BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini berfokus pada sintesis senyawa perovskit yaitu La1-xSrxFeO3-δ
(LSFO) dan La1-x(Sr,Ca)xFeO3-δ (LSCFO) yang merupakan suatu oksida padat
yang diharapkan dapat digunakan sebagai katoda pada sel bahan bakar padatan.
Pada bab ini akan dibahas mengenai sel bahan bakar, jenis-jenis sel bahan bakar,
jenis elektroda dan elektrolit yang digunakan pada sel bahan bakar dan oksida
logam yang berstruktur perovskit yang digunakan sebagai katoda pada sel bahan
bakar padatan. Kemudian akan pula dibahas prinsip metode sol gel yang
digunakan dalam sintesis senyawa tersebut, karakterisasi senyawa dengan
pengukuran difraksi sinar-X (XRD), Scanning Electron Microscope (SEM) yang
dilengkapi dengan Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDX) dan penentuan
konduktivitas ionnya dengan menggunakan metode 4 titik (four point probes
method).
II. 1 Sel Bahan Bakar Padatan
Sel bahan bakar adalah sel elektrokimia yang mengubah energi kimia menjadi
energi listrik secara langsung. Alat ini terdiri dari dua buah elektroda yaitu anoda
dan katoda yang dipisahkan oleh elektrolit.
Hidrogen dialirkan ke dalam sel bahan bakar yaitu ke bagian anoda, sedangkan
oksigen atau udara dialirkan ke bagian katoda, dengan adanya elektrolit, maka gas
hidrogen (H2) tidak akan bercampur dengan oksigen. Elektrolit dilapisi oleh
platina yang berfungsi sebagai katalis yang mampu memecah atom hidrogen
menjadi ion positif dan negatif. Pada katoda terjadi reaksi reduksi dan pada anoda
terjadi reaksi oksidasi. Apabila anoda dan katoda dihubungkan dengan sebuah
penghantar listrik, maka akan terjadi aliran elektron dari anoda ke katoda sehingga
reaksi kimia yang terjadi menghasilkan arus listrik. Elektron yang mengalir ke
katoda akan bereaksi dengan ion positif dan oksigen pada sisi katoda membentuk
air (H2O). Reaksi kimia yang terjadi pada sel bahan bakar adalah:
4H+ + 4e-
Anoda
: 2H2
Katoda
: 4e- + 4H+ + O2
Reaksi sel
: 2H2 + O2
2H2O
2H2O
Adapun skema bahan bakar padatan yang diperlihatkan pada Gambar II.1 berikut
ini 6).
SOFC
aliran elektron
Hidrogen
Oksigen
ion
oksigen
Air
Anoda
Elektrolit
Katoda
Gambar II.1 Skema Sel Bahan Bakar Padatan. Aliran elektron dari anoda ke katoda
menghasilkan energi listrik.
Selain sel bahan bakar padatan, yang diikenal pada saat ini adalah sel bahan bakar
alkali (Alkaline Fuel Cell, AFC), membran penukar proton (Proton Exchange
Membrane, PEM), sel bahan bakar asam posfat (Phosphoric Acid Fuel Cell,
PAFC) dan sel bahan bakar karbonat cair (Molten Carbonate Fuel Cell, MCFC).
Bagian yang akan menjadi fokus dari penelitian ini adalah suatu oksida padatan
yang digunakan sebagai katoda pada sel bahan bakar padatan oksida.
II.2 Elektroda pada Sel Bahan Bakar Padatan
II.2.1 Katoda
Katoda yang digunakan pada SOFC pada umumnya adalah senyawa perovskit
dari lantanum (La) 6). Pada saat ini pembuatan katoda kebanyakan dibuat dengan
bahan dasar lantanum manganit (LaMnO3).
Sel bahan bakar padatan bekerja pada suhu 500-800oC, sehingga banyak
digunakan senyawa perovskit LaMnO3 yang disisipi dengan ion logam stronsium
(Sr2+) karena beberapa faktor, di antaranya:
a.
