Kata kunci: detrain, jumlah sel saraf normal, latihan fisik aerobik

advertisement
Pengaruh Latihan Fisik Aerobik dan Detrain terhadap Jumlah Sel Saraf
Normal Korteks Motorik Primer Tikus
Melody Febriana Andardewi dan Ahmad Aulia Jusuf
Program Studi Pendidikan Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan
Departemen Histologi
[email protected]
Abstrak
Latihan aerobik dapat meningkatkan kebugaran melalui penginduksian adaptasi fisiologis, seperti
peningkatan kekuatan otot, kemampuan penggunaan oksigen, peningkatan jumlah sel saraf serta pembuluh
kapiler darah otak. Latihan fisik terkait erat dengan penggunaan otot volunter, yang diatur oleh korteks motorik
primer otak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh latihan fisik aerobik dan detrain terhadap
jumlah sel saraf normal korteks motorik primer tikus. Desain penelitian ini adalah eksperimental menggunakan
27 jaringan otak tikus jantan (Rattus sp. Strain Wistar) yang dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok tanpa
perlakuan (kontrol), kelompok perlakuan latihan fisik aerobik (training) dan kelompok perlakuan yang latihan
fisik aerobik-nya dihentikan (detraining). Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah sel saraf otak
tikus bagian korteks motorik primer dengan bantuan piranti lunak Image Raster. Hasil menunjukkan jumlah sel
saraf normal pada kelompok kontrol adalah 56%; kelompok training 66%; dan kelompok detraining 42%. Hasil
uji Post Hoc Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan training
(p= 0,046), kontrol dan detraining (p< 0,001) serta training dan detraining (p< 0,001). Hasil dari penelitian ini
mendukung teori bahwa latihan aerobik dapat memicu pertumbuhan sel saraf (neurogenesis) korteks motorik
primer, sedangkan detraining menyebabkan penurunan jumlah sel saraf normal pada daerah korteks motorik
primer otak tikus.
Kata kunci: detrain, jumlah sel saraf normal, latihan fisik aerobik, korteks motorik primer
Abstract
Aerobic exercise could increase body fitness by raising the physiology adaptation, such as increase
muscle power, oxygen uptake, number of neurons and new capillaries in brain structure. In aerobic exercise we
use voluntary muscles, which are controlled by primary motor cortex in brain. Purpose of this research was to
acknowledge effect of aerobic exercise and detraining on the number of normal neurons in rat’s primary motor
cortex. This experimental research used 27 male rats (Rattus sp. Wistar strain) and divided into three groups:
control, training and detraining. The method is to observe and count the number of neurons in primary motor
cortex region of the rat’s brain with Hematoxilin Eosin staining using image raster. The result showed that the
percentage of normal neuron from control group was 56%, 66% in training group and 42% in detraining group.
Post Hoc Mann-Whitney test showed there was significant differences between control and training (p= 0,046),
control and detraining (p< 0,001) and training and detraining (p< 0,001). This result showed that this research
support the theory of which the aerobic exercise could induce neurogenesis in primary motoric cortex region,
and detraining caused decrease number of neurons in rat’s primary motoric cortex.
Key words: aerobic exercise, detraining, number of normal neuron, primary motor cortex
Pendahuluan
Latihan fisik aerobik memiliki berbagai manfaat bagi otak. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa latihan aerobik dapat memicu perubahan struktur otak yakni
perubahan perfusi darah, peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan neurogenesis
serta sinaptogenesis.1 Pada individu, latihan fisik aerobik dapat meningkatkan proses
pembelajaran, fungsi kognitif dan mencegah terjadinya depresi.1
Bila latihan fisik aerobik dihentikan, tubuh kehilangan adaptasi fisiologis yang
didapatkan dari latihan sebelumnya. Penghentian latihan tersebut disebut detrain.2 Penelitian
menunjukkan bahwa peningkatan sekresi faktor pertumbuhan untuk angiogenesis dan
neurogenesis yang didapat dari latihan fisik aerobik akan menurun akibat detrain.2,3
Penelitian mengenai latihan aerobik dan detrain terhadap otak pada hewan coba masih
terbilang baru. Penelitian mengenai hubungan latihan aerobik dan detrain dengan otak
kebanyakkan lebih menyorot pada area hipokampus otak, yaitu suatu area yang berfungsi
sebagai memori dan kognitif.3,4 Belum banyak yang meneliti dalam tingkat seluler area otak
yang lain, padahal area pada otak sangat luas dan beragam fungsinya.
