De-Sava, Intangible, dan Kepuasan Pelanggan Oleh : Muh. Bahruddin*) De-Sava Koffei siang itu cukup ramai. Sebagian besar pelanggan didominasi anak muda. Tempat ini memang cukup pas bagi mereka yang kelelahan berbelanja buku di Petra Toga Mas atau outlet-outlet lain yang berada dalam satu kompleks. Perut saya pun sudah berteriak untuk minta diisi. Bersama seorang mahasiswa, Ekky Fardhy Satria Nugraha, saya bermaksud membeli nasi goreng pizza sebelum berbelanja buku. Sayang, karena pelanggannya cukup banyak, kami diberi penawaran untuk menunggu minimal 30 menit jika bersedia. Sebuah waktu tunggu yang cukup lama dan membosankan! Meski demikian, kami bersedia dan menyiasati dengan berbelanja buku terlebih dahulu sambil menunggu masakannya selesai. Setelah puas berbelanja buku, kami kembali ke De-Sava Koffei untuk mengambil pesanan kami. Saya dan Ekky merasa lega karena paket nasi goreng bersama minuman yang kami pesan sudah siap dihidangkan. Bahkan, yang membuat kami terkesan dan merasa dihargai adalah pelayanan yang diberikan food court tersebut melebihi dari yang kami harapkan. Pelayan tidak saja menyiapkan dua paket nasi goreng, tapi juga menyiapkan meja buat kami. Bahkan di atas meja tersebut sudah terpasang tulisan “Reserved”. Padahal kami tidak merasa memesan meja. “Wah, kita seperti orang penting saja, Pak!” celetuk Ekky bangga. Kami merasa dihargai atau dalam bahasa Jawa di-wong-ke karena diberi ruang privasi. Orang lain dilarang menggunakan meja yang sengaja disiapkan buat kami, meski sebelumnya kami tidak merasa pesan meja tersebut. Jika tidak, tentu kami bingung mencari meja atau bahkan tidak kebagian tempat karena pelanggan sangat ramai. Pelayanan seperti inilah yang jarang kami temui ketika memesan makanan di food court atau restoran lain. Model pelayanan seperti ini penting untuk membidik loyalitas pelanggan. Dalam komunikasi pemasaran, hal ini menyangkut produk intangible, sebuah produk yang mempunyai dimensi nonfisik. Bahwa sebuah produk tidak hanya dipasarkan secara nyata (tangible), yang menyangkut fitur atau menu makanan saja, akan tetapi bagaimana produk tersebut memiliki nilai di dalamnya. Artinya, pelanggan tidak sekedar disuguhi produk makanan saja kendati masakan tersebut dimasak seorang chef ternama misalnya, tapi juga menyangkut pelayanan prima, kenyamanan, sampai kepuasan pelanggan. Inilah yang disebut intangible. Kepuasan pelanggan dikenal dengan hal yang berhubungan dengan “nilai” dan “harga”. Semakin puas pelanggan, semakin toleran ia terhadap harga, dengan demikian menghasilkan profit (Cronin dan Taylor, 1992;285). Dalam teori kepuasan, hal ini disebut diskonfirmasi positif. Bahwa produk yang diberikan melebihi atau lebih baik dari yang diharapkan sehingga pelanggan merasa puas. Persoalan intangible ini sering kali tidak disadari oleh produsen, khususnya produsen makanan. Terkait dengan persoalan ini, Adhy Trisnanto (2006: 112) mengatakan bahwa kenikmatan sebuah hidangan telah dirusak oleh hal-hal yang mestinya tidak terjadi. Misalnya, pesanan yang harus ditunggu lama, meja yang kotor dan bau amis, wastafel yang tersumbat, atau kasir yang lama menghitung. Banyak restoran yang terlalu yakin dengan kelezatan masakannya karena memiliki tenaga ahli yang cakap di bidang masakan. Sayang, mereka tidak menyadari bahwa kepuasan pelanggan tidak hanya terletak pada lezatnya makanan, tetapi juga kenyamanan dan kepuasan pelayanan. Pada tataran ini komunikasi menjadi penting dalam rangka mendukung intangible. Di warung-warung kaki lima bisa menjadi contoh dalam hal komunikasi dengan konsumen atau pelanggan. Misalnya, seorang penjual tidak segan-segan bertanya kabar pelanggan, seoalah pelanggan adalah kerabat dari jauh yang datang berkunjung. Belum lagi keunikan-keunikan dalam melakukan gerakan khas ketika mengisi piring-piring pelanggan. Maka, tak heran apabila banyak mobil mengkilap berderet memadati warung-warung kaki lima. Melihat persoalan tersebut, De-Sava Koffei cukup berhasil mengelola intangible, meski ada beberapa pelayanan yang mesti harus ditingkatkan. Misalnya, waktu tunggu yang cukup lama. Hal ini bisa membuat pelanggan habis kesabarannya. Kerepotan menangani banyaknya pelanggan, mestinya bisa diantisipasi De-Sava Koffei, seperti menambah perabot masakan atau sumber daya manusia (pegawai). Beruntung, pelayan De-Sava Koffei mampu mengomunikasikan dengan baik dan ramah kepada kami (baca : pelanggan) sehingga tidak membuat kami terlalu kecewa. Artinya, sebelum saya dan Ekky benar-benar menunggu pesanan, pelayan telah lebih dahulu mengomunikasikan bahwa makanan yang kami pesan butuh waktu lama untuk dihidangkan sehingga kami memiliki pilihan untuk tetap menunggu atau berpindah ke tampat lain. Tapi toh, kami bersedia menunggu! Penulis adalah dosen Desain Komunikasi Visual STIKOM Surabaya