Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi vs Kekuatan Politik dalam

advertisement
Dilematika Putusan
Mahkamah Konstitusi
vs
Kekuatan Politik dalam
Impeachment Presiden
Nadir
Fakultas Hukum Universitas Madura Pamekasan
Jl. Raya Panglegur km. 3,5 Pamekasan Madura Jatim
Email: [email protected]
Naskah diterima: 16/4/2012 revisi: 2/5/2012 disetujui: 7/5/2012
Abstrak
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi RI dalam memeriksa dan memutus
perkara impeachment Presiden secara tekstual merupakan kewajiban bukan
kewenangan sehingga terjadi atau tidaknya impeachment Presiden dalam masa
jabatannya akan ditentukan oleh kekuatan politik yang mendukung di sidang
MPR. Seyogianya putusan yang diambil di sidang MPR didasarkan pada putusan
Mahkamah Konstitusi RI sebagai penafsir dan penegak konstitusi (constitusional
court). Keadaan tersebut menyebabkan putusan Mahkamah Konstitusi menjadi
dilematis karena akan ditentukan oleh kekuatan politik di sidang MPR. Selain hal
tersebut, 3 (tiga) dari 9 (sembilan) hakim Mahkamah Konstitusi diajukan oleh
Presiden dan 3 (tiga) lainnya dari DPR hal itu juga menjadi sangat dilematis.
Kata Kunci : Impeachment, Mahkamah Konstitusi, Politik dan hukum.
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Abstract
The involvement of the constitutional court of RI in examining and ruling on
the case of presidential impeachment is textually not the authority but obligation
that whether or not presidential impeachment happen during president’s terms of
office will be determined by the supporting political strength in the MPR session.
The decision taken in the session should be based on the decision of Constitutional
Court as the interpreter and the guardian of the constitution. This condition causes
Constitutional Court decision becomes dillematic because it will be determined by
the political strength in the session of the MPR. Besides,the fact that three of the
nine judges are proposed by the President and three other are proposed by DPR
is also dilemmatic.
Keywords: Impeachment, Constitutional Court, Politics and law.
PENDAHULUAN
Runtuhnya rezim orde baru di bawah naungan kekuasaan Presiden Soeharto
(alm) pada tanggal 21 Mei tahun 1998 adalah realita empiris bahwa sebaik
apapun seorang pemimpin mengemas kekuasaan otoritarianisme dibalik
legitimasi konstitusi dan hegemoni politik, hukum, kekuasaan birokrasi mulai
unsur tertinggi sampai unsur terendah di daerah pada waktunya berakhir pula,
sehingga memunculkan gagasan/ide pembaruan disegala bidang baik bidang
politik, hukum, ekonomi, sosial dan tatanan pemerintahan yang jelas (tidak abuabu). Hal itu dapat disejajarkan dengan gerakan protes dari Paham Rasionalisme,
Romantisme, dan Aufklarung yang didukung dan dipelopori oleh golongan
menengah yang berkembang luas dan kemudian melahirkan revolusi politik dan
sosial yang akhirnya memunculkan 2 (dua) revolusi di zaman modern, yakni
revolusi Amerika Serikat Tahun 1776 dan Revolusi Perancis Tahun 1789 yang
akhirnya menghasilkan paham demokrasi.
Tahun 1999 merupakan tahun keemasan bagi masyarakat bangsa (civil society)
Indonesia yang pro terhadap pembaruan. Bukti nyata keemasan itu ditandai
dengan amandemen UUD 1945 telah dilakukan sebanyak 4 (empat) kali dalam
kurun waktu mulai tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 dan menetapkan
sistem pemerintahan presidensial versi Indonesia sebagai sistem pemerintahan
negara hukum Indonesia.
334
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Amandemen terhadap UUD merupakan hal yang biasa dan wajar dilakukan
dibanyak negara di dunia dalam rangka menyempurnakan sistem pemerintahan
yang dianggap usang atau karena ada revolusi dan reformasi yang menghendaki
perubahan besar dalam suatu negara yang akhirnya harus mengamandemen UUD
dikarenakan UUD sebagai konstitusi negara merupakan pilar/pijakan pemerintah
sebagai unsur pertama dan sumber utama Hukum Tata Negara serta sumber
hukum secara umum yang mendasari kehidupan ketatanegaraan suatu Negara.
Selain itu, UUD sebagai konstitusi dapat diaplikasikan secara komprehensif sebagai
rule of the game dan rule of the moral dalam memecahkan konflik-konflik sosial
dan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
Dalam konteks Indonesia sebelum amandemen UUD 1945, Republik Kesatuan/
Kesatuan Republik Indonesia sama sekali tidak mengenal adanya lembaga
impeachment hal itu juga dapat dilihat ketika BPUPKI sidang pertama tanggal 29
Mei sampai 1 Juni 1945, dan sidang kedua mulai tanggal 10 Juli sampai 17 Juli
1945 tidak ada usulan tentang bagaimana mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau wakil Presiden (impeachment) ketika Presiden dalam menjalankan
pemerintahan Negara (menetapkan kebijakan) melanggar/menyimpang dari
konstitusi (inkonstitusional), yang ada hanya perdebatan Ideologi dan dasar
Indonesia Merdeka bahkan sampai Rancangan Hukum Dasar ditetapkan dan
disahkan oleh PPKI 18 Agustus 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia
sama sekali tidak dikenal adanya lembaga impeachment. Keadaan tersebut
sepertinya memang sengaja dibiarkan oleh Moh. Yamin sebagai ahli hukum tata
negara sekaligus anggota BPUPKI atau memang sebuah kekuarangan dalam UUD
1945 yang dirancang oleh para pendiri negara waktu itu.
Bahkan, Harun Al-Rasyid mengatakan, bahwa UUD 1945 tidak mengenal
lembaga ”impeachment”. karena ”impeachment” itu bahasa Inggris, tetapi baik
menurut kamus bahasa Inggris maupun kamus-kamus hukum, ‘to impeach’ itu
artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban dalam
hubungan dengan kedudukan Kepala Negara atau Pemerintahan, “impeachment”
berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas
persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukannya dalam masa jabatan. Hampir
semua konstitusi mengatur soal ini sebagai cara yang sah dan efektif untuk
mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada di jalur hukum dan konstitusi.
