Document

advertisement
ISLAM DAN MODERNITAS
(Telaah Pustaka)
Oleh
Daryanto*)
*)Dosen
ISSN: 2805-2754
Tetap Akademi Keperawatan Mamba’ul ‘Ulum Surakarta
ABSTRAK
Moderitas ditandai oleh kreatifitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan
hidup di dunia. Cikal bakal modernisasi berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad
pertengahan, yang disebut zaman pencerahan yang berimplikasi perubahan mendasar dalam
semua aspek kehidupan.
Bagi banyak pengamat, sejarah Islam di masa modern pada intinya adalah dampak
Barat terhadapa Islam, khususnya sejak abad ke-13 H/19 M. Mereka memandanga Islam
sebagai yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruhpengaruh yang formatif dari Barat. Pada sekitar pertengahan abad kedua puluh, negeri-negeri
Muslim Asia Tengah masih terus dalam tripel dominasi komunis Rusia, dominasi politik,
ekonomi, dan jauh lebih jahat dari dalam bentuk kolonialisme yang manapun dalam sejarah
dominasi intelektual moral.
Hal yang perlu dilakukan adalah kesediaan untuk saling belajar dan saling mengisi.
Islam mengajarkan pemeluknya agar mengenal orang lain, bukan untuk memusnahkannya.
Islam bukannya agama yang kaku dan dogmastis. Keberislaman berarti berserah diri secara
personal kepada ketentua Yang Maha Esa sebagai usaha pemenuhan perjanjian (misaq) antara
Dia dan Manusia.
Islam diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan
konstruktif. Nilai-nilai Islam selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh
umat manusia. Nilai-nilai universal itu harus dikaitkan kepada kondisi nyata ruang dan waktu
agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat sebagai dasar etika sosial menuju masyarakat
modern, sehingga mamapu menjawab keraguan sebagaian orang akan prinsip ajaran Islam
yang rahmatan lil ‘alamiin.
Kata Kunci : Islam, Moderniasasi dan Masyarakat
Pendahuluan
Modernitas ditandai oleh kreatifitas
manusia dalam mencari jalan mengatasi
kesulitan hidupnya di dunia ini. Arnodh
Toynbee, seorang ahli sejarah yang terkenal
mengatakan bahwa modernitas telah dimulai
sejak menjelang akhir abad kelima belas
Masehi, ketika orang Barat “ berterimakasih
tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya
sendiri karena ia telah berhasil mengatasi
kungkungan kristen abad pertengahan”.
(Arnodh,1957:1488).
Karena merupakan kelanjutan logis
sejarah, maka modernitas adalah suatu yang
tak terhindarkan. Lambat ataupun cepat
modernitas pasti akan muncul di kalangan
Islam dan Modernitas
umat manusia, entah kapan dan dibagian
mana di muka bumi ini. Cikal bakal
moderitas berasal dari munculnya gerakan
pemikiran abad pertengahan, yang disebut
dengan zaman pencerahan yang membawa
implikasi perubahan mendasar hampir dalam
semua aspek kehidupan manusia. Dunia
ilmu pengetahuan bersifat positivistik dengan
meletakkan dominasi ilmu-ilmu empiris,
eksak berserta metodologinya sebagai
paradigma.
Sejak itu munculah dikotomi antara
kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan
dan kebenaran berdasarkan agama yang
pada zaman sebelumnya kebenara selalu
dipegang oleh agama (gereja). Tata kelola
67
perekonomian juga berubah; ia kini diatur
oleh sistem kapitalistik yang menekankan
pada mekanisme pasar bebas. Keadaan itu
merefleksikan pada peri kehidupan manusia
yang lain dengan ditandai oleh sikap
meterialistik dan sekuralistik yang terlalu
duniawi dan lahiriyah.
Di sisi lain, terjadi krisis global yang
tidak diharapkan dalam kehidupan sosial;
munculah dekadansi moral dan kekacauan
kemanusiaan yang melahirkan manusia
merampas hak orang lain dan tidak
memperdulikan nasib manusia yang lain.
Sejalan dengan kemajuan tehnologi
komunikasi dan transportasi, mobilitas sosial
dan ruang dari masyarakat semakin tinggi.
