Asal usul manusia dalam pandangan Islam tidak lepas dari figur

advertisement
Asal usul manusia dalam pandangan Islam tidak lepas dari figur nabi Adam as. sebagai
manusia pertama. Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama yang memiliki
kemampuan akal yang sempurna. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Adam adalah
manusia pertama yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan segala kesempurnaannya. Manusia diberi akal
pikiran sehingga dengan akal tersebut mereka dapat berpikir. Dengan berpikir, manusia mampu
mengajukan pertanyaan serta memecahkan masalah. Dengan adanya akal pula, manusia berbeda
dari makhluk-makhluk ciptaan Allah yang lain. Islam mendorong manusia agar menggunakan
potensi yang dimiliki secara seimbang. Akal yang berlebihan mendorong manusia pada
kemajuan materiil yang hebat, namun mengalami kekosongan dalam hal ruhaniyah, sehingga
manusia terjebak dalam segala kesombongan yang merusak dirinya sendiri.
Dalam menggunakan potensi-potensinya, manusia harus menjadi makhluk psiko-fisik,
berbudaya, dan beragama untuk tetap mempertahankan kapasitas dirinya sebagai makhluk yang
paling mulia. Al-Quran menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga
macam istilah yang saling berhubungan satu sama lain, yaitu al-insan, an-nas, al-basyar, dan
bani Adam.
Kata al-insan berasal dari kata nasiya yang artinya lupa, menunjukkan adanya hubungan
dengan kesadaran diri. Manusia disebut al-insan karena kecenderungannya akan sifat pelupa
sehingga memerlukan teguran dan peringatan. Kata al-insan digunakan Al-Quran untuk
menunjukkan kepada manusia secara keseluruhan dari totalitas, jiwa, serta raganya. Kata alinsan untuk penyebutan manusia diambil dari asal kata al-uns atau anisa yang artinya jinak dan
harmonis, karena pada dasarnya manusia dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan
lingkungannya. Sedangkan kata an-nas merupakan jamak dari kata al-insan, kata ini digunakan
untuk menunjukkan sekelompok manusia, baik dalam arti jenis manusia maupun sekelompok
tertentu dari manusia.
Kata al-basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk, baik laki-laki maupun
perempuan, baik satu maupun banyak. Kata al-basyar adalah jamak dari kata basyarah yang
artinya kulit. Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan satu
kali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya. Ayat Al-Quran yang lain mengisyaratkan bahwa
proses kejadian manusia sebagai basyar (manusia) melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai
tahapan kedewasaan, dimana tahapan kedewasaan ini menjadikannya mampu memikul tanggung
jawabnya sebagai khalifah di bumi. Al-basyar dipakai untuk menunjukkan dimensi alamiahnya,
yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, seperti makan, minum, dan mati sehingga
manusia disebut al-basyar karena manusia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu
disabarkan dan didamaikan.
Manusia disebut sebagai bani Adam karena dia menunjukkan asal usul yang bermula dari
nabi Adam as sehingga dia tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, darimana ia berasal, untuk
apa ia hidup, dan kemana dia akan kembali. Penggunaan istilah bani Adam menunjukkan bahwa
manusia bukan hasil dari evolusi makhluk anthropus (sejenis kera).
Manusia dalam pandangan Al-Quran bukan makhluk anthropomorfisme, yaitu makhluk
penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Quran menggambarkan manusia
sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Di samping itu
manusia dianugerahi akal yang dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa ia
pada kualitas tertinggi sebagai makhluk yang bertakwa. Al-Quran memandang manusia sebagai
makhluk yang suci dan mulia, bukan sebagai makhluk yang kotor dan penuh dengan dosa,
sebagaimana pandangan mereka bahwa nabi Adam dan Hawa yang diturunkan dari surga karena
melanggar larangan Allah merupakan asal mula hakikat manusia sebagai pembawa dosa bawaan
(turunan).
Al-Quran memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi, yang sedang dalaam perjalanan
menuju kehidupan spiritual yang suci dan abadi di akhirat kelak, meskipun ia harus melewati
rintangan dan cobaan dengan beban dosa ketika melakukan kesalahan di dalam kehidupan dunia.
Bahkan, dalam Al-Quran manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya
adalah berpembawaan baik (hanif). Oleh karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, dan kesejatian
manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kemuliaan
seperti yang dimiliki manusia. Sebaliknya, kualitas yang buruk, salah, dan jelek selalu menjadi
batu sandungan bagi manusia untuk meraih predikat berkualitas tersebut.
Manusia dapat dikatakan berkualitas apabila ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan
berkehendak. Kebebasan yang dimaksud adalah kesadaran untuk mewujudkan kualitas dan nilai
dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertanggung jawab. Kualitas dan nilai
manusia dapat diraih apabila manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya
berdasarkan pertimbangan aqliyah yang dikaruniakan Allah kepadanya dan dibimbing oleh
cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling murni.
Sumber referensi:
Kamaluddin, U.A. (2013). Filsafat manusia: sebuah perbandingan antara islam dan barat.
Bandung: CV Pustaka Setia.
HAKEKAT MANUSIA MENURUT ALQUR'AN
Al-Qur'an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang
satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan , an-naas , al-basyar , dan banii Aadam .
Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan
peringatan.
Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-nawsyang berarti gerak; dan ada juga yang
berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk
menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari
manusia.
Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu
disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada
asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya.
Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan istilah banii Aadam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi
dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam
dalam al-Qur'an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata
ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)dan
bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35.
Manusia dalam pandangan al- Qur'an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk
penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur'an menggambarkan manusia
sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu
manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk,
sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur'an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai
manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal
manusia,yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan
istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya
adalah pembawa dosa turunan.
Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan
menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati
rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia
ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah
berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada
makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun demikian,
harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilemadilema dalam proses pencapaiannya.
Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa
menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua
tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu
buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi
sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas.
Gambaran al-Qur'an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori
superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang
pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga
pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran doronganego (nafsu
lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu
muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan
sensor atau pengendali ego manusia.
Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap egomanakala
instink, intuisi, dan intelegensi - ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama- bekerja
secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala
ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego
yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
Sebagai kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas manusia berada diantara naluridan
nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun
yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun
intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih.
Nurani (mata batin, akal budi) dipahami sebagai superego, sebagiconscience atau sebagai nafsu
muthmainnah (dorongan yang positif). Prof. Dr. Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia
bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana bertahan), melainkan
juga to exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan pembekalan
yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada hewan.
Manusia bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak. Tetapi
kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat, melainkan upaya
kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil berjuang keras untuk
menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang negatif dan destruktif. Jadi kebebasan
yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya
sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertangung jawab.
Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan
naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang dikaruniai Allah kepadanya dan
dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling murni.
Wallaahu A'lam.
http://nuansaislam.com
Download