ISLAM DAN MODERNITAS (Telaah Pustaka) Oleh Daryanto*) *)Dosen ISSN: 2805-2754 Tetap Akademi Keperawatan Mamba’ul ‘Ulum Surakarta ABSTRAK Moderitas ditandai oleh kreatifitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidup di dunia. Cikal bakal modernisasi berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad pertengahan, yang disebut zaman pencerahan yang berimplikasi perubahan mendasar dalam semua aspek kehidupan. Bagi banyak pengamat, sejarah Islam di masa modern pada intinya adalah dampak Barat terhadapa Islam, khususnya sejak abad ke-13 H/19 M. Mereka memandanga Islam sebagai yang semi mati yang menerima pukulan-pukulan yang destruktif atau pengaruhpengaruh yang formatif dari Barat. Pada sekitar pertengahan abad kedua puluh, negeri-negeri Muslim Asia Tengah masih terus dalam tripel dominasi komunis Rusia, dominasi politik, ekonomi, dan jauh lebih jahat dari dalam bentuk kolonialisme yang manapun dalam sejarah dominasi intelektual moral. Hal yang perlu dilakukan adalah kesediaan untuk saling belajar dan saling mengisi. Islam mengajarkan pemeluknya agar mengenal orang lain, bukan untuk memusnahkannya. Islam bukannya agama yang kaku dan dogmastis. Keberislaman berarti berserah diri secara personal kepada ketentua Yang Maha Esa sebagai usaha pemenuhan perjanjian (misaq) antara Dia dan Manusia. Islam diharapkan tampil dengan tawaran-tawaran kultural yang produktif dan konstruktif. Nilai-nilai Islam selalu ada pada inti ajaran agama yang mempertemukan seluruh umat manusia. Nilai-nilai universal itu harus dikaitkan kepada kondisi nyata ruang dan waktu agar memiliki kekuatan efektif dalam masyarakat sebagai dasar etika sosial menuju masyarakat modern, sehingga mamapu menjawab keraguan sebagaian orang akan prinsip ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Kata Kunci : Islam, Moderniasasi dan Masyarakat Pendahuluan Modernitas ditandai oleh kreatifitas manusia dalam mencari jalan mengatasi kesulitan hidupnya di dunia ini. Arnodh Toynbee, seorang ahli sejarah yang terkenal mengatakan bahwa modernitas telah dimulai sejak menjelang akhir abad kelima belas Masehi, ketika orang Barat “ berterimakasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri karena ia telah berhasil mengatasi kungkungan kristen abad pertengahan”. (Arnodh,1957:1488). Karena merupakan kelanjutan logis sejarah, maka modernitas adalah suatu yang tak terhindarkan. Lambat ataupun cepat modernitas pasti akan muncul di kalangan Islam dan Modernitas umat manusia, entah kapan dan dibagian mana di muka bumi ini. Cikal bakal moderitas berasal dari munculnya gerakan pemikiran abad pertengahan, yang disebut dengan zaman pencerahan yang membawa implikasi perubahan mendasar hampir dalam semua aspek kehidupan manusia. Dunia ilmu pengetahuan bersifat positivistik dengan meletakkan dominasi ilmu-ilmu empiris, eksak berserta metodologinya sebagai paradigma. Sejak itu munculah dikotomi antara kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan dan kebenaran berdasarkan agama yang pada zaman sebelumnya kebenara selalu dipegang oleh agama (gereja). Tata kelola 67 perekonomian juga berubah; ia kini diatur oleh sistem kapitalistik yang menekankan pada mekanisme pasar bebas. Keadaan itu merefleksikan pada peri kehidupan manusia yang lain dengan ditandai oleh sikap meterialistik dan sekuralistik yang terlalu duniawi dan lahiriyah. Di sisi lain, terjadi krisis global yang tidak diharapkan dalam kehidupan sosial; munculah dekadansi moral dan kekacauan kemanusiaan yang melahirkan manusia merampas hak orang lain dan tidak memperdulikan nasib manusia yang