IDENTIFIKASI TINGKAT KEMURNIAN GENETIK SAPI BALI DI

advertisement
IDENTIFIKASI TINGKAT KEMURNIAN GENETIK SAPI BALI DI KABUPATEN
BONE DENGAN MENGGUNAKAN MARKER MIKROSATELIT LOKUS INRA035
(Identification of Genetic Purity Bali Cattle In Bone Province using INRA035 Locus
Mikrosatelite Marker)
Hendra Setiawan1, Muhammad Ihsan Andi Dagong1 dan Lellah Rahim1
Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2014.
Email : [email protected]
ABSTRAK
Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemurnian sapi bali dengan
menggunakan penciri Mikrosatelit (Lokus INRA035). Sebanyak 121 sampel darah
dikoleksi dari Kabupaten Bone. Sampel darah utuh diekstraksi dengan menggunakan
Kit DNA ekstraksi Genjet Genomic DNA Extraction (Thermo Scientific) dengan
mengikuti protokol ekstraksi yang diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan
DNA penciri mikrosatelit lokus INRA035, kemudian hasil amplifikasi dapat
divisualisasikan pada gel polyacrylamide kemudian dilakukan dengan pewarnaan
perak dan penentuan posisi pita DNA. Hasil penilitian ini menunjukkan persentase
pola warna normal pada sapi Bali jantan yaitu 100% dan pada betina yaitu 96,30%
sedangkan pola warna menyimpang hanya ditemukan pada sapi Bali betina yaitu
3,70%. Bentuk tanduk sapi Bali jantan yaitu silak congklok sedangkan sapi Bali betina
yaitu silak manggulgangsa. Kemurnian genetik yang polimorfik karena ditemukan tiga
alel pada populasi tersebut. Frekuensi Alel A 0,5083, B 0,4876 dan C 0,0041. Frekuensi
genotipe AA 0,0248, AB 0,9670 dan BC 0,0082. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho)
yaitu 0,9752 dan nilaiheterozigositas harapan (He) yaitu 0,5060. Nilai Chi-square pada
populasi sapi Bali di Kabupaten Bone berada dalam ketidakseimbangan HardyWeinberg.
Kata kunci : Sapi Bali, Mikrosatelit, INRA035, Alel dan Genotipe,Heterozigositas
PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan salah satu ternak khas Indonesia dengan nilai ekonomis
yang cukup tinggi dan menempati posisi penting dalam industri peternakan
Indonesia. Sapi Bali adalah aset nasional yang ikut memperkaya dan memperbanyak
keanekaragaman ternak di Indonesia yang harus kita jaga kelestariannya. Sebagai
generasi bangsa harusnya kita sadar untuk memperhatikan dan menjaga
kelestariannya. Apalagi untuk saat ini, tidak dipungkiri bahwa populasi sapi bali itu
sendiri sangat banyak, namun kemurnian genetiknya masih dipertanyakan. Seiring
dengan perkembangan bioteknologi dibidang peternakan, telah terjadi persilangan
dengan bangsa sapi lain sehingga berpengaruh terhadap kemurnian genetik sapi Bali
yang ada di Indonesia.
Jika dilihat dari potensi genetik bisa dikatakan bahwa sapi Bali mempunyai
keunggulan komparatif dibandingkan dengan ternak lain, dikarenakan diberbagai
lingkungan pemeliharaan di Indonesia sapi Bali dapat memperlihatkan
kemampuannya untuk berkembang biak dengan baik. Sapi Bali memiliki keunggulan
51
dibandingkan sapi lain yaitu memiliki daya adaptasi sangat tinggi terhadap
lingkungan yang kurang baik, dapat memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah,
fertilitas dan conception rate yang sangat baik,presentase karkas yang tinggi, memiliki
daging berkualitas baik dengan kadar lemak rendah, dan tahan terhadap penyakit
parasit internal dan eksternal.