Mempunyai konduktivitas elektron dan konduktivitas ion yang optimal.
b.
Stabil secara kimia (tidak bereaksi dengan elektrolit).
c.
Koefisien ekspansi termal sesuai dengan YSZ dan beberapa jenis elektrolit
lainnya.
d.
Interaksi dengan keramik perantara (La-Cr) mudah diatur.
e.
Aktivitas katalitik yang tinggi.6)
Material alternatif juga dipertimbangkan sebagai katoda dalam sel bahan bakar
padatan. Adapun beberapa padatan oksida logam yang digunakan sebagai katoda
pada sel bahan bakar padatan, di antaranya adalah:
a. LSC yaitu lantanum kobaltit (LaCoO3) yang disisipi ion logam stronsium (Sr)
menunjukkan sebagai katoda yang lebih baik daripada LSM 7).
b. LSCF yaitu (La,Sr)(Co,Fe)O3 merupakan material campuran penghantar ionik
dan elektronik (mixed ionic and electronic conducting, MIEC) menunjukkan
aktivitas elektrokimia yang tinggi daripada LSM 6).
c. LSFO yaitu lantanum ferit (LaFeO3) yang disisipi dengan ion stronsium (Sr)
memiliki aktivitas elektrokimia yang tinggi sebagai katoda 8).
Pada penelitian ini, dibuat katoda dengan bahan dasar LSFO yang disisipi dengan
ion logam kalsium (Ca2+) pada posisi La untuk menentukan sifat konduktivitas
ioniknya sebagai bahan katoda pada dalam sel bahan bakar.
II.2.2 Anoda
Anoda harus berpori untuk mengalirkan bahan bakar ke elektrolit. Anoda dalam
SOFC juga harus mendukung secara mekanika dalam unit selnya. Campuran nikel
(Ni) dan YSZ (Zr0,92Y0,08O2) merupakan material yang paling sering digunakan
sebagai anoda. Karena struktur nikel (Ni) diperoleh dari serbuk NiO, sebelum
direaksikan, nikel oksida harus direduksi lebih dahulu menjadi Ni. Ni/YSZ
menjadi anoda dengan konduktivitas listrik yang tinggi, konduktivitas ionik yang
cukup memadai, dan aktivitas yang tinggi untuk reaksi elektrokimia dan proses
pembentukan ion H+ (reforming process)9).
Oksida logam yang digunakan sebagai anoda pada sel bahan bakar harus
mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Konduktivitas listrik dan ionik yang tinggi.
b. Struktur berpori yang optimal.
c. Stabil secara kimia terhadap kontak dengan dua elektroda.
d. Tahan terhadap siklus termal.
e. Aktivitas katalitik yang tinggi 9).
Selain anoda dari Ni/YSZ, juga telah diteliti material-material lainnya yang dapat
menjadi anoda pada sel bahan bakar seperti, Y0,2Ti0,18Zr0,62O1,9±δ (YZT), LaxSr1xVO3-δ
(LSV), La0,8Sr0,2Cr0,97V0,03O3 (LSCV) dan LaSrTiO3.
II.3 Elektrolit
Elektrolit merupakan media yang mengalirkan ion-ion bermigrasi dari satu
elektroda ke elektroda lainnya, kemudian menghasilkan reaksi redoks yang
kemudian menimbulkan arus listrik. Untuk alasan ini, elektrolit harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Konduktivitas ionik yang tinggi.
b. Hambatan listrik yang tinggi.
c. Stabil secara kimia terhadap kontak dengan dua elektroda.
d. Tahan terhadap siklus termal.
e. Harganya murah9).