lain. Sejalan dengan kemajuan tehnologi komunikasi dan transportasi, mobilitas sosial dan ruang dari masyarakat semakin tinggi. Dalam konteks inilah, sistem nilai dan kepercayaan masyarakat mengenai dunia mengalami perubahan sehinga terjadi proses sekularisasi dan memudarnya fungsi agama, termasuk Islam. (Dadang, 2002:184) Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis menfokuskan kajian pada dua aspek, yakni Islam dan Modernitas yang merupakan sebuah proses perubahan yang tidak dapat terelakkan. Kemudian penulis sederhanakan dalam beberapa pertanyaan; 1. Apa hakekat dan pengertian Modernitas? 2. Bagaimana pengaruh Modernitas bagi dunia Islam?, dan 3. Bagaimana sikap Islam terhadap perubahan tersebut? Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah libraryresecearh dengan bentuk diskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif. Fokus penelitian menitikberatkan pada kajian konseptual yang berupa butir-butir pemikiran dan bagaimana pemikiran itu tersosialisasikan sesuai dengan dinamika pemikiran itu di tengah pergumulan intelektual masyarakat modern. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan bahan kepustakaan yang berupa buku-buku dan makalah-makalah 68 ataupun artikel yang ditulis oleh beberapa pemikir tentang masalah Islam dan modernitas. Dengan menggunkakan telaah naskah, penulis mengkaji ide-ide, bersamaan dengan itu dengan realitas yang terjadi. Sehingga akan dapat ditemukan jawaban dari persoalan yang dihadapi. Hakekat Modernitas Secara harfiah istilah modernitas mengacu pada pengertian “sekarang”. Istilah ini dianggap sebagai lawan dari istilah oncient atau tradisional. Dengan demikian, kedua istilah ini merupakan tipe ideal dari dua tatanan masyarakat yang berbeda. Istilah modern kemudian berkembang menjadi salah satu istilah tehnis akademis. Perkembanganya istilah tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah peradaban Eropa pada abad pertengahan, renaisance, Aufklarung, hingga mencapai puncaknya pada abad ke-19 dan ke-20. Juga istilah ini sering disosialisasikan dengan kemajuan atau evolusi. Menurut Harun Nasution; kata-kata Modern, Modernisme dan Modernisasi, seperti kata lainnya dari Barat telah dipakai dalam bahasa Indonesia. Dalam masyarakat Barat kata itu mengandung arti pikiranpikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adatistiadat, institusi-institusi lama dan lain sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oelh ilmu pengetahuan dan tehnologi modern. Pikiran dan aliran itu muncul antara tahun 1050 sampai dengan tahun 1800 M, suatu masa yang terkenal dalam sejarah Eropa sebagai The Age Of Reason atau Enlightenment, yakni masa pemujaan akal. (Nasution, 1989:181) Terlepas dari mana modernitas itu lahir, yang perlu digaris bawahi adalah penyebutan tahap perkembangan sejarah manusia yang berlangsung sekarang ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah. Hodgson misalnya, mengatakan bahwa zaman sekarang lebih tepat disebut “zaman tehnik” (tehnical Age), karena itu, pada kemunculan zaman itu, ada peran sentral tehnicalisme serta bentuk-bentuk JKèm-U, Vol. IV, No. 11, 2012:67-73 kemasyarakatan yang terkait dengan tehnicalisme itu. Bentuk keterkaitan tersebut adanya gelombang modernitas umat manusia adalah revolusi Perancis dan revolusi Inggris. Penyebutan tahap perkembangan manusia yang sedang berkembang sekarang ini sebagai “zaman modern” bukannya tanpa masalah. Masalah itu timbul karena inti dan hakekat zaman bukan kebaharuannya (modern) berarti baru, seolah-olah sesudah tahap ini tidak ada lagi tahap berikutnya. Di samping itu, perkataan “modern” mengisyaratkan suatu penilaian tertentu yang cenderung positif, padahal dari sudut hakekatnya, zaman modern itu bersifat netral. Modernitas dan pengaruhnya bagi Dunia Islam Di dorong oleh ayat-ayat al-Qur’an yang menganjurkan umat manusia supaya menghargai akal yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dan ajaran nabi Muhammad Saw supaya mencari ilmu pengetahuan. Semenjak ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir (1798-1801, modernitas tidak saja menimbulkan implikasi positif bagi dunia Islam, tetapi juga problem dan tantangan, apalagi sudah sedemikian banyak kemajuan Barat yang tak terpikirkan oleh kaum Muslimin. Dalam konteks batasan, problem dan tantangan modernitas itu dapat dirujuk uraian para ahli seperti Harvey Cox atau lucia W.Pye. paling tidak merujuk kepada kedua ahli itu setidak-tidaknya ada tiga pilar yang menjadi soko guru modernitas: a) Ilmu pengetahuan yang berujung rasionalisme; b) negara – bangsa yang bermuara pada rasionalisme; dan c) “penyepelean” peran agama yang berujung sekularisme. Ketiga masalah inilah kiranya yang menjadi problem sekaligus tantangan bagi kaum Muslimin menyambut datangnya modernitas ke dunia Islam semenjak abad ke-19. Namun di samping itu juga masih ada sejumlah problem turunan lainnya, seperti demokrasi, hak asasi manusia (HAM), toleransi, status wanita dan sebagainya. (Suadi,1998:51-52) Islam dan Modernitas Dalam prespektif Islam Indonesia, bagi penulis setidaknya ada dua problem yang cukup serius untuk mencari akar persoalaannya serta mencoba keluar dari problem yang sedang kita hadapi, di antara problem itu adalah: 1. Militansi ajaran agama Modernisasi mengandung arti perubahan, sedang agama dengan dogma-dogmanya yang terdapat di dalamnya tidak mudah dapat menerima perubahan itu. Kalau modernisasi menghendaki dinamisasi, agama justru terkadang mempertahankan keadaan statis. Semakin kuat dogma-dogma dalam agama, maka semakin keras agama mempertahankan keadaan statis tersebut sehingga semakin sulit modernisasi dijalankan dalam masyarakat yang menganut agama serupa. 2. Pemahaman Fiqih Tradisi yang kemudian timbul dalam sejarah perkembangan suatu agama mempunyai sifat mengikat yang kuat. Hal ini juga terdapat di kalangan umat Islam. Interpretasi tentang teks ayat yang dilakukan kalangan ulama-ulama periode klasik dalam lapangan hukum, teologi, ibadah, dan sebagainya telah dianggap dogma yang tidak boleh dilanggar dan diubah. 3. Sikap Fanatisme Umumnya orang berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu dan oleh karena itu di antara aliran-aliran keagamaan yang muncul karena interpretasi yang berlainan tersebut, hanya satu aliranlah yang benar. Aliran lain salah dan tiap penganut aliran menganggap alirannyalah yang benar. Dari sini timbul sikap faatisme yang mempersempit pandangan hidup seseorang. 4. Sikap Pasarah yang berlebihan 69 Terkait dengan persoalan itu di kalagan umat Islam aliran teologi Islam tradisional, bukan aliran teologi rasional, berpengaruh kuat sehingga umat Islam sekarang bersikap fatalistis. Paham ini berkeyakinan nasip tiap orang telah ditentukan semenjak azal. Jelas hal ini tidak menguntungkan bagi modernisasi. Dalam faham fatalisme orang bersikap pasif, tidak aktif. Padahal modernisasi menghendaki keaktifan bukan kepasifan. 