Dalam sistem parlementer, selalu diatur adanya hak parlemen untuk mengajukan
“mosi tidak percaya”, meskipun diimbangi pula dengan kewenangan pemerintah
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
335
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
untuk membubarkan parlemen menurut tata cara tertentu. Karena itu, masa kerja
pemerintahan parlementer tidak ditentukan secara “fixed”. Sebaliknya, masa jabatan
pemerintahan presidensil ditentukan secara ”fixed”, biasanya 4 (empat) sampai 7
(tujuh) tahun. Karena jangka waktunya cukup lama, maka sebagai pengimbang,
kepada parlemen diberikan hak untuk meminta pertanggungjawaban di tengah
jalan. Dengan begitu, negara yang mengidealkan prinsip supremasi hukum dapat
terhindar dari kemungkinan dipimpin oleh seorang yang kemudian berubah
menjadi ‘tiran’. Itu sebabnya, semua sistem kekuasaan memerlukan kontrol dan
pengimbang. Satu lembaga dengan lembaga lain diatur berdasarkan prinsip “check
and balance”. Kalau kinerja seorang pemimpin tidak bisa lagi diperbaiki, harus
dimungkinkan untuk diganti dengan yang lebih baik. Namun demikian, semua
konstitusi negara modern mengenal mekanisme pemberhentian atau penggantian
pemimpinnya di tengah jalan. Yang berbeda hanya jenis pelanggaran hukum yang
dijadikan alasan untuk pendakwaan. Pelanggaran hukum yang dijadikan alasan itu
ada yang bersifat pidana dan ada juga yang bersifat tata negara. Konstitusi Amerika
Serikat Pasal 2 ayat (4) (treason, bribery or other high crimes, and misdemeanors),
Konstitusi Argentina Pasal 52 (malfeasance or crime committed in exercise of their
offices or for common crimes), Konstitusi Perancis Pasal 68 (only the case of high
treason), dan Konstitusi Rusia Pasal 93 ayat (1) (treason or the commission of
some other grave crime), misalnya, mengaitkannya dengan pelanggaran hukum
pidana. Tetapi Konstitusi Jerman (Pasal 61 ayat 1) mengaitkan impeachment itu,
baik dengan pelanggaran tata negara maupun pidana, dan bahkan dengan semua
bidang hukum: “The Bundestag or the Bundesrat may impeach the Federal President
before the Federal Constitusional Court for wilful violation of this Basic Law or any
other federal statute”. Presiden dapat di’impeach’, baik karena didakwa melanggar
UUD ataupun undang-undang Federal lainnya.1
Selain itu, menurut Jimly Asshiddiqie 2, dalam beberapa literatur lain
istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta
pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah
“removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata
“impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan
atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles
L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya,
1
2
Jimly Asshiddiqie, “Impeachment”, dalam legalitas.org.html, Juli 2009, diunduh September 2009.
Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, h. 600
336
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai
dakwaan atau tuduhan.
Menurut Black Law Dictionary impeachment adalah :3 A criminal
proceeding against a public officer. Before a quasi political court,
instituted by a written accusation called “article of impeachment”.
For example a written accusation by the house of representatives
of the United States to the Senate of the United States, against the
President, Vice President, or an officer of the United States.
Secara teks tual yuridis konstitusional impeachment (dakwaan/
tuduhan/pemakzulan) terhadap Presiden dan/atau wakil Presiden dalam teks
dan konteks negara Indonesia baru ditemukan setelah amandemen ke III yang
ditetapkan tanggal 9 November 2001 sebagaimana Pasal 7A dan 7B UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, di mana jika diamati Pasal 7A UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai parameter pokok dapat tidaknya seorang
Presiden dan/atau wakil Presiden di-impeach dalam masa jabatannya sebagai
berikut :
”Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam
masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden”.
Pemetaan dari rumusan Pasal 7A UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 di atas, adalah :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
dapat memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa
jabatannya.
2. Untuk memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya harus ada bukti
pelanggaran hukum, berupa :
a. Pengkhianatan terhadap negara
b. Korupsi
c. Penyuapan
d. Tindak pidana berat lainnya
e. Perbuatan tercela
3
Kunthi Dyah Wardani, 2007, Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press, h.16
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
337
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
f.
Terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden
Untuk memutuskan Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum perlu adanya pembuktian yang independen oleh lembaga
peradilan. Oleh karena itu, adanya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai pengawal
dan sekaligus penafsir konstitusi merupakan pintu pertama impeachment Presiden
dan/atau wakil Presiden. (Vide Pasal 7B ayat (1) dan Pasal 24C ayat (2) UUD
Negara RI Tahun 1945).
Jika memperhatikan article II Section 4 (Pasal II bagian 4) konstitusi Amerika
menegaskan bahwa :
”Presiden, Wakil Presiden dan semua pegawai sipil Amerika
Serikat, akan diberhentikan dari jabatannya apabila kena tuntutan
pertanggungjawaban karena, dan dinyatakan bersalah, dalam hal
pengkhianatan, penyuapan atau kejahatan-kejahatan besar lainnya
dan pelanggaran-pelanggaran”
Secara historis, impeachment terjadi di Amerika Serikat sebanyak 3 (tiga)
kali dengan motif yang berbeda-beda. Pada tahun 1868 terjadi impeachment
terhadap Presiden Andrew Johnson. Dalam kasus tersebut, mayoritas anggota
parlemen Amerika Serikat setuju untuk melakukan impeachment terhadap
Presiden Andrew Johnson karena telah melakukan pelanggaran sumpah jabatan
dan dinyatakan ketentuan konstitusi Amerika Serikat yang disahkan pada tanggal
2 Maret 1867.
Presiden Andrew Johnson telah memberhentikan Edwin M. Stanton sebagai
Sekretaris Departemen Pertahanan dan menggantinya dengan pejabat yang lain
tanpa persetujuan Senat, di mana undang-undang tersebut jelas mengharuskan
adanya persetujuan Senat. Selain itu, juga dituduh melanggar undang-undang
Federal Amerika Serikat, yaitu memberikan perintah kepada William H. Emory
yang seharusnya melalui Jenderal Angkatan Darat. Namun pada proses ditingkat
Senat kedua tuduhan tersebut dibebaskan dan Presiden Andrew Johnson tidak
diberhentikan dari jabatannya karena ada perbedaan satu suara anggota Senat
sehingga memenangkan Presiden Andrew Johnson.
Selain kasus Andrew Johnson, pada 1974, Presiden Richard M. Nixon dituduh
melakukan pelanggaran sumpah jabatan; melakukan tindakan yang melanggar
hak-hak konstitusional warga negara; pelanggaran terhadap hukum yang
338
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
berlaku dibidang pemerintahan; dan lalai menghormati panggilan dari Komite
Kehakiman.
Dalam proses ditingkat Komite Kehakiman disimpulkan bahwa tindakan yang
dapat berakibat pada impeachment tidak harus merupakan tindak pidana yang
dapat didakwakan. Impeachment terhadap Presiden Richard M. Nixon didasarkan
pada tuduhan antara lain: menghambat peradilan, penyalahgunaan kekuasaan,
penghinaan terhadap kongres.
