Keterbatasan panca indera manusia untuk

advertisement
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir dan lautan beserta sumberdaya yang terkandung di
dalamnya merupakan tumpuan harapan bangsa Indonesia di masa depan. Hal ini
disebabkan wilayah pesisir dan laut menyusun sekitar 63% dari wilayah teritorial
Indonesia. Di dalamnya terkandung kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat kaya dan beragam, seperti perikanan, terumbu karang,
hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral, dan kawasan
pariwisata (Dahuri et al., 1996).
Keadaan wilayah nusantara Indonesia sebagian besar terdiri dari perairan,
baik perairan yang berada di daratan seperti danau, rawa, sungai, waduk, dan
genangan-genangan air lainnya dan perairan laut. Luas perairan laut Indonesia 3,1
juta km2 terdiri dari perairan laut teritorial seluas 0,3 juta km2 dan perairan laut
nusantara seluas 2,8 juta km2. Ditambah lagi dengan perairan laut yang berada di
daerah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2. Jadi, luas seluruhnya
5,8 juta km2. Sedangkan luas perairan yang ada di daratan kurang lebih 11 juta ha
(Murrachman, 2006).
Sumberdaya hayati perikanan yang terkandung di dalam perairan tersebut
potensinya sangat besar.
Yang dimaksudkan dengan sumberdaya perikanan
adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya. Menurut hasil evaluasi
berdasarkan data dan informasi yang ada sampai saat ini secara keseluruhan
menunjukkan perkiraan potensi lestari, sumberdaya perikanan laut sebesar 6,6 juta
2
ton/tahun dengan perkiraan sebesar 4,5 juta ton/tahun terdapat di perairan ZEE
Indonesia (Murrachman, 2006).
Klorofil-a merupakan salah satu dari parameter yang sangat menentukan
produktivitas primer di perairan pantai atau laut. Klorofil-a merupakan suatu
pigmen yang didapatkan dalam fitoplankton, dan mempunyai fungsi sebagai
mediator dalam proses fotosintesis. Oleh karena itu, kandungan klorofil-a dalam
perairan merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton
atau tingkat kesuburan suatu perairan. Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi
klorofil-a sangat terkait dengan kondisi oseanografis suatu perairan. Beberapa
parameter fisika kimia yang mengontrol dan mempengaruhi sebaran klorofil-a,
adalah intensitas cahaya dan nutrien (terutama nitrat, fosfat, dan silikat) (Wyrtki,
1961; Yamaji, 1966).
Keterbatasan panca indera manusia untuk memantau kondisi lingkungan
laut sudah dapat diatasi dengan perkembangan teknologi satelit sumber daya alam.
Sensor yang dipasang pada satelit mempunyai kemampuan yang lebih besar dari
panca indera manusia. Dalam penerapannya, negara-negara maju seperti Amerika
Serikat dan Jepang telah berhasil memanfaatkan teknologi penginderaan jauh
satelit untuk meningkatkan efisiensi usaha penangkapan ikan (Laur et al., 1984;
Tameishi et al., 1992).
Klorofil-a dapat diukur dengan memanfaatkan sifat-sifatnya yang memijar
jika dirangsang oleh cahaya pada gelombang tertentu, hal inilah yang
dimanfaatkan dalam dunia penginderaan jauh untuk mengestimasi kandungan
klorofil-a suatu perairan.
Pada kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini
dilakukan dengan menganalisis data penginderaan jarak jauh ocean color dari
3
Satelit Aqua dan Terra yang menggunakan sensor MODIS, sensor ocean colour
mengukur radiasi visible yang berada dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm)
dari gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh lapisan permukaan
perairan, radiasi pantulan ini mengandung informasi sifat optik/bio-optik air laut
yang diakibatkan oleh adanya bahan tersuspensi dan terlarut pada air laut tersebut.
Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan perubahan sifat optik/bio-optik air laut
atau menyebabkan perubahan warna air laut (Gordon dan Morel, 1983 dalam
Realino et al., 2005).