Adapun beberapa material padatan oksida yang telah diteliti sebagai elektrolit
pada sel bahan bakar padatan, di antaranya adalah:
a. Yttrium-Stabilized Zirconia (YSZ), yaitu Y2O3 (itria) yang dicampurkan ke
dalam ZrO2 agar lebih stabil. Elektrolit ini memiliki konduktivitas yang tinggi
di sekitar 700oC 6)
b. Scandium-doped Zirconia (SDZ) merupakan elektrolit yang lebih konduktif
daripada YSZ dan memberi reduksi dengan suhu operasi dari 50-100oC 6).
c. LaGaO3 (lantanum galat), elektrolit yang memiliki konduktivitas ion yang
baik pada suhu tinggi dan struktur yang stabil 6).
II. 4 Perovskit
Nama perovskit berasal dari nama mineral CaTiO3 yang diidentifikasi oleh
seorang ahli mineral fisika padatan, sains material dan geologi Rusia. Gustav
Rose, kimiawan asal Jerman, pada tahun 1893 menemukan mineral CaTiO3 yang
kemudian dinamai Perovskit untuk menghormati Lev Alexeievitch Perovsky.
Banyak oksida yang telah disintesis mengadopsi struktur perovskit.
Perovskit merupakan mineral yang memiliki rumus stoikiometri ABO3. Pada
notasi ABO3, A dan B adalah kation, dan biasanya kation A lebih besar ukurannya
dari kation yang lainnya. Sebagai contoh pada SrTiO3 [rSr2+ = 1,52 Ǻ dan rTi4+ =
0,745 Ǻ], maka stronsium (Sr) diberi notasi kation A dan titanium (Ti) diberi
sebagai kation B. Koordinasi pada kation yang lebih kecil adalah 6 yang
berbentuk oktahedral, sementara ion yang lebih besar berkoordinasi 12 berbentuk
kuboktahedral. Pada umumnya, oksida dengan struktur perovskit mempunyai
struktur kristal berbentuk kubus primitif, dengan kation A pada bagian tengah
kubus dan kation B pada sudut-sudutnya, serta atom oksigen yang berada pada
bagian tengah setiap sisi kubus. Berikut ini Gambar II.2 menunjukkan struktur
kisi dari kristal perovskit CaTiO3.
Gambar II.2. Struktur kisi dari kristal perovskit CaTiO3. Pada gambar bagian kiri
penekanan koordinasi Ca adalah 12 oleh O, sementara pada bagian
kanan ditekankan koordinasi Ti adalah 6 oleh O yang membentuk
oktahedral.
Perovskit CaTiO3 (Gambar II.2) terdiri dari Ti pada sudut kubus (0,0,0), Ca pada
pusat badan (½,½,½) dan O berada di tengah rusuk (½,0,0 ; 0,½,0 ; 0,0,½). Ti
membentuk koordinasi oktahedral dengan oksigen dan Ca membentuk koordinasi
dengan 12 atom oksigen masing-masing dengan jarak yang sama. Jadi dapat
dianggap bahwa senyawa perovskit memiliki struktur kerangka oktahedral TiO6.
Dalam senyawa perovskit, 2 kation dalam keadaan oksidasi terkombinasi +6. Oleh
karena itu kombinasi yang mungkin adalah +3 dan +3 dalam senyawa LaFeO3, +2
dan +4 dalam senyawa CaTiO3 dan +1 dan +5 dalam senyawa NaNbO3. Kation A
yang berkoordinasi 12 tentunya berukuran lebih besar dibandingkan dengan
kation B yang berkoordinasi enam. Oleh sebab itu, pada beberapa oksida jenis
perovskit, posisi-posisi kation A dan B sering disisipi oleh dua kation atau lebih.
Dengan adanya penyisipan kation yang lain menyebabkan terjadinya perbedaan
ukuran dan muatan dari ion-ion logam yang menempati satu posisi dalam struktur
perovskit sehingga terjadinya cacat kristal.
II. 5 Difraksi Sinar-X
Sinar-X adalah radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang ~ 1 Å (10-10
m). Sinar-X terjadi pada bagian spektrum elektromagnetik antara sinar γ dan
ultraviolet. Sinar-X dihasilkan ketika energi yang tinggi mengubah partikelpartikel seperti elektron dengan kecepatan tinggi menumbuk suatu logam target,
sehingga beberapa energi yang hilang diubah ke dalam radiasi elektromagnetik.