Soimin dalam bukunya menyebutkan bahwa tuduhan tersebut berkaitan
erat dengan skandal Watergate yang terjadi pada tanggal 17 Juni 1972, yaitu
masuknya secara tidak sah beberapa orang di kantor pusat Komite Nasional
Demokrat di Watergate, Washington DC dan melakukan penyadapan telepon,
sehingga akhirnya proses penyelidikan untuk melakukan impeachment terhadap
Presiden Richard M. Nixon harus segera dilakukan oleh Kongres. Namun demikian,
sebelum proses pengambilan putusan berlangsung, Presiden Richard M. Nixon
mengundurkan diri dari jabatan Presiden Amerika Serikat setelah parlemen
menyetujui beberapa pasal impeachment terhadap Presiden Richard M. Nixon.
Oleh karena itu, pengunduran diri yang dilakukan Presiden Richard menyebabkan
gugurnya proses impeachment.4
Kemudian impeachment selanjutnya terjadi pada Presiden William Jefferson
Clinton didasarkan pada 4 (empat) tuduhan hasil keputusan Komite Kehakiman
berupa: melakukan sumpah palsu di hadapan juri; melakukan sumpah palsu
dalam perkara kasus pelecehan seksual kepada Monica Leswinsky; menghambat
peradilan; memberikan respons yang tidak layak atas pernyataan tertulis dari
Komite Kehakiman.5
Karenanya, selama 200 (dua ratus) tahun di Amerika Serikat hanya 13 pejabat
yang terkena tuntutan itu: 9 (sembilan) hakim, seorang hakim Mahkamah Agung,
seorang Menteri Pertahanan, seorang Senator, dan seorang Presiden, Andrew
Johnson. Dalam kasus Presiden Nixon, meskipun parlemen telah memprakarsai
adanya impeachment, namun Presiden telah mengundurkan diri sebelum diadakan
pemungutan suara. Dari 13 (tiga belas) kasus tersebut, hanya 4 (empat) hakim
yang dinyatakan bersalah dan dipecat dari jabatannya. Dalam hal demikian,
pejabat negara bagian dapat juga dikenai impeachment oleh badan legislatif
negara bagian masing-masing.6
4
5
6
Soimin, 2009, Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, h. 67-68
Hamdan Zoelva, 2005, Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian Presiden Menurut UUD 1945, Jakarta: Konstitusi Press,
h. 110-111
Richard C. Schroeder, tanpa tahun, Garis Besar Pemeritahan Amerika, AS: Dinas Penerangan AS, h. 7
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
339
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Sementara itu, di Korea Selatan pada tanggal 12 Maret 2004, terjadi proses
impeachment, yaitu Majelis Nasional memungut suara 193 (seratus sembilan puluh
tiga) setuju lawan 2 (dua) menolak, terhadap penghentian sementara kekuasaan
Presiden Roh Moo Hyun atas pembuktian bahwa dia menerima sumbangan
tidak tercatat dari konglomorat Korea yang ingin mencari kesempatan usaha
dari pemerintah, dan yang kedua adalah karena Roh mencuri start kampanye
Presiden. Meskipun demikian hasil survei rakyat Korea menyatakan 70% (tujuh
puluh perseratus) rakyat merasakan seharusnya Presiden Roh tidak perlu diimpeach, namun rakyat juga mengatakan bahwa sebagai pemimpin Negara dia
tidak memberi suri teladan yang baik kepada bangsa Korea. Sejak voting di
Majelis Nasional, pemerintahan sementara dipegang oleh Perdana Menteri. Proses
impeachment berlanjut di Mahkamah Konstitusi Korea Selatan pada tanggal 14
April 2004 membatalkan hasil voting Majelis Nasional dan Presiden Roh kembali
menduduki kursi Presiden Korea Selatan sampai berakhir 2008. Hasil dari proses
pendewasaan demokrasi ini selanjutnya adalah pembersihan besar dari bisnis
konglomerat yang menggurita di pemerintahan Korea Selatan.7
Kemudian di Filipina Selatan Di Filipina tahun 2000 juga terjadi impeachment
ketika Presiden Joseph Estrada didakwa menerima bayaran milyiran Peso sewaktu
Gubernur Negara bagian Illocos Sur bersaksi bahwa itu adalah uang setoran
permainan judi lokal dan setoran atas penyelidikan kasus tembakau yang pernah
terjadi sebelumnya. Tanggal 13 November 2000, Ketua Parlemen membentuk
Komisi Sidang impeachment kepada Senat, yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah
Agung Hilario Davide Jr. Dalam tayangan siaran langsung di radio dan televisi,
persidangan yang memanggil para saksi dan bukti-bukti sangat menguatkan
kebenaran dakwaan terhadap Presiden Joseph Estrada. Tanggal 16 Januari 2001,
pada persidangan itu, Dewan Juri yang berjumlah 11 dari 21 orang memutuskan
menolak membuka amplop yang berisi bukti-bukti kuat keterlibatan Presiden dalam
korupsi dan penyuapan dan lalu sidang menjadi buntu, dan seketika gelombang
protes seluruh Filipina menggoncang bangsa. Tiga hari kemudian, tanggal 19
Januari 2001, Panglima Militer Filipina Jenderal Angelo Reyes, mengambil sikap,
yaitu berpihak kepada Wakil Presiden Gloria Macapagal Arroyo secara penuh,
dan Mahkamah Agung lalu membuat Fatwa bahwa kursi Kepresidenan kosong
meskipun Joseph Estrada tidak mundur dari jabatan. Siang itu juga Wakil Presiden
7
Cahyo Baroto, “Belajar dari Impeachment Beberapa Negara Lain”, http://news.okezone.com/read/2010/03/08/58/310152, diunduh 8 Maret
2010.
340
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
diangkat sumpahnya menjadi Presiden Filipina yang baru. Hasilnya adalah situasi
politik yang sempat memanas, dan memuncak dengan perlawanan Presiden
Joseph Estrada, menjadi cepat pulih dan stabil setelah militer mengambil posisi
berpihak kepada kebenaran dan berani bersikap dengan jelas demi pulihnya
kestabilan dan kedamaian tanpa harus mengeluarkan sebutir pelurupun.8
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IMPEACHMENT DI
INDONESIA
Sejarah impeachment (pemberhentian) Presiden di Indonesia itu sendiri
pernah terjadi selama 2 (dua) kali impeachment (pemberhentian) presiden dalam
masa jabatannya dengan kekuatan politik MPR waktu itu:
Pertama, pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
menarik mandat Presiden Soekarno. Dalam TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967
tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno
disebutkan, bahwa Presiden Soekarno diganti oleh Jendral Soeharto, dengan
pertimbangan bahwa Presiden Soekarno tidak dapat melakukan kewajibannya dan
tidak dapat melaksanakan haluan negara sebagaimana ditetapkan oleh UndangUndang Dasar dan MPRS.
Sebelum amandemen UUD 1945 impeachment Presiden tidak diatur di dalam
konstitusi negara, akan tetapi hanya sedikit dalam penjelasan UUD 1945 yang
merupakan bagian tak terpisahkan. Dalam Pasal 8 UUD 1945 menegaskan, bahwa
”jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya
dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa
jabatannya”.