Berdasarkan informasi
di
atas dapat
dikaitkan dengan teknologi
penginderaan jauh yang merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang obyek daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh
dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau
gejala yang dikaji. Teknologi ini memiliki beberapa kelebihan, salah satunya
berdasarkan informasi dari literatur di atas yaitu tidak perlu jauh-jauh ke
daerah/obyek yang akan dikaji untuk melakukan sampling.
1.2. Pendekatan dan Perumusan Masalah
Perairan Selat Bali adalah daerah pertemuan antara Laut Jawa dengan
Samudera Hindia.
Seberapa besar pengaruh pertemuan dua perairan dengan
karakteristik yang berbeda ini terhadap kondisi perairan Selat Bali, khususnya
terhadap tingkat kesuburannya. Dengan aplikasi penginderaan jauh dan Sistem
Informasi Geografis (SIG) dapat menduga konsentrasi klorofil-a sebagai indikator
tingkat kesuburan di perairan tersebut, beberapa software yang digunakan yaitu
SeaDAS 5.0, ER Mapper 7.0, dan ArcView GIS 3.3. Rangkaian kerja dalam
4
kegiatan Praktek Kerja Lapangan (PKL) meliputi proses pembuatan Peta Sebaran
Klorofil-a yang alur kerjanya dapat dilihat pada Gambar 1.
Download data
Level 2 MODIS
*.hdf
SeaDAS 5.0
*.png dan *.asc
*.asc
*.png
Microsoft Office Picture Manager
Microsoft Office Excel 2007
*.jpg
Microsoft Office Excel 2003
ER Mapper 7.0
rektifikasi
*.ers
*.dbf 4
ArcView GIS 3.3
overlay
analisis akhir
layout
Peta Sebaran Klorofil-a
Gambar 1. Contoh Gambar Skema Proses Pengolahan Data Citra MODIS-Aqua.
5
1.3. Tujuan dan Manfaat
Tujuan diadakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini adalah untuk
menambah ketrampilan dalam proses pengolahan data citra MODIS dan menduga
konsentrasi klorofil-a sebagai indikator kesuburan di perairan Selat Bali yang
dilaksanakan pada instansi terkait, yaitu Southeast Asia Center for Ocean
Research and Monitoring (SEACORM) dengan menggunakan software SeaDAS
5.0, ER Mapper 7.0, dan ArcView GIS 3.3.
Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini dapat bermanfaat bagi berbagai kalangan,
khususnya:
1. Mahasiswa, memberi tambahan pengetahuan mengenai klorofil-a sebagai
indikator tingkat kesuburan perairan menggunakan teknologi penginderaan
jauh citra MODIS-Aqua;
2. Lembaga atau instansi terkait, memperoleh/menambah informasi, konsentrasi
klorofil-a, yang bermanfaat untuk pengembangan dan pengolahan perairan
Indonesia, khususnya perairan Selat Bali; dan
3. Perguruan tinggi, sebagai bahan informasi dan pengetahuan tambahan
mengenai teknologi penginderaan jauh.
1.4. Lokasi dan Waktu
Praktek Kerja Lapangan (PKL) ini dilaksanakan di Balai Riset dan
Observasi Kelautan (BROK), Southeast Asia Center for Ocean Research and
Monitoring (SEACORM), Perancak, Bali. Pada tanggal 2-22 September 2008.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau
fenomena yang dikaji.
Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari
kosakata remote sensing dalam bahasa Inggris. Ini dilakukan dengan sense dan
perekaman energi yang dipantulkan dan dilepaskan oleh permukaan bumi dan
kemudian energi tersebut diproses, dianalisa, dan diaplikasikan sebagai informasi
(Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam Hardiyanti, 2000; Realino et al., 2005).