Dalam konteks inilah, sistem nilai dan
kepercayaan masyarakat mengenai dunia
mengalami perubahan sehinga terjadi proses
sekularisasi dan memudarnya fungsi agama,
termasuk Islam. (Dadang, 2002:184)
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar
belakang
tersebut, penulis menfokuskan kajian pada
dua aspek, yakni Islam dan Modernitas yang
merupakan sebuah proses perubahan yang
tidak dapat terelakkan. Kemudian penulis
sederhanakan dalam beberapa pertanyaan;
1. Apa hakekat dan pengertian
Modernitas?
2. Bagaimana
pengaruh
Modernitas bagi dunia Islam?,
dan
3. Bagaimana
sikap
Islam
terhadap perubahan tersebut?
Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah libraryresecearh dengan bentuk diskriptif analitis
dengan pendekatan kualitatif. Fokus
penelitian menitikberatkan pada kajian
konseptual yang berupa butir-butir pemikiran
dan
bagaimana
pemikiran
itu
tersosialisasikan sesuai dengan dinamika
pemikiran itu di tengah pergumulan
intelektual masyarakat modern.
Langkah
selanjutnya
adalah
mengumpulkan bahan kepustakaan yang
berupa buku-buku dan makalah-makalah
68
ataupun artikel yang ditulis oleh beberapa
pemikir tentang masalah Islam dan
modernitas. Dengan menggunkakan telaah
naskah,
penulis
mengkaji
ide-ide,
bersamaan dengan itu dengan realitas yang
terjadi. Sehingga akan dapat ditemukan
jawaban dari persoalan yang dihadapi.
Hakekat Modernitas
Secara harfiah istilah modernitas
mengacu pada pengertian “sekarang”. Istilah
ini dianggap sebagai lawan dari istilah
oncient atau tradisional. Dengan demikian,
kedua istilah ini merupakan tipe ideal dari
dua tatanan masyarakat yang berbeda.
Istilah modern kemudian berkembang
menjadi salah satu istilah tehnis akademis.
Perkembanganya istilah tersebut tidak dapat
dilepaskan dari sejarah peradaban Eropa
pada abad pertengahan, renaisance,
Aufklarung, hingga mencapai puncaknya
pada abad ke-19 dan ke-20. Juga istilah ini
sering disosialisasikan dengan kemajuan
atau evolusi.
Menurut Harun Nasution; kata-kata
Modern, Modernisme dan Modernisasi,
seperti kata lainnya dari Barat telah dipakai
dalam bahasa Indonesia. Dalam masyarakat
Barat kata itu mengandung arti pikiranpikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha
untuk mengubah paham-paham, adatistiadat, institusi-institusi lama dan lain
sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai
dengan pendapat dan keadaan baru yang
ditimbulkan oelh ilmu pengetahuan dan
tehnologi modern. Pikiran dan aliran itu
muncul antara tahun 1050 sampai dengan
tahun 1800 M, suatu masa yang terkenal
dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of
Reason atau Enlightenment, yakni masa
pemujaan akal. (Nasution, 1989:181)
Terlepas dari mana modernitas itu
lahir, yang perlu digaris bawahi adalah
penyebutan tahap perkembangan sejarah
manusia yang berlangsung sekarang ini
sebagai “zaman modern” bukannya tanpa
masalah. Hodgson misalnya, mengatakan
bahwa zaman sekarang lebih tepat disebut
“zaman tehnik” (tehnical Age), karena itu,
pada kemunculan zaman itu, ada peran
sentral tehnicalisme serta bentuk-bentuk
JKèm-U, Vol. IV, No. 11, 2012:67-73
kemasyarakatan yang terkait dengan
tehnicalisme itu. Bentuk keterkaitan tersebut
adanya gelombang modernitas umat
manusia adalah revolusi Perancis dan
revolusi Inggris.
Penyebutan
tahap
perkembangan manusia yang sedang
berkembang sekarang ini sebagai “zaman
modern” bukannya tanpa masalah. Masalah
itu timbul karena inti dan hakekat zaman
bukan kebaharuannya (modern) berarti baru,
seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi
tahap berikutnya. Di samping itu, perkataan
“modern” mengisyaratkan suatu penilaian
tertentu yang cenderung positif, padahal dari
sudut hakekatnya, zaman modern itu bersifat
netral.