Pasal tersebut di atas, tidak mengatur tentang pemberhentian Presiden,
hanya mengatur mengenai “penggantian” Presiden. Jika Presiden meninggal
dunia ia dapat diganti karena mangkat. Jika Presiden berhenti secara sepihak
seperti yang dilakukan Presiden Soeharto (mengundurkan diri), maka ia dapat
diganti karena menyatakan diri berhenti. Jika ia mengajukan permintaan berhenti
atau mengajukan mengundurkan diri kepada MPR, maka MPR harus melakukan
tindakan yang bernama penggantian, bukan pemberhentian. Karenanya TAP No.
XXXIII/MPRS/1967 menetapkan Presiden Soekarno diganti oleh Jenderal Soeharto
berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 karena pertimbangan bahwa Presiden
8
Ibid.
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
341
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Soekarno tidak dapat melakukan kewajibannya, tidak dapat melaksanakan GarisGaris Besar Haluan Negara sebagaimana ditetapkan oleh UUD dan MPRS.
Presiden Soekarno bukan diberhentikan, melainkan diganti dengan
Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Dengan logika demikian, berarti Pasal 8
itu menentukan bahwa apabila Presiden dinilai oleh MPR tidak dapat lagi
melaksanakan kewajibannya, maka ia dapat diganti di tengah jalan. Alasan untuk
mengganti Presiden tidak perlu karena terjadinya pelanggaran sebelumnya
oleh Presiden. Meskipun Sidang Istimewa MPRS 1967 diadakan karena adanya
memorandum DPRGR dan ditolaknya laporan pertanggungjawaban Presiden,
baik Nawaksara maupun pelengkapnya Nawaksara. Karenanya dalam Pasal 4
TAP No. XXXIII/MPRS/1967 ditegaskan bahwa menetapkan berlakunya TAP
MPRS No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Suharto, pengemban TAP
MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 UUD
1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil
pemilihan umum.
Kedua, terjadi pada Sidang Istimewa yang digelar pada bulan Agustus
tahun 2001. Ketika itu MPR juga telah mencabut mandat atau memberhentikan
Presiden Abdurrahman Wahid (alm) dengan alasan bahwa presiden dinyatakan
telah melanggar Haluan Negara, karena tidak hadir dan menolak untuk memberi
pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR, serta penerbitan Maklumat
tanggal 23 Juli 2001 yang dianggap inkonstitusional oleh MPR. Kesemuanya itu
bermuara pada impeachment (pemberhentian) Presiden dari jabatannya sebagai
kepala negara dan pemerintahan.
Pengusulan impeachment presiden yang dilakukan oleh DPR kepada MPR
melalui Mahkamah Konstitusi RI adalah sebagai bentuk pengawasan terhadap
kinerja Presiden sebagai kepala eksekutif di mana menurut Pasal 69 UndangUndang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan. Fungsi legislasi diwujudkan dalam membentuk undang-undang yang
dibahas dengan presiden untuk mendapat persetuan bersama. Sementara fungsi
anggaran diwujudkan dalam menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan
dan belanja negara bersama presiden dengan memperhatikan pertimbangan
DPD. Sedangkan fungsi pengawasan diwujudkan untuk melakukan pengawasan
342
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
terhadap pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang, dan Peraturan Pelaksanaannya.
ANTARA HUKUM DAN POLITIK DALAM IMPEACHMENT PRESIDEN
Salah satu prinsip yang ada dalam pemerintahan modern adalah adanya
pertanggungjawaban. Kekuasaan pemerintahan harus dilaksanakan secara
bertanggung jawab karena kekuasaan itu lahir dari suatu kepercayaan rakyat.
Kekuasaan yang diperoleh dari suatu lembaga yang dibentuk secara demokratis
adalah logis harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Dengan demikian
pertanggungjawaban merupakan syarat mutlak yang harus ada pada pemerintahan
demokrasi. Di negara demokrasi tidak satupun kekuasaan yang tidak perlu
pertanggungjawaban. Doktrin ini hanya berlaku untuk kekuasaan dalam arti real
power yang dilaksanakan oleh Presiden selaku kepala eksekutif. Kekuasaan Kepala
Negara yang not a real power tidak perlu dipertanggungjawabkan. Presiden yang
bertanggung jawab dalam negara Republik secara politis mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada pemilik kedaulatan.9
Model pertanggungjawaban yang dianut oleh TAP No. III/1978 berbeda
dengan mekanisme impeachment yang dikenal di beberapa negara, seperti
Amerika Serikat dan Philipina sebagaimana uraian di awal. Perbedaan mendasar
antara mekanisme pertanggungjawaban Presiden dalam TAP No. III/1978 dengan
impeachment kedua negara tersebut adalah dari segi substansinya. Kedua negara
tersebut menerapkan sistem Presidensil secara konsekuen, sehingga Presiden
tidak dapat dijatuhkan di tengah masa jabatannya, kecuali ia telah melanggar
konstitusi dan hukum positif negara tersebut.
Pada dasarnya mekanisme impeachment merupakan suatu prosedur istimewa
yang mengatasi stabilnya posisi Presiden dalam sistem presidensil. Karena kepala
pemerintahannya tidak dapat dijatuhkan dengan mosi tidak percaya Parlemen
sebagaimana dalam sistem Parlementer. Ada prinsip dalam Negara hukum yang
biasa dikenal dengan equality be fore the law (kedudukan yang sama di depan
hukum baik bagi penyelenggara Negara, pejabat Negara dan bagi masyarakat biasa.
Prinsip tersebut tidak dapat ditawar lagi oleh pihak penyelenggara negara karena
merupakan salah satu model penyelenggaraan Negara hukum modern.
9
Bonny dan Novan, “Penolakan pertanggungjawaban Presiden Sebagai Mandataris MPR”, Majalah Hukum dan kemasyarakatan, Jakarta, 1991,
h.1, dalam Mirza Nasution, “Beberapa Masalah Tentang Pemberhentian Presiden Dalam Sistem Pemerintahan Kuasi Presidensial Di Indonesia”
Fakultas Hukum Bagian Ilmu Tatanegara Universitas Sumatera Utara Tanpa Tahun, h. 1
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
343
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Pengusulan impeachment Presiden oleh DPR kepada MPR tidak dapat
dilakukan secara politis sebagaimana pemberhentian Presiden pada Soekarno dan
Abdurrahman Wahid. Namun terlebih dahulu harus diajukan kapada Mahkamah
Konstitusi RI sebagai pintu pertama untuk diperiksa, diadili, dan diputus
berdasarkan pendapat DPR, bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela
dan tindak pidana berat lainnya.