Suatu area otak yang menarik untuk diteliti yaitu korteks motorik primer (M1). Korteks
motorik primer terletak di girus presentralis dan memiliki fungsi sebagai pengontrol
pergerakan volunter.5 Saat ini penelitian pada area korteks motorik lebih banyak
menggunakan teknik radiologi, sedangkan penelitian di tingkat seluler masih belum
dilakukan. 6
Fakta-fakta tersebut diatas menimbulkan pertanyaan yaitu bagaimana pengaruh latihan
fisik aerobik dan detrain terhadap jumlah sel saraf normal di korteks motorik primer tikus.
Untuk itu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh olahraga aerobik dan detrain
terhadap jumlah sel saraf normal korteks motorik primer tikus. Korteks motorik primer dipilih
karena bagian ini merupakan bagian yang berfungsi penting mengatur dan mengontrol
pergerakan volunter otot-otot rangka.
Tinjauan Teoritis
Latihan fisik merupakan bagian aktivitas fisik yang terstruktur, dilakukan secara
berulang dan memiliki tujuan untuk meningkatkan atau menjaga kebugaran fisik.7 Aktivitas
fisik sendiri didefinisikan sebagai pergerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang
kemudian menghasilkan pengeluaran energi melampaui pada saat istirahat.7 Latihan fisik
terdiri dari latihan fisik aerobik dan anaerobik.
Latihan aerobik merupakan latihan fisik yang memakai energi dari metabolisme
oksigen.7 Latihan aerobik terdiri dari berlari, bersepeda, berenang, berjalan pada tangga,
treadmill dan sebagainya. Latihan aerobik memiliki karakteristik yaitu dilakukan secara
kontinu atau dengan interval dengan intensitas sedang.
7
Latihan aerobik memiliki banyak
manfaat yaitu8:
1. meningkatkan konsumsi oksigen maksimum (VO2max)
2. meningkatkan fungsi jantung dan paru dengan meningkatkan cardiac output,
stroke volume, volume darah serta kemampuan darah mengangkut oksigen
3. meningkatkan suplai
darah ke
otot
dan
meningkatkan kemampuan
metabolisme oksigen
4. Meningkatkan ambang batas akumulasi asam laktat
5. Menurunkan tekanan darah dan denyut nadi pada saat olahraga submaksimal
6. Mengurangi lemak dan mengontrol berat badan dengan peningkatan HDL dan
penurunan trigliserida.
Latihan aerobik memiliki efek anxiolytic dan antidepressan sehingga dapat mencegah
terjadinya stress.9 Latihan aerobik dapat meningkatkan hipokampus-dependen-sistem memori
dan pembelajaran, dan hipokampus-independen-sistem memori. Latihan aerobik juga dapat
meningkatkan aliran darah ke otak, dan meningkatkan kadar oksigen darah, meningkatkan
struktur otak dengan peningkatan area putih dan area abu-abu otak serta volume otak.10,11
Menurut penelitian, latihan aerobik dapat menghasilkan manfaat yang paling besar.
Latihan aerobik dapat meningkatkan aspek kritis dari sistem atensi, kontrol eksekutif, dan
aktivitas regio frontal dan parietal. Namun, penelitian mengenai bentuk atau jumlah sel otak
berkaitan dengan aerobik terutama didaerah korteks motorik primer masih belum dilakukan.