Adanya berbagai keunggulan yang dimiliki tersebut dan mengingat Indonesia
merupakan pusat sapi Bali di dunia maka sangat memungkinkan sapi Bali
dilestarikan. Pemerintah telah lama memberikan perhatian yang cukup besar bagi
pelestarian plasma nutfah dengan menetapkan program nasional pemuliaan untuk
sapi Bali. Program Nasional meliputiprogram pemurnian dan peningkatan mutu
genetik sapi Bali. Program pemuliaan sapi Bali yang ditetapkan diberbagai daerah di
Indonesia yaitu salah satunya kabupaten Bone di Provinsi Sulawesi Selatan yang
sekaligus wilayah tersebut ditetapkan sebagai sumber bibit sapi Bali secara nasional
(Soehadji, 1990). Terlepas dari hal tersebut maka untuk mengetahui lebih jauh tingkat
kemurnian genetik sapi Bali khusus di Kabupaten Bone perlu dilakukan penelitian
dengan menggunakan marker mikrosatelite Lokus INRA035 untuk mengidentifikasi
tingkat kemurnian genetik sapi Bali di kabupaten Bone.
Mikrosatelite merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan
genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotipe untuk karakter
yang diinginkan. Mikrosatelite tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat
efektif, yakni sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan
dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida (dikenal sebagai motif) yang tersebar dan
meliputi seluruh genom (Lumban dkk, 2013).
MATERI DAN METODE
Identifikasi Fenotipe
Identifiksi fenotipe sapi Bali dilakukan dengan mengidentifikasi sifat kualitatif
khas yang dimiliki sapi Bali. Adapun sifat – sifat kualitatif yang di identifikasi antara
lain pola warna bulu, struktur tubuh, bentuk dan ukuran tanduk, serta ciri–ciri fisik
khusus pada sapi Bali seperti bulu hitam yang membentuk garis (garis belut) pada
bagian punggung dan warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian bawah
(perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian dalam
telinga, dan pada pinggiran bibir atas, sifat kuantitatif seperti bobot badan badan,
panjang badan, lingkar dada, dan tinggi badan.
Koleksi Sampel Darah& Ekstraksi DNA
Sampel darah diperoleh dari Kabupaten Bone. Sebanyak 121sampel yang
terdiri 81 sampel sapi betina dan 40 sampel sapi jantan. Pengambilan darah melalui
vena jugularis ditampung pada tabung vacutainer yang telah berisi antikoagulan EDTA
untuk mencegah penggumpalan darah.DNA diisolasi dan dimurnikan dengan
menggunakan Kit DNA ekstraksi (Genjet Genomic DNA ExtractionThermo Scientific)
PCR
Amplifikasi HEL9 menggunakan primer (5’-ATCCTTTGCAGCCTCCACATTG
-3’) dan (5’-TTGTGCTTTATGACACTATCCG -3’) Komposisi reaksi PCR dikondisikan
pada volume reaksi 25 µl yang terdiri atas 100 ng DNA, 0.25 mM masing-masing
primer, 150 µM dNTP, 2.5 mM Mg2+, 0.5 µl Taq DNA polymerase dan 1x buffer.
Kondisi mesin PCR dimulai dengan denaturasi awal pada suhu 94oC x 2 menit, diikuti
52
dengan 35 siklus berikutnya masing-masing denaturasi 94 oC x 45 detik, dengan suhu
annealing yaitu : 55oC x 60 detik, yang dilanjutkan dengan ekstensi : 72 oC x 60 detik,
yang kemudian diakhiri dengan satu siklus ekstensi akhir pada suhu 72 oC selama 5
menit dengan menggunakan mesin PCR (SensoQuest, Germany). Produk PCR
kemudian dielektroforesis pada gel polyacrylamide dan pewarnaan dengan perak
mengikuti metode Tegelstrom (1992). Penentuan alel dilakukan
dengan cara
menginterpretasi pita (band) yang terbentuk paling jauh migrasinya ke kutub anoda
sebagai alel "a", berikutnya alel "b" dan seterusnya.