Elektron yang menumbuk logam target akan mengalami eksitasi yang
menyebabkan terjadinya kekosongan elektron pada tingkat energi yang lebih
tinggi sehingga timbulnya pancaran energi dalam bentuk radiasi sinar-X (Gambar
II. 3).
Gambar II.3 Sebuah elektron dari tingkat energi 2p jatuh ke tingkat energi 1s yang
kosong (□) dan pancaran energinya dihasilkan sebagai sinar-X 1).
Sinar-X yang dihasilkan memberikan intensitas puncak tertentu yang bergantung
pada transisi elektron yang terjadi. Dengan logam tembaga (Cu), adanya transisi
dari tingkat energi 2p ke 1s disebut Kα dengan panjang gelombang 1,5418 Å dan
transisi dari tingkat energi 3p ke 1s adalah Kβ dengan panjang gelombang 1,3922
Å (Gambar II. 4). Transisi Kα lebih sering terjadi daripada transisi Kβ, maka
intensitas radiasi Kα lebih tinggi daripada Kβ. Hal ini disebabkan transisi Kα terdiri
dari dua bagian yaitu Kα1 = 1,54051 Ǻ dan Kα2 = 1,54433 Ǻ karena keadaan
transisi memiliki perbedaan energi yang kecil untuk kemungkinan dua keadaan
spin dari elektron tingkat energi 2p yang menyebabkan transisi ke spin dari
tingkat energi 1s.
Gambar II.4 Spektrum emisi sinar-X dari suatu logam, contohnya logam tembaga.
Agar sinar-X yang didifraksikan oleh bidang kisi tertentu dalam sampel kristalin
dapat dideteksi, maka oritentasi sumbu sinar-X, kristal dan detektornya harus
benar. Serbuk atau bahan polikristalin sebagian besar terdiri atas kristalit
berukuran kecil dengan diameter antara 10-7-10-4 m, dan memiliki orientasi acak
sehingga beragam kemungkinan orientasi dapat terjadi. Oleh karena itu, jika sinarX menumbuk sampel kristalin, sinar itu akan didifraksikan ke segala arah yang
mungkin sesuai dengan persamaan Bragg. Sebagai akibatnya, jarak kisi dalam
kristal akan terlihat seperti puncak difraksi yang prosesnya dapat dianggap
sebagai pemantulan seperti ditunjukkan pada Gambar II. 5 10).
Gambar II.5 Difraksi sinar-X pada kisi kristal. λ adalah panjang gelombang
sinar- X, d adalah jarak antar kisi kristal, θ adalah sudut
datang sinar.
Menurut Bragg, hubungan antara jarak antarbidang dalam kristal dengan sudut
difraksi di dalam kristal adalah:
nλ = 2d sin θ
dengan λ = panjang gelombang sinar-X, ө = sudut difraksi, d = jarak antarbidang.
Persamaan ini dikenal sebagai hukum Bragg dan hasilnya digunakan untuk
menentukan parameter sel yang akurat dan tipe struktur kristal 10).
II.5.1 Difraktometer Serbuk
Difraktometer serbuk adalah suatu alat difraksi sinar-X yang menggunakan
sebuah detektor sinar-X untuk mengukur posisi berkas terdifraksi yang biasanya
menggunakan tabung Geiger-Muller atau detektor sintilasi. Detektor melakukan
scan ke sekeliling sampel melalui suatu lingkaran yang memotong kerucut
difraksi pada berbagai puncak difraksi 4). Hal ini terlihat pada Gambar II.6 berikut
ini.
Gambar II.6 Skema alat difraktometer sinar-X serbuk. Tabung sinar-X akan
memancarkan sinar-X yang difokuskan untuk mengenai kristal dan
detektor melakukan scan ke sekeliling sampel untuk merekam
berbagai pola difraksi sinar-X.