5. Sikap Kurang Rasional Aliran teologi itu banyak berpegang pada literatur dari teks al-Qur’an serta hadist, dan kurang memakai rasio dalam memahami kedua teks itu. Dalam cara berfikir umat Islam masih banyak dipengaruhi leh perasaaan. Orang Islam masih banyak bersikap emosional daripada bersikap rasional. Inilah beberapa sikap yang terdapat di kalangan umat Islam sehingga membuat usaha-usaha modernisasi di dunia Islam belum menunjukkan hasil yang dikehendaki. Di samping itu, modernisasi di kalangan umat Islam sampai sekarang lebih banyak berkaitan dengan aspek material dari kemajuan Barat seperti alat-alat industri, ekonomi, pendidikan dan lain-lain dari pada aspek spiritual dan mental umat. Dengan demikian lahiriah umat Islam nampak telah menjadi modern, tetapi secara batiniyah atau mental masih banyak bersifat tradisioal. Belum ada kesinambungan antara aspek material dan aspek mental dalam upaya melakukan modernisasi ini. Sikap Umat Islam dalam menghadapi Modernitas 1. Bidang Intelektual Di antara persoalan yang dihadapi kaum muslim saat ini adalah masalah wahyu yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Kitab suci ini merupakan teks yang sangat penting bagi kaum muslimi dan telah banyak 70 diperbincangkan . meskipun demikian, ia masih saja belum benar-benar dipahami, terutama berkaitan dengan posisinya sebagai wahyu. Harus dibedakan, antara “penulisan” al-Qur’an dan “pembacaan” ortodoks terhadapnya. Penulisan al-Qur’an, yang jauh dari formulasi politik yang kaku, harus dipahami sebagai bahasa manusia yang sangat tinggi, ekspresi perasaan, dan sekaligus ilham. Penulisannya berada di atas segala usaha untuk menentukan teks. Tetapi, teks itu selanjutnya harus dibaca secara logosentri. Wahyu dalam konsepesi tradisional-ortodoks meliputi banyak pengertian, yaitu; a) Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya kepada umat manusia melalui para Nabi yang bertugas menyampaikan bahwa wahyu Tuhan adalah bagian dari tuturan-Nya yang tidak diciptakan, tidak terbatas, dan koeternal (bersama Tuhan sendiri). Pada dasarnya, wahyu dalam alQur’an adalah fenomena linguistik. Struktur sintaksis, semantik, dan semiotika wacana al-Qur’an menyediakan satu ruang yang demikian artikulatif untuk mengutarakan pemikiran dan isi wahyu. Untuk itu perlu disimak bebrapa “hipotesis kerja” Arkoun berkenaan dengan al-Qur’an itu. Pertama, al-Qur’an merupakan sejumlah pemaknaan potensial bagi seluruh umat manusia, sehingga dapat ditafsirkan secara beraneka ragam. Kedua, pada tahap pemaknaannya yang potensial, al-Qur’an mengacu pada agama Islam (dalam arti ideal) yang trasenden dan transhistoris. Sedangkan pada tahap pemaknaan aktual (penafsiran) seperti tercermin dalam berbagai doktrin teologis, yuridis, politis, dan sebagainya, ia selalu menjadi mitologi dan ideologi yang diberikan makna transenden. Ketiga, alQur’an adalah teks terbuka. Tidak satupun yang berhak mengklaim bahwa penafsiran yang dihasilkannya merupakan penafsiran yang paling benar, dan menutup kemungkinan penafsiran dari pihak lain. Dari sini dapat dipahami bahwa walaupun setiap kelompok cenderung mengatakan bahwa penafsirannya merupakan penafsiran yang sah, sebagai JKèm-U, Vol. IV, No. 11, 2012:67-73 pemaknaan aktual terhadap amanat potensial, namun penafsiran tersebut bukan wahyu itu sendiri. Karena itu, sangat disayangkan sejumlah penafsir klasik, seperti at-Thabari, yang setiap kali menafsirkan ayat dengan mudahnya mengatakan, “Allah berfirman;Yaqul Allah”. Seakan-akan ia atahu persis niat Ilahi melalui kalamNya dan memberi penjelasan. Pada setiap saat, setiap zaman selalu terjadi akumulasi dialektik. Maka setiap zaman juga terjadi reinterpretasi dan reaktualisasi atas ajaran Islam yang disesuaikan dengan tingkat pemikiran manusia pada zaman itu. Hal itu merujuk pada sabda Nabi Muhammad Saw;”Sesuaikan pengajaran agama Islam dengan aatingkat budi akal manusia”. Namun sayang kata Hanafi, pemikiran masih terbelenggu oleh teks secara kaku sehingga kurang peka merespon realita perkembanga zaman yang makin meluas. (Shimogaki,2001:63 Ilmu pengetahuan yang saat ini dibutuhkan kaum muslimin adalah linguistik, semiotika, sejarah sosiologi, antropologi dan filsafat. Semua jenis ilmu ini sepertinya tidak banyak yang menguasainya terutama oleh para teolog dan fuqoha’, sehingga pemikiran mereka, terutama dalam menafsira al-Qur’an kurang relevan dengan perkembangan zaman. 