Analisa Data
Keragaman alel mikrosatelit ditentukan dari perbedaan migrasi alel pada gel
dari masing-masing individu sampel. Karena alel mikrosatelit adalah kodominan
maka genotip ditentukan berdasarkan variasi pita alel yang ada. Kemudian dihitung
frekuensi masing-masing alel setiap lokus. Keseimbangan Hardy- Weinberg di uji
dengan test chi-square (Nei dan Kumar, 2000).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Fenotip Sapi Bali
Sifat kualitatif merupakan sifat yang tampak dari luar dan tidak dapat dihitung.
Yang termasuk dalam sifat kualitatif, seperti bentuk tanduk, warna bulu, dan warna
kaos kaki. Hasil analisis karakteristik sapi Bali berdasarkan warna bulu dan warna
kaos kaki dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik warna Bulu dan Kaos Kaki
Parameter
Warna Bulu
Kaos Kaki
Jenis
Kelamin
Jantan
Betina
Jantan
Betina
Warna
Normal
40
78
37
53
Menyimpang
0
3
3
28
Persentase
Normal
100
96,30
92,50
65,43
Menyimpang
0
3,70
7,50
34.57
Tabel 1. memperlihatkan bahwa warna bulu pada sapi jantan seutuhnya
normal100% sedangkan pada sapi Bali betina 96,30%. Sedangkan warna kaos kaki
yang normal pada sapi Bali jantan 92,50% begitu pula dengan sapi Bali betina warna
kaos kaki yang normal sekitar 65,43%. Sapi Bali mempunyai ciri-ciri khusus antara
lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam. Ada
tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi bali murni, yaitu warna putih
pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas dan pada paha kaki bawah mulai
tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu
pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada
bagian atas punggung, (Hardjosubroto, 1994).Hasil pengamatan karakteristik sapi Bali
berdasarkan bentuk tanduk dapat dilihat pada Tabel 2.
53
Tabel 2. Karakteristik Bentuk Tanduk Sapi Bali
Jumlah
Paramete Karakteristi
r
k
Jantan
Betina
Tanduk
SM
0
54
SC
31
1
SA
2
25
SO
0
0
SB
2
1
SP
5
0
Total
40
81
Keterangan: SM: Silak Manggulgangsa
SC: Silak Congklok
SB: Silak Bajeg
Persentase
Jantan
Betina
0
66,67
77,50
1,23
5
30,87
0
0
5
1,23
12,50
0
100
100
SO: Silak Cono
SA: Silak Anoa
SP: Silak Pendang
Berdasarkan Tabel 2. memperlihatkan bahwa terdapat 6 macam bentuk tanduk
yaitu Silak Manggulgangsa, Silak Congklok, Silak Anoa, Silak Cono, Silak Bajeg, Silak
Pendang. Bentuk tanduk yang paling dominan pada sapi jantan adalah Silak Congklok
(77,50%) sedangkan pada sapi betina yaitu Silak Manggulgangsa (66,67%). Pada
penelitian yang dilakukan Handiwirawan (2003) bahwa bentuk tanduk yang dominan
pada jantan adalah Silak Congklok (74,5%) dan pada sapi benita adalah Silak
Manggulgangsa (31,9%). Sapi Bali jantan umumnya memiliki bentuk tanduk
Silakcongklokyaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar
lalu membengkok keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada
sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggulgangsayaitu jalannya
pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung
kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini
berwarna hitam (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983;
Hardjosubroto, 1994).