Modernitas dan pengaruhnya bagi Dunia
Islam
Di dorong oleh ayat-ayat al-Qur’an
yang menganjurkan umat manusia supaya
menghargai akal yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusia, dan ajaran nabi
Muhammad Saw supaya mencari ilmu
pengetahuan. Semenjak ekspedisi Napoleon
Bonaparte ke Mesir (1798-1801, modernitas
tidak saja menimbulkan implikasi positif bagi
dunia Islam, tetapi juga problem dan
tantangan, apalagi sudah sedemikian
banyak kemajuan Barat yang tak terpikirkan
oleh kaum Muslimin.
Dalam konteks batasan, problem
dan tantangan modernitas itu dapat dirujuk
uraian para ahli seperti Harvey Cox atau
lucia W.Pye. paling tidak merujuk kepada
kedua ahli itu setidak-tidaknya ada tiga pilar
yang menjadi soko guru modernitas: a) Ilmu
pengetahuan yang berujung rasionalisme; b)
negara – bangsa yang bermuara pada
rasionalisme; dan c) “penyepelean” peran
agama yang berujung sekularisme. Ketiga
masalah inilah kiranya yang menjadi problem
sekaligus tantangan bagi kaum Muslimin
menyambut datangnya modernitas ke dunia
Islam semenjak abad ke-19. Namun di
samping itu juga masih ada sejumlah
problem turunan lainnya, seperti demokrasi,
hak asasi manusia (HAM), toleransi, status
wanita dan sebagainya. (Suadi,1998:51-52)
Islam dan Modernitas
Dalam prespektif Islam Indonesia,
bagi penulis setidaknya ada dua problem
yang cukup serius untuk mencari akar
persoalaannya serta mencoba keluar dari
problem yang sedang kita hadapi, di antara
problem itu adalah:
1. Militansi ajaran agama
Modernisasi mengandung
arti perubahan, sedang agama
dengan dogma-dogmanya yang
terdapat di dalamnya tidak mudah
dapat menerima perubahan itu.
Kalau modernisasi menghendaki
dinamisasi, agama justru terkadang
mempertahankan keadaan statis.
Semakin kuat dogma-dogma dalam
agama, maka semakin keras
agama mempertahankan keadaan
statis tersebut sehingga semakin
sulit modernisasi dijalankan dalam
masyarakat yang menganut agama
serupa.
2. Pemahaman Fiqih
Tradisi yang kemudian
timbul
dalam
sejarah
perkembangan
suatu
agama
mempunyai sifat mengikat yang
kuat. Hal ini juga terdapat di
kalangan umat Islam. Interpretasi
tentang teks ayat yang dilakukan
kalangan ulama-ulama periode
klasik dalam lapangan hukum,
teologi, ibadah, dan sebagainya
telah dianggap dogma yang tidak
boleh dilanggar dan diubah.
3. Sikap Fanatisme
Umumnya
orang
berpendapat bahwa yang benar itu
hanya satu dan oleh karena itu di
antara aliran-aliran keagamaan
yang muncul karena interpretasi
yang berlainan tersebut, hanya satu
aliranlah yang benar. Aliran lain
salah dan tiap penganut aliran
menganggap alirannyalah yang
benar. Dari sini timbul sikap
faatisme yang mempersempit
pandangan hidup seseorang.
4. Sikap Pasarah yang berlebihan
69
Terkait dengan persoalan
itu di kalagan umat Islam aliran
teologi Islam tradisional, bukan
aliran teologi rasional, berpengaruh
kuat sehingga umat Islam sekarang
bersikap fatalistis. Paham ini
berkeyakinan nasip tiap orang telah
ditentukan semenjak azal. Jelas hal
ini tidak menguntungkan bagi
modernisasi.
Dalam
faham
fatalisme orang bersikap pasif, tidak
aktif.
Padahal
modernisasi
menghendaki keaktifan bukan
kepasifan.
5. Sikap Kurang Rasional
Aliran teologi itu banyak
berpegang pada literatur dari teks
al-Qur’an serta hadist, dan kurang
memakai rasio dalam memahami
kedua teks itu. Dalam cara berfikir
umat
Islam
masih
banyak
dipengaruhi leh perasaaan. Orang
Islam masih banyak bersikap
emosional
daripada
bersikap
rasional.
Inilah beberapa sikap yang terdapat
di kalangan umat Islam sehingga membuat
usaha-usaha modernisasi di dunia Islam
belum menunjukkan hasil yang dikehendaki.