2. Masalah Sekularisme Di dunia Islam, sekularisasi merupakan masalah yang sangat sensitif. Karena itu dalam pembahasannya harus ekstra hati-hati supaya tidak muncul sikap apriori di kalangan sementara kaum muslim. Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa sekularisasi tidak perlu ditolak oleh kaum muslim. Sebaliknya justru harus dipergunakan untuk memunculkan pelbagai prakasa baru bagi kepentingan kaum muslim. Selanjutnya harus dihilangkan di kalangan muslim sikap pengkeramatan (qadasah dan sakralisasi) yang berlebihan terhadap simbol-simbol agama. Ketika berbicara tentang sekularisme, orang seringkali menghubungkan dengan suatu ungkapan Islam dan Modernitas yang sangat populer dalam injil, “Berikanlah milik Kaisar kepada Kaisar dan berikan Milik Allah kepada Allah”. Sebab dari ungkapan inilah, menurut sebagaian pendapat terjadi pemisahan total antara geraja dan negara di dunia Barat. Padahal sesungguhnya, ungkapan al Masih (Yesus Kristus) itu dapat dipahami hanya jika diketahui dengan baik kondisi historis saat itu. Pada saat ungkapan itu dikemukakan oleh al Masih, Palestina berada di kekuasaan Romawi. Dalam situasi demikian, cara satu-satunya bagi seorang tokoh agama adalah berkiprah pada tataran spiritual keagamaan, dan tidak pada politik. Ungkapan dalam injil tersebut memang bertujuan untuk mengendalikan kekuasaan spiritual. Daripada menyerang kekuasaa romawi, Yesus secara implisit mempersoalkan legitimisasi kekuasaan tersebut, karena tidak didasarkan pada wewenang spiritual yang terwarisi dari Yesus itu. Gereja selanjutnya memulai urusan politik. Selajutnya, terjadi pelbagai pertentangan sehinga timbul Revolusi Inggris dan eksekusi terhadap Raja Louis XVI pada 1793. Sebagai implikasi lalu terjadi pemisahan antara gereja (wewenang tertinggi) dan negara (kekuasaan politik). (Hanafi,2001:63). Bagi Arkoun, sekularisme lebih dari sekedar pemisahan sederhana antara halhal yang spiritual dan yang temporal. Sekularisme bukan merupakan sesuatu yang sama sekali baru dan melulu produk masyarakat Barat. Secara defakto ia bahkan dapat ditemukan pada semua masyarakat – kuno maupun modern, maju maupun terbelakang – di sepanjang sejarah, walaupun disangkal maupun disembunyikan dibalik ungkapan-ungkapan keagamaan. Selain itu, seluruh masyarakat dunia sebenarnya menemukan sejumlah problem dalam menghadapi kecederungan sekularisme. Atas dasar itu, tidak boleh dikatan bahwa Barat itu sekuler, sedangkan Islam itu tidak. Masalahnya, sakral menurut siapa dan sekuler menurut siapa. Sebab setiap masyarakat, bahkan setiap orang, memiliki kerangkan pemikiran masing- 71 masing mengenai yang sakral dan yang sekuler. Jadi tidak digeneralisir sedemikian rupa bahwa kaum muslim mejunjung tinggi yang sakral sedang Barat itu sekuler. Masalahnya harus dilihat kasus per kasus. Oleh karena itu sekularisme dipahami sebagai salah satu resep yang harus diterapkan pada masyarakat di mana agama mengontrol semua kejadian dan gerak gerik kehidupan. (Putro,1989:35). Jadi sekularisme tak ubahnya seperti globalisasi, yang mana semua