1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perubahan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Perubahan iklim global akibat efek rumah kaca merupakan permasalahan
lingkungan serius yang saat ini sedang dihadapi oleh manusia. Dampak yang
ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara,
dan gas alam ini mengakibatkan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida (CO2)
di atmosfer dari konsentrasi 280 ppm pada masa pra-industri menjadi 403,28 ppm
pada bulan Februari 2016 [1], sementara batas aman maksimal konsentrasi CO2 di
atmosfer adalah 350 ppm. Kini konsentrasi CO2 meningkat lebih dari 2 ppm per
tahun didorong oleh emisi CO2 global yang saat ini meningkat lebih dari 3,3% per
tahun [2].
Meningkatnya konsentrasi CO2 di atmosfer menyebabkan naiknya temperatur
global. Pada tahun 2005 tercatat bahwa temperatur global berada pada puncaknya,
yaitu 16,12oC yang merupakan rekor terpanas sebagai dampak dari pemanasan
global. Pemanasan global juga menyebabkan naiknya temperatur rerata global
sebesar 0,8oC selama satu abad terakhir. Akan tetapi pemanasan global tidak hanya
berdampak pada perubahan temperatur, kerusakan pada ekosistem dan kerugian
pada kehidupan manusia yang saat ini banyak dikaitkan dengan perubahan iklim,
termasuk di dalamnya pemutihan terumbu karang yang luas, meningkatnya
aktivitas kebakaran hutan, dan meningkatnya intensitas badai [2].
Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab meningkatnya konsentrasi
CO2 di udara, diantaranya adalah akibat aktivitas industri yang tidak ramah
lingkungan, tingginya pertumbuhan penduduk, tingginya aktivitas penebangan
hutan yang tidak diimbangi dengan penanaman kembali, dan meningkatnya
pemakaian kendaraan bermotor. Selain itu, saat ini 80% penggunaan energi global
masih bergantung pada bahan bakar fosil dan penggunaannya telah menjadi bagian
integral dari kehidupan manusia.
Ketergantungan manusia terhadap bahan bakar fosil telah membawa manusia
pada posisi yang sulit, terutama bagi industri yang memanfaatkan bahan bakar fosil
dalam proses produksinya. Oleh karena itu untuk menghadapi masalah ini banyak
1
negara sudah memulai program pembatasan emisi CO2 meskipun langkah tersebut
belum cukup untuk mengurangi konsentrasi CO2 secara signifikan. Selain program
pembatasan emisi CO2 masih banyak langkah lain yang dapat dilakukan untuk
mengurangi emisi karbon dioksida ke udara, misalnya seperti konservasi energi dan
peningkatan efisiensi konversi energi yang merupakan langkah jangka pendek
dengan biaya terendah yang mungkin untuk dilakukan. Penggunaan bahan bakar
fosil dapat dialihkan ke sumber energi alternatif seperti panas bumi, angin, air,
biomasa, surya, nuklir, dan lain-lain. Meskipun demikian, pilihan-pilihan tersebut
relatif mahal dan sejauh ini hanya tersedia dalam kapasitas yang terbatas. Langkah
pembatasan emisi, peningkatan efisiensi konversi energi, dan penggunaan energi
alternatif masih belum mampu mengurangi konsentrasi CO2 di udara. Diperlukan
upaya khusus untuk mencegah dan mengatasi peningkatan konsentrasi CO2 di
atmosfer agar tidak berdampak pada pemanasan global yang sudah memburuk.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan teknologi
penangkapan karbon. Teknologi ini terbagi menjadi dua jenis berdasarkan sumber
karbonnya, yaitu teknologi carbon capture and storage (CCS) dan teknologi air
capture.
Teknologi carbon capture and storage atau CCS merupakan teknologi
penangkapan karbon yang mendapatkan CO2 dari sumber karbon skala besar seperti
misalnya sistem pembangkit listrik atau industri yang mengemisikan CO2 ke
lingkungan dalam jumlah yang sangat besar. Sedangkan teknologi air capture
merupakan teknologi penangkapan karbon dari sumber baur yang tidak dapat
menerapkan teknologi on-board, seperti kendaraan bermotor, kereta dengan bahan
bakar batu bara, serta pesawat terbang.
Secara umum alur kerja sistem penangkap karbon adalah sebagai berikut,
sistem penangkap karbon akan menangkap CO2 baik dari sumber skala besar atau
dari lingkungan, kemudian CO2 tersebut akan menjalani sequestration process, dan
dari sequestration process CO2 akan dibawa menuju situs penyimpanan bawah
tanah agar tidak dapat kembali ke atmosfer. Metode reduksi CO2 dengan cara ini
dikenal dengan sequestration methods. Meskipun sequestration methods tampak
menguntungkan, terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan apabila
2
metode ini akan dilakukan terus-menerus dalam jangka waktu panjang, yaitu
masalah persediaan lahan penyimpanan dan akibat yang ditimbulkan dari
penyimpanan CO2 hasil sequestration process di bawah tanah terhadap struktur
geologi yang masih belum diketahui. Oleh karena itu akan sangat baik apabila opsi
sequestration dialihkan pada cara lain yang mampu memanfaatkan CO2 hasil
tangkapan tanpa harus mempengaruhi lingkungan dan memperburuk kondisi iklim
global.
