle, R. Velmala, J. Kaukinen, S. L. Varvio, P. Martin and H. Leveziel. 1994. A Set of 99 catlle microsatellites : Characterisation, synteny mapping, and polymorphism. Mammalian Genome : 288 – 297. Winaya, A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan analisis filogenetik genom sapi [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program Pascasarjana. Program Studi Bioteknologi. 58