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) sering diartikan sebagai
teknologi untuk mengidentifikasi suatu objek di permukaan bumi tanpa melalui
kontak langsung dengan objek tersebut. Saat ini teknologi penginderaan jauh
berbasis satelit menjadi sangat populer dan digunakan untuk berbagai tujuan
kegiatan, salah satunya untuk mengidentifikasi potensi sumber daya wilayah
pesisir dan lautan. Hal ini disebabkan teknologi ini memiliki beberapa kelebihan,
seperti: harganya yang relatif murah dan mudah didapat, adanya resolusi temporal
(perulangan) sehingga dapat digunakan untuk keperluan monitoring, cakupannya
yang luas dan mampu menjangkau daerah yang terpencil, bentuk datanya digital
sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan ditampilkan sesuai
keinginan. Pengkajian atas benda/obyek atau fenomena dilakukan pada hasil
rekaman, bukan pada benda aslinya (Dewayani, 2000; Sukandar, 2005).
7
Menurut Sutanto (1994), ada empat komponen penting dalam sistem
penginderaan jauh adalah (1) sumber tenaga elektromagnetik, (2) atmosfer, (3)
interaksi antara tenaga dan objek, dan (4) sensor. Secara skematik dapat dilihat
pada:
Gambar 2. Contoh Gambar Sistem Penginderaan Jauh (Paine, 1981 dalam
Sutanto, 1994).
Tenaga panas yang dipancarkan dari obyek dapat direkam dengan sensor
yang dipasang jauh dari obyeknya. Penginderaan obyek tersebut menggunakan
spektrum infra merah termal (Paine, 1981 dalam Sutanto, 1994).
Menurut
Sutanto (2004), dalam penginderaan jauh terdapat beberapa proses melibatkan
interaksi antara radiasi dan target yang dituju mencakup tujuh elemen penting,
yakni:
1. Sumber energi atau illumination (A), merupakan elemen pertama dalam
menyediakan energi elektromagnetik ke target interest;
2. Radiasi dan atmosfer (B), adalah perjalanan energi dari sumber ke targetnya
dan sebaliknya. Energi akan mengalami kontak dengan target dan berinteraksi
dengan atmosfer yang dilewatinya;
8
3. Interaksi dengan Target (C);
4. Perekaman energi oleh sensor (D), setelah energi dipancarkan atau dilepaskan
dari target, elemen penting yang dibutuhkan adalah sensor untuk
menumpulkan dan merekam radiasi elektromagnetik;
5. Transmisi, penerimaan, dan pemrosesan (E), energi yang terekam oleh sensor
harus ditransmisikan untuk diterima oleh stasiun pengolahan, dimana data
diolah menjadi citra (hardcopy ataupun digital);
6. Interpretasi dan analisis (F), merupakan pengolahan image dengan interpretasi
secara visual atau digital untuk mengekstrak informasi tentang target; dan
7. Aplikasi (G), elemen terakhir adalah pengaplikasian informasi tentang target
untuk memperoleh pengertian yang lebih baik, menerima beberapa informasi
baru, dan membantu pemecahan masalah.
Penginderaan jauh untuk lingkungan kelautan diawali dengan progam
TIROS (Television Infrared Observation Satelite) yang kemudian menjadi NOAA
(National Oceanic Atmospheric Administration) pada tahun 1960-an oleh
Amerika Serikat. Hingga saat ini progam tersebut masih berjalan, ini dibuktikan
dengan masih beroperasinya lima satelit NOAA yaitu NOAA-12, 14, 15, 16, dan
17. Setelah itu pada tahun 1978, NASA mulai mengembangkan sensor satelit
khusus untuk kelautan. Dengan pengembangan misi satelit menggunakan sensor
Coastal Zone Color Scanner (CZCS) dan setelah 10 tahun kemudian mulai
bemunculan satelit penginderaan jauh dengan sensor khusus untuk misi kelautan,
seperti Fengyun-1A (FY-1A) yang diluncurkan oleh Badan Antariksa Cina pada
tahun 1988 dengan membawa 3 band untuk pemantauan warna laut (ocean color)
dan Satelit Terra atau EOS-AM yang membawa sensor MODIS (Moderate
9
Resolution Imaging Spectroradiometer) pada akhir tahun 1999 yang mengorbit
sebagai satelit lingkungan (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, 2003).
2.2. Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem informasi yang
dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat
geografi.
Sistem Informasi Geografis dapat diasosiasikan sebagai peta yang
berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non-spasial.