Detrain merupakan penghentian latihan atau pengurangan frekuensi, volume, intensitas
atau kombinasi dari ketiganya yang menyebabkan menurunnya performa dan kondisi
kebugaran serta hilangnya adaptasi fisiologis yang terkait latihan.7 Detrain menyebabkan
hilangnya pengkondisian secara signifikan setelah dua hingga enam minggu.12
Bila penghilangan latihan fisik terjadi selama 4 minggu, timbul kapilarisasi dimana
jaringan kapiler akan kembali seperti awal sebelum latihan. Pengambilan Oksigen pada otot
juga berkurang sebanyak 8%. Pengambilan Oksigen Maksimal (VO2max) berkurang 4-20%
bila individu tidak berlatih 2 minggu hingga lebih. Efek langsungnya yaitu pengurangan
Cardiac Output dan Stroke volume dengan diikuti peningkatan denyut jantung ketika olahraga
submaksimal. 12
Seseorang yang berlatih menimbulkan perubahan pensinyalan seluler dan perubahan
molekuler. Orang yang terlatih cenderung memiliki volume mitokondria yang lebih banyak. 11
Namun apabila detrain, terjadi penurunan volume mitokondria sehingga terjadi penurunan
kapasitas oksidatif otot rangka dan enzim mitokondria. 12
Latihan fisik dengan intensitas tinggi dan latihan kekuatan dapat meningkatkan sintesis
protein dari fast-twitch fiber sehingga menimbulkan hipertrofi otot dan peningkatan kekuatan
otot. Namun karena detrain, area serat lintang otot rangka tersebut akan berkurang dan juga
ditandai perubahan fast-twitch (glikolisis) fiber menjadi slow-twitch (oxidative) fiber. 12
Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa latihan fisik dapat meningkatkan Brainderived neurotrophic factor (BDNF) dalam jangka waktu 8 minggu latihan, namun setelah
detrain selama 6 minggu terjadi penurunan BDNF dan nerve growth factor.1 Latihan fisik
dapat meningkatkan memori dari tikus, sedangkan detrain menimbulkan hilangnya
peningkatan tersebut.2
Pada latihan anaerobik, ukuran serat otot lebih besar, short term endurance lebih
tinggi, strength and power juga lebih besar daripada pada latihan aerobik.7 Namun pada
latihan aerobik jumlah enzim aerobik lebih banyak, densitas mitokondria juga lebih besar,
maximal oksigen uptake lebih besar dan lebih sedikit persentase lemak tubuh.
Pada seseorang yang sebelumnya menjalani latihan anaerobik lalu mengalami detrain,
ukuran serat otot serta strength and power lebih berkurang daripada saat latihan anaerobik
namun masih lebih besar dibandingkan dengan saat latihan aerobik. Persentase lemak jauh
lebih banyak daripada kedua latihan. Short term endurance dan maksimal oksigen uptake
lebih kecil daripada keduanya. Jumlah densitas mitokondria dan enzim aerobik lebih banyak
daripada latihan anaerobik namun lebih sedikit dibandingkan dengan latihan aerobik. Saat ini
belum banyak penelitian mengenai perbedaan secara seluler pada sel saraf. 7
Otak besar (serebrum) terdiri dari dua hemisfer yaitu hemisfer kiri dan kanan. Masingmasing hemisfer memiliki bagian yang disebut sebagai white matter (substansia nigra) dan
gray matter (substansia grisea). 13 Substansia grisea berada di luar dan berdiri sebagai lapisan
luar yang tipis. Substansia grisea disebut juga sebagai korteks serebri. Korteks serebri ini
berada di atas substansia nigra. Korteks serebri memiliki ketebalan 2-4 mm dan tersusun atas
miliaran neuron.13 Di dalam korteks serebri secara dominan mengandung banyak badan sel
neuron beserta dendritnya dan juga terdapat banyak sel glia. Pada korteks serebri terdapat
lipatan-lipatan yang dinamakan sebagai girus sedangkan celah dangkal yang terbentuk akibat
lipatan tersebut disebut sebagai sulkus.13
Bagian korteks serebri terdiri atas empat lobus besar yaitu lobus parietal, lobus
oksipital, lobus temporal dan lobus frontal. Oleh karena itu, secara garis besar korteks serebri
memiliki beberapa fungsi yaitu: (1) fungsi bahasa, (2) pengaturan gerakan volunter, (3)
persepsi sensoris, (4) kejadian mental dan (5) kepribadian.14
Area motorik primer berada pada bagian posterior dari lobus frontal, tepatnya pada
area 4 girus presentral.5 Oleh karena itu, girus presentral disebut juga sebagai Korteks
Motorik Primer. Korteks motorik primer berbatasan langsung dengan korteks somatosensoris
pada bagian anterior lobus parietal.5,10 Fungsi dari Korteks Motorik Primer adalah untuk
mengontrol gerakan volunter otot spesifik.10,12 Pengontrolan tersebut bekerja pada bagian
tubuh yang berseberangan. Oleh karena itu, bila ada lesi pada bagian kiri korteks motorik
primer, akan terjadi paralisis pada bagian kanan tubuh. Korteks Motorik Primer juga ikut
berperan dalam proses pembelajaran motorik.5
Korteks Motorik menerima input dari basal ganglia dan serebelum melalui thalamus.