Di samping itu, modernisasi di kalangan
umat Islam sampai sekarang lebih banyak
berkaitan dengan aspek material dari
kemajuan Barat seperti alat-alat industri,
ekonomi, pendidikan dan lain-lain dari pada
aspek spiritual dan mental umat. Dengan
demikian lahiriah umat Islam nampak telah
menjadi modern, tetapi secara batiniyah atau
mental masih banyak bersifat tradisioal.
Belum ada kesinambungan antara aspek
material dan aspek mental dalam upaya
melakukan modernisasi ini.
Sikap Umat Islam dalam menghadapi
Modernitas
1. Bidang Intelektual
Di antara persoalan yang dihadapi
kaum muslim saat ini adalah masalah wahyu
yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an.
Kitab suci ini merupakan teks yang sangat
penting bagi kaum muslimi dan telah banyak
70
diperbincangkan . meskipun demikian, ia
masih saja belum benar-benar dipahami,
terutama berkaitan dengan posisinya
sebagai wahyu. Harus dibedakan, antara
“penulisan” al-Qur’an dan “pembacaan”
ortodoks terhadapnya. Penulisan al-Qur’an,
yang jauh dari formulasi politik yang kaku,
harus dipahami sebagai bahasa manusia
yang sangat tinggi, ekspresi perasaan, dan
sekaligus ilham. Penulisannya berada di atas
segala usaha untuk menentukan teks.
Tetapi, teks itu selanjutnya harus dibaca
secara logosentri. Wahyu dalam konsepesi
tradisional-ortodoks
meliputi
banyak
pengertian,
yaitu;
a)
Tuhan
mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada
umat manusia melalui para Nabi yang
bertugas menyampaikan bahwa wahyu
Tuhan adalah bagian dari tuturan-Nya yang
tidak diciptakan, tidak terbatas, dan koeternal (bersama Tuhan sendiri).
Pada dasarnya, wahyu dalam alQur’an adalah fenomena linguistik. Struktur
sintaksis, semantik, dan semiotika wacana
al-Qur’an menyediakan satu ruang yang
demikian artikulatif untuk mengutarakan
pemikiran dan isi wahyu. Untuk itu perlu
disimak bebrapa “hipotesis kerja” Arkoun
berkenaan dengan al-Qur’an itu. Pertama,
al-Qur’an merupakan sejumlah pemaknaan
potensial bagi seluruh umat manusia,
sehingga dapat ditafsirkan secara beraneka
ragam. Kedua, pada tahap pemaknaannya
yang potensial, al-Qur’an mengacu pada
agama Islam (dalam arti ideal) yang
trasenden dan transhistoris. Sedangkan
pada tahap pemaknaan aktual (penafsiran)
seperti tercermin dalam berbagai doktrin
teologis, yuridis, politis, dan sebagainya, ia
selalu menjadi mitologi dan ideologi yang
diberikan makna transenden. Ketiga, alQur’an adalah teks terbuka. Tidak satupun
yang berhak mengklaim bahwa penafsiran
yang dihasilkannya merupakan penafsiran
yang paling benar, dan menutup
kemungkinan penafsiran dari pihak lain.
Dari sini dapat dipahami bahwa
walaupun setiap kelompok cenderung
mengatakan
bahwa
penafsirannya
merupakan penafsiran yang sah, sebagai
JKèm-U, Vol. IV, No. 11, 2012:67-73
pemaknaan aktual terhadap amanat
potensial, namun penafsiran tersebut bukan
wahyu itu sendiri. Karena itu, sangat
disayangkan sejumlah penafsir klasik,
seperti at-Thabari, yang setiap kali
menafsirkan ayat dengan mudahnya
mengatakan, “Allah berfirman;Yaqul Allah”.
Seakan-akan ia atahu persis niat Ilahi
melalui kalamNya dan memberi penjelasan.
Pada setiap saat, setiap zaman
selalu terjadi akumulasi dialektik. Maka
setiap zaman juga terjadi reinterpretasi dan
reaktualisasi atas ajaran Islam yang
disesuaikan dengan tingkat pemikiran
manusia pada zaman itu. Hal itu merujuk
pada
sabda
Nabi
Muhammad
Saw;”Sesuaikan pengajaran agama Islam
dengan aatingkat budi akal manusia”.
Namun sayang kata Hanafi, pemikiran masih
terbelenggu oleh teks secara kaku sehingga
kurang peka merespon realita perkembanga
zaman
yang
makin
meluas.