Pola difraksi yang dihasilkan berupa deretan puncak-puncak difraksi dengan
intensitas relatif yang bervariasi sepanjang nilai 2θ tertentu (Gambar II.7).
Besarnya intensitas relatif puncak dari deretan puncak tersebut bergantung pada
jumlah atom atau ion yang ada, dan distribusinya di dalam sel satuan material
tersebut. Pola difraksi setiap padatan kristalin khas, yang bergantung pada kisi
kristal, parameter sel, dan panjang gelombang sinar-X yang digunakan. Dengan
demikian, sangat kecil kemungkinan dihasilkan pola difraksi yang sama untuk
Intensitas
suatu padatan kristalin yang berbeda 1).
2ө
Gambar II.7 Pola difraksi sinar-X serbuk pada senyawa perovskit La0,8Sr0,2FeO3-δ
II.6. Scanning Electron Microscope (SEM) dan Energy Dispersive X-ray
Spectroscopy (EDX).
Untuk mengetahui morfologi senyawa padatan dan komposisi unsur yang terdapat
dalam suatu senyawa dapat digunakan alat Scanning Electron Microscope (SEM)
dan Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDX).
Scanning electron microscope (SEM) adalah suatu tipe mikroskop elektron yang
menggambarkan permukaan sampel melalui proses scan dengan menggunakan
pancaran energi yang tinggi dari elektron dalam suatu pola scan raster. Elektron
berinteraksi dengan atom-atom yang membuat sampel menghasilkan sinyal yang
memberi informasi mengenai permukaan topografi sampel, komposisi dan sifatsifat lainnya seperti konduktivitas listrik.
Tipe sinyal yang dihasilkan oleh SEM dapat meliputi elektron sekunder, sinar-X
karaktersitik dan cahaya (katodaluminisens). Sinyal tersebut datang dari hamburan
elektron dari permukaan unsur dan berinteraksi dengan sampel atau di dekat
permukaannya. SEM dapat menghasilkan gambar dengan resolusi yang sangat
tinggi dari suatu permukaan sampel, menampakkan secara lengkap dengan ukuran
sekitar 1-5 nm. Agar menghasilkan gambar yang diinginkan, maka SEM
mempunyai sebuah lebarnya fokus yang sangat besar (biasanya 25-250.000 kali
pembesaran). SEM dapat menghasilkan karakteristik bentuk 3-dimensi yang
berguna untuk memahami struktur permukaan dari suatu sampel. Karakteristik
sinar-X merupakan bentuk gambar kedua yang paling sering dalam SEM.
Karakteristik sinar-X biasanya untuk mengidentifikasi komposisi unsur dalam
sampel.
Prinsip kerja SEM dengan mikroskop biasa pada dasarnya sama karena kedua alat
tersebut berfungsi sebagai alat pembesar benda yang ukurannya terlalu kecil
untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Berikut ini (Tabel II.1)
memperlihatkan perbedaan bagian antara mikroskop elektron (SEM) dengan
mikroskop biasa.
Tabel II.1 Perbedaan bagian antara mikroskop elektron (SEM) dengan mikroskop
biasa 11).
Bagian Alat
Sumber cahaya
Scanning Electron Microscope
Mikroskop Biasa
pancaran elektron
cahaya tampak
(λ: 0,06Å ~ ∞)
(λ: 2.000Å ~ 7.500Å)
Media
hampa
atmosfer
Lensa
lensa elektron
lensa optik
Resolusi
60 Å
UV-Vis (2.000Å-1.000Å)
Panjang fokus
30 µm
0,1 µm
Pengaturan fokus
secara elektrik
secara mekanik
Perbesaran
10 x hingga 180.000 x
10 x hingga 2.000 x
Gambar hasil
gambar hamburan elektron
gambar pantulan cahaya
Kontras
bentuk geometris, sifat kimia penyerapan dan pemantulan
dan fisika
Monitor
cahaya
LCD (Liquid Crystal Display) pengamatan langsung
Energi spesifik sinar-X yang dipancarkan oleh setiap atom dalam senyawa dapat
dideteksi dengan Energy Dispersive X-ray Spectroscopy (EDX). EDX adalah
suatu teknik analitik yang sering digunakan untuk menganalisis unsur-unsur atau
mengkarakterisasi kandungan unsur kimia dari suatu sampel. EDX menganalisis
sampel melalui interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan unsur-unsur,
menganalisis emisi sinar-X oleh unsur dalam partikel.