Pertama-tama stimulus tersebut akan sampai ke premotor area (area 6) dan terjadi
perencanaan gerakan.5 Setelah itu impuls akan dikirim ke korteks motorik primer untuk
kemudian mengontrol bagian otot tubuh yang akan bekerja. Setelah itu impuls dari korteks
motorik primer akan dikirim melalui aksonnya hingga ke neuron motorik medulla spinalis dan
setelah itu impuls akan dikirim langsung ke otot yang bersangkutan. 5
Neuron adalah sel penyusun jaringan saraf yang termasuk dalam jaringan dasar tubuh.
Secara histologis neuron terdiri atas badan sel, akson dan dendrit.15 Badan sel tersusun atas
inti yang berisi DNA dan sitoplasma yang berisi organel (apparatus golgi, mitokondria,
sitoskeleton, sentriol, RE kasar, ribosom).16,17 Neuron dapat bereaksi terhadap rangsangan
fisik dan kimiawi (iritabilitas) juga memiliki kemampuan untuk menyebarkan rangsang dari
satu tempat ketempat lain (konduktivitas) serta mampu untuk menghasilkan sekret neural.15
Selain sel saraf juga terdapat sel penyokong yang disebut sebagai neuroglia.16,18 Neuroglia
terdiri atas astrosit, mikroglia serta oligodendroglia. 16,17
Gen merupakan bahan mentah utama untuk membentuk neuron dan sel-sel
penyokongnya.19 Mutasi yang terjadi dapat menimbulkan abnormalitas pada perkembangan
neuron. Neuron juga membutuhkan nutrisi yang adekuat untuk menyokong perkembangan
dan fungsi dalam beraktivitas. Glukosa merupakan sumber energi utama bagi neuron.
19
Neuron dapat berkembang oleh karena faktor neurotropik. Faktor neurotropik yaitu nerve
growth factor, Brain-derived Neurotropic Factor dan sebagainya.
19
Neuron tumbuh dan
berkembang sejak usia muda dimulai dari jumlah yang sedikit kemudian seiring dengan
banyaknya informasi yang didapatkan setiap bertambahnya usia, jumlah neuron akan
bertambah dan di usia lanjut jumlah neuron akan berkurang karena berkurangnya faktorfaktor pertumbuhan yang dibentuk dan banyaknya neuron yang mengalami kerusakan. 19
Secara anatomis, otak merupakan bagian dari susunan saraf pusat bersama dengan
medulla spinalis.15 Otak manusia memiliki empat bagian yaitu serebrum (otak terbesar),
serebelum (otak kecil), diensefalon (thalamus, hipothalamus dan epithalamus), serta batang
otak. Kemudian batang otak bersambungan dengan medula oblongata, pons dan otak tengah.15
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain eksperimental pada hewan coba tikus. Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam
jangka waktu 6 bulan yaitu bulan Oktober 2012 hingga Maret 2013.
Sumber data yang digunakan yaitu data primer dari sediaan otak tikus usia 8-10 minggu
milik penelitian eksperimental Dra. Leli Ribawati, M.Biomed dengan judul Pengaruh Latihan
Fisik Aerobik dan Detrain terhadap Struktur Otak dan Memori pada Tikus. Jumlah total
sampel yang dibutuhkan adalah 27 sediaan otak tikus yang dibagi menjadi tiga kelompok
masing-masing terdiri atas sembilan sediaan otak tikus. Tiga kelompok tersebut yaitu
kelompok kontrol, kelompok perlakuan training dan kelompok detraining. Kelompok kontrol
adalah kelompok tanpa perlakuan, kelompok training adalah kelompok yang mendapat
perlakuan latihan fisik aerobik, sedangkan kelompok detraining adalah kelompok yang
mendapat perlakuan latihan fisik aerobik namun kemudian dihentikan.