(Shimogaki,2001:63
Ilmu pengetahuan yang saat ini
dibutuhkan kaum muslimin adalah linguistik,
semiotika, sejarah sosiologi, antropologi dan
filsafat. Semua jenis ilmu ini sepertinya tidak
banyak yang menguasainya terutama oleh
para teolog dan fuqoha’, sehingga pemikiran
mereka, terutama dalam menafsira al-Qur’an
kurang relevan dengan perkembangan
zaman.
2. Masalah Sekularisme
Di dunia Islam, sekularisasi
merupakan masalah yang sangat sensitif.
Karena itu dalam pembahasannya harus
ekstra hati-hati supaya tidak muncul sikap
apriori di kalangan sementara kaum muslim.
Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa
sekularisasi tidak perlu ditolak oleh kaum
muslim.
Sebaliknya
justru
harus
dipergunakan untuk memunculkan pelbagai
prakasa baru bagi kepentingan kaum
muslim. Selanjutnya harus dihilangkan di
kalangan muslim sikap pengkeramatan
(qadasah dan sakralisasi) yang berlebihan
terhadap simbol-simbol agama.
Ketika
berbicara
tentang
sekularisme,
orang
seringkali
menghubungkan dengan suatu ungkapan
Islam dan Modernitas
yang sangat populer dalam injil, “Berikanlah
milik Kaisar kepada Kaisar dan berikan Milik
Allah kepada Allah”. Sebab dari ungkapan
inilah, menurut sebagaian pendapat terjadi
pemisahan total antara geraja dan negara di
dunia Barat. Padahal sesungguhnya,
ungkapan al Masih (Yesus Kristus) itu dapat
dipahami hanya jika diketahui dengan baik
kondisi historis saat itu. Pada saat ungkapan
itu dikemukakan oleh al Masih, Palestina
berada di kekuasaan Romawi. Dalam situasi
demikian, cara satu-satunya bagi seorang
tokoh agama adalah berkiprah pada tataran
spiritual keagamaan, dan tidak pada politik.
Ungkapan dalam injil tersebut memang
bertujuan untuk mengendalikan kekuasaan
spiritual.
Daripada menyerang kekuasaa
romawi,
Yesus
secara
implisit
mempersoalkan legitimisasi kekuasaan
tersebut, karena tidak didasarkan pada
wewenang spiritual yang terwarisi dari Yesus
itu. Gereja selanjutnya memulai urusan
politik.
Selajutnya,
terjadi
pelbagai
pertentangan sehinga timbul Revolusi Inggris
dan eksekusi terhadap Raja Louis XVI pada
1793. Sebagai implikasi lalu terjadi
pemisahan antara gereja (wewenang
tertinggi) dan negara (kekuasaan politik).
(Hanafi,2001:63).
Bagi Arkoun, sekularisme lebih dari
sekedar pemisahan sederhana antara halhal yang spiritual dan yang temporal.
Sekularisme bukan merupakan sesuatu yang
sama sekali baru dan melulu produk
masyarakat Barat. Secara defakto ia bahkan
dapat ditemukan pada semua masyarakat –
kuno maupun modern, maju maupun
terbelakang – di sepanjang sejarah,
walaupun disangkal maupun disembunyikan
dibalik ungkapan-ungkapan keagamaan.
Selain itu, seluruh masyarakat dunia
sebenarnya menemukan sejumlah problem
dalam
menghadapi
kecederungan
sekularisme. Atas dasar itu, tidak boleh
dikatan bahwa Barat itu sekuler, sedangkan
Islam itu tidak. Masalahnya, sakral menurut
siapa dan sekuler menurut siapa. Sebab
setiap masyarakat, bahkan setiap orang,
memiliki kerangkan pemikiran masing-
71
masing mengenai yang sakral dan yang
sekuler. Jadi tidak digeneralisir sedemikian
rupa bahwa kaum muslim mejunjung tinggi
yang sakral sedang Barat itu sekuler.
Masalahnya harus dilihat kasus per kasus.
Oleh karena itu sekularisme
dipahami sebagai salah satu resep yang
harus diterapkan pada masyarakat di mana
agama mengontrol semua kejadian dan
gerak gerik kehidupan. (Putro,1989:35). Jadi
sekularisme tak ubahnya seperti globalisasi,
yang mana semua negara pasti
menghadapinya, tinggal mana negara
bangsa itu mencermatinya.