Untuk mendorong terjadinya emisi karakteristik sinar-X dari suatu sampel, sebuah
energi yang tinggi dari partikel yang bermuatan seperti elektron atau proton, atau
pancaran sinar-X, difokuskan pada sampel untuk dikarakterisasi. Sisanya, suatu
atom dengan sampel yang mengandung elektron pada keadaan dasar (tidak
tereksitasi) berada pada tingkat energi yang diskrit atau kulit elektron bergerak ke
inti. Pancaran yang terjadi mungkin mengeksitasi sebuah elektron di dalam kulit
yang terdalam. Sebuah elektron dari kulit terluar, tingkat energi yang lebih tinggi
kemudian mengisi kekosongan itu dan adanya perbedaan energi antara tingkat
energi tertinggi dengan tingkat energi terendah dibentuk dalam bentuk sinar-X.
Sinar-X yang terbentuk oleh elektron kemudian dideteksi dan dianalisis dengan
EDX. Berikut ini (Gambar II. 8) menujukkan gambar alat SEM/EDX yang
digunakan dalam penelitian ini yang tedapat di Pusat Survey Geologi,
Laboratorium Geologi, Bandung.
Gambar II. 8 Alat yang digunakan pada pengukuran SEM/EDX JEOL JSM 35-C
di Pusat Survei Geologi, Laboratorium Geologi, Bandung.
II. 7 Metode Sol Gel (Sol-Gel Method)
Metode dalam penelitian ini untuk mensintesis senyawa perovskit La1-xSrxFeO3-δ
(LSFO) dan La1-x(Sr,Ca)xFeO3-δ (LSCFO) adalah metode sol-gel (sol-gel method).
Metode sol gel adalah metode sintesis yang dapat digunakan untuk mensintesis
material padatan (termasuk material oksida) dengan teknik temperatur rendah
yang melibatkan fasa sol yaitu suatu sistem koloid padatan yang terdispersi dalam
cairan, dan gel adalah sistem padatan yang porinya mengandung cairan
10)
. Pada
metode sol gel ini terjadi pembentukan jaringan oksida melalui reaksi
polikondensasi dari molekul prekursor di dalam suatu larutan yang artinya laju
pengendapan larutan yang berbeda diikat pada rantai panjang dan membentuk
endapan (gelasi) sehingga menghasilkan kehomogenan 12).
Pada penelitian ini, untuk mensintesis senyawa dari LSFO dan LSCFO dilakukan
dengan menggunakan metode sol gel. Adapun proses terbentuknya lapisan sol gel
dalam penelitian ini, yaitu:
ƒ
Pertama kali, partikel koloid terdispersi dalam cairan untuk membentuk
sol.
ƒ
Partikel dalam sol dipolimerisasi dan menghasilkan gel dalam bentuk
jaringan yang berkelanjutan.
ƒ
Yang terakhir adalah pemanasan melalui pirolisis dari sisa senyawa
organik atau anorganik dan membentuk serbuk berupa kristalin
Pada dasarnya, proses sol gel diteliti untuk material yang mengandung silika
karena membentuk struktur jaringan dengan mudah yang tidak terlalu panjang. Di
samping itu, logam oksida lainnya pada dasarnya dapat dibuat dengan proses sol
gel juga. Meskipun proses pembentukan sol gel adalah sama, ada beberapa
perbedaan yang penting dalam hal prekursor antara logam alkoksida dan silikon
alkoksida (Si(OR)4), yaitu:
ƒ
Keelektronegatifan dari silikon alkoksida lebih rendah daripada logam
alkoksida karena logam alkoksida memiliki asam Lewis yang lebih kuat
daripada silikon alkoksida. Penyerangan nukleofilik pada logam lebih
mudah, dan laju hidrolisisnya semakin cepat.