Alat dan bahan penelitian yaitu sediaan korteks motorik primer tikus sebanyak 27 buah
dengan pewarnaan Hematoksilin-eosin dan mikroskop elektrik dilengkapi dengan optilab dan
program image raster. Pengamatan dilakukan dengan memakai mikroskop yang dilengkapi
optilab dan image raster. Setelah itu dilakukan identifikasi area Korteks Motorik Primer.
Korteks Motorik Primer adalah daerah yang terletak tepat di anterior dari Hipocampus area
CA1. Batas sebelah kiri dari M1 adalah Korteks Motorik Sekunder (M2) dan batas sebelah
kanan adalah S1 ex, trunk region.
Variabel dependen adalah jumlah sel saraf berbentuk normal di korteks motorik primer,
sedangkan variabel independen adalah latihan fisik aerobik dan detrain.
Hasil Penelitian
Hasil pengamatan preparat otak menggunakan optilab viewer didapatkan gambaran
sebaran sel saraf di M1 pada kelompok perlakuan training, detraining dan kontrol (Gambar
1). Pada pengamatan, ditemukan sel-sel saraf yang rusak disediaan M1 pada ketiga kelompok.
Sel saraf normal memiliki gambaran nukleus yang bulat, bersitoplasma jernih dan gambaran
anak inti jelas sedangkan sel saraf rusak memiliki gambaran inti yang piknotik, kondensasi
inti atau sel lisis (Gambar 2).
A
B
A
C
Gambar 1 Sebaran sel saraf normal dan sel saraf rusak di M1 pada perlakuan
A: training, B: detraining, C: kontrol. Skala 1:50 μm.
Gambar 2 Gambaran histologis jaringan saraf pada M1: sel saraf normal
(anak panah putih) dan sel saraf berinti piknotik (panah hitam)
Sel saraf normal yang telah dihitung jumlahnya kemudian dianalisis menggunakan uji
Kruskal Wallis. Terlihat perbedaan bermakna sel saraf normal di korteks motorik primer (M1)
antara kelompok kontrol, training dan detraining dengan nilai signifikansi < 0,05. Hasil
analisis sel saraf normal antara kelompok kontrol dan training menunjukkan perbedaan
bermakna (p= 0,046; p< 0,05); sama halnya dengan perbandingan yang pertama, antara
kelompok kontrol dan detraining menunjukkan perbedaan bermakna (p= 0,001; p< 0,05);
antara kelompok training dan detraining juga menunjukkan perbedaan bermakna (p= 0,001;
p< 0,05). Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 1 Hasil analisis Kruskal Wallis
Median
n
perlakuan
(minimum-maksimum)
Rerata ± s.b
kontrol
9
53(48-79)
56,33 ± 9,937
training
9
67(49-80)
66,22 ± 10,269
p
< 0,001
detraining
9
44(27-46)
42,00 ± 5,852
Uji Kruskal Wallis. Uji Post Hoc Mann-Whitney: kontrol vs training p =0,046; kontrol vs detraining p <0,001;
training vs detraining p <0,001.
Dari Tabel 1, terlihat bahwa kelompok tikus dengan perlakuan training memiliki rata-rata
jumlah sel saraf normal paling besar yaitu 66% sedangkan kelompok dengan rata-rata yang
paling rendah adalah kelompok detraining dengan persentase 42%. Data-data tersebut
menunjukkan terdapat peningkatan jumlah sel saraf normal pada kelompok perlakuan training
bila dibandingkan dengan kontrol dan terdapat penurunan jumlah sel saraf normal pada
kelompok perlakuan detraining bila dibandingkan dengan kontrol.