Sifat Kuantitatif
Sifat kuantitatif dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan dan ditemukan
pengaruh interaksi keduanya (genetik dan lingkungan). Sifat kuantitatif sapi Bali yang
berada di Kabupaten Bone dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sifat Kuantitatif Sapi Bali
Data Kuantitatif
Umur (tahun)
Berat Badan (kg)
Lingkar Dada (cm)
Panjang Badan (cm)
Jantan
2,56+0,46
177,78+37,59
143,20+14,30
101,93+6,72
Betina
4,37+2,69
206,65+68,11
149,97+18,06
105,17+11,29
Tinggi Badan (cm)
108,45+5,28
108,97+9,90
Berdasarkan hasil pengamatan diatas menunjukkan bahwa rataan umur sapi Bali
yang ada di kabupaten Bone yaitu pada sapi jantan sekitar 2,56 tahun dan betina
sekitar 4,37 tahun, rataan berat badan sapi jantan sekitar 177,78 kg dan betina 206,65
kg, rataan lingkar dada pada sapi jantan sekitar 143,20 cm dan betina 149,97 cm, rataan
panjang badan pada sapi jantan sekitar 101,93 cm dan betina sekitar 105,17 cm dan
54
rataan tinggi badan pada sapi jantan sekitar 108,45 cm dan betina sekitar 108,97 cm.
Adanya perbedaan sifat kuantitatif pada penilitian ini kemungkinan disebabkan
karena beberapa faktor diantaranya pengaruh dari lingkungan yang beragam, umur,
manajemen pemeliharaan, jenis kelamin dan jenis pakan.
Amplifikasi dan Genotip Mikrosatelit Lokus HEL9 pada Sapi Bali
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa Mikrosatelit Lokus
INRA035 berhasil di amplifikasi pada mesin PCR SensQuest Germany dengan suhu
annealing 54oC. Hasil amplifikasi dapat divisualisasikan pada gel polyacrylamide 30%
pada lokus INRA035 dapat dilihat pada Gambar 4.
M 1
2
3 4
5 6
M
1
2
3
200 bp
100 bp
4
5
6
AA
BC
AB
Gambar 4. Alel yang teridentifikasi melalui gel polyacrylamide 30 % pada lokus
INRA035. (M) Marker 100 pb. (1-15) sampel sapi Bali
Gambar 4 memperlihatkan alel yang teramplikasi melalui proses PCR pada lokus
INRA035 pada sapi Bali. Sekuen alel mikrosatelit INRA035 panjangnya berukuran 120
pb (Vaitman et al., 1994). Pada penilitian ini terdapat 3 jenis alel yang ditemukan yaitu
alel A yang berukuran + 113 pb, alel B yang berukuran + 117 pb dan alel C yang
berukuran + 121 pb. Dengan demikian sapi Bali yang panjang fragmen ± 113 pb
bergenotipe AA, sementara sapi Bali yang panjang kedua fragmen +113 pb dan + 117
pb bergenotipe AB dan sapi Bali dengan panjang kedua fragmen + 117 pb dan + 121 pb
bergenotipe BC. Hasil penilitian Handiwirawan (2003) menemukan bahwa alel yang
teramplifikasi pada lokus INRA035 yaitu alel A yang berukuran + 113 pb dan alel B
yang berukuran + 117 pb yang teramplifikasi pada sapi Bali dan Banteng serta
diperoleh 2 jenis alel lain, yaitu alel C yang berukuran + 121 pb dan alel D yang
berukuran + 138 pb. Vaitman et al. (1994) telah melaporkan bahwa pada lokus
INRA035 telah ditemukan 7 jenis alel.