Sebagaimana Pasal 24C ayat (2) Konstitusi Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Keterlibatan Mahkamah Konstitusi RI dalam impeachment Presiden adalah
merupakan domain politik hukum amandemen UUD 1945 sebagaimana Pasal
7A dan 7B UUD RI Tahun 1945 di mana ada kemungkinan tolak tarik antara
supremasi hukum dan supremasi politik di DPR-MPR untuk memakzulkan Presiden
atau tidak dalam masa jabatannya dan legalitas putusan Mahkamah Konstitusi
RI untuk menentukan terbukti atau tidaknya Presiden melakukan pelanggaran
hukum sebagaimana Pasal 7A UUD RI Tahun 1945 berupa: pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dipurbasangkakan oleh
DPR. Hanya dalam kasus demikian terlebih dahulu diajukan ke Mahkamah
Konstitusi RI sebagai pintu pertama dalam proses impeachment secara yuridis
konstitusional.
Dalam proses impeachment Presiden antara supremasi hukum dan supremasi
politik terjadi tolak tarik yang kuat, karenanya Mahfud MD mengemukakan,
bahwa dalam realita empiris hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi
politik yang melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan
hukum tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling bersaingan. Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan
bekerjanya hukum.10
Dalam kalangan ahli hukum minimal ada 2 (dua) pandangan mengenai
hubungan kausalitas antara politik dan hukum. Kaum idealis yang lebih bediri
pada sudut das sollen mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan
10
Moh. Mahfud MD, 1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media, h. 69
344
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk dalalm kehidupan
masyarakatnya. Penulis seperti Roscoe Pound telah lama berbicara tentang “law
as a tool of social engineering”.11
Akan tetapi kaum realis seperti Von Savigny mengatakan bahwa hukum selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Ini berarti bahwa
hukum mau tidak mau menjadi independent variable atas keadaan di luarnya,
terutama keadaan politiknya.12
Satjipto Rahardjo mengemukakan, bahwa kalau kita melihat hubungan antara
sub sistem politik dengan sub sistem hukum, maka tampak bahwa politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar, sehingga hukum selalu berada dalam posisi
yang lemah.13 Karenanya Sri Soemantri sering mengeluh bahwa perjalanan politik
dan hukum di Indonesia ini ibarat perjalanan kereta api di luar relnya. Artinya
banyak sekali praktek politik yang secara substantif bertentangan dengan aturan
hukum.14 (keluar dari aturan hukum yang telah ditentukan).
Hal itu menurut Mahfud dimaksudkan untuk menegaskan bahwa di dalam
kenyataan empirik politik sangat menentukan bekerjanya hukum. Pengaruh politik
terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakan hukumnya dan karakteristik
produk-produk hukum serta proses pembuatannya.15
Demikian halnya dalam konteks impeachment Presiden, di mana setelah
Mahkamah Konstitusi RI memeriksa dan memutuskan bahwa Presiden terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana Pasal 7A UUD RI Tahun 1945
amandemen, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden di mana usul
permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi RI hanya
dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Jika Mahkamah Konstitusi RI memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
11
12
13
14
15
Ibid., h. 70-71
Ibid.
Satjipto Rahardjo, 1985, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Sinar Baru, h.71
Ibid.
Ibid., h.72
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
345
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memutuskan
usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul. Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/
atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka di situ terjadi pertentangan
kekuatan hukum putusan Mahkamah Konstitusi RI dan kekuatan politik yang akan
meneruskan putusan Mahkamah Konstitusi RI atau menolak putusan Mahkamah
Konstitusi RI setelah MPR mendengar penjelasan Presiden.
Meskipun Mahkamah Konstitusi RI memutuskan bahwa Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum, atau tidak terbukti melakukan pelanggaran
hukum, namun kehendak politik begitu kuat untuk memberhentikan atau tidak
memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya, maka hal itu juga akan
ditentukan oleh kekuatan politik yang menyertai terjadinya impeachment, bukan
ditentukan oleh putusan Mahkamah Konstitusi RI, di sisi lain jika MPR mengabaikan
putusan Mahkamah Konstitusi RI baik terbukti atau tidak terbukti melakukan
pelanggaran hukum, maka MPR sudah mengabaikan penegakan konstitusi disini
pula putusan Mahkamah Konstitusi delimatis.
Dalam keadaan demikian, kekuatan politik suprem. Karena ketika keputusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang harus diambil dalam sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan
dalam sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak mencapai kourum
tersebut, maka tidak akan terjadi pemberhentian meskipun Mahkamah Konstitusi
RI memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah terbukti melakukan
pelanggaran hukum seagaimana Pasal 7A UUD Negara RI Tahun 1945, akan
tetapi jika mencapai kourum, maka akan terjadi pemberhentian Presiden. Oleh
346
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
karena itu, jika MPR menolak atau mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi
RI yang menyatakan bahwa Presiden telah terbukti melakukan pelanggaran
hukum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7A UUD RI Tahun 1945, berarti
MPR menjalankan fungsi legislatif yang di dalamnya terdapat fungsi kontrol/
pengawasan, akan tetapi jika MPR menerima putusan Mahkamah Konstitusi
RI, maka MPR menjalankan fungsi yudisial, yakni menjalankan apa yang telah
diputusan oleh lembaga peradilan kontsitusi dalam menegakkan konstitusi
(constitusional court).
Saat ini di Indonesia hanya Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga
yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan independen untuk
menyelenggarakan peradilan konstitusi guna menegakkan hukum dan keadilan
secara yuridis konstitusional yang akan menentukan apakah Presiden dan atau
wakil presiden benar-benar telah melanggar hukum atau tidak. Namun demikian,
berhenti atau tidaknya Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya
tergantung kehendak politik lebih-lebih jika anggota MPR-DPR mayoritas pemenang
Pemilu dan sebagai pendukung Presiden terpilih.
Abdul Latif mengemukakan, bahwa keterlibatan Mahkamah Konstitusi RI
dalam proses impeachment hanya sebatas kewajiban bukan kewenangan. Dikatakan
kewajiban karena putusan Mahkamah Konstitusi RI dalam hal ini tidak final atau
dapat dianulir oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini suatu indikasi masih
adanya supremasi politik terhadap hukum. Akibatanya bukan tidak mungkin
keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk terjadinya impeach Presiden
hanya didasarkan pertimbangan politik. Jika hal ini yang terjadi, maka impian
mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis dan konstitusional
sulit terwujud. Idealnya, putusan yang diambil Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam impeach Presiden hanya didasarkan pada pertimbangan hukum mengingat
presiden sudah dipilih secara langsung dalam pemilihan umum presiden, sehingga
rakyatlah yang berhak impeach. Di samping itu, konsepsi Pasal-Pasal yang mengatur
impeachment sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ternyata tidak singkron alias rancu, karena
wewenang dan kewajiban yang dimiliki Mahkamah Konstitusi RI kurang dapat
dijadikan untuk mewujudkan rechtsidee secara maksimal, khususnya cita-cita
membangun satu tatanan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis dan
mandiri berdasarkan hukum.16
16
Abdul Latif, 2007, Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokratis, Yogyakarta: CV. Kreasi Total Media, h.
