HANDOUT KULIAH OPTIK NONLINIER Oleh: DR. Ayi Bahtiar, M.Si. JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2005 BAB 1. PENDAHULUAN Physics would be dull and life most unfulfilling if all physical phenomena around us were linear. Fortunately, we are living in nonlinear world. While linearization beautifies physics, nonlinearly provides excitement in physics. Y.R. Shen. Principles of Nonlinear Optics. Observasi pertama efek optik nonlinier Frequency doubling pada laser Ruby (λ = 694,3 nm), menghasilkan panjang gelombang baru (λ = 347,2 nm) P.A. Franken, A.E. Hill, C.W. Peters and G. Weinreich, Phys. Rev. Lett. 7 (1961) 118 OPTIK LINIER Polarisasi dalam medium dielektrik Atom paling sederhana: P = ε0 χ(1)E ε0 : permitivitas udara Awan elektron χ(1) : suseptibiltas listrik E ∆X Polarisasi dalam medium : P = - N e ∆X N = jumlah elektron E = muatan elektron (1,6. 10-19 C) Hubungan sifat optik bahan dan suseptibilitas: n0 = 1 + 4πχ πχ(1) n0 : indeks bias linier dari bahan OPTIK NONLINIER Polarisasi dalam medium optik nonlinier r r r r r r r (1) (2) ( 3) P = ε0 χ E + χ E ⊗ E + χ E ⊗ E ⊗ E { } χ(2) : Suseptibilitas listrik/optik orde kedua χ(3) : Suseptibilitas listrik/optik orde ketiga Suseptibilitas χ(n) adalah kompleks, yang terdiri bagian riil Re[χ(n)] dan imajiner Im[χ(n)] χ ( n ) = Re[χ ( n ) ] + i Im[χ ( n ) ] { } r r r r r r r (1) (2) ( 3) P = ε 0 χ E + χ E ⊗ E + χ E ⊗ E ⊗ E + ... Pandang suatu medan listrik untuk suatu gelombang bidang yang menjalar pada sumbu-z dan mempunyai frekuensi ω dan vektor gelombang k = 2π/λ E (ω) = E 0 cos( ωt − kz ) ( r r r2 r3 (1) ( 2) ( 2) ( 3) ( 3) P(ω) = ε0 χ ( −ω; ω) E + K χ ( −ω; ω, ω) E + K χ ( −ω; ω,−ω, ω) E + ... ) K(n) adalah faktor numerik yang berkaitan dengan proses optik nonlinier dan jumlah permutasi frekuensi yang dapat dibedakan [Butcher’92] 1 P = ε 0 χ (1) (ω; ω)E 0 cos(ωt − kz) + K ( 2) χ ( 2) (−ω; ω, ω)E 02 [1 + cos(2ωt − 2kz)] 2 1 3 + K (3) χ (3) (−ω; ω, ω, ω)E 30 cos(ωt − kz) + cos(3ωt − 3kz) 4 4 Tampak bahwa ada tiga buah frekuensi yakni ω, 2ω dan 3ω 3 P(ω) = ε 0 χ (1) (−ω; ω) + K (3) χ (3) (−ω; ω, ω, ω)E 02 E 0 cos(ωt − kz) 4 1 P(2ω) = ε 0 K ( 2) χ ( 2) (−ω; ω, ω)E 02 [1 + cos(2ωt − 2kz)] 2 1 P(3ω) = ε 0 K (3) χ (3) (−ω; ω, ω, ω)E 30 cos(3ωt − 3kz) 4 Suku pertama dalam P(ω ω) berkaitan dengan indeks bias linier dan suku kedua menghasilkan indeks bias yang bergantung pada intensitas cahaya n(I). P(2ω 2ω) 2ω menghasilkan beberapa efek penting a.l: frequency doubling/secondharmonic generation (SHG), dan sum- and difference-frequency generation. Bagian yang tak bergantung pada frekuensi dalam P(2ω 2ω) 2ω disebut optical rectification. P(3ω ω) berhubungan dengan third-harmonic generation (THG). SIMETRI INVERSI Suatu medium mempunyai simetri inversi, jika memenuhi: r r r r A( − r ) = − A( r ) r (2 ) r r r r r r ( ) 2 A. Polarisasi orde kedua: P ( r ) = χ E ( r ) ⊗ E ( r ) ≈ χ(2 )E 2 ( r ) Untuk medium yang mempunyai simetri inversi harus berlaku: r (2 ) r r (2 ) r P (− r ) = − P (r ) r (2 ) r r r r P (− r ) = χ(2 )E 2 (− r ) = χ(2 ){− E(r )}2 = χ(2 )E 2 (r ) r (2 ) r r − P ( r ) = − χ ( 2 )E 2 ( r ) …..(1) …..(2) r (2 ) r r (2 ) r Dengan demikian, maka: P (− r ) = − P (r ) jika nilai χ(2) = 0 Medium yang mempunyai simetri inversi, tidak memiliki suseptibilitas orde kedua atau χ(2) = 0. Medium tersebut dinamakan medium/bahan centro-symmetric. SIMETRI INVERSI (LANJ.) • Contoh bahan centro-symmetric: NaCl, Polimer PPV dll. Polimer PPV n A D Noncentro-symmetric, karena antara akseptor (A) dan donor (D) merupakan molekul yang berbeda, sehingga χ(2) ≠ 0. B. Polarisasi orde ketiga: r (3 ) r r r r r (3 ) r r (2 ) r 3 r P ( r ) = χ E(r ) ⊗ E(r ) ⊗ E(r ) ≈ χ E (r ) Medium centro-symmetric (memiliki simetri inversi). r (3 ) r r 3 (2 ) (3 ) r 3 r P (− r ) = χ {E (− r )} = −χ E (r ) …..