negara pasti menghadapinya, tinggal mana negara bangsa itu mencermatinya. Terhadap faktor-faktor yang menghubungkan antara dunia Islam dengan dunia Barat, jauh lebih banyak dari pada faktor-faktor yang memisahkannya. Keduanya sama-sama punya Tuhan dan kedua-duanya sama-sama memiliki banyak nilai-nilai spiritual yang mirip. (Rasyid,1998:141). Dengan demikian kita tidak langsung menolak terhadap hal-hal yang datang dari Barat, hanya harus hati-hati dan kritis terhadap warisan-warisan kesejarahan atau tradisi umat Islam dan terhadap Barat, sehingga tak kehilangan jati dirinya disaat mengejar kemajuan. Sebagai umat Islam yang hidup di tengah-tengah pluralitas agama maupun budaya, harus bisa mengambil sikap yang arif dalam menghadapi modernitas, agar identitasnya tetap terjaga. Kesimpulan Dari uraian di atas bisa diambil pengertian bahwa pada dasarnya modernitas telah muncul menjelang akhir abad ke-15 M. Oleh karena itu modernitas tidak putus dari kemajuan yang pernah ada pada masa lalu. Zaman modern, hakekatnya zaman sekarang akan lebih tepat disebut zaman tehnik atau evolusi, karena pada munculnya zaman itu ada peran sentral tehnikalisme serta bentuk-bentuk kemasyarakatan yang berkait dengan tehnikalisme itu. Islam yang diakui sebagai agama terakhir dan penutup dari rangakain petunjuk (wahyu) Tuhan untuk membimbing 72 kehidupan manusia, diklaim sebagai agama yang paling sempurna. Salah satu makna kesempurnaan itu ialah bahwa Islam diyakini bersifat universal yang meliputi berbagai dimensi ruang dan waktu. Dengan ungkapan apologia, jika difatsirkan secara kontekstual, maka ajaran Islam cocok untuk diterapkan di mana dan kapan saja, atau bahasa alQur’annya Rahmatan lil ‘alamiin. Hal yang perlu dilakukan adalah kesediaan untuk saling belajar dan saling mengisi. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk mengenal orang lain, bukan untuk memusnahkannya, tetapi justru untuk memahami dan hidup berampingan dengannya, sepanjang orang tersebut tidak menyimpan kepada kaum muslim dan tidak pula mengganggunya. Hal demikian termasuk modernitas. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana ajaran agama yang bersifat universal itu dapat diterapkan dalam kesejarahan kemanusiaan yang selalu berubah-ubah. Di sinilah harus dipahami benar bahwa peradaban Islam atau praktek dan pemahaman Islam pada suatu masa tertentu merupakan hasil akumulasi terpadu antara normativitas Islam yang permanen dan historitas manusia di muka bumi yang selalu berubah-ubah. Islam bukannya agama yang terorganisir secara kaku dan dogmatis. Keberislaman berarti sikap berserah diri secara personal kepada ketentuan Ilahi sebagai usaha pemenuhan perjanjian suci (Misaq) antara Dia dan manusia. Dalam pengertian ini, Islam menyediakan dan membuka ruang bagi penafsiran baru. Tidak ada satu kelompok yang berhak mengklaim diri dan penafsirannya paling benar dibanding yang lain. DAFTAR PUSTAKA Shimogaki, Kazuo, Kiri Islam Antara Modernitas dan Postmodernisme, Telaah Kritis Pemikiran Hasan Hanafi, LkiS Yogyjakarta, 200 Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2002 JKèm-U, Vol. IV, No. 11, 2012:67-73 Majdid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah telaah kritis tentang masalah keimanan, kemanusiaan dan kemordernan, Paramida, Jakarta, 2000 Putro, Suadi, Mohammmed Arkoun Tentang Islam&Modernitas, Paramida, 1998 S.U.H. U.F, Pengembangan Kajian Keislaman, Jurnal UMS, Vol XIII.No 02/11/2001 Amir, Aziz Ahmad, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, Gagasan sentral Nurcholis Majdid, Renika Cipta, Jakarta,1998 Islam dan Modernitas 73