216-217
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
347
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Ada sebuah skenario besar yang sengaja dibuat oleh para perancang
amandemen UUD 1945, yakni keterlibatan Mahkamah Konstitusi RI dalam
impeachment Presiden yang bukan merupakan kewenangannya melainkan
sebatas kewajiban untuk memeriksa dan memutus pelanggaran hukum berupa:
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mestinya kewajiban untuk memeriksa dan
memutus peristiwa impeachment presiden ini dimaksukkan dalam kewenangannya
yang bersifat final agar tidak terjadi tawar-menawar kekuasaan politik, di sinilah
hukum dengan kekuasaan berinterakasi dengan kekuatan masing-masing.
Dalam kaitan ini, pandangan tentang hubungan hukum dan kekuasaan tidaklah
tunggal. Antara kaum idealis yang berorientasi das sollen dan kaum empiris yang
melihat hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda. Namun
kedua pandangan itu, mempunyai pendapat yang sama bahwa seharusnya hukum
itu suprem atas kekuasaan.
Ada 2 (dua) fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum di dalam masyarakat,
yaitu pertama sebagai sarana kontrol sosial dan kedua sebagai sarana untuk
melakukan ”social engineering”. Sebagai sarana kontrol sosial maka hukum bertugas
untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada di dalam pola-pola tingkah
laku yang telah diterima olehnya.17
Di dalam peranannya yang demikian ini hukum hanya mempertahankan saja
apa yang telah menjadi sesuatu yang tetap dan diterima di dalam masyarakat atau
hukum sebagai penjaga status quo. Tetapi ketika melihat teori dari Roscoe Pound
yang menyatakan bahwa “law as tool of social engineering” maka akan melihat
bahwa hukum harus mempengaruhi kehidupan masyarakat.18 Tetapi manakala
mengacu pada teori Von Savigny yang mengatakan bahwa “hukum berubah
manakala masyarakat berubah”, maka yang dimaksudkan adalah bahwa hukum
harus mampu mengikuti perkembangan dan memenuhi tuntutan masyarakat.
Sebenarnya implisit di dalamnya bahwa hukum dipengaruhi oleh kekuatankekuatan eksternal, termasuk subsistem politiknya.
Realita empirik di lapangan menunjukkan bahwa betapa sering kali hukum
tidak mempunyai otonomi yang kuat, karena energinya lebih lemah daripada energi
subsistem politiknya. Sehingga yang dapat dilihat bukan saja materi hukum itu
yang sarat dengan konfigurasi kekuasaan, melainkan juga penegakannya kerap
17
18
Soerjono Soekanto, 1973, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, h. 58
Roscoe Pound, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Terjemahan Mohammad Radjab, Jakarta: Bhratara, h.7
348
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
kali diintervensi oleh kekuasaan, sehingga hukum sebagai petunjuk menjadi
terabaikan. Dari kenyataan empirik yang seperti itulah kemudian muncul teori
“hukum sebagai produk kekuasaan (politik)”.19
Karenanya menurut hemat penulis bahwa hukum itu kekuasaan dan kekuasaan
itu adalah hukum. Hukum dapat menciptakan kekuasaan dan kekuasaan dapat
menciptakan hukum.20 meskipun ada yang menyebut recht is recht mach is
mach.
Satjipto Rahardjo mengemukakan bagi orang yang melakukan telaah tentang
hukum dan kekuasaan, minimal akan menemukan dua pandangan yaitu : pertama,
hukum menentukan dan mempengaruhi kekuasaan; kedua, hukum dipengaruhi
oleh kekuasaan. Idealnya memang antara hukum dan kekuasaan paling tidak
saling mendukung. Dalam arti hukum harus ditegakkan dengan kekuasaan,
agar daya paksanya bisa efektif. Sebaliknya kekuasaan harus dijalankan dengan
prinsip-prinsip hukum, agar tidak sewenang-wenang. Dalam konteks inilah kita
bisa memahami pernyataan, bahwa “hukum tanpa kekuasaan adalah anganangan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman. Dengan pengutaraan ini, kita
melihat dengan jelas persoalan yang kita hadapi, yaitu hubungan antara hukum
dan kekuasaan.21
Secara prosedural, desain hukum menjadi kental bermuatan politik. Hal ini
dapat dimengerti karena sistem hukum memang tidak mungkin menutup diri
dari sistem-sistem lain. Bahkan, pernyataan John Austin tentang sistem hukum
tertutup pada dasarnya mengalami contradictio in terminis dengan pernyataannya
semula tentang law as a command of lawgivers.
Keterkaitan sistem hukum dengan sistem lain ditunjukkan secara sangat
baik oleh Talcott Parson dengan Teori Sibernetika-nya22. Dalam teorinya, Parson
menyebutkan tentang ada 4 (empat) subsistem: ekonomi, politik, sosial dan
budaya yang senantiasa melingkari kehidupan kemasyarakatan. Dilihat dari arus
energi, subsistem ekonomi menempati kedudukan paling kuat, diikuti subsistem
politik, baru kemudian subsistem sosial (di mana hukum ada di dalamnya), dan
diakhiri oleh subsistem budaya. Di sisi lain, dilihat dari arus informasi (tata nilai),
subsistem budaya justru yang paling kaya, diikuti oleh subsistem sosial, subsistem
politik, dan berakhir pada subsistem ekonomi.
19
20
21
22
Moh. Mahfud, MD., 1999, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi, Yogyakarta: Liberty, h. 272
Nadir, “Memformat Equity and Equality Antara DPR dan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Publika FIA Unira Pamekasan,
Tahun I No. I, Januari, 2010, h. 48
Satjipto Rahardjo, 1996, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, h. 146
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran……………Op.Cit.
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
349
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Apa maksudnya penjelasan Parson di atas, di sini terlihat bahwa anggapan
bahwa hukum adalah produk politik sesungguhnya hanya dapat dibenarkan
apabila dilihat dari arus energi saja sebagai lembaga pembentuk (DPR). Sementara
jika dilihat dari aspek informasi (material), hukum adalah produk budaya. Oleh
karena itu, diskursus aliran-aliran filsafat hukum dan teori hukum seperti yang
dikemukakan di atas, menjadi makin relevan apabila dikaji dari perspektif
parsonian. Sekalipun pandangan bahwa hukum adalah produk politik itu sangat
sepihak, tidak terbantahkan bahwa pengaruh politik memang besar terhadap
pengembanan hukum (rechtsbeoefening) khususnya di Indonesia.