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan CO2 yang
berhasil ditangkap untuk kepentingan kehidupan sehari-hari. Selain itu, saat ini
telah tersedia teknologi yang dapat digunakan untuk mengubah CO2 yang ditangkap
menjadi beberapa jenis bahan bakar, diantaranya adalah aftur [2]. Hal ini bisa
dilakukan mengingat CO2 yang ditangkap dapat digunakan kembali sebagai bahan
dasar metanol.
Dalam skripsi ini akan dijelaskan bagaimana cara mengubah CO2 yang
ditangkap menggunakan sistem penangkap CO2 dari atmosfer menjadi metanol.
Salah satu bahan utama yang penting untuk disediakan adalah hidrogen. Hidrogen
dalam bentuk unsur harus diproduksi karena meskipun jumlahnya di bumi sangat
melimpah, hidrogen sebagian besar terikat dalam bentuk senyawa dengan unsur
lain. Sebagian besar hidrogen yang terdapat di permukaan bumi dalam bentuk
senyawa air dan hidrokarbon. Saat ini produksi hidrogen membutuhkan biaya yang
relatif mahal dengan hasil produksi yang relatif terbatas. Sehingga pengembangan
teknologi produksi hidrogen yang dapat memberikan hasil dalam jumlah besar
dengan biaya produksi yang relatif murah merupakan kunci penting bagi
perkembangan sistem energi dan industri masa depan. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk memproduksi hidrogen adalah dengan menggunakan High
Temperature Electrolysis of Steam (HTES) yang dikopel dengan Passive Compact
Molten Salt Reactor (PCMSR) agar dapat menghasilkan efisiensi yang lebih tinggi
daripada sistem produksi hidrogen secara konvensional. Dalam proses HTES energi
untuk elektrolisis tidak hanya bersumber dari energi listrik, tapi juga dari energi
kalor yang disuplai oleh reaktor nuklir.
3
Selain menjelaskan cara memproduksi metanol dari CO2 atmosferik yang
berhasil ditangkap oleh sistem penangkap CO2, akan dilakukan pula perhitungan
neraca massa dan energi sistem produksi metanol untuk memperhitungkan berapa
banyak hidrogen, CO2, air, bahan kimia, dan energi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan metanol dalam jumlah tertentu.
I.2. Perumusan Masalah
Dalam penelitian ini akan dilakukan perancangan sistem untuk menghitung
kebutuhan massa senyawa kimia dan energi untuk produksi metanol menggunakan
CO2 atmosferik hasil tangkapan sistem air capture dan H2 hasil produksi sistem
HTES, menggunakan energi sebesar 460 MWth yang dihasilkan oleh sistem
produksi energi Passive Compact Molten Salt Reactor (PCMSR).
I.3. Batasan Masalah
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi oleh beberapa aspek, yaitu:
1. Penelitian bersifat komputasional
2. Jenis reaktor nuklir yang digunakan untuk memproduksi energi kalor dan listrik
adalah reaktor nuklir PCMSR dengan daya termal 460 MWth.
3. Desain sistem penangkap CO2 yang digunakan untuk penelitian adalah desain
yang dibuat oleh Joshuah Stolaroff, dkk.
4. Dalam penelitian ini perhitungan energi dilakukan pada sistem penangkapan
CO2 (makroskopis), sistem produksi hidrogen, sistem blower, sistem kompresor,
sistem distribusi larutan, dan sistem mixing tank.
5. Menara kontak yang digunakan untuk menangkap CO2 dari atmosfer adalah
cooling tower jenis mechanical draft tower yang bekerja dengan cara force draft.
6. Senyawa yang dipilih sebagai absorber CO2 dari udara atmosfer adalah larutan
natrium hidroksida (NaOH).
7. Untuk menghidari terbawanya droplet bersama udara, maka dipasang mist
eliminator setelah kolom kontak atau evaporator. Jenis mist eliminator yang
digunakan adalah demister.
4
8. Hidrogen yang dibutuhkan untuk proses pembentukan metanol diproduksi
dengan menggunakan sistem produksi hidrogen HTES
9. Kondisi sistem adalah steady state and steady flow.
I.4. Tujuan
Tujuan dari dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan nilai
dari material dan energi yang dibutuhkan oleh sistem penangkap CO2, sistem
produksi hidrogen, dan sistem produksi metanol untuk mereduksi konsentrasi CO2
di atmosfer dari 403,28 ppm menjadi 300 ppm. Sistem-sistem yang diperhitungkan
kebutuhan energinya adalah sistem kalsinasi CaCO3, sistem produksi hidrogen
HTES, sistem blower udara, sistem regenerasi larutan NaOH dan Ca(OH)2 (daya
motor pengaduk), sistem ditribusi larutan (daya pompa), sistem kompresi gas CO2
dan H2. Sementara kebutuhan material yang dihitung adalah bahan bakar nuklir Th232, senyawa kimia NaOH, CaO, dan air.
I.5. Manfaat
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Nilai dari massa dan energi yang didapatkan untuk memproduksi metanol
diharapkan dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya yang membahas
masalah sistem air capture atau masalah pengurangan konsentrasi karbon
dioksida di atmosfer.
2. Dapat memberikan kontribusi untuk riset pengembangan sistem penangkap
CO2.
3. Secara tidak langsung dapat berkontribusi dalam mendukung upaya
perubahan iklim global.
4. Dapat dijadikan referensi untuk proyek perancangan sistem penangkap
CO2 secara keseluruhan.
5. Secara tidak langsung mendukung upaya penanganan perubahan iklim
global yang saat ini menjadi permasalahan dunia.
5
Download