Disebutkan juga SIG telah terbukti kehandalannya untuk mengumpulkan,
menyimpan, mengelola, menganalisa, dan menampilkan data spasial baik biofisik
maupun sosial ekonomi. Secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk
mengambil, mengelola, memanipulasi, dan manganalisa data serta menyediakan
hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel, namun demikian
fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial (Star et al., 1990 dalam
Barus et al., 2000).
Sistem Informasi Geografis (SIG) dibagi menjadi dua kelompok yaitu
sistem manual (analog) dan sistem otomatis (berbasis digital komputer).
Perbedaan yang paling mendasar terletak pada cara pengelolaannya.
Sistem
informasi manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar
transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik, dan
laporan survei lapangan. Semua data tersebut dikompilasi dan dianalisis secara
manual dengan alat tanpa komputer, sedangkan SIG otomatis telah menggunakan
komputer sebagai sistem pengolah data melalui proses digitasi. Sumber data
10
digital dapat berupa citra satelit atau foto udara digital serta foto udara yang
terdigitasi. Data lain berupa peta dasar terdigitasi (Barus et al., 2000).
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) merupakan
salah satu sensor yang dimiliki EOS (Earth Observing System) dan dibawa oleh
dua wahana yang diproduksi oleh NASA yaitu Terra dan Aqua. Sensor MODIS
merupakan turunan dari sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution
Radiometer), SeaWiFS (Sea-viewing Wide Field-of-view Sensor), dan HIRS (High
Imaging Resoution Spectrometer) yang dimiliki EOS yang sebelumnya telah
mengorbit (Junjunan, 2004).
Kelebihan sensor MODIS dibandingkan dengan sensor global lainnya
adalah dalam hal resolusi spasial 250 m, 500 m, dan 1 km. Adapun kelebihan
lainnya berupa kalibrasi radiometrik, spasial, dan spektral dilakukan waktu
mengorbit, peningkatan akurasi/presisi radiometrik, peningkatan akurasi posisi
geografis. Sensor MODIS terdiri dari 36 band yang mencakup kanal-kanal dari
satelit NOAA (National Oceanic Atmosphire Administration), SeaWiFS, HIRS,
dan satelit global lainnya, sehingga dapat digunakan untuk mengukur parameter
dari permukaan laut hingga ke atmosfer seperti mengukur suhu permukaan air
laut, konsentrasi klorofil, kandungan uap air, dan fenomena-fenomena laut seperti
terjadinya upwelling, thermal front, dan lain-lain (Realino et al., 2005).
11
Gambar 3. Contoh Gambar Proses Pengolahan Data Citra MODIS Aqua-Terra
(sumber http://www.modis.gsfc.nasa.gov).
Adapun format level data yang dihasilkan oleh MODIS, yaitu:
1. Level 1 merupakan data mentah ditambah dengan informasi tentang kalibrasi,
sensor, dan geolokasi:
a. Level 1a, mengandung informasi lebih yang dibutuhkan pada set data,
level 1a digunakan sebagai input untuk geolocation, calibration, dan
processing;
b. Level 1b, data yang telah mempunyai terapannya merupakan hasil dari
aplikasi sensor kalibrasi sensor pada level 1a;
2. Level 2, dihasilkan dari proses penggabungan data level 1a dan 1b, data level
2 menetapkan nilai geofisik pada tiap piksel, yang berasal dari perhitungan
raw radiance level 1a dengan menerapkan kalibrasi sensor, koreksi atmosfer,
dan algoritma bio-optik;
12
3. Level 3, merupakan data level 2 yang dikumpulkan dan dipaketkan dalam
periode 1 hari, 8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun.
2.3. Klorofil-a
Klorofil-a merupakan pigmen hijau plankton yang digunakan dalam proses
fotosintesis, semua fitoplankton mengandung klorofil-a yang beratnya kira-kira 12% dari berat kering alga (Realino et al., 2005). Sebenarnya ada 3 macam
klorofil, yaitu klorofil-a, klorofil-b, klorofil-c, selain itu ada juga jenis pigmen
fotosintesis seperti karoten dan xantofil. Dari ketiga pigmen tersebut, klorofil-a
merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga
kelimpahan fitoplankton dapat dilakukan melalui pengukuran konsentrasi klorofila di perairan (Parsons et al., 1984 dalam Realino et al., 2005).
Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan
nutrien dan intensitas cahaya matahari.
Bila nutrien dan intensitas cahaya
matahari cukup tersedia, maka konsentrasi klorofil-a akan tinggi dan sebaliknya.
Perairan oseanis di daerah tropis umumnya memiliki konsentrasi klorofil-a yang
rendah karena keterbatasan nutrien dan kuatnya stratifikasi kolom perairan akibat
pemanasan permukaan perairan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Namun,
berdasarkan pola persebaran klorofil-a secara musiman maupun secara spasial, di
beberapa bagian perairan dijumpai konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi.
Tingginya konsentrasi klorofil-a disebabkan karena terjadinya pengkayaan nutrien
pada lapisan permukaan perairan melalui berbagai proses dinamika massa air,
diantaranya upwelling, percampuran vertikal massa air serta pola pergerakan
13
massa air yang membawa massa air kaya nutrien dari perairan sekitarnya
(Tubalawony, 2007).
2.4. Upwelling
Proses upwelling adalah suatu proses naiknya massa air yang berasal dari
dasar perairan. Menurut Realino et al. (2005), upwelling dapat terjadi karena 3
proses, yaitu:
1. Upwelling terjadi pada waktu arus dalam (deep current) bertemu dengan suatu
rintangan seperti mid-ocean ridge (suatu ridge yang berada di tengah lautan)
dimana arus tersebut dibelokkan ke atas dan selanjutnya air mengalir deras ke
permukaan.
2. Upwelling terjadi ketika dua massa air bergerak berdampingan, misalnya saat
massa air di utara berada di bawah pengaruh Gaya Coriolis dan massa air di
selatan ekuator bergerak ke arah selatan di bawah Gaya Coriolis juga, keadaan
tersebut akan menimbulkan ruang kosong pada lapisan di bawahnya, hal ini
terjadi karena adanya divergensi pada perairan tersebut.
3. Upwelling dapat pula disebabkan oleh arus yang menjauhi pantai akibat tiupan
angin yang terus-menerus selama beberapa waktu. Arus ini membawa massa
air di permukaan pantai ke laut lepas yang mengakibatkan ruang kosong di
daerah pantai yang kemudian diisi oleh massa air di bawahnya.
Peristiwa timbal balik merupakan gejala alam biasa yang terjadi jika terjadi
penurunan suhu lapisan air permukaan lebih rendah dari suhu lapisan air di
bawahnya. Hal itu mengakibatkan berat jenis air permukaan lebih tinggi bila
dibandingkan dengan lapisan air di bawahnya sehingga terjadi peristiwa timbal
14
balik massa air lapisan atas turun ke bawah berganti tempat dengan massa air
lapisan bawah yang pindah ke atas. Dalam hal ini peristiwa downwelling dan
upwelling terjadi serentak. Downwelling untuk massa air yang turun dan
upwelling bagi massa air yang naik. Gejala ini memang tidak ada yang
mempermasalahkan
karena
memang
seharusnya
begitulah
yang
terjadi
(Masyamir, 2006).
Menurut Steele (1976) dalam Tarigan (2003), upwelling merupakan faktor
yang dapat menyebabkan berkumpulnya fitoplankton. Upwelling yang membawa
nutrien ini akan sangat berguna bagi fitoplankton atau klorofil-a untuk tumbuh
dan berkembang biak yang umumnya hanya menghuni suatu lapisan air
permukaan yang tipis dimana terdapat cukup cahaya matahari dan mempunyai
suhu yang cukup homogen, sementara itu zat hara anorganik yang dibutuhkan
fitoplankton pada berada zona fotik yang jauh dari permukaan dengan suhu yang
berbeda jauh (lebih dingin) berbeda dari permukaan laut (Nybakken, 1992;
Tarigan, 2003).
Download