Keadaan politik tertentu dapat mempengaruhi produk hukum, seperti
mengenai impeachment Presiden bahwa produk hukum putusan Mahkamah
Konstitusi RI yang menyatakan presiden terbukti atau tidak terbukti melakukan
pelanggaran hukum dapat dikalahkan oleh produk lembaga yang berpolitik (MPR)
yang nantinya setelah mendengar penjelasan Presiden dalam sidang paripurna
MPR, MPR dapat menetapkan dan memutuskan bahwa Presiden tidak terbukti
melakukan pelanggaran hukum karena mekasnisme yang digunakan mekanisme
politik, akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi RI menjadi sia-sia sebab untuk
apa Presiden diajukan dan diusulkan ke Mahkamah Konstitusi RI untuk diperiksa
oleh Mahkamah Konstitusi RI, jika putusan Mahkamah Konstitusi RI akhirnya
diabaikan. Karenanya bahwa kekuatan politik dalam percaturan perpolitikan
dibanding hukum di Indonesia sangat kuat dan dapat menentukan dapat tidaknya
impeach Presiden dalam masa jabatannya termasuk dalam mengatur tercapai
tidaknya kourum sidang MPR.
DILEMATIKA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS
IMPEACHMENT PRESIDEN
Peran Mahkamah Konstitusi RI di sini jelas adalah interaksinya antara hukum
dengan kekuasaan politik di satu sisi yang menekan kewajibannya dalam rangka
menegakkan hukum, tetapi di sisi lain kekuasaan begitu dominannya sehingga
putusan hukum lembaga peradilan konstitusi (constitusional court) harus ditawar
dengan kekuasaan Presiden dan kekuatan politik.
Keadaan demikian, posisi Presiden menjadi semakin kuat, karena interpretasi
atau penafsiran atau penentuan apakah presiden dan/atau wakil Presiden
melanggar hukum, akan bergantung kepada putusan Mahkamah konstitusi dengan
350
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
jumlah anggota 9 (sembilan) orang hakim, yang 3 (tiga) di antaranya diajukan
oleh Presiden. Jadi secara politik, Presiden telah memegang 3 (tiga) suara di
Mahkamah Konstitusi. Berarti jika putusan Mahkamah Konstitusi dijalankan
berdasarkan voting, yaitu tidak ada kesepakan bulat di antara semua anggota
hakim Mahkamah Konstitusi, maka Presiden tinggal mencari dukungan suara 2
(dua) orang lagi karena 3 (tiga) hakim konstitusi tersebut secara politik pernah
berhutang budi pada Presiden, karenanya netralitas hakim dipertanyakan.
Presiden tidaklah sulit untuk mendapat dukungan suara dari 3 (tiga) orang
anggota hakim Mahkamah Konstitusi yang pernah diajukan. Secara politik,
mempengaruhi 3 orang lebih mudah dibandingkan dengan harus mempengaruhi
50% (lima puluh perseratus tambah satu) dari seluruh anggota MPR. Ketentuan
ini yang akan dapat menyelamatkan apabila Presiden dituduh oleh DPR telah
melanggar hukum. Karena disitu, tuduhan DPR tersebut dapat saja ditolak oleh
Mahkamah Konstitusi. Jika oleh Mahkamah Konstitusi, Presiden dan/atau wakil
presiden diputus tidak melakukan pelanggaran hukum yang dituduhkan itu, maka
MPR tidak berwenang memberhentikan Presiden. Jadi, penentu pertama dan
sangat dominan apakah Presiden dan atau wakil presiden dapat diberhentikan
oleh MPR adalah Mahkamah Konstitusi.
Problematika yang timbul dari Pasal 7A dan 7B UUD RI Tahun 1945, jika
Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden dan/atau wakil presiden melanggar
hukum, namun MPR ternyata tidak memberhentikan Presiden dan/ atau wakil
presiden. Kasus demikian kemungkinan bisa saja terjadi, mengingat MPR adalah
lembaga politik, dan dalam pengambilan keputusan dapat berdasarkan suara
terbanyak, bukan berdasarkan objektifitas hukum. Namun demikian, di sisi
lain, posisi Presiden semakin kuat, karena ia tidak akan mudah dijatuhkan atau
diberhentikan oleh MPR, meskipun ia berada dalam kondisi berbeda pandangan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan parlemen baik kepada DPR maupun
kepada DPD. Selama tidak diputus melanggar hukum oleh Mahkamah Konstitusi,
maka posisi presiden akan aman. Selain itu, presiden tidak lagi bertanggungjawab
kepada MPR, karena Presiden dipilih langsung oleh rakyat.23
Meskipun demikian, MPR tetap dapat memberntikan Presiden dalam masa
jabatannya atas usul DPR jika memperhatikan Pasal 7A perubahan ketiga UUD
1945. Namun, hal ini akan sangat bergantung kepada keputusan Mahkamah
Konstitusi RI, karena menurut Pasal 7B ayat (1) menyatakan usul pemberhentian
23
vide Pasal 6A, 7A dan 7B serta Pasal 24C ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
351
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Presiden dan/ atau wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya
dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi
untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil presiden telah
melakukan pelanggaran hukum.24 Jadi putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
semata-mata atas dasar pertimbangan hukum.
Jika dianulir terhadap Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, MPR dapat memilih Presiden
dan Wakil presiden pengganti apabila terdapat kekosongan jabatan Presiden dan
wakil presiden di tengah masa jabatannya secara bersamaan, akan tetapi hasil
Presiden terpilih dalam pemilihan Presiden yang dilakukan oleh MPR tersebut
hanya karena adanya kekosongan jabatan dalam masa jabatan Presiden. Oleh
karena itu, pertanggungjawaban presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh
MPR tersebut tidak bertanggung jawab kepada MPR sebagai pemilh, melainkan
ia tetap bertanggung jawab kepada rakyat, karena pemilihan Presiden oleh MPR
itu, bukan dalam rangka masa akhir jabatan sebagaimana lima tahun sekali, tetapi
merupakan perpanjangan tangan (sisa jabatan) dari hasil pemilihan Presiden yang
dilakukan oleh rakyat secara langsung dalam Pilpres. Jadi tetap konsep kedaulatan
berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.25
Jika dicermati ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 tersebut bersifat dilematis
karena masih memberikan kewenangan kepada MPR membolehkan untuk memilih
Presiden dan wakil Presiden yang masih ada dalam sisa jabatan Presiden/wakil
Presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat. Seyogiayanya pemilihan Presiden
dan/atau wakil presiden pengganti (dalam sisa jabatan) diserahkan kembali kepada
rakyat ayat (2) dan Pasal 6A UUD RI Tahun 1945, kecuali jika pertimbangannya
karena teknis dan karena biaya besar untuk dipilih kembali oleh rakyat, maka
kewenangan MPR dalam memilih Presiden pengganti dapat dibenarkan secara
teknis, bukan secara yuridis konstitusional.
Mahfud MD mengemukakan, bahwa ketentuan konstitusi yang tampaknya
mempersulit cara impeachment/penjatuhan Presiden sebenarnya agak ilutif,
sebab jika bola politik mengelinding ke arah impeachment, tidak terlalu sulit
bagi parpol-parpol untuk melakukan penggalangan politik. Karena itu, Presiden
Indonesia siapapun dia tidak boleh meremehkan parpol meski parpol kecil
sekalipun dengan hitungan yang sederhana.26
24
25
26
vide Pasal 7A UUD RI Tahun 1945 mengenai bentuk pelanggaran hukumnya
Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945.