ƒ
Banyak logam memliki beberapa bilangan koordinasi yang stabil, atau
penambahan bilangan koordinasi dalam keadaan transisi lebih mudah
daripada silikon alkoksida.
Adapun kelebihan-kelebihan yang diperoleh dengan metode sol-gel adalah:
ƒ
Dapat dengan mudah bidang material-material masuk ke dalam geometri
kompleks dalam keadaan gel.
ƒ
Dapat memberikan metode yang sederhana, ekonomis, dan efektif untuk
menghasilkan lapisan dengan kualitas yang tinggi.
ƒ
Memiliki suhu yang rendah pada proses sintering, biasanya 200-600 oC.
Material-material yang dibuat melalui metode sol gel dapat diaplikasikan sebagai
material untuk katalis, serat keramik, isolasi, serbuk elektrokeramik, film tipis,
gelas dengan kemurnian yang tinggi, pembuatan zeolit 12).
II.8 Konduktivitas Listrik
II. 8.1 Konduktivitas Ionik
Hantaran listrik atau disebut konduktivitas listrik timbul karena adanya migrasi
elektron atau ion. Konduktivitas elektronik adalah konduktivitas listrik yang
disebabkan migrasi elektron-elektron sedangkan konduktivitas ionik adalah
konduktivitas listrik yang terjadi karena migrasi ion-ion. Konduktivitas ionik
tergantung pada jenis ion yang bermigrasi dalam material dan dalam padatan
disebabkan juga oleh cacat atau adanya kekosongan (vacancy). Jika yang
bermigrasi adalah ion-ion pembawa muatan positif, maka material tersebut
disebut konduktor ionik, dan jika ion-ion pembawa muatan negatif yang bergerak,
maka material tersebut dinamakan konduktor anionik 10).
Konduktivitas terjadi hanya pada temperatur yang tinggi karena pada kondisi ini
konsentrasi cacat kristal menjadi semakin besar sehingga ion-ion oksida memiliki
cukup energi termal untuk dapat berpindah atau mengalami aktivasi.
Ketergantungan konduktivitas ionik terhadap temperatur dinyatakan oleh
persamaan Arrhenius:
σ = σo exp (-Ea/kBT)
(Pers 2.1)
dengan E adalah energi aktivasi, kB adalah konstanta Boltzman dan T adalah
temperatur absolut. Dalam material padat, konduktivitas kristal biasanya
dinyatakan dalam konduktivitas spesifik (σ). Nilai konduktivitas spesifik
dinyatakan dengan persamaan:
σ = Σ ni ei μi
(Pers 2.2)
dengan ni adalah jumlah pembawa muatan spesi i, ei adalah muatan elektron (1,6 x
10-19 C), dan μi adalah mobilitas ionik. Dari persamaan konduktivitas spesifik
terlihat bahwa konduktivitas adalah perkalian dari dua faktor, yaitu kerapatan
muatan (ρe) dan mobilitas (μe). Dengan demikian tingginya konduktivitas dapat
diperoleh dari tingginya kerapatan muatan atau tingginya mobilitas. Untuk logam,
mobilitas elektron relatif rendah, sehingga konduktivitas yang tinggi dari logam
adalah sebagai akibat tingginya kerapatan elektron bebas
13)
. Batas nilai
konduktivitas spesifik untuk digolongkan sebagai suatu jenis material tertentu
diberikan dalam Tabel II. 2.
Tabel II.2 Batas nilai konduktivitas spesifik untuk karakteristik material 1).