Pembahasan
Dari hasil penelitian ini, didapatkan bahwa terdapat peningkatan persentase sel
saraf normal pada kelompok perlakuan training dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa latihan aerobik pada tikus dapat meningkatkan
jumlah sel saraf pada Korteks Motorik Primer (M1) otak tikus. Namun, pada kelompok
detraining persentase sel saraf normal lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok
kontrol dan training. Hal tersebut didukung atas teori bahwa sel saraf baru akan
dibentuk selama peningkatan aktivitas aerobik dan sel saraf tersebut menjadi lebih
cepat rusak atau pertumbuhannya kembali seperti awal bila aktivitas aerobik
dihentikan.21
Latihan aerobik membutuhkan koordinasi gerak otot-otot sehingga ketika latihan
hendak dilakukan terjadi peningkatan aktivasi area korteks motorik yang mengatur
gerakan volunter otot. Seiring dengan latihan aerobik, metabolisme energi pada area
korteks motorik primer meningkat. Peningkatan metabolisme energi perlu disuplai
dengan oksigen dan glukosa yang adekuat untuk menunjang pertumbuhan dan kerja sel
saraf. Oleh karena itu, perfusi darah pada korteks motorik pun perlu ditingkatkan
dengan cara membentuk kapiler darah baru (angiogenesis).9
Angiogenesis muncul sebagai respon terhadap peningkatan neurogenesis, yaitu
untuk menyuplai kebutuhan metabolik neuron baru agar dapat berdiferensiasi,
bertahan dan berintegrasi dalam sirkuit neural yang telah ada.
1
Mekanisme
angiogenesis yang muncul akibat latihan aerobik belum dipahami secara jelas, namun
dipercaya bahwa stress oksidatif pada kapiler serta hipoksia relatif otak menjadi
stimulus poten angiogenesis di otak. Penelitian menggunakan pencitraan radiologi telah
membuktikan bahwa terjadi proses angiogenesis di korteks motorik setelah perlakuan
latihan aerobik.1 Penelitian dengan menggunakan microelectrode juga menunjukkan
bahwa bagian korteks motorik otak tikus, tepatnya di regio tungkai, mengalami
peningkatan densitas pembuluh darah yang besar akibat cortical angiogenesis.22
Secara biomolekuler, substansi yang berperan dalam neurogenesis dan
angiogenesis adalah VEGF, BDNF, NGF serta IGF-1.1,23 Substansi ini dapat dipengaruhi
kadarnya oleh aktivitas olahraga aerobik. Pada intinya, olahraga aerobik dapat
mengaktifkan mRNA dan protein dari VEGF dan BDNF sehingga memicu terjadinya
angiogenesis dan memicu survival sel saraf pada M1.
1,23
Olahraga aerobik dapat
meningkatkan protein BDNF dan NGF pada M1 tikus dibandingkan dengan tikus yang
tidak diberi perlakuan sedangkan detraining menimbulkan penurunan kadar BDNF
hingga kembali ke baseline dan kadar NGF menjadi dibawah kontrol.21 IGF-1 memiliki
peran penting untuk neurogenesis serta menyokong peningkatan plastisitas saraf yang
dipicu oleh olahraga. 1
Pada kondisi penghentian latihan (detraining), terjadi penurunan performa
tubuh dan hilangnya adaptasi fisiologis terkait latihan fisik.
Hilangnya adaptasi
fisiologis tersebut terjadi setelah 2-6 minggu. Jaringan pembuluh darah kapiler akan
kembali seperti awal sebelum latihan.12 Dan sesuai dengan studi yang telah disebutkan,
detraining menyebabkan terjadinya penurunan kadar BDNF dan NGF.2
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan beberapa kesimpulan yaitu:

Terdapat peningkatan jumlah sel saraf normal pada korteks motorik primer tikus
yang diberi perlakuan latihan fisik aerobik.

Terdapat peningkatan jumlah sel saraf normal pada korteks motorik primer tikus
yang diberi perlakuan detrain.

Terjadi penurunan jumlah sel saraf normal pada korteks motorik primer tikus yang
diberi perlakuan detrain dibandingan dengan tikus yang diberi perlakuan latihan
fisik aerobik.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menjelaskan aspek molekuler
mekanisme pengaruh latihan aerobik terhadap peningkatan jumlah sel saraf normal.
Daftar Referensi
1. Swain RA, Berggren KL, Kerr AL, Patel A, Peplinski C, Sikorski AM. On Aerobic
Exercise and Behavioral and Neural Plasticity. Brain Sci. 2012;2: 709-44.