Moh. Mahfud, MD, 2009, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, Jakarta: RajaGrafindo Persada, h. 354
352
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Dalam keadaan mekanisme yang demikian, menurut Mahfud terjadilah
saling sandera antara Presiden dan partai politik. Parpol menyandera Presiden
agar mau menerima sodoran kader untuk kabinet atau minta imbalan politik
lainnya. Presiden juga berkepentingan menyandera sebagian Parpol agar tidak
menjatuhkannya dengan memberi imbalan politik sekurang-kurangnya Presiden
agar terus berusaha agar kalangan Parpol yang melawan tidak mencapai dua
pertiga perdua pertiga di DPR dan dua pertiga pertiga perempat di MPR.27
Jadi, meskipun menurut Pasal 7A dan 7B UUD RI 1945 untuk menjatuhkan
Presiden tampak sulit, akan tetapi jika bola politik menggelinding untuk
menjatuhkan Presiden/Wakil Presiden, maka tidak terlalu sulit untuk dilakukan
karena dapat mencari-cari bukti bahwa Presiden/wakil Presiden melanggar salah
satu 5 (lima) pelangaran tersebut, dan banyak yang dapat ditemukan tinggal
kourum dan kesepakatan partai-partai politik di DPR. Selain itu, dengan sistem
politik yang multi partai seperti sekarang, kedudukan Presiden/Wakil Presiden
tidak dapat sekuat seperti yang kita bayangkan dalam sistem dwi partai.28
KESIMPULAN
Sebagaimana penuis sebutkan di awal, Pasal 7A dan 7B UUD RI Tahun 1945,
telah mengatur secara tegas masalah pemberhentian (impeachment) Presiden
dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya, di mana pemberhentian
(impeachment) Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Pasal tersebut terjadi
di dalam 3 (tiga) lembaga, yaitu: Pertama, di DPR sebagai lembaga politik yang
mengusulkan kepada Mahkamah Konstitusi mengenai adanya pelanggaran hukum
yang dilakukan Presiden dan/atau wakil Presiden. Kedua, di Mahkamah Konstitusi
RI sebagai lembaga pemeriksa dan pemutus/penentu terbukti atau tidaknya
Presiden dan/atau wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum. Ketiga, di Majelis
Pemusyawaratan Rakyat sebagai pemutus untuk memberhentikan atau tidak
memberhentikan Presiden dan/atau wakil Presiden dalam masa jabatannya yang
didakwa melakukan pelanggaran hukum. Jika diperhatikan impeachment Presiden
ditiga lembaga di atas sepertinya sangat mudah untuk menuju proses impeachment,
akan tetapi juga terlihat sangat sulit untuk memakzulkan Presiden dan/atau wakil
Presiden jika meihat mekanisme dari Pasal 7A dan 7B UUD RI Tahun 1945. Namun
demikian, terjadi atau tidaknya impeachment Presiden dalam masa jabatannya akan
27
28
Ibid., h. 355
Ibid., h. 356
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
353
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
ditentukan oleh kekuatan politik yang mendukungnya meskipun ada keterlibatan
Mahkamah Konstitusi RI di dalamnya karena keterlibatan Mahkamah Konstitusi RI
hanya sebatas kewajiban bukan kewenangan, sehingga bagi Mahkamah Konstitusi
RI putusannya menjadi dilematis karena akan ditentukan oleh kekuatan politik
di sidang MPR, selain itu 3 (tiga) dari 9 (sembilan) anggota hakim Mahkamah
Konstitusi diajukan oleh Presiden hal itu juga menjadi sangat dilematis.
SARAN
Atas dasar uraian di atas, maka dapat diajukan saran/rekomendasi sebagai
berikut: Perubahan terhadap Pasal 7A dan 7B UUD 1945 tetap diperlukan
mengingat pengaturan impeachment dalam Pasal tersebut masih menyisakan
masalah. Oleh karena itu disarankan bahwa: (1) kewajiban MK RI memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sebaiknnya dialihkan menjadi kewenangan
MK RI sehingga putusan MK RI tidak dilematis menjadi final dan binding serta
tidak dapat diuji oleh lembaga lain. (2) Pengajuan Hakim Mahkamah Konstitusi
sebaiknya tidak perlu diajukan oleh Presiden, tidak perlu diajukan oleh Mahkamah
Agung, juga tidak perlu diajukan oleh DPR, melainkan ditentukan melalui
mekanisme rekrutmen seleksi alamiah oleh Komisi Independen sehingga putusan
Mahkamah Konstitusi dalam impeachment Presiden benar-benar independent,
netral dan berwibawa. Dalam keadaan ini Presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan didudukkan sebagai pihak yang menetapkan hakim konstitusi
hasil rekrutment seleksi alamiah dari Komisi Independen.
354
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana
Ilmu Populer, 2007.
Baroto, Cahyo. “Belajar dari Impeachment Beberapa Negara Lain”, dalam http://
news.okezone.com/read/2010/03/08/58/310152, 8 Maret 2010.
Bonny & Novan. “Penolakan pertanggungjawaban Presiden Sebagai Mandataris
MPR”, Majalah Hukum dan kemasyarakatan. Jakarta, 1991. dalam Mirza
Nasution, “Beberapa Masalah Tentang Pemberhentian Presiden Dalam Sistem
Pemerintahan Kuasi Presidensial Di Indonesia”, Fakultas Hukum Bagian Ilmu
Tatanegara Universitas Sumatera Utara Tanpa Tahun.
Latif, Abdul. Fungsi Mahkamah Konstitusi Dalam Upaya Mewujudkan Negara Hukum
Demokratis. Yogyakarta: CV. Kreasi Total Media, 2007.
Mahfud MD, Moh. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: Gama
Media, 1999.
------------. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Liberty, 1999.
------------. Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2009.
Nadir, “Memformat Equity and Equality Antara DPR dan DPD Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Publika Jurnal Ilmiah Administrasi Negara
FIA Unira Pamekasan Tahun I No. I Januari, 2010.
Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum, Terjemahan Mohammad Radjab. Jakarta:
Bhratara, 1972.
Rahardjo, Satjipto. Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam
Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985.
------------. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Press, 1973.
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
355
Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi Vs Kekuatan Politik dalam Impeachment Presiden
Soimin. Impeachment Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia. Yogyakarta: UII
Press, 2009.
Schroeder, Richard C. Garis Besar Pemeritahan Amerika. AS: Dinas Penerangan
AS, tanpa tahun.
Wardani, Kunthi Dyah. Impeachment Dalam Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta:
UII Press, 2007.
Zoelva, Hamdan. Impeachment Presiden: Alasan Tindak Pidana Pemberhentian
Presiden Menurut UUD 1945. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
Jimly Asshiddiqie, “Impeachment” dalam legalitas.org.html, diakses Juli 2009.
356
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012
Download