Konduksi ionik
Konduksi elektronik
Material
σ (S/cm)
Kristal ionik
<10-18 – 10-4
Elektrolit padat
10-3 – 10
Elektrolit cair
10-3 – 10
Logam
103 - 105
Semikonduktor
10-5 - 102
Insulator
<10-12
II. 8. 2 Metode 4 titik (Four Point Probes Method).
Untuk pengukuran konduktivitas, ada dua metode yang dapat dilakukan yaitu
metode DC (direct current) dan AC (alternating current). Pengukuran
konduktivitas dengan metode DC dilakukan dengan menggunakan sumber
tegangan searah dan pengukuran konduktivitas dengan metode AC dilakukan
dengan menggunakan sumber tegangan bolak-balik.
Pada penelitian ini, untuk mengukur konduktivitas ionik dari senyawa perovskit
La1-xSrxFeO3-δ (LSFO) dan La1-x(Sr,Ca)xFeO3-δ (LSCFO) sebagai katoda untuk
SOFC digunakan sumber tegangan searah (direct current) melalui metode 4 titik
(four point probes method).
Metode 4 titik (Four point probes method) merupakan suatu
metode yang
digunakan untuk menentukan ketahanan rata-rata dari suatu sampel. Metode 4
titik (four point probe method) terdiri dari 4 buah kabel tipis yang dilapisi dengan
tungsten (W) dan dihubungkan pada sampel. Arus (I) mengalir pada 2 buah kabel
yang berada di bagian luar dan tegangan yang dihasilkan mengalir pada 2 buah
kabel lainnya yang terletak di bagian dalam rangkaian four point probes. Berikut
ini diperlihatkan bagan dari rangkaian metode 4 titik (four point probes method
(Gambar II.9).
Gambar II. 9 Bagan rangkaian metode 4 titik (four point probes). 2 buah kabel
bagian luar untuk mengalirkan arus (I) dan 2 buah kabel lainnya
bagian dalam untuk mengukur tegangan (V).
Pada Gambar II.9, arus (I) mengalir di antara 2 kabel pada bagian luarnya, dan
tegangan (V) diukur di antara 2 kabel pada bagian dalamnya. Hasil pengukuran
diperoleh data berupa arus (ampere), tegangan (volt), jarak rata-rata antarelektroda
dan ketebalan sampel. Dari data tersebut, konduktivitas dapat diperoleh dengan
menghitung tahanan (ρ) dengan persamaan sebagai berikut 14):
ρ = V/I . w . π/ln 2 . F(w/s)
(Pers. 2.3)
dengan ρ adalah tahanan sampel, π adalah tetapan (3,14), s adalah jarak rata-rata antara elektrodaelektroda, V adalah tegangan, I adalah arus dan F(w/s) adalah faktor koreksi.
Faktor koreksi ini
diperoleh dari hasil perbandingan antara tebal sampel (w) dengan jarak rata-rata antarelektroda (s).
Kemudian disesuaikan dengan nilai faktor koreksi yang telah ditentukan pada Tabel II.3 berikut
ini.
Tabel II.3 Nilai faktor koreksi, F(w/s), berdasarkan perbandingan tebal sampel (w) dengan jarak
rata-rata antarelektroda 14).
w/s
0,4
0,5
0,5555
0,625
0,7143
0,8333
1
1,111
1,25
1,4286
1,6666
2
F(w/s)
0,9995
0,9974
0,9948
0,9898
0,9798
0,96
0,9214
0,8907
0,849
0,7938
0,7225
0,6336
Setelah diperoleh nilai tahanannya, maka dapat ditentukan nilai konduktivitas dengan persamaan
sebagai berikut:
σ = 1/ρ
(Pers 2. 4)
dengan σ adalah konduktivitas (S/cm) dan ρ adalah tahanan sampel (Ω.cm). Kemudian dilakukan
plot antara nilai konduktivitas (ln σ) terhadap temperatur (1/T) dalam persamaan 2.1 untuk
mendapatkan energi aktivasi dan sifat konduktivitas material yaitu semikonduktor atau konduktor.
Download