Frekuensi Genotip, Alel dan Keseimbangan Hardy- Weinberg
Hasil analisa frekuensi genotip mikrosatelit lokus INRA035 pada sapi Bali dapat
dilihat pada Tabel 5. Polimorfisme dapat ditunjukkan dengan adanya dua alel atau
lebih dalam satu populasi. Gen dikatakan polimorfik apabila salah satu alelnya
mempunyai frekuensi kurang dari 99% (Nei dan Kumar, 2000)
55
Tabel 5. Frekuensi genotipe Lokus INRA035
Populasi Lokasi Total
Genotipe
Sapi Bali Bone
121
Frekuensi
AA
AB
BC
AA
AB
BC
3
117
1
0,0248
0,9670
0,0082
Hasil identifikasi genotipe sapi Bali menunjukkan bahwa sapi Bali mempunyai 3
jenis genotipe berdasarkan lokus mikrosatelit INRA035 yaitu genotipe AA sebanyak 3
ekor, genotipe AB sebanyak 117 ekor dan genotipe BC sebanyak 1 ekor, sedangkan
genotipe BB dan CC tidak ditemukan pada penelitian ini. Frekuensi genotipe pada sapi
Bali memiliki genotipe AA yaitu 0,0248, AB yaitu 0,9625 dan frekuensi genotipe BC
yaitu 0,0082. Hal ini dapat terjadi karena jumlah sampel diteliti sedikit dan juga
kemungkinan adanya aliran gen dari luar atau bangsa sapi lain yang masuk kedalam
populasi sapi Bali yang ada di Kabupaten Bone. Hasil penilitian Winaya (2000)
mendapatkan hasil bahwa alel pada lokus INRA035 adalah monomorfik pada sapi Bali
dimana seluruh sapi Bali bergenotipe AB, lokus tersebut merupakan kandidat yang
diuji pada lokus dengan alel yang spesifik pada sapi Bali yaitu alel A dan B.Frekuensi
alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel
terhadap total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000).
Adapun keseimbangan Hardy-Weinbreg berhubungan erat dengan frekuensi genotipe
dan frekuensi alel. Frekuensi alel dapat dihitung berdasarkan Nei dan Kumar (2000)
dan Hardy-Weinbreg dengan uji Chi-square.
Tabel 6.Frekuensi Alel dan Keseimbangan Hardy- Weinberg
Populasi
Lokasi
Total
Frekuensi Alel
A
B
C
Sapi Bali
Bone
121
0,5083
0,4876
0,0041
tn : tidak nyata pada taraf 0,05%
χ2 (HWE)
108.63tn
Pada lokus INRA035 terdapat alel-alel yang mempunyai frekuensi cukup besar,
dimana pada lokus INRA035 frekuensi alel A dan alel B terdapat lebih tinggi
dibandingkan alel C. Frekuensi alel A yaitu 0,5083 dan alel B yaitu 0,4876 dan alel C
yaitu 0,0041. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi alel A dan B yaitu 99,59%
monomorfik pada sapi Bali karena memiliki kesamaan alel dengan Banteng. Hasil
penilitian Handiwirawan (2003) mengemukakan bahwa pada lokus INRA035,
frekuensi alel A dan B terdapat lebih tinggi yaitu 96,8%, masing-masing 52,6% untuk
alel A dan 44,2% untuk alel B dan alel-alel tersebut adalah alel-alel yang juga terdapat
pada Banteng. Hasil penilitian tersebut sejalan dengan anggapan bahwa Banteng
merupakan leluhur dari sapi Bali karena adanya kesamaan alel yang dimiliki oleh
Banteng dan alel yang umum pada populasi sapi Bali.
Nilai Heterozigositas
Keragaman genetik suatu populasi dapat diukur dengan nilai heterozigositas.
Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan heterozigositas harapan (He) dihitung
berdasarkan rumus Nei dan Kumar (2000) dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari hasil penilitian lokus INRA035 memiliki nilai heterozigositas pengamatan
(Ho) yaitu 0,9752 dan nilai heterozigositas harapan (He) yaitu 0,5060. Hal ini
menunjukkan bahwa Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih tinggi dari pada nilai
heterozigositas harapan (He), kemungkinan disebabkan adanya ketidakseimbangan
56
genotipe pada populasi tersebut. Ketidakseimbangan kemungkinan terjadi karena
tidak adanya perkawinan secara acak yang disebabkan terbatasnya jumlah pejantan.
Menurut Tambasco et al. (2003) perbedaan antara nilai heterozigositas pengamatan
(Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat dijadikan sebagai indikator adanya
ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang diamati yang diindikasikan bahwa
sudah ada kegiatan seleksi yang dilakukan dan tidak adanya perkawinan acak.