Terhadap
faktor-faktor
yang
menghubungkan antara dunia Islam dengan
dunia Barat, jauh lebih banyak dari pada
faktor-faktor
yang
memisahkannya.
Keduanya sama-sama punya Tuhan dan
kedua-duanya sama-sama memiliki banyak
nilai-nilai
spiritual
yang
mirip.
(Rasyid,1998:141). Dengan demikian kita
tidak langsung menolak terhadap hal-hal
yang datang dari Barat, hanya harus hati-hati
dan kritis terhadap warisan-warisan
kesejarahan atau tradisi umat Islam dan
terhadap Barat, sehingga tak kehilangan jati
dirinya disaat mengejar kemajuan. Sebagai
umat Islam yang hidup di tengah-tengah
pluralitas agama maupun budaya, harus bisa
mengambil sikap yang arif dalam
menghadapi modernitas, agar identitasnya
tetap terjaga.
Kesimpulan
Dari uraian di atas bisa diambil
pengertian
bahwa
pada
dasarnya
modernitas telah muncul menjelang akhir
abad ke-15 M. Oleh karena itu modernitas
tidak putus dari kemajuan yang pernah ada
pada masa lalu. Zaman modern, hakekatnya
zaman sekarang akan lebih tepat disebut
zaman tehnik atau evolusi, karena pada
munculnya zaman itu ada peran sentral
tehnikalisme
serta
bentuk-bentuk
kemasyarakatan yang berkait dengan
tehnikalisme itu.
Islam yang diakui sebagai agama
terakhir dan penutup dari rangakain petunjuk
(wahyu) Tuhan untuk membimbing
72
kehidupan manusia, diklaim sebagai agama
yang paling sempurna. Salah satu makna
kesempurnaan itu ialah bahwa Islam diyakini
bersifat universal yang meliputi berbagai
dimensi ruang dan waktu. Dengan ungkapan
apologia, jika difatsirkan secara kontekstual,
maka ajaran Islam cocok untuk diterapkan di
mana dan kapan saja, atau bahasa alQur’annya Rahmatan lil ‘alamiin.
Hal yang perlu dilakukan adalah
kesediaan untuk saling belajar dan saling
mengisi. Islam mengajarkan kepada
pemeluknya untuk mengenal orang lain,
bukan untuk memusnahkannya, tetapi justru
untuk memahami dan hidup berampingan
dengannya, sepanjang orang tersebut tidak
menyimpan kepada kaum muslim dan tidak
pula mengganggunya. Hal demikian
termasuk modernitas.
Pertanyaan berikutnya adalah
bagaimana ajaran agama yang bersifat
universal itu dapat diterapkan dalam
kesejarahan kemanusiaan yang selalu
berubah-ubah. Di sinilah harus dipahami
benar bahwa peradaban Islam atau praktek
dan pemahaman Islam pada suatu masa
tertentu merupakan hasil akumulasi terpadu
antara normativitas Islam yang permanen
dan historitas manusia di muka bumi yang
selalu berubah-ubah.
Islam bukannya agama yang
terorganisir secara kaku dan dogmatis.
Keberislaman berarti sikap berserah diri
secara personal kepada ketentuan Ilahi
sebagai usaha pemenuhan perjanjian suci
(Misaq) antara Dia dan manusia. Dalam
pengertian ini, Islam menyediakan dan
membuka ruang bagi penafsiran baru. Tidak
ada satu kelompok yang berhak mengklaim
diri dan penafsirannya paling benar
dibanding yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam Antara
Modernitas dan Postmodernisme,
Telaah Kritis Pemikiran Hasan
Hanafi, LkiS Yogyjakarta, 200
Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, PT
Remaja Rosda Karya, Bandung,
2002
JKèm-U, Vol. IV, No. 11, 2012:67-73
Majdid,
Nurcholis, Islam Doktrin dan
Peradaban, Sebuah telaah kritis
tentang
masalah
keimanan,
kemanusiaan dan kemordernan,
Paramida, Jakarta, 2000
Putro, Suadi, Mohammmed Arkoun Tentang
Islam&Modernitas, Paramida, 1998
S.U.H. U.F, Pengembangan Kajian
Keislaman, Jurnal UMS, Vol XIII.No
02/11/2001
Amir, Aziz Ahmad, Neo-Modernisme Islam di
Indonesia,
Gagasan
sentral
Nurcholis Majdid, Renika Cipta,
Jakarta,1998
Islam dan Modernitas
73
Download