2. Radak Z, Toldy A, Szabo Z, Siamilis S, Nyakas C, et al. The effects of training and
detraining on memory, neurotrophins and oxidative stress markers in rat brain.
Neurochemistry International. 2006;49:387–92.
3. Ribawati L. Pengaruh Latihan Fisik Aerobik dan Detrain Terhadap Struktur Otak dan
Memori pada Tikus. [tesis] Fakultas Kedokteran Program Studi Biomedik Jakarta;
2012.
4. Erickson KI, et al. Exercise Training Increase Size of Hippocampus and Improves
Memory. PNAS. 2001;108(7):3021-22.
5. Canadian Institute of Health Research. The Brain From Top to Bottom: The Motor
Cortex. [Cited from the internet ] Available from: http://thebrain.mcgill.ca/flash.
6. Swain R, Harris A, Wiener E, Dutka M, Morris H, Theien B, Konda S, Engberg K,
Lauterbur P, Greenough W. Prolonged exercise induces angiogenesis and increases
cerebral blood volume in primary motor cortex of the rat. Neuroscience. 2003;
(117):1037–46.
7. Baechle T, Earke RW, Essentials of strengh training and conditioning. 3rd ed. Human
Kinetics; 2008.
8. Georgia State University. Department of Kinesiology and Health. The Benefits of
Exercise.
[Cited
from
the
internet]
Available
from:
http://www2.gsu.edu/~wwwfit/benefits.html
9. Thomas AG, Dennis A, Bandettini PA, Berg HJ. The Effect of Aerobic Activity on
Brain Structure. Movement Science and Sport Physiology. 2012;(3):86.
10. Colcombe SJ, Erickson KI, Scalf PE, Kim JS, et al. Aerobic Exercise Training
Increases Brain Volume in Aging Humans. The Gerontological Society of America.
2006; 61A(11):1166–70.
11. Smith PJ, Blumenthal JA, Hoffman BM, Cooper H, et al. Aerobic Exercise and
Neurocognitive Performance: A Meta-Analytic Review of Randomized Controlled
Trials. Psychosomatic Medicine. 2010; (72):239–52.
12. University of Roehamtom. Detraining. [cited from internet]. Available from:
http://www.pponline.co.uk/encyc/detraining-1113
13. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Danvers:
John Wiley & Sons, Inc. 2009; 514-20.
14. Greenstein B. Color Atlas of Neuroscience: Neuroanatomy and Neurophysiology.
New York: Thieme. 2000; 32-130.
15. Jusuf AA. Aspek Neurologis dalam Neurosains. Diktat Kuliah. Departemen Histologi
FKUI: 2007; 7-39.
16. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology. 3rd ed. Saunders. 2007; 186-218.
17. Eroschenko VP. Di fiore’s Atlas of Histology with Functional Correlation. 11th ed.
Lippincott Williams & Wilkins. 2008; 51-82.
18. Junqueira LC, Carneird J. Basic Histology Text and Atlas. 11th ed. New Zealand:
McGraw-Hill; 2007.
19. Guyton AC, Hall JE. Text Book of Medical Physiology, 11th Ed. Philadelphia:
Elsevier. 2006; 685-690.
20. Paxinos G, Watson C. The Rat Brain In Stereotaxic Coordinates. 4th ed. USA:
Academic Press. 1998. Plate 29
21. Thomas AG, Dennis A, Bandettini PA, Johansen H. The effect of aerobic activity on
brain structure. Frontiers in Physiology. 2012; 3(86): 1-9.
22. Kleim JA, Cooper NR, VandenBerg PM. Exercise induces angiogenesis but does not
alter movement representations within rat motor cortex. Brain Res. 2002; (934): 1–6.
23. Korivi M, Hou CW, Chen CY, Lee JP, Kesireddy SR, Kuo CH. Angiogenesis: Role of
Exercise Training and Aging. Adaptive Medicine. 2010; 2(1): 29-41.
24. McDonnel MN, Buckley JD, Opie GM, Ridding MC, Semmler JG. A single bout of
aerobic exercise promotes motor cortical neuroplasticity. Journal of Applied
Physiology. 2013; 709-44.
Download