Tabel 7. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He)
Populasi
Lokasi
Total
Heterozigositas
Ho
He
Sapi Bali
Bone
121
0,9752
0,5060
Hubungan Sifat Fenotipe dan Genotipe
Pada penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sapi Bali, tidak
diperoleh hubungan antara sifat fenotip dan genotip, karena lokus mikrosatelit
INRA035 yang digunakan bukan untuk mendeteksi gen yang membawa sifat warna
dan bentuk tanduk pada sapi Bali di Kabupaten Bone. Hal ini sesuai dengan pendapat
Handiwirawan (2003) bahwa tidak ada kaitan antara penyimpangan warna bulu dan
pola bentuk tanduk pada sapi Bali terhadap lokus mikrosatelit yang diuji yang
menunjukkan bahwa lokus INRA035 tidak berdekatan ataupun berada di dalam gen
penyandi untuk pola warna tubuh dan gen penyandi untuk pertumbuhan bentuk
tanduk pada sapi Bali.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penilitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
secara kualitatif umumnya mempunyai pola warna tubuh yang normal yaitu 97, 52%
sedangkan pola warna tubuh yang menyimpang dari normal yaitu 2,48%.Pola warna
bulu dan bentuk tanduk tidak dapat dijadikan sebagai penanda kemurnian genetik
sapi Bali berdasarkan mikrosatelit lokus INRA035.Bentuk tanduk sapi jantan pada
umumnya berbentuk silak Congklok sedangkan pada sapi betina berbentuk
silakmanggulgangsa.Tingkat kemurnian sapi Bali yang ada di kabupaten Barru sebanyak
96,70%.Hasil identifikasi genotipe pada sapi Bali yaitu persentase genotipe AA
sebanyak 2,48%, genotipe AB sebanyak 96,70% dan BC sebanyak 0,82%. Menunjukkan
bahwa frekuensi genotipe INRA035 dalam keadaan ketidakseimbangan pada hukum
Hardy-Weinbreg.
DAFTAR PUSTAKA
Handiwirawan, E. 2003. Penggunaan Mikrosatelit HEL9 dan INRA035 sebagai Penciri Khas
Sapi Bali. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT
GramediaWidiasarana Indonesia.
Lumban G, A. D., Suatha, I. K., dan Wandina, I. N. 2013. Struktur Genetika Populasi Monyet
Ekor Panjang Di Alas Kedaton Menggunakan Marka Molekul Mikrosatelit D18S536.
Jurnal Indonesia Medicus Veterinus 2(1): 32 – 42.
57
National Research Council. 1983. Little-Known Asian Animals with a Promising Economic
Future. Washington, D.C.: National AcademicPress.
Nei, M. and S. Kumar. 2000. Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford
University Press.
Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle. World Anim. Rev. 7: 13-21.
Soehadji. 1990. Kebijaksanaan pemuliaan ternak (breeding policy) khususnya sapi bali, dalam
pembangunan peternakan. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali. Denpasar, 20-22 September
1990. Denpasar : Fakultas Peternakan Universitas Udayana. Hlm A 1- 9.
Tambasco, D. D., C. C. P. Paz, M. Tambasco-Studart, A. P. Pereira, M. M. Alencar, A. R. Freitas,
L. L. Countinho, I. U. Packer and L. C. A. Regitano. 2003. Candidate genes for growth
traits in beef cattle Bos Taurus x Bos Indicus. J. Anim. Bred. Genet. 120: 51-60.
Tegelstrom, H. 1992. Mitochondrial DNA in natural population: An improved routine for
screening of genetic variation baed on sensitive silver staining. Electrophoresis.7:226-22
Vaitman, D., D. Mercier, K. Moazami – Goudarzi, A. Eggen, R. Ciampolini, A. Lepingle, R.
Velmala, J. Kaukinen, S. L. Varvio, P. Martin and H. Leveziel. 1994. A Set of 99 catlle
microsatellites : Characterisation, synteny mapping, and polymorphism. Mammalian
Genome : 288 – 297.
Winaya, A. 2000. Penggunaan penanda molekuler mikrosatelit untuk deteksi polimorfisme dan
analisis filogenetik genom sapi [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Program
Pascasarjana. Program Studi Bioteknologi.
58
Download