(1) r (3 ) r r 3 (3 ) (3 ) r 3 r …..(2) − P (r ) = −χ {E( r )} = −χ E (r ) r r r r Jelas dari pers. (1) dan (2), maka: P(3) (− r ) = − P(3) (r ) Medium centro-symmetric memiliki suseptibilitas orde ketiga, χ(3) ≠ 0. Medium noncentro-symmetric (tidak memiliki simetri inversi), memiliki suseptibilitas orde ketiga. Semua medium mempunyai suseptibilitas orde ketiga, bahkan udara sekalipun. BAB 2. SUSEPTIBILITAS LISTRIK/OPTIK (MODEL LORENTZ) Dalam model ini, elektron-elektron dalam suatu medium dipengaruhi oleh gaya luar yang menyebabkan elektronelektron berpindah. Gerakan elektron-elektron diimbangi oleh gaya ikat. Akibatnya terjadi gerakan harmonik dari elektron yang dapat diilustrasikan dengan osilator harmonik teredam. e- r E e- r F x OPTIK LINIER Persamaan gerak dari osilator teredam (konstanta redaman γ) dalam satu dimensi dapat diperoleh dari Hukum Newton II. d2x dx e 2 iωt −iωt + 2 γ + ω x = − E ( e + e ) 0 0 dt m dt 2 Dimana : E( t ) = E 0 (e iωt + e − iωt ) adalah medan listrik x = perpindahan elektron dari keadaan kesetimbangan. ω0 = frekuensi intrinsik osilator γ = koefisien redaman (berkaitan dengan kerugian/loss optik linier) e dan m adalah muatan dan massa elektron. (ω02 − ω2 )x + 2iωγx = − x= e E0 m − eE 0 − eE ≈ m[(ω02 − ω2 ) + 2iωγ ] 2m[ω0 (ω0 − ω) + iωγ ] Dengan aproksimasi di dekat resonansi ω0 = ω ( ω02 − ω2 ) = ( ω0 + ω)( ω0 − ω) ≈ 2ω0 ( ω0 − ω) Polarisasi dalam medium dengan jumlah elektron N diberikan oleh: Ne 2 P(ω) = − Nex = E = ε 0 χ( ω) E 2m[ω0 ( ω0 − ω) + iωγ ] Suseptibilitas optik linier dalam medium: ( ω0 − ω) / γ Ne 2 χ (ω) = 2mω0 γε 0 [1 + ( ω0 − ω) 2 / γ 2 ] ' χ( ω) = χ' (ω) − iχ" (ω) Ne 2 1 χ" ( ω) = 2mω0 γε 0 [1 + ( ω0 − ω) 2 / γ 2 ] Bagian riil dari suseptibilitas χ' (ω) berkaitan dengan dispersi indeks bias n(ω) dari medium, sedangkan bagian imajinernya χ" ( ω) berkaitan dengan dispersi koefisien absorpsi α(ω), melalui: n( ω) = 1 + 4πχ' ( ω) π χ" ( ω) 2n( ω) n(ω) α(ω) [a.u.] α( ω) = ω [a.u.] ω [a.u.] OPTIK NONLINIER Model osilator harmonik menawarkan model klasik yang baik untuk menjelaskan asal suseptibilitas optik linier. Namun, model ini tidak dapat digunakan untuk kasus optik nonlinier. Dalam optik linier, gaya penyeimbang (restoring force) sebanding dengan perpindahan elektron dari keadaan setimbang. Jika medan listrik cukup kuat, maka perpindahan akan menjadi besar, sehingga restoring force tidak lagi sebanding dengan perpindahan, tetapi akan sebanding dengan pangkat dua, pangkat 3 dari perpindahan dst. Dalam kasus ini, model osilator harmonik harus diperluas menjadi model tak-harmonik (anharmonic), sehingga suseptibilitas optik nonlinier dapat ditunkan.In SUSEPTIBILITAS ORDE KEDUA Persamaan geraknya dapat digambarkan oleh: d2x dx e 2 2 iωt −iωt + 2 γ + ω x − Bx = − E ( e + e ) 0 0 2 dt m dt dimana Bx2 adalah anharmonic restoring force. Kita gunakan solusi yang mengandung bagian harmonik kedua: x = A (1) e iωt + A (1)*e − iωt + A ( 2 ) e i 2 ωt + A ( 2 )*e − i 2 ωt = x (1) + x ( 2 ) Substitusi kedalam pers. gerak diatas menghasilkan: d 2 x (1) dx (1) e 2 (1) iωt −iωt + 2 γ + ω x = − E ( e + e ) 0 0 2 dt m dt d 2 x ( 2) dx ( 2 ) 2 ( 2) (1) 2 + 2 γ + ω x − B ( x ) =0 0 2 dt dt Karena polarisasi dan perpindahan dalam kasus nonlinier adalah: P = − Nex ( 2 ) x ( 2 ) = A ( 2 ) .e i 2 ωt + c.c. Maka: Ne 3 E 02 1 B i 2 ωt P( 2ω) = .( e + cc) 2 2 2 2 2 2 m [( ω0 − ω ) + 2iωγ ] ω0 − 4ω + 4iωγ Dari hubungan polarisasi dan suseptibilitas: P( 2ω) = χ ( 2 ) ( −2ω; ω, ω)(e i 2 ωt + cc ) E 02 Maka diperoleh: χ (2) Ne 3 1 B ( −2ω; ω, ω) = 2 m [( ω02 − ω2 ) + 2iωγ ]2 ω02 − 4ω2 + 4iωγ suseptibilitas diatas berkaitan dengan pembangkitan harmonik kedua (2ω = ω + ω). ♠ Model anharmonik ini dapat juga untuk menunjukkan kasus sum frequency generation (SFG) (ω1 + ω2) and the difference frequency generation (DFG) (ω1 − ω2). ♠ Pers. Diatas menunjukkan bahwa resonansi tidak hanya terjadi pada frekuensi fundamental ω = ω0, tetapi juga pada 2ω = ω0 (two-photon resonance) ATURAN MILLER Miller [1] menemukan aturan empirik bahwa: δ (ijk2 ω) = χ (ijk2 ) ( 2ω) χ ii(1) ( 2ω)χ (jj1) ( ω)χ (kk1) ( ω) Persamaan diatas dapat direduksi kedalam 1-dimensi: δ ( 2 ω) = χ ( 2 ) ( 2ω) χ (1) ( 2ω)[χ (j1) ( ω)]2 δ(2ω) disebut dengan delta Miller. [1] Miller, R.C., Optical second harmonic generation in piezoelectric crystals, Appl.Phys.Lett. 5(1964), p.17. SUSEPTIBILITAS ORDE KETIGA Sama halnya seperti dalam orde kedua, persamaan gerak untuk orde ketiga adalah: d2x dx e 2 3 iωt −iωt + 2 γ + ω x − Cx = − E ( e + e ) 0 0 2 dt m dt Pandang solusi coba-coba (trial): x = ( A ω(1) e iωt + cc) + ( A ω( 3) e iωt + cc) + ( A 3ω( 3) e i 3ωt + cc) = x (1) + x ( 3) Diperoleh: d 2 x (1) dx (1) e 2 (1) iωt −iωt + 2 γ + ω x = − E ( e + e ) 0 0 2 dt m dt d 2 x ( 3) dx ( 3) 2 ( 3) (1) 3 + 2 γ + ω x − C ( x ) =0 0 2 dt dt Dengan menggunakan hubungan antara polarisasi dan suseptibilitas orde ketiga: P = [χ ( 3) ( −3ω; ω, ω, ω) E 30 e i 3ωt + cc ] + [χ ( 3) ( − ω; ω,− ω, ω) E 30 e iωt + cc ] akan menghasilkan suseptibilitas harmonik ketiga: N e4 C χ ( −3ω; ω, ω, ω) = 3 4 m [( ω02 − ω2 ) + iωγ ]3[ω02 − (3ω)2 + 3iωγ ] ( 3) ……….(*) 3N e 4 C ……….(**) 3 χ ( −ω; ω,−ω, ω) = 2 2 2 2 2 2 4 m [( ω0 − ω ) + iωγ ]2[(ω0 − ω ) + ( ωγ ) ] ( 3) Persamaan (*) menyatakan bahwa χ( 3) ( −3ω; ω, ω, ω) memiliki resonansi pada frekuensi fundamental ω=ω0 dan harmonik ketiga 3ω = ω0. Ungkapan untuk χ ( −3ω; ω, ω, ω) dapat ditulis ditulis dengan bantuan delta Miller dengan mengeliminasi faktor ( ω02 − ω2 ) + iωγ sehingga: ( 3) χ ( 3) ( −3ω; ω, ω, ω) = m Cχ (1) (3ω)[χ (1) ( ω)]3 3 4 4N e Untuk memperoleh nilai koefisien C, kita dapat berasumsi bahwa jika perpindahan x dan jarak atom s adalah sama besarnya, maka restoring force untuk harmonik dan tak-harmonik mempunyai nilai yang sama, sehingga: Persamaan (*) menjadi: ω02 s = Cs 3 N e4 C N χ ( −3ω; ω, ω, ω) = 3 8 = 2 6 4 m ω0 4s ω0 ( 3) e4 3 m Dengan nilai s = 0.3 nm, ω0 = 1016 rad/s dan N = 6 x 1022 /cm3, diperoleh χ ( 3) ( −3ω; ω, ω, ω) ω→0 = 1x10 −15 esu yaitu rentang nilai suseptibilitas orde ketiga yang reasonable suatu material. Persamaan(**) berkaitan dengan proses degenerate four-wave mixing (DFWM) dimana dua foton yang merambat secara berlawanan menghasilkan suatu pola grating dalam medium dan foton ketiga akan terhambur keluar dari grating. Bagian riil dan imajiner bertanggungjawab dalam proses self-focusing dan twophoton absorption. Walaupun model klasik osilator harmonik dan tak-harmonik dapat memperkirakan beberapa perilaku respon optik linier dan nonlinier dari suatu medium, model tersebut masih jauh dari cukup untuk menjelaskan secara lengkap tentang fenomena-fenomena eksperimen yang teramati. Salah satu masalah dalam model klasik adalah bahwa model ini hanya memiliki frekuensi karakteristik (fundamental) ω0 , sedangkan dalam sitem riil terdiri dari molekul-molekul dengan jumlah keadaan tereksitasi yang besar. Karenanya perlu untum memperlakukan teori mekanika kuantum dan menyelesaikan persamaan Schrödinger dengan Hamiltonian khusus. BAB 3. PERSAMAAN MAXWELL DALAM MEDIUM OPTIK NONLINIER PERSAMAAN MAXWELL DALAM MEDIUM OPTIK NONLINIER Untuk memahami efek optik nonlinier, kita mulai dari persamaan Maxwell yang menggambarkan interaksi gelombang EM dengan medium: r r r r ∂H ∂B = −µ ∇×E = − ∂t ∂t r r r r ∂D ∇×H = j + ∂t r r ρ ∇• E = ε0 r r ∇• H = 0 r r B = µH r r v r D = εE + P = (ε + χ )E r r j = σE Polarisasi dalam medium akibat adanya medan listrik digambarkan oleh: { } r r r r r r r (1) (2) ( 3) P = ε 0 χ E + χ E ⊗ E + χ E ⊗ E ⊗ E + ... r r NL (1) = ε0χ E + P r LIN r NL =P +P ( ) ( ) ( ) r r r r r ∂ r r ∂ v ∂ ∇ × ∇ × E = −µ ∇ × H = −µ σE + ε0 E + P ∂t ∂t ∂t r r r ∂E ∂2E ∂2P = −µσ − µε0 2 − µ 2 ∂t ∂t ∂t r r ∂E ∂2E ∂2 (1) r r NL = −µσ − µε0 2 − µ 2 ε0χ E + P ∂t ∂t ∂t [ ] r r r 2 2 NL r r r E P ∂E ∂ ∂ ∇ × ∇ × E = −µσ − µε0 1 + χ(1) 2 − µ ∂t ∂t ∂t 2 r r r 2 2 NL r r r r2 ∂E ∂ E ∂ P ∇ ∇ • E − ∇ E = −µσ − µε0 1 + χ(1) 2 − µ ∂t ∂t ∂t 2 ( ( ) [ ] [ ) ] Jika bahan/medium tidak mempunyai sumber muatan bebas ρ = 0, maka: r r r 2 2 NL r2 ∂E ∂ E ∂ P ∇ E = −µσ − µε 2 − µ ∂t ∂t ∂t 2 Pers. diatas adalah persamaan gelombang EM dalam medium optik nonlinier, dimana permitivitas bahan didefinisikan sebagai: (1) [ ε = ε0 1 + χ ] SATUAN DARI SUSEPTIBILITAS Suseptibilitas listrik mempunyai satuan dalam SI χ( n ) Maka: m ⇒ V n −1 χ(1) ⇒ ? χ( 2 ) ⇒ m / V χ( 3) ⇒ (m / V )2 Dalam sistem cgs: χ(n ) [SI ] = 4π 10−4 c ( c = 3 x 108 m / s2 ) (n ) [e.s.u] χ n −1 [ ] χ( 3) m 2 / V 2 = 1.4 x 10−8 χ( 3) [e.s.u ] Persamaan gelombang EM dalam medium NLO: r r r 2 2 NL r2 ∂E ∂ E ∂ P ∇ E = −µσ − µε 2 − µ ∂t ∂t ∂t 2 Asumsikan ada dua buah gelombang bidang yang merambat sepanjang sumbu-z, melewati bahan NLO, maka: ω1 ω2 NLO SFG ω3 = ω1 + ω2 Sum-Frequency Generation (SFG) ω3 = ω1 - ω2 Difference-Frequency Generation (DFG) DFG ω2 ω2 ω1 ω3 ω1 ω3 Secara umum medan listrik menjadi: [ r r r iω1t E(t ) = Re E(ω1 )e + E(ω2 )eiω2t ] r r Polarisasi dalam medium diberikan oleh: P = χijk E (a). Sum-Frequency Generation: { Pi (ω1 + ω2 ) = Re χ ijk (ω = ω1 + ω2 )E j (ω1 )E k (ω2 ).e i (ω1 + ω2 )t } (b). Difference-Frequency Generation: { Pi (ω1 − ω2 ) = Re χ ijk (ω = ω1 − ω2 )E j (ω1 )E *k (ω2 ).e i (ω1 − ω2 )t } E *k (ω2 ) = E k (− ω2 ) Dengan demikian, maka: r NL 1 P (z, t ) = χ(ijk2 ) E1 ( z ) E 2 ( z ).ei (ω1+ω2 )t .e −i (k1+ k 2 )z 2 = d.E1 ( z ) E 2 ( z ).ei (ω1+ω2 )t .e −i (k1+ k2 )z d= 1 ( 2) χ ijk 2 Gelombang-gelombang bidang tersebut adalah: E1 (z, t ) = E1 (z ) exp[i(ω1t − k1z )] E 2 (z, t ) = E 2 ( z ) exp[i(ω2 t − k 2z )] Asumsikan suatu medan listrik baru dengan frekuensi ω3 = ω1 + ω2 (SFG): E 3 (z, t ) = E 3 ( z ) exp[i(ω3t − k 3z )] Dengan subsitusikan kedalam pers. gelombang, maka: r 2 NL d 2 E3 dE3 ∂ P 2 2 − 2 ik − k E − i ω µσ E + µεω E3 = µ 3 3 3 3 3 3 2 dz dz ∂t 2 Bila variasi amplitudo E3 terhadap jarak z kecil atau disebut slowly varying amplitude (SVA) approximation: d 2 E 3 (z, t ) dE 3 ( z, t ) << 2 ik 3 dz dz 2 2 dan: µεω32 − k 32 2 2π 1 2π = µε − =0 λ µε λ r dE ∂ P 2ik 3 3 + iω3µσE 3 = −µ dz ∂t 2 2 NL ……………………….(1) Suku di ruas kanan dalam pers. (1) dapat diuraikan menjadi: r 2 NL ∂ P 2 i (ω1 + ω2 )t −i (k1 + k 2 )z ( ) ( ) ( ) µ = − µ ω + ω d . E z E z e .e 1 2 1 2 2 ∂t = −µω32d.E1 (z )E 2 (z )eiω3t .e −i (k1+ k2 )z ……………….(2) Dari pers. (1) dan (2), diperoleh: 2ik 3 dE 3 (z ) −ik3z e + iω3µσE 3 (z )e −ik3z = µω32d.E1 (z )E 2 (z )e −i (k1+ k2 )z dz Dengan menggunakan hubungan: ωi = ki µεi (ωi ) ω3µ µ = k3 ε3 Maka akan diperoleh tiga buah persamaan: dE3 (z ) σ µ ω =− E 3 (z ) − i 3 dz 2 ε3 2 µ d.E1 (z )E 2 (z )e −i (k1+ k2 −k3 )z ε3 dE1 (z ) σ µ ω =− E1 (z ) − i 1 dz 2 ε1 2 µ d.E 3 (z )E*2 (z )e −i (k3 −k 2 −k1 )z ε1 dE*2 (z ) σ µ * ω =− E 2 (z ) + i 3 dz 2 ε2 2 µ d.E1 (z )E*3 (z )e −i (k1+ k 2 −k3 )z ε3 Secara umum ki adalah vektor perambatan cahaya, dan besaran ∆k = k3 –k1-k2 disebut vektor gelombang mismatch (wave vector mismatch). BAB 4. SECOND HARMONIC GENERATION (SHG) Second-Harmonic Generation dan Phase-Matching ω1 χ(2) ω2 ω1 = ω2 = ω ω ω3 = 2ω ω 2ω ω3=ω1+ω2 χ(2 ) (− 2ω; ω; ω) Bentuk umum: dE 3 (z ) σ µ ω =− E 3 (z ) − i 3 dz 2 ε3 2 =− Dimana: k1 = k (ω) σ µ ω E 3 (z ) − i 3 2 ε3 2 k 3 = k (2ω) µ d.E1 (z )E 2 (z )e −i (k1+ k 2 −k3 )z ε3 µ d.E12 (z )e −i (2 k1−k3 )z ε3 Dengan asumsi bahwa: 1. Amplitudo tak dipengaruhi oleh proses konversi 2. Medium tak mempunyai absorpsi (σ = 0) Maka persamaannya menjadi: E (2 ω) (z ) = −iω E (2 ω ) L µ ε 2 i∆kz ( ) d . E ω e dz (2 ω ) ∫ o ei∆kL − 1 (L ) = −ω (2ω) d.E (ω) ∆k ε µ 2 Dimana L adalah panjang medium, dan ∆k = k(2ω) – 2k(ω) adalah vektor gelom-bang mismatch. Intensitas keluaran/output dari second harmonic adalah: 2 ∆kL sin ω2µ 2 1 4 2 2 (2 ω ) 2 = 2 d E(ω) L I(2ω) = ε0 nc E 2 2 n ε0 ∆kL 2 ω2µ 2 4 ∆kL = 2 d E(ω) L2 sin c 2 n ε0 2 Intensitas sebagai fungsi dari ∆kL/2 dari medium SHG ω2µ 2 4 2 2 ∆kL I(2ω) = 2 d E(ω) L sin c n ε0 2 I(2ω) ∆kL/2 Efisiensi konversi untuk SHG: 2 I (2ω) P(2ω) 2 2 2 2 ∆kL P (ω) η= = ~ ω d L sin c I(ω) P(ω) 2 A Persamaan diatas menunjukkan bahwa: 1. Efisiensi konversi sebanding dengan P2(ω), sehingga disebut efek NLO 2. Efisiensi sebanding ~d2 ~χ(2)2 3. Efisiensi ~ L2, sehingga medium yang panjang akan menghasilkan efisiensi konversi yang tinggi (akan dibuktikan ternyata tidak benar) 4. Efisiensi optimal bila ∆k = 0 (disebut kondisi phase-matching sempurna). Namun keadaan ini umumnya tidak terpenuhi dalam medium biasa (ordinary) karena adanya efek dispersi (indeks bias medium bergantung pada panjang gelombang). Intensitas SHG vs. Panjang medium B A L A: Kondisi non-phase-matching (∆k ≠ 0). Ternyata semakin panjang medium intensitas SHG tidak semakin besar. B. Kondisi phase matching sempurna (∆k = 0)⇒ I(2ω) ~ L2. Intensitas SHG vs. Panjang medium (Hasil eksperimen) Kondisi non-phase matching Kondisi hampir phase matching ∆k ~ 0 Efek dispersi material • Dispersi adalah indeks bias medium bergantung pada panjang gelombang atau frekuensi, sehingga n(ω) ≠ n(2ω). n ω n(ω) Sehingga: ∆k = k (2ω) − 2 k (ω) = n (2ω) − 2 n (ω) ≠0 n(2ω) Konsekuensi fisis dari dispersi adalah bahwa dua gelombang: E ω (z, t ) = E ωei{ωt −k (ω)z } E 2 ω (z, t ) = E 2 ωei{2 ωt − k (2 ω)z } Akan berbeda fasa sehingga proses generasi dari SHG akan terhenti (seperti interferensi destruktif). Pada jarak tertentu, amplitudo mencapai maksimum: ∆kl = π Pada panjang tertentu=panjang koheren dimana proses SHG berlangsung efektif. Lc = 2l , panjang medium/kristal, 2π 2π 2 πc = = ∆k k (2ω) − 2 k (ω) 2ωn (2ω) − 2ωn (ω) λ = 2[ n (2ω) − 2 n (ω)] Lc = Contoh: jika l = 1.0 µm n(2ω)-n(ω) = 10-2 maka diperoleh panjang koheren Lc ≈ 50 mm. Bukti efek panjang koheren pada intensitas SHG Maker et al, Phys. Rev. Lett. 8 (1992), p.19 Mengukur intensitas SHG suatu kristal sebagai fungsi dari sudut θ S ω S : sampel F : filter F ω 2ω 2ω PD P(2ω) Bila ∆k ≠ 0; 1. Pada Lc pertama → P(2ω) 2. Pada Lc kedua → P(2ω), namun intensitasnya berkurang, dst… L = 2n Lc → P(2ω) = 0 L = (2n+1) Lc → P(2ω) = optimum Dimana L = d cos θ, dimana d adalah tebal kristal/medium. Bila kondisi phase-matching terpenuhi, intensitas SHG bisa meningkat dengan faktor 1,6.105 kali. Kondisi dapat dipenuhi oleh kristal khusus, yaitu birefringence crystals, Sum Frequency Generation (SFG) ω1 ω2 χ(2) ω3 = ω1 + ω2 ω2 ω3 ω1 This process combined with SHG is used in practices for generation of third harmonic 1064 1064 1064 KDP 532 KDP 532 355 You can see all these nice colors with your own eyes (through the safety goggles) in Nonlinear Optics Lab 0.501 (MPIP-Mainz) Lab. NLO-MPIP Mainz BAB 5. PERAMBATAN GELOMBANG DALAM MEDIUM ANISOTROPIK Dalam suatu medium anisotropik, polarisasi tidak selalu sejajar dengan medan listrik. Suseptibilitas yang merupakan respon medium pada gelombang EM bukan besaran skalar tetapi tensor. Secara fisis, hal ini dipahami bahwa atomatom dalam kristal tidak identik sepanjang arah-arah yang berbeda. Polarisasi telah didefinisikan sebagai: P = ε0 χ(1)E P1 = ε0 (χ11E1 + χ12 E 2 + χ13E 3 ) P2 = ε0 (χ21E1 + χ22 E 2 + χ23E3 ) P3 = ε0 (χ31E1 + χ32 E 2 + χ33E 3 ) Ke-sembilan (9) elemen tensor χ bergantung pada pemilihan koordinat. Sebagai konsekuensinya, maka vektor perpindahan listrik menjadi: r r r r D = ε0 E + P = ε0 (1 + χij )E r = εijE Dimana tensor suseptibilitas χij diganti dengan tentor permitivitas dielektrik εij. Refraksi pada suatu batas medium anisotropik Pandang suatu gelombang bidang yang datang pada suatu permukaan kristal anisotropik. k 0 sin θ0 = k1 sin θ1 = k 2 sin θ2 Indek 0 = gelombang datang Indeks 1,2 = gelombang-gelombang refraksi Efek fisis dari medium anisotropik adalah bahwa gelombang datang dengan polarisasi D0 terpisah menjadi dua gelombang dengan polarisasi yang saling ortogonal dan menjalar di dalam kristal dengan sudut yang berbeda. Rapat energi dalam suatu medium: ( 1 r r U = E•D 2 ) D i = εi E i i = x , y, z 2 D2x D y D2z + + = 2U εx εy εz Definisikan: r r r r = D 2U εi = n i2 x = Dx 2U Maka diperoleh: x 2 y2 z 2 + 2 + 2 =1 2 nx ny nz Persamaan ellips Kristal Uniaxial - mempunyai satu sumbu kristal. - dua indeks bias adalah identik, sehingga bidang perpotongan dengan sumbu optik merupakan suatu lingkaran. -jika z adalah sumbu simetri (sumbu kristal, maka ada dua indeks bias: n 02 εx ε y = = ε0 ε0 n e2 εz = ε0 n0 = indeks bias ordinary ne = indeks bias ekstraordinary Maka persamaan ellips menjadi: x 2 y2 z 2 + 2 + 2 =1 2 n0 n0 ne Bidang yang diarsir membentuk ellips dengan dua sumbu utama, sehingga ada dua arah polarisasi yang sejajar dengan sumbu ellips, yaitu: 1. Polarisasi sepanjang sumbu-x, yang tegak lurus sumbu optik sehingga disebut gelombang ordinary dengan indeks bias n0. 2. Polarisasi dalam bidang x-y yang terletak sebidang dengan sumbu optik disebut gelombang ekstraordinary. BAB 6. PHASE MATCHING PADA MEDIUM BIREFRINGENCE • Kondisi phase-matching ∆k = 0 tidak mungkin diperoleh pada medium isotropik, karena adanya efek dispersi, n(λ). • Dalam media anisotropik, gelombang ordinary dan extraordinary dapat dicampur, sehingga diperoleh kondisi phase-matching. • Dilakukan dengan merubah indeks bias gelombang extraordinary yang ditransmisikan melalui perubahan sudut θ antara vektor-k dan sumbu optik medium. n e (θ) = • neno n 2o sin 2 θ + n e2 cos2 θ Dalam median anisotropik, efek dispersi tetap ada, akibatnya no, ne dan ne(θ) juga sebagai fungsi dari panjang gelombang/frekuensi. Dispersi pada kristal KDP Indeks bias ne < no Kondisi phase-matching (∆k=0) untuk kasus SHG dapat dipenuhi dengan memilih: n ω = n 2ω Karena efek dispersi kondisi ini tidak mungkin dicapai, karena: n oω ≠ n 2o ω n eω (θ) ≠ n 2o ω (θ) Dalam kristal uniaxial negatif (ne < no), seperti KDP, pada nilai sudut tertentu θm, berlaku: n e2 ω (θm ) = n ωo Kondisi ini disebut phase-matching angle. Sebelum menyelesaikan persamaan secara aljabar untuk mencari sudut tertentu, dimana kondisi phase-matching terpenuhi (phase matching angle), kita bahas secara geometri untuk mengklarifikasi masalah. Masalahnya adalah suatu kristal bersifat birefringent dan dispersive pada saat yang sama. Indeks-indeks permukaan untuk berkas ordinary dab extraordinary dapat digambarkan dalam dua frekuensi ω dan 2ω. Sehingga kita memiliki 4 (empat) indeks permukaan yang berbeda (lihat gambar untuk kristal birefringent negatif) n 2oω (θ) = n 2oω Indeks permukaan untuk no pada frekuensi 2ω dan ne pada frekuensi ω ditunjukkan oleh garis putus-putus, karena tidak penting untuk phasematching. Kurva untuk no(ω) dan ne(2ω) menentukan sudut phase matching, yaitu titik-titik pada lingkaran no(ω) bertemu dengan titik-titik pada lingkaran ne(2ω). Pada frekuensi 2ω, persamaan ellips: n e2 ω (θm ) = (n ) sin 2ω 2 o n 2e ωn 2oω 2 ( ) 2 θm + n e2 ω cos2 θm Untuk memperoleh kondisi phase-matching, maka: n e2 ω (θm ) = n ωo Sehingga: sin 2 θm ( n ) − (n ) = (n ) − (n ) ω −2 o 2 ω −2 e 2 ω −2 o 2 ω −2 o Arti fisis: Kondisi phase-matching, yaitu kondisi yang efektif untuk frekuensi doubling dicapai jika suatu berkas (beam) menjalar melalui kristal pada sudut tertentu θm antara vektor-k dan sumbu optik. Karena adanya efek dispersif pada semua parameter diatas (n0ω, n02ω dan ne2ω), maka sudut phase-matching akan berbeda untuk frekuensi doubling dari frekuensi yang berbeda. Ini diasumsikan bahwa berkas dengan frekuensi ω adalah berkas ordinary (terpolarisasi tegak lurus terhadap sumbu optik), sedangkan harmonik kedua adalah berkas extra-ordinary (terpolarisasi dalam bidang sumbu optik). Sehingga dalam proses ini polarisasi harmonik kedua (2ω) tegak lurus terhadap polarisasi fundamental (ω). Dalam contoh ini kita berasumsi bahwa kristal adalah birefringent negatif, sehingga kondisi phase matching diperoleh dengan ordinary fundamental dan extraordinary second harmonic. Untuk medium birefringent positif, kondisi phase-matching terpenuhi frekuensi fundamental (ω) adalah extraordinary dan harmonik kedua (2ω) adalah ordinary. Kondisi phase-matching untuk sum-frequency mixing (ω3 = ω1+ω2): r r r r ∆k = k 3 − k1 − k 2 Proses frekuesi doubling atau pembangkitan harmoni kedua (second harmonic generation, SHG) dapat juga dipahami sebagai proses sum-frequency mixing dari gelombang ordinary dan extraordinary pada frekuensi yang sama di dalam kristal. Dalam kasus ini, hubungan phase-matching ∆k=0 menjadi: n e2 ω (θ) = n 2o ω = [ [ ] 1 ω n o + n eω (θ) 2 ] 1 ω n o + n eω (θ) 2 untuk kristal birefringent negatif untuk kristal birefringent positif Jelas bahwa sudut phase-matching θm akan berbeda untuk bahan birefringent negatif dan positif, walaupun prosesnya sama yaitu frekuensi doubling. Tipe-tipe Phase-Matching BAB 7. OPENING ANGLE Pandang phase-matching tipe-I dan kristal birefringence negatif. [ ] 2ω 2 ω ∆k = n e (θ) − n oω = 0 c Hubungan phase-matching: Kondisi ini dapat dipenuhi untuk nilai sudut tertentu θm. Ekspansi Taylor pada sekitar sudut phase-matching (θ−θm): [ ] dk 2ω d 2 ω 2ω d neno n e (θ) − n ωo = = dθ c dθ c dθ n 2o sin 2 θ + n e2 cos2 θ ( ) ω neno 2 2 =− n − n o e sin 2θ 3/ 2 2 2 2 2 c n sin θ + n cos θ o e { ω {n =− c Sehingga: } ( )} (n 2 − n 2 )sin 2θ 3 2ω e θ n e2 n 2o o e ( ) dk ω = − n 3o n e−2 − n o−2 sin 2θm dθ m c Dimana: n e2 ω (θ) = n o Maka: 2β ∆θ L β ∝ sin 2θm ∆k = Daya untuk SHG menjadi: Daya SHG untuk kristal KDP dengan tebal kristal L = 1,23 cm dan kondisi phase matching diperoleh pada θ−θm = 0.10 2 ∆kL sin 2 2 sin [β(θ − θm )] (2 ω ) P θ ∝ ∝ 2 [ β(θ − θm )]2 ∆ kL 2 Konsep opening angle dapat dipahami dengan dua cara: 1. Untuk panjang gelombang tertentu λ dan cahaya yang difokuskan, konvergensi sudut tidak boleh melebihi 0,10, jika tidak, maka efisiensi SHG akan berkurang. 2. Untuk kasus cahaya ko-linier, perbedaan panjang gelombang ∆λ: ∆k ∆λ =− k λ Akibatnya hanya bandwidth tertentu yang menghasilkan proses SHG yang efisien. BAB 8. TEMPERATURE TUNING Dalam bahasan sebelumnya, diasumsikan bahwa indeks bias material bergantung pada vektor k dan polarisasi bahan. Dalam realita, indeks bias juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal yang akan mempengaruhi jarak kisi dalam tiga dimesi dari suatu kristal/bahan. Pada prinsipnya, nilai n eω , n 0ω , n e2 ω , n 02 ω bergantung pada temperatur. Sehingga kondisi phase-matching ∆k = 0 dapat diperoleh dengan merubah temperatur kristal. Tentu saja sudut qm masih menjadi parameter yang penting. Ada suatu kelas dari kristal, mirip KDP, yang cocok untuk temperature tuning, dimana kondisi phase-matching dapat diperoleh untuk sudut θm = 900. Dengan mengatur temperatur, maka kondisi ∆k = 0 dan θm = 900 dapat dipenuhi untuk beberapa panjang gelombang tertentu. Kurva temperature-tuning untuk kristal KDP dan ADP Beberapa keuntungan temperature-tuning: Sifat-sifat walk-off menjadi tidak penting, jika phase-matching diperoleh pada sudut θm = 900. Kondisi ini disebut phase-matching non-kritis. Pada sudut tersebut, cahaya/gelombang menjalar sepanjang sumbu optik dan tidak ada efek indeks bias ganda (birefringence) dalam medium. Temperature tuning ini sangat cocok untuk aplikasi intracavity phase-matching SHG (laser), karena efek-efek tadi akan menimbulkan kerugian (losses) dalam proses lasing. Pada sudut θm = 900 ekspansi orde pertama dalam deret Taylor untuk turunan opening angle yang mengandung faktor sin 2θm akan hilang sehingga diperoleh untuk kondisi phase-matching non-kritis: ∆k ∝ (∆θ) 2 sehingga opening angle yang lebih besar diperbolehkan. Pada θm = 900 , koefisien nonlinier deff = ½ χ(2) adalah maksimum. Proyeksi ellipsoid ke dalam bidang x-y. Polarisasi gelombang ordinary tegak lurus bidang gambar. z = n e (θ)sin θ z θ y = n e (θ) cos θ r s Maka pers. Ellips menjadi: A n e (θ) θ z cos θ sin θ = 2 + 2 2 n e (θ) n0 ne 1 y y Indeks bias bergantung pada arah propagasi vektor gelombang. 1. Untuk kasus khusus dimana θ = 0 yaitu vektor gelombang s sepanjang sumbu optik, maka tidak ada birefringence ( ne = n0). 2. Jika vektor gelombang s tegak lurus sumbu optik, maka dua gelombang akan menjalar melalui medium dengan indeks bias n0 dan ne. Untuk medium birefringence positif (ne > n0), sedangkan medium birefringence negatif (ne < n0). BAB 9. QUASI PHASE-MATCHING (QPM) TECHNIQUE Kurva A : kondisi phase-matching sempurna di sepanjang kristal. Kurva C : kasus phase-mismatch dengan panjang koheren lc. Kurva B1: kasus dimana polarisasi dibalik setelah setiap panjang koheren. Dalam mencapai phase-matching dengan opening angle, dalam beberapa nilai sudut, propagasi gelombang tidak memungkinkan, karenanya beberapa elemen pada tensor dij tidak dapat diakses. Problemnya adalah fasa dari SHG berbeda dengan fundamental karena adanya efek dispersi (kecepatan cahaya yang berbeda). Dalam masing-masing panjang koheren, bahwa polarisasi nonlinier berbeda fasa 180o (π radian) dan fasa relatif slips π/2. Setelah panjang koheren pertama, fasa bergeser ke dalam daerah dimana energinya hilang. Ide dibalik caya untuk mencapai kondisi phase-matching adalah dengan mengatur fasa polarisasi nonlinier setelah masing-masing panjang koheren. Pada kondisi demikian, intensitas nonlinier meningkat secara monoton, walaupun lebih landai daripada dalam phase-matching sempurna. Kondisi ini disebut kondisi quasi phase-matching (QPM) yang dapat diperoleh dengan periodically poled crystal. Periodically Poled Crystal Segmen-segmen material dengan sumbu optik yang berlawanan arah. Perambatan gelombang dalam segmen-segmen diputar 180o sehingga pergeseran fase dalam panjang koheren Lc pertama akan berkurang dalam panjang koheren berikutnya. Hubungan fasa antara medan optik/listrik dengaqn polarisasi nonlinier SHG Persamaan gelombang terkopel: d E 2 = Γd (z ) exp[− i∆k' z ] dz iωE12 Γ= n 2c Gelombang SHG pada ujung sampel L, diberikan oleh: L E 2 (L ) = Γ d (z )exp[− i∆k' z ]dz ∫ 0 Dalam kasus khusus: d(z) = deff dan ∆k’ = 0, maka gelombang SHG: E 2 (L ) = Γd eff L Dalam realita, fungsi d(z) dapat diasumsikan terdiri dari domain-domain dengan ± deff yang berubah tanda pada posisi zj. Asumsikan bahwa tanda diganti dengan gk dan lk adalah panjang domain ke-k, dan N adalah jumlah domain, maka: iΓd eff E2 = ∆k ' N g k [exp(− i∆k ' z k ) − exp(− i∆k' z k −1 )] ∑ k =1 Tanda berubah dalam struktur yang sempurna pada posisi: e − i∆k0 'z k ,0 = (− 1)k dimana ∆k0’ adalah vektor gelombang mismatch pada panjang gelombang input dan untuk QPM orde ke-m: z k ,0 = mkl c Untuk struktur yang sempurna (tanpa adanya kesalahan fasa pada daerah batas), maka gelombang SHG diberikan oleh: E 2,ideal ≈ iΓg1d eff 2 L mπ Karena kristal harus dibuat pada periodisitas tertentu L, maka kristal hanya akan match untuk panjang gelombang tertentu. SHG pada panjang gelombang yang lain akan memberikan suatu mismatch dan mengurangi intensitas SHG. Selain itu struktur domain tidak pernah sempurna yang akan mengakibatkan